Jawabannya penting,
ya benar tidak penting. Anda yang Sunni pertahankan Kesunnian anda dan saya
yang Syiah pegang erat Kesyiahan anda. Mengapa?
Seorang
teman baik pernah bertanya kepada saya “Antum Syiah?”. Saya jawab “ya”
dan seperti biasa, saya tidak merasa perlu memperhatikan apa responnya.
Pertanyaan lain “Tulisanmu kok baunya Syiah melulu?”. Jawaban saya
“Ya itu karena banyak orang punya masalah dalam membaui sesuatu”. Ada juga
yang lain “Kenapa sih kamu suka menulis yang itu-itu aja?”. Jawaban saya
adalah kalau mau jujur tidak ada satupun tulisan yang saya suka, saya
menulis sekedar menuangkan pikiran saya yang kepenuhan. Sepertinya jika tidak
dimuntahkan akan terasa berat menggantung sampai saya tertidur.
Jadi Apa
Pentingnya Isu Sunni Syiah? penting walaupun itu
tidak akan
- Mengenyangkan anda
- Memberi anda uang
- Mengentaskan kemiskinan
- Memberantas kebodohan
- Mengayomi orang kecil
- Menyehatkan orang sakit
- Memberi makan mereka yang kelaparan
- Meningkatkan perekonomian dan pembangunan
- Memberi anda nilai bagus saat ujian
Saya katakan
salut pada anda-anda yang memang selalu penting. Sedangkan saya, saya ini tidak
penting dan memang kerjaannya juga nggak penting. Saya tidak punya usaha untuk
mengatasi masalah disekitar saya karena saya hanya bisa mengeluh. Isu Sunni
Syiah adalah hal besar dari hidup saya dan mendapat porsi besar dalam
blog ini karena Saya peduli. Saya peduli dengan sesuatu yang tidak
dianggap peduli oleh banyak orang. Ahlul Bait bagi sebagian orang nggak
penting tapi bagi saya luar biasa penting. Mereka adalah Guru-guru saya yang
tidak terjangkau oleh saya. Mereka adalah Sosok yang membuat saya hanya bisa
terpana dan terdiam di ujung Sana. Mereka Sosok yang dipuja-puja sebagian orang
dan dilupakan oleh kebanyakan orang.
Ahlul Bait, dulu saya cuma kenal sama seperti
saya mengenal Descartes, Popper, Muthahhari, M Baqir As Shadr, deelel exct.
Sampai akhirnya Tuhan membanting saya hingga hancur remuk karena sikap saya
yang cuma kenal-kenal saja. Tuhan memberikan saya satu kehidupan lagi. Saya
hanya bisa melakukan apa yang saya bisa. Saya bukan orangnya yang akan
memberikan uang bagi setiap peminta-minta, saya bukan orangnya yang bisa
menolong orang lain, saya bukan orangnya yang bisa memberikan kebahagiaan pada
semua orang. Saya adalah orang yang egois, tidak pedulian dan pecundang. Jadi
gak mungkin bisa orang begini menjadi Malaikat Penyelamat.
Ahlul Bait, mau bilang cinta tapi malu, mau
biasa aja juga nggak bisa, mau mengenal ya cuma kenal, bahkan saya bingung mau
apa. Mau dibela, memangnya membela apa, rasanya setiap orang ngaku-ngakunya
pecinta Ahlul Bait. Lagipula siapa saya sok jadi pembela, memangnya pantas? Nah
anda lihat Inkonsistensi saya sudah mulai kumat
Kita Cut
dulu ya dan balik ke masalah Penting dan Tidak Penting. Mari kita analisis
dengan seksama, bicarakan bagaimana sesuatu yang dianggap Penting
itu?. Relatif, ya benar-benar relatif. Sesuatu yang dianggap penting oleh orang
lain bisa jadi tidak penting bagi orang yang lebih lain. Mari kita asumsikan
bahwa yang penting itu adalah yang memberikan Kebehagiaan. Nah apa saja
itu
Bisa banyak
nih, untuk mereka yang hidup di dunia maka yang di bawah ini benar-benar
penting
- Makanan
- Minuman
- Kesehatan
- Uang
- Keluarga
- Orang-orang yang disayangi
- Teman
- Hidup enak
- Kedudukan terhormat
- Serba Ada
Bagi mereka
yang Jiwanya subur maka yang dibawah ini juga penting
- Akhlak yang terpuji
- Altruisme
- Ketenangan
- Agama or keyakinan
- Cinta
- Kemanusiaan
- Hati nurani
Kalau saya
sendiri ada beberapa hal yang saya anggap penting
- Ahlul Bait
- Dia
- Istri kedua (ada yang tahukah?)
- BusKota
- FP, Danrad , Ksatria Kasmir, Nita, Dika dan Yang Lain
- Tidur
- Depan Rektorat
- Depan Masjid Agung
- Langit sore dan Gelap malam
- Buka Puasa
Sepertinya
memang tidak ada batasan khusus soal mana yang penting dan tidak penting.
Konsep Yang Penting itu benar-benar relatif .
Intinya
dengan dasar apa anda menilai sesuatu itu penting atau tidak penting .
Inilah sebenarnya yang paling penting. Hidup bisa jadi penting atau tidak
penting tergantung dari sudut pandang mana anda menilainya. Mengapa Ahlul
Bait begitu penting bagi saya?
- Pertama karena Pencarian Keras saya berujung di sana
- Kedua karena saya tidak mau dibanting lagi
- Ketiga karena Setelah saya mati saya harap itu bisa menolong saya
Mengapa
Sunni atau Syiah penting bagi saya
- Pertama karena Saya tidak terikat mahzab syi’ah
- Kedua karena Pencarian saya ternyata mengarahkan skesana
Seandainya
ada yang menyatakan yang menuduh saya Syiah. Yo wes terserah saya nggak
peduli. Silakan saja tidak ada yang melarang. Tetapi isu Sunni Syiah bisa
menjadi penting bagi saya jika itu sudah menyangkut soal Ahlul Bait,
Kan dah dibilang sudut Kepentingan itu benar-benar menentukan.
Adalah suatu
hal yg sangat memprihatinkan apabila sampai pada hari ini umat Islam masih
bertengkar mempermasalahkan status madzhab pola pikir atau juga sekte. Seolah
merasa kebenaran adl mutlak milik madzhab dan golongan masing-masing diluarnya
salah dan sesat.
Lalu sampai
seberapa jauh Islam ini akan dibawa kepada pertarungan panjang yg melelahkan ?
haruskah fanatisme dan kebutaan pemikiran senantiasa melingkupi hati kita
mencemari kesucian roh dan mencampakkan Nafs ?
Haruskah
semuanya kita lanjutkan sampai masa yg akan datang ?
Semoga Allah
mengampuni kita yg tidak mengerti betapa agung dan pluralnya Islam itu kenapa
kita menyianyiakan satu ajaran yg konon gunungpun tak kuasa menerimanya ?
Jika dgn
mencintai para keluarga Nabi membela kebenaran yg ada didiri Fatimah Ali Hasan
dan Husin maka seseorang disebut sebagai Syiah maka saya akan dgn bangga
menyatakan diri saya Syiah sebaliknya jika mengagumi ketokohan Umar bin Khatab
dan mengamalkan hadis-hadis selain riwayat dari para ahli Bait Nabi maka
seseorang disebut sebagai Ahli Sunnah maka sayapun menyebut diri saya demikian.
Tidak ada yg
salah dgn kedua istilah tersebut Syiah dan Sunni merupakan istilah yg terbentuk
setelah ajaran Islam selesai diwahyukan keduanya pada dasarnya merupakan
polarisasi pemahaman yg berawal dari pemilihan pemimpin umat Islam pasca
kematian Nabi yg akhirnya meluas sampai pada tingkat penyelewengan
dimasing-masing pemahaman oleh generasi-generasi sesudahnya.
Sudah sampai
saatnya masing-masing kita melakukan koreksi diri terhadap apa yg selama ini
terdoktrinisasi bahwa pelurusan sejarah serta pentaklidan buta sudah saatnya
dilakukan.
Isyu
perpecahan didalam Islam memang bukan hal yg baru dan rasanya ini sesuatu yg
wajar krn tiap orang bisa memahami ajaran Islam dari sudut pandang keilmuan yg
berbeda apalagi Islam mencakup pengajaran semua bangsa dan daerah yg
masing-masingnya memiliki corak budaya tradisi serta situasi yg beraneka ragam
sebagai salah satu sifat universalismenya.
Semua
perbedaan tersebut seharusnya tidak dijadikan sekat dalam mengembangkan rasa
kebersaudaraan dan toleransi beragama sebagaimana sabda Nabi sendiri bahwa umat
Islam itu bagaikan satu tubuh semuanya bersaudara yg diikat oleh tali Tauhid
pengakuan ketiadaan Tuhan selain Allah Tuhan yg satu yg tidak beranak dan tidak
diperanakkan dalam berbagai bentuk penafsiran serta sifat apapun.
Karenanya
kecenderungan utk menghakimi pemahaman yg berbeda dari apa yg kita pahami
apalagi sampai melekatkan label kekafiran atasnya sangat bertentangan dgn
ajaran Islam yg disampaikan oleh Allah melalui nabi-Nya.
“Barangsiapa
bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah
menghadap
kiblat kita
mengerjakan
Sholat kita dan memakan hasil sembelihan kita
maka ia adl
seorang Muslim. Baginya berlaku hak dan kewajiban yg sama
sebagai
Muslim lainnya.”
- Riwayat
Bukhari -
Maraknya
ajaran-ajaran sesat yg terjadi diberbagai belahan dunia akhir-akhir ini memang
sewajarnya membuat umat Islam merasa prihatin terlebih lagi mereka yg menggunakan
nama dan tata cara Islam sebagai topeng yg menutupi kesesatannya. ; Akan tetapi
kita juga harus mampu bersikap objektif berpikiran terbuka dan jernih
menyikapinya selama kita belum mengetahui secara jelas seberapa jauh
penyimpangan yg dianggap sudah dilakukan oleh mereka maka selama itu pula
hendaknya kita menahan diri dari komentar maupun tanggapan yg justru
menimbulkan keresahan dimasyarakat.
Islam adl
satu semuanya bersumber dari ajaran yg satu yaitu Yang Maha Kuasa yg kemudian
diturunkan kepada kita melalui salah seorang hamba terkasih-Nya bernama
Muhammad bin Abdullah ditanah Arab pada abad ke-6 masehi.
Dalam
bukunya yg berjudul “Sejarah Hidup Muhammad” hal 89 Muhammad Husain Haekal
menggambarkan pernyataan kesetiaan Ali terhadap Nabi sebagai berikut :
“Tuhan
menjadikanku tanpa aku perlu berunding dgn Abu Thalib apa gunanya aku harus
berunding dengannya utk menyembah Allah ?”; selanjutnya pada halaman 92 juga
dituliskan pernyataan Ali yg lain : “Rasulullah aku akan membantumu aku adl
lawan siapa saja yg menentangmu”.
Meskipun
demikian Abu Thalib sendiri menurut riwayat tetap pada keyakinan lamanya
sebagai penyembah berhala bertolak belakang dgn sikap putranya. Namun perbedaan
keyakinan antara mereka tidak membuat Abu Thalib melepaskan perlindungan dan
kasih sayangnya pada diri Nabi Ali dan Khadijjah beliaulah yg sering melakukan
pembelaan manakala ada pihak Quraisy yg bermaksud mencelakakannya dan ini terus
dilakoninya sampai ia wafat.
Ali bin Abu
Thalib telah ikut bersama Nabi semenjak usia anak-anak jauh sebelum Nabi
bertemu dgn para sahabat lainnya krn itu juga mungkin beliau digelari
Karamallahuwajhah .
Allah
sendiri melalui wahyu-Nya telah menekankan kepada Nabi agar terlebih dahulu
menyerukan ajaran Islam kepada keluarga terdekatnya :
Dan berilah
peringatan kepada keluargamu yg terdekat Limpahkanlah kasih sayang terhadap
orang-orang beriman yg mengikutimu; Jika mereka mendurhakaimu maka
katakanlah:”Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yg kamu
kerjakan”. – Qs. Asy-Syu’araa 26:214-216
Seruannya
memang di-ikuti oleh keluarganya dimulai oleh Khadijjah istrinya Ali bin Abu
Thalib sepupu sekaligus menantunya kelak paman sesusuannya Hamzah bin Abdul
Muthalib Ja’far bin Abu Thalib dan pamannya Abbas bin Abdul Muthalib.
Olehnya
tidak menjadi suatu kesangsian lagi bila Ali mengenal betul sifat dan watak yg
ada pada diri Nabi sehingga tidak ada alasan baginya utk menolak perintah
maupun membantah keputusannya terlebih dalam kapasitasnya selaku seorang Rasul
Tuhan. ; Jelas dalam hal ini sikap Ali bin Abu Thalib tidak bisa disejajarkan
dgn sikap beberapa sahabat yg kritis dan vokal terhadap beberapa pendapat Nabi
bisa dimaklumi bahwa notabene mereka mengenal Nabi tidak lbh lama dari Ali bin
Abu Thalib selain juga ditentukan oleh faktor watak dan kondisi lain yg melatar
belakanginya.
Dimalam
hijrahnya ke Madinah Nabi meminta Ali bin Abu Thalib menggantikan posisi
tidurnya dipembaringan dgn mengenakan mantel hijaunya dari Hadzramut
menyongsong rencana pembunuhan yg sudah disusun oleh para kafir Quraisy yg saat
itu berada disekitar kediaman Nabi.
Tindakan
Nabi ini seolah mengisyaratkan bahwa beliau berkeinginan utk menjadikan
sepupunya itu pengganti dirinya dikala hidup dan mati.
Saat Nabi
mempersatukan kaum Muhajirin dan Anshar dikota Madinah Nabi sendiri justru
mengangkat Ali bin Abu Thalib sebagai saudaranya berbeda misalnya dgn Abu Bakar
yg disaudarakan dgn Kharija bin Zaid Umar bin Khatab dgn ‘Itban bin Malik
al-Khazraji bahkan pamannya sendiri yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib
dipersaudarakan dgn Zaid mantan budaknya.
Persaudaraannya
ini sering di-ingatkan oleh Nabi dalam hadis-hadisnya bahwa kedudukannya
terhadap Ali laksana kedudukan Musa terhadap Harun
Dari Sa’ad
bin Abu Waqqas : “Rasulullah Saw mengatakan kepada Ali : Engkau dgn aku serupa
dgn kedudukan Harun dgn Musa tetapi sesungguhnya tidak ada Nabi sesudah aku” –
Hadis Riwayat Muslim
Saat semua
sahabat utamanya mengajukan lamaran utk menyunting Fatimah sebagai istri mereka
Nabi menolaknya dan menikahkan putri tercintanya itu dgn Ali bin Abu Thalib.
Tatkala
Hisyam bin Mughirah meminta izin kepada Nabi agar memperbolehkan mengawinkan
anak perempuannya dgn Ali Nabi juga menolaknya dan bersabda :
“Aku tidak
mengizinkan sekali lagi aku tidak mengizinkan dan sekali lagi aku tidak
mengizinkannya kecuali bila Ali bin Abu Thalib mau menceraikan puteriku dan
kawin dgn anak-anak perempuan Hisyam krn sesungguhnya puteriku darah dagingku
menyusahkanku apa yg menyusahkannya dan menyakitkanku apa saja yg
menyakitkannya” – Riwayat Muslim
Ali juga
merupakan satu-satunya orang yg diserahi panji Islam dalam peperangan Khaibar
oleh Nabi yg menurut beliau bahwa panji itu hanya layak bagi laki-laki yg
benar-benar mencintai Allah dan Rasul-Nya lalu ditangannya Allah akan
memberikan kemenangan.; Padahal Umar bin Khatab sangat berambisi agar tugas itu
diserahkan kepadanya.
Saat akan
terjadi Mubahalah antara Nabi dgn para pendeta dari Najran beliau memanggil Ali
Fatimah serta kedua cucunya yaitu Hasan dan Husin utk mendampinginya baru para
istri beliau .
Dalam haji
terakhirnya disuatu daerah bernama ghadir khum beberapa riwayat menyebutkan
bahwa Nabi sempat menyinggung tentang regenerasi kepemimpinan umat sepeninggal
beliau dan mengumumkan Ali sebagai penerusnya.; dan memperingatkan kaum
Muslimin agar memperhatikan keluarga beliau sepeninggalnya kelak ucapan ini
sampai diulangnya sebanyak 3 kali dan Zaid bin Arkam menyatakan bahwa yg
dimaksud oleh Nabi adl keluarga Ali ‘Aqil keluarga Ja’far dan keluarga ‘Abbas.
– Riwayat Muslim
Menjelang
akhir hayatnya Nabi menugaskan sebagian besar sahabat utamanya termasuk Abu
Bakar dan Umar kedalam satu ekspedisi ke daerah Ubna suatu tempat di Syiria
dibawah komando Usamah bin Zaid bin Haritsah sementara Ali sendiri diminta utk
tetap menemani hari-hari terakhirnya dikota Madinah serta memberinya wasiat
agar mau mengurus jenasah dan pemakamannya bila waktunya tiba.
Ini juga
tersirat tentang keinginan Nabi menjadikan dan memantapkan posisi Ali sebagai
pengganti beliau memimpin umat dijauhkannya para sahabat senior lain dari kota
Madinah agar ketika mereka kembali tidak akan terjadi keributan seputar suksesi
kepemimpinan.
Hanya sayang
rencana Nabi kandas krn sebagian sahabat senior merasa enggan berada dalam
komando Usamah bin Zaid yg masih relatif remaja sampai Nabi marah dan
mempertanyakan kredebilitas dirinya dihadapan mereka mengenai penunjukan Usamah
itu.
Pada
akhirnya kehendak Nabi harus mengalah dgn kehendak Tuhan yg sudah mentakdirkan
jalan lain tidak ubah seperti keinginan Isa al-Masih agar cawan penyaliban
dihindarkan darinya namun Tuhan tetap menginginkan semuanya terjadi sesuai
mau-Nya.
Nabi wafat
dipelukan Ali setelah membisikkan kepada Fatimah agar tidak bersedih
sepeninggalnya krn dalam waktu tidak berapa lama setelah kematiannya putrinya
itupun akan menyusulnya.
Ali juga yg
memandikan jenasah Nabi bersama Ibnu Abbas dan mengurus pemakamannya saat yg
sama sekelompok orang disaat itu malah meributkan suksesi kepemimpinan dan
akhirnya menobatkan Abu Bakar selaku Khalifah penerus Nabi dalam memimpin umat
serta melupakan semua peran dan posisi Ali dihadapan Nabi.
Inilah awal
dari isyu perpecahan ditubuh Islam sebagai bentuk protes terhadap perbuatan
mereka ini Ali Fatimah dan sejumlah sahabat lainnya menolak mengakui
kepemimpinan Abu Bakar lebih-lebih lagi setelah sang Khalifah menolak
memberikan tanah Fadak yg diwariskan Nabi kepada Fatimah hasil rampasan perang
Khaibar.; Padahal semua orang tahu bahwa menyakiti Fatimah sama seperti
menyakiti Nabi namun mereka mengabaikannya hingga akhirnya Fatimah wafat dalam
keadaan tetap mendiamkan Abu Bakar dan menolak berbaiat kepada pemerintahannya.
Ali bin Abu
Thalib memakamkan jenasah istrinya disuatu tempat pada malam harinya secara
diam-diam dan hanya dihadiri oleh para simpatisan dan pengikut mereka krn tidak
ingin dihadiri oleh pihak yg berseberangan dengannya.
Manakala
keadaan Madinah semakin memanas dan beberapa pihak berusaha menghasut
terjadinya peperangan antara pihak Ali dan Abu Bakar sebuah keputusan berdamai
diambil oleh Ali demi menjaga persatuan umat dan terciptanya kedamaian.
“Dan
orang-orang yg mempunyai hubungan darah satu sama lain lbh berhak di dalam
Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin kecuali kalau
kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu . Adalah yg demikian itu telah
tertulis di dalam Kitab . – Qs. al-Ahzaab 33:6
Kondisi ini
terus berlangsung hingga wafatnya Umar bin Khatab dan turunnya kredibelitas
Usman bin Affan selaku Khalifah ke-3 akibat ulah para keluarganya yg tamak dan
haus kekuasaan.
Keterbunuhan
Usman bin Affan dan pengangkatan dirinya sebagai Amirul Mukminin membangkitkan
dendam lama Quraisy terhadap Bani Hasyim keturunan Nabi walaupun berakhir dgn
baik dan terhormat tidak urung pertempuran Jamal yg dipimpin langsung oleh
‘Aisyah istri Nabi merupakan awal yg bagus utk dimanfaatkan oleh Muawiah bin
Abu Sofyan dalam mengobarkan pemberontakan terhadap otoritas kepemimpinan Ali.
Ali akhirnya
terbunuh dimasjid Kufah akibat tusukan pedang beracun milik salah seorang dari
kelompok Khawarij bernama Abdurahman bin Muljam pada suatu Jum’at pagi dan
menghembuskan nafas terakhirnya pada malam Ahad 21 Ramadhan 40 H.
Setelah
kematian Ali bin Abu Thalib Hasan puteranya tertua diangkat oleh sekelompok
besar sahabat Nabi selaku Khalifah pengganti. Namun lagi-lagi Muawiyah tidak
senang dan terus mengobarkan semangat permusuhan dgn Ali dan keturunannya orang
dipaksa utk mencaci maki keluarga Nabi itu sejahat-jahatnya bahkan termasuk
dalam mimbar-mimbar Jum’at.
Kenyataan
ini jelas semakin memperdalam kehancuran persatuan umat Islam suatu ironi yg tidak
dapat dihindarkan betapa dgn susah payah Nabi menggalang satu tatanan kehidupan
masyarakat yg madani dgn mengorbankan air mata dan tetesan darah para syuhada
harus hancur dihadapan cucu beliau sendiri.
Akhirnya
Hasan bin Ali memutuskan utk berdamai dgn Muawiyah dan menyerahkan tampuk
kekuasaan Khalifah kepadanya demi utk menghindarkan jurang yg lbh dalam lagi
dikalangan umat Islam dgn beberapa persyaratan perjanjian.
Beberapa isi
dari perjanjian itu adl pemerintahan Muawiyah akan menjalankan pemerintahan
berdasarkan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya menjaga persatuan umat
menyejahterakannya melindungi kepentingannya tidak membalas dendam kepada
anak-anak yg orang tuanya gugur didalam berperang dgn Muawiyah juga tidak
mengganggu seluruh keluarga Nabi Muhammad Saw baik secara terang-terangan
maupun tersembunyi dan menghentikan caci maki terhadap para Ahli Bait ini serta
tidak mempergunakan gelar “Amirul Mukminin” sebagaimana pernah disandang oleh
Khalifah Umar bin Khatab dan Khalifah Ali bin Abu Thalib.
Akan tetapi
selang beberapa saat sesudah Muawiyah diakui sebagai Khalifah dia mulai
melanggar isi perjanjian tersebut orang-orang yg dianggap mendukung keluarga
Nabi diculik dan dibunuh perbendaharaan kas baitul mal Kufah disalah gunakan
caci maki terhadap keturunan Nabi dari Fatimah kembali dibangkitkan malah lbh
parah lagi mereka memaksa orang utk memutuskan hubungan dgn ahli Bait Nabi.
Tidak hanya
sebatas itu beberapa hukum agama yg diatur oleh Nabi Muhammad Saw pun dirombak
oleh Muawiyah misalnya Sholat hari raya mempergunakan azan khotbah lbh
didahulukan daripada sholat laki-laki diperbolehkan memakai pakaian sutera dan
sebagainya.
Mereka juga
membuat pernyataan-pernyataan yg dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw dan
beberapa sahabat utama yg sebenarnya tidak pernah ada.
Hal ini
membuat prihatin para pendukung Hasan bin Ali bin Abu Thalib mereka sepakat utk
kembali menyatakan cucu Nabi Saw ini selaku seorang Imam atau pemimpin mereka.
Orang-orang
ini diantaranya Hajar bin Adi Adi bin Hatim Musayyab bin Nujbah Malik bin
Dhamrah Basyir al-Hamdan dan Sulaiman bin Sharat.
Akan tetapi
selang tak lama putera pertama dari Fatimah az-Azzahrah ini wafat krn diracun
lama masa pemerintahan Khalifah Hasan ini 6 bulan lbh 1 hari.
Kekejaman
dinasti Bani Umayyah terhadap Bani Hasyim keturunan Nabi Muhammad Saw terus
berlanjut sampai pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah bin Abu Sofyan yg
melakukan pembantaian besar-besaran atas diri Husain sekeluarga dan para
pengikutnya dipadang Karbala pada hari Asyura.
Kepala
Husain yg mulia telah dipenggal wanita dan anak-anak di-injak-injak wanita
hamil serta orang tua pun tidak luput dari pembunuhan kejam itu.
Seluruh
keturunan Nabi Muhammad Saw melalui Ali bin Abu Thalib terus dicaci maki
meskipun tubuh mereka telah bersimbah darah merah semerah matahari senja yg
meninggalkan cahaya ke-emasannya utk berganti pada kegelapan.
Kekejaman
Yazid dalam membunuh Husain menyembelih anak-anak dan pembantu-pembantunya
begitu pula memberi aib kepada wanita-wanitanya ditambah dalam tahun ke-2 memperkosa
kota Madinah yg suci serta membunuh ribuan penduduknya tidak kurang dari 700
orang dari Muhajirin dan Anshar sahabat-sahabat besar Nabi yg masih hidup.
Marilah
sekarang kita berpikir secara objektif apakah perbuatan ini dianggap baik oleh
orang yg mengaku mencintai Nabinya dan senantiasa bersholawat kepada beliau dan
keluarganya dalam tiap sholat ?
Masihkah
kita berpikir jahat terhadap orang yg mencintai dan mengasihi ahli Bait
sementara kita sendiri justru berusaha utk membela orang-orang yg justru telah
secara nyata melakukan pembasmian terhadap keluarga Nabi Muhammad Saw ?
Permusuhan
Muawiyyah bin Abu Sofyan terhadap Bani Hasyim terus menurun kepada generasi
sesudahnya seperti Yazid bin Muawiyah Marwan Abdul Malik dan Walid barulah pada
pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz keadaan berubah.
Sekalipun
Umar bin Abdul Aziz berasal dari klan Bani Umayyah sebagaimana juga
pendahulunya namun beliau bukan orang yg zalim seluruh penghinaan terhadap
keluarga Nabi dilarangnya sebaliknya beliau membersihkan nama dan sangat
menghormati para ahli Bait.
Sebagai
tambahan catatan dendam lama antara Bani Umayyah terhadap Bani Hasyim pernah
secara nyata dilakukan pada jaman Nabi Muhammad Saw masih hidup yaitu manakala
Hindun istri Abu Sofyan melakukan permusuhan terhadap Rasul dan bahkan ia juga
yg membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib secara licik dalam peperangan Uhud lalu
tanpa prikemanusiaan mencincang tubuh paman Nabi itu lalu mengunyah hatinya
dimedan perang.
Namun
pembalasan apa yg dilakukan oleh Rasulullah Muhammad Saw ketika berhasil
menguasai seluruh kota Mekkah pada hari Fath Mekkah ?
Seluruh
kejahatan Abu Sofyan dan Hindun justru dimaafkan begitu saja oleh Nabi dan
rumah Abu Sofyan dinyatakan sebagai tempat yg aman bagi semua orang sebagaimana
juga Masjidil Haram dinyatakan bersih dan terjamin keselamatan orang-orang yg
berada disana.
Sungguh
bertolak belakang sekali perlakuan generasi Bani Hasyim dibanding perlakukan
Bani Umayyah terhadap sisa-sisa Bani Hasyim dari keturunan Nabi.
Jika
keagungan tujuan kesempitan sarana dan hasil yg menakjubkan adl tiga kriteria
kejeniusan manusia siapa yg berani membandingkan manusia yg memiliki kebesaran
didalam sejarah modern dgn Muhammad ?
Orang-orang
paling terkenal menciptakan tentara hukum dan kekaisaran semata.
Mereka
mendirikan apa saja tidak lbh dari kekuatan material yg acapkali hancur didepan
mata mereka sendiri.
Nabi
Muhammad Saw Rasul Allah yg agung penutup semua Nabi tidak hanya menggerakkan
bala tentara rakyat dan dinasti mengubah perundang-undangan kekaisaran. Tetapi
juga menggerakkan jutaan orang bahkan lbh dari itu dia memindahkan altar-altar
agama-agama ide-ide keyakinan-keyakinan dan jiwa-jiwa.
Berdasarkan
sebuah kitab yg tiap ayatnya menjadi hukum dia menciptakan kebangsaan beragama
yg membaurkan bangsa-bangsa dari tiap jenis bahasa dan tiap ras.
Dalam diri
Muhammad dunia telah menyaksikan fenomena yg paling jarang diatas bumi ini
seorang yg miskin berjuang tanpa fasilitas tidak goyah oleh kerasnya ulah para
pendosa.
Dia bukan
seorang yg jahat dia keturunan baik-baik keluarganya merupakan keluarga yg
terhormat dalam pandangan penduduk Mekkah kala itu. Namun dia meninggalkan
semua kehormatan tersebut dan lbh memilih utk berjuang mengalami sakit dan
derita panasnya matahari dan dinginnya malam hari ditengah gurun pasir hanya
utk menghambakan dirinya demi Tuhannya. Dia lbh baik dari apa yg semestinya
terjadi pada seseorang seperti dia.
Upaya
pendekatan antara Syiah dan Suni sudah sering kali diadakan. Namun masih saja
sebagian golongan Sunni yang masih menganggap Syiah sebagai umat yang lain.
Sebenarnya upaya pendekatan tidak perlu dilakukan jika semua golongan mau
belajar dan memahami sejarah Islam dari ribuan riwayat sahih yang beredar. Jika
saja sebagian Sunni tersebut mau mempelajari dan memahami sejarah tersebut,
mereka pasti paham dan mengenal baik akan keberadaan golongan Syiah sejak Nabi
saw masih hidup, bukan setelah beliau wafat. Coba anda cari di Jagad Internet
yang luas ini tentang jawaban persoalan di bawah ini:
Abu Bakr
dipandang sebagai sahabat terdekat Nabi saw oleh mayoritas Sunni, Lalu mengapa
pada waktu “hari persaudaraan” saat pertama kali datang di Madinah, Nabi saw
lebih memilih Ali bin Abu Thalib sebagai saudaranya dengan mengatakan “Kamu
adalah saudaraku di dunia ini dan di akhirat nanti”. Atas dasar apa golongan
Sunni menganggap Abu Bakr sahabat terdekat Nabi saw.
Semua kaum
muslim sepakat bahwa ajaran Islam mencakup dan menormai dalam segala aspek
kehidupan, dari hal-hal yang sepele sampai hal-hal yang amat besar. Kaum Sunni
mengatakan masalah Imamah tidak dijelaskan oleh Qur’an dan sunnah, jadi sahabat
berijtihad dalam masalah imamah. Jika benar Nabi saw wafat tanpa memberikan
petunjuk apapun tentang Imamah pada umatnya, lalu mengapa Abu Bakr menyebutkan
hadits “al-aimmah min al-Quraish” Para imam berasal dari kaum Quraish di
Saqifah Bani Saidah. Apa Abu Bakr memalsukan riwayat Nabi saw? dan mengapa Abu
Bakr memilih Umar sebagai penggantinya, dengan menyalahi sunnah Nabi saw yang
tidak menjelaskan apapun tentang imamah.
Dalam
hadis-hadis sahih (Bukhari, Muslim, dll) Nabi saw menyatakan bahwa ”Kelak akan
ada Dua Belas Pemimpin.” Ia lalu melanjutkan kalimatnya yang saya tidak
mendengarnya secara jelas. Ayah saya mengatakan, bahwa Nabi menambahkan,
”Semuanya berasal dari suku Quraisy.” atau “Agama (Islam) akan berlanjut sampai
datangnya Sa’ah (Hari Kebangkitan), berkat peranan Dua Belas Khalifah bagi
kalian, semuanya berasal dari suku Quraisy”. Bandingkan susunan 12 imam yang
disusun golongan sunni dan Syiah?
Kuat mana
derajat kesahihan antara riwayat yang menyebutkan wasiat Nabi saw (biasa
disebut hadits al-Thaqalain) untuk berpegangan pada al-Qur’an dan Sunnah dengan
hadis yang memerintah kita semua berpegangan pada al-Qur’an dan Itrahnya
(keturunannya)?
Tuhan telah
mengutus 124.000 utusan ke dunia ini, apa ada bukti bahwa semua peninggalan
mereka akan menjadi sedekah bagi para pengikutnya? Jika Sunni menganggap
demikian mengapa para Umm al-Mukminin tidak memberikan seluruh kepunyaan
Rasulullah ke Pemerintahan Islam? Setelah wafatnya Rasulullah saw, Sayyidah
Fatimah bertengkar dengan Abu Bakr mengenai Fadak, yang seharusnya menjadi
miliknya dari warisan Nabi saw, Fatimah marah dan tidak akan berbicara dengan
Abu Bakr sampai akhir hayatnya karena Abu Bakr tidak memberikan Fadak
kepadanya. Kenapa Abu Bakr tidak memberikan tanah Fadak tersebut sedangkan Umar
bin Abd Aziz saat menjabat sebagai khalifah mengembalikan kembali tanah Fadak
ke keturunan Sayyidah Fatimah as?
Jika anda
melihat denah pemakaman Baqi’, anda akan mengetahui bahwa kuburan Uthman bin
Affan terpencil dari makam sahabat lainnya. Bagaimana proses pemakaman khalifah
ketiga Uthman bin Affan di luar Baqi’ (dulu)? Siapa saja sahabat besar yang
bermusuhan dengan Uthman? dan siapa pemicu sebenarnya yang akhirnya membunuh
Khalifah Uthman bin Affan? Aisyah bahkan menyebut Uthman sebagai Natsal,
seseorang kafir yang harus dibunuh. Jika Sunni mengganggap Aisyah seorang yang
benar berarti menerima julukan yang diberikan pada Uthman, dan jika Aisyah
berkata dusta mengapa Sunni menganggap dia benar?
Tuhan telah
berfirman bahwa barang siapa yang membunuh seorang muslim dengan sengaja,
hukumannya adalah laknat Tuhan dan balasan Neraka selamanya. Sejarah mencatat
selama perang Shiffin dan Jamal, 70.800 kaum muslim telah terbunuh. Dimana
posisi pembunuh saat itu? apakah ayat tersebut berlaku bagi mereka? Jika kaum
muslim melawan khalifah yang sah dan menyebabkan kekacauan dan terbunuhnya
ribuan nyawa kaum muslim, dimana posisi mereka saat Hari Pembalasan? Neraka
karena Pembunuh atau Surga karena “Mujtahid Teroris”? … Yang pasti salah
satunya salah, bukan benar semuanya. Jika anda jawab benar semuanya, APA KATA
DUNIA!!!
Apa
sebenarnya arti dari kata “Mu’awiyah”, dan siapa sebenarnya ayah dari Muawiyah
dan cerita sebelum kelahirannya, dan menurut al-Nasai, hanya ada satu hadis
sahih yang menceritakan keutamaan Muawiyah, hadis apakah itu? Baca juga kisah
menyedihkan wafatnya al-Nasa’i karena hadith tersebut.
Biasanya
Golongan Sunni menuduh bahwa Syiahlah yang membantai Imam Husayn as beserta
para pengikutnya, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa mayoritas Sunni yang
jumlahnya lebih banyak dari Syiah tidak menolong Imam Husain as? Dimana posisi
Sunni ketika terjadi pembantaian cucu Nabi saw, Imam Husayn as?
Ingat,
kebenaran itu harus dicari dan dipertahankan, bukan sesuatu yang dijejalkan
langsung ke akal kita.
Ngomong2
mengenai Kitab Sahih Bukhori, apakah Imam Bukhori sendiri memasang label
“sahih” dlm kitabnya atau para ulama setelahnya ?
Ustad
Syi’ah Ali :
Konon, Bukhari wafat sebelum rampung menyelesaikan penulisan kitabnya secara rapi… beberapa muridnya yang merapikan… Jadi, kalau melihat ini ya bukan beliau yang memasang lebel Shahih itu!
Konon, Bukhari wafat sebelum rampung menyelesaikan penulisan kitabnya secara rapi… beberapa muridnya yang merapikan… Jadi, kalau melihat ini ya bukan beliau yang memasang lebel Shahih itu!
Bukhari Pun
Rusak Akidahnya!
Imam Besar
Ahlusunnah Wal Jama’ah Ternyata Rusak Akidahnya!
Hampir tidak
ada tokoh hadis yang selamat dari hujatan, vonis menyesatan hingga
pengkafiran…. Imam Malik dikecam pengikut Imam Syafi’i… Para pendukung
Imam Malik menghajar Imam Syafi’i…. Pembela Imam Ahmad juga ikut-ikutan
menghajar Imam Syafi’i…. Ibnu Hibban divonis kafir/zindiq… mata rantai
kecam-mengecam tanpa akhir…!
Kini Imam
Besar Ahlusunnah dikafirkan… divonis menyakini keyakinan sesat… dianggap
berakidah jahmi yang tentunya sangat kafir menurut Imam Ahmad dan para ulama
pendukungnya… juga oleh Muhammad ad Dzihli (tokoh senior Ahli Hadis di
zamannya, yang sangat getol memerangi akidah pilihan Imam Bukhari dan juga
mengkafirkannya)….
Jadi
sebenarnya apa yang sedang terjadi di antara ulama dan para tokoh mazhab ini?
Siapa yang
selamat….?
Kalau semua
diyakini sebagai ulama yang jujur dan tulus dalam vonis yang mereka jatuhkan,
maka akibatnya tidak seorang pun ulama yang selamat, semua sesat… semua
zindiq.. semua kafir… semua Jahmi…
Dan jika
mereka itu menjatuhkan vonis dengan dorongan hawa nafsu, maka pantaskah mereka
kita jadikan imam dan rujukan agama kita?
Kini Imam
Bukhari divonis berakidah rusak!
.
Terjemahan:
Demikianlah
pula dengan apa yang terjadi sekaitan masalah Lafadz. Bukhari (rh) Ketika ia
diuji tentang masalah itu, para ulama/tokoh mengecamnya karena ia berpendapat
bahwa: “Ucapanku dengan (bacaan) Al Qur’an adalah makhluk (bukan qadim, seperti
keyakinan Ahmad dan ulama lainnya_pen).
maka mereka
(para ulama) mengirimkan jawaban Bukahri ke berbagai penjuru, memberi
peringatann akan bahaya akidah Bukhari. Sampai-sampai sekelompok ulama besar
Ahi hadis yang diakui keluasan ilmu dan hadis dari kalangan Ahlusunnah wal
Jama’ah meninggalkan meriwayatkan hadis dari Bukhari, di antara mereka adalah
Abu Hatim ar-Razi dan Abu Zur’ah ar-Razi (dua ulama asal kota Ray).
Putra Abu
Hatim menyebutkannya dalam sejarah hidupnya dalam kitabnya al-Jarh wa at-Ta’dil:
Ayahku dan
Abu Zur’ah mendengar (meriwayatkan) hadis darinya (Bukhari) kemudian keduanya
membuang hadisnya, ketika Muhammad ibn Yahya an an-Naisaburi (adz Dzihli_pen)
menyurati keduanya, bahwa Bukhari telah menampakkan akidahnya di tengah-tengah
masyarakat bahwa (lafadznya) bacaan al Qur’annya adalah makhluk.
.
.
Ibnu
Jakfari:
Sungguh
mengherankan jika di masa hidupnya ia dikecam bahkan divonis berakidah sesat
oleh para tokoh senior di zamannya, lalu mengapa ia sekarang menjadi tokoh ahli
hadis nomer wahid dan Pendekar Sunnah Sejagat?!
Jika ia
memang sesat mengapa berubah menjadi panutan?
Jika ia
tidak sesat mengapakah para tokoh senior Ahlusunnah wal jama’ah itu memvonisnya
sesat? Apakah vonis itu atas dasar hawa nafsu? Jika demikian mengapakah mereka masih
dipercaya sebagai panutan dalam agama?
Tolong para
ulama Ahlusunnah membantu saya memecahkan masalah ini… Saya benar-benar
mengharap bantuan kalian!!
sebagai
contoh, dulu saya membaca dalam kita bukhori, cetakan beirut yang tanggal
penerbitannya sudah sangat tua (saya lupa tahun terbirny; mungkin 1923) bahwa
rasulullah bersabda, “tak henti-hentinya keamiran di tangan orang quraiys. dan
yang menjadi pengganti sesudahku adalah 12 orang dari keturunan Quraisy, yaitu
Ali, Hasan, Husein, dst s.d imam mahdi.” tapi, pada kitab bukhori cetakan yang
baru-baru ini hadits tersebut sudah tidak ditemukan dalam kitab bukhori.
saya pikir, kok bisa-bisanya ya orang mengurang-ngurangkan kitab hadits, apa gak takut dosa
Selama
ratusan tahun, kitab hadis sunni yang beredar selalu versi ringkasan
(mukhtasar) dan bukan versi lengkap ??? Kenapa ??? Karena ulama sunni
menyembunyikan kebenaran untuk menutup nutupi kebenaran syi’ah
Siapakah
anda yang berhak menyatakan orang2 Syiah tidak boleh memakai riwayat Sunny????
Apakah Syiah
butuh pada riwayat Sunni??? Tidak!!!
Orang2 Syiah
memakai riwayat Sunni bukan berarti mereka butuh pada riwayat itu, tapi
kebetulan untuk berhujjah dengan orang2 yang buta hati seperti kalian maka riwayat2
itu dipakai dan ternyata riwayat2 itu justru membenarkan klaim2 Syiah dan
menjungkir balikkan dongeng2 Sunni.
Syiah
menggunakan riwayat2 Sunni hanya sekedar untuk memelekkan mata orang2 Sunni
khususnya yang telah mereka yang telah tersesat jalan agar mereka kembali ke
jalan yang benar.
Sekarang
masalahnya keberadaan riwayat2 Sunni justru sangat menguntungkan dakwah Syiah
pada kaum yang buta mata hati, yaitu orang2 yang fanatik buta pada kitabnya
sendiri untuk menunjukkan bahwa kebenaran hujjah Syiah ternyata diakui oleh
kitab Sunni dan sebaliknya riwayat2 Sunni tersebut justru menjadi boomerang
bagi Sunni sendiri dan menjungkir balikkan paham2 sesat mereka.
Sungguh
sangat disayangkan banyak aqidah Sunni ternyata ditolak oleh riwayat2 Sunni
sendiri dan riwayat2 itu telah membenarkan klaim2 Syiah yang selama ini kalian
dustakan.
Kalau sudah
demikian dengan apa Sunni mempertahankan aqidah yang telah mereka pelihara
selama ratusan tahun???
Justru
menurut Imam Bukhari yang memunculkan fitnah adalah Aisyah istri Nabi.saw
Ini
buktinya!
Ibnu Umar
berkata: Suatu hari Nabi.saw naik ke mimbar dan kemudian memuji Allah.swt lalu
bersabda: FITNAH MUNCUL DARI RUMAH AISYAH, DARI SINILAH MUNCUL TANDUK
SETAN…(Shahih Bukhari, Jilid 4, Kitab 53, Hadis ke: 336, translasi: Muhammad
Muhsin Khan)
Kalau Kaum
Sunni mungkin meyakini semua hadis dalam Kitab Bukhari shahih (tapi banyak juga
Ulama Sunni yang menolak kesahihan Kitab Bukhari, seperti An-Nasaa’i,
As-Suyuthi, Syaikh Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dll) karena labelnya “SHAHIH
BUKHARI” tapi sayang HAMPIR 50% ISINYA TERNYATA TIDAK SHAHIH, DAN KONTRADIKSI
Syiah dalam
menilai suatu riwayat masih objektif dan bila suatu riwayat mengandung
kebenaran maka riwayat tersebut tetap diterima walaupun itu riwayat Sunni, dan
itu adalah sebuah pertanggung jawaban ilmiyah. Tapi anehnya Sunni rela menolak
kebenaran cuma karena itu riwayat Syiah, ini tentu tidak ilmiyah dan tidak
bertanggung jawab alias buta mata dan buta hati.
Namun
begitu, tanpa riwayat Sunni sekalipun Syiah tetap mampu menbuktikan kebenaran
hujjah mereka dari khazanah ilmu mereka sendiri baik masalah Ushul maupun
masalah Furu’. Bila Syiah mau menerima hadis Sunni itu tandanya memang mereka
berlaku adil (tidak diskriminatif) dan itu cukup menjadi bukti tindakan Syiah
jauh lebih benar dari apa yang ditempuh Sunni.
Dan, anda
tidak punya hak untuk melarang Syiah mengutip riwayat Sunni karena BANYAK
RIWAYAT SUNNI JUGA BERASAL DARI ORANG2 SYIAH, dalam Kitab Bukhari juga banyak
perawi Syiah !
Anda tentu
tidak tau hal ini karena anda adalah Tong Kosong Yang Nyaring Bunyinya. Asal
cuap2 tapi tanpa ilmu.
Tapi anehnya banyak hujjah Sunni justru DIPATAHKAN oleh riwayat Sunni sendiri.
Tapi anehnya banyak hujjah Sunni justru DIPATAHKAN oleh riwayat Sunni sendiri.
Kalau Syiah
anda katakan sebagai agama maka orang Syiah pun gak keberatan karena Syiah
lebih dekat kepada Islam ketimbang Sunni. Syiah melaksanakan Sunnah lebih
konsisten daripada Sunni karena akar Syiah lebih dekat padanya daripada Sunni.
Sunni hanya labelnya saja Ahlusunnah tapi faktanya tidaklah seindah namanya.
Bila kita buka kitab2 standar Sunni akan makin jelas dan gamblang bahwa apa
yang diklaim oleh Syiah mayoritasnya ada di dalam kitab2 tersebut.
Justru dalam
kitab anda menyatakan sebaliknya dimana Imam Ali dan Abbas.ra menyatakan Abu
Bakar dan Umar sebagai PEMBOHONG..ketika Ali dan Abbas meminta kepada khalifah
Umar, mereka berdua memandangnya pendusta atau zalim. Kata-kata ini tidak lain
adalah penolakan, Intinya Imam Ali tahu hadis Rasulullah SAW tetapi sengaja
menolaknya dan bukan hanya itu Beliau bahkan mengatakan mereka yang menjalankan
hadis Rasul SAW itu dengan kata-kata sewenang-wenang, pendusta atau zalim.
Ini dia
buktinya!
…..Kata
Umar: “Setelah Rasulullah.saw wafat, Abu bakar mengatakan “Aku adalah pengganti
Rasulullah”, lalu kalian berdua (ALI dan ABBAS) datang kepada Abu Bakar. Abbas!
Kau minta pada Abu Bakar warianmu dari kemenakanmu dan orang ini (Ali) meminta
pada Abu Bakar warisan istrinya dari ayahnya. Kemudian Abu Bakar berkata
“Rasulullah pernah bersabda “Kami tidak boleh mewarisi. Harta yang kami
tinggalkan adalah sedekah.” Lalu kalian berdua menganggap Abu Bakar sebagai
PENDUSTA, PENDOSA, CURANG, dan PENGKHIANAT sedangkan Allah mengetahui Abu Bakar
benar, baik, jujur, dan mengikuti kebenaran….
(Shahih Bukhari, No.3094, dan Shahih Muslim, Kitab Siyaar, Bab: Fiimaa Yushrafu al-Fai’u Idzaa Lam Yuujaf ‘Alaihi biQitaal)
(Shahih Bukhari, No.3094, dan Shahih Muslim, Kitab Siyaar, Bab: Fiimaa Yushrafu al-Fai’u Idzaa Lam Yuujaf ‘Alaihi biQitaal)
Itulah
pandangan Imam Ali.as dan Abbas.ra terhadap Abu Bakar dan Umar dimana Imam Ali
dan Abbas.ra mendatangi Abu Bakar pada masa Khilafahnya dan mendatangi Umar
pada masa Khilafahnya.
Perlu anda
ketahui, Kemarahan Fatimah.as dan Imam Ali adalah Hujjah karena
Nabi.saw telah menyatakan dengan tegas bahwa keridhaan Fathimah.as adalah
keridhaan beliau dan keridhaan Allah.swt sementara kemarahan Fathimah.as adalah
kemarahan beliau dan kemarahan Allah.swt
Dalam hal
itu Fatimah.as tidak keliru, Imam Ali.as tidak keliru karena kesaksian
mereka BENAR dan sesuai dengan al-Quran.
dalam
catatan sejarah sahih baik yang ada di Sunni maupun yang ada di Syiah
menyatakan sebaliknya dari versi anda.
Contoh:
1. Abu Bakar
tidak amanah dalam masalah Fadak !
2. Umar
tidak amnah dalam masalah Dua Mut’ah (Nikah dan Haji) dan dalam
masalah Shalat !
masalah Shalat !
3. Usman
tidak amanah dalam masalah Baitul Mal
Dan Masih
banyak bukti-bukti lain yang tertulis dalam kitab sejarah Sunni dan Syiah yang kebenarannya
tidak dapat diganggu gugat lagi
Coba anda
jawab:
1.Pada kekhalifaan siapa Khalid b. Walid membunuh seorang sahabat Nabi dan meperkosa istrinya. Tapi tdk dihukum?
2. Pada kekhalifaan siapa terjadi pembunuhan besarr2an di Yaman dengan alasan tdk membayar zakat.
3.Pada kekhalifaan siapa hadits Rasul dibakar dan tdk boleh disiarkan?
4.Pada kekhalifaan siapa terjadi KKN. Dan apabila ditegur dihukum?
1.Pada kekhalifaan siapa Khalid b. Walid membunuh seorang sahabat Nabi dan meperkosa istrinya. Tapi tdk dihukum?
2. Pada kekhalifaan siapa terjadi pembunuhan besarr2an di Yaman dengan alasan tdk membayar zakat.
3.Pada kekhalifaan siapa hadits Rasul dibakar dan tdk boleh disiarkan?
4.Pada kekhalifaan siapa terjadi KKN. Dan apabila ditegur dihukum?
Kalau
kejadian ini anda katakan tdk pernah terjadi. Maka secara tdk langsung anda
katakan bahwa ULAMA SUNI ADALAH PEMBOHONG.
Anda
berkata:Justru yang anda sampaikan adalah sejarah palsu versi syi’ah rafidhah
yang matruk
Kalau demikian anda mengatakan bahwa Bukhari, Muslim, Ahmad b. Hambal, dll ulama sekelompok mereka SYIAH RAFIDHAH. Jadi yang bukan Syiah adalah Ibnu Taymiyah, Nasaruddin Albany, Abd, Wahab. Ben Bazz dan lain2 YANG SEKELOMPOK DGN MEREKA?
Kalau demikian anda mengatakan bahwa Bukhari, Muslim, Ahmad b. Hambal, dll ulama sekelompok mereka SYIAH RAFIDHAH. Jadi yang bukan Syiah adalah Ibnu Taymiyah, Nasaruddin Albany, Abd, Wahab. Ben Bazz dan lain2 YANG SEKELOMPOK DGN MEREKA?
maaf ya Mas
kayaknya keluarga Rasul menolak apa yang dikatakan Abu Bakar. Sayyidah Fathimah
marah kepada Abu Bakar. Imam Ali berpihak pada sayyidah Fathimah bahkan setelah
enam bulang Imam Ali tetap mengatakan kalau Abu Bakar bertindak
sewenang-wenang. Bahkan dalam hadis yang shahih disebutkan kalau Imam Ali
memandang Abu Bakar pendusta dalam perkara ini begitu pula Umar. Jadi singkat
kata dari Imam Ali justru berpihak pada Sayyidah Fathimah
Tapi tahukah
anda fakta yang tidak dipahami kaum salafiyun yaitu pada peristiwa pengepungan
Utsman diantara mereka yang mengepung bahkan memimpin pengepungan tersebut
adalah para sahabat Nabi
Tahukah anda
bahwa pada masa khilafah Utsman Baitul Mal dijarah habis-habisan oleh keluarga
klan-nya (Bani Mu’ith dan Bani Umayyah) yang membuat Baitul Mal bangkrut,
sementara Khalifah diam saja????
Dimana
amanahnya??????
Tahukah anda
Utsman dituduh kafir dengan sebutan Na’tsal (yahudi) oleh Aisyah????
Kalau Utsman
amanah seperti dongeng yang anda ketahui dari kedustaan ulama anda, mengapa
pula Aisyah mengkafirkannya??????
Coba anda
jawab fakta ini dengan jujur ( sepertinya mustahil mengharap kejujuran dari
mazhab anda
Inilah
akibatnya kalau otak hanya sekedar aksesoris di kepala. Bagaimana sampeyan bisa
mengatakan tdk ada yg aneh jika 2 orang yg berperang dikatakan bersahabat? Yang
namanya sahabat adalah selalu bersama, menanggung kesulitan bersama, senang
bersama, menghadapi musuh bersama. Lhah ini saling berhadapan sebagai musuh,
saling membunuh, bagaimana bisa dikatakan bersahabat?
Dalam
al-Quran hukum nikah mut’ah masih berlaku dan Nabi.saw pun belum pernah
melarangnya (berita tentang haram mut’ah dalam kitab kitab Sunni sangat
meragukan kebenarannya dan tidak masuk akal serta kontradiktif dengan fakta
sejarah.
Bukalah
matamu kawan, lihatlah bahwa Allah dan Rasul-Nya membolehkan nikah mut’ah…!
Apakah itu (menurut anda) Allah dan Rasul-Nya membolehkan pelacuran???????
Ayat
al-Quran tentang mut’ah ada dalam al-Quran dan belum ada ayat yang menasakhnya
dan Nabi.saw pun tidak pernah berani menasakh-kan ayat itu.
Kalaupun
pernah, tapi Imam Syafi’i dan jumhur ulama Sunni berpendapat bahwa Hadis
Nabi.saw tidak bisa menasakh ayat al-Quran. Ayat al-Quran hanya boleh
dinasakh-kan oleh ayat al-Quran bukan oleh hadis yang konsekuensinya nikah
mut’ah masih halal karena tidak ada ayat yang menasakh-kan ayat bolehnya mut’ah
itu.
MUI belum
pernah menyatakan sesat untuk Syiah. KH. Ali Yafie, K.H Umar Shihab dan tidak
pernah bersedia mengeluarkan fatwa sesat untuk Syiah dan mereka telah
mempelajari Syiah dan mereka berpendapat Syiah adalah Islam.
Memang
pernah ada orang2 sok pintar seperti Dr. Hidayat Nurwahid, Dr. Irfan Zidni, Dr.
Dawam Ahmad, K.H Syu’bah Asha dan antek2 iblis al-kadzab meminta fatwa MUI agar
dikeluarkan fatwa sesat untuk Syiah tapi ditolak. Dan antek2 Iblis itupun
tertunduk malu
dalam
perkara nikah mut’ah Jabir melafazkan hadis dengan kata “kami” bukankah menurut
metode ilmu hadis lafal tersebut marfu’ atau menunjukkan ijma’ sahabat. Yang
lebih aneh mendudukan posisi sahabat tersebut tidak tahu, justru itu keliru
Jabir menyampaikan hadis ini ketika mendengar perselisihan Ibnu Abbas dan Ibnu
Zubair soal nikah mut’ah dimana Ibnu Abbas membolehkan dan Ibnu Zubair
melarang. Jabir menyebutkan hadis ini jauh setelah Umar menyampaikan larangan
nikah mut’ah ke orang-orang artinya Jabir sendiri menyaksikan bahwa Umar
melarang nikah mut’ah. Kalau memang Jabir dan sahabat lain awalnya tidak tahu
maka seharusnya pada zaman Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair berselisih maka Jabir
seharusnya sudah tahu dong keharamannya. Faktanya Jabir tetap menyampaikan bolehnya
nikah mut’ah bahwa ia dan para sahabat lain pernah melakukannya di masa Abu
Bakar dan Umar. Logika yang sehat seharusnya kalau sudah tahu haram ya
sampaikan bahwa itu telah diharamkan anehnya Jabir malah dengan jelas mengtakan
ia bersama para sahabat lain melakukannya di masa Abu Bakar dan Umar.
Artinya
Ijma’ sahabat membolehkan nikah mut’ah maka disini terdapat kemungkinan bahwa
hadis pelarangan mut;ah tersebut tidak bersifat umum tetapi hanya berlaku saat
Fathul Makkah saja. Sedangkan hadis Imam Ali itu sudah jelas tidak tsabit dari
Beliau dengan dua alasan.
Alasan yang
pertama hadis tersebut matannya ganjil karena tidak ada wanita yang bisa
dinikahi dengan mut’ah di Khaibar hal ini seperti yang disampaikan oleh
sebagian ulama seperti Ibnu Qayyim dan kedua hadis ini bertentangan fakta bahwa
nikah mut’ah justru dibolehkan di Fathul Makkah padahal kalau memang di Khaibar
diharamkan maka di Fathul makkah jelas tidak boleh dilakukan. Ehem kayaknya
anda gak menanggapi dengan baik, dalam perkara mut’ah kan ada juga mut’ah haji.
Nah kalau yang ini bagaimana
Tentang
nikah mut’ah : lho tapi ijma’ sahabat membolehkannya lho
berdasarkan hadis shahih Muslim riwayat Jabir. Anda juga tidak jeli melihat
kalau Umar itu melarang mut’ah haji sedangkan Rasulullah SAW dan Imam Ali
membolehkannya.
Oleh : Ustad
Husain Ardilla dari Kairo Mesir
Berikut ini
adalah kisah seorang penuntut ilmu di Cairo, ketika sedang mengkaji sebuah kitab Shahih
Muslim. Dia bersama seorang Syeikhnya sedang mencari hadits-hadit Nabi tentang
keutamaan Madinah, ternyata yang dicarinya itu tidak ditemukan. Padahal
seharusnya hadits-hadits ada di shahih Muslim. Nah siapa gerangan yang
menyembunyikan sabda-sabda Rasulullah SAW?Selamat mengikuti….
Bismillah
Ar-Rahman Ar-Rahim
Allhumma Solli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala alihi
Allhumma Solli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala alihi
Ma’arad
Al-Kitab (World Book Exhibition)@ Cairo telah pun hampir ke penghujungnya. Saya hampir setiap
hari turun ma’arad. Sehinggakan setiap hari jika bertemu dengan teman-teman
se’talaqqi’ saya mereka akan bertanya ‘Lepas ini turun ma’arad ke?’
Mesti mereka
heran ‘Buku apa saja yang dibeli sampai perlu turun ma’arad tiap2 hari?!’.
Sebenarnya,
turun ma’arad hampir setiap hari itu bukan menunjukkan betapa banyaknya buku
yang dibeli tapi adalah untuk survey-survey kitab dari sudut harga, pencetakan,
pentahqiq dan sebagainya.
Tanpa
disadari sebenarnya kita BELAJAR SAMBIL MEMBELI!!!! Itu juga dikira sebagai
ilmu yang tidak diperolehi di kitab-kitab. Berharga bukan?!
Tips….
Kalau mau
tahu bagus atau tidak tahqiqnya sebuah kitab adalah dengan kita membaca
muqaddimah Pentahqiq tersebut. Disitu, Pentahqiq ada menyebutkan kerja2 yang
dilakukan dalam mentahqiq sesebuah kitab dan kita dapat lihat perbezaan yang
wujud diantara pelbagai jenis pencetakkan.
Tetapi ramai
yang terlepas pandang akan bab ini. Yang penting bagi mereka ‘asal murah’ dan
‘asal cantik’.
Sebagai
seorang yang bergelar Penuntut dan Pengkaji Ilmu, itu tidak sepatutnya
berlaku.Kita sepatutnya bersifat ‘MATANG’ dalam memilih buku.
Berapa
banyak buku yang luarannya cantik tapi didalamnya racun yang berbisa.
Sekarang
alfaqir lebih berhati-hati dalam membeli buku kerana 1 kejadian.
Ketika itu,
kami membaca kitab Sohih Muslim bersama seorang Sheikh, apabila sampai bab yang
meriwayatkan tentang kelebihan madinah, seluruh hadits-hadits berkenaan itu
dihapus, tidak ada dalam cetakan kitab hadits tersebut yang miliki teman
alfaqir. Pada sangkaan alfaqir, mungkin hanya kesalahan dalam cetakan. Tapi,
apabila dicari-cari hadits-hadits tersebut, tidak juga ketemui. Bila tanya
teman lain, yang juga mempunyai sama cetakan, itu juga berlaku pada dirinya.
Dahulu…
Kami pernah
mendengar dari kalam masyayikh kami bahawa ada terdapat pihak-pihak
tertentu sengaja menyembunyikan hadits-hadits yang kurang sesuai dengan
pendapat mereka.
Pada ketika
itu…
Saya
terfikir ‘Tergamakkah mereka lakukan sedemikian?! Menyembunyikan Hadits-hadits
Rasulullah untuk kepentingan sendiri?’.
Pada mulanya
saya agak meragui kerana tidak tergambar iannya boleh berlaku sedemikian. Akan
tetapi, apabila diri sendiri melihatnya dengan mata kepala, akhirnya diri ini
akur akan kebenarannya.
Kalau
seandainya Imam Ali.as langsung menjadi khalifah setelah Nabi.saw sesuai dengan
harapan Allah dan Rasul-Nya mungkin perselisihan antara sahabat tidak separah
yang sudah terjadi. Ketika mereka mengangkat Khalifah bukan sebagaimana yang
dianjurkan olehRasul.saw maka kekacauanpun segara terjadi dan terus terjadi.
Mungkin itu
memang kehendak Allah untuk menguji kita mau ikut jalan yang mana, apakah jalan
kebenaran dengan mengikuti anjuran Rasul.saw atau jalan yang batil yang dibuat
oleh pelaku makar. Dan, saya kira itu wajar saja karena “setiap Allah mengutus
para rasul maka Dia juga menjadikan setan2 dari jenis jin dan manusia untuk
menyimpangkan ajaran Rasul tersebut” kejadian itu selalu terjadi pada setiap
rasul dan terjadi pula bagi kerasulan Muhammad.saw
kita
hanya bisa menyesalkan ulama sunni yang menyembunyikan kebenaran
kepada kita, seperti dalam Alqur’an Surat Al-baqarah ayat 159 “Sesungguhnya
orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya
kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila’nati Allah dan dila’nati (pula)
oleh semua (mahluk) yang dapat mela’nati.”
sebagai
contoh, dulu saya membaca dalam kita bukhori, cetakan beirut yang tanggal
penerbitannya sudah sangat tua (saya lupa tahun terbirny; mungkin 1923) bahwa
rasulullah bersabda, “tak henti-hentinya keamiran di tangan orang quraiys. dan
yang menjadi pengganti sesudahku adalah 12 orang dari keturunan Quraisy, yaitu
Ali, Hasan, Husein, dst s.d imam mahdi.” tapi, pada kitab bukhori cetakan yang
baru-baru ini hadits tersebut sudah tidak ditemukan dalam kitab bukhori.
saya pikir, kok bisa-bisanya ya orang mengurang-ngurangkan kitab hadits, apa gak takut dosa
saya pikir, kok bisa-bisanya ya orang mengurang-ngurangkan kitab hadits, apa gak takut dosa
contoh lain
:
Terdapat
penghapusan besar-besaran secara sengaja akan keutamaan-keutamaan Ali dan Ahlul
Baitnya dari kitab-kitab sejarah. Ini Ibnu Hisyam yang menukil Sirah Ibnu Ishak
berkata di dalam mukaddimah kitabnya, “Di dalam kitab ini ditinggalkan sebagian
yang disebutkan oleh Ibnu Ishak… dan begitu juga hal-hal yang buruk untuk
dikatakan, dan beberapa hal yang tidak baik orang menyebutkannya… “
Dia
mengatakan kata-kata ini sebagai pengantar untuk menyembunyikan kebenaran. Di
antara hal-hal yang tidak baik orang menyebutkannya adalah ajakan Rasulullah
saw kepada Abu Thalib manakala Allah SWT memerintahkannya, “Dan berilah
peringatan kepada keluargamu yang terdekat. ” Thabari telah menyebutkannya
beserta sanadnya. Dia mengatakan Rasulullah saw telah bersabda, “Wahai
putra-putra Abdul Muththalib! Demi Allah tidak ada seorang pun pemuda bangsa
Arab yang telah membawa untuk kaumnya sesuatu yang lebih berharga dan lebih
utama dari apa yang aku bawa untuk kalian. Aku datang membawa kebaikan dunia
dan akhirat. Dan Allah telah memerintahkan aku untuk menyeru kalian agar
menerimanya. Maka siapakah di antara kalian yang bersedia memberikan dukungan
bagiku dalam urusan ini; dan sebagai imbalannya, ia akan menjadi saudaraku,
washiku, serta menjadi khalifah (pengganti)ku di antara kalian?”
Semua yang
hadir diam seribu bahasa, kecuali Ali yang termuda di antara mereka; ia berdiri
dan berkata dengan lantangnya, “Aku – wahai Nabi Allah – yang akan menjadi
pembantumu!” Kemudian Rasulullah saw berkata, “Inilah saudaraku, washiku dan
khalifahku di antara kalian! Dengar kata-katanya, dan taatlah kepadanya!” Maka
bangkitlah mereka sambil tertawa dan berkata kepada Abu Thalib, “Lihatlah
betapa dia telah memerintahkan Anda agar mendengarkan kata-kata anak Anda dan
taat kepadanya.”(Tarikh ath-Thabari, jld. 2, hal. 216 -217.)
Apakah
riwayat ini termasuk sesuatu yang buruk untuk dikatakan, sehingga harus dihapus
sebagian kata-katanya?!
Jangan
membuat Anda heran Thabari menyebutkan kisah ini, karena dengan segera dia
mencabut kembali perkataannya itu. Dia meriwayatkan kisah ini di dalam kitab
tafsirnya dengan disertai penyimpangan. Dia mengatakan, “Rasulullah saw
bersabda, ‘Maka siapakah di antara kalian yang bersedia memberikan dukungan
bagiku; dan sebagai imbalannya, ia akan menjadi saudaraku… dan seterusnya dan
seterusnya.’” Kemudian Thabari melanjutkan, “Kemudian Rasulullah saw berkata,
‘Sesungguhnya inilah saudaraku… dan seterusnya dan seterusnya, maka dengarkan
kata-katanya, dan taatlah kepadanya.(Tafsir ath-Thabari, jld. 19, hal. 72.)
Apa yang
dimaksud dengan kata-kata “dan seterusnya dan seterusnya” yang dikatakan oleh
Thabari?!
ini
merupakan contoh yang jelas pengurangan riwayat.
tapi, soal
hadits dalam musnad ahmad tentang “penegasan kepemimpinan ali” belum tentu
dihapus. jadi saya mufakat untuk menganggapnya “tidak ada”.
rasulullah
yang menyatakan, “inilah ali, imam, wali, dan khalifah sesudahku.” jadi dengan
hadits ini sudah cukup menjelaskan bahwa Ali merupakan khalifah pertama.
rasulullah
saw bersabda : “siapapun yang menjadikan aku sebagai khalifahnya, maka Ali
adalah khalifahnya” (al-Muttaqi Al-Hindi, Kanz al-Umal, vol.XV. hal 123)
rasulullah
bersabda, “Ali adalah saudaraku, pewaris dan khalifahku diantara kalian semua.
taatilah dia, ikutilah dia, dan perhatikanlah ucapan-ucapannya. (ahmad bin
hanbal, , al musnad Vol.. I hal 111, 159; ibn al-asir, al-Kamil Vol II. hal
22).
dan masih banyak
lagi. saya tidak dapat menulis semuanya di sini.
Saat ini
saya lagi memfokuskan mencari dasar hak Ali untuk menjadi khalifah yang pertama
berdasarkan Al Qur’an dan Mencari dukungan ayat Q.S 5:67.
Logika saya jika ada ayat dalam al qur’an yang merekomendasikan Ali secara tegas/gamlang dan menguatkan untuk menjadi khalifah yang pertama setelah kepemimpinan Nabi maka kebenaran hak ali untuk menjadi khalifah yang pertama harus diyakini atau dibenarkan. Karena saya menganggap bahwa al Qur’an adalah hukum tertinggi dalam agama islam, jika didalam al qur’an sudah ditegaskan atau diperintahkan, maka hukum2 dibawahnya (seperti hadist, pendapat ulama dsb) harus ngikut ke hukum yang lebih tinggi diatasnya. (SESUAI DENGAN AZAS KEPATUHAN SUATU HUKUM). –>
Logika saya jika ada ayat dalam al qur’an yang merekomendasikan Ali secara tegas/gamlang dan menguatkan untuk menjadi khalifah yang pertama setelah kepemimpinan Nabi maka kebenaran hak ali untuk menjadi khalifah yang pertama harus diyakini atau dibenarkan. Karena saya menganggap bahwa al Qur’an adalah hukum tertinggi dalam agama islam, jika didalam al qur’an sudah ditegaskan atau diperintahkan, maka hukum2 dibawahnya (seperti hadist, pendapat ulama dsb) harus ngikut ke hukum yang lebih tinggi diatasnya. (SESUAI DENGAN AZAS KEPATUHAN SUATU HUKUM). –>
Karena saya
menganggap bahwa al Qur’an adalah hukum tertinggi dalam agama islam, jika
didalam al qur’an sudah ditegaskan atau diperintahkan, maka hukum2 dibawahnya
(seperti hadist, pendapat ulama dsb) harus ngikut ke hukum yang lebih tinggi
diatasnya.
“setiap
orang memiliki penerima wasiat (washi) dan ahli waris, dan Ali adalah penerima
wasiat dan ahli warisku.” (Ibnu Asakir, at-Tarikh, vol. III, hal 5; Riyad
an-nadhiroh, vol.II, hal.178. )
adakah
jaminan dari Allah kalau kitab bukhori itu akan terjamin keasliannya hingga
akhir zaman?
Dari Situ…
Sangat
PENTING!!! Talaqqi (ngaji langsung pada guru) hadits-hadits
Rasulullah SAW dengan seorang sheikh (guru) yang mempunyai sanad pengriwayatan
Hadits.
???? ???????
???? ?? ??? ?? ???
Kalau tidak kerana sanad, maka sesiapa saja akan berkata dengan apa yang dikehendakinya.
Kalau tidak kerana sanad, maka sesiapa saja akan berkata dengan apa yang dikehendakinya.
Ya ALLAh,
Jadikan kami seorang yang amanah dalam menyampaikan ILMU…
Seandainya
sejak zaman dulu kitab kitab hadis sunni BEREDAR SESUAi VERSi
ASLi nya seperti beredar nya ALQURAN di pasar pasar dan
rumah penduduk maka MAZHAB SUNNi tidak akan tegak
Banyak hadis
yang telah disensor dari kita!! Ulama sunni meringkas hadis, mengedit hadis dan
menyembunyikan hadis YANG MERUGiKAN MAZHAB MEREKA !!
Sunni
dianggap menyembunyikan hadis-hadis yang menjelaskan, bahwa Ali merupakan
khalifah setelah Nabi.
Dalam
tafsir al Qur’an ayat-ayat yang memihak syi’ah disembunyikan oleh orang
Sunni atau disebarkan hadis hadis dha’if syi’ah yang
mendeskriditkan Syi’ah.
Menurut
syi’ah bahwa al Qur’an dan hadis shahih yang
diriwayatkan oleh orang Syi’ah kedudukannya adalah atas segala ilmu.
Sewaktu
anda belajar agama di waktu kecil, anda
Cuma mampu menemukan kitab shahih Bukhari
Muslim edisi ringkasan… Lha, yang asli nya
sudah disembunyikan ….Ketika anda dewasa, di era
digital internet ini anda AKAN TERPERANJAT
ketika menemukan bahwa kebenaran syi’ah
ternyata terselip dalam kitab hadis sunni….
Ada
ulama sunni berkata : “Ada hadis Imam Ali
yang memuji abubakar- Umar – Usman dll
dalam kitab hadis sunni”
Kitab
hadis aswaja sunni memang punya beberapa
versi cerita yang saling kontradiktif
dalam persoalan imamah dll
Dalam
hadis Bukhari : Imam Ali mengklaim bahwa
kekhalifahan adalah haknya, dan Imam Ali
menyatakan Abubakar berbohong dan bertindak
sewenang wenang… Mungkinkah sesuatu yang bertentangan
terjadi ??? Di satu sisi mencela, disisi lain
memuji ???? tidak mungkin…. Karena mustahil Imam
Ali plin plan apalagi berdusta… JAdi hadis yang
dinisbatkan pada Ali yang menyatakan Abubakar
lebih baik daripada dia sangat meragukan
karena bertentangan dengan ucapan Imam Ali
dalam hadis hadis lain….
Berikut
ini saya berikan contoh kontradiksi nya hadis
Bukhari Muslim :
1.
Surat Al Lail ayat 1-3 dalam kitab
Bukhari Muslim berbeda dengan
yang ada dalam Al
Quran
2.
Riwayat Aisyah tentang shalat dhuha saling
bertentangan, riwayat pertama
menyatakan “boleh” tapi riwayat kedua menyatakan
“tidak boleh”
3.
Said bin Musaiyab menyatakan ia saksi wafat
nya Abu Thalib, tapi realita fakta
sejarah menyatakan Said dan Abu Thalib
tidak pernah bertemu
4.
Hadis pelecehan terhadap para Nabi yang di
bawakan Abu Hurairah
Kenapa
bisa kontradiktif ??? Karena jalur perawi ada
yang berdusta dan ada yang jujur…semua dishahihkan
Bukhari Muslim…
Di
zaman Dinasti Umayyah, Abbasiyah dan Usmaniyah
syari’at Islam yang sebenarnya tidak ditegakkan.. Penguasa
bebas membunuh orang orang yang tidak bersalah
tanpa pengadilan.. Kejahatan mereka terhadap umat benar
benar diluar perikemanusiaan.. Pemerintahan para
penjahat
Namun
mazhab aswaja sunni menutup nutupi masalah ini dengan cara
menampilkan yang baik baik saja
dan menguburkan yang buruk buruk karena ulama
sunni sangat berkepentingan agar mazhab
mereka tetap tegak…
Namun
seiring perjalanan waktu, kebenaran mulai
terungkap…. Aswaja mulai kelabakan maka mereka
tidak mampu lagi melarang umat
mempelajari syi’ah…….Aswaja tidak mampu
lagi membuang hadis hadis dalam kitab shahih
nya karena umat sudah tahu….
Hadis
seperti penunjukan Imam Ali sebagai
khalifah tidak mampu lagi disembunyikan sunni..
Mengingkari bukti wasiat Imamah Ali sama
saja dengan mengingkari wasiat Nabi SAW, adalah
zindiq jika mengingkari Sunnah Nabi yang
mutawatir
Rasul
bersabda tentang ummu’l mu’minin ‘A’isyah:
“Diriwayatkan
oleh Musa bin Isma’il, dari Juwairiyah, dari Nafi’, dari ‘Abdullah yang
berkata: “Nabi saw sedang berkhotbah dan beliau menunjuk ke arah kediaman
‘A’isyah sambil berkata: ‘Disinilah akan muncul tiga fitnah sekaligus, dan dari
situlah akan muncul tanduk setan’. (Bukhari, Shahih dalam bab
“Ma ja’a fi buyuti’l AzwajinNabi )
‘Abdullah
meriwayatkan dari Ubay dari ‘Ikramah bin ‘Ammar dari Ibnu ‘Umar yang berkata:
“Rasululah saw keluar dari rumah ‘Aisyah dan bersabda: ‘Kepala kekufuran akan
muncul dari sini, dan dari sini akan muncul tanduk setan’. (Imam Ahmad bin
Hambal, Musnad, jilid 2, hlm. 23 )
Rasul Allah
saw keluar dari rumah ‘A’isyah sambil berkata: “Sesungguhnya kekafiran akan
muncul dari sini akan muncul tanduk setan.” (Imam Ahmad bin Hambal, Musnad,
jilid 2, hlm. 26. )
Perang
Jamal, Aisyah Memerangi Imam Ali, Dua Puluh Ribu Muslim Mati !!
Aisyah
berangkat ke Makkah. Ia berhenti di depan pintu masjid menuju ke alHajar
Kemudian
mengumpul orang dan berkata: ‘Hai manusia. Utsman telah dibunuh secara zalim!
Demi Allah kita harus menuntut darahnya’. Dia dilaporkan juga telah berkata:
‘Hai kaum Quraisy! Utsman telah dibunuh. Dibunuh oleh Ali bin Abi Thalib. Demi
Allah seujung kuku atau satu malam kehidupan Utsman, lebih baik dari seluruh
hidup Ali.’ (Lihat Baladzuri, Ansab alAsyraf, jilid 5, hlm.
71.)
Ummu Salamah
Menasihati Ummu’lmu’minin
Ummu Salamah
menasihati Aisyah agar ia tidak meninggalkan rumahnya: “Ya Aisyah, engkau telah
menjadi penghalang antara Rasul Allah saw dan umatnya. Hijabmu menentukan
kehormatan Rasul Allah saw, AlQur’an telah menetapkan hijab untukmu.
“Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan taatilah Allah dan RasulNya”. (AlAhzab:33)
Dan jangan
engkau membukanya. Tempatmu telah pula ditentukan Allah SWT dan janganlah
engkau keluar. Allahlah yang akan melindungi umatnya. Rasul Allah saw
mengetahui tempatmu. Kalau Rasul Allah saw ingin memberimu tugas tentu telah
beliau sabdakan”
(
Aisyah Ibnu
Thaifur, Baldghat anNisa’, hlm. 8; Mengenai nasihat Ummu Salamah kepada
‘A’isyah, lihat juga Zamakhsyari, alFa’iq, jilid 1, hlm. 290; Ibnu ‘Abd Rabbih,
Iqd alFarid, jilid 3, hlm. 69; Syarh NahjulBalaghah, jilid 2, hlm. 79 ).
Aisyah tidak
peduli dan orang orang merasa heran. Ayat AlQur’anyang memerintahkan para istri
Rasul agar tinggal di rumah tidak dapat lagi menahannya.
Aisyah tidak
menghiraukannya. Thalhah, Zubair dan Abdullah bin Zubair pergi bergabung dengan
Aisyah di Makkah. Demikian pula Banu ‘Umayyah serta penguasa penguasa Utsman
yang diberhentikan Ali dengan membawa harta baitul mal.
Diriwayatkan
bahwa sekali seorang wanita bertanya kepada Aisyah tentang hukumnya seorang ibu
yang membunuh anak bayinya. Aisyah menjawab: ‘Neraka tempatnya bagi ibu yang
durhaka itu!’. ‘Kalau demikian’, tanyanya: ‘bagaimana hukum seorang ibu yang
membunuh dua puluh ribu anaknya yang telah dewasa?’. Aisyah berteriak dan
menyuruh orang melempar keluar wanita tersebut.
Thalhah
misan Aisyah, yang diharapkan Aisyah akan menjadi khalifah, meninggal dalam
Perang Jamal. Ia dibunuh oleh Marwan bin Hakam anggota pasukannya sendiri, karena
keterlibatannya dalam pembunuhan Utsman. Setelah memanah Thalhah, Marwan
berkata: “Aku puas! Sekarang aku tidak akan menuntut lagi darah Utsman!” Zubair
bin ‘Awwam, iparnya, suami kakaknya Asma binti Abu Bakar meninggalkan pasukan
setelah mendengar nasihat Ali. Ia dibunuh dari belakang oleh seorang yang
bernama ‘Amr bin Jurmuz.
Aisyah punya
kelebihan. Setelah menentang dua khalifah ia bisa berubah menjadi orang
yang tidak berdosa.. Dan peran Aisyah dalam menentukan aqidah umat berlanjut
sampai sekarang dengan hadis hadisnya yang banyak.
Ummu
Salamah, misalnya, yang juga ummu’lmu’minin tidaklah mendapat
tempat yang terhormat seperti Aisyah. Hal ini disebabkan karena Ummu
Salamah berpihak kepada ahlu’lbait’ dengan
sering meriwayatkan hadis hadis yang mengutamakan Ali, seperti hadis Kisa’.
Abu Bakar,
ayah Aisyah, maupun Umar bin Khaththab menyadari kemampuan Aisyah, dan sejak
awal mereka menjadikan Aisyah sebagai tempat bertanya. Ibnu Sa’d, misalnya,
meriwayatkan dari alQasim: “Aisyah sering diminta memberikan fatwa di
zaman Abu Bakar. Umar dan Utsman dan Aisyah terus memberi fatwa sampai mereka
meninggal”. (Ibnu Sa’d, Thabaqat, jilid 3 hlm.3370.)
Dari Mahmud
bin Labid: Aisyah memberi fatwa di zaman Umar dan Utsman sampai keduanya
meninggal’. Dan sahabat sahabat Rasul Allah saw yang besar, yaitu Umar
dan Utsman sering mengirim orang menemui Aisyah untuk menanyakan Sunnah’. Malah
Umar memberikan uang tahunan untuk Aisyah lebih besar 20% dari istri Rasul yang
lain. Tiap istri Rasul mendapat sepuluh ribu dinar sedang Aisyah dua
belas ribu.
Pernah Umar menerima satu kereta dari Irak yang di dalamnya terdapat mutiara
(jauhar) dan Umar memberikan seluruhnya pada Aisyah.
Di samping
pengutamaan Umar kepada Aisyah dalam fatwa maupun hadiah, Umar juga menahannya
di Madinah dan hanya membolehkan Aisyah melakukan sekali naik haji pada akhir
kekhalifahan Umar dengan pengawalan yang ketat. Umar menyadari betul peran
Aisyah yang tahu memanfaatkan kedudukannya yang mulia di mata umat sebagai ibu
kaum mu’minin dan memiliki kemampuan yang tinggi untuk mempengaruhi orang.
Dengan demikian mereka saling membagi keutamaan.Sedangkan Utsman,
terutama pada akhir kekhalifahannya, melalaikan hal ini.
Dan di pihak
lain, Ali seperti juga Fathimah sejak awal menjadi bulan bulanan ummu’lmu’minin
Aisyah. Kalau Mu’awiyah bersujud dan diikuti orang orang yang
menemaninya, dan shalat dhuha enam raka’at saat mendengar Ali meninggal dunia
di kemudian hari, sedangkan Aisyah melakukan sujud syukur ketika mendengar
berita gembira ini seperti dilaporkan oleh Abu’lFaraj atIshfahani. (AbuFaraj
alIshfahani, Maqatil athThalibiyin,hlm. 43.)
Thabari,
Abu’lFaraj alIshfahani, Ibnu Sa’d dan Ibnu alAtsir melaporkan bahwa tatkala
seorang menyampaikan berita kematian Ali, ummu’lmu’mininAisyah
bersyair: ‘Tongkat dilepas, tujuan tercapai sudah’ ‘Seperti musafir gembira
pulang ke rumah!’
.
Melihat
tajuk di atas, sudah pasti meromangkan bulu roma para pencinta Nabi. tetapi
bertenang, saya hanya membincangkan perkara ini, secara ilmiah, berdasarkan
hadis-hadis dari sumber Ahlulsunnah wal Jamaah. Kesimpulan yang dapat diambil
adalah terpulang kepada masing-masing.
Kecemburuan
Aisyah kepada Fatimah(sa) dan suaminya adalah sangat berkaitan dengan
cemburunya kepada Khadijah al Kubra, yang telah lama meninggal dunia. Ini dapat
difahami dari kata-kata beliau sendiri yang diriwayatkan di dalam Qutub Sunni,
seperti berikut:
Aisyah
berkata: “Cemburuku terhadap istri-istri Rasul tidak seperti
cemburuku kepada Khadijah karena Rasul sering menyebut dan memujinya, dan Allah
SWT telah mewahyukan kepada Rasul saww agar menyampaikan kabar gembira kepada
Khadijah bahwa Allah SWTakan memberinya rumah dari Permata di surga”. Al-Bukhari,
jilid 2, hlm. 277 dalam Bab Kecemburuan Wanita, Kitab Nikah
Dan di
bahagian lain: “Aku tidak cemburu terhadap seorang dari
istri-istrinya seperti aku cemburu kepada Khadijah, meski aku tidak
mengenalnya. Tetapi Nabi sering mengingatinya dan kadang-kadang ia menyembelih
kambing, memotong-motongnya dan membagi-bagikannya kepada teman-teman
Khadijah”. Al-Bukhari, jilid 2, hlm. 210, pada Bab Manaqib
Khadijah.
Di bahagian
yang lain: “Suatu ketika Halah binti Khuwailid, saudari Khadijah, minta izin
menemui Rasul dan Rasul mendengar suaranya seperti suara
Khadijah”. Rasulullah terkejut dan berkata : ‘Allahumma
Halah!’. Dan aku cemburu. Aku berkata: ‘Apa yang kau ingat dari
perempuan tua di antara perempuan-perempuan tua Qurais dan Allah telah
menggantinya dengan yang lebih baik’.
Apakah
reaksi Rasulullah(sawa)?: ‘Dan wajah Rasul Allah saww berubah, belum
pernah aku melihat ia demikian, kecuali pada saat turun wahyu’.Musnad Ahmad,
jilid 6, hlm. 150, 154
Rasulullah
lalu bersabda: ‘Allah tidak akan mengganti seorang pun yang lebih
baik dari beliau. Dia beriman kepada ku tatkala orang lain mengingkariku. Dia membenarkan
ku ketika orang lain mendustakanku. Dan dia membantuku dengan hartanya tatkala
orang lain enggan membantuku. Allah SWT memberi anak-anak kepadaku melaluinya
dan tidak melalui yang lain’. Musnad Ahmad, jilid 6, hlm.
117; Sunan Tirmidzi, jilid 1, hlm. 247;.Shahih Bukhari,
jilid 2, hlm. 177, jilid 4, hlm. 36, 195; Musnad Ahmad jilid
6, hlm. 58, 102, 202, 279; Ibnu Katsir,Tarik h, jilid 3, hlm. 128;al-Kanzu’l-’Ummal,
jilid 6, hlm. 224.
Dari sisi
riwayat Ahlul Sunnah turut menukilkan bahawa Aisyah mempunyai rasa tidak
senang akan sifat cintanya Rasulullah(sawa) kepada Imam Ali(as) melebihi cinta
kepada dirinya sendiri dan bapanya.
Imam Ahmad
menukilkan di dalam kitabnya Musnad Ahmad, jilid 4, hlm. 275,
yang berasal dari Nu’man bin Basyir: ‘Abu Bakar memohon izin menemui Rasul
Allah(sawa) dan ia mendengar suara keras Aisyah yang berkata: ‘Demi
Allah, aku telah tahu bahwa engkau lebih mencintai Ali dari ayahku dan diriku!’,
dan ia mengulanginya dua atau tiga kali’.
Ijtihad
beliau bertentangan dengan firman Allah swt:
‘Dan ia
tiada berkata menurut keinginannya sendiri. Perkataannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya’.Al-Qur’an, an-Najm (53:3)
Ibn
Abil-Hadid menceritakan: ‘Aku membacakan pidato Ali mengenai Aisyah dari
Nahju’l-Balighah [7], kepada Syaikh Abu’ Ayyub Yusuf bin Isma’iltatkala
aku berguru ilmu kalam kepadanya. Aku bertanya bagaimana pendapatnya tentang
pidato Ali tersebut.
Ia memberi
jawaban yang panjang. Aku akan menyampaikannya secara singkat, sebahagian
dengan lafaznya sebahagian lagi dengan lafazku sendiri.(Abu ‘Ayyub melihat dari
kacamata yang umum terjadi. Penulis menerjemahkannya agak bebas).
“Abu ‘Ayyub
berkata: ‘Kebencian Aisyah kepada Fathimah timbul karena Rasul
Allah(sawa) mengawini Aisyah setelah meninggalnya Khadijah. Sedang
Fathimah adalah putri Khadijah.Secara umum antara anak dan ibu tiri akal timbul
ketegangan dan kebencian. Isteri akan mendekati ayahnya dan bukan suaminya, dan
anak perempuan tidak akan senang melihat ayahnya akrab dengai ibu tirinya. Dia
akan menganggap ibu tirinya merebut tempat ibunya.Sebaliknya anak perempuan
pula menjadi tumpuan kecemburuan dari pihak ibu tiri. Beban cemburu
Aisyah kepada almarhumah Khadijah, berpindah kepada Fathimah.”
Nota: Maksud
Ibn Abin Hadid adalah Khotbah 155 dalam Nahjul Balaghah tatkala ‘Ali berkata
tentang Aisyah: ‘Kebencian mendidih dalam dadanya, sepanas tungku pandai besi.
Bila ia diajak melakukan kepada orang lain seperti yang ia lakukan kepadaku, ia
akan menolak. Tetapi hormatku kepadanya, setelah kejadian ini pun, tetap
seperti semula.
Besarnya
kebencian kepada anak tirinya berbanding dengan kebencian pada madu beliau yang
telah meninggal. Ini
ditambah lagi apabila suaminya sering mengingati isterinya yang telah meninggal
itu.
Kemudian
semua bersepakat bahawa Fathimah mendapat kedudukan mulia di sisi Allah
SWT melalui hadis Rasul, yang juga ayahnya,sebagai Penghulu Wanita Kaum
Mu’minin yang kedudukannya sejajar dengan Asyiah, Mariam binti ‘Imran dan
Khadijah al-Kubra seperti yang tertera dalam hadis shahih Bukhari
dan Muslim.
Sebagai
tambahan, telah menjadi satu pengetahuan yang umum bahawa Rasulullah memuliakan
anak perempuannya dengan kemuliaan yang lebih dari apa yang disangka oleh orang
ramai, malah melewati kasih sayang yang biasanya diberikan oleh seorang bapa
kepada seorang anak.
Dan
Rasulullah(sawa) telah menyampaikannya terang-terangan kepada para sahabat
baginda secara berulang di tempat dan kalangan yang berbeza, bahawa Fathimah
adalah penghulu kaum wanita sekalian alam’. Melalui hadis yang berasal dari
Ali, Umar bin Khaththab, Hudzaifah Ibnu Yaman,Abu Said al-Khudri, Abu Hurairah
dan lain-lain Rasul bersabda: ‘Sesungguhnya, Fathimah adalah
penghulu para wanita di syurga, dan Hasan serta Husain adalah
Penghulu Pemuda di surga. Namun ayah mereka berdua (Ali) lebih mulia
dari mereka berdua’
Rujukan
Hadis: Tirmidzi,al-Jami’ash-Shahih,
jilid 5, hlm. 656, 661; Ahmad bin Hanbal,al-Musnad, jilid 3, hlm. 62,
64, 82, jilid 5, hlm. 391, 392; Ibnu Majah,as- Sunan, jilid 1, hlm. 56;
Al Hakim An-Nisaburi, A-Mustadrak ash-Shahihain, jilid 3, hlm. 167; Majma’
az-Zawa’id, jilid 9, hlm. 183; al-Muttaqi,Kanz al-Ummal, jilid 13,
hlm. 127,128;al- I sti’ ab, jilid4, hlm. 1495;Usdu’l-Ghabah,
jilid 5, hlm. 574; Tarikh Baghdad, jilid 1, hlm. 140, jilid 6,
hlm. 372 jilid 10, hlm. 230; Ibnu ‘Asakir,at-Tarikh, jilid 7, hlm. 362.
Atau hadis
yang diriwayatkan Aisyah sendiri bahwa Rasul telah bersabda: ‘Wahai
Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi penghulu para wanita sejagat atau
penghulu wanita umat ini atau penghulu kaum mu’minat?’. Rujukan: Shahih
Bukhari, jilid 8, hlm. 79; Shahih Muslim, jilid 7, hlm.
142-144; Ibnu Majah, as-Sunan, jilid 1, hlm. 518; Ahmad bin Hanbal,al-Musnad,
jilid 6, hlm. 282; al-Hakim an-Nisaburi, al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, jilid
3, hlm. 136.
Rasul
bersabda bahwa kedudukan Fathimah sama dengan kedudukan Mariam binti
‘Imran dan bila Fathimah melewati di tempat wuquf, para penyeru
berteriak dari arah ‘arsy, ‘Hai penghuni tempat wuquf, turunkan
pandanganmu karena Fathimah binti Muhammad akan lewat . Hadis ini
merupakan hadis shahih dan bukan hadis lemah.(al-Mustadrak, jilid 3,
hlm. 153, 156; Kanzu’l-’Ummal, jilid 6, hlm. 218.)
Ali menikahi
Fatimah setelah dinikahkan Allah SWT di langit dan disaksikan para malaikat. [al-Mustadrak, jilid 3,
hlm. 153, 156;Kanzu’l-’Ummal, jilid 6, hlm. 218.]
Betapa
kerapnya Rasulullah(sawa) bersabda: ‘Barangsiapa menyakiti Fathimah,
maka ia telah menyakitiku’, ‘Membencinya berarti membenciku’ , ‘Beliau
adalah sebagian dari diriku’, Meraguinya bererti meraguiku’ [Kanzu’l-’Ummal,
jilid 6, hlm. 220]
Dan semua
kemuliaan dan penghormatan ini tentu menambah kecemburuan Aisyah yang tidak
berusaha sungguh-sungguh untuk melihat konteks ini dengan kenabian Rasul saww.
Sifat beliau
jauh sekali berbeza dengan Ummu Salamah(rh), yang juga merupakan seorang isteri
Rasulullah(sawa), Ummul Mukminin, yang mencintai Ahlul Kisa bukan sahaja
sebagai ahli keluarga tetapi juga sebagai orang yang disucikan di dalam Ayatul
Tathir. (Al-Qur’an 33:33)
Biasanya
bila seorang isteri merasa diperlakukan kurang baik oleh sesama wanita maka
berita ini akan sampai kepada suami. Dan lumrah apabila isteri menceritakan
perkara ini pada suaminya dimalam hari. Tetapi Aisyah tidak dapat melakukan
perkara ini, keranana Fathimah adalah anak suaminya. Ia hanya dapat mengadu
pada wanita-wanita Madinah dan tetangga yang bertamu ke rumahnya.
Kemudian
wanita-wanita ini akan menyampaikan berita kepada Fathimah, barangkali begitu
pula sebaliknya. Dan yang jelas ia akan menyampaikannya kepada ayahnya, Abu
Bakar.
Kemampuan Aisyah
untuk mempengaruhi orang sangatlah terkenal dan hal ini akan membekas pada diri
Abu Bakar. Kemudian Rasulullah(sawa) melalui hadis yang demikian banyak, telah
memuliakan dan mengkhususkan Ali dari sahabat-sahabat lain.
Berita ini
tentu menambah kepedihan Abu Bakar, kerana Abu Bakar adalah ayahnya Aisyah.
Pada kesempatan lain sering terlihat Aisyah duduk bersama Abu Bakar dan Thalhah
sepupunya dan mendengar kata-kata mereka berdua. Yang jelas pembicaraan mereka
mempengaruhi Aisyah sebagaimana mereka juga terpengaruh oleh Aisyah’.
Kemudian
ia (Abu Ayyub) melanjutkan: ‘Saya tidak mengatakan bahwa
Ali bebas dari ulah Aisyah. Telah sering timbul ketegangan antara Aisyah dan
Ali di zaman Rasulullah(sawa)’.
Misalnya
telah diriwayatkan bahawa suatu ketika Rasul dan Ali sedang berbicara.
Aisyah datang menyela antara keduanya dan berkata : ‘Kamu
berdua berbicara terlalu lama!’. Rasul marah sekali.Dan, di
ketika lain tatkala terjadi peristiwa Ifk, menurut Aisyah, Ali
mengusulkan Rasulullah(sawa) agar menceraikan Aisyah dan mengatakan bahawa
Aisyah tidak lebih dari tali sebuah sandal. (Tapi ramai orang meragukan
peristiwa Ifkyang diriwayatkan Aisyah ini. Dari mana misalnya orang
ini mengetahui usul Ali kepada Rasul? Siapa yang membocorkannya?),.
Di pihak
lain Fathimah melahirkan ramai anak lelaki dan perempuan, sedang Aisyah tidak melahirkan
seorang anak pun. Malah Rasulullah(sawa) menyebut kedua anak lelaki Fathimah, Hasan
dan Husain sebagai anak-anaknya sendiri. Hal ini terbukti tatkala turun ayatmubahal
ah [ Ali Imran : 61].
“Siapa
yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan
kamu),Maka Katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak Kami dan
anak-anakkamu, isteri-isteri Kami dan isteri-isteri kamu, diri Kami dan diri
kamu; kemudian Marilahkita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya
la’nat Allah ditimpakan kepadaorang-orang yang dusta”.
Bagaimana
perasaan seorang isteri, yang tidak dapat melihat bahawa suaminya adalah
seorang Rasul Allah, bila suaminya memperlakukan cucu tirinya sebagai anaknya
sedangkan ia sendiri tidak punya anak?.
Kemudian
Rasul menutup pintu yang biasa digunakan ayahnya ke masjid dan membuka pintu
untuk Ali. Begitu pula tatkala Surat Bara’ah turun, Rasul Allah(sawa) menyuruh
Ali,yang disebutnya sebagai dari dirinya sendiri, untuk menyusul Abu Bakar
dalam perjalanan haji pertama. Dan agar Ali sendiri membacakan surat Bara’ah
atau Surat Taubah kepada jemaah dan kaum musyrikin di Mina.
Kemudian
Mariah, isteri Rasul, melahirkan Ibrahim dan Ali menunjukkan kegembiraannya,
hal ini tentu menyakitkan hati Aisyah.
Yang jelas
Ali sama sekali tidak ragu lagi, sebagaimana kebanyakan kaum Muhajirin dan
Anshar, bahawa Ali akan menjadi khalifah sesudah Rasul meninggal dan yakin
tidak akan ada orang yang menentangnya.
Tatkala
pamannya Abbas berkata, kepadanya:“Ulurkan tanganmu, aku akan
membaiatmu dan orang akan berkata Paman Rasul membaiat sepupu Rasul, dan tidak
akan ada yang berselisih denganmu!”, Ali menjawab: ‘Wahai
paman,apakah ada orang lain yang menginginkannya?’. Abbas menjawab: ‘Kau
akan tahu nanti! , Ali menjawab: ‘Sedang saya tidak
menginginkan jabatan ini melalui pintu belakang. Saya ingin semua dilakukan
secara terbuka’. Abbas lalu diam.
Tatkala
penyakit Rasulullah(sawa) semakin berat Rasul berseru agar mempercepat pasukan
Usamah. Abu Bakar beserta tokoh-tokoh Muhajirin dan Anshar lainnya
diarahkan oleh Rasul untuk turut serta di dalam pasukan itu. Maka Ali -yang
tidak diikutkan Rasul dalam pasukan Usamah- dengan sendirinya akan menduduki
jabatan khalifah itu -bila saat Rasulullah(sawa) tiba, – karena Madinah
akan bebas dari orang-orang yang akan menentang Ali. Dan ia akan menerimaj
abatan itu secara mulus dan bersih. Maka akan lengkaplah pembaiatan, dan tidak
akan ada lawan yang menentangnya.
Itulah
sebabnya Aisyah memanggil Abu Bakar dari pasukan Usamah yang sedang berkemah di
Jurf -pada
pagi hari Isnin, hari wafatnya Rasul dan bukan pada siang hari- dan memberitahu
bahawa Rasulullah(sawa) sedang nazak.
Dan tentang
mengimami shalat, Ali menyampaikan bahwa Aisyahlah yang memerintahkan
Bilal, maula ayahnya, untuk memanggil ayahnya mengimami shalat, kerana
Rasul(sawa) sebagaimana diriwayatkan telah bersabda: ‘Agar orang-orang
shalat sendiri-sendiri’, dan Rasul tidak menunjuk seseorang
untuk mengimami shalat. Shalat itu adalah shalat subuh. Karena ulah Aisyah
itu maka Rasul memerlukan keluar, pada akhir hayatnya, dituntun oleh Ali dan
Fadhl bin Abbas sampai ia berdiri di mihrab seperti diriwayatkan…’.
Setelah Abu
Bakar dibaiat, Fathimah datang menuntut Fadak milik pribadi ayahnya tetapi Abu
Bakar menolaknya dan mengatakan bahwa Nabi tidak mewariskan. Aisyah
membantu ayahnya dengan membenarkan hadis tunggal yang disampaikan
ayahnya bahwa ‘Nabi tidak mewariskan dan apa yang ia
tinggalkan adalah sedekah’.
Kemudian Fathimah
meninggal dunia dan semua wanita melawat ke rumah Banu Hasyim kecuali Aisyah. Ia tidak datang dan menyatakan
bahwa ia sakit. Dan sampai berita kepada Ali bahwa Aisyah menunjukkan
kegembiraan.
Kemudian Ali
membaiat Abu Bakar dan Aisyah gembira. Sampai tiba berita Utsman dibunuh dan
Aisyah orang yang paling kental menyuruh bunuh Utsman dengan mengatakan Utsman
telah kafir. Mendengar demikian ia berseru: ‘Mampuslah ia!’ Dan
ia mengharap Thalhah akan jadi khalifah. Setelah mengetahui Ali telah dibaiat dan
bukan Thalhah, ia berteriak:Utsman telah dibunuh secara kejam dan menuduh
Ali sebagai pembunuh dan meletuslah perang Jamal’. [ Ibn Abil Hadid ,
Nahjul Balaghah Jil. 2 hal. 192 -197] Demikian penjelasan Ibn Abil-Hadid.
Analisis Hadis Kitabullah Dan
Sunnah
Salam wa
rahmatollah. Bismillah.
Tajuk ini
merupakan perbicaraan lama, yang pada mulanya, saya tidak mahu disentuh di
dalam web ini. Ini kerana saya telah begitu menekankan hadis sebenar yang sahih
lagi mutawattir adalah hadis Tsaqalain, yakni, Kitabullah dan itrati Ahlulbait.
Bagaimanapun, kebelakangan ini, timbul kembali isu ini, tambahan pula ia
ditimbukan oleh orang-orang yang suka-suka mendhaifkan sesuatu hadis, tanpa
dalil yang mutlak, atau yang meyakinkan, demi mendhaifkan hadis Tsaqalain.
Sia-sia. Ini adalah analisis hadis Kitabullah dan Sunnah, oleh saudara
Secondprince. Selamat membaca.
Al Quranul
Karim dan Sunnah Rasulullah SAW adalah landasan dan sumber syariat Islam. Hal
ini merupakan kebenaran yang sifatnya pasti dan diyakini oleh umat Islam.
Banyak ayat Al Quran yang memerintahkan umat Islam untuk berpegang teguh dengan
Sunnah Rasulullah SAW, diantaranya
Apa yang
diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah .Sesungguhnya Allah sangat
keras hukumanNya. (QS ; Al Hasyr 7).
Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang berharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah. (QS ; Al Ahzab 21).
Barang siapa
yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah .Dan barang siapa
yang berpaling (dari ketaatan itu) maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka. (QS ; An Nisa 80).
Sesungguhnya
jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan RasulNya
agar Rasul menghukum (mengadili) diantara mereka ialah ucapan “kami mendengar
dan kami patuh”. Dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung. Dan barangsiapa
yang taat kepada Allah dan RasulNya dan takut kepada Allah dan bertakwa
kepadaNya maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS ; An Nur
51-52).
Dan tidaklah
patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu Ketetapan , akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai
Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS ; Al
Ahzab 36).
Jadi Sunnah
Rasulullah SAW merupakan salah satu pedoman bagi umat islam di seluruh dunia.
Berdasarkan ayat-ayat Al Quran di atas sudah cukup rasanya untuk membuktikan
kebenaran hal ini. Tulisan ini akan membahas hadis “Kitabullah wa Sunnaty” yang
sering dijadikan dasar bahwa kita harus berpedoman kepada Al Quran dan Sunnah
Rasulullah SAW yaitu
Bahwa
Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua
perkara yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat
selamanya yaitu Kitabullah dan SunahKu. Keduanya tidak akan berpisah hingga
menemuiKu di Al Haudh.”.
Hadis “Kitabullah
Wa Sunnaty” ini adalah hadis masyhur yang sering sekali didengar oleh
umat Islam sehingga tidak jarang banyak yang beranggapan bahwa hadis ini adalah
benar dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Pada dasarnya kita umat Islam harus
berpegang teguh kepada Al Quran dan As Sunnah yang merupakan dua landasan utama
dalam agama Islam. Banyak dalil dalil shahih yang menganjurkan kita agar
berpegang kepada As Sunnah baik dari Al Quran (seperti yang sudah disebutkan)
ataupun dari hadis-hadis yang shahih. Sayangnya hadis”Kitabullah Wa Sunnaty”
yang seringkali dijadikan dasar dalam masalah ini adalah hadis yang tidak
shahih atau dhaif. Berikut adalah analisis terhadap sanad hadis ini.
Analisis
Sumber Hadis “Kitab Allah dan SunahKu”
Hadis “Kitab
Allah dan SunahKu” ini tidak terdapat dalam kitab hadis Kutub As
Sittah(Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Ibnu Majah, Sunan An Nasa’i,
Sunan Abu Dawud, dan Sunan Tirmidzi). Sumber dari
Hadis ini adalah Al Muwatta Imam Malik,Mustadrak Ash
Shahihain Al Hakim, At TamhidSyarh Al Muwatta Ibnu
Abdil Barr,Sunan Baihaqi, Sunan Daruquthni, dan Jami’ As
Saghir As Suyuthi. Selain itu hadis ini juga ditemukan dalam
kitab-kitab karya Ulama seperti , Al Khatib dalam Al Faqih Al Mutafaqqih, Shawaiq
Al Muhriqah Ibnu Hajar, Sirah Ibnu Hisyam, Al Ilma ‘ila Ma’rifah
Usul Ar Riwayah wa Taqyid As Sima’ karya Qadhi Iyadh, Al Ihkam Ibnu
Hazm danTarikh At Thabari. Dari semua sumber itu ternyata hadis ini
diriwayatkan dengan 4 jalur sanad yaitu dari Ibnu Abbas ra, Abu Hurairah ra,
Amr bin Awf ra, dan Abu Said Al Khudri ra. Terdapat juga beberapa hadis yang
diriwayatkan secara mursal (terputus sanadnya), mengenai hadis mursal ini sudah
jelas kedhaifannya.
Hadis ini
terbagi menjadi dua yaitu
- Hadis yang diriwayatkan dengan sanad yang mursal
- Hadis yang diriwayatkan dengan sanad yang muttasil atau bersambung
Hadis “Kitab
Allah dan SunahKu” Yang Diriwayatkan Secara Mursal
Hadis “Kitab
Allah dan SunahKu” yang diriwayatkan secara mursal ini terdapat dalam
kitab Al Muwatta, Sirah Ibnu Hisyam, Sunan Baihaqi, Shawaiq Al
Muhriqah, danTarikh At Thabari. Berikut adalah contoh
hadisnya
Dalam Al
Muwatta jilid I hal 899 no 3
Bahwa
Rasulullah SAW bersabda” Wahai Sekalian manusia sesungguhnya Aku telah
meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu berpegang teguh pasti kamu sekalian
tidak akan sesat selamanya yaitu Kitab Allah dan Sunah RasulNya”.
Dalam Al
Muwatta hadis ini diriwayatkan Imam Malik tanpa sanad. Malik bin Anas
adalah generasi tabiit tabiin yang lahir antara tahun 91H-97H. Jadi paling
tidak ada dua perawi yang tidak disebutkan di antara Malik bin Anas dan
Rasulullah SAW. Berdasarkan hal ini maka dapat dinyatakan bahwa hadis ini dhaif
karena terputus sanadnya.
Dalam Sunan
Baihaqi terdapat beberapa hadis mursal mengenai hal ini, diantaranya
Al Baihaqi
dengan sanad dari Urwah bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda pada haji wada “
Sesungguhnya Aku telah meninggalkan sesuatu bagimu yang apabila berpegang teguh
kepadanya maka kamu tidak akan sesat selamanya yaitu dua perkara Kitab Allah
dan Sunnah NabiMu, Wahai umat manusia dengarkanlah olehmu apa yang aku
sampaikan kepadamu, maka hiduplah kamu dengan berpegang kepadanya”.
Selain
pada Sunan Baihaqi, hadis Urwah ini juga terdapat dalam Miftah
Al Jannah hal 29 karya As Suyuthi. Urwah bin Zubair adalah dari
generasi tabiin yang lahir tahun 22H, jadi Urwah belum lahir saat Nabi SAW
melakukan haji wada oleh karena itu hadis di atas terputus, dan ada satu orang
perawi yang tidak disebutkan, bisa dari golongan sahabat dan bisa juga dari
golongan tabiin. Singkatnya hadis ini dhaif karena terputus sanadnya.
Al Baihaqi
dengan sanad dari Ibnu Wahb yang berkata “Aku telah mendengar Malik bin Anas
mengatakan berpegang teguhlah pada sabda Rasulullah SAW pada waktu haji wada
yang berbunyi ‘Dua hal Aku tinggalkan bagimu dimana kamu tidak akan sesat
selama berpegang kepada keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah NabiNya”.
Hadis ini
tidak berbeza dengan hadis Al Muwatta, karena Malik bin Anas tidak
bertemu Rasulullah SAW jadi hadis ini juga dhaif.
Dalam Sirah
Ibnu Hisyam jilid 4 hal 185 hadis ini diriwayatkan dari Ibnu Ishaq
yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda pada haji wada…..,Disini
Ibnu Ishaq tidak menyebutkan sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW oleh
karena itu hadis ini tidak dapat dijadikan hujjah. Dalam Tarikh At
Thabari jilid 2 hal 205 hadis ini juga diriwayatkan secara mursal
melalui Ibnu Ishaq dari Abdullah bin Abi Najih. Jadi kedua hadis ini dhaif.
Mungkin ada yang beranggapan karena Sirah Ibnu Hisyam dari
Ibnu Ishaq sudah menjadi kitab Sirah yang jadi pegangan oleh jumhur ulama maka
adanya hadis itu dalam Sirah Ibnu Hisyam sudah cukup menjadi
bukti kebenarannya. Jawaban kami adalah benar bahwa Sirah Ibnu Hisyam menjadi
pegangan oleh jumhur ulama, tetapi dalam kitab ini hadis tersebut terputus
sanadnya jadi tentu saja dalam hal ini hadis tersebut tidak dapat dijadikan
hujjah.
Sebuah
Pembelaan dan Kritik
Hafiz
Firdaus dalam bukunya Kaidah Memahami Hadis-hadis yang Bercanggah telah
membahas hadis dalam Al Muwatta dan menanggapi pernyataan
Syaikh Hasan As Saqqaf dalam karyanya Shahih Sifat shalat An Nabiy (dalam
kitab ini As Saqqaf telah menyatakan hadis Kitab Allah dan SunahKu ini sebagai
hadis yang dhaif ). Sebelumnya berikut akan dituliskan pendapat Hafiz Firdaus
tersebut.
Bahwa
Rasulullah bersabda “wahai sekalian manusia sesungguhnya Aku telah meninggalkan
pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat
selamanya yaitu Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya”
Hadis ini
sahih: Dikeluarkan oleh Malik bin Anas dalam al-Muwattha’ – no: 1619 (Kitab
al-Jami’, Bab Larangan memastikan Takdir). Berkata Malik apabila mengemukakan
riwayat ini: Balghni………bererti “disampaikan kepada aku” (atau dari sudut
catatan anak murid beliau sendiri: Dari Malik, disampaikan kepadanya………).
Perkataan seperti ini memang khas di zaman awal Islam (sebelum 200H) menandakan
bahawa seseorang itu telah menerima sesebuah hadis daripada sejumlah tabi’in,
dari sejumlah sahabat dari jalan-jalan yang banyak sehingga tidak perlu
disertakan sanadnya. Lebih lanjut lihat Qadi ‘Iyadh Tartib al-Madarik, jld 1,
ms 136; Ibn ‘Abd al-Barr al Tamhid, jld 1, ms 34; al-Zarqani Syarh al
Muwattha’, jld 4, ms 307 dan Hassath binti ‘Abd al-’Aziz Sagheir Hadis Mursal
baina Maqbul wa Mardud, jld 2, ms 456-470.
Hasan ‘Ali
al-Saqqaf dalam bukunya Shalat Bersama Nabi SAW (edisi terj. dari Sahih Sifat
Solat Nabi), ms 269-275 berkata bahwa hadis ini sebenarnya adalah maudhu’.
Isnadnya memiliki perawi yang dituduh pendusta manakala maksudnya tidak
disokongi oleh mana-mana dalil lain. Beliau menulis: Sebenarnya hadis yang
tsabit dan sahih adalah hadis yang berakhir dengan “wa ahli baiti” (sepertimana
Khutbah C – penulis). Sedangkan yang berakhir dengan kata-kata “wa sunnati”
(sepertimana Khutbah B) adalah batil dari sisi matan dan sanadnya.
Nampaknya
al-Saqqaf telah terburu-buru dalam penilaian ini kerana beliau hanya menyimak
beberapa jalan periwayatan dan meninggalkan yang selainnya, terutamanya apa
yang terkandung dalam kitab-kitab Musannaf, Mu’jam dan Tarikh (Sejarah). Yang
lebih berat adalah beliau telah menepikan begitu sahaja riwayat yang dibawa
oleh Malik di dalam kitab al-Muwattha’nya atas alasan ianya adalah tanpa sanad
padahal yang benar al-Saqqaf tidak mengenali kaedah-kaedah periwayatan hadis
yang khas di sisi Malik bin Anas dan tokoh-tokoh hadis di zamannya.
Kritik kami
adalah sebagai berikut, tentang kata-kata hadis riwayat Al Muwatta
adalah shahih karena pernyataan Balghni atau “disampaikan kepada aku” dalam
hadis riwayat Imam Malik ini adalah khas di zaman awal Islam (sebelum 200H)
menandakan bahwa seseorang itu telah menerima sesebuah hadis daripada sejumlah
tabi’in, dari sejumlah sahabat dari jalan-jalan yang banyak sehingga tidak
perlu disertakan sanadnya. Maka Kami katakan, Kaidah periwayatan hadis
dengan pernyataan Balghni atau “disampaikan kepadaku” memang terdapat di zaman
Imam Malik. Hal ini juga dapat dilihat dalam Kutub As Sunnah Dirasah
Watsiqiyyah oleh Rif’at Fauzi Abdul Muthallib hal 20, terdapat kata
kata Hasan Al Bashri
“Jika empat
shahabat berkumpul untuk periwayatan sebuah hadis maka saya tidak menyebut lagi
nama shahabat”.Ia juga pernah berkata”Jika aku berkata hadatsana maka hadis itu
saya terima dari fulan seorang tetapi bila aku berkata qala Rasulullah SAW maka
hadis itu saya dengar dari 70 orang shahabat atau lebih”.
Tetapi
adalah tidak benar mendakwa suatu hadis sebagai shahih hanya dengan
pernyataan “balghni”. Hal ini jelas bertentangan dengan kaidah
jumhur ulama tentang persyaratan hadis shahih seperti yang tercantum
dalam Muqaddimah Ibnu Shalah fi Ulumul Hadis yaitu
Hadis shahih
adalah Hadis yang muttashil (bersambung sanadnya) disampaikan oleh setiap
perawi yang adil(terpercaya) lagi dhabit sampai akhir sanadnya dan hadis itu
harus bebas dari syadz dan Illat.
Dengan
kaidah Inilah as Saqqaf telah menepikan hadis al Muwatta tersebut
karena memang hadis tersebut tidak ada sanadnya. Yang aneh justru pernyataan
Hafiz yang menyalahkan As Saqqaf dengan kata-kata padahal yang benar
al-Saqqaf tidak mengenali kaedah-kaedah periwayatan hadis yang khas di sisi
Malik bin Anas dan tokoh-tokoh hadis di zamannya.
Pernyataan
Hafiz di atas menunjukan bahwa Malik bin Anas dan tokoh hadis zamannya (sekitar
93H-179H) jika meriwayatkan hadis dengan pernyataan telah disampaikan kepadaku
bahwa Rasulullah SAW atau Qala Rasulullah SAW tanpa menyebutkan sanadnya maka
hadis tersebut adalah shahih. Pernyataan ini jelas aneh dan bertentangan dengan
kaidah jumhur ulama hadis. Sekali lagi hadis itu mursal atau terputus dan hadis
mursal tidak bisa dijadikan hujjah karena kemungkinan dhaifnya. Karena bisa
jadi perawi yang terputus itu adalah seorang tabiin yang bisa jadi dhaif atau
tsiqat, jika tabiin itu tsiqatpun dia kemungkinan mendengar dari tabiin lain
yang bisa jadi dhaif atau tsiqat dan seterusnya kemungkinan seperti itu tidak
akan habis-habis. Sungguh sangat tidak mungkin mendakwa hadis mursal sebagai
shahih “Hanya karena terdapat dalam Al Muwatta Imam Malik”.
Hal yang
kami jelaskan itu juga terdapat dalam Ilmu Mushthalah Hadis oleh
A Qadir Hassan hal 109 yang mengutip pernyataan Ibnu Hajar yang menunjukkan
tidak boleh menjadikan hadis mursal sebagai hujjah, Ibnu Hajar berkata
”Boleh jadi
yang gugur itu shahabat tetapi boleh jadi juga seorang tabiin .Kalau kita
berpegang bahwa yang gugur itu seorang tabiin boleh jadi tabiin itu seorang
yang lemah tetapi boleh jadi seorang kepercayaan. Kalau kita andaikan dia
seorang kepercayaan maka boleh jadi pula ia menerima riwayat itu dari seorang
shahabat, tetapi boleh juga dari seorang tabiin lain”.
Lihat
baik-baik walaupun yang meriwayatkan hadis mursal itu adalah tabiin tetap saja
dinyatakan dhaif apalagi Malik bin Anas yang seorang tabiit tabiin maka akan
jauh lebih banyak kemungkinan dhaifnya. Pernyataan yang benar tentang hadis
mursal Al Muwatta adalah hadis tersebut shahih jika terdapat hadis lain yang
bersambung dan shahih sanadnya yang menguatkan hadis mursal tersebut di
kitab-kitab lain. Jadi adalah kekeliruan menjadikan hadis mursal shahih hanya
karena terdapat dalam Al Muwatta.
Hadis “Kitab
Allah dan SunahKu” Yang Diriwayatkan Dengan Sanad Yang Bersambung.
Telah
dinyatakan sebelumnya bahwa dari sumber-sumber yang ada ternyata ada 4 jalan
sanad hadis “Kitab Allah dan SunahKu”. 4 jalan sanad itu adalah
1. Jalur Ibnu Abbas ra
2. Jalur Abu Hurairah ra
3. Jalur Amr bin Awf ra
4. Jalur Abu Said Al Khudri ra
1. Jalur Ibnu Abbas ra
2. Jalur Abu Hurairah ra
3. Jalur Amr bin Awf ra
4. Jalur Abu Said Al Khudri ra
Jalan Sanad
Ibnu Abbas
Hadis “Kitab
Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Ibnu Abbas dapat ditemukan
dalam Kitab Al Mustadrak Al Hakim jilid I hal 93 dan Sunan
Baihaqi juz 10 hal 4 yang pada dasarnya juga mengutip dari Al
Mustadrak. Dalam kitab-kitab ini sanad hadis itu dari jalan Ibnu Abi Uwais
dari Ayahnya dari Tsaur bin Zaid Al Daily dari Ikrimah dari Ibnu Abbas
bahwa
Rasulullah SAW bersabda “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah
meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian
tidak akan sesat selamanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah RasulNya”.
Hadis ini
adalah hadis yang dhaif karena terdapat kelemahan pada dua orang perawinya
yaitu Ibnu Abi Uwais dan Ayahnya.
1. Ibnu Abi
Uwais
- Dalam kitab Tahdzib Al Kamal karya Al Hafiz Ibnu Zakki Al Mizzy jilid III hal 127 mengenai biografi Ibnu Abi Uwais terdapat perkataan orang yang mencelanya, diantaranya Berkata Muawiyah bin Salih dari Yahya bin Mu’in “Abu Uwais dan putranya itu keduanya dhaif(lemah)”. Dari Yahya bin Mu’in bahwa Ibnu Abi Uwais dan ayahnya suka mencuri hadis, suka mengacaukan(hafalan) hadis atau mukhallith dan suka berbohong.Menurut Abu Hatim Ibnu Abi Uwais itu mahalluhu ash shidq atau tempat kejujuran tetapi dia terbukti lengah. An Nasa’i menilai Ibnu Abi Uwais dhaif dan tidak tsiqah. Menurut Abu Al Qasim Al Alkaiy “An Nasa’i sangat jelek menilainya (Ibnu Abi Uwais) sampai ke derajat matruk(ditinggalkan hadisnya)”. Ahmad bin Ady berkata “Ibnu Abi Uwais itu meriwayatkan dari pamannya Malik beberapa hadis gharib yang tidak diikuti oleh seorangpun.”
- Dalam Muqaddimah Al Fath Al Bary halaman 391 terbitan Dar Al Ma’rifah, Al Hafiz Ibnu Hajar mengenai Ibnu Abi Uwais berkata ”Atas dasar itu hadis dia (Ibnu Abi Uwais) tidak dapat dijadikan hujjah selain yang terdapat dalam As Shahih karena celaan yang dilakukan Imam Nasa’i dan lain-lain”.
- Dalam Fath Al Mulk Al Aly halaman 15, Al Hafiz Sayyid Ahmad bin Shiddiq mengatakan “berkata Salamah bin Syabib Aku pernah mendengar Ismail bin Abi Uwais mengatakan “mungkin aku membuat hadis untuk penduduk madinah jika mereka berselisih pendapat mengenai sesuatu di antara mereka”.
Jadi Ibnu
Abi Uwais adalah perawi yang tertuduh dhaif, tidak tsiqat, pembohong,
matruk dan dituduh suka membuat hadis. Ada sebagian orang yang membela
Ibnu Abi Uwais dengan mengatakan bahwa dia adalah salah satu Rijal atau
perawi Shahih Bukhari oleh karena itu hadisnya bisa dijadikan
hujjah. Pernyataan ini jelas tertolak karena Bukhari memang berhujjah dengan
hadis Ismail bin Abi Uwais tetapi telah dipastikan bahwa Ibnu Abi Uwais adalah
perawi Bukhari yang diperselisihkan oleh para ulama hadis. Seperti penjelasan
di atas terdapat jarh atau celaan yang jelas oleh ulama hadis seperti Yahya bin
Mu’in, An Nasa’i dan lain-lain. Dalam prinsip Ilmu Jarh wat Ta’dil celaan yang
jelas didahulukan dari pujian(ta’dil). Oleh karenanya hadis Ibnu Abi Uwais
tidak bisa dijadikan hujjah. Mengenai hadis Bukhari dari Ibnu Abi Uwais,
hadis-hadis tersebut memiliki mutaba’ah atau pendukung dari riwayat-riwayat
lain sehingga hadis tersebut tetap dinyatakan shahih. Lihat penjelasan Al Hafiz
Ibnu Hajar dalam Al Fath Al Bary Syarh Shahih Bukhari, Beliau
mengatakan bahwa hadis Ibnu Abi Uwais selain dalam As Shahih(Bukhari
dan Muslim) tidak bisa dijadikan hujjah. Dan hadis yang dibicarakan
ini tidak terdapat dalam kedua kitab Shahih tersebut, hadis ini terdapat
dalam Mustadrak dan Sunan Baihaqi.
2. Abu Uwais
- Dalam kitab Al Jarh Wa At Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim jilid V hal 92, Ibnu Abi Hatim menukil dari ayahnya Abu Hatim Ar Razy yang berkata mengenai Abu Uwais “Ditulis hadisnya tetapi tidak dapat dijadikan hujjah dan dia tidak kuat”.Ibnu Abi Hatim menukil dari Yahya bin Mu’in yang berkata “Abu Uwais tidak tsiqah”.
- Dalam kitab Tahdzib Al Kamal karya Al Hafiz Ibnu Zakki Al Mizzy jilid III hal 127 Berkata Muawiyah bin Salih dari Yahya bin Mu’in “Abu Uwais dan putranya itu keduanya dhaif(lemah)”. Dari Yahya bin Mu’in bahwa Ibnu Abi Uwais dan ayahnya(Abu Uwais) suka mencuri hadis, suka mengacaukan(hafalan) hadis atau mukhallith dan suka berbohong.
Dalam Al
Mustadrak jilid I hal 93, Al Hakim tidak menshahihkan hadis ini.
Beliau mendiamkannya dan mencari syahid atau penguat bagi hadis tersebut,
Beliau berkata”Saya telah menemukan syahid atau saksi penguat bagi hadis
tersebut dari hadis Abu Hurairah ra”. Mengenai hadis Abu Hurairah ra
ini akan dibahas nanti, yang penting dari pernyataan itu secara tidak langsung
Al Hakim mengakui kedhaifan hadis Ibnu Abbas tersebut oleh karena itu beliau
mencari syahid penguat untuk hadis tersebut .Setelah melihat kedudukan kedua
perawi hadis Ibnu Abbas tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hadis ”Kitab
Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Ibnu Abbas adalah dhaif.
Jalan Sanad
Abu Hurairah ra
Hadis “Kitab
Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad Abu Hurairah ra terdapat
dalam Al Mustadrak Al Hakim jilid I hal 93, Sunan Al
Kubra Baihaqi juz 10, Sunan DaruquthniIV hal 245, Jami’
As Saghir As Suyuthi(no 3923), Al Khatib dalam Al Faqih Al
Mutafaqqih jilid I hal 94, At Tamhid XXIV hal 331
Ibnu Abdil Barr, dan Al Ihkam VI hal 243 Ibnu Hazm.
Jalan sanad hadis Abu Hurairah ra adalah sebagi berikut, diriwayatkan melalui Al Dhaby yang berkata telah menghadiskan kepada kami Shalih bin Musa At Thalhy dari Abdul Aziz bin Rafi’dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ra
Jalan sanad hadis Abu Hurairah ra adalah sebagi berikut, diriwayatkan melalui Al Dhaby yang berkata telah menghadiskan kepada kami Shalih bin Musa At Thalhy dari Abdul Aziz bin Rafi’dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ra
bahwa
Rasulullah SAW bersabda “Bahwa Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Aku
telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang jika kamu pegang teguh
pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan
SunahKu.Keduanya tidak akan berpisah hingga menemuiKu di Al Haudh”.
Hadis di
atas adalah hadis yang dhaif karena dalam sanadnya terdapat perawi yang tidak
bisa dijadikan hujjah yaitu Shalih bin Musa At Thalhy.
- Dalam Kitab Tahdzib Al Kamal ( XIII hal 96) berkata Yahya bin Muin bahwa riwayat hadis Shalih bin Musa bukan apa-apa. Abu Hatim Ar Razy berkatahadis Shalih bin Musa dhaif. Imam Nasa’i berkata hadis Shalih bin Musa tidak perlu ditulis dan dia itu matruk al hadis(ditinggalkan hadisnya).
- Al Hafiz Ibnu Hajar Al Asqalany dalam kitabnya Tahdzib At Tahdzib IV hal 355 menyebutkan Ibnu Hibban berkata bahwa Shalih bin Musa meriwayatkan dari tsiqat apa yang tidak menyerupai hadis itsbat(yang kuat) sehingga yang mendengarkannya bersaksi bahwa riwayat tersebut ma’mulah (diamalkan) atau maqbulah (diterima) tetapi tidak dapat dipakai untuk berhujjah. Abu Nu’aim berkata Shalih bin Musa itu matruk Al Hadis sering meriwayatkan hadis mungkar.
- Dalam At Taqrib (Tarjamah :2891) Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqallany menyatakan bahwa Shalih bin Musa adalah perawi yang matruk(harus ditinggalkan).
- Al Dzahaby dalam Al Kasyif (2412) menyebutkan bahwa Shalih bin Musa itu wahin (lemah).
- Dalam Al Qaulul Fashl jilid 2 hal 306 Sayyid Alwi bin Thahir ketika mengomentari Shalih bin Musa, beliau menyatakan bahwa Imam Bukhari berkata”Shalih bin Musa adalah perawi yang membawa hadis-hadis mungkar”.
Kalau
melihat jarh atau celaan para ulama terhadap Shalih bin Musa tersebut maka
dapat dinyatakan bahwa hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan
sanad dari Abu Hurairah ra di atas adalah hadis yang dhaif. Adalah hal yang
aneh ternyata As Suyuthi dalam Jami’ As Saghir menyatakan
hadis tersebut hasan, Al Hafiz Al Manawi menshahihkannya dalam Faidhul
Qhadir Syarah Al Jami’Ash Shaghir dan Al Albani juga telah memasukkan
hadis ini dalamShahih Jami’ As Saghir. Begitu pula yang dinyatakan oleh
Al Khatib dan Ibnu Hazm. Menurut kami penshahihan hadis tersebut tidak benar
karena dalam sanad hadis tersebut terdapat cacat yang jelas pada perawinya,
Bagaimana mungkin hadis tersebut shahih jika dalam sanadnya terdapat perawi
yang matruk, mungkar al hadis dan tidak bisa dijadikan hujjah. Nyata sekali
bahwa ulama-ulama yang menshahihkan hadis ini telah bertindak longgar(tasahul)
dalam masalah ini.
Mengapa para
ulama itu bersikap tasahul dalam penetapan kedudukan hadis ini?. Hal ini
mungkin karena matan hadis tersebut adalah hal yang tidak perlu dipermasalahkan
lagi. Tetapi menurut kami matan hadis tersebut yang benar dan shahih adalah
dengan matan hadis yang sama redaksinya hanya perbedaan pada“Kitab Allah dan
SunahKu” menjadi “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu”.
Hadis dengan matan seperti ini salah satunya terdapat dalam Shahih
Sunan Tirmidzi no 3786 & 3788 yang dinyatakan shahih oleh Syaikh
Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi.Kalau dibandingkan antara
hadis ini dengan hadis Abu Hurairah ra di atas dapat dipastikan bahwa
hadis Shahih Sunan Tirmidzi ini jauh lebih shahih kedudukannya
karena semua perawinya tsiqat. Sedangkan hadis Abu Hurairah ra di atas terdapat
cacat pada salah satu perawinya yaitu Shalih bin Musa At Thalhy.
Adz Dzahabi
dalam Al Mizan Al I’tidal jilid II hal 302 berkata bahwa
hadis Shalih bin Musa tersebut termasuk dari kemunkaran yang dilakukannya.Selain
itu hadis riwayat Abu Hurairah ini dinyatakan dhaif oleh Hasan As Saqqaf
dalam Shahih Sifat Shalat An Nabiy setelah beliau mengkritik
Shalih bin Musa salah satu perawi hadis tersebut. Jadi pendapat yang benar
dalam masalah ini adalah hadis riwayat Abu Hurairah tersebut adalah dhaif
sedangkan pernyataan As Suyuthi, Al Manawi, Al Albani dan yang lain bahwa hadis
tersebut shahih adalah keliru karena dalam rangkaian sanadnya terdapat perawi
yang sangat jelas cacatnya sehingga tidak mungkin bisa dikatakan shahih.
Jalan Sanad
Amr bin Awf ra
Hadis “Kitab
Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Amr bin Awf terdapat dalam
kitab At Tamhid XXIV hal 331 Ibnu Abdil Barr. Telah
menghadiskan kepada kami Abdurrahman bin Yahya, dia berkata telah menghadiskan
kepada kami Ahmad bin Sa’id, dia berkata telah menghadiskan kepada kami Muhammad
bin Ibrahim Al Daibaly, dia berkata telah menghadiskan kepada kami Ali bin Zaid
Al Faridhy, dia berkata telah menghadiskan kepada kami Al Haniny dari Katsir
bin Abdullah bin Amr bin Awf dari ayahnya dari kakeknya
Bahwa
Rasulullah bersabda “wahai sekalian manusia sesungguhnya Aku telah meninggalkan
pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat
selamanya yaitu Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya.
Hadis ini adalah hadis yang dhaif karena dalam sanadnya terdapat cacat pada perawinya yaitu Katsir bin Abdullah .
- Dalam Mizan Al Itidal (biografi Katsir bin Abdullah no 6943) karya Adz Dzahabi terdapat celaan pada Katsir bin Abdullah. Menurut Daruquthni Katsir bin Abdullah adalah matruk al hadis(ditinggalkan hadisnya). Abu Hatim menilai Katsir bin Abdullah tidak kuat. An Nasa’i menilai Katsir bin Abdullah tidak tsiqah.
- Dalam At Taqrib at Tahdzib, Ibnu Hajar menyatakan Katsir bin Abdullah dhaif.
- Dalam Al Kasyf Adz Dzahaby menilai Katsir bin Abdullah wahin(lemah).
- Dalam Al Majruhin Ibnu Hibban juz 2 hal 221, Ibnu Hibban berkata tentang Katsir bin Abdullah “Hadisnya sangat mungkar” dan “Dia meriwayatkan hadis-hadis palsu dari ayahnya dari kakeknya yang tidak pantas disebutkan dalam kitab-kitab maupun periwayatan”
- Dalam Al Majruhin Ibnu Hibban juz 2 hal 221, Yahya bin Main berkata “Katsir lemah hadisnya”
- Dalam Kitab Al Jarh Wat Ta’dil biografi no 858, Abu Zur’ah berkata “Hadisnya tidak ada apa-apanya, dia tidak kuat hafalannya”.
- Dalam Adh Dhu’afa Al Kabir Al Uqaili (no 1555), Mutharrif bin Abdillah berkata tentang Katsir “Dia orang yang banyak permusuhannya dan tidak seorangpun sahabat kami yang mengambil hadis darinya”.
- Dalam Al Kamil Fi Dhu’afa Ar Rijal karya Ibnu Adi juz 6 hal 63, Ibnu Adi berkata perihal Katsir “Dan kebanyakan hadis yang diriwayatkannya tidak bisa dijadikan pegangan”.
- Dalam Al Kamil Fi Dhu’afa Ar Rijal karya Ibnu Adi juz 6 hal 63, Abu Khaitsamah berkata “Ahmad bin Hanbal berkata kepadaku : jangan sedikitpun engkau meriwayatkan hadis dari Katsir bin Abdullah”.
- Dalam Ad Dhu’afa Wal Matrukin Ibnu Jauzi juz III hal 24 terdapat perkataan Imam Syafii perihal Katsir bin Abdullah “Katsir bin Abdullah Al Muzanni adalah satu pilar dari berbagai pilar kedustaan”
Jadi hadis
Amr bin Awf ini sangat jelas kedhaifannya karena dalam sanadnya terdapat perawi
yang matruk, dhaif atau tidak tsiqah dan pendusta.
Jalur Abu
Said Al Khudri ra
Hadis “Kitab
Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Abu Said Al Khudri ra
terdapat dalam Al Faqih Al Mutafaqqih jilid I hal 94 karya Al
Khatib Baghdadi dan Al Ilma ‘ila Ma’rifah Usul Ar Riwayah wa Taqyid As
Sima’ karya Qadhi Iyadh dengan sanad dari Saif bin Umar dari Ibnu
Ishaq Al Asadi dari Shabbat bin Muhammad dari Abu Hazm dari Abu Said Al Khudri
ra.
Dalam
rangkaian perawi ini terdapat perawi yang benar-benar dhaif yaitu Saif bin Umar
At Tamimi.
- Dalam Mizan Al I’tidal no 3637 Yahya bin Mu’in berkata “Saif daif dan riwayatnya tidak kuat”.
- Dalam Ad Dhu’afa Al Matrukin no 256, An Nasa’i mengatakan kalau Saif bin Umar adalah dhaif.
- Dalam Al Majruhin no 443 Ibnu Hibban mengatakan Saif merujukkan hadis-hadis palsu pada perawi yang tsabit, ia seorang yang tertuduh zindiq dan seorang pemalsu hadis.
- Dalam Ad Dhu’afa Abu Nu’aim no 95, Abu Nu’aim mengatakan kalau Saif bin Umar adalah orang yang tertuduh zindiq, riwayatnya jatuh dan bukan apa-apanya.
- Dalam Tahzib At Tahzib juz 4 no 517 Abu Dawud berkata kalau Saif bukan apa-apa, Abu Hatim berkata “ia matruk”, Ad Daruquthni menyatakannya dhaif dan matruk. Al Hakim mengatakan kalau Saif tertuduh zindiq dan riwayatnya jatuh. Ibnu Adi mengatakan kalau hadisnya dikenal munkar dan tidak diikuti seorangpun.
Jadi jelas sekali kalau hadis Abu Said Al Khudri ra ini adalah hadis yang dhaif karena kedudukan Saif bin Umar yang dhaif di mata para ulama.
Hadis
Tersebut Dhaif
Dari semua
pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa hadis “Kitab Allah dan
SunahKu” ini adalah hadis yang dhaif. Sebelum mengakhiri tulisan ini
akan dibahas terlebih dahulu pernyataan Ali As Salus dalam Al Imamah
wal Khilafah yang menyatakan shahihnya hadis “Kitab Allah Dan
SunahKu”.
Ali As Salus menyatakan bahwa hadis riwayat Imam Malik adalah shahih walaupun dalam Al Muwatta hadis ini mursal. Beliau menyatakan bahwa hadis ini dikuatkan oleh hadis Abu Hurairah yang telah dishahihkan oleh As Suyuthi,Al Manawi dan Al Albani. Selain itu hadis mursal dalam Al Muwatta adalah shahih menurutnya dengan mengutip pernyataan Ibnu Abdil Barr yang menyatakan bahwa semua hadis mursal Imam Malik adalah shahih dan pernyataan As Suyuthi bahwa semua hadis mursal dalam Al Muwatta memiliki sanad yang bersambung yang menguatkannya dalam kitab-kitab lain.
Ali As Salus menyatakan bahwa hadis riwayat Imam Malik adalah shahih walaupun dalam Al Muwatta hadis ini mursal. Beliau menyatakan bahwa hadis ini dikuatkan oleh hadis Abu Hurairah yang telah dishahihkan oleh As Suyuthi,Al Manawi dan Al Albani. Selain itu hadis mursal dalam Al Muwatta adalah shahih menurutnya dengan mengutip pernyataan Ibnu Abdil Barr yang menyatakan bahwa semua hadis mursal Imam Malik adalah shahih dan pernyataan As Suyuthi bahwa semua hadis mursal dalam Al Muwatta memiliki sanad yang bersambung yang menguatkannya dalam kitab-kitab lain.
Tanggapan
Terhadap Ali As Salus
Pernyataan
pertama bahwa hadis Malik bin Anas dalam Al Muwatta adalah
shahih walaupun mursal adalah tidak benar. Hal ini telah dijelaskan dalam tanggapan
kami terhadap Hafiz Firdaus bahwa hadis mursal tidak bisa langsung dinyatakan
shahih kecuali terdapat hadis shahih(bersambung sanadnya) lain yang
menguatkannya. Dan kenyataannya hadis yang jadi penguat hadis mursal Al Muwatta
ini adalah tidak shahih. Pernyataan Ali As Salus selanjutnya bahwa
hadis ini dikuatkan oleh hadis Abu Hurairah ra adalah tidak tepat karena
seperti yang sudah dijelaskan, dalam sanad hadis Abu Hurairah ra ada Shalih bin
Musa yang tidak dapat dijadikan hujjah.
Ali As Salus
menyatakan bahwa hadis mursal Al Muwatta shahih berdasarkan
- Pernyataan Ibnu Abdil Barr yang menyatakan bahwa semua hadis mursal Imam Malik adalah shahih dan
- Pernyataan As Suyuthi bahwa semua hadis mursal dalam Al Muwatta memiliki sanad yang bersambung yang menguatkannya dalam kitab-kitab lain.
Mengenai
pernyataan Ibnu Abdil Barr tersebut, jelas itu adalah pendapatnya sendiri dan
mengenai hadis “Kitab Allah dan SunahKu” yang mursal dalam Al
Muwatta Ibnu Abdil Barr telah mencari sanad hadis ini dan memuatnya dalam
kitabnya At Tamhid dan beliau menshahihkannya. Setelah dilihat
ternyata hadis dalam At Tamhid tersebut tidaklah shahih karena
cacat yang jelas pada perawinya.
Begitu pula
pernyataan As Suyuthi yang dikutip Ali As Salus di atas itu adalah pendapat
beliau sendiri dan As Suyuthi telah menjadikan hadis Abu Hurairah ra sebagai
syahid atau pendukung hadis mursal Al Muwatta seperti yang beliau nyatakan
dalam Jami’ As Saghir dan beliau menyatakan hadis tersebut
hasan. Setelah ditelaah ternyata hadis Abu Hurairah ra itu adalah dhaif. Jadi
Kesimpulannya tetap saja hadis “Kitab Allah dan SunahKu” adalah
hadis yang dhaif.
Salah satu
bukti bahwa tidak semua hadis mursal Al Muwatta shahih adalah
apa yang dikemukakan oleh Syaikh Al Albani dalam Silisilatul Al Hadits
Adh Dhaifah Wal Maudhuah hadis no 908
Nabi Isa
pernah bersabda”Janganlah kalian banyak bicara tanpa menyebut Allah karena hati
kalian akan mengeras.Hati yang keras jauh dari Allah namun kalian tidak
mengetahuinya.Dan janganlah kalian mengamati dosa-dosa orang lain seolah-olah
kalian Tuhan,akan tetapi amatilah dosa-dosa kalian seolah kalian itu hamba.
Sesungguhnya setiap manusia itu diuji dan selamat maka kasihanilah orang-orang
yang tengah tertimpa malapetaka dan bertahmidlah kepada Allah atas keselamatan kalian”.
Riwayat ini
dikemukakan Imam Malik dalam Al Muwatta jilid II hal 986 tanpa
sanad yang pasti tetapi Imam Malik menempatkannya dalam deretan riwayat–riwayat
yang muttashil(bersambung) atau marfu’ sanadnya sampai ke Rasulullah SAW.
Syaikh Al
Albani berkata tentang hadis ini
”Sekali lagi
saya tegaskan memarfu’kan riwayat ini sampai kepada Nabi adalah kesalahan yang
menyesatkan dan tidak syak lagi merupakan kedustaan yang nyata-nyata
dinisbatkan kepada beliau padahal beliau terbebas darinya”.
Pernyataan ini
menunjukkan bahwa Syaikh Al Albani tidaklah langsung menyatakan bahwa hadis ini
shahih hanya karena Imam Malik menempatkannya dalam deretan riwayat–riwayat
yang muttashil atau marfu’ sanadnya sampai ke Rasulullah SAW. Justru Syaikh Al
Albani menyatakan bahwa memarfu’kan hadis ini adalah kedustaan atau kesalahan
yang menyesatkan karena berdasarkan penelitian beliau tidak ada sanad yang
bersambung kepada Rasulullah SAW mengenai hadis ini.
Yang Aneh
adalah pernyataan Ali As Salus dalam Imamah Wal Khilafah yang
menyatakan bahwa hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul
BaitKu” adalah dhaif dan yang shahih adalah hadis dengan matan “Kitab
Allah dan SunahKu”. Hal ini jelas sangat tidak benar karena hadis
dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu”sanad-sanadnya tidak shahih
seperti yang sudah dijelaskan dalam pembahasan di atas. Sedangkan hadis dengan
matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” adalah hadis yang
diriwayatkan banyak shahabat dan sanadnya jauh lebih kuat dari hadis dengan
matan “Kitab Allah dan SunahKu”.
Jadi kalau
hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu” dinyatakan shahih
maka hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” akan
jadi jauh lebih shahih. Ali As Salus dalam Imamah wal Khilafah telah
membandingkan kedua hadis tersebut dengan metod yang tidak berimbang. Untuk
hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” beliau
mengkritik habis-habisan bahkan dengan kritik yang tidak benar sedangkan untuk
hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu” beliau bertindak
longgar(tasahul) dan berhujjah dengan pernyataan ulama lain yang juga telah
memudahkan dalam penshahihan hadis tersebut.
Wallahu’alam.
HADITS sunni :
.
TAFSIR
TAFSIR
Versi
syi’ah, didalam ALQURAN tidak ada satupun ayat yang
menyatakan “sahabat Nabi SAW yang menentang imamah Ali
dijamin surga !!”
Tidakkah anda heran kenapa kitab kitab hadis sunni
edisi lengkap sengaja disembunyikan ???
Datanglah ke
pesantren , adakah barang tersebut ???
Tidakkah
anda heran kenapa kitab kitab hadis banyak diedit dan diringkas ???
Tidakkkah
anda heran kenapa banyak hadis disembunyikan ulama ??
Sehingga
anda terkejut kejut, kok hadis ini ada padahal dulu tidak dinamppakkan para
ustad..
Motifnya :
motif politik agar mazhab sunni tetap tegak…
Jika kitab
hadis beredar sesuai asli, maka akan nampak kontradiksi dan pertentangan antar
hadis
Jika kitab
hadis beredar sesuai asli, maka akan nampak kebenaran syi’ah..
Ini bukan
fitnah apalagi provokasi
Kedudukan
Hadis “Imam Ali Pemimpin Bagi Setiap Mukmin Sepeninggal Nabi SAW”
Diriwayatkan dengan berbagai jalan yang shahih dan hasan bahwa Rasulullah SAW bersabda kalau Imam Ali adalah Pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggal Beliau SAW. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imran bin Hushain RA, Buraidah RA, Ibnu Abbas RA dan Wahab bin Hamzah RA. Rasulullah SAW bersabda
Diriwayatkan dengan berbagai jalan yang shahih dan hasan bahwa Rasulullah SAW bersabda kalau Imam Ali adalah Pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggal Beliau SAW. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imran bin Hushain RA, Buraidah RA, Ibnu Abbas RA dan Wahab bin Hamzah RA. Rasulullah SAW bersabda
إن عليا مني وأنا منه وهو ولي كل مؤمن بعدي
Ali dari Ku
dan Aku darinya dan Ia adalah Pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggalKu.
.
.
Takhrij
Hadis
Hadis di
atas adalah lafaz riwayat Imran bin Hushain RA. Disebutkan dalam Musnad Abu
Dawud Ath Thayalisi 1/111 no 829, Sunan Tirmidzi 5/296, Sunan An Nasa’i 5/132
no 8474, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 7/504, Musnad Abu Ya’la 1/293 no 355,
Shahih Ibnu Hibban 15/373 no 6929, Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 18/128, dan As
Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1187. Semuanya dengan jalan sanad yang berujung pada
Ja’far bin Sulaiman dari Yazid Ar Risyk dari Mutharrif bin Abdullah bin
Syikhkhir Al Harasy dari Imran bin Hushain RA. Berikut sanad Abu Dawud
حدثنا جعفر بن سليمان الضبعي ، حدثنا يزيد الرشك ، عن مطرف
بن عبد الله بن الشخير ، عن عمران بن حصين
Telah
menceritakan kepada kami Ja’far bin Sulaiman Ad Dhuba’iy yang berkata
telah menceritakan kepada kami Yazid Ar Risyk dari Mutharrif bin Abdullah bin
Syikhkhir dari Imran bin Hushain-alhadis- [Musnad Abu Dawud Ath
Thayalisi no 829]
Hadis Imran
bin Hushain ini sanadnya shahih karena para perawinya tsiqat
- Ja’far bin Sulaiman Adh Dhuba’iy adalah seorang yang tsiqat. Ja’far adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, Ibnu Madini dan Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat. Ahmad bin Hanbal berkata “tidak ada masalah padanya”. Abu Ahmad mengatakan kalau Ja’far hadisnya baik, ia memiliki banyak riwayat dan hadisnya hasan [At Tahdzib juz 2 no 145]. Al Ajli menyatakan Ja’far bin Sulaiman tsiqat [Ma’rifat Ats Tsiqat no 221]. Ibnu Syahin juga memasukkannya sebagai perawi tsiqat [Tarikh Asma Ats Tsiqat no 166]. Kelemahan yang dinisbatkan kepada Ja’far adalah ia bertasayyyu’ tetapi telah ma’ruf diketahui bahwa tasyayyu’ Ja’far dikarenakan ia banyak meriwayatkan hadis-hadis keutamaan Ahlul Bait. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq tasyayyu’ [At Taqrib 1/162]. Adz Dzahabi menyatakan Ja’far bin Sulaiman tsiqat [Al Kasyf no 729]
- Yazid Ar Risyk adalah Yazid bin Abi Yazid Adh Dhuba’iy seorang yang tsiqat perawi kutubus sittah. Tirmidzi, Abu Hatim, Abu Zar’ah, Ibnu Hibban dan Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqah. Ahmad bin Hanbal menyatakan ia “shalih al hadis”.[At Tahdzib juz 11 no 616]. Disebutkan kalau Ibnu Ma’in mendhaifkannya tetapi hal ini keliru karena telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih kalau Ibnu Ma’in justru menta’dilkannya. Ibnu Abi Hatim menukil Ad Dawri dari Ibnu Ma’in yang menyatakan Yazid “shalih” dan menukil Abu Bakar bin Abi Khaitsamah dari Ibnu Main yang menyatakan Yazid “laisa bihi ba’sun”. perkataan ini berarti perawi tersebut tsiqah menurut Ibnu Ma’in. [Al Jarh Wat Ta’dil 9/298 no 1268].
- Mutharrif bin Abdullah adalah tabiin tsiqah perawi kutubus sittah. Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqah. Al Ajli mengatakan ia tsiqah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqah. [At Tahdzib juz 10 no 326]. Ibnu Hajar menyatakan Mutharrif bin Abdullah tsiqah [At Taqrib 2/188].
Hadis Imran
bin Hushain di atas jelas sekali diriwayatkan oleh perawi tsiqah dan shahih
sesuai dengan syarat Imam Muslim. Ja’far bin Sulaiman adalah perawi Muslim
dan yang lainnya adalah perawi Bukhari dan Muslim. Ibnu Hajar menyatakan sanad
hadis ini kuat dalam kitabnya Al Ishabah 4/569. Syaikh Al Albani menyatakan
hadis ini shahih [Zhilal Al Jannah Takhrij As Sunnah no 1187]. Syaikh Syu’aib
Al Arnauth menyatakan hadis ini sanadnya kuat [Shahih Ibnu Hibban no 6929].
Syaikh Husain Salim Asad menyatakan hadis ini para perawinya perawi shahih
[Musnad Abu Ya’la no 355]
Selain
riwayat Imran bin Hushain, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Buraidah RA.
Hadis Buraidah disebutkan dalam Musnad Ahmad 5/356 no 22908[tahqiq Ahmad Syakir
dan Hamzah Zain], Sunan Nasa’i 5/132 no 8475, Tarikh Ibnu Asakir 42/189 dengan
jalan sanad yang berujung pada Ajlah Al Kindi dari Abdullah bin Buraidah dari
ayahnya. Berikut sanad riwayat Ahmad
ثنا بن نمير حدثني أجلح الكندي عن عبد الله بن بريدة عن
أبيه بريدة قال
Telah
menceritakan kepada kami Ibnu Numair yang berkata telah menceritakan kepadaku
Ajlah Al Kindi dari Abdullah bin Buraidah dari Ayahnya Buraidah yang
berkata-hadis marfu’-[Musnad Ahmad 5/356 no 22908]
Hadis Buraidah ini sanadnya hasan karena diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah yaitu Ibnu Numair dan Abdullah bin Buraidah dan perawi yang hasan yaitu Ajlah Al Kindi.
Hadis Buraidah ini sanadnya hasan karena diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah yaitu Ibnu Numair dan Abdullah bin Buraidah dan perawi yang hasan yaitu Ajlah Al Kindi.
- Ibnu Numair adalah Abdullah bin Numair Al Hamdani adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqah. Ibnu Ma’in, Ibnu Hibban, Al Ajli dan Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqah. [At Tahdzib juz 6 no 110]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/542]. Adz Dzahabi menyatakan ia hujjah [Al Kasyf no 3024]
- Ajlah Al Kindi adalah seorang yang shaduq. Ibnu Main dan Al Ajli menyatakan ia tsiqat. Amru bin Ali menyatakan ia seorang yang shaduq dan hadisnya lurus. Ibnu Ady berkata “ia memiliki hadis-hadis yang shalih, telah meriwayatkan darinya penduduk kufah dan yang lainnya, tidak memiliki riwayat mungkar baik dari segi sanad maupun matan tetapi dia seorang syiah kufah, disisiku ia seorang yang shaduq dan hadisnya lurus”. Yaqub bin Sufyan menyatakan ia tsiqat tetapi ada kelemahan dalam hadisnya. Diantara yang melemahkannya adalah Ibnu Sa’ad, Abu Hatim, Abu Dawud dan An Nasa’i. [At Tahdzib juz 1 no 353]. Abu Hatim dan An Nasa’i menyatakan ia “tidak kuat” dimana perkataan ini bisa berarti seorang yang hadisnya hasan apalagi dikenal kalau Abu Hatim dan Nasa’i termasuk ulama yang ketat dalam menjarh. Ibnu Sa’ad dan Abu Dawud menyatakan ia dhaif tanpa menyebutkan alasannya sehingga jarhnya adalah jarh mubham. Tentu saja jarh mubham tidak berpengaruh pada mereka yang telah mendapat predikat tsiqat dari ulama yang mu’tabar. Ibnu Hajar menyatakan ia seorang syiah yang shaduq [At Taqrib 1/72]. Adz Dzahabi juga menyatakan Ajlah seorang yang shaduq [Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatstsaq no 13]. Bagi kami ia seorang yang tsiqah atau shaduq, Bukhari telah menyebutkan biografinya tanpa menyebutkan cacatnya [Tarikh Al Kabir juz 2 no 1711]. Hal ini menunjukkan kalau jarh terhadap Ajlah tidaklah benar dan hanya dikarenakan sikap tasyayyu’ yang ada padanya.
- Abdullah bin Buraidah adalah seorang tabiin yang tsiqah. Ibnu Ma’in, Al Ajli dan Abu Hatim menyatakan ia tsiqat. Ibnu Kharasy menyatakan ia shaduq [At Tahdzib juz 5 no 270]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/480] dan Adz Dzahabi juga menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 2644].
Sudah jelas
hadis Buraidah ini adalah hadis hasan yang naik derajatnya menjadi
shahih dengan penguat hadis-hadis yang lain. Syaikh Al Albani menyatakan
bahwa hadis Buraidah ini sanadnya jayyid [Zhilal Al Jannah Takhrij As Sunnah no
1187].
Selain Imran
bin Hushain dan Buraidah, hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dengan
sanad yang shahih. Riwayat Ibnu Abbas disebutkan dalam Musnad Abu Dawud Ath
Thayalisi 1/360 no 2752, Tarikh Ibnu Asakir 42/199, dan Tarikh Ibnu Asakir
42/201, Musnad Ahmad 1/330 no 3062, Al Mustadrak 3/143 no 4652, As Sunnah Ibnu
Abi Ashim no 1188, dan Mu’jam Al Kabir 12/77. Berikut sanad riwayat Abu Dawud
حدثنا أبو عوانة عن أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن بن عباس
ان رسول الله صلى الله عليه و سلم
Telah
menceritakan kepada kami Abu Awanah dari Abi Balj dari Amru bin Maimun dari
Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda [Musnad Abu Dawud Ath
Thayalisi no 2752]
Hadis Ibnu
Abbas ini sanadnya shahih dan diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat.
- Abu Awanah adalah Wadhdhah bin Abdullah Al Yasykuri seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat. Abu Hatim, Abu Zar’ah, Ahmad, Ibnu Sa’ad, Ibnu Abdil Barr menyatakan ia tsiqat. [At Tahdzib juz 11 no 204]. Al Ajli menyatakan ia tsiqah [Ma’rifat Ats Tsiqat no 1937].Ibnu Hajar menyatakan Abu Awanah tsiqat tsabit [At Taqrib 2/283] dan Adz Dzahabi juga menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 6049].
- Abu Balj adalah Yahya bin Sulaim seorang perawi Ashabus Sunan yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, Nasa’i dan Daruquthni menyatakan ia tsiqat. Abu Fath Al Azdi menyatakan ia tsiqat. Abu Hatim berkata “shalih laba’sa bihi”. Yaqub bin Sufyan berkata “tidak ada masalah padanya”. Al Bukhari berkata “fihi nazhar” atau perlu diteliti lagi hadisnya. [At Tahdzib juz 12 no 184]. Perkataan Bukhari ini tidaklah tsabit karena ia sendiri telah menuliskan biografi Abu Balj tanpa menyebutkan cacatnya bahkan dia menegaskan kalau Syu’bah meriwayatkan dari Abu Balj [Tarikh Al Kabir juz 8 no 2996]. Hal ini berarti Syu’bah menyatakan Abu Balj tsiqat karena ia tidak meriwayatkan kecuali dari perawi yang tsiqat. Ibnu Abdil Barr dan Ibnu Jauzi menyatakan bahwa Ibnu Main mendhaifkan Abu Balj [At Tahdzib juz 12 no 184]. Tentu saja perkataan ini tidak benar karena telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ishaq bin Mansur kalau Ibnu Ma’in justru menyatakan Abu Balj tsiqat [Al Jarh Wat Ta’dil 9/153 no 634]. Kesimpulannya pendapat yang rajih adalah ia seorang yang tsiqat.
- Amru bin Maimun adalah perawi kutubus sittah yang tsiqah. Al Ajli, Ibnu Ma’in, An Nasa’i dan Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 8 no 181]. Ibnu Hajar menyatakan Amru bin Maimun tsiqat [At Taqrib 1/747].
Hadis Ibnu
Abbas ini adalah hadis yang shahih dan merupakan sanad yang paling baik
dalam perkara ini. Hadis ini juga menjadi bukti bahwa tasyayyu’ atau
tidaknya seorang perawi tidak membuat suatu hadis lantas menjadi cacat karena
sanad Ibnu Abbas ini termasuk sanad yang bebas dari perawi tasyayyu’. Hadis
Ibnu Abbas ini telah dishahihkan oleh Al Hakim, Adz Dzahabi [Talkhis Al
Mustadrak no 4652] dan Syaikh Ahmad Syakir [Musnad Ahmad no 3062].
Hadis dengan
jalan yang terakhir adalah riwayat Wahab bin Hamzah. Diriwayatkan dalam Mu’jam
Al Kabir Ath Thabrani 22/135, Tarikh Ibnu Asakir 42/199 dan Al Bidayah Wan
Nihayah 7/381. Berikut jalan sanad yang disebutkan Ath Thabrani
حدثنا أحمد بن عمرو البزار وأحمد بن زهير التستري قالا
ثنا محمد بن عثمان بن كرامة ثنا عبيد الله بن موسى ثنا يوسف بن صهيب عن دكين عن
وهب بن حمزة قال
Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Amru Al Bazzar dan Ahmad bin Zuhair Al
Tusturi yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Utsman bin Karamah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin
Musa yang berkata telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Shuhaib dari Dukain
dari Wahab bin Hamzah yang berkata [Mu’jam Al Kabir 22/135]
Hadis ini
diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Dukain, ia seorang tabiin yang
tidak mendapat predikat ta’dil dan tidak pula dicacatkan oleh para ulama.
- Ahmad bin Amru Al Bazzar adalah penulis Musnad yang dikenal tsiqah, ia telah dinyatakan tsiqah oleh Al Khatib dan Daruquthni, Ibnu Qattan berkata “ia seorang yang hafizh dalam hadis [Lisan Al Mizan juz 1 no 750]
- Ahmad bin Zuhair Al Tusturi adalah Ahmad bin Yahya bin Zuhair, Abu Ja’far Al Tusturi. Adz Dzahabi menyebutnya Al Imam Al Hujjah Al Muhaddis, Syaikh Islam. [As Siyar 14/362]. Dalam Kitab Tarajum Syuyukh Thabrani no 246 ia disebut sebagai seorang Hafizh yang tsiqat.
- Muhammad bin Ustman bin Karamah seorang perawi yang tsiqat. Abu Hatim berkata “shaduq”. Maslamah dan Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat. Muhammad bin Abdullah bin Sulaiman dan Daud bin Yahya berkata “ia shaduq”. [At Tahdzib juz 9 no 563]. Ibnu Hajar menyatakan Muhammad bin Utsman bin Karamah tsiqat [At Taqrib 2/112]
- Ubaidillah bin Musa adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqah. Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Ibnu Hibban, Al Ajli, Ibnu Syahin, Utsman bin Abi Syaibah dan Ibnu Ady menyatakan ia tsiqah.[At Tahdzib juz 7 no 97]. Ibnu Hajar menyatakan Ubaidillah tsiqat tasyayyu’ [At Taqrib 1/640]. Adz Dzahabi juga menyatakan ia tsiqah [Al Kasyf no 3593].
- Yusuf bin Shuhaib adalah seorang perawi tsiqat. Ibnu Ma’in, Abu Dawud, Ibnu Hibban, Utsman bin Abi Syaibah, Abu Nu’aim menyatakan ia tsiqat. Abu Hatim dan An Nasa’i berkata ‘tidak ada masalah padanya”. [At Tahdzib juz 11 no 710]. Ibnu Hajar menyatakan Yusuf bin Shubaih tsiqat [At Taqrib 2/344] dan Adz Dzahabi juga menyatakan Yusuf tsiqat [Al Kasyf no 6437]
- Dukain adalah seorang tabiin. Hanya Ibnu Abi Hatim yang menyebutkan biografinya dalam Al Jarh Wat Ta’dil dan mengatakan kalau ia meriwayatkan hadis dari Wahab bin Hamzah dan telah meriwayatkan darinya Yusuf bin Shuhaib tanpa menyebutkan jarh maupun ta’dil terhadapnya. [Al Jarh Wat Ta’dil 3/439 no 1955]. Dukain seorang tabiin yang meriwayatkan hadis dari Wahab bin Hamzah dan sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Sakan kalau Wahab bin Hamzah adalah seorang sahabat Nabi [Al Ishabah 6/623 no 9123]
Hadis Wahab
bin Hamzah ini dapat dijadikan syawahid dan kedudukannya hasan dengan
penguat dari hadis-hadis lain. Al Haitsami berkata mengenai hadis Wahab
ini “Hadis riwayat Thabrani dan di dalamnya terdapat Dukain yang
disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim, tidak ada ulama yang mendhaifkannya dan sisanya
adalah perawi yang dipercaya “ [Majma’ Az Zawaid 9/109].
.
.
Ibnu
Taimiyyah Mendustakan Hadis Shahih
Jika kita
mengumpulkan semua hadis tersebut maka didapatkan
- Hadis Imran bin Hushain adalah hadis shahih [riwayat Ja’far bin Sulaiman]
- Hadis Buraidah adalah hadis hasan [riwayatAjlah Al Kindi]
- Hadis Ibnu Abbas adalah hadis shahih [riwayat Abu Balj]
- Hadis Wahab bin Hamzah adalah hadis hasan [riwayat Dukain]
Tentu saja
dengan mengumpulkan sanad-sanad hadis ini maka tidak diragukan lagi kalau hadis
ini adalah hadis yang shahih. Dan dengan fakta ini ada baiknya kita melihat apa
yang dikatakan Ibnu Taimiyyah tentang hadis ini, ia berkata
” أنت ولي كل مؤمن بعدي ” فهذا موضوع باتفاق أهل المعرفة
بالحديث
“kamu adalah
pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggalKu” ini adalah maudhu’ (palsu) menurut
kesepakatan ahli hadis [Minhaj As Sunnah 5/35]
قوله : هو ولي كل مؤمن بعدي كذب على رسول الله صلى الله
عليه وسلم
Perkataannya
; “Ia pemimpin setiap mukmin sepeninggalku” adalah dusta atas Rasulullah
SAW [Minhaj As Sunnah 7/278]
Cukuplah
kiranya pembaca melihat dengan jelas siapa yang sebenarnya sedang berdusta atau
sedang mendustakan hadis shahih hanya karena hadis tersebut dijadikan hujjah
oleh orang syiah. Penyakit seperti ini yang dari dulu kami sebut sebagai
“Syiahpobhia”.
.
.
Singkat
Tentang Matan Hadis
Setelah
membicarakan hadis ini ada baiknya kami membicarakan secara singkat mengenai
matan hadis tersebut. Salafy nashibi biasanya akan berkelit dan berdalih kalau
hadis tersebut tidak menggunakan lafaz khalifah tetapi lafaz waliy dan ini
bermakna bukan sebagai pemimpin atau khalifah. Kami tidak perlu berkomentar
banyak mengenai dalih ini, cukuplah kiranya kami bawakan dalil shahih kalau
kata Waliy sering digunakan untuk menunjukkan kepemimpinan atau khalifah
Diriwayatkan
oleh Ibnu Katsir [dan beliau menshahihkannya] dalam Al Bidayah wan Nihayah
bahwa ketika Abu Bakar dipilih sebagai khalifah, ia berkhutbah
قال أما بعد أيها الناس فأني قد وليت عليكم ولست بخيركم
Ia berkata
“Amma ba’du, wahai manusia sekalian sesungguhnya aku telah dipilih menjadi
pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik diantara kalian. [Al
Bidayah wan Nihayah 5/269]
Diriwayatkan
pula oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad bin Hanbal bahwa Jabir bin
Abdullah RA menyebutkan kepemimpinan Umar dengan kata Waliy
ثنا بهز قال وثنا عفان قالا ثنا همام ثنا قتادة عن عن
أبي نضرة قال قلت لجابر بن عبد الله ان بن الزبير رضي الله عنه ينهى عن المتعة وان
بن عباس يأمر بها قال فقال لي على يدي جرى الحديث تمتعنا مع رسول الله صلى الله
عليه و سلم قال عفان ومع أبي بكر فلما ولي عمر رضي الله عنه خطب الناس فقال ان
القرآن هو القرآن وان رسول الله صلى الله عليه و سلم هو الرسول وأنهما كانتا
متعتان على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم إحداهما متعة الحج والأخرى متعة
النساء
Telah
menceritakan kepada kami Bahz dan telah menceritakan kepada kami Affan ,
keduanya [Bahz dan Affan] berkata telah menceritakan kepada kami Hamam yang
berkata telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Abi Nadhrah yang
berkata “aku berkata kepada Jabir bin Abdullah RA ‘sesungguhnya Ibnu Zubair
telah melarang mut’ah dan Ibnu Abbas memerintahkannya’. Abu Nadhrah berkata
‘Jabir kemudian berkata kepadaku ‘kami pernah bermut’ah bersama Rasulullah’. [Affan
berkata] “ dan bersama Abu Bakar. Ketika Umar menjadi pemimpin orang-orang, dia
berkata ‘sesungguhnya Al Qur’an adalah Al Qur’an dan Rasulullah SAW adalah
Rasul dan sesungguhnya ada dua mut’ah pada masa Rasulullah SAW, salah satunya
adalah mut’ah haji dan yang satunya adalah mut’ah wanita’. [Musnad
Ahmad 1/52 no 369 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh Ahmad
Syakir]
Kedua riwayat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa kata Waliy digunakan untuk menyatakan kepemimpinan para Khalifah seperti Abu Bakar dan Umar. Oleh karena itu tidak diragukan lagi bahwa hadis di atas bermakna Imam Ali adalah Pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggal Nabi SAW
Kedua riwayat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa kata Waliy digunakan untuk menyatakan kepemimpinan para Khalifah seperti Abu Bakar dan Umar. Oleh karena itu tidak diragukan lagi bahwa hadis di atas bermakna Imam Ali adalah Pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggal Nabi SAW
.
Ayat Al
Wilayah
“Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat, seraya mereka ruku’ (kepada Allah)” (Q.S.Al-Ma’idah ayat 55)
Ayat ini dikatakan oleh Ulama Syiah sebagai ayat yang turun kepada Imam Ali, mereka berkata “Orang-orang yang beriman yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat, seraya ruku” berkenaan kepada Ali yang ketika itu memberikan cincinnya kepada peminta-minta ketika beliau dalam posisi ruku’ dalam sholat.
“Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat, seraya mereka ruku’ (kepada Allah)” (Q.S.Al-Ma’idah ayat 55)
Ayat ini dikatakan oleh Ulama Syiah sebagai ayat yang turun kepada Imam Ali, mereka berkata “Orang-orang yang beriman yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat, seraya ruku” berkenaan kepada Ali yang ketika itu memberikan cincinnya kepada peminta-minta ketika beliau dalam posisi ruku’ dalam sholat.
Dan
sepertinya sang penulis(saudara Ja’far) menunjukkan keraguannya tentang hal
ini. Beliau berkata
Hadis-hadis
tentang asbabun nuzul ayat ini adalah hadis-hadis yang periwayatnya
diperselihkan atau bahkan mungkin hadis dhaif/maudhu’.
Pernyataan
ini adalah tidak benar, hadis yang menerangkan asbabun nuzul ayat ini memiliki
banyak sanad yang diriwayatkan dalam berbagai kitab Ahlus Sunnah, sebagian
hadisnya memang diperselisihkan perawinya dan dhaif tetapi sebagian lagi ada
yang shahih. Oleh karena itu hadis-hadis tersebut satu sama lainnya saling
menguatkan.
Dalam
kitab Lubab Al Nuqul fi Asbabun Nuzul Jalaludin As Suyuthi
hal. 93 beliau menjabarkan jalur-jalur dari hadis asbabun nuzul ayat ini,
kemudian ia berkata ” Dan ini adalah bukti-bukti yang saling
mendukung”. Atau dapat dilihat dalam Edisi terjemahannya dari Kitab As
Suyuthi oleh A Mudjab Mahali dalam Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al
Quran hal 326 menguatkan asbabun nuzul ayat ini untuk Imam Ali. Beliau
membawakan hadis At Thabrani dalam Al Awsath dan mengkritiknya
karena terdapat perawi yang majhul dalam sanadnya tetapi kemudian beliau
melanjutkan keterangannya ”Sekalipun hadis ini ada rawi yang
majhul(tidak dikenal) tetapi mempunyai beberapa hadis penguat di antaranya
hadis yang diriwayatkan oleh Abdurrazaq dari Abdil Wahab bin Mujahid dari
Ayahnya dari Ibnu Abbas. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawih dari Ibnu
Abbas dan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Mujahid dan Ibnu Abi
Hatim dari Salamah bin Kuhail. Hadis ini satu sama lainnya saling kuat
menguatkan”.
Pernyataan
Ulama Syiah bahwa mayoritas ahli hadis dan ahli tafsir menyatakan bahwa ayat
ini turun untuk Imam Ali, sebenarnya juga dinyatakan oleh Ulama Sunni At
Taftazani Asy Syafii dalam Syarh Al Maqashid, Al Jurjani
dalam Syarh Al Mawaqif dan Al Qausyaji dalam Syarh
Tajrid. Bahkan Al Alusi dalam Ruh Al Ma’ani jilid 6 hal
167 mengatakan bahwa turunnya ayat tersebut untuk Imam Ali ra adalah pendapat
kebanyakan Ahli hadis.
Saya ingin
sekali meminta kepada penulis tersebut siapa yang menyatakan hadis asbabun
nuzul ayat ini untuk Imam Ali adalah dhaif atau maudhu’ setelah menganalisis
semua jalur sanadnya. Sekedar pernyataan dari Ali As Salus dalam Imamah
dan Khilafah atau Ibnu Taimiyyah dalam Minhaj As Sunnahjelas
tidak kuat. Alasannya karena mereka yang saya sebutkan itu tidak menganalisis
semua jalur sanad hadis asbabun nuzul ayat Al Wilayah. Mereka hanya mencacat
sebagian hadisnya, seperti Ali As Salus yang hanya membahas hadis ini
dalam Tafsir Ath Thabari kemudian langsung memutuskan bahwa
riwayat tersebut dhaif tanpa melihat banyak sanad lainnya dari kitab lain.
Apalagi Ibnu Taimiyyah yang melakukan banyak kekeliruan dalam Minhaj As
Sunnah antara lain beliau mengatakan bahwa hadis asbabun nuzul ayat
ini tidak ditemukan dalam Tafsir Ath Thabari dan Tafsir
Al Baghawi padahal kenyataannya kedua kitab tafsir itu memuat hadis
yang kita bicarakan ini.
Kemudian
sang penulis(Ja’far) juga menyatakan keraguan bahwa Ayat Al Wilayah ini turun
untuk Imam Ali, beliau berkata
Dalam ayat
tsb sangat jelas bahwa “orang-orang yang beriman…” adalah jamak, maka bagaimana
mungkin ayat itu menunjuk kepada satu orang yaitu Ali bin Abi Thalib r.a.
Disini letak
kekeliruan sang penulis dimana beliau telah menempatkan subjektivitasnya dalam
menilai suatu nash. Ulama Syiah Syaikh Al Musawi dalam Al Muraja’at telah
menyatakan bahwa memang ada ayat Al Quran yang kata-katanya jamak tetapi
ditujukan untuk orang tertentu. Saya tidak akan menukil pernyataan Syaikh Al
Musawi cukuplah kiranya saya menukil pernyataan penulis sendiri dalam
pembahasan Ayat Al Mubahalah
“Siapa yang
membantahmu tentang kisah ‘Isa sesudah datang ilmu , maka katakanlah : “Marilah
kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan
isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah
kepada Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepada orang-orang
yang dusta.” (Q.S.Ali Imran : 61).
Tentang ayat
ini penulis(saudara Ja’far) berkata
Kebanyakan
ahli Tafsir menyatakan Asbabun nuzul ayat ini berkenaan dengan Rasulullah SAW
yang bermuhabalah dengan ahlul kitab nasrani. Kemudian Rasulullah mengajak
Hasan, Husen, Fatimah dan Ali dalam bermuhabalah dengan orang Nasrani tsb.
‘Anak-anak kami’ mengacu kepada Hasan dan Husein, ‘Isteri-isteri kami’
mengacu kepada Fatimah Az-Zahra, dan ‘diri kami’ mengacu kepada Ali
bin Abi Thalib.
Pernyataan
An Nisaana yang diterjemahkan istri-istri kami atau perempuan perempuan kami
adalah bersifat jamak, lalu mengapa hanya mengacu pada Sayyidah Fatimah Az
Zahra saja.(perlu diingatkan bahwa dalam Shahih Muslim jelas
bahwa hanya Sayyidah Fatimah Az Zahra as satu-satunya wanita yang diseru Nabi
SAW untuk menyertai Beliau SAW bermubahalah). Jadi kalau pernyataan tentang
ayat mubahalah ini diterima lantas mengapa mempermasalahkan Ayat Al Wilayah.
Selanjutnya saudara Ja’far menuliskan Syi’ah mengatakan bahwa penggunaan kata
Selanjutnya saudara Ja’far menuliskan Syi’ah mengatakan bahwa penggunaan kata
“orang-orang
yang beriman..dst” padahal ayat tersebut berkenaan dengan Ali dimaksudkan agar
perbuatan Ali yang sangat peduli dan tidak menunda-nunda membantu orang miskin
padahal ia (Ali) lagi sholat dicontoh oleh umat islam.
Jawabanku; Bagaimana mungkin Allah menjadikan perbuatan memberikan zakat/sedekah ketika sholat sebagai teladan yang ‘terukir’ dalam Qur’an padahal Sholat membutuhkan konsentrasi yang penuh?.
Jawabanku; Bagaimana mungkin Allah menjadikan perbuatan memberikan zakat/sedekah ketika sholat sebagai teladan yang ‘terukir’ dalam Qur’an padahal Sholat membutuhkan konsentrasi yang penuh?.
Pernyataan
seperti dimaksudkan agar perbuatan Ali yang sangat peduli dan tidak
menunda-nunda membantu orang miskin padahal ia (Ali) lagi sholat dicontoh oleh
umat islam, sebenarnya juga dikemukakan oleh Ulama Sunni Az
Zamakhsyari dalam Tafsir Al Kasyaf ketika membahas ayat Al
Wilayah. Yang ingin penulis(saudara Ja’far) sampaikan adalah bagaimana mungkin
bisa dibolehkan dalam shalat padahal shalat membutuhkan konsentrasi penuh.
Sebelum menjawab penulis maka marilah kita perhatikan hadis-hadis ini.
“Bunuhlah kedua binatang yang hitam itu sekalipun dalam (keadaan) shalat, yaitu ular dan kalajengking.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi dan lainnya, shahih)
“Apabila salah seorang di antara kamu shalat meng-hadap ke arah sesuatu yang menjadi pembatas baginya dari manusia, kemudian ada yang mau melintas di hadapannya, maka hendaklah dia mendorongnya dan jika dia memaksa maka perangilah (cegahlah dengan keras). Sesungguhnya (perbuatannya) itu adalah (atas dorongan) syaitan.” (Muttafaq ‘alaih)
“Bunuhlah kedua binatang yang hitam itu sekalipun dalam (keadaan) shalat, yaitu ular dan kalajengking.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi dan lainnya, shahih)
“Apabila salah seorang di antara kamu shalat meng-hadap ke arah sesuatu yang menjadi pembatas baginya dari manusia, kemudian ada yang mau melintas di hadapannya, maka hendaklah dia mendorongnya dan jika dia memaksa maka perangilah (cegahlah dengan keras). Sesungguhnya (perbuatannya) itu adalah (atas dorongan) syaitan.” (Muttafaq ‘alaih)
“Dari Jabir
bin Abdullah , ia berkata, ‘Telah mengutus-ku Rasulullah Shallallaahu alaihi
wasallam sedang beliau pergi ke Bani Musthaliq. Kemudian beliau saya temui
sedang shalat di atas onta-nya, maka saya pun berbicara kepadanya. Kemudian
beliau memberi isyarat dengan tangannya. Saya ber-bicara lagi kepada beliau,
kemudian beliau kembali memberi isyarat sedang saya mendengar beliau membaca
sambil memberi isyarat dengan kepalanya. Ketika beliau selesai dari shalatnya
beliau bersabda, ‘Apa yang kamu kerjakan dengan perintahku tadi? Sebenarnya
tidak ada yang menghalangiku untuk bicara kecuali karena aku dalam keadaan
shalat’.” (HR. Muslim)
Dari Ibnu
Umar, dari Shuhaib , ia berkata: “Aku telah melewati Rasulullah Shallallaahu
alaihi wasallam ketika beliau sedang shalat, maka aku beri salam kepadanya,
beliau pun membalasnya dengan isyarat.” Berkata Ibnu Umar: “Aku tidak tahu terkecuali
ia (Shuhaib) berkata dengan isyarat jari-jarinya.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi,
An-Nasai, dan selain mereka, hadits shahih)
“Dari Abu
Qatadah Al-Anshari berkata, ‘Aku melihat Nabi Shallallaahu alaihi wasallam
mengimami shalat sedangkan Umamah binti Abi Al-’Ash, yaitu anak Zainab putri
Nabi Shallallaahu alaihi wasallam berada di pundak beliau. Apabila beliau
ruku’, beliau meletak-kannya dan apabila beliau bangkit dari sujudnya beliau
kembalikan lagi Umamah itu ke pundak beliau.” (HR. Muslim)
“Dari Aisyah
radhialaahu anha, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam sedang
shalat di dalam rumah, sedangkan pintu tertutup, kemudian aku datang dan minta
dibukakan pintu, beliau pun berjalan menuju pintu dan membukakannya untukku,
kemudian beliau kembali ke tempat shalatnya. Dan terbayang bagiku bahwa pintu
itu menghadap kiblat.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi dan lainnya, hadits
hasan)
“Dari Ibnu Abbas , ia berkata, ‘Aku pernah menginap di (rumah) bibiku, Maimunah, tiba-tiba Nabi Shallallaahu alaihi wasallam bangun di waktu malam mendirikan shalat, maka aku pun ikut bangun, lalu aku ikut shalat bersama Nabi Shallallaahu alaihi wasallam, aku berdiri di samping kiri beliau, lalu beliau menarik kepalaku dan menempatkanku di sebelah kanannya.” (Muttafaq ‘alaih)
“Dari Ibnu Abbas , ia berkata, ‘Aku pernah menginap di (rumah) bibiku, Maimunah, tiba-tiba Nabi Shallallaahu alaihi wasallam bangun di waktu malam mendirikan shalat, maka aku pun ikut bangun, lalu aku ikut shalat bersama Nabi Shallallaahu alaihi wasallam, aku berdiri di samping kiri beliau, lalu beliau menarik kepalaku dan menempatkanku di sebelah kanannya.” (Muttafaq ‘alaih)
Seandainya
kita memakai logika yang dipakai oleh saudara penulis itu maka kita akan
mengatakan maka Bagaimana mungkin membunuh ular atau kalajengking, menghadang
orang yang lewat, memberi isyarat kepada orang yang berbicara atau memberi
salam, menggendong anak, membukakan pintu dan menarik tubuh orang ketika shalat
menjadi teladan karena bukankah shalat membutuhkan konsentrasi penuh. Lantas
apakah hadis-hadis itu mesti ditolak?.
Mari kita
lanjutkan tulisan Beliau
Memang
sangat bagus untuk tidak menunda-nunda membantu orang miskin yang butuh kepada
kita tetapi sholat tidaklah memakan waktu yang lama, bukankah lebih baik jika
orang miskin tsb meminta setelah sholat usai? atau jika dilihat dari sudut
pandang orang miskin tsb, maka Al-Qur’an membolehkan/tidak menegur orang miskin
meminta sedekah kepada orang yang lagi sholat padahal menurut saya (dan semua
orang) perbuatan orang miskin tsb kurang beradab.
Apakah benar
perbuatan orang miskin tersebut kurang beradab? Saya heran apakah penulis
membaca sendiri hadis tentang ayat Al Wilayah ini. Bukankah pada hadis itu
dijelaskan bahwa awalnya pengemis itu meminta-minta di masjid kepada beberapa
orang di masjid(yang sedang tidak shalat) tetapi tidak ada satupun yang
memberi. Ketika itu Imam Ali sedang shalat kemudian Beliau memberi isyarat
kepada pengemis dengan jarinya yang bercincin dan pengemis itu mendekat
kemudian pengemis itu mengambil cincin tersebut.
Tentu saja
tidak ada yang mengatakan kalau pengemis itu langsung meminta kepada orang yang
shalat. Pengemis itu mendekat ketika Imam Ali sendiri berisyarat. Bukankah
memberi isyarat dalam shalat adalah hal yang dibolehkan. Seandainya juga
pengemis itu langsung meminta kepada Imam Ali yang ketika itu sedang shalat
apakah lantas dikatakan tidak beradab lalu bagaimana dengan Jabir bin Abdullah
yang berbicara dua kali kepada Nabi SAW yang ketika itu sedang shalat atau Ibnu
Umar yang memberi salam kepada Nabi SAW ketika Beliau SAW sedang shalat. Apakah
Nabi SAW selanjutnya melarang mereka Jabir bin Abdullah dan Ibnu Umar? Tidak
kok(lihat saja hadis yang saya kutip di atas). Yang perlu ditambahkan adalah
Ayat Al Wilayah ini juga dimasukkan oleh ahli tafsir Sunni Abu Bakar Al
Jashshash dalam kitabnya Tafsir Ahkam Al Quran sebagai dasar
bahwa sedikit gerakan dalam shalat tidak membatalkan shalat dan sedekah sunah
dapat dinamai zakat.
Kata-kata
beliau
Syi’ah juga
menyebutkan bahwa bersedekah ketika ruku’ dalam sholat itu tidak mengurangi
posisi Amirul Mukminin (Ali), bahkan tindakan itu diikuti para imam sesudahnya.
Sebenarnya
tidak ada masalah dengan kata-kata ini tetapi penulis menanggapi dengan
Di sini
timbul pertanyaan, “Jika tindakan ini merupakan cermin keutamaan penghulu para
Imam (Ali r.a) yang diikuti oleh para imam, lalu mengapa tindakan ini tidak
dilakukan oleh manusia terbaik, Nabi Muhammad SAW? Juga tidak dilakukan oleh
para sahabat yang lain?
Jawab saya:
apakah setiap keutamaan seseorang itu harus diikuti oleh orang lain, bukankah
setiap orang memiliki keutamaan masing-masing. Apakah seandainya suatu keutamaan
tidak diikuti oleh beberapa orang maka gugurlah keutamaan itu?. Bukankah banyak
keutamaan Imam Ali yang tidak dimiliki oleh sahabat yang lain.
Mengenai
tafsir Al Maidah ayat 55 yang beliau jelaskan adalah penafsiran yang
menyesuaikan dengan urutan ayat. Tafsir yang beliau kemukakan itu sama dengan
tafsir ayat tersebut dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir. Pendapat
saya tentang tafsir ini boleh-boleh saja. Tidak ada masalah, justru yang jadi
masalah jika kita mengabaikan banyak hadis yang menjelaskan asbabun nuzul ayat
ini.
.
Hadis Al
Ghadir
Sebelumnya saya telah mengatakan bahwa hadis al Ghadir adalah mutawatir, pernyataan ini adalah benar dan diakui oleh ulama Sunni yang telah membuat kitab khusus tentang riwayat-riwayat hadis Al Ghadir diantaranya
Sebelumnya saya telah mengatakan bahwa hadis al Ghadir adalah mutawatir, pernyataan ini adalah benar dan diakui oleh ulama Sunni yang telah membuat kitab khusus tentang riwayat-riwayat hadis Al Ghadir diantaranya
• Ibnu Jarir
Ath Thabari dalam kitabnya Al Wilayah Fi Thuruq Al Ghadir
• Ibnu Uqdah dalam kitabnya Al Wilayah Fi Thuruq Hadits Al Ghadir
• Abu Bakar Al Ja’abi dalam kitabnya Man Rawa Hadits Ghadir Kum
• Abu Sa’id As Sijistani dalam kitabnya Ad Dirayah Fi Hadits Al Wilayah
• Ibnu Uqdah dalam kitabnya Al Wilayah Fi Thuruq Hadits Al Ghadir
• Abu Bakar Al Ja’abi dalam kitabnya Man Rawa Hadits Ghadir Kum
• Abu Sa’id As Sijistani dalam kitabnya Ad Dirayah Fi Hadits Al Wilayah
Walaupun
begitu perlu diperhatikan mutawatir disini adalah mutawatir ma’nawi Artinya
hadis-hadis tersebut memiliki matan yang bermacam-macam dan dapat dikelompokkan
menjadi
• Matan yang
Mutawatir, Artinya matan ini ada dalam setiap hadis Al Ghadir apapun sanadnya,
matan itu adalah perkataan Rasulullah SAW di Ghadir Kum “barang siapa
menganggap Aku Maulanya maka Ali adalah Maulanya”. Oleh karenanya
perkataan ini bisa dikatakan bersifat pasti kebenarannya karena sanadnya
mutawatir.
• Matan yang shahih, artinya matan ini diriwayatkan dalam hadis-hadis Al Ghadir tetapi tidak semua hadis Al Ghadir meriwayatkan matan ini. Adapun hadis yang mengandung matan ini sanadnya shahih. Yaitu antara lain matan yang mengandung perkataan Rasulullah SAW bahwa Sebentar lagi Rasulullah SAW akan dipanggil ke hadirat Allah SWT. Atau matan yang mengandung perkataan Rasulullah SAW kepada umatnya untuk berpegang kepada dua hal Kitab Allah dan Ahlul BaitKu, matan yang mengandung peristiwa kesaksian di Rahbah oleh beberapa sahabat terhadap Imam Ali, matan yang mengandung perkataan Rasulullah SAW ”bukankah Kalian telah mengetahui bahwa sesungguhnya Aku lebih berhak atas orang-orang mukmin dari pada diri mereka sendiri?” dan Matan yang mengandung ucapan selamat Umar kepada Ali(matan selamat ini diriwayatkan dalam Musnad Ahmad 4 hal 281 dalam sanadnya terdapat Zaid bin Hasan Al Anmathi, tentang beliau Abu Hatim berkata hadisnya mungkar tapi Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat, Syaikh Al Albani telah menshahihkan hadis dalam Sunan Tirmidzi no3 786 dan dalam sanadnya ada Zaid bin Hasan, oleh karena itu saya menyimpulkan bahwa hadis dalam Musnad Ahmad itu shahih.)
• Matan yang diperselisihkan sanadnya atau dhaif(menurut Ulama Sunni), artinya matan ini diriwayatkan dalam hadis Al Ghadir dimana sanad hadisnya adalah dhaif di sisi Ulama Sunni. Yaitu matan hadis Al Ghadir yang mengandung Ayat Tabligh Al Maidah 67 dan Al Maidah ayat 3.
• Matan yang shahih, artinya matan ini diriwayatkan dalam hadis-hadis Al Ghadir tetapi tidak semua hadis Al Ghadir meriwayatkan matan ini. Adapun hadis yang mengandung matan ini sanadnya shahih. Yaitu antara lain matan yang mengandung perkataan Rasulullah SAW bahwa Sebentar lagi Rasulullah SAW akan dipanggil ke hadirat Allah SWT. Atau matan yang mengandung perkataan Rasulullah SAW kepada umatnya untuk berpegang kepada dua hal Kitab Allah dan Ahlul BaitKu, matan yang mengandung peristiwa kesaksian di Rahbah oleh beberapa sahabat terhadap Imam Ali, matan yang mengandung perkataan Rasulullah SAW ”bukankah Kalian telah mengetahui bahwa sesungguhnya Aku lebih berhak atas orang-orang mukmin dari pada diri mereka sendiri?” dan Matan yang mengandung ucapan selamat Umar kepada Ali(matan selamat ini diriwayatkan dalam Musnad Ahmad 4 hal 281 dalam sanadnya terdapat Zaid bin Hasan Al Anmathi, tentang beliau Abu Hatim berkata hadisnya mungkar tapi Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat, Syaikh Al Albani telah menshahihkan hadis dalam Sunan Tirmidzi no3 786 dan dalam sanadnya ada Zaid bin Hasan, oleh karena itu saya menyimpulkan bahwa hadis dalam Musnad Ahmad itu shahih.)
• Matan yang diperselisihkan sanadnya atau dhaif(menurut Ulama Sunni), artinya matan ini diriwayatkan dalam hadis Al Ghadir dimana sanad hadisnya adalah dhaif di sisi Ulama Sunni. Yaitu matan hadis Al Ghadir yang mengandung Ayat Tabligh Al Maidah 67 dan Al Maidah ayat 3.
Mari kita
lihat kembali pernyataan penulis(Ja’far) seputar hadis Al Ghadir, beliau mengutip
pernyataan Al Alusi
Adapun pada
saat khutbah Rasulullah sepulang dari haji wada’ tersebut tidak didapati hadis
yang shahih mengenai pengangkatan Ali sebagai khalifah / pemimpin /
menjadikannya maula. Al-Alusi berkata, “Riwayat-riwayat tentang Ghadir Khum –
yang di dalamnya terdapat perintah kepada Nabi SAW untuk mengangkat Ali sebagai
khalifah – tidak shahih dan sama sekali tidak diterima oleh AhluSunnah” (Tafsir
Al-Alusi).
Jika yang
dimaksudkan adalah hadis dengan perkataan maula itu, maka dalam hal ini Al
Alusi keliru karena pengangkatan Ali sebagai maula di Ghadir Kum telah
dishahihkan banyak ulama Ahlus Sunnah seperti At Tirmidzi dalam Sunan
Tirmidzi, Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah, Al Hakim
dalam Al Mustadrak dan Adz Dzahabi dalam Talkhis Al
Mustadrak. Tentu Ulama syiah menafsirkan maula sebagai pemimpin,
sedangkan ulama sunni menafsirkan maula sebagai sahabat atau yang dicintai.
Tetapi jika
yang dimaksudkan adalah hadis dengan turunnya Al Maidah ayat 67 dan Al Maidah
ayat 3 maka saya sependapat. Karena hadis tentang itu terdapat keraguan pada
sanadnya dan saya setuju dengan pernyataan penulis bahwa Al Maidah ayat 3
berdasarkan dalil shahih disisi Sunni turun di arafah.
Penulis(Ja’far)
mengkritik hadis Al Ghadir yang mengandung matan maula dengan berkata
Masih ada
beberapa hadis lain yang serupa dua hadis diatas dalam Musnad Imam Ahmad.
Kata-kata ‘Man kuntu MAULAH fa’aliyyun maulah’ (Siapa yang aku sebagai
PEMIMPINNYA maka Ali sebagai PEMIMPINNYA) tidak dapat dijadikan dalil bahwa Ali
adalah khalifah setelah rasulullah SAW wafat.
Mari kita
telaah masing-masing alasannya
Alasan
pertama Imam Ahmad bin Hanbal yang meriwayatkan hadis tsb adalah AhluSunnah.
Jika Imam Ahmad menafsirkan hadis tsb sebagai dalil yang menjadikan Ali sebagai
khalifah/imam setelah rasulullah wafat maka dia seharusnya menjadi ulama
syi’ah. Akan tetapi, Imam Ahmad adalah seorang ahlusunnah, dengan begitu Imam
Ahmad tidak menafsirkan hadis tsb sebagai dalil penunjukkan Ali sebagai
pengganti Rasullah SAW.
Alasan ini
rancu sekali dan bagi saya orang yang memakai alasan seperti ini tidak perlu
jauh-jauh menggunakan dalil dan pembahasan dalam mengkritik Syiah, dia cukup
berkata seandainya Syiah itu benar maka Ulama-ulama sunni akan menjadi Syiah
tetapi kenyataannya tidak maka Syiah tidak benar. Nah selesai urusannya. Kalau
ingin melakukan pembahasan maka harus melihat dalil itu sendiri dan menilai
penafsiran mana yang benar antara Ulama Sunni dan Syiah. Dalam hal ini Penulis
telah melakukan Fallacy Argumentum Ad Verecundiam.
Alasan kedua
Pengartian kata ‘maulah’ dalam konteks hadis tsb sebagai ‘pemimpin’ tidak
tepat. Maulah dalam hadis tsb berarti loyalitas atau kecintaan, sesuai dengan
akar katanya yaitu ‘Wali’.
Mari kita
telaah, si penulis berargumen bahwa berdasarkan konteksnya maula itu bukan
berarti pemimpin. Anehnya beliau malah mengartikan maula berdasar akar kata.
Ulama Syiah berkata Maula adalah lafal Musytakarah(punya banyak arti) dan untuk
mengetahui arti yang tepat adalah dengan melihat konteksnya pada hadis Al
Ghadir.
Mari kita
lihat apa kata Ulama Syiah tentang makna maula. Dalam Hadis Al Ghadir terdapat
kata-kata Rasulullah SAW bahwa beliau sebentar lagi akan dipanggil ke hadirat
Allah ” Kurasa seakan-akan aku segera akan dipanggil (Allah), dan
segera pula memenuhi panggilan itu, Maka sesungguhnya aku meninggalkan kepadamu
Ats Tsaqalain(dua peninggalan yang berat). Yang satu lebih besar (lebih agung)
dari yang kedua : Yaitu kitab Allah dan Ittrahku. Jagalah Baik-baik dan
berhati-hatilah dalam perlakuanmu tehadap kedua peninggalanKu itu, sebab
Keduanya takkan berpisah sehingga berkumpul kembali denganKu di Al Haudh.
Bukankah kata-kata ini berarti Rasulullah SAW telah mewasiatkan sebelum beliau meninggal untuk mengikuti Al Quran dan Ahlul Bait, adalah wajar kalau hal ini diartikan Ulama Syiah sebagai Rasulullah SAW menyerahkan kepemimpinan Agama kepada Ahlul Bait.
Bukankah kata-kata ini berarti Rasulullah SAW telah mewasiatkan sebelum beliau meninggal untuk mengikuti Al Quran dan Ahlul Bait, adalah wajar kalau hal ini diartikan Ulama Syiah sebagai Rasulullah SAW menyerahkan kepemimpinan Agama kepada Ahlul Bait.
Kemudian
kata-kata “Bukankah Aku ini lebih berhak terhadap kaum muslimin
dibanding diri mereka sendiri.. Orang-orang menjawab “Ya”. Hingga akhirnya
Rasulullah SAW berkata” Barangsiapa yang menganggap aku sebagai maulanya, maka
Ali adalah juga maulanya. Ulama Syiah menafsirkan kata lebih berhak
menunjukkan bahwa maula yang dimaksud berkaitan dengan kekuasaan dan tidak
tepat jika diartikan sahabat atau dicintai. Selain itu kata-kata terakhir Ya
Allah, cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang
memusuhinya. Menunjukkan bahwa pada saat itu Imam Ali dianugerahkan
tanggung jawab yang memungkinkan beliau dicintai atau dimusuhi orang, tanggung
jawab ini lebih tepat diartikan kekuasaan ketimbang yang dicintai.
Oleh karena
itu Ulama Syiah menafsirkan maula sebagai pemimpin ditambah lagi ucapan
selamat Umar kepada Ali yang menurut Syiah janggal diberikan hanya karena Ali
dinobatkan sebagai yang dicintai, Ulama syiah berkata apakah
sebelumnya Imam Ali adalah musuh sehingga ketika dinobatkan sebagai yang
dicintai maka beliau diberi selamat.
Sedangkan
kata-kata penulis
Seandainya
maulah diartikan sebagai imam / khalifah maka seharusnya para sahabat tidak
menjadikan Abu Bakar r.a sebagai khalifah setelah Rasulullah SAW. Mana mungkin
mayoritas sahabat mengkhianati Rasulullah SAW. Para sahabat tidak pernah
menafsirkan hadis tsb sebagai dalil penunjukkan Ali. Kalau kita menganggap
hadis tsb sbg dalil penunjukkan Ali maka otomatis para sahabat adalah orang
yang tidak melaksanakan amanat Rasulullah SAW
maka saya
katakan itulah tepatnya kenapa Ulama Sunni berkeras bahwa kata maula itu bukan
pemimpin. Disini penulis sudah memahami dengan prakonsepsinya terlebih dahulu
tentang shahabat baru menilai nash hadis Al Ghadir bedanya dengan Syiah mereka
memahami nash hadis Al Ghadir terlebih dahulu baru menilai shahabat.
Mengenai
hadis tentang murtadnya shahabat Nabi kecuali beberapa orang di sisi Syiah,
maka saya memilih untuk berdiam diri karena saya tidak mengetahui shahih
tidaknya hadis tersebut di sisi Syiah dan apa arti murtad yang dimaksud. Karena
yang saya tahu ada cukup banyak Sahabat Nabi yang diakui oleh Syiah bukan hanya
beberapa orang, Silakan dirujuk pada Ikhtilaf Sunnah Syiah karya
Syaikh Al Musawi hal 205-214. Saya juga ingin mengingatkan penulis bahwa di
dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim terdapat
hadis yang jika diartikan secara literal mengindikasikan cukup banyak shahabat
Nabi yang masuk neraka karena berpaling setelah Nabi SAW wafat.
Contohnya
hadis Shahih Bukhari juz 8 hal 150 diriwayatkan dari Abu
Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda ”Akan datang di hadapanKu kelak
sekelompok shahabatKu tapi kemudian mereka dihalau. Aku bertanya ”wahai TuhanKu
mereka adalah shahabat-shahabatKu”. Lalu dikatakan ”Engkau Tidak mengetahui apa
yang mereka perbuat sepeninggalmu. Sesungguhnya mereka murtad dan
berpaling.”. Tentu Ulama Sunni memiliki pemahaman sendiri terhadap
hadis ini dengan berkata bahwa memang ada yang murtad dan yang murtad itu tidak
lagi disebut sebagai shahabat. Yang ingin saya tekankan kalau Ulama Sunni bisa
melakukan penafsiran terhadap teks mereka. Kenapa kita tidak bisa mendengar apa
kata Ulama Syiah tentang hadis mereka.
Alasan yang
ketiga Hadis-hadis tsb lebih tepatnya menceritakan keutamaan Imam Ali bin Abi
Thalib bukan dalil tentang penunjukkannya.
Saya setuju
kalau hadis itu menunjukkan keutamaan tapi keutamaan sebagai apa, nah disinilah
terjadi beda penafsiran. Syiah justru berkata itulah keutamaan Imam Ali yang
ditunjuk sebagai pengganti Rasulullah SAW.
Kalau ada
yang memberi PREDIKAT Shiddiq pada Abubakar maka orangnya adalah Umar b.
Khattab. Karena Abubakar selalu membenarkan kata2 Umar tanpa bantahan dan
mengamalkan.
Siddiq-kah
seorang yang mempercayai Isra’ Mi’raj Nabi sementara dia LARI DARI PERANG?????
Lalu ketika
Nabi.saw memerintahkannya bergabung dengan pasukan Usamah Bin Zaid mengapa pula
dia bersama dua temannya menolak keras perintah Nabi.saw sehingga Nabi.saw
memarahinya, Nabi.saw bersabda: SEGERA BERANGKATKAN PASUKAN USAMAH, SIAPA YANG
ENGGAN BERGABUNG MAKA LAKNAT ALLAH KEATASNYA” (Asy-Syahrastani, Al-Milal wa
an-Nihal, Miqaddimah hlm.15)
Kalau dia
benar-benar Siddiq mengapa ia LARI dari perang, apakah itu karena dalamnya
keimanannya???
Bisa saja
ulama terdahulu salah karena kurang lengkap data data, dimana data2 itu justru
ada pada ulama2 lain yang dia tidak punya akses ke sana.
Namun,
sekarang kita yang hidup di jaman setelah mereka sudah mampu mengakses semua
data2 tersebut karena memang kita memiliki datanya.
Contoh:
Ayat2 al-Quran yang pada saat turunnya kita kurang memahami maknanya, justru
ratusan tahun kemudian dengan bekal peralatan yang lebih canggih kita akan
mengetahui hakikat / maksud dari ayat tersebut.
Maka Allah
berfirman: SANURIIHIM AYAATINAA FIL AFAAQI WA FII ANFUSIHIM HATTAA YATABAYYANA
LAHUM ANNAHUL HAQQ………(Fushilat: 53)
Hadis Dhaif
Gelar Ash Shiddiq Turun Dari Langit Bagi Abu Bakar
Terdapat
hadis-hadis yang dijadikan hujjah salafy dalam mengutamakan Abu Bakar secara
berlebihan. Yaitu hadis yang menyatakan kalau gelar Ash Shiddiq bagi Abu Bakar
itu turun dari langit. Setelah kami teliti ternyata hadis tersebut dhaif, cukup
aneh juga salafy yang katanya alergi-an dengan hadis dhaif kok mau-maunya
berhujjah pakai hadis dhaif. Kami tidak mengingkari gelar Ash Shiddiq bagi Abu
Bakar, gelar itu adalah gelar yang masyhur bagi Abu Bakar radiallahu ‘anhu.
Yang kami ingkari adalah gaya salafy yang berlebihan bahwa gelar tersebut turun
dari langit.
.
Hadis Imam
Ali Radiallahu ‘anhu
Tidak jarang
untuk menguatkan hujjah mereka, salafy mengambil hadis atau riwayat perkataan
Imam Ali, salah satunya mengenai gelar Ash Shiddiq turun dari langit bagi Abu
Bakar
حدثنا معاذ بن المثنى ثنا علي بن المديني ثنا إسحاق بن
منصور السلولي ثنا محمد بن سليمان العبدي عن هارون بن سعد عن عمران بن ظبيان عن
أبي يحيى حكيم بن سعد قال سمعت عليا يحلف : لله أنزل اسم أبي بكر من السماء الصديق
Telah menceritakan
kepada kami Mu’adz bin Al Mutsanna yang berkata menceritakan kepada kami Ali
bin Madini yang berkata menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur Al Saluuliy
yang berkata menceritakan kepada kami Muhammad bin Sulaiman Al ‘Abdi dari
Haarun bin Sa’d dari ‘Imran bin Zhabyaan dari Abi Yahya Hakiim bin Sa’d yang
berkata aku mendengar Ali bersumpah “Allah SWT telah menurunkan dari langit
untuk Abu Bakar dengan nama Ash Shiddiq” [Mu’jam Al Kabir 1/55 no 14]
Hadis ini
juga diriwayatkan dalam Al Mustadrak Al Hakim no 4405, Al Ahad Wal
Matsani Ibnu Abi Ashim 1/70 no 6, Tarikh Dimasyq Ibnu Asakir 30/75
dan Ma’rifat Ash Shahabah Abu Nu’aim no 59 semuanya dengan jalan sanad
dari Ishaq bin Manshur dari Muhammad bin Sulaiman Al Abdi dari Harun bin
Sa’d dari Imran bin Zhabyan dari Abi Yahya dari Ali.
Hadis ini
sanadnya dhaif disebabkan Muhammad bin Sulaiman Al ‘Abdi seorang yang majhul
dan ‘Imran bin Zhabyaan seorang yang dhaif.
- Muhammad bin Sulaiman Al ‘Abdi dinyatakan majhul oleh Abu Hatim [Al Jarh Wat Ta’dil 7/269 no 1473]. Ibnu Hajar menyatakan kalau Muhammad bin Sulaiman Al ‘Abdi dinyatakan majhul oleh Ibnu Abi Hatim, dimasukkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat, ia meriwayatkan dari Harun Al A’war dan telah meriwayatkan darinya Ishaq bin Manshur. [Lisan Al Mizan juz 5 no 648]. Al Hakim sendiri menyatakan Muhammad bin Sulaiman ini tidak dikenal walaupun ia menshahihkan hadis tersebut karena memiliki penguat dari riwayat Nazzal bin Saburah dari Ali [Al Mustadrak no 4405]. Kami katakan pernyataan Al Hakim soal shahihnya hadis ini keliru karena hadis penguat yang dimaksud ternyata sanadnya dhaif.
- ‘Imran bin Zhabyaan adalah perawi yang dhaif. Bukhari berkata “fihi nazhaar”, Yaqub bin Sufyan menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan memasukkannya ke dalam Adh Dhu’afa seraya berkata bathil berhujjah dengannya. Ibnu Ady dan Al Uqaili memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [At Tahdzib juz 8 no 230]. Ibnu Hajar menyatakan ia dhaif [At Taqrib 1/752].
Selain
‘Imran bin Zhabyan, atsar ini juga diriwayatkan oleh Abu Ishaq As Sabi’i dari
Ali dengan sanad yang dhaif. Disebutkan dalam Tarikh Ibnu Asakir 30/75
& 76 dan Ma’rifat Ash Shahabah Abu Nu’aim no 58 dengan jalan sanad
yang berujung pada Dawud bin Mihran dari Umar bin Yazid dari Abu Ishaq As
Sabi’i dari Abi Yahya dari Ali. Sanad ini dhaif karena Umar bin Yazid Al
Azdi, ia dinyatakan oleh Ibnu Hajar sebagai “munkar al hadits” [Lisan Al Mizan
juz 4 no 968]. Ibnu Ady menyatakan Umar bin Yazid munkar al hadits dan ia
meriwayatkan dari Atha’ dan Hasan hadis-hadis yang tidak terjaga [Al Kamil Ibnu
Ady 5/29]
Al Hakim
dalam Al Mustadrak no 4405 meriwayatkan atsar ini dari Nazzal bin Saburah dari
Ali Radiallahu ‘anhu dengan sanad yang dhaif
حدثناه عبد الرحمن بن حمدان الجلاب ثنا هلال بن العلاء
الرقي حدثني أبي ثنا إسحاق بن يوسف ثنا أبو سنان عن الضحاك ثنا النزال بن سبرة قال
وافقنا عليا رضى الله تعالى عنه طيب النفس وهو يمزح فقلنا حدثنا عن أصحابك قال كل
أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم أصحابي فقلنا حدثنا عن أبي بكر فقال ذاك امرء
سماه الله صديقا على لسان جبريل ومحمد صلى الله عليهما
Telah
menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Hamdaan Al Jalaab yang menceritakan
kepada kami Hilal bin Al A’la Ar Raqiiy yang menceritakan kepadaku ayahku yang
berkata menceritakan kepada kami Ishaq bin Yusuf yang menceritakan kepada kami
Abu Sinan dari Dhahhak yang berkata menceritakan kepada kami Nazzal bin Sabrah
yang berkata kami menemui Ali radiallahu ‘anhu dalam keadaan baik maka kami
berkata “ceritakanlah kepada kami tentang sahabatmu. Beliau menjawab “semua
sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam adalah sahabatku”. Kami berkata
“ceritakanlah kepada kami tentang Abu Bakar”. Beliau menjawab “Ia adalah orang
yang Allah SWT nyatakan Ash Shiddiq melalui lisan Jibril dan Muhammad SAW” [Al
Mustadrak Ash Shahihain no 4405]
Hadis ini
dijadikan oleh Al Hakim sebagai penguat riwayat Abu Yahya Hakim bin Sa’ad dari
Ali. Kami katakan Al Hakim keliru hadis ini tidak bisa dijadikan penguat karena
hadis ini sanadnya sangat dhaif, di dalamnya terdapat Al A’la bin Hilal Al
Bahiliy ayahnya Hilal bin Al A’la Ar Raqiiy seorang yang sangat dhaif.
- Hilal bin Al A’la Ar Raqiiy seorang perawi yang shaduq. Abu Hatim berkata shaduq. Nasa’i terkadang berkata “shalih” terkadang berkata “tidak ada masalah dan ia meriwayatkan hadis-hadis mungkar dari ayahnya” [At Tahdzib juz 11 no 135]
- Al A’la bin Hilal bin Umar Al Bahiliy seorang perawi yang dhaif. Abu Hatim menyatakan ia munkar al hadis, hadisnya dhaif dan meriwayatkan hadis maudhu’. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Adh Dhu’afa seraya berkata “tidak boleh berhujjah dengannya” [At Tahdzib juz 8 no 351]. Ibnu Hajar menyatakan “ada kelemahan padanya” [At Taqrib 1/765] dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau Al A’la bin Hilal seorang yang “dhaif jiddan” [Tahrir At Taqrib no 5259].
.
.
Hadis Abu
Hurairah
Selain dari
Imam Ali terdapat hadis dari Abu Hurairah bahwa Jibril mengatakan kepada
Rasulullah SAW kalau Abu Bakar akan membenarkan peristiwa isra’ sehingga ia
dinamakan Ash Shiddiq.
حدثنا محمد بن أحمد الرقام ثنا إسحاق بن سليمان الفلفلي
المصري نا يزيد بن هارون ثنا مسعر عن أبي وهب عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى
الله عليه و سلم لجبريل ليلة أسري به إن قومي لا يصدقوني فقال له جبريل يصدقك أبو
بكر وهو الصديق
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad Ar Raqaam yang berkata menceritakan
kepada kami Ishaq bin Sulaiman Al Fulfuliy Al Mishri yang menceritakan kepada
kami Yazid bin Harun yang menceritakan kepada kami Mis’ar dari Abu Wahab dari
Abu Hurairah yang berkata Rasulullah SAW berkata kepada Jibril pada malam isra’
“kaumku tidak akan membenarkanku”. Maka Jibril berkata “akan membenarkanmu Abu
Bakar, dia shiddiq” [Mu’jam Al Awsath Thabrani 7/166 no 7173]
Hadis di
atas sanadnya khata’ atau salah. Yang meriwayatkan dari Abu Wahab adalah Najih
Abu Ma’syar bukannya Mis’ar. Kesalahan ini bisa berasal dari Muhammad bin Ahmad
Ar Raqaam atau Ishaq bin Sulaiman Al Fulfuly Al Mishri, keduanya tidak dikenal
kredibilitasnya. Selain itu Abu Wahab sendiri seorang yang majhul dan ia terkadang
menyebutkan hadis ini dari Abu Hurairah dan terkadang tanpa menyebutkan Abu
Hurairah.
وحدثني وهب بن بقية الواسطي، ثنا يزيد بن هارون، أنبأ
أبو معشر عن أبي وهب عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لجبريل
ليلة أسري به إن قومي لا يصدقوني، فقال جبريل: يصدقك أبو بكر وهو الصديق
Telah
menceritakan kepada kami Wahab bin Baqiyah Al Wasithiy yang menceritakan kepada
kami Yazid bin Harun yang mengabarkan kepada kami Abu Ma’syar dari Abu Wahab
dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada
Jibril pada malam isra’ “kaumku tidak akan membenarkanku”. Maka Jibril berkata
“akan membenarkanmu Abu Bakar dan dia shiddiq” [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri
3/307]
Selain Wahb
bin Baqiyah, Ibnu Sa’ad dan Muhammad bin Husain bin Ibrahim juga meriwayatkan
dari Yazid bin Harun dari Abu Ma’syar dari Abu Wahab.
أخبرنا يزيد بن هارون قال أخبرنا أبو معشر قال أخبرنا
أبو وهب مولى أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ليلة أسري به قلت
لجبريل إن قومي لا يصدقونني فقال له جبريل يصدقك أبو بكر وهو الصديق
Telah
mengabarkan kepada kami Yazid bin Harun yang berkata telah mengabarkan kepada
kami Abu Ma’syar yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Wahab mawla Abu
Hurairah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata pada malam isra’
kepada Jibril “kaumku tidak akan membenarkanku”. Jibril berkata “akan
membenarkanmu Abu Bakar dan dia shiddiq” [Thabaqat Ibnu Sa’ad 3/90]
حدثنا عبد الله قال حدثني محمد بن الحسين بن إبراهيم بن
إشكاب قثنا يزيد بن هارون قثنا أبو معشر قثنا أبو وهب مولى أبي هريرة أن رسول الله
قال ليلة أسري به لجبريل عليه السلام إن قومي لا يصدقوني فقال له جبريل بلى يصدقك
أبو بكر الصديق
Telah
menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku
Muhammad bin Husain bin Ibrahim bin Isykaab yang menceritakan kepada kami Yazid
bin Harun yang menceritakan kepada kami Abu Ma’syar yang menceritakan kepada
kami Abu Wahb mawla Abu Hurairah bahwa Rasulullah berkata di malam isra’ kepada
Jibril alaihis salam “kaumku tidak akan membenarkanku” Jibril berkata “akan
membenarkanmu Abu Bakar Ash Shiddiq” [Fadhail Ash Shahabah no 116]
حدثنا أبو الوليد خلف بن الوليد قال حدثنا أبو معشرعن
أبي وهب مولى أبي هريرة قال لما رجع رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة أسري
به بلغ ذا طوى قال يا جبريل إن قومي لا يصدقوني قال يصدقك أبو بكر وهو صديق
Telah
menceritakan kepada kami Abul Walid Khalaf bin Walid yang berkata telah
menceritakan kepada kami Abu Ma’syar dari Abu Wahb mawla Abu Hurairah yang
berkata “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kembali dari Isra’, dan berada
di Dzi Thuwa, beliau berkata “Wahai Jibril, kaumku tidak akan membenarkanku”.
Jibril berkata “akan membenarkanmu Abu Bakar dan dia shiddiq [Tarikh Ibnu
Abi Khaitsamah 1/180 no 429]
سعيد بن منصور ثنا أبو معشر عن أبي وهب مولى أبي هريرة
عن أبي هريرة قال لما رجع رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة أسري به قال يا جبريل
إن قومي لا يصدقوني قال يصدقك أبو بكر وهو الصديق
Sa’id bin
Manshur telah menceritakan kepada kami Abu Ma’syar dari Abu Wahb mawla Abu
Hurairah dari Abu Hurairah yang berkata “ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam kembali dari malam isra’ Beliau berkata “wahai Jibril kaumku tidak
akan membenarkanku”. Jibril berkata “akan membenarkanmu Abu Bakar, dan dia
shiddiq” [Tarikh Al Islam Adz Dzahabi 1/251]
Secara
keseluruhan hadis ini dhaif semuanya berujung pada Abu Ma’syar dari Abu Wahb
mawla Abu Hurairah. Abu Ma’syar adalah Najih bin Abdurrahman Al Madani seorang
yang dhaif dan Abu Wahb tidak dikenal
- Najih bin Abdurrahman Abu Ma’syar perawi Ashabus Sunan yang dhaif. Bukhari berkata “munkar al hadits”. Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Ma’in menyatakan dhaif. Ali bin Madini berkata “dhaif dhaif”. Ibnu Sa’ad dan Daruquthni menyatakan dhaif. Abu Nu’aim berkata “ ia meriwayatkan dari Nafi, Ibnu Munkadir, Hisyam bin Urwah, Muhammad bin Amru hadis-hadis palsu yang tidak bernilai apa-apa” [At Tahdzib juz 10 no 759]. Ibnu Hajar menyatakan ia dhaif [At Taqrib 2/241].
- Abu Wahb mawla Abu Hurairah adalah perawi yang tidak dikenal. Yang meriwayatkan darinya adalah Abu Ma’syar Najih bin Abdurrahman seorang yang dhaif. Ibnu Hajar telah menyatakan Abu Wahb sebagai orang yang tidak dikenal [Ta’jil Al Manfa’ah 2/545]
Selain Abu
Wahb, hadis ini juga diriwayatkan oleh Hatim bin Huraits Ath Tha’iy dengan
sanad yang dhaif. Riwayat Hatim ini disebutkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam
Al Awsath 7/157 no 7148 dan Musnad Asy Syamiiyyin 1/145 no
232.
حدثنا محمد بن عبد الرحيم الديباجي ثنا أحمد بن عبد
الرحمن بن المفضل الحراني نا المغيرة بن سقلاب الحراني ثنا عبد الرحمن بن ثابت بن
ثوبان عن حاتم عن أبي هريرة قال لما أسري بالنبي صلى الله عليه و سلم قال يا جبريل
إن قومي يتهموني ولا يصدقوني قال إن اتهمك قومك فإن أبا بكر يصدقك
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdurrahiim Ad Diibaajiy yang
berkata menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdurrahman bin Mufadhdhal Al
Harraaniiy yang menceritakan kepada kami Mughirah bin Saqlaab Al Harraaniy yang
menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban dari Hatim dari Abu
Hurairah yang berkata “ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam kembali dari
isra’, beliau berkata “wahai Jibril kaumku akan menuduhku dan tidak akan
membenarkanku”, Jibril berkata “kaummu akan menuduhmu tetapi Abu Bakar akan
membenarkanmu” [Mu’jam Al Awsath Ath Thabrani no 7148]
Hadis ini
dhaif karena Muhammad bin Abdurrahiim Syaikh Thabrani seorang yang majhul hal,
Mughirah bin Saqlaab seorang yang dhaif, dan Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban
mengalami ikhtilath.
- Muhammad bin Abdurrahiim Ad Diibaajiy adalah Syaikh Thabrani yang tidak dikenal kredibilitasnya. Tidak ada ulama mutaqaddimin yang menta’dilkannya dan yang meriwayatkan darinya hanya Ath Thabrani.
- Mughirah bin Saqlaab seorang yang dhaif. Abu Ja’far An Nafiiliy berkata “tidak dipercaya”. Ibnu Ady berkata “munkar al hadits”. Abu Hatim berkata “shalih al hadits”. Abu Zur’ah berkata “tidak ada masalah”. Daruquthni mendhaifkannya [Lisan Al Mizan juz 6 no 282]. Al Uqaili memasukkannya ke dalam Adh Dhu’afa [Ad Dhu’afa Al Uqaili 4/182 no 1757]. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Adh Dhu’afa seraya mengatakan kalau Mughirah tergolong orang yang sering salah, meriwayatkan dari perawi dhaif dan majhul , meriwayatkan hadis-hadis yang mungkar dan waham serta harus ditinggalkan. [Al Majruhin no 1033].
- Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban seorang yang diperbincangkan. Ahmad berkata “tidak kuat” dan terkadang berkata “meriwayatkan hadis-hadis mungkar”. Ibnu Ma’in terkadang berkata shalih terkadang berkata “dhaif”. Abu Zur’ah, dan Al Ijli berkata “layyin”. Duhaim berkata “tsiqat”. Abu Hatim mengatakan tsiqat tetapi mengalami perubahan hafalan di akhir hidupnya. Nasa’i terkadnag berkata “dhaif” terkadang berkata “tidak kuat” dan terkadang berkata “tidak tsiqat”. Ibnu Khirasy berkata “layyin”. Ibnu Ady berkata “ ia memiliki hadis-hadis shalih, seorang yang shalih ditulis hadisnya dan ia dinyatakan dhaif” [At Tahdzib juz 6 no 306]. Ibnu Hajar berkata “ia seorang yang jujur, sering salah dan mengalami perubahan hafalan di akhir hidupnya” [At Taqrib 6/306].
Dengan
mengumpulkan jalan-jalannya maka hadis Abu Hurairah di atas kedudukannya dhaif
dan tidak dapat dijadikan hujjah. Terdapat hadis lain riwayat Ummu Hani’
bahwa Rasulullah SAW mengatakan Allah SWT menamakan Abu Bakar dengan Ash
Shiddiq. Hadis ini diriwayatkan dalam Ma’rifat Ash Shahabah Abu Nu’aim
no 60 dan kedudukannya adalah maudhu’ karena di dalamnya terdapat Muhammad
bin Ismail Al Wasawisi seorang yang dhaif pemalsu hadis. Ahmad bin Amru Al
Bazzar Al Hafizh berkata “ia pemalsu hadis”. Daruquthni dan yang lainnya
berkata “dhaif”. Al Uqaili memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [Lisan Al Mizan juz
5 no 252]
.
.
Catatan
Untuk Haulasyiah
Salafy yang
kami maksud berlebihan dalam berhujjah adalah haulasyiah. Dalam salah satu
tulisannya yang menanggapi Ibnujakfari dengan judul “Hadits : Abu Bakar
Bergelar Shiddiq Palsu?”, ia menunjukkan berbagai riwayat yang
menurutnya shahih kalau gelar Ash Shiddiq bagi Abu Bakar itu turun dari
langit dan diucapkan melalui Jibril Alaihis Salam. Setelah kami teliti
hadis-hadis yang dijadikan haulasyiah sebagai hujjah adalah hadis yang dhaif
kecuali satu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Tirmidzi, Ahmad dan yang
lainnya
حدثنا محمد بن بشار حدثنا يحيى بن سعيد عن سعيد بن أبي
عروبة عن قتادة عن أنس حدثهم أن رسول الله صلى الله عليه و سلم صعد أحدا و أبو بكر
و عمر و عثمان فرجف بهم فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم اثبت أحد فإنما عليك
نبي وصديق وشهيدان
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar yang menceritakan kepada kami
Yahya bin Sa’id dari Sa’id bin Abi Arubah dari Qatadah dari Anas yang
menceritakan kepada mereka bahwa Rasulullah SAW mendaki gunung uhud bersama Abu
Bakar, Umar dan Utsman kemudian gunung Uhud mengguncangkan mereka. Rasulullah
SAW bersabda “diamlah wahai Uhud sesungguhnya diatasmu terdapat Nabi, shiddiq
dan dua orang syahid” [Sunan Tirmidzi 5/624 no 3697]
Hadis ini
dijadikan hujjah bahwa Abu Bakar dinyatakan Nabi SAW sebagai Ash Shiddiq.
Walaupun begitu tidak ada dalam hadis tersebut kabar bahwa gelar tersebut turun
dari langit seperti yang disebutkan secara jelas oleh hadis-hadis lain.
Kemudian silakan perhatikan hadis berikut.
حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا عبد العزيز بن محمد عن سهيل
بن أبي صالح عن ابيه عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم
كان على حراء هو و أبو بكر و عمر و علي و عثمان و طلحة و الزبير رضي الله عنهم
فتحركت الصخرة فقال النبي صلى الله عليه و سلم اهدأ إنما عليك نبي أو صديق أوشهيد
Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id yang menceritakan kepada kami Abdul
Aziz bin Muhammad dari Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah
bahwa Rasulullah SAW pernah berada di atas Hira’ bersama Abu Bakar, Umar, Ali,
Utsman, Thalhah dan Zubair. Kemudian tanahnya bergerak-gerak, maka Nabi SAW
bersabda “diamlah, sesuangguhnya diatasmu terdapat Nabi atau shiddiq atau
syahid” [Sunan Tirmidzi 5/624 no 3696 dengan sanad shahih]
ثنا محمد بن جعفر ثنا شعبة عن حصين عن هلال بن يساف عن
عبد الله بن ظالم قال خطب المغيرة بن شعبة فنال من علي فخرج سعيد بن زيد فقال ألا
تعجب من هذا يسب عليا رضي الله عنه أشهد على رسول الله صلى الله عليه و سلم انا
كنا على حراء أو أحد فقال النبي صلى الله عليه و سلم أثبت حراء أو أحد فإنما عليك
صديق أو شهيد فسمى النبي صلى الله عليه و سلم العشرة فسمى أبا بكر وعمر وعثمان
وعليا وطلحة والزبير وسعدا وعبد الرحمن بن عوف وسمى نفسه سعيدا
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang menceritakan kepada kami
Syu’bah dari Hushain dari Hilal bin Yisaaf dari Abdullah bin Zhaalim yang
berkata “Mughirah bin Syu’bah berkhutbah lalu ia mencela Ali. Maka Sa’id bin
Zaid keluar dan berkata “tidakkah kamu heran dengan orang ini yang telah
mencaci Ali, Aku bersaksi bahwa kami pernah berada di atas gunung Hira atau
Uhud lalu Beliau bersabda “diamlah hai Hira atau Uhud, karena di atasmu
terdapat Nabi atau shiddiq atau syahid. Kemudian Nabi SAW menyebutkan sepuluh
orang. Maka [Sa’id] menyebutkan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair ,
Sa’ad, Abdurrahman bin ‘Auf dan dirinya sendiri Sa’id” [Musnad Ahmad no 1638
dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir]
Jika kita
memperhatikan hadis-hadis di atas maka diketahui bahwa tidak ada penjelasan
secara sharih atau terang bahwa Shiddiq yang dimaksud adalah Abu Bakar. Bahkan
dapat pula diartikan kalau Shiddiq itu merujuk juga pada Imam Ali Alaihis
Salam mengingat Imam Ali berada di sana dan Sa’id bin Zaid ketika mendengar
Mughirah mencaci Ali, ia menunjukkan keutamaan Imam Ali dengan menyebutkan
hadis ini.
Gelar Ash
Shiddiq bagi Abu Bakar memang merupakan gelar yang mayshur, ada yang mengatakan
kalau gelar tersebut diberikan karena Abu Bakar RA membenarkan Nabi SAW bahkan
dalam peristiwa isra’ mi’raj. Jika memang demikian maka Imam Ali lebih pantas
untuk dikatakan Ash Shiddiq mengingat beliau adalah orang pertama yang
membenarkan Kenabian Rasulullah SAW, membenarkan risalah Beliau SAW dan
membenarkan apa saja yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Pendapat yang kami
pilih adalah sebutan Ash Shiddiq memang gelar Abu Bakar tetapi sebutan
tersebut tidak menunjukkan keutamaan Beliau di atas Imam Ali dan Imam Ali
adalah orang yang lebih pantas untuk dikatakan sebagai Ash Shiddiq.
mayoritas
ulama Ahlusunnah mempunyai konsep yang cukup aneh dan sangat batil dalam
masalah kedudukan sahabat Nabi, memang benar di mulut mereka dengan lantang
terucap kata “zindiq” dan “kafir” untuk orang yang mencaci sahabat nabi,
(dengan cara ini mereka ingin menjatuhkan nama Syiah dalam pandangan orang
awam) tapi konsep ini hanya mereka peruntukkan bagi orang2 yang mencaci Abu
Bakar, Umar, dan Utsman. Tapi bila Imam Ali, Hasan, dan Husain.as yang
kedudukannya jauh lebih mulia daripada tiga tokoh diatas dicaci maki hingga
dibunuh ulama Ahlusunnah sepertinya langsung “ijmak” mendiamkannya dan
pura-pura tidak tau.
Sebuah
konsep yang bikin orang berakal geleng-geleng kepala. Tapi itulah kenyataan
pahit yang kita dapati pada diri ulama dan umat Islam yang mungkin telah
tertanam gen muawiyah dalam diri mereka.
Antagonisme
Penilaian Ahmad bin Hanbal Terhadap Mereka Yang Mencela Dan Membenci Sahabat
Sebagian
ulama berpendapat bahwa mencela sahabat Nabi dapat membawa pelakunya kepada
kezindiqan atau kekafiran. Diriwayatkan berbagai perkataan ulama tentang hal
ini diantaranya Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, Abu Zur’ah dan yang lainnya
[semoga rahmat Allah dilimpahkan pada mereka]. Sayang sekali pandangan ini kami
pandang berlebihan dan memiliki konsekuensi yang sangat berat karena telah
diriwayatkan pula bahwa diantara mereka yang mencela sahabat itu ada beberapa
orang yang dijadikan rujukan atau diambil hadisnya. Alangkah lucunya kalau
dikatakan seorang yang zindiq atau kafir dijadikan rujukan dalam hadis. Di
bawah ini kami akan menampilkan sikap antagonis Ahmad bin Hanbal yang terkait
dengan masalah ini. Diriwayatkan oleh Al Khallal bahwa Ahmad bin Hanbal
memandang orang yang mencela sahabat sebagai bukan orang islam
أخبرنا عبدالله بن أحمد بن حنبل قال سألت أبي عن رجل شتم
رجلا من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم فقال ما أراه على الإسلام
Telah
mengabarkan kepada kami Abdullah bin Ahmad bin Hanbal yang berkata aku bertanya
kepada ayahku tentang orang yang mencela seseorang dari sahabat Nabi shallahu
‘alaihi wassalam. Beliau menjawab “menurutku ia bukan orang islam” [As
Sunnah Al Khalal no 782]
Jika
dikatakan orang yang mencela sahabat Nabi sebagai bukan orang islam, maka
konsekuensinya sangat berat dan saya rasa tidak akan ada ulama yang mau
menerima konsekuensi tersebut. Telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih
bahwa Mughirah bin Syu’bah mencela Ali bin Abi Thalib RA. Bahkan riwayat
tersebut terdapat dalam kitab Musnad Ahmad, jadi kami berasumsi kalau Ahmad bin
Hanbal mengetahui bahwa Mughirah telah mencela Imam Ali. Apakah Ahmad bin
Hanbal akan mengatakan kalau Mughirah bin Syu’bah bukan seorang muslim?.
Faktanya tidak, Ahmad bin Hanbal memandang Mughirah sebagai sahabat Nabi yang
diambil hadisnya, ia sendiri menulis hadis Mughirah bin Syu’bah di dalam kitab
Musnadnya.
Telah
diriwayatkan pula dengan sanad yang shahih bahwa seorang tabiin masyhur yang
dikenal sebagai imam tsiqat yaitu Urwah bin Zubair mencela seorang sahabat Nabi
yaitu Hassan bin Tsabit RA. Apakah Ahmad bin Hanbal akan mengatakan kalau
Urwah bin Zubair bukan seorang muslim?. Faktanya, Ahmad bin Hanbal malah memuji
Urwah bin Zubair dan menjadikan hadisnya sebagai rujukan.
Antagonisme
yang sangat nyata dapat dilihat pada penilaian Ahmad bin Hanbal terhadap
beberapa perawi hadis yang nashibi seperti Hariiz bin Utsman dan Abdullah bin
Syaqiq. Dalam biografi Abdullah bin Syaqiq disebutkan kalau Ahmad berkata
وقال أحمد بن حنبل ثقة وكان يحمل على علي
Ahmad bin
Hanbal berkata “tsiqat dan ia mencela Ali” [At Tahdzib juz 5 no 445]
وقال أحمد بن أبي يحيى عن أحمد حريز صحيح الحديث إلا أنه
يحمل على علي
Ahmad bin
Abi Yahya berkata dari Ahmad yang berkata “Hariiz shahih hadisnya hanya saja ia
mencela Ali” [At Tahdzib juz 2 no 436]
وسمعت أبا داود يقول : سالت أحمد بن حنبل عن حريز فقال :
ثقة ثقة ثقة
Aku
mendengar Abu Dawud berkata aku bertanya kepada Ahmad bin hanbal tentang
Hariiz. Ia menjawab “tsiqat tsiqat tsiqat” [Su’alat Al Ajurri 2/234 no 1700]
Ahmad bin
Hanbal mengakui kalau Harriiz bin Utsman dan Abdullah bin Syaqiq mencela Ali
bin Abi Thalib RA tetapi hal ini tidak mencegahnya untuk mengatakan tsiqat,
bahkan Hariiz ia puji dengan ta’dil yang sangat tinggi “tsiqat tsiqat tsiqat”.
Padahal Ahmad bin Hanbal beranggapan siapa saja yang mencela sahabat Nabi maka
ia bukan orang islam. Sikap antagonis seperti ini adalah konsekuensi dari
pandangan Ahmad sendiri yang mengkafirkan “orang yang mencela sahabat Nabi”.
Oleh karena itu tidak diragukan lagi sikap sebagian ulama yang memandang kafir
mereka yang mencela sahabat Nabi adalah sikap yang berlebihan dan keliru.
Walaupun begitu bukan berarti kami memandang baik perkara mencela sahabat Nabi
karena Mencela seorang muslim tidaklah dibenarkan dalam syari’at islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar