shalat tarawih berjam’ah
adalah bid’ah ! Yang ada itu shalat malam yang tidak berbeda dengan
shalat-shalat malam di bulan-bulan lain, hanya saja Rasulullah SAW sangat
menganjurkannya di bulan Ramadhan
عبد الرزاق
عن الثوري عن منصور عن مجاهد قال جاء رجل إلى بن عمر قال أصلي خلف الإمام في رمضان
قال أتقرأ القرآن قال نعم قال افتنصت كأنك حمار صل في بيتك
Mujahid
meriwayatkan seseorang datang kpd Abdullah bin Umar dan bertanya : “haruskan
aku shalat dibelakang Imam selama Ramadhan? Ia (Abdullah bin Umar) bertanya :
“Kau bisa membaca Al Qur’an?”. Ia menjawab : “Ya”. (Abdullah bin Umar) berkata:
“lalu mengapa kau diam2 berdiri seperti keledai, pergilah dan Shalatlah
dirumahmu” (Mushanaf Abdulrazaq, j.4 h.264)
وقال مالك
وأبو يوسف وبعض الشافعية وغيرهم الأفضل فرادى في البيت
“Berkata
Malik dan Abu Yusuf dan beberapa ulama Syafi’i dan yang lainnya mengatakan
bahwa lebih baik shalat sendiri-sendiri/masing2 di rumah” (Syarh Sahih Muslim,
j. 6 h.39)
Pengikut
mazhab Ahlul Bait as tidak solat tarawih pada malam bulan Ramadhan tetapi
mereka melakukan qiamul lail atau solat malam mengikut tatacara yang diajarkan
oleh a’immah ahlul bait as. Tatacara lengkap boleh dibaca dalam kitab Mafatih al-Jinan
.
Solat malam
itu dilakukan mengikut kemampuan seseorang. Paling kurang ialah 2 rakaat.
Paling banyak ialah 1000 rakaat untuk selama satu bulan Ramadhan. Solat malam
dilakukan secara persendirian dan tidak secara jamaah. Ia dilakukan di rumah
masing-masing atau di masjid atau di mana sahaja yang sesuai. Mereka
mempergiatkan amalan solat pada malam sepuluh terakhir pada bulan Ramadhan
Tarawih
ialah shalat sunnah Ramadhan yang dilakukan dengan berjamaah. Ia dinamakan
Tarawih disebabkan adanya waktu istirahat (tarwihah) di dalamnya sesudah tiap
empat rakaat. Tapi kami (kaum Syi’ah Imamiiyah) melaksanakan shalat sunnah
Ramadhan sendiri-sendiri, sebagaimana yang berlaku pada zaman Rasulullah.
Di antara
hasil penakwilan mereka ialah shalat Tarawih yang tidak pernah dilakukan pada
zaman Rasulullah maupun masa khilafah Abu Bakar r.a. Shalat tersebut untuk
pertama kali ditradisikan oleh Khalifah Kedua, pada tahun 14 H, seperti yang
disepakati oleh para ulama
.
Hal ini
ditegaskan oleh Al-’Askari dalam keterangannya tentang “Hal-hal Baru yang
Diciptakan oleh Umar”, dan kemudian dikutip oleh As-Sayuthi pada pasal tentang
Umar bin Khaththab, dalam bukunya, Tarikh Al-Khulafa’, halaman 51.
Dalam
“Riwayat Hidup Umar” dari kita Al-Isti’ab, Ibn Abdil-Bar menulis: “Dia (Umar)-lah
yang telah menyemarakkan bulan Ramadhan dengan shalat yang jumlah rakaatnya
genap’ (yakni shalat Tarawih).”
Al-Allamah
Abu Al-Walid Muhammad bin Syuhnah, ketika menyebut kematian Umar pada rangkaian
peristiwa tahun ke-23 H dalam kitab sejarahnya Raudhat Al-Manazhir,
berkata: “Dialah orang pertama yang melarang penjualan ummahat
al-aulad (hamba-hamba perempuan yang beranak dari majikannya). Dialah
yang pertama kali mengimami shalat jenazah dengan empat takbir. Dan dia pulalah
orang pertama yang menyelenggarakan shalat Tarawih berjamaah dengan dipimpin
oleh seorang Imam… dan seterusnya.”
Sebelumnya
Anda telah tahu bahwa naskah ini termuat pada keterangan bagian tepi (hamisy)
Tarikh Ibn Atsir. Adapun yang kami nukilkan di sini terdapat pada juz II, halaman
122.
Ketika
As-Sayuthi menyebutkan dalam kitabnya Tarikh Al-Khulafa’ tentang
“Hal-hal Baru yang Diciptakan oleh Umar r.a.”, yang ia kutip dari Al-’Askari,
ia berkata: “Dialah orang pertama yang dijuluki Amir Al-Mukminin…, dan
seterusnya,” sampai pada keterangan, “Dialah yang pertama mentradisikan shalat
Tarawih pada malam-malam bulan Ramadhan, yang pertama kali mengharamkan mut’ah,
yang pertama kali melaksanakan shalat Jenazah dengan empat takbir…
dan seterusnya.”
Berkata
Muhammad bin Sa’ad, ketika menceritakan biografi Umar bin Khaththab r.a.
dalam Ath-Thabaqat, juz III: “Beliaulah orang pertama yang
mentradisikan shalat malam-malam Ramadhan (Tarawih) dengan berjamaah. Kemudian
ia menginstruksikannya ke seluruh negeri, yaitu pada bulan Ramadhan tahun 14 H.
Ia mengangkat dua qari (imam) di Madinah; seorang mengimami sembahyang
Tarawih untuk kaum laki-laki dan seorang lainnya untuk kaum wanita… dan
seterusnya.”
Tarawih
ialah shalat sunnah Ramadhan yang dilakukan dengan berjamaah. Ia dinamakan
Tarawih disebabkan adanya waktu istirahat (tarwihah) di dalamnya sesudah tiap
empat rakaat. Tapi kami (kaum Syi’ah Imamiiyah) melaksanakan shalat sunnah
Ramadhan sendiri-sendiri, sebagaimana yang berlaku pada zaman Rasulullah.
Pada akhir
juz I, dari kitab Shahih Al-Bukhari, yaitu pasal “Shalat Tarawih”, Al-Bukhari
merawikan bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda: Barangsiapa mengerjakan shalat
(sunnah) pada malam bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan, akan
diampuni dosanya yang telah lalu. Kata Al-Bukhari selanjutnya: “… sedemikian
itulah keadaannya sampai Rasulullah SAWW wafat, dan juga pada masa Khalifah Abu
Bakar serta sebagian dari masa Khalifah Umar. (Yakni, yang pada masa-masa itu
belum dikenal “shalat Tarawih”).
Muslim, pada
bab “Anjuran Shalat Malam Bulan Ramadhan”, dalam kitab Shahih-nya, juz I, telah
meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW selalu menganjurkan kaum Muslim agar
menghidupkan malam-malam bulan Ramadhan dengan shalat sunnah, tanpa
mewajibkannya. Dalam hal ini beliau bersabda: Barangsiapa mengisi malam-malam
bulan Ramadhan dengan shalat yang disertai keimanan dan keikhlasan kepada
Allah, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Ketika Rasulullah
SAWW berpulang ke rahmatullah, keadaannya tetap seperti itu. Begitu pula pada
zaman Abu Bakar, hingga awal pemerintahan Khalifah Kedua, Umar bin Khaththab
r.a.
Pada pasal
“Shalat Tarawih”, Al-Bukhari merawikan dari Abdur-Rahman bin ‘Abd (Al-Qari)
katanya: Pada suatu malam di bulan Ramadhan, aku keluar bersama Umar menuju
masjid. Kami melihat banyak orang sedang shalat sendiri-sendiri, masing-masing
terpisah dari lainnya, Umar berkata: “Seandainya orang-orang itu aku kumpulkan
dalam satu jamaah yang dipimpin oleh seorang imam, tentu lebih baik.” Kemudian
ia menetapkan niatnya itu dan mengumpulkan mereka dalam. satu jamaah yang
dipimpin oleh Ubay bin Ka’ab. Sesudah itu –kata ‘Abdur-Rahman– pada malam yang
lain aku keluar bersama Umar lagi, sementara orang-orang sedang melaksanakan
shalat mereka di belakang seorang imam. Ketika menyaksikan itu, Umar berkata:
“Alangkah baiknya bid’ah ini!”
Nama lengkap
‘Abdur-Rahman ‘Abd (Al-Qari) ialah Ibn Daisy bin Muslim bin Ghalib Al-Madani.
Abdur- Rahman ini pada waktu itu adalah pejabat Umar dalam menguruti Bayt
Al-Mal. la adalah sekutu Bani Zuhrah. Meninggal dunia pada tahun 80 H, dalam
usia 78 tahun.
Pada awal
halaman 4, juz V, kitab Irsyad As-Sari fi Syarh Shahih Al-Bukhari,
Al-’Allamah Al-Qasthallani, ketika sampai kepada ucapan Umar dalam hadis
tersebut (yakni, “Alangkah baiknya bid’ah ini”), berkata: “Ia menamakannya
bid’ah, sebab Rasulullah SAWW tidak menyunatkan kepada mereka untuk
menunaikannya secara berjamaah. Hal itu juga belum pemah ada di zaman Khalifah
Abu Bakar. Baik tentang waktu pelaksanaannya, atau tentang pelaksanaannya pada
tiap malam Ramadhan ataupun tentang jumlah rakaatnya. (Yakni duapuluh rakaat
seperti sekarang).”
Keterangan
seperti itu dapat Anda jumpai pula dalam kitab Tuhfat Al-Bari. Hal ini tidak
diperselisihkan oleh siapa pun di kalangan kaum Muslim. Maka, mudah-mudahan
Anda cukup puas dengannya sebagai petunjuk atas diberlakukannya
pemaafan-pemaafan bagi para penakwil.
.
Allah SWT
berfirmah kepada Rasulullah SAWW:
“Katakanlah:
“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
(QS Aali Imran: 31)
.
Dan perintah
Allah kepada umat Muhammad:
“…apa
yang diberikan Rasul kepada kalian, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagi kalian, Maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah amat keras hukumannya” (QS Al-Hasyr: 7)
.
Dan firman
Allah:
“Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang
nyata” (QS Al-Ahzab: 36)
.
Semua
pemeluk agama Islam pengikut Muhammad Rasulullah SAWW pasti meyakini bahwa
bid’ah adalah perbuatan yang harus dijauhi. Hal itu karena terlampau banyak
hadis Rasul –baik dalam kitab standart Ahlusunnah maupun Syiah- yang melarang
dengan keras dan tegas kepada segenap umatnya dalam pelaksanaan bid’ah. Bahkan
dalam beberapa hadis disebutkan bahwa berkumpul dengan pelaku bid’ahpun
dilarang, apalagi melakukan bid’ah. Hal itu karena imbas dari ajaran Islam yang
mengajarkan ajaran tauhid, termasuk tauhid dalam penentuan hukum agama.
Jangankan manusia biasa, Rasulullah pun dilarang untuk membikin-bikin hukum
agama. Beliau hanya berhak menyampaikan hukum Allah saja, tanpa diperkenankan
untuk menambahi maupun menguranginya. Pelaku bid’ah dapat divonis sebagai
penentang dalam masalah tauhid penentuan hukum yang menjadi hak preogatif Tuhan
belaka. Hanya Dia yang memiliki otoritas mutlak untuk itu
.
Pada
kesempatan kali ini, kita akan menegok kembali hukum ‘Shalat Tarawih’ di bulan
suci Ramadhan yang seringnya dilakukan secara berjamaah oleh kebanyakan kaum
muslimin, tidak terkecuali di Indonesia. Apakah Rasul pernah mencontohkannya
ataukah tidak? Siapa pertama kali yang mempolopori pelaksanaan shalat tarawih
berjamaah, dan dengan alasan apa? Jika Rasul tidak pernah mencontohkannya
–bahkan memerintahkan untuk shalat sendiri-sendiri- maka pelaksanaannya secara berjamaah
apakah tidak termasuk kategori bid’ah, sedang Rasul dalam hadisnya perbah
bersabda: “ Bid’ah adalah sesat” (kullu bid’atin dhalalah) dimana
ungkapan ini meniscayakan bahwa tidak ada lagi pembagian bid’ah menjadi ‘baik’
(hasanah) dan ‘buruk/sesat’ (dhalalah)?
.
Kita akan
mulai dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya yang
dinukil dari Abdurrahman bin Abdul Qori yang menjelaskan: “Pada salah satu
malam di bulan Ramadhan, aku berjalan bersama Umar (bin Khattab). Kami melihat
orang-orang nampak sendiri-sendiri dan berpencar-pencar. Mereka melakukan
shalat ada yang sendiri-sendiri ataupun dengan kelompoknya masing-masing.
Lantas Umar berkata: “Menurutku alangkah baiknya jika mereka mengikuti satu
imam (untuk berjamaah)”. Lantas ia memerintahkan agar orang-orang itu melakukan
shalat dibelakang Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, kami kembali datang ke
masjid. Kami melihat orang-orang melakukan shalat sunnah malam Ramadhan
(tarawih) dengan berjamaah. Melihat hal itu lantas Umar mengatakan: “Inilah
sebaik-baik bid’ah!”” (Shahih Bukhari jilid 2 halaman 252, yang juga terdapat
dalam kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik halaman 73)
.
Dari riwayat
di atas dapat diambil kesimpulan bahwa; Pertama: Shalat terawih berjamaah tidak
pernah dilakukan sebelum adanya perintah dari Umar. Kedua: Pertama kali shalat
tarawih berjamaah diadakan pada zaman Umar sebagai khalifah. Sedang pada masa
Rasul maupun khalifah pertama (Abu Bakar) tidak pernah ada. Ketiga: Atas dasar
itulah maka Umar sendiri mengakui bahwa ini adalah ‘hasil pendapat pribadinya’
sehingga ia mengatakan “Ini adalah sebaik-baik bid’ah” (nimatul bid’ah
hadzihi). Sekarang yang menjadi pertanyaan; Bolehkan seorang manusia biasa
mengada-ngada dengan dasar ‘pendapat pribadinya’ untuk membikin hukum
peribadatan dalam Islam? Apa hukum mengada-ngada tersebut? Bagaimana memvonis
pengada-ngada dan pelaksana hukum bikinan (baca: bid’ah) tersebut?
.
Kini kita
lihat pengakuan beberapa ulama Ahlusunnah tentang hakekat hukum shalat tarawih
berjamaah itu sendiri. Di sini kita akan mengambil beberapa contoh dari
pribadi-pribadi tersebut. Al-Qosthalani dalam mensyarahi ungkapan Umar (“Ini
adalah sebaik-baik bid’ah”) dalam kitab Shahih Bukhari tadi mengatakan: “Ia
mengakui bahwa itu adalah bid’ah karena Rasul tidak pernah memrintahkanya
sehingga shalat sunah di malam Ramadhan harus dilakukan secara berjamaah. Pada
zaman Abu Bakar pun tidak pernah ada hal semacam itu. Begitu pula tidak pernah
ada pada malam pertama Ramadhan (di malam hari keluarnya perintah Umar tadi.
red). Juga dalam kaitannya dengan jumlah rakaat (shalat tarawih) yang tidak
memiliki asal” (Irsyad as-Sari jilid 5 halaman 4). Ungkapan dan penjelasan
semacam ini juga dapat kita temukan dalam kitab Fathul Bari, Umdah al-Qori dan
beberapa kitab lain yang dikarya untuk mensyarahi Shahih Bukhari. As-Suyuthi
dalam kitab “Tarikh al-Khulafa’” menjelaskan bahwa, pertama kali yang
memerintahkan untuk melakukan shalat tarawih secara berjamaah adalah Umar bin
Khatab
.
Ini pula
yang diungkapkan oleh Abu Walid Muhammad bin Syuhnah dalam mengisahkan kejadian
tahun 23 H. Sebagaimana juga diakui oleh Muhammad bin Saad sebagaimana yang
tercantum dalam jilid ketiga kitab “at-Tabaqoot” sewaktu menyebut nama Umar bin
Khatab. Juga yang dinyatakan oleh Ibnu Abdul Bar dalam kitab “al-Isti’ab”
sewaktu mensyarahi pribadi Umar bin Khatab. Jadi jelas sekali dan tidak
dipungkiri oleh siapapun bahwa; shalat tarawih secara berjamaah adalah ibadah
yang tidak pernah dicontohkan apalagi diperintahkan oleh baginda Rasulullah
sehingga hal itu tergolong bid’ah yang harus dijauhi oleh setiap pribadi muslim
yang mengaku cinta dan taat kepada pribadi mulia Rasulullah
.
Sementara,
dalam hadis-hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah dengan keras melarang
umatnya untuk melakukan shalat sunah secara berjamaah. Sebagai contoh, dalam
sebuah hadis sahih disebutkan bahwa Rasul pernah bersabda: “Hendaknya atas
kalian untuk melakukan shalat di rumah kalian, karena sebaik-baik shalat adalah
yang dilakukan di rumah, kecuali shalat fardhu (wajib)” (Shohih Muslim dengan
Syarh Imam Nawawi jilid 6 halaman 39, atau pada kitab Fathul Bari jilid 4
halaman 252)
.
Dengan
menggabungkan empat argumen di atas tadi –(1) perintah mengikuti Rasul sehingga
mendapat ridho Allah, (2) larangan melakukan bid’ah, (3) shalat tarawih tidak
dicontohkan Rasul yang mensicayakan bid’ah dalam peribadatan dan (4) perintah
Rasul untuk melakukan shalat sunah di rumah, secara sendiri-sendiri- maka
banyak dari ulama Ahlusunnah sendiri yang mereka melakukan shalat tarawih di
rumah masing-masing, tidak berjamaah di masjid ataupun mushalla. Malah dalam
kitab “al-Mushannaf” disebutkan, Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa; “Ibnu
Umar tidak pernah melakukan shalat tarawih berjamaah”. Dan dalam kitab yang
sama, Mujahid mengatakan: “Pernah seseorang datang kepada Ibnu Umar dan
bertanya: “Pada bulan Ramadhan, apakah shalat tarawih kita lakukan dengan
berjamaah?” Ibnu Umar berkata: “Apakah kamu bisa membaca al-Quran?” Ia (penanya
tadi) menjawab: “Ya!?” lantas Ibnu Umar berkata: Lakukan shalat tarawih di
rumah!” (Al-Mushannaf jilid 5 halaman 264 hadis ke-7742 dan ke-7743)
.
Namun,
sebagian dari ikhwan Ahlsunnah mengelak bahwa itu (tarawih berjamaah) adalah
bid’ah berargumen dengan beberapa dalil. Di sini kita akan sebutkan sandaran
mereka dengan kritisi ringkas atas dalil yang mereka kemukakan.
Ada dua
hadis yang sering dijadikan argumen sebagai landasan hukum legalitas shalat
tarawih berjamaah di bulan Ramadhan
;
1- Ummul
Mukmin Aisyah berkata: “Pada satu pertengahan malam, Rasulullah keluar dari
rumah untuk melaksanakan shalat di masjid. Beberapa orang mengikuti shalat
beliau (sebagai makmum. red). Masyarakatpun mulai berdatangan karena kabar yang
tersebar. Hal itu berjalan hingga malam ketiga. Masjidpun menjadi penuh. Pada
malam keempat, setelah melaksanakan shalat Subuh Rasul berkhutbah di depan
masyarakat dengan sabdanya: “…Aku khawatir perbuatan ini akan menjadi
(dianggap) kewajiban sedang kalian tidak dapat melaksanakannya”. Sewaktu
Rasulullah meninggal, suasana menjadi sedia kala” (Shahih Bukhari jilid 1
halaman 343)
.
Menjadikan
hadis di atas sebagai dalil akan legalitas shalat tarawih berjamaah sangatlah
lemah dan tidak sempurna. Karena di dalam teks hadis tersebut jelas sekali
bahwa, tidak ada penjelasan bahwa itu terjadi pada bulan Ramadhan sehingga itu
menunjukkan shalat tarawih. Selain karena hadis itu secara sanadnya terdapat
pribadi yang bernama Yahya bin Bakir yang dihukumi lemah (dhaif) dalam
meriwayatkan hadis. Hal itu bisa dilihat dalam kitab “Tahdzibul Kamal” jilid 20
halaman 40 dan atau Siar A’lam an-Nubala’ jilid 10 halaman 612. apalagi jika
kita kaitkan dengan pengakuan sahabat Umar sendiri yang mengaakan bahwa tarawih
adalah; “Sebaik-baik bid’ah”, sebagaimana yang telah kita singung di atas
.
2- Ibn Wahab
menukil dari Abu Hurairah yang meriwayatkan bahwa, suatu saat Rasul memasuki
masjid. Belioau melihat para sahabat di beberapa tempat sedang sibuk
melaksanakan shalat. Beliau bertanya: “Shalat apa yang mereka lakukan?”.
Dijawab: “Sekelompok sedang melakukan shalat dengan diimami oleh Ubay bin
Ka’ab”. Rasul lantas bersabda: “Apa yang mereka lakukan benar dan mereka telah
melakukan kebaikan.” (Fathul Bari jilid 4 halaman 252).
Menjadikan
hadis ini sebagai pembenar pelaksanaan shalat tarawih berjamaah pun tidak
benar, karena dalam teks hadis jelas tidak dinyatakan shalat apakah yang sedang
mereka laksanakan, shalat tarawihkah ataukah shalat fardhu (shalat wajib).
Selain itu, Ibnu Hajar sendiri (penulis kitab “Fathul Bari” tadi) setelah
menukil hadis tersebut menyatakan kelemahan hadis tersebut dari dua sisi;
pertama: Terdapat pribadi yang bernama Muslim bin Khalid yang lemah (dhaif)
dalam meriwayatkan hadis. Kedua: Dalam hadis ini disebutkan bahwa Rasul yang
mengumpulkan orang-orang agar shalat di belakang Ubay bin Ka’ab, padahal yang
terkenal (ma’ruf) adalah sahabat Umar-lah yang mengumpulkan orang-orang
untuk shalat bersama Ubay bin Ka’ab
.
Dari sini
jelaslah bahwa, pelaksanaan ‘ibadah shalat tarawih berjamaah’ bukan hanya tidak
pernah diperintahkan oleh Rasul, bahkan Rasul sendiri tidak pernah
mencontohkannya. Dan terbukti pula bahwa sahabat umar-lah yang mempelopori
ibadah tersebut. Padahal kita tahu bahwa ‘penentuan amal ibadah’ adalah hak
mutlak Allah yang dijelaskan melalui lisan suci Rasulullah. Rasul sendiri tidak
berhak menentukan suatu amal ibadah, apalagi manusia biasa, walaupun ia
tergolong sahabat. Oleh karenanya, sahabat Umar sendiri mengakui bahwa itu
adalah bagian dari Bid’ah. Sedang kita tahu bahwa semua bid’ah adalah sesat,
sehingga tidak ada lagi celah untuk membagi bid’ah kepada baik dan tidak baik
.
Semoga dalam
bulan suci Ramadhan ini kita bisa mengamalkan segala perintah Allah dan
menjauhi segala larangan-Nya, termasuk menjauhi segala macam jenis bid’ah
seperti melaksanakan shalat tarawih berjamaah. Karena bagaimana mungkin kita
akan dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT namun jalan dan sarana yang kita
tempuh adalah melalui perbuatan yang dibenci oleh Allah, seperti bid’ah.
Mustahil sesuatu yang menjauhkan dari Allah (seperti Bid’ah) akan dapat
mendekatkan kepada-Nya (masuk kategori ibadah). Ini adalah dua hal kontradiktif
yang mustahil terjadi.
.
Jemaah Shalat Fardhu Atau Tarawih ?
Ah, bulan
ramadhan telah tiba, syukur, dapat lagi merasa nikmatnya pada tahun ini. Bila
sampai sahaja bulan ini, maka pada awalnya, penuhlah masjid dengan para
pengunjung yang datang menunaikan solat Tarawih.
Tidak perlu
rasanya saya beritahu, di dalam fikah Syiah, tiada solat tarawih secara
berjemaah, yang dianggap bidaah oleh Rasulullah(sawa) dan para Imamnya, yang
ada hanya solat-solat nafila yang didirikan secara individu.
Bagaimanapun,
bagi saudara Sunni yang meyakini bahawa solat ini adalah satu Sunnah Rasul,
maka, teruskan dengan apa yang kalian yakini, dan semoga Allah swt menerimanya.
Yang mahu
ditanggapi dalam luahan ini hanyalah perkara yang pernah saya lakukan ketika
Sunni dahulu, dan masih dilihat berleluasa amalannya di masa sekarang. Teringat
dahulu, saya kerap mementingkan Tarawih berjemaah lebih dari solat fardhu
berjemaah. Bukan saya seorang, tetapi ramai lagi saudara Sunni yang lain. Ini
dapat dilihat dari tindakan mereka yang sampai ke masjid selepas habis
menunaikan solat Isyak, hanya semata-mata untuk tarawih berjemaah. Solat fardhu
Isyak mereka telah tunaikan di rumah secara berseorangan. Psikologi ini tidak
betul, dan harus diubah.
Sepatutnya,
solat fardhu berjemaah mendapat keutamaan yang lebih dari nafila berjemaah, ini
adalah sabda Rasul sendiri, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
“Sebaik-baik
solat adalah solat di rumah, kecuali solat fardhu.”
Ini jelas
menunjukkan keutamaan solat fardhu berjemaah berbanding solat nafilah. Jadi
lepas ini, selain kejar untuk berterawih berjemaah, maka cubalah sedaya upaya
untuk tirit bersolat fardhu secara jemaah juga.
Nasihat
ikhlas dari saudara Syiah mu.
Jadi jelas
sekali dan tidak dipungkiri oleh siapapun bahwa; shalat tarawih secara
berjamaah adalah ‘ibadah’ yang tidak pernah dicontohkan apalagi diperintahkan
oleh baginda Rasulullah sehingga hal itu tergolong bid’ah yang harus dijauhi
oleh setiap pribadi muslim yang mengaku cinta dan taat kepada pribadi mulia
Rasulullah. Dan berdasarkan hadis terkenal Rasul; “Setiap bid’ah adalah sesat”
(kullu bid’ah dhalalah) maka tidak ada lagi celah untuk membagi bid’ah
menjadi baik dan buruk/sesat.
Studi Kritis atas Shalat Tarawih
Allah SWT
berfirmah kepada Rasulullah SAWW:
“Katakanlah:
“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
(QS Aali Imran: 31)
Dan perintah
Allah kepada umat Muhammad:
“…apa
yang diberikan Rasul kepada kalian, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagi kalian, Maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah amat keras hukumannya” (QS Al-Hasyr: 7)
Dan firman
Allah:
“Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang
nyata” (QS Al-Ahzab: 36)
Semua
pemeluk agama Islam pengikut Muhammad Rasulullah SAWW pasti meyakini bahwa
bid’ah adalah perbuatan yang harus dijauhi. Hal itu karena terlampau banyak
hadis Rasul –baik dalam kitab standart Ahlusunnah maupun Syiah- yang melarang
dengan keras dan tegas kepada segenap umatnya dalam pelaksanaan bid’ah. Bahkan
dalam beberapa hadis disebutkan bahwa berkumpul dengan pelaku bid’ahpun
dilarang, apalagi melakukan bid’ah. Hal itu karena imbas dari ajaran Islam yang
mengajarkan ajaran tauhid, termasuk tauhid dalam penentuan hukum agama.
Jangankan manusia biasa, Rasulullah pun dilarang untuk membikin-bikin hukum
agama. Beliau hanya berhak menyampaikan hukum Allah saja, tanpa diperkenankan
untuk menambahi maupun menguranginya. Pelaku bid’ah dapat divonis sebagai
penentang dalam masalah tauhid penentuan hukum yang menjadi hak preogatif Tuhan
belaka. Hanya Dia yang memiliki otoritas mutlak untuk itu.
Pada
kesempatan kali ini, kita akan menegok kembali hukum ‘Shalat Tarawih’ di bulan
suci Ramadhan yang seringnya dilakukan secara berjamaah oleh kebanyakan kaum
muslimin, tidak terkecuali di Indonesia. Apakah Rasul pernah mencontohkannya
ataukah tidak? Siapa pertama kali yang mempolopori pelaksanaan shalat tarawih berjamaah,
dan dengan alasan apa? Jika Rasul tidak pernah mencontohkannya –bahkan
memerintahkan untuk shalat sendiri-sendiri- maka pelaksanaannya secara
berjamaah apakah tidak termasuk kategori bid’ah, sedang Rasul dalam hadisnya
perbah bersabda: “Setiap Bid’ah adalah sesat” (kullu bid’atin
dhalalah) dimana ungkapan ini meniscayakan bahwa tidak ada lagi pembagian
bid’ah menjadi ‘baik’ (hasanah) dan ‘buruk/sesat’ (dhalalah)?
Kita akan
mulai dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya yang
dinukil dari Abdurrahman bin Abdul Qori yang menjelaskan: “Pada salah satu
malam di bulan Ramadhan, aku berjalan bersama Umar (bin Khattab). Kami melihat
orang-orang nampak sendiri-sendiri dan berpencar-pencar. Mereka melakukan
shalat ada yang sendiri-sendiri ataupun dengan kelompoknya masing-masing.
Lantas Umar berkata: “Menurutku alangkah baiknya jika mereka mengikuti satu
imam (untuk berjamaah)”. Lantas ia memerintahkan agar orang-orang itu melakukan
shalat dibelakang Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, kami kembali datang ke
masjid. Kami melihat orang-orang melakukan shalat sunnah malam Ramadhan
(tarawih) dengan berjamaah. Melihat hal itu lantas Umar mengatakan: “Inilah
sebaik-baik bid’ah!”” (Shahih Bukhari jilid 2 halaman 252, yang juga terdapat
dalam kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik halaman 73).
Dari riwayat
di atas dapat diambil kesimpulan bahwa; Pertama: Shalat terawih berjamaah tidak
pernah dilakukan sebelum adanya perintah dari Umar. Kedua: Pertama kali shalat
tarawih berjamaah diadakan pada zaman Umar sebagai khalifah. Sedang pada masa
Rasul maupun khalifah pertama (Abu Bakar) tidak pernah ada. Ketiga: Atas dasar
itulah maka Umar sendiri mengakui bahwa ini adalah ‘hasil pendapat pribadinya’
sehingga ia mengatakan “Ini adalah sebaik-baik bid’ah” (nimatul bid’ah
hadzihi). Sekarang yang menjadi pertanyaan; Bolehkan seorang manusia biasa
mengada-ngada dengan dasar ‘pendapat pribadinya’ untuk membikin hukum
peribadatan dalam Islam? Apa hukum mengada-ngada tersebut? Bagaimana memvonis
pengada-ngada dan pelaksana hukum bikinan (baca: bid’ah) tersebut?
Kini kita
lihat pengakuan beberapa ulama Ahlusunnah tentang hakekat hukum shalat tarawih
berjamaah itu sendiri. Di sini kita akan mengambil beberapa contoh dari
pribadi-pribadi tersebut. Al-Qosthalani dalam mensyarahi ungkapan Umar (“Ini
adalah sebaik-baik bid’ah”) dalam kitab Shahih Bukhari tadi mengatakan: “Ia
mengakui bahwa itu adalah bid’ah karena Rasul tidak pernah memrintahkanya
sehingga shalat sunah di malam Ramadhan harus dilakukan secara berjamaah. Pada
zaman Abu Bakar pun tidak pernah ada hal semacam itu. Begitu pula tidak pernah
ada pada malam pertama Ramadhan (di malam hari keluarnya perintah Umar tadi.
red). Juga dalam kaitannya dengan jumlah rakaat (shalat tarawih) yang tidak
memiliki asal” (Irsyad as-Sari jilid 5 halaman 4). Ungkapan dan penjelasan
semacam ini juga dapat kita temukan dalam kitab Fathul Bari, Umdah al-Qori dan
beberapa kitab lain yang dikarya untuk mensyarahi Shahih Bukhari. As-Suyuthi
dalam kitab “Tarikh al-Khulafa’” menjelaskan bahwa, pertama kali yang
memerintahkan untuk melakukan shalat tarawih secara berjamaah adalah Umar bin
Khatab. Ini pula yang diungkapkan oleh Abu Walid Muhammad bin Syuhnah dalam
mengisahkan kejadian tahun 23 H. Sebagaimana juga diakui oleh Muhammad bin Saad
sebagaimana yang tercantum dalam jilid ketiga kitab “at-Tabaqoot” sewaktu
menyebut nama Umar bin Khatab. Juga yang dinyatakan oleh Ibnu Abdul Bar dalam
kitab “al-Isti’ab” sewaktu mensyarahi pribadi Umar bin Khatab. Jadi jelas
sekali dan tidak dipungkiri oleh siapapun bahwa; shalat tarawih secara
berjamaah adalah ibadah yang tidak pernah dicontohkan apalagi diperintahkan
oleh baginda Rasulullah sehingga hal itu tergolong bid’ah yang harus dijauhi
oleh setiap pribadi muslim yang mengaku cinta dan taat kepada pribadi mulia
Rasulullah.
Sementara,
dalam hadis-hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah dengan keras melarang
umatnya untuk melakukan shalat sunah secara berjamaah. Sebagai contoh, dalam
sebuah hadis sahih disebutkan bahwa Rasul pernah bersabda: “Hendaknya atas
kalian untuk melakukan shalat di rumah kalian, karena sebaik-baik shalat adalah
yang dilakukan di rumah, kecuali shalat fardhu (wajib)” (Shohih Muslim dengan
Syarh Imam Nawawi jilid 6 halaman 39, atau pada kitab Fathul Bari jilid 4
halaman 252).
Dengan
menggabungkan empat argumen di atas tadi –(1) perintah mengikuti Rasul sehingga
mendapat ridho Allah, (2) larangan melakukan bid’ah, (3) shalat tarawih tidak
dicontohkan Rasul yang mensicayakan bid’ah dalam peribadatan dan (4) perintah
Rasul untuk melakukan shalat sunah di rumah, secara sendiri-sendiri- maka
banyak dari ulama Ahlusunnah sendiri yang mereka melakukan shalat tarawih di
rumah masing-masing, tidak berjamaah di masjid ataupun mushalla. Malah dalam
kitab “al-Mushannaf” disebutkan, Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa; “Ibnu
Umar tidak pernah melakukan shalat tarawih berjamaah”. Dan dalam kitab yang
sama, Mujahid mengatakan: “Pernah seseorang datang kepada Ibnu Umar dan
bertanya: “Pada bulan Ramadhan, apakah shalat tarawih kita lakukan dengan
berjamaah?” Ibnu Umar berkata: “Apakah kamu bisa membaca al-Quran?” Ia (penanya
tadi) menjawab: “Ya!?” lantas Ibnu Umar berkata: Lakukan shalat tarawih di
rumah!” (Al-Mushannaf jilid 5 halaman 264 hadis ke-7742 dan ke-7743).
Namun,
sebagian dari ikhwan Ahlsunnah mengelak bahwa itu (tarawih berjamaah) adalah
bid’ah berargumen dengan beberapa dalil. Di sini kita akan sebutkan sandaran
mereka dengan kritisi ringkas atas dalil yang mereka kemukakan.
Ada dua
hadis yang sering dijadikan argumen sebagai landasan hukum legalitas shalat
tarawih berjamaah di bulan Ramadhan;
1- Ummul
Mukmin Aisyah berkata: “Pada satu pertengahan malam, Rasulullah keluar dari
rumah untuk melaksanakan shalat di masjid. Beberapa orang mengikuti shalat
beliau (sebagai makmum. red). Masyarakatpun mulai berdatangan karena kabar yang
tersebar. Hal itu berjalan hingga malam ketiga. Masjidpun menjadi penuh. Pada
malam keempat, setelah melaksanakan shalat Subuh Rasul berkhutbah di depan
masyarakat dengan sabdanya: “…Aku khawatir perbuatan ini akan menjadi
(dianggap) kewajiban sedang kalian tidak dapat melaksanakannya”. Sewaktu
Rasulullah meninggal, suasana menjadi sedia kala” (Shahih Bukhari jilid 1
halaman 343)
Menjadikan
hadis di atas sebagai dalil akan legalitas shalat tarawih berjamaah sangatlah
lemah dan tidak sempurna. Karena di dalam teks hadis tersebut jelas sekali
bahwa, tidak ada penjelasan bahwa itu terjadi pada bulan Ramadhan sehingga itu
menunjukkan shalat tarawih. Selain karena hadis itu secara sanadnya terdapat
pribadi yang bernama Yahya bin Bakir yang dihukumi lemah (dhaif) dalam
meriwayatkan hadis. Hal itu bisa dilihat dalam kitab “Tahdzibul Kamal” jilid 20
halaman 40 dan atau Siar A’lam an-Nubala’ jilid 10 halaman 612. apalagi jika
kita kaitkan dengan pengakuan sahabat Umar sendiri yang mengaakan bahwa tarawih
adalah; “Sebaik-baik bid’ah”, sebagaimana yang telah kita singung di atas.
2- Ibn Wahab
menukil dari Abu Hurairah yang meriwayatkan bahwa, suatu saat Rasul memasuki
masjid. Belioau melihat para sahabat di beberapa tempat sedang sibuk
melaksanakan shalat. Beliau bertanya: “Shalat apa yang mereka lakukan?”.
Dijawab: “Sekelompok sedang melakukan shalat dengan diimami oleh Ubay bin
Ka’ab”. Rasul lantas bersabda: “Apa yang mereka lakukan benar dan mereka telah
melakukan kebaikan.” (Fathul Bari jilid 4 halaman 252).
Menjadikan
hadis ini sebagai pembenar pelaksanaan shalat tarawih berjamaah pun tidak
benar, karena dalam teks hadis jelas tidak dinyatakan shalat apakah yang sedang
mereka laksanakan, shalat tarawihkah ataukah shalat fardhu (shalat wajib).
Selain itu, Ibnu Hajar sendiri (penulis kitab “Fathul Bari” tadi) setelah
menukil hadis tersebut menyatakan kelemahan hadis tersebut dari dua sisi;
pertama: Terdapat pribadi yang bernama Muslim bin Khalid yang lemah (dhaif)
dalam meriwayatkan hadis. Kedua: Dalam hadis ini disebutkan bahwa Rasul yang
mengumpulkan orang-orang agar shalat di belakang Ubay bin Ka’ab, padahal yang
terkenal (ma’ruf) adalah sahabat Umar-lah yang mengumpulkan orang-orang
untuk shalat bersama Ubay bin Ka’ab.
Dari sini
jelaslah bahwa, pelaksanaan ‘ibadah shalat tarawih berjamaah’ bukan hanya tidak
pernah diperintahkan oleh Rasul, bahkan Rasul sendiri tidak pernah
mencontohkannya. Dan terbukti pula bahwa sahabat umar-lah yang mempelopori
ibadah tersebut. Padahal kita tahu bahwa ‘penentuan amal ibadah’ adalah hak
mutlak Allah yang dijelaskan melalui lisan suci Rasulullah. Rasul sendiri tidak
berhak menentukan suatu amal ibadah, apalagi manusia biasa, walaupun ia
tergolong sahabat. Oleh karenanya, sahabat Umar sendiri mengakui bahwa itu
adalah bagian dari Bid’ah. Sedang kita tahu bahwa semua bid’ah adalah sesat,
sehingga tidak ada lagi celah untuk membagi bid’ah kepada baik dan tidak baik.
Taraweh: Bid’ah yang Indah Itu….
|
Kalau kita saksikan dikebanyakan masjid-masjid saudara kita, Ahlussunnah,
kita sering menjumpai pada malam-malam bulan Ramadhan terdapat ritual shalat
berjamaah yang jumlah raka’atnya sebanyak 8 rakaat, 20 raka’at atau 36 rakaat.
Konon Rasulullah Saw hanya mengerjakan 8 rakaat secara berjamaah kemudian
melanjutkannya di rumah. Hal ini juga diikuti oleh para sahabat.
.
Namun, bagaimana sebenarnya hukum shalat Tarawih ini? Berikut ini mari kita
menyimak tulisan berikut ini dengan tajuk “Bid’ah yang Indah itu..
.
Dari kitab Sahih Bukhari[1] dan Sahih Muslim[2] kita dapat mengambil pelajaran
bahwa pada zaman Nabi Muhammad Saw dan pada zaman kekhalifahan Abu Bakar serta
pada beberapa waktu pemerintahan Umar, tidak terdapat ritual shalat Tarawih.
Hingga pada suatu waktu dari salah satu malam-malam bulan Ramadhan, Umar masuk
ke Masjid dan menyaksikan masyarakat melakukan shalat secara sendiri-sendiri
(munfarid). Ia juga melihat di salah satu sudut masjid itu, ada sekelompok kaum
muslim melaksanakan shalat secara berjamaah
.
Kemudian Umar berkata, “Kalau semua orang melaksanakan shalat secara
berjamaah pasti akan menarik. Lalu ia mengumpulkan mereka untuk
melaksanakan shalat di bawah pimpinan seorang imam (Ubay bin Ka’ab). Pada malam
berikutnya ia masuk masjid itu dan menyaksikan jamaah masjid melaksanakan
shalat secara berjamaah, seraya mengucapkan “Ni’mal bid’atu hadzihi“[3]. (Alangkah indahnya bid’ah ini).
Jadi pendapat yang mengatakan bahwa bilangan rakaat salat Tarawih itu sebanyak
20 rakaat merupakan pendapat Khalifah Umar bin Khatab.
.
Al-’Allamah al-Qasthalani, ketika sampai pada ucapan Umar dalam hadits
tersebut (yakni alangkah baiknya bid’ah ini) berkata: “Ia (Umar) menamakannya
bid’ah, sebab Rasulullah Saw sendiri tidak menjadikannya sebagai sunnah kepada
mereka untuk dilakukan secara berjamaah. Hal itu juga belum pernah
terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, baik tentang waktu pelaksanaannya, atau
tentang pelaksanaannya pada tiap malam Ramadhan, ataupun tentang jumlah
rakaatnya.[4]
.
Dalam kitab Fiqh ‘alal Madzahib al Arba’ah[5] ihwal shalat Tarawih, “Adalah
mustahab apabila shalat Tarawih ini dilaksanakan secara berjamaah, namun jumlah
rakaatnya bukan 20 rakaat dan baru beberapa lama setelah itu ditambahkan. Dari
kitab ini juga Anda bisa mengetahui seluk beluk salat Tarawih ini. Penyusun
kitab ini, Abdul Rahman al-Jazairi menjelaskan bahwa: “Syaikhan, (Imam Bukhari
dan Muslim) meriwayatkan sebuah hadits bahwa Rasulullah Saw keluar dari
rumahnya pada tengah malam di bulan suci Ramadhan, yaitu pada malam ketiga,
kelima dan kedua puluh tujuh, secara terpisah. Kemudian beliau Saw shalat di
dalam masjid. Jamaah masjid pun turut pula melakukan shalat di dalam masjid
beliau. Ketika itu beliau Saw melakukan shalat sebanyak 8 rakaat. Tetapi
kemudian mereka menyempurnakan shalat mereka di rumah mereka masing-masing…”
Kemudian Abdul al-Jaziri menyimpulkan pandangannya sendiri dari riwayat tersebut
dan berkata: “Dari riwayat ini jelaslah bahwa Nabi Saw telah menetapkan
kesunahan shalat Tarawih secara berjamaah. Tetapi beliau Saw tidak melakukannya
-bersama-sama dengan mereka- sebanyak 20 rakaat, sebagaimana yang dilakukan
pada masa sahabat (pasca wafat Rasulullah Saw) dan pada masa-masa selanjutnya
hingga sekarang ini. Setelah keluar pada tiga malam itu, beliau Saw tidak
keluar lagi karena takut nantinya shalat itu akan diwajibkan atas mereka
sebagaimana yang juga pada riwayat lainnya. Dan telah jelas pula bahwa
jumlah rakaatnya tidak terbatas hanya 8 rakaat saja sebagaimana yang beliau
lakukan bersama mereka. Dalilnya adalah bahwa mereka menyempurnakannya di dalam
rumah-rumah mereka. Sementara perbuatan umar menjelaskan bahwa jumlah rakaatnya
adalah 20. Dimana ketika itu (ketika Umar berkuasa sebagai Khalifah) dia
menganjurkan kaum muslimin agar melakukan shalat Tarawih di dalam masjid
sebanyak 20 rakaat, dan hal itu disetujui oleh para sahabat Nabi Saw.
.
Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz penambahan rakaat shalat Tarawih
terjadi lagi sampai 36 rakaat. Tujuan penambahan tersebut ini untuk
menyesuaikan keutamaan dan kemuliaan penduduk kota Makkah. Karena mereka
melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah) satu kali setelah setiap 4 rakaat. Berdasarkan
hal itu, Umar bin Abdul Aziz menganggap perlu untuk menambahkan dalam setiap
thawaf sebanyak 4 rakaat”.[6]
.
Dalam salah satu kitab fiqih Sunni “al-Mughni“, ulama Ahli Sunnah
yang bernama al-Kharqi berata bahwa shalat Tarawih itu dilakukan sebanyak 20
rakaat. Ibnu Quddamah, seorang ulama Sunni terkenal lainnya berkata di dalam
syarahnya bahwa menurut pandangan Imam Ahmad bin Hanbal, yang lebih kuat bahwa
shalat Tarawih itu berjumlah 20 rakaat. Hal ini persis dengan pendapat
as-Tsauri, Abu Hanifah dan Imam Syafi’i. Namun Imam Malik berpendapat bahwa
shalat Tarawih itu berjumlah 36 rakaat. Dia mengatakan bahwa hal itu sesuai dengan
perbuatan orang-orang Madinah.
.
Dalam pandangan madzhab Ahli Sunnah, keotentikan kitab al-Bukhari menempati
urutan ke dua setelah Al-Qur’an dan sangat banyak yang memberikan komentar
atas kitab ini. Dalam kitab ini, para komentator itu memberikan
pandangan beragam tentang jumlah rakaat yang ada pada salat Tarawih, sebagian
mereka mengatakan bahwa jumlah rakaat shalat Tarawih itu adalah 13 rakaat, yang
lainnya mengatakan 20 rakaat, kelompok yang lain berpendapat 24 rakaat, ada
yang mengatakan 28 rakaat, sebagian lagi berujar 36 rakaat, ada juga yang
mengatakan 38 rakaat, sebagiannya lagi mengatakan 39 rakaat, pendapat
selanjutnya adalah 41 rakaat, pendapat lainnya adalah 47 rakaat, dan begitu
seterusnya.
.
Ibnu Abdil Bar menulis: “Dialah Umar yang telah menyemarakkan bulan suci
Ramadhan dengan shalat yang jumlah rakaatnya genap (yakitu shalat Tarawih)”[7]
.
Al-Allamah Abu Al-Walid Muhammad bin Syuhnah berkata: Dan dia pulalah orang
pertama yang menyelenggarakan shalat Tarawih berjamaah dengan dipimpin oleh
seorang imam….”[8]
.
As-Suyuthi menulis di dalam kitabnya Tarikhul Khulafa’ tentang
hal-hal baru yang diciptakan oleh Umar, diantaranya ia berkata: “Dialah orang
pertama yang mentradisikan shalat Tarawih pada malam-malam bulan Ramadhan”
.
Imam al-Bukhari -setelah meriwayatkan sebuah hadits Rasulullah Saw yang
berbunyi: “Barangsiapa yang melakukan shalat (sunat) pada malam bulan
Ramadhan……dst”- berkata: “….Sedemikian itulah keadaannya sampai Rasulullah Saw
wafat, dan juga pada masa Khalifah Abu Bakar serta sebagian dari masa Khalifah
Umar. (Yakni, yang pada masa-masa itu belum dikenal “shalat Tarawih”[9]
.
Muslim pun -di dalam kitab Shahih-nya- mengutip hadits yang
sama dan kemudian memberikan komentar yang sama.[10]
.
Kiranya perlu diingat bahwa setelah pengarang kitab Fiqh ‘alal al
Arba’ah menjelaskan permasalahan ini, ia kemudian memberikan
pembenaran atas bid’ah yang dilakukan oleh Umar ini:[11]
.
Mengapa bid’ah ini diperbolehkan? Bukankah bid’ah yang sangat berpengaruh
ini merupakan bentuk kesesatan? Apakah merupakan pengecualian yang berasal dari
Nabi Saw?
.
Apakah dengan digantinya 11 rakaat sebagai shalat malam, 20 rakaat yang
dilakukan tidak bertentangan dengan petunjuk yang diberikan oleh Nabi Saw?
Apakah menghatamkan seluruh Al Qur’an di antara jamaah masjid sebagai
sebuah ibadah yang sunah dan bukan merupakan suatu bid’ah?
.
Apakah Umar berkata, “Lakukan 20 rakaat atau khatamkan Al Qur’an bagi
mereka?
Apakah Umar memerintahkan supaya shalat Tarawih dilakukan di seluruh
masjid?
Jawaban dari seluruh pertanyaan ini adalah iya. Shalat Tarawih yang digagas
oleh ‘Umar ini merupakan suatu bid’ah. Oleh karena itu dalam fiqh Ahlul Bayt As
terdapat pelarangan untuk melaksanakan shalat Tarawih karena tidak berasal dari
sunnah Nabi Saw, melainkan merupakan sunnah Khalifah Kedua yang tidak dapat
dijadikan sebagai sumber hukum.
.
Tentang solat malam pada bulan Ramadhan (qiyamulail fi Ramadhan) menurut
pandangan madzhab Ahlulbait As, memang berbeda dengan madzhab Sunni, baik
dalam jumlah rakaatnya maupun dalam waktu dan doa-doa dan cara-cara lainnya.
Aimah As dan ulama mereka tidak berbeda pendapat mengenai jumlah rakaat
dan cara melakukan shalat-shalat malam Ramadhan tersebut. Maksumin As dan para
ulama AhlulbaitAs melakukan shalat atau qiyamulail pada bulan suci Ramadhan
sebanyak seribu rakaat, selama sebulan penuh. Semenjak malam pertama bulan
Ramadhan mereka melakukan solat sebanyak dua puluh rakaat. Hal ini mereka
lakukan hingga malam ke dua puluh, di mana jumlah keseluruhan dari solat yang
mereka lakukan adalah empat ratus rakaat. Selebihnya, yaitu dimulai semenjak
malam ke-21 sampai malam terakhir, mereka melakukannya tiga puluh rakaat. Jadi
selama sepuluh malam berjumlah tiga ratus rakaat. Sedang pada tiga malam
ganjil, yaitu malam ke 19, 21 dan 23, mereka menambahkannya menjadi seratus
rakaat, yang jumlah keseluruhan pada tiga malam ini adalah tiga ratus rakaat. Menurut
pandangan madzab Ahlulbait, tiga malam ganjil adalah malam-malam Lailatul Qadar
dan mempunyai keutamaan dan kemuliaan ketimbang seribu bulan ibadah. Pada
malam-malam lailatul Qadar amalan-amalan yang sangat dianjurkan di antaranya
adalah mengadakan perenungan terhadap keadaan diri sendiri, mengadakan
majelis-majelis keilmuan, selalu mengingat Allah Swt dengan zikir-zikir yang
telah diajarkan oleh para Imam As, bertawassul kepada Ahlulbait As, berdoa
dengan khusyu dan lainnya.
.
[1] . Sahih Bukhari, Kitab Shalat
Taraweh, Hal. 322. Jil, No. 2009-2012
[2] . Sahih Muslim, Bab Targhib fi
Qiyam Ramadhan wa huwa Tarawih, Hal. 334, No. 756
[3] . Sahih Bukhari, Kitab Shalat
Tarawih, Hal. 322, No. 2010
[4] . Irsyadu Sahih Bukhari, 5/4
[5] . Jil. 1, Pembahasan tentang
Shalat Matbu’, Shalat Tarawih, Hal. 340
[6] . Al Mughni, Jil. 6. Hal.
137-138
[7] . Isti’ab, Ibnu Abdil Bar
[8] . Raudhatal Manadhir, Jil. 2,
Hal. 122
[9] . Sahih Bukhari, Juz 1, Pasal
Solat Taraweh
[10] . Sahih Muslim, Juz 1,
Anjuran Shalat Malam pada Bulan Ramadhan
[11] . Ibid
Nampak jelas kesemua hujah Imam Syatibi atau ulama2 lain yang
mengulas perihal Tarawikh ini berdasarkan satu hal
saja: ANDAIAN… Sedangkan prinsip asas hukum termasuk ibadah mestilah
berdasarkan nas yg qath’i (pasti/sahih) kecuali untuk tujuan fadail a’mal
(kelebihan beramal) bolehlah digunakan wp hadis yg daif (lemah) tapi
bukan yg maudhuk (palsu/rekaan).
.
Sedangkan ulama mereka sendiri menafikan apa yg mereka kata…. Mengapa
mereka tidak merujuk kpd pensyarah kitab mereka sendiri lalu membuat syarahan
yang baru (kira bid’ah dari segi bahasa lah ni). Lihat;
.
“Amalan ini dikatakan BID’AH kerana Rasulullah S.A.W TIDAK
PERNAH MELAKUKAN solat ini secara berjemaah, dan solat ini tidak juga
dilaksanakan sedemikian dalam masa al-Siddiq (merujuk kepada khalifah pertama),
tidak juga didirikan di bahagian awal malam atau jumlah rakaat yang
sedemikian.” (Riwayat Sunni: al-Qastallani, Irshad al-Sari Sharh al-Bukhari,
jilid 5, ms. 4; al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim, jilid 6, ms 287).
.
“Umar adalah yang pertama menentukan contoh untuk solat malam di bulan
Ramadhan, Tarawih, dan mengumpulkan manusia padanya, dan mengarahkan
kawasan-kawasan lain mengenai perkara itu. Ini terjadi pada bulan Ramadhan
tahun 14 Hijrah. Dia melantik untuk manusia seorang Qari qur’an yang memimpin
solat Tarawih untuk lelaki dan wanita.”(Ibn Sa’d, Kitab al-Tabaqat, jilid 3, ms
281; al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa’, ms 137; al-’Ayni, ‘Umdat al-Qari fi Sharh
Sahih al-Bukhari, jilid 6, ms 125)
.
Bmana mereka boleh lari dari nas yg qath’i dan berpegang
kepada andaian.Tidakkah semua org ada andaian tersendiri. Bersediakah
mereka yg mempertahankan “sebaik2 bid’ah” ini menerima andaian org lain pula.
Jika mereka tidak bersedia maka mereka telah memasukkan “ANDAIAN” sebagai
sumber hukum selain Al-Quran dan Sunnah.
.
p/s Mungkin juga di lain masa jika berbangkit isu tarawikh ni mu terangkan
bahawa Saidina Ali ketika menjadi khalifah/ ketika berada di Kota Kufah
melarang orang ramai melakukan solat terawih dan menyuruh anaknya Saidina Hasan
memukul dengan tongkat orang yang melakukannya tetapi orang ramai berkeras
terus melakukannya kerana ia sudah menjadi amalan tradisi di zaman
Umar. Jadi pandangan Imam Ali sama dengan pandangan Nabi dan Abu
Bakar. Pandangan Umar sama dengan Uthman dan seterusnya hingga kini (bagi yg
ingin “melakukan sebaik2 bid’ah)
.
Pandangan Ahl Bait/Keluarga Nabi Mengenai Salat
Tarawih
Iman al-Baqir A.S dan Imam al-Sadiq A.S telah ditanya mengenai boleh tidaknya mendirikan solat sunat secara berjemaah di malam-malam Ramadhan. Mereka berdua menyampaikan sebuah hadis Rasulullah S.A.W. di mana baginda bersabda mafhumnya: “Sesungguhnya mendirikan solat nafila (solat sunat) secara berjemaah di masa malam-malam Ramadhan adalah BID’AH, wahai manusia! Janganlah mendirikan solat nafila Ramadhan secara berjemaah. Tidak diragukan, melakukan amalan yang sedikit menyembah Allah yang mematuhi sunnah adalah lebih baik dari melakukan amalan yang banyak yang dihasilkan dari bid’ah.” (al-Hurr al-’Amili, Wasa’il al-Shia’ah, jilid 8, ms 45). Maksudnya menurut AB semasa zaman Nabi lagi, Nabi telah melarangnya.
Iman al-Baqir A.S dan Imam al-Sadiq A.S telah ditanya mengenai boleh tidaknya mendirikan solat sunat secara berjemaah di malam-malam Ramadhan. Mereka berdua menyampaikan sebuah hadis Rasulullah S.A.W. di mana baginda bersabda mafhumnya: “Sesungguhnya mendirikan solat nafila (solat sunat) secara berjemaah di masa malam-malam Ramadhan adalah BID’AH, wahai manusia! Janganlah mendirikan solat nafila Ramadhan secara berjemaah. Tidak diragukan, melakukan amalan yang sedikit menyembah Allah yang mematuhi sunnah adalah lebih baik dari melakukan amalan yang banyak yang dihasilkan dari bid’ah.” (al-Hurr al-’Amili, Wasa’il al-Shia’ah, jilid 8, ms 45). Maksudnya menurut AB semasa zaman Nabi lagi, Nabi telah melarangnya.
.
Di kalangan Syiah selalu mementingkan untuk mendirikan solat malam,
dipanggil Tahajjud atau Qiyam al-Lail atau Solat al-Lail, pada bahagian
terakhir malam setiap bulan, terutama semasa bulan Ramadhan. Syiah juga
menggalakkan mendirikan solat Nawafil sebagai tambahan di malam-malam bulan
Ramadhan. Bagaimanapun, mereka dirikan solat pilihan ini kebanyakannya di
rumah-rumah mereka dan tidak pernah berjemaah walaupun dilakukan di masjid.
Dengan melakukan begini mereka telah patuh pada al-Quran dan sunnah Rasulullah
S.A.W.
.
Ini bermakna pendapat yang menyatakan Syiah tidak melakukan sembahyang
tarawih/solat nafila (sunat) adalah tidak begitu tepat. Yang ditegah oleh syiah
ialah sembahyang tarawih/solat nafila berjemaah.
.
Definisi Tarawih:
Perkataan Tarawih tidak pernah disebut oleh al-Quran atau hadis Rasulullah
S.A.W. dalam menjelaskan solat berjamaah tambahan pada malam-malam di bulan
Ramadhan. Ini adalah istilah yang dihasilkan kemudiannya diantara para
Muslim. Dari tatabahasa, perkataan Tarawih adalah jamak dari perkataantarwiha yang
merujuk kepada waktu rehat singkat di antara dua atau empat rakaat salat
tersebut. Kemudiannya, seluruh solat sunnat berjemaah tambahan ini dipanggil
dengan istilah ini – Tarawih. ATAU Definisi Tarawih ialah bermaksud duduk
bersenang-senang atau beristirehat. Manakala Solat Tarawih bererti solat sunat
dengan rasa senang dan kelapangan hati selepas solat fardhu Isya’.
.
Tarwiha= waktu rehat sekejap (jadi wakru rehat pukul 1-2 adalah Tarwiha)
Tarawih= waktu-waktu rehat sekejap (antara 2/4
rakaat)= semua waktu rehat yg sekejap itu digabungkan menjadi TARAWIH… aneh
sekali solat ni… kok rehat-rehat jadi nama solat?
Menurut
orang Iran, tarawih berjamaah itu tidak ada di
zaman Rasulullah tapi baru diselenggarakan pada zaman khalifah Umar bin
Khattab.Itulah sebabnya mereka tidak tarawih berjamaah di masjid-masjid,
melainkan shalat-shalat sendiri di rumah
.
Berbeda
dengan mayoritas muslim di Indonesia dan Negara-negara Timur Tengah lainnya,
Iran memasuki Ramadhan 12 Agustus 2010. Awal Ramadhan di Iran diumumkan
secara resmi oleh Mufti Iran tidak seperti di Indonesia yang biasanya
masing-masing Ormas Islam mengumumkan awal puasanya sendiri-sendiri, sehingga
terkadang berbeda satu sama lain. Mungkin dikarenakan adanya kedekatan
emosional antara rakyat Iran dengan alim ulamanya
.
Sama halnya dengan negara-negara muslim lainnya, masyarakat Iran juga menyemarakkan Ramadhan dengan berbagai agenda yang bernilai ibadah. Hanya saja ada kekhasan budaya masyarakat Iran yang bisa jadi sulit ditemui di tempat lainnya. Kalau kaum muslimin di Indonesia misalnya, mempersoalkan berapa rakaat salat tarawih yang harus ditunaikan secara berjamaah, antara 8 atau 20 rakaat, kaum muslimin di Iran justru tidak melakukannya. Menurut orang Iran, tarawih berjamaah itu tidak ada di zaman Rasulullah tapi baru diselenggarakan pada zaman khalifah Umar bin Khattab. Itulah sebabnya mereka tidak tarawih berjamaah di masjid-masjid, melainkan shalat-shalat sendiri di rumah
Sama halnya dengan negara-negara muslim lainnya, masyarakat Iran juga menyemarakkan Ramadhan dengan berbagai agenda yang bernilai ibadah. Hanya saja ada kekhasan budaya masyarakat Iran yang bisa jadi sulit ditemui di tempat lainnya. Kalau kaum muslimin di Indonesia misalnya, mempersoalkan berapa rakaat salat tarawih yang harus ditunaikan secara berjamaah, antara 8 atau 20 rakaat, kaum muslimin di Iran justru tidak melakukannya. Menurut orang Iran, tarawih berjamaah itu tidak ada di zaman Rasulullah tapi baru diselenggarakan pada zaman khalifah Umar bin Khattab. Itulah sebabnya mereka tidak tarawih berjamaah di masjid-masjid, melainkan shalat-shalat sendiri di rumah
.
.
Meskipun
tidak menyelenggarakan shalat tarawih secara berjamaah, bukan berarti mesjid
sepi. Justru mesjid-mesjid penuh sesak dengan orang-orang semalam suntuk.
Khususnya pada malam ke-19, 21 dan 23. Menurut keyakinan orang Iran ada hadits
Rasulullah yang menyebutkan, malam lailatul Qadr kemungkinan jatuh pada ketiga
malam tersebut. Karenanya pada ketiga malam tersebut masjid-masjid, husainiyah
(balai pertemuan), dan rumah-rumah yang memang menyediakan diri untuk ‘open
house’, penuh sesak dengan orang-orang yang berburu pahala dan keutamaan malam
Lailatul Qadr, yang menurut Al-Qur’an dan hadits, ibadah pada malam itu lebih
baik dari ibadah selama seribu bulan. Pada ketiga malam itu, mereka melakukan
ibadah sampai menjelang sahur. Di antaranya membaca doa jauzan Kabir.Doa ini memuat
seribu Asmaul Husna (nama-nama Allah yang baik dan indah), karenanya butuh
berjam-jam untuk membaca doa ini. Dan bisa lebih lama lagi karena di sela-sela
bacaan doa, si pembaca doa menyelipkan munajat, syair-syair rintihan penyesalan
atas dosa-dosa di hadapan Allah SWT. Tak heran bila suasana sangat emosional
dan isak tangis terdengar di sana-sini.
Pada hari ke-25 hingga ke-27 di masjid-masjid diadakan i’tikaf secara nasional. I’tikaf yakni berdiam diri di masjid dengan niat mengisinya dengan beribadah kepada Allah SWT. I’tikaf ini telah menjadi program nasional setiap tahunnya, karenanya biaya konsumsi termasuk fasilitas i’tikaf seperti tasbih, buku-buku doa dan sajadah disediakan pemerintah.Kekhasan lainnya di negeri para mullah ini, tentu saja tradisi berbuka puasa. Sekitar dua jam sebelum berbuka, mereka melakukan majelis-majelis Al-qur’an. Tidak hanya di masjid-masjid, tetapi juga di tempat-tempat terbuka, seperti di taman dan sebagainya. Bulan Ramadhan adalah bulan dimana Al-Qur’an diturunkan, karenanya menurut mereka, Al-Qur’an harus lebih banyak dibaca pada bulan ini. Dalam majelis tersebut, mereka tidak hanya membaca Al-Qur’an tapi juga mengkaji dan mendiskusikannya. Sejak Sayyid Muhammad Husein Tabataba’i seorang bocah 7 tahun meraih gelar Doktor Honoris Causa dari Hijaz College Islamic University, Inggris, dengan nilai 93 karena hafal dan faham Al Quran, dikenal di seluruh dunia, Iran lebih agresif lagi memperkenalkan Al-Qur’an keseluruh dunia..Saat ini sudah ada 600 pusat lembaga kegiatan berbasis Al Quran yang sedang aktif dan dua tahun kedepan ditargetkan ada seribu perpustakan dan Bank CD Qurani di pusat-pusat kegiatan AlQur’an di Iran. Telah berkali-kali Iran menjadi tuan rumah penyelenggaraan Pameran Al-Qur’an Internasional. Dalam Pameran Al-Qur’an Internasional ke XVI 2008 di Teheran ditampilkan juga Al-Qur’an terkecil yang memecahkan rekor dunia. Al-Qur’an yang hanya berukuran 5 x 7 cm ini dibuat oleh kaligrafer Iran Roin Abar Khanzadeh, 94 kali lebih kecil dari Al-Qur’an terkecil sebelumnya. Yang menarik Al Quran terkecil ini ditulis dengan mata telanjang oleh penulisnya dan bila dijejer hanya menempati ukuran kertas A3. Dengan tingkat apresiasi yang tinggi terhadap Al-Qur’an wajar jika Iran menghasilkan banyak Mufassir terkemuka dalam dunia Islam, diantaranya Allamah Mohammad Husain Thabatabai, penulis tafsir Al Mizan yang fenomenal..Seteleh majelis-majelis Al-Qur’an diselenggarakan, merekapun tinggal menanti buka puasa. Berbuka puasa bersama, diselenggarakan di masjid-masjid. Mereka memulai berbuka dengan teh panas, buah kurma dan manisan Zulbiyo bo Mir. Zulbiyo bo Mir adalah makanan khusus yang dibuat hanya pada bulan Ramadhan bahannya 99 % terdiri dari gula. Makanan khas lainnya adalah Ash dan Halim. Ash semacam sup yang dibuat dari sayuran yang dihaluskan, ditambah mie halus yang diatasnya disiramkan saus
Pada hari ke-25 hingga ke-27 di masjid-masjid diadakan i’tikaf secara nasional. I’tikaf yakni berdiam diri di masjid dengan niat mengisinya dengan beribadah kepada Allah SWT. I’tikaf ini telah menjadi program nasional setiap tahunnya, karenanya biaya konsumsi termasuk fasilitas i’tikaf seperti tasbih, buku-buku doa dan sajadah disediakan pemerintah.Kekhasan lainnya di negeri para mullah ini, tentu saja tradisi berbuka puasa. Sekitar dua jam sebelum berbuka, mereka melakukan majelis-majelis Al-qur’an. Tidak hanya di masjid-masjid, tetapi juga di tempat-tempat terbuka, seperti di taman dan sebagainya. Bulan Ramadhan adalah bulan dimana Al-Qur’an diturunkan, karenanya menurut mereka, Al-Qur’an harus lebih banyak dibaca pada bulan ini. Dalam majelis tersebut, mereka tidak hanya membaca Al-Qur’an tapi juga mengkaji dan mendiskusikannya. Sejak Sayyid Muhammad Husein Tabataba’i seorang bocah 7 tahun meraih gelar Doktor Honoris Causa dari Hijaz College Islamic University, Inggris, dengan nilai 93 karena hafal dan faham Al Quran, dikenal di seluruh dunia, Iran lebih agresif lagi memperkenalkan Al-Qur’an keseluruh dunia..Saat ini sudah ada 600 pusat lembaga kegiatan berbasis Al Quran yang sedang aktif dan dua tahun kedepan ditargetkan ada seribu perpustakan dan Bank CD Qurani di pusat-pusat kegiatan AlQur’an di Iran. Telah berkali-kali Iran menjadi tuan rumah penyelenggaraan Pameran Al-Qur’an Internasional. Dalam Pameran Al-Qur’an Internasional ke XVI 2008 di Teheran ditampilkan juga Al-Qur’an terkecil yang memecahkan rekor dunia. Al-Qur’an yang hanya berukuran 5 x 7 cm ini dibuat oleh kaligrafer Iran Roin Abar Khanzadeh, 94 kali lebih kecil dari Al-Qur’an terkecil sebelumnya. Yang menarik Al Quran terkecil ini ditulis dengan mata telanjang oleh penulisnya dan bila dijejer hanya menempati ukuran kertas A3. Dengan tingkat apresiasi yang tinggi terhadap Al-Qur’an wajar jika Iran menghasilkan banyak Mufassir terkemuka dalam dunia Islam, diantaranya Allamah Mohammad Husain Thabatabai, penulis tafsir Al Mizan yang fenomenal..Seteleh majelis-majelis Al-Qur’an diselenggarakan, merekapun tinggal menanti buka puasa. Berbuka puasa bersama, diselenggarakan di masjid-masjid. Mereka memulai berbuka dengan teh panas, buah kurma dan manisan Zulbiyo bo Mir. Zulbiyo bo Mir adalah makanan khusus yang dibuat hanya pada bulan Ramadhan bahannya 99 % terdiri dari gula. Makanan khas lainnya adalah Ash dan Halim. Ash semacam sup yang dibuat dari sayuran yang dihaluskan, ditambah mie halus yang diatasnya disiramkan saus
.
Sedangkan
Halim adalah bubur gandum bercampur serat-serat daging yang dibubuhi
kacang peste dan kelapa tabur. Hanya saja Ash dan Halim ini terbilang cukup
mahal, sehingga hanya disajikan di restoran-restoran. Masyarakat Iran pada
umumnya merasa cukup berbuka dengan menu teh panas, kurma dan manisan Zulbiyo
bo Mir yang terkadang di tambah dengan keju putih. Karenanya tidak ada
kehebohan belanja di pasar-pasar menjelang berbuka puasa, tidak ada kesibukan
khusus mempersiapkan aneka minuman segar berbuka macam es cendol, es buah, es
pisang ijo dan sebagainya. Orang-orang Iran sepertinya tidak menganggap bahwa
karena seharian puasa, maka saat berbuka perut mesti dimanjakan oleh makanan dan
minuman yang variatif. Siang harinya pun, restoran dan penjual juz buah tetap
buka, bagi yang tidak berpuasa mungkin karena non muslim, musafir, berhalangan
atau karena sakit, tidak sungkan-sungkan menikmati makanan dan minuman di
kios-kios yang terbuka. Di Iran tidak ada polisi dan orang-orang yang razia dan
menghalang-halangi orang lain untuk makan di siang hari ramadhan.
.
Kekhasan
berikutnya, di Iran ada lembaga amal yang sangat terkemuka, yaitu Komite Imdad
(pertolongan) Imam Khomeini (KIIK). Program utama lembaga ini membantu Ikramul
Aytam (Pemuliaan Anak Yatim). Di tiap bulan Ramadhan, KIIK membuka posko di
berbagai kota yang menerima bantuan dan menyalurkan dana dari masyarakat untuk
memuliakan anak yatim. Disetiap posko terdapat daftar nama lengkap dengan
gambar dan biografi singkat puluhan atau ratusan anak yatim. Bagi yang ingin
memberikan bantuannya cukup memilih kepada siapa bantuannya itu diserahkan.
Tidak melulu berupa uang, namun juga berupa pakaian, buku-buku atau mainan.
Karenanya di hampir setiap posko mudah kita temui tumpukan hadiah dan bungkusan
kado yang nanti akan diserahkan kepada anak yatim yang terlah terdaftar.
Besarnya animo masyarakat menunjukkan KIIK sebagai lembaga yang dapat dipercaya
menyalurkan pertolongan sekaligus tempat ‘berlindung’ bagi yang membutuhkan.
.
Hal istimewa
lainnya, hari Jumat pada pekan terakhir bulan Ramadhan orang Iran menyebutnya
sebagai Hari Al-Quds. Hari dimana mereka meramaikan jalan-jalan utama di
kota-kota besar untuk berdemonstrasi, menuntut pembebasan Palestina dari
penjajahan Israel. Pada hari itu, Yel-yel marg bar Israel (kematian
bagi Israel),marg bar Amrika (kematian bagi Amerika) dipekikkan di
berbagai kota di Iran. Para peserta demo menunaikan sholat Jumat bersama-sama
dan membentuk shaf panjang, yang di Teheran bisa mencapai puluhan kilometer.
Aksi unjuk rasa besar-besaran ini menunjukkan bentuk solidaritas muslim Iran
terhadap muslim Palestina dan ketidak setujuan mereka terhadap aksi penindasan
terhadap bangsa lain yang merdeka dan berdaulat.
.
Bulan Ramadhan adalah bulan yang berkah, bulan yang
selalu dinanti nanti oleh setiap muslim dimanapun berada, keistimewaan,
keagungan, kedahsyatannya membuat umat Islam bangkit dan bersemangat, padahal
di bulan ini pula umat Islam harus berpuasa “full” selama sebulan lamanya,
kalau dipikir secara akal, tidak akan sampai kesana, tetapi dipikir secara
ruhiyah batiniyah… wow greats… anda penasaran? silahkan mencobanya..
Bagi orang orang yang tahu hakikat Ramadhan (puasa dan
ibadah ibadah yang dianjurkan selama Ramadhan), tentu akan bersikap seperti
yang telah saya paparkan di pembukaan diatas.. yang pada akhirnya akal pikiran
kita pun akan mengamininya.
.
Bagi Republik Islam Iran, negara yang baru I Juli 2012
kemarin ditimpa sangsi yang kesekian kalinya oleh negara negara “adikuasa
dunia” merupakan negara terbesar muslim “Syiah” di dunia ini, sama halnya
dengan Indonesia yang merupakan negara terbesar muslim “Sunni” di dunia,
datangnya bulan suci Ramadhan, disambut dengan bahagia dan suka cita, Terminal
Bis penuh dengan orang orang yang mudik karena ingin berpuasa di tengah tengah
keluarga, mesjid mesjid dihias sedemikian rupa, poster poster di jalan jalan
bercerita tentang penyambutan bulan agung ini. acara acara di Tv maupun radio
rame berbicara tentang Ramadhan.
.
Pemerintah pun mengumumkan restoran atau kedai kedai
makanan harus buka jam berapa selama bulan Ramadhan. beberapa kebutuhan Sembako
sudah naik jauh hari sebelum Ramadhan ini akan tiba, Naiknya harga bukan
disebabkan karena kedatangan bulan Ramadhan sebagaimana di negara kita, tetapi
disebabkan oleh sangsi sangsi tersebut di atas, kita lihat akan seperti apa
jadinya…, teman teman Iran saya banyak yang mengeluh dengan kenaikan ini, dan
sebagian bahkan ada yang memaki maki pemerintahannya sendiri tanpa tahu harus
berbuat apa… kita orang asing disini, merasakan sekali bagaimana kesusahan
mereka, karena disini pun kita (mahasiswa asing, red) mengalaminya karena
beasiswa yang tidak naik naik angkanya, hiks hiks… berbeda dengan mereka
(pekerja asing, diplomat, red) tambah subur dengan tingginya nilai “Dollar atau
Euro” disini, yang sekarang mencapai 20.000 riyal per 1 dollar
…
mmmhhhh
Penetapan 1 Ramadhan
Tidak seperti di Indonesia yang selalu ada dua bahkan
tiga atau empat pendapat tentang penetapan 1 Ramadhan, di Iran semuanya kompak,
mengikuti pemerintah. untuk tahun ini jatuh pada hari Sabtu 21 Juli 2012.
mereka (masyarakat syiah) mempunyai pemimpin spiritual yang harus ditaati,
dialah sang Rahbar atau pemimpin tertinggi Iran sekarang “Ayatullah Ali Khomenei”.
bagaimana kita orang Indonesia disini? teman saya yang notabene pelatih
Badminton di Timnas badminton Iran, menunggu “fatwa” dari KBRI kapan puasa
dimulai, dan kapan Tarawih mulai akan dilaksanakan, tetapi sayang sampai tadi
malam belum kedengaran “fatwa” tersebut, hehee… padahal dia sebagai warga
Indonesia disini, ingin sekali “kompak” dengan orang orang Indonesia disini,
terutama dengan KBRI sebagai perwakilan pemerintah.
Makanan “Khas” Bulan Puasa Iran
Sebagaimana di Indonesia, di Iran pun mempunyai
makanan makanan tertentu di bulan Ramadhan, tetapi tetap menurut saya makanan
Indonesia tetap “Paling TOP” deh kalau soal makanan. diantara makanan khas Iran
ketika bulan puasa, adalah Zulbiye, sejenis kue manis terbuat dari sagu, Halim,
sejenis bubur terbuat dari gandum yang dicampur dengan daging, Osh reshte,
sejenis sup dengan mie, kacang kacangan dan daging, dan lain lain… Untuk
minumannya, Teh panas masih menjadi andalan orang Iran di berbagai musim
(seperti kita ketahui, Iran mempunyai 4 musim, Musim Panas, Musim Dingin, Musim
Gugur dan Musim Semi), seperti Ramadhan kali ini sama dengan Ramadhan tahun
lalu, yaitu musim panas, dimana waktu sahur bisa jam 3.30 pagi dan buka bisa
jam 9.30 malam. ini Ramadhan ketiga saya alami di negeri Ahmadinejad ini.
Shalat Tarawih
Untuk Shalat Tarawih, tidak dilaksanakan secara
berjamaah di mesjid mesjid Iran, jadi jangan aneh, kalau anda berkunjung kesini
di bulan Ramadhan, anda tidak akan bisa mendapati mesjid mesjid penuh sesak
dengan jamaah sebagaimana di Indonesia, kecuali di dua tempat suci yaitu di
Kota suci Qom dan Mashhad, anda akan merinding bila berkunjung kesana,
sebagaimana halnya di Mekah dan Madina, tidak ada matinya, penuh sesak dengan
jamaah, apalagi sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, Manusia dari berbagai
pelosok di Iran berziarah ke dua tempat itu tak terkecuali dari berbagai
pelosok dunia. Kemah atau tenda pun didirikan di sekitar Mesjid pusat
peribadatan terbesar di Iran itu (Mesjid Imam Ridha di Mashhad dan Sayyidah
Fatimah Maksoma di Qom, red), karena hotel hotel sudah penuh. sebagaimana di
Indonesia, disini pun untuk Ifthar atau berbuka puasa, disediakan secara
gratis, teh panas dan kurma, atau halim dan Non (Roti Iran).
Islam Syiah beranggapan bahwa shalat sunnah tidak bisa
dikerjakan berjamaah, melainkan dikerjakan sendiri sendiri, bahkan shalat
sunnah Ramadhan mereka lebih banyak rakaatnya daripada Shalat Tarawih itu
sendiri, kalau dikalkulasikan selama sebulan itu mencapai 1000 rakaat. maka
terkenal dengan shalat sunnah 1000 rakaat, menjelang Lailatul Qadar adalah
waktu yang paling tepat untuk shalat sunnah sebanyak banyaknya.
Budaya Mudik
di Iran, sebagaimana di Indonesia ada juga budaya
mudik, Tehran sebagaimana Jakarta, merupakan pusat kota penting tempat dimana
orang orang daerah mengadu nasib. jadi wajar ketika ada moment moment penting
yang mengharuskan kumpul bersama keluarga besar, mereka pulang kampung alias
mudik.
yang membedakannya dengan Indonesia adalah “moment
pentingnya”, kalau di Iran, Lebaran Idul Fitri bukan moment penting yang
mengharuskan pulang kampung sebagaimana di Indonesia. Tetapi ketika Tahun Baru
Iran, mereka akan pulang kampung dan menikmati liburan sampai 3 minggu,
termasuk awal bulan Ramadhan mereka pun pulang kampung dengan mengambil cuti,
karena tidak ada libur resmi untuk ini.
Pameran Alquran Internasional seperti biasa digelar
selama bulan Ramadhan, dan berbagai discount diberikan pada bulan berkah ini,
Kebiasaan ngabuburit di Indonesia, sama sekali tidak
dikenal di negeri ini.Berpuasa di negeri mayoritas Muslim ternyata tidak selalu
mudah. Di negeri Islam Iran, mayoritas umat Muslim yang menganut mazhab Syiah
tidak melaksanakan shalat Tarawih.
Oleh karena itu, sebagai umat yang meganut mazhab
Suni, warga Indonesia di Iran, kesulitan untuk melaksanakan shalat Tarawih.
Warga Indonesia yang kebanyakan mahasiswa harus pontang-panting mencari masjid
yang melaksanakan Tarawih. Saya pun kaget ketika pertama kali datang ke negeri
Ahmadinejad ini untuk studi S2 di Universitas Internasional Imam Khomeini.
Namun, bagi yang tinggal di Teheran, seperti saya,
mungkin masih lebih beruntung. Karena, Duta Besar Republik Indonesia (KBRI)
Teheran di Iran, Iwan Wiranataatmadja, mendatangkan para imam langsung dari
Tanah Air untuk memimpin shalat Tarawih.
Tidak hanya memimpin Taraweh, para imam itu juga
berceramah seusai shalat Tarawih. Rasanya menghapus dahaga rohani. Berbagai
topik disajikan para imam untuk menambah khazanah keislaman warga Indonesia di
Iran.
Selain itu, mereka juga menjadi imam pada shalat Jumat
di area perkantoran KBRI Teheran. Biasanya, jika tidak ada imam dari Indonesia,
yang menjadi imam dan khatib untuk shalat Jumat adalah para mahasiswa yang
menempuh studi di negeri Persia ini.
Para imam yang didatangkan dari Indonesia itu, di
antaranya Prof Dr Ali Aziz, guru besar IAIN Sunan Ampel Surabaya, Syeikh
Mustafa Mas’ud dari Jakarta, dan KH Athian Ali dari Bandung. Tiga imam ini
tidak didatangkan sekaligus, melainkan dibagi menjadi tiga tahap, yang pertama
di 10 awal Ramadhan, yang kedua 10 hari di pertengahan Ramadhan, sementara yang
ketiga di 10 akhir Ramadhan hingga memimpin shalat Idul Fitri mendatang.
Kehadiran imam tersebut menambah semangat masyarakat
Indonesia di sana untuk Tarawih. Mereka berduyun-duyun ke KBRI untuk
melaksanakan Tarawih sebelum azan Isya berkumandang. Lewat Tarawih berjamaah
ini pula, warga Indonesia di Iran dapat bersilaturahim satu dengan yang
lainnya.
15 jam
Bulan Ramadhan di negeri orang berbeda dengan di Tanah
Air. Jika di Indonesia masyarakat dan media massa begitu antusias menyambut
bulan suci ini, di Republik Islam Iran hal itu sama sekali tak tampak. Ini
karena budaya masyarakatnya yang berbeda.
Kebiasaan ngabuburit menjelang berbuka puasa di
Indonesia tidak dikenal oleh masyarakat Iran.Meski begitu, ada juga warga
setempat yang menjual makanan ciri khas menjelang buka puasa, namun jumlahnya
relatif sedikit. Makanan tersebut bernama halim, terbuat dari tepung gandum
yang dicampur dengan daging kambing.
Saya pernah antre untuk membeli makanan menjelang buka
puasa.. Namun, setelah disantap, ternyata rasanya sangat hambar dan tidak cocok
dengan lidah Indonesia. Saya agak terheran mengapa Halim menjadi makanan
favorit warga Iran?Berbeda dengan di Indonesia yang waktu puasanya (mulai sahur
hingga Maghrib) relatif tetap, yakni sekitar 13,5 jam.
Namun, di Iran, jika pada musim panas, waktu berpuasa
bisa lebih lama sampai 15 jam lebih. Untuk Ramadhan tahun ini, lama puasa
sekitar 15 jam karena bertepatan denga musim panas. Biasanya, kami
melaksanaknakan sahur sekitar pukul 04.30 dan buka puasa pukul 19.30 waktu
setempat.Ramadhan di Iran diperingati dengan biasa saja, walaupun di setiap
jalan banyak terpajang spanduk-spanduk yang bertema Ramadhan. Begitupun di
televisi-televisi Iran banyak iklan tentang Ramadhan. Tapi, semua itu hanya di
beberapa media, tidak terasa kehidupan sehari-hari.
Sholat Sunnah di Malam Bulan Ramadhan menurut Rasul
Saww dan Ahlilbayt Suci yang dilakukan MUNFARID (sendiri sendiri – bukan
Jamaah)
Dan ini bukan Tarawih sebagaimana yang di fahamkan
khalayak dari hasil Ijtihad seorang Sahabat Nabi.
Berikut Amalan dan detil nya :
Malam Pertama
Shalat sebanyak empat rakaat dengan membaca surah at-Tauhid sebanyak lima
belas kali setelah membaca surah al-Fâtihah pada setiap rakaat.
Malam Kedua
Shalat empat rakaat dengan membaca surah al-Qadr sebanyak dua puluh kali
setelah membaca surah al-Fâtihah pada setiap rakaat.
Malam Ketiga
Shalat sepuluh rakaat dengan membaca surah al-Fâtihah sekali dan at-Tauhid
sebanyak lima puluh kali pada setiap rakaat.
Malam Keempat
Shalat delapan rakaat dengan membaca surah al-Fâtihah sekali dan surah
al-Qadr sebanyak dua puluh kali pada setiap rakaat.
Malam Kelima
Shalat dua rakaat dengan membaca surah al-Fâtihah sekali dan at-Tauhid
sebanyak lima puluh kali pada setiap rakaat. Dan setelah mengucapkan salam,
membaca Allôhumma sholli ‘alâ Muhammad wa Âli Muhammad sebanyak seratus kali.
Malam Keenam
Shalat empat rakaat dengan membaca surah al-Fâtihah dan surah al-Mulk pada
setiap rakaat.
Malam Ketujuh
Shalat empat rakaat dengan membaca surah al-Fâtihah sekali dan al-Qadr
sebanyak tiga belas kali pada setiap rakaat.
Malam Kedelapan
Shalat dua rakaat dengan membaca surah al-Fâtihah sekali dan at-Tauhid
sebanyak sepuluh kali pada setiap rakaat. Setelah mengucapkan salam, membaca
subhânallôh sebanyak seribu kali.
Malam Kesembilan
Shalat enam rakaat antara shalat Isya` dan waktu tidur dengan membaca surah
al-Fâtihah sekali dan ayat kursi sebanyak tujuh kali pada setiap rakaat.
Setelah selesai, membaca Allôhumma sholli ‘alâ Muhammad wa Âli Muhammad sebanyak
lima puluh kali.
Malam Kesepuluh
Shalat dua puluh rakaat dengan membaca surah al-Fâtihah sekali dan
at-Tauhid sebanyak tiga puluh kali.
Malam Kesebelas
Shalat dua rakaat dengan membaca surah al-Fâtihah sekali dan al-Kautsar
sebanyak dua puluh kali pada setiap rakaat.
Malam Kedua Belas
Shalat delapan rakaat dengan membaca surah al-Fâtihah sekali dan al-Qadr
sebanyak tiga puluh kali pada setiap rakaat.
Malam Ketiga Belas
Shalat empat rakaat dengan membaca surah al-Fâtihah sekali dan at-Tauhid
sebanyak dua puluh lima kali pada setiap rakaat.
Malam Keempat Belas
Shalat enam rakaat dengan membaca surah al-Fâtihah sekali dan az-Zilzâl
sebanyak tiga puluh kali pada seetiap rakaat.
Malam Kelima Belas
Shalat empat dengan membaca surah at-Tauhid sebanyak seratus kali setelah
membaca al-Fâtihah pada dua rakaat pertama dan lima puluh kali surah at-Tauhid
(setelah membaca surah al-Fâtihah) pada dua rakaat berikutnya.
Malam Keenam Belas
Shalat dua belas rakaat dengan membaca surah al-Fâtihah dan dua belas kali surah
at-Takâtsur pada setiap rakaat.
Malam Ketujuh Belas
Shalat dua rakaat dengan membaca surah al-Fâtihah dan surah sekehendak hati
pada rakaat pertama dan pada rakaat kedua surah al-Fâtihah dan seratus kali
surah at-Tauhid. Setelah mengucapkan salam, membaca lâ ilâha illallôh sebanyak
seratus kali.
Malam Kedelapam Belas
Shalat empat rakaat dengan membaca surah al-Fâtihah dan dua puluh lima kali
surah al-Kautsar pada setiap rakaat.
Malam Kesembilan Belas
Shalat lima puluh rakaat dengan membaca surah al-Fâtihah dan lima puluh
kali surah az-Zilzâl. Mungkin maksudnya adalah dalam setiap satu rakaat membaca
surah tersebut sekali, (bukan lima puluh kali). Karena, sangat sulit untuk
membaca surah az-Zilzâl sebanyak 2500 kali dalam semalam.
Malam Kedua Puluh, Kedua Puluh Satu, Kedua Puluh Dua,
Kedua Puluh Tiga, dan Kedua puluh Empat
Shalat delapan rakaat dengan membaca surah sesuka hati.
Malam Kedua Puluh Lima
Shalat delapan rakaat dengan membaca surah al-Fâtihah dan sepuluh kali
surah at-Tauhid pada setiap rakaat.
Malam Kedua Puluh Enam
Shalat delapan rakaat dengan membaca surah al-Fâtihah dan seratus kali
surah at-Tauhid pada setiap rakaat.
Malam Kedua Puluh Tujuh
Shalat empat rakaat dengan membaca surah al-Fâtihah dan al-Mulk pada setiap
rakaat. Jika tidak mampu, hendaknya membaca surah at-Tauhid sebanyak dua puluh
kali.
Malam Kedua Puluh Delapan
Shalat enam rakaat dengan membaca surah al-Fâtihah, seratus kali ayat
Kursi, seratus kali surah at-Tauhid, dan seratus kali surah al-Kautsar pada
setiap rakaat. Setelah selesai mengerjakan shalat, mengirimkan shalawat atas
Muhammad dan keluarganya sebanyak seratus kali.
Penulis berkata, “Menurut apa yang telah kutemukan (dalam beberapa hadis),
cara mengerjakan shalat malam kedua puluh delapan adalah enam rakaat dengan membaca
surah al-Fâtihah, sepuluh kali ayat Kursi, sepuluh kali surah al-Kautsar,
sepuluh kali surah at-Tauhid, dan seratus kali shalawat.
Malam Kedua Puluh Sembilan
Shalat dua rakaat dengan membaca surah al-Fâtihah dan dua puluh kali surah
at-Tauhid pada setiap rakaat.
Malam Ketiga Puluh
Shalat dua belas rakaat dengan membaca surah al-Fâtihah dan dua puluh kali
surah at-Tauhid pada setiap rakaat. Setelah selesai mengerjakan shalat, membaca
shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad sebanyak seratus kali.
Shalat-shalat tersebut dilakukan dengan satu salam setiap selesai
mengerjakan dua rakaat.
Kitab Zâd al-Ma’âd – Allamah al-Majlisi ra
Semoga dalam
bulan suci Ramadhan ini kita bisa mengamalkan segala perintah Allah dan
menjauhi segala larangan-Nya, termasuk menjauhi segala macam jenis bid’ah
seperti melaksanakan shalat tarawih berjamaah. Karena bagaimana mungkin kita
akan dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT namun jalan dan sarana yang kita
tempuh adalah melalui perbuatan yang dibenci oleh Allah, seperti bid’ah.
Mustahil sesuatu yang menjauhkan dari Allah (seperti Bid’ah) akan dapat
mendekatkan kepada-Nya (masuk kategori ibadah). Ini adalah dua hal kontradiktif
yang mustahil terjadi. Semoga dengan menjauhi semua bid’ah kita dapat
meninggalkan bulan Ramadhan dengan kembali ke fitrah yang suci, melalui Iedul
Fitri. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar