Total Tayangan Halaman

Senin, 20 Mei 2013

AHLUL KITAB


AHLUL KITAB

Berbicara mengenai wawasan Al-Qur'an tentang  suatu  masalah tidak   akan  sempurna,  bahkan  boleh  jadi  keliru,  jika pandangan hanya tertuju kepada satu dua ayat yang  berbicara menyangkut   hal   tersebut.   Karena   cara  demikian  akan melahirkan  pandangan  parsial  yang  tidak  sejalan  dengan tujuan   pemahaman   wawasan,   lebih-lebih   bila  analisis dilakukan terlepas dari konteks (munasabah)  ayat,  sejarah, asbab  al-nuzul  (latar  belakang turunnya ayat), penjelasan Nabi  (As-Sunnah),  dan  sebagainya,  yang   dihimpun   oleh pakar-pakar  Al-Qur'an  dengan  istilah pendekatan "tematis" (maudhu'i).

Bahasan ini mencoba  menerapkan  metode  tersebut,  walaupun dalam  bentuk  yang  terbatas  -  karena penerapannya secara sempurna membutuhkan waktu yang tidak singkat, rujukan  yang memadai,   serta   kemampuan   analisis  yang  dalam.  Namun demikian,  keterbatasan  di  atas,  akan  diusahakan   untuk ditutupi   dengan   menyajikan   pandangan   beberapa  pakar berkompeten dalam bidang Al-Qur'an.

ISTILAH-ISTILAH AL-QUR'AN

Salah  satu   keistimewaan   Al-Qur'an   adalah   ketelitian redaksinya.  Tidak  heran, karena redaksi tersebut bersumber langsung dari Allah swt. Hal ini perlu digarisbawahi,  bukan saja   karena   sekian   banyak   ulama  melakukan  analisis kebahasaan  dalam  mengemukakan  dan   atau   menolak   satu pendapat,  tetapi  juga  karena  Kitab  Suci ini menggunakan
beberapa istilah yang berbeda ketika menunjuk  kepada  orang Yahudi  dan  Nasrani,  dua  kelompok masyarakat yang minimal disepakati oleh seluruh ulama sebagai Ahl Al-Kitab.

Selain istilah  Ahl  Al-Kitab,  Al-Qur'an  juga  menggunakan istilah  Utu  Al-Kitab,  Utu nashiban minal kitab, Al-Yahud,Al-Ladzina  Hadu,  Bani  Israil,  An  Nashara,  dan  istilah lainnya.

Kata  Ahl Al-Kitab terulang di dalam Al-Qur'an sebanyak tiga puluh satu  kali,  Utu  Al-Kitab  delapan  belas  kali,  Utu nashiban  minal  kitab  tiga  kali,  Al-Yahud  delapan kali, Al-Ladzina Hadu sepuluh kali, An-Nashara empat  belas  kali, dan Bani/Banu Isra'il empat puluh satu kali Kesan  umum diperoleh bahwa bila Al-Qur'an menggunakan kata Al-Yahud maka isinya adalah kecaman  atau  gambaran  negative tentang   mereka.  Perhatikan  misalnya  firman-Nya  tentang kebencian orang Yahudi terhadap kaum  Muslim  (QS  Al-Maidah [5]:  82) :
"Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. dan Sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami Ini orang Nasrani". yang demikian itu disebabkan Karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) Karena Sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri".

atau ketidakrelaan orang-orang Yahudi dan Nasrani terhadap kaum Muslim sebelum umat Islam mengikuti mereka (QS Al-Baqarah  [2]:  120)
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu".

atau  pengakuan  mereka bahwa orang Yahudi dan Nasrani adalah putra-putra dan kinasih Allah  (QS Al-Ma-idah  [5]:  18) "Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: "Kami Ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya". Katakanlah: "Maka Mengapa Allah menyiksa kamu Karena dosa-dosamu?" (kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia(biasa) diantara orang-orang yang diciptakan-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. dan kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu)".



atau  pernyataan  orang Yahudi bahwa tangan Allah terbelenggu (kikir) (QS Al-Maidah [5]: 64),
"
Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu"[426], Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu[427] dan merekalah yang dila'nat disebabkan apa yang Telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; dia menafkahkan sebagaimana dia kehendaki. dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. dan kami Telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. setiap mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.

426-  maksudnya ialah kikir.
427- kalimat-kalimat Ini adalah kutukan dari Allah terhadap orang-orang Yahudi berarti bahwa mereka akan terbelenggu di bawah kekuasaan bangsa-bangsa lain selama di dunia dan akan disiksa dengan belenggu neraka di akhirat kelak.

dan sebagainya. Bila Al-Qur'an menggunakan Al-Ladzina Hadu, maka
kandungannya ada  yang  berupa  kecaman,  misalnya  terhadap
mereka  yang  mengubah  arti  kata-kata  atau  mengubah  dan
menguranginya (QS Al-Nisa,  [41]:  46 :
Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya[302]. mereka Berkata : "Kami mendengar", tetapi kami tidak mau menurutinya[303]. dan (mereka mengatakan pula) : "Dengarlah" sedang kamu Sebenarnya tidak mendengar apa-apa[304]. dan (mereka mengatakan) : "Raa'ina"[305], dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. sekiranya mereka mengatakan : "Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami", tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, Karena kekafiran mereka. mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis.

[302]  Maksudnya: mengubah arti kata-kata, tempat atau menambah dan mengurangi.
[303]  maksudnya mereka mengatakan : Kami mendengar, sedang hati mereka mengatakan: Kami tidak mau menuruti.
[304]  maksudnya mereka mengatakan: Dengarlah, tetapi hati mereka mengatakan: Mudah-mudahan kamu tidak dapat mendengarkan (tuli).
[305]  Raa 'ina berarti: sudilah kiranya kamu memperhatikan kami. di kala para sahabat menghadapkan kata Ini kepada Rasulullah, orang Yahudipun memakai kata Ini dengan digumam seakan-akan menyebut Raa'ina padahal yang mereka katakan ialah Ru'uunah yang berarti kebodohan yang sangat, sebagai ejekan kepada Rasulullah. Itulah sebabnya Tuhan menyuruh supaya sahabat-sahabat menukar perkataan Raa'ina dengan Unzhurna yang juga sama artinya dengan Raa'ina.

atau  bahwa  mereka tekun  mendengar  (berita kaum Muslim) untuk menyebarluaskan kebohongan  (QS  Al-Maidah  [5]:  41),
" Hari rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka:"Kami Telah beriman", padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong[415] dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu[416]; mereka merobah[417] perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. mereka mengatakan: "Jika diberikan Ini (yang sudah di robah-robah oleh mereka) kepada kamu, Maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan Ini Maka hati-hatilah". barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, Maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah. mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar".

[415]  maksudnya ialah: orang Yahudi amat suka mendengar perkataan-perkataam pendeta mereka yang bohong, atau amat suka mendengar perkataan-perkataan nabi Muhammad s.a.w untuk disampaikan kepada pendeta-pendeta dan kawan-kawan mereka dengan cara yang tidak jujur.
[416]  Maksudnya: mereka amat suka mendengar perkataan-perkataan pemimpin-pemimpin mereka yang bohong yang belum pernah bertemu dengan nabi Muhammad s.a.w. Karena sangat benci kepada beliau, atau amat suka mendengarkan perkataan-perkataan nabi Muhammad s.a.w. untuk disampaikan secara tidak jujur kepada kawan-kawannya tersebut.
[417]  Maksudnya: merobah arti kata-kata, tempat atau menambah dan mengurangi.

dan  ada  juga  yang bersifat  netral,  seperti  janji  bagi  mereka yang beriman dengan benar untuk tidak  akan  mengalami  rasa  takut  atau sedih (QS Al-Baqarah [2]: 62).
" Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin[56], siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah[57], hari Kemudian dan beramal saleh[58], mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati ".

[56]  Shabiin ialah orang-orang yang mengikuti syari'at nabi-nabi zaman dahulu atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa.
[57]  orang-orang mukmin begitu pula orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang beriman kepada Allah termasuk iman kepada Muhammad s.a.w., percaya kepada hari akhirat dan mengerjakan amalan yang saleh, mereka mendapat pahala dari Allah.
[58]  ialah perbuatan yang baik yang diperintahkan oleh agama islam, baik yang berhubungan dengan agama atau tidak.

Kata  Nashara  sama  penggunaannya  dengan  Al-Ladzina Hadu, terkadang  digunakan  dalam  konteks  positif  dan   pujian, misalnya  surat  Al-Maidah  [5]: 82 
" Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. dan Sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami Ini orang Nasrani". yang demikian itu disebabkan Karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) Karena Sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri".

 yang menjelaskan tentang mereka yang paling akrab persahabatannya dengan  orang-orang Islam; dan di kali lain dalam konteks kecaman, seperti dalam surat   Al-Baqarah   [2]:   120,


" Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu ".


yang   berbicara   tentang ketidakrelaan mereka terhadap orang Islam sampai kaum Muslim mengikuti  mereka.  Dalam   kesempatan   lain   kandungannya bersifat  netral:  bukan  kecaman bukan pula pujian, seperti
dalam surat  Al-Hajj  [22];  17, "
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin[983] orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi Keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.

[983]  Syafa'at: usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain. syafa'at yang tidak diterima di sisi Allah adalah syafa'at bagi orang-orang kafir.

yang  membicarakan  tentang putusan    Tuhan    yang    adil    terhadap    mereka   dan kelompok-kelompok  lain,  kelak  di  hari  kemudian.  Dengan demikian,   kita   dapat  mengatakan  bahwa  bila  Al-Qur'an menggunakan  Al-Yahud,  maka  pasti  ayat  tersebut   berupa kecaman  atas sikap-sikap buruk mereka, dan jika menggunakan kata Nashara, maka ia belum  tentu  bersikap  kecaman,  sama halnya dengan Al-Ladzina Hadu.

Agaknya ini sebabnya sehingga surat Al-Baqarah [2]: 120 yang
berbunyi "Lan  tardha  'ankal-Yahud  wa  lan  Nashara  hatta
tattabi'a  millatahum  (orang  Yahudi dan Nasrani tidak akan
rela   kepadamu   (Muhammad)   sampai    engkau    mengikuti
agama/tatacara  mereka,"  menggunakan  kata  "lan"  terhadap
orang Yahudi, dan kata "la" terhadap orang Nasrani.  Menurut
pakar-pakar  bahasa Al-Qur'an, antara lain Az-Zarkasyi dalam
bukunya Al-Burhan,  kata  "lan"  digunakan  untuk  menafikan
sesuatu  di  masa  datang,  dan penafian tersebut lebih kuat
dari "la" yang  digunakan  untuk  menafikan  sesuatu,  tanpa
mengisyaratkan  masa  penafian  itu,  sehingga boleh saja ia
terbatas untuk masa lampau, kini, atau masa datang.

Ayat di atas, secara tegas menyatakan bahwa selama seseorang
itu  Yahudi (Ingat bukan Al-Ladzina Hadu atau Ahl Al-Kitab),
maka ia pasti tidak akan rela  terhadap  umat  Islam  hingga
umat  Islam  mengikuti  agama/tatacara  mereka.  Dalam arti,
menyetujui sikap dan tindakan serta arah yang mereka tuju.

Mufasir besar Ar-Razi mengemukakan  bahwa  maksud  ayat  ini
adalah menjelaskan:

"Keadaan  mereka  dalam  bersikeras berpegang pada kebatilan
mereka, dan ketegaran mereka dalam kekufuran,  bahwa  mereka
itu  juga  (di  samping  kekufuran  itu)  berkeinginan  agar
diikuti millat mereka. Mereka tidak rela dengan kitab  (suci
yang dibawa beliau), bahkan mereka berkeinginan (memperoleh)
persetujuan  beliau  menyangkut   keadaan   mereka.   Dengan
demikian  (Allah)  menjelaskan  kerasnya  permusuhan  mereka
terhadap Rasul, serta menerangkan situasi yang mengakibatkan
keputusasaan tentang persetujuan mereka (menganut Islam)."

Syaikh Muhammad Thahir bin Asyur dalam tafsirnya menjelaskan
bahwa kalimat  hatta  tattabi'a  millatahum  (sampai  engkau
mengikuti agama mereka) adalah:

Kinayat  (kalimat  yang  mengandung makna bukan sesuai bunyi
teksnya) keputusasaan (tidak adanya kemungkinan) bagi  orang
Yahudi  dan  Nasrani  untuk memeluk Islam ketika itu, karena
mereka  tidak  rela  kepada  Rasul  kecuali  (kalau   Rasul)
mengikuti  agama/tatacara  mereka.  Maka  ini  berarti bahwa
mereka tidak mungkin akan mengikuti agama beliau; dan karena
keikutan  Nabi  pada  ajaran  mereka  merupakan sesuatu yang
mustahil, maka kerelaan mereka terhadap  beliau  (Nabi)  pun
demikian. Ini sama dengan (firman-Nya):

     "hingga masuk ke lubang jarum" (QS Al-A'raf [7]: 40)

dan (firman-Nya),

"Aku  tidak  akan  menyembah  apa yang kamu sembah, dan kamu
bukan penyembah (Tuhan)  yang  aku  sembah"  (QS  Al-Kafirun
[109]: 2-3).

Dalam uraian Syaikh Fadhil di atas ditemukan kalimat "ketika
itu" untuk menjelaskan  bahwa  keputusasaan  tersebut  hanya
ditekankan  oleh ayat ini pada Al-Yahud wan-Nashara tertentu
ketika itu, bukan terhadap mereka  semua,  karena  kenyataan
menunjukkan  bahwa  setelah  turunnya ayat ini ada di antara
Ahl Al-Kitab yang memeluk agama Islam.  Pengertian  tersebut
sama dengan firman-Nya dalam surat Yasin [36]: 10:

"Sama  saja  bagi  mereka:  apakah  kamu  memberi peringatan
kepada mereka, ataukah kamu tidak memberi peringatan  kepada
mereka, mereka tidak akan beriman."

Yang  dimaksud  di  sini  adalah  orang-orang kafir tertentu
ketika itu (pada  masa  Nabi),  bukan  seluruh  orang  kafir
karena  kenyataan juga menunjukkan bahwa sebagian besar dari
orang kafir pada masa Nabi,  pada  akhirnya  memeluk  Islam.
Arti  surat  Al-Baqarah  [2]:  120 di atas perlu ditegaskan,
karena sering tertadi kesalahpahaman tentang  maknanya.  Dan
juga  sebagaimana diketahui, Yudaisme bukanlah agama dakwah,
bahkan mereka cenderung eksklusif  dalam  bidang  agama  dan
orang lain cenderung enggan menganut agamanya. Di sisi lain,
seperti dikemukakan dalam  riwayat-riwayat,  sebab  turunnya
surat   Al-Baqarah   [2]:   120  di  atas  berkenaan  dengan
pemindahan kiblat shalat kaum Muslim ke  arah  Ka'bah,  yang
ditanggapi  oleh  non-Muslim dengan sinis, karena ketika itu
kaum Yahudi Madinah dan  kaum  Nasrani  Najran  mengharapkan
agar  Nabi  dan  kaum  Muslim  mengarahkan  shalat mereka ke
kiblat mereka.  Demikian  pendapat  Ibnu  Abbas  sebagaimana
dikemukakan oleh As-Sayuthi dalam kaxyanya Ashab Al-Nuzul

Penafian   Al-Qur'an   terhadap  An-Nashara,  tidak  setegas
penafiannya terhadap Al-Yahud,  sehingga  boleh  jadi  tidak
semua  mereka bersikap demikian. Boleh jadi juga kini dan di
masa lalu demikian, tetapi masa datang tidak lagi.  Walhasil
penggunaan  kata  "la"  buat mereka tidak setegas penggunaan
kata "lan" untuk orang Yahudi.

Dengan merujuk kepada ayat-ayat yang  menggunakan  kata  Ahl
Al-Kitab,  ditemukan  bahwa  pembicaraan  Al-Qur'an  tentang
mereka berkisar pada uraian tentang sikap dan sifat mereka -
positif  dan negatif serta sikap yang hendaknya diambil oleh
kaum Muslim terhadap mereka.

SIFAT DAN SIKAP AHL AL-KITAB

Al-Qur'an banyak  berbicara  tentang  sifat  dan  sikap  Ahl
Al-Kitab   terhadap   kaum  Muslim,  dan  berbicara  tentang
keyakinan  dan  sekte  mereka  yang  beraneka  ragam.  Surat
An-Nisa,  [4]:  171  dan  Al-Ma-idah  [5]: 77 mengisyaratkan
bahwa mereka memiliki paham keagamaan yang ekstrem.

"Wahai Ahl Al-Kitab, jangan melampaui batas  dalam  agamamu,
dan  jangan  mengatakan terhadap Allah kecuali yang hak" {QS
Al-Nisa, [4]: 171).

Mereka juga dinilai oleh Al-Qur'an sebagai telah  mengkufuri
ayat-ayat   Allah,  serta  mengingkari  kebenaran  (kenabian
Muhammad saw).

"Wahai Ahl  Al-Kitab,  mengapa  kamu  mengingkari  ayat-ayat
Allah   padahal  kamu  mengetahui  (kebenarannya)?  Hai  Ahl
Al-Kitab, mengapa kamu mencampuradukkan yang hak dengan yang
batil,    dan    menyembunyikan   kebenaran   padahal   kamu
mengetahui?" (QS Ali 'Imran [3]: 70-71).

Nabi  Muhammad   saw.   diperintahkan   oleh   Allah   untuk
menyampaikan kepada mereka:

Katakanlah:  "Hai  Ahl  Al-Kitab, apakah kamu memandang kami
salah hanya lantaran kami beriman kepada Allah,  kepada  apa
yang  diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan
sebelumnya,  sedang  banyak  di  antara   kamu   benar-benar
orang-orang yang fasik?" (QS Al-Ma-idah [5]: 59).

Bahkan   Allah   Swt.   secara   langsung  dan  berkali-kali
mengingatkan  kaum  Muslim  untuk  tidak  mengangkat  mereka
sebagai pemimpin-pemimpin atau teman-teman akrab atau tempat
menyimpan rahasia.

"Hai orang-orang  yang  beriman,  janganlah  kamu  mengambil
orang-orang       Yahudi       dan      Nasrani      menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin  bagi
sebagian   yang   lain.  Barangsiapa  di  antara  kamu  yang
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka  sesungguhnya  orang
itu  termasuk  golongan  mereka.  Sesungguhnya  Allah  tidak
memberi  petunjuk  kepada  orany-orang   yang   zalim"   (QS
Al-Ma-idah [5]: 51).

Dalam  QS  Ali  'Imran [3]: 118 kaum Muslim diingatkan untuk
tidak menjadikan orang-orang di luar kalangan Muslim sebagai
bithanah   (teman-teman  tempat  menyimpan  rahasia)  dengan
alasan bahwa:

"... mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kerugian bagi
kamu  (kaum  Muslim).  Mereka  menyukai apa yang menyusahkan
kamu. Telah nyata kebencian dari  mulut  mereka  sedang  apa
yang  disembunyikan  oleh hati mereka lebih besar lagi. Kami
telah menjelaskan  kepadamu  tanda-tanda  (siapa  kawan  dan
siapa  lawan), jika kalian memahaminya." (QS Ali 'Imran [3]:
118).

Terhadap merekalah Nabi saw. bersabda,

"Jangan memulai mengucapkan salam kepada  orang  Yahudi  dan
jangan pula pada Nasrani. Kalau kamu menemukan salah seorang
di antara mereka di jalan, maka desaklah  ia  ke  pinggiran"
(HR Muslim melalui Abu Hurairah).

Sahabat  dan  pembantu  Nabi  saw.,  Anas bin Malik, berkata
bahwa Nabi saw. bersabda,

"Apabila Ahl Al-Kitab mengucapkan salam  kepada  kamu,  maka
katakanlah, Wa 'alaikum" (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam  buku  Dalil  Al-Falihin  dikemukakan bahwa para ulama
berbeda pendapat tentang hukum memulai ucapan  salam  kepada
orang-orang  kafir. Mayoritas melarangnya tetapi banyak juga
yang membolehkan antara lain sahabat Nabi, Ibnu Abbas. Namun
apabila mereka mengucapkan salam, maka adalah wajib hukumnya
bagi kaum Muslim untuk menjawab  salam  itu.  Ulama  sepakat
dalam hal ini.

Al-Qur'an juga menyatakan bahwa,

"Apabila  mereka  condong  kepada  salam  (perdamaian), maka
condong  pulalah  kepadanya,  dan  berserah  dirilah  kepada
Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui"
(QS Al-Anfal [8]: 61).

Perlu digarisbawahi bahwa berlaku adil terhadap Ahl Al-Kitab
siapa  pun  mereka,  walau  Yahudi  -  tetap  dituntut  oleh
Al-Qur'an. Ulama-ulama Al-Qur'an menguraikan bahwa Nabi saw.
pernah  cenderung  mempersalahkan  seorang Yahudi yang tidak
bersalah - karena  bersangka  baik  terhadap  keluarga  kaum
Muslim  yang  menuduhnya.  Sikap  Nabi tersebut ditegur oleh
Allah dengan menurunkan surat An-Nisa, [4]: 105.

"Sesungguhnya Kami telah menurunkan  Kitab  kepadamu  dengan
membawa  kebenaran,  supaya  engkau  mengadili antar manusia
dengan apa  yang  Allah  wahyukan  kepadamu.  Dan  janganlah
engkau  menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena
(membela) orang-orang yang khianat."

APAKAH AHL AL-KITAB SEMUA SAMA?

Di  atas  telah  dipaparkan  sebagian  dari  ayat-ayat  yang
berbicara tentang Ahl Al-Kitab serta kecaman dan sifat-sifat
negatif mereka. Pertanyaan yang dapat muncul adalah: "Apakah
ayat-ayat   di  atas  berlaku  umum,  menyangkut  semua  Ahl
Al-Kitab kapan dan di mana pun mereka berada?"

Penggalan  terakhir  surat  Al-Ma-idah  [5]:  59   di   atas
menyatakan  bahwa  banyak di antara kamu (hai Ahl Al-Kitab),
perlu digarisbawahi untuk  menjawab  pertanyaan  ini.  Hemat
penulis,  penggalan  tersebut paling tidak menunjukkan bahwa
tidak semua mereka bersikap demikian.

Kesimpulan ini didukung dengan  sangat  jelas  paling  tidak
dalam dua ayat berikut:

"Banyak  dari  Ahl  Al-Kitab  yang  menginginkan agar mereka
dapat  mengembalikan  kamu  kepada  kekafiran  setelah  kamu
beriman,  karena  dengki  yang timbul dari dalam hati mereka
setelah nyata bagi mereka  kebenaran.  Maka  maafkanlah  dan
biarkanlah  mereka  sampai  Allah mendatangkan perintah-Nya.
Sesungguhnya  Allah  Mahakuasa  atas  segala  sesuatu"   (QS
Al-Baqarah [2]: 109).

Perlu  diketahui  bahwa ayat di atas menggunakan kata katsir
yang  seharusnya  diterjemahkan  banyak,  bukan   kebanyakan
sebagaimana   dalam   Al-Qur'an   dan   Terjemahannya   oleh
Departemen Agama. Ini dikuatkan juga dengan firman-Nya:

"Segolongan dari Ahl Al-Kitab ingin menyesatkan kamu padahal
mereka  (sebenarnya)  tidak  menyesatkan kecuali diri mereka
sendiri, dan mereka tidak menyadarinya" (QS Ali 'Imran  [3]:
69)

Kalau  melihat  redaksi  ayat  di atas, maka dapat dikatakan
bahwa dalam  konteks  upaya  pemurtadan,  maka  tidak  semua
mereka  bersikap  sama.  Sejalan  dengan ini, ada peringatan
yang ditujukan kepada kaum Mukmin yang menyatakan:

"Wahai  orang-orang  yang  beriman,  jika   kamu   mengikuti
sekelompok   dari   Ahl   Al-Kitab,   niscaya   mereka  akan
mengembalikan kamu menjadi orang-orang  kafir  sesudah  kamu
beriman" (QS Ali 'Imran [3]: 100).

Nah,  jika demikian dapat dipahami keterangan Al-Qur'an yang
menyatakan bahwa,

"Mereka itu tidak sama. Di antara Ahl Al-Kitab ada  golongan
yang  berlaku  lurus.  Mereka  membaca  ayat-ayat Allah pada
beberapa waktu di malam hari, sedang mereka  juga  bersujud"
(QS Ali 'Imran [3]: 113) .

Sebelumnya  dalam  surat yang sama Al-Qur'an juga memberikan
informasi,

"Di antara Ahl Al-Kitab ada  yang  jika  kamu  mempercayakan
kepadanya  harta  yang banyak, dikembalikannya kepadamu, dan
di  antara  mereka  ada  juga  yang  jika  kamu   percayakan
kepadanya  satu dinar (saja) tidak dikembalikannya kepadamu,
kecuali  selama  kamu  berdiri  (selalu  menagihnya).   Yang
demikian  itu  karena  mereka  berkata  (berkeyakinan) bahwa
tidak ada dosa bagi kami (memperlakukan tidak adil) terhadap
orang-orang ummi (Arab). Mereka berkata dusta terhadap Allah
padahal mereka mengetahui" (QS Ali 'Imran [3]: 75).

Demikian juga ketika Al-Qur'an mengungkap isi hati  sebagian
Ahl Al-Kitab dinyatakannya bahwa:

"Permusuhan   antar  sesama  mereka  sangatlah  hebat.  Kamu
menduga mereka bersatu, padahal hati mereka berpecah  belah"
(QS Al-Hasyr [59]: 14).

BAGAIMANA SEHARUSNYA SIKAP TERHADAP AHL AL-KITAB

Di atas terlihat bahwa Ahl Al-Kitab tidak semua sama. Karena
itu sikap  yang  diajarkan  Al-Qur'an  terhadap  mereka  pun
berbeda, sesuai dengan sikap mereka.

Dalam  sekian  banyak  ayat  yang  menggunakan  istilah  Ahl
Al-Kitab, terasa adanya uluran tangan dan sikap  bersahabat,
walaupun  di  sana-sini  Al-Qur'an mengakui adanya perbedaan
dalam keyakinan.

Perhatikan firman Allah berikut ini:

"Janganlah kamu  berdebat  dengan  Ahl  Al-Kitab,  melainkan
dengan    cara   yang   sebaik-baiknya,   kecuali   terhadap
orang-orang yang zalim di  antara  mereka"  (QS  Al-'Ankabut
[29]: 46).

Dalam beberapa kitab tafsir - seperti juga pada catatan kaki
Al-Qur'an dan  Terjemahnya  Departemen  Agama  -  dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan "orang-orang zalim" dalam ayat di
atas adalah mereka yang  setelah  diberi  penjelasan  dengan
baik,  masih  tetap  membantah,  membangkang, dan menyatakan
permusuhan.

Sebenarnya yang diharapkan oleh kaum Muslim dari semua pihak
termasuk  Ahl  Al-Kitab adalah kalimat sawa' (kata sepakat),
dan kalau ini tidak ditemukan, maka cukuplah  mengakui  kaum
Muslim  sebagai  umat  beragama  Islam,  jangan diganggu dan
dihalangi dalam melaksanakan ibadahnya.  Dalam  konteks  ini
Al-Qur'an memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw.,

"Hai  Ahl  Al-Kitab, marilah kepada satu kata sepakat antara
kita yang tidak ada perselisihan di antara  kami  dan  kamu,
yakni  bahwa  kita  tidak  menyembah kecuali Allah, dan kita
tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak pula
sebagian  kita  menjadikan  sebagian yang lain sebagai tuhan
selain dari Allah. Jika mereka  berpaling,  maka  katakanlah
(kepada  mereka),  'Saksikanlah  (akuilah) bahwa kami adalah
orang-orang Muslim (yang menyerahkan diri kepada Allah)" (QS
Ali 'Imran [3]: 64).

Sekali   lagi  penulis  katakan  "sebagian  mereka,"  karena
Al-Qur'an juga menggarisbawahi bahwa:

"Dan sesungguhnya di antara  Ahl  Al-Kitab  ada  orang  yang
beriman  kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada
kamu, dan apa yang diturunkan kepada  mereka  sedang  mereka
berendah  hati  kepada  Allah,  dan  mereka tidak menukarkan
ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh
pahala  di  sisi Tuhan mereka. Sesungguhnya Allah amat cepat
perhitungan-Nya" (QS Ali 'Imran [3]: 199).

Memang, tidak sedikit dari Ahl Al-Kitab yang kemudian dengan
tulus memeluk agama Islam. Salah seorang yang paling populer
di antara mereka  adalah  Abdullah  bin  Salam.  Al-Qurthubi
dalam  tafsirnya  meriwayatkan  bahwa  ketika  turun  firman
Allah:

"Orang-orang yang  telah  Kami  beri  Al-Kitab  (Taurat  dan
Injil)   mengenalnya   (Muhammad  saw.)  sebagaimana  mereka
mengenal anak-anak mereka" (QS Al-Baqarah [2]: 146).

Umar r.a. bertanya kepada Abdullah bin Salam, "Apakah engkau
mengenal   Muhammad  sebagaimana  engkau  mengenal  anakmu?"
Abdullah  menjawab,  "Ya,  bahkan  lebih.  (Malaikat)   yang
terpercaya  turun dari langit kepada manusia yang terpercaya
di bumi, menjelaskan  sifat  (cirinya),  maka  kukenal  dia;
(sedang  anakku)  aku  tidak  tahu  apa yang telah dilakukan
ibunya."

AHL AL-KITAB PADA MASA TURUNNYA AL-QUR'AN

Sebelum membuka lembaran ayat-ayat Al-Qur'an  perlu  kiranya
kita  menoleh  ke  sejarah dakwah Islamiah yang dilaksanakan
oleh  Nabi  Muhammad  saw.  Sepuluh  tahun  lamanya   beliau
melaksanakan  misi kerasulan di Makkah, dan yang dihadapi di
sana adalah kaum musyrik penyembah berhala. Di  kota  Makkah
sendiri  penganut agama Yahudi sangat sedikit, bahkan hampir
tidak  ada.  Musuh  pertama  dan  utama  ketika  itu  adalah
orang-orang  Makkah,  dan  mereka itu disebut oleh Al-Qur'an
sebagai al-musyrikun.

Penindasan kaum musyrik  di  Makkah  terhadap  kaum  Muslim,
memaksa  sebagian  kaum  Muslim  melakukan hijrah pertama ke
Ethiopia. Di sana mereka disambut dengan  baik  oleh  Negus,
penguasa yang beragama Nasrani.

Masyarakat  Madinah  terdiri  dari dua kelompok besar, yaitu
Aus dan Khazraj,  serta  orang-orang  Yahudi  yang  memiliki
kekuatan  ekonomi yang cukup memadai. Aus dan Khazraj saling
bermusuhan  dan  berperang.  Tidak   jarang   pula   terjadi
perselisihan  dan  permusuhan  antara  mereka  dengan  orang
Yahudi. Pertempuran dan perselisihan  itu  melelahkan  semua
pihak;  sayang  tidak  ada  di  antara  mereka yang memiliki
wibawa  yang  dapat  mempersatukan  kelompok-kelompok   yang
bertikai ini.

Orang-orang   Yahudi  sering  mengemukakan  kepada  Aus  dan
Khazraj, bahwa  akan  datang  seorang  Nabi  (dari  kelompok
mereka),  dan  bila  ia  datang  pastilah  kaum  Yahudi akan
mengalahkan  musuh-musuhnya.  Dalam  konteks  ini  Al-Qur'an
menyatakan - menyangkut orang Yahudi - bahwa,

"Setelah  datang  kepada  mereka  Al-Qur'an  dan  Allah yang
membenarkan apa yang ada  pada  mereka,  padahal  sebelumnya
mereka  biasa memohon (demi kedatangan Nabi yang dijanjikan)
untuk  mendapat  kemenangan  atas  orang-orang  kafir,  maka
setelah  datang kepada mereka apa yang mereka ketahui mereka
lalu ingkar kepadanya. Maka laknat  Allah  atas  orang-orang
yang ingkar itu" (QS Al-Baqarah [2]: 89).

Yang  dimaksud dengan "membenarkan apa yang ada pada mereka"
adalah kehadiran seorang  Nabi,  yang  dalam  hal  ini  Nabi
Muhammad  saw.  Sahabat Nabi Ibnu Abbas menjelaskan apa yang
dimaksud dengan "padahal sebelumnya  mereka  biasa  memohon"
adalah  bahwa  orang  Yahudi  Khaibar berperang melawan Arab
Gathfan,  tetapi  mereka   dikalahkan,   maka   ketika   itu
orang-orang  Yahudi  berdoa,  "Kami  bermohon kepada-Mu demi
Nabi Ummi yang engkau janjikan untuk mengutusnya kepada kami
di  akhir  zaman,  menangkanlah  kami  atas mereka" sehingga
mereka berhasil mengalahkan musuh-musuh mereka.

Al-Qur'an  juga  menginformasikan  bahwa  keengganan  mereka
beriman  disebabkan  oleh  karena  "kedengkian  dan iri hati
mereka" (QS Al-Baqarah [2]:  109).  Tadinya  mereka  menduga
bahwa  Nabi  tersebut dari Bani Israil, tetapi ternyata dari
golongan Arab yang merupakan seteru mereka.

Terbaca dari uraian sejarah di atas bahwa orang-orang Yahudi
dan  Nasrani  hampir  tidak  ada  di  kota  Makkah. Itu pula
sebabnya sehingga kaum musyrik di sana  mengirim  utusan  ke
Madinah  untuk  memperoleh  "pertanyaan  berat"  yang  dapat
diajukan  kepada  Nabi  Muhammad  dalam  rangka   pembuktian
kenabiannya.   Ketika   itu   orang-orang   Yahudi   Madinah
menyarankan agar menanyakan soal ruh, dan  peristiwa  itulah
yang melatar belakangi turunnya firman Allah:

"Mereka  bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah, 'Ruh itu
termasuk urusan  Tuhanku.'  Kamu  tidak  diberi  pengetahuan
kecuali sedikit" (QS Al-Isra' [17]: 85).

Kehadiran  Nabi Muhammad saw. ke Madinah, disambut baik oleh
Aus dan Khazraj bukan saja  sebagai  pemersatu  mereka  yang
selama ini telah lelah bertempur dan mendambakan perdamaian,
tetapi juga karena mereka yakin bahwa beliau  adalah  utusan
Allah,  yang  sebelumnya  telah  mereka ketahui kehadirannya
melalui orang-orang Yahudi.

Adapun orang-orang Nasrani lebih banyak bertempat tinggal di
Yaman,  bukan  di Madinah. Kalaupun ada yang di sana, mereka
tidak mempunyai pengaruh politik atau ekonomi, namun  mereka
juga disebut oleh Al-Qur'an sebagai Ahl Al-Kitab.

Kembali   kepada   persoalan   di   atas,   ditemukan  bahwa
ulama-ulama tafsir bila menemukan istilah Ahl Al-Kitab dalam
sebuah  ayat,  seringkali  menjelaskan  siapa  yang dimaksud
dengan istilah tersebut.  Hal  ini  wajar  karena  Al-Qur'an
secara  tegas menyatakan bahwa Ahl Al-Kitab tidak sama dalam
sifat dan sikapnya terhadap Islam dan kaum  Muslim  (QS  Ali
'Imran  [3]:  113).  Itu  pula  sebabnya, dalam hal-hal yang
dapat menimbulkan kerancuan pemahaman istilah itu, Al-Qur'an
tidak  jarang  memberi  penjelasan  tambahan  yang berkaitan
dengan sifat atau ciri khusus Ahl Al-Kitab yang dimaksudnya.
Perhatikan  misalnya  ayat  yang berbicara tentang kebolehan
kawin dengan wanita Ahl Al-Kitab, di sana  ditambahkan  kata
wal muhshanat (wanita-wanita yang memelihara kehormatannya),
sedang ketika berbicara tentang kebolehan memakan sembelihan
mereka,  Al-Qur'an  mengemukakannya  tanpa  penjelasan  atau
syarat.

MENGAPA ADA KECAMAN TERHADAP AHL AL-KITAB?

Kebanyakan kecaman terhadap Ahl  Al-Kitab  ditujukan  kepada
orang  Yahudi,  bukan  kepada  orang Nasrani. Ini disebabkan
karena sejak semula ada  perbedaan  sikap  di  antara  kedua
kelompok  Ahl  Al-Kitab itu terhadap kaum Muslim (perhatikan
kembali penggunaan kata "lan" dan "la" pada uraian di atas).
Ketika Romawi yang beragama Kristen mengalami kekalahan dari
Persia yang menyembah api (614 M), kaum Muslim merasa sedih,
dan Al-Qur'an turun menghibur mereka dengan menyatakan bahwa
dalam jangka waktu tidak lebih dari sembilan  tahun,  Romawi
akan menang, dan ketika itu kaum Mukmin akan bergembira:

"Alif  Lam  Mim.  Telah  dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri
yang terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang
dalam  beberapa  tahun (lagi). Bagi Allah urusan sebelum dan
sesudah (mereka  menang)  dan  di  hari  (kemenangan  bangsa
Rumawi)  itu  bergembiralah  orang-orang yang beriman karena
pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang  dikehendaki-Nya,
dan  Dialah  Maha  Perkasa  lagi  Maha Penyayang" (QS Al-Rum
[30]: 1-5).

Sikap penguasa Masehi pun cukup baik terhadap  kaum  Muslim.
Ini  antara  lain  terlihat  dalam sambutan dan perlindungan
yang diberikan oleh penguasa Ethiopia yang beragama  Nasrani
kepada  kaum  Muslim  yang berhijrah ke sana, sehingga wajar
jika secara tegas Al-Qur'an menyatakan:

"Sesungguhnya kamu pasti  akan  menemukan  orang-orang  yang
paling  keras  permusuhannya  terhadap  orang-orang  beriman
ialah  orang-orang  Yahudi  dan  orang-orang  musyrik,   dan
sesungguhnya   pasti   kamu   dapati   yang   paling   dekat
persahabatannya   dengan    orang-orang    beriman    adalah
orang-orang  yang  berkata,  'Sesungguhnya  kami  ini  orang
Nasrani" (QS Al-Ma-idah [5]: 82).

Sebab pokok perbedaan sikap tersebut adalah kedengkian orang
Yahudi  terhadap  kehadiran  seorang Nabi yang tidak berasal
dari golongan mereka (QS  Al-Baqarah  [2]:  109).  Kehadiran
Nabi   kemudian   mengakibatkan  pengaruh  orang  Yahudi  di
kalangan   masyarakat   Madinah    menciut,    dan    bahkan
menghilangkan   pengaruh  politik  dan  kepentingan  ekonomi
mereka.

Di sisi lain, seperti pernyataan Al-Qur'an  di  atas,  sebab
kedekatan sebagian orang Nasrani kepada kaum Muslim adalah:

"Karena   di  antara  mereka  terdapat  pendeta-pendeta  dan
rahib-rahib,  dan  juga  karena  sesungguhnya  mereka  tidak
menyombongkan diri" (QS Al-Ma-idah [5]: 82)

Para  pendeta  ketika itu relatif berhasil menanamkan ajaran
moral yang bersumber dari ajaran Isa as., sedang para  rahib
yang   mencerminkan   sikap   zuhud  (menjauhkan  diri  dari
kenikmatan  duniawi  dengan  berkonsentrasi  pada   ibadah),
berhasil   pula   memberi   contoh   kepada   lingkungannya.
Keberhasilan itu didukung pula oleh  tidak  adanya  kekuatan
sosial  politik  dari kalangan mereka di Makkah dan Madinah,
sehingga  tidak  ada  faktor  yang  mengundang  gesekan  dan
benturan antara kaum Muslim dengan mereka.

Ini bertolak belakang dengan kehadiran orang Yahudi, apalagi
pendeta-pendeta mereka dikenal luas menerima sogok,  memakan
riba, dan masyarakatnya pun amat materialistis-individualis-
tis.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa  penyebab  utama  lahirnya
benturan,  bukannya ajaran agama, tetapi ambisi pribadi atau
golongan, kepentingan ekonomi, dan politik,  walaupun  harus
diakui  bahwa  kepentingan  tersebut  dapat  dikemas  dengan
kemasan agama, apalagi bila ajarannya disalahpahami.

Ayat-ayat  yang  melarang  kaum  Muslim  mengangkat  awliya'
(pemimpin-pemimpin yang menangani persoalan umat Islam) dari
golongan Yahudi  dan  Nasrani  serta  selain  mereka,  harus
dipahami  dalam konteks tersebut, seperti firman Allah dalam
surat Ali-'Imran [3]: 118:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil  menjadi
teman  kepercayaanmu  orang-orang  yang  di luar kalanganmu,
(karena)   mereka   tidak    henti-hentinya    (menimbulkan)
kemudharatan  bagimu.  Mereka  menyukai apa yang menyusahkan
kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa  yang
disembunyikan  oleh  hati  mereka  adalah  lebih besar lagi.
Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika
kamu memahaminya."

Ibnu  Jarir  dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat tersebut
turun berkenaan dengan sikap  orang  Yahudi  Bani  Quraizhah
yang   mengkhianati  perjanjian  mereka  dengan  Nabi  saw.,
sehingga  seperti  ditulis  Rasyid  Ridha  dalam  tafsirnya:
"Larangan  ini  baru  berlaku  apabila mereka memerangi atau
bermaksud jahat terhadap kaum Muslim."

Rasyid  Ridha,  mengkritik  dengan  sangat  tajam  pandangan
beberapa ulama tafsir seperti Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari
- yang  menjadikan  ayat  ini  sebagai  larangan  bersahabat
dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani secara mutlak.

Dalam  tafsirnya,  Al-Baidhawi  menguatkan  pendapatnya  itu
dengan hadis Nabi saw. yang menyatakan,

"(Kaum  Muslim  dan  mereka)  tidak   saling   melihat   api
keduanya."

Maksudnya  seorang  Muslim  tidak  wajar  bertempat  tinggal
berdekatan dengan non-Muslim  dalam  jarak  yang  seandainya
salah satu pihak menyalakan api, maka pihak lain melihat api
itu.

Sebenarnya hadis tersebut diucapkan oleh  Nabi  tidak  dalam
konteks  umum  seperti  pemahaman  Al-Baidhawi, tetapi dalam
konteks kewajiban berhijrah pada saat Nabi amat  membutuhkan
bantuan.  Dalam  arti,  Nabi  menganjurkan  umat Islam untuk
tidak tinggal di  tempat  di  mana  kaum  musyrik  bertempat
tinggal,  tetapi  mereka harus berhijrah ke tempat lain guna
mendukung perjuangan Nabi dan kaum Muslim.

Di sisi lain, hadis tersebut  sebenarnya  berstatus  mursal,
sedangkan  para  ulama  berselisih  mengenai  boleh tidaknya
hadis mursal untuk dijadikan argumen keagamaan. Rasyid Ridha
berkomentar:

"Banyak pengajar hanya merujuk kepada Tafsir Al-Baidhawi dan
Az-Zamakhsyari, sehingga wawasan pemahaman  mereka  terhadap
ayat   dan   hadis   menjadi   dangkal,   apalagi   keduanya
(Al-Baidhawi  dan  Az-Zamakhsyari)  hanya  memiliki  sedikit
pengetahuan  hadis,  dan  keduanya  pun tidak banyak merujuk
kepada  pendapat  salaf   (ulama   terdahulu   yang   diakui
kompetensinya).{1}"

Dalam   bagian  lain  tafsirnya,  Rasyid  Ridha,  mengaitkan
pengertian larangan di atas  dengan  larangan  serupa  dalam
Al-Qur'an:

Hai  orang-orang  yang beriman janganlah  kamu ambil menjadi
teman  kepercayaanmu orang-orang yang  di  luar  kalanganmu,
(karena)    mereka   tidak   henti-hentinya   (menimbulkan)
kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang  menyusahkan
kamu.  Telah nyata kebencian dan mulut mereka, dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi (QS
Ali Imran [3]: 1 18)

Karena  ciri-ciri  tersebutlah  maka  larangan  itu  muncul,
sehingga  ia  hanya  berlaku  terhadap  orang  yang  cirinya
demikian,  kendati seagama, sebangsa, dan seketurunan dengan
seorang Muslim.

"Sebagian  orang  tak  menyadari  sebab  atau  syarat-syarat
tersebut,  sehingga  mereka  berpendapat  bahwa larangan ini
bersifat mutlak terhadap yang  berlainan  agama.  Seandainya
larangan  tersebut mutlak, ini tidak aneh karena orang-orang
kafir ketika itu bersatu menentang  kaum  Mukmin  pada  awal
masa  kedatangan  Islam, ketika ayat ini turun. Apalagi ayat
ini menurut para pakar, turun menyangkut orang-orang Yahudi.
Namun  demikian  ayat di atas bersyarat dengan syarat-syarat
tersebut,  karena  Allah  swt.  yang  menurunkan  mengetahui
perubahan  sikap  pro  atau  kontra  yang dapat terjadi bagi
bangsa dan pemeluk agama.  Seperti  yang  terlihat  kemudian
dari  orang-orang  Yahudi  yang  pada awal masa Islam begitu
benci terhadap orang-orang Mukmin,  namun  berbalik  menjadi
membantu  kaum  Muslim dalam beberapa peperangan (seperti di
Andalusia) atau seperti halnya  orang  Mesir  yang  membantu
kaum Muslim melawan Romawi." {2}

Dari  sini dapat ditegaskan bahwa Al-Qur'an tidak menjadikan
perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalin hubungan
kerja  sama,  lebih  lebih mengambil sikap tidak bersahabat.
Bahkan Al-Qur'an sama sekali tidak melarang  seorang  Muslim
untuk  berbuat  baik dan memberikan sebagian hartanya kepada
siapa pun selama mereka tidak memerangi kaum  Muslim  dengan
motivasi  keagamaan  atau  mengusir  kaum  Muslim  di negeri
mereka. Demikian penafsiran surat Al-Mumtahanah [60]: 8 yang
dikemukakan  oleh  Ibn 'Arabi Abubakar Muhammad bin Abdillah
(1076-1148 M) dalam tafsirnya Ahkam Al-Qur'an.{3}

Atas dasar  itu  pula  sejumlah  sahabat  Nabi  bahkan  Nabi
sendiri ditegur oleh Al-Qur'an karena enggan memberi bantuan
nafkah kepada sejumlah  Ahl  Al-Kitab,  dengan  dalih  bahwa
mereka  enggan  memeluk  Islam.  Demikian Al-Qurthubi ketika
menjelaskan sebab turunnya ayat 272 surat Al-Baqarah:

"Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka  mendapat  petunjuk,
tetapi    Allah    yang    memberi   petunjuk   siapa   yang
dikehendaki-Nya. Dan apa saja  harta  yang  baik  yang  kamu
nafkahkan  dijalan  Allah,  maka  pahalanya  adalah  untukmu
jua.{4}"

Atas dasar pandangan itu pula, kaum Muslim  diwajibkan  oleh
Al-Qur'an  memelihara rumah-rumah ibadah yang telah dibangun
oleh orang-orang Yahudi, Nasrani,  dan  pemeluk  agama  lain
berdasarkan surat Al-Hajj [22]: 40.

"Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia.
dengan  sebagian  yang  lain,  tentulah   telah   dirobohkan
biara-biara   Nasrani,   gereja-gereja,  rumah-rumah  ibadat
Yahudi, dan masjid-masjid yang di  dalamnya  banyak  disebut
nama  Allah.  Sesungguhnya  Allah  pasti menolong orang yang
menolong   (agama)-Nya.   Sesungguhnya   Allah   benar-benar
Mahakuat lagi Mahaperkasa."

Dari  prinsip  yang  sama  Al-Qur'an membenarkan kaum Muslim
memakan sembelihan Ahl Al-Kitab dan mengawini  wanita-wanita
mereka yang menjaga kehormatannya.

SIAPA YANG DISEBUT AHL AL-KITAB?

Di   atas   telah   dikemukakan  bahwa  para  ulama  sepakat
menyatakan  bahwa  Ahl  Al-Kitab  adalah  orang  Yahudi  dan
Nasrani.  Namun para ulama berbeda pendapat tentang rincian,
serta cakupan  istilah  tersebut.  Uraian  tentang  hal  ini
paling  banyak dikemukakan oleh pakar-pakar Al-Qur'an ketika
mereka menafsirkan surat Al-Ma-idah [5]: 5, yang menguraikan
tentang  izin memakan sembelihan Ahl Al-Kitab, dan mengawini
wanita-wanita yang memelihara kehormatannya.

Al-Maududi, seorang pakar agama Islam  kontemporer,  menulis
perbedaan  pendapat  para  ulama  tentang  cakupan makna Ahl
Al-Kitab yang penulis rangkum sebagai berikut: {5}

baca juga :


{1} Baca lebih jauh Tafsir Al-Manar, Jilid VI, hlm. 428.
{2} Tafsir Al-Manar, Jilid IV, hlm. 82
{3} Lihat Tafsir Al-Manar, Jilid IV, hlm. 1773.
{4} Ahkam Al Qur'an, III, hlm. 337.
{5} Lihat majalah Al-Wa'i Al-Islam, Kuwait, Maret 1972,
    Thn. VIII, No. 86.
Artikel By : Prof. Dr. M. Quraisy Syihab