AHLUL KITAB
Berbicara mengenai wawasan Al-Qur'an
tentang suatu masalah tidak akan sempurna,
bahkan boleh jadi keliru, jika pandangan hanya tertuju
kepada satu dua ayat yang berbicara menyangkut
hal tersebut. Karena cara
demikian akan melahirkan pandangan parsial yang
tidak sejalan dengan tujuan pemahaman
wawasan, lebih-lebih bila analisis dilakukan
terlepas dari konteks (munasabah) ayat, sejarah, asbab
al-nuzul (latar belakang turunnya ayat), penjelasan Nabi
(As-Sunnah), dan sebagainya, yang
dihimpun oleh pakar-pakar Al-Qur'an dengan
istilah pendekatan "tematis" (maudhu'i).
Bahasan ini mencoba
menerapkan metode tersebut, walaupun dalam bentuk
yang terbatas - karena penerapannya secara sempurna
membutuhkan waktu yang tidak singkat, rujukan yang memadai,
serta kemampuan analisis yang dalam.
Namun demikian, keterbatasan di atas, akan
diusahakan untuk ditutupi dengan
menyajikan pandangan beberapa pakar berkompeten
dalam bidang Al-Qur'an.
ISTILAH-ISTILAH AL-QUR'AN
Salah satu keistimewaan
Al-Qur'an adalah ketelitian redaksinya. Tidak heran, karena redaksi
tersebut bersumber langsung dari Allah swt. Hal ini perlu digarisbawahi,
bukan saja karena sekian banyak
ulama melakukan analisis kebahasaan dalam mengemukakan
dan atau menolak satu pendapat,
tetapi juga karena Kitab Suci ini menggunakan
beberapa istilah yang berbeda ketika menunjuk kepada orang
Yahudi dan Nasrani, dua kelompok masyarakat yang
minimal disepakati oleh seluruh ulama sebagai Ahl Al-Kitab.
Selain istilah Ahl Al-Kitab, Al-Qur'an juga
menggunakan istilah Utu Al-Kitab, Utu nashiban minal kitab,
Al-Yahud,Al-Ladzina Hadu, Bani Israil, An
Nashara, dan istilah lainnya.
Kata Ahl
Al-Kitab terulang di dalam Al-Qur'an sebanyak tiga puluh satu kali,
Utu Al-Kitab delapan belas kali, Utu
nashiban minal kitab tiga kali, Al-Yahud
delapan kali, Al-Ladzina Hadu sepuluh kali, An-Nashara empat belas
kali, dan Bani/Banu Isra'il empat puluh satu kali Kesan umum diperoleh
bahwa bila Al-Qur'an menggunakan kata Al-Yahud maka isinya adalah kecaman
atau gambaran negative tentang mereka.
Perhatikan misalnya firman-Nya tentang kebencian orang Yahudi
terhadap kaum Muslim (QS Al-Maidah [5]: 82) :
"Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya
terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang
musyrik. dan Sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan
orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya
kami Ini orang Nasrani". yang demikian itu disebabkan Karena di antara
mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib,
(juga) Karena Sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri".
atau ketidakrelaan orang-orang Yahudi dan Nasrani terhadap kaum Muslim
sebelum umat Islam mengikuti mereka (QS Al-Baqarah [2]: 120)
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga
kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah
Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti
kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi
menjadi pelindung dan penolong bagimu".
atau pengakuan mereka bahwa orang Yahudi dan Nasrani adalah
putra-putra dan kinasih Allah (QS Al-Ma-idah [5]: 18)
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: "Kami Ini adalah
anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya". Katakanlah: "Maka Mengapa
Allah menyiksa kamu Karena dosa-dosamu?" (kamu bukanlah anak-anak Allah
dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia(biasa) diantara
orang-orang yang diciptakan-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya dan
menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. dan kepunyaan Allah-lah kerajaan antara
keduanya. dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu)".
atau pernyataan orang Yahudi bahwa tangan Allah terbelenggu (kikir) (QS Al-Maidah [5]: 64),
"
Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu"[426],
Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu[427] dan merekalah yang dila'nat
disebabkan apa yang Telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi
kedua-dua tangan Allah terbuka; dia menafkahkan sebagaimana dia kehendaki. dan
Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah
kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. dan kami Telah
timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. setiap
mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat
kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat
kerusakan.
426- maksudnya ialah kikir.
427- kalimat-kalimat Ini adalah kutukan dari Allah terhadap orang-orang
Yahudi berarti bahwa mereka akan terbelenggu di bawah kekuasaan bangsa-bangsa
lain selama di dunia dan akan disiksa dengan belenggu neraka di akhirat kelak.
dan sebagainya. Bila Al-Qur'an menggunakan Al-Ladzina Hadu, maka
kandungannya ada yang berupa kecaman,
misalnya terhadap
mereka yang mengubah arti kata-kata
atau mengubah dan
menguranginya (QS Al-Nisa,
[41]: 46 :
Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari
tempat-tempatnya[302]. mereka Berkata : "Kami mendengar", tetapi kami
tidak mau menurutinya[303]. dan (mereka mengatakan pula) :
"Dengarlah" sedang kamu Sebenarnya tidak mendengar apa-apa[304]. dan
(mereka mengatakan) : "Raa'ina"[305], dengan memutar-mutar lidahnya
dan mencela agama. sekiranya mereka mengatakan : "Kami mendengar dan
menurut, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami", tentulah itu lebih baik
bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, Karena
kekafiran mereka. mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis.
[302] Maksudnya: mengubah arti kata-kata, tempat atau menambah dan
mengurangi.
[303] maksudnya mereka mengatakan : Kami mendengar, sedang hati
mereka mengatakan: Kami tidak mau menuruti.
[304] maksudnya mereka mengatakan: Dengarlah, tetapi hati mereka
mengatakan: Mudah-mudahan kamu tidak dapat mendengarkan (tuli).
[305] Raa 'ina berarti: sudilah kiranya kamu memperhatikan kami. di
kala para sahabat menghadapkan kata Ini kepada Rasulullah, orang Yahudipun
memakai kata Ini dengan digumam seakan-akan menyebut Raa'ina padahal yang
mereka katakan ialah Ru'uunah yang berarti kebodohan yang sangat, sebagai
ejekan kepada Rasulullah. Itulah sebabnya Tuhan menyuruh supaya sahabat-sahabat
menukar perkataan Raa'ina dengan Unzhurna yang juga sama artinya dengan
Raa'ina.
atau
bahwa mereka tekun mendengar (berita kaum Muslim) untuk
menyebarluaskan kebohongan (QS Al-Maidah [5]: 41),
" Hari rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka:"Kami Telah beriman", padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong[415] dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu[416]; mereka merobah[417] perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. mereka mengatakan: "Jika diberikan Ini (yang sudah di robah-robah oleh mereka) kepada kamu, Maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan Ini Maka hati-hatilah". barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, Maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah. mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar".
" Hari rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka:"Kami Telah beriman", padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong[415] dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu[416]; mereka merobah[417] perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. mereka mengatakan: "Jika diberikan Ini (yang sudah di robah-robah oleh mereka) kepada kamu, Maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan Ini Maka hati-hatilah". barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, Maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah. mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar".
[415] maksudnya ialah: orang Yahudi amat suka mendengar
perkataan-perkataam pendeta mereka yang bohong, atau amat suka mendengar
perkataan-perkataan nabi Muhammad s.a.w untuk disampaikan kepada
pendeta-pendeta dan kawan-kawan mereka dengan cara yang tidak jujur.
[416] Maksudnya: mereka amat suka mendengar perkataan-perkataan
pemimpin-pemimpin mereka yang bohong yang belum pernah bertemu dengan nabi
Muhammad s.a.w. Karena sangat benci kepada beliau, atau amat suka mendengarkan
perkataan-perkataan nabi Muhammad s.a.w. untuk disampaikan secara tidak jujur
kepada kawan-kawannya tersebut.
[417] Maksudnya: merobah arti kata-kata, tempat atau menambah dan
mengurangi.
dan ada juga yang bersifat netral,
seperti janji bagi mereka yang beriman dengan benar untuk
tidak akan mengalami rasa takut atau sedih (QS
Al-Baqarah [2]: 62).
" Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani dan orang-orang Shabiin[56], siapa saja diantara mereka yang
benar-benar beriman kepada Allah[57], hari Kemudian dan beramal saleh[58],
mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada
mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati ".
[56] Shabiin ialah orang-orang yang mengikuti syari'at nabi-nabi
zaman dahulu atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa.
[57] orang-orang mukmin begitu pula orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin
yang beriman kepada Allah termasuk iman kepada Muhammad s.a.w., percaya kepada
hari akhirat dan mengerjakan amalan yang saleh, mereka mendapat pahala dari
Allah.
[58] ialah perbuatan yang baik yang diperintahkan oleh agama islam,
baik yang berhubungan dengan agama atau tidak.
Kata Nashara sama penggunaannya dengan
Al-Ladzina Hadu, terkadang digunakan dalam konteks
positif dan pujian, misalnya surat
Al-Maidah [5]: 82
" Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya
terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang
musyrik. dan Sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan
orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya
kami Ini orang Nasrani". yang demikian itu disebabkan Karena di antara
mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib,
(juga) Karena Sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri".
yang menjelaskan tentang mereka yang paling akrab persahabatannya
dengan orang-orang Islam; dan di kali lain dalam konteks kecaman, seperti
dalam surat Al-Baqarah [2]: 120,
" Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga
kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah
Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti
kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi
menjadi pelindung dan penolong bagimu ".
yang berbicara tentang ketidakrelaan mereka
terhadap orang Islam sampai kaum Muslim mengikuti mereka.
Dalam kesempatan lain kandungannya
bersifat netral: bukan kecaman bukan pula pujian, seperti
dalam surat Al-Hajj [22]; 17, "
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin[983]
orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan
memberi Keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah
menyaksikan segala sesuatu.
[983] Syafa'at: usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat
bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain. syafa'at
yang tidak diterima di sisi Allah adalah syafa'at bagi orang-orang kafir.
yang membicarakan tentang putusan
Tuhan yang adil
terhadap mereka dan kelompok-kelompok
lain, kelak di hari kemudian. Dengan
demikian, kita dapat mengatakan bahwa
bila Al-Qur'an menggunakan Al-Yahud, maka pasti
ayat tersebut berupa kecaman atas sikap-sikap buruk
mereka, dan jika menggunakan kata Nashara, maka ia belum tentu
bersikap kecaman, sama halnya dengan Al-Ladzina Hadu.
Agaknya ini sebabnya sehingga surat Al-Baqarah [2]: 120 yang
berbunyi "Lan tardha 'ankal-Yahud wa lan
Nashara hatta
tattabi'a millatahum (orang Yahudi dan Nasrani tidak akan
rela kepadamu (Muhammad)
sampai engkau mengikuti
agama/tatacara mereka," menggunakan kata
"lan" terhadap
orang Yahudi, dan kata "la" terhadap orang Nasrani. Menurut
pakar-pakar bahasa Al-Qur'an, antara lain Az-Zarkasyi dalam
bukunya Al-Burhan, kata "lan" digunakan
untuk menafikan
sesuatu di masa datang, dan penafian tersebut lebih
kuat
dari "la" yang digunakan untuk menafikan
sesuatu, tanpa
mengisyaratkan masa penafian itu, sehingga boleh
saja ia
terbatas untuk masa lampau, kini, atau masa datang.
Ayat di atas, secara tegas menyatakan bahwa selama seseorang
itu Yahudi (Ingat bukan Al-Ladzina Hadu atau Ahl Al-Kitab),
maka ia pasti tidak akan rela terhadap umat Islam
hingga
umat Islam mengikuti agama/tatacara mereka.
Dalam arti,
menyetujui sikap dan tindakan serta arah yang mereka tuju.
Mufasir besar Ar-Razi mengemukakan bahwa maksud
ayat ini
adalah menjelaskan:
"Keadaan mereka dalam bersikeras berpegang pada
kebatilan
mereka, dan ketegaran mereka dalam kekufuran, bahwa mereka
itu juga (di samping kekufuran itu)
berkeinginan agar
diikuti millat mereka. Mereka tidak rela dengan kitab (suci
yang dibawa beliau), bahkan mereka berkeinginan (memperoleh)
persetujuan beliau menyangkut keadaan
mereka. Dengan
demikian (Allah) menjelaskan kerasnya
permusuhan mereka
terhadap Rasul, serta menerangkan situasi yang mengakibatkan
keputusasaan tentang persetujuan mereka (menganut Islam)."
Syaikh Muhammad Thahir bin Asyur dalam tafsirnya menjelaskan
bahwa kalimat hatta tattabi'a millatahum
(sampai engkau
mengikuti agama mereka) adalah:
Kinayat (kalimat yang mengandung makna bukan sesuai bunyi
teksnya) keputusasaan (tidak adanya kemungkinan) bagi orang
Yahudi dan Nasrani untuk memeluk Islam ketika itu, karena
mereka tidak rela kepada Rasul kecuali
(kalau Rasul)
mengikuti agama/tatacara mereka. Maka ini
berarti bahwa
mereka tidak mungkin akan mengikuti agama beliau; dan karena
keikutan Nabi pada ajaran mereka merupakan
sesuatu yang
mustahil, maka kerelaan mereka terhadap beliau (Nabi) pun
demikian. Ini sama dengan (firman-Nya):
"hingga masuk ke lubang jarum" (QS
Al-A'raf [7]: 40)
dan (firman-Nya),
"Aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah, dan kamu
bukan penyembah (Tuhan) yang aku sembah"
(QS Al-Kafirun
[109]: 2-3).
Dalam uraian Syaikh Fadhil di atas ditemukan kalimat "ketika
itu" untuk menjelaskan bahwa keputusasaan
tersebut hanya
ditekankan oleh ayat ini pada Al-Yahud wan-Nashara tertentu
ketika itu, bukan terhadap mereka semua, karena kenyataan
menunjukkan bahwa setelah turunnya ayat ini ada di antara
Ahl Al-Kitab yang memeluk agama Islam. Pengertian tersebut
sama dengan firman-Nya dalam surat Yasin [36]: 10:
"Sama saja bagi mereka: apakah
kamu memberi peringatan
kepada mereka, ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada
mereka, mereka tidak akan beriman."
Yang dimaksud di sini adalah orang-orang
kafir tertentu
ketika itu (pada masa Nabi), bukan seluruh
orang kafir
karena kenyataan juga menunjukkan bahwa sebagian besar dari
orang kafir pada masa Nabi, pada akhirnya memeluk
Islam.
Arti surat Al-Baqarah [2]: 120 di atas perlu
ditegaskan,
karena sering tertadi kesalahpahaman tentang maknanya. Dan
juga sebagaimana diketahui, Yudaisme bukanlah agama dakwah,
bahkan mereka cenderung eksklusif dalam bidang
agama dan
orang lain cenderung enggan menganut agamanya. Di sisi lain,
seperti dikemukakan dalam riwayat-riwayat, sebab turunnya
surat Al-Baqarah [2]: 120
di atas berkenaan dengan
pemindahan kiblat shalat kaum Muslim ke arah Ka'bah, yang
ditanggapi oleh non-Muslim dengan sinis, karena ketika itu
kaum Yahudi Madinah dan kaum Nasrani Najran
mengharapkan
agar Nabi dan kaum Muslim mengarahkan
shalat mereka ke
kiblat mereka. Demikian pendapat Ibnu Abbas
sebagaimana
dikemukakan oleh As-Sayuthi dalam kaxyanya Ashab Al-Nuzul
Penafian Al-Qur'an terhadap An-Nashara,
tidak setegas
penafiannya terhadap Al-Yahud, sehingga boleh jadi
tidak
semua mereka bersikap demikian. Boleh jadi juga kini dan di
masa lalu demikian, tetapi masa datang tidak lagi. Walhasil
penggunaan kata "la" buat mereka tidak setegas
penggunaan
kata "lan" untuk orang Yahudi.
Dengan merujuk kepada ayat-ayat yang menggunakan kata Ahl
Al-Kitab, ditemukan bahwa pembicaraan
Al-Qur'an tentang
mereka berkisar pada uraian tentang sikap dan sifat mereka -
positif dan negatif serta sikap yang hendaknya diambil oleh
kaum Muslim terhadap mereka.
SIFAT DAN SIKAP AHL AL-KITAB
Al-Qur'an banyak berbicara tentang sifat dan
sikap Ahl
Al-Kitab terhadap kaum Muslim,
dan berbicara tentang
keyakinan dan sekte mereka yang
beraneka ragam. Surat
An-Nisa, [4]: 171 dan Al-Ma-idah [5]: 77
mengisyaratkan
bahwa mereka memiliki paham keagamaan yang ekstrem.
"Wahai Ahl Al-Kitab, jangan melampaui batas dalam agamamu,
dan jangan mengatakan terhadap Allah kecuali yang hak" {QS
Al-Nisa, [4]: 171).
Mereka juga dinilai oleh Al-Qur'an sebagai telah mengkufuri
ayat-ayat Allah, serta mengingkari
kebenaran (kenabian
Muhammad saw).
"Wahai Ahl Al-Kitab, mengapa kamu
mengingkari ayat-ayat
Allah padahal kamu mengetahui
(kebenarannya)? Hai Ahl
Al-Kitab, mengapa kamu mencampuradukkan yang hak dengan yang
batil, dan menyembunyikan
kebenaran padahal kamu
mengetahui?" (QS Ali 'Imran [3]: 70-71).
Nabi Muhammad saw. diperintahkan
oleh Allah untuk
menyampaikan kepada mereka:
Katakanlah: "Hai Ahl Al-Kitab, apakah kamu memandang
kami
salah hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa
yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan
sebelumnya, sedang banyak di antara
kamu benar-benar
orang-orang yang fasik?" (QS Al-Ma-idah [5]: 59).
Bahkan Allah Swt. secara
langsung dan berkali-kali
mengingatkan kaum Muslim untuk tidak
mengangkat mereka
sebagai pemimpin-pemimpin atau teman-teman akrab atau tempat
menyimpan rahasia.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil
orang-orang
Yahudi dan
Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi
sebagian yang lain. Barangsiapa
di antara kamu yang
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang
itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak
memberi petunjuk kepada orany-orang
yang zalim" (QS
Al-Ma-idah [5]: 51).
Dalam QS Ali 'Imran [3]: 118 kaum Muslim diingatkan untuk
tidak menjadikan orang-orang di luar kalangan Muslim sebagai
bithanah (teman-teman tempat menyimpan
rahasia) dengan
alasan bahwa:
"... mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kerugian bagi
kamu (kaum Muslim). Mereka menyukai apa yang
menyusahkan
kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka sedang
apa
yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Kami
telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda (siapa
kawan dan
siapa lawan), jika kalian memahaminya." (QS Ali 'Imran [3]:
118).
Terhadap merekalah Nabi saw. bersabda,
"Jangan memulai mengucapkan salam kepada orang
Yahudi dan
jangan pula pada Nasrani. Kalau kamu menemukan salah seorang
di antara mereka di jalan, maka desaklah ia ke
pinggiran"
(HR Muslim melalui Abu Hurairah).
Sahabat dan pembantu Nabi saw., Anas bin
Malik, berkata
bahwa Nabi saw. bersabda,
"Apabila Ahl Al-Kitab mengucapkan salam kepada kamu,
maka
katakanlah, Wa 'alaikum" (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam buku Dalil Al-Falihin dikemukakan bahwa para
ulama
berbeda pendapat tentang hukum memulai ucapan salam kepada
orang-orang kafir. Mayoritas melarangnya tetapi banyak juga
yang membolehkan antara lain sahabat Nabi, Ibnu Abbas. Namun
apabila mereka mengucapkan salam, maka adalah wajib hukumnya
bagi kaum Muslim untuk menjawab salam itu. Ulama
sepakat
dalam hal ini.
Al-Qur'an juga menyatakan bahwa,
"Apabila mereka condong kepada salam
(perdamaian), maka
condong pulalah kepadanya, dan berserah
dirilah kepada
Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui"
(QS Al-Anfal [8]: 61).
Perlu digarisbawahi bahwa berlaku adil terhadap Ahl Al-Kitab
siapa pun mereka, walau Yahudi -
tetap dituntut oleh
Al-Qur'an. Ulama-ulama Al-Qur'an menguraikan bahwa Nabi saw.
pernah cenderung mempersalahkan seorang Yahudi yang tidak
bersalah - karena bersangka baik terhadap
keluarga kaum
Muslim yang menuduhnya. Sikap Nabi tersebut ditegur
oleh
Allah dengan menurunkan surat An-Nisa, [4]: 105.
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu
dengan
membawa kebenaran, supaya engkau mengadili antar
manusia
dengan apa yang Allah wahyukan kepadamu.
Dan janganlah
engkau menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena
(membela) orang-orang yang khianat."
APAKAH AHL AL-KITAB SEMUA SAMA?
Di atas telah dipaparkan sebagian dari
ayat-ayat yang
berbicara tentang Ahl Al-Kitab serta kecaman dan sifat-sifat
negatif mereka. Pertanyaan yang dapat muncul adalah: "Apakah
ayat-ayat di atas berlaku umum,
menyangkut semua Ahl
Al-Kitab kapan dan di mana pun mereka berada?"
Penggalan terakhir surat Al-Ma-idah [5]:
59 di atas
menyatakan bahwa banyak di antara kamu (hai Ahl Al-Kitab),
perlu digarisbawahi untuk menjawab pertanyaan ini.
Hemat
penulis, penggalan tersebut paling tidak menunjukkan bahwa
tidak semua mereka bersikap demikian.
Kesimpulan ini didukung dengan sangat jelas paling
tidak
dalam dua ayat berikut:
"Banyak dari Ahl Al-Kitab yang
menginginkan agar mereka
dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran
setelah kamu
beriman, karena dengki yang timbul dari dalam hati mereka
setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka
maafkanlah dan
biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya.
Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala
sesuatu" (QS
Al-Baqarah [2]: 109).
Perlu diketahui bahwa ayat di atas menggunakan kata katsir
yang seharusnya diterjemahkan banyak,
bukan kebanyakan
sebagaimana dalam Al-Qur'an
dan Terjemahannya oleh
Departemen Agama. Ini dikuatkan juga dengan firman-Nya:
"Segolongan dari Ahl Al-Kitab ingin menyesatkan kamu padahal
mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan kecuali diri mereka
sendiri, dan mereka tidak menyadarinya" (QS Ali 'Imran [3]:
69)
Kalau melihat redaksi ayat di atas, maka dapat
dikatakan
bahwa dalam konteks upaya pemurtadan, maka
tidak semua
mereka bersikap sama. Sejalan dengan ini, ada
peringatan
yang ditujukan kepada kaum Mukmin yang menyatakan:
"Wahai orang-orang yang beriman,
jika kamu mengikuti
sekelompok dari Ahl
Al-Kitab, niscaya mereka akan
mengembalikan kamu menjadi orang-orang kafir sesudah kamu
beriman" (QS Ali 'Imran [3]: 100).
Nah, jika demikian dapat dipahami keterangan Al-Qur'an yang
menyatakan bahwa,
"Mereka itu tidak sama. Di antara Ahl Al-Kitab ada golongan
yang berlaku lurus. Mereka membaca ayat-ayat
Allah pada
beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud"
(QS Ali 'Imran [3]: 113) .
Sebelumnya dalam surat yang sama Al-Qur'an juga memberikan
informasi,
"Di antara Ahl Al-Kitab ada yang jika kamu
mempercayakan
kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu, dan
di antara mereka ada juga yang
jika kamu percayakan
kepadanya satu dinar (saja) tidak dikembalikannya kepadamu,
kecuali selama kamu berdiri (selalu menagihnya).
Yang
demikian itu karena mereka berkata
(berkeyakinan) bahwa
tidak ada dosa bagi kami (memperlakukan tidak adil) terhadap
orang-orang ummi (Arab). Mereka berkata dusta terhadap Allah
padahal mereka mengetahui" (QS Ali 'Imran [3]: 75).
Demikian juga ketika Al-Qur'an mengungkap isi hati sebagian
Ahl Al-Kitab dinyatakannya bahwa:
"Permusuhan antar sesama mereka
sangatlah hebat. Kamu
menduga mereka bersatu, padahal hati mereka berpecah belah"
(QS Al-Hasyr [59]: 14).
BAGAIMANA SEHARUSNYA SIKAP TERHADAP AHL AL-KITAB
Di atas terlihat bahwa Ahl Al-Kitab tidak semua sama. Karena
itu sikap yang diajarkan Al-Qur'an terhadap
mereka pun
berbeda, sesuai dengan sikap mereka.
Dalam sekian banyak ayat yang
menggunakan istilah Ahl
Al-Kitab, terasa adanya uluran tangan dan sikap bersahabat,
walaupun di sana-sini Al-Qur'an mengakui adanya perbedaan
dalam keyakinan.
Perhatikan firman Allah berikut ini:
"Janganlah kamu berdebat dengan Ahl
Al-Kitab, melainkan
dengan cara yang sebaik-baiknya,
kecuali terhadap
orang-orang yang zalim di antara mereka" (QS
Al-'Ankabut
[29]: 46).
Dalam beberapa kitab tafsir - seperti juga pada catatan kaki
Al-Qur'an dan Terjemahnya Departemen Agama -
dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan "orang-orang zalim" dalam ayat di
atas adalah mereka yang setelah diberi penjelasan
dengan
baik, masih tetap membantah, membangkang, dan
menyatakan
permusuhan.
Sebenarnya yang diharapkan oleh kaum Muslim dari semua pihak
termasuk Ahl Al-Kitab adalah kalimat sawa' (kata sepakat),
dan kalau ini tidak ditemukan, maka cukuplah mengakui kaum
Muslim sebagai umat beragama Islam, jangan
diganggu dan
dihalangi dalam melaksanakan ibadahnya. Dalam konteks ini
Al-Qur'an memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw.,
"Hai Ahl Al-Kitab, marilah kepada satu kata sepakat antara
kita yang tidak ada perselisihan di antara kami dan kamu,
yakni bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah, dan
kita
tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak pula
sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan
selain dari Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah
(kepada mereka), 'Saksikanlah (akuilah) bahwa kami adalah
orang-orang Muslim (yang menyerahkan diri kepada Allah)" (QS
Ali 'Imran [3]: 64).
Sekali lagi penulis katakan
"sebagian mereka," karena
Al-Qur'an juga menggarisbawahi bahwa:
"Dan sesungguhnya di antara Ahl Al-Kitab ada
orang yang
beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada
kamu, dan apa yang diturunkan kepada mereka sedang mereka
berendah hati kepada Allah, dan mereka tidak
menukarkan
ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh
pahala di sisi Tuhan mereka. Sesungguhnya Allah amat cepat
perhitungan-Nya" (QS Ali 'Imran [3]: 199).
Memang, tidak sedikit dari Ahl Al-Kitab yang kemudian dengan
tulus memeluk agama Islam. Salah seorang yang paling populer
di antara mereka adalah Abdullah bin Salam.
Al-Qurthubi
dalam tafsirnya meriwayatkan bahwa ketika
turun firman
Allah:
"Orang-orang yang telah Kami beri
Al-Kitab (Taurat dan
Injil) mengenalnya (Muhammad saw.)
sebagaimana mereka
mengenal anak-anak mereka" (QS Al-Baqarah [2]: 146).
Umar r.a. bertanya kepada Abdullah bin Salam, "Apakah engkau
mengenal Muhammad sebagaimana engkau
mengenal anakmu?"
Abdullah menjawab, "Ya, bahkan lebih.
(Malaikat) yang
terpercaya turun dari langit kepada manusia yang terpercaya
di bumi, menjelaskan sifat (cirinya), maka
kukenal dia;
(sedang anakku) aku tidak tahu apa yang telah
dilakukan
ibunya."
AHL AL-KITAB PADA MASA TURUNNYA AL-QUR'AN
Sebelum membuka lembaran ayat-ayat Al-Qur'an perlu kiranya
kita menoleh ke sejarah dakwah Islamiah yang dilaksanakan
oleh Nabi Muhammad
saw. Sepuluh tahun lamanya beliau
melaksanakan misi kerasulan di Makkah, dan yang dihadapi di
sana adalah kaum musyrik penyembah berhala. Di kota Makkah
sendiri penganut agama Yahudi sangat sedikit, bahkan hampir
tidak ada. Musuh pertama dan utama
ketika itu adalah
orang-orang Makkah, dan mereka itu disebut oleh Al-Qur'an
sebagai al-musyrikun.
Penindasan kaum musyrik di Makkah terhadap
kaum Muslim,
memaksa sebagian kaum Muslim melakukan hijrah
pertama ke
Ethiopia. Di sana mereka disambut dengan baik oleh Negus,
penguasa yang beragama Nasrani.
Masyarakat Madinah terdiri dari dua kelompok besar, yaitu
Aus dan Khazraj, serta orang-orang Yahudi
yang memiliki
kekuatan ekonomi yang cukup memadai. Aus dan Khazraj saling
bermusuhan dan berperang. Tidak
jarang pula terjadi
perselisihan dan permusuhan antara mereka
dengan orang
Yahudi. Pertempuran dan perselisihan itu melelahkan semua
pihak; sayang tidak ada di antara
mereka yang memiliki
wibawa yang dapat mempersatukan
kelompok-kelompok yang
bertikai ini.
Orang-orang Yahudi sering mengemukakan
kepada Aus dan
Khazraj, bahwa akan datang seorang Nabi
(dari kelompok
mereka), dan bila ia datang pastilah
kaum Yahudi akan
mengalahkan musuh-musuhnya. Dalam konteks ini
Al-Qur'an
menyatakan - menyangkut orang Yahudi - bahwa,
"Setelah datang kepada mereka Al-Qur'an
dan Allah yang
membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal
sebelumnya
mereka biasa memohon (demi kedatangan Nabi yang dijanjikan)
untuk mendapat kemenangan atas orang-orang
kafir, maka
setelah datang kepada mereka apa yang mereka ketahui mereka
lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah atas orang-orang
yang ingkar itu" (QS Al-Baqarah [2]: 89).
Yang dimaksud dengan "membenarkan apa yang ada pada mereka"
adalah kehadiran seorang Nabi, yang dalam hal
ini Nabi
Muhammad saw. Sahabat Nabi Ibnu Abbas menjelaskan apa yang
dimaksud dengan "padahal sebelumnya mereka biasa
memohon"
adalah bahwa orang Yahudi Khaibar berperang melawan
Arab
Gathfan, tetapi mereka dikalahkan,
maka ketika itu
orang-orang Yahudi berdoa, "Kami bermohon
kepada-Mu demi
Nabi Ummi yang engkau janjikan untuk mengutusnya kepada kami
di akhir zaman, menangkanlah kami atas
mereka" sehingga
mereka berhasil mengalahkan musuh-musuh mereka.
Al-Qur'an juga menginformasikan bahwa
keengganan mereka
beriman disebabkan oleh karena
"kedengkian dan iri hati
mereka" (QS Al-Baqarah [2]: 109). Tadinya
mereka menduga
bahwa Nabi tersebut dari Bani Israil, tetapi ternyata dari
golongan Arab yang merupakan seteru mereka.
Terbaca dari uraian sejarah di atas bahwa orang-orang Yahudi
dan Nasrani hampir tidak ada di
kota Makkah. Itu pula
sebabnya sehingga kaum musyrik di sana mengirim utusan ke
Madinah untuk memperoleh "pertanyaan
berat" yang dapat
diajukan kepada Nabi Muhammad dalam
rangka pembuktian
kenabiannya. Ketika itu
orang-orang Yahudi Madinah
menyarankan agar menanyakan soal ruh, dan peristiwa itulah
yang melatar belakangi turunnya firman Allah:
"Mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah, 'Ruh itu
termasuk urusan Tuhanku.' Kamu tidak diberi
pengetahuan
kecuali sedikit" (QS Al-Isra' [17]: 85).
Kehadiran Nabi Muhammad saw. ke Madinah, disambut baik oleh
Aus dan Khazraj bukan saja sebagai pemersatu mereka
yang
selama ini telah lelah bertempur dan mendambakan perdamaian,
tetapi juga karena mereka yakin bahwa beliau adalah utusan
Allah, yang sebelumnya telah mereka ketahui
kehadirannya
melalui orang-orang Yahudi.
Adapun orang-orang Nasrani lebih banyak bertempat tinggal di
Yaman, bukan di Madinah. Kalaupun ada yang di sana, mereka
tidak mempunyai pengaruh politik atau ekonomi, namun mereka
juga disebut oleh Al-Qur'an sebagai Ahl Al-Kitab.
Kembali kepada persoalan di
atas, ditemukan bahwa
ulama-ulama tafsir bila menemukan istilah Ahl Al-Kitab dalam
sebuah ayat, seringkali menjelaskan siapa
yang dimaksud
dengan istilah tersebut. Hal ini wajar karena
Al-Qur'an
secara tegas menyatakan bahwa Ahl Al-Kitab tidak sama dalam
sifat dan sikapnya terhadap Islam dan kaum Muslim (QS Ali
'Imran [3]: 113). Itu pula sebabnya, dalam
hal-hal yang
dapat menimbulkan kerancuan pemahaman istilah itu, Al-Qur'an
tidak jarang memberi penjelasan tambahan yang
berkaitan
dengan sifat atau ciri khusus Ahl Al-Kitab yang dimaksudnya.
Perhatikan misalnya ayat yang berbicara tentang kebolehan
kawin dengan wanita Ahl Al-Kitab, di sana ditambahkan kata
wal muhshanat (wanita-wanita yang memelihara kehormatannya),
sedang ketika berbicara tentang kebolehan memakan sembelihan
mereka, Al-Qur'an mengemukakannya tanpa
penjelasan atau
syarat.
MENGAPA ADA KECAMAN TERHADAP AHL AL-KITAB?
Kebanyakan kecaman terhadap Ahl Al-Kitab ditujukan kepada
orang Yahudi, bukan kepada orang Nasrani. Ini
disebabkan
karena sejak semula ada perbedaan sikap di
antara kedua
kelompok Ahl Al-Kitab itu terhadap kaum Muslim (perhatikan
kembali penggunaan kata "lan" dan "la" pada uraian di
atas).
Ketika Romawi yang beragama Kristen mengalami kekalahan dari
Persia yang menyembah api (614 M), kaum Muslim merasa sedih,
dan Al-Qur'an turun menghibur mereka dengan menyatakan bahwa
dalam jangka waktu tidak lebih dari sembilan tahun, Romawi
akan menang, dan ketika itu kaum Mukmin akan bergembira:
"Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi,
di negeri
yang terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang
dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah urusan sebelum dan
sesudah (mereka menang) dan di hari
(kemenangan bangsa
Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman karena
pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya,
dan Dialah Maha Perkasa lagi Maha
Penyayang" (QS Al-Rum
[30]: 1-5).
Sikap penguasa Masehi pun cukup baik terhadap kaum Muslim.
Ini antara lain terlihat dalam sambutan dan
perlindungan
yang diberikan oleh penguasa Ethiopia yang beragama Nasrani
kepada kaum Muslim yang berhijrah ke sana, sehingga wajar
jika secara tegas Al-Qur'an menyatakan:
"Sesungguhnya kamu pasti akan menemukan
orang-orang yang
paling keras permusuhannya terhadap
orang-orang beriman
ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang
musyrik, dan
sesungguhnya pasti kamu dapati
yang paling dekat
persahabatannya dengan
orang-orang beriman adalah
orang-orang yang berkata, 'Sesungguhnya kami
ini orang
Nasrani" (QS Al-Ma-idah [5]: 82).
Sebab pokok perbedaan sikap tersebut adalah kedengkian orang
Yahudi terhadap kehadiran seorang Nabi yang tidak berasal
dari golongan mereka (QS Al-Baqarah [2]: 109).
Kehadiran
Nabi kemudian mengakibatkan pengaruh
orang Yahudi di
kalangan masyarakat Madinah
menciut, dan bahkan
menghilangkan pengaruh politik dan
kepentingan ekonomi
mereka.
Di sisi lain, seperti pernyataan Al-Qur'an di atas, sebab
kedekatan sebagian orang Nasrani kepada kaum Muslim adalah:
"Karena di antara mereka terdapat
pendeta-pendeta dan
rahib-rahib, dan juga karena sesungguhnya
mereka tidak
menyombongkan diri" (QS Al-Ma-idah [5]: 82)
Para pendeta ketika itu relatif berhasil menanamkan ajaran
moral yang bersumber dari ajaran Isa as., sedang para rahib
yang mencerminkan sikap zuhud
(menjauhkan diri dari
kenikmatan duniawi dengan berkonsentrasi
pada ibadah),
berhasil pula memberi
contoh kepada lingkungannya.
Keberhasilan itu didukung pula oleh tidak adanya kekuatan
sosial politik dari kalangan mereka di Makkah dan Madinah,
sehingga tidak ada faktor yang
mengundang gesekan dan
benturan antara kaum Muslim dengan mereka.
Ini bertolak belakang dengan kehadiran orang Yahudi, apalagi
pendeta-pendeta mereka dikenal luas menerima sogok, memakan
riba, dan masyarakatnya pun amat materialistis-individualis-
tis.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa penyebab utama lahirnya
benturan, bukannya ajaran agama, tetapi ambisi pribadi atau
golongan, kepentingan ekonomi, dan politik, walaupun harus
diakui bahwa kepentingan tersebut dapat
dikemas dengan
kemasan agama, apalagi bila ajarannya disalahpahami.
Ayat-ayat yang melarang kaum Muslim
mengangkat awliya'
(pemimpin-pemimpin yang menangani persoalan umat Islam) dari
golongan Yahudi dan Nasrani serta selain mereka,
harus
dipahami dalam konteks tersebut, seperti firman Allah dalam
surat Ali-'Imran [3]: 118:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi
teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar
kalanganmu,
(karena) mereka tidak henti-hentinya
(menimbulkan)
kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan
kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih
besar lagi.
Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika
kamu memahaminya."
Ibnu Jarir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat tersebut
turun berkenaan dengan sikap orang Yahudi Bani
Quraizhah
yang mengkhianati perjanjian mereka
dengan Nabi saw.,
sehingga seperti ditulis Rasyid Ridha
dalam tafsirnya:
"Larangan ini baru berlaku apabila mereka
memerangi atau
bermaksud jahat terhadap kaum Muslim."
Rasyid Ridha, mengkritik dengan sangat
tajam pandangan
beberapa ulama tafsir seperti Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari
- yang menjadikan ayat ini sebagai
larangan bersahabat
dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani secara mutlak.
Dalam tafsirnya, Al-Baidhawi menguatkan
pendapatnya itu
dengan hadis Nabi saw. yang menyatakan,
"(Kaum Muslim dan mereka) tidak saling
melihat api
keduanya."
Maksudnya seorang Muslim tidak wajar
bertempat tinggal
berdekatan dengan non-Muslim dalam jarak yang
seandainya
salah satu pihak menyalakan api, maka pihak lain melihat api
itu.
Sebenarnya hadis tersebut diucapkan oleh Nabi tidak dalam
konteks umum seperti pemahaman Al-Baidhawi, tetapi
dalam
konteks kewajiban berhijrah pada saat Nabi amat membutuhkan
bantuan. Dalam arti, Nabi menganjurkan umat
Islam untuk
tidak tinggal di tempat di mana kaum musyrik
bertempat
tinggal, tetapi mereka harus berhijrah ke tempat lain guna
mendukung perjuangan Nabi dan kaum Muslim.
Di sisi lain, hadis tersebut sebenarnya berstatus mursal,
sedangkan para ulama berselisih mengenai
boleh tidaknya
hadis mursal untuk dijadikan argumen keagamaan. Rasyid Ridha
berkomentar:
"Banyak pengajar hanya merujuk kepada Tafsir Al-Baidhawi dan
Az-Zamakhsyari, sehingga wawasan pemahaman mereka terhadap
ayat dan hadis menjadi
dangkal, apalagi keduanya
(Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari) hanya
memiliki sedikit
pengetahuan hadis, dan keduanya pun tidak banyak
merujuk
kepada pendapat salaf (ulama
terdahulu yang diakui
kompetensinya).{1}"
Dalam bagian lain tafsirnya, Rasyid
Ridha, mengaitkan
pengertian larangan di atas dengan larangan serupa
dalam
Al-Qur'an:
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu ambil menjadi
teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar
kalanganmu,
(karena) mereka tidak
henti-hentinya (menimbulkan)
kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan
kamu. Telah nyata kebencian dan mulut mereka, dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi (QS
Ali Imran [3]: 1 18)
Karena ciri-ciri tersebutlah maka larangan
itu muncul,
sehingga ia hanya berlaku terhadap
orang yang cirinya
demikian, kendati seagama, sebangsa, dan seketurunan dengan
seorang Muslim.
"Sebagian orang tak menyadari sebab
atau syarat-syarat
tersebut, sehingga mereka berpendapat bahwa larangan
ini
bersifat mutlak terhadap yang berlainan agama. Seandainya
larangan tersebut mutlak, ini tidak aneh karena orang-orang
kafir ketika itu bersatu menentang kaum Mukmin pada
awal
masa kedatangan Islam, ketika ayat ini turun. Apalagi ayat
ini menurut para pakar, turun menyangkut orang-orang Yahudi.
Namun demikian ayat di atas bersyarat dengan syarat-syarat
tersebut, karena Allah swt. yang
menurunkan mengetahui
perubahan sikap pro atau kontra yang dapat
terjadi bagi
bangsa dan pemeluk agama. Seperti yang terlihat
kemudian
dari orang-orang Yahudi yang pada awal masa Islam
begitu
benci terhadap orang-orang Mukmin, namun berbalik menjadi
membantu kaum Muslim dalam beberapa peperangan (seperti di
Andalusia) atau seperti halnya orang Mesir yang
membantu
kaum Muslim melawan Romawi." {2}
Dari sini dapat ditegaskan bahwa Al-Qur'an tidak menjadikan
perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalin hubungan
kerja sama, lebih lebih mengambil sikap tidak bersahabat.
Bahkan Al-Qur'an sama sekali tidak melarang seorang Muslim
untuk berbuat baik dan memberikan sebagian hartanya kepada
siapa pun selama mereka tidak memerangi kaum Muslim dengan
motivasi keagamaan atau mengusir kaum
Muslim di negeri
mereka. Demikian penafsiran surat Al-Mumtahanah [60]: 8 yang
dikemukakan oleh Ibn 'Arabi Abubakar Muhammad bin Abdillah
(1076-1148 M) dalam tafsirnya Ahkam Al-Qur'an.{3}
Atas dasar itu pula sejumlah sahabat
Nabi bahkan Nabi
sendiri ditegur oleh Al-Qur'an karena enggan memberi bantuan
nafkah kepada sejumlah Ahl Al-Kitab, dengan
dalih bahwa
mereka enggan memeluk Islam. Demikian Al-Qurthubi
ketika
menjelaskan sebab turunnya ayat 272 surat Al-Baqarah:
"Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk,
tetapi Allah yang
memberi petunjuk siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik
yang kamu
nafkahkan dijalan Allah, maka pahalanya
adalah untukmu
jua.{4}"
Atas dasar pandangan itu pula, kaum Muslim diwajibkan oleh
Al-Qur'an memelihara rumah-rumah ibadah yang telah dibangun
oleh orang-orang Yahudi, Nasrani, dan pemeluk agama
lain
berdasarkan surat Al-Hajj [22]: 40.
"Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia.
dengan sebagian yang lain, tentulah
telah dirobohkan
biara-biara Nasrani, gereja-gereja,
rumah-rumah ibadat
Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut
nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang
yang
menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah
benar-benar
Mahakuat lagi Mahaperkasa."
Dari prinsip yang sama Al-Qur'an membenarkan kaum
Muslim
memakan sembelihan Ahl Al-Kitab dan mengawini wanita-wanita
mereka yang menjaga kehormatannya.
SIAPA YANG DISEBUT AHL AL-KITAB?
Di atas telah dikemukakan
bahwa para ulama sepakat
menyatakan bahwa Ahl Al-Kitab adalah
orang Yahudi dan
Nasrani. Namun para ulama berbeda pendapat tentang rincian,
serta cakupan istilah tersebut. Uraian
tentang hal ini
paling banyak dikemukakan oleh pakar-pakar Al-Qur'an ketika
mereka menafsirkan surat Al-Ma-idah [5]: 5, yang menguraikan
tentang izin memakan sembelihan Ahl Al-Kitab, dan mengawini
wanita-wanita yang memelihara kehormatannya.
Al-Maududi, seorang pakar agama Islam kontemporer, menulis
perbedaan pendapat para ulama tentang cakupan
makna Ahl
Al-Kitab yang penulis rangkum sebagai berikut: {5}
baca juga :
{1} Baca lebih jauh Tafsir Al-Manar, Jilid VI, hlm. 428.
{2} Tafsir Al-Manar, Jilid IV, hlm. 82
{3} Lihat Tafsir Al-Manar, Jilid IV, hlm. 1773.
{4} Ahkam Al Qur'an, III, hlm. 337.
{5} Lihat majalah Al-Wa'i Al-Islam, Kuwait, Maret 1972,
Thn. VIII, No. 86.
Artikel By : Prof. Dr. M. Quraisy
Syihab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar