Perbedaan Antara Karamah Dan Istidraj
Perlu diketahui bahwa siapa saja
yang menginginkan sesuatu dan keinginannya itu dikabulkan oleh Allah, maka itu
belum tentu menunjukkan bahwa ia seorang hamba yang mulia di sisi Allah, baik
pemberian Allah tersebut sesuai atau berbeda dengan kebiasaan. Akan tetapi
pemberian Allah tersebut bisa berarti penghormatan Allah untuk hamba-Nya
(karamah) atau tipuan untuknya (istidraj). Dalam Al-Qur'an, istilah istidraj
diungkapkan dengan beberapa istilah:
1. Al-istidraj, seperti dinyatakan
dalam firman Allah:
Kami (Allah) akan memperdaya mereka
secara berangsur-angsur dengan cara yang tidak mereka ketahui. (QS Al-A'raf
[7]: 182)
Makna al-istidraj dalam ayat ini adalah Allah mengabulkan semua keinginannya di dunia agar pembangkangan, kesesatan, kebodohan, dan kedurhakaan mereka semakin bertambah, hingga setiap hari semakin jauh dari Allah. Pada praktiknya, menurut logika, mengulang-ulang perbuatan akan menyebabkan pelaku semakin kuat menguasai perbuatan yang diulang-ulangnya. Bila hati seorang hamba condong kepada dunia, kemudian Allah mengabulkan keinginannya, maka ketika itulah ia mencapai apa yang diinginkannya, sehingga akan diperoleh kenikmatan, dan adanya kenikmatan akan semakin menambah kecondongan kepada dunia, lalu kecondongan kepada dunia mengharuskannya untuk semakin keras berusaha untuk mencapai keduniaan. Selamanya, setiap tahapan akan mendorong kepada tahapan selanjutnya, dan setiap tahapan akan semakin menguat secara gradual. Sudah dimaklumi bahwa kesibukan orang terhadap kenikmatan yang menyenangkan ini akan menghalangi diri dari maqam-maqam mukasyafah (tingkat ketersingkapan cahaya) dan derajat ma'rifat, dan sudah tentu akan semakin menjauhkan diri dari Allah, setahap demi setahap hingga mencapai puncak kecondongannya kepada dunia. Inilah yang dinamakan istidraj.
Makna al-istidraj dalam ayat ini adalah Allah mengabulkan semua keinginannya di dunia agar pembangkangan, kesesatan, kebodohan, dan kedurhakaan mereka semakin bertambah, hingga setiap hari semakin jauh dari Allah. Pada praktiknya, menurut logika, mengulang-ulang perbuatan akan menyebabkan pelaku semakin kuat menguasai perbuatan yang diulang-ulangnya. Bila hati seorang hamba condong kepada dunia, kemudian Allah mengabulkan keinginannya, maka ketika itulah ia mencapai apa yang diinginkannya, sehingga akan diperoleh kenikmatan, dan adanya kenikmatan akan semakin menambah kecondongan kepada dunia, lalu kecondongan kepada dunia mengharuskannya untuk semakin keras berusaha untuk mencapai keduniaan. Selamanya, setiap tahapan akan mendorong kepada tahapan selanjutnya, dan setiap tahapan akan semakin menguat secara gradual. Sudah dimaklumi bahwa kesibukan orang terhadap kenikmatan yang menyenangkan ini akan menghalangi diri dari maqam-maqam mukasyafah (tingkat ketersingkapan cahaya) dan derajat ma'rifat, dan sudah tentu akan semakin menjauhkan diri dari Allah, setahap demi setahap hingga mencapai puncak kecondongannya kepada dunia. Inilah yang dinamakan istidraj.
2. Al-makr, seperti dinyatakan dalam
firman Allah:
- Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah yang tidak terduga-duga? Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (QS Al-A'raf [71: 99)
- Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (QS Ali'Imran [31:54)
- Mereka pun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar pula, sedang mereka tidak menyadari. (OS Al-Naml T271:50)
3. Al-kaid (tipu daya), seperti
dinyatakan dalam firman Allah,
Sesungguhnya orang-orang munafik itu
menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. (QS Al-Nisa' [4]: 142)
4. Al-imla (memberi tangguh),
sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah:
Dan janganlah sekali-kali
orang-orang kafir itu menyangka bahwa masa penangguhan yang Kami berikan kepada
mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada
mereka hanyalah supaya dosa mereka bertambah. (QS Ali 'Imran [3]: 178)
5. Al-ihlak (siksaan), sebagaimana
dinyatakan dalam firman Allah:
Sehingga apabila mereka bergembira
dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan
sekonyong-konyong. (QS Al-An'am [6]: 44)
Dan dalam firman Allah tentang Fir'aun,
Dan berlaku angkuhlah Fir'aun dan bala tentaranya di bumi tanpa alasan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami. Maka Kami hukum Fir'aun dan bala tentaranya, lalu Kami tenggelamkan mereka ke dalam lautan (QS Al-Qashash [28]: 39-40).
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa tercapainya keinginan seorang hamba tidak menunjukkan kesempurnaan derajat dan keberuntungan mendapat kebaikan.
Perbedaan antara karamah dan istidraj adalah bahwa pemilik karamah tidak begitu senang dengan karamah yang dimilikinya, bahkan karamah itu membuatnya semakin takut kepada Allah, kewaspadaannya terhadap siksa Allah semakin kuat, karena ia takut kalau-kalau hal tersebut merupakan istidraj. Sedangkan pemilik istidraj sangat senang dengan hal-hal luar biasa yang ada pada dirinya dan mengira bahwa karamah itu ada pada dirinya karena ia berhak memilikinya. Karena itu ia memandang rendah orang lain, membanggakan diri sendiri, dan merasa aman dari tipu daya dan siksaan Allah, dan tidak takut kepada siksa Allah. Jika sikap seperti ini muncul pada diri seorang pemilik karamah, berarti yang dimilikinya bukanlah
karamah tetapi istidraj.
Dan dalam firman Allah tentang Fir'aun,
Dan berlaku angkuhlah Fir'aun dan bala tentaranya di bumi tanpa alasan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami. Maka Kami hukum Fir'aun dan bala tentaranya, lalu Kami tenggelamkan mereka ke dalam lautan (QS Al-Qashash [28]: 39-40).
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa tercapainya keinginan seorang hamba tidak menunjukkan kesempurnaan derajat dan keberuntungan mendapat kebaikan.
Perbedaan antara karamah dan istidraj adalah bahwa pemilik karamah tidak begitu senang dengan karamah yang dimilikinya, bahkan karamah itu membuatnya semakin takut kepada Allah, kewaspadaannya terhadap siksa Allah semakin kuat, karena ia takut kalau-kalau hal tersebut merupakan istidraj. Sedangkan pemilik istidraj sangat senang dengan hal-hal luar biasa yang ada pada dirinya dan mengira bahwa karamah itu ada pada dirinya karena ia berhak memilikinya. Karena itu ia memandang rendah orang lain, membanggakan diri sendiri, dan merasa aman dari tipu daya dan siksaan Allah, dan tidak takut kepada siksa Allah. Jika sikap seperti ini muncul pada diri seorang pemilik karamah, berarti yang dimilikinya bukanlah
karamah tetapi istidraj.
Orang-orang yang berpegang pada
kebenaran (Al-Muhaqqiqun) mengatakan bahwa ada kesepakatan bahwa keterputusan
dari hadirat Allah sebagian besar terjadi dalam kondisi memiliki karamah. Tidak
diragukan lagi, golongan Al-Muhaqqiqun takut kepada karamah, seperti rasa takut
mereka kepada berbagai macam cobaan. Rasa senang kepada karamah dapat
memutuskan jalan kepada Allah. Hal ini dapat dijelaskan dengan beberapa hujjah:
Hujjah pertama: Ketertipuan ini terjadi, ketika seseorang yakin bahwa dirinya berhak memperoleh karamah dan sekiranya ia bukanlah orang yang berhak mendapatkannya maka tidak akan muncul rasa bangga itu bahkan rasa bangganya itu muncul hanya karena karamah wali. Keutamaan karamahnya lebih besar daripada kebahagiaan karena karamah itu sendiri. Kebahagiaan dengan adanya karamah itu melebihi kebahagiaan pada dirinya sendiri. Jelas bahwa kebahagiaan karena adanya karamah tidak akan muncul kecuali dengan adanya keyakinan bahwa dirinyalah pemilik karamah itu dan yang berhak mendapatkannya. Ini adalah kebodohan yang nyata karena para malaikat saja berkata, Tidak ada yang kami ketahui kecuali dari apa yang Engkau ajarkan kepada kami (QS Al-Baqarah [2]: 32). Dan Allah berfirman, Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya (QS Al-An'am [6]: 91). Ada dalil meyakinkan yang menyatakan bahwa makhluk tidak berhak mendakwakan kebenaran, maka bagaimana mungkin ada orang mengaku berhak mempunyai karamah.
Hujjah pertama: Ketertipuan ini terjadi, ketika seseorang yakin bahwa dirinya berhak memperoleh karamah dan sekiranya ia bukanlah orang yang berhak mendapatkannya maka tidak akan muncul rasa bangga itu bahkan rasa bangganya itu muncul hanya karena karamah wali. Keutamaan karamahnya lebih besar daripada kebahagiaan karena karamah itu sendiri. Kebahagiaan dengan adanya karamah itu melebihi kebahagiaan pada dirinya sendiri. Jelas bahwa kebahagiaan karena adanya karamah tidak akan muncul kecuali dengan adanya keyakinan bahwa dirinyalah pemilik karamah itu dan yang berhak mendapatkannya. Ini adalah kebodohan yang nyata karena para malaikat saja berkata, Tidak ada yang kami ketahui kecuali dari apa yang Engkau ajarkan kepada kami (QS Al-Baqarah [2]: 32). Dan Allah berfirman, Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya (QS Al-An'am [6]: 91). Ada dalil meyakinkan yang menyatakan bahwa makhluk tidak berhak mendakwakan kebenaran, maka bagaimana mungkin ada orang mengaku berhak mempunyai karamah.
Hujjah kedua: Karamah adalah sesuatu yang senantiasa tergantung pada
Allah Swt. Rasa senang karena memiliki karamah adalah senang kepada sesuatu
yang bukan haknya. Rasa senang kepada sesuatu yang
bukan haknya merupakan penghalang kebenaran, dan orang yang terhalang dari kebenaran bagaimana mungkin layak untuk senang dan bergembira?
bukan haknya merupakan penghalang kebenaran, dan orang yang terhalang dari kebenaran bagaimana mungkin layak untuk senang dan bergembira?
Hujjah ketiga: Orang yang yakin bahwa dirinya berhak memiliki karamah
karena merasa amal perbuatannya memiliki pengaruh besar dalam dirinya dan merasa
bahwa perbuatannya bernilai atau berpengaruh pada dirinya adalah orang yang
bodoh. Kalau saja ia mengenal Tuhan, ia pasti menyadari semua ketaatan makhluk
di sisi Allah itu hanya sedikit, semua rasa syukur mereka atas anugerah dan
nikmat-Nya itu juga sangat sedikit, dan semua pengetahuan dan ilmu mereka
dibandingkan dengan keagungan Allah hanyalah kebingungan dan kebodohan saja.
Ketika Ustaz Abu 'Ali al-Daqaq mengkaji firman Allah yang berbunyi Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (QS Fathir [35]:10), di majelisnya ia berkata, "Pertanda bahwa amalmu dinaikkan oleh Allah adalah jika kamu tidak mengingat-ingatnya. Jika kamu mengingat-ingat amalmu, berarti amalmu ditolak, sebaliknya bila kamu tidak mengingat-ingatnya, berarti amalmu diterima dan dinaikkan oleh Allah Swt."
Ketika Ustaz Abu 'Ali al-Daqaq mengkaji firman Allah yang berbunyi Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (QS Fathir [35]:10), di majelisnya ia berkata, "Pertanda bahwa amalmu dinaikkan oleh Allah adalah jika kamu tidak mengingat-ingatnya. Jika kamu mengingat-ingat amalmu, berarti amalmu ditolak, sebaliknya bila kamu tidak mengingat-ingatnya, berarti amalmu diterima dan dinaikkan oleh Allah Swt."
Hujjah keempat: Pemilik karamah merasa bahwa karamah yang dimilikinya
justru untuk memperlihatkan kerendahan hati dan ketundukan di hadapan Allah.
Jika ia merasa bangga, tinggi hati, dan sombong disebabkan karamah yang
dimilikinya, maka batallah segala sesuatu yang menyebabkannya menerima karamah.
Sikap seperti inilah yang membuat pemilik karamah tertolak. Oleh karena itu,
setiap kali Rasulullah Saw. menceritakan tentang manaqib (keistimewaan) dan
keutamaan dirinya, beliau selalu mengakhirinya dengan kalimat, "Tiada
kebanggaan," maksudnya "Aku tidak bangga dengan karamah yang kumiliki
ini, yang aku banggakan adalah Zat yang memberi karamah."
Hujjah kelima: Kemunculan hal-hal luar biasa pada iblis dan bal'am begitu
menakjubkan, tetapi kemudian Allah berfirman kepada iblis, Ia termasuk golongan
kafir, kepada bal'am, Ia seperti anjing, dan kepada ulama Bani Israil,
Perumpamaan orang-orang yang memegang Taurat, tetapi tidak mengamalkannya
adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal (QS Al-Jumu'ah [62]:
5), juga firman-Nya kepada Bani Israil, Orang-orang yang telah diberi Al-Kitab
tidak berselisih, kecuali setelah datang ilmu kepada mereka, di antara mereka
kemudian ada yang membangkang (QS Ali 'Imran [3]: 19). Jadi jelaslah bahwa
kegelapan dan kesesatan yang menimpa mereka disebabkan karena rasa bangga
dengan ilmu dan kezuhudan yang diberikan kepada mereka.
Hujjah keenam: Karamah bukanlah kemuliaan, dan segala sesuatu yang tidak
mulia adalah kehinaan. Barangsiapa memuliakan kehinaan berarti ia hina, karena
itu Nabi Ibrahim a.s. berkata, "Adapun bagi-Mu, itu tidak berarti
apa-apa." Merasa cukup dengan kefakiran adalah fakir, takwa dengan
kelemahan adalah lemah, merasa sempurna dengan kekurangan adalah kurang,
bahagia dengan semua hal yang diperkenankan dan menerima seluruh kebenaran
adalah sikap ikhlas. Fakir adalah ketika seseorang senang dengan kemuliaan yang
menjatuhkan derajatnya. Jika seseorang melihat karamah, sesunggu-hnya setiap ia
melihat keperkasaan niscaya ia melihat sang pemberi keperkasaan, dan setiap ia
melihat ciptaan niscaya ia melihat penciptanya.
Hujjah ketujuh: Bangga terhadap diri dan sifat-sifatnya termasuk
sifat-sifat iblis dan Fir'aun. Iblis berkata, Aku lebih baik daripada Adam (QS
Al-A'raf [7]: 12) dan Fir'aun berkata, Bukankah kerajaan Mesir ini adalah
kepunyaanku (QS Al-Zukhruf [43]: 51). Setiap orang yang mengaku nabi atau tuhan
secara dusta, maka ia tidak memiliki tujuan apa-apa, kecuali untuk menghias
diri, memperkuat ketamakan dan kebanggaan diri. Oleh karena itu, Rasulullah
Saw. bersabda, "Ada tiga hal yang merusak, yang terakhir adalah orang yang
membanggakan diri."
Hujjah kedelapan: Allah berfirman, Berpegang teguhlah kepada apa yang Aku
berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur (QS
Al-A'raf [7]: 144). Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu apa yang
diyakini (ajal) (QS Al-Hijr [15]: 99). Ketika Allah menganugerahkan karunia
yang melimpah kepada kita, kita diperintah untuk menyibukkan diri dengan
melayani Sang Pemberi, bukan malah bangga dengan karunia yang diberikan-Nya
itu.
Hujjah kesembilan: Ketika Nabi Saw. disuruh oleh Allah untuk memilih antara
menjadi raja yang nabi atau hamba yang nabi, beliau tidak memilih posisi raja,
padahal tidak diragukan bahwa posisi raja yang meliputi daerah Timur dan Barat
adalah kemuliaan, bahkan mukjizat. Namun Nabi Saw. meninggalkan singgasana dan
memilih penghambaan ('ubudiyah)kepada Allah. Sebab ketika menjadi seorang
hamba, kebanggaannya diarahkan kepada tuannya. Tetapi ketika menjadi raja,
kebanggaannya diarahkan kepada budaknya. Ketika Nabi Saw. memilih penghambaan,
sudah tentu dia menjadikan sunnah sebagai peng-
hormatan seperti yang diriwayatkan Ibnu Mas'ud, "Aku bersaksi bahwa Muhammmad Saw. adalah hamba dan utusan-Nya." Allah berfirman tentang mi'raj Nabi Saw., Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam. (QS Al-Isra' [17]: 1)
hormatan seperti yang diriwayatkan Ibnu Mas'ud, "Aku bersaksi bahwa Muhammmad Saw. adalah hamba dan utusan-Nya." Allah berfirman tentang mi'raj Nabi Saw., Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam. (QS Al-Isra' [17]: 1)
Hujjah kesepuluh: Mencintai tuan itu tidak ada artinya, mencintai sesuatu
demi tuan juga tidak ada artinya. Barangsiapa mencintai, maka ia tidak akan
senang dan gembira selain dengan kekasihnya. Kesenangan dan kegembiraan dengan
selain Allah menunjukkan bahwa ia tidak mencintai tuannya, tetapi ia hanya
mencintai bagian dari nafsunya sendiri dan bagian dari nafsu hanya dituntut
oleh nafsu. Orang seperti ini hanya mencintai dirinya sendiri. Sebenarnya ia
tidak mencintai tuannya, ia hanya menjadikan tuannya sebagai sarana untuk
memperoleh apa yang dicarinya. Berhala besar adalah nafsu, sebagaimana
dinyatakan dalam firman-Nya, Terangkanlah kepadaku tentang orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya (QS Al-Furqan [25]: 43). Manusia
seperti ini adalah hamba berhala agung hingga para muhaqqiqin mengemukakan
bahwa mudarat karena menyembah berhala tidak sebesar mudarat karena menyembah
nafsu, rasa takut karena menyembah berhala tidak sebesar rasa takut karena
merasa bangga dengan adanya karamah.
Hujjah kesebelas: Allah berfirman, Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya
Dia akan memberinya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak
disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan keperluannya (QS Al-Thalaq [65]: 2-3). Ayat ini menunjukkan bahwa
orang yang tidak bertakwa dan bertawakkal kepada Allah, maka tidak akan
memperoleh apa-apa dari perbuatan dan keadaan mereka itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar