Total Tayangan Halaman

Minggu, 12 Juli 2015

Pokok Pokok Kebenaran Syiah…




Jawabannya penting, ya benar tidak penting. Anda yang Sunni pertahankan Kesunnian anda dan saya yang Syiah pegang erat Kesyiahan anda. Mengapa? 
Seorang teman baik pernah bertanya kepada saya “Antum Syiah?”. Saya jawab “ya” dan seperti biasa, saya tidak merasa perlu memperhatikan apa responnya. Pertanyaan lain “Tulisanmu kok baunya Syiah melulu?”. Jawaban saya “Ya itu karena banyak orang punya masalah dalam membaui sesuatu”. Ada juga yang lain “Kenapa sih kamu suka menulis yang itu-itu aja?”. Jawaban saya adalah kalau mau jujur tidak ada satupun tulisan yang saya suka, saya menulis sekedar menuangkan pikiran saya yang kepenuhan. Sepertinya jika tidak dimuntahkan akan terasa berat menggantung sampai saya tertidur.
Jadi Apa Pentingnya Isu Sunni Syiah?  penting  walaupun   itu tidak akan
  • Mengenyangkan anda
  • Memberi anda uang
  • Mengentaskan kemiskinan
  • Memberantas kebodohan
  • Mengayomi orang kecil
  • Menyehatkan orang sakit
  • Memberi makan mereka yang kelaparan
  • Meningkatkan perekonomian dan pembangunan
  • Memberi anda nilai bagus saat ujian
Saya katakan salut pada anda-anda yang memang selalu penting. Sedangkan saya, saya ini tidak penting dan memang kerjaannya juga nggak penting. Saya tidak punya usaha untuk mengatasi masalah disekitar saya karena saya hanya bisa mengeluh. Isu Sunni Syiah adalah hal besar  dari hidup saya dan mendapat porsi besar dalam blog ini karena Saya peduli. Saya peduli dengan sesuatu yang tidak dianggap peduli oleh banyak orang. Ahlul Bait bagi sebagian orang nggak penting tapi bagi saya luar biasa penting. Mereka adalah Guru-guru saya yang tidak terjangkau oleh saya. Mereka adalah Sosok yang membuat saya hanya bisa terpana dan terdiam di ujung Sana. Mereka Sosok yang dipuja-puja sebagian orang dan dilupakan oleh kebanyakan orang. 
Ahlul Bait, dulu saya cuma kenal sama seperti saya mengenal Descartes, Popper, Muthahhari, M Baqir As Shadr, deelel exct. Sampai akhirnya Tuhan membanting saya hingga hancur remuk karena sikap saya yang cuma kenal-kenal saja. Tuhan memberikan saya satu kehidupan lagi. Saya hanya bisa melakukan apa yang saya bisa. Saya bukan orangnya yang akan memberikan uang bagi setiap peminta-minta, saya bukan orangnya yang bisa menolong orang lain, saya bukan orangnya yang bisa memberikan kebahagiaan pada semua orang. Saya adalah orang yang egois, tidak pedulian dan pecundang. Jadi gak mungkin bisa orang begini menjadi Malaikat Penyelamat.
Ahlul Bait, mau bilang cinta tapi malu, mau biasa aja juga nggak bisa, mau mengenal ya cuma kenal, bahkan saya bingung mau apa. Mau dibela, memangnya membela apa, rasanya setiap orang ngaku-ngakunya pecinta Ahlul Bait. Lagipula siapa saya sok jadi pembela, memangnya pantas? Nah anda lihat Inkonsistensi saya sudah mulai kumat
Kita Cut dulu ya dan balik ke masalah Penting dan Tidak Penting. Mari kita analisis dengan seksama, bicarakan bagaimana sesuatu yang dianggap Penting itu?. Relatif, ya benar-benar relatif. Sesuatu yang dianggap penting oleh orang lain bisa jadi tidak penting bagi orang yang lebih lain. Mari kita asumsikan bahwa yang penting itu adalah yang memberikan Kebehagiaan. Nah apa saja itu
Bisa banyak nih, untuk mereka yang hidup di dunia maka yang di bawah ini benar-benar penting
  • Makanan
  • Minuman
  • Kesehatan
  • Uang
  • Keluarga
  • Orang-orang yang disayangi
  • Teman
  • Hidup enak
  • Kedudukan terhormat
  • Serba Ada
Bagi mereka yang Jiwanya subur maka yang dibawah ini juga penting
  • Akhlak yang terpuji
  • Altruisme
  • Ketenangan
  • Agama or keyakinan
  • Cinta
  • Kemanusiaan
  • Hati nurani
Kalau saya sendiri ada beberapa hal yang saya anggap penting
  • Ahlul Bait
  • Dia
  • Istri kedua (ada yang tahukah?)
  • BusKota
  • FP, Danrad , Ksatria Kasmir, Nita, Dika dan Yang Lain
  • Tidur
  • Depan Rektorat
  • Depan Masjid Agung
  • Langit sore dan Gelap malam
  • Buka Puasa
Sepertinya memang tidak ada batasan khusus soal mana yang penting dan tidak penting. Konsep Yang Penting itu benar-benar relatif .
Intinya dengan dasar apa anda menilai sesuatu itu penting atau tidak penting . Inilah sebenarnya yang paling penting. Hidup bisa jadi penting atau tidak penting tergantung dari sudut pandang mana anda menilainya. Mengapa Ahlul Bait begitu penting bagi saya?
  • Pertama karena Pencarian Keras saya berujung di sana
  • Kedua karena saya tidak mau dibanting lagi
  • Ketiga karena Setelah saya mati saya harap itu bisa menolong saya
Mengapa Sunni atau Syiah penting bagi saya
  • Pertama karena Saya tidak terikat mahzab syi’ah
  • Kedua karena Pencarian saya ternyata mengarahkan skesana
Seandainya ada yang menyatakan  yang menuduh saya Syiah. Yo wes terserah saya nggak peduli. Silakan saja tidak ada yang melarang. Tetapi isu Sunni Syiah bisa menjadi penting bagi saya jika itu sudah menyangkut soal Ahlul Bait,  Kan dah dibilang sudut Kepentingan itu benar-benar menentukan.
Adalah suatu hal yg sangat memprihatinkan apabila sampai pada hari ini umat Islam masih bertengkar mempermasalahkan status madzhab pola pikir atau juga sekte. Seolah merasa kebenaran adl mutlak milik madzhab dan golongan masing-masing diluarnya salah dan sesat.
Lalu sampai seberapa jauh Islam ini akan dibawa kepada pertarungan panjang yg melelahkan ? haruskah fanatisme dan kebutaan pemikiran senantiasa melingkupi hati kita mencemari kesucian roh dan mencampakkan Nafs ?
Haruskah semuanya kita lanjutkan sampai masa yg akan datang ?
Semoga Allah mengampuni kita yg tidak mengerti betapa agung dan pluralnya Islam itu kenapa kita menyianyiakan satu ajaran yg konon gunungpun tak kuasa menerimanya ?
Jika dgn mencintai para keluarga Nabi membela kebenaran yg ada didiri Fatimah Ali Hasan dan Husin maka seseorang disebut sebagai Syiah maka saya akan dgn bangga menyatakan diri saya Syiah sebaliknya jika mengagumi ketokohan Umar bin Khatab dan mengamalkan hadis-hadis selain riwayat dari para ahli Bait Nabi maka seseorang disebut sebagai Ahli Sunnah maka sayapun menyebut diri saya demikian.
Tidak ada yg salah dgn kedua istilah tersebut Syiah dan Sunni merupakan istilah yg terbentuk setelah ajaran Islam selesai diwahyukan keduanya pada dasarnya merupakan polarisasi pemahaman yg berawal dari pemilihan pemimpin umat Islam pasca kematian Nabi yg akhirnya meluas sampai pada tingkat penyelewengan dimasing-masing pemahaman oleh generasi-generasi sesudahnya.
Sudah sampai saatnya masing-masing kita melakukan koreksi diri terhadap apa yg selama ini terdoktrinisasi bahwa pelurusan sejarah serta pentaklidan buta sudah saatnya dilakukan.
Isyu perpecahan didalam Islam memang bukan hal yg baru dan rasanya ini sesuatu yg wajar krn tiap orang bisa memahami ajaran Islam dari sudut pandang keilmuan yg berbeda apalagi Islam mencakup pengajaran semua bangsa dan daerah yg masing-masingnya memiliki corak budaya tradisi serta situasi yg beraneka ragam sebagai salah satu sifat universalismenya.
Semua perbedaan tersebut seharusnya tidak dijadikan sekat dalam mengembangkan rasa kebersaudaraan dan toleransi beragama sebagaimana sabda Nabi sendiri bahwa umat Islam itu bagaikan satu tubuh semuanya bersaudara yg diikat oleh tali Tauhid pengakuan ketiadaan Tuhan selain Allah Tuhan yg satu yg tidak beranak dan tidak diperanakkan dalam berbagai bentuk penafsiran serta sifat apapun.
Karenanya kecenderungan utk menghakimi pemahaman yg berbeda dari apa yg kita pahami apalagi sampai melekatkan label kekafiran atasnya sangat bertentangan dgn ajaran Islam yg disampaikan oleh Allah melalui nabi-Nya.
“Barangsiapa bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah
menghadap kiblat kita
mengerjakan Sholat kita dan memakan hasil sembelihan kita
maka ia adl seorang Muslim. Baginya berlaku hak dan kewajiban yg sama
sebagai Muslim lainnya.”
- Riwayat Bukhari -
Maraknya ajaran-ajaran sesat yg terjadi diberbagai belahan dunia akhir-akhir ini memang sewajarnya membuat umat Islam merasa prihatin terlebih lagi mereka yg menggunakan nama dan tata cara Islam sebagai topeng yg menutupi kesesatannya. ; Akan tetapi kita juga harus mampu bersikap objektif berpikiran terbuka dan jernih menyikapinya selama kita belum mengetahui secara jelas seberapa jauh penyimpangan yg dianggap sudah dilakukan oleh mereka maka selama itu pula hendaknya kita menahan diri dari komentar maupun tanggapan yg justru menimbulkan keresahan dimasyarakat.
Islam adl satu semuanya bersumber dari ajaran yg satu yaitu Yang Maha Kuasa yg kemudian diturunkan kepada kita melalui salah seorang hamba terkasih-Nya bernama Muhammad bin Abdullah ditanah Arab pada abad ke-6 masehi.
Dalam bukunya yg berjudul “Sejarah Hidup Muhammad” hal 89 Muhammad Husain Haekal menggambarkan pernyataan kesetiaan Ali terhadap Nabi sebagai berikut :
“Tuhan menjadikanku tanpa aku perlu berunding dgn Abu Thalib apa gunanya aku harus berunding dengannya utk menyembah Allah ?”; selanjutnya pada halaman 92 juga dituliskan pernyataan Ali yg lain : “Rasulullah aku akan membantumu aku adl lawan siapa saja yg menentangmu”.
Meskipun demikian Abu Thalib sendiri menurut riwayat tetap pada keyakinan lamanya sebagai penyembah berhala bertolak belakang dgn sikap putranya. Namun perbedaan keyakinan antara mereka tidak membuat Abu Thalib melepaskan perlindungan dan kasih sayangnya pada diri Nabi Ali dan Khadijjah beliaulah yg sering melakukan pembelaan manakala ada pihak Quraisy yg bermaksud mencelakakannya dan ini terus dilakoninya sampai ia wafat.
Ali bin Abu Thalib telah ikut bersama Nabi semenjak usia anak-anak jauh sebelum Nabi bertemu dgn para sahabat lainnya krn itu juga mungkin beliau digelari Karamallahuwajhah .
Allah sendiri melalui wahyu-Nya telah menekankan kepada Nabi agar terlebih dahulu menyerukan ajaran Islam kepada keluarga terdekatnya :
Dan berilah peringatan kepada keluargamu yg terdekat Limpahkanlah kasih sayang terhadap orang-orang beriman yg mengikutimu; Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah:”Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yg kamu kerjakan”. – Qs. Asy-Syu’araa 26:214-216
Seruannya memang di-ikuti oleh keluarganya dimulai oleh Khadijjah istrinya Ali bin Abu Thalib sepupu sekaligus menantunya kelak paman sesusuannya Hamzah bin Abdul Muthalib Ja’far bin Abu Thalib dan pamannya Abbas bin Abdul Muthalib.
Olehnya tidak menjadi suatu kesangsian lagi bila Ali mengenal betul sifat dan watak yg ada pada diri Nabi sehingga tidak ada alasan baginya utk menolak perintah maupun membantah keputusannya terlebih dalam kapasitasnya selaku seorang Rasul Tuhan. ; Jelas dalam hal ini sikap Ali bin Abu Thalib tidak bisa disejajarkan dgn sikap beberapa sahabat yg kritis dan vokal terhadap beberapa pendapat Nabi bisa dimaklumi bahwa notabene mereka mengenal Nabi tidak lbh lama dari Ali bin Abu Thalib selain juga ditentukan oleh faktor watak dan kondisi lain yg melatar belakanginya.
Dimalam hijrahnya ke Madinah Nabi meminta Ali bin Abu Thalib menggantikan posisi tidurnya dipembaringan dgn mengenakan mantel hijaunya dari Hadzramut menyongsong rencana pembunuhan yg sudah disusun oleh para kafir Quraisy yg saat itu berada disekitar kediaman Nabi.
Tindakan Nabi ini seolah mengisyaratkan bahwa beliau berkeinginan utk menjadikan sepupunya itu pengganti dirinya dikala hidup dan mati.
Saat Nabi mempersatukan kaum Muhajirin dan Anshar dikota Madinah Nabi sendiri justru mengangkat Ali bin Abu Thalib sebagai saudaranya berbeda misalnya dgn Abu Bakar yg disaudarakan dgn Kharija bin Zaid Umar bin Khatab dgn ‘Itban bin Malik al-Khazraji bahkan pamannya sendiri yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib dipersaudarakan dgn Zaid mantan budaknya.
Persaudaraannya ini sering di-ingatkan oleh Nabi dalam hadis-hadisnya bahwa kedudukannya terhadap Ali laksana kedudukan Musa terhadap Harun
Dari Sa’ad bin Abu Waqqas : “Rasulullah Saw mengatakan kepada Ali : Engkau dgn aku serupa dgn kedudukan Harun dgn Musa tetapi sesungguhnya tidak ada Nabi sesudah aku” – Hadis Riwayat Muslim
Saat semua sahabat utamanya mengajukan lamaran utk menyunting Fatimah sebagai istri mereka Nabi menolaknya dan menikahkan putri tercintanya itu dgn Ali bin Abu Thalib.
Tatkala Hisyam bin Mughirah meminta izin kepada Nabi agar memperbolehkan mengawinkan anak perempuannya dgn Ali Nabi juga menolaknya dan bersabda :
“Aku tidak mengizinkan sekali lagi aku tidak mengizinkan dan sekali lagi aku tidak mengizinkannya kecuali bila Ali bin Abu Thalib mau menceraikan puteriku dan kawin dgn anak-anak perempuan Hisyam krn sesungguhnya puteriku darah dagingku menyusahkanku apa yg menyusahkannya dan menyakitkanku apa saja yg menyakitkannya” – Riwayat Muslim
Ali juga merupakan satu-satunya orang yg diserahi panji Islam dalam peperangan Khaibar oleh Nabi yg menurut beliau bahwa panji itu hanya layak bagi laki-laki yg benar-benar mencintai Allah dan Rasul-Nya lalu ditangannya Allah akan memberikan kemenangan.; Padahal Umar bin Khatab sangat berambisi agar tugas itu diserahkan kepadanya.
Saat akan terjadi Mubahalah antara Nabi dgn para pendeta dari Najran beliau memanggil Ali Fatimah serta kedua cucunya yaitu Hasan dan Husin utk mendampinginya baru para istri beliau .
Dalam haji terakhirnya disuatu daerah bernama ghadir khum beberapa riwayat menyebutkan bahwa Nabi sempat menyinggung tentang regenerasi kepemimpinan umat sepeninggal beliau dan mengumumkan Ali sebagai penerusnya.; dan memperingatkan kaum Muslimin agar memperhatikan keluarga beliau sepeninggalnya kelak ucapan ini sampai diulangnya sebanyak 3 kali dan Zaid bin Arkam menyatakan bahwa yg dimaksud oleh Nabi adl keluarga Ali ‘Aqil keluarga Ja’far dan keluarga ‘Abbas. – Riwayat Muslim
Menjelang akhir hayatnya Nabi menugaskan sebagian besar sahabat utamanya termasuk Abu Bakar dan Umar kedalam satu ekspedisi ke daerah Ubna suatu tempat di Syiria dibawah komando Usamah bin Zaid bin Haritsah sementara Ali sendiri diminta utk tetap menemani hari-hari terakhirnya dikota Madinah serta memberinya wasiat agar mau mengurus jenasah dan pemakamannya bila waktunya tiba.
Ini juga tersirat tentang keinginan Nabi menjadikan dan memantapkan posisi Ali sebagai pengganti beliau memimpin umat dijauhkannya para sahabat senior lain dari kota Madinah agar ketika mereka kembali tidak akan terjadi keributan seputar suksesi kepemimpinan.
Hanya sayang rencana Nabi kandas krn sebagian sahabat senior merasa enggan berada dalam komando Usamah bin Zaid yg masih relatif remaja sampai Nabi marah dan mempertanyakan kredebilitas dirinya dihadapan mereka mengenai penunjukan Usamah itu.
Pada akhirnya kehendak Nabi harus mengalah dgn kehendak Tuhan yg sudah mentakdirkan jalan lain tidak ubah seperti keinginan Isa al-Masih agar cawan penyaliban dihindarkan darinya namun Tuhan tetap menginginkan semuanya terjadi sesuai mau-Nya.
Nabi wafat dipelukan Ali setelah membisikkan kepada Fatimah agar tidak bersedih sepeninggalnya krn dalam waktu tidak berapa lama setelah kematiannya putrinya itupun akan menyusulnya.
Ali juga yg memandikan jenasah Nabi bersama Ibnu Abbas dan mengurus pemakamannya saat yg sama sekelompok orang disaat itu malah meributkan suksesi kepemimpinan dan akhirnya menobatkan Abu Bakar selaku Khalifah penerus Nabi dalam memimpin umat serta melupakan semua peran dan posisi Ali dihadapan Nabi.
Inilah awal dari isyu perpecahan ditubuh Islam sebagai bentuk protes terhadap perbuatan mereka ini Ali Fatimah dan sejumlah sahabat lainnya menolak mengakui kepemimpinan Abu Bakar lebih-lebih lagi setelah sang Khalifah menolak memberikan tanah Fadak yg diwariskan Nabi kepada Fatimah hasil rampasan perang Khaibar.; Padahal semua orang tahu bahwa menyakiti Fatimah sama seperti menyakiti Nabi namun mereka mengabaikannya hingga akhirnya Fatimah wafat dalam keadaan tetap mendiamkan Abu Bakar dan menolak berbaiat kepada pemerintahannya.
Ali bin Abu Thalib memakamkan jenasah istrinya disuatu tempat pada malam harinya secara diam-diam dan hanya dihadiri oleh para simpatisan dan pengikut mereka krn tidak ingin dihadiri oleh pihak yg berseberangan dengannya.
Manakala keadaan Madinah semakin memanas dan beberapa pihak berusaha menghasut terjadinya peperangan antara pihak Ali dan Abu Bakar sebuah keputusan berdamai diambil oleh Ali demi menjaga persatuan umat dan terciptanya kedamaian.
“Dan orang-orang yg mempunyai hubungan darah satu sama lain lbh berhak di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu . Adalah yg demikian itu telah tertulis di dalam Kitab . – Qs. al-Ahzaab 33:6
Kondisi ini terus berlangsung hingga wafatnya Umar bin Khatab dan turunnya kredibelitas Usman bin Affan selaku Khalifah ke-3 akibat ulah para keluarganya yg tamak dan haus kekuasaan.
Keterbunuhan Usman bin Affan dan pengangkatan dirinya sebagai Amirul Mukminin membangkitkan dendam lama Quraisy terhadap Bani Hasyim keturunan Nabi walaupun berakhir dgn baik dan terhormat tidak urung pertempuran Jamal yg dipimpin langsung oleh ‘Aisyah istri Nabi merupakan awal yg bagus utk dimanfaatkan oleh Muawiah bin Abu Sofyan dalam mengobarkan pemberontakan terhadap otoritas kepemimpinan Ali.
Ali akhirnya terbunuh dimasjid Kufah akibat tusukan pedang beracun milik salah seorang dari kelompok Khawarij bernama Abdurahman bin Muljam pada suatu Jum’at pagi dan menghembuskan nafas terakhirnya pada malam Ahad 21 Ramadhan 40 H.
Setelah kematian Ali bin Abu Thalib Hasan puteranya tertua diangkat oleh sekelompok besar sahabat Nabi selaku Khalifah pengganti. Namun lagi-lagi Muawiyah tidak senang dan terus mengobarkan semangat permusuhan dgn Ali dan keturunannya orang dipaksa utk mencaci maki keluarga Nabi itu sejahat-jahatnya bahkan termasuk dalam mimbar-mimbar Jum’at.
Kenyataan ini jelas semakin memperdalam kehancuran persatuan umat Islam suatu ironi yg tidak dapat dihindarkan betapa dgn susah payah Nabi menggalang satu tatanan kehidupan masyarakat yg madani dgn mengorbankan air mata dan tetesan darah para syuhada harus hancur dihadapan cucu beliau sendiri.
Akhirnya Hasan bin Ali memutuskan utk berdamai dgn Muawiyah dan menyerahkan tampuk kekuasaan Khalifah kepadanya demi utk menghindarkan jurang yg lbh dalam lagi dikalangan umat Islam dgn beberapa persyaratan perjanjian.
Beberapa isi dari perjanjian itu adl pemerintahan Muawiyah akan menjalankan pemerintahan berdasarkan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya menjaga persatuan umat menyejahterakannya melindungi kepentingannya tidak membalas dendam kepada anak-anak yg orang tuanya gugur didalam berperang dgn Muawiyah juga tidak mengganggu seluruh keluarga Nabi Muhammad Saw baik secara terang-terangan maupun tersembunyi dan menghentikan caci maki terhadap para Ahli Bait ini serta tidak mempergunakan gelar “Amirul Mukminin” sebagaimana pernah disandang oleh Khalifah Umar bin Khatab dan Khalifah Ali bin Abu Thalib.
Akan tetapi selang beberapa saat sesudah Muawiyah diakui sebagai Khalifah dia mulai melanggar isi perjanjian tersebut orang-orang yg dianggap mendukung keluarga Nabi diculik dan dibunuh perbendaharaan kas baitul mal Kufah disalah gunakan caci maki terhadap keturunan Nabi dari Fatimah kembali dibangkitkan malah lbh parah lagi mereka memaksa orang utk memutuskan hubungan dgn ahli Bait Nabi.
Tidak hanya sebatas itu beberapa hukum agama yg diatur oleh Nabi Muhammad Saw pun dirombak oleh Muawiyah misalnya Sholat hari raya mempergunakan azan khotbah lbh didahulukan daripada sholat laki-laki diperbolehkan memakai pakaian sutera dan sebagainya.
Mereka juga membuat pernyataan-pernyataan yg dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw dan beberapa sahabat utama yg sebenarnya tidak pernah ada.
Hal ini membuat prihatin para pendukung Hasan bin Ali bin Abu Thalib mereka sepakat utk kembali menyatakan cucu Nabi Saw ini selaku seorang Imam atau pemimpin mereka.
Orang-orang ini diantaranya Hajar bin Adi Adi bin Hatim Musayyab bin Nujbah Malik bin Dhamrah Basyir al-Hamdan dan Sulaiman bin Sharat.
Akan tetapi selang tak lama putera pertama dari Fatimah az-Azzahrah ini wafat krn diracun lama masa pemerintahan Khalifah Hasan ini 6 bulan lbh 1 hari.
Kekejaman dinasti Bani Umayyah terhadap Bani Hasyim keturunan Nabi Muhammad Saw terus berlanjut sampai pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah bin Abu Sofyan yg melakukan pembantaian besar-besaran atas diri Husain sekeluarga dan para pengikutnya dipadang Karbala pada hari Asyura.
Kepala Husain yg mulia telah dipenggal wanita dan anak-anak di-injak-injak wanita hamil serta orang tua pun tidak luput dari pembunuhan kejam itu.
Seluruh keturunan Nabi Muhammad Saw melalui Ali bin Abu Thalib terus dicaci maki meskipun tubuh mereka telah bersimbah darah merah semerah matahari senja yg meninggalkan cahaya ke-emasannya utk berganti pada kegelapan.
Kekejaman Yazid dalam membunuh Husain menyembelih anak-anak dan pembantu-pembantunya begitu pula memberi aib kepada wanita-wanitanya ditambah dalam tahun ke-2 memperkosa kota Madinah yg suci serta membunuh ribuan penduduknya tidak kurang dari 700 orang dari Muhajirin dan Anshar sahabat-sahabat besar Nabi yg masih hidup.
Marilah sekarang kita berpikir secara objektif apakah perbuatan ini dianggap baik oleh orang yg mengaku mencintai Nabinya dan senantiasa bersholawat kepada beliau dan keluarganya dalam tiap sholat ?
Masihkah kita berpikir jahat terhadap orang yg mencintai dan mengasihi ahli Bait sementara kita sendiri justru berusaha utk membela orang-orang yg justru telah secara nyata melakukan pembasmian terhadap keluarga Nabi Muhammad Saw ?
Permusuhan Muawiyyah bin Abu Sofyan terhadap Bani Hasyim terus menurun kepada generasi sesudahnya seperti Yazid bin Muawiyah Marwan Abdul Malik dan Walid barulah pada pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz keadaan berubah.
Sekalipun Umar bin Abdul Aziz berasal dari klan Bani Umayyah sebagaimana juga pendahulunya namun beliau bukan orang yg zalim seluruh penghinaan terhadap keluarga Nabi dilarangnya sebaliknya beliau membersihkan nama dan sangat menghormati para ahli Bait.
Sebagai tambahan catatan dendam lama antara Bani Umayyah terhadap Bani Hasyim pernah secara nyata dilakukan pada jaman Nabi Muhammad Saw masih hidup yaitu manakala Hindun istri Abu Sofyan melakukan permusuhan terhadap Rasul dan bahkan ia juga yg membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib secara licik dalam peperangan Uhud lalu tanpa prikemanusiaan mencincang tubuh paman Nabi itu lalu mengunyah hatinya dimedan perang.
Namun pembalasan apa yg dilakukan oleh Rasulullah Muhammad Saw ketika berhasil menguasai seluruh kota Mekkah pada hari Fath Mekkah ?
Seluruh kejahatan Abu Sofyan dan Hindun justru dimaafkan begitu saja oleh Nabi dan rumah Abu Sofyan dinyatakan sebagai tempat yg aman bagi semua orang sebagaimana juga Masjidil Haram dinyatakan bersih dan terjamin keselamatan orang-orang yg berada disana.
Sungguh bertolak belakang sekali perlakuan generasi Bani Hasyim dibanding perlakukan Bani Umayyah terhadap sisa-sisa Bani Hasyim dari keturunan Nabi.
Jika keagungan tujuan kesempitan sarana dan hasil yg menakjubkan adl tiga kriteria kejeniusan manusia siapa yg berani membandingkan manusia yg memiliki kebesaran didalam sejarah modern dgn Muhammad ?
Orang-orang paling terkenal menciptakan tentara hukum dan kekaisaran semata.
Mereka mendirikan apa saja tidak lbh dari kekuatan material yg acapkali hancur didepan mata mereka sendiri.
Nabi Muhammad Saw Rasul Allah yg agung penutup semua Nabi tidak hanya menggerakkan bala tentara rakyat dan dinasti mengubah perundang-undangan kekaisaran. Tetapi juga menggerakkan jutaan orang bahkan lbh dari itu dia memindahkan altar-altar agama-agama ide-ide keyakinan-keyakinan dan jiwa-jiwa.
Berdasarkan sebuah kitab yg tiap ayatnya menjadi hukum dia menciptakan kebangsaan beragama yg membaurkan bangsa-bangsa dari tiap jenis bahasa dan tiap ras.
Dalam diri Muhammad dunia telah menyaksikan fenomena yg paling jarang diatas bumi ini seorang yg miskin berjuang tanpa fasilitas tidak goyah oleh kerasnya ulah para pendosa.
Dia bukan seorang yg jahat dia keturunan baik-baik keluarganya merupakan keluarga yg terhormat dalam pandangan penduduk Mekkah kala itu. Namun dia meninggalkan semua kehormatan tersebut dan lbh memilih utk berjuang mengalami sakit dan derita panasnya matahari dan dinginnya malam hari ditengah gurun pasir hanya utk menghambakan dirinya demi Tuhannya. Dia lbh baik dari apa yg semestinya terjadi pada seseorang seperti dia.

Upaya pendekatan antara Syiah dan Suni sudah sering kali diadakan. Namun masih saja sebagian golongan Sunni yang masih menganggap Syiah sebagai umat yang lain. Sebenarnya upaya pendekatan tidak perlu dilakukan jika semua golongan mau belajar dan memahami sejarah Islam dari ribuan riwayat sahih yang beredar. Jika saja sebagian Sunni tersebut mau mempelajari dan memahami sejarah tersebut, mereka pasti paham dan mengenal baik akan keberadaan golongan Syiah sejak Nabi saw masih hidup, bukan setelah beliau wafat. Coba anda cari di Jagad Internet yang luas ini tentang jawaban persoalan di bawah ini:
Abu Bakr dipandang sebagai sahabat terdekat Nabi saw oleh mayoritas Sunni, Lalu mengapa pada waktu “hari persaudaraan” saat pertama kali datang di Madinah, Nabi saw lebih memilih Ali bin Abu Thalib sebagai saudaranya dengan mengatakan “Kamu adalah saudaraku di dunia ini dan di akhirat nanti”. Atas dasar apa golongan Sunni menganggap Abu Bakr sahabat terdekat Nabi saw.
Semua kaum muslim sepakat bahwa ajaran Islam mencakup dan menormai dalam segala aspek kehidupan, dari hal-hal yang sepele sampai hal-hal yang amat besar. Kaum Sunni mengatakan masalah Imamah tidak dijelaskan oleh Qur’an dan sunnah, jadi sahabat berijtihad dalam masalah imamah. Jika benar Nabi saw wafat tanpa memberikan petunjuk apapun tentang Imamah pada umatnya, lalu mengapa Abu Bakr menyebutkan hadits “al-aimmah min al-Quraish” Para imam berasal dari kaum Quraish di Saqifah Bani Saidah. Apa Abu Bakr memalsukan riwayat Nabi saw? dan mengapa Abu Bakr memilih Umar sebagai penggantinya, dengan menyalahi sunnah Nabi saw yang tidak menjelaskan apapun tentang imamah.
Dalam hadis-hadis sahih (Bukhari, Muslim, dll) Nabi saw menyatakan bahwa ”Kelak akan ada Dua Belas Pemimpin.” Ia lalu melanjutkan kalimatnya yang saya tidak mendengarnya secara jelas. Ayah saya mengatakan, bahwa Nabi menambahkan, ”Semuanya berasal dari suku Quraisy.” atau “Agama (Islam) akan berlanjut sampai datangnya Sa’ah (Hari Kebangkitan), berkat peranan Dua Belas Khalifah bagi kalian, semuanya berasal dari suku Quraisy”. Bandingkan susunan 12 imam yang disusun golongan sunni dan Syiah?
Kuat mana derajat kesahihan antara riwayat yang menyebutkan wasiat Nabi saw (biasa disebut hadits al-Thaqalain) untuk berpegangan pada al-Qur’an dan Sunnah dengan hadis yang memerintah kita semua berpegangan pada al-Qur’an dan Itrahnya (keturunannya)?
Tuhan telah mengutus 124.000 utusan ke dunia ini, apa ada bukti bahwa semua peninggalan mereka akan menjadi sedekah bagi para pengikutnya? Jika Sunni menganggap demikian mengapa para Umm al-Mukminin tidak memberikan seluruh kepunyaan Rasulullah ke Pemerintahan Islam? Setelah wafatnya Rasulullah saw, Sayyidah Fatimah bertengkar dengan Abu Bakr mengenai Fadak, yang seharusnya menjadi miliknya dari warisan Nabi saw, Fatimah marah dan tidak akan berbicara dengan Abu Bakr sampai akhir hayatnya karena Abu Bakr tidak memberikan Fadak kepadanya. Kenapa Abu Bakr tidak memberikan tanah Fadak tersebut sedangkan Umar bin Abd Aziz saat menjabat sebagai khalifah mengembalikan kembali tanah Fadak ke keturunan Sayyidah Fatimah as?
Jika anda melihat denah pemakaman Baqi’, anda akan mengetahui bahwa kuburan Uthman bin Affan terpencil dari makam sahabat lainnya. Bagaimana proses pemakaman khalifah ketiga Uthman bin Affan di luar Baqi’ (dulu)? Siapa saja sahabat besar yang bermusuhan dengan Uthman? dan siapa pemicu sebenarnya yang akhirnya membunuh Khalifah Uthman bin Affan? Aisyah bahkan menyebut Uthman sebagai Natsal, seseorang kafir yang harus dibunuh. Jika Sunni mengganggap Aisyah seorang yang benar berarti menerima julukan yang diberikan pada Uthman, dan jika Aisyah berkata dusta mengapa Sunni menganggap dia benar?
Tuhan telah berfirman bahwa barang siapa yang membunuh seorang muslim dengan sengaja, hukumannya adalah laknat Tuhan dan balasan Neraka selamanya. Sejarah mencatat selama perang Shiffin dan Jamal, 70.800 kaum muslim telah terbunuh. Dimana posisi pembunuh saat itu? apakah ayat tersebut berlaku bagi mereka? Jika kaum muslim melawan khalifah yang sah dan menyebabkan kekacauan dan terbunuhnya ribuan nyawa kaum muslim, dimana posisi mereka saat Hari Pembalasan? Neraka karena Pembunuh atau Surga karena “Mujtahid Teroris”? … Yang pasti salah satunya salah, bukan benar semuanya. Jika anda jawab benar semuanya, APA KATA DUNIA!!!
Apa sebenarnya arti dari kata “Mu’awiyah”, dan siapa sebenarnya ayah dari Muawiyah dan cerita sebelum kelahirannya, dan menurut al-Nasai, hanya ada satu hadis sahih yang menceritakan keutamaan Muawiyah, hadis apakah itu? Baca juga kisah menyedihkan wafatnya al-Nasa’i karena hadith tersebut.
Biasanya Golongan Sunni menuduh bahwa Syiahlah yang membantai Imam Husayn as beserta para pengikutnya, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa mayoritas Sunni yang jumlahnya lebih banyak dari Syiah tidak menolong Imam Husain as? Dimana posisi Sunni ketika terjadi pembantaian cucu Nabi saw, Imam Husayn as?
Ingat, kebenaran itu harus dicari dan dipertahankan, bukan sesuatu yang dijejalkan langsung ke akal kita.

Ngomong2 mengenai Kitab Sahih Bukhori,  apakah Imam Bukhori sendiri memasang label “sahih” dlm kitabnya atau para ulama setelahnya ?
Ustad  Syi’ah  Ali :
Konon, Bukhari wafat sebelum rampung menyelesaikan penulisan kitabnya secara rapi… beberapa muridnya yang merapikan… Jadi, kalau melihat ini ya bukan beliau yang memasang lebel Shahih itu!
Bukhari Pun Rusak Akidahnya!
Imam Besar Ahlusunnah Wal Jama’ah Ternyata Rusak Akidahnya!
Hampir tidak ada tokoh hadis yang selamat dari hujatan, vonis menyesatan hingga pengkafiran….  Imam Malik dikecam pengikut Imam Syafi’i… Para pendukung Imam Malik menghajar Imam Syafi’i…. Pembela Imam Ahmad juga ikut-ikutan menghajar Imam Syafi’i…. Ibnu Hibban divonis kafir/zindiq…  mata rantai kecam-mengecam tanpa akhir…!
Kini Imam Besar Ahlusunnah dikafirkan… divonis menyakini keyakinan sesat… dianggap berakidah jahmi yang tentunya sangat kafir menurut Imam Ahmad dan para ulama pendukungnya… juga oleh Muhammad ad Dzihli (tokoh senior Ahli Hadis di zamannya, yang sangat getol memerangi akidah pilihan Imam Bukhari dan juga mengkafirkannya)….
Jadi sebenarnya apa yang sedang terjadi di antara ulama dan para tokoh mazhab ini?
Siapa yang selamat….?
Kalau semua diyakini sebagai ulama yang jujur dan tulus dalam vonis yang mereka jatuhkan, maka akibatnya tidak seorang pun ulama yang selamat, semua sesat… semua zindiq.. semua kafir… semua Jahmi…
Dan jika mereka itu menjatuhkan vonis dengan dorongan hawa nafsu, maka pantaskah mereka kita jadikan imam dan rujukan agama kita?
Kini Imam Bukhari divonis berakidah rusak!
Perhatikan Scan di bawah ini!
.
http://jakfari.files.wordpress.com/2010/05/akidah-bukhari_1.jpg?w=450&h=681
.
.http://jakfari.files.wordpress.com/2010/05/akidah-bukhari_2.jpg?w=468&h=669
.
Terjemahan:
Demikianlah pula dengan apa yang terjadi sekaitan masalah Lafadz. Bukhari (rh) Ketika ia diuji tentang masalah itu, para ulama/tokoh mengecamnya karena ia berpendapat bahwa: “Ucapanku dengan (bacaan) Al Qur’an adalah makhluk (bukan qadim, seperti keyakinan Ahmad dan ulama lainnya_pen).
maka mereka (para ulama) mengirimkan jawaban Bukahri ke berbagai penjuru, memberi peringatann akan bahaya akidah Bukhari. Sampai-sampai sekelompok ulama besar Ahi hadis yang diakui keluasan ilmu dan hadis dari kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah meninggalkan meriwayatkan hadis dari Bukhari, di antara mereka adalah Abu Hatim ar-Razi dan Abu Zur’ah ar-Razi (dua ulama asal kota Ray).
Putra Abu Hatim menyebutkannya dalam sejarah hidupnya dalam kitabnya al-Jarh wa at-Ta’dil:
Ayahku dan Abu Zur’ah mendengar (meriwayatkan) hadis darinya (Bukhari) kemudian keduanya membuang hadisnya, ketika Muhammad ibn Yahya an an-Naisaburi (adz Dzihli_pen) menyurati keduanya, bahwa Bukhari telah menampakkan akidahnya di tengah-tengah masyarakat bahwa  (lafadznya) bacaan al Qur’annya adalah makhluk.
.
Ibnu Jakfari:
Sungguh mengherankan jika di masa hidupnya ia dikecam bahkan divonis berakidah sesat oleh para tokoh senior di zamannya, lalu mengapa ia sekarang menjadi tokoh ahli hadis nomer wahid dan Pendekar Sunnah Sejagat?!
Jika ia memang sesat mengapa berubah menjadi panutan?
Jika ia tidak sesat mengapakah para tokoh senior Ahlusunnah wal jama’ah itu memvonisnya sesat? Apakah vonis itu atas dasar hawa nafsu? Jika demikian mengapakah mereka masih dipercaya sebagai panutan dalam agama?
Tolong para ulama Ahlusunnah membantu saya memecahkan masalah ini… Saya benar-benar mengharap bantuan kalian!!
sebagai contoh,  dulu saya membaca dalam kita bukhori, cetakan beirut yang tanggal penerbitannya sudah sangat tua (saya lupa tahun terbirny; mungkin 1923) bahwa rasulullah bersabda, “tak henti-hentinya keamiran di tangan orang quraiys. dan yang menjadi pengganti sesudahku adalah 12 orang dari keturunan Quraisy, yaitu Ali, Hasan, Husein, dst s.d imam mahdi.” tapi, pada kitab bukhori cetakan yang baru-baru ini hadits tersebut sudah tidak ditemukan dalam kitab bukhori.

saya pikir, kok bisa-bisanya ya orang mengurang-ngurangkan kitab hadits, apa gak takut dosa
Selama ratusan tahun, kitab hadis sunni yang beredar selalu versi ringkasan (mukhtasar) dan bukan versi lengkap ??? Kenapa ??? Karena ulama sunni menyembunyikan kebenaran untuk menutup nutupi kebenaran syi’ah

Siapakah anda yang berhak menyatakan orang2 Syiah tidak boleh memakai riwayat Sunny????
Apakah Syiah butuh pada riwayat Sunni??? Tidak!!!
Orang2 Syiah memakai riwayat Sunni bukan berarti mereka butuh pada riwayat itu, tapi kebetulan untuk berhujjah dengan orang2 yang buta hati seperti kalian maka riwayat2 itu dipakai dan ternyata riwayat2 itu justru membenarkan klaim2 Syiah dan menjungkir balikkan dongeng2 Sunni.
Syiah menggunakan riwayat2 Sunni hanya sekedar untuk memelekkan mata orang2 Sunni khususnya yang telah mereka yang telah tersesat jalan agar mereka kembali ke jalan yang benar.
Sekarang masalahnya keberadaan riwayat2 Sunni justru sangat menguntungkan dakwah Syiah pada kaum yang buta mata hati, yaitu orang2 yang fanatik buta pada kitabnya sendiri untuk menunjukkan bahwa kebenaran hujjah Syiah ternyata diakui oleh kitab Sunni dan sebaliknya riwayat2 Sunni tersebut justru menjadi boomerang bagi Sunni sendiri dan menjungkir balikkan paham2 sesat mereka.
Sungguh sangat disayangkan banyak aqidah Sunni ternyata ditolak oleh riwayat2 Sunni sendiri dan riwayat2 itu telah membenarkan klaim2 Syiah yang selama ini kalian dustakan.
Kalau sudah demikian dengan apa Sunni mempertahankan aqidah yang telah mereka pelihara selama ratusan tahun???
Justru menurut Imam Bukhari yang memunculkan fitnah adalah Aisyah istri Nabi.saw
Ini buktinya!
Ibnu Umar berkata: Suatu hari Nabi.saw naik ke mimbar dan kemudian memuji Allah.swt lalu bersabda: FITNAH MUNCUL DARI RUMAH AISYAH, DARI SINILAH MUNCUL TANDUK SETAN…(Shahih Bukhari, Jilid 4, Kitab 53, Hadis ke: 336, translasi: Muhammad Muhsin Khan)
Kalau Kaum Sunni mungkin meyakini semua hadis dalam Kitab Bukhari shahih (tapi banyak juga Ulama Sunni yang menolak kesahihan Kitab Bukhari, seperti An-Nasaa’i, As-Suyuthi, Syaikh Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dll) karena labelnya “SHAHIH BUKHARI” tapi sayang HAMPIR 50% ISINYA TERNYATA TIDAK SHAHIH, DAN KONTRADIKSI
Syiah dalam menilai suatu riwayat masih objektif dan bila suatu riwayat mengandung kebenaran maka riwayat tersebut tetap diterima walaupun itu riwayat Sunni, dan itu adalah sebuah pertanggung jawaban ilmiyah. Tapi anehnya Sunni rela menolak kebenaran cuma karena itu riwayat Syiah, ini tentu tidak ilmiyah dan tidak bertanggung jawab alias buta mata dan buta hati.
Namun begitu, tanpa riwayat Sunni sekalipun Syiah tetap mampu menbuktikan kebenaran hujjah mereka dari khazanah ilmu mereka sendiri baik masalah Ushul maupun masalah Furu’. Bila Syiah mau menerima hadis Sunni itu tandanya memang mereka berlaku adil (tidak diskriminatif) dan itu cukup menjadi bukti tindakan Syiah jauh lebih benar dari apa yang ditempuh Sunni.
Dan, anda tidak punya hak untuk melarang Syiah mengutip riwayat Sunni karena BANYAK RIWAYAT SUNNI JUGA BERASAL DARI ORANG2 SYIAH, dalam Kitab Bukhari juga banyak perawi Syiah !
Anda tentu tidak tau hal ini karena anda adalah Tong Kosong Yang Nyaring Bunyinya. Asal cuap2 tapi tanpa ilmu.
Tapi anehnya banyak hujjah Sunni justru DIPATAHKAN oleh riwayat Sunni sendiri.
Kalau Syiah anda katakan sebagai agama maka orang Syiah pun gak keberatan karena Syiah lebih dekat kepada Islam ketimbang Sunni. Syiah melaksanakan Sunnah lebih konsisten daripada Sunni karena akar Syiah lebih dekat padanya daripada Sunni. Sunni hanya labelnya saja Ahlusunnah tapi faktanya tidaklah seindah namanya. Bila kita buka kitab2 standar Sunni akan makin jelas dan gamblang bahwa apa yang diklaim oleh Syiah mayoritasnya ada di dalam kitab2 tersebut.

Justru dalam kitab anda menyatakan sebaliknya dimana Imam Ali dan Abbas.ra menyatakan Abu Bakar dan Umar sebagai PEMBOHONG..ketika Ali dan Abbas meminta kepada khalifah Umar, mereka berdua memandangnya pendusta atau zalim. Kata-kata ini tidak lain adalah penolakan, Intinya Imam Ali tahu hadis Rasulullah SAW tetapi sengaja menolaknya dan bukan hanya itu Beliau bahkan mengatakan mereka yang menjalankan hadis Rasul SAW itu dengan kata-kata sewenang-wenang, pendusta atau zalim.
Ini dia buktinya!
…..Kata Umar: “Setelah Rasulullah.saw wafat, Abu bakar mengatakan “Aku adalah pengganti Rasulullah”, lalu kalian berdua (ALI dan ABBAS) datang kepada Abu Bakar. Abbas! Kau minta pada Abu Bakar warianmu dari kemenakanmu dan orang ini (Ali) meminta pada Abu Bakar warisan istrinya dari ayahnya. Kemudian Abu Bakar berkata “Rasulullah pernah bersabda “Kami tidak boleh mewarisi. Harta yang kami tinggalkan adalah sedekah.” Lalu kalian berdua menganggap Abu Bakar sebagai PENDUSTA, PENDOSA, CURANG, dan PENGKHIANAT sedangkan Allah mengetahui Abu Bakar benar, baik, jujur, dan mengikuti kebenaran….
(Shahih Bukhari, No.3094, dan Shahih Muslim, Kitab Siyaar, Bab: Fiimaa Yushrafu al-Fai’u Idzaa Lam Yuujaf ‘Alaihi biQitaal)
Itulah pandangan Imam Ali.as dan Abbas.ra terhadap Abu Bakar dan Umar dimana Imam Ali dan Abbas.ra mendatangi Abu Bakar pada masa Khilafahnya dan mendatangi Umar pada masa Khilafahnya.
Perlu anda ketahui, Kemarahan Fatimah.as  dan Imam Ali  adalah Hujjah karena Nabi.saw telah menyatakan dengan tegas bahwa keridhaan Fathimah.as adalah keridhaan beliau dan keridhaan Allah.swt sementara kemarahan Fathimah.as adalah kemarahan beliau dan kemarahan Allah.swt
Dalam hal itu Fatimah.as tidak keliru, Imam Ali.as tidak keliru  karena kesaksian mereka BENAR dan sesuai dengan al-Quran.
dalam catatan sejarah sahih baik yang ada di Sunni maupun yang ada di Syiah menyatakan sebaliknya dari versi anda.
Contoh:
1. Abu Bakar tidak amanah dalam masalah Fadak !
2. Umar tidak amnah dalam masalah Dua Mut’ah (Nikah dan Haji) dan dalam
masalah Shalat !
3. Usman tidak amanah dalam masalah Baitul Mal
Dan Masih banyak bukti-bukti lain yang tertulis dalam kitab sejarah Sunni dan Syiah yang kebenarannya tidak dapat diganggu gugat lagi
Coba anda jawab:
1.Pada kekhalifaan siapa Khalid b. Walid membunuh seorang sahabat Nabi dan meperkosa istrinya. Tapi tdk dihukum?
2. Pada kekhalifaan siapa terjadi pembunuhan besarr2an di Yaman dengan alasan tdk membayar zakat.
3.Pada kekhalifaan siapa hadits Rasul dibakar dan tdk boleh disiarkan?
4.Pada kekhalifaan siapa terjadi KKN. Dan apabila ditegur dihukum?
Kalau kejadian ini anda katakan tdk pernah terjadi. Maka secara tdk langsung anda katakan bahwa ULAMA SUNI ADALAH PEMBOHONG.
Anda berkata:Justru yang anda sampaikan adalah sejarah palsu versi syi’ah rafidhah yang matruk
Kalau demikian anda mengatakan bahwa Bukhari, Muslim, Ahmad b. Hambal, dll ulama sekelompok mereka SYIAH RAFIDHAH. Jadi yang bukan Syiah adalah Ibnu Taymiyah, Nasaruddin Albany, Abd, Wahab. Ben Bazz dan lain2 YANG SEKELOMPOK DGN MEREKA?
maaf ya Mas kayaknya keluarga Rasul menolak apa yang dikatakan Abu Bakar. Sayyidah Fathimah marah kepada Abu Bakar. Imam Ali berpihak pada sayyidah Fathimah bahkan setelah enam bulang Imam Ali tetap mengatakan kalau Abu Bakar bertindak sewenang-wenang. Bahkan dalam hadis yang shahih disebutkan kalau Imam Ali memandang Abu Bakar pendusta dalam perkara ini begitu pula Umar. Jadi singkat kata dari Imam Ali justru berpihak pada Sayyidah Fathimah
Tapi tahukah anda fakta yang tidak dipahami kaum salafiyun yaitu pada peristiwa pengepungan Utsman diantara mereka yang mengepung bahkan memimpin pengepungan tersebut adalah para sahabat Nabi
Tahukah anda bahwa pada masa khilafah Utsman Baitul Mal dijarah habis-habisan oleh keluarga klan-nya (Bani Mu’ith dan Bani Umayyah) yang membuat Baitul Mal bangkrut, sementara Khalifah diam saja????
Dimana amanahnya??????
Tahukah anda Utsman dituduh kafir dengan sebutan Na’tsal (yahudi) oleh Aisyah????
Kalau Utsman amanah seperti dongeng yang anda ketahui dari kedustaan ulama anda, mengapa pula Aisyah mengkafirkannya??????
Coba anda jawab fakta ini dengan jujur ( sepertinya mustahil mengharap kejujuran dari mazhab anda
Inilah akibatnya kalau otak hanya sekedar aksesoris di kepala. Bagaimana sampeyan bisa mengatakan tdk ada yg aneh jika 2 orang yg berperang dikatakan bersahabat? Yang namanya sahabat adalah selalu bersama, menanggung kesulitan bersama, senang bersama, menghadapi musuh bersama. Lhah ini saling berhadapan sebagai musuh, saling membunuh, bagaimana bisa dikatakan bersahabat?

Dalam al-Quran hukum nikah mut’ah masih berlaku dan Nabi.saw pun belum pernah melarangnya (berita tentang haram mut’ah dalam kitab kitab Sunni sangat meragukan kebenarannya dan tidak masuk akal serta kontradiktif dengan fakta sejarah.
Bukalah matamu kawan, lihatlah bahwa Allah dan Rasul-Nya membolehkan nikah mut’ah…! Apakah itu (menurut anda) Allah dan Rasul-Nya membolehkan pelacuran???????
Ayat al-Quran tentang mut’ah ada dalam al-Quran dan belum ada ayat yang menasakhnya dan Nabi.saw pun tidak pernah berani menasakh-kan ayat itu.
Kalaupun pernah, tapi Imam Syafi’i dan jumhur ulama Sunni berpendapat bahwa Hadis Nabi.saw tidak bisa menasakh ayat al-Quran. Ayat al-Quran hanya boleh dinasakh-kan oleh ayat al-Quran bukan oleh hadis yang konsekuensinya nikah mut’ah masih halal karena tidak ada ayat yang menasakh-kan ayat bolehnya mut’ah itu.
MUI belum pernah menyatakan sesat untuk Syiah. KH. Ali Yafie, K.H Umar Shihab dan tidak pernah bersedia mengeluarkan fatwa sesat untuk Syiah dan mereka telah mempelajari Syiah dan mereka berpendapat Syiah adalah Islam.
Memang pernah ada orang2 sok pintar seperti Dr. Hidayat Nurwahid, Dr. Irfan Zidni, Dr. Dawam Ahmad, K.H Syu’bah Asha dan antek2 iblis al-kadzab meminta fatwa MUI agar dikeluarkan fatwa sesat untuk Syiah tapi ditolak. Dan antek2 Iblis itupun tertunduk malu
dalam perkara nikah mut’ah Jabir melafazkan hadis dengan kata “kami” bukankah menurut metode ilmu hadis lafal tersebut marfu’ atau menunjukkan ijma’ sahabat. Yang lebih aneh mendudukan posisi sahabat tersebut tidak tahu, justru itu keliru Jabir menyampaikan hadis ini ketika mendengar perselisihan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair soal nikah mut’ah dimana Ibnu Abbas membolehkan dan Ibnu Zubair melarang. Jabir menyebutkan hadis ini jauh setelah Umar menyampaikan larangan nikah mut’ah ke orang-orang artinya Jabir sendiri menyaksikan bahwa Umar melarang nikah mut’ah. Kalau memang Jabir dan sahabat lain awalnya tidak tahu maka seharusnya pada zaman Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair berselisih maka Jabir seharusnya sudah tahu dong keharamannya. Faktanya Jabir tetap menyampaikan bolehnya nikah mut’ah bahwa ia dan para sahabat lain pernah melakukannya di masa Abu Bakar dan Umar. Logika yang sehat seharusnya kalau sudah tahu haram ya sampaikan bahwa itu telah diharamkan anehnya Jabir malah dengan jelas mengtakan ia bersama para sahabat lain melakukannya di masa Abu Bakar dan Umar.
Artinya Ijma’ sahabat membolehkan nikah mut’ah maka disini terdapat kemungkinan bahwa hadis pelarangan mut;ah tersebut tidak bersifat umum tetapi hanya berlaku saat Fathul Makkah saja. Sedangkan hadis Imam Ali itu sudah jelas tidak tsabit dari Beliau dengan dua alasan.
Alasan yang pertama hadis tersebut matannya ganjil karena tidak ada wanita yang bisa dinikahi dengan mut’ah di Khaibar hal ini seperti yang disampaikan oleh sebagian ulama seperti Ibnu Qayyim dan kedua hadis ini bertentangan fakta bahwa nikah mut’ah justru dibolehkan di Fathul Makkah padahal kalau memang di Khaibar diharamkan maka di Fathul makkah jelas tidak boleh dilakukan. Ehem kayaknya anda gak menanggapi dengan baik, dalam perkara mut’ah kan ada juga mut’ah haji. Nah kalau yang ini bagaimana
Tentang   nikah  mut’ah  : lho tapi ijma’ sahabat membolehkannya lho berdasarkan hadis shahih Muslim riwayat Jabir. Anda juga tidak jeli melihat kalau Umar itu melarang mut’ah haji sedangkan Rasulullah SAW dan Imam Ali membolehkannya.

Oleh : Ustad Husain Ardilla dari Kairo Mesir
Berikut ini adalah kisah seorang penuntut ilmu di Cairo, ketika sedang mengkaji sebuah kitab Shahih Muslim. Dia bersama seorang Syeikhnya sedang mencari hadits-hadit Nabi tentang keutamaan Madinah, ternyata yang dicarinya itu tidak ditemukan. Padahal seharusnya hadits-hadits ada di shahih Muslim. Nah siapa gerangan yang menyembunyikan sabda-sabda Rasulullah SAW?Selamat mengikuti….
http://syiahali.files.wordpress.com/2011/08/bookfair2.jpg?w=300
Bismillah Ar-Rahman Ar-Rahim
Allhumma Solli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala alihi
Ma’arad Al-Kitab (World Book Exhibition)@ Cairo telah pun hampir ke penghujungnya. Saya hampir setiap hari turun ma’arad. Sehinggakan setiap hari jika bertemu dengan teman-teman se’talaqqi’ saya mereka akan bertanya ‘Lepas ini turun ma’arad ke?’
Mesti mereka heran ‘Buku apa saja yang dibeli sampai perlu turun ma’arad tiap2 hari?!’.
Sebenarnya, turun ma’arad hampir setiap hari itu bukan menunjukkan betapa banyaknya buku yang dibeli tapi adalah untuk survey-survey kitab dari sudut harga, pencetakan, pentahqiq dan sebagainya.
Tanpa disadari sebenarnya kita BELAJAR SAMBIL MEMBELI!!!! Itu juga dikira sebagai ilmu yang tidak diperolehi di kitab-kitab. Berharga bukan?!
Tips….
Kalau mau tahu bagus atau tidak tahqiqnya sebuah kitab adalah dengan kita membaca muqaddimah Pentahqiq tersebut. Disitu, Pentahqiq ada menyebutkan kerja2 yang dilakukan dalam mentahqiq sesebuah kitab dan kita dapat lihat perbezaan yang wujud diantara pelbagai jenis pencetakkan.
Tetapi ramai yang terlepas pandang akan bab ini. Yang penting bagi mereka ‘asal murah’ dan ‘asal cantik’.
Sebagai seorang yang bergelar Penuntut dan Pengkaji Ilmu, itu tidak sepatutnya berlaku.Kita sepatutnya bersifat ‘MATANG’ dalam memilih buku.
Berapa banyak buku yang luarannya cantik tapi didalamnya racun yang berbisa.
Sekarang alfaqir lebih berhati-hati dalam membeli buku kerana 1 kejadian.
Ketika itu, kami membaca kitab Sohih Muslim bersama seorang Sheikh, apabila sampai bab yang meriwayatkan tentang kelebihan madinah, seluruh hadits-hadits berkenaan itu dihapus, tidak ada dalam cetakan kitab hadits tersebut yang miliki teman alfaqir. Pada sangkaan alfaqir, mungkin hanya kesalahan dalam cetakan. Tapi, apabila dicari-cari hadits-hadits tersebut, tidak juga ketemui. Bila tanya teman lain, yang juga mempunyai sama cetakan, itu juga berlaku pada dirinya.
Dahulu…
Kami pernah mendengar dari kalam masyayikh kami bahawa ada terdapat pihak-pihak  tertentu sengaja menyembunyikan hadits-hadits yang kurang sesuai dengan pendapat mereka.
Pada ketika itu…
Saya terfikir ‘Tergamakkah mereka lakukan sedemikian?! Menyembunyikan Hadits-hadits Rasulullah untuk kepentingan sendiri?’.
Pada mulanya saya agak meragui kerana tidak tergambar iannya boleh berlaku sedemikian. Akan tetapi, apabila diri sendiri melihatnya dengan mata kepala, akhirnya diri ini akur akan kebenarannya.
Kalau seandainya Imam Ali.as langsung menjadi khalifah setelah Nabi.saw sesuai dengan harapan Allah dan Rasul-Nya mungkin perselisihan antara sahabat tidak separah yang sudah terjadi. Ketika mereka mengangkat Khalifah bukan sebagaimana yang dianjurkan olehRasul.saw maka kekacauanpun segara terjadi dan terus terjadi.
Mungkin itu memang kehendak Allah untuk menguji kita mau ikut jalan yang mana, apakah jalan kebenaran dengan mengikuti anjuran Rasul.saw atau jalan yang batil yang dibuat oleh pelaku makar. Dan, saya kira itu wajar saja karena “setiap Allah mengutus para rasul maka Dia juga menjadikan setan2 dari jenis jin dan manusia untuk menyimpangkan ajaran Rasul tersebut” kejadian itu selalu terjadi pada setiap rasul dan terjadi pula bagi kerasulan Muhammad.saw
kita  hanya bisa menyesalkan ulama sunni  yang menyembunyikan kebenaran kepada kita, seperti dalam Alqur’an Surat Al-baqarah ayat 159 “Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila’nati Allah dan dila’nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela’nati.”
sebagai contoh,  dulu saya membaca dalam kita bukhori, cetakan beirut yang tanggal penerbitannya sudah sangat tua (saya lupa tahun terbirny; mungkin 1923) bahwa rasulullah bersabda, “tak henti-hentinya keamiran di tangan orang quraiys. dan yang menjadi pengganti sesudahku adalah 12 orang dari keturunan Quraisy, yaitu Ali, Hasan, Husein, dst s.d imam mahdi.” tapi, pada kitab bukhori cetakan yang baru-baru ini hadits tersebut sudah tidak ditemukan dalam kitab bukhori.
saya pikir, kok bisa-bisanya ya orang mengurang-ngurangkan kitab hadits, apa gak takut dosa
contoh lain :
Terdapat penghapusan besar-besaran secara sengaja akan keutamaan-keutamaan Ali dan Ahlul Baitnya dari kitab-kitab sejarah. Ini Ibnu Hisyam yang menukil Sirah Ibnu Ishak berkata di dalam mukaddimah kitabnya, “Di dalam kitab ini ditinggalkan sebagian yang disebutkan oleh Ibnu Ishak… dan begitu juga hal-hal yang buruk untuk dikatakan, dan beberapa hal yang tidak baik orang menyebutkannya… “
Dia mengatakan kata-kata ini sebagai pengantar untuk menyembunyikan kebenaran. Di antara hal-hal yang tidak baik orang menyebutkannya adalah ajakan Rasulullah saw kepada Abu Thalib manakala Allah SWT memerintahkannya, “Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat. ” Thabari telah menyebutkannya beserta sanadnya. Dia mengatakan Rasulullah saw telah bersabda, “Wahai putra-putra Abdul Muththalib! Demi Allah tidak ada seorang pun pemuda bangsa Arab yang telah membawa untuk kaumnya sesuatu yang lebih berharga dan lebih utama dari apa yang aku bawa untuk kalian. Aku datang membawa kebaikan dunia dan akhirat. Dan Allah telah memerintahkan aku untuk menyeru kalian agar menerimanya. Maka siapakah di antara kalian yang bersedia memberikan dukungan bagiku dalam urusan ini; dan sebagai imbalannya, ia akan menjadi saudaraku, washiku, serta menjadi khalifah (pengganti)ku di antara kalian?”
Semua yang hadir diam seribu bahasa, kecuali Ali yang termuda di antara mereka; ia berdiri dan berkata dengan lantangnya, “Aku – wahai Nabi Allah – yang akan menjadi pembantumu!” Kemudian Rasulullah saw berkata, “Inilah saudaraku, washiku dan khalifahku di antara kalian! Dengar kata-katanya, dan taatlah kepadanya!” Maka bangkitlah mereka sambil tertawa dan berkata kepada Abu Thalib, “Lihatlah betapa dia telah memerintahkan Anda agar mendengarkan kata-kata anak Anda dan taat kepadanya.”(Tarikh ath-Thabari, jld. 2, hal. 216 -217.)
Apakah riwayat ini termasuk sesuatu yang buruk untuk dikatakan, sehingga harus dihapus sebagian kata-katanya?!
Jangan membuat Anda heran Thabari menyebutkan kisah ini, karena dengan segera dia mencabut kembali perkataannya itu. Dia meriwayatkan kisah ini di dalam kitab tafsirnya dengan disertai penyimpangan. Dia mengatakan, “Rasulullah saw bersabda, ‘Maka siapakah di antara kalian yang bersedia memberikan dukungan bagiku; dan sebagai imbalannya, ia akan menjadi saudaraku… dan seterusnya dan seterusnya.’” Kemudian Thabari melanjutkan, “Kemudian Rasulullah saw berkata, ‘Sesungguhnya inilah saudaraku… dan seterusnya dan seterusnya, maka dengarkan kata-katanya, dan taatlah kepadanya.(Tafsir ath-Thabari, jld. 19, hal. 72.)
Apa yang dimaksud dengan kata-kata “dan seterusnya dan seterusnya” yang dikatakan oleh Thabari?!
ini merupakan contoh yang jelas pengurangan riwayat.
tapi, soal hadits dalam musnad ahmad tentang “penegasan kepemimpinan ali” belum tentu dihapus. jadi saya mufakat untuk menganggapnya “tidak ada”.
rasulullah yang menyatakan, “inilah ali, imam, wali, dan khalifah sesudahku.” jadi dengan hadits ini sudah cukup menjelaskan bahwa Ali merupakan khalifah pertama.
rasulullah saw bersabda : “siapapun yang menjadikan aku sebagai khalifahnya, maka Ali adalah khalifahnya” (al-Muttaqi Al-Hindi, Kanz al-Umal, vol.XV. hal 123)
rasulullah bersabda, “Ali adalah saudaraku, pewaris dan khalifahku diantara kalian semua. taatilah dia, ikutilah dia, dan perhatikanlah ucapan-ucapannya. (ahmad bin hanbal, , al musnad Vol.. I hal 111, 159; ibn al-asir, al-Kamil Vol II. hal 22).
dan masih banyak lagi. saya tidak dapat menulis semuanya di sini.
Saat ini saya lagi memfokuskan mencari dasar hak Ali untuk menjadi khalifah yang pertama berdasarkan Al Qur’an dan Mencari dukungan ayat Q.S 5:67.
Logika saya jika ada ayat dalam al qur’an yang merekomendasikan Ali secara tegas/gamlang dan menguatkan untuk menjadi khalifah yang pertama setelah kepemimpinan Nabi maka kebenaran hak ali untuk menjadi khalifah yang pertama harus diyakini atau dibenarkan. Karena saya menganggap bahwa al Qur’an adalah hukum tertinggi dalam agama islam, jika didalam al qur’an sudah ditegaskan atau diperintahkan, maka hukum2 dibawahnya (seperti hadist, pendapat ulama dsb) harus ngikut ke hukum yang lebih tinggi diatasnya. (SESUAI DENGAN AZAS KEPATUHAN SUATU HUKUM). –>
Karena saya menganggap bahwa al Qur’an adalah hukum tertinggi dalam agama islam, jika didalam al qur’an sudah ditegaskan atau diperintahkan, maka hukum2 dibawahnya (seperti hadist, pendapat ulama dsb) harus ngikut ke hukum yang lebih tinggi diatasnya.
“setiap orang memiliki penerima wasiat (washi) dan ahli waris, dan Ali adalah penerima wasiat dan ahli warisku.” (Ibnu Asakir, at-Tarikh, vol. III, hal 5; Riyad an-nadhiroh, vol.II, hal.178. )
adakah jaminan dari Allah kalau kitab bukhori itu akan terjamin keasliannya hingga akhir zaman?
Dari Situ…
Sangat PENTING!!!  Talaqqi (ngaji langsung pada guru) hadits-hadits  Rasulullah SAW dengan seorang sheikh (guru) yang mempunyai sanad pengriwayatan Hadits.
???? ??????? ???? ?? ??? ?? ???
Kalau tidak kerana sanad, maka sesiapa saja akan berkata dengan apa yang dikehendakinya.
Ya ALLAh, Jadikan kami seorang yang amanah dalam menyampaikan ILMU…

Seandainya sejak zaman dulu kitab kitab hadis sunni BEREDAR  SESUAi  VERSi  ASLi nya seperti beredar  nya  ALQURAN  di pasar pasar dan rumah penduduk maka MAZHAB  SUNNi  tidak akan tegak
Banyak hadis yang telah disensor dari kita!! Ulama sunni meringkas hadis, mengedit hadis dan menyembunyikan hadis YANG  MERUGiKAN MAZHAB MEREKA !!
Sunni dianggap menyembunyikan hadis-hadis yang menjelaskan, bahwa Ali merupakan khalifah setelah Nabi.
Dalam  tafsir  al Qur’an ayat-ayat yang memihak syi’ah disembunyikan oleh orang Sunni atau disebarkan hadis hadis dha’if  syi’ah  yang mendeskriditkan Syi’ah.
Menurut syi’ah  bahwa  al Qur’an dan hadis  shahih  yang diriwayatkan oleh orang Syi’ah kedudukannya adalah atas segala ilmu.
Sewaktu  anda  belajar  agama  di waktu  kecil,  anda  Cuma  mampu  menemukan  kitab  shahih  Bukhari  Muslim  edisi  ringkasan… Lha, yang  asli  nya  sudah  disembunyikan ….Ketika  anda  dewasa, di era  digital  internet  ini  anda  AKAN  TERPERANJAT  ketika  menemukan  bahwa  kebenaran  syi’ah  ternyata  terselip  dalam  kitab  hadis  sunni….
Ada  ulama   sunni  berkata : “Ada  hadis  Imam Ali  yang  memuji  abubakar- Umar  – Usman  dll  dalam  kitab hadis  sunni”
Kitab  hadis  aswaja  sunni  memang  punya  beberapa  versi  cerita  yang  saling  kontradiktif   dalam  persoalan  imamah  dll
Dalam hadis  Bukhari : Imam  Ali  mengklaim  bahwa  kekhalifahan  adalah  haknya, dan  Imam  Ali  menyatakan  Abubakar  berbohong  dan  bertindak  sewenang  wenang… Mungkinkah  sesuatu yang bertentangan  terjadi  ??? Di satu  sisi  mencela, disisi  lain  memuji  ???? tidak  mungkin…. Karena  mustahil  Imam  Ali  plin plan  apalagi  berdusta… JAdi  hadis  yang dinisbatkan  pada  Ali yang  menyatakan  Abubakar  lebih  baik  daripada  dia  sangat  meragukan  karena  bertentangan  dengan  ucapan  Imam  Ali  dalam hadis hadis  lain….
Berikut  ini saya berikan  contoh  kontradiksi  nya  hadis  Bukhari  Muslim :
1. Surat  Al  Lail  ayat  1-3   dalam kitab  Bukhari  Muslim  berbeda  dengan         yang  ada  dalam  Al  Quran
2. Riwayat   Aisyah  tentang  shalat  dhuha  saling bertentangan, riwayat       pertama  menyatakan  “boleh”  tapi  riwayat  kedua  menyatakan  “tidak    boleh”
3. Said  bin  Musaiyab  menyatakan  ia  saksi  wafat nya  Abu  Thalib, tapi    realita  fakta  sejarah  menyatakan  Said  dan  Abu Thalib  tidak  pernah bertemu
4. Hadis  pelecehan  terhadap  para  Nabi  yang  di bawakan  Abu  Hurairah
Kenapa  bisa  kontradiktif ??? Karena  jalur  perawi  ada  yang berdusta  dan ada yang jujur…semua  dishahihkan  Bukhari  Muslim…
Di zaman  Dinasti  Umayyah, Abbasiyah dan  Usmaniyah  syari’at  Islam yang sebenarnya  tidak ditegakkan.. Penguasa  bebas  membunuh  orang  orang yang  tidak bersalah  tanpa pengadilan.. Kejahatan  mereka  terhadap  umat  benar benar  diluar   perikemanusiaan.. Pemerintahan  para  penjahat
Namun  mazhab  aswaja sunni menutup nutupi  masalah ini  dengan cara menampilkan   yang   baik   baik  saja  dan  menguburkan yang  buruk buruk karena  ulama  sunni  sangat  berkepentingan  agar  mazhab  mereka  tetap tegak…
Namun  seiring   perjalanan  waktu, kebenaran  mulai  terungkap…. Aswaja mulai   kelabakan  maka  mereka  tidak   mampu   lagi  melarang  umat  mempelajari   syi’ah…….Aswaja  tidak  mampu  lagi  membuang   hadis hadis  dalam kitab  shahih nya  karena  umat  sudah  tahu….
Hadis  seperti  penunjukan  Imam  Ali  sebagai  khalifah  tidak  mampu  lagi  disembunyikan  sunni.. Mengingkari  bukti  wasiat  Imamah  Ali  sama  saja dengan  mengingkari  wasiat  Nabi  SAW, adalah  zindiq  jika  mengingkari  Sunnah  Nabi  yang  mutawatir
Analisis Hadis Kitabullah Dan Sunnah
Rasul bersabda tentang ummu’l mu’minin ‘A’isyah:
“Diriwayatkan oleh Musa bin Isma’il, dari Juwairiyah, dari Nafi’, dari ‘Abdullah yang berkata: “Nabi saw sedang berkhotbah dan beliau menunjuk ke arah kediaman ‘A’isyah sambil berkata: ‘Disinilah akan muncul tiga fitnah sekaligus, dan dari situlah akan muncul tanduk setan’. (Bukhari, Shahih dalam bab “Ma ja’a fi buyuti’l AzwajinNabi )
‘Abdullah meriwayatkan dari Ubay dari ‘Ikramah bin ‘Ammar dari Ibnu ‘Umar yang berkata: “Rasululah saw keluar dari rumah ‘Aisyah dan bersabda: ‘Kepala kekufuran akan muncul dari sini, dan dari sini akan muncul tanduk setan’. (Imam Ahmad bin Hambal, Musnad, jilid 2, hlm. 23 )
Rasul Allah saw keluar dari rumah ‘A’isyah sambil berkata: “Sesungguhnya kekafiran akan muncul dari sini akan muncul tanduk setan.” (Imam Ahmad bin Hambal, Musnad, jilid 2, hlm. 26. )
Perang Jamal, Aisyah Memerangi Imam Ali, Dua Puluh Ribu Muslim Mati !!
Aisyah berangkat ke Makkah. Ia berhenti di depan pintu masjid menuju ke alHajar
Kemudian mengumpul orang dan berkata: ‘Hai manusia. Utsman telah dibunuh secara zalim! Demi Allah kita harus menuntut darahnya’. Dia dilaporkan juga telah berkata: ‘Hai kaum Quraisy! Utsman telah dibunuh. Dibunuh oleh Ali bin Abi Thalib. Demi Allah seujung kuku atau satu malam kehidupan Utsman, lebih baik dari seluruh hidup Ali.’ (Lihat Baladzuri, Ansab alAsyraf, jilid 5, hlm. 71.)
Ummu Salamah Menasihati Ummu’lmu’minin
Ummu Salamah menasihati Aisyah agar ia tidak meninggalkan rumahnya: “Ya Aisyah, engkau telah menjadi penghalang antara Rasul Allah saw  dan umatnya. Hijabmu menentukan kehormatan Rasul Allah saw, AlQur’an telah menetapkan hijab untukmu.
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan RasulNya”. (AlAhzab:33)
Dan jangan engkau membukanya. Tempatmu telah pula ditentukan Allah SWT dan janganlah engkau keluar. Allahlah yang akan melindungi umatnya. Rasul Allah saw mengetahui tempatmu. Kalau Rasul Allah saw ingin memberimu tugas tentu telah beliau sabdakan”
( Aisyah Ibnu Thaifur, Baldghat anNisa’, hlm. 8; Mengenai nasihat Ummu Salamah kepada ‘A’isyah, lihat juga Zamakhsyari, alFa’iq, jilid 1, hlm. 290; Ibnu ‘Abd Rabbih, Iqd alFarid, jilid 3, hlm. 69; Syarh NahjulBalaghah, jilid 2, hlm. 79 ).
Aisyah tidak peduli dan orang orang merasa heran. Ayat AlQur’anyang memerintahkan para istri Rasul agar tinggal di rumah tidak dapat lagi menahannya.
Aisyah tidak menghiraukannya. Thalhah, Zubair dan Abdullah bin Zubair pergi bergabung dengan Aisyah di Makkah. Demikian pula Banu ‘Umayyah serta penguasa penguasa Utsman yang diberhentikan Ali dengan membawa harta baitul mal.
Diriwayatkan bahwa sekali seorang wanita bertanya kepada Aisyah tentang hukumnya seorang ibu yang membunuh anak bayinya. Aisyah menjawab: ‘Neraka tempatnya bagi ibu yang durhaka itu!’. ‘Kalau demikian’, tanyanya: ‘bagaimana hukum seorang ibu yang membunuh dua puluh ribu anaknya yang telah dewasa?’. Aisyah berteriak dan menyuruh orang melempar keluar wanita tersebut.
Thalhah misan Aisyah, yang diharapkan Aisyah akan menjadi khalifah, meninggal dalam Perang Jamal. Ia dibunuh oleh Marwan bin Hakam anggota pasukannya sendiri, karena keterlibatannya dalam pembunuhan Utsman. Setelah memanah Thalhah, Marwan berkata: “Aku puas! Sekarang aku tidak akan menuntut lagi darah Utsman!” Zubair bin ‘Awwam, iparnya, suami kakaknya Asma binti Abu Bakar meninggalkan pasukan setelah mendengar nasihat Ali. Ia dibunuh dari belakang oleh seorang yang bernama ‘Amr bin Jurmuz.
Aisyah punya kelebihan. Setelah menentang  dua khalifah ia bisa berubah menjadi orang yang tidak berdosa.. Dan peran Aisyah dalam menentukan aqidah umat berlanjut sampai sekarang dengan hadis hadisnya yang banyak.
Ummu Salamah, misalnya, yang juga ummu’lmu’minin tidaklah mendapat tempat yang terhormat seperti Aisyah. Hal ini disebabkan karena Ummu Salamah berpihak kepada ahlu’lbait’ dengan sering meriwayatkan hadis hadis yang mengutamakan Ali, seperti hadis Kisa’.
Abu Bakar, ayah Aisyah, maupun Umar bin Khaththab menyadari kemampuan Aisyah, dan sejak awal mereka menjadikan Aisyah sebagai tempat bertanya. Ibnu Sa’d, misalnya, meriwayatkan dari alQasim: “Aisyah sering diminta memberikan fatwa di zaman Abu Bakar. Umar dan Utsman dan Aisyah terus memberi fatwa sampai mereka meninggal”. (Ibnu Sa’d, Thabaqat, jilid 3 hlm.3370.)
Dari Mahmud bin Labid: Aisyah memberi fatwa di zaman Umar dan Utsman sampai keduanya meninggal’. Dan sahabat sahabat  Rasul Allah saw yang besar, yaitu Umar dan Utsman sering mengirim orang menemui Aisyah untuk menanyakan Sunnah’. Malah Umar memberikan uang tahunan untuk Aisyah lebih besar 20% dari istri Rasul yang lain. Tiap istri Rasul mendapat sepuluh ribu dinar sedang Aisyah dua
belas ribu. Pernah Umar menerima satu kereta dari Irak yang di dalamnya terdapat mutiara (jauhar) dan Umar memberikan seluruhnya pada Aisyah.
Di samping pengutamaan Umar kepada Aisyah dalam fatwa maupun hadiah, Umar juga menahannya di Madinah dan hanya membolehkan Aisyah melakukan sekali naik haji pada akhir kekhalifahan Umar dengan pengawalan yang ketat. Umar menyadari betul peran Aisyah yang tahu memanfaatkan kedudukannya yang mulia di mata umat sebagai ibu kaum mu’minin dan memiliki kemampuan yang tinggi untuk mempengaruhi orang. Dengan demikian mereka saling membagi keutamaan.Sedangkan Utsman, terutama pada akhir kekhalifahannya, melalaikan hal ini.
Dan di pihak lain, Ali seperti juga Fathimah sejak awal menjadi bulan bulanan ummu’lmu’minin Aisyah. Kalau Mu’awiyah bersujud dan diikuti orang orang  yang menemaninya, dan shalat dhuha enam raka’at saat mendengar Ali meninggal dunia di kemudian hari, sedangkan Aisyah melakukan sujud syukur ketika mendengar berita gembira ini seperti dilaporkan oleh Abu’lFaraj atIshfahani. (AbuFaraj alIshfahani, Maqatil athThalibiyin,hlm. 43.)
Thabari, Abu’lFaraj alIshfahani, Ibnu Sa’d dan Ibnu alAtsir melaporkan bahwa tatkala seorang menyampaikan berita kematian Ali, ummu’lmu’mininAisyah bersyair: ‘Tongkat dilepas, tujuan tercapai sudah’ ‘Seperti musafir gembira pulang ke rumah!’
.
Melihat tajuk di atas, sudah pasti meromangkan bulu roma para pencinta Nabi. tetapi bertenang, saya hanya membincangkan perkara ini, secara ilmiah, berdasarkan hadis-hadis dari sumber Ahlulsunnah wal Jamaah. Kesimpulan yang dapat diambil adalah terpulang kepada masing-masing.
Kecemburuan Aisyah kepada Fatimah(sa) dan suaminya adalah sangat berkaitan dengan cemburunya kepada Khadijah al Kubra, yang telah lama meninggal dunia. Ini dapat difahami dari kata-kata beliau sendiri yang diriwayatkan di dalam Qutub Sunni, seperti berikut:
Aisyah berkata: “Cemburuku terhadap istri-istri Rasul tidak seperti cemburuku kepada Khadijah karena Rasul sering menyebut dan memujinya, dan Allah SWT telah mewahyukan kepada Rasul saww agar menyampaikan kabar gembira kepada Khadijah bahwa Allah SWTakan memberinya rumah dari Permata di surga”. Al-Bukhari, jilid 2, hlm. 277 dalam Bab Kecemburuan Wanita, Kitab Nikah
Dan di bahagian lain: “Aku tidak cemburu terhadap seorang dari istri-istrinya seperti aku cemburu kepada Khadijah, meski aku tidak mengenalnya. Tetapi Nabi sering mengingatinya dan kadang-kadang ia menyembelih kambing, memotong-motongnya dan membagi-bagikannya kepada teman-teman Khadijah”. Al-Bukhari, jilid 2, hlm. 210, pada Bab Manaqib Khadijah.
Di bahagian yang lain: “Suatu ketika Halah binti Khuwailid, saudari Khadijah, minta izin menemui Rasul dan Rasul mendengar suaranya seperti suara Khadijah”.  Rasulullah terkejut dan berkata : Allahumma Halah!’. Dan aku cemburu. Aku berkata: ‘Apa yang kau ingat dari perempuan tua di antara perempuan-perempuan tua Qurais dan Allah telah menggantinya  dengan yang lebih baik’.
Apakah reaksi Rasulullah(sawa)?: ‘Dan wajah Rasul Allah saww berubah, belum pernah aku melihat ia demikian, kecuali pada saat turun wahyu’.Musnad Ahmad, jilid 6, hlm. 150, 154
Rasulullah lalu bersabda: ‘Allah tidak akan mengganti seorang pun yang lebih baik dari beliau. Dia beriman kepada ku tatkala orang lain mengingkariku. Dia membenarkan ku ketika orang lain mendustakanku. Dan dia membantuku dengan hartanya tatkala orang lain enggan membantuku. Allah SWT memberi anak-anak kepadaku melaluinya dan tidak melalui yang lain’. Musnad Ahmad, jilid 6, hlm. 117; Sunan Tirmidzi, jilid 1, hlm. 247;.Shahih Bukhari, jilid 2, hlm. 177, jilid 4, hlm. 36, 195; Musnad Ahmad jilid 6, hlm. 58, 102, 202, 279; Ibnu Katsir,Tarik h, jilid 3, hlm. 128;al-Kanzu’l-’Ummal, jilid 6, hlm. 224.
Dari sisi riwayat Ahlul Sunnah turut menukilkan bahawa Aisyah mempunyai rasa tidak senang akan sifat cintanya Rasulullah(sawa) kepada Imam Ali(as) melebihi cinta kepada dirinya sendiri dan bapanya.
Imam Ahmad menukilkan di dalam kitabnya Musnad Ahmad, jilid 4, hlm. 275, yang berasal dari Nu’man bin Basyir: ‘Abu Bakar memohon izin menemui Rasul Allah(sawa) dan ia mendengar suara keras Aisyah yang berkata: ‘Demi Allah, aku telah tahu bahwa engkau lebih mencintai Ali dari ayahku dan diriku!, dan ia mengulanginya dua atau tiga kali’.
Ijtihad beliau bertentangan dengan firman Allah swt:
‘Dan ia tiada berkata menurut keinginannya sendiri. Perkataannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya’.Al-Qur’an, an-Najm (53:3)
Ibn Abil-Hadid menceritakan: ‘Aku membacakan pidato Ali mengenai Aisyah dari Nahju’l-Balighah [7], kepada Syaikh Abu’ Ayyub Yusuf bin Isma’iltatkala aku berguru ilmu kalam kepadanya. Aku bertanya bagaimana pendapatnya tentang pidato Ali tersebut.
Ia memberi jawaban yang panjang. Aku akan menyampaikannya secara singkat, sebahagian dengan lafaznya sebahagian lagi dengan lafazku sendiri.(Abu ‘Ayyub melihat dari kacamata yang umum terjadi. Penulis menerjemahkannya agak bebas).
“Abu ‘Ayyub berkata: ‘Kebencian Aisyah kepada Fathimah timbul karena Rasul Allah(sawa) mengawini Aisyah setelah meninggalnya Khadijah. Sedang Fathimah adalah putri Khadijah.Secara umum antara anak dan ibu tiri akal timbul ketegangan dan kebencian. Isteri akan mendekati ayahnya dan bukan suaminya, dan anak perempuan tidak akan senang melihat ayahnya akrab dengai ibu tirinya. Dia akan menganggap ibu tirinya merebut tempat ibunya.Sebaliknya anak perempuan pula menjadi tumpuan kecemburuan dari pihak ibu tiri. Beban cemburu Aisyah kepada almarhumah Khadijah, berpindah kepada Fathimah.”
Nota: Maksud Ibn Abin Hadid adalah Khotbah 155 dalam Nahjul Balaghah tatkala ‘Ali berkata tentang Aisyah: ‘Kebencian mendidih dalam dadanya, sepanas tungku pandai besi. Bila ia diajak melakukan kepada orang lain seperti yang ia lakukan kepadaku, ia akan menolak. Tetapi hormatku kepadanya, setelah kejadian ini pun, tetap seperti semula.
Besarnya kebencian kepada anak tirinya berbanding dengan kebencian pada madu beliau yang telah meninggal. Ini ditambah lagi apabila suaminya sering mengingati isterinya yang telah meninggal itu.
Kemudian semua bersepakat bahawa Fathimah mendapat kedudukan mulia di sisi Allah SWT melalui hadis Rasul, yang juga ayahnya,sebagai Penghulu Wanita Kaum Mu’minin yang kedudukannya sejajar dengan Asyiah, Mariam binti ‘Imran dan Khadijah al-Kubra seperti yang tertera dalam hadis shahih Bukhari dan Muslim.
Sebagai tambahan, telah menjadi satu pengetahuan yang umum bahawa Rasulullah memuliakan anak perempuannya dengan kemuliaan yang lebih dari apa yang disangka oleh orang ramai, malah melewati kasih sayang yang biasanya diberikan oleh seorang bapa kepada seorang anak.
Dan Rasulullah(sawa) telah menyampaikannya terang-terangan kepada para sahabat baginda secara berulang di tempat dan kalangan yang berbeza, bahawa Fathimah adalah penghulu kaum wanita sekalian alam’. Melalui hadis yang berasal dari Ali, Umar bin Khaththab, Hudzaifah Ibnu Yaman,Abu Said al-Khudri, Abu Hurairah dan lain-lain Rasul bersabda: ‘Sesungguhnya, Fathimah adalah penghulu para wanita di syurga, dan Hasan serta Husain adalah Penghulu  Pemuda di surga. Namun ayah mereka berdua (Ali) lebih mulia dari mereka berdua’

Rujukan Hadis: Tirmidzi,al-Jami’ash-Shahih, jilid 5, hlm. 656, 661; Ahmad bin Hanbal,al-Musnad, jilid 3, hlm. 62, 64, 82, jilid 5, hlm. 391, 392; Ibnu Majah,as- Sunan, jilid 1, hlm. 56; Al Hakim An-Nisaburi, A-Mustadrak ash-Shahihain, jilid 3, hlm. 167; Majma’ az-Zawa’id, jilid 9, hlm. 183; al-Muttaqi,Kanz al-Ummal, jilid 13, hlm. 127,128;al- I sti’ ab, jilid4, hlm. 1495;Usdu’l-Ghabah, jilid 5, hlm. 574; Tarikh Baghdad, jilid 1, hlm. 140, jilid 6, hlm. 372 jilid 10, hlm. 230; Ibnu ‘Asakir,at-Tarikh, jilid 7, hlm. 362.
Atau hadis yang diriwayatkan Aisyah sendiri bahwa Rasul telah bersabda: ‘Wahai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi penghulu para wanita sejagat atau penghulu wanita umat ini atau penghulu kaum mu’minat?’. Rujukan: Shahih Bukhari, jilid 8, hlm. 79; Shahih Muslim, jilid 7, hlm. 142-144; Ibnu Majah, as-Sunan, jilid 1, hlm. 518; Ahmad bin Hanbal,al-Musnad, jilid 6, hlm. 282; al-Hakim an-Nisaburi, al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, jilid 3, hlm. 136.
Rasul bersabda bahwa kedudukan Fathimah sama dengan kedudukan Mariam binti ‘Imran dan bila Fathimah melewati di tempat wuquf, para penyeru berteriak dari arah ‘arsy, ‘Hai penghuni tempat wuquf, turunkan pandanganmu karena Fathimah binti Muhammad akan lewat . Hadis ini merupakan hadis shahih dan bukan hadis lemah.(al-Mustadrak, jilid 3, hlm. 153, 156; Kanzu’l-’Ummal, jilid 6, hlm. 218.)
Ali menikahi Fatimah setelah dinikahkan Allah SWT di langit dan disaksikan para malaikat. [al-Mustadrak, jilid 3, hlm. 153, 156;Kanzu’l-’Ummal, jilid 6, hlm. 218.]
Betapa kerapnya Rasulullah(sawa) bersabda: ‘Barangsiapa menyakiti Fathimah, maka ia telah menyakitiku’, ‘Membencinya berarti membenciku’ , Beliau adalah sebagian dari diriku’, Meraguinya bererti meraguiku’ [Kanzu’l-’Ummal, jilid 6, hlm. 220]
Dan semua kemuliaan dan penghormatan ini tentu menambah kecemburuan Aisyah yang tidak berusaha sungguh-sungguh untuk melihat konteks ini dengan kenabian Rasul saww.
Sifat beliau jauh sekali berbeza dengan Ummu Salamah(rh), yang juga merupakan seorang isteri Rasulullah(sawa), Ummul Mukminin, yang mencintai Ahlul Kisa bukan sahaja sebagai ahli keluarga tetapi juga sebagai orang yang disucikan di dalam Ayatul Tathir. (Al-Qur’an 33:33)
Biasanya bila seorang isteri merasa diperlakukan kurang baik oleh sesama wanita maka berita ini akan sampai kepada suami. Dan lumrah apabila isteri menceritakan perkara ini pada suaminya dimalam hari. Tetapi Aisyah tidak dapat melakukan perkara ini, keranana Fathimah adalah anak suaminya. Ia hanya dapat mengadu pada wanita-wanita Madinah dan tetangga yang bertamu ke rumahnya.
Kemudian wanita-wanita ini akan menyampaikan berita kepada Fathimah, barangkali begitu pula sebaliknya. Dan yang jelas ia akan menyampaikannya kepada ayahnya, Abu Bakar.
Kemampuan Aisyah untuk mempengaruhi orang sangatlah terkenal dan hal ini akan membekas pada diri Abu Bakar. Kemudian Rasulullah(sawa) melalui hadis yang demikian banyak, telah memuliakan dan mengkhususkan Ali dari sahabat-sahabat lain.
Berita ini tentu menambah kepedihan Abu Bakar, kerana Abu Bakar adalah ayahnya Aisyah. Pada kesempatan lain sering terlihat Aisyah duduk bersama Abu Bakar dan Thalhah sepupunya dan mendengar kata-kata mereka berdua. Yang jelas pembicaraan mereka mempengaruhi Aisyah sebagaimana mereka juga terpengaruh oleh Aisyah’.
Kemudian ia (Abu Ayyub) melanjutkan: ‘Saya tidak mengatakan bahwa Ali bebas dari ulah Aisyah. Telah sering timbul ketegangan antara Aisyah dan Ali di zaman Rasulullah(sawa)’.
Misalnya telah diriwayatkan bahawa suatu ketika Rasul dan Ali sedang berbicara. Aisyah datang menyela antara keduanya dan berkata : ‘Kamu berdua berbicara terlalu lama!’Rasul marah sekali.Dan, di ketika lain tatkala terjadi peristiwa Ifk, menurut Aisyah, Ali mengusulkan Rasulullah(sawa) agar menceraikan Aisyah dan mengatakan bahawa Aisyah tidak lebih dari tali sebuah sandal. (Tapi ramai orang meragukan peristiwa Ifkyang diriwayatkan Aisyah ini. Dari mana misalnya orang ini mengetahui usul Ali kepada Rasul? Siapa yang membocorkannya?),.
Di pihak lain Fathimah melahirkan ramai anak lelaki dan perempuan, sedang Aisyah tidak melahirkan seorang anak pun. Malah Rasulullah(sawa) menyebut kedua anak lelaki Fathimah, Hasan dan Husain sebagai anak-anaknya sendiri. Hal ini terbukti tatkala turun ayatmubahal ah [ Ali Imran : 61].
Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu),Maka Katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak Kami dan anak-anakkamu, isteri-isteri Kami dan isteri-isteri kamu, diri Kami dan diri kamu; kemudian Marilahkita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepadaorang-orang yang dusta”.
Bagaimana perasaan seorang isteri, yang tidak dapat melihat bahawa suaminya adalah seorang Rasul Allah, bila suaminya memperlakukan cucu tirinya sebagai anaknya sedangkan ia sendiri tidak punya anak?.
Kemudian Rasul menutup pintu yang biasa digunakan ayahnya ke masjid dan membuka pintu untuk Ali. Begitu pula tatkala Surat Bara’ah turun, Rasul Allah(sawa) menyuruh Ali,yang disebutnya sebagai dari dirinya sendiri, untuk menyusul Abu Bakar dalam perjalanan haji pertama. Dan agar Ali sendiri membacakan surat Bara’ah atau Surat Taubah kepada jemaah dan kaum musyrikin di Mina.
Kemudian Mariah, isteri Rasul, melahirkan Ibrahim dan Ali menunjukkan kegembiraannya, hal ini tentu menyakitkan hati Aisyah.
Yang jelas Ali sama sekali tidak ragu lagi, sebagaimana kebanyakan kaum Muhajirin dan Anshar, bahawa Ali akan menjadi khalifah sesudah Rasul meninggal dan yakin tidak akan ada orang yang menentangnya.
Tatkala pamannya Abbas berkata, kepadanya:Ulurkan tanganmu, aku akan membaiatmu dan orang akan berkata Paman Rasul membaiat sepupu Rasul, dan tidak akan ada yang berselisih denganmu!”Ali menjawab: ‘Wahai paman,apakah ada orang lain yang menginginkannya?’. Abbas menjawab: ‘Kau akan tahu nanti! , Ali menjawab: ‘Sedang saya tidak menginginkan jabatan ini melalui pintu belakang. Saya ingin semua dilakukan secara terbuka’. Abbas lalu diam.
Tatkala penyakit Rasulullah(sawa) semakin berat Rasul berseru agar mempercepat pasukan Usamah. Abu Bakar beserta tokoh-tokoh Muhajirin dan Anshar lainnya diarahkan oleh Rasul untuk turut serta di dalam pasukan itu. Maka Ali -yang tidak diikutkan Rasul dalam pasukan Usamah- dengan sendirinya akan menduduki jabatan khalifah itu -bila saat Rasulullah(sawa) tiba, – karena Madinah akan bebas dari orang-orang yang akan menentang Ali. Dan ia akan menerimaj abatan itu secara mulus dan bersih. Maka akan lengkaplah pembaiatan, dan tidak akan ada lawan yang menentangnya.
Itulah sebabnya Aisyah memanggil Abu Bakar dari pasukan Usamah yang sedang berkemah di Jurf -pada pagi hari Isnin, hari wafatnya Rasul dan bukan pada siang hari- dan memberitahu bahawa Rasulullah(sawa) sedang nazak.
Dan tentang mengimami shalat, Ali menyampaikan bahwa Aisyahlah yang memerintahkan Bilal, maula ayahnya, untuk memanggil ayahnya mengimami shalat, kerana Rasul(sawa) sebagaimana diriwayatkan telah bersabda: ‘Agar orang-orang shalat sendiri-sendiri’, dan Rasul tidak menunjuk seseorang untuk mengimami shalat. Shalat itu adalah shalat subuh. Karena ulah Aisyah itu maka Rasul memerlukan keluar, pada akhir hayatnya, dituntun oleh Ali dan Fadhl bin Abbas sampai ia berdiri di mihrab seperti diriwayatkan…’.
Setelah Abu Bakar dibaiat, Fathimah datang menuntut Fadak milik pribadi ayahnya tetapi Abu Bakar menolaknya dan mengatakan bahwa Nabi tidak mewariskan. Aisyah membantu ayahnya dengan membenarkan hadis tunggal yang disampaikan ayahnya bahwa ‘Nabi tidak mewariskan dan apa yang ia tinggalkan adalah sedekah’.
Kemudian Fathimah meninggal dunia dan semua wanita melawat ke rumah Banu Hasyim kecuali Aisyah. Ia tidak datang dan menyatakan bahwa ia sakit. Dan sampai berita kepada Ali bahwa Aisyah menunjukkan kegembiraan.
Kemudian Ali membaiat Abu Bakar dan Aisyah gembira. Sampai tiba berita Utsman dibunuh dan Aisyah orang yang paling kental menyuruh bunuh Utsman dengan mengatakan Utsman telah kafir. Mendengar demikian ia berseru: ‘Mampuslah ia!’ Dan ia mengharap Thalhah akan jadi khalifah. Setelah mengetahui Ali telah dibaiat dan bukan Thalhah, ia berteriak:Utsman telah dibunuh secara kejam dan menuduh Ali sebagai pembunuh dan meletuslah perang Jamal’. [ Ibn Abil Hadid , Nahjul Balaghah Jil. 2 hal. 192 -197] Demikian penjelasan Ibn Abil-Hadid.
Analisis Hadis Kitabullah Dan Sunnah
Salam wa rahmatollah. Bismillah.
Tajuk ini merupakan perbicaraan lama, yang pada mulanya, saya tidak mahu disentuh di dalam web ini. Ini kerana saya telah begitu menekankan hadis sebenar yang sahih lagi mutawattir adalah hadis Tsaqalain, yakni, Kitabullah dan itrati Ahlulbait. Bagaimanapun, kebelakangan ini, timbul kembali isu ini, tambahan pula ia ditimbukan oleh orang-orang yang suka-suka mendhaifkan sesuatu hadis, tanpa dalil yang mutlak, atau yang meyakinkan, demi mendhaifkan hadis Tsaqalain. Sia-sia. Ini adalah analisis hadis Kitabullah dan Sunnah, oleh saudara Secondprince. Selamat membaca.
Al Quranul Karim dan Sunnah Rasulullah SAW adalah landasan dan sumber syariat Islam. Hal ini merupakan kebenaran yang sifatnya pasti dan diyakini oleh umat Islam. Banyak ayat Al Quran yang memerintahkan umat Islam untuk berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah SAW, diantaranya
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah .Sesungguhnya Allah sangat keras hukumanNya. (QS ; Al Hasyr 7).
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang berharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS ; Al Ahzab 21).
Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah .Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu) maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS ; An Nisa 80).
Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan RasulNya agar Rasul menghukum (mengadili) diantara mereka ialah ucapan “kami mendengar dan kami patuh”. Dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung. Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan RasulNya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepadaNya maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS ; An Nur 51-52).
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu Ketetapan , akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS ; Al Ahzab 36).
Jadi Sunnah Rasulullah SAW merupakan salah satu pedoman bagi umat islam di seluruh dunia. Berdasarkan ayat-ayat Al Quran di atas sudah cukup rasanya untuk membuktikan kebenaran hal ini. Tulisan ini akan membahas hadis “Kitabullah wa Sunnaty” yang sering dijadikan dasar bahwa kita harus berpedoman kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW yaitu
Bahwa Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan SunahKu. Keduanya tidak akan berpisah hingga menemuiKu di Al Haudh.”.
Hadis “Kitabullah Wa Sunnaty” ini adalah hadis masyhur yang sering sekali didengar oleh umat Islam sehingga tidak jarang banyak yang beranggapan bahwa hadis ini adalah benar dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Pada dasarnya kita umat Islam harus berpegang teguh kepada Al Quran dan As Sunnah yang merupakan dua landasan utama dalam agama Islam. Banyak dalil dalil shahih yang menganjurkan kita agar berpegang kepada As Sunnah baik dari Al Quran (seperti yang sudah disebutkan) ataupun dari hadis-hadis yang shahih. Sayangnya hadis”Kitabullah Wa Sunnaty” yang seringkali dijadikan dasar dalam masalah ini adalah hadis yang tidak shahih atau dhaif. Berikut adalah analisis terhadap sanad hadis ini.
Analisis Sumber Hadis “Kitab Allah dan SunahKu”
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” ini tidak terdapat dalam kitab hadis Kutub As Sittah(Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Ibnu Majah, Sunan An Nasa’i, Sunan Abu Dawud, dan Sunan Tirmidzi). Sumber dari Hadis ini adalah Al Muwatta Imam Malik,Mustadrak Ash Shahihain Al Hakim, At TamhidSyarh Al Muwatta Ibnu Abdil Barr,Sunan Baihaqi, Sunan Daruquthni, dan Jami’ As Saghir As Suyuthi. Selain itu hadis ini juga ditemukan dalam kitab-kitab karya Ulama seperti , Al Khatib dalam Al Faqih Al MutafaqqihShawaiq Al Muhriqah Ibnu HajarSirah Ibnu Hisyam, Al Ilma ‘ila Ma’rifah Usul Ar Riwayah wa Taqyid As Sima’ karya Qadhi Iyadh, Al Ihkam Ibnu Hazm danTarikh At Thabari. Dari semua sumber itu ternyata hadis ini diriwayatkan dengan 4 jalur sanad yaitu dari Ibnu Abbas ra, Abu Hurairah ra, Amr bin Awf ra, dan Abu Said Al Khudri ra. Terdapat juga beberapa hadis yang diriwayatkan secara mursal (terputus sanadnya), mengenai hadis mursal ini sudah jelas kedhaifannya.
Hadis ini terbagi menjadi dua yaitu
  1. Hadis yang diriwayatkan dengan sanad yang mursal
  2. Hadis yang diriwayatkan dengan sanad yang muttasil atau bersambung
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” Yang Diriwayatkan Secara Mursal
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” yang diriwayatkan secara mursal ini terdapat dalam kitab Al Muwatta, Sirah Ibnu Hisyam, Sunan Baihaqi, Shawaiq Al Muhriqah, danTarikh At Thabari. Berikut adalah contoh hadisnya
Dalam Al Muwatta jilid I hal 899 no 3
Bahwa Rasulullah SAW bersabda” Wahai Sekalian manusia sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu berpegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitab Allah dan Sunah RasulNya”.
Dalam Al Muwatta hadis ini diriwayatkan Imam Malik tanpa sanad. Malik bin Anas adalah generasi tabiit tabiin yang lahir antara tahun 91H-97H. Jadi paling tidak ada dua perawi yang tidak disebutkan di antara Malik bin Anas dan Rasulullah SAW. Berdasarkan hal ini maka dapat dinyatakan bahwa hadis ini dhaif karena terputus sanadnya.
Dalam Sunan Baihaqi terdapat beberapa hadis mursal mengenai hal ini, diantaranya
Al Baihaqi dengan sanad dari Urwah bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda pada haji wada “ Sesungguhnya Aku telah meninggalkan sesuatu bagimu yang apabila berpegang teguh kepadanya maka kamu tidak akan sesat selamanya yaitu dua perkara Kitab Allah dan Sunnah NabiMu, Wahai umat manusia dengarkanlah olehmu apa yang aku sampaikan kepadamu, maka hiduplah kamu dengan berpegang kepadanya”.
Selain pada Sunan Baihaqi, hadis Urwah ini juga terdapat dalam Miftah Al Jannah hal 29 karya As Suyuthi. Urwah bin Zubair adalah dari generasi tabiin yang lahir tahun 22H, jadi Urwah belum lahir saat Nabi SAW melakukan haji wada oleh karena itu hadis di atas terputus, dan ada satu orang perawi yang tidak disebutkan, bisa dari golongan sahabat dan bisa juga dari golongan tabiin. Singkatnya hadis ini dhaif karena terputus sanadnya.
Al Baihaqi dengan sanad dari Ibnu Wahb yang berkata “Aku telah mendengar Malik bin Anas mengatakan berpegang teguhlah pada sabda Rasulullah SAW pada waktu haji wada yang berbunyi ‘Dua hal Aku tinggalkan bagimu dimana kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah NabiNya”.
Hadis ini tidak berbeza dengan hadis Al Muwatta, karena Malik bin Anas tidak bertemu Rasulullah SAW jadi hadis ini juga dhaif.
Dalam Sirah Ibnu Hisyam jilid 4 hal 185 hadis ini diriwayatkan dari Ibnu Ishaq yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda pada haji wada…..,Disini Ibnu Ishaq tidak menyebutkan sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW oleh karena itu hadis ini tidak dapat dijadikan hujjah. Dalam Tarikh At Thabari jilid 2 hal 205 hadis ini juga diriwayatkan secara mursal melalui Ibnu Ishaq dari Abdullah bin Abi Najih. Jadi kedua hadis ini dhaif. Mungkin ada yang beranggapan karena Sirah Ibnu Hisyam dari Ibnu Ishaq sudah menjadi kitab Sirah yang jadi pegangan oleh jumhur ulama maka adanya hadis itu dalam Sirah Ibnu Hisyam sudah cukup menjadi bukti kebenarannya. Jawaban kami adalah benar bahwa Sirah Ibnu Hisyam menjadi pegangan oleh jumhur ulama, tetapi dalam kitab ini hadis tersebut terputus sanadnya jadi tentu saja dalam hal ini hadis tersebut tidak dapat dijadikan hujjah.
Sebuah Pembelaan dan Kritik
Hafiz Firdaus dalam bukunya Kaidah Memahami Hadis-hadis yang Bercanggah telah membahas hadis dalam Al Muwatta dan menanggapi pernyataan Syaikh Hasan As Saqqaf dalam karyanya Shahih Sifat shalat An Nabiy (dalam kitab ini As Saqqaf telah menyatakan hadis Kitab Allah dan SunahKu ini sebagai hadis yang dhaif ). Sebelumnya berikut akan dituliskan pendapat Hafiz Firdaus tersebut.
Bahwa Rasulullah bersabda “wahai sekalian manusia sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya”
Hadis ini sahih: Dikeluarkan oleh Malik bin Anas dalam al-Muwattha’ – no: 1619 (Kitab al-Jami’, Bab Larangan memastikan Takdir). Berkata Malik apabila mengemukakan riwayat ini: Balghni………bererti “disampaikan kepada aku” (atau dari sudut catatan anak murid beliau sendiri: Dari Malik, disampaikan kepadanya………). Perkataan seperti ini memang khas di zaman awal Islam (sebelum 200H) menandakan bahawa seseorang itu telah menerima sesebuah hadis daripada sejumlah tabi’in, dari sejumlah sahabat dari jalan-jalan yang banyak sehingga tidak perlu disertakan sanadnya. Lebih lanjut lihat Qadi ‘Iyadh Tartib al-Madarik, jld 1, ms 136; Ibn ‘Abd al-Barr al Tamhid, jld 1, ms 34; al-Zarqani Syarh al Muwattha’, jld 4, ms 307 dan Hassath binti ‘Abd al-’Aziz Sagheir Hadis Mursal baina Maqbul wa Mardud, jld 2, ms 456-470.
Hasan ‘Ali al-Saqqaf dalam bukunya Shalat Bersama Nabi SAW (edisi terj. dari Sahih Sifat Solat Nabi), ms 269-275 berkata bahwa hadis ini sebenarnya adalah maudhu’. Isnadnya memiliki perawi yang dituduh pendusta manakala maksudnya tidak disokongi oleh mana-mana dalil lain. Beliau menulis: Sebenarnya hadis yang tsabit dan sahih adalah hadis yang berakhir dengan “wa ahli baiti” (sepertimana Khutbah C – penulis). Sedangkan yang berakhir dengan kata-kata “wa sunnati” (sepertimana Khutbah B) adalah batil dari sisi matan dan sanadnya.
Nampaknya al-Saqqaf telah terburu-buru dalam penilaian ini kerana beliau hanya menyimak beberapa jalan periwayatan dan meninggalkan yang selainnya, terutamanya apa yang terkandung dalam kitab-kitab Musannaf, Mu’jam dan Tarikh (Sejarah). Yang lebih berat adalah beliau telah menepikan begitu sahaja riwayat yang dibawa oleh Malik di dalam kitab al-Muwattha’nya atas alasan ianya adalah tanpa sanad padahal yang benar al-Saqqaf tidak mengenali kaedah-kaedah periwayatan hadis yang khas di sisi Malik bin Anas dan tokoh-tokoh hadis di zamannya.
Kritik kami adalah sebagai berikut, tentang kata-kata hadis riwayat Al Muwatta adalah shahih karena pernyataan Balghni atau “disampaikan kepada aku” dalam hadis riwayat Imam Malik ini adalah khas di zaman awal Islam (sebelum 200H) menandakan bahwa seseorang itu telah menerima sesebuah hadis daripada sejumlah tabi’in, dari sejumlah sahabat dari jalan-jalan yang banyak sehingga tidak perlu disertakan sanadnya. Maka Kami katakan, Kaidah periwayatan hadis dengan pernyataan Balghni atau “disampaikan kepadaku” memang terdapat di zaman Imam Malik. Hal ini juga dapat dilihat dalam Kutub As Sunnah Dirasah Watsiqiyyah oleh Rif’at Fauzi Abdul Muthallib hal 20, terdapat kata kata Hasan Al Bashri
“Jika empat shahabat berkumpul untuk periwayatan sebuah hadis maka saya tidak menyebut lagi nama shahabat”.Ia juga pernah berkata”Jika aku berkata hadatsana maka hadis itu saya terima dari fulan seorang tetapi bila aku berkata qala Rasulullah SAW maka hadis itu saya dengar dari 70 orang shahabat atau lebih”.
Tetapi adalah tidak benar mendakwa suatu hadis sebagai shahih hanya dengan pernyataan “balghni”. Hal ini jelas bertentangan dengan kaidah jumhur ulama tentang persyaratan hadis shahih seperti yang tercantum dalam Muqaddimah Ibnu Shalah fi Ulumul Hadis yaitu
Hadis shahih adalah Hadis yang muttashil (bersambung sanadnya) disampaikan oleh setiap perawi yang adil(terpercaya) lagi dhabit sampai akhir sanadnya dan hadis itu harus bebas dari syadz dan Illat.
Dengan kaidah Inilah as Saqqaf telah menepikan hadis al Muwatta tersebut karena memang hadis tersebut tidak ada sanadnya. Yang aneh justru pernyataan Hafiz yang menyalahkan As Saqqaf dengan kata-kata padahal yang benar al-Saqqaf tidak mengenali kaedah-kaedah periwayatan hadis yang khas di sisi Malik bin Anas dan tokoh-tokoh hadis di zamannya.
Pernyataan Hafiz di atas menunjukan bahwa Malik bin Anas dan tokoh hadis zamannya (sekitar 93H-179H) jika meriwayatkan hadis dengan pernyataan telah disampaikan kepadaku bahwa Rasulullah SAW atau Qala Rasulullah SAW tanpa menyebutkan sanadnya maka hadis tersebut adalah shahih. Pernyataan ini jelas aneh dan bertentangan dengan kaidah jumhur ulama hadis. Sekali lagi hadis itu mursal atau terputus dan hadis mursal tidak bisa dijadikan hujjah karena kemungkinan dhaifnya. Karena bisa jadi perawi yang terputus itu adalah seorang tabiin yang bisa jadi dhaif atau tsiqat, jika tabiin itu tsiqatpun dia kemungkinan mendengar dari tabiin lain yang bisa jadi dhaif atau tsiqat dan seterusnya kemungkinan seperti itu tidak akan habis-habis. Sungguh sangat tidak mungkin mendakwa hadis mursal sebagai shahih “Hanya karena terdapat dalam Al Muwatta Imam Malik”.
Hal yang kami jelaskan itu juga terdapat dalam Ilmu Mushthalah Hadis oleh A Qadir Hassan hal 109 yang mengutip pernyataan Ibnu Hajar yang menunjukkan tidak boleh menjadikan hadis mursal sebagai hujjah, Ibnu Hajar berkata
”Boleh jadi yang gugur itu shahabat tetapi boleh jadi juga seorang tabiin .Kalau kita berpegang bahwa yang gugur itu seorang tabiin boleh jadi tabiin itu seorang yang lemah tetapi boleh jadi seorang kepercayaan. Kalau kita andaikan dia seorang kepercayaan maka boleh jadi pula ia menerima riwayat itu dari seorang shahabat, tetapi boleh juga dari seorang tabiin lain”.
Lihat baik-baik walaupun yang meriwayatkan hadis mursal itu adalah tabiin tetap saja dinyatakan dhaif apalagi Malik bin Anas yang seorang tabiit tabiin maka akan jauh lebih banyak kemungkinan dhaifnya. Pernyataan yang benar tentang hadis mursal Al Muwatta adalah hadis tersebut shahih jika terdapat hadis lain yang bersambung dan shahih sanadnya yang menguatkan hadis mursal tersebut di kitab-kitab lain. Jadi adalah kekeliruan menjadikan hadis mursal shahih hanya karena terdapat dalam Al Muwatta.
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” Yang Diriwayatkan Dengan Sanad Yang Bersambung.
Telah dinyatakan sebelumnya bahwa dari sumber-sumber yang ada ternyata ada 4 jalan sanad hadis “Kitab Allah dan SunahKu”. 4 jalan sanad itu adalah
1. Jalur Ibnu Abbas ra
2. Jalur Abu Hurairah ra
3. Jalur Amr bin Awf ra
4. Jalur Abu Said Al Khudri ra
Jalan Sanad Ibnu Abbas
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Ibnu Abbas dapat ditemukan dalam Kitab Al Mustadrak Al Hakim jilid I hal 93 dan Sunan Baihaqi juz 10 hal 4 yang pada dasarnya juga mengutip dari Al Mustadrak. Dalam kitab-kitab ini sanad hadis itu dari jalan Ibnu Abi Uwais dari Ayahnya dari Tsaur bin Zaid Al Daily dari Ikrimah dari Ibnu Abbas
bahwa Rasulullah SAW bersabda “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah RasulNya”.
Hadis ini adalah hadis yang dhaif karena terdapat kelemahan pada dua orang perawinya yaitu Ibnu Abi Uwais dan Ayahnya.
1. Ibnu Abi Uwais
  • Dalam kitab Tahdzib Al Kamal karya Al Hafiz Ibnu Zakki Al Mizzy jilid III hal 127 mengenai biografi Ibnu Abi Uwais terdapat perkataan orang yang mencelanya, diantaranya Berkata Muawiyah bin Salih dari Yahya bin Mu’in “Abu Uwais dan putranya itu keduanya dhaif(lemah)”. Dari Yahya bin Mu’in bahwa Ibnu Abi Uwais dan ayahnya suka mencuri hadis, suka mengacaukan(hafalan) hadis atau mukhallith dan suka berbohong.Menurut Abu Hatim Ibnu Abi Uwais itu mahalluhu ash shidq atau tempat kejujuran tetapi dia terbukti lengah. An Nasa’i menilai Ibnu Abi Uwais dhaif dan tidak tsiqah. Menurut Abu Al Qasim Al Alkaiy “An Nasa’i sangat jelek menilainya (Ibnu Abi Uwais) sampai ke derajat matruk(ditinggalkan hadisnya)”. Ahmad bin Ady berkata “Ibnu Abi Uwais itu meriwayatkan dari pamannya Malik beberapa hadis gharib yang tidak diikuti oleh seorangpun.”
  • Dalam Muqaddimah Al Fath Al Bary halaman 391 terbitan Dar Al Ma’rifah, Al Hafiz Ibnu Hajar mengenai Ibnu Abi Uwais berkata ”Atas dasar itu hadis dia (Ibnu Abi Uwais) tidak dapat dijadikan hujjah selain yang terdapat dalam As Shahih karena celaan yang dilakukan Imam Nasa’i dan lain-lain”.
  • Dalam Fath Al Mulk Al Aly halaman 15, Al Hafiz Sayyid Ahmad bin Shiddiq mengatakan “berkata Salamah bin Syabib Aku pernah mendengar Ismail bin Abi Uwais mengatakan “mungkin aku membuat hadis untuk penduduk madinah jika mereka berselisih pendapat mengenai sesuatu di antara mereka”.
Jadi Ibnu Abi Uwais adalah perawi yang tertuduh dhaif, tidak tsiqat, pembohong, matruk dan dituduh suka membuat hadis. Ada sebagian orang yang membela Ibnu Abi Uwais dengan mengatakan bahwa dia adalah salah satu Rijal atau perawi Shahih Bukhari oleh karena itu hadisnya bisa dijadikan hujjah. Pernyataan ini jelas tertolak karena Bukhari memang berhujjah dengan hadis Ismail bin Abi Uwais tetapi telah dipastikan bahwa Ibnu Abi Uwais adalah perawi Bukhari yang diperselisihkan oleh para ulama hadis. Seperti penjelasan di atas terdapat jarh atau celaan yang jelas oleh ulama hadis seperti Yahya bin Mu’in, An Nasa’i dan lain-lain. Dalam prinsip Ilmu Jarh wat Ta’dil celaan yang jelas didahulukan dari pujian(ta’dil). Oleh karenanya hadis Ibnu Abi Uwais tidak bisa dijadikan hujjah. Mengenai hadis Bukhari dari Ibnu Abi Uwais, hadis-hadis tersebut memiliki mutaba’ah atau pendukung dari riwayat-riwayat lain sehingga hadis tersebut tetap dinyatakan shahih. Lihat penjelasan Al Hafiz Ibnu Hajar dalam Al Fath Al Bary Syarh Shahih Bukhari, Beliau mengatakan bahwa hadis Ibnu Abi Uwais selain dalam As Shahih(Bukhari dan Muslim) tidak bisa dijadikan hujjah. Dan hadis yang dibicarakan ini tidak terdapat dalam kedua kitab Shahih tersebut, hadis ini terdapat dalam Mustadrak dan Sunan Baihaqi.
2. Abu Uwais
  • Dalam kitab Al Jarh Wa At Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim jilid V hal 92, Ibnu Abi Hatim menukil dari ayahnya Abu Hatim Ar Razy yang berkata mengenai Abu Uwais “Ditulis hadisnya tetapi tidak dapat dijadikan hujjah dan dia tidak kuat”.Ibnu Abi Hatim menukil dari Yahya bin Mu’in yang berkata “Abu Uwais tidak tsiqah”.
  • Dalam kitab Tahdzib Al Kamal karya Al Hafiz Ibnu Zakki Al Mizzy jilid III hal 127 Berkata Muawiyah bin Salih dari Yahya bin Mu’in “Abu Uwais dan putranya itu keduanya dhaif(lemah)”. Dari Yahya bin Mu’in bahwa Ibnu Abi Uwais dan ayahnya(Abu Uwais) suka mencuri hadis, suka mengacaukan(hafalan) hadis atau mukhallith dan suka berbohong.
Dalam Al Mustadrak jilid I hal 93, Al Hakim tidak menshahihkan hadis ini. Beliau mendiamkannya dan mencari syahid atau penguat bagi hadis tersebut, Beliau berkata”Saya telah menemukan syahid atau saksi penguat bagi hadis tersebut dari hadis Abu Hurairah ra”. Mengenai hadis Abu Hurairah ra ini akan dibahas nanti, yang penting dari pernyataan itu secara tidak langsung Al Hakim mengakui kedhaifan hadis Ibnu Abbas tersebut oleh karena itu beliau mencari syahid penguat untuk hadis tersebut .Setelah melihat kedudukan kedua perawi hadis Ibnu Abbas tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hadis ”Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Ibnu Abbas adalah dhaif.
Jalan Sanad Abu Hurairah ra
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad Abu Hurairah ra terdapat dalam Al Mustadrak Al Hakim jilid I hal 93, Sunan Al Kubra Baihaqi juz 10, Sunan DaruquthniIV hal 245, Jami’ As Saghir As Suyuthi(no 3923), Al Khatib dalam Al Faqih Al Mutafaqqih jilid I hal 94, At Tamhid XXIV hal 331 Ibnu Abdil Barr, dan Al Ihkam VI hal 243 Ibnu Hazm.
Jalan sanad hadis Abu Hurairah ra adalah sebagi berikut, diriwayatkan melalui Al Dhaby yang berkata telah menghadiskan kepada kami Shalih bin Musa At Thalhy dari Abdul Aziz bin Rafi’dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ra
bahwa Rasulullah SAW bersabda “Bahwa Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan SunahKu.Keduanya tidak akan berpisah hingga menemuiKu di Al Haudh”.
Hadis di atas adalah hadis yang dhaif karena dalam sanadnya terdapat perawi yang tidak bisa dijadikan hujjah yaitu Shalih bin Musa At Thalhy.
  • Dalam Kitab Tahdzib Al Kamal ( XIII hal 96) berkata Yahya bin Muin bahwa riwayat hadis Shalih bin Musa bukan apa-apa. Abu Hatim Ar Razy berkatahadis Shalih bin Musa dhaif. Imam Nasa’i berkata hadis Shalih bin Musa tidak perlu ditulis dan dia itu matruk al hadis(ditinggalkan hadisnya).
  • Al Hafiz Ibnu Hajar Al Asqalany dalam kitabnya Tahdzib At Tahdzib IV hal 355 menyebutkan Ibnu Hibban berkata bahwa Shalih bin Musa meriwayatkan dari tsiqat apa yang tidak menyerupai hadis itsbat(yang kuat) sehingga yang mendengarkannya bersaksi bahwa riwayat tersebut ma’mulah (diamalkan) atau maqbulah (diterima) tetapi tidak dapat dipakai untuk berhujjah. Abu Nu’aim berkata Shalih bin Musa itu matruk Al Hadis sering meriwayatkan hadis mungkar.
  • Dalam At Taqrib (Tarjamah :2891) Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqallany menyatakan bahwa Shalih bin Musa adalah perawi yang matruk(harus ditinggalkan).
  • Al Dzahaby dalam Al Kasyif (2412) menyebutkan bahwa Shalih bin Musa itu wahin (lemah).
  • Dalam Al Qaulul Fashl jilid 2 hal 306 Sayyid Alwi bin Thahir ketika mengomentari Shalih bin Musa, beliau menyatakan bahwa Imam Bukhari berkata”Shalih bin Musa adalah perawi yang membawa hadis-hadis mungkar”.
Kalau melihat jarh atau celaan para ulama terhadap Shalih bin Musa tersebut maka dapat dinyatakan bahwa hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan sanad dari Abu Hurairah ra di atas adalah hadis yang dhaif. Adalah hal yang aneh ternyata As Suyuthi dalam Jami’ As Saghir menyatakan hadis tersebut hasan, Al Hafiz Al Manawi menshahihkannya dalam Faidhul Qhadir Syarah Al Jami’Ash Shaghir dan Al Albani juga telah memasukkan hadis ini dalamShahih Jami’ As Saghir. Begitu pula yang dinyatakan oleh Al Khatib dan Ibnu Hazm. Menurut kami penshahihan hadis tersebut tidak benar karena dalam sanad hadis tersebut terdapat cacat yang jelas pada perawinya, Bagaimana mungkin hadis tersebut shahih jika dalam sanadnya terdapat perawi yang matruk, mungkar al hadis dan tidak bisa dijadikan hujjah. Nyata sekali bahwa ulama-ulama yang menshahihkan hadis ini telah bertindak longgar(tasahul) dalam masalah ini.
Mengapa para ulama itu bersikap tasahul dalam penetapan kedudukan hadis ini?. Hal ini mungkin karena matan hadis tersebut adalah hal yang tidak perlu dipermasalahkan lagi. Tetapi menurut kami matan hadis tersebut yang benar dan shahih adalah dengan matan hadis yang sama redaksinya hanya perbedaan pada“Kitab Allah dan SunahKu” menjadi “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu”. Hadis dengan matan seperti ini salah satunya terdapat dalam Shahih Sunan Tirmidzi no 3786 & 3788 yang dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi.Kalau dibandingkan antara hadis ini dengan hadis Abu Hurairah ra di atas dapat dipastikan bahwa hadis Shahih Sunan Tirmidzi ini jauh lebih shahih kedudukannya karena semua perawinya tsiqat. Sedangkan hadis Abu Hurairah ra di atas terdapat cacat pada salah satu perawinya yaitu Shalih bin Musa At Thalhy.
Adz Dzahabi dalam Al Mizan Al I’tidal jilid II hal 302 berkata bahwa hadis Shalih bin Musa tersebut termasuk dari kemunkaran yang dilakukannya.Selain itu hadis riwayat Abu Hurairah ini dinyatakan dhaif oleh Hasan As Saqqaf dalam Shahih Sifat Shalat An Nabiy setelah beliau mengkritik Shalih bin Musa salah satu perawi hadis tersebut. Jadi pendapat yang benar dalam masalah ini adalah hadis riwayat Abu Hurairah tersebut adalah dhaif sedangkan pernyataan As Suyuthi, Al Manawi, Al Albani dan yang lain bahwa hadis tersebut shahih adalah keliru karena dalam rangkaian sanadnya terdapat perawi yang sangat jelas cacatnya sehingga tidak mungkin bisa dikatakan shahih.
Jalan Sanad Amr bin Awf ra
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Amr bin Awf terdapat dalam kitab At Tamhid XXIV hal 331 Ibnu Abdil Barr. Telah menghadiskan kepada kami Abdurrahman bin Yahya, dia berkata telah menghadiskan kepada kami Ahmad bin Sa’id, dia berkata telah menghadiskan kepada kami Muhammad bin Ibrahim Al Daibaly, dia berkata telah menghadiskan kepada kami Ali bin Zaid Al Faridhy, dia berkata telah menghadiskan kepada kami Al Haniny dari Katsir bin Abdullah bin Amr bin Awf dari ayahnya dari kakeknya
Bahwa Rasulullah bersabda “wahai sekalian manusia sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya.

Hadis ini adalah hadis yang dhaif karena dalam sanadnya terdapat cacat pada perawinya yaitu Katsir bin Abdullah .
  • Dalam Mizan Al Itidal (biografi Katsir bin Abdullah no 6943) karya Adz Dzahabi terdapat celaan pada Katsir bin Abdullah. Menurut Daruquthni Katsir bin Abdullah adalah matruk al hadis(ditinggalkan hadisnya). Abu Hatim menilai Katsir bin Abdullah tidak kuat. An Nasa’i menilai Katsir bin Abdullah tidak tsiqah.
  • Dalam At Taqrib at Tahdzib, Ibnu Hajar menyatakan Katsir bin Abdullah dhaif.
  • Dalam Al Kasyf Adz Dzahaby menilai Katsir bin Abdullah wahin(lemah).
  • Dalam Al Majruhin Ibnu Hibban juz 2 hal 221, Ibnu Hibban berkata tentang Katsir bin Abdullah “Hadisnya sangat mungkar” dan “Dia meriwayatkan hadis-hadis palsu dari ayahnya dari kakeknya yang tidak pantas disebutkan dalam kitab-kitab maupun periwayatan”
  • Dalam Al Majruhin Ibnu Hibban juz 2 hal 221, Yahya bin Main berkata “Katsir lemah hadisnya”
  • Dalam Kitab Al Jarh Wat Ta’dil biografi no 858, Abu Zur’ah berkata “Hadisnya tidak ada apa-apanya, dia tidak kuat hafalannya”.
  • Dalam Adh Dhu’afa Al Kabir Al Uqaili (no 1555), Mutharrif bin Abdillah berkata tentang Katsir “Dia orang yang banyak permusuhannya dan tidak seorangpun sahabat kami yang mengambil hadis darinya”.
  • Dalam Al Kamil Fi Dhu’afa Ar Rijal karya Ibnu Adi juz 6 hal 63Ibnu Adi berkata perihal Katsir “Dan kebanyakan hadis yang diriwayatkannya tidak bisa dijadikan pegangan”.
  • Dalam Al Kamil Fi Dhu’afa Ar Rijal karya Ibnu Adi juz 6 hal 63, Abu Khaitsamah berkata “Ahmad bin Hanbal berkata kepadaku : jangan sedikitpun engkau meriwayatkan hadis dari Katsir bin Abdullah”.
  • Dalam Ad Dhu’afa Wal Matrukin Ibnu Jauzi juz III hal 24 terdapat perkataan Imam Syafii perihal Katsir bin Abdullah “Katsir bin Abdullah Al Muzanni adalah satu pilar dari berbagai pilar kedustaan”
Jadi hadis Amr bin Awf ini sangat jelas kedhaifannya karena dalam sanadnya terdapat perawi yang matruk, dhaif atau tidak tsiqah dan pendusta.
Jalur Abu Said Al Khudri ra
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Abu Said Al Khudri ra terdapat dalam Al Faqih Al Mutafaqqih jilid I hal 94 karya Al Khatib Baghdadi dan Al Ilma ‘ila Ma’rifah Usul Ar Riwayah wa Taqyid As Sima’ karya Qadhi Iyadh dengan sanad dari Saif bin Umar dari Ibnu Ishaq Al Asadi dari Shabbat bin Muhammad dari Abu Hazm dari Abu Said Al Khudri ra.
Dalam rangkaian perawi ini terdapat perawi yang benar-benar dhaif yaitu Saif bin Umar At Tamimi.
  • Dalam Mizan Al I’tidal no 3637 Yahya bin Mu’in berkata “Saif daif dan riwayatnya tidak kuat”.
  • Dalam Ad Dhu’afa Al Matrukin no 256, An Nasa’i mengatakan kalau Saif bin Umar adalah dhaif.
  • Dalam Al Majruhin no 443 Ibnu Hibban mengatakan Saif merujukkan hadis-hadis palsu pada perawi yang tsabit, ia seorang yang tertuduh zindiq dan seorang pemalsu hadis.
  • Dalam Ad Dhu’afa Abu Nu’aim no 95, Abu Nu’aim mengatakan kalau Saif bin Umar adalah orang yang tertuduh zindiq, riwayatnya jatuh dan bukan apa-apanya.
  • Dalam Tahzib At Tahzib juz 4 no 517 Abu Dawud berkata kalau Saif bukan apa-apa, Abu Hatim berkata “ia matruk”, Ad Daruquthni menyatakannya dhaif dan matruk. Al Hakim mengatakan kalau Saif tertuduh zindiq dan riwayatnya jatuh. Ibnu Adi mengatakan kalau hadisnya dikenal munkar dan tidak diikuti seorangpun.

Jadi jelas sekali kalau hadis Abu Said Al Khudri ra ini adalah hadis yang dhaif karena kedudukan Saif bin Umar yang dhaif di mata para ulama.
Hadis Tersebut Dhaif
Dari semua pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa hadis “Kitab Allah dan SunahKu” ini adalah hadis yang dhaif. Sebelum mengakhiri tulisan ini akan dibahas terlebih dahulu pernyataan Ali As Salus dalam Al Imamah wal Khilafah yang menyatakan shahihnya hadis “Kitab Allah Dan SunahKu”.
Ali As Salus menyatakan bahwa hadis riwayat Imam Malik adalah shahih walaupun dalam Al Muwatta hadis ini mursal. Beliau menyatakan bahwa hadis ini dikuatkan oleh hadis Abu Hurairah yang telah dishahihkan oleh As Suyuthi,Al Manawi dan Al Albani. Selain itu hadis mursal dalam Al Muwatta adalah shahih menurutnya dengan mengutip pernyataan Ibnu Abdil Barr yang menyatakan bahwa semua hadis mursal Imam Malik adalah shahih dan pernyataan As Suyuthi bahwa semua hadis mursal dalam Al Muwatta memiliki sanad yang bersambung yang menguatkannya dalam kitab-kitab lain.
Tanggapan Terhadap Ali As Salus
Pernyataan pertama bahwa hadis Malik bin Anas dalam Al Muwatta adalah shahih walaupun mursal adalah tidak benar. Hal ini telah dijelaskan dalam tanggapan kami terhadap Hafiz Firdaus bahwa hadis mursal tidak bisa langsung dinyatakan shahih kecuali terdapat hadis shahih(bersambung sanadnya) lain yang menguatkannya. Dan kenyataannya hadis yang jadi penguat hadis mursal Al Muwatta ini adalah tidak shahih. Pernyataan  Ali As Salus selanjutnya bahwa hadis ini dikuatkan oleh hadis Abu Hurairah ra adalah tidak tepat karena seperti yang sudah dijelaskan, dalam sanad hadis Abu Hurairah ra ada Shalih bin Musa yang tidak dapat dijadikan hujjah.
Ali As Salus menyatakan bahwa hadis mursal Al Muwatta shahih berdasarkan
  • Pernyataan Ibnu Abdil Barr yang menyatakan bahwa semua hadis mursal Imam Malik adalah shahih dan
  • Pernyataan As Suyuthi bahwa semua hadis mursal dalam Al Muwatta memiliki sanad yang bersambung yang menguatkannya dalam kitab-kitab lain.
Mengenai pernyataan Ibnu Abdil Barr tersebut, jelas itu adalah pendapatnya sendiri dan mengenai hadis “Kitab Allah dan SunahKu” yang mursal dalam Al Muwatta Ibnu Abdil Barr telah mencari sanad hadis ini dan memuatnya dalam kitabnya At Tamhid dan beliau menshahihkannya. Setelah dilihat ternyata hadis dalam At Tamhid tersebut tidaklah shahih karena cacat yang jelas pada perawinya.
Begitu pula pernyataan As Suyuthi yang dikutip Ali As Salus di atas itu adalah pendapat beliau sendiri dan As Suyuthi telah menjadikan hadis Abu Hurairah ra sebagai syahid atau pendukung hadis mursal Al Muwatta seperti yang beliau nyatakan dalam Jami’ As Saghir dan beliau menyatakan hadis tersebut hasan. Setelah ditelaah ternyata hadis Abu Hurairah ra itu adalah dhaif. Jadi Kesimpulannya tetap saja hadis “Kitab Allah dan SunahKu” adalah hadis yang dhaif.
Salah satu bukti bahwa tidak semua hadis mursal Al Muwatta shahih adalah apa yang dikemukakan oleh Syaikh Al Albani dalam Silisilatul Al Hadits Adh Dhaifah Wal Maudhuah hadis no 908
Nabi Isa pernah bersabda”Janganlah kalian banyak bicara tanpa menyebut Allah karena hati kalian akan mengeras.Hati yang keras jauh dari Allah namun kalian tidak mengetahuinya.Dan janganlah kalian mengamati dosa-dosa orang lain seolah-olah kalian Tuhan,akan tetapi amatilah dosa-dosa kalian seolah kalian itu hamba. Sesungguhnya setiap manusia itu diuji dan selamat maka kasihanilah orang-orang yang tengah tertimpa malapetaka dan bertahmidlah kepada Allah atas keselamatan kalian”.
Riwayat ini dikemukakan Imam Malik dalam Al Muwatta jilid II hal 986 tanpa sanad yang pasti tetapi Imam Malik menempatkannya dalam deretan riwayat–riwayat yang muttashil(bersambung) atau marfu’ sanadnya sampai ke Rasulullah SAW.
Syaikh Al Albani berkata tentang hadis ini
”Sekali lagi saya tegaskan memarfu’kan riwayat ini sampai kepada Nabi adalah kesalahan yang menyesatkan dan tidak syak lagi merupakan kedustaan yang nyata-nyata dinisbatkan kepada beliau padahal beliau terbebas darinya”.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Syaikh Al Albani tidaklah langsung menyatakan bahwa hadis ini shahih hanya karena Imam Malik menempatkannya dalam deretan riwayat–riwayat yang muttashil atau marfu’ sanadnya sampai ke Rasulullah SAW. Justru Syaikh Al Albani menyatakan bahwa memarfu’kan hadis ini adalah kedustaan atau kesalahan yang menyesatkan karena berdasarkan penelitian beliau tidak ada sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW mengenai hadis ini.
Yang Aneh adalah pernyataan Ali As Salus dalam Imamah Wal Khilafah yang menyatakan bahwa hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” adalah dhaif dan yang shahih adalah hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu”. Hal ini jelas sangat tidak benar karena hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu”sanad-sanadnya tidak shahih seperti yang sudah dijelaskan dalam pembahasan di atas. Sedangkan hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” adalah hadis yang diriwayatkan banyak shahabat dan sanadnya jauh lebih kuat dari hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu”.
Jadi kalau hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu” dinyatakan shahih maka hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” akan jadi jauh lebih shahih. Ali As Salus dalam Imamah wal Khilafah telah membandingkan kedua hadis tersebut dengan metod yang tidak berimbang. Untuk hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” beliau mengkritik habis-habisan bahkan dengan kritik yang tidak benar sedangkan untuk hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu” beliau bertindak longgar(tasahul) dan berhujjah dengan pernyataan ulama lain yang juga telah memudahkan dalam penshahihan hadis tersebut. 
Wallahu’alam.
HADITS sunni :
.
TAFSIR
Versi  syi’ah, didalam  ALQURAN tidak ada satupun ayat  yang menyatakan  “sahabat Nabi  SAW yang  menentang imamah Ali  dijamin surga !!”
Tidakkah anda heran kenapa kitab kitab hadis sunni edisi lengkap sengaja disembunyikan ???
Datanglah ke pesantren , adakah barang tersebut ???
Tidakkah anda heran kenapa kitab kitab hadis banyak diedit dan diringkas ???
Tidakkkah anda heran kenapa banyak hadis disembunyikan ulama ??
Sehingga anda terkejut kejut, kok hadis ini ada padahal dulu tidak dinamppakkan para ustad..
Motifnya : motif politik agar mazhab sunni tetap tegak…
Jika kitab hadis beredar sesuai asli, maka akan nampak kontradiksi dan pertentangan antar hadis
Jika kitab hadis beredar sesuai asli, maka akan nampak  kebenaran syi’ah..
Ini bukan fitnah apalagi provokasi
Kedudukan Hadis “Imam Ali Pemimpin Bagi Setiap Mukmin Sepeninggal Nabi SAW”

Diriwayatkan dengan berbagai jalan yang shahih dan hasan bahwa Rasulullah SAW bersabda kalau Imam Ali adalah Pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggal Beliau SAW. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imran bin Hushain RA, Buraidah RA, Ibnu Abbas RA dan Wahab bin Hamzah RA. Rasulullah SAW bersabda
إن عليا مني وأنا منه وهو ولي كل مؤمن بعدي
Ali dari Ku dan Aku darinya dan Ia adalah Pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggalKu.

.
Takhrij Hadis
Hadis di atas adalah lafaz riwayat Imran bin Hushain RA. Disebutkan dalam Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 1/111 no 829, Sunan Tirmidzi 5/296, Sunan An Nasa’i 5/132 no 8474, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 7/504, Musnad Abu Ya’la 1/293 no 355, Shahih Ibnu Hibban 15/373 no 6929, Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 18/128, dan As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1187. Semuanya dengan jalan sanad yang berujung pada Ja’far bin Sulaiman dari Yazid Ar Risyk dari Mutharrif bin Abdullah bin Syikhkhir Al Harasy dari Imran bin Hushain RA. Berikut sanad Abu Dawud
حدثنا جعفر بن سليمان الضبعي ، حدثنا يزيد الرشك ، عن مطرف بن عبد الله بن الشخير ، عن عمران بن حصين
Telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Sulaiman Ad Dhuba’iy  yang berkata telah menceritakan kepada kami Yazid Ar Risyk dari Mutharrif bin Abdullah bin Syikhkhir dari Imran bin Hushain-alhadis- [Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi no 829]
Hadis Imran bin Hushain ini sanadnya shahih karena para perawinya tsiqat
  • Ja’far bin Sulaiman Adh Dhuba’iy adalah seorang yang tsiqat. Ja’far adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, Ibnu Madini dan Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat. Ahmad bin Hanbal berkata “tidak ada masalah padanya”. Abu Ahmad mengatakan kalau Ja’far hadisnya baik, ia memiliki banyak riwayat dan hadisnya hasan [At Tahdzib juz 2 no 145]. Al Ajli menyatakan Ja’far bin Sulaiman tsiqat [Ma’rifat Ats Tsiqat no 221]. Ibnu Syahin juga memasukkannya sebagai perawi tsiqat [Tarikh Asma Ats Tsiqat no 166]. Kelemahan yang dinisbatkan kepada Ja’far adalah ia bertasayyyu’ tetapi telah ma’ruf diketahui bahwa tasyayyu’ Ja’far dikarenakan ia banyak meriwayatkan hadis-hadis keutamaan Ahlul Bait. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq tasyayyu’ [At Taqrib 1/162]. Adz Dzahabi menyatakan Ja’far bin Sulaiman tsiqat [Al Kasyf no 729]
  • Yazid Ar Risyk adalah Yazid bin Abi Yazid Adh Dhuba’iy seorang yang tsiqat perawi kutubus sittah. Tirmidzi, Abu Hatim, Abu Zar’ah, Ibnu Hibban dan Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqah. Ahmad bin Hanbal menyatakan ia “shalih al hadis”.[At Tahdzib juz 11 no 616]. Disebutkan kalau Ibnu Ma’in mendhaifkannya tetapi hal ini keliru karena telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih kalau Ibnu Ma’in justru menta’dilkannya. Ibnu Abi Hatim menukil Ad Dawri dari Ibnu Ma’in yang menyatakan Yazid “shalih” dan menukil Abu Bakar bin Abi Khaitsamah dari Ibnu Main yang menyatakan Yazid “laisa bihi ba’sun”. perkataan ini berarti perawi tersebut tsiqah menurut Ibnu Ma’in. [Al Jarh Wat Ta’dil 9/298 no 1268].
  • Mutharrif bin Abdullah adalah tabiin tsiqah perawi kutubus sittah. Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqah. Al Ajli mengatakan ia tsiqah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqah. [At Tahdzib juz 10 no 326]. Ibnu Hajar menyatakan Mutharrif bin Abdullah tsiqah [At Taqrib 2/188].
Hadis Imran bin Hushain di atas jelas sekali diriwayatkan oleh perawi tsiqah dan shahih sesuai dengan syarat Imam Muslim. Ja’far bin Sulaiman adalah perawi Muslim dan yang lainnya adalah perawi Bukhari dan Muslim. Ibnu Hajar menyatakan sanad hadis ini kuat dalam kitabnya Al Ishabah 4/569. Syaikh Al Albani menyatakan hadis ini shahih [Zhilal Al Jannah Takhrij As Sunnah no 1187]. Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan hadis ini sanadnya kuat [Shahih Ibnu Hibban no 6929]. Syaikh Husain Salim Asad menyatakan hadis ini para perawinya perawi shahih [Musnad Abu Ya’la no 355]
Selain riwayat Imran bin Hushain, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Buraidah RA. Hadis Buraidah disebutkan dalam Musnad Ahmad 5/356 no 22908[tahqiq Ahmad Syakir dan Hamzah Zain], Sunan Nasa’i 5/132 no 8475, Tarikh Ibnu Asakir 42/189 dengan jalan sanad yang berujung pada Ajlah Al Kindi dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya. Berikut sanad riwayat Ahmad
ثنا بن نمير حدثني أجلح الكندي عن عبد الله بن بريدة عن أبيه بريدة قال
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair yang berkata telah menceritakan kepadaku Ajlah Al Kindi dari Abdullah bin Buraidah dari Ayahnya Buraidah yang berkata-hadis marfu’-[Musnad Ahmad 5/356 no 22908]

Hadis Buraidah ini sanadnya hasan karena diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah yaitu Ibnu Numair dan Abdullah bin Buraidah dan perawi yang hasan yaitu Ajlah Al Kindi.
  • Ibnu Numair adalah Abdullah bin Numair Al Hamdani adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqah. Ibnu Ma’in, Ibnu Hibban, Al Ajli dan Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqah. [At Tahdzib juz 6 no 110]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/542]. Adz Dzahabi menyatakan ia hujjah [Al Kasyf no 3024]
  • Ajlah Al Kindi adalah seorang yang shaduq. Ibnu Main dan Al Ajli menyatakan ia tsiqat. Amru bin Ali menyatakan ia seorang yang shaduq dan hadisnya lurus. Ibnu Ady berkata “ia memiliki hadis-hadis yang shalih, telah meriwayatkan darinya penduduk  kufah dan yang lainnya, tidak memiliki riwayat mungkar baik dari segi sanad maupun matan tetapi dia seorang syiah kufah, disisiku ia seorang yang shaduq dan hadisnya lurus”. Yaqub bin Sufyan menyatakan ia tsiqat tetapi ada kelemahan dalam hadisnya. Diantara yang melemahkannya adalah Ibnu Sa’ad, Abu Hatim, Abu Dawud dan An Nasa’i. [At Tahdzib juz 1 no 353]. Abu Hatim dan An Nasa’i menyatakan ia “tidak kuat” dimana perkataan ini bisa berarti seorang yang hadisnya hasan apalagi dikenal kalau Abu Hatim dan Nasa’i termasuk ulama yang ketat dalam menjarh. Ibnu Sa’ad dan Abu Dawud menyatakan ia dhaif tanpa menyebutkan alasannya sehingga jarhnya adalah jarh mubham. Tentu saja jarh mubham tidak berpengaruh pada mereka yang telah mendapat predikat tsiqat dari ulama yang mu’tabar. Ibnu Hajar menyatakan ia seorang syiah yang shaduq [At Taqrib 1/72]. Adz Dzahabi juga menyatakan Ajlah seorang yang shaduq [Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatstsaq no 13]. Bagi kami ia seorang yang tsiqah atau shaduq, Bukhari telah menyebutkan biografinya tanpa menyebutkan cacatnya [Tarikh Al Kabir juz 2 no 1711]. Hal ini menunjukkan kalau jarh terhadap Ajlah tidaklah benar dan hanya dikarenakan sikap tasyayyu’ yang ada padanya.
  • Abdullah bin Buraidah adalah seorang tabiin yang tsiqah. Ibnu Ma’in, Al Ajli dan Abu Hatim menyatakan ia tsiqat. Ibnu Kharasy menyatakan ia shaduq [At Tahdzib juz 5 no 270]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/480] dan Adz Dzahabi juga menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 2644].
Sudah jelas hadis Buraidah ini adalah hadis hasan yang naik derajatnya menjadi shahih dengan penguat hadis-hadis yang lain. Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadis Buraidah ini sanadnya jayyid [Zhilal Al Jannah Takhrij As Sunnah no 1187].
Selain Imran bin Hushain dan Buraidah, hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dengan sanad yang shahih. Riwayat Ibnu Abbas disebutkan dalam Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 1/360 no 2752, Tarikh Ibnu Asakir 42/199, dan Tarikh Ibnu Asakir 42/201, Musnad Ahmad 1/330 no 3062, Al Mustadrak 3/143 no 4652, As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1188, dan Mu’jam Al Kabir 12/77. Berikut sanad riwayat Abu Dawud
حدثنا أبو عوانة عن أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن بن عباس ان رسول الله صلى الله عليه و سلم
Telah menceritakan kepada kami Abu Awanah dari Abi Balj dari Amru bin Maimun dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda [Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi no 2752]
Hadis Ibnu Abbas ini sanadnya shahih dan diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat.
  • Abu Awanah adalah Wadhdhah bin Abdullah Al Yasykuri seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat. Abu Hatim, Abu Zar’ah, Ahmad, Ibnu Sa’ad, Ibnu Abdil Barr menyatakan ia tsiqat. [At Tahdzib juz 11 no 204]. Al Ajli menyatakan ia tsiqah [Ma’rifat Ats Tsiqat no 1937].Ibnu Hajar menyatakan Abu Awanah tsiqat tsabit [At Taqrib 2/283] dan Adz Dzahabi juga menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 6049].
  • Abu Balj adalah Yahya bin Sulaim seorang perawi Ashabus Sunan yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, Nasa’i dan Daruquthni menyatakan ia tsiqat. Abu Fath Al Azdi menyatakan ia tsiqat. Abu Hatim berkata “shalih laba’sa bihi”. Yaqub bin Sufyan berkata “tidak ada masalah padanya”. Al Bukhari berkata “fihi nazhar” atau perlu diteliti lagi hadisnya. [At Tahdzib juz 12 no 184]. Perkataan Bukhari ini tidaklah tsabit karena ia sendiri telah menuliskan biografi Abu Balj tanpa menyebutkan cacatnya bahkan dia menegaskan kalau Syu’bah meriwayatkan dari Abu Balj [Tarikh Al Kabir juz 8 no 2996]. Hal ini berarti Syu’bah menyatakan Abu Balj tsiqat karena ia tidak meriwayatkan kecuali dari perawi yang tsiqat. Ibnu Abdil Barr dan Ibnu Jauzi menyatakan bahwa Ibnu Main mendhaifkan Abu Balj [At Tahdzib juz 12 no 184]. Tentu saja perkataan ini tidak benar karena telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ishaq bin Mansur kalau Ibnu Ma’in justru menyatakan Abu Balj tsiqat [Al Jarh Wat Ta’dil 9/153 no 634]. Kesimpulannya pendapat yang rajih adalah ia seorang yang tsiqat.
  • Amru bin Maimun adalah perawi kutubus sittah yang tsiqah. Al Ajli, Ibnu Ma’in, An Nasa’i dan Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 8 no 181]. Ibnu Hajar menyatakan Amru bin Maimun tsiqat [At Taqrib 1/747].
Hadis Ibnu Abbas ini adalah hadis yang shahih dan merupakan sanad yang paling baik dalam perkara ini. Hadis ini juga menjadi bukti bahwa tasyayyu’ atau tidaknya seorang perawi tidak membuat suatu hadis lantas menjadi cacat karena sanad Ibnu Abbas ini termasuk sanad yang bebas dari perawi tasyayyu’. Hadis Ibnu Abbas ini telah dishahihkan oleh Al Hakim, Adz Dzahabi [Talkhis Al Mustadrak no 4652] dan Syaikh Ahmad Syakir [Musnad Ahmad no 3062].
Hadis dengan jalan yang terakhir adalah riwayat Wahab bin Hamzah. Diriwayatkan dalam Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 22/135, Tarikh Ibnu Asakir 42/199 dan Al Bidayah Wan Nihayah 7/381. Berikut jalan sanad yang disebutkan Ath Thabrani
حدثنا أحمد بن عمرو البزار وأحمد بن زهير التستري قالا ثنا محمد بن عثمان بن كرامة ثنا عبيد الله بن موسى ثنا يوسف بن صهيب عن دكين عن وهب بن حمزة قال
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Amru Al Bazzar dan Ahmad bin Zuhair Al Tusturi yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Utsman bin Karamah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Musa yang berkata telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Shuhaib dari Dukain dari Wahab bin Hamzah yang berkata [Mu’jam Al Kabir 22/135]
Hadis ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Dukain, ia seorang tabiin yang tidak mendapat predikat ta’dil dan tidak pula dicacatkan oleh para ulama.
  • Ahmad bin Amru Al Bazzar adalah penulis Musnad yang dikenal tsiqah, ia telah dinyatakan tsiqah oleh Al Khatib dan Daruquthni, Ibnu Qattan berkata “ia seorang yang hafizh dalam hadis [Lisan Al Mizan juz 1 no 750]
  • Ahmad bin Zuhair Al Tusturi adalah Ahmad bin Yahya bin Zuhair, Abu Ja’far Al Tusturi. Adz Dzahabi menyebutnya Al Imam Al Hujjah Al Muhaddis, Syaikh Islam. [As Siyar 14/362]. Dalam Kitab Tarajum Syuyukh Thabrani no 246 ia disebut sebagai seorang Hafizh yang tsiqat.
  • Muhammad bin Ustman bin Karamah seorang perawi yang tsiqat. Abu Hatim berkata “shaduq”. Maslamah dan Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat. Muhammad bin Abdullah bin Sulaiman dan Daud bin Yahya berkata “ia shaduq”. [At Tahdzib juz 9 no 563]. Ibnu Hajar menyatakan Muhammad bin Utsman bin Karamah tsiqat [At Taqrib 2/112]
  • Ubaidillah bin Musa adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqah. Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Ibnu Hibban, Al Ajli, Ibnu Syahin, Utsman bin Abi Syaibah dan Ibnu Ady menyatakan ia tsiqah.[At Tahdzib juz 7 no 97]. Ibnu Hajar menyatakan Ubaidillah tsiqat tasyayyu’ [At Taqrib 1/640]. Adz Dzahabi juga menyatakan ia tsiqah [Al Kasyf no 3593].
  • Yusuf bin Shuhaib adalah seorang perawi tsiqat. Ibnu Ma’in, Abu Dawud, Ibnu Hibban, Utsman bin Abi Syaibah, Abu Nu’aim menyatakan ia tsiqat. Abu Hatim dan An Nasa’i berkata ‘tidak ada masalah padanya”. [At Tahdzib juz 11 no 710]. Ibnu Hajar menyatakan Yusuf bin Shubaih tsiqat [At Taqrib 2/344] dan Adz Dzahabi juga menyatakan Yusuf tsiqat [Al Kasyf no 6437]
  • Dukain adalah seorang tabiin. Hanya Ibnu Abi Hatim yang menyebutkan biografinya dalam Al Jarh Wat Ta’dil dan mengatakan kalau ia meriwayatkan hadis dari Wahab bin Hamzah dan telah meriwayatkan darinya Yusuf bin Shuhaib tanpa menyebutkan jarh maupun ta’dil terhadapnya. [Al Jarh Wat Ta’dil 3/439 no 1955]. Dukain seorang tabiin yang meriwayatkan hadis dari Wahab bin Hamzah dan sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Sakan kalau Wahab bin Hamzah adalah seorang sahabat Nabi [Al Ishabah 6/623 no 9123]
Hadis Wahab bin Hamzah ini dapat dijadikan syawahid dan kedudukannya hasan dengan penguat dari hadis-hadis lain. Al Haitsami berkata mengenai hadis Wahab ini “Hadis riwayat Thabrani dan di dalamnya terdapat Dukain yang disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim, tidak ada ulama yang mendhaifkannya dan sisanya adalah perawi yang dipercaya “ [Majma’ Az Zawaid 9/109].
.
.
Ibnu Taimiyyah Mendustakan Hadis Shahih
Jika kita mengumpulkan semua hadis tersebut maka didapatkan
  • Hadis Imran bin Hushain adalah hadis shahih [riwayat Ja’far bin Sulaiman]
  • Hadis Buraidah adalah hadis hasan [riwayatAjlah Al Kindi]
  • Hadis Ibnu Abbas adalah hadis shahih [riwayat Abu Balj]
  • Hadis Wahab bin Hamzah adalah hadis hasan [riwayat Dukain]
Tentu saja dengan mengumpulkan sanad-sanad hadis ini maka tidak diragukan lagi kalau hadis ini adalah hadis yang shahih. Dan dengan fakta ini ada baiknya kita melihat apa yang dikatakan Ibnu Taimiyyah tentang hadis ini, ia berkata
” أنت ولي كل مؤمن بعدي ” فهذا موضوع باتفاق أهل المعرفة بالحديث
“kamu adalah pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggalKu” ini adalah maudhu’ (palsu) menurut kesepakatan ahli hadis [Minhaj As Sunnah 5/35]
قوله : هو ولي كل مؤمن بعدي كذب على رسول الله صلى الله عليه وسلم
Perkataannya ; “Ia pemimpin setiap mukmin sepeninggalku” adalah dusta atas Rasulullah SAW [Minhaj As Sunnah 7/278]
Cukuplah kiranya pembaca melihat dengan jelas siapa yang sebenarnya sedang berdusta atau sedang mendustakan hadis shahih hanya karena hadis tersebut dijadikan hujjah oleh orang syiah. Penyakit seperti ini yang dari dulu kami sebut sebagai “Syiahpobhia”.
.
.
Singkat Tentang Matan Hadis
Setelah membicarakan hadis ini ada baiknya kami membicarakan secara singkat mengenai matan hadis tersebut. Salafy nashibi biasanya akan berkelit dan berdalih kalau hadis tersebut tidak menggunakan lafaz khalifah tetapi lafaz waliy dan ini bermakna bukan sebagai pemimpin atau khalifah. Kami tidak perlu berkomentar banyak mengenai dalih ini, cukuplah kiranya kami bawakan dalil shahih kalau kata Waliy sering digunakan untuk menunjukkan kepemimpinan atau khalifah
Diriwayatkan oleh Ibnu Katsir [dan beliau menshahihkannya] dalam Al Bidayah wan Nihayah bahwa ketika Abu Bakar dipilih sebagai khalifah, ia berkhutbah
قال أما بعد أيها الناس فأني قد وليت عليكم ولست بخيركم
Ia berkata “Amma ba’du, wahai manusia sekalian sesungguhnya aku telah dipilih menjadi pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik diantara kalian. [Al Bidayah wan Nihayah 5/269]
Diriwayatkan pula oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad bin Hanbal bahwa Jabir bin Abdullah RA menyebutkan kepemimpinan Umar dengan kata Waliy
ثنا بهز قال وثنا عفان قالا ثنا همام ثنا قتادة عن عن أبي نضرة قال قلت لجابر بن عبد الله ان بن الزبير رضي الله عنه ينهى عن المتعة وان بن عباس يأمر بها قال فقال لي على يدي جرى الحديث تمتعنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم قال عفان ومع أبي بكر فلما ولي عمر رضي الله عنه خطب الناس فقال ان القرآن هو القرآن وان رسول الله صلى الله عليه و سلم هو الرسول وأنهما كانتا متعتان على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم إحداهما متعة الحج والأخرى متعة النساء
Telah menceritakan kepada kami Bahz dan telah menceritakan kepada kami Affan , keduanya [Bahz dan Affan] berkata telah menceritakan kepada kami Hamam yang berkata telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Abi Nadhrah  yang berkata “aku berkata kepada Jabir bin Abdullah RA ‘sesungguhnya Ibnu Zubair telah melarang mut’ah dan Ibnu Abbas memerintahkannya’. Abu Nadhrah berkata ‘Jabir kemudian berkata kepadaku ‘kami pernah bermut’ah bersama Rasulullah’. [Affan berkata] “ dan bersama Abu Bakar. Ketika Umar menjadi pemimpin orang-orang, dia berkata ‘sesungguhnya Al Qur’an adalah Al Qur’an dan Rasulullah SAW adalah Rasul dan sesungguhnya ada dua mut’ah pada masa Rasulullah SAW, salah satunya adalah mut’ah haji dan yang satunya adalah mut’ah wanita’. [Musnad Ahmad 1/52 no 369 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh Ahmad Syakir]

Kedua riwayat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa kata Waliy digunakan untuk menyatakan kepemimpinan para Khalifah seperti Abu Bakar dan Umar. Oleh karena itu tidak diragukan lagi bahwa hadis di atas bermakna Imam Ali adalah Pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggal Nabi SAW
.
Ayat Al Wilayah
“Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat, seraya mereka ruku’ (kepada Allah)” (Q.S.Al-Ma’idah ayat 55)
Ayat ini dikatakan oleh Ulama Syiah sebagai ayat yang turun kepada Imam Ali, mereka berkata “Orang-orang yang beriman yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat, seraya ruku” berkenaan kepada Ali yang ketika itu memberikan cincinnya kepada peminta-minta ketika beliau dalam posisi ruku’ dalam sholat.
Dan sepertinya sang penulis(saudara Ja’far) menunjukkan keraguannya tentang hal ini. Beliau berkata
Hadis-hadis tentang asbabun nuzul ayat ini adalah hadis-hadis yang periwayatnya diperselihkan atau bahkan mungkin hadis dhaif/maudhu’.
Pernyataan ini adalah tidak benar, hadis yang menerangkan asbabun nuzul ayat ini memiliki banyak sanad yang diriwayatkan dalam berbagai kitab Ahlus Sunnah, sebagian hadisnya memang diperselisihkan perawinya dan dhaif tetapi sebagian lagi ada yang shahih. Oleh karena itu hadis-hadis tersebut satu sama lainnya saling menguatkan.
Dalam kitab Lubab Al Nuqul fi Asbabun Nuzul Jalaludin As Suyuthi hal. 93 beliau menjabarkan jalur-jalur dari hadis asbabun nuzul ayat ini, kemudian ia berkata ” Dan ini adalah bukti-bukti yang saling mendukung”. Atau dapat dilihat dalam Edisi terjemahannya dari Kitab As Suyuthi oleh A Mudjab Mahali dalam Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al Quran hal 326 menguatkan asbabun nuzul ayat ini untuk Imam Ali. Beliau membawakan hadis At Thabrani dalam Al Awsath dan mengkritiknya karena terdapat perawi yang majhul dalam sanadnya tetapi kemudian beliau melanjutkan keterangannya ”Sekalipun hadis ini ada rawi yang majhul(tidak dikenal) tetapi mempunyai beberapa hadis penguat di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Abdurrazaq dari Abdil Wahab bin Mujahid dari Ayahnya dari Ibnu Abbas. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawih dari Ibnu Abbas dan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Mujahid dan Ibnu Abi Hatim dari Salamah bin Kuhail. Hadis ini satu sama lainnya saling kuat menguatkan”.
Pernyataan Ulama Syiah bahwa mayoritas ahli hadis dan ahli tafsir menyatakan bahwa ayat ini turun untuk Imam Ali, sebenarnya juga dinyatakan oleh Ulama Sunni At Taftazani Asy Syafii dalam Syarh Al Maqashid, Al Jurjani dalam Syarh Al Mawaqif dan Al Qausyaji dalam Syarh Tajrid. Bahkan Al Alusi dalam Ruh Al Ma’ani jilid 6 hal 167 mengatakan bahwa turunnya ayat tersebut untuk Imam Ali ra adalah pendapat kebanyakan Ahli hadis.
Saya ingin sekali meminta kepada penulis tersebut siapa yang menyatakan hadis asbabun nuzul ayat ini untuk Imam Ali adalah dhaif atau maudhu’ setelah menganalisis semua jalur sanadnya. Sekedar pernyataan dari Ali As Salus dalam Imamah dan Khilafah atau Ibnu Taimiyyah dalam Minhaj As Sunnahjelas tidak kuat. Alasannya karena mereka yang saya sebutkan itu tidak menganalisis semua jalur sanad hadis asbabun nuzul ayat Al Wilayah. Mereka hanya mencacat sebagian hadisnya, seperti Ali As Salus yang hanya membahas hadis ini dalam Tafsir Ath Thabari kemudian langsung memutuskan bahwa riwayat tersebut dhaif tanpa melihat banyak sanad lainnya dari kitab lain. Apalagi Ibnu Taimiyyah yang melakukan banyak kekeliruan dalam Minhaj As Sunnah antara lain beliau mengatakan bahwa hadis asbabun nuzul ayat ini tidak ditemukan dalam Tafsir Ath Thabari dan Tafsir Al Baghawi padahal kenyataannya kedua kitab tafsir itu memuat hadis yang kita bicarakan ini.
Kemudian sang penulis(Ja’far) juga menyatakan keraguan bahwa Ayat Al Wilayah ini turun untuk Imam Ali, beliau berkata
Dalam ayat tsb sangat jelas bahwa “orang-orang yang beriman…” adalah jamak, maka bagaimana mungkin ayat itu menunjuk kepada satu orang yaitu Ali bin Abi Thalib r.a.
Disini letak kekeliruan sang penulis dimana beliau telah menempatkan subjektivitasnya dalam menilai suatu nash. Ulama Syiah Syaikh Al Musawi dalam Al Muraja’at telah menyatakan bahwa memang ada ayat Al Quran yang kata-katanya jamak tetapi ditujukan untuk orang tertentu. Saya tidak akan menukil pernyataan Syaikh Al Musawi cukuplah kiranya saya menukil pernyataan penulis sendiri dalam pembahasan Ayat Al Mubahalah
“Siapa yang membantahmu tentang kisah ‘Isa sesudah datang ilmu , maka katakanlah : “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (Q.S.Ali Imran : 61).
Tentang ayat ini penulis(saudara Ja’far) berkata
Kebanyakan ahli Tafsir menyatakan Asbabun nuzul ayat ini berkenaan dengan Rasulullah SAW yang bermuhabalah dengan ahlul kitab nasrani. Kemudian Rasulullah mengajak Hasan, Husen, Fatimah dan Ali dalam bermuhabalah dengan orang Nasrani tsb. ‘Anak-anak kami’ mengacu kepada Hasan dan Husein, ‘Isteri-isteri kami’ mengacu kepada Fatimah Az-Zahra, dan ‘diri kami’ mengacu kepada Ali bin Abi Thalib.
Pernyataan An Nisaana yang diterjemahkan istri-istri kami atau perempuan perempuan kami adalah bersifat jamak, lalu mengapa hanya mengacu pada Sayyidah Fatimah Az Zahra saja.(perlu diingatkan bahwa dalam Shahih Muslim jelas bahwa hanya Sayyidah Fatimah Az Zahra as satu-satunya wanita yang diseru Nabi SAW untuk menyertai Beliau SAW bermubahalah). Jadi kalau pernyataan tentang ayat mubahalah ini diterima lantas mengapa mempermasalahkan Ayat Al Wilayah.
Selanjutnya saudara Ja’far menuliskan Syi’ah mengatakan bahwa penggunaan kata
“orang-orang yang beriman..dst” padahal ayat tersebut berkenaan dengan Ali dimaksudkan agar perbuatan Ali yang sangat peduli dan tidak menunda-nunda membantu orang miskin padahal ia (Ali) lagi sholat dicontoh oleh umat islam.
Jawabanku; Bagaimana mungkin Allah menjadikan perbuatan memberikan zakat/sedekah ketika sholat sebagai teladan yang ‘terukir’ dalam Qur’an padahal Sholat membutuhkan konsentrasi yang penuh?
.
Pernyataan seperti dimaksudkan agar perbuatan Ali yang sangat peduli dan tidak menunda-nunda membantu orang miskin padahal ia (Ali) lagi sholat dicontoh oleh umat islam, sebenarnya juga dikemukakan oleh Ulama Sunni Az Zamakhsyari dalam Tafsir Al Kasyaf ketika membahas ayat Al Wilayah. Yang ingin penulis(saudara Ja’far) sampaikan adalah bagaimana mungkin bisa dibolehkan dalam shalat padahal shalat membutuhkan konsentrasi penuh. Sebelum menjawab penulis maka marilah kita perhatikan hadis-hadis ini.
“Bunuhlah kedua binatang yang hitam itu sekalipun dalam (keadaan) shalat, yaitu ular dan kalajengking.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi dan lainnya, shahih)

“Apabila salah seorang di antara kamu shalat meng-hadap ke arah sesuatu yang menjadi pembatas baginya dari manusia, kemudian ada yang mau melintas di hadapannya, maka hendaklah dia mendorongnya dan jika dia memaksa maka perangilah (cegahlah dengan keras). Sesungguhnya (perbuatannya) itu adalah (atas dorongan) syaitan.” (Muttafaq ‘alaih)
“Dari Jabir bin Abdullah , ia berkata, ‘Telah mengutus-ku Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam sedang beliau pergi ke Bani Musthaliq. Kemudian beliau saya temui sedang shalat di atas onta-nya, maka saya pun berbicara kepadanya. Kemudian beliau memberi isyarat dengan tangannya. Saya ber-bicara lagi kepada beliau, kemudian beliau kembali memberi isyarat sedang saya mendengar beliau membaca sambil memberi isyarat dengan kepalanya. Ketika beliau selesai dari shalatnya beliau bersabda, ‘Apa yang kamu kerjakan dengan perintahku tadi? Sebenarnya tidak ada yang menghalangiku untuk bicara kecuali karena aku dalam keadaan shalat’.” (HR. Muslim)
Dari Ibnu Umar, dari Shuhaib , ia berkata: “Aku telah melewati Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam ketika beliau sedang shalat, maka aku beri salam kepadanya, beliau pun membalasnya dengan isyarat.” Berkata Ibnu Umar: “Aku tidak tahu terkecuali ia (Shuhaib) berkata dengan isyarat jari-jarinya.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan selain mereka, hadits shahih)
“Dari Abu Qatadah Al-Anshari berkata, ‘Aku melihat Nabi Shallallaahu alaihi wasallam mengimami shalat sedangkan Umamah binti Abi Al-’Ash, yaitu anak Zainab putri Nabi Shallallaahu alaihi wasallam berada di pundak beliau. Apabila beliau ruku’, beliau meletak-kannya dan apabila beliau bangkit dari sujudnya beliau kembalikan lagi Umamah itu ke pundak beliau.” (HR. Muslim)
“Dari Aisyah radhialaahu anha, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam sedang shalat di dalam rumah, sedangkan pintu tertutup, kemudian aku datang dan minta dibukakan pintu, beliau pun berjalan menuju pintu dan membukakannya untukku, kemudian beliau kembali ke tempat shalatnya. Dan terbayang bagiku bahwa pintu itu menghadap kiblat.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi dan lainnya, hadits hasan)

“Dari Ibnu Abbas , ia berkata, ‘Aku pernah menginap di (rumah) bibiku, Maimunah, tiba-tiba Nabi Shallallaahu alaihi wasallam bangun di waktu malam mendirikan shalat, maka aku pun ikut bangun, lalu aku ikut shalat bersama Nabi Shallallaahu alaihi wasallam, aku berdiri di samping kiri beliau, lalu beliau menarik kepalaku dan menempatkanku di sebelah kanannya.” (Muttafaq ‘alaih)
Seandainya kita memakai logika yang dipakai oleh saudara penulis itu maka kita akan mengatakan maka Bagaimana mungkin membunuh ular atau kalajengking, menghadang orang yang lewat, memberi isyarat kepada orang yang berbicara atau memberi salam, menggendong anak, membukakan pintu dan menarik tubuh orang ketika shalat menjadi teladan karena bukankah shalat membutuhkan konsentrasi penuh. Lantas apakah hadis-hadis itu mesti ditolak?.
Mari kita lanjutkan tulisan Beliau
Memang sangat bagus untuk tidak menunda-nunda membantu orang miskin yang butuh kepada kita tetapi sholat tidaklah memakan waktu yang lama, bukankah lebih baik jika orang miskin tsb meminta setelah sholat usai? atau jika dilihat dari sudut pandang orang miskin tsb, maka Al-Qur’an membolehkan/tidak menegur orang miskin meminta sedekah kepada orang yang lagi sholat padahal menurut saya (dan semua orang) perbuatan orang miskin tsb kurang beradab.
Apakah benar perbuatan orang miskin tersebut kurang beradab? Saya heran apakah penulis membaca sendiri hadis tentang ayat Al Wilayah ini. Bukankah pada hadis itu dijelaskan bahwa awalnya pengemis itu meminta-minta di masjid kepada beberapa orang di masjid(yang sedang tidak shalat) tetapi tidak ada satupun yang memberi. Ketika itu Imam Ali sedang shalat kemudian Beliau memberi isyarat kepada pengemis dengan jarinya yang bercincin dan pengemis itu mendekat kemudian pengemis itu mengambil cincin tersebut.
Tentu saja tidak ada yang mengatakan kalau pengemis itu langsung meminta kepada orang yang shalat. Pengemis itu mendekat ketika Imam Ali sendiri berisyarat. Bukankah memberi isyarat dalam shalat adalah hal yang dibolehkan. Seandainya juga pengemis itu langsung meminta kepada Imam Ali yang ketika itu sedang shalat apakah lantas dikatakan tidak beradab lalu bagaimana dengan Jabir bin Abdullah yang berbicara dua kali kepada Nabi SAW yang ketika itu sedang shalat atau Ibnu Umar yang memberi salam kepada Nabi SAW ketika Beliau SAW sedang shalat. Apakah Nabi SAW selanjutnya melarang mereka Jabir bin Abdullah dan Ibnu Umar? Tidak kok(lihat saja hadis yang saya kutip di atas). Yang perlu ditambahkan adalah Ayat Al Wilayah ini juga dimasukkan oleh ahli tafsir Sunni Abu Bakar Al Jashshash dalam kitabnya Tafsir Ahkam Al Quran sebagai dasar bahwa sedikit gerakan dalam shalat tidak membatalkan shalat dan sedekah sunah dapat dinamai zakat.
Kata-kata beliau
Syi’ah juga menyebutkan bahwa bersedekah ketika ruku’ dalam sholat itu tidak mengurangi posisi Amirul Mukminin (Ali), bahkan tindakan itu diikuti para imam sesudahnya.
Sebenarnya tidak ada masalah dengan kata-kata ini tetapi penulis menanggapi dengan
Di sini timbul pertanyaan, “Jika tindakan ini merupakan cermin keutamaan penghulu para Imam (Ali r.a) yang diikuti oleh para imam, lalu mengapa tindakan ini tidak dilakukan oleh manusia terbaik, Nabi Muhammad SAW? Juga tidak dilakukan oleh para sahabat yang lain?
Jawab saya: apakah setiap keutamaan seseorang itu harus diikuti oleh orang lain, bukankah setiap orang memiliki keutamaan masing-masing. Apakah seandainya suatu keutamaan tidak diikuti oleh beberapa orang maka gugurlah keutamaan itu?. Bukankah banyak keutamaan Imam Ali yang tidak dimiliki oleh sahabat yang lain.
Mengenai tafsir Al Maidah ayat 55 yang beliau jelaskan adalah penafsiran yang menyesuaikan dengan urutan ayat. Tafsir yang beliau kemukakan itu sama dengan tafsir ayat tersebut dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir. Pendapat saya tentang tafsir ini boleh-boleh saja. Tidak ada masalah, justru yang jadi masalah jika kita mengabaikan banyak hadis yang menjelaskan asbabun nuzul ayat ini.
.
Hadis Al Ghadir
Sebelumnya saya telah mengatakan bahwa hadis al Ghadir adalah mutawatir, pernyataan ini adalah benar dan diakui oleh ulama Sunni yang telah membuat kitab khusus tentang riwayat-riwayat hadis Al Ghadir diantaranya
• Ibnu Jarir Ath Thabari dalam kitabnya Al Wilayah Fi Thuruq Al Ghadir
• Ibnu Uqdah dalam kitabnya Al Wilayah Fi Thuruq Hadits Al Ghadir
• Abu Bakar Al Ja’abi dalam kitabnya Man Rawa Hadits Ghadir Kum
• Abu Sa’id As Sijistani dalam kitabnya Ad Dirayah Fi Hadits Al Wilayah
Walaupun begitu perlu diperhatikan mutawatir disini adalah mutawatir ma’nawi Artinya hadis-hadis tersebut memiliki matan yang bermacam-macam dan dapat dikelompokkan menjadi
• Matan yang Mutawatir, Artinya matan ini ada dalam setiap hadis Al Ghadir apapun sanadnya, matan itu adalah perkataan Rasulullah SAW di Ghadir Kum “barang siapa menganggap Aku Maulanya maka Ali adalah Maulanya”. Oleh karenanya perkataan ini bisa dikatakan bersifat pasti kebenarannya karena sanadnya mutawatir.
• Matan yang shahih, artinya matan ini diriwayatkan dalam hadis-hadis Al Ghadir tetapi tidak semua hadis Al Ghadir meriwayatkan matan ini. Adapun hadis yang mengandung matan ini sanadnya shahih. Yaitu antara lain matan yang mengandung perkataan Rasulullah SAW bahwa Sebentar lagi Rasulullah SAW akan dipanggil ke hadirat Allah SWT. Atau matan yang mengandung perkataan Rasulullah SAW kepada umatnya untuk berpegang kepada dua hal Kitab Allah dan Ahlul BaitKu, matan yang mengandung peristiwa kesaksian di Rahbah oleh beberapa sahabat terhadap Imam Ali, matan yang mengandung perkataan Rasulullah SAW ”bukankah Kalian telah mengetahui bahwa sesungguhnya Aku lebih berhak atas orang-orang mukmin dari pada diri mereka sendiri?” dan Matan yang mengandung ucapan selamat Umar kepada Ali(matan selamat ini diriwayatkan dalam Musnad Ahmad 4 hal 281 dalam sanadnya terdapat Zaid bin Hasan Al Anmathi, tentang beliau Abu Hatim berkata hadisnya mungkar tapi Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat, Syaikh Al Albani telah menshahihkan hadis dalam Sunan Tirmidzi no3 786 dan dalam sanadnya ada Zaid bin Hasan, oleh karena itu saya menyimpulkan bahwa hadis dalam Musnad Ahmad itu shahih.)
• Matan yang diperselisihkan sanadnya atau dhaif(menurut Ulama Sunni), artinya matan ini diriwayatkan dalam hadis Al Ghadir dimana sanad hadisnya adalah dhaif di sisi Ulama Sunni. Yaitu matan hadis Al Ghadir yang mengandung Ayat Tabligh Al Maidah 67 dan Al Maidah ayat 3.
Mari kita lihat kembali pernyataan penulis(Ja’far) seputar hadis Al Ghadir, beliau mengutip pernyataan Al Alusi
Adapun pada saat khutbah Rasulullah sepulang dari haji wada’ tersebut tidak didapati hadis yang shahih mengenai pengangkatan Ali sebagai khalifah / pemimpin / menjadikannya maula. Al-Alusi berkata, “Riwayat-riwayat tentang Ghadir Khum – yang di dalamnya terdapat perintah kepada Nabi SAW untuk mengangkat Ali sebagai khalifah – tidak shahih dan sama sekali tidak diterima oleh AhluSunnah” (Tafsir Al-Alusi).
Jika yang dimaksudkan adalah hadis dengan perkataan maula itu, maka dalam hal ini Al Alusi keliru karena pengangkatan Ali sebagai maula di Ghadir Kum telah dishahihkan banyak ulama Ahlus Sunnah seperti At Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi, Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah, Al Hakim dalam Al Mustadrak dan Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak. Tentu Ulama syiah menafsirkan maula sebagai pemimpin, sedangkan ulama sunni menafsirkan maula sebagai sahabat atau yang dicintai.
Tetapi jika yang dimaksudkan adalah hadis dengan turunnya Al Maidah ayat 67 dan Al Maidah ayat 3 maka saya sependapat. Karena hadis tentang itu terdapat keraguan pada sanadnya dan saya setuju dengan pernyataan penulis bahwa Al Maidah ayat 3 berdasarkan dalil shahih disisi Sunni turun di arafah.
Penulis(Ja’far) mengkritik hadis Al Ghadir yang mengandung matan maula dengan berkata
Masih ada beberapa hadis lain yang serupa dua hadis diatas dalam Musnad Imam Ahmad. Kata-kata ‘Man kuntu MAULAH fa’aliyyun maulah’ (Siapa yang aku sebagai PEMIMPINNYA maka Ali sebagai PEMIMPINNYA) tidak dapat dijadikan dalil bahwa Ali adalah khalifah setelah rasulullah SAW wafat.
Mari kita telaah masing-masing alasannya
Alasan pertama Imam Ahmad bin Hanbal yang meriwayatkan hadis tsb adalah AhluSunnah. Jika Imam Ahmad menafsirkan hadis tsb sebagai dalil yang menjadikan Ali sebagai khalifah/imam setelah rasulullah wafat maka dia seharusnya menjadi ulama syi’ah. Akan tetapi, Imam Ahmad adalah seorang ahlusunnah, dengan begitu Imam Ahmad tidak menafsirkan hadis tsb sebagai dalil penunjukkan Ali sebagai pengganti Rasullah SAW.
Alasan ini rancu sekali dan bagi saya orang yang memakai alasan seperti ini tidak perlu jauh-jauh menggunakan dalil dan pembahasan dalam mengkritik Syiah, dia cukup berkata seandainya Syiah itu benar maka Ulama-ulama sunni akan menjadi Syiah tetapi kenyataannya tidak maka Syiah tidak benar. Nah selesai urusannya. Kalau ingin melakukan pembahasan maka harus melihat dalil itu sendiri dan menilai penafsiran mana yang benar antara Ulama Sunni dan Syiah. Dalam hal ini Penulis telah melakukan Fallacy Argumentum Ad Verecundiam.
Alasan kedua Pengartian kata ‘maulah’ dalam konteks hadis tsb sebagai ‘pemimpin’ tidak tepat. Maulah dalam hadis tsb berarti loyalitas atau kecintaan, sesuai dengan akar katanya yaitu ‘Wali’.
Mari kita telaah, si penulis berargumen bahwa berdasarkan konteksnya maula itu bukan berarti pemimpin. Anehnya beliau malah mengartikan maula berdasar akar kata. Ulama Syiah berkata Maula adalah lafal Musytakarah(punya banyak arti) dan untuk mengetahui arti yang tepat adalah dengan melihat konteksnya pada hadis Al Ghadir.
Mari kita lihat apa kata Ulama Syiah tentang makna maula. Dalam Hadis Al Ghadir terdapat kata-kata Rasulullah SAW bahwa beliau sebentar lagi akan dipanggil ke hadirat Allah ” Kurasa seakan-akan aku segera akan dipanggil (Allah), dan segera pula memenuhi panggilan itu, Maka sesungguhnya aku meninggalkan kepadamu Ats Tsaqalain(dua peninggalan yang berat). Yang satu lebih besar (lebih agung) dari yang kedua : Yaitu kitab Allah dan Ittrahku. Jagalah Baik-baik dan berhati-hatilah dalam perlakuanmu tehadap kedua peninggalanKu itu, sebab Keduanya takkan berpisah sehingga berkumpul kembali denganKu di Al Haudh. 
Bukankah kata-kata ini berarti Rasulullah SAW telah mewasiatkan sebelum beliau meninggal untuk mengikuti Al Quran dan Ahlul Bait, adalah wajar kalau hal ini diartikan Ulama Syiah sebagai Rasulullah SAW menyerahkan kepemimpinan Agama kepada Ahlul Bait.
Kemudian kata-kata “Bukankah Aku ini lebih berhak terhadap kaum muslimin dibanding diri mereka sendiri.. Orang-orang menjawab “Ya”. Hingga akhirnya Rasulullah SAW berkata” Barangsiapa yang menganggap aku sebagai maulanya, maka Ali adalah juga maulanya. Ulama Syiah menafsirkan kata lebih berhak menunjukkan bahwa maula yang dimaksud berkaitan dengan kekuasaan dan tidak tepat jika diartikan sahabat atau dicintai. Selain itu kata-kata terakhir Ya Allah, cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya. Menunjukkan bahwa pada saat itu Imam Ali dianugerahkan tanggung jawab yang memungkinkan beliau dicintai atau dimusuhi orang, tanggung jawab ini lebih tepat diartikan kekuasaan ketimbang yang dicintai.
Oleh karena itu Ulama Syiah menafsirkan maula sebagai pemimpin ditambah lagi ucapan selamat Umar kepada Ali yang menurut Syiah janggal diberikan hanya karena Ali dinobatkan sebagai yang dicintai, Ulama syiah berkata apakah sebelumnya Imam Ali adalah musuh sehingga ketika dinobatkan sebagai yang dicintai maka beliau diberi selamat.
Sedangkan kata-kata penulis
Seandainya maulah diartikan sebagai imam / khalifah maka seharusnya para sahabat tidak menjadikan Abu Bakar r.a sebagai khalifah setelah Rasulullah SAW. Mana mungkin mayoritas sahabat mengkhianati Rasulullah SAW. Para sahabat tidak pernah menafsirkan hadis tsb sebagai dalil penunjukkan Ali. Kalau kita menganggap hadis tsb sbg dalil penunjukkan Ali maka otomatis para sahabat adalah orang yang tidak melaksanakan amanat Rasulullah SAW
maka saya katakan itulah tepatnya kenapa Ulama Sunni berkeras bahwa kata maula itu bukan pemimpin. Disini penulis sudah memahami dengan prakonsepsinya terlebih dahulu tentang shahabat baru menilai nash hadis Al Ghadir bedanya dengan Syiah mereka memahami nash hadis Al Ghadir terlebih dahulu baru menilai shahabat.
Mengenai hadis tentang murtadnya shahabat Nabi kecuali beberapa orang di sisi Syiah, maka saya memilih untuk berdiam diri karena saya tidak mengetahui shahih tidaknya hadis tersebut di sisi Syiah dan apa arti murtad yang dimaksud. Karena yang saya tahu ada cukup banyak Sahabat Nabi yang diakui oleh Syiah bukan hanya beberapa orang, Silakan dirujuk pada Ikhtilaf Sunnah Syiah karya Syaikh Al Musawi hal 205-214. Saya juga ingin mengingatkan penulis bahwa di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim terdapat hadis yang jika diartikan secara literal mengindikasikan cukup banyak shahabat Nabi yang masuk neraka karena berpaling setelah Nabi SAW wafat.
Contohnya hadis Shahih Bukhari juz 8 hal 150 diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda ”Akan datang di hadapanKu kelak sekelompok shahabatKu tapi kemudian mereka dihalau. Aku bertanya ”wahai TuhanKu mereka adalah shahabat-shahabatKu”. Lalu dikatakan ”Engkau Tidak mengetahui apa yang mereka perbuat sepeninggalmu. Sesungguhnya mereka murtad dan berpaling.”. Tentu Ulama Sunni memiliki pemahaman sendiri terhadap hadis ini dengan berkata bahwa memang ada yang murtad dan yang murtad itu tidak lagi disebut sebagai shahabat. Yang ingin saya tekankan kalau Ulama Sunni bisa melakukan penafsiran terhadap teks mereka. Kenapa kita tidak bisa mendengar apa kata Ulama Syiah tentang hadis mereka.
Alasan yang ketiga Hadis-hadis tsb lebih tepatnya menceritakan keutamaan Imam Ali bin Abi Thalib bukan dalil tentang penunjukkannya.
Saya setuju kalau hadis itu menunjukkan keutamaan tapi keutamaan sebagai apa, nah disinilah terjadi beda penafsiran. Syiah justru berkata itulah keutamaan Imam Ali yang ditunjuk sebagai pengganti Rasulullah SAW.

Kalau ada yang memberi PREDIKAT Shiddiq pada Abubakar maka orangnya adalah Umar b. Khattab. Karena Abubakar selalu membenarkan kata2 Umar tanpa bantahan dan mengamalkan.
Siddiq-kah seorang yang mempercayai Isra’ Mi’raj Nabi sementara dia LARI DARI PERANG?????
Lalu ketika Nabi.saw memerintahkannya bergabung dengan pasukan Usamah Bin Zaid mengapa pula dia bersama dua temannya menolak keras perintah Nabi.saw sehingga Nabi.saw memarahinya, Nabi.saw bersabda: SEGERA BERANGKATKAN PASUKAN USAMAH, SIAPA YANG ENGGAN BERGABUNG MAKA LAKNAT ALLAH KEATASNYA” (Asy-Syahrastani, Al-Milal wa an-Nihal, Miqaddimah hlm.15)
Kalau dia benar-benar Siddiq mengapa ia LARI dari perang, apakah itu karena dalamnya keimanannya???
Bisa saja ulama terdahulu salah karena kurang lengkap data data, dimana data2 itu justru ada pada ulama2 lain yang dia tidak punya akses ke sana.
Namun, sekarang kita yang hidup di jaman setelah mereka sudah mampu mengakses semua data2 tersebut karena memang kita memiliki datanya.
Contoh: Ayat2 al-Quran yang pada saat turunnya kita kurang memahami maknanya, justru ratusan tahun kemudian dengan bekal peralatan yang lebih canggih kita akan mengetahui hakikat / maksud dari ayat tersebut.
Maka Allah berfirman: SANURIIHIM AYAATINAA FIL AFAAQI WA FII ANFUSIHIM HATTAA YATABAYYANA LAHUM ANNAHUL HAQQ………(Fushilat: 53)
Hadis Dhaif Gelar Ash Shiddiq Turun Dari Langit Bagi Abu Bakar 
Terdapat hadis-hadis yang dijadikan hujjah salafy dalam mengutamakan Abu Bakar secara berlebihan. Yaitu hadis yang menyatakan kalau gelar Ash Shiddiq bagi Abu Bakar itu turun dari langit. Setelah kami teliti ternyata hadis tersebut dhaif, cukup aneh juga salafy yang katanya alergi-an dengan hadis dhaif kok mau-maunya berhujjah pakai hadis dhaif. Kami tidak mengingkari gelar Ash Shiddiq bagi Abu Bakar, gelar itu adalah gelar yang masyhur bagi Abu Bakar radiallahu ‘anhu. Yang kami ingkari adalah gaya salafy yang berlebihan bahwa gelar tersebut turun dari langit. 

 
. 
Hadis Imam Ali Radiallahu ‘anhu 
Tidak jarang untuk menguatkan hujjah mereka, salafy mengambil hadis atau riwayat perkataan Imam Ali, salah satunya mengenai gelar Ash Shiddiq turun dari langit bagi Abu Bakar 
حدثنا معاذ بن المثنى ثنا علي بن المديني ثنا إسحاق بن منصور السلولي ثنا محمد بن سليمان العبدي عن هارون بن سعد عن عمران بن ظبيان عن أبي يحيى حكيم بن سعد قال سمعت عليا يحلف : لله أنزل اسم أبي بكر من السماء الصديق
Telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Al Mutsanna yang berkata menceritakan kepada kami Ali bin Madini yang berkata menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur Al Saluuliy yang berkata menceritakan kepada kami Muhammad bin Sulaiman Al ‘Abdi dari Haarun bin Sa’d dari ‘Imran bin Zhabyaan dari Abi Yahya Hakiim bin Sa’d yang berkata aku mendengar Ali bersumpah “Allah SWT telah menurunkan dari langit untuk Abu Bakar dengan nama Ash Shiddiq” [Mu’jam Al Kabir 1/55 no 14] 
Hadis ini juga diriwayatkan dalam Al Mustadrak Al Hakim no 4405, Al Ahad Wal Matsani Ibnu Abi Ashim 1/70 no 6, Tarikh Dimasyq Ibnu Asakir 30/75 dan Ma’rifat Ash Shahabah Abu Nu’aim no 59 semuanya dengan jalan sanad dari Ishaq bin Manshur dari Muhammad bin Sulaiman Al Abdi dari Harun bin Sa’d dari Imran bin Zhabyan dari Abi Yahya dari Ali
Hadis ini sanadnya dhaif disebabkan Muhammad bin Sulaiman Al ‘Abdi seorang yang majhul dan ‘Imran bin Zhabyaan seorang yang dhaif. 
  • Muhammad bin Sulaiman Al ‘Abdi dinyatakan majhul oleh Abu Hatim [Al Jarh Wat Ta’dil 7/269 no 1473]. Ibnu Hajar menyatakan kalau Muhammad bin Sulaiman Al ‘Abdi dinyatakan majhul oleh Ibnu Abi Hatim, dimasukkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat, ia meriwayatkan dari Harun Al A’war dan telah meriwayatkan darinya Ishaq bin Manshur. [Lisan Al Mizan juz 5 no 648]. Al Hakim sendiri menyatakan Muhammad bin Sulaiman ini tidak dikenal walaupun ia menshahihkan hadis tersebut karena memiliki penguat dari riwayat Nazzal bin Saburah dari Ali [Al Mustadrak no 4405]. Kami katakan pernyataan Al Hakim soal shahihnya hadis ini keliru karena hadis penguat yang dimaksud ternyata sanadnya dhaif.
  • ‘Imran bin Zhabyaan adalah perawi yang dhaif. Bukhari berkata “fihi nazhaar”, Yaqub bin Sufyan menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan memasukkannya ke dalam Adh Dhu’afa seraya berkata bathil berhujjah dengannya. Ibnu Ady dan Al Uqaili memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [At Tahdzib juz 8 no 230]. Ibnu Hajar menyatakan ia dhaif [At Taqrib 1/752].
Selain ‘Imran bin Zhabyan, atsar ini juga diriwayatkan oleh Abu Ishaq As Sabi’i dari Ali dengan sanad yang dhaif. Disebutkan dalam Tarikh Ibnu Asakir 30/75 & 76 dan Ma’rifat Ash Shahabah Abu Nu’aim no 58 dengan jalan sanad yang berujung pada Dawud bin Mihran dari Umar bin Yazid dari Abu Ishaq As Sabi’i dari Abi Yahya dari Ali. Sanad ini dhaif karena Umar bin Yazid Al Azdi, ia dinyatakan oleh Ibnu Hajar sebagai “munkar al hadits” [Lisan Al Mizan juz 4 no 968]. Ibnu Ady menyatakan Umar bin Yazid munkar al hadits dan ia meriwayatkan dari Atha’ dan Hasan hadis-hadis yang tidak terjaga [Al Kamil Ibnu Ady 5/29] 
Al Hakim dalam Al Mustadrak no 4405 meriwayatkan atsar ini dari Nazzal bin Saburah dari Ali Radiallahu ‘anhu dengan sanad yang dhaif 
حدثناه عبد الرحمن بن حمدان الجلاب ثنا هلال بن العلاء الرقي حدثني أبي ثنا إسحاق بن يوسف ثنا أبو سنان عن الضحاك ثنا النزال بن سبرة قال وافقنا عليا رضى الله تعالى عنه طيب النفس وهو يمزح فقلنا حدثنا عن أصحابك قال كل أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم أصحابي فقلنا حدثنا عن أبي بكر فقال ذاك امرء سماه الله صديقا على لسان جبريل ومحمد صلى الله عليهما
Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Hamdaan Al Jalaab yang menceritakan kepada kami Hilal bin Al A’la Ar Raqiiy yang menceritakan kepadaku ayahku yang berkata menceritakan kepada kami Ishaq bin Yusuf yang menceritakan kepada kami Abu Sinan dari Dhahhak yang berkata menceritakan kepada kami Nazzal bin Sabrah yang berkata kami menemui Ali radiallahu ‘anhu dalam keadaan baik maka kami berkata “ceritakanlah kepada kami tentang sahabatmu. Beliau menjawab “semua sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam adalah sahabatku”. Kami berkata “ceritakanlah kepada kami tentang Abu Bakar”. Beliau menjawab “Ia adalah orang yang Allah SWT nyatakan Ash Shiddiq melalui lisan Jibril dan Muhammad SAW” [Al Mustadrak Ash Shahihain no 4405] 
Hadis ini dijadikan oleh Al Hakim sebagai penguat riwayat Abu Yahya Hakim bin Sa’ad dari Ali. Kami katakan Al Hakim keliru hadis ini tidak bisa dijadikan penguat karena hadis ini sanadnya sangat dhaif, di dalamnya terdapat Al A’la bin Hilal Al Bahiliy ayahnya Hilal bin Al A’la Ar Raqiiy seorang yang sangat dhaif. 
  • Hilal bin Al A’la Ar Raqiiy seorang perawi yang shaduq. Abu Hatim berkata shaduq. Nasa’i terkadang berkata “shalih” terkadang berkata “tidak ada masalah dan ia meriwayatkan hadis-hadis mungkar dari ayahnya” [At Tahdzib juz 11 no 135]
  • Al A’la bin Hilal bin Umar Al Bahiliy seorang perawi yang dhaif. Abu Hatim menyatakan ia munkar al hadis, hadisnya dhaif dan meriwayatkan hadis maudhu’. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Adh Dhu’afa seraya berkata “tidak boleh berhujjah dengannya” [At Tahdzib juz 8 no 351]. Ibnu Hajar menyatakan “ada kelemahan padanya” [At Taqrib 1/765] dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau Al A’la bin Hilal seorang yang “dhaif jiddan” [Tahrir At Taqrib no 5259].
Hadis Abu Hurairah 
Selain dari Imam Ali terdapat hadis dari Abu Hurairah bahwa Jibril mengatakan kepada Rasulullah SAW kalau Abu Bakar akan membenarkan peristiwa isra’ sehingga ia dinamakan Ash Shiddiq. 
حدثنا محمد بن أحمد الرقام ثنا إسحاق بن سليمان الفلفلي المصري نا يزيد بن هارون ثنا مسعر عن أبي وهب عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لجبريل ليلة أسري به إن قومي لا يصدقوني فقال له جبريل يصدقك أبو بكر وهو الصديق
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad Ar Raqaam yang berkata menceritakan kepada kami Ishaq bin Sulaiman Al Fulfuliy Al Mishri yang menceritakan kepada kami Yazid bin Harun yang menceritakan kepada kami Mis’ar dari Abu Wahab dari Abu Hurairah yang berkata Rasulullah SAW berkata kepada Jibril pada malam isra’ “kaumku tidak akan membenarkanku”. Maka Jibril berkata “akan membenarkanmu Abu Bakar, dia shiddiq” [Mu’jam Al Awsath Thabrani 7/166 no 7173] 
Hadis di atas sanadnya khata’ atau salah. Yang meriwayatkan dari Abu Wahab adalah Najih Abu Ma’syar bukannya Mis’ar. Kesalahan ini bisa berasal dari Muhammad bin Ahmad Ar Raqaam atau Ishaq bin Sulaiman Al Fulfuly Al Mishri, keduanya tidak dikenal kredibilitasnya. Selain itu Abu Wahab sendiri seorang yang majhul dan ia terkadang menyebutkan hadis ini dari Abu Hurairah dan terkadang tanpa menyebutkan Abu Hurairah. 
وحدثني وهب بن بقية الواسطي، ثنا يزيد بن هارون، أنبأ أبو معشر عن أبي وهب عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لجبريل ليلة أسري به إن قومي لا يصدقوني، فقال جبريل: يصدقك أبو بكر وهو الصديق
Telah menceritakan kepada kami Wahab bin Baqiyah Al Wasithiy yang menceritakan kepada kami Yazid bin Harun yang mengabarkan kepada kami Abu Ma’syar dari Abu Wahab dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Jibril pada malam isra’ “kaumku tidak akan membenarkanku”. Maka Jibril berkata “akan membenarkanmu Abu Bakar dan dia shiddiq” [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 3/307] 
Selain Wahb bin Baqiyah, Ibnu Sa’ad dan Muhammad bin Husain bin Ibrahim juga meriwayatkan dari Yazid bin Harun dari Abu Ma’syar dari Abu Wahab. 
أخبرنا يزيد بن هارون قال أخبرنا أبو معشر قال أخبرنا أبو وهب مولى أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ليلة أسري به قلت لجبريل إن قومي لا يصدقونني فقال له جبريل يصدقك أبو بكر وهو الصديق
Telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Harun yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Ma’syar yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Wahab mawla Abu Hurairah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata pada malam isra’ kepada Jibril “kaumku tidak akan membenarkanku”. Jibril berkata “akan membenarkanmu Abu Bakar dan dia shiddiq” [Thabaqat Ibnu Sa’ad 3/90] 
حدثنا عبد الله قال حدثني محمد بن الحسين بن إبراهيم بن إشكاب قثنا يزيد بن هارون قثنا أبو معشر قثنا أبو وهب مولى أبي هريرة أن رسول الله قال ليلة أسري به لجبريل عليه السلام إن قومي لا يصدقوني فقال له جبريل بلى يصدقك أبو بكر الصديق
Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Husain bin Ibrahim bin Isykaab yang menceritakan kepada kami Yazid bin Harun yang menceritakan kepada kami Abu Ma’syar yang menceritakan kepada kami Abu Wahb mawla Abu Hurairah bahwa Rasulullah berkata di malam isra’ kepada Jibril alaihis salam “kaumku tidak akan membenarkanku” Jibril berkata “akan membenarkanmu Abu Bakar Ash Shiddiq” [Fadhail Ash Shahabah no 116] 
حدثنا أبو الوليد خلف بن الوليد قال حدثنا أبو معشرعن أبي وهب  مولى أبي هريرة قال لما رجع رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة أسري به بلغ ذا طوى قال يا جبريل إن قومي لا يصدقوني قال يصدقك أبو بكر وهو صديق
Telah menceritakan kepada kami Abul Walid Khalaf bin Walid yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Ma’syar dari Abu Wahb mawla Abu Hurairah yang berkata “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kembali dari Isra’, dan berada di Dzi Thuwa, beliau berkata “Wahai Jibril, kaumku tidak akan membenarkanku”. Jibril berkata “akan membenarkanmu Abu Bakar dan dia shiddiq [Tarikh Ibnu Abi Khaitsamah 1/180 no 429] 
سعيد بن منصور ثنا أبو معشر عن أبي وهب مولى أبي هريرة عن أبي هريرة قال لما رجع رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة أسري به قال يا جبريل إن قومي لا يصدقوني قال يصدقك أبو بكر وهو الصديق
Sa’id bin Manshur telah menceritakan kepada kami Abu Ma’syar dari Abu Wahb mawla Abu Hurairah dari Abu Hurairah yang berkata “ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kembali dari malam isra’ Beliau berkata “wahai Jibril kaumku tidak akan membenarkanku”. Jibril berkata “akan membenarkanmu Abu Bakar, dan dia shiddiq” [Tarikh Al Islam Adz Dzahabi 1/251] 
Secara keseluruhan hadis ini dhaif semuanya berujung pada Abu Ma’syar dari Abu Wahb mawla Abu Hurairah. Abu Ma’syar adalah Najih bin Abdurrahman Al Madani seorang yang dhaif dan Abu Wahb tidak dikenal 
  • Najih bin Abdurrahman Abu Ma’syar perawi Ashabus Sunan yang dhaif. Bukhari berkata “munkar al hadits”. Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Ma’in menyatakan dhaif. Ali bin Madini berkata “dhaif dhaif”. Ibnu Sa’ad dan Daruquthni menyatakan dhaif. Abu Nu’aim berkata “ ia meriwayatkan dari Nafi, Ibnu Munkadir, Hisyam bin Urwah, Muhammad bin Amru hadis-hadis palsu yang tidak bernilai apa-apa” [At Tahdzib juz 10 no 759]. Ibnu Hajar menyatakan ia dhaif [At Taqrib 2/241].
  • Abu Wahb mawla Abu Hurairah adalah perawi yang tidak dikenal. Yang meriwayatkan darinya adalah Abu Ma’syar Najih bin Abdurrahman seorang yang dhaif. Ibnu Hajar telah menyatakan Abu Wahb sebagai orang yang tidak dikenal [Ta’jil Al Manfa’ah 2/545]
Selain Abu Wahb, hadis ini juga diriwayatkan oleh Hatim bin Huraits Ath Tha’iy dengan sanad yang dhaif. Riwayat Hatim ini disebutkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Awsath 7/157 no 7148 dan Musnad Asy Syamiiyyin 1/145 no 232. 
حدثنا محمد بن عبد الرحيم الديباجي ثنا أحمد بن عبد الرحمن بن المفضل الحراني نا المغيرة بن سقلاب الحراني ثنا عبد الرحمن بن ثابت بن ثوبان عن حاتم عن أبي هريرة قال لما أسري بالنبي صلى الله عليه و سلم قال يا جبريل إن قومي يتهموني ولا يصدقوني قال إن اتهمك قومك فإن أبا بكر يصدقك
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdurrahiim Ad Diibaajiy  yang berkata menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdurrahman bin Mufadhdhal Al Harraaniiy yang menceritakan kepada kami Mughirah bin Saqlaab Al Harraaniy yang menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban dari Hatim dari Abu Hurairah yang berkata “ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam kembali dari isra’, beliau berkata “wahai Jibril kaumku akan menuduhku dan tidak akan membenarkanku”, Jibril berkata “kaummu akan menuduhmu tetapi Abu Bakar akan membenarkanmu” [Mu’jam Al Awsath Ath Thabrani no 7148] 
Hadis ini dhaif karena Muhammad bin Abdurrahiim Syaikh Thabrani seorang yang majhul hal, Mughirah bin Saqlaab seorang yang dhaif, dan Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban mengalami ikhtilath. 
  • Muhammad bin Abdurrahiim Ad Diibaajiy adalah Syaikh Thabrani yang tidak dikenal kredibilitasnya. Tidak ada ulama mutaqaddimin yang menta’dilkannya dan yang meriwayatkan darinya hanya Ath Thabrani.
  • Mughirah bin Saqlaab seorang yang dhaif. Abu Ja’far An Nafiiliy berkata “tidak dipercaya”. Ibnu Ady berkata “munkar al hadits”. Abu Hatim berkata “shalih al hadits”. Abu Zur’ah berkata “tidak ada masalah”. Daruquthni mendhaifkannya [Lisan Al Mizan juz 6 no 282]. Al Uqaili memasukkannya ke dalam Adh Dhu’afa [Ad Dhu’afa Al Uqaili 4/182 no 1757]. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Adh Dhu’afa seraya mengatakan kalau Mughirah tergolong orang yang sering salah, meriwayatkan dari perawi dhaif dan majhul , meriwayatkan hadis-hadis yang mungkar dan waham serta harus ditinggalkan. [Al Majruhin no 1033].
  • Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban seorang yang diperbincangkan. Ahmad berkata “tidak kuat” dan terkadang berkata “meriwayatkan hadis-hadis mungkar”. Ibnu Ma’in terkadang berkata shalih terkadang berkata “dhaif”. Abu Zur’ah, dan Al Ijli berkata “layyin”. Duhaim berkata “tsiqat”. Abu Hatim mengatakan tsiqat tetapi mengalami perubahan hafalan di akhir hidupnya. Nasa’i terkadnag berkata “dhaif” terkadang berkata “tidak kuat” dan terkadang berkata “tidak tsiqat”. Ibnu Khirasy berkata “layyin”. Ibnu Ady berkata “ ia memiliki hadis-hadis shalih, seorang yang shalih ditulis hadisnya dan ia dinyatakan dhaif” [At Tahdzib juz 6 no 306]. Ibnu Hajar berkata “ia seorang yang jujur, sering salah dan mengalami perubahan hafalan di akhir hidupnya” [At Taqrib 6/306].
Dengan mengumpulkan jalan-jalannya maka hadis Abu Hurairah di atas kedudukannya dhaif dan tidak dapat dijadikan hujjah. Terdapat hadis lain riwayat Ummu Hani’ bahwa Rasulullah SAW mengatakan Allah SWT menamakan Abu Bakar dengan Ash Shiddiq. Hadis ini diriwayatkan dalam Ma’rifat Ash Shahabah Abu Nu’aim no 60 dan kedudukannya adalah maudhu’ karena di dalamnya terdapat Muhammad bin Ismail Al Wasawisi seorang yang dhaif pemalsu hadis. Ahmad bin Amru Al Bazzar Al Hafizh berkata “ia pemalsu hadis”. Daruquthni dan yang lainnya berkata “dhaif”. Al Uqaili memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [Lisan Al Mizan juz 5 no 252] 
Catatan Untuk Haulasyiah 
Salafy yang kami maksud berlebihan dalam berhujjah adalah haulasyiah. Dalam salah satu tulisannya yang menanggapi Ibnujakfari dengan judul “Hadits : Abu Bakar Bergelar Shiddiq Palsu?”, ia menunjukkan berbagai riwayat yang menurutnya shahih kalau gelar Ash Shiddiq bagi Abu Bakar itu turun dari langit dan diucapkan melalui Jibril Alaihis Salam. Setelah kami teliti hadis-hadis yang dijadikan haulasyiah sebagai hujjah adalah hadis yang dhaif kecuali satu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Tirmidzi, Ahmad dan yang lainnya 
حدثنا محمد بن بشار حدثنا يحيى بن سعيد عن سعيد بن أبي عروبة عن قتادة عن أنس حدثهم أن رسول الله صلى الله عليه و سلم صعد أحدا و أبو بكر و عمر و عثمان فرجف بهم فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم اثبت أحد فإنما عليك نبي وصديق وشهيدان
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar yang menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id dari Sa’id bin Abi Arubah dari Qatadah dari Anas yang menceritakan kepada mereka bahwa Rasulullah SAW mendaki gunung uhud bersama Abu Bakar, Umar dan Utsman kemudian gunung Uhud mengguncangkan mereka. Rasulullah SAW bersabda “diamlah wahai Uhud sesungguhnya diatasmu terdapat Nabi, shiddiq dan dua orang syahid” [Sunan Tirmidzi 5/624 no 3697] 
Hadis ini dijadikan hujjah bahwa Abu Bakar dinyatakan Nabi SAW sebagai Ash Shiddiq. Walaupun begitu tidak ada dalam hadis tersebut kabar bahwa gelar tersebut turun dari langit seperti yang disebutkan secara jelas oleh hadis-hadis lain. Kemudian silakan perhatikan hadis berikut. 
حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا عبد العزيز بن محمد عن سهيل بن أبي صالح عن ابيه عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان على حراء هو و أبو بكر و عمر و علي و عثمان و طلحة و الزبير رضي الله عنهم فتحركت الصخرة فقال النبي صلى الله عليه و سلم اهدأ إنما عليك نبي أو صديق أوشهيد
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id yang menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad dari Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW pernah berada di atas Hira’ bersama Abu Bakar, Umar, Ali, Utsman, Thalhah dan Zubair. Kemudian tanahnya bergerak-gerak, maka Nabi SAW bersabda “diamlah, sesuangguhnya diatasmu terdapat Nabi atau shiddiq atau syahid” [Sunan Tirmidzi 5/624 no 3696 dengan sanad shahih] 
ثنا محمد بن جعفر ثنا شعبة عن حصين عن هلال بن يساف عن عبد الله بن ظالم قال خطب المغيرة بن شعبة فنال من علي فخرج سعيد بن زيد فقال ألا تعجب من هذا يسب عليا رضي الله عنه أشهد على رسول الله صلى الله عليه و سلم انا كنا على حراء أو أحد فقال النبي صلى الله عليه و سلم أثبت حراء أو أحد فإنما عليك صديق أو شهيد فسمى النبي صلى الله عليه و سلم العشرة فسمى أبا بكر وعمر وعثمان وعليا وطلحة والزبير وسعدا وعبد الرحمن بن عوف وسمى نفسه سعيدا
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang menceritakan kepada kami Syu’bah dari Hushain dari Hilal bin Yisaaf dari Abdullah bin Zhaalim yang berkata “Mughirah bin Syu’bah berkhutbah lalu ia mencela Ali. Maka Sa’id bin Zaid keluar dan berkata “tidakkah kamu heran dengan orang ini yang telah mencaci Ali, Aku bersaksi bahwa kami pernah berada di atas gunung Hira atau Uhud lalu Beliau bersabda “diamlah hai Hira atau Uhud, karena di atasmu terdapat Nabi atau shiddiq atau syahid. Kemudian Nabi SAW menyebutkan sepuluh orang. Maka [Sa’id] menyebutkan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair , Sa’ad, Abdurrahman bin ‘Auf dan dirinya sendiri Sa’id” [Musnad Ahmad no 1638 dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir] 
Jika kita memperhatikan hadis-hadis di atas maka diketahui bahwa tidak ada penjelasan secara sharih atau terang bahwa Shiddiq yang dimaksud adalah Abu Bakar. Bahkan dapat pula diartikan kalau Shiddiq itu merujuk juga pada Imam Ali Alaihis Salam mengingat Imam Ali berada di sana dan Sa’id bin Zaid ketika mendengar Mughirah mencaci Ali, ia menunjukkan keutamaan Imam Ali dengan menyebutkan hadis ini. 
Gelar Ash Shiddiq bagi Abu Bakar memang merupakan gelar yang mayshur, ada yang mengatakan kalau gelar tersebut diberikan karena Abu Bakar RA membenarkan Nabi SAW bahkan dalam peristiwa isra’ mi’raj. Jika memang demikian maka Imam Ali lebih pantas untuk dikatakan Ash Shiddiq mengingat beliau adalah orang pertama yang membenarkan Kenabian Rasulullah SAW, membenarkan risalah Beliau SAW dan membenarkan apa saja yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Pendapat yang kami pilih adalah sebutan Ash Shiddiq memang gelar Abu Bakar tetapi sebutan tersebut tidak menunjukkan keutamaan Beliau di atas Imam Ali dan Imam Ali adalah orang yang lebih pantas untuk dikatakan sebagai Ash Shiddiq.  

mayoritas ulama Ahlusunnah mempunyai konsep yang cukup aneh dan sangat batil dalam masalah kedudukan sahabat Nabi, memang benar di mulut mereka dengan lantang terucap kata “zindiq” dan “kafir” untuk orang yang mencaci sahabat nabi, (dengan cara ini mereka ingin menjatuhkan nama Syiah dalam pandangan orang awam) tapi konsep ini hanya mereka peruntukkan bagi orang2 yang mencaci Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Tapi bila Imam Ali, Hasan, dan Husain.as yang kedudukannya jauh lebih mulia daripada tiga tokoh diatas dicaci maki hingga dibunuh ulama Ahlusunnah sepertinya langsung “ijmak” mendiamkannya dan pura-pura tidak tau.
Sebuah konsep yang bikin orang berakal geleng-geleng kepala. Tapi itulah kenyataan pahit yang kita dapati pada diri ulama dan umat Islam yang mungkin telah tertanam gen muawiyah dalam diri mereka.
Antagonisme Penilaian Ahmad bin Hanbal Terhadap Mereka Yang Mencela Dan Membenci Sahabat
 Sebagian ulama berpendapat bahwa mencela sahabat Nabi dapat membawa pelakunya kepada kezindiqan atau kekafiran. Diriwayatkan berbagai perkataan ulama tentang hal ini diantaranya Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, Abu Zur’ah dan yang lainnya [semoga rahmat Allah dilimpahkan pada mereka]. Sayang sekali pandangan ini kami pandang berlebihan dan memiliki konsekuensi yang sangat berat karena telah diriwayatkan pula bahwa diantara mereka yang mencela sahabat itu ada beberapa orang yang dijadikan rujukan atau diambil hadisnya. Alangkah lucunya kalau dikatakan seorang yang zindiq atau kafir dijadikan rujukan dalam hadis. Di bawah ini kami akan menampilkan sikap antagonis Ahmad bin Hanbal yang terkait dengan masalah ini. Diriwayatkan oleh Al Khallal bahwa Ahmad bin Hanbal memandang orang yang mencela sahabat sebagai bukan orang islam
أخبرنا عبدالله بن أحمد بن حنبل قال سألت أبي عن رجل شتم رجلا من أصحاب النبي  صلى الله عليه وسلم  فقال ما أراه على الإسلام

Telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Ahmad bin Hanbal yang berkata aku bertanya kepada ayahku tentang orang yang mencela seseorang dari sahabat Nabi shallahu ‘alaihi wassalam. Beliau menjawab “menurutku ia bukan orang islam” [As Sunnah Al Khalal no 782]
 Jika dikatakan orang yang mencela sahabat Nabi sebagai bukan orang islam, maka konsekuensinya sangat berat dan saya rasa tidak akan ada ulama yang mau menerima konsekuensi tersebut. Telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Mughirah bin Syu’bah mencela Ali bin Abi Thalib RA. Bahkan riwayat tersebut terdapat dalam kitab Musnad Ahmad, jadi kami berasumsi kalau Ahmad bin Hanbal mengetahui bahwa Mughirah telah mencela Imam Ali. Apakah Ahmad bin Hanbal akan mengatakan kalau Mughirah bin Syu’bah bukan seorang muslim?. Faktanya tidak, Ahmad bin Hanbal memandang Mughirah sebagai sahabat Nabi yang diambil hadisnya, ia sendiri menulis hadis Mughirah bin Syu’bah di dalam kitab Musnadnya.
 Telah diriwayatkan pula dengan sanad yang shahih bahwa seorang tabiin masyhur yang dikenal sebagai imam tsiqat yaitu Urwah bin Zubair mencela seorang sahabat Nabi yaitu Hassan bin Tsabit RA. Apakah Ahmad bin Hanbal akan mengatakan kalau Urwah bin Zubair bukan seorang muslim?. Faktanya, Ahmad bin Hanbal malah memuji Urwah bin Zubair dan menjadikan hadisnya sebagai rujukan.
 Antagonisme yang sangat nyata dapat dilihat pada penilaian Ahmad bin Hanbal terhadap beberapa perawi hadis yang nashibi seperti Hariiz bin Utsman dan Abdullah bin Syaqiq. Dalam biografi Abdullah bin Syaqiq disebutkan kalau Ahmad berkata
وقال أحمد بن حنبل ثقة وكان يحمل على علي
Ahmad bin Hanbal berkata “tsiqat dan ia mencela Ali” [At Tahdzib juz 5 no 445]
وقال أحمد بن أبي يحيى عن أحمد حريز صحيح الحديث إلا أنه يحمل على علي
Ahmad bin Abi Yahya berkata dari Ahmad yang berkata “Hariiz shahih hadisnya hanya saja ia mencela Ali” [At Tahdzib juz 2 no 436]
وسمعت أبا داود يقول : سالت أحمد بن حنبل عن حريز فقال : ثقة ثقة ثقة

Aku mendengar Abu Dawud berkata aku bertanya kepada Ahmad bin hanbal tentang Hariiz. Ia menjawab “tsiqat tsiqat tsiqat” [Su’alat Al Ajurri 2/234 no 1700]
Ahmad bin Hanbal mengakui kalau Harriiz bin Utsman dan Abdullah bin Syaqiq mencela Ali bin Abi Thalib RA tetapi hal ini tidak mencegahnya untuk mengatakan tsiqat, bahkan Hariiz ia puji dengan ta’dil yang sangat tinggi “tsiqat tsiqat tsiqat”. Padahal Ahmad bin Hanbal beranggapan siapa saja yang mencela sahabat Nabi maka ia bukan orang islam. Sikap antagonis seperti ini adalah konsekuensi dari pandangan Ahmad sendiri yang mengkafirkan “orang yang mencela sahabat Nabi”. Oleh karena itu tidak diragukan lagi sikap sebagian ulama yang memandang kafir mereka yang mencela sahabat Nabi adalah sikap yang berlebihan dan keliru. Walaupun begitu bukan berarti kami memandang baik perkara mencela sahabat Nabi karena Mencela seorang muslim tidaklah dibenarkan dalam syari’at islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar