M.MUHRIKAIZI & M.LUKMANULHAKIM
Ilham firasat mimpi dan kasyaf
Apakah Ilham Itu?
Apakah Ilham Itu?
Dalam Al-Qur’an disebutkan dalam
bentuk fi’il madhi (kata kerja lampau) yaitu dalam QS Asy-Syams 7-8 : “Dan demi
jiwa serta penyempurnaannya, lalu IA meng-ILHAM-kan kepadanya jalan keburukan
dan ketaqwaannya.”
Dalam Al-Mu’jam [2] disebutkan makna
ayat tersebut : “ALLAH menanamkan dalam jiwa itu perasaan yang dapat membedakan
antara kesesatan dan petunjuk.” Makna ini didasarkan oleh riwayat mufassir
terdahulu seperti Mujahid dll tentang makna ayat ini. Mungkin dimasa sekarang
orang biasa menyebutnya sebagai dhamir (hati nurani).
Di dalam kamus Al-Muhith,
disebutkan: “ALLAH mengilhamkan padanya kebaikan, yaitu IA mengajarkannya
kepadanya.” Adapun pen-syarah kitab Al-Muhith yaitu Az-Zubaidi [3] mengatakan:
“Ilham ialah apa-apa yang diletakkan dalam hati dalam bentuk yang melimpah dan
khusus dengan sesuatu yang datangnya dari ALLAH atau dari para Malaikat.”
Dikatakan pula: “Meletakkan sesuatu di dalam hati, yang karenanya hati menjadi
tentram dan hal itu dikhususkan oleh ALLAH bagi para hamba yang
dikehendaki-NYA.”
Di dalam Lisanul Arab [4]
disebutkan: “Ilham ialah bahwa ALLAH menanamkan di dalam jiwa seseorang sesuatu
yang dapat mendorongnya untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, dan ia
termasuk jenis wahyu yang dengannya ALLAH mengkhususkan siapa saja yang dikehendaki-NYA
diantara hamba-hamba-NYA.”
Di dalam Syarh Aqidah Nasafiyyah [5]
disebutkan: “Ilham adalah menanamkan sesuatu dalam hati secara melimpah.”
Sedangkan di dalam At-Ta’rifat [6] dikatakan: “Ilham adalah apa yang ditanamkan
di dalam hati dengan cara yang melimpah.” Sementara di dalam An-Nihayah [7]
dikatakan : “Ilham ialah bahwa ALLAH meletakkan di dalam jiwa seseorang
perintah yang membangkitkannya untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu dan
hal itu termasuk jenis wahyu yang dikhususkan oleh ALLAH kepada siapa saja yang
dikehendaki-NYA diantara para hamba-NYA.”
Sementara itu dalam bab had-da-tsa
ia menyitir sebuah hadits shahih [8]: “Sungguh telah ada pada ummat-ummat
terdahulu para muhaddatsun, dan jika ada seseorang dari ummatku, maka ia adalah
Umar bin Khattab.” Kemudian ia berkata [9]: “Penafsiran dari hadits ini ialah
bahwa mereka itu adalah orang-orang yang diberikan ilham & orang yang
diberikan ilham adalah orang yang dalam dirinya diletakkan sesuatu lalu
dengannya ia diberi tahu tentang suatu perkiraan atau suatu firasat. Hal ini
semacam sesuatu yang dikhususkan oleh ALLAH kepada siapa saja yang
dikehendaki-NYA dari para hamba yang dipilih-NYA, misalnya Umar, seolah-olah
disampaikan pembicaraan kepada mereka lalu mereka mengatakannya.”
Dari definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa: Ilham adalah penyampaian suatu makna, pikiran atau hakikat
di dalam jiwa atau hati – terserah mau dinamakan apa saja – secara melimpah.
Maksudnya ALLAH SWT menciptakan padanya ilmu dharuri yang ia tidak dapat
menolaknya, yaitu bukan dengan cara dipelajari akan tetapi dilimpahkan ke dalam
jiwanya bukan karena kemauannya.
Perbedaan ilham dan tahdits menurut
Imam Ibnul Qayyim [10] bahwa tahdits sifatnya lebih khusus dari ilham,
berdasarkan hadits Bukhari tentang Umar ra di atas, sehingga setiap tahdits
adalah ilham tapi tidak setiap ilham adalah tahdits. Seorang mu’min (manusia
yang mukallaf) akan diberikan ilham sesuai taraf keimanannya kepada ALLAH SWT,
seperti disebutkan dalam ayat-ayat:
وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ
أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي
وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ
“Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa:
Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke
sungai (Nil), dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati,
Karena Sesungguhnya kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya
(salah seorang) dari para rasul.” (QS Al-Qashshash, 28/7)
وَإِذْ أَوْحَيْتُ إِلَى الْحَوَارِيِّينَ
أَنْ آَمِنُوا بِي وَبِرَسُولِي قَالُوا آَمَنَّا وَاشْهَدْ بِأَنَّنَا
مُسْلِمُونَ
“Dan (ingatlah), ketika AKU ilhamkan
kepada pengikut Isa yang setia: Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku.
Mereka menjawab: Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)”. (QS
Al-Ma’idah, 5/111)
Dan bisa juga diberikan kepada
makhluk yang tidak mukallaf, sebagaimana dalam firman-NYA yang lain;
وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ
أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ
“Dan RABB-mu mewahyukan kepada
lebah: Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di
tempat-tempat yang dibuat manusia.” (QS An-Nahl, 16/68)
Ilham, Kasyaf, Mimpi, dan Firasat
Tidak Bisa Dijadikan Hujjah Syari’at
Kesepakatan para ulama ushul bahwa
ilham, firasat, mimpi dan kasyaf, semuanya itu adalah bukan hujjah syari’at
baik dalam masalah amal dan ibadah apalagi dalam masalah i’tiqad (aqidah). Para
ulama ushuluddin dan ushul fiqh telah ijma’ dalam masalah ini, mereka menolak
orang yang menganggapnya sebagai hujjah dan menolak segala sesuatu yang
didasarkan kepadanya. An-Nasafi [11] berkata: “Menurut ahlul-haqq ilham itu
bukanlah salah satu sebab dari sebab-sebab untuk mengetahui kebenaran sesuatu.”
Imam Abu Zaid ad-Dabusi salah
seorang ulama Hanafiyyah berkata : “Ijma’ ulama bahwa ilham tidak boleh
diamalkan, kecuali jika pada hal yang mubah yang tidak terdapat sama sekali
dalil syari’ah tentangnya. Jadi bolehnya mengamalkan ilham terikat dengan 2
hal: 1) Hendaklah tidak ada dalil syari’ah dalam masalah tersebut, baik dalam
Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, Qiyas dan dalil-dalil lain yang diperselisihkan.
2) Hendaknya hal itu dalam hal-hal yang mubah, sedangkan dalam masalah yang
wajib, haram, makruh dan sunnah maka tidak dapat disandarkan kepada ilham
seorang mulhim maupun kasyaf seorang kasyif.”
Imam Asy-Syathibi [12] lebih rinci
berkata: “Di antara contohnya jika seorang Hakim yang telah mendengar kesaksian
2 orang saksi yang adil, lalu Hakim tersebut bermimpi Nabi SAW berkata bahwa
kedua saksi itu tidak adil, maka mimpi itu harus ditolak karena bertentangan
dengan prinsip syariat. Demikian pula jika seseorang mendapat kasyaf atau
firasat bahwa air yang akan dipakainya berwudhu’ adalah najis, padahal berdasar
fakta air tersebut tidak najis, maka iapun tidak boleh meninggalkan air itu
dalam keadaan apapun. Semua ini didasarkan dalil shahih dari nabi SAW:
عَنْ زَيْنَبَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ
يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِيَ لَهُ عَلَى نَحْوٍ مِمَّا
أَسْمَعُ مِنْهُ
Dari Zainab ra dari Ummu Salamah ra:
Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya kalian mengadukan perkara padaku, dan boleh
jadi sebagian kalian lebih pandai berargumentasi dibanding yang lain, maka aku
putuskan perkaranya sesuai dengan apa yang kudengar darinya… [13]”
Demikianlah – lanjut Imam
Asy-Syathibi rahimahuLLAAH – bahwa RasuluLLAAH SAW mengambil keputusan
berdasarkan bukti & fakta dan memerintahkan kita juga berbuat demikian,
padahal banyak hal-hal yang beliau telah lebih dulu mengetahui permasalahannya
ataupun hakikat kebatilannya, tapi beliau SAW tidak menghukumi kecuali berdasar
bukti dan fakta, bukan berdasar hakikat yang telah beliau SAW ketahui
sebelumnya [14].”
Sebagai contoh, Nabi SAW mengetahui
rahasia orang-orang munafiq berdasarkan apa yang telah dibukakan ALLAH SWT
padanya, tapi beliau SAW tetap menghukumi mereka berdasarkan lahiriah mereka
dan baru bersikap tegas dan meluruskan jika telah ada pelanggaran
terang-terangan dari mereka. Bahkan ketika para sahabat ra (yang juga telah
membaca gelagat ketidakberesan isi hati para munafiqin tersebut berdasarkan
firasat -pen) ingin memperlakukan orang-orang munafiq tersebut seperti orang
kafir, maka Nabi SAW bersabda: “Aku kuatir manusia akan berkata bahwa Muhammad
membunuh sahabat-sahabatnya.”
Demikianlah, beliau SAW tetap
memperlakukan mereka seperti yang lainnya, berdasarkan zhahir dan bukan
berdasarkan batin dan hal yang ghaib, maka kita tidak diperintah untuk membelah
hati manusia untuk mengetahui hakikatnya. Jika terhadap firasat seorang mu’min
saja tidak dapat menjadi hujjah syar’iyyah untuk menetapkan benar dan salah,
halal dan haram, bahkan sekedar hukum makruh dan sunnah, apalagi berbagai kisah
khurafat yang dituturkan oleh seorang kafir musyrik yang dipakai untuk
menentukan kebenaran aqidah?! Inna liLLAAHi wa inna ilayhi raji’uun… Fa’tabiruu
ya Ulil Abshaar…
WaLLAAHu a’lamu bish Shawaab…
Catatan Kaki:
[1] Disarikan dr kitab Syaikh
Al-Qaradhawi berjudul Mauqif al-Islam minal Ilham wal Kasyf war Ru’a wa minat
Tama’imi wal Kahanah war Ruqa’, Maktabah Wahbah, 1415-H, Al-Qahirah Mishr.
[2] Al-Mu’jam Alfaazhil Qur’anil
Karim, Majma’ Al-Lughah Al-Arabiyyah
[3] Tajul Arus, bab (Khat)
[4] Lisanul Arab, bab (Khat),
definisi ini diambil dari kitab An-Nihayah, yang disusun oleh Ibnul Atsir
[5] Syarh al-’Aqa’idun Nasafiyyah,
At-Taftazani, beserta kedua hasyiyyah-nya, hal. 41, Musthafa Al-Halabi
[6] At-Ta’rifat, Al-Jurjani, hal.
57, Tahqiq oleh DR AbduRRAHMAN ‘Umairah, Alamul Kutub Bairut
[7] An-Nihayah fii Ghariibil
Hadiitsi wal Atsar, Ibnul Atsir, bab La-ha-ma, IV/282, Isa Al-Halabi
[8] HR Bukhari, XI/288 no. 3210
& Muslim, XII/118 no. 4411
[9] An-Nihayah, I/350
[10] Madaarijus Saalikiin, I/44-45
[11] Al-Aqa’idun Nasafiyyah, beserta
syarh-nya, hal. 41, Musthafa Al-Halabi
[12] Al-Muwaafaqaat, Asy-Syathibi,
II/266-268
[13] HR Muslim, bab “Menghukumi
dengan Zhahirnya dan Memutuskan dengan Hujjah”, IX/102 no. 3231; hadits senada
juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari, IX/176 no. 2483.
[14] Selesai kutipan dari Imam
Asy-Syathibi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar