INSAN KAMIL
1.
Pengertian Insan Kamil
Insan
kamil adalah konsep manusia paripurna. Manusia yang berhasil mencapai puncak
prestasi tertinggi dilihat dari beberapa dimensi.
1.1
Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365 – 1428)
Insan
kamil Artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti
manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofid ini pertama kali
muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili
(1365-1428), pengikutnya, gagasan ini dikembangkan menjadi bagian dari renungan
mistis yang bercorak tasawuf filosofis.
Al-Jili
merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai
sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-haqiqah al-Muhammad) yang
demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW asebagai
utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal
dan poros kehidupan di jagad raya ini.
Nur
Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat
dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam AS.
Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah
al-Awakir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang
Misteri yang Pertama dan yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan
mengidentifikasikan insan kamil dengan dua pengertian.
a.
Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang
sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkait dengan pandangan
mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut
dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna. Sifat
sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan
diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah
dirinya.
b.
Kedua, insan kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama
serta sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya. Dalam pengertian
ini, nama esensial dan sifat-sifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi
milik manusia sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu sebagai suatu
keniscayaan yang inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam
ungkapan yang sering terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi
manusia dan manusia menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya.
Bagi
al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani
dan mendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia
melalui berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi
tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam
sifat-sifat Illahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa.
Pada
tingkat ketiga, ia melintasi daerah nama serta sifat Tuhan, masuk ke dalam
suasana hakikat mutlak, dan kemudian menjadi “manusia Tuhan” atau insan kamil.
Matanya menjadi mata Tuhan, kata-katanya menjadi kata-kata Tuhan, dan hidupnya
menjadi hidup Tuhan (nur Muhammad).
1.2
Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal tidak setuju dengan teori para
sufi seperti pemikiran al-Jili ini. Menurut dia, hal ini membunuh
individualitas dan melemahkan jiwa. Iqbal memang memandang dan mengakui Nabi
Muhammad SAW sebagai insan kamil, tetapi tanpa penafsiran secara mistik.
Insan kamil versi Iqbal tidak lain adalah
sang mukmin, yang dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan, dan
kebijaksanaan. Sifat-sifat luhur ini dalam wujudnya yang tertinggi tergambar
dalam akhlak Nabi SAW. Insan kamil bagi Iqbal adalah sang mukmin yang merupakan
makhluk moralis, yang dianugerahi kemampuan rohani dan agamawi. Untuk
menumbuhkan kekuatan dalam dirinya, sang mukmin senantiasa meresapi dan
menghayati akhlak Ilahi.
Sang mukmin menjadi tuan terhadap nasibnya
sendiri dan secara tahap demi tahap mencapai kesempurnaan. Iqbal melihat, insan
kamil dicapai melalui beberapa proses. Pertama, ketaatan pada hukum; kedua
penguasaan diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri tentang pribadi; dan
ketiga kekhalifahan Ilahi. dan dari ensklopedi Islam terbitan ikhtiar baru van
hoeve
2. Konsep Insan Kamil menurut Al-Qur’an dan
Hadist
Nabi Muhammad Saw disebut sebagai teladan
insan kamil atau istilah populernya di dalam Q.S. al- Ahdzab/33:21:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”.
Perwujudan insan kamil dibahas secara khusus
di dalam kitab-kitab tasawuf, namun konsep insan kamil ini juga dapat
diartikulasikan dalam kehidupan kontemporer.
Allah SWT tidak membiarkan kita untuk
menginterpretasikan tata nilai tersebut semaunya, berstandard seenaknya, tapi
juga memberikan kepada kita, Rasulullah SAW yang menjadi uswah hasanah.
Rasulullah SAW merupakan insan kamil, manusia paripurna, yang tidak ada satupun
sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya selama hidupnya. Ia adalah ciptaan
terbaik yang kepadanya kita merujuk akan akhlaq yang mulia.
Allah SWT berfirman:
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad)
benar-benar memiliki akhlaq yang mulia.” (QS. Al-Qolam:4)
“Sesungguhnya telah ada dalam diri
Rasulullaah suri teladan yang baik bagi kalian, yaitu orang-orangmengharapkan (keridhoan)
Allah dan (kebahagiaan) hari akhirat, serta banyak mengingat Allah.” (QS.
Al-Ahzab:21)“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab
yang menerangkan. Dengan kitab itu Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti
keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah
mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang
benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al
Maidah 15-16)
Firman Allah itu menjelaskan tentang nur atau
cahaya yang menjadi sosok diri Muhammad sebagai seorang Rasulullah Rahmatan
Lil’alamin. Muhammad adalah nabi akhir zaman dan karena itu menjadi penutup
semua nabi terdahulu yang diutus untuk menjadi saksi kehidupan manusia dan
pembawa berita tentang kehidupan mendatang di akhirat.
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk
menjadi saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk menjadi
penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi cahaya yang
menerangi. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin bahwa
sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah.” (Al Ahzab: 45-47).
Muhammad yang dijuluki Allah sebagai cahaya
adalah nama yang menjadi figur sentral ajaran Islam. Dalam berjanji,Muhamamad
bahkan diibaratkan bagai cahaya purnama. Cahaya yang tidak menyilaukan, cahaya
yang menyejukkan dan cahaya yang romantis. Jika manusia adalah sebaik-baik
penciptaan maka Muhammad adalah sebaik-baik manusia. Tak ada manusia yang mampu
menandingi penciptaan wujud Muhammad secara lahiriah, juga sifat, dan
perbuatannya.
Muhammad bin Abdullah, kini sudah tidak ada
lagi. Sebagai manusia, Muhammad wafat lebih dari empat belas abad yang lalu.
Namun memahami Muhammad, tidak cukup hanya pada sebatas wujud secara fisik.
Muhammad adalah ciptaan terbaik yang akan terus membuat dahaga siapa saja yang
mencoba memahaminya. Tak keliru jika ada tamsil bahwa memahami Muhammad dari
nama, sifat, perbuatan maupun wujud dirinya bagai meneguk air di lautan. Makin
diteguk, semakin haus.
Bagaimana kehidupan sebagai pribadinya adalah
rujukan kita. Cara makan dan minumnya adalah standar akhlaq kita. Tidur dan
berjalannya adalah juga standard kita. Tangisnya, senyumnya, berfikir dan
merenungnya, bicaranya dan diamnya adalah juga merupakan tangis, senyum,
berfikir dan merenungnya, bicara dan diamnya kita.
Kehidupannya sebagai kepala rumah tangga,
anggota masyarakat, kepala negara, da’i, jenderal perang adalah rujukan
kehidupan kita. Demikianlah, Rasulullah SAW memang telah menjadi ukuran resmi
yang Allah SWT turunkan bagi kita, dan sampai kapanpun ini tidak akan pernah
berubah.
Orang-orang ahli tauhid dan hakikat bahkan
memaknai Muhammad, jauh hingga ke dasar penciptaan hakikinya. Syekh Muhammad
Nafis al Banjari dalam Addurun Nafis, misalnya, mengaitkan nur Muhammad
dengan martabat tujuh (tanazul zat). Tujuh martabat dalam tanazul zat
meliputi ahdiyah, wahdah, wahdiyah, alam arwah, alam mitsal, alam
ajsam dan alam insan. Ulama besar dari Banjarmasin itu menempatkan nur
Muhammad pada martabat wahdah yaitu martabat kedua dari tujuh martabat
yang diistilahkan tanazul zat.
· Martabat Ahdiyah
Segala sifat dan asma lahir
pada martabat ahdiyah. Namun sifat dan asma menjadi binasa di dalam zat
wajibul wujud. Martabat ahdiyah juga disebut martabat kunhi
zatullah. Ia merupakan puncak segala martabat. Tak ada martabat di atasnya
setelah martabat ahdiyah.
· Martabat Wahdah
Pada martabat wahdah,
lahir segala sifat dan asma secara ijmal atau terhimpun utuh. Martabat
ini disebut sebagai hakikat Muhammad dan menjadi asal dari segala yang hidup
dan maujud.
Muhammad dipahami sebagai hawiyatul
‘alam atau hakikat alam dan segala sesuatu sebagaimana hadis yang bersumber
dari Jabir ra.
“Awal
mula yang dijadikan Allah Ta’ala itu adalah cahaya Nabimu hai Jabir. Kemudian
dijadikan dari padanya segala sesuatu. Sedangkan dirimu merupakan salah satu
dari sesuatu itu.”
Hadis lain menerangkan,
“Aku
dari Allah dan segala mukmin itu dariku.”
Ada pula hadis yang
menjelaskan,
“Bahwasanya
Allah Ta’ala telah menjadikan Ruh Nabi Muhammad SAW dari Zat-Nya dan menjadikan
sekalian alam dari nur Muhammad.”
Sebuah riwayat Abdur Razaq
ra. yang berasal dari Sayyidina Jabir ra. menyatakan,
“Jabir
datang kepada Rasulullah SAW dengan pertanyaan: ‘Ya Rasulullah, khabari aku
tentang awal mula suatu yang dijadikan Allah Ta’ala.’ Maka kata nabi, ‘Hai
Jabir, bahwasanya Allah Ta’ala telah menjadikan terlebih dahulu dari sesuatu
itu Nur Nabimu yang telah tercipta dari Zat-Nya.’”
Pemahaman tentang Nur
Muhammad berasal dari Zat-Nya dapat diilustrasikan pada pengertian antara
cahaya matahari dan wujud matahari. Dalam sudut pandang rupa, cahaya bukanlah
matahari dan matahari juga bukan cahaya. Keduanya mempunyai wujud dan sifat
masing-masing. Tapi dilihat dari makna yang hakiki, cahaya merupakan diri
matahari, karena tak akan ada cahaya tanpa matahari dan sebaliknya tak akan
disebut matahari tanpa mengeluarkan cahaya. Jadi pada hakikatnya cahaya adalah
diri matahari itu sendiri, dan tidak lain.
Memahami nur sebagai diri
Muhammad jangan seperti memahami cahaya secara harfiah, melainkan harus kepada
esensi sebagaimana Allah juga menamakan diri-Nya sebagai sumber cahaya langit
dan bumi,
“Allah
Pemberi cahaya kepada langit dan bumi.” (An Nur: 35).
· Martabat Wahdiyah
Martabat wahdiyah
merupakan tempat lahir segala sifat dan asma dengan tafsil bahwa sesuatu
yang ada pada martabat wahdah terurai sifat dan asma yang masih mujmal
pada martabat wahdah. Pada martabat ini terjadi prosesi khitab
dari kalam qadim kepada alam sifat dan asma.
“Sesungguhnya
Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku
dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Thaahaa: 14)
· Martabat Alam Arwah
Martabat alam arwah adalah
hakikat semua ruh yang lahir dan menjadi kenyataan semua yang ada pada martabat
ahdiyah, wahdah dan wahdiyah. Martabat ini disebut juga dengan
nama Hakikat Muhammad atau Muhammad Hakiki.
· Martabat Alam Mitsal
Ini adalah alam yang secara
realitas bersifat abstrak dan sangat halus sehingga tidak dapat dibagi secara
material. Asal muasal segala sesuatu yang halus tanpa menerima bahagian jasadi
diciptakan pada martabat alam mitsal. Dalam Al Quran alam mitsal
disebut dengan alam gaib, sebuah alam yang kondisinya tidak dapat dilihat
secara kasat mata seperti surga, neraka dan termasuk alam jin.
· Martabat
Alam Ajsam
Adalah martabat tempat dari
segala sesuatu dijadikan berupa fisik dalam wujud jasmani yang kasar dan
menerima bahagian. Martabat ini juga disebut alam syahadat, atau alam
penyaksian. Kondisinya tersusun dari beberapa unsur material seperti api,
angin, tanah, air dan lainnya dan menjadikan segala sesuatu yang ada pada alam
ini, dalam proses harus melalui ekosistem. Martabat ini juga disebut martabat
alam ajsad sehingga segala sesuatu apapun dapat disaksikan dengan mata
lahiriah karena telah menjadi fisik materi.
· Martabat Alam Insan
Martabat
alam insan atau insan kamil adalah martabat yang menghimpunkan segala martabat ahdiyah,
wahdah, wahdiyah, alam arwah, alam mitsal dan alam ajsam.
Orang yang berhasil mencapai proses tahapan spiritual dengan melewati enam
martabat tersebut disebut insan kamil (manusia yang sempurna). Martabat ahdiyah,
wahdah dan wahdiyah adalah tiga martabat alam qadim. Tiga
martabat lainnya merupakan martabat huduts.
Martabat
alam insan menjadi gelar dan disandang oleh orang-orang yang telah
mencapai puncak perjalanan rohani, sebagaimana yang dicapai oleh Nabi Muhammad
SAW dengan semua gelar dari Allah termasuk gelar khuluqin ‘azhim (akhlak
yang agung).
Rasulullah
SAW bersabda sehubungan dengan akhlaq, hati dan lisan:
“Iman
seorang hamba tidaklah lurus sehingga lurus hatinya. Dan tidak akan lurus hati
seorang hamba sehingga lurus lisannya.” (H.R. Ahmad).
Sehubungan
dengan hubungan sosial, beliau bersabda:
“Barangsiapa
beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya, dan barang
siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tamunya, dan barang
siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam.”
(H.R. Bukhari dan Muslim)
Dan
masih banyak lagi ibrah lainnya dari kehidupan Rasulullah SAW, yang tidak akan
mungkin cukup kertas ini untuk mengungkapkannya, yang menunjukkan keagungan dan
kemuliaan akhlaq beliau, baik akhlaq terhadap diri sendiri, terhadap sesama
manusia, terhadap makhluk lainnya dan tentunya akhlaq terhadap Khaliqnya
sebagai insan kamil.
Jadi
akhlaq Islam itu sudah ada formatnya dan juga mapan, berlainan dengan akhlaq,
moral, etika dalam sistem budaya buatan manusia diluar Islam yang tidak pernah
memiliki standar baku dan senantiasa berubah bergantung pada main stream budaya
yang ada pada waktu itu.
Ukuran
kebaikan dan kesopanan begitu relatif dan variatif, bergantung kepada tempat
dan waktu. Dahulu dua orang yang (ma’af) berpelukan dan berciuman di depan umum
akan dianggap hal yang sangat memalukan dan tidak patut, namun sekarang hal itu
dianggap biasa dan patut-patut saja. Seseorang yang memegang minuman keras
dengan tangan kiri sambil berjalan modar-mandir dan tertawa-tawa adalah hal
sangat bisa diterima oleh umum dimanapun, namun tidak oleh Islam, dan Islam
tidak mentolerirnya sejak Rasulullah SAW ada sampai sekarang.
Imam
Al-Ghazaly menyatakan bahwa akhlaq adalah perbuatan seseorang yang dilakukan
tanpa berfikir lagi, yaitu sesuatu yang sudah menjadi kebiasaanya sehingga dikerjakan
dengan spontan. Misalnya orang yang senantiasa makan dan minum dengan tangan
kirinya, maka dimanapun, dan dalam keadaan bagaimanapun ia akan spontan makan
dan minum menggunakan tangan kirinya. Orang yang tidak terbiasa mengucapkan
salam kepada sesama muslim dan terbiasa mengucapkan “hello” “goodbye” juga akan
mengucapakan “hello” “goodbye” ketika bertemu seseorang.
Oleh
karena itu kita harus membiasakan dan menshibghoh (mencelup) diri dengan akhlaq
Islam, sehingga mentradisi dalam jiwa dan kehidupan kita dan dimanapun serta
kapanpun dengan spontan terlihat bahwa akhlaq yang Islami merupakan akhlaq
kita.
Allah
SWT berfirman:
“Shibghoh
Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghohnya dari Allah, dan kepada-Nyalah
kami mengabdikan diri.” (QS: Al-Baqarah:138).
Terakhir,
Akhlaq Islam bukanlah semata-mata anjuran menuju perbaikan nilai kehidupan
manusia didunia, tapi ia memberikan dampak bagi kehidupannya di akhirat.
Seseorang yang berakhlaq baik tentunya akan mendapat ganjaran pahala, dan
sebaliknya orang yang berakhlaq buruk pasti ia akan merasakan adzab Allah yang
sangat pedih.
Seorang yang senantiasa mengucapkan kata-kata
yang baik, misalnya, tentunya baik buat dirinya dan orang lain didunia ini dan
juga menadapatkan ganjaran pahala yang akan menambah berat timbangan amal
sholehnya di hari akhirat kelak. Dan seorang pengumpat, pencaci, penghasut
tentunya akan memberikan akibat buruk bagi dirinya dan orang lain di dunia dan
melicinkan jalannya untuk menikmati siksa Allah di neraka kelak.
Inilah diantara ciri khas Akhlaq Islam, yang
pada akhirnya ia membuat setiap muslim terpaksa atau tidak untuk menshibghoh
dirinya dengan tata nilai yang telah Allah berikan kepada dia dan dengan
gamblang dan lengkap telah pula diimplementasikan oleh Muhammad SAW, kekasih-Nya,
manusia pilihan-Nya sebagai insan kamil.
3. Kriteria atau ciri – ciri Insan Kamil
3.1 Sifat – sifat manusia sempurna
Sifat – sifatnya terdiri
dari :
Ø Keimanan
Ø Ketaqwaan
Ø Keadaban
Ø Keilmuan
Ø Kemahiran
Ø Ketertiban
Ø Kegigihan dalam kebaikan dan kebenaran
Ø Persaudaraan
Ø Persepakatan dalam hidup
Ø Perpaduan dalam umah
Sifat – sifat inilah yang
menjamin manusia menjadi sempurna dan mencapai hasanah dalam dunia dan hasanah
dalam akhirat.
Cara-cara mencapainya ialah
dengan :
Ø Ilmu taubat dengan syarat – syaratnya
menghindari dari yang menyebabkan nafsu dengan mengawalnya dengan
mendisiplinkan pergaulan dan harta serta mengambilkan yang halal dan
membelanjakan dalam perkara halal, kemudian disertai dengan berhemat.
Ø Berjaga – jaga supaya amalan tidak binasa
oleh niat-niat yang merobohkannya seperti ria digantikan dengan ikhlas.
Ø Keadaan tergesa-gesa digantikan dengan sabar.
Ø Tidak cermat digantikan dengan sifat cermat
menyelamatkan diri daripada kelesuan.
Ø Dengan mengamalkan sifat harap dan takut,
maksudnya harap bahwa Allah akan menerima amalan dan menyelamatkan kita, takut
kalau-kalau Allah tidak mengampuni kita dan menerima amalan kita.
Ø Mengamalkan sifat puji dan syukur dalam hidup
terhadap Allah juga terhadap makhluk yang menjadi wasilah atau perantara
sampainya nikmat Allah kepada kita. Puji dan syukur itu dapat berupa rasa
gembira dan syukur terhadap nikmat Allah dan lidah mengucapkan kesyukuran,
al-hamdulillah, serta dengan melakukan perbuatan – perbuatan yang dirhidoi
Allah SWT.
3.2 Ciri – ciri atau kriteria Insan Kamil
pada diri Rasullullah SAW
Adapun beberapa ciri – ciri atau kriteria
Insan Kamil yang dapat kita lihat pada diri Rasulullah SAW yakni 4 sifat yakni
:\
3.2.1 Sifat amanah (dapat dipercaya)
Amanah / dapat dipercaya maksudnya ialah
dapat memegang apa yang dipercayakan seseorang kepadanya walaupun hanya sesuatu
yang kita anggap kurang berharga. Di zaman seperti sekarang ini sangat sulit
menemukan sifat manusia yang seperti itu, sebab bila kita lihat sekarang ini
hidup di dunia sangat sulit maka untuk bisa memenuhi hasrat dan kebutuhannya
manusia pun menghalalkan segala cara. Walaupun ada, sifat amanah ini dimiliki
hanya orang – orang yang mengerti tentang kehidupan di masa sekarang dan di
masa yang akan datang, maksudnya ia telah menyadari bahwa kehidupan di dunia
ini hanya sementara dan kehidupan yang kekal dan abadi hanya di alam akhirat
dengan dasar itulah orang – orang yang memiliki sifat amanah dapat
menerapkannya di kehidupannya sehari – hari.
3.2.2 Sifat fathanah (cerdas)
Seseorang yang memiliki kepintaran di dalam
bidang fomal atau di sekolah belum tentu dia dapat cerdas dalam menjalani
kehidupannya, sebab bila kita lihat kenyataan di masyarakat bahwa banyak
sarjana yang telah menyelesaikan studinya hanya menjadi pengangguran yang tak
dapat mengembangkan semua pengetahuan yang didapatnya itu menunjukkan bahwa ia
bukanlah seseorang yang cerdas. Cerdas ialah sifat yang dapat membawa seseorang
dalam bergaul, bermasyarakat dan dalam menjalani kehidupannya untuk menuju yang
lebih, tapi sifat cerdas ini tidaklah dimiliki setiap orang. Walaupun ada hanya
sedikit orang yang memiliki kecerdasan, biasanya orang memiliki kecerdasan ini
adalah orang telah mengalami banyak pengalaman hidup yang dapat berguna di
dalam menjalani kehidupan.
3.2.3 Sifat siddiq (jujur)
Jujur adalah sebuah kata yang sangat
sederhana sekali dan sering kita jumpai, tapi sayangnya penerapannya sangat
sulit sekali di dalam bermasyarakat. Entah dikarenakan apa dan kenapa kita
sebagai manusia sangat sulit sekali untuk berlaku jujur baik jujur dalam
perkataan dan perbuatan. Sifat jujur sering sekali kita temui di dalam
kehidupan sehari – hari tapi tidak ada sifat jujur yang murni maksudnya ialah,
sifat jujur tersebut mempunyai tujuan lain seperti mangharapkan sesuatu dari
seseorang barulah kita bisa bersikap jujur.
3.3.4 Sifat Tabligh (menyampaikan)
Maksudnya tabligh disini ialah menyampaikan
apa yang seharusnya di dengar oleh orang lain dan berguna baginya. Tentunnya
sesuatu yang akan disampaikan itu pun haruslah sesuatu yang benar dan sesuai
dengan kenyataan.
4. Dapatkah Insan Kamil diterapkan di
kehidupan sehari – hari?
Apakah
yang dimaksudkan dengan insan kamil? Kamus Dewan edisi ketiga mentafsirkan
istilah ‘kamil’ sebagai ‘sempurna dan lengkap’. Istilah yang dipinjam daripada
bahasa Arab ini sebenarnya merangkumi segala aspek dan sifat-sifat baik yang
perlu ada pada diri setiap manusia. Nilai-nilai baik ini merangkumi akhlak dan
akidah yang berteraskan al-Quran dan sunnah. Akidah yang benar dan gambaran
tentang kehidupan yang tepat dan tidak dipengaruhi oleh kepalsuan, khurafat,
dan falsafah-falsafah serta ajaran yang palsu, akan memancarkan nilai-nilai
benar yang murni di dalam hati. Insan kamil dapat diterapkan di dalam kehidupan
sehari – hari, namun tentunya kita lihat ciri – ciri dan cara – cara
mencapainya. Maka banyak orang – orang terpilihlah yang mungkin mampu memiliki
sifat – sifat seperti yang tersebut di atas. Yaitu orang – orang dengan
kualitas keimanan dan ketakwaan yang tidak sekedar biasa, orang – orang yang
dapat bertahan di dalam kesucian hati, pikiran dan perbuatan di tengah besarnya
godaan syaitan pada zaman sekarang ini.
Penerapan
insan kamil dalam kehidupan sehari – hari bukanlah perkara mudah, karena dari
segi arti saja insan kamil yaitu manusia yang sempurna. Sedangkan manusia
sendiri, seperti yang telah kita ketahui tak ada yang terlahir dengan sempurna.
Manusia adalah tempat segala kesalahan dan kekhilafan berasal.Namun
kesempurnaan yang dimaksudkan di sini bukanlah kesempurnaan dalam arti tak
pernah melakukan kesalahan sama sekali. Tak ada manusia yang tak pernah
melakukan kesalahan, itu kodrat. Karena itulah telah disebutkan sebelumnya
bahwa salah satu cara untuk mencapai insan kamil adalah dengan bertaubat dengan
syarat – syaratnya dan bertaubat hanya dilakukan oleh orang yang merasa
melakukan kesalahan.
Meskipun
begitu, seseorang yang ingin mencapai tingkatan insan kamil harus tetap menjaga
segala tingkah lakunya, agar jangan sampai keluar dari ajaran Islam yang
sebenarnya. Disamping itu, seorang insan kamil juga harus menjaga diri dari
kesalahan – kesalahan yang mungkin dianggap kecil dalam kehidupan sehari –
hari, seperti tergesa – gesa dan tidak cermat. Hal seperti ini mungkin Sudah
menjadi bagian hidup kita sebagai manusia biasa, namun sebagai insan kamil
sekecil apapun itu tetaplah harus dihindarkan agar tercapai kesempurnaan yang
diharapkan.
Melahirkan
insan yang kamil bukanlah semudah memberi pendidikan secara formal dari kecil
sehingga dewasa. Tanggung jawab dari dalam diri insan itu sendiri. Kesadaran
ini bukan saja merangkumi aspek kecintaan terhadap negara, bangsa dan agama
malah menyeluruh meliputi keinsafan dan kesedaran tentang tanggungjawab setiap
manusia sesama manusia dan kepada Penciptanya. Oleh hal yang demikian itu,
pembelajaran dan pendidikan sepanjang hayat harus terwujud dalam setiap diri
manusia. Di zaman sekarang ini sangat sulit bagi kita untuk dapat meihat atau
menemukan seseorang yang menerapkan insan kamil di dalam kehidupannya, seperti
yang kita tahu insan kamil merupakan perwujudan dari sifat – sifat dan
perbuatan nabi Muhammad SAW yang sangat sempurna yang tidak semua orang dapat
melakukannya.
Setelah
kita melihat bagaimana tinggi dan agungnya pribadi Rasulullah Saw dari sisi rohaninya,
lantas apakah hati kita tidak tergerak untuk menyatakan kekaguman dan
keterpesonaan terhadap beliau, dengan memuji dan menyanjungnya?
Sungguh
telah banyak orang yang terpesona dengan keindahan akhlak beliau dan berdecak
kagum dengan kepribadian beliau sepanjang sejarah umat manusia. Kekaguman itu
mereka ungkapkan ke dalam puisi-puisi, pembacaan-pembacaan maulud dan manaqib
Rasulullah Saw.
Merekalah
yang benar-benar memahami arti sebuah kebesaran dan keindahan. Entahlah kita,
apakah termasuk dari orang yang enggan karena malu, atau karena hati yang
keras, sehingga tidak mengenal arti keindahan dan kebesaran pribadi beliau,
serta menganggap bahwa memuji dan menyanjung beliau sebagai pengkultusan
individu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar