Menjama’ Shalat tanpa Halangan? Kenapa tidak?
Seringkali
ada dialog antara dua orang muslim tentang hukum menjama’ Shalat tanpa
halangan. Proses dialog yang terjadi antara dua muslim ini beragam bentuknya.
Ada yang bertanya: “Emang boleh menjamak Shalat tanpa halangan? Kayak orang
Syiah aja deh loe !”, ada lagi yang menjawab: “Oh, ya udah kalo loe
mau shalat gabung, ya gabung aja. Tapi kalo gue, ntar aja deh kalo sudah
masuk azan ashar”.
Dialog
seperti ini sebenernya umum juga buat saya pribadi. Suatu hari pernah kejadian
di kantor, di bilangan Kuningan – Jakarta Selatan, ada seorang kolega yang
bingung kenapa saya hobi shalat dijama’ – jama’. Namun, setelah memberikan
pendapat dan argumen, mereka rata – rata menerima, dan mungkin tipikal orang
Jakarta saat ini: “Ya udah urusan loe ya urusan loe, urusan gue
ya urusan gue“.
Alhamdulillah-nya,
tidak ada dari mereka yang meng-kafirkan saya seperti apa yang dilakukan oleh
ustad – ustad yang suka memberikan khotbah jumat di sekitaran kantor (terutama
di gedung Setiabudi Building), atau di parkiran Plaza BII di Jl MH Thamrin,
yang kayaknya dari sekitar 1/2 jam mereka ceramah, mungkin kalo saya rajin
menghitung, kata – kata “KAFIR!!” diucapkan mereka lebih dari 1 kali dalam 5
menit (jadi bisa dihitung sendiri betapa doyan-nya mereka ngomong kafir,
selayaknya keponakan saya yang berumur 15 bulan yang lagi doyan banget ngomong:
“Itu apa?, Itu apa?, itu apa?”)
Kembali ke
masalah menjama’ Shalat tanpa halangan, dalam ajaran syi’ah memang
diperbolehkan menjama’ Shalat tanpa adanya halangan, yakni menjama’ shalat
zuhur dengan ashar dan Magrib dengan Isya’.
Terus mau
ikutan bilang kafir juga? eitssss…tunggu dulu!
Sebelum jauh
ikutan kelompok “Kafar-Kafir-Kufur” (Disingkat KKK, bukan
Klu Klux Klan ya – organisasi rasialis di Amerika utara di tahun 1800-an), ada
baiknya kita membahas dulu masalah ini dengan otak yang fresh dan pikiran yang
terbuka ala orang – orang yang memiliki adab / civilized .
Dalam Islam
sendiri, kita mengakui adanya dua aliran besar yakni aliran Ahlusunnah Wal Jama’ah
dan aliran Ahlul Bayt / Syiah. Mengapa saya katakan bahwa Islam memiliki dua
aliran besar? bukan hanya satu aliran saja seperti yang dikira masyarakat awam
di Indonesia saat ini?. Ada baiknya kita tela’ah lagi, siapakah mereka – mereka
yang disebut dengan muslim?
Fatwa
Kelompok Sunni:
Syekh
Universitas al-Azhar, Muhammad Sa’id Tanthawi
Rasulullah
saww bersabda:
“Barang
siapa yang beriman kepada tiada tuhan selain Allah Azza Wajalla, Muhammad saw
sebagai utusan suci-Nya, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan
Ramadhan, dan melaksanakan ibadah haji ketika ia mampu, maka ia adalah seorang
Muslim.”
Di lain hal,
ada juga fatwa dari kelompok syiah:
1. Fatwa
Ayatulah Sistani
Soal: Apakah orang yang melafalkan dua
kalimat syahadat, melaksanakan salatnya dengan menghadap ke arah kiblat
(Mekkah) dan ia adalah pengikut salah satu dari delapan mazhab Islam yang
terdiri dari Hanafiyah, Syafiiyah, Malikiyah, Hanbaliyah, Ja’fariyah, Zaidiyah,
Ibadiah dan Zhahiriyah, dianggap sebagai seorang Muslim? Dan apakah darah,
kehormatan, dan hartanya mendapat perlindungan?
Jawab: Siapa pun yang mengucapkan dua
kalimat syahadat atas nama Allah Yang Mahakuasa, tidak melakukan suatu
perbuatan yang berlawanan dengannya dan siapapun yang bukan musuh
Ahlulbait/keluarga rasul adalah seorang Muslim.
Okay,
sekarang kalo sudah tau apa yang mengkategorikan orang sebagai seorang muslim
berdasarkan pendapat dua orang yang tentunya sudah banyak makan asam garam
(setidaknya dibanding saya) di dunia Islam, ada baiknya kita lihat lagi
definisi dari dua mazhab besar ini:
Sunni/Ahlusunnah
wal jama’ah
Aliran Ahlusunnah Wal Jama’ah (Sunni) secara fiqh/hukum Islam dan pemfatwa-an terbagi atas 4 mazhab, yakni mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Aliran Ahlusunnah Wal Jama’ah (Sunni) secara fiqh/hukum Islam dan pemfatwa-an terbagi atas 4 mazhab, yakni mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Mazhab
Hanafi didirikan oleh Nu’man atau Abu Hanifah atau Imam Hanafi, sedangkan
Mazhab Maliki bersumber dari fatwa2 Imam Malik. Mazhab Syafi’i bersumber pada
ijtihad Imam Syafi’i, dan Mazhab Hambali bersumber pada ijtihad Imam Hambali.
Urutan-nya
adalah sebagai berikut: Imam Maliki adalah murid dari Imam Hanafi, Imam Syafi’i
adalah murid dari Imam Maliki, dan Imam Hambali adalah murid dari Imam Syafi’i.
Tidakkah
anda ingin bertanya? Lalu guru-nya imam Hanafi itu siapa? (Silahkan teruskan
baca, untuk tau lebih lanjut)
Sunni
memiliki koleksi hadist2 yang shahih (contoh: Bukhari, Muslim,
Tarmidzi, Musnad ahmad bin hambal, dsb) dan keontetikannya diterima secara
baik (walaupun dalam beberapa kasus, hadis2 yang menurut mereka shahih itupun
ternyata bisa menjadi polemik karena ada yang menerima dan ada yang menolak,
namun permasalahannya adalah karena kitab2 ini sudah dicap shahih, ada beberapa
golongan dari ahlussunnah yang meyakini bahwa kitab2 shahih ini adalah pegangan
suci setelah Al Qur’an dan tidak dapat didiskusikan atau ditolak).
Banyak orang
bertanya kepada saya secara pribadi, lalu di Indonesia itu Islam apa?
Jawabnya: Di
Indonesia mayoritas pengikut Sunni dengan mazhab Syafi’i. Walaupun ulama
besar seperti Prof.Dr Quraish Shihab dalam beberapa kesempatan mengatakan bahwa
di Indonesia mayoritas umat Islamnya tidak bermazhab. Tentunya argumen beliau
ada benarnya, karena mayoritas muslim di Indonesia mengenal hukum – hukum atau
Fiqih Islam, namun tidak mengetahui siapa yang memfatwakan atau malahan mereka
mengambil mana yang termudah dengan cara mencampur-adukkan. Sebagai contoh:
Masalah A dinilai haram oleh imam syafi’i, namun dibolehkan oleh imam Maliki,
maka orang itu akan tetap mengerjakan hal tersebut dengan argumen hal tersebut
dibolehkan oleh imam malik, padahal secara tidak sadar dalam kesehariannya dia
mengerjakan hal yang difatwakan oleh imam syafi’i.
Perbedaan
lain misalnya, pengikut Maliki (yang banyak terdapat di Afrika) tidak
bersedekap dalam Shalatnya, sedangkan pengikut Syafi’i (seperti di Indonesia)
dalam shalat melakukan sedekap dengan cara meletakkan tangan kanan di atas kiri
dan kedua tangan tersebut diletakkan di atas pusar.
Namun
demikian, sebenarnya perbedaan ini tidak perlu dibesar besarkan. Yang perlu
diketahui oleh masyarakat awam adalah pemahaman bahwa Islam terdiri dari
beberapa Mazhab dan Aliran, karena dikhawatirkan kurangnya pemahaman akan hal
ini akan membuat orang Indonesia mudah untuk mengkafirkan orang Islam lain yang
berbeda dalam menjalankan suatu ibadah / hal. Kembali lagi ke definisi,
prinsipnya adalah apabila orang tersebut mengakui bahwa Allah SWT adalah Tuhan,
Muhammad saww adalah penutup para Rasul/Rasul terakhir, Al Qur’an sebagai kitab
suci dan tidak ada kitab suci lain selain Al Qur’an, Naik Haji bila mampu, maka
insya Allah dia adalah seorang Muslim (Nice to know, Aliran Ahmadiyah Qadiyan
memiliki Rasul baru setelah Muhammad saww yaitu Mirza Ghulam Ahmad).
Syiah/ahlul bayt
Syiah/ahlul bayt
Sama dengan
kaum Ahlusunnah, mereka juga mengakui bahwa Allah adalah Tuhan yang patut
disembah, Muhammad saww adalah penutup para Rasul dan Al Qur’an adalah satu
satunya kitab suci yang harus menjadi pegangan.
Aliran
Syi’ah, seperti hal-nya aliran Ahlussunnah/Sunni juga terbagi kedalam 3 Mazhab
besar, yakni mazhab 12 imam/ Syiah imamiah, Mazhab Zaidiyah, dan Mazhab
Ismailiyah. Mayoritas dari kelompok syiah adalah pengikut mazhab 12
Imam/Syiah Imamiah yang mendominasi dengan persentase 80% atau lebih.
Mazhab Syiah
imamiah juga dikenal dengan mazhab Ja’fari dikarenakan peran besar Imam Ja’far.
Imam Ja’far adalah keturunan ke 6 dari Rasulullah saww dari jalur Fatimah
az-zahra as, melalui jalur imam Husayn as., dan guru dari Imam Hanafi.
Maka dengan itu, beliau as juga dikenal sebagai “Guru Imam Mazhab”.
Guru dari
Imam Ja’far adalah ayahnya :Imam Muhammad Al Baqir. Guru Imam Muhammad Al Baqir
adalah ayahnya imam Ali Zainal Abidin. Imam Ali Zainal Abidin belajar dari
Ayahnya yaitu Imam Husein. Imam Husein memiliki 2 guru yakni Ayahnya Imam Ali
bin Abi Thalib (sang pintu kota ilmu) dan datuk-nya Rasulullah Muhammad saww
(sang Kota Ilmu).
Kelompok
Syiah tidak memiliki hadist yang shahih. Dalam hal ini bukan berarti mereka
tidak memiliki hadist yang benar adanya, namun hadist2 ini dapat didiskusikan
lagi kebenarannya dalam hal sanad dan matan-nya (sanad adalah asal, dan matan
adalah pencocokan dengan Al Qur’an).
Berbeda
dengan kaum sunni yang memiliki hadist shahih yang “dianggap” 100% benar,
mazhab syiah melihat dan meneliti kembali tentang keontetikan hadist tersebut,
dan dicocokkan kembali dengan Qur’an. Secara simpel, mereka menolak hadist2
yang bertentangan dengan Qur’an.
Sebagai
contoh, didalam hadist kaum sunni, dalam salah satu hadist shahih, diriwayatkan
bahwa Rasulullah saww pernah terkena sihir orang yahudi. Hadist ini mendapatkan
penolakan keras dari kaum syiah, bahwa hal itu bertentangan dengan kalam Qur’an
yang menyatakan bahwa orang2 yang suci itu tidak dapat dipengaruhi syaithan
karena mendapatkan perlindungan Allah.
Secara
gamblang, kaum syiah juga dengan keras menolak hadist yang ada pada kelompok
mereka sendiri, seperti hadist yang mengatakan bahwa Jibril salah
memberikan wahyu, yang semestinya kepada Ali bin Abi Thalib ternyata malah
memberikan wahyu ke Muhammad saww, atau hadist yang menuhankan Imam Ali bin abi
thalib as. Kitab hadist orang syiah contohnya seperti: Kulainy, dll.
Intinya,
hadist didalam syiah adalah TERBUKA untuk didiskusikan.
Dikarenakan
mayoritas umat muslim di Indonesia adalah Muslim Sunni, berikut ini saya
tuliskan beberapa hadist2 dari sunni sendiri tentang menjama’ Shalat tanpa
halangan dari koleksi hadist Shahih Musnad Ahmad bin Hambal:
Menjama’
Shalat Dibolehkan Walaupun Tidak Sedang Dalam Perjalanan telah ditetapkan berdasarkan hadis-hadis Shahih dalam Shahih
Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi dan Musnad Ahmad. Berikut
akan ditunjukkan hadis-hadis shahih dalam Musnad Ahmad yang
penulis ambil dari Kitab Musnad Imam Ahmad Syarah Syaikh Ahmad Muhammad
Syakir, Penerjemah : Amir Hamzah Fachrudin, Hanif Yahya dan Widya Wahyudi,
Cetakan pertama Agustus 2007, Penerbit : Pustaka Azzam Jakarta.
Yunus
menceritakan kepada kami, Hammad yakni Ibnu Zaid menceritakan kepada kami dari
Az Zubair yakni Ibnu Khirrit dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata “Ibnu Abbas
menyampaikan ceramah kepada kami setelah shalat Ashar hingga terbenamnya
matahari dan terbitnya bintang-bintang, sehingga orang-orang pun mulai berseru,
“Shalat, Shalat”. Maka Ibnu Abbas pun marah, Ia berkata “Apakah kalian
mengajariku Sunnah? Aku telah menyaksikan Rasulullah SAW menjamak Zhuhur dengan
Ashar dan Maghrib dengan Isya’ “. Abdullah mengatakan “Aku merasa ada ganjalan
pada diriku karena hal itu, lalu aku menemui Abu Hurairah, kemudian menanyakan
tentang itu, ternyata Ia pun menyepakatinya”. (Hadis Riwayat Ahmad dalam Musnad
Ahmad jilid III no 2269, dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)
Hadis di
atas dengan jelas menyatakan bahwa Menjama’ Zhuhur dengan Ashar dan
Maghrib dengan Isya’ adalah Sunnah Rasulullah SAW , sebagaimana
yang disaksikan oleh Ibnu Abbas RA. Dari hadis itu tersirat bahwa Ibnu Abbas RA
akan menangguhkan melaksanakan Shalat Maghrib yaitu menjama’nya dengan shalat
Isya’ dikarenakan beliau masih sibuk memberikan ceramah. Tindakan beliau ini
adalah sejalan dengan Sunah Rasulullah SAW yang beliau saksikan sendiri bahwa
Rasulullah SAW menjama’ Shalat Maghrib dengan Isya’ ketika tidak sedang dalam
perjalanan.
Abdurrazaq
menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abu Az Zubair
dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas, ia berkata “Nabi SAW menjama’ Zhuhur
dengan Ashar di Madinah ketika tidak sedang bepergian dan tidak pula dalam
kondisi takut(khawatir)”. Ia(Sa’id) berkata “Wahai Abu Al Abbas mengapa Beliau
melakukan itu?”. Ibnu Abbas menjawab “Beliau ingin agar tidak memberatkan seorangpun
dari umatnya”. (Hadis Riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid III no
2557, dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)
Kata-kata
yang jelas dalam hadis di atas sudah cukup sebagai hujjah bahwa Menjama’
shalat dibolehkan saat tidak sedang bepergian. Hal ini sekali lagi telah
dicontohkan oleh Rasulullah SAW sendiri dengan tujuan agar tidak memberatkan
Umatnya. Jadi mengapa harus memberatkan diri dengan prasangka-prasangka yang
tidak karuan
Yahya
menceritakan kepada kami dari Daud bin Qais, ia berkata Shalih maula At Taumah
menceritakan kepadaku dari Ibnu Abbas, ia berkata “Rasulullah SAW pernah
menjama’ antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar dan antara shalat Maghrib
dengan shalat Isya’ tanpa disebabkan turunnya hujan atau musafir”. Orang-orang
bertanya kepada Ibnu Abbas “Wahai Abu Abbas apa maksud Rasulullah SAW
mengerjakan yang demikian”. Ibnu Abbas menjawab “Untuk memberikan kemudahan
bagi umatnya SAW” (Hadis Riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid III no
3235, dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)
Dengan
demikian, gugurlah pendapat yang mengatakan bahwa kebiasaan menjama’ Shalat
adalah kebiasaan orang – orang syiah yang melakukan bid’ah mereka se-enak hati
mereka sendiri dikarenakan ternyata dalam hadist shahi kaum Ahlusunnah pun,
menjama’ Shalat boleh dilakukan.
Sufyan
menceritakan kepada kami dari Abu Az Zubair dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu
Abbas, ia berkata ” Aku pernah shalat bersama Nabi SAW delapan rakaat sekaligus
dan tujuh rakaat sekaligus”. Aku bertanya kepada Ibnu Abbas “Mengapa Rasulullah
SAW melakukannya?”.Beliau menjawab “Dia ingin tidak memberatkan umatnya”.
(Hadis Riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid III no 3265, dinyatakan shahih
oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)
Hadis di
atas juga mengisyaratkan bahwa kebolehan Menjama’ Shalat itu mencakup
juga untuk shalat berjamaah. Hal ini seperti yang diungkapkan dengan jelas oleh
Ibnu Abbas RA bahwa Beliau pernah melakukan shalat jama’ bersama Nabi SAW.
Abdurrazaq
menceritakan kepada kami, Ibnu Juraij mengabarkan kepada kami, Ibnu Bakar
berkata Ibnu Juraij mengabarkan kepada kami, ia berkata Amr bin Dinar
mengabarkan kepada kami bahwa Abu Asy Sya’tsa mengabarkan kepadanya bahwa Ibnu
Abbas mengabarkan kepadanya, Ia berkata “Aku pernah shalat di belakang
Rasulullah SAW delapan rakaat secara jamak dan tujuh rakaat secara jamak”.
(Hadis Riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid III no 3467, dinyatakan shahih
oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)
Begitulah
dengan jelas hadis-hadis shahih telah menetapkan bolehnya Menjama’ Shalat
Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’ ketika tidak sedang dalam
perjalanan atau dalam uzur apapun. Hal ini adalah ketetapan dari Rasulullah SAW
sendiri dengan tujuan memberikan kemudahan pada umatnya.
Lalu seperti apakah praktek menjama’ Shalat tanpa halangan?
Imam Ja’far
mengajarkan kita bahwa prakteknya adalah dengan cara melakukan Shalat seperti
biasa dengan tetap mendahulukan Shalat yang lebih dulu masuk waktunya.
Misalkan,
jam 4 Sore dan belum melakukan shalat Zuhur, maka Shalat yang dikerjakan
terlebih dahulu adalah Shalat Zuhur karena Shalat Zuhur masuk waktunya lebih
dahulu , setelah itu bangun untuk Iqamat dan langsung Shalat Ashar.
Begitu juga
bila jam menunjukkan pukul 2 Siang, namun ingin melakukan Shalat Ashar
sekalian, maka kerjakanlah hal yang sama (mendahulukan shalat zuhur baru
ashar).
Hal yang sama juga diterapkan untuk Shalat Magrib dan Isya, Magrib tetap mendapatkan prioritas terlebih dahulu, baru setelah itu Shalat Isya’.
Hal yang sama juga diterapkan untuk Shalat Magrib dan Isya, Magrib tetap mendapatkan prioritas terlebih dahulu, baru setelah itu Shalat Isya’.
Lalu, Alasan
apalagi yang anda miliki untuk meninggalkan Shalat bila Allah SWT melalui Rasul
dan Hamba-nya yang mulia, sang Juru Selamat, Muhammad saww telah memudahkan
Shalat bagi kita?
Lantas,
siapakah yang kita percaya? Ustad – Ustad “KKK” yang saya ceritakan di
atas, atau Rasulullah saww kah yang pantas menjadi panutan kita? Pertanyaan ini
saya sampaikan kepada anda, sebagai tanda – tanda bagi mereka yang mau
“berfikir”.
Wassalam,
Siapa yang ingin hidup seperti hidupku dan wafat seperti wafatku serta
masuk ke surga yang telah dijanjikan kepadaku oleh Tuhanku yaitu Jannatul
Khuld, maka hendaklah ia berwilayah (berpemimpin) kepada Ali dan keturunan
sesudahnya, karena sesungguhnya mereka tidak akan mengeluarkan kamu dari pintu
petunjuk dan tidak akan memasukkan kamu ke pintu kesesatan. (Shahih Bukhari, jilid 5, hal. 65, cet. Darul Fikr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar