Falsafah Menangis atas Imam Husain
Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah
pernah berkata, “Mereka yang tidak pernah tersentuh dengan tragedi Karbala ,
tidak akan pernah tersentuh dengan tragedi kemanusiaan yang lain.” Tragedi
Karbala menjadi ukuran. Kepedulian kita atas tragedi kemanusiaan, khususnya
di bumi Nusantara ini akan terukur dari kepedulian kita pada Karbala. Imam
Khomeini pernah berkata, “Sungguh kesyahidan Husain senantiasa membakar hati
orang-orang yang beriman.” Dari sini, saya melihat tragedi Karbala sangat
relevan untuk kita kenang.
|
Karbala, nama hamparan sahara dekat sungai Eufrat yang
menjadi panggung drama nyata tragedi kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah.
Sebuah padang pasir yang di beritakan dalam Al-Kitab, bahwa di tempat ini
terjadi penyembelihan yang teramat dahsyat, yang digambarkan pedang akan makan
sampai kenyang dan akan puas minum darah mereka (Yeremia 46:1). Dari sekian
tragedi kemanusiaan yang terjadi, tragedi di Karbalalah yang terbesar. Bukan
dilihat dari jumlah korban, melainkan siapa yang telah menjadi korban dan
bergelimang darah. Jumlah mereka tidak seberapa, 'hanya' kurang lebih 72 orang.
Yang menjadikan peristiwa ini sulit untuk terlupakan adalah Karbala menjadi
samudera pasir yang menyuguhkan genangan darah dan air mata suci putera-puteri
Rasul. 10 Muharram 61 Hijriah, Imam Husain bersama 72 pengikutnya — termasuk di
dalamnya anak-anak — syahid dibantai oleh sekitar 30.000 tentara Yazid bin
Muawiyyah di padang Karbala , Irak. Kepala Imam dan para syuhada dipenggal dan
diarak keliling kota.
Peristiwa ini merupakan tragedi terbesar sepanjang sejarah
Islam. Bisa jadi ada yang mempersoalkan mengapa kisah tentang tragedi ini harus
selalu dikenang, harus selalu diingat dan ditangisi. Bukankah peristiwa ini
hanya akan menyulut benih-benih perpecahan antara kaum muslimin, antara
kelompok yang pro dengan kebangkitan dan kesyahidan Imam Husain ra dan dengan
kelompok yang kontra dan menganggap Imam Husain ra adalah agitor dan
pemberontak terhadap penguasa yang sah ?. Masihkah relevan kita
memperbincangkan tentang kesyahidan Imam Husain di padang Karbala di abad yang
justru orang-orang membincangkan perdebatan antar budaya dan peradaban melalui
dunia maya? Apa faedah kita mengungkit-ngungkit tragedi yang telah menjadi masa
lalu ini, dan buat apa kita menangisinya ?. Bukankah semestinya kita duduk
bersama berbicara tentang perdamaian dunia untuk kehidupan yang lebih baik ?
Saya pribadi, menganggap hal ini sangat penting untuk kita
perbincangkan. Terlepas dari tragedi Karbala, di Indonesia, atas nama suku,
agama, ras dan golongan, nyawa manusia tidak lebih mahal dari sebungkus rokok.
Aceh, Ambon , Sambas, Sampit, Poso, Papua adalah sedikit saksi atas kebiadaban
segelintir manusia atas manusia lainnya. Tidak sulit kita menemukan orang-orang
bergelimpangan meregang nyawa, baik karena dibunuh ataupun menghabisi nyawa
sendiri. Lalu, di manakah kemanusiaan kita? Tersentuhkah kita dengan
derita-derita mereka? Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah pernah berkata, “Mereka
yang tidak pernah tersentuh dengan tragedi Karbala , tidak akan pernah
tersentuh dengan tragedi kemanusiaan yang lain.” Tragedi Karbala menjadi
ukuran. Kepedulian kita atas tragedi kemanusiaan, khususnya di bumi Nusantara
ini akan terukur dari kepedulian kita pada Karbala. Imam Khomeini pernah
berkata, “Sungguh kesyahidan Husain senantiasa membakar hati orang-orang yang
beriman.” Dari sini, saya melihat tragedi Karbala sangat relevan untuk kita
kenang.
Hakekat Tangisan
Pertama-tama, kami tegaskan bahwa masalah memperingati
tragedi Karbala (10 Muharram) bukanlah masalah khas Syi'ah saja, tetapi masalah
islami. Meskipun muslim yang bermadhzab Syi'ah lebih memberikan prioritas
terhadap peristiwa ini dibanding kelompok muslim lainnya. Sebab, Imam Husain ra
tokoh utama dibalik tragedi ini, bukanlah pelita bagi kaum Syi'ah saja,
melainkan lentera hati setiap mukmin, apapun madhzabnya. Karenanya, kami
tegaskan lagi, apapun yang berkaitan dengan peristiwa karbala pada hakikatnya
adalah fenomena islami. Yang akan saya ketengahkan adalah, tangisan dan
perilakunya terhadap manusia. Telah sering diajukan pertanyaan-pertanyaan
kritis seputar tangisan yang biasa dilakukan orang-orang Syi'ah saat mengenang
peristiwa Karbala. Peringatan akan tragedi Karbala dengan tangisan dan ratapan yang
mereka lakukan bagi sebagian muslim yang lain adalah bid'ah bahkan cenderung
kepada kesyirikan. Manusia manapun pasti mengalami kegetiran hidup yang
membuatnya harus menangis. Bahkan lembaran kehidupan manusia diawali dengan
tangisan dan diakhiri pula dengan tangisan perpisahan. Tangisan sesuatu yang
alamiah, sesuatu yang telah menjadi fitrah kemanusiaan. Menurut Syaikh Taqi
Misbah Yazdi, menangis disebabkan empat tingkatan spiritual : keridhaan
(ar-rida'), kebenaran (ash-shidiq), petunjuk (al-hidayah) dan pemilihan
(al-isthifa'). Dan para nabi telah mencapai empat tingkatan spiritual yang
tinggi ini. "Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya
apabila Al-Qur'an al-Karim dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka
mereka sambil bersujud, dan mereka berkata, "Maha Suci Tuhan kami,
sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi." Dan mereka menyungkur atas
muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk." (Qs. Al-Isra' :
107-109). Melalui ayat ini, disimpulkan bahwa ilmu dan makrifat adalah penyebab
timbulnya tangisan. Setiap orang yang mengetahui hakikat sesuatu, mengetahui
hakikat kenabian Rasulullah SAW dan mengetahui hakikat kesyahidan Imam Husain
ra, maka hatinya sangat peka dan matanya muda mengucurkan air mata. Rasul bersabda,
"Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan
sedikit tertawa dan banyak menangis. " Di ayat lain Allah SWT berfirman,
"Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul, kamu
melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran yang telah mereka
ketahui (Qs. Al-Maidah : 83).
Mengapa Menangis atas Imam Husain ?
Seseorang yang menjadikan Imam Husain sebagai kekasihnya dan
mendengar sang kekasih mengalami musibah dan bencana, apa layak hanya menanggapinya
dengan dingin dan tidak menangis ?. Imam Husain adalah adalah kekasih bagi
setiap muslim, beliau gugur dalam keadaan kehausan dan tidak cukup dibantai,
tapi kepala beliau dipisahkan dari tubuhnya dan ditancapkan di atas tombak
serta di bawa untuk dipersembahkan kepada raja Yazid yang bermukim di Syuriah.
Oleh karenanya bagi yang ingin menziarahi tubuh Imam Husain, maka hendaknya
pergi ke Karbala Irak dan bagi yang ingin menziarahi kepalanya, maka hendaknya
pergi ke Suriah. Ini bukan cerita dongeng, sejarahnya sangat masyhur dan
ditulis dalam kitab-kitab ahli sejarah. Tidak ada yang memungkiri, Imam Husain
adalah cucu kesayangan nabi, dan berkali-kali menyampaikan kepada para sahabat
untuk juga menyayanginya. Abu Hurairah bercerita, “Rasulullah SAW datang kepada
kami bersama kedua cucu beliau, Hasan dan Husain. Yang pertama di bahu beliau
yang satu, yang kedua di bahu beliau yang lain. Sesekali Rasulullah SAW
menciumi mereka, sampai berhenti di tempat kami berada. Kemudian beliau
bersabda, ‘Barang siapa mencintai keduanya (Hasan dan Husain) berarti juga
mencintai daku; barang siapa membenci keduanya berarti juga membenci daku.”
Imam Husain adalah kekasih setiap mukmin dan mukminah dan teman dekat setiap
Muslim dan Muslimah, sehingga setiap orang mukmin akan merasa sedih atas
kepergiannya. Tidak sedikit rakyat Pakistan yang menangisi kematian Benazir
Bhutto yang tragis ataupun mahasiswa Makassar yang tidak bosan-bosannya
memperingati tragedi AMARAH tiap tahunnya, maka bagaimana mungkin kita tidak
menangis atas kematian Imam Husain yang mengajari dan menjaga nilai-nilai dan
prinsip-prinsip kebenaran! Seandainya kalau bukan karena jihad sucinya, niscaya
Islam akan lenyap bahkan namanya pun tidak akan terdengar. "Jikalau raga
diciptakan untuk menyongsong kematian, maka kematian di ujung pedang di jalan
Allah jauh lebih baik dan mulia ketimbang mati di atas ranjang."
(Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib).
Menangis atas Imam Husain, Sunnah atau Bid'ah ?
Allah SWT berfirman tentang nabi Yaqub as yang menangisi
kepergian anaknya, Nabi Yusuf as, "…Aduhai duka citaku terhadap Yusuf; dan
kedua matanya menjadi putih (buta) karena kesedihan dan dialah yang menahan
amarahnya (terhadap anak-anaknya)." (Qs. Yusuf : 85). Dari ayat ini, kita
bisa bertanya, apakah tangisan Nabi Yaqub as karena terpisah dengan anaknya
sampai matanya menjadi buta adalah bentuk jaza' (keluh kesah) yang dilarang ?
apakah Nabi Yaqub as melakukan sesuatu yang menjemuruskan dia dalam kebinasaan
sampai anak-anaknya bertanya, " Demi Allah, senantiasa kamu mengingat
Yusuf, sehingga kamu mengidap penyakit yang berat atau termasuk orang yang
binasa ?" (Qs. Yusuf : 86). Alhasil, Al-Qur'an menceritakan bahwa ketika
Yusuf dijauhkan Allah SWT dari pandangan Yaqub serta merta Yaqub menangis
sampai air matanya mengering karena sangat sedihnya. Tentu saja tangisan Nabi
Yaqub as bukanlah tangisan keluh kesah yang sia-sia, melainkan ungkapan
kesedihan atas kebenaran yang telah dikotori, atas anaknya Yusuf yang telah di
dzalimi. Hakim an-Naisaburi dalam Mustadrak Shahih Muslim dan Bukhari
meriwayatkan, bahwa Rasulullah keluar menemui para sahabatnya setelah malaikat
Jibril memberitahunya tentang terbunuhnya Imam Husain dan ia membawa tanah
Karbala. Beliau menangis tersedu-sedu di hadapan para sahabatnya sehingga
mereka menanyakan hal tersebut. Beliau memberitahu mereka, "Beberapa saat
yang lalu Jibril mendatangiku dan membawa tanah Karbala , lalu ia mengatakan
kepadaku bahwa di tanah itulah anakku Husain akan terbunuh." Kemudian
beliau menangis lagi, dan para sahabatpun ikut menangis. Oleh karena itu, para
ulama mengatakan bahwa inilah acara ma'tam (acara kesedihan dan belasungkawa
untuk Imam Husain). Jika ketika mendengar kisah terbunuhnya Imam Husain lalu
tidak mengucurkan air mata, maka kitapun akan dingin terhadap tragedi-tragedi
kemanusiaan lainnya. Karenanya wajar, hati masyarakat kita tidak tersentuh
ketika mendengar berita seorang suami membakar istrinya, seseorang membunuh
dengan dalih yang sepele dan sebagainya. Masyarakat kita tidak terbiasa
menangis tetapi terbiasa untuk tertawa. Hati kita cenderung keras dan
menganggap tangisan adalah bentuk kekalahan. Tangisan atas Imam Husain bukanlah
tangisan kehinaan dan kekalahan, namun adalah protes keras atas segala bentuk
kebatilan dan sponsornya di sepanjang masa. Orang-orang mukmin merasakan gelora
dalam jiwanya ketika mengenang terbunuhnya Imam Husain, bahkan Mahatma Ghandi
berkali-kali mengatakan semangat perjuangannya terinspirasi dari revolusi Imam
Husain ra. Kullu yaumin Asyura, kullu ardin Karbala, semua hari adalah Asyura,
semua tempat adalah Karbala. Hari asy-Syura termasuk hari-hari Allah,
tentangnya Allah berfirman : "Keluarkanlah kaummu dari kegelapan kepada
cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah."
(Qs. 14:5). Meskipun ada usaha-usaha untuk memadamkan gelora perlawanan akan
ketertindasan dan kedzaliman. Tetapi Allah Maha Perkasa, Dia tetap
menyempurnakan cahaya-Nya meskipun musuh-musuh-Nya tidak suka. Allah tetap
menjaga gelora spiritual itu tetap menyala di hati-hati orang mukmin dan tidak
akan pernah padam sampai hari kiamat. Semua mukminin wajib mengenang tragedi
ini dan menangis atasnya, "Apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan
ini? Dan kamu menertawakan dan tidak menangis?" (QS. An-Najm: 59-60)
Wallahu a'alam bishshawwab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar