Total Tayangan Halaman

Jumat, 09 Oktober 2020

DOA IMAM JAKFAR SHODIQ UNTUK MEMUDAHKAN URUSAN

اللّٰهُمَّ إِنَّ خِيْرَتَكَ تُنِيْلُ الرَّغَائِبَ، وَتُجْزِلُ الْـمَوَاهِبَ، وَتُطَيِّبُ الْـمَكَاسِبَ، وتُغْنِمُ الْـمَطَالِبَ، وَتُهْدِيْ إِلَى أَحْمَدِ الْعَوَاقِبِ، وَتَقِيَ مِنْ مَحْذُوْرِ النَّوَائِبِ. اَللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْتَخِيْرُكَ فِيْمَا عَقَدَ عَلَيْهِ رَأْيِيْ وَقَادَنِيْ إِلَيْهِ هَوَايَ، فَأَسْأَلُكَ يَا رَبِّ أَنْ تُسَهِّلَ لِيْ مِنْ ذٰلِكَ مَا تَعَسَّرَ، وَأَنْ تُعَجِّلَ مِنْ ذٰلِكَ مَا تَيَسَّرَ، وَأَنْ تُعْطِيَنِيْ يَا رَبِّ الظَّفَرَ فِيْمَا اسْتَخَرْتُكَ فِيْهِ، وَعَوْنًا فِي اْلإِنْعَامِ فِيْمَا دَعَوْتُكَ، وَأَنْ تَجْعَلَ يَا رَبِّ بُعْدَهُ قُرْبًا، وَخَوْفَهُ أَمْنًا، وَمَحْذُوْرَهُ سِلْمًا، فَإنَّكَ تَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ، وتَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ، وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوْبِ. اَللّٰهُمَّ إِنْ يَكُنْ هٰذَا اْلأَمْرُ خَيْرًا لِيْ فِيْ عَاجِلِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، فَسَهِّلْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ عَلَيَّ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَاصْرِفْهُ عَنِّيْ وَاقْدِرْ لِيْ فِيْهِ الْخَيْرَ، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. Ya Allah, sungguh pilihan-Mu memberikan harapan, Melimpahkan karunia dan memperbaiki usaha, Menguntungkan pencarian, Menunjukan pada akibat yang terpuji, Menjaga dari bencana yang melanda. Ya Allah, Sungguh aku memohon pilihan-Mu Terhadap apa yang disimpulkan oleh pikiranku Wahai Tuhanku Mudahkan bagiku segala yang sulit Segerakan dari itu apa yang mudah Berikan padaku keberhasilan dari Pilihan yang kumohon kepada-Mu Berikan pertolongan dengan memberikan Apa yang kuserukan pada-Mu Wahai Tuhanku Dekatkan kejauhannya Amankan ketakutannya Selamatkan dari kehancurannya Sungguh Engkau mengetahui, sedangkan aku tidak mengetahui Engkau kuasa sedangkan aku tidak kuasa Ya Allah, jika urusan ini baik bagiku terhadap dunia dan akhirat Maka mudahkanlah bagiku dan gampangkanlah atasku Jika urusan ini tidak baik bagiku Maka palingkanlah ia dariku dan berikan pilihan bagiku Sungguh Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu Wahai yang paling pengasih dari segala yang mengasihi

Senin, 14 September 2020

Kata mutiara imam ali bin abi thalib

Permulaan kebaikan dipandang ringan, tetapi akhirnya dipandang berat. Hampir-hampir saja pada permulaannya dianggap sekadar menuruti khayalan, bukan pikiran; tetapi pada akhirnya dianggap sebagai buah pikiran, bukan khayalan. Oleh karena itu, dikatakan bahwa memelihara pekerjaan lebih berat dari pada memulainya Memulai pekerjaan adalah sunnah, sedangkan memeliharanya adalah wajib Jika engkau ingin mengetahui watak seseorang, maka ajaklah dia bertukar pikiran dengan mu. Sebab, dengan bertukar pikiran itu, engkau akan mengetahui kadar keadilan dan ketidakadilannya, kebaikan dan keburukannya Duduklah bersama orang-orang bijak, baik mereka itu musuh atau kawan. Sebab, akal bertemu dengan akal Sebaik-baik kehidupan adalah yang tidak menguasaimu dan tidak pula mengalihkan perhatiaanmu (dari mengingat Allah SWT) Tanyailah hati tentang segala perkara karena sesungguhnya ia adalah saksi yang tidak akan menerima suap Kecemburuan seorang wanita adalah kekufuran, sedangkan kecemburuan seorang laki-laki adalah keimanan. Berbicaralah, niscaya kalian akan dikenal karena sesungguhnya seseorang tersembunyi dibawah lidahnya Sesungguhnya hati memiliki keinginan, kepedulian, dan keengganan. Maka, datangilah ia dari arah kesenangan dan kepeduliaannya. Sebab, jika hati itu dipaksakan, ia akan buta Tidak ada kenikmatan di dunia ini yang lebih besar dari pada panjang umur dan badan yang sehat Sesungguhnya wanita (sanggup) menyembunyikan cinta selama empat puluh tahun, namun tidak (sangup) menyembunyikan kebenciaan walau hanya sesaat. Tiga hal yang menyelamatkan, yaitu; takut kepada Allah, baik secara diam-diam maupun terang-terangan; hidup sederhana, baik di waktu miskin maupun kaya; dan berlaku adil, baik diwaktu marah maupun ridha Tiga macam orang yang tidak diketahui kecuali dalam tiga situasi; (pertama) tidak diketahui orang pemberani kecuali dalam situasi perang. (kedua) tidak diketahui orang yang penyabar kecuali ketika sedang marah. (ketiga) tidak diketahui sebagai teman kecuali ketika (temannya) sedang butuh Barang siapa yang dalam urusannya berada pada posisi tidak memikirkan akibatnya, maka dia telah menghadapkan dirinya pada musibah yang besar Diantara taufik adalah berhenti ketika ragu Diantara amal kebajikan yang paling utama adalah; berderma di saat susah, bertindak benar ketika sedang marah, dan memberi maaf ketika mampu untuk menghukum Kebajikan adalah apa yang dirimu merasa tenang padanya dan hatimu merasa tentram karenanya. Sedangkan dosa adalah yang jiwamu merasa resah karenanya dan hatimu menjadi bimbang Jika perkataan keluar dari hati, maka ia akan berpengaruh terhadap hati, dan jika ia keluar dari lidah, maka ia tidak akan mencapai telinga Janganlah engkau merendahkan seseorang karena kejelekan rupanya dan pakaiannya yang usang, karena sesungguhnya Allah ta’ala hanya memandang apa yang ada dalam hati dan membalas segala perbuatan Janganlah engkau teregsa-gesa mencela seseorang karena dosanya. Sebab barangkali dosanya telah diampuni. Dan janganlah engkau merasa aman akan dirimu karena suatu dosa kecil. Sebab, barangkali engkau akan diazab karena dosa kecilmu itu Jauhilah olehmu posisi mengemukakan alasan. Sebab, ada kalanya alasan justru menetapkan kesalahan terhadap orang yang berdalih itu, meskipun dia bersih dari dosa itu Barangsiapa yang telah kehilangan keutamaan kejujuran dalam pembicaraannya, maka dia telah kehilangan akhlaknya yang termulia Buruk sangka melayukan hati, mencurigai orang yang terpercaya, menjadikan asing kawan yang ramah, dan merusak kecintaan saudara Janganlah engkau merasa senang dengan banyaknya teman, selama mereka bukan orang yang baik-baik. Sebab, kedudukan teman seperti api, sedikitnya adalah kenikmatan, sedangkan banyaknya adalah kebinasaam Sebaik-baik teman, jika engkau tidak membutuhkannya, dia akan bertambah dalam kecintaannya kepadamu, dan jika engkau membutuhkannya, dia tidak akan berkurang sedikitpun kecintaannya kepadamu Ada kalanya perang terjadi karena satu kalimat, dan ada kalanya pula cinta tertanam karena pandangan sekilas Perbuatan buruk yang menjadikanmu bersedih karenanya lebih baik di sisi Allah dari pada perbutan baik yang membuatmu bangga Siapa yang memandang dirinya buruk maka dia adalah orang yang baik. Dan siapa yang memandang dirinya baik, dia adalah orang yang buruk. Dicuplikkan dari “Tanyalah Aku Sebelum Kau Kehilangan Aku: Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib” kata-kata mutiara Imam Ali Al-Murtadha AS semasa hidupnya,yang mana ilmunya amatlah tinggi sepanjang zaman. Imam Ali As berkata: “Pergaulilah manusia dengan pergaulan yang apabila kamu meninggal dunia mereka menangisimu dan jika kamu hidup mereka menyayangimu” “Apabila engkau dapat mengalahkan musuhmu, maka maafkanlah dia sebagai tanda berterima kasih di atas kesanggupanmu mengalahkannya” “Sifat kikir adalah aib, sifat takut adalah kekurangan, kefakiran menjadikan orang cerdik membisu daripada mengemukakan hujahnya, orang miskin terasing di negara, sifat lemah adalah penyakit, sifat sabar adalah keberanian, sifat zuhud adalah kekayaan dan sifat warak adalah benteng” “Hati orang yang berakal adalah tempat penyimpanan rahsianya” “Jauhilah persahabatan dengan pengkhianat kerana dia akan menjualmu dengan harga yang lebih murah” “Wahai anakku yang tersayang, janganlah berkawan (bersahabat) dengan pembohong, kerana sesungguhnya dia seperti fatamorgana (pembayangan udara) yang mendekatkanmu kepada yang jauh dan menjauhkanmu dari yang dekat” “Kebaikan itu bukanlah kerana harta dan anak yang banyak, tetapi kebaikan itu ialah ‘ilmu yang banyak dan kasih sayang yang besar serta dorongan kepada menyembah kepada Tuhan (Allah). Maka jika engkau berbuat baik, pujilah Allah dan jika engkau berbuat salah, minta ampunlah kepada-Nya” “Tiada kebaikan di dunia ini kecuali kebaikan 2 orang lelaki.Pertama lelaki yang berbuat dosa,kemudian dia susuli dengan taubat.Kedua lelaki yang bersegera berbuat kebaikan” “Cercalah saudaramu dengan berbuat baik kepadanya, dan balaslah kejahatannya dengan berbuat baik kepadanya” Selemah-lemah manusia ialah orang yg tak boleh mencari sahabat dan orang yang lebih lemah dari itu ialah orang yg mensia-siakan sahabat yg telah dicari Kata Mutiara Ali Bin Abi Thalib Orang yang terlalu memikirkan akibat dari sesuatu keputusan atau tindakan, sampai bila-bilapun dia tidak akan menjadi orang yang berani. Kata Mutiara Ali Bin Abi Thalib Orang-orang yang suka berkata jujur mendapatkan tiga hal, kepercayaan, cinta, dan rasa hormat. Kata Mutiara Ali Bin Abi Thalib Ketahuilah bahwa sabar, jika dipandang dalam permasalahan seseorang adalah ibarat kepala dari suatu tubuh. Jika kepalanya hilang maka keseluruhan tubuh itu akan membusuk. Sama halnya, jika kesabaran hilang, maka seluruh permasalahan akan rusak. Kata Mutiara Ali Bin Abi Thalib Selemah-lemah manusia ialah orang yg tak mau mencari sahabat dan orang yang lebih lemah dari itu ialah orang yg mensia-siakan sahabat yg telah dicari. Kata Mutiara Ali Bin Abi Thalib Perkataan sahabat yg jujur lebih besar harganya daripada harta benda yg diwarisi darinenek moyang. Kata Mutiara Ali Bin Abi Thalib Orang yang tidak menguasai matanya, hatinya tidak ada harganya Kata Mutiara Ali Bin Abi Thalib Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan. Kata Mutiara Ali Bin Abi Thalib Nilai seseorang sesuai dengan kadar tekadnya, ketulusannya sesuai dengan kadar kemanusiaannya, keberaniannya sesuai dengan kadar penolakannya terhadap perbuatan jahat dan kesucian hati nuraninya sesuai dengan kadar kepekaannya terhadap kehormatan dirinya.

Jumat, 04 September 2020

KITAB JAMI, KAROMATUL AULIYA BAGIAN 15 Penutup

Sayyid Muhyiddin Ibnu ‘Arabi r .a. menjelaskan bahwa terlipatnya bumi (menempuh jarak bumi dalam sekejap) bagi ahlul mujahadah (perang besar melawan nafsu) yang mempunyai kemampuan luar biasa adalah tanda kesungguhan dan kegigihan mereka dalam beribadah dan bekerja, karena Allah Yang Maha Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, lagi Maha Waspada, menyimpan hikmah dalam setiap munasabah (kesesuaian), itulah yang menjadi landasan kitab ini (Mawaqi’ al-Nujum). Suatu maqam tidak akan diperoleh, kecuali jika ada kesesuaian antara maqam itu dan sifat yang kita punya. Seperti halnya mata, jika kita menggunakannya sesuai dengan perintah Allah Swt., baik yang wajib maupun yang sunnah, dan bersegera menggunakan-nya dengan sebaik-baiknya, maka mata akan dapat bermusyahadah. Apabila kita diberi kemampuan munajat (doa dalam bentuk percakapan intim antara Allah dan manusia), maka jiwa akan merasa bahagia dari segi pendengaran (telinga) bukan penglihatan (mata). Mata tidak bisa merasakan kenikmatan munajat, karena hakikat fungsi mata adalah melihat dan mata tidak mengenal munajat, pembicaraan, dan lain-lain. Pahala yang diberikan Allah Swt. senantiasa sesuai dan cocok dengan yang menerimanya, karena Dia senantiasa meletakkan sesuatu pada tempatnya (Maha Adil). Allah tidak menjadikan musyahadah sebagai pahala bagi telinga dan munajat sebagai pahala bagi mata karena hakikatnya bukan begitu. Meskipun kita menganggap logis bahwa mata bisa mendengar, pada hakikatnya kemampuan mendengar itu bukan dilakukan oleh mata, tetapi dilakukan oleh telinga. Mata berfungsi untuk melihat dan musyahadah. Jika seorang wali hanya memiliki satu sarana pengetahuan sebagaimana dikatakan oleh sebagian wali, maka ia bisa mendengar dengan matanya dan melihat dengan telinganya. Hal tersebut sesuai dengan apa yang telah kami jelaskan. Ilmu munasabah adalah ilmu yang mulia yang hanya diketahui oleh orang yang mendalam ilmunya (rasikhuna fi al-‘ilmi). Apabila demikian, maka apa manfaatnya mata jika belum pernah merasakan musyahadah. Oleh karena itu, bisa ditetapkan bahwa kemampuan seorang hamba untuk melipat bumi (mengelilingi bumi dalam sekejap) dalam alam kabir merupakan hasil dari kemampuannya melipat unsur tanah dalam dirinya dengan melakukan mujahadah dan macam-macam ibadah serta menjaga kesucian dan menahan lapar selama bermalam-malam. Begitu juga kemampuan berjalan di atas air bagi orang yang memberi makan orang yang membutuhkan, memberi pakaian orang yang telanjang, baik dari hartanya maupun karena gaji atas kerja mereka, mengajar orang yang bodoh, dan memberi petunjuk kepada para pencari ilmu. Kedua kemampuan ini merupakan rahasia dua kehidupan, baik kehidupan panca indra maupun kehidupan ilmiyah. Ada hubungan yang jelas antara dua kehidupan di atas dengan air. Barang siapa mampu menguasai dua kehidupan itu, maka ia bisa menguasai air. Kapan pun ia mau, ia bisa berjalan di atasnya. Begitu pula kemampuan menghidupkan orang yang mati dalam kehidupan ilmiah. Akan tetapi, Ibnu ‘Arabi tidak begitu yakin dengan karamah ini. Ibnu ‘Arabi hanya mengatakan bahwa apabila hal itu terjadi, inilah sebab-sebab, asal, dan sumbernya. Apabila hal tidak terjadi, berarti itu bukan bagian orang ‘arif. Bagiannya hanya pada kedudukan dan rahasia-rahasianya saja. Sebagaimana orang yang mampu berjalan di udara. Ia tidak bisa melakukan hal itu, kecuali jika ia meninggalkan nafsunya untuk mengikuti keinginan Allah. Ibnu ‘Arabi pernah terlihat berjalan di udara, kemudian ia ditanya, “Dengan cara apa kamu memperoleh karamah ini?” Ia menjawab, “Kutinggalkan nafsuku untuk melaksanakan keinginan-Nya, sehingga Allah menundukkan udara untuk-ku.” Dalam pengetahuan tentang munasabah, ilmu dan hikmah merupakan ketetapan logika dan ketetapan ilahiyah yang mengandung hikmah. Barangsiapa berpendapat bahwa Allah Swt. melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hal di atas, berarti ia tidak mempunyai pengetahuan tentang letak-letak hikmah. Allah berfirman. Makan dan minumlah dengan enak disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu (QS Al-Haqqah [69]: 24), yakni hari-hari puasa. Allah tidak berfirman saksikanlah atau dengarlah, karena itulah balasan yang sesuai atas puasa yang telah mereka lakukan. Allah berfirman, Pada hari kiamat ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini (QS Al-A’raf [7]: 51); Demikianlah telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, tetapi kamu melupakannya, maka pada hari ini kamu pun dilupakan (QS Thaha [20]: 126); Jika kamu mengejek Kami, maka Kami pun akan mengejek kamu sebagaimana kamu mengejek Kami (QS Hud [11]: 38); Sesungguhnya orang-orang yang berdosa adalah mereka yang menertawakan orang-orang yang beriman (QS Al-Muthaffifin [83]: 29). Dalam ayat selanjutnya, Allah berfirman tentang balasan untuk orang-orang kafir, Pada hari ini, orang-orang beriman menertawakan orang-orang kafir (QS Al-Muthaffifin [83]: 34)). Lalu Dia menyempurnakan firman-Nya, Sesungguhnya orang-orang kafir telah diberi balasan atas apa yang dahulu mereka lakukan (QS Al-Muthaffifin [83]: 36). Allah membalas olok-olok orang-orang munafiq kepada orang-orang mukmin sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Allah membalas olok-olok mereka (QS Al-Baqarah [2]: 15). Ayat ini jawaban atas ayat sebelumnya, Sesungguhnya kami hanya mengolok-olok. (QS Al-Baqarah [2]: 14) ^ fl i Sebagian syaikh mimpi bertemu Muhyiddin Ibnu ‘Arabi, lalu mereka bertanya, “Apa yang Allah lakukan kepadamu?” Ibnu ‘Arabi menjawab, “Dia mengasihiku dan berkata kepadaku, ‘Makanlah hai orang yang tidak makan! Minumlah hai orang yang tidak minum!'” Mengapa Allah tidak mengatakan, “Makanlah, hai orang yang menghabiskan malam dengan membaca Al-Qurvan! Minumlah, hai orang yang melewati hari-hari melelahkan!” Inilah kesesuaian yang dianugerahkan Allah sebagai hikmah, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dia mengurutkan sesuatu sesuai dengan urutannya, dan hanya sedikit pengetahuan tentang keruntutan yang kita peroleh. Ketika Ibnu ‘Arabi membicarakan tentang astronomi, ia berkata, “Sesungguhnya Allah tidak membuat sesuatu itu sia-sia, seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Ya Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan semua ini sia-sia, Maha suci Engkau (QS Ah ‘Imran [3]: 191); Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya itu tanpa hikmah. Itu adalah anggapan orang-orang kafir (QS Shad [38]: 27); Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya dengan bermain-main (QS Al-Anbiya’ [21]: 16).” Setiap wujud pasti mengandung hikmah bagi orang yang mengetahuinya, yang tidak akan diketahui orang bodoh. Dua wujud tidak akan menyatu dan bergabung, kecuali jika ada kesesuaian antara keduanya, baik tampak maupun tidak tampak. Apabila hal tersebut dicari dengan teliti, niscaya akan kelihatan. Seperti hikayat Imam al-Ghazali, salah seorang pemimpin dan penghulu tariqah. Al-Ghazali bisa melihat kesesuaian itu dan mengemukakannya. Pada suatu hari, ia melihat merpati dan gagak di Quds, keduanya saling mengendus, berkasih sayang, dan tidak bermusuhan. Al-Ghazali kemudian berkata, “Keduanya berkumpul karena ada kesesuaian antara keduanya.” Ia menunjuk kedua burung itu dengan jari, lalu kedua burung itu berjalan bersama. Lalu masing-masing terbang. Begitupula seorang penghulu syaikh di wilayah barat, Abu al-Naja yang terkenal dengan nama Abu Madyan, telah mengalami hal ini. Pada suatu hari, Abu Madyan menemukan suatu ide. Lalu Abu Madyan bertemu seseorang yang seide dengannya, tetapi ia merasa tidak senang dengan orang itu, maka ia menanyainya, dan ternyata orang itu musyrik. Karena Abu Madyan mengerti ilmu munasabah, maka ia meninggalkan orang itu. Munasabah (kesesuaian) ada dalam hubungan antara segala sesuatu, dan pengetahuan tentangnya merupakan maqam pengikut tariqah yang khawwash (khusus). Munasabah bersifat sangat samar dan ada dalam segala sesuatu, bahkan antara sebuah nama dan yang mempunyai nama itu. Meskipun Abu Zaid al-Suhaili tampak asing bagi para pengikut tariqah ini, tetapi dalam kitab Al-Ma’arif wa al-I’lam, ia telah menunjukkan munasabah dalam nama Nabi Saw., “Muhammad” dan “Ahmad”. Dia menyatakan bahwa ada munasabah (kesesuaian) antara perbuatan dan akhlak Nabi Saw. dengan nama “Muhammad” atau “Ahmad”. Orang-orang yang berbicara tentang munasabah biasanya adalah para tokoh dari kalangan orang-orang yang dekat dengan Allah, beradab tinggi, serta menyibukkan diri dan hal mereka di jalan Allah.. Demikian penjelasan Ibnu ‘Arabi dalam kitab Mawaai’ al-Nujum. Dalam bab 184 kitab Al-Futuhat al-Makiyyah, Ibnu ‘Arabi menjelaskan bahwa karamah merupakan kebenaran dari nama Allah, Al-Birru (Yang Maha Baik) dan hanya muncul pada hamba-hamba-Nya yang baik sebagai pahala yang setimpal dengan amal mereka. Sesungguhnya munasabah menuntut adanya karamah meskipun tidak ada tuntutan bagi orang yang mempunyai karamah. Karamah ada dua macam, hissiyah dan ma’nawiyah. Orang-orang awam hanya bisa mengetahui karamah yang bisa diindra (hissiyah), contohnya berbicara lewat hati, memberitahu hal-hal gaib yang sudah terjadi dan kejadian yang akan terjadi, memperoleh rezeki dari alam, berjalan di atas air, menundukkan udara, melipat bumi, menutup penglihatan, terkabulnya doa seketika, dan lain-lain. Adapun karamah ma’nawiyah hanya diketahui oleh orang-orang khawwas. Hal itu karena orang-orang khaiuwas selalu menjaga etika syariat, berakhlak mulia, menghindari akhlak yang buruk, selalu menunaikan kewajiban secara mutlak dan tepat waktu, segera mengerjakan kebaikan, menghilangkan dengki, iri, dendam, dan buruk sangka terhadap orang lain dari dalam hati, menyucikan hati dari segenap sifat tercela dan menghiasinya dengan selalu memelihara jiwa, menjaga hak-hak Allah dalam dirinya dan dalam segala sesuatu, mencari jejak-jejak Allah dalam hatinya, memelihara jiwa dari masuk dan keluarnya jejak-jejak itu. Semua itu adalah karamah para wah yang bersifat ma’nawi yang tidak bisa dimasuki makr dan istidraj. Karamah ma’nawi menunjukkan bahwa wah yang memilikinya telah memenuhi janji, mempunyai niat yang baik, ridha dengan ketentuan Allah terhadap apa yang hilang dan sesuatu yang dibencinya. Karamah semacam ini hanya bisa dimiliki oleh para malaikat yang dekat dengan Allah dan manusia-manusia terbaik pilihan-Nya Karamah yang bisa diketahui oleh orang awam bisa dimasuki makr yang tersembunyi. Karena itu, menurut kami, karamah harus bisa menghasilkan sikap istiqamah atau istiqamah akan menghasilkan karamah. Jika tidak demikian, tidak bisa disebut karamah. Jika karamah bisa menghasilkan sikap istiqamah, maka mungkin Allah menjadikan karamah itu sebagai pahala dan balasan atas perbuatanmu. Dengan kata lain, Allah memberikan perhitungan kepadamu dengan karamah ma’nawiyah. Karamah ma’nawiyah tidak mungkin dimasuki makr yang tersembunyi Kekuatan dan kemuliaan ilmu memberimu kemampuan untuk menangkal makr sehingga tidak masuk ke dalam karamah ma’nawiyyah. Hukum-hukum syara’ tidak bisa dimasuki perangkap makr. Karena hukum-hukum syara’ merupakan sarana yang jelas untuk mendapat-kan kebahagiaan, sedang ilmu menjagamu agar tidak sombong dengan perbuatanmu. Salah satu kelebihan ilmu adalah ia menjagamu, dan apabila ia menjagamu, maka kamu akan selamat dari kesombongan, mendekatkanmu kepada Allah, dan memberitahukan kepadamu bahwa pertolongan dan petunjuk-Nya akan muncul dari dirimu. Ilmu akan menjaga hukum-hukum syara’. Apabila muncul karamah dalam diri seorang wah, ia takut kepada Allah dan memin ta-Nya untuk menyembunyikan hal-hal luar biasa itu dan agar ia tidak dibedakan dari orang kebanyakan dengan karamah yang diberikan kepadanya kecuali ilmu, karena ilmu adalah suatu kebutuhan. Dengan ilmu orang akan bermanfaat meskipun belum sempat mengamalkannya. Sesungguhnya tidak sama orang-orang yang tahu dengan orang orang-orang yang tidak tahu. Para ulama adalah orang-orang yang percaya akan adanya percampuran (antara ilmu dan karamah). Karamah hanya diberikan oleh Allah untuk orang-orang yang taat kepada-Nya karena mereka belum melihat wajah Tuhan dalam dirinya Karamah mereka yang paling tinggi adalah ilmu, karena dunia adalah tempat ilmu, sedangkan kejadian-kejadian luar biasa sesungguhnya tidak bertempat di dunia. Jadi, kejadian luar biasa tidak bisa disebut karamah, kecuali disertai dengan ilmu tentang Allah (ma’rifat), tidak cukup hanya dengan kejadian luar biasa itu saja. Itulah yang disebut ilmu. Jadi, karamah ilahi adalah ilmu tentang Allah (ma’rifat) yang dianugerahkan Allah kepada para wali. Abu Yazid r.a. pernah ditanya tentang kemampuan melipat (menempuh jarak dalam sekejap) bumi. Ia menjawab, “Itu tidak seberapa, karena iblis juga menempuh jarak dari ujung barat sampai timur hanya dalam sekejap, padahal ia tidak memiliki tempat di sisi Allah.”Selanjutnya Abu Yazid ditanya tentang orang yang mampu melayang di udara. Ia menjawab, “Burung juga bisa terbang di udara, padahal di sisi Allah seorang mukmin lebih mulia daripada burung. Bagaimana mungkin apa yang bisa dilakukan burung bisa disebut karamah.” Demikianlah penjelasan Abu Yazid, lalu ia berkata, “Tuhanku, sesungguhnya suatu kaum meminta Engkau memberikan apa yang mereka sebutkan, sehingga dengan itu Engkau membuat mereka sibuk dan ahli. Ya Allah, meskipun Engkau menjadikanku ahli tentang sesuatu, tapi berilah aku kemampuan untuk mengetahui rahasia-Mu.” Abu Yazid hanya meminta ilmu, karena ilmu merupakan hadiah dan karamah yang paling mulia. Meskipun dengan ilmu kamu bisa berhujjah, tetapi ilmu akan menjadikanmu introspektif dan mengetahui apa yang baik dan buruk bagimu serta apa yang menjadi milik-Nya. Allah tidak pernah memerintahkan Nabinya untuk meminta tambahan sesuatu kecuali minta ditambah ilmu. Karena semua kebaikan terletak di dalam ilmu. Ilmu adalah karamah yang paling besar. Orang berilmu yang malas melaksanakan ibadah sunnah lebih baik daripada orang bodoh yang rajin melaksanakan ibadah sunnah. Banyak cara mendapatkan ilmu. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu tentang Allah, hari akhir, sebab-sebab dan tujuan dunia diaptakan, sehingga manusia bisa memikirkan asal-usulnya dan mengenal diri serta aktivitasnya. Ilmu merupakan sifat segala sesuatu yang bersifat Ilahiyah. Ilmu adalah rahmat Allah yang paling mulia, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (QS Al-Kahfi [18]: 65). Ilmu adalah sumber rahmat. Saya telah menjelaskan makna karamah. Karamah adalah pengetahuan ilahiyah yang diberikan kepadamu sebagai karamah dari-Nya. Dengan karamah itu, Allah tidak mengurangi pahala akhiratmu dan karamah itu juga bukan balasan atas perbuatanmu, tetapi balasan karena kamu mendatangi Allah. Kamu mendatangi Allah karena ketidaktahuanmu, karena kamu tak melihatnya di awal kedatanganmu. Hal ini pernah terjadi pada Abu Yazid, ketika ia keluar mencari Allah di Bustam untuk pertama kali. Abu Yazid bertemu seseorang dan ia ditanya, “Wahai Abu Yazid, apa yang kau cari?” Abu Yazid menjawab, “Allah.” Orang itu berkata lagi, “Yang kau cari itu kau tinggalkan di Bustam.” Dari jawaban itu, Abu Yazid sadar mengapa ia mencari Allah padahal Dia telah berfirman, Dia bersamamu di mana pun kamu berada. Jadi dalam hal ini, tidak ada ilmu dan tidak ada iman. Apabila Allah mengharamkanmu untuk mencapai ilmu musyahadah, itu bukan berarti keimananmu kepada-Nya lebih kecil. Oleh karena itu, kami mengatakan bahwa hanya orang yang tidak mengetahui Allah, yang berusaha mencari-Nya. Kelompok orang seperti ini berbuat karena Allah dan untuk mencari-Nya. Mereka adalah orang-orang yang mendatangi Allah, sehingga Dia mendekat kepada mereka sebagai-mana mereka mendekati-Nya, dan Dia memberitahu mereka bahwa kedatangan mereka itu dibolehkan secara khusus, meskipun mereka belum mengetahui hal itu dari-Nya melalui pemberitahuan kepada mereka karena dikhawatirkan ada makr ilahi di dalamnya, atau akan mengurangi pahala akhirat. Mereka mengharapkan akhirat karena mereka belum diberi tatkala di dunia. Allah hanya menyatakan kebenaran dan Dia memberi petunjuk. Demikianlah penjelasan Muhyiddin Ibnu ‘Arabi r.a.

KITAB JAMI, KAROMATUL AULIYA BAGIAN 14 Wali Yang Bisa Dihitung dan Tak Bisa Dihitung

1. Anbiya’ (para nabi). Allah menganugerahkan kenabian kepada mereka, yaitu orang-orang yang dipilih Allah untuk diri-Nya dan untuk mengabdi kepada-Nya, hamba-hamba yang dikhususkan oleh-Nya di hadapan Allah, disyariatkan untuk beribadah dan tidak diperintah untuk melakukan ibadah selain yang diwajibkan. Maqam kenabian merupakan maqam kewalian yang khusus, mereka memperoleh ketetapan tentang perkara-perkara yang dihalalkan dan diharamkan oleh Allah yang khusus untuk mereka bukan untuk yang lainnya. Dunia membutuhkan hal itu, karena dunia merupakan tempat mati dan hidup. Allah berfirman, Dialah yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian (QS Al-Mulk [67]: 2). Taklif (syariat) adalah ujian. Kewalian adalah kenabian yang bersifat umum, sedangkan kenabian yang diangkat oleh Allah dengan membawa syariat adalah kenabian yang bersifat khusus. 2. Rasul (para rasul yang diberi risalah oleh Allah). Yaitu, para nabi yang diutus untuk sekelompok umat manusia atau kepada seluruh umat manusia. Hanya Nabi Muhammad Saw. yang diutus untuk seluruh umat manusia untuk menyampaikan perintah Allah, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Hai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan Tuhan kepadamu (QS Al-Maidah [5]: 67); Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan risalah (QS Al-Maidah [5]: 99). Maqam penyampaian itu dinyatakan sebagai risalah bukan yang lain. Sayyid Muhyiddin tidak membicarakan seputar maaam kenabian dan kerasulan ini, karena ia merasa bukan nabi atau rasul. Ia menegaskan, “Haram bagiku membicarakannya, karena kami hanya membicarakan apa yang pernah kami alami. Kami bisa berbicara tentang selain kedua maqam ini, karena kami pernah mengalaminya dan Allah tidak melarangnya.” 3. Shiddiqun (orang-orang yang meyakini Allah dan Rasul-Nya). Allah telah menganugerahi mereka keyakinan kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itulah orang-orang shiddiqin (QS Al-Hadid [57]: 19). Shiddiq (bentuk tunggal dari shiddiqun) adalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya karena perkataan yang disampaikan Rasul, bukan karena dalil cahaya keimanan yang ada dalam hati yang mencegahnya untuk meragukan perkataan Rasul. Tidak ada maaam dan kedudukan di antara kenabian yang membawa syariat dan shiddiqah. Barangsiapa yang menapaki jejak Shiddiqun, berarti ia menapaki kenabian. Barangsiapa mengaku mendapatkan kenabian dengan membawa syariat setelah Nabi Muhammad Saw., maka ia telah berdusta dan kafir terhadap apa yang dibawa oleh orang jujur yaitu Rasulullah Saw. Meskipun begitu, maqam qurbah ada di atas maqam shiddiqah dan di bawah maqam kenabian yang membawa syariat. Sayyid Muhyiddin r.a. berkata, “Maqam yang telah kami tetapkan berada di antara maqam kenabian yang membawa syariat dan maaam shiddiaah, adalah maqam aurbah yang khusus untuk Afrad. Kedudukan (Afrad) di mata Allah lebih rendah dibanding maaam kenabian yang membawa syariat dan berada di atas maqam shiddiaah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya rahasia yang diukirkan pada hati Abu Bakar yang karenanya para Shiddiq dimuliakan. Tidak ada seorang pun di antara Abu Bakar dan Nabi Muhammad Saw., karena Abu Bakar adalah teman yang meyakini kebenarannya dan tepercaya.” 4. Syuhada’ (orang-orang yang syahid). Allah menganugerahkan ‘kesaksian’ kepada mereka, yakni orang-orang yang dekat dengan Allah, yang selalu menghadap Allah dengan pengetahuan yang luas tentang-Nya. Allah berfirman, Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu juga menyatakan hal itu (QS Ah ‘Imran [3]: 18). Allah mengumpulkan mereka dengan para malaikat dalam menegakkan kesaksian. Mereka adalah yang bertauhid kepada Allah sebagai Zat Yang Maha Menjaga dan Azali. Mereka adalah orang-orang yang bertauhid. Kedudukan mereka menakjubkan dan keadaan mereka aneh. Mereka adalah saksi-saksi yang dimaksud dalam ayat tersebut, orang-orang yang mengetahui Allah dan beriman setelah mengetahui firman Allah. Nur seorang Shiddiq lebih sempurna daripada nur seorang Syahid, karena tauhid seorang Syahid disebabkan oleh ilmu bukan keimanan, sedangkan tauhid seorang Shiddiq disebabkan oleh iman. Jadi, maqam Syahid berada di atas maqam Shiddiq dari segi ilmu, sebaliknya maaam Shiddiq berada di atas maqam Syahid dari segi iman dan keyakinan. 5. Shalihun (orang-orang yang saleh). Allah menganugerahkan kesalehan kepada mereka dan menempatkan kedudukan mereka setelah Syuhada, pada tingkat keempat. Setiap nabi adalah orang yang saleh dan ia mengaku sebagai orang yang saleh sekaligus nabi Tingkatan ini merupakan tingkatan khusus dalam kenabian, tetapi terkadang kesalehan juga dipunyai oleh bukan nabi, Shadiq, atau Syahid, hanya saja kesalehan para nabi dimulai sebelum mereka. Orang-orang saleh adalah orang-orang yang tidak mempunyai cacat dalam perbuatan dan keimanan mereka kepada apa yang berasal dari Allah. Apabila ada cacat, maka batallah kedudukannya sebagai orang saleh. Kesalehan seperti inilah yang disukai para nabi. Jadi, setiap orang yang tidak ada cacat dalam keyakinan, kesaksian, dan kenabiannya, maka ia termasuk orang yang saleh. 6. Muslimun wa Muslimat (orang-orang muslim). Allah menganugerahi mereka islam, yaitu ketundukan secara khusus kepada apa yang berasal dari Allah, bukan yang lain. Jadi, seorang hamba yang berserah diri kepada segala kewajiban, syarat, dan kaidah Allah disebut muslim. Apabila ada sedikit syarat yang tidak terpenuhi, maka ia bukan Muslim. Rasulullah Saw. bersabda, “Seorang muslim adalah orang yang lidah dan tangannya tidak menyakiti muslim lainnya.” Makna “tangan” di sini adalah kekuasaan, artinya kekuasaan yang dimiliki seorang muslim tidak mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan Islam atau menentang hukum Allah terhadap muslim lainnya. Kata “lidah” disebutkan karena terkadang lidah lebih menyakitkan daripada tindakan. Nabi Saw. tidak menganggap seseorang sebagai muslim, kecuali jika ia menjaga diri dari menyakiti muslim lainnya. 7. Mukminun wa Mukminat (orang-orang mukmin). Allah menganugerahi mereka iman, baik dalam perkataan, perbuatan, maupun keyakinan. Menurut etimologi bahasa dan syariat, esensi iman adalah keyakinan. Sedangkan makna iman dalam perkataan dan perbuatan didasarkan pada syariat, bukan secara bahasa. Jadi, orang mukmin adalah orang yang perkataan dan perbuatannya sesuai dengan apa yang diyakininya tentang perkataan dan perbuatan itu. Oleh karena itu, Allah berfirman mengenai orang-orang mukmin, Sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami” (QS Al-Tahrim [66]: 8). Maksud “cahaya” di sini adalah amal saleh mereka di dunia di hadapan Allah. Mereka adalah orang-orang yang dijanjikan Allah akan mendapat ampunan dan pahala yang besar. Rasulullah Saw. juga bersabda, “Orang mukmin adalah orang yang dipercaya manusia untuk menjaga harta dan jiwa mereka.” Dalam hadis lain, Rasulullah Saw. bersabda, “Orang mukmin adalah orang yang tetangganya aman dari kejelekannya.” Dalam kedua hadis tersebut, Rasulullah tidak menyebutkan “manusia” dan “tetangga” yang mukmin atau muslim, tetapi menyebutkannya secara umum tanpa batasan. Sedangkan dalam hadis tentang orang muslim sebelumnya, Rasulullah menyebutkan bahwa orang muslim adalah orang yang lidah dan tangannya tidak menyakiti “muslim lainnya”, bukan manusia secara umum Kita tahu bahwa iman mempunyai sifat khusus yaitu pembenaran secara taklid tanpa ada dahi sehingga bisa dibedakan antara iman dan ilmu. Perlu diketahui, bahwa pengertian mukmin secara terminologis adalah orang yang menempuh jalan Allah berdasarkan syariat Seorang mukmin memiliki dua tanda dalam dirinya. Kalau ia mempunyainya, maka ia termasuk golongan mukmin. Tanda pertama, meyakini hal-hal gaib tanpa keraguan seperti menyaksikannya secara langsung. Tanda kedua, iman yang ada dalam diri seorang mukmin mempengaruhi semua orang, sehingga mereka mempercayakan harta, jiwa dan keluarga mereka secara penuh kepadanya tanpa kekhawatiran sedikit pun. Semua itu merupakan bukti bahwa ia termasuk orang-orang mukmin. Kalau dua tanda tersebut tidak ada dalam diri seseorang, maka ia tidak termasuk golongan orang mukmin sebagaimana yang telah kami sebutkan. 8. Qanitun wa Qanitat (orang-orang yang taat kepada Allah). Allah menganugerahi mereka kepatuhan, yakni menaati semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Allah berfirman. Peliharalah segala shalatmu, dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’ (QS Al-Baqarah [2]: 238). Artinya, jadilah orang-orang yang taat. Dalam ayat lain, Allah berfirman, Laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya. (QS Al-Ahzab [33]: 35) Sayyid Muhyiddin bercerita, “Suatu hari, saya bertemu seorang pengemis dan di sisi saya ada seorang hamba yang saleh bernama Al-Hajj Madur Yusuf al-Astaji, seorang dari golongan umiyyin yang mempergunakan seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Allah. Pengemis itu berkata, ‘Siapa yang ingin bersedekah untuk mendapatkan ridha Allah/ Ada seorang laki-laki membuka tempat uang berisi dirham yang dimilikinya, memilih beberapa dirham pecahan kecil, lalu memberikannya kepada si pengemis. Al-Hajj Madur memperhatikan lelaki itu, lalu berkata kepada saya, ‘Wahai Fulan, tahukah kau mengapa lelaki itu memilih-milih dirham yang akan diberikannya kepada si pengemis?’ Saya menjawab, ‘Tidak.’ Al-Hajj lalu berkata, ‘Ia adalah orang yang saleh di sisi Allah, sebab ia bersedekah kepada si pengemis karena mengharap ridha Allah, maka nilai dari apa yang disedekahkannya karena Allah itu tergantung kepada Allah.” Akan tetapi menurut kami, salah satu syarat orang yang amit (patuh) kepada Allah adalah ia menaati Allah karena ia hamba Allah, bukan karena mengharapkan ganjaran dan pahala yang dijanjikan Allah bagi orang yang taat kepada-Nya. Adapun ganjaran yang diterima seorang aanil tergantung pada apa yang mendorongnya untuk taat kepada Allah, bukan pada keadaan yang mengharuskannya untuk taat. 9. Shadiqun wa Shadiqat (orang-orang yang benar dan jujur). Allah menganugerahi mereka kejujuran dalam ucapan dan keadaan mereka. Allah berfirman. Orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. (QS Al-Ahzab [33]: 23) 10. Shabirun wa Shabirat (orang-orang yang sabar). Allah menganugerahi mereka kesabaran. Mereka adalah orang-orang yang memenjarakan diri kepada Allah untuk selalu menaati-Nya tanpa batas waktu, sehingga Allah juga melimpahkan pahala tanpa batas waktu atas perbuatan mereka, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Sesungguhnya hanya orang-orang sabarlah yang dicukupkan pahalanya tanpa batas (QS Al-Zumar [39]: 10). Kesabaran mereka tak terbatas waktu dan menyeluruh di setiap tempat yang menuntut mereka sabar. Sebagaimana mereka mengikat diri untuk selalu mengerjakan perintah Allah, mereka juga mengikat diri untuk selalu meninggalkan larangan-Nya. Ketika datang cobaan dan bahaya, mereka juga manahan diri untuk tidak meminta pertolongan, syafaat, dan bantuan kepada selain Allah. Kesabaran mereka tidak ternoda oleh rasa sakit yang menyebabkan mereka mengadu kepada Allah agar melenyapkan cobaan itu. Tidakkah kalian lihat Nabi Ayyub a.s. ketika memohon kepada Allah untuk menghilangkan derita yang dialaminya. Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara yang penyayang (QS Al-Anbiya’ [21]: 83). Nabi Ayyub mengadukan penyakitnya kepada Allah dengan berkata, Engkau Maha Penyayang di antara yang penyayang. Dalam doa ini, Ayyub mengungkapkan sebab-sebab penderitaannya dan mengadukannya kepada Tuhan agar menghilangkan derita yang menimpanya. Tuhan mengabulkan doanya dan menghilangkan penderitaan itu, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Maka Kami pun mengabulkan permohonannya (QS Al-Anbiya’ [21]: 84). Allah juga menguji kesabaran Ayyub dalam firman-Nya, Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat kepada Tuhannya (QS Shad [38]: 44). Artinya, Ayyub kembali kepada Allah dalam menghadapi cobaan-Nya. Allah juga memuji ibadah Ayyub. Bila doa yang dipanjatkan Ayyub kepada Allah agar kemalangan dan cobaan itu hilang bertentangan dengan kesabaran yang disyariatkan, maka Allah tidak akan memuji Ayyub sebagai orang yang sabar, padahal Dia sungguh-sungguh memuji Ayyub. Bahkan menurut kami, termasuk akhlak yang buruk terhadap Allah, jika seorang hamba tidak memohon kepada-Nya untuk menghilangkan penderitaannya, karena sikap seperti itu mengandung kesenangan melawan kekuasaan ilahiah dengan kesabaran dan kekuatan yang diperolehnya. Seorang ‘arif (yang mengetahui dan mengenal Allah) berkata, “Allah telah membuatku lapar, sehingga aku menangis.” Seorang yang ‘arif, meskipun ia memperoleh kekuatan dan kesabaran, ia tetap merasa lemah, beribadah, dan berbuat baik, karena semua kekuatan adalah milik Allah, maka ia memohon kepada Allah untuk melenyapkan penderitaannya atau menjaganya agar tidak berburuk sangka terhadap penderitaan yang menimpanya. Sikap seperti ini ini tidak berlawanan dengan rasa ridha terhadap qaadha (ketentuan Allah sebelum jaman azali), karena cobaan berupa penderitaan mengarah pada qadha. Ia rela dengan ketentuan Allah dan memohon kepada-Nya untuk menghilangkan penderitaan yang sudah digariskan oleh-Nya itu, sehingga ia menjadi orang yang ridha dan sabar. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang sabar yang dipuji oleh Allah. Ada seorang sayyid menangis karena lapar. Lalu ia ditanya, “Kamu siapa? Apakah kamu menangis karena lapar?” Ia menjawab, “Allah telah membuatku lapar sehingga aku menangis.” Ini adalah ucapan orang yang mengetahui Allah, berjalan lurus menuju Allah, serta mengenal diri dan Tuhannya. 11. Khasyi’un wa Khasyi’at (orang-orang yang selalu khusyuk). Mereka dikaruniai kekhusyukan dalam beribadah kepada Allah. Kekua-saan Allah tampak dalam hati mereka di dunia. 12. Mutashaddiqun wa Mutashaddiqat (orang-orang yang suka bersedekah). Allah menganugerahi mereka kedermawanan, karena mereka selalu mendermakan karunia Allah kepada makhluk Allah yang membutuhkannya. Allah menjadikan makhluk miskin agar mereka membutuhkan-Nya. 13. Shaimun wa Shaimat (orang-orang yang selalu berpuasa). Allah menganugerahi mereka kemampuan menahan diri dari segala sesuatu yang menyebabkan mereka mulia di sisi Allah. Allah memerintahkan mereka untuk menahan diri dan anggota badan mereka. Perintah Allah ada yang wajib dan ada yang sunnah. 14 Hafizhun wa Hafizhat (orang-orang yang selalu menjaga aturan-aturan Allah). Mereka dianugerahi penjagaan ilahiyah, sehingga mereka senantiasa menjaga hal-hal yang harus mereka jaga. Mereka terdiri dari dua tingkatan, yang khusus (elit spiritual) yaitu yang selalu menjaga kemaluan mereka, dan yang awam yaitu yang selalu memelihara aturan-aturan Allah. 15. Dzakirun wa Dzakirat (orang-orang yang banyak berzikir). Allah menganugerahi mereka ilham zikir agar senantiasa ingat kepada Allah sehingga Allah pun selalu mengingat mereka. Allah berfirman. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu (QS Al-Baqarah [2]: 152). Dalam hadis qudsi Allah berfirman, “Barangsiapa mengingat-Ku dalam dirinya, niscaya Aku juga mengingatnya dalam diri-Ku. Barangsiapa mengingat-Ku dalam seluruh zikirnya, niscaya aku juga mengingatnya lebih dari itu.” Dalam hadis qudsi lain Allah berfirman, “Barangsiapa mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta.” Firman-Nya yang lain menyatakan. Katakanlah hai Muhammad: “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihmu (QS Ali Tiruan [3]: 31). Zikir adalah maqam yang tertinggi, karena itu orang yang selalu berzikir memiliki derajat di atas maqam lainnya. 16. Taibun wa Taibat (orang-orang yang selalu bertobat). Allah menganugerahi mereka kemampuan bertobat dalam segala hal atau dalam satu hal yang berlaku dalam segala maqam. Mereka selalu bertaubat kepada Allah dari potensi mukhalafah (kemungkinan untuk menentang Allah) yang ada dalam diri manusia. Dalam sehari, bisa seribu kali mereka bertobat kepada Allah dari potensi mukhalafah ini. Orang-orang yang bertobat adalah kekasih Allah berdasarkan nash Al-Qur’an yang pasti benar. Tidak ada kebatilan dalam Al-Qur’an baik di depan maupun di belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (QS Fushshilat[41]:42) 17. Mutathahhirun wa Mutathahhirat (orang-orang yang selalu menyucikan diri). Allah menganugerahi mereka kesucian, karena mereka selalu menyucikan diri. Penyucian diri mereka bersifat hakiki, tidak sekedar tindakan praktis bersua, yaitu sifat yang di firmankan Allah, Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang menyucikan diri (QS Al-Baqarah [2]: 222). Orang-orang yang menyucikan diri, penempuh jalan ini, adalah hamba-hamba Allah yang menjadi wali Mereka menyucikan diri dari segala sifat yang menghalanginya untuk masuk menuju Tuhannya. Oleh karena itu, disyariatkan bersuci sebelum menunaikan shalat, karena shalat adalah jalan masuk untuk bermunajat kepada Tuhan. 18. Hamidun wa Hamidat (orang-orang yang selalu memuji Allah). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu memuji-Nya. Mereka adalah orang-orang yang memperoleh hasil dari perbuatannya. Allah berfirman. Dan kepada Allah-lah kembalinya segala urusan (QS Al-Hajj [22]: 41). Orang yang selalu memuji Allah adalah orang yang berpandangan bahwa pujian bersifat universal, bisa dilakukan oleh seluruh makhluk, baik ia ahlullah maupun bukan, baik yang dipujinya itu Allah maupun sesama makhluk, karena pada hakikatnya seluruh pujian akan kembali kepada Allah, tidak kepada selain-Nya. Segala puji hanya milik Allah, bagaimana pun adanya. Al-Hamidun wa al-Hamidat yang dipuji oleh Allah dalam Al-Quran adalah orang-orang yang selalu memperhatikan tujuan segala perbuatan sejak awal, maka sejak awal mereka telah menentukan bahwa segala pujian yang mereka lakukan kembali kepada Allah. Mereka adalah orang-orang yang memuji penyak-sian mereka akan Allah dalam segenap pengungkapan diri-Nya (syuhud) melalui lisan kebenaran. 19. Samun (orang-orang yang mengadakan pengembaraan spiritual), yakni orang-orang yang berjihad dijalan Allah (Mujahidun). Rasulullah Saw. bersabda, “Perjalanan umatku adalah berjihad di jalan Allah, dan Allah berfirman, Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat, yang beribadah, yang memuji Allah, yang mengembara, yang rukuk, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat mungkar, dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu (QS Al-Taubah [9]: 112). Pengembaraan di bumi ini dilakukan untuk mengambil pelajaran dari bekas-bekas peninggalan masa lalu dan umat-umat terdahulu yang telah musnah. Oleh karena itu, orang-orang yang memperoleh ma’rifatullah mengetahui bahwa bumi tumbuh dan berkembang karena selalu berzikir kepada Allah. Saihun adalah adalah orang-orang yang suka berbuat baik dan mengutamakan hak orang lain. Mereka melihat bumi ini tidak pernah sepi dari orang-orang yang berzikir kepada Allah. Kerusakan peradaban tidak akan terjadi di bumi, jika selalu ada orang yang berzikir. Sebagian orang ‘arif mewajibkan diri untuk mengembara ke padang-padang pasir yang belum dijamah kecuali oleh orang-orang seperti mereka, pantai-pantai, lembah-lembah yang dalam, pegunungan, dan padang rumput, sebagai bakti mereka kepada orang-orang yang ada di sana. Mereka juga mewajibkan diri berjihad di daerah kafir yang tidak menyembah Allah. Oleh karena itu, Nabi menetapkan jihad sebagai perjalanan umat Islam. Jika di suatu daerah, tidak ada orang yang kafir dan tidak ada orang yang berzikir, itu lebih sedikit kesedihan dan kesulitannya dibanding daerah yang menyembah selain Allah dan kafir kepada-Nya yang disebut daerah musyrik dan kafir. Perjalanan untuk berjihad di suatu daerah lebih utama daripada perjalanan untuk selain jihad, dengan syarat harus memperingatkan masyarakat daerah tersebut untuk mengingat kepada Allah. Karena mengingat Allah dalam berjihad lebih utama daripada bertemu musuh dan menyerangnya, dalam artian menegakkan kalimat Allah di tempat-tempat orang yang menyembah selain Allah, mereka itulah para Saihun. Sayyid Muhyiddin menjelaskan, “Saya pernah bertemu dengan salah seorang tokoh mereka, Yusuf Maghawari Al-Jala. Ia telah mengembara di daerah-daerah kafir selama 20 tahun. Ahmad bin Humam al-Syiqaq di Andalusia adalah seorang pemuda yang menetap di daerah musuh dan termasuk pemuka golongan ini, meskipun ia masih muda karena sejak usianya belum mencapai baligh, ia telah memutuskan untuk beribadah kepada Allah dan tetap istiqamah dalam keadaan seperti itu sampai wafat.” 20. Raki’un wa Raki’at (orang-orang yang selalu rukuk). Dalam kitab-Nya yang mulia (QS Al-Taubah [9]: 112), Allah menyifati mereka sebagai orang-orang yang selalu rukuk, yakni selalu tunduk dan merendahkan diri kepada Allah. 21. Sajidun (orang-orang yang selalu sujud). Allah menganugerahi mereka ketundukan hati. Mereka tidak sombong, baik di dunia maupun di akhirat, suatu hal untuk mendekatkan diri kepada Allah dan merupakan sifat orang-orang yang selalu mendekatkan diri kepada-Nya. Sujud dilakukan untuk bersatu dan menyaksikan Allah Swt. secara langsung. Oleh karena itu, Allah berfirman, Dan sujudlah dan mendekatlah (kepada Tuhan) (QS Al-‘Alaq [96]: 19). Maksudnya, mendekat kepada Allah dengan penuh penghormatan, ketundukan, dan penyerahan diri. Sebagaimana seorang raja berkata kepada seseorang yang menghadapnya lalu mendekatinya sambil berlutut di hadapannya, “Mendekatlah, mendekatlah,” sampai posisinya sangat dekat dengan raja. Jadi firman Allah di atas mengandung makna “mendekatlah dalam keadaan sujud”. Untuk memberitahukan bahwa bahwa Allah telah menyaksikan orang yang sujud kepada-Nya di hadapan-Nya, Dia berkata, Mendekatlah, agar ia semakin mendekat kepada-Nya. Sebagaimana difirmankan Allah dalam hadis qudsi, “Barangsiapa mendekat kepada-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya satu hasta.” Jadi, mendekatnya seorang hamba kepada Tuhan yang dilakukan karena perintah-Nya merupakan ketaatan dan penghormatannya yang paling besar dan sempurna kepada Tuhan, karena berarti ia melaksanakan perintah tuannya berdasarkan penyingkapan spiritual. Inilah sujudnya orang-orang ‘arif yang telah disediakan bagi mereka dan orang-orang seperti mereka rumah Allah (ka’bah), sebagaimana yang dinyatakan dalam perintah Allah kepada Nabi Muhammad, Dan sucikanlah rumah-Ku ini untuk orang-orang yang tawaf, orang-orang yang beribadah, serta orang-orang yang rukuk dan sujud (OS Al-Hajj [22]: 26). Dalam ayat lain, Allah berkata kepada Nabi Saw, Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu termasuk orang-orang yang bersujud. (QS Al-Hijr [15]: 98) 22. Amirun bi al-Ma’ruf (orang-orang yang selalu menyuruh kepada yang ma’ruf (yang dikenal/diketahui/diakui; kebajikan). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu mengajak kepada yang ma’ruf atau mengajak kepada Allah. Tidak ada perbedaan antara mengajak kepada yang ma’ruf dan mengajak kepada Allah, karena Allah adalah ma’ruf dan tak seorang pun mengingkari hal ini. Allah berfirman, Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi,” niscaya mereka akan menjawab: “Allah.” (QS Al-Zumar [39]: 38), meskipun mereka itu musyrik. Dan orang-orang musyrik itu berkata, “Kami tidak menyembah berhala-berhala), melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya (QS Al-Zumar [39]: 3). Semua kepercayaan, agama, dan aliran pemikiran sepakat bahwa Allah adalah ma’ruf. Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya,” karena Tuhan itu ma’ruf. Barangsiapa mengajak kepada Allah, berarti ia mengajak kepada yang ma’ruf. Mereka berada dalam tingkatan yang paling tinggi dalam menyuruh berbuat baik. Segala seruan kepada yang ma’ruf termasuk dalam ketegori ini 23. Nahun ‘an al-munkar (orang-orang yang selalu mencegah dari yang mu tikar). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu mencegah dari yang munkar. Al-Munkar adalah berhala-berhala (sesuatu yang dianggap sebagai sekutu Allah) yang dijadikan sesembahan oleh orang-orang musyrik karena ketidaktahuan mereka dan mereka mengingkari tauhid ilahiyah. Karenanya orang yang berdusta atau mendustakan disebut juga munkir (orang yang ingkar). Jadi, syirik itu tidak berdasar sama sekali. 24. Hulama’ (orang-orang yang murah hati/penyantun). Allah menganugerahi mereka kemurahan hati, yaitu sikap tidak tergesa-gesa menghukum suatu tindak kejahatan, padahal ia mampu melakukannya dan tidak ada yang menghalanginya. Tergesa-gesa menghukum suatu tindak kejahatan menunjukkan rasa jemu dan tidak sabar. 25. Awwahun (orang-orang yang mudah iba). Sayyid Muhyiddin r.a. menjelaskan, “Saya bertemu dengan seorang perempuan dari kalangan mereka, seorang pengumpul buah zaitun dari Andalusia bernama Yasmin Masannah. Allah menganugerahi golongan ini perasaan mudah iba terhadap apa yang mereka temui. Allah memuji kekasih-Nya, Ibrahim a.s., dalam firman-Nya, Sesungguhnya Ibrahim benar-benar seorang yang penyantun, pengiba, dan suka kembali kepada Allah (QS Hud [11]: 75). Sifat santun dan iba itu membuat mrahim iba terhadap kaumnya yang menyembah patung-patung yang mereka pahat sendiri, maka ia bermurah hati dan tidak segera menghukum mereka, meskipun ia mampu menghancurkan mereka dengan berdoa kepada Allah. Oleh karena itu, Ibrahim disebut sebagai orang yang halim (penyantun sehingga tidak tergesa-gesa menghukum mereka), Ibrahim berharap mereka nantinya akan beriman dan memahami kaumnya. Berbeda dengan Nabi Nuh a.s. yang tidak memahami kaumnya dan tidak bermurah hati kepada mereka, sebagaimana tersirat dalam ucapannya, Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu dan hanya akan melahirkan anak-anak yang berbuat maksiat dan kafir. (QS Nuh [71]: 27) 26. Tentara-tentara Allah yang mampu mengalahkan musuh, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang (QS Al-Shaffat [37]: 173). Tentara-tentara yang bertakwa, selalu waspada, pemalu, takut kepada Allah, sabar, dan membutuhkan Allah. Di antara mereka ada yang ahli ibnu dan iman serta mampu menampakkan hal-hal luar biasa (karamah) sebagai bukti maaam mereka. Mereka melawan musuh-musuh Allah dan musuh-musuh mereka dengan hal-hal luar biasa, contohnya, orang-orang muslim yang menjadi tentara-tentara Allah. Sedangkan orang-orang mukmin yang tidak mempunyai hal-hal luar luar biasa untuk melawan musuh, mereka bukan tentara Allah meskipun mereka mukmin. Dalam arti hias, setiap orang yang mampu melawan musuh dengan senjata yang dimilikinya, berarti ia termasuk tentara Allah Swt. yang memiliki kemampuan mengalahkan dan menguasai musuh. Mereka mampu mengalahkan musuh karena kekuatan yang diberikan Allah, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang. (QS Al-Shaff [61]: 14). 27. Mukhbitun (orang-orang yang terpilih). Allah berfirman, Sesungguhnya mereka di sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang baik (QS Shad [38]: 47). Allah menjadikan mereka sebagai pilihan, seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Mereka adalah orang-orang terpilih (QS Al-Taubah [9]: 89), yaitu orang-orang yang paling utama di antara yang lain. Orang-orang pilihan adalah orang yang ilmunya tentang Allah melebihi orang lain, yang dicapai melalui jalan khusus yang hanya diketahui oleh orang-orang seperti mereka. 28. Awwabun (orang-orang yang selalu bertobat kepada Allah). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu bertobat kepada-Nya di segala keadaan. Allah berfirman, Sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat (QS Al-Isra [17]: 25). Awwabun adalah orang yang kembali kepada Allah dari segala arah tempat Iblis mendatangi manusia dari depan, belakang, kanan, dan kiri Mereka mengembalikan semua itu kepada Allah sejak awal sampai akhir. 29. Mukhbitun (orang-orang yang runduk dan patuh). Allah menganugerahi mereka ketundukan dan kepatuhan yakni ketenangan. Nabi Ibrahim a.s. berkata, Akan tetapi, agar hatiku tenang (QS Al-Baqarah [2]: 260), maksudnya agar ia lega, tunduk, dan tenang di bumi ini Al-Mukhbitun adalah hamba-hamba Allah yang merasa tenang karena Allah, hati mereka merasa tenteram, mempercayai Allah, merendahkan diri di hadapan Yang Maha Meninggikan Derajat dan tunduk kepada kemuliaan-Nya. Mereka adalah orang-orang yang diberi kabar gembira oleh Allah melalui Nabi-Nya, Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh kepada Allah. Yaitu orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang, dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepada mereka (QS Al-Hajj [22]: 34-35). Inilah sifat-sifat al-Mukhbitun. 30. Munibun (orang-orang yang selalu kembali kepada Allah). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu kembali kepada Allah Swt., seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi pengiba dan suka kembali kepada Allah (QS Hud [11]: 75). Orang-orang yang selalu kembali kepada Allah adalah orang-orang yang mengembali kan segala sesuatu kepada Allah. Allah memerintahkan mereka untuk selalu kembali kepada-Nya disertai persaksian bahwa mereka benar-benar telah kembali kepada-Nya. 31. Mubshirun. Allah menganugerahi mereka kemampuan melihat kesalahan-kesalahan mereka dengan mata hati. Ini adalah salah satu sifat khusus orang-orang yang bertakwa, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. (QS Al-A’raf [7]: 201) 32. Muhajirun wa Muhajirat (orang-orang yang berhijrah). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk berhijrah yang diilhamkan dan difahamkan kepada mereka. Allah berfirman, Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah (QS Al-Nisa’ [4]: 100). Al-Muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang diperintahkan untuk ditinggalkan oleh Allah dan Rasul-Nya. 33. Musyfiaun (orang-orang yang selalu berhati-hati). Allah menganugerahi mereka kehati-hatian karena selalu takut kepada Tuhan, seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka (QS Al-Mukminun [23]: 57). Orang sering berkata, “Aku takut kepadanya, maka aku berhati-hati terhadapnya.” Allah berfirman, Orang-orang yang takut terhadap azab Tuhan-Nya. Karena sesungguhnya manusia tidak dapat merasa aman dari datangnya azab Tuhan (QS Al-Ma’arij [70]: 26-27). Maksudnya, mereka berhati-hati terhadap siksa Tuhan, tidak merasa aman dari datangnya siksa itu. Para wah yang selalu berhati-hati adalah wah yang takut dirinya akan berubah, jika Allah menenangkan hati mereka dengan adanya kabar gembira bagi mereka, maka mereka mengalihkan kehati-hatian tersebut menjadi rasa kasih sayang terhadap makhluk Allah, seperti kasih-sayang para rasul kepada umatnya. 34. Orang-orang yang dianugerahi Allah kemampuan untuk selalu menepati janji (Wafi), sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Dan orang-orang yang menepati jmji apabila ia berjanji (QS Al-Baqarah [2]: 177); Orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian (QS Al-Ra’d {13]: 20). Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah ingkar janji. Menepati janji adalah salah satu sifat khusus ahlullah (kaum Allah) dan barangsiapa melaksanakan segala yang diperintahkan Allah kepadanya dengan sempurna atau bahkan lebih, maka ia termasuk orang yang menepati dan menyempurnakan janji. Allah berfirman, Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji (QS Al-Najm [53]: 37); Dan barangsiapa selalu menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar (QS Al-Fath [48]: 10. Mereka adalah orang-orang yang mampu melihat rahasia-rahasia ilahiyah yang tersembunyi Barangsiapa menunaikan semua yang dibebankan Allah kepada-nya dan mampu melihat pengetahuan-pengetahuan yang disembunyikan Allah dari manusia kebanyakan, dialah Wafi. 35. Washilun (orang-orang yang selalu menyambung tali silaturrahmi). Allah menolong mereka untuk selalu menyambung tali silaturrahmi, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang diperintahkan Allah supaya dihubungkan (QS Al-Ra’d [13]: 21). Mereka menyambung tali silaturahmi dengan orang-orang mukmin yang dikucilkan karena pernah melakukan kejahatan, minimal dengan mengucapkan salam kepada mereka, atau lebih dari itu yakni dengan berbuat baik kepada mereka, dan tidak menghukum kejahatan mereka yang telah dimaafkan dan dilupakan. Mereka tidak memutus tali silaturrahmi dengan seorang pun makhluk Allah, kecuali jika Allah memerintahkan mereka untuk menjauhi seseorang, maka mereka membenci sifat atau perbuatan orang itu, bukan orangnya. 36. Khaifun (orang-orang yang takut kepada Allah). Allah menganugerahi mereka rasa takut kepada-Nya, atau takut karena mengikuti perintah-Nya. Allah berfirman, Takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman (QS Ali ‘Imran [3]: 175). Allah memuji sifat mereka dalam firman-Nya, Mereka takut kepada suatu hari ketika hati dan penglihatan menjadi goncang (QS Al-Nur [24]: 37); Mereka takut kepada hisab yang buruk (QS Al-Ra’d [13]: 21). Apabila mereka takut, mereka meniru sifat para malaikat, seperti yang dinyatakan Allah dalam firman-Nya, Para malaikat itu takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka. (QS Al-Nahl [16]: 50) 37. Orang-orang yang menghindari sesuatu karena perintah Allah. Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk menghindari segala hal yang tidak berguna, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna (QS Al-Mukminun [23]: 3); Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami (QS Al-Najm [53]: 29). 38 Kurama’ (orang-orang yang mulia). Allah menganugerahi mereka kemuliaan jiwa, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya (QS Al-Furqan [25]: 72). Artinya, mereka tidak memperhatikannya, tidak ternodai dan terpengaruh sedikit pun oleh perbuatan orang-orang itu, dan melewatinya begitu saja tanpa menoleh dengan tetap menjaga kemuliaan dirinya.

KITAB JAMI, KAROMATUL AULIYA BAGIAN 13 Wali yang Jumlahnya Tak Terhitung

Sayyid Muhyiddin r.a. berkata, “Kami telah menyebutkan wali-wali yang yang jumlahnya terbatas di setiap zamannya. Sekarang kami akan menyebutkan wali-wali yang jumlahnya tak terhitung di setiap zamannya, jumlah mereka bisa bertambah dan berkurang.” 1. Mulamatiyyah r.a., ada yang menyebutnya Malamiyyah. Mereka adalah raja dan pemimpin ahli tariqah. Pemimpin mereka adalah Nabi Muhammad Saw. Mereka adalah orang-orang bijak yang menempatkan dan menghukumi segala sesuatu sesuai tempatnya, serta menyatakan dan menghilangkan sebab-sebab sesuai dengan tempatnya. Mereka tidak pernah meninggalkan apa yang telah diatur Allah atas makhluk-Nya untuk mengikuti apa yang telah mereka atur sendiri. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk mengejar akhirat, atau meninggalkan akhirat untuk mendapatkan dunia. Mereka melihat sesuatu dengan kacamata Allah dan tidak mencampur-adukkan hakikat. Kemampuan dan kekuatan para Mulamatiyyah hanya diketahui oleh pemimpin mereka yang menyaring dan menempatkan mereka pada maaam tertentu. Jumlah mereka tidak tentu, bisa bertambah dan berkurang. 2. Fuqara’ r.a. Jumlahnya tidak terbatas, bisa bertambah dan berkurang. Allah berfirman sebagai penghormatan terhadap segala maujud dan sebagai bukti ada-Nya, Hai sekalian manusia, kamulah yang membutuhkan (al-Fuqara’) Allah (QS Fathir [35]: 15). Abu Yazid pernah berkata, “Wahai Tuhanku, dengan apa aku mendekatimu?” Allah menjawab, “Dengan sesuatu yang tidak kuinginkan dan kubutuhkan.” Allah berfirman, Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (QS Al-Dzariyat [51]: 56). 3. Shufiyah r.a. Jumlahnya tidak terbatas, bisa bertambah dan berkurang. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai akhlak mulia, sehingga dikatakan, “Barangsiapa akhlaknya bertambah baik, maka bertambah pula kesufiannya.” Maqam mereka berada dalam satu hati. Mereka tidak pernah mengatakan tiga kalimat, “ini untukku”, “ini punyaku,” dan “ini hartaku.” Artinya, mereka tidak mengatakan bahwa mereka memiliki sesuatu, Mereka tidak mempunyai apa-apa karena semuanya milik Allah. Bagi mereka, apa yang mereka miliki sama saja dengan sesuatu selain Allah Swt, disertai pengakuan bahwa makhluk tidak memiliki apa-apa. Mereka tidak mencari maqam ini. Tingkatan ini adalah tingkatan ketika hal-hal luar biasa muncul dari diri mereka karena usaha yang mereka lakukan, untuk membuktikan kebenaran agama dalam keadaan darurat. Kami telah menyaksikan kelompok semacam ini. Mereka mampu melakukan hal-hal luar biasa sebagai kebiasaan dan bukan hal luar biasa bagi mereka, seperti berjalan di atas air dan udara sebagaimana kita dan makhluk melata lainnya berjalan di atas tanah. 4. ‘Ubbad r.a., orang-orang yang senantiasa melakukan ibadah-ibadah wajib. Allah memuji mereka dalam firman-Nya, Hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah (QS Al-Anbiya’ [21]: 73). Mereka tidak melakukan ibadah-ibadah yang tidak wajib. Sebagian mereka berkelana ke gunung, padang rumput, pantai, dan jurang, karenanya mereka disebut para pengembara. Sebagian lagi tidak pernah meninggalkan rumah, selalu shalat berjamaah, dan sibuk dengan diri sendiri. Sebagian mereka menggunakan perantara (sebab-sebab sekunder) untuk mengenal Allah dan sebagian lagi tidak menggunakannya. Mereka adalah orang-orang yang saleh baik lahir maupun batin, menjauhi sifat dengki, iri hati, serakah, rakus, dan sifat-sifat tercela lainnya. Mereka mengarahkan sifat-sifat yang mulia untuk tujuan-tujuan yang terpuji. Mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang ma’rifat, rahasia-rahasia, dan alam malakut, serta tidak memahami ayat Allah ketika dibacakan. Jika pahala, kiamat dan kengeriannya, neraka, dan surga diperlihatkan kepada mereka, mereka meneteskan air mata. Sifat mereka dinyatakan dalam firman Allah, Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap (QS Al-Sajdah [32]: 16); Kamu berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dan suara lirih (QS Al-An’am [6]: 63); Orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan (QS Al-Furqan [25]: 63); Apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatannya (QS Al-Furqan [25]: 72); Orang-orang yang mengisi malam harinya dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka (QS Al-Furqan [25]: 64); Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, tetapi di tengah-tengah antara keduanya (QS Al-Furqan [25]: 67). Mereka jarang tidur dan selalu berpuasa untuk berlomba-lomba menuju kesuksesan. Mereka tidak pernah melakukan kebatilan dan kemaksiatan sedikit pun, tetapi selalu menjunjung tinggi kebenaran dengan penuh penghormatan dan pengagungan. Abu Muslim al-Khaulani termasuk tokoh ‘Ubbad ini. Ia selalu terjaga di waktu malam untuk beribadah. Jika rasa lelah menyerangnya, ia memukul kedua kakinya dengan tongkat dan berkata kepada kedua kakinya itu, “Kalian lebih berhak dipukul daripada binatang ternakku. Sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw. telah memperoleh kebahagiaan karena mengikuti Nabi. Demi Allah aku akan menyaingi mereka sehingga mereka tahu bahwa jejak mereka telah diikuti oleh para penggantinya.” Muhyiddin Ibnu ‘Arabi berkata, “Saya pernah bertemu dengan sebagian besar dari mereka dan menuliskan kisah tentang mereka dalam kitab saya. Banyak kitab telah menulis tentang mereka dengan panjang lebar.” 5. Zuhhad r.a., orang-orang yang meninggalkan keduniaan. Di kalangan mazhab kami, ada perbedaan pendapat tentang orang yang tidak memiliki dunia sedikit pun padahal ia mampu mencari dan mengumpulkannya, tetapi ia tidak melakukannya dan tidak berusaha, apakah orang ini termasuk zahid atau bukan? Sebagian berpendapat bahwa ia termasuk zahid, dan sebagian lagi tidak menganggapnya zahid karena tidak berusaha, sehingga apabila ia nanti mendapatkan sedikit dunia, maka ia tidak termasuk zahid. Salah satu pemimpin mereka adalah Ibrahim bin Adham dan kisah tentangnya sudah terkenal. Sayyid Muhyiddin berkata, “Salah seorang paman saya yang bernama Yahya bin Yafan termasuk golongan mereka, dan ia pernah menjadi penguasa kota Tilimsan. Pada masa pemerintahannya, ada seorang penjual buah yang ahli ibadah asal Tunisia yang terkenal dengan sebutan ‘Abdullah al-Tunisi seorang ahli ibadah pada zamannya. Di luar kota Tilimsan, ‘Abdullah juga dikenal sebagai ‘Ubbad (ahli ibadah). ‘Abdullah telah memutuskan tinggal di masjid untuk beribadah kepada Allah. Makamnya terkenal sebagai tempat ziarah. Ketika orang saleh ini (‘Abdullah) berjalan-jalan di kota Tilimsan, ia berjumpa dengan Yahya bin Yafan, penguasa kota tersebut, diiringi ajudan dan pelayannya. Yahya bin Yafan diberitahu bahwa orang yang dijumpainya adalah ‘Abdullah al-Tunisi seorang ahli ibadah pada zamannya. Maka Yahya bin Yafan memegang cambuk kudanya dan mengucapkan salam kepada Syaikh itu. Syaikh menjawab salamnya. Pada waktu itu, Yahya memakai pakaian kebesaran, lalu ia bertanya kepada Syaikh, ‘Wahai Syaikh, apakah pakaian yang saya pakai ini bisa untuk shalat?’ Syaikh itu tertawa. Lalu Yahya bertanya, ‘Mengapa engkau tertawa?’ Syaikh itu menjawab, ‘Karena kerendahan akalmu dan ketidaktahuanmu terhadap diri sendiri dan keadaanmu. Di mataku, kamu bagaikan anjing yang berguling-guling di atas darah kering kemudian memakannya dan mengotorinya. Apabila ia akan kencing, ia mengangkat kakinya agar tidak kecipratan air kencing. Dan kamu bagaikan wadah yang penuh barang haram, kamu menanyakan tentang pakaian dan hamba-hamba yang telah engkau zalimi?’ Tiba-tiba Yahya bin Yafan menangis dan turun dari kudanya, lalu meninggalkan kerajaannya dan menjadi pembantu Syaikh itu. Setelah Syaikh mengajari Yahya selama tiga hari, ia mendatanginya dengan membawa tali, lalu berkata kepadanya, ‘Wahai sang penguasa, waktu bertamumu telah habis, berdiri dan carilah kayu bakar.’ Lalu Yahya mencari kayu bakar dan membawanya ke pasar dengan menyungginya di atas kepala sehingga orang-orang yang melihatnya menangis. Kemudian Yahya menjual kayu bakar itu, mengambil keuntungannya, dan menyedekahkan sisanya. Yahya terus melakukan pekerjaan itu sampai wafat dan dimakamkan. Makamnya sekarang sering diziarahi. Apabila Syaikh ‘Abdullah didatangi orang-orang yang meminta doa kepadanya, Syaikh ‘Abdullah berkata, ‘Mintalah doa kepada Yahya bin Yafan, seorang penguasa yang zuhud. Seandainya aku diuji dengan dianugerahi kerajaan seperti Yahya, sungguh aku tidak mungkin bisa menjadi orang yang zuhud.'” 6. Para wali yang tinggal di air (Rijalul Ma’). Mereka adalah golongan yang menyembah Allah di dasar laut dan sungai. Tidak ada seorang pun yang mengetahui mereka. Abu al-Badri, seorang yang jujur, dapat dipercaya, mengetahui apa yang diceritakannya, hafid, dan dhabith terhadap apa yang ia kutip, meriwayatkan bahwa Abu Su’ud bin Syibli, seorang pemimpin pada zamannya, berkata, “Ketika aku berada di tepi sungai Tigris di Baghdad, tiba-tiba terbersit dalam pikiranku apakah ada hamba Allah yang menyembah-Nya di dalam air? Belum sempat aku memikirkannya, tiba-tiba sungai Tigris terbelah dan muncullah seorang laki-laki dengan mengucapkan salam kepadaku dan berkata, ‘Ada, wahai Abu Su’ud. Allah mempunyai hamba-hamba yang menyembah-Nya di air. Aku adalah salah satunya. Aku berasal dari Tikrit. Aku meninggalkan Tikrit karena suatu hari nanti akan terjadi sesuatu di sana.’ Laki-laki itu menceritakan kejadian yang akan muncul di Tikrit itu, lalu tiba-tiba ia menghilang. Setelah lima belas hari berlalu, terjadilah kejadian seperti yang telah diramalkan oleh laki-laki itu. Ia telah memberitahuku kejadian yang akan terjadi.” 7. Orang-orang yang sendirian (Afrad). Jumlahnya tidak bisa dihitung. Mereka adalah orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan ketentuan syara’. Salah seorang dari mereka adalah Muhammad al-Awani yang dikenal dengan sebutan Ibnu Qaid Adanah, salah seorang pegawai di Baghdad dan sahabat ‘Abdul Qadir al-Jili. ‘Abdul Qadir al-Jili berkata tentang Ibnu Qaid, “Ia adalah orang yang mulia dan ‘Abdul Qadir al-Hakim menganggapnya termasuk golongan Afrad, yaitu orang-orang yang keluar ke daerah kutub dan tinggal di sana. Mereka adalah orang-orang yang setara dengan malaikat yang terus-menerus mengagungkan Allah dan selalu berusaha menghadirkan-Nya dalam hati. Mereka tidak mengenal apa-apa selain Allah dan tidak bereaksi kecuali apa yang mereka ketahui tentang-Nya. Mereka juga tidak mempunyai pengetahuan tentang hakikat mereka sendiri. Maqam mereka berada di antara orang-orang yang jujur dan para nabi pembawa syariat. Maqam tersebut tidak diketahui oleh kebanyakan ahli tariqat padahal termasuk maqam yang tinggi.” 8. Umana’, orang-orang yang terpercaya. Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki orang-orang yang terpercaya.” Nabi juga pernah berkata tentang Abu ‘Ubaidah bin Jarah, “Dia adalah orang yang terpercaya dari umat ini, semoga Allah meridhainya.” Mereka berasal dari kalangan Mulamatiyyah dan tidak ada yang berasal dari kelompok lainnya. Umana’ adalah para mulamatiyyah yang mulia dan khusus. Mereka tidak bisa dikenali karena tidak menampak-kan hal-hal yang luar biasa. Mereka hanya menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Apabila kiamat tiba, maka tampaklah maaam mereka di tengah-tengah makhluk lainnya. Di dunia, mereka tidak dikenal. Nabi Saw. pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki umana’ (orang-orang yang terpercaya),” dan kami tidak menyebutkan siapa orang-orang yang terpercaya itu. Ketika Nabi Musa mengikuti perjalanan Nabi Khidir, Allah menyuruh Nabi Khidir untuk tidak memberitahu Musa terlebih dahulu tentang makna hal-hal aneh yang dilakukannya meskipun Musa bertanya terus, dan Nabi Khidir menurutinya karena ia termasuk umana’, sampai tiba saatnya Khidir memberitahukan maknanya kepada Musa. Jumlah umana’ bertambah dalam setiap tabaqat, karenanya mereka tidak mengenal satu sama lain. Mereka tampak seperti mukmin yang awam. Hanya mereka yang seperti ini, tidak wali lainnya. 9. Qurra’ r.a (para pembaca). Mereka adalah Ahlullah (kaum Allah) dan hamba-Nya yang khusus. Jumlah mereka tidak terhitung. Nabi Saw. pernah bersabda, “Ahli Al-Qur’an adalah Ahlullah dan hamba- Nya yang khusus.” Ahli Al-Qur’an adalah orang-orang yang menjaga Al-Qur’an dengan menghafal dan mengamalkannya. Abu Yazid al-Busthami termasuk salah satu dari mereka. Barangsiapa berakhlak dengan akhlak Al-Qur’an, berarti ia termasuk ahli Al-Qur’an. Barang-siapa yang ahli Al-Qur*an, maka ia juga termasuk Ahlullah, karena Al-Qur’an adalah kalam Allah. Sahl bin ‘Abdullah al-Tustari memperoleh maqam ini padahal ia baru berumur enam tahun. 10. Ahbab r.a. (orang-orang yang dicintai dan mencintai Allah). Jumlahnya tidak terhitung, bisa bertambah dan berkurang. Allah berfirman, Kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya (QS Al-Maidah [5]: 54). Karena mereka mencintai Allah, maka Dia mengujinya, dan karena mereka mencintai Allah, maka Dia menyaring dan memilih mereka. Kelompok ini terbagi menjadi dua. Pertama, kelompok yang sejak semula sudah dicintai oleh Allah. Kedua, kelompok yang menaati Rasulullah Saw. sebagai bentuk ketaatan kepada Allah, kemudian ketaatan mereka menyebabkan mereka dicintai Allah. Allah berfirman, Barangsiapa menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah (QS Al-Nisa’ [4]: 80). Dan dalam firman-Nya yang lain, Allah berkata kepada Nabi Muhammad Saw., Katakanlah: “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu” (QS Ah ‘Imran [3]: 31). Allah mencintai mereka karena ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan mencintainya sejak awal tanpa usaha yang mereka lakukan (kelompok kedua), meskipun kedua kelompok tersebut sama-sama dicintai oleh Allah. Maaam mereka diketahui oleh sesamanya, karena tampak jelas siapa yang mulia dan yang dimuliakan. Tanda mereka adalah hati yang bersih tanpa noda sedikit pun. Mereka teguh beribadah kepada Allah dan selaras dengan alam karena alam juga bergerak sesuai dengan aturan syara’, yang baik dan yang jelek. Mereka berhubungan dengan Allah sesuai dengan adab. Mereka membantu dan membenci karena Allah. Allah berkata kepada orang yang dianggap mempunyai maqam ini, “Hai, hamba-Ku, apa yang telah kau lakukan untuk-Ku?” Hamba itu menjawab, “Wahai Tuhanku, aku shalat dan menyembah-Mu dengan sungguh-sungguh serta melakukan ini dan itu.” Ia menyebutkan perbuatan-perbuatan baik. Lalu Allah berkata, “Perbuatan itu untukmu.” Mereka bertanya kepada Allah, “Wahai Tuhanku, apa maksud ucapan-Mu?” Allah menjawab, “Apakah kamu menolong wali-Ku karena Aku dan memerangi musuh-Ku karena aku.” Inilah perhatian Allah kepada orang-orang yang dicintai-Nya. Allah berfirman, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka berita-berita Muhammad, karena rasa kasih sayang (QS Al-Mumtahanah [60]: 1); Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara mereka, atau keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan (QS Al-Mujadalah [58]: 22). Mereka adalah orang-orang yang teguh pendirian. Hadis Rasulullah yang sahih juga menyatakan, “Aku harus mencintai orang-orang yang saling mencintai karena aku, saling bergaul karena aku, orang-orang yang saling mencurahkan perhatian karena aku, dan orang-orang yang saling berkunjung karena aku.” 11. Muhaddats (para wali yang diajak bicara oleh Allah atau malaikat). ‘Umar r.a. termasuk salah seorang dari mereka. Sayyid Muhyiddin berkata, “Yang termasuk golongan mereka pada zaman kita adalah Abu ‘Abbas al-Khasysyab dan Abu Zakaria al-Bihai di Ma’arrah tetangga ‘Umar bin Abdul ‘Aziz di Dir Baqarah.” Golongan ini terbagi menjadi dua. Pertama, golongan yang diajak bicara oleh Allah melalui hijab, seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Dan tidak ada seorang manusia pun yang Allah berkata-kata dengannya kecuali melalui wahyu atau dari belakang hijab (QS Al-Syura’ [42]: 51). Golongan ini tabaqahnya banyak. Kedua, golongan yang diajak bicara oleh para malaikat melalui hati dan kadang telinga mereka. Mereka ditetapkan semuanya sebagai orang yang dapat diajak bicara oleh para malaikat karena mereka telah melakukan riyadhah dan mujahadah. Jika jiwa bersih dari noda, maka ia akan mencapai alam yang cocok dengan alam malaikat sehingga bisa mengetahui ilmu malakut dan rahasia-rahasia yang diketahui oleh ruh-ruh yang mulia. Kemudian terukirlah dalam jiwa itu semua makna yang ada dalam alam, sehingga ia dapat mengetahui hal-hal gaib. Meskipun para malaikat hanya mempunyai satu tugas, tetapi setiap malaikat mempunyai maqam tersendiri Mereka mempunyai beberapa tingkatan. Jibril adalah malaikat yang paling tinggi tingkatannya, tetapi tingkatan dan kedudukan Mikail lebih tinggi daripada Jibril. Israfil lebih tinggi daripada Mikail. Jibril lebih tinggi daripada Izrail. Wali yang mempunyai hati seperti Israfil, mampu memberi pertolongan kepadanya, dan kedudukannya lebih tinggi daripada orang yang memiliki hati seperti Mikail. Setiap Muhaddas diajak bicara oleh ruh yang sesuai dengannya. Banyak Muhaddas yang tidak mengetahui siapa yang berbicara dengannya. Hal itu menunjukan adanya kebersihan dan keikhlasan jiwa dan terangkatnya unsur-unsur dan rukun-rukun yang ada di dalamnya. Dia adalah jiwa yang melampaui unsur-unsur jasmaniyahnya. Sebagian kelompok merasa cukup dengan menjadi kelompok Muhaddats kedua. Akan tetapi, itu bukan syarat kebahagian iman di akhirat sebab syaratnya adalah penyucian hati. Jika Muhaddats memperoleh semua sifat ini dengan melakukan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan syariat, mengikuti Nabi, dan beriman secara pasti, maka ia pantas mendapatkan berita yang membahagiakan. Apabila ketaatannya kepada Nabi disandarkan pada pembicaraan Allah kepada mereka, maka mereka termasuk dalam Muhaddats yang pertama, yang telah kami sebutkan mempunyai beberapa tingkatan. 12. Akhilla’ r.a. (para kekasih). Jumlahnya tidak terbatas, bisa bertambah dan berkurang. Allah berfirman, Dan Allah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya (QS Al-Nisa’ [4]: 125). Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Kalau aku ingin menjadikan seseorang sebagai kekasih (khalil), niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasihku, akan tetapi temanmu itu adalah kekasih Allah.” 13. Sumara’. Jumlah mereka tak terbatas. Mereka adalah Muhaddats yang khusus, karena mereka hanya berbicara dengan Allah, tidak dengan para malaikat. 14. Waratsah (para ahli waris). Mereka ada tiga macam, yaitu yang menganiaya (bersikap keras pada) diri sendiri demi melakukan kebaikan, yang bersikap tengah-tengah (sedang-sedang saja) dalam melakukan kebaikan, dan yang lebih dahulu berbuat kebaikan. Allah berfirman, Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada hamba-hamba pilihan Kami. Di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri (zhalimun linafsihi), ada yang bersikap tengah-tengah ( muqtashid ), dan ada yang lebih dahulu berbuat kebaikan (sabiqun bil khairat) dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar (QS Fathir [35]: 32). Nabi juga bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi.” Adapun maksud firman Allah tentang para pewaris pilihan yang menganiaya diri sendiri adalah Abu Darda’ dan lain-lain yang bersikap keras (menganiaya) pada diri mereka sendiri demi melakukan kebaikan, sehingga mereka berbahagia di akhirat kelak. Hal itu dinyatakan dalam sabda Nabi Saw., “Sesungguhnya dirimu mempunyai hak dan matamu mempunyai hak.” Apabila seseorang puasa terus-menerus dan selalu terjaga di waktu malam untuk beribadah, maka ia telah menganiaya diri sendiri, karena dirinya dan matanya mempunyai hak untuk tidur dan makan. Kezaliman pada diri sendiri untuk tujuan ibadah. Oleh karena itu, firman Allah (zalim linafsihi) artinya adalah keinginan dan usaha keras, karena jiwa selalu cenderung untuk mendapatkan keringanan dan istirahat. Maka Nabi menganjurkan dua hal tersebut karena mereka adalah orang-orang lemah. Dan dalam firman-Nya (zhalimun linafsihi), Allah tidak bermaksud menunjukkan orang yang berbuat kezaliman yang dilarang syara’, karena orang yang melanggar syara’tidak disebut sebagai hamba pilihan. Adapun golongan kedua yang termasuk pewaris kitab adalah muqtashid, yaitu orang yang memberikan hak berupa kenikmatan dunia kepada dirinya agar kenikmatan itu bisa digunakan untuk mengabdi kepada Allah dengan memanfaatkan istirahat dan berbuat kebaikan. Artinya, mereka mempunyai keinginan kuat (azimah) untuk berbuat baik dan memanfaatkan kemudahan (rukhsah) yang diberikan kepadanya. Di samping giat mengisi malam dengan ibadah, seorang muqtashid juga tidur untuk istirahat. Demikian juga dengan amal-amal lainnya. Sabiqun bil khairat adalah orang yang bersegera melakukan pekerjaan sebelum masuk waktunya, sehingga ia selalu siap. Ketika waktunya sudah masuk, ia segera melakukan kewajibannya tanpa ada yang menghalangi, seperti berwudhu sebelum masuk waktu shalat dan duduk di masjid sebelum waktu shalat. Ketika waktu shalat tiba, ia sudah dalam keadaan suci sehingga bisa segera melakukan kewajiban shalatnya. Demikian juga bagi orang yang mempunyai harta, ia akan segera mengeluarkan zakat dan menunaikannya ketika masuk satu tahun, kemudian membayar zakat kepada amil sebagai kewajibannya kepada Tuhan di awal tahun kedua. Demikianlah, ia segera melakukan semua perbuatan baik, sebagaimana Sabda Nabi kepada Bilal, “Dengan apa engkau menyusulku ke surga?” Bilal menjawab, “Setiap berhadas, aku selalu berwudhu, dan setiap selesai wudhu, aku selalu melakukan shalat dua rakaat.” Rasulullah kemudian bersabda, “Engkau menyusulku ke surga dengan keduanya (wudhu dan shalat dua rakaat).” Itulah beberapa contoh sabiqun bil khairat. Dan begitulah keadaan Rasulullah Saw. di tengah kaum musyrik ketika masih muda. Waktu itu, beliau belum dibebani taklif (syariat), kemudian ia menjauhkan diri dari masyarakat menuju Tuhannya dengan melakukan tahanuts (menyepi untuk beribadah). Beliau juga segera melakukan kebaikan dan berakhlak mulia sampai Allah memberinya risalah kenabian.

KITAB JAMI, KAROMATUL AULIYA BAGIAN 12 Tingkatan Dan Klasifikasi Wali

Syaikh Akbar Muhyiddin Ibnu ‘Arabi menyebutkan secara panjang lebar tingkatan dan klasifikasi wali berdasarkan perbedaan hal mereka di bab 73 kitab Futuhat al-Makiyyah. Dalam pendahuluan kitabnya yang berjudul Thabaaah Sughra, Imam al-Munawi meringkas pembahasan tersebut dari kitab Futuhat, tetapi dengan bahasanya sendiri yang panjang lebar, sehingga meninggalkan beberapa hal penting. Di sini saya akan meringkas pembahasan tersebut dari kitab Imam al-Munawi dengan memakai kata-kata Ibnu ‘Arabi dan mengutip banyak hal yang ditinggalkan oleh Imam Munawi. Ibnu ‘Arabi r.a. berkata, “Ketahuilah, hamba-hamba Allah yang berada di jalan ini adalah mereka yang dinamakan dunia jiwa (alam anfas), suatu nama yang mencakup mereka semua. Mereka mempunyai tingkat dan hal yang berbeda-beda. Ada wali yang terkumpul dalam dirinya semua tingkat dan hal. Ada wah yang mencapai sebagian tingkatan dan hal sesuai dengan kehendak Allah. Setiap tingkatan (tabaqah) wali yang mempunyai hal dan maqam memiliki gelar tersendiri. Ada tingkatan wah yang jumlahnya bisa dihitung dalam setiap zamannya. Ada juga yang tidak bisa dihitung jumlahnya, kadang sedikit kadang banyak.” Insya Allah, Kami akan memaparkan wali-wali yang bisa dihitung dan yang tidak bisa dihitung jumlahnya sekaligus dengan masing-masing gelarnya.

KITAB JAMI, KAROMATUL AULIYA BAGIAN 11 Karamah Sebagai Buah Ketaatan Anggota Tubuh

Dalam kitab al-Futuhat, Ibnu ‘Arabi menyebutkan kitabnya yang berjudul Mawaqi’ al-Nujum, yang sering dipujinya sebagai kitab yang sangat bagus dalam mengupas masalah karamah yang muncul dari anggota-anggota tubuh yang taat. Anggota tubuh itu adalah mata, telinga, lidah, tangan, perut, kemaluan, kaki, dan hati. Apabila masing-masing anggota tubuh menaati hukum syara’ dan dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab, maka akan muncul karamah. Dalam kitab tersebut disebutkan berbagai pengetahuan, rahasia ilmu hakikat, dan manfaat ilmu syariat. Saya berusaha meringkas sedikit tentang delapan anggota tubuh dan karamah yang muncul dari nggota tubuh sebagai upaya untuk menyempurnakan manfaat dan untuk mencapai tujuan kami. Dan karena Imam al-Munawi tidak menguraikan arti dari karamah yang muncul dari anggota-anggota tubuh yang taat, dalam penjelasan sebelumnya yang diambil dari kitab Mawaqi’ al-Nujum, maka di sini saya akan berusaha memaparkannya. 1. Mata Di antara karamah mata jika digunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan adalah mampu melihat tamu dari jarak jauh sebelum ia datang, bisa melihat dari balik dinding tebal, melihat Ka’bah ketika shalat, dan lain-lain. Di antara karamah lainnya adalah dapat menyaksikan alam malakut spiritual baik malaikat, penghuni ketinggian (mala’ul a’la), jin, Nabi Khidir, dan para Abdal. 2. Telinga Bila telinga digunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan, karamah yang akan muncul adalah mendengar kabar gembira bahwa sang pemiliknya merupakan salah seorang yang diberi hidayah dan akal oleh Allah. Ini merupakan karamah terbesar, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Sebab itu sampaikanlah kabar kembira kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya (QS Al-Zumar [39]: 17-18). Karamah lainnya adalah dapat mendengar ucapan benda mati, sehingga terdengar semua benda bertasbih kepada Allah dengan bahasa yang jelas, sebagaimana bahasa manusia. 3 Lidah Ketika lidah digunakan untuk melaksanakan ketaatan dan menghindari kemaksiatan, karamah yang akan muncul adalah mampu berbicara dan bercakap-cakap dengan alam yang lebih tinggi (alam a’la). Jadi, apabila seorang hamba memperoleh karamah atas telinganya, maka ia akan bisa memanggil dan berhubungan dengan para penghuni alam yang lebih tinggi. Apabila ia hanya sekedar berbicara dengannya, penghuni alam itu tidak menjawabnya. Apabila terjadi pembicaraan antara dia dengan mereka, maka kemampuannya berbicara dengan mereka adalah karamah lisan, kemampuannya mendengar ucapan mereka adalah karamah telinga, dan kemampuannya menyaksikan mereka adalah karamah mata. Demikian juga anggota-anggota tubuh lainnya, karena ada hubungan antara anggota-anggota badan dan ketaatan yang dilakukannya. Di antara karamah lainnya adalah mampu mengatakan suatu keadaan sebelum terjadinya, memberitahukan hal-hal gaib, dan akan munculnya benda-benda. 4. Tangan Di antara karamah yang akan muncul bila tangan dipergunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan adalah munculnya warna putih bersih tanpa noda di tangan ketika dimasukkan ke dalam saku seperti yang terjadi pada Nabi Musa as, memancarkan air di sela-sela jari yang terjadi pada Nabi Muhammad Saw., melemparkan tanah ke muka musuh, sehingga mereka kalah. Para wali Allah dengan kehendak-Nya mengepalkan tangan ke udara, lalu ketika mereka membukanya muncullah perak, emas, dan lain-lain. 5. Perut Di antara karamah yang muncul bila perut digunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan —tidak termasuk dalam kategori makr dan istidraj— adalah terpeliharanya perut dari makanan, minuman, dan pakaian yang tidak halal dengan munculnya tanda yang disampaikan oleh Allah. Adakalanya tanda itu muncul dalam dirinya sendiri atau dari sesuatu yang bersifat syubhat atau haram, sehingga ia hanya memperoleh sesuatu yang baik saja. Dikisahkan bahwa ketika disajikan makanan syubhat kepada Al-Harits al-Muhasibi r.a., mengucurlah keringat di sela-sela jarinya. Begitu juga yang terjadi pada ibunda Abu Yazid al-Busthami r.a. ketika sedang mengandung Abu Yazid, tangannya tidak pernah menyentuh makanan haram. Pada wali lain, muncul suara yang berkata “jauhi”. Wali lainnya jatuh pingsan ketika menemukan makanan yang tidak halal. Ada juga wali yang makanan haram di hadapannya berubah menjadi darah, berwarna hitam, seekor babi, dan lain-lain yang Allah khususkan bagi para wali dan orang-orang suci-Nya. Karamah lain yang muncul karena ketaatan perut adalah makanan yang sedikit bisa mengenyangkan orang banyak. Ini merupakan warisan dari Rasulullah Saw. Ketika itu, Rasulullah menggelar sebuah tikar kulit dan didatangi oleh pemilik gandum dengan memberikan setangkai gandumnya dan pemilik biji-bijian dengan memberikan setangkai biji-bijiannya, hingga terkumpullah sedikit makanan. Beliau berdoa agar makanan itu diberkati, lalu orang-orang mengisi tempat yang mereka bawa dengan makanan itu sampai penuh, sebagaimana dijelaskan dalam hadis sahih riwayat Muslim. Karamah perut yang lainnya adalah dapat membuat satu macam makanan di atas piring menjadi berbagai macam jenis makanan sesuai dengan keinginan orang-orang yang hadir di tempat itu. Termasuk karamah perut lainnya adalah didatangi jin atau raja yang membawakan makanan, minuman, dan pakaiannya, atau menggantungkannya di udara. Karamah lain dalam maqam ini adalah mampu mengubah air minum yang asin dan pahit menjadi manis. Ibnu ‘Arabi berkata, “Saya pernah meminum minuman seperti itu dari tangan Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ustad Al-Marwazi Al-Hajj, termasuk murid khusus Abu Madyan r.a., beliau selalu disebut sebagai Al-hajj al-mabrur. Makanan halal itu adakalanya diperoleh dengan bekerja atau dengan menjauhi dosa-dosa, seperti yang dikatakan beberapa syaikh, “Ahli ma’rifat adalah orang yang tidak memadamkan cahaya ma’rifatnya sebagai cahaya wara’nya, maka ketika diperoleh barang halal, sedikit saja cukup baginya. Bila ia melaksanakan hal ini, maka tumbuh dalam batinnya keinginan melakukan perbuatan baik yang diwujudkan Allah dalam jiwa hamba ini sebagai karamah karena kedudukan dan kejujurannya.” Dan dari kehendak kuat itu keluar semua yang telah kami sebutkan dan banyak karamah yang belum terlintas dalam benak manusia. 6. Kemaluan Di antara karamah yang dihasilkan ketika kemaluan dipergunakan untuk melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan adalah anugerah dari Allah berupa rahasia menghidupkan orang-orang mati, menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan penderita lepra, dan meninggalkan semua perkara yang membuatnya melupakan Allah. Allah berfirman, Dan Maryam puteri ‘Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh Kami (QS Al-Tahrim [66]: 12). Dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam (QS Al-Anbiya’ [21]: 91). Dalam hal ini, Ibnu ‘Arabi juga telah menjelaskan secara mendalam hubungan-hubungan lain antara ketaatan anggota tubuh dan karamah yang dikeluarkannya, hikmah-hikmah dan rahasia ilmu hakikat 7. Kaki Di antara karamah yang akan muncul jika digunakan untuk melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan ada-lah mampu berjalan di atas air, dapat mengelilingi bumi, dan berjalan di udara. Hikayat-hikayat tentang maqam ini sangat terkenal, saking terkenalnya hingga tidak perlu lagi kami jelaskan di sini. Kitab-kitab kumpulan syair dipenuhi hikayat-hikayat tentang karamah ini. Karena Allah Swt. adalah pemilik para wali, maka Dia memunculkan semua karamah ini bersama mereka. Ibnu ‘Arabi menyatakan, “Kami telah menyaksikan dengan jelas penempuh jalan ini berjalan di atas air dan di udara, dan dapat melipat bumi.” 8. Hati Di antara karamah hati ketika digunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan adalah mampu mengetahui sesuatu sebelum terjadi. Ibnu ‘Arabi berkata, “Ketahuilah anakku, Allah telah menolongmu, menerangi hatimu, melapangkan dadamu, dan menyucikan pakaian serta hatimu. Segala karamah yang berkaitan dengan anggota tubuh lainnya merujuk dan kembali kepada hati. Kalau tidak ada hati, maka seluruh anggota tubuh lainnya tidak berarti. Setiap perbuatan berasal dari hati, kalau tidak didasari keikhlasan sebagai aktivitas hati, maka amal tersebut bagai debu beterbangan, tidak bermanfaat dan tidak mendatangkan kebahagiaan.” Allah berfirman, Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus (QS Al-Bayyinah [98]: 5). Dan Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya segala perbuatan tergantung pada niat, dan tiap-tiap orang akan mendapatkan apa yang diniatkannya. Barangsiapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa berhijrah kepada dunia dan perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya.” Dari sini jelaslah bahwa sudi dan ternodanya semua perbuatan lahir maupun batin tergantung pada hati. Jadi, gerakan atau diamnya anggota tubuh untuk menaati syariat dan melakukan maksiat hanya berdasarkan pada perintah dan kehendak hati. Gagasan muncul pertama kali di dalam hati. Apabila hati ingin mewujudkan gagasan itu, maka ia mempertimbangkan anggota tubuh mana yang sesuai untuk melakukan gagasan itu, lalu hati menggerakkan anggota tubuh yang dipilihnya untuk mewujudkan gagasan itu, baik untuk ketaatan maupun kemaksiatan, dan atas anggota tubuh itulah pahala dan siksa diberikan. Tidakkah kamu merenungkan bagaimana Allah menganggap pandangan pertama kepada seorang perempuan bukan muhrim yang dilakukan tanpa sengaja dan tidak diniati dalam hati sebagai suatu hal yang dimaafkan dan tidak dikenai siksa? Demikian pula ketika seorang hamba melakukan perbuatan salah tanpa sengaja, maka Allah benar-benar telah mengampuni perbuatannya itu, sebagaimana bila hati menghendaki dan berniat melakukan kemaksiatan, tetapi tidak jadi melakukannya, maka niatnya itu tidak ditulis dan tidak dihitung, selama belum dilakukan atau hanya sebatas ucapan semata. Adapun jika hati berniat melakukan ketaatan, maka ia akan diberi ganjaran sesuai dengan niat dan harapannya, meskipun ia belum melakukan ketaatan yang telah diniatkannya, niatnya telah ditulis sebagai kebaikan. Bila kamu meyakini hal ini, maka tetaplah yakin bahwa hati adalah pemimpin raga. Seluruh karamah yang muncul dari anggota tubuh merujuk kepada hati, dan hati itu sendiri dapat memunculkan karamah-karamah tertentu. Karamah hati lainnya adalah Allah Swt. memperlihatkan kepadanya semua yang tersimpan di dunia, berupa rahasia-rahasia, alasan dan sebab perintah-Nya, atau apa pun yang mewujud dalam alam, baik spiritual maupun non spiritual, seperti yang sudah dijelaskan oleh Sayyid Muhyiddin Ibnu ‘Arabi.