Apakah Seorang Wali Dapat Mengetahui Kewalian Dirinya
Ustad Abu Bakar bin Faurak
mengatakan bahwa seorang wali tidak mungkin mengetahui bahwa dirinya adalah
seorang wali. Sementara Ustad Abu 'Ali al-Daqaq dan Abu Qasim al-Qusyairi
(muridnya) mengatakan bahwa hal itu mungkin. Alasan kedua pendapat yang
berseberangan ini cukup banyak.
Alasan pertama: Kalau seseorang mengetahui bahwa dirinya adalah wali, maka
ia akan merasa aman, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Ingatlah,
sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak merasa takut dan tidak bersedih hati (QS
Yunus [10]: 62). Akan tetapi meraih keyakinan rasa aman itu tidak
diperbolehkan, karena beberapa alasan:
1) Allah berfirman, Tiada yang
merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi (QS Al-A'raf [7]:
99). Putus asa juga tidak diperbolehkan, sebagaimana dinyatakan dalam
firman-Nya, Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum
yang kafir (QS Yusuf [12]: 87). Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat
Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat (QS Al-Hijr [15]: 56). Artinya, rasa
aman hanya akan dirasakan oleh orang yang keyakinannya lemah, keputusasaan
hanya akan dirasakan oleh orang yang keyakinannya sedikit. Keyakinan yang lemah
dan sedikit kepada hak-hak Allah adalah perbuatan kufur, maka orang yang merasa
aman dari siksa Allah dan putus asa dari rahmat Allah adalah orang yang kafir.
2) Ketaatan sebesar apa pun tetap lebih besar rasa terpaksa, jika rasa terpaksa ini mendominasi jiwa seseorang, maka tidak akan diperoleh rasa aman.
3) Rasa aman akan menyebabkan hilangnya penghambaan kepada Allah. Hilangnya sikap pengabdian dan penghambaan kepada Allah akan menimbulkan rasa permusuhan, sedangkan rasa aman menyebabkan hilangnya rasa takut.
4) Allah menyifati orang-orang yang ikhlas dengan firman-Nya, Dan mereka berdoa kepada Kami dengan rasa berharap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami (QS Al-Anbiya' [21]: 90). Sebagian orang menafsirkan bahwa berdoa dengan rasa berharap di sini adalah berdoa memohon pahala kepada Allah, sementara berdoa dengan rasa takut adalah takut terhadap siksa Allah. Pendapat lain mengatakan bahwa ayat di atas bermakna berdoa dengan mengharap karunia Allah dan berdoa dengan rasa takut terhadap siksa-Nya. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat di atas menganjurkan berdoa dengan mengharap dapat berjumpa dengan Allah, dan berdoa dengan rasa takut berpisah dari Allah. Adapun pendapat yang paling tepat adalah berdoa dengan mengharap kepada Allah dan rasa takut terhadap-Nya.
2) Ketaatan sebesar apa pun tetap lebih besar rasa terpaksa, jika rasa terpaksa ini mendominasi jiwa seseorang, maka tidak akan diperoleh rasa aman.
3) Rasa aman akan menyebabkan hilangnya penghambaan kepada Allah. Hilangnya sikap pengabdian dan penghambaan kepada Allah akan menimbulkan rasa permusuhan, sedangkan rasa aman menyebabkan hilangnya rasa takut.
4) Allah menyifati orang-orang yang ikhlas dengan firman-Nya, Dan mereka berdoa kepada Kami dengan rasa berharap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami (QS Al-Anbiya' [21]: 90). Sebagian orang menafsirkan bahwa berdoa dengan rasa berharap di sini adalah berdoa memohon pahala kepada Allah, sementara berdoa dengan rasa takut adalah takut terhadap siksa Allah. Pendapat lain mengatakan bahwa ayat di atas bermakna berdoa dengan mengharap karunia Allah dan berdoa dengan rasa takut terhadap siksa-Nya. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat di atas menganjurkan berdoa dengan mengharap dapat berjumpa dengan Allah, dan berdoa dengan rasa takut berpisah dari Allah. Adapun pendapat yang paling tepat adalah berdoa dengan mengharap kepada Allah dan rasa takut terhadap-Nya.
Alasan kedua: Seorang wali tidak mengetahui bahwa dirinya wali, sebab ia
menjadi wali karena Allah mencintainya, bukan karena ia mencintai Allah, demikian
juga sebaliknya seseorang menjadi musuh Allah karena Allah memusuhinya bukan
karena ia memusuhi Allah. Mencintai dan memusuhi Allah adalah dua rahasia yang
tidak tampak pada diri seseorang. Ketaatan dan kemaksiatan hamba tidak
mempengaruhi seseorang untuk mencintai atau memusuhi Allah, karena ketaatan
adalah sesuatu yang baru muncul kemudian, sedangkan sifat Allah itu kekal dan
tidak terbatas. Sesuatu yang baru dan terbatas tidak dapat mengalahkan yang
kekal dan tak terbatas. Berdasarkan hal ini, terkadang seorang hamba bermaksiat
kepada Allah saat ini, padahal sebelumnya ia mencintai-Nya, terkadang juga
seorang hamba taat kepada-Nya saat ini padahal dulunya ia bermaksiat
terhadap-Nya. Pada prinsipnya, mencintai dan memusuhi Allah adalah sifat,
sedangkan sifat Allah tidak bisa dijelaskan alasannya. Barangsiapa mencintai
Allah tanpa alasan, maka ia tidak akan menjadi musuh-Nya karena melakukan
maksiat. Barangsiapa memusuhi Allah tanpa alasan, maka ia tidak akan menjadi
pencinta Allah karena melakukan ketaatan. Karena mencintai dan memusuhi Allah
merupakan dua rahasia yang tidak bisa dilihat, maka Nabi Isa a.s. berkata.
Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku, sementara aku tidak mengetahui apa
yang ada dalam diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang gaib.
(QS Al-Maidah [5]: 116)
Alasan ketiga: Seorang wali tidak mungkin mengetahui bahwa dirinya wali
karena hukum yang menentukan bahwa seseorang termasuk wali, orang yang
berpahala, dan penghuni surga tergantung pada akhir kehidupan, dalilnya adalah
firman Allah yang menyatakan, Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya
pahala sepuluh kali lipat amalnya, dan barangsiapa membawa amal yang buruk maka
dia ia hanya diberi balasan yang sepadan dengan amal buruknya (QS Al-Maidah
[6]: 160). Firman Allah tersebut bukan berbunyi, Barangsiapa mengerjakan
kebaikan, maka baginya pahala sepuluh kali lipat sepadan dengan perbuatannya
itu. Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan pahala dari Allah tergantung pada
akhir pelaksanaan, bukan pada awal perbuatan. Yang memperkuat pendapat ini
adalah dalil yang menyatakan bahwa apabila seseorang menghabiskan seluruh
usianya dalam kekufuran, lalu di akhir hayatnya ia masuk Islam, maka ia
termasuk golongan orang yang mendapatkan pahala, begitu pula sebaliknya. Hal ini
menunjukkan bahwa yang penting adalah akhirnya bukan awal perbuatannya. Karena
itu, Allah berfirman, Katakanlah kepada orang-orang kafir itu, "Jika
mereka berhenti dari kekufuran, niscaya Alah akan mengampuni dosa-dosa mereka
yang telah lalu" (QS Al-Anfal [8]: 38). Jadi, ketetapan bahwa seseorang
termasuk wali atau musuh Allah, orang yang mendapat pahala atau mendapat siksa
terletak di akhir hidupnya. Dan telah jelas bahwa akhir kehidupan tidak
diketahui oleh seorang pun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang
wali tidak bisa mengetahui bahwa dirinya wali.
Adapun mereka yang menyatakan bahwa seorang wali terkadang bisa mengetahui kedudukannya sebagai wali, berpegang pada kesahihan pendapat mereka yang menyatakan bahwa kewalian terdiri dari beberapa unsur:
Adapun mereka yang menyatakan bahwa seorang wali terkadang bisa mengetahui kedudukannya sebagai wali, berpegang pada kesahihan pendapat mereka yang menyatakan bahwa kewalian terdiri dari beberapa unsur:
- Secara lahiriah, ia tunduk dan patuh kepada syariat.
- Secara batiniah, ia tenggelam dalam cahaya hakikat.
Apabila seseorang telah mencapai dua
unsur ini dan orang-orang mengetahui manifestasi dari dua unsur di atas, maka
eksistensi kewaliannya bisa diketahui. Kepatuhan kepada syariat secara lahir
terlihat dari tindakan lahir, sementara tenggelamnya batin dalam cahaya hakikat
berupa kesenangan menaati Allah dan mengingat-Nya, tiada sesuatu pun dalam
dirinya selain Allah.
Banyak kesalahan yang samar dalam
pembahasan tentang apakah wali mengetahui kedudukannya sebagai wali atau tidak,
penetapannya sulit, pengalamannya membahayakan, kepastiannya adalah tipuan, dan
di depan jalan menuju alam ketuhanan ada tabir-tabir yang terkadang berupa api
dan terkadang berupa cahaya. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui hakikat dari
rahasia-rahasia.
Sayyid 'Abdul Ghani al-Nabulusi
dalam Syarh al-Thariqah al-Muhammadiyyah mengutip penuturan Imam Barkawi yang
menyatakan bahwa karamah wali itu benar-benar ada. Karamah adalah munculnya
hal-hal luar biasa yang tidak dibarengi niat untuk menampakkannya, yang muncul
di tangan seorang hamba untuk menampakkan kemaslahatan, dipakai untuk
menetapkan ittiba'nya (ketaatannya) kepada Nabi Saw., didukung oleh keyakinan
yang benar dan amal saleh. Adapun kejadian luar biasa yang tidak dibarengi niat
untuk memperlihatkannya seperti halnya mukjizat, yang muncul di tangan orang
yang secara lahiriah dinilai baik, disebut sebagai ma'unah. Ma'unah adalah
kejadian luar biasa di tangan orang-orang muslim awam untuk melepaskan diri
dari berbagai cobaan dan hal-hal yang tidak disukai, disertai keyakinan yang
benar dan amal saleh, dijauhkan dari istidraj, dan dengan mengikuti Nabi Saw.
Nabi memperlihatkan kejadian luar biasa untuk mengokohkan kebohongan para
pendusta, seperti meludahnya Musailamah ke dalam sumur air tawar agar airnya
terasa manis, tetapi yang terjadi justru airnya asin dan pahit.
Al-Laqani menyatakan bahwa karamah
diperuntukkan bagi para wali, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat.
Karena kewalian seorang wali tidak terlepas meskipun ia wafat. Seperti Nabi
yang tidak lepas dari status kenabiannya. Wali adalah orang yang 'arif,
mengetahui Allah dan sifat-sifat-Nya, senantiasa taat, menjauhi maksiat, dan
bersungguh-sungguh menahan diri dari kenikmatan dan hawa nafsu. Al-Sa'di
mengungkapkan dalam kitab Syarh al-'Aqaid bahwa dengan mengekang hawa nafsu,
keinginan untuk bersenang-senang dan mengumbar hawa nafsu akan hilang, hanya
saja seorang wali tidak diboleh mencegah diri dari melakukan hal-hal yang
dimudahkan dan dihalalkan baginya.
Karamah para wali adalah kebenaran
yang ditegaskan dalam nash Al-Qur'an, di antaranya dalam kisah Maryam, Setiap
Zakaria masuk ke mihrab untuk menemui Maryam, ia mendapati makanan di sisi
Maryam. Zakaria bertanya, "Hai Maryam, dari mana engkau memperoleh semua
makanan ini?" Maryam menjawab, "Makanan itu dari Allah" (QS Ali
'Imran [3]: 37). Maryam berada dalam asuhan Zakaria a.s., dan tak seorang pun
pernah masuk ke dalam mihrab Maryam, selain Zakaria. Bila Zakaria keluar dari
sana, tertutuplah tujuh pintu mihrab tersebut. Setiap Zakaria masuk ke mihrab
Maryam, ia menemukan buah-buahan musim dingin pada musim panas, dan menemukan
buah-buahan musim panas ketika cuaca dingin. Zakaria merasa heran dan menanyai
Maryam. Maryam menjawab bahwa semua itu adalah rezeki dari Allah, Dialah
Pemberi rezeki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dari jalan yang tidak
disangka-sangka.
Kisah lain dalam Al-Qur'an yang
menegaskan adanya karamah adalah kisah tentang ashabul kahfi yang tinggal dalam
gua selama bertahun-tahun tanpa makan dan minum dan kisah tentang Asif bin
Barkhiya yang mampu menghadirkan singgasana Ratu Bilqis sebelum Nabi Sulaiman
mengedipkan matanya. Karamah para sahabat, tabi'in (generasi setelah sahabat), dan
orang-orang saleh sesudahnya diriwayatkan secara mutawatir dalam hal makna atau
inti ceritanya walaupun perinciannya disampaikan secara ahad.
Dalam kitabnya, Syarh Maqasid
al-Maqasid, Al-Dulji berkata, "Orang-orang yang mengingkari karamah bukan
termasuk ahli bid'ah. Anehnya, meskipun mereka belum pernah meyaksikan langsung
karamah para wali dan belum pernah mendengarnya secara langsung dari para
pemimpin mereka padahal mereka bersungguh-sungguh dalam beribadah dan menjauhi
kemaksiatan, tetapi mereka mencaci maki wali-wali Allah sebagai pemilik karamah
dan menyakiti hati mereka, karena mereka tidak mengerti bahwa karamah
didasarkan pada akidah yang jernih, jiwa yang bersih, jalan dan hakikat
pilihan. Bahkan sangat mengherankan pendapat sebagian ahli fikih pengikut
Sunnah yang diriwayatkan Ibrahim bin Adham r.a. di Basrah dan Mekah pada hari
tarwiyyah (lempar jumrah), yang menyatakan bahwa orang yang meyakini hal-hal
tersebut adalah kafir. Pendapat yang moderat diungkapkan oleh Al-Nasafi ketika
ia ditanya tentang suatu berita yang menyatakan bahwa Ka'bah selalu dikunjungi
oleh salah seorang wali, betulkah kabar itu? Ia menjawab, 'Itu melanggar
kebiasaan para wali yang menempuh jalan karamah, tetapi mungkin saja bagi orang
yang mengikuti Sunnah Nabi Saw. yang biasa menempuh jarak jauh dalam waktu
singkat.' Hal-hal tersebut dimasukkan oleh para ahli fikih pengikut Hanafi dan
Syafi'i ke dalam pembahasan masalah-masalah syariat."
Ibnu Hajar al-Haitami al-Syafi'i
menjelaskan dalam kitab Al-Fatawa bahwa jika seorang musafir tiba di suatu
negeri saat matahari telah terbenam, lalu ia melaksanakan shalat Maghrib di
sana, kemudian ia sampai di tempat pemberhentian lain yang di sana matahari
belum terbenam, padahal ia telah melakukan shalat magrib di negeri pertama, maka
ia tidak wajib mengulang shalatnya. Munculnya makanan, minuman, dan pakaian
secara gaib ketika dibutuhkan seperti yang terjadi pada para wali, kemampuan
terbang di udara seperti dikutip dari Ja'far bin Abi Thalib dan Luqman
al-Sarkhasi, kemampuan berjalan di atas air, berbicara dengan benda mati dan
binatang seperti binatang ternak dan burung dan lain-lain adalah sebagian dari
kejadian-kejadian luar biasa yang terjadi pada para wali. Semua itu adalah
penghormatan dari Allah untuk mereka, dan merupakan mukjizat bagi Rasul-Nya,
meskipun beliau sudah wafat. Dalam hal ini, munculnya mukjizat tidak harus
ketika Rasul masih hidup, tetapi juga bisa terjadi setelah beliau wafat.
Demikian pula karamah bisa terjadi setelah sang wali wafat, seperti telah
dijelaskan pada akhir penjelasan Sayyid 'Abdul Ghani al-Nablusi dalam Syarh
al-Thariqah al-Muhammadiyyah.
Dalam kitabnya Nasyrul Mahasin
al-Ghaliyyah, Imam Yafi'i mengutip pendapat tokoh-tokoh umat ahlus sunnah wa
al-jama'ah dan para syaikh tentang kemungkinan terjadinya sesuatu di luar adat
yang muncul dari karamah para wali. Di antara ulama-ulama tersebut adalah Imam
Haramain, Abu Bakar al-Baqillani, Abu Bakar bin Fauraq, Hujjatul Islam
Al-Ghazali, Fahruddin al-Razi, Nashiruddin al-Baidhawi, Muhammad bin 'Abdul Malik
al-Salma, Nashiruddin al-Thusi, Hafiduddin al-Nasafi, dan Abu Qasim
al-Qusyairi. Setelah mengutip pendapat mereka, Al-Yafi'i berkata, "Mereka
adalah sepuluh imam yang sebagiannya menyusun kitab-kitab dan memiliki
pembicaraan tentang agama yang bisa dijadikan pegangan dalam bidang akidah
ahlus sunnah wa al-jama'ah. Tidak perlu menyebut lebih banyak lagi, karena
menyebut sepuluh saja sudah dianggap cukup. Mereka sepakat bahwa perbedaan
antara karamah dan mukjizat adalah pada tingkat kenabian semata, dan tidak satu
pun dari mereka yang mensyaratkan bahwa jenis dan keagungan karamah tergantung
kepada mukjizat."
Imam Abu Qasim al-Qusyairi
mengungkapkan dalam Al-Risalah karyanya bahwa kemunculan karamah pada para wali
mungkin terjadi karena bisa dipahami secara rasional, lagi pula kemunculannya
tidak melenyapkan asal-usul karamah, tetapi justru menunjukkan sifat-sifat
Allah Yang Maha Kuasa. Jika keberadaan karamah sangat tergantung kepada Allah,
maka tidak ada satu pun hal yang dapat merintangi keberadaannya. Kemunculan
karamah merupakan tanda kejujuran orang yang memilikinya. Orang yang tidak
jujur tidak mungkin mampu memunculkan karamah. Dalilnya adalah bahwa ilmu
ma'rifat yang diberikan Allah kepada manusia sehingga ia bisa membedakan antara
orang yang jujur dengan orang yang batil ketika meniti jalan yang ditempuhnya
adalah persoalan yang abstrak. Hal-hal itu tidak akan terjadi kecuali pada para
wali secara khusus, tidak pada orang yang hanya berpura-pura mengaku wali.
Inilah persoalan karamah yang sedang kita bicarakan. Karamah pasti merupakan
sesuatu yang bertentangan dengan adat kebiasaan dan menjelaskan sifat kewalian
untuk menyatakan kebenaran keadaannya.
Banyak ulama membahas perbedaan
antara karamah dan mukjizat, salah satunya adalah Imam Abu Ishaq al-Asfaraini
yang menyatakan bahwa mukjizat adalah tanda-tanda kebenaran para nabi dan dalil
kenabian yang hanya ada pada nabi, sedangkan wali memiliki karamah seperti
terkabulnya doa, tetapi mereka tidak memiliki mukjizat seperti
yang dimiliki para nabi.
yang dimiliki para nabi.
Imam Abu Bakar bin Faurak R.A.
menyatakan bahwa mukjizat adalah tanda-tanda kebenaran. Jika pemilik mukjizat
mengaku sebagai nabi maka mukjizatnya itu menunjukkan kebenaran pengakuannya.
Jika pemilik mukjizat mengaku sebagai wali, maka mukjizatnya itu menunjukkan
kebenaran pengakuannya, tetapi hal itu disebut karamah, bukan mukjizat,
meskipun serupa dengan mukjizat, tetapi memiliki perbedaan yang nyata.
Al-Qusyairi mengemukakan pendapat
orang yang paling ahli dalam bidang mukjizat pada masanya yaitu Al-Qadhi Abu
Bakar al-Asy'ari r.a. yang menyatakan, "Mukjizat dikhususkan bagi para
nabi, sedangkan karamah untuk para wali. Para wali tidak memiliki mukjizat,
karena di antara syarat-syarat mukjizat adalah jika kejadian-kejadian luar
biasa itu dibarengi dengan pengakuan kenabian. Kejadian luar biasa tidak
disebut mukjizat hanya karena bentuknya saja, tetapi disebut mukjizat karena
adanya banyak syarat yang dipenuhinya, jika ada satu saja syarat yang tidak
terpenuhi, maka itu bukan mukjizat. Satu dari beberapa syarat mukjizat adalah
pengakuan kenabian, sedangkan wali tidak menyatakan pengakuan kenabian, jadi
yang muncul darinya bukanlah mukjizat."
Al-Qusyairi menegaskan, "Pendapat
inilah yang kami pegang dan ungkapkan, bahkan kami meminjamnya. Semua syarat
mukjizat atau sebagian besarnya ada dalam karamah, kecuali syarat pengakuan
kenabian saja."
Al-Qusyairi mengungkapkan bahwa
karamah adalah peristiwa yang mungkin terjadi, karena tidak ada sesuatu yang
dahulu khusus ada pada seseorang, bertentangan dengan kebiasaan dan tampak pada
masa taklif, muncul pada hamba sebagai bentuk pengkhususan dan pengutamaan,
kadang sebagai hasil dari ikhtiar dan doanya, namun kadang bukan karena
ikhtiar. Wali tidak diperintah untuk memohon karamah bagi dirinya.
Al-Qusyairi berkata, "Tidak
setiap karamah yang dimiliki seorang wali wajib dimiliki oleh seluruh wali,
bahkan meskipun seorang wali tidak memiliki karamah secara lahiriah di dunia,
hal tersebut tidak mempengaruhi kedudukannya sebagai wali. Berbeda dengan para
nabi yang harus memiliki mukjizat, karena mereka diutus kepada manusia yang
harus mengetahui kebenarannya, dan tidak ada jalan lain kecuali dengan
mukjizat. Sebaliknya kedudukan sebagai wali tidak harus diketahui oleh orang
lain."
Masih menurut Al-Qusyairi,
sesungguhnya seorang wali tidak merasa senang dengan karamah yang muncul pada
dirinya tidak juga memiliki perhatian yang besar kepadanya. Ketika muncul
karamah padanya, keyakinannya semakin kuat dan mata hatinya semakin tajam untuk
menegaskan bahwa karamah adalah perbuatan Allah, yang dengannya mereka
memperoleh bukti kebenaran akidah yang diyakininya. Singkatnya kemunculan
karamah pada para wali adalah wajib, begitu juga menurut kebanyakan ahli
ma'rifat. Dan karena banyaknya riwayat mutawatir tentang eksistensi karamah, baik
berupa khabar maupun hikayat, maka keyakinan dan pengetahuan tentang adanya
karamah pada para wali tidak diragukan lagi. Barangsiapa bersikap moderat
terhadap masalah karamah, didukung dengan hikayat dan khabar mutawatir, maka ia
tidak akan meragukan karamah.
Al-Qusyairi kemudian mengemukakan
bahwa di antara dalil-dalil dari pendapat di atas adalah nash Al-Qur'an tentang
sahabat Nabi Sulaiman yang berkata, "Aku akan datang kepadamu dengan
membawa singgasana (Balqis) kepadamu sebelum matamu berkedip" (QS
Al-Naml[27]: 40), padahal ia bukan seorang nabi. Juga riwayat tentang Umar bin
Khattab R.A. yang tiba-tiba berkata, "Hai para kabilah di atas
gunung!" padahal ia sedang menyampaikan khutbah Jumat, suara Umar didengar
oleh pasukan Islam yang berada di gunung, sehingga mereka selamat dari tempat
persembunyian musuh di gunung saat itu.
Bagaimana mungkin diperbolehkan
melebihkan karamah para wali di atas mukjizat para nabi, dan bolehkah
mengutamakan para wali di atas para nabi? Menurut Al-Qusyairi, karamah para
wali terkait dengan mukjizat Nabi Muhammad Saw., karena setiap orang yang tidak
jujur dan sungguh-sungguh dalam Islamnya maka ia tidak akan mampu memunculkan
karamah. Setiap nabi yang memunculkan karamahnya kepada salah seorang umatnya,
maka karamah itu termasuk mukjizatnya. Jika seorang rasul tidak mempercayai
umatnya, maka tidak akan muncul karamah pada umatnya. Adapun tingkatan para
wali tidak akan menyamai tingkatan para nabi berdasarkan dalil ijma'
(kesepakatan ulama). Mengenai hal tersebut, Al-Qusyairi menjelaskan bahwa
karamah terkadang berupa terkabulnya doa, munculnya makanan ketika dibutuhkan
tanpa sebab yang jelas, ditemukannya air ketika haus, kemudahan menempuh jarak
dalam waktu sekejap, terbebas dari musuh, mendengar percakapan tanpa rupa, dan
hal-hal lain yang bertentangan dengan kebiasaan.
Al-Qusyairi menyatakan bahwa pada masa sekarang ini banyak kemampuan wali yang tampak, padahal seorang wali tidak diperkenankan untuk memperlihatkan karamahnya, baik karena terpaksa atau sedikit keterpaksaan. Di antara karamah adalah dilahirkannya seorang manusia tanpa ayah dan ibu dan mengubah benda mati, binatang
ternak, atau hewan-hewan lain.
Al-Qusyairi menyatakan bahwa pada masa sekarang ini banyak kemampuan wali yang tampak, padahal seorang wali tidak diperkenankan untuk memperlihatkan karamahnya, baik karena terpaksa atau sedikit keterpaksaan. Di antara karamah adalah dilahirkannya seorang manusia tanpa ayah dan ibu dan mengubah benda mati, binatang
ternak, atau hewan-hewan lain.
Al-Qusyairi mengungkapkan,
"Wali adalah orang yang
senantiasa menjaga ketaatan. Barangsiapa mencintai Allah Swt, maka Dia akan
menjaga dan melindunginya. Allah tidak akan membiarkannya berbuat maksiat. Dia
akan melanggengkan pertolongan-Nya kepada orang yang taat, sebagaimana
dinyatakan dalam firman-Nya," Dan Dia melindungi orang-orang yang saleh
"(QS Al-A'raf [7]: 196). Para wali bukan orang yang ma'shum (terjaga dari
kesalahan dan dosa) seperti para nabi, tetapi orang yang terjaga, sehingga
tidak terus menerus berada dalam dosa."
Sahal bin 'Abdullah berkata,
"Siapa yang zuhud terhadap dunia selama 40 hari dengan ketulusan dan
kejujuran dari lubuk hatinya, maka muncullah karamah padanya. Bila tidak muncul
karamah, berarti zuhudnya tidak benar." Lalu ada yang bertanya kepada
Sahal, "Bagaimana cara karamah tampak padanya?" Sahal menjawab,
"Dengan memperoleh segala yang diinginkannya."
Karamah paling agung yang dimiliki para wali adalah langgengnya ketaatan dan terjaga dari kemaksiatan dan pelanggaran. Demikianlah pendapat Al-Qusyairi tentang karamah.
Karamah paling agung yang dimiliki para wali adalah langgengnya ketaatan dan terjaga dari kemaksiatan dan pelanggaran. Demikianlah pendapat Al-Qusyairi tentang karamah.
Syaikhul Akbar Sayyid Muhyiddin Ibnu
'Arabi r.a. mengemukakan dalam kitabnya Mawaqi' al-Nujum wa Mathali' Ahl
al-Asrar wa al-'Ulum bahwa Nabi Isa A.S. memperoleh kedudukan yang mulia dan
penglihatan yang agung berupa kemampuan menghidupkan orang mati dan
menyembuhkan orang buta dan orang sakit lepra dengan izin Allah. Demikian juga
Ibrahim A.S. mampu menghidupkan burung-burung; mengumpulkan bagian-bagian
burung yang telah terpotong-potong menjadi beberapa bagian, kemudian mencampur
daging-dagingnya. Ibrahim memanggil potongan-potongan burung, dan burung-burung
tersebut segera datang kepadanya, semua terjadi dengan seizin Allah. Bukan hal
yang bertentangan dengan akal ketika Allah memuliakan seorang wali dengan
memberinya karamah dan menampakkan karamah di tangannya. Setiap karamah akan
diperoleh wali atau akan ditunjukkan melalui tangannya. Kemuliaan karamah
merujuk kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan mengikuti Rasulullah dan tetap menaati
batas-batas yang ditetapkan olehnya maka karamah adalah hal yang benar. Dalam
persoalan ini, para ulama berbeda pendapat, ada yang berpendapat bahwa mukjizat
Nabi SAW. adalah karamah bagi wali, ada juga yang menolak pendapat ini, ada
juga yang berpendapat bahwa wali memiliki karamah yang bukan merupakan mukjizat
bagi Nabi Muhammad Saw.
Tokoh-tokoh sufi tidak menafikan
karamah karena mereka melihatnya ada pada diri mereka sendiri dan rekan-rekan
mereka, karena mereka adalah orang yang mencapai tingkatan kasyf dan dzauq.
Jika kami mengungkapkan karamah-karamah yang kami saksikan dan cerita-cerita
dari orang-orang tsiqah (tepercaya) tentang karamah, pasti orang yang
mendengarnya akan mendustakannya, bahkan mungkin mencelanya. Hal itu
dikarenakan kurangnya pemahaman mereka terhadap diri orang yang menampakkan
karamah melalui tangannya, karena kepribadian dan sikap mereka yang memandang
rendah terhadapnya. Kalau saja ia menyempurnakan pandangannya terhadap orang
yang mampu dan dipilih oleh Allah untuk menunjukkan karamah, tentu kebingungan
dan sikap mereka yang mendustakannya tidak akan muncul.
Ibnu 'Arabi menyatakan bahwa ia
sungguh-sungguh pernah bertemu seorang sufi pada masanya yang berkata,
"Seandainya aku melihat kejadian luar biasa muncul dari tangan seseorang,
niscaya aku akan menganggap peristiwa tersebut dusta menurut logikaku, tetapi
jika memang peristiwa itu benar-benar terjadi dan menurutku itu mungkin maka
sesungguhnya jika Allah menghendaki terjadinya sesuatu yang luar biasa di
tangan seseorang, pastilah akan terjadi."Ibnu 'Arabi mengomentari orang
itu, "Lihatlah! Alangkah tebal penghalang ini, begitu ingkar dan bodohnya
ia. Semoga Allah menjaga tangan-tangan kita dan tangannya serta cahaya mata
hatinya."
Imam Tajuddin al-Subki dalam kitab
Thabaqatnya berbicara panjang lebar tentang ketetapan adanya karamah para wali
dan menyatakan kepalsuan argumentasi para penentang karamah. Setelah menjelaskan
beberapa karamah sahabat Nabi SAW., ia berkata, "Peristiwa-peristiwa luar
biasa yang muncul dari tangan para sahabat yang telah kami ceritakan akan
diterima orang yang memiliki bashirah(penglihatan mata hati). Kami akan
mengemukakan dalil-dalil khusus untuk mematahkan kekacauan pandangan para
penentang karamah dan menangkis argumen mereka. Menurut kami, ada beberapa
macam dalil tentang penetapan karamah:
- Cerita yang tersebar dan terdengar yang tidak diingkari, kecuali oleh orang bodoh dan orang yang menolak karamah para ulama dan orang saleh, seperti keberanian 'Ali dan kedermawanan Hatim. Mengingkari karamah itu lebih besar tingkat kedurhakaannya, karena karamah lebih dikenal dan lebih nyata, dan hanya orang yang hatinya tertutup yang menentang adanya karamah.
- Kisah Maryam yang hamil tanpa suami, tersedianya kurma segar dari batang kurma kering untuknya, dan adanya makanan yang bukan musimnya di sisi Maryam tanpa sebab. Sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, "Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia menemukan makanan di sisinya. Zakaria bertanya, "Hai Maryam, dari mana kamu memperoleh makanan ini?" Maryam menjawab, "Semua ini dari Allah" "(QS Ali 'Imran [31:37), padahal Maryam bukan seorang nabi.
- Kisah ashabul kahfi (penghuni gua) yang tertidur dalam sebuah gua selama 300 tahun lebih tanpa terkena penyakit dan tetap kuat seperti sediakala meski tanpa makan dan minum. Hal itu termasuk menyalahi kebiasaan manusia. Mereka bukan nabi, jadi semua yang mereka alami bukanlah mukjizat, melainkan karamah.
- Kisah Asif bin Barkhiya dengan Sulaiman a.s. ketika memboyong singgasana Ratu Bilqis sebelum Sulaiman mengedipkan matanya. Kebanyakan mufassir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Asif dalam kisah tersebut adalah orang yang memiliki ilmu dari Al-Kitab. Kami telah memengemukakan kisah-kisah tentang karamah beberapa sahabat dan orang-orang sesudah mereka yang disampaikan secara mutawatir. Kalau saja ada seseorang yang mau mencurahkan segala daya untuk meneliti kisah-kisah tersebut, tentu akan diperoleh data yang berlimpah. Sejak dulu sampai sekarang selalu ada orang-orang seperti itu, bahkan kami mengambil kesimpulan dari kisah-kisah yang ada pada mereka. Pada masa mereka, orang-orang yang cendekia hanya sedikit sedangkan orang-orang yang menyimpang sangat banyak. Mereka mempercayai karamah orang-orang yang saleh dan meriwayatkan kisah-kisah tentang hal tersebut dari Bani Israil dan orang-orang sesudah mereka, dan para sahabat termasuk orang yang bercerita tentang kisah-kisah seperti ini secara panjang lebar.
Allah menganugerahkan ilmu-ilmu para
ulama dan wali, sehingga mereka mampu menyusun banyak kitab yang tidak mungkin
mampu disusun oleh orang selain mereka dalam waktu sepanjang usia pengarangnya,
mampu menjelaskan hal-hal di luar kebiasaan, menemukan hal yang menggembirakan
orang yang memiliki kecerdasan, mengambil banyak makna dari Al-Quran dan hadis
yang dapat diterapkan dalam kehidupan dunia, menegakkan kebenaran dan menumpas
kebatilan, bersabar dalam mujahadah (berjihad) dan riyadhah (melakukan olah
spiritual), menyerukan kebenaran dan sabar terhadap berbagai penderitaan,
mengekang diri dari kenikmatan duniawi dengan kesadaran total, tekun mencintai
ilmu dan gigih untuk memperolehnya. Jika seseorang merenungkan anugerah Allah
yang diberikan kepada para ulama dan wali di atas, maka ia akan mengetahui
bahwa yang diberikan kepada mereka lebih besar daripada yang diberikan kepada
sebagian hambanya, seperti munculnya roti di tanah yang gersang dan air di
padang sahara yang tandus dan sejenisnya yang dapat dianggap sebagai karamah.
Dalam pembahasan ke-29 tentang
al-Yawaqit wa al- Jawahir, Imam Al-Sya'rani r.a. berkata, "Ketahuilah,
mayoritas ulama berpendapat bahwa mukjizat seorang nabi bisa menjadi karamah
bagi wali. Berbeda dengan kaum Mu'tazilah dan Syaikh Abu Ishaq al-Isfiraini
yang berpendapat bahwa mukjizat seorang nabi tidak mungkin menjadi karamah bagi
wali. Karamah bisa berupa terkabulnya doa atau munculnya air di padang sahara
yang biasanya tidak ada air, dan beberapa peristiwa luar biasa lainnya. Pada
bab ke-187 dalam kitab Al-Futuhat, Syaikh Muhyiddin Ibnu 'Arabi berkata,
"Pendapat Abu Ishaq al-Isfaraini benar, hanya saja saya mensyaratkan satu
syarat lain yang tidak disebutkan olehnya. Menurut saya, mukjizat tidak mungkin
menjadi karamah bagi wali, kecuali sang wali melakukan perbuatan luar biasa
untuk menegaskan kebenaran nabinya, bukan demi karamah itu sendiri. Hal
tersebut tidaklah dilarang seperti yang terkenal di kalangan para wali, kecuali
jika ketika karamah muncul, sang nabi melarangnya pada waktu tertentu atau
selama hidupnya. Oleh karena itu, diperkenankan melakukan karamah bagi selain
rasul sesudah zamannya berakhir. Namun, bila nabi tersebut membiarkannya
melakukan karamah dan tidak memberi batasan, maka apa yang diucapkan oleh Abu
Ishaq tidak bisa direalisasikan."
Syaikh Muhammad bin 'Ali al-Mahalli
dalam Syarh Taiyati al-Imam al-Subki menyenandungkan syair mengomentari
perkataan penulis; "Setiap waktu kalau kamu memperhatikan orang yang
akalnya mencapai puncak menyaksikan munculnya mukjizat yang baru."
Syihabuddin al-Suhrawardi
mengatakan, "Para wali terkadang memiliki berbagai macam karamah, seperti
mendengar suara tanpa rupa di awang-awang, panggilan batin, melipat bumi, dan
mengetahui sebagian peristiwa sebelum terjadinya karena berkah mengikuti
Rasulullah SAW. Karamah wali adalah penyempurnaan mukjizat para nabi."
Artinya, setiap wali yang memiliki karamah sesudah nabinya, maka karamah
tersebut merupakan kesempurnaan bagi mukjizat nabinya. Jadi, karamah milik
orang-orang yang saleh dalam umat ini adalah penyempurnaan bagi mukjizat Nabi
Muhammad SAW. Adanya para wali di bumi ini termasuk dalam mukjizat nabi yang
terus menerus, karena dengan adanya mereka kebutuhan para hamba terpenuhi,
dengan berkah mereka bencana yang akan menimpa suatu negeri tertolak, dengan
doa mereka turunlah rahmat, dan dengan adanya mereka hilanglah siksa.
Hikmah banyaknya karamah para wali
di kalangan umat Muhammad adalah menunjukkan kepemimpinan Nabi Saw. atas
keseluruhan nabi, dengan melimpahnya mukjizat pada masa hidup dan sesudah
wafatnya. Dan karena Nabi Saw. adalah penutup para nabi dan kekasih Tuhan
Penguasa alam serta karena kelanggengan agama yang diembannya hingga akhir
masa, maka kebutuhan akan sebab-sebab yang membenar-kan Nabi juga terus berlangsung.
Di antara sebab-sebabnya yang paling kuat adalah adanya karamah-karamah di
kalangan umatnya, yang pada hakikatnya serupa dengan mukjizat Nabi Saw., yang
memperkuat eksistensi Al-Qur'an sebagai induk mukjizat, kumpulan ayat-ayat
penjelasan, firman Allah yang qadim, peringatan-Nya yang bijak, yang tidak
didatangkan oleh-Nya kebatilan dari hadapan dan belakangnya, yang diturunkan
oleh Sang Maha Bijak lagi Maha terpuji, dan penguat hadis Nabi Saw. tentang
tanda-tanda terjadinya kiamat dan lain-lain secara berangsur-angsur. Dengan
adanya karamah, seolah-olah Nabi SAW. berada di tengah-tengah umatnya,
menyaksikan mukjizatnya sesudah beliau wafat sebagaimana umatnya menyaksikan
mukjizat Nabi ketika beliau masih hidup. Allah berfirman, "Supaya orang-orang
yang beriman bertambah imannya" (QS Al-Muddatsir [74]: 31). Allah akan
memberi petunjuk menuju agama-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya,
termasuk kepada orang-orang yang sebelumnya tidak beriman.
Banyaknya karamah diketahui dari
banyaknya wali dari kalangan umat Nabi SAW. yang muncul di setiap masa, seperti
yang dijelaskan oleh Muhyiddin Ibnu 'Arabi dan yang lainnya berdasarkan hadis
yang menjelaskan tentang hal itu juga berdasarkan pengetahuan sahih yang
menyatakan bahwa para nabi berjumlah 124.000. Tidak diragukan lagi bahwa dari
tangan mereka muncul sangat banyak karamah, dan seluruh karamah itu merupakan
mukjizat bagi Nabi SAW. Jadi, mukjizat Nabi SAW. itu berlipat ganda, tidak
berbilang, dan tidak berbatas. Hikmah banyaknya karamah dan keberlangsungannya
sebagaimana yang telah kami kemukakan adalah penyebab munculnya karamah di
tangan para sahabat lebih sedikit ketimbang di tangan para wali, karena
tetapnya kebenaran agama disebabkan oleh bertambahnya iman orang-orang mukmin
dan hidayah untuk orang-orang yang belum beriman. Pada masa sahabat, muncul
begitu banyak mukjizat Nabi Saw. yang bisa disaksikan setiap saat dalam
beraneka ragam jenisnya. Meskipun karamah para sahabat juga dianggap sebagai
mukjizat Nabi SAW., seperti halnya seluruh karamah para wali, hanya saja
kebutuhan ter hadap karamah para sahabat lebih kecil dibanding kebutuhan
terhadap karamah para wali.
Al-Taj al-Subki juga menjelaskan
dalam kitab Al-Tabaqat, bahwa meskipun jumlah sahabat banyak, karamah mereka
lebih sedikit dibandingkan dengan karamah para wali lainnya. Menurut Imam Ahmad
bin Hanbal R.A. hal itu dikarenakan para sahabat memiliki iman yang kuat
sehingga tidak membutuhkan tambahan untuk memperkuat iman, sedangkan
orang-orang selain mereka imannya lemah, sehingga memerlukan penguat iman
dengan menampakkan karamah.
Syaikh Suhrawardi r.a. berpendapat
senada dengan mengemukakan dua sebab karamah para sahabat lebih sedikit
daripada akramah para wali. Pertama, munculnya peristiwa-peristiwa luar biasa
pada para wali akan menghilangkan lemahnya keyakinan mereka, sebagai rahmat
Allah untuk hamba-hamba-Nya dan sebagai pahala yang disegerakan, sedangkan para
sahabat yang kedudukannya di atas para wali tidak mempunyai hijab (tabir) yang
menutupi hati mereka, sehingga mereka tidak memerlukan munculnya
kejadian-kejadian luar biasa. Kedua, barangkali para sahabat tidak memerlukan
munculnya kejadian-kejadian luar biasa karena merasa cukup dengan jumlah mereka
yang banyak, merasa puas dengan memandang Nabi Muhammad SAW., dan senantiasa
menempuh jalan istiqamah yang merupakan karamah terbesar. Meskipun dunia
dibukakan di tangan mereka, mereka tidak meliriknya, tidak mendekatinya, dan
tidak memintanya, sehingga Allah meridhai mereka. Kenikmatan duniawi yang ada
di tangan mereka berlipat-lipat banyaknya daripada yang ada di tangan kita,
tetapi penolakan mereka terhadapnya begitu besar dan ini merupakan karamah
terbesar bagi mereka. Mereka hanya ingin meninggikan agama Allah dan berada di
dekat-Nya Yang Maha Agung dan Maha Tinggi.
Imam Qusyairi mengemukakan bahwa
tidak tampaknya karamah seorang wali di dunia tidak mempengaruhi eksistensinya
sebagai wali. Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari menjelaskan dalam syaraknya
bahwa terkadang wali yang tidak ditampakkan karamahnya oleh Allah lebih utama
daripada wali yang ditampakkan karamahnya. Sebab keutamaan terletak pada
bertambahnya keyakinan bukan pada tampaknya karamah. Begitu juga Imam Yafi'i
berpendapat senada bahwa wali yang memiliki karamah tidak mesti lebih utama
daripada wali yang tidak memiliki karamah, bahkan terkadang wali yang tidak
memiliki karamah lebih utama daripada yang memiliki karamah.
Sayyid Muhyiddin Ibnu 'Arabi
menjelaskan dalam Mawaqi' al-Nujum, setelah menceritakan sejumlah karamah
seperti kemampuan berjalan di atas air, berjalan di udara, dan lain-lain,
"Semua wali yang sudah saya jelaskan adalah orang-orang yang memiliki
maqam-maqam pemimpin kebajikan, orang-orang takwa nan terpilih, rijalullah dan
para walinya, pusat masa dan wali-wali badai al-abda. Adapun permata merah, obat
mukjizat yang mujarab, perbuatan yang bersih dari kekurangan, penguasa seluruh
sifat, yang bebas dari segala malapetaka merupakan pengantin yang
penglihatannya tersembunyi dalam tirai perlindungan, dalam kegaiban, dan
naungan kebajikan makhluk, tidak mengenal dan dikenal, tersingkap dan
tersembunyi, yang ditemukan dalam pertokoan dalam keadaan berbaring di tempat
yang didiami anjing, atau badut yang dilempar dengan batu, tidak dipedulikan
dan tidak dipandang orang, dan tertutup dari yang lain. Saya tidak mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan wali-wali yang terpilih dalam kondisi seperti
permata yang ada pada masanya dan dalam wujud seperti mukjizat adalah wali-wali
yang tidak memiliki karamah sama sekali. Memang, karamah adalah waktu baginya,
bukan terhadap persoalannya. Adapun kelanjutannya tiada jalan, hanya berupa
rahasia yang samar."
Al-Qusyairi r.a. menjelaskan bahwa
para wali golongan ini meskipun memiliki kemampuan yang sangat besar, hanya
sedikit yang memperlihatkan karamah. Mereka tersembunyi dari manusia, kedudukan
mereka tak dikenal dan tertutup. Dari sini diketahui bahwa seorang wali yang
memiliki karamah lebih banyak daripada wali lainnya belum tentu memiliki
keutamaan yang lebih. Begitu juga sebagian wali yang tidak memperlihatkan
karamah belum tentu tidak lebih utama daripada wali yang memperlihatkan
karamah. Mereka adalah pemilik keutamaan yang selalu memelihara derajat
kewalian, jika tidak mengapa Allah Swt. memuliakan mereka dengan karamah dan
menganugerahi mereka kemampuan melakukan hal-hal luar biasa. Para da'i palsu
terkadang memanipulasi masyarakat dengan memakai jubah sufi dan mengaku sebagai
ahli petunjuk, padahal pada hakikatnya mereka adalah orang-orang yang bodoh,
suka berbuat kerusakan, dan melanggar batas jalan petunjuk. Mereka khawatir jika
mereka tidak memperlihatkan karamah, maka orang-orang tidak mempercayai derajat
kewalian mereka. Mereka merasa lebih agung daripada para pemilik karamah sejati
dan meremehkan kejadian-kejadian luar biasa yang muncul melalui tangan
wali-wali Allah. Semua itu dilakukan untuk menipu masyarakat dan membuat mereka
kagum. Sesungguhnya mereka termasuk orang yang paling buruk dan maksiat, dan
orang-orang awam yang bodoh yang menampakkan beragam kefasikan secara
terang-terangan jauh lebih baik daripada mereka.
Penulis akan mengutip ucapan Sayyid
Muhyiddin Ibnu 'Arabi yang memuat penjelasan hakiki berdasarkan kebenaran.
Dalam bab 185 tentang mengetahui maqam wali yang tidak memperlihatkan karamah,
ia menyatakan:
"Tidak memperlihatkan karamah
bukanlah petunjuk ketidakwalian seseorang
Dengarkanlah ucapanku yang merupakan jawaban paling benar
Karamah itu terkadang tampak wujudnya
Sebagai keberuntungan bagi orang yang dimuliakan tetapi kemudian jeleklah jalannya
Peliharalah ilmu yang kau kuasai jangan kau ambil pengganti selain Tuhan
Menyembunyikan karamah wajib bagi para wali
Dan karenanya engkau tak akan diabaikan
Menampakkan karamah wajib bagi para rasul
Dengannya, wahyunya benar-benar turun"
Dengarkanlah ucapanku yang merupakan jawaban paling benar
Karamah itu terkadang tampak wujudnya
Sebagai keberuntungan bagi orang yang dimuliakan tetapi kemudian jeleklah jalannya
Peliharalah ilmu yang kau kuasai jangan kau ambil pengganti selain Tuhan
Menyembunyikan karamah wajib bagi para wali
Dan karenanya engkau tak akan diabaikan
Menampakkan karamah wajib bagi para rasul
Dengannya, wahyunya benar-benar turun"
Sebagaimana wajib bagi para Rasul
untuk menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Allah dan karamah mereka demi
dakwahnya, demikian juga wajib bagi wali yang mengikuti jejak Nabi untuk
menyembunyikan karamahnya. Inilah madzhab jamaah, karena wali tidak diwajibkan
untuk menyatakan kewaliannya. Tidak semestinya seorang wali mengaku memiliki
karamah, karena hal tersebut tidak disyariatkan. Parameter syariat telah
ditetapkan di dunia ini dan ditegakkan oleh para ahli fatwa penyeru agama
Allah. Mereka adalah pemuka-pemuka agama ahli tajrih (mencela) dan ta'dil
(menganggap adil).
Apabila seorang wali keluar dari
aturan syariat yang telah ditetapkan, padahal ia memiliki akal taklif, maka
akibat perbuatan tersebut ditanggung dirinya sendiri. Hal tersebut juga berlaku
pada hal-hal yang disyariatkan. Jika seorang wali melakukan perbuatan yang
mengharuskan adanya had (hukuman) menurut zahir syara', maka hakim wajib
menetapkan hukuman atasnya. Meskipun para wali mungkin termasuk hamba-hamba
yang diampuni dosa-dosanya atau diperbolehkan melakukan perbuatan yang
diharamkan syara tanpa mendapatkan siksa, mereka tetap tidak terlepas dari
hukuman di dunia jika menyalahi syara'. Akan tetapi di akhirat, Allah berkata
kepada para pahlawan perang Badar tentang dimaafkannya perbuatan-perbuatan
mereka. Hal ini juga dinyatakan dalam sebuah hadis qudsi, "Lakukan apa
yang kau inginkan, karena Aku telah mengampunimu." Allah tidak berkata
kepada mereka, "Aku telah menggugurkan hukuman-hukuman syara' yang
ditetapkan atasmu di dunia." Di dunia, wali tetap terkena hukum syara'.
Seorang wali yang dikenai hudud akan diberi pahala dan sebenarnya ia tidak
berdosa, seperti Al-Hallaj dan orang-orang yang senasib dengannya.
Sikap wali yang tidak menampakkan
karamah adakalanya bersumber dari Allah, artinya Allah tidak membekali wali
tersebut sesuatu pun meskipun ia termasuk hambanya yang terpilih, atau
terkadang wali tersebut dianugerahi kekuatan, namun ia membiarkannya tetap
menjadi milik Allah, sehingga ia tidak menampakkannya sama sekali. Kita melihat
beberapa wali yang menjalani perilaku ini, sebagaimana yang dikatakan Sayyid
Abu Su'ud bin al-Syibli al-Baghdadi r.a., seorang rasionalis pada masanya. Ada
seseorang bertanya kepadanya, "Apakah Allah menganugerahi Anda
karamah?" Ia menjawab, "Ya, sejak umur 25 tahun Allah telah memberi
saya karamah dan saya meninggalkannya dengan baik, Allah ridha jika kita
melaksanakan perintah-Nya untuk menjadikan-Nya sebagai wakil." Si penanya
bertanya lagi, "Kemudian perintah apa lagi?" Al-Syibli menjawab,
"Shalat lima waktu dan menanti kematian. Manusia itu laksana pengusir
burung, mulutnya sibuk sementara kakinya terus melangkah." Si penanya
berkata, "Betapa mengagumkan apa yang dikatakannya, kecuali perkataannya
berikut ini:
"Kakinya memijak kuat dalam
genangan kematian. Ia berkata padanya tanpa menepiskannya"
Demikianlah sikap seorang wali,
kalau tidak demikian ia bukanlah seorang wali. Sayyid Muhyiddin berkata,
"Berkaitan dengan penjelasan di atas, suatu ketika Allah berkata kepadaku
secara rahasia, 'Barangsiapa menjadikan-Ku wakilnya, maka ia telah
melindungi-Ku. Barangsiapa melindungi-Ku, maka ia telah meminta-Ku untuk
menegakkan perhitungan yang telah ia jaga untuk-Ku.' Perintahnya berbalik dan
urutannya berganti. Inilah anugerah Allah kepada hamba-hamba-Nya yang diridhai
dan dipilih-Nya. Di atas anugerah tersebut, ada anugerah yang senantiasa dicari
seorang hamba. Seorang hamba yang teguh selalu sadar dengan kemampuannya. Allah
hanya akan menjadikan orang yang memiliki akal dan anggota badan yang benar
sebagai wakil-Nya. Jadi, tidak mungkin kebenaran bisa diganti:
"Kebenaran tetap kebenaran,
makhluk tetap makhluk,hamba tetap hamba, dan Tuhan tetap Tuhan"
Apabila muncul peristiwa luar biasa
seperti ini, menurut penulis, itu bukanlah karamah, karena karamah merujuk
kepada orang yang menampakkannya. Mungkin ada yang sepakat dengan maqam ini
seperti yang telah penulis sepakati dalam sidang yang kami hadiri pada 586 H.
Seorang filosof menyampaikan kepada kami bahwa ia mengingkari kenabian
berdasarkan batas yang ditetapkan oleh orang-orang Islam. Ia mengingkari
kejadian-kejadian luar biasa yang ditunjukkan oleh nabi, dan bahkan kebenaran
itu tidak akan berubah. Pada waktu itu musim dingin dan hujan, Di hadapan kami
ada tungku besar yang apinya menyala, kemudian si penyangkal dan pendusta itu
berkata, "Orang awam mengatakan bahwa Ibrahim dilemparkan ke dalam api dan
tidak terbakar di dalamnya, padahal api bersifat membakar benda yang bisa
terbakar. Api yang disebutkan dalam Al-Qur'an dalam kisah Ibrahim merupakan
kiasan tentang kemarahan dan dendam Namrud kepada Ibrahim. Api yang dimaksud
adalah api kemarahan. Ibrahim dilempar ke dalam api, karena amarah itu
ditujukan kepadanya, dan api kemarahan itu tidak membakar Ibrahim, dengan kata
lain kemarahan Namrud tidak mempengaruhi Ibrahim, karena baginya telah jelas
hujah yang diperolehnya, yakni dalil berupa terbenamnya cahaya. Kalau saja
cahaya itu adalah Tuhan pasti tidak akan terbenam. Dan Ibrahim menjadikan ini
sebagai dalil."
Setelah penyangkal itu menyelesaikan
ucapannya, salah seorang hadirin berkata, "Yang jelas, Sayyid Muhyiddin
Ibnu 'Arabi mampu menampakkan karamah seperti ini (tidak terbakar api), karena
dia memiliki maqam dan kedudukan. Kalau boleh aku memberitahumu, aku meyakini
firman Allah yang menyatakan bahwa api itu tidak membakar Ibrahim secara makna
lahir, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Hai api menjadi dinginlah dan
menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim (QS Al-Anbiya' [21]: 69). Aku tegaskan
bahwa Ibrahim berada dalam maqam. Dan itu adalah mukjizatnya."
Sang penyangkal berkata, "Itu
tidak mungkin terjadi." Lalu Syaikh Muhyiddin berkata kepadanya,
"Bukankah api ini membakar?" Jawabnya, "Ya." Syaikh
Muhyiddin berkata lagi, "Lihatlah sendiri."
Kemudian ia melemparkan api dari
tungku ke pangkuan sang penyangkal itu. Api itu masih melekat di atas
pakaiannya, ia membolak-balik api itu dengan tangannya, tetapi tidak
membakarnya, sehingga si panyangkal merasa heran. Lalu dikembalikannya api itu
ke dalam tungku, kemudian Syaikh Muhyiddin berkata kepadanya, "Dekatkan
tanganmu ke dalam api itu!" Si penyangkal mendekatkan tangannya ke dalam
api hingga tangannya masuk. Syaikh berkata padanya, "Demikianlah adanya,
api diperintah untuk membakar sesuatu atau untuk tidak membakarnya. Allah Maha
Berkuasa melakukan apa yang dikehendaki-Nya." Akhirnya si penyangkal itu
masuk Islam dan mengakui mukjizat Nabi Ibrahim A.S.
Contoh orang yang tidak mengakui
karamah muncul pada masa setelah Rasulullah SAW
Bukti-bukti kekuasaan Allah atas
kebenaran Rasulullah SAW berfungsi untuk menunjukkan kebenaran syariat dan
agama Islam, bukan semata-mata untuk menunjukkan Muhammad SAW sebagai wali
Allah dengan hal-hal luar biasa yang dimilikinya. Inilah makna dari
meninggalkan karamah bagi kelompok Al-Mulamatiyyah khususnya. Adapun menurut
ulama-ulama besar, para sufi menampakkan karamah sebagai bagian dari gerakan jiwa,
kecuali menurut batas yang telah kami sebutkan. Demikianlah pendapat Muhyiddin
Ibnu 'Arabi r.a., seorang yang selalu berkata benar dan jujur.
Tidak diragukan lagi bahwa mukjizat
Nabi SAW. dan bukti-bukti yang menunjukkan kebenaran dan kesahihan agama serta
kenabiannya, sebagian muncul karena permintaan orang-orang musyrik seperti
terbelahnya rembulan, sebagian lagi muncul karena permintaan kaum muslimin
seperti melimpahnya air dan makanan, dan sebagian lagi muncul bukan karena
permintaan seseorang seperti berita-berita tentang kejadian-kejaidan gaib.
Karena karamah para wali merupakan bagian dari mukjizat Nabi Saw., berarti
mereka menampakkan karamah sebagai ganti dari Nabi SAW. Sebagimana yang
dikatakan Sayyid Muhyiddin, "Para wali harus mengeluarkan berbagai macam
karamah dengan cara sebagaimana mukjizat Nabi dimunculkan yakni sebagian karena
permintaan orang-orang kafir, sebagian karena permohonan kaum muslimin, dan
sebagian lagi tanpa diminta. Semua itu memiliki manfaat besar bagi yang
menyaksikannya, baik bagi mereka yang melihat rahasia tersebut atau tidak.
Tidak sedikit karamah yang menjadi sebab semakin kuatnya iman orang-orang yang
menyaksikannya. Inilah manfaat besar yang dikehendaki menurut syara'. Karamah
wajib disembunyikan ketika tidak ada hikmah dan faedah menampakkannya. Kita
harus berprasangka baik bahwa para wali yang memperlihatkan karamah tidak
bermaksud memamerkan kewaliannya, tetapi mereka pasti punya tujuan lain yang
sesuai dengan syara', meskipun pengaruhnya tidak terlihat oleh kita seperti
untuk memperkuat iman para hadirin yang menyaksikan- nya atau menampakkan
kemulian dan kebenaran agama yang lurus ini."
Janganlah berburuk sangka kepada
salah seorang wali bahwa ia menampilkan karamah untuk menetapkan kewalian
dirinya dan menambah pengaruh dirinya atas orang lain. Para wali pasti tidak
akan melakukan hal tersebut dan pasti menyadari bahwa mereka seharusnya
menyembunyikan karamah. Bagaimana mungkin mereka memperlihatkannya, sehingga
diharamkan keberkahannya. Tetapi yakinlah bahwa mereka tidak menampakkannya
kecuali berdasarkan hukum yang benar dan niat yang lurus yakni untuk mencari
ridha Allah dan mengabdi kepada agama-Nya yang lurus. Ketika itulah, para wali
menempati maqam pemilik mukjizat, yaitu pemimpin para rasul, Muhammad SAW.
Kebanyakan karamah yang dianugerahkan Allah kepada mereka muncul karena
dipaksakan dan tanpa ikhtiar. Semoga Allah melimpahkan kebaikan kepada kita
dengan berkah mereka, dan semoga Allah tidak memberi kita kemampuan untuk
menentang mereka, karena mereka adalah wali Allah. Allah Swt. berfirman dalam
hadis qudsi, "Barangsiapa menyakiti wali-Ku, maka Aku izinkan
memeranginya." Maksudnya, Allah memberitahukan akan memerangi orang yang
menyakiti wali-Nya dan menjadi musuhnya. Para ulama menyatakan bahwa peringatan
keras ini hanya diberikan kepada mereka yang menyakiti para wali dan memakan
riba. Kita memohon kepada Allah agar diberi kekuatan yang sempurna dalam agama,
dunia, dan akhirat.
Imam Yafi'i menjelaskan dalam Raudh
al-Rayyahin, "Manusia yang mengingkari karamah ada berbagai macam; ada
yang mengingkari karamah para wali secara mutlak, ada yang mendustakan karamah
para wali pada masanya tetapi mempercayai karamah para wali yang bukan masanya,
seperti Ma'ruf, Sahi, Al-Junaid, dan lain-lain. Mereka adalah orang-orang yang
oleh Abu Hasan al-Syadhily r.a., dikatakan, 'Demi Allah, tidak ada yang
bertindak demikian selain kaum Bani Israil. Mereka percaya kepada Musa tetapi
mendustakan Muhammad SAW. karena mereka semasa dengan Musa. Ada sebagian orang
yang mempercayai bahwa wali-wali Allah memiliki karamah, tetapi tidak meyakini
karamah satu orang wali pun yang hidup pada masanya.
Mereka ini terhalang mendapatkan
berkah karamah, karena barang-siapa tidak mengakui karamah seorang wali, maka
ia tidak akan bisa mengambil manfaat dari karamah wali lainnya. Hanya kepada
Allahlah kita mohon pertolongan dan husnul khatimah (akhir yang baik)."
Imam Yafi'i mengatakan bahwa ketika beberapa ulama besar ditanya tentang
karamah wali, mereka menjawab, "Barangsiapa menyangkal karamah padahal ia
tidak mengerti sedikit pun tentang karamah dan tidak mampu memikirkannya, maka
hendaklah ia kembali pada pemikiran bahwa sesungguhnya Allah Maha berkuasa
melakukan apa yang dikehendaki-Nya dan Maha menetapkan apa yang Dia
inginkan." Menurut Imam Yafi'i, sikap para penyangkal karamah ini sangat
aneh, padahal karamah-karamah itu telah dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur'an
yang mulia, hadis-hadis sahih, atsar-atsar terkenal, hikayat-hikayat yang
diriwayatkan oleh orang-orang yang melihat dan menyaksikan langsung, ulama
salaf dan khalaf, dan begitu banyak jumlahnya yang tersebar di seluruh negeri,
sampai tak terhitung banyaknya. Mayoritas penyangkal karamah, kalau mereka
melihat langsung para wali dan orang-orang saleh terbang di udara, mereka akan menganggap
itu sihir atau menuduh mereka setan. Tidak diragukan lagi bahwa orang yang
mengharamkan taufiq lalu mendustakan kebenaran karamah karena dianggap tidak
masuk akal dan dengki, berarti ia mendustakan hal-hal yang tampak di depan mata
dan yang tertangkap oleh fisik. Sebagaimana firman Allah, dan Dialah Yang Maha
benar perkataan-Nya, "Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas
kertas, lalu mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka sendiri, tentulah
orang-orang kafir itu berkata, "Ini benar-benar sihir yang nyata."
"(QS Al-An' am [6]: 7)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar