M.MUHRIKAIZI
PERANG
SIFFIN
Perang
Shiffin. Pertempuran itu terjadi tahun 37
H. (656 M.), antara Amirul Mukminin dan Gubernur Suriah, Mu’awiah, untuk apa
yang dinamakan membalas dendam atas kematian Khalifah ‘Utsman. Tetapi penyebab
sebenarnya hanyalah karena Mu’awiyah, yang telah lama menjadi Gubernur Suriah
yang otonom sejak diangkat Khalifah ‘Umar, tidak mau kehilangan jabatannya itu
dengan membaiat kepada Amirul Mukminin ‘Ali ibn Abi Thalib. Ia hendak
mempertahankan keutuhan wewenangnya dengan mengeksploitasi pembunuhan Khalifah
‘Utsman. Peristiwa-peristiwa di hari-hari kemudian membuktikan bahwa setelah
mengamankan pemerintahan ia tidak mengambil suatu langkah nyata untuk
membalaskan darah ‘Utsman, dan sama sekali tak pernah berbicara tentang para
pembunuh ‘Utsman.
Walaupun
Amirul Mukminin menyadari sejak semula bahwa peperangan akan tak terelakkan, ia
masih terus berusaha menyadarkan Mu’awiah. Pada hari Senin 12 Rajab 36 H.,
setelah kembali ke Kufah dari Perang Jamal, Amirul Mukminin mengutus Jarir ibn
‘AbduIlah al-Bajali ke Mu’awiah di Damsyik dengan membawa sepucuk surat di mana
ia mengatakan bahwa kaum Muhajirin dan Anshar telah membaiatnya dan Mu’awiah
pun harus membaiat kepadanya dahulu baru kemudian mengajukan kasus pembunuhan
‘Utsman kepadanya supaya Amirul Mukminin dapat menjatuhkan keputusan
berdasarkan Al-Qur’an dan sunah. Tetapi Mu’awiah menahan Jarir dengan berbagai
alasan, dan setelah berunding dengan ‘Amr ibn al-‘Ash, ia membangkang dengan
dalih kasus pembunuhan ‘Utsman.
Gubernur
Suriah itu menahan Jarir dengan dalih untuk memberikan jawaban. Sementara ia
mulai menyelidiki sejauh mana rakyat Suriah mendukungnya dengan membangkitkan
semangat balas dendam atas darah ‘Utsman, ia bermusyawarah dengan saudaranya
‘Utbah ibn Abi Sufyan. ‘Utbah menyarankan, “Apabila dalam hal ini ‘Amr ibn ‘Ash
dihubungi, ia akan menyelesaikan banyak kesulitan dengan kecerdikannya. Tetapi,
ia tak akan mudah bersedia untuk menguatkan kekuasaan Anda apabila untuk itu ia
tidak dibayari dengan apa yang diinginkannya. Apabila Anda telah bersedia untuk
itu maka akan ternyata bahwa dia penasihat dan penolong yang terbaik.� Mu’awiah menyukai saran ini. Ia myuruh panggil ‘Amr ibn
“’Ash lalu membicarakan hal itu, dan akhiraya diputuskan bahwa ia akan menuntut
balas atas darah ‘Utsman dengan menuduh Amirul Mukminin bertanggung jawab
atasnya. Sebagai imbalan ia akan menjadi Guberaur Mesir, dan bahwa dalam
keadaan bagaimanapun ia tak akan membiarkan kekuasaan Mu’awiah di Suriah
terganggu. Sesuai dengan itu, keduanya menepati dan memenuhi perjanjian itu.
Dengan
Bantuan orang-orang penting di Suriah ia meyakinkan rakyat yang tak mengetahui
persoalan, bahwa tanggung jawab pembunuhan ‘Utsman terpikul pada ‘Ali, dan
bahwa Ali memberi semangat dan melindungi para pengepung ‘Utsman. Sementara itu
ia menggantungkan baju ‘Utsman yang berlumur darah serta potongan jari-jari
istrinya Na’ilah binti al-Farafishah di mimbar mesjid jamik Damsyik di mana
sekitar 70.000 orang Suriah berikrar untuk membalaskan dendam atas darah
‘Utsman. Setelah berhasil membangkitkan emosi rakyat Suriah sehingga mereka
bertekad bulat untuk mengorbankan nyawa, ia mendapatkan baiat mereka demi
membalas dendam atas pembunuhan ‘Utsman, lalu ia bersiap untuk berperang.
Sesudah itu ia memperlihatkan semua hal itu kepada Jarir lalu mengirimkannya
kembali ke Kufah dalam keadaan malu.
Ketika
Amirul Mukminin mendengar tentang hal ini dari Jarir, ia terpaksa bangkit
menghadapi Mu’awiah. Ia memerintahkan Malik ibn Habib al-Yarbu’i untuk
mengerahkan pasukan di lembah al-Nukhailah. Sehubungan dengan itu, orang dari
sekitar Kufah datang ke sana dalam kelompok-kelompok besar sehingga jumlahnya
melebihi 80.000 orang. Mula-mula Amirul Mukminin mengirimkan kontingen depan
sebesar 8.000 di bawah komando Ziyad ibn an-Nadhr al-Haritsi dan pasukan 4.000
orang di bawah pimpinan Syuraih ibn Hani al-Haritsi ke Suriah. Setelah
berangkatnya kontingen depan ini, Amirul Mukminin sendiri berangkat ke Suriah
memimpin sisa tentara itu, pada hari Rabu 5 Syawal.
Setelah
keluar perbatasan kota Kufah, ia mendirikan salat lohor dan setelah berkemah di
Dair Abi Musa, (sungai) Nahr Nars, Qubat Qubbin, Babil, Dair Ka’b, Karbala’,
Sabat, Baburasini, al-Anbar dan al-Jazirah ia tiba di ar-Riqah. Penduduk tempat
ini menyukai ‘Utsman, dan di tempat inilah Simak ibn Makhtamah al-Asadi
bertengkar dengan 800 orangnya. Orang-orang itu telah berangkat dari Kufah
untuk bergabung dengan Mu’awiah setelah membelot dari Amirul Mukminin. Ketika
melihat pasukan Amirul Mukminin, mereka membongkar jembatan Sungai Efrat supaya
pasukan Amirul Mukminin tak dapat menggunakannya untuk menyeberang. Tetapi,
dengan ancaman Malik ibn al-Harits al-Asytar an-Nakha’i mereka ketakutan, dan
setelah berunding di antara sesamanya mereka memperbaiki lagi jembatan itu dan
Amirul Mukminin melewatinya dengan tentaranya. Di seberang sungai itu ia
melihat Ziyad dan Syuraih sedang berhenti di sana bersama pasukan mereka karena
keduanya mengambil jalan darat. Ketika sampai di sana mereka dapati bahwa
Mu’awiah sedang maju dengan tentaranya ke Sungai Efrat, dan karena berpikir
bahwa mereka tidak akan mampu menghadapinya, mereka berhenti di sana sambil
menunggu Amirul Mukminin. Ketika mereka memberikan alasan kepada Amirul
Mukminin mengapa mereka berhenti di situ, Amirul Mukminin menerima alasannya
lalu mengirimnya ke depan. Ketika mereka sampai di Sur ar-Rum, mereka
mendapatkan bahwa Abu al-A’war as-Sulami (pihak Mu’awiyah) sedang berkemah di
sana dengan tentaranya. Keduanya melaporkan hal ini kepada Amirul Mukminin,
lalu ia mengirim Malik al-Haritsi al-Asytar untuk menyusul mereka sebagai
komandan sambil mengingatkannya supaya tidak memulai pertempuran melainkan
berusaha menasihati mereka dan memberitahukan kepada mereka keadaan yang
sebenarnya sedapat mungkin.
Ketika
tiba di sana Malik al-Asytar berkemah agak jauh dari situ. Pertempuran mungkin
akan meletus setiap saat, tetapi ia tidak mengganggu pihak lainnya dan tidak
pula ia mengambil langkah yang mungkin memulai pertempuran. Tetapi Abu al-A’war
menyerang secara tiba-tiba di malam hari yang atasnya mereka menghunus pedang
untuk memukulnya mundur. Bentrokan itu terjadi beberapa lamanya tetapi akhirnya
Abu al-A’war melarikan diri di malam hari. Karena pertempuran telah dimulai,
segera setelah fajar, seorang komandan pasukan ‘Iraq, Hasyim ibn ‘Uqbah
al-Mirqal az-Zuhri, datang menghadapinya di medan tempur. Dari pihak lain
datang pula suatu kontingen, dan api pertempuran pun berkecamuk. Pada akhirnya
Malik al-Asytar menantang Abu al-A’war bertarung dengannya, tetapi yang
ditantang ini tak berani menghadapinya dan di sore hari Malik al-Asytar
maju.dengan pasukannya. Keesokan harinya Amirul Mukminin sampai di sana dengan
pasukannya lalu berangkat ke Shifffn bersama kontingen depannya dan
pasukan-pasukan lainnya.
Mu’awiah
telah lebih dahulu tiba di sana dan telah mendirikan basisnya. Ia juga telah
menempatkan pengawal di Sungai Efrat dan telah mendudukinya. Ketika tiba di
sana Amirul Mukminin menyampaikan kepadanya untuk menyingkirkan pasukan
pengawalnya dari Sungai Efrat itu, tetapi Mu’awiah menolaknya. Karenanya
pasukan ‘Iraq menghunus pedang lalu menyerang dan merebut tempat di sungai itu.
Setelah
itu Amirul Mukminin mengutus Basytr ibn ‘Arnr al-Anshari, Sa’id ibn Qais
al-Hamdani dan Syabats ibn Ribi’ at-Tamimi kepada Mu’awiah untuk
memperingatkannya tentang akibat-akibat peperangan dan mengajaknya membaiat. Tetapi
jawabannya adalah bahwa mereka sama sekali tidak akan mengabaikan darah ‘Utsman
dan sekarang hanya pedang yang dapat menjadi perantara mereka.
Akibatnya,
dalam bulan Zulhijah 36 H. kedua pihak memutuskan untuk berperang dan para
prajurit dari masing-masing pihak keluar untuk berhadapan di medan. Yang
memasuki medan dari pihak Amirul Mukminin adalah Hujr ibn ‘Adi al-Kindi,
Syabats ibn Ribi’ at-Tamimi, Khalid ibn al-Mu’ammar, Ziyad ibn an-Nadhr
al-Haritsi, Ziyad ibn Khashafah at-Taimi, Sa’id al-Hamdani, Qais ibn Sa’d
al-Anshari, dan Malik al-Asytar an-Nakha’i. Dari pihak Suriah, ‘Abdur-Rahman
ibn Khalid ibn Walid al-Makhzumi, Abu al-A’War as-Sulami, Habib ibn Maslamah
al-Fihri, ‘Abdullah ibn Dzil-Kala’ al-Himyari, ‘Ubaidullah ibn ‘Umar ibn
Khaththab, Syurahbil ibn Simth al-Kindi, dan Hamzah ibn Malik al-Hamdani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar