Sesungguhnya
bagi manusia di dunia
ini hanya ada dua jalan; Jalan Kebenaran dan Jalan Hawa Nafsu. Jalan kebenaran
adalah petunjuk yang diturunkan oleh Allah SWT, Sedang hawa nafsu merupakan
jalan yang diprakarsai oleh setan sebagai musuh manusia guna menimbun bahan
bakar api neraka pada hari kiamat nanti, melawan hawa nafsu berarti mengikuti
jalan Allah dengan penuh kesabaran[1],
sebagaimana Allah SWT berfirman[2]:
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا قُوْا اَنْفُسَكُمْ
وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَاْلحِجَارَةُ
عَلَيْهَا مَلَئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَّ يَعْصُوْنَ اللهَ
مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
“
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
Hawa
nafsu berarti kecenderungan manusia kepada perkara yang di sukai oleh jiwanya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa para salaf
menggelari sebagian orang yang menisbatkan diri kepada ilmu atau ibadah sebagai
pengikut hawa nafsu, karena mereka menyelisihi petunjuk Allah SWT, yaitu ilmu
agama yang diwahyukan kepada para khalifah-Nya, seperti yang telah difirmankan
kepada Nabi Dawud AS[3]:
يَادَاوُ دُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيْفَةً قِى الْأَرْضِ
فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعِ الْهَوَى
فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ , إِنَّ الَّذِيْنَ
يَضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ بِّمَا نَسُوْا يَوْمَ
الْحِسَابِ .
“Hai
Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka
berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang
berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”.
Secara
bahasa Itba’ al-Hawa berarti mengikut hawa nafsu, sedang secara istilah
yaitu orang yang lebih mengikuti jeleknya hati
yang telah diharamkan oleh hukum syariat, itulah orang yang selalu mengikut
hawa nafsu.[4]
Dari
definisi diatas dapat kita fahami bahwa itba’ al-hawa berarti mengikuti
hawa nafsu untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang hukum syara’,
berbuat hal-hal yang dilarang agama. Dengan demikian, itba’ al-hawa
merupakan pangkal perbuatan maksiat, sumber malapetaka dan kemungkaran. Orang
yang bersikap demikian akan tersesat dari jalan Allah dan dikenai siksa di
akhirat kelak. Oleh karena itu, hawa nafsu harus dikekang dan dikendalikan agar
manusia dapat meninggalkan perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah SWT.[5]
Hawa
nafsu menjalar pada diri seseorang laksana sebuah penyakit yang sangat ganas,
bahkan lebih berbahaya dari virus (rabies)nya seekor anjing. Hawa nafsu
lebih berbahaya karena tidak disadari oleh pengidapnya, tetapi ia lebih
mematikan. Jika rabies dapat membinasakan jasad manusia(jasmani), maka
hawa nafsu bisa menghancurkan jiwanya (rohani). Sehingga hatinya pun
mati dan gelap gulita, dan pada akhirnya dia tidak lagi mampu menerima petunjuk
dari Allah SWT.
Dalam
menghadapi hawa nafsu sangat dibutuhkan kesabaran. Seorang yang ingin bertahan
di atas jalan Allah harus memiliki nyali yang besar untuk melawan hawa nafsu.
Allah menegaskan di dalam Al-Qur’an[6]:
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبََّهُمْ
بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهُ
وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا
وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا
وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً.
“
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di
pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu
berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah
kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami,
serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”.
Amirul
Mukminin Ali Karramallahu Wajhahu dalam Nahjul
Balaghahnya berkata: “Sesungguhnya yang paling aku kuatirkan pada kalian
adalah dua hal, yaitu taat pada hawa nafsu dan mempunyai angan-angan
yang panjang.”
Diriwayatkan
melalui Imam Shadiq bahwa Rasulullah saw bersabda: “Waspadalah terhadap hawa
nafsu kalian sebagaimana kamu sekalian waspada terhadap musuh. Tiada yang lebih
pantang bagi manusia daripada mengikuti hawa nafsu dan ketergelinciran lidah
yang tak bertulang.”
Dalam
ayat lain Allah berfirman[7]:
قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُوْا فِىْ دِيْنِكُمْ
غَيْرَ الْحَقِّ
وَلاَ تَتَّبِعُوْا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوْا مِنْ
قَبْلُ وَأَضَلُّوْا كَثِيْرًا وَّضَلُّوْا عَنْ سَوَاءَ السَّبِيْلِ
“Katakanlah:
“Hai ahli Kitab,
janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak
benar dalam agamamu. dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang
telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah
menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus”.
Dalam
Al-Qur’an, Allah SWT juga telah menegaskan bahwa hawa nafsu merupakan bahaya
laten bagi orang-orang yang berilmu, karena mereka bisa saja menjadi sesat
walaupun berilmu. Sebabnya tak lain adalah karena mengikuti hawa nafsu.
Sehingga ilmu yang turun dari Allah tak mampu membuatnya teguh di atas jalan
Allah, seperti dalam Surah Al-Jatsiyah ayat 23 Allah berfirman:
أَفَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ
اللهُ عَلَى عِلْمٍ وَّخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ
وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَوَةً فَمَنْ يَهْدِيْهِ مِنْ
بَعْدِ اللهِ أَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ .
“Maka
pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan
Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya[8],
dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan
atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”.
Rasulullah
SAW telah menyebutkan dalam hadits bahwa termasuk yang dikhawatirkan atas
umatnya adalah hawa nafsu yang bisa menyesatkan. Hawa nafsu itu bisa berupa
pemahaman atau syahwat.
Sebagaimana
dalam surah al-Qasash ayat 50 Allah juga berfirman:
فَإِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا
يَتَّبِعُوْنَ أَهْوَاءَ هُمْ ,
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ
اللهِ , إِنَّ اللهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ.
“Maka
jika mereka tidak Menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka
hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). dan siapakah yang lebih sesat
daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari
Allah sedikitpun. sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang zalim”.
Imam Al-Ghazali membagi nafsu kepada empat bagian, yaitu:
1.
Keserakahan nafsu terhadap harta benda.
Seseorang
yang telah mendapat anugerah Allah maka kewajiban baginya untuk selalu
mensyukuri segala nikmat-Nya.
Jika engkau menjadi orang kaya, maka syukurilah. Jika dirimu berkedudukan,
manfaatkanlah kekuasaan dan kedudukanmu untuk memakmurkan rakyat, bukan
memanfaatkan kuasa untuk mengumpul harta benda sampai tidak habis dimakan tujuh
keturunan.
2. Nafsu amarah akan membakar dan membutakan hati.
Cara
terbaik untuk bisa mengendalikan nafsu amarah yang ada dalam diri sendiri
dengan berusaha selalu bersabar dalam menghadapi kemarahan dan kezaliman orang
lain, bersikap lapang dada,
suka memaafkan dan bermurah hati. Sesungguhnya akhlak yang terpuji adalah bagi
mereka yang mampu memaafkan kesalahan (kezaliman) orang lain terhadap
diri kita.
Sebagaimana
pesan rasul SAW: Ingat 2 perkara dan lupakan 2 perkara, yaitu:
Ingat
kebaikan orang lain pada kita, dan ingat kezaliman kita pada orang lain, serta
lupakan kebaikan kita pada orang, dan lupakan kezaliman orang lain pada kita,
insya allah kita menjadi pribadi muslim yang sejati.
3. Kesenangan duniawi mendorong nafsu.
Kesenangan
duniawi merupakan racun pembunuh yang mengalir dalam urat. Manusia selalu
diingatkan agar tidak terjerumus akan kesenangan duniawi, karena hal itu akan
mendorong nafsu menjadi liar. Orang berlumba mengejar kuasa, tanpa
memeperdulikan kaedah yang di ajarkan agama, apalagi norma-norma pekerjaan yang
sebenarnya, yang terpenting ia dapat memperoleh kekuasaan walau dengan cara
apapun.
4. Nafsu syahwat.
Imam
Al-Gazhali mengingatkan bahwa syaitan menggoda
manusia di dunia ini melalui berbagai cara. Dan yang paling berbahaya ialah
harta, wanita dan takhta (kekuasaan). Setan telah memasang perangkap godaannya,
tidak sedikit manusia yang hancur dan rusak kehidupannya karena mencari
kesenangan dunia semata.
Dalam
ajaran Islam, nafsu itu bukan untuk dibunuh, melainkan untuk dijaga dan di
kawal. Tetapi Rasulullah SAW sangat menekankan tentang adanya jihad yang batin,
maknawi atau jihad melawan hawa nafsu. Ketika balik dari satu peperangan yang
dahsyat melawan kaum musyrikin, Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud :
Kita
baru kembali dari satu peperangan yang kecil untuk memasuki peperangan yang
lebih besar. Sahabat terkejut dan bertanya, “Peperangan apakah itu wahai
Rasulullah ? ” Baginda berkata, “Peperangan melawan hawa nafsu.” (Riwayat Al
Baihaqi).
Rasulullah
mengajak kita untuk meninggalkan satu peperangan, satu perjuangan atau satu
jihad yang kecil untuk dilatih melakukan satu perjuangan atau jihad yang besar
yaitu jihad melawan hawa nafsu. Orang yang berperang melawan nafsu ini nampak
seperti duduk-duduk saja, tidak seperti orang lain mungkin bisa dengan bebas
berekspresi, akan tetapi sebenarnya sedang membuat kerja yang besar iaitu
berjihad melawan hawa nafsu.
Melawan
hawa nafsu atau mujahadah al- nafs
sangat susah. Mungkin kalau nafsu itu ada di luar jasad maka bisa kita pegang,
mudah kita akan menekan dan membunuhnya sampai mati. Tetapi nafsu kita itu
terletak ada dalam diri kita, mengalir bersama aliran darah dan menguasai
seluruh tubuh kita. Karena itu tanpa kesedaran dan kemauan yang sungguh-sungguh
kita pasti dikalahkan untuk diperalat sesukanya. Nafsu jahat dapat dikenal
melalui sifat keji dan kotor yang ada pada manusia.
Dalam
ilmu tasawuf, nafsu jahat dan liar sering disebut dengan istilah sifat
madzmumah. Di antara sifat-sifat mazmumah itu seperti cinta
dunia, tamak, sum’ah, riya’, ujub, gila pangkat dan harta, hasud, iri hati,
dendam, sombong dan lain-lain. Sifat-sifat itu melekat pada hati seperti daki
melekat pada badan. Kalau kita malas menggosok sifat itu akan semakin kuat
dan menebal pada hati kita. Sebaliknya kalau kita rajin meneliti dan kuat
menggosoknya maka hati akan bersih dan jiwa akan suci.
Nafsu
itulah yang lebih jahat dari syaitan. Syaitan tidak dapat mempengaruhi
seseorang kalau tidak meniti di atas nafsu. Dengan kata lain, nafsu adalah highway(jalan
tol) atau jalan bebas hambatan untuk syaitan. Kalau nafsu dibiarkan akan
membesar, maka semakin luaslah highway syaitan. Kalaulah nafsu dapat
diperangi, maka tertutuplah jalan syaitan dan tidak dapat mempengaruhi jiwa
kita. Sedangkan nafsu ini sebagaimana yang digambarkan oleh Allah sangat jahat[9].
إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوْءِ إِلاَّ مَا رَحِمَ
رَبِّىْ
“…….,
Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, …….”.
Dan
ini dikuatkan dengan sabda baginda Nabi SAW: “Musuh yang paling memusuhi
kamu adalah nafsu yang ada di antara dua lambungmu “. Nafsu inilah yang
menjadi penghalang utama dan pertama, kemudian barulah syaitan dan golongan-golongan
yang lain. Memerangi hawa nafsu lebih hebat daripada memerangi Yahudi dan
Nasrani atau orang kafir. Sebab berperang dengan orang kafir cuma
sekali-sekali. Nafsulah penghalang yang paling jahat. Mengapa? Kalaulah musuh
dalam selimut, itu mudah dan dapat kita hadapi. Tetapi nafsu adalah sebahagian
dari badan kita. Tidak sempurna diri kita jika tidak ada nafsu. Ini yang
disebut musuh dalam diri. Sebagian diri kita memusuhi kita. Ia adalah jizm
al-latif tubuh yang halus yang tidak dapat dilihat dengan mata kepala,
hanya dapat dirasa oleh mata otak (akal) atau mata hati. Oleh itu tidak dapat
kita buang. Sekiranya dibuang kita pasti mati.
Siapa
sanggup melawan hawa nafsu, maka Allah akan tunjukkan satu jalan hingga diberi
kemenangan, diberi bantuan dan tertuju ke jalan yang benar. Inilah rahasia
untuk mendapat pembelaan dari Allah. Hidup ini adalah perjuangan melawan hawa
nafsu (syaitan). Kadangkala kita menang dan kadangkala kita kalah melawan hawa
nafsu syetan kita.
Abu Hamid Imam al- Ghazali menyebut ada tiga bentuk perlawanan
manusia terhadap hawa nafsu, yaitu:
- Nafs al-Muthmainnah (nafsu yang tenang), yaitu: Ketika iman menang melawan hawa nafsu, sehingga perbuatan manusia tersebut lebih banyak yang baik daripada yang buruk. Dengan kata lain mereka yang mampu menguasai terhadap hawa nafsunya.
- Nafs al-Lawwamah (nafsu yang gelisah dan menyesali dirinya sendiri), yaitu: Ketika iman kadangkala menang dan kadangkala kalah melawan hawa nafsu, sehingga manusia tersebut perbuatan baiknya relatif seimbang dengan perbuatan buruknya. Mereka yang sentiasa dalam bertarik tali melawan hawa nafsu. Adakalanya dia menang dan ada kalanya kalah. inilah orang yang sedang berjuang (mujahadah). Mereka ini menunaikan apa yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad melalui sabdanya yang bermaksud: ”Berjuanglah kamu melawan hawa nafsumu sebagaimana kamu berjuang melawan musuh-musuhmu.”
- Nafs al-Ammaarah al-Suu’ (nafsu yang mengajak kepada keburukan), yaitu: Ketika iman kalah dibandingkan dengan hawa nafsu, sehingga manusia tersebut lebih banyak berbuat yang buruk daripada yang baik. Mereka inilah yang hawa nafsu sepenuhnya telah dikuasai dan tidak dapat melawannya sama sekali.
Enam Sumber dalam Jiwa Manusia
Untuk
mengenal posisi hawa nafsu dalam jiwa dan perannya dalam kehidupan
manusia, Allah SWT telah meletakkan beberapa sumber gerak dan kesadaran
manusia. Semua gerak-aktif ataupun reaktif, kesadaran manusia bermuara dari
sumber-sumber ini, ada enam sumber penting yang terutamanya adalah hawa nafsu,
yaitu:
- Fithrah, yang telah dilengkapi oleh Allah dengan kecenderungan, keinginan (hasrat) dan gaya tarik menuju dan mengenal-Nya dalam rangka meraih keutamaan-keutamaan seperti akhlak, kesetiaan, ‘iffah (harga diri), belas kasih sayang dan kebaikan.
- ‘Aql, adalah titik pembeda manusia.
- Iradah, adalah pusat keputusan yang menjamin kebebasan manusia (dalam mengambil keputusan) dan memerdekakannya.
- Dhamir, berfungsi sebagai hakim dalam jiwa yang bertugas mengadili, mengecam dan melakukan penekanan terhadap manusia demi menyeimbangkan segala perilakunya(baik dan buruk).
- Qalb-Fuad-Shodr (Hati) Merupakan jendela lain bagi kesadaran dan pengetahuan, sebagaimana kita pahami melalui ayat-ayat Al-Quran sehingga dapat menerima atau menampung pencerahan Ilahi.
- Al-Hawa, merupakan kumpulan berbagai nafsu dan keinginan dalam jiwa manuisia yang menuntut pemenuhan secara intensif. Bila tuntutannya dipenuhi, ia dapat memberi manusia kenikmatan tersendiri.
HAWA NAFSU: MENGUASAI ATAU DIKUASAI?
“Jika
kita menguasai diri, kita akan menguasai dunia,” demikian kata-kata para
ilmuwan.
Dalam
Shahihain disebutkan, bahwasanya Rasul SAW bersabda “Surga itu
dikelilingi dengan hal-hal yg dibenci, adapun neraka dikelilingi dengan
berbagai syahwat.”
Imam
Shâdiq radiyallahu ‘anhu juga berkata: “Janganlah kalian biarkan jiwa
bersanding bersama hawa nafsu. Karena, hawa nafsu pasti (membawa) kehinaan bagi
jiwamu.” Tetapi masalahnya adalah bagaimana jika kita gagal menguasai nafsu
kita sendiri? Sudah pastilah kita pula yang akan dikuasainya. Jika demikian
amat buruk akibatnya lantaran nafsu itu adalah ‘hamba’ yang baik tetapi ‘tuan’
yang sangat jahat. Sesungguhnya orang yang sukses adalah orang yang gigih
mencari kebaikan dunia tetapi selamat daripada tipuannya. Seperti dalam surah
Al-An’am ayat 32 Allah berfirman:
وَمَاالْحَيَوةُ الدُّنْيَا إِلاَّ لَعِبٌ وَّلَهْوٌ
وََلَدَّارُ اْلأَخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِيْنَ يَتَّقُوْنَ أَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ
“Dan
Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka[10],dan
sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka
tidakkah kamu memahaminya?”.
Umar
bin Khattab radhiallahu ‘anhu, dalam ucapannya yang popular: “Dulunya
kita adalah kaum yang paling hina, kemudian Allah SWT memuliakan kita dengan
agama Islam, maka kalau kita mencari kemuliaan dengan selain agama Islam ini,
pasti Allah SWT akan menjadikan kita lebih hina dan rendah tidak ada nilai. (Riwayat
Al-Hakim dalam Al-Mustadrak).
Dalam
surah Yunus ayat 58 Allah berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَالِكَ
فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ
Katakanlah:
“Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka
bergembira(karunia Allah dan rahmat itu), adalah lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan”.
Karunia
Allah dalam ayat ini mayoritas para ulama menafsirkan dengan keimanan
kepada-Nya, adapun rahmat Allah ditafsirkan dengan Alquran[11].
Ibnu al-Qayyim dalam soal keutamaan melawan hawa nafsu mengatakan “Sesungguhnya
melawan hawa nafsu bagi seorang hamba melahirkan suatu kekuatan di badan hati
dan lisannya.”
Sementara
sebagian ulama salaf berkata “Orang yg bisa mengalahkan nafsunya lebih kuat
daripada orang yg menaklukkan sebuah kota dengan seorang diri.”
Dalam
hadits yang shahih rasul bernah bersabda :“Tidaklah orang yang kuat itu yang
menang dalam beradu fisik (seperti berkelahi/bergaduh), tetapi orang yang kuat
adalah mereka yang dapat menguasai hawa nafsunya ketika ia marah”.
Di
dalam sebuah riwayat, Rasulullah berkata: “Seorang Mujahid (orang yang
berperang) adalah orang yang memerangi dirinya sendiri”, Peperangan dengan
diri yang dimaksudkan adalah peperangan menentang hawa nafsu. Berkata Said Hawa
di dalam Al-Asas Fi at-Tafsir,
bahwa pada dasarnya melawan nafsu bermaksud menundukkan nafsu supaya mengikut
kehendak Allah dalam setiap perbuatan. Jalan terbaik melawannya dengan
bermujahadah, adapun cara paling mudah untuk bermujahadah dengan
menitik-beratkan ibadah-ibadah wajib setiap hari, karena mujahadah adalah
jembatan takwa.
Prinsip asas melawan hawa nafsu
- Menahan atau menyekat sumber kekuatannya
- Membebankan nafsu itu dengan ibadah, berbuat ibadah semata-mata mengharapkan ridho-Nya, dengan memperbanyak amalan sholih untuk mensucikan diri kita.
- Berdoa meminta bantuan Allah untuk mengalahkannya.
Semoga
Allah menjauhkan diri kita dari kesalahan, kealpaan dan cinta kepada hawa
nafsu. Semoga Ia menjadikan kita di antara orang-orang yang takut dan bertakwa
kepada-Nya.
Ingatlah,
bahwa nafsu itu bukan untuk dihapus tetapi untuk diurus. Terserah kepada kita
untuk mengawalnya atau dikawal olehnya. Sama-sama kita bermujahadah dalam
mengawal nafsu. Insya Allah.
Wallahu
A’lam
Sholli
‘Alaa Muhammad Wa Aalihi
Keterangan:
[4] Syeh Ahmad Rifa’I, Riayah Akhir, Bab Ilmu Tasawuf,
Korasan 21, halaman 13, baris 8, bisa juga lihat dalam kitab karangan beliau
lainnya seperti dalam Abyan al-Hawaaij, Asn Al-Miqashad beliau
memberikan pengertian serupa dengan redaksi yang sama.
[5] Shodiq Abdullah, Islam Tarjumah: Komunitas, Doktrin dan
tradisi, RaSAIL: Semarang, Desember 2006, halaman 135
[8] Maksudnya Tuhan membiarkan orang itu sesat, karena Allah
telah mengetahui bahwa Dia tidak menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan
kepadanya.
[10] Maksudnya: kesenangan-kesenangan duniawi itu hanya sebentar
dan tidak kekal. janganlah orang terperdaya dengan kesenangan-kesenangan dunia,
serta lalai dari memperhatikan urusan akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar