Mencari
Tuhan
Mengapa dan Bagaimana KATA PENGANTAR PENERBIT
Agama (baca:
Islam) tentu saja bukan cuma mengajarkan tatacara beribadah atau incnyci ukan
segenap kebaikan moral. Agamajuga berbicara tentang keharusan untuk memahami
segala sesuatu secara rasional (masuk akal).
Dalam sejumlah
ayat al-Quran, kita acapkali menjumpai pernyataan yang dimaksudkan untuk
mengingatkan manusia tentang kemampuan rasio yang dimilikinya; afalâ ta’qilûn,
afalâ yatafakkarûn, dsb.
Keharusan semacam
ini tentunya tanpa kecuali, termasuk terhadap keberadaan agama itu sendiri.
Dengan kata lain, suatu agama belum tentu bisa dibenarkan sepenuhnya (sekalipun
memiliki ajaran moral-etis yung begitu menyentuh) kalau tidak memiliki
pembenaran logis bagi keberadaannya.
Acapkali kita begitu
terpengaruh terhadap kebenaran sebuah agama (Islam ataupun bukan) hanya
lantaran seruan moralnya yang begitu mengharu biru. Atau lantaran sejarahnya
yang begitu mengagumkan. Padahal, di balik semua itu, boleh jadi terpendam
kekeliruan yang sudah sedemikian busuk ihwal keabsahan dirinya secara logis.
Dengan kata lain, pesona moral dan sosial yang ditampakkan lebih sebagai upaya
untuk menyelubungi irasionalitas keberadaannya.
Pertanyaan-pertanyaan
seperti; dari mana asal-usul kehidupan; apa sesungguhnya kenyataan itu;
bagaimana kesudahan hidup itu; dan seterusnya jelas harus dijawab oleh agama,
yang dalam hal ini mengklaim dirinya mutlak benar dan memiliki pengetahuan
absolut dan transenden (melampaui kenyataan profan dan imanen di dunia). Dan
persoalan terpenting lagi adalah tentang apa atau siapa sebenamya Tuhan itu.
Sebab, dalam
kacamata agama apapun (tentunya terlepas dari penamaannya secara harfiah),
Tuhan merupakan konsep dasar yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Tanpa konsep
ketuhanan, dengan sendirinya agama akan kehilangan legitimasi superiornya.
Agama menjadi tak ubahnya sekumpulan noima-norma sosial belaka, tanpa orientasi
spiritual apapun.
Dengan begitu,
pengenalan terhadap Tuhan secara masuk akal menjadi kemestian yang tak bisa
ditolak. “Apakah Tuhan itu ada? Di manakah Tuhan bersemayam? Tunggalkah Tuhan?
Adilkah? Mungkinkah kita mengenal Tuhan kita?” Jawaban atas seluruh pertanyaan
tersebut pada gilirannya tentu akan menjadi tolok ukur kedalaman keyakinan
serta keagamaan kita. Dalam Islam, segenap persoalan yang menyangkut Pernahaman
rasional tentang eksistensi Tuhan ditelaah dalam pembahasan aqidah (ihwal
keyakinan secara ilmiah).
Untuk itu, dalam
kesempatan berbahagia ini kami menyajikan salah satu buah karya penting seorang
ulama besar Islam, Prof. Muhsin Qaraati. Dalam buku ini, beliau menguraikan
secara memikat dan dengan panjarig lebar, topik yang berkenaan dengan
eksistensi Tuhan; ketauhidan dan keadilan. Mungkin bagi sebagian pembaca, topik
semacam ini (khususnya tentang keadilan Tuhan) masih terasa asing. Kami tentu
maklum. Namun, tak ada salahnya kalau “gagasan asing” ini kita telaah Dengan
seksama. Barangkali di dalamnya terkandung banyak manfaat yang bisa kita petik.
Paling tidak,
membiasakan diri kita untuk bersikap terbuka dan jujur terhadap sesuatu yang
asing, yang boleh jadi akan membongkar dan meluruskan pelbagai kekeliruan serta
kebusukan pola pikir dan keyakinan keagamaan kita selama ini. Wallahu a’lam.
Bogor, November 2001
Penerbit Cahaya
KETAUHIDAN
Pandangan
Dunia (ar-ru`yah al-kaumah)
Kita semua
acapkali mendengar istilah “Pandangan Dunia” (world view). Pandangan Dunia
merupakan sebuah tafsiran universal terhadap keberadaan jagat alam
(macrocosmos). Adapun Pandangan Dunia yang menyertakan kesadaran bahwa
keberadaan alam ini memiliki tujuan, bersandar pada wujud yang memiliki
perasaan, dan berdasarkan pada sebuah rancangan, sistem, serta perhitungan yang
pasti, disehut Dengan "Pandangan Dunia Ilahiah". Sementara, pandangan
semesti yang mengedepankan asumsi bahwa jagad alam ini tidak didasari oleh
rancangan sebelumnya, tidak memiliki perancang yang berperasaan, tanpa tujuan,
dan tanpa perhitungan, disebut dengan "Pandangan Dunia Materialisme."
Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa "Pandangan Dunia" tak lain dari bentuk tafsiran
serta perspektif universal seseorang terhadap universum keberadaan alam dan
manusia.
Manfaat Pembahasan Pandangan Dunia
Tak diragukan
lagi, pembahasan terhadap kedua bentuk pandangan tersebutpasti memiliki
manfaat, serta keuntungan yang khas. Seumpama, rumah yang besar (alam) ini ada
pemiliknya, dibangun dengan perhitungan, serta memiliki tujuan, di mana saya
menjadi salah satu bagian di dalamnya, tentunya sikap serta perbuatan saya
harus berdasar pada kerelaan pemilik rumah (Allah).
Selain itu, saya
juga mesti mengamalkan berbagai aturan yang telah diberikan saya (dengan
perantaraan wahyu dan para nabi). Adapun seandainya seluruh alam ini tercipta
tanpa suatu rancangan apapun, tidak bertujuan, dan tanpa perhitungan, maka bagi
saya tak ada alasan untuk menaati berbagai aturan serta tidak harus petuh pada
berbagai ikatan dan larangan.
Pada masa
sekarang, kalimat "manusia yang konsisten dan bertanggung jawah"
acapkali didengung-dengungkan. Padahal, masalah pertanggungjawaban, adanya
pengawasan, dipertanyakannya segala perbuatan, dan keyakinan bahwa alam ini
tercipta berdasarkan perhitungan, sistem, serta tujuan, merupakan masalah yang
tercakup dalam topik "Pandangan Dunia Ilahiah".
Dan melalui
pandangan semacam inilah, kita dapat menjadi manusia yang konsisten dan
bertanggung jawab. Akan tetapi, berbandirig terbalik Dengan itu, dalatn sudut
pandang materialisme, seluruh jagat alam terwujud tanpa rancangan sebelumnya.
Menurut pandangan
ini, semua keberadaan tercipta sesuai dengan berlalunya waktu. Dikatakan pula
bahwa seluruh manusia berjalan menuju kemusnahan diri. Dengan kematian, mereka
akan menjadi musnah. Sementara tujuan dari kehidupan ini tak lebih dari sekadar
meraih kesenangan (dunia), untuk kemudian segera musnah dan bmasa. Bentuk
pemikiran semacam ini niscaya akan menjadikan seseorang berkata kepada dirinya
sendiri, "Mengapa saya mesti ada (hidup) dan tidak melakukan bunuh diri?
Bertahun-tahun saya hidup menderita, toh akhirnya saya juga akan bmasa.
Lalu mengapa saya
tidak segera mengakhiri hidup saya ini?" Benar, kehidupan yang bermakna
hanyalah kehidupan yang berada di bawah naungan "Pandangan Dunia
Ilahiah", tidak pada yang lain.
Fungsi Pandangan Dunia
Ketika di tengah
malam buta, rumah Anda tiba-tiba diketuk seseorang yang belum Anda kenal betul
dan tidak dapat terlihat secara jelas, tentu Anda tidak akan segera membuka
pintu.
Ketika tidak
mengetahui bagaimana cuaca kota yang akan kita tuju, pasti kita tidak akan
mengetahui jenis pakaian apakah yang harus dibawa. Pabila kita tidak mengetahui
apakah undangan yang ditujukan untuk kita berupa undangan dukacita atau
pernikahan, jelas kita tidak akan bisa memutuskan pakaian maLam apakah yang
mesti kita kenakan.
Dengan demikian,
agar tugas-tugas yang akan kita laksanakan menjadi jelas, kita terlebih dahulu
harus memiliki pandangan serta pengenalan yang jelas terhadapnya.
Karena itu,
akidah bentuk pemikiran, serta pengenalan (yang keseluruhannya bisa dnstilahkan
dengan "Pandangan Dunia") yang ada pada diri kita akan berpengaruh
terhadap seluruh perilaku serta pilihan-pilihan kita.
Memilih Pandangan Dunia
Telah saya
kemukakan bahwasannya terdapat dua bentuk pandangan terhadap keberadaan alam
semesti dan manusia.
1. Pandangan
Ilahiah: Sebuah pandangan yang menerima prinsip tentang adanya pemilik,
perhitungan yang pasti, rancangan yang sistemis, serta perancang dari
keberadaan jagat alam ini.
2. Pandangan
Materialis: Sebuah pandangan yang meyakini bahwa semesti alam ini bukan milik
siapa-siapa, tak ada perancangnya, tercipta tanpa tujuan, dan bergerak menuju
titik kemusnahan. Dengan memperhatikan manfaat serta fungsi "Pandangan
Dunia" sebagaimana yang saya singgung pada awal pembahasan, setiap orang
mau tidak mau harus memnih salah satu dari kedua bentuk pandangan tersebut.
Ciri-ciri
pandangan yang baik mengandungi sejumlah hal:
1. Pandangan
Dunia senantiasa berpijak di atas berbagai argumen akal (logika).
2. Pandangan
serta proses penafsirannya harus sesuai dengan fitrah penciptaan alam.
3. Selain
memiliki nilai, Pandangan Dunia juga mengobarkan semangat, harapan. serta rasa
bertanggung jawab.
Dengan
memperhatikan ciri-ciri di atas, kita akan memulai pembahasan dan kajian ini.
Tauhid: Poros "Pandangan Dunia
Ilahiah" (ar-ru`yah al-kaumah al-ilâhiah)
Sesuai Dengan
prinsip penalaran, kita mengetahui bahwasannya keberadaan sesuatu pasti
memiliki sebab-musababnya. Keyakinan dan ketentuan ini sedemikian jelas
sampai-sampai jika Anda meniup wajah seorang bayi, sekalipun secara perlahan,
ia akan segera membuka matnya serta menengok ke kanan dan ke kiri demi mencari
sebab munculnya angin yang menerpa wajah mungituya.
la mengetahui
bahwa hembusan angin tersebut berasal dari suatu sumber tertentu. Ya, masalah
adanya bekas atau jejak yang menunjukkan adanya sesuatu yang membuat bekas atau
jejak tersebut, merupakan suatu masalah yang teramat jelas dalam kehidupan
kita. Di seluruh pengadilan, keberadaan bekas atau jejak acapkali mampu
mengungkap fakta suatu kasus. Apabila terdapat lukisan seekor burung merak atau
ayam jantan, kita bisa memastikan bahwa untuk itu ada yang menggambar atau
melukisnya.
Akan tetapi,
mungkinkah hagi kita untuk membayangkan bahwasanya keberadaan hurung merak dan
ayam jantan itu sendiri tidak memiliki perancang dan penciptanya? Bagaimana
kita dapat meyakinkan akal kita kalau sebuah kamera saja ada yang membuatnya,
sementara mata manusia tidak dibuat oleh pencipta yang memiliki perasaan?
Padahal, kita
mengetahui dengan pasti bahwa dalam hal pengamhilan gambar, kemampuan mata kita
jauh lebih sempurna daripada sebuah kamera. Setelah beberapa kali melakukan
pengambilan gambar, sebuah kamera harus mengganti negatif filmnya dengan
negatif film yang baru.
Sementara mata
kita tiada henti-hentinya mengambil gambar tanpa perlu mengganti negatif film.
Sebuah kamera biasanya hanya bisa mengambil gambar hitam-putih atau berwarna,
sedangkan mata kita dapat mengambil gambar berbagai benda dalam berbagai wama,
hitam-putih, berwama, dari jarak dekat maupun jauh, di bawah pancaran sinar
matahari atau terlindung darinya.
Dengan demikian,
mungkinkah akal kita dapat menerima pandangan bahwa anggota tubuh bagian
permukaan diciptakan oleh sang pencipta, sementara bagian organ pencernaan
tidak?! Kita meyakini bahwa keteraturan yang terdapat pada diri seseorang
mencerminkan adanya perasaan dalam dirinya. Lalu, apakah keteraturan yang
berlangsung di alam semesti ini tidak merefleksikan adanya (pencipta yang
memiliki) perasaan? Bagaimanakah mereka bisa menggantikan (pencipta alam ini)
dengan berbagai sebab-sebab serta hukum-hukum alam? Padahal kita mengetahui
bahwa hanya untuk mengetahui hakikat keberadaan dari salah satu saja dari
hukum-hukum alam tersebut, seorang cendekiawan sampai harus menghabiskan
waktunya selama berpuluh-puluh tahun!
Ringkasnya,
apabila ciri-ciri utama yang melekat pada "Pandangan Alam" terbaik
selaras dengan pendapat akal, maka sejak kali yang pertama, akal kita telah
menyaksikan adanya sistem (keteraturan) serta perhitungan yang rinci di jagat
alam ini, sekaligus memberi keyakinan bahwa alam semesti merupakan hasil
ciptaan suatu kekuatan yang memiliki perasaan. Melalui rumus akal itulah, Allah
memberikan sederet jawaban atas berbagai keraguan yang mendera. Setelah
melakukan observasi terhadap alam semesti dan mengetahui adanya berbagai
keteraturan serta perhitungan yang amat hnci di dalamnya, kita niscaya akan
terbawa ke dalam pandangan Ilahiah. Inilah suatu pertanda adanya kebenaran
dalam cara memandang dan berpikir.
Pertanda lain
yang menunjukkan kebenaran "Pandangan Dunia Ilahiah" adalah
kesesuaiannya dengan keberadaan fitrah. Dalam hal ini, saya akan menjelaskan
terlebih dahulu kepada saudara-saudara sekalian, makna dari fitrah, sehingga
ketika saya menyinggung masalah pengenalan tuhan secara fitriah, kita sudah
memiliki bekal pengetahuan yang memadai.
Penafsiran Fitrah
Istilah fitrah
identik dengan kata khilqahi, yang memiliki arti "ciptaan"; suatu
bentuk perasaan yang terdapat dalam diri manusia yang dalam perwujudannya tidak
memerlukan latihan serta pengajaran dari seorang pendidik atau pengajar, dan
perasaan tersebut senantiasa bersemayam dalam jiwa seluruh manusia di pelbagai
tempat dan masa. Perasaan tersebut terkadang disebut fitrah, dan terkadang pula
disebut gharîzah (insting).
Alhasil, insting
merupakan perasaan serta berbagai kecenderungan yang Selain terdapat dalam diri
manusia, juga terdapat pada hewan. Tentunya jelas bahwa salah satu pertanda
bahwa sesuatu hal bersifat fitriah ialah apabila keberadaannya bersifat
universal.
Misalnya,
kecintaan seorang ibu terhadap anaknya yang merupakan sesuatu yang bersifat
fitriah; perasaan kasih sudah tertanam dalam jiwa sang ibu, sehingga untuknya
tidak diperlukan bimbingan atau pengajaran. Dan hal itu juga bersifat
universal.
Dalam arti,
apabila Anda rnenelusuri pelbagai tempat dan masa, pelbagai bentuk dan sistem
pemerintahan, Anda tentu akan menjumpai kecintaan seorang ibu terhadap anaknya.
Akan tetapi, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan kuat dan lemahnya
perasaan (fitrah) tersebut.
Boleh jadi suatu
perasaan yang terdapat dalam jiwa seseorang berhasil mengalahkan perasaan yang
lain. Misalnya saja dalam diri manusia terdapat rasa cinta terhadap harta,
kesenangan, atau keselamatan. Akan tetapi, bobot dan masing-masing bentuk
perasaan yang terkandung dalam diri setiap individu tersebut tidaklah sama
persis.
Sebagian orang
akan rela mengorbankan nyawa demi hartanya, sementara sebagian lainnya akan
rela mengorbankan harta demi nyawanya. Sebagaimana pernah terjadi pada suatu
masa, seorang ayah yang demi mempertahankan harga diri (dikarenakan anggapan
yang berkembang waktu itu bahwa memiliki anak perempuan merupakan suatu
kehinaan dan cela) sampai-sampai harus memutuskan rasa cintanya kepada anak
(perempuan)nya.
Kemudian dengan
tangannya sendiri, ia tega mengubur hidup-hidup anak itu. Karena itu,
keberadaan fitrah tidak meniscayakan semua manusia memiliki sikap yang sama.
Sebabnya, banyak sekali fitrah yang tertutupi fitrah yang lain. Salah satu hal
yang dihasilkan fitrah ialah rasa bangga diri. Seseorang yang berjalan di garis
fitrah, akan memiliki jiwa yang tenang. Seorang ibu yang menggendong putranya
akan merasa bangga, sampai-sampai ia akan marah ketika menyaksikan seorang ibu
yang tidak mengasihi anaknya sendiri. Ya, rasa bangga dan marah tersebut
merupakan bentuk sikap yang dihasilkan oleh fitrah.
Sekarang, marilah
kita saksikan bersama, apakah pengenalan terhadap Tuhan merupakan sesuatu hal
yang bersifat filrah ataukah bukan?
Kita akan
bertanya kepada setiap manusia yang ada di setiap tempat, masa, serta
pemerintahan, "Apa yang kalian rasakan dalam kehidupan di alam semesti
ini?" Apakah kalian merasa bahwa diri kalian benar-benar bebas? Ataukah
kalian merasakan bahwadalam diri terdapat suatu keterikatan?
Tak seorangpun
yang mengatakan, "Di alam semesti ini saya benar-benar merasa bebas."
Setiap orang pasti akan merasakan bahwa di dalam dirinya terdapat suatu ikatan.
Namun, perasaan yang benar semacam ini bisa terpenuhi dalam dua bentuk:
1. Perasaan yang
henar dan dipenuhi dengan cara yang benar.
2. Perasaan yang
benar dan dipenuhi dengan cara yang keliru (kebohongan).
Seumpama, seorang
bayi yang menangis karena merasa lapar. Perasaan lapar tersebut merupakan
sesuatu yang benar. Namun terkadang, pemenuhan tuntutan perasaan tersebut
dilakukan dengan cara menghisap susu ibunya yang penuh dengan air susu.
Tentunya, pemenuhan
semacam ini dilakukan dengan cara yang benar. Namun, terkadang pemenuhan
perasaan tersebut dipenuhi dengan cara menghisap puting susu plastik tiruan
(dot). Sebagaimana dikemukakan bahwa dalam diri manusia benar-benar terdapat
rasa keterikatan. Akan tetapi, keterikatan pada apa?
1. Pada kekuatan
Allah?
2. Pada kekuatan
alam?
Keberadaan alam
sendiri memiliki keterikatan terhadap ratusan sebab dan akibat. Dengan
demikian, kita mesti mengikatkan diri kita dengan suatu kekuatan yang tidak
lagi terikat sebagaimana diri kita.
Misi Para Nabi
Misi para nabi
ditujukan untuk menjaga agar perasaan manusia yang pada hakikatnya bersifat
lembut tidak sampai dijejali berbagai modus kebohongan (kekeliruan).
Sebagaimana seorang ibu atau seorang pengasuh yang tidak akan pernah membiarkan
seorang anak yang lapar—demi menghilangkan rasa laparnya—menyantap makanan
secara sembarangan. Sejarah menunjukkan bahwa mereka yang tidak berada di bawah
bimbingan para nabi akan terjerumus ke dalam berbagai macam khurafat (penyelewengan).
Apakah Perbudakan Bertentangan dengan
Kebebasan Manusia?
Kadang kala,
terbayang dalam benak kita bahwa ajakan pari nabi serta berbagai mazhab samawi
untuk menyembah Allah semata merupakan perbuatan yang bertentangan dengan
kebebasan manusia.
Namun, perlu
diperhatikan bahwa susunan tubuh manusia telah diciptakan sedemikian rupa,
sehingga manusia tidak dapat hidup tanpa cinta, kasih, peribadahan, serta
harapan. Rasa cinta dan kegemaran dalam beribadah telah tertanam dalam jiwa
manusia. Dan, jika perasaan tersebut tidak ditundukkan di bawah bimbingan para
nabi, akibatnya manusia akan menjadi penyembah patung berhala, benda-benda
langit, sesamanya, serta para pemimpin yang zalim.
Karena itu,
perbudakan dan peribadahan kepada Allah merupakan suatu cara pemuasan yang
benar, yang menghalangi berbagai bentuk pemuasan semu (keliru), sekaligus
menyelamatkan jalur cinta dan peribadahan dari pelbagai penyimpangan.
Pandangan Alam
Ilahiah dan iman kepada Allah berakar pada keberadaan fitrah. Perasaan serta
keterikatan pada kekuatan adikodrati yang tidak terbatas, sudah tentu terdapat
dalam jiwa setiap manusia. Namun demikian, sekalipun seseorang bisa memastikan
adanya kekuatan tidak terbatas itu, ia boleh jadi mengalami kekeliruan dalam
hal menentukan kekuatan manakah yang bersifat llahi dan mana yang bersifat
alamiah.
Alhasil, perasaan
dan huhungan semacam itu benar-benar ada. Karena itu, Pandangan Dunia Ilahiah
meyakini bahwa seluruh keberadaan di jagat alam terikat dengan suatu kekuatan
adikodrati tanpa batas dan memiliki perasaan, dan ini sesuai dengan fitrah
manusia. lnilah bukti lain yang berkenaan dengan kebenaran.
Pandangan Dunia Ilahiah
Tanda ketiga yang
melekat pada suatu pandangan yang paling komprehensif ialah melahirkan
rasacinta, harapan, serta tanggungjawab dalam diri manusia.
Pabila seorang
pelajar yang ada di sebuah sekolah mengetahui bahwa berbagai usahanya tidak
akan sia-sia, seperseratus dari nilainya akan diperhitungkan, dan seluruh
alasan yang masuk akal akan diterima, tentu akan terus belajar dengan semangat
yang luar biasa.
Berkat Pandangan
Dunia Ilahiah, manusia akan memiliki keyakinan bahwa setiap detik dari
kehidupannya senantiasa berada di bawah pengawasan Allah. Dengan pandangan
tersebut, setiap alasan keberadaannya juga akan diterima, perbuatan baik dan
buruknya sekecil apapun—tidak akan diabaikan bahkan perbuatan baiknya akan
dibeli Allah, harga dari nyawa dan hartanya akan dibayar oleh kenikmatan
surgawi, dan memiliki keyakinan bahwa pada satu sisi dirinya acapkali
memperoleh pertolongan gaib, sementara pada sisi yang lain memperoleh sarana
pendidikan yang bebas dari keraguan, kekeliruan, serta kealpaan.
Ala kulli ha,
semua itu merupakan pelita harapan yang paling benderang yang menerangi hati
manusia.
Bagaimanakah Bentuk Iman dan Kecenderungan
yang Berharga?
Dalam al-Quran
terdapat berbagai kritikan atas berbagai bentuk iman serta kecenderungan yang
dimiliki manusia:
1. Berbagai
kecenderungan yang bersifat musiman (angin-anginan). Sebagai contoh. seseorang
yang pada suatu ketika merasakan dirinya tengah berada dalam bahaya, di mana
kapal yang ditumpanginya akan tenggelam.
Pada saat itu, ia
segera menyebut, "Yaa Allah." Akan tetapi, begitu terlepas dari
kesulitan tersebut, dan dirinya melihat bahwa kapal yang ditumpanginya tengah
mendekati pantai, seketika itu pula ia kembali menyerahkan dirinya kepada
Selain Allah; berbuat syirik.
2. Dalam Al-Quran
kita membaca ayat ini: “Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada
Allah dengan memurnikan niat ketaatan kepada-Nya, maka tatkala Allah
menyelematkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka kembali mempersekutukan
(Allah)” (al-Ankabût: 65)
3. Keimanan serta
kecenderungan ikut-ikutan terhadap keyakinan urang tua dan para pendahulu.
Kecenderungan semacam ini biasanya tidak didasari argumentasi atau dalil
yangrasional.
Keimanan ini
mirip dengan keimanan yang dimiliki para penyembah berhala. Tatkala menjawab
pertanyaan para nabi, mereka mengatakan, "Keyakinan kami dalam menyembah
berhala ini diwarisi dari para pendahulu kami." Berkenaan dengan ini,
al-Quran mengatakan, “Mereka menjawab, ‘(Bukan karena itu), sebenarnya kami
mendapati nenek moyang berbuat demikian” (asy-Syu’arâ`: 74)
4. Keimanan dan
kecenderungan yang hanya bersifat kulit belaka dan belum menembus ke dalam
lubuk hati, ruh, serta jiwa.
Al-Quran
mengatakan, "Sekelompok orang-orang Arab datang menemui Rasul saww dan
mengatakan, “Kami semua telah beriman”.
Kemudian Allah
berfirman kepada Nahi saww, “Katakanlah kepada mereka, “Keimanan kalian
sekarang ini masih belum membekas dalam hati kalian. Kalian hanya sekedar
mengungkapkan rasa keimanan saja’. Orang-orang Arab Badui itu berkata, ‘kami
telah beriman’, Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman, tapi
katakanlah, ‘Kami telah tunduk’, karena iman itu berlum masuk ke dalam hatimu”.
(al-Hujurât: 14)
5. Keimanan yang
kosong dari amal perbuatan yang baik. Orang yang memiliki keimanan ini adalah
orang yang berpengetahuan namun enggan mengamalkannya. Dalam al-Quran, terdapat
banyak sekali kecaman terhadap orang-orang semacam ini.
Manakah Bentuk Keimanan yang Bernilai?
Dalam al-Quran
disebutkan bahwa iman yang bernilai dan berharga harus didasari pada pemikiran
serta pertimbangan rasional terhadap berbagai ciptaan. Kita membaca dalam
al-Quran; “... dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata), Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia” (Ali
Imrân: 191)
Hasil-hasil Keimanan Terhadap Allah
1. Munculnya
perasaan cinta dan semangat.
Seseorang akan
mengetahui secara pasti bahwa seluruh perbuatannya senantiasa berada di bawah
pengawasan Allah, sembari meyakini pula bahwa tak satupun dari amal
perbuatannya akan musnah, dan semua usahanya akan diganjar Allah dengan surga
dan ridhwân (kerelaan Allah).
Bahkan, sekalipun
ia hanya memiliki niat semata dan tidak berusaha, Allah tetap akan
menganugerahkan paHala dan ganjaran kepadanya. Seseorang yang mengetahui semua
itu pasti akan menjalani kehidupan yang penuh dengan semangat dan cinta.
2. Menjauhkan
diri dari tipu muslihat, kehinaan moral, dan pelecehan hak.
Seseorang yang
menyadari bahwa diri serta perbuatannya berada di bawah pengawasan serta
kekuasan Allah, tidak akan melakukan berhagai bentuk penipuan.
3. Keagungan.
Seseorang yang
bersedia menjadi hamba-Nya, tidak akan bersedia tunduk pada kekuatan lain. la
akan memandang seluruh kebciadaan Selain-Nya sama seperti dirinya yaku hanya
sebagai hamba.
4. Tidak akan
melakukan pekerjaan yang merugikan.
Dikarenakan
setiap perbuatan baik yang dikerjakannya akan mendapat pahala serta ganjaran
yang kekal dan abadi, ia tidak akan pernah bersandar kecuali kepada-Nya, dan
senantiasa menjauhkan diri dari berbagai kecenderungan kepada Selain-Nya.
5. Merasakan
ketenangan jiwa.
Di sini kita akan
melihat berbagai faktor penyebab munculnya rasa gelisah dan guncanganjiwa.
Darinya, kita dapat menyaksikan dengan jelas bagaimana keimanan kepada Allah
mampu menciptakan ketenangan dalam jiwa.
Faktor-faktor Penyebab Guncangan Jiwa
1. Adakalanya
guncanganjiwa dan rasa gelisah timbul akibat keadaan yang dialami di masa lalu.
Pada umumnya, hal itu berkaitan dengan berbagai kekeliruan yang dilakukan pada
masa silam.
Akan tetapi,
dengan mengingat serta menyebut nama AllahYang Mahapengasih lagi Mahapemurah,
keadaan jiwa semacam itu niscaya akan berubah. Dari serba gelisah menjadi penuh
dengan ketenangan. Sebabnya. Dia maha mengampuni berbagai kekeliruan dan
perbuatan dosa, dan Dia juga Mahapenerima tobat.
2. Adakalanya
guncangan jiwa serta kegelisahan bersumber dan rasa terasing (kesendirian).
Dalam hal ini, keimanan kepada Allah Yang Maha Ada dan Maha Menyaksikan, akan
mengubah semua itu menjadi penuh ketenangan den ketenteraman. la menyenangkan
dan disenangi; la mendengar suaraku; la menyaksikan segenap perbuatanku; la
mengasihi dan menyayangi diriku.
3. Adakalanya
guncangan jiwa terjadi akibat adanya anggapan bahwa kehidupan dirinya tidak
memiliki arti apa-apa serta nihil dari tujuan. Akan tetapi, dengan keimanan
kepada Allah yang Mahabijaksana, yang telah menciptakan segala sesuatu di jagat
alam ini berdasarkan pada kebijakan dan masing-masingnya memiliki tujuan,
kadar, dan masa yang telah diperhitungkan secara cermat dan rinci, berbagai
bentuk guncangan jiwa semacam itu niscaya akan lenyap.
4. Adakalanya
rasa gelisah dan guncangan jiwa tersebut muncul dikarenakan seseorang tidak
berhasil menyenangkan semua orang. la merasa sedih, "Mengapa si fulan atau
golongan fulan merasa kecewa kepadaku?" Akan tetapi, sesuai dengan prinsip
keimanan bahwa kita hanya diharuskan untuk membuat Allah rela dan senang, di
mana keagungan serta kehinaan hanya berada dalam genggaman-Nya, seluruh
kegelisahan dan guncangan tersebut akan pudar.
Berkenaan dengan
itu, al-Quran mengatakan, “... Ingatlahm hanya dengan mengingat Allah hati
menjadi tentram”. (ar-Ra’d: 28) (ketahuilah, dengan mengingatdan menyebut nama
Allah, hati akan menjadi tenteram). Semua itu merupakan suatu kenyataan yang
tak bisa dipungkiri.
Berbagai Dampak dari Kekosongan Iman
Seseorang yang
tidak beriman kepada Pencipta alam, Tuhan Yang Mahabijaksana, pada dasarnya:
1. Tidak memiliki
prinsip dan tujuan hidup. Baginya, kehidupan hanyalah ditujukan untuk meraih
kebahagiaan yang bersifat material. Keberadaan orang semacam ini tak ubahnya
seekor hewan!!
2. Setiap
aktivitas yang dilakukannya diyakini bersifat paksaan belaka (baik oleh
masyarakat maupun kasta).
3. Rumah masa
depannya adalah kebmasaan. Sebabnya, ia tidak meyakini adanya kehidupan pasca
kematian serta adanya kekekalan ruh.
4. Para
pembimbingnya terdiri dari orang-orang zalim. Selain itu, ia tunduk di bawah
kemauan hawa nafsu.
5. Ruang
kehidupannya (dikarenakan tidak meyakini adanya wahyu dan keberadaan para nabi
yang maksum) sarat dengan berbagai keragu-raguan, keterbatasan, kekurangan, dan
kekeliruan.
6. Mengalami
kebingungan yang luar biasa dalam upayanya memahami eksistensi alam ini. la
sama sekali tidak mengetahui, kenapa dirinya terlahir ke alam ini? Mengapa
kemudian setelah itu dirinya pergi entah ke mana? Dan apa sebenarnya tujuan
kehidupan ini?
Seluruh
pemikirannya hanya tertumpu pada, "Bagaimanakah cara meraih kehidupan
duniawi yang lebih baik." Bukannya pada, "Apakah tujuan kehidupan
ini?" Ya, demikianlah sejumlah karakter khas dari seseorang yang nihil
dari Pandangan Dunia Ilahiah dan akidah Islam. Dengan membandingkan wajah orang
beriman kepada Allah dengan wajah orang tidak beriman kepada Allah, Anda dapat
mengetahui dengan jelas fungsi penting dari sebuah keimanan.
Penjelasan Kaum Materialis Tentang Mazhab
Setelah kita
mengetahui sebab-sebab serta akar keimanan kepada Allah, terdapat dua hal yang
terkait dengannya:
1. Akal
2. Fitrah
Akal manusia akan
mengatakan bahwa setiap sesuatu yang eksis harus ada yang meneiptakan
(mengeksiskan). Di mana dan kapan saja kita menyaksikan adanya keteraturan dan
kerapihan, kita pasti akan mengetahui bahwa untuk itu terdapat sesuatu yang
mengatur serta merapihkan.
Demikian juga,
fitrah mengatakan bahwa setiap jiwa manusia memiliki hubungan dengan sebuah
kekuatan adi-kodrati. Namun, terdapat. pula sekelompok orang yang tidak
menghiraukan kedua faktor tersebut. Dan berkenaan dengan keberadaan mazhab,
mereka memberikan berbagai penjelasan yang menggelikan.
Sejumlah
argumentasi yang mereka lontarkan telah saya kemukakan di celah-celah
pembahasan ini, meskipun masih bersifat global. Sementara untuk lebih
mengetahuinya secara lebih mendetail, saya persilahkan Anda merujuk buku Ushûl
al-Falsafah jilid V atau juga sejumlah buku lainya yang membahas topik
"Mengenal Allah" (ma’rifatullâh).
Kekeliruan Pandangan Kelompok Marxisme
Dengan berlalunya
waktu, berbagai pandangan Marxisme semakin jelas menampakkan kekeliruannya
sehingga mencoreng muka mereka sendiri. Umpama, berkaitan dengan peristiwa
revolusi Islam di Iran. Meletusnya revolusi yang menggegerkan tersebut telah
menudirig hidung masyarakat kita yang telah melakukan kesalahan dan kekeliruan
dalam memandang keberadaan agama serta proses perubahan sosial.
Di antaranya,
Marxisme mengatakan bahwa keberadaan agama tak lebih sebagai candu masyarakat.
Agama telah menjadikan masyarakat lunglai, lesu, hina, pasrah, dan kecanduan.
Akan tetapi, di negeri Iran ini kita memiliki tiga puluh limajuta saksi yang
bisa mengatakan bahwa alih-alih membuat lesu, agamajustru telah menghembuskan
semangat dan menginspirasikan pergerakan kepada masyarakatani merupakan salah
satu bentuk pandangan mereka yang keliru dan amat memalukan.
Kekeliruan yang
kedua dari pandangan Marxisme adalah ketika mereka mengatakan, "Kerusakan
moral merupakan akibat dari kelemahan ekonomi." Berdasarkan itu, bisa
dikatakan bahwa apabila ada seseorang yang rnencuri, umpamanya, maka
tindakannya itu lebih disebabkan oleh tekanan kemiskinan!
Untuk itu, kita
juga memiliki tiga puluh limajuta orang yang menyaksikan bahwa Syah Iran, si
pengkhianat, adalah gembong para perampok. Kondisi kehidupan ekonomi dirinya
tidaklah miskin. Demikian pula halnya dengan status ekonomi dari berbagai
pencuri kelas kakap lainnya di seantero sejarah. Kekeliruan ketiga Marxisme
terjadi dalam perkataannya, "Yang mencetuskan revolusi adalah gerakan
orang-orang miskin dan perlawanan kaum yang kelaparan melawan para pengeruk
keuntungan!"
Lagi-lagi kita
semua yang ada di Iran menyaksikan bahwa revolusi Islam Iran diledakkan demi
mewujudkan kebebasan serta kemerdekaan dalam melaksanakan hukum-hukum Ilahi,
bukan demi roti dan air, juga bukan dikarenakan tinggi rendahnya harga
barang-barang! Jika benar bahwa revolusi tersebut merupakan bentuk perlawanan
orang-orang miskin (vis a vis segelintir pengeruk keuntungan—pent.), tentunya
mereka yang pertama kali akan menggelar revolusi adalah para penduduk yang
tinggal di daerah Kurdistan, Sistan, atau Baluchistan.
Namun, api
revolusi yang disulut dari Madrasah Fadhiah dan dipimpin para ulama, dengan
mengumandangkan slogan Allahu Akbar, justru terjadi pada hari-hari ‘Asyura (10
Muharam—pent.).
Dan pergerakan
tersebut mencapai puncaknya tatkala tiba hari Arba’in (hari keempat puluh dari
kesyahidan Imam Husain as di medan Karbala, tanggal 20 Safar—pent.). Semua itu
merupakan bukti nyata bahwa yang menggerakkan revolusi tak lain dan spirit keyakinan
(ideologi), bukannya perut. Revolusi tersebut menggelegar tak lain demi
menghidupkan undang-undang Ilahi dan menpampakkan undang-undang penguasa zalim.
Revolusi tersebut
bukanlah buah dari pergerakan orang-orang miskin. Tentu saja kita tidak mengingkari
peran dari tekanan kondisi ekonomi serta keberadaan kaum miskin. Namun, faktor
manakah yang menjadi lokomotif serta penggerak utama revolusi tersebut? Perut
ataukah mazhab? Betapa banyak mereka yang hidup serba berkecukupan namun
kemudian menyerahkan apa yang mereka miliki demi kemenangan revolusi.
Kekeliruan
keempat—dan ini merupakan pembahasan kita pada bab "Pandangan dunia
Materialisme"—dari pandangan Marxisme malah lebih menggelikan lagi. Kali
ini komentar mereka berkaitan dongan keberadaan mazhah dan agama. Mereka
menyatakan, "Kaum kapitalis dengan perantaraan suatu sarana pemberi
harapan yang mereka sebut dengan mazhab, berusaha menenangkan dan membungkam
suara orang-orang miskin! Mereka mengatakan kepada kaum miskin,
"Bersabarlah, Tuhan menyukai orang-orang yang sabar. Jika hak kalian
dilanggar, tabahkanlah hati kalian." Atau dikatakan, "Dunia tidak
memiliki nilai, yang utama adalah akhirat." Atau, "Janganlah kalian
melakukan revolusi, tunggulah kedatangan Imam Zaman (Mahdi) as. Dia sendirilah yang
akan membuat perbaikan. "Juga dikatakan, "Lakukanlah taqiah. Apapun
yang kalian saksikan,janganlah bersuara."
Seruan-seruan
semacam itulah yang didengungkan kaum kapitalis melalui perantaraan sarana
pemberi harapan yang diriamakan dengan mazhab. Pada akhirnya, seruan-seruan
tersebut dibenarkan kelas pekerja, yang karenanya mereka (kaum kapitalis)
berhasil mencegah dan menghalangi kelas pekerja untuk melakukan perlawanan
serta penggugatan terhadap hak-haknya."
Perhatikanlah
dengan cermat, betapa pernyataan semacam itu amat sulit diterima akal sehat.
Pandangan tersebut sungguh amat memalukan.
Alhamdullah, kita
hidup dalam sebuah masa, di mana para pemudanya telah memiliki kemajuan
berpikir yang sangat mencengangkan sehingga sanggup menjawab berbagai pandangan
Marxisme yang irasional dan primitif semacam itu. Dalam sekejap saja, para
pemuda Muslim akan mengajukan berbagai bantahan kepada para pendukung Marxisme,
di antaranya:
1. Jika yang
menjadi pencipta mazhab adalah kaum kapitalis, dan itupun ditujukan untuk
menenangkan kaum miskin, lantas mengapa dalam mazhab itu sendiri termaktub
undang-undang yang justru menggerogoti modal kaum kapitalis, dan bahkan menyita
harta mereka?
Berbagai
keuntungan yang diperoleh kaum kapitalis melalui proses kezaliman, suap,
pelambungan harga, pengurangan penjualan, riba, penumpukkan harta, penipuan dan
sehagainya, dengan kata lain, seluruh kekayaan tersebut dihasilkan melalui
cara-cara yang ilegal, akan serta merta disita oleh Islam dan mazhabnya.
Kalau memang
demikian adanya, bisakah dibenarkan bahwasannya kaum kapitalislah yang
menciptakan agama dan mazhab? Mungkinkah mereka menciptakan sesuatu yang justru
pada akhirnya akan merampas seluruh harta yang dimilikinya?
Uraian ini baru
ditinjau dai i satu sisi. Sementara pada sisi yang lain, berkenaan dengan
berbagai peristilahan yang maknanya bisa diselewengkan sedemikian rupa.
Padahal, agama sendiri telah memaknai berbagai peristilahan tersebut secara
jitu dan benar.
Umpama, istilah
intizhâr (penantian), yang artinya bukan semata-mata diam dan berpangku tangan.
Ketika menanti terbitnya matahari, tentunya pada malam hari kita tidak hanya
berdiam diri dan tidak menyalakan pelita atau lampu. Makna dari menunggu musim
panas bukan berarti pada saat musim dirigin kita tidak mempersiapkan berbagai
sarana pemanas ruangan.
Benar, dalam
menunggu kedatangan Imam Zaman as demi mengharap terjadiriya perbaikan, tidak
berarti kemudian kita tidak melakukan aktivitas apapun, berdiam diri, bahkan
tunduk di bawah tekanan kezaliman. Makna dari idiom "dunia ini tidak
memiliki nilai" bukan melepaskan dunia secara total. Akan tetapi,
maksudnya adalah bahwa eksistensi manusia yang merupakan khalifah Allah di muka
bumi jauh lebih bernilai dari keberadaan dunia itu sendiri. Sehingga, jangan
sampai keberadaan dunia menjadi tujuan utama seseorang. Pendek kata, dalam
pandangan Islam, istilah kesabaran, penantian, dan kerelaan bukanlah
dimaksudkan bahwa kaum miskin harus pasrah dan berdiam diri terhadap berbagai
kebijakan para pengeruk keuntungan.
Selain menyita
harta yang telah dikumpulkan kaum kapitalis dengan cara yang tidak absah, Islam
juga menyeru kepada orang-orang miskin:
1. Tidak
dibenarkan tunduk dan merendahkan diri di hadapan para pemilik modal.
Barangsiapa yang merendahkan dirinya di hadapan seseorang karena hartanya, maka
sepertiga dari agamanya telah lenyap.
2. Imam Ridha as
bersabda, “Barangsiapa yng lebih bersemangat dalam memberi salam kepada
orang-orang kaya, pada hari kiamat kelak Allah akan murka kepadanya”
3. Memperingatkan
manusia agar jangan mengistimewakan seseorang dikarenakan hartanya.
4. Tidak
dibenarkan duduk dalam sebuah hidangan yang hanya dihadiri orang-orang kaya.
5. Imam Ridha as
sendiri senantiasa duduk dan bersantap bersama dengan budaknya. Nabi Sulaiman
as dengan berbagai keagungannya, senantiasa hidup bersama dengan orang-orang
miskin. Imam Ali bin Abi Thalib as senantiasa duduk beralaskan tanah, dan
nabi-nabi as kita pada umumnya menjadi penggembala ternak. Allah tidak akan
mengabulkan doa orang yang menganggur, dan mengutuk seseorang yang membebankan
kebutuhan hidupnya kepada orang lain. Dari perintah-perintah tersebut, kita
mengetahui dengan jelas bahwa keberadaan Islam bukunlah hasil rekayasa kaum
kapitalis. Islam tidak mendukung kebijakan mereka, dan bukan penyebab kelesuan
masyarakat serta tidak menganjurkan seseorang untuk berdiam diri. Semua ini
merupakan kajian singkat terhadap pandangan Marxisme seputar munculnya agama
dan mazhab. Kesimpulannya, pandangan Marxisme merupakan pandangan yang
menyimpang jauh dari kebenaran dan isinya amat menggelikan.
Penjelasan Lain yang Menggelikan
Sebagian kalangan
Materialis tidak memiliki kesanggupan untuk memahami prinsip bahwa Pandangan
Dunia Ilahiah bersumber dari akal dan fitrah. Acapkali mereka mengklaim dirinya
sebagai cendekiawan yang kemudian berlagak memberikan berbagai penjelasan
mengenai keimanan terhadap Sang Pencipta yang bersemayam dalam lubuk hati
orang-orang mukmin.
Mereka umpamanya
mengatakan, "Asal muasal keimanan kepada Allah adalah rasa takut".
Maksud yang terkandung dari ucapan tersebut analog dengan keadaan seorang anak
kecil yang butuh perlindungan kepada kedua orang tuanya. Namun, tatkala ia
tumhuh dewasa, perlindungan tersebut tetap dibutuhkannya. Oleh karena itu, ia
yang kini telah menjadi orang dewasa akan menciptakan sosok pelindung bagi
dirinya yang kemudian diriamakan dengan Allah.
Pada saat
menghadapi berbagai malapetaka seperti gempa bumi, sambaran petir dan guntur,
serangan binatang buas, dan sejenisnya, seseorang akan segera membayangkan
(mengharapkan—pent.) adanya sesosok pelindung bagi dirinya. Sehingga, setiap
kali dirinya merasa ketakutan, (sosok pelindung itu) akan menenangkan jiwanya.
Dengan demikian, disimpulkan bahwa asal muasal keimanan kepada Allah adalah
rasa takut!
Jawab:
1. Apabila
ketakutan merupakan asal muasal keimanan kepada Allah, maka itu berarti mereka
yang paling penakutlah yang paling beriman. Andaikata keimanan kepada Allah
berakar pada rasa takut. niscaya yang akan pertama kali beriman adalah
orang-orang yang penakut.
2. Kalau memang
demikian adanya bisa dikatakan bahwa tatkala seseorang tidak merasa takut,
sesungguhnya ia tidak sedang mengingat Allah. Padahal, hakikatnya tidaklah
demikian. Benar memang, ketika merasa takut, kita akan segera menghadap Allah.
Namun, itu bukan berarti keimanan semata-mata bersumber dari rasa takut.
Acapkali kita jumpai dalarn suatu kondisi tertentu, seseorang yang tidak
memiliki rasa takut tetap beriman kepada Allah. Tatkala ia melihat adanya
berbagai ciptaan yang sempuma, tertata, dan serba teliti, segera saja nalarnya
mengenal keberadaanAllah Yang Mahatinggi.
la memiliki
kepekaan fitriah sehingga rnampu merasakan aidanya sebuah kekuatan yang agung.
Setiap kali ia bertafakur dan berbincang-bincang dengan dirinya sendiri.
"Aku ada, dan keberadaanku bukan karena aku yang menciptakan. Seandainya
akulah yang menciptakan diriku sendiri, tentu aku akan menciptakan sosok yang
lebih kuat dan lebih bagus. Minimal, aku akan membuat perubahan pada diriku.
Orang lain tentunya juga sama seperti diriku. Kita semua ada bukannya tanpa
perhitungan. Masing-masing anggota tubuh dan sel memiliki perhitungan dan
aturan yang pasti. Kalau memang demikian adanya, bisa dipastikan bahwa aku
diciptakan Allah Yang Mahakuasa."
Logika semacam
itu bersumber dari seseorang yang memikirkan dan menelaah kebenaran secara
sungguh-sungguh, bukan oleh seseorang yang dirinya dihantui rasa takut dan
kegelisahan.
Fitrah serta
akallah yang telah membimbing dirinya ke arah pengetahuan tentang keberadaan
Allah Yang Mahatinggi. Dengan demikian, pandangan yang menyatakan bahwa
keimanan kepada Allah bersumber dari rasa takut tak lebih dari sekadar ungkapan
yang asal-asalan belaka.
Pandangan semacam
itu mengingatkan kita pada pandangan seseorang (yang menganggap pendapatnya
sebagai sebuah argumen) mengenai suhu udara kota Kasyan pada saat musnn panas.
Dalam hal ini, ia
mengatakan, "Tahukah Anda, mengapa suhu udara Kasyan sangat tinggi pada
saat musim panas? Karena pada nami "Kasyan" terdapat huruf syîn, dan
udara di padang Karbala amatlah panas sewaktu Syimr (pembunuh Imam Husain
as—pent.) berada di situ.
Dengan demikian,
kota Kasyan memiliki udara yang panas pula! "Pandangan tentang keimanan
(yang bersumber dari rasa takut—pent.) tersebut sebenamya berasal dari salah
seorang ahli psikologi. Ya, para cendekiawan ternyata dapat pula melakukan
berbagai kesalahan yang fatal. Ini terhitung wajar, sebab, semakin tinggi
sebuah gunung, semakin bahaya pula puncaknya.
Jangan sampai
kita menjadi orang yang kagum dan fanatik buta terhadap ilmu pengetahuan
sehingga kita akan menelan mentah-mentah satu atau dua penjelasan rasional
salah seorang cendekiawan terkemuka berkenaan dengan masalah tertentu.
Salah satunya
adalah (seorang cendekia dari Inggris—pent.) [Bertrand] Russel. la mengatakan,
"Pertama-tama saya meyakini keberadaan Tuhan, lalu saya mulai berpikir
bahwa apabila semua keberadaan ini merupakan hasil ciptaan Tuhan, lantas
siapakah yang menciptakan Tuhan? Saya tidak berhasil menemukan jawabannya,
sampai pada akhirnya saya memutuskan untuk tidak mengakui adanya Tuhan!"
Jawaban saya
terhadapnya ialah, "Hai Russel, jika sekarang kau tidak lagi mengakui
adanya Tuhan, lalu apa yang kau yakini?" Ia menjawab, "Sekarang saya
berkeyakinan bahwa asal muasal seluruh keberadaan di jagat alam ini adalah
materi, bukan Tuhan!''
Kita akan
menjawah, "Baiklah, sebagaimana ketika kau bertanya kepada dirimu sendiri
dari manakah Tuhan dan kemudian kau melepaskan keyakinan itu, sekarang
tanyakanlah kepada dirimu juga, dari manakah asal muasal materi?" la akan
menjawab, "Materi sudah ada sejak dahulu kala." Kita juga akan
menjawab, "Allah juga telah ada sejak dahulu kala. Wahai Russel, mengapa
engkau tidak meyakini Allah yang keberadaannya memiliki perasaan dan telah
eksis sejak dahulu kala. Malah, kau meyakini keberadaan berjuta-juta materi
yang telah ada sejak dahulu kala dan semua itu tidak memiliki perasaan?!!
Sebuah Contoh yang Lain
Para pendukung
Marxisme mengatakan, "Selama tidak dapat dirasakan dan
dieksperimentasikan, maka sesuatu tersebut tidak dapat kami terima. Dengan
demikian, kami tidak dapat mempercayai keberadaan Tuhan, malaikat, ruh, dan
sejenisnya.
Sebabnya, kami
hanya mengenal dan mengetahui segala sesuatu hanya melalui perantaraan panca
indera dan uji coba (eksperimen)!!"
Jawaban kita yang
kita berikan kepada mereka, "Kalian mampu meneliti dan mengambil sebuah
kesimpulan bahwa dalam ratusan abad yang silam, manusia hidup secara
bersama-sama dalam berburu binatang dan memakan, juga hidup bersama dalam
kondisi ketiadaan kepemilikan serta pemerintahan. Kemudian tibalah masa
perbudakan, dan beberapa lama kemudian muncul kepemimpinan kepala suku dan
seterusnya."
Bentuk pertanyaan
kita ialah, "Sekarang ini, kalau memang kalian mampu mengetahui adanya
kehidupan bersama pada ratusan abad yang lalu, apakah semua itu dapat kalian
sentuh dan diujicobakan (eksperimen)?" Mereka menjawab, "Tidak,
tetapi kami mengetahui semua itu dari berbagai jejak serta tanda-tanda yang
ada."
Kita akan
mengatakan, "Sebagaimana kalian mengetahui sejarah kehidupan manusia
purbakala melalui perantaraan jejak dan tanda-tandanya, kami juga mengetahui
jejak dan tanda-tanda Allah. Kalau saja berkat jejak dan tanda-tanda Kita pada
akhirnya dapat menerima adanya suatu kenyataan, tentu tak ada beda antara jejak
serta tanda-tanda yang menunjukkan adanya kehidupan manusia purbakala dengan
jejak dan tanda-tanda yang menunjukkan adanya Allah Yang Mahaagung. Apakah
sarana serta instrumen untuk mengetahui keberadaan segala sesuatu hanyalah
panca indera dan pengujicobaan semata? Apakah hanya dengan mengetahui jejak dan
tanda-tanda keberadaan, kita tidak akan mengetahui berbagai permasalahan?
Apabila kita
benar-benar cermat dalam berpikir, kita akan mengakui bahwasannya sebagian
besar dan pengenalan kita terhadap berbagai hal merupakan hasil dari penelaahan
terhadap berbagai jejak dan tanda-tanda.
Sebuah Penjelasan yang Lain
Sebagian pihak
enggan mengakui keberadaan akal dan fitrah sebagai salah satu sarana untuk
mengenal Allah. Mereka melontarkan berbagai alasan serta pandangan tentang asal
muasal munculnya keimanan. Pada intinya, mereka berkeyakinan bahwa Keimanan
bersumber dari kebodohan!
Penjelasannya
sebagai berikut: Pada saat tertimpa berbagai musibah dan bencana yang tidak
diketahui sebab-musababnya, seseorang segera berkhayal bahwa memang ada sesuatu
yang disebut dengan Tuhan. Karenanya, di mana dan kapan saja seseorang
menghadapi permasalahan yang secara ilmiah tidak dapat diketahui, segera saja
akan mengatakan, "Ini merupakan perbuatan Allah."
Dari sinilah
munculnya keyakinan terhadap adanya Tuhan. Jujur saja, ungkapan-ungkapan
semacam ini sesungguhnya telah sedemikian lama lenyap di telan masa. Bahkan
sejiak awal dirumuskan, tak seorangpun yang sudi mendengarnya. Sebab:
1. Seandainya
asal muasal keimanan kepada Allah merupakan sebuah kebodohan, tentu dengan
semakin bertambahnya ilmu, iman seseorang akan semakin berkurang! Dan begitu
mengetahui faktor penyebab terjadiriya sebagian bencana alam, ia tidak akan
lagi beriman kepada Allah. Padahal kita mengetahui bagaimana para ilmuwan
semacam Galileo (Galilei), (Albert) Enstein, atau Ibnu Sina yang berhasil
mengungkap sebab-sebab kejadian alam tetap memiliki keimanan kepada Allah.
Benarkah ketika sebagian hukum alam berhasil disingkapkan, kita tidak lagi
butuh kepada pencipta hukum tersebut.
Umpama, kita
berhasil menyingkap sebuah hukum alam yang disebut dialektika (formula
perjalanan sejarah yang terdiri dari unsur tesis, antitesis, dan sintesis).
Lantas, apakah dengan temuan semacam itu kita tidak lagi menyakini keberadaan
pembuatnya?
Jika memang
demikian, ketika menemukan sejumlah uang di tengah jalan, janganlah kalian
bertanya, "Uang ini jatuh dari kantong siapa?" Apakah hanya dengan
menyingkap dan menemukan (berbagai hukum alam), lalu habis perkara?!
Mengapa Timbul
Kelompok Anti-Allah dan Anti-Mazhab?
Jawaban:
1. Seseorang tentunya bisa memperuleh
pengetahuan serta kejelasan tentang keberadaan Allah hanya dengan cara
memperhatikan sebuah sel, atom, ataupun sehelai daun. Asalkan, ia memang benar-benar memiliki keinginan
untuk mengenal Allah. Adapun seseorang yang tidak berkeinginan untuk mengenal
Allah, sekalipun sering menyaksikan jejak dan tanda-tanda keberadaan-Nya, tidak
akan pernah mengenal dan merasakan keberadaan-Nya.
Agar mempermudah
Pernahaman kita, perhatikanlah beberapa contoh di bawah ini.
a). Seorang
penjual hati (hewan sembelihan), setiap harinya memotong dan mengiris-iris
berpuluh-puluh potong hati, untuk kemudian dijual ke pasar. Namun, sesungguhnya
ia tidak mengetahui adanya urat halus yang melekat pada jaringan hati tersebut.
Wajar, ia memang tidak berminat untuk meneliti keberadaan urat halus tersebut.
b). Seorang
penjual cermin yang rambutnya acak-acakan. Sekalipun sejak pagi sampai petang
sudah ratusan kali memandangi cermin jualannya, tetap saja ia tidak merapikan
rambutnya yang acak-acakan tersebut. Dalam keadaan itu, ia tidak akan sempat
memikirkan kerapihan rambutnya, lantaran terlampau sibuk menjual cermin-cermin
itu.
c). Cobalah Anda
bertanya kepada seseorang yang tengah mengelap kaca sebuah jam, "Waktu
azan dhuhur tinggal berapa menit lagi?" Tentu ia terlebih dahulu akan
menengok kepada jam tersebut. Mengapa? Sebab, sampai saat itu, ia begitu sibuk
membersihkan kaca jam tersebut dan tidak memiliki tujuan untuk mengetahui waktu
yang ditunjukkannya.
d). Seorang
tukang kayu yang senantiasa membuat tangga, belum tentu pernah memanjat tangga
yang dibuatnya. Sementara boleh jadi, seorang tukang batu yang membeli tangga
tersebut justru telah ribuan kali memanjatnya.
Dari
contoh-contoh di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa bila seseorang tidak
berkeinginan untuk mengenal atau mengetahui sesuatu, mustahil ia dapat mengenal
dan mengetahuinya.
Pabila seseorang
telah menyaksikan jejak dan tanda-tanda Allah, namun tetap saja tidak memiliki
keimanan, itu tak lain dikarenakan tujuan atas kajian serta penelitiannya
bukanlah untuk mengenal Allah.
2. Anda pasti
telah mengetahui bahwa jika kehidupan kita sejak awal telah dipenuhi berbagai
kenikmatan, tentu kita tidak akan Pernah merasakan adanya sesuatu yang baru (berkenaan
dengan jenis kenikmatan—pent.).
Dalam kehidupan
ini, kita senantiasa melihat berbagai jejak dan tanda-tanda Allah. Namun,
justru karena itulah kita tidak mengingat dan bersyukur kepada-Nya. Sebabnya,
sudah sejak awal kita telah hidup dalam dan dengan berbagai kenikmatan. Sebagai
contoh:
Sampai detik ini,
Anda belum bersyukur kepada Allah atas keberadaan ibu jari Anda, dikarenakan
sejak awal, ibu jari tersebut telah menyertai Anda. Namun, seandainya dalam
beberapa saat ibu jari tersebut tidak berfungsi, atau terpotong, Anda tentu
akan segera menyadari bahwa tanpanya, Anda tidak dapat memasukkan kancing baju
ke dalam lubangnya (sekarang ini juga Anda dapat mencoba dan membuktikan
kebenaran ungkapan tersebut).
Ya, lantaran
terus tenggelam dalam samudera berbagai kenikmatan, kita menjadi lalai terhadap
keberadaan Allah. Salah satu filosofi dari terjadiriya bencana adalah sebagai
wahana peringatan serta penyadaran.
Al-Quran
mengatakan bahwa terkadang Tuhan menimpakan berhagai kejadian yang tidak menyenangkan
kepada sekelompok orang, “....supaya mereka tunduk merendahkan diri,”
(la’allahum yatadharra’ûn) (al-A'raf: 94), yakni agar mereka sadar dan
merendahkan diri.
Al-Quran
senantiasa memerintahkan manusia untuk senantiasa mengingat berbagai kenikmatan
dan pertolongan llahi. Kita sendiri menyaksikan bagaimana dalam memanjatkan
doanya, para wali Allah senantiasa mengungkapkan secara satu persatu berbagai
kenikmatan yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka. Misalnya dikatakan,
"Engkaulah Yang mengubah kami dari kecil menjadi besar, bodoh menjadi
pintar, sedikit menjadi banyak, miskin menjadi kaya, sakit menjadi sehat,
dan...."
Sebelumnya telah
dikemukakan sekitas pembahasan berkenaan dengan mengingat Allah. Karenanya,
dalam kesempatan ini saya tidak akan mengulanginya kembali.
3. Penyebab
larinya sebagian pihak dari agama dan mazhah adalah adanya berbagai khurafat
yang dijejalkan ke dalam agama oleh sejumlah sahabat yang bodoh dan culas.
Sebagai contoh, jika kita memberi segelas air yang ada lalatnya kepada
seseorang yang sedang kehausan, tentu ia tidak akan bersedia meminum air
tersebut, hahkan mungkin langsung membuangnya.
Begitu pula
halnya dengan keberadaan agama. Apabila sebuah agama dipenuhi khurafat, tentu
orang akan enggan menganut dan mengikutinya. Karena itu, Janganlah kita sampai
lengah terhadap segenap ulah sebagian Muslimin yang menyusupkan pelbagai
khurafat ke dalam agama. Sebab, semua itu akan menyebabkan masyarakat kabur
dari agama.
4. Pengaruh
lingkungan merupakan salah satu faktor penyebab terjadiriya penyimpangan
manusia dari ajaran agama. Secara fitriah, manusia tidak menyukai, bahkan amat
membenci, tindak pencurian. Selain pula memandang buruk berbagai bentuk
pengkhianatan. Namun, jika seseorang hidup dalam sebuah lingkungan atau habitat
di mana masyarakat sekelilingnya rata-rata “berprofesi” sebagai maling dan suka
berkhianat, niscaya ia akan terpengaruh juga.
5. Lari dari
tanggung jawah. Adakalanya ketidakpedulian seseorang terhadap agama disebabkan
adanya keinginan untuk menghindar dari tanggungjawab. Hal ini memang masuk
akal.
Sebab, tatkala
menerima dan memeluk agama, seseorang juga mesti menerima sederetan ikatan dan
kekangan. Konsekuensi semacam ini tentu bertolak-belakang dengan keinginan
orang-orang yang tergila-gila pada prinsip kebebasan mutlak dalam menjalani
kehidupannya. Orang semacam itu tentu tidak akan mau peduli dan bersikap curiga
terhadap agama.
Padahal, mereka
tidak menyadari bahwa dengan tidak mengindahkan berbagai perintah Allah,
berarti mereka telah menerima bentuk lain dari pengekangan dan perbudakan.
Seseorang yang enggan menjadi hamba-Nya, pada saat yang sama akan menjadi hamba
sesuatu yang lain. “Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia
seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung...” (al-Hajj: 31)
Seseorang yang
bergerak menuju kepada Selain Allah diibaratkan seolah-olah terhempas dari
tahta langit ke permukaan bumi, untuk kemudian dikelilingi burung pemakan
bangkai yang masing-masingnya mencabik-cabik tubuhnya dan membawanya terbang
jauh.
6. Pembangkangan.
Dorongan fanatisme, nafsu, dan egosime yang berkobar-kobar dan menghanguskan
jiwa, akan menjadikan seseorang gemar melancarkan penolakan, pembangkangan,
serta meremehkan ajaran agama samawi.
7. Tidak adanya
penyampaian (tablîgh) secara benar. Pelbagai bentuk penyampaian yang keliru
atau sesat menjadi salah satu faktor kuat yang bisa mendorong orang-orang tidak
bersimpati kepada agama.
Keharusan Adanya Agama
Kehidupan yang
dijalani manusia tentu akan senantiasa disertai dengan program tertentu. Namun
darimanakah asal muasal program, rancangan hidup, kebahagiaan, serta
perkembangannya?
Di sini terdapat
tiga cara yang bisa ditempuh:
1. Memilih dan
menentukan program menurut selera kita.
2. Kita menyusun
berbagai program tersebut menurut tuntutan dan desakan masyarakat.
3. Dengan
berprinsip pada penyerahan diri secara total kopada Allah, program kehidupan
yang kita rancang semata-mata bersumber dari-Nya.
Evaluasi terhadap Cara Pertama
Cara pertama
jelas keliru. Sebabnya, pengetahuan manusia amatlah terbatas. Dikarenakan
keterbatasan itulah, dirinya menyaksikan ratusan kekeliruan yang telah
diperbuatnya sendiri di masa silam. Selain itu. setiap saat, hawa nafsu yang
bersemayam dalam diri seseorang akan senantiasa mendorongnya ke suatu arah
tertentu.
Dalam kondisi
semacam ini, apakah layak jika seseorang menentukan cara yang akan
ditempuhnya—cara mana yang akan menjadi faktor penentu apakah dirinya akan
meraih kebahagiaan ataukah kesengsaraan abadi—semata-mata berdasarkan akal
pikiran yang tidak sempurna dan persediaan ilmu yang sangat terbatas?!
Evaluasi terhadap Cara Kedua
Sebagaimana cara
pertama, seseorang yang menempuh cara kedua juga tidak akan pernah bisa meniti
jalan kehidupannya dengan stabil. Sebabnya, keberadaan masyarakat terdiri dari
kumpulan individu-individu yang berbeda-beda keinginan serta selera. Selain itu
pula, keinginan atau selera masing-masing individu masyarakat pasti mengandungi
kekeliruan, kelalaian, dan keterbatasan.
Berkenaan dengan
selera atau keinginan saya, inisalnya, tak ada satupun argumen meyakinkan yang
mengharuskan saya untuk menanggalkan atau mengabaikannya. Atau tak ada
keharusan untuk menyerahkan kebebasan saya, untuk kemudian menjadi budak orang
lain yang tidak saya kenal. Sebabnya, mereka tidak mengetahui konsepsi
kebahagiaan abadi saya, dan juga tidak jelas mengetahui kebahagiaan apa yang
saya inginkan.
Evaluasi terhadap
Cara Ketiga
Hanya inilah cara
yang benar. Kalau kita, umpamanya, memiliki sebuah mobil, tentu kita akan
menyerahkan seluk-beluk mobil tersebut kepada seorang ahli otomotif. Atau
terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan tubuh kita, pasti kita akan
mempercayakannya kepada seorang dokter.
Semua itu
didasari alasan bahwa mereka lebih tahu ketimbang kita. Dengan demikian,
segenap program kehidupan yang kita jalani ini harus kita serahkan sepenuhnya
kepada Allah. Sebab, Dialah yang paling mengetahui serta paling menyayangi diri
kita.
Program dan
Rancangan Umum Agama
Rancangan umum
yang terkandung dalam agama dapat diungkapkan dalam beberapa kalimat. Menurut
ungkapan salah seorang teman, "Sebagaimana kita yang mengerahkan segenap
daya upaya kita terhadap sebuah mobil, demikian pula halnya dengan agama dalam
memperlakukan manusia."
Maksudnya, dalam
memproduksi sebuah mobil, kita mesti melewati beberapa fase berikut:
1. Mencari dan
menemukan lokasi barang tambang.
2. Menggali dan
mengeluarkan barang tambang tersebut.
3. Membuat
bagian-bagian mobil.
4. Memasang dan
merakit bagian-bagian tersebut.
5. Mobil jadi tersebut
dioperasikan seorang sopir yang mahir berkendara.
Rancangan umum
dan peran agama terhadap diri manusia pada dasarnya mirip dengan kelima poin di
atas:
1. Menemukan
(jati diri) manusia. Seseorang yang lupa pada jati dirinya niscaya akan
kehilangan jalan, pembimbing, dan tujuan hidupnya. Dalam keadaan demikian, ia
telah menjelma menjadi seekor binatang. Tujuan hidup yang ada dalam pikirannya
hanyalah mencari dan memenuhi kesenangan dan kenikmatan duniawi serta materi.
la tak ubahnya seonggok mayat. Kebenaran apapun tidak akan sanggup menggoreskan
pengaruh pada dirinya. la menjadi begitu buas bak seekor serigala, licik
seperti seekor rubah, maling layaknya seekor tikus, sementara hatinya membatu.
Karenanya, jati diri yang hilang harus segera dicari dan ditemukan kembali,
sehingga seseorang mampu menemukan dan mengenali dirinya sendiri.
Salah satu upaya
agama berkenaan dengan kondisi semacam itu adalah memberi penjelasan kepada
manusia tentang potensi dan kemampuan yang bersemayam dalam dirinya. Selain itu,
agama juga akan mengenalkan seseorang pada hakikat keberadaannya sendiri. Dalam
al-Quran, kita dapat menjumpai penjelasan Islam tentang hakikat manusia.
Al-Quran mengatakan:
a. Engkau adalah
khalilah (wakil) Allah di jagat alam ini. “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi”. (al-Baqarah: 30)
b. Segenap yang
ada di langit dan di bumi diciptakan demi kepentinganmu. “Tidakkah kamu
perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang
dilangit dan apa yang di bumi?” (Luqman: 20)
c. Engkau
(manusia) adalah pemegang amanat Ilahi. “Dan dipikullah amanat itu oleh
manusia”. (al-Ahzab: 72)
d. Dalam dirimu
bersemayam ruh Allah yang ditiiupkan-Nya. “Dan telah meniupkan ke dalamnya ruh
(ciptaab)-Ku”. (al-Hijr: 29)
e. Kami
memuliakan manusia. “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam”.
(al-Isra`: 70)
f. Kami
menganugerahkan manusia berbagai kelebihan. “Dam Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.
(al-Isra': 70)
Dalam al-Quran
juga tercantum peringatan yang menyatakan janganlah sekali-kali engkau lupa
pada dirimu sendiri, menghilangkannya, merugi, tidak memperoleh keuntungan
dalam perdaganganmu, engkau jual dirimu dengan harga yang begitu murah, engkau
gadaikan dirimu kepada pembeli yang tidak layak.
Melalui
perumpamaan berbagai burung dan nasib yang menimpa orang-orang yang merugi,
al-Quran hendak memberi contoh dan teladan agar manusia mampu mengetahui adanya
sejumlah potensi dan kemampuan terpendam dalam dirinya sehingga ia bisa
berpikir jernih dan bertanya kepada dirinya sendiri: "Jika kehidupan saya
ini hanya demi mengejar materi, berfoya-foya, dan memenuhi tuntutan nafsu
kebinatangan semata, lantas apa gunanya berbagai kecerdasan, potensi, dan
harapan yang terdapat dalam diri saya?"
2. Usaha agama
yang kedua adalah mengeluarkan barang tambang (jati diri manusia) yang telah
ditemukan tersebut. Setiap manusia harus dibebaskan dari berbagai belenggu
kelaliman, kebodohan, penyimpangan, syirik, dan....."Dia mengeluarkan
mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)."(al-Baqarah: 257)
3. Sementara itu
usaha agama yang ketiga berkisar pada pembentukan kepribadian serta penyusunan
berbagai program peribadahan, ketakwaan, pengembangan sifat-sifat mulia, dan
penyempumaan manusia.
4. Adapun usaha
agama yang keempat adalah merakit dan menghubung-hubungkan berbagai bagian yang
sudah jadi tersebut sehingga terbentuk sebuah pemerintahan Ilahi yang memiliki
undang-undang yang lengkap dan jelas dalam berhagai aspek. Upaya semacam ini
yang dijalankan Rasulullah saww di Madinah. Pemerintahan yang sudah terbentuk
itu pada gilirannya menggabungkan segenap individu demi menggalang kekuatan dan
menyiapkan rancangan kehidupan bersama. Dalam membentuk masyarakat yang Islami,
agama menentukan berbagai standar, tujuan, simbol, dan slogan yang khas.
5. Sedangkan
usaha agama yang kelima atau yang terakhir adalah menyerahkan masyarakat yang
telah terbentuk tersebut kepada seorang pemimpin yang layak. Sembari itu,
(agama) memerintahkan agar manusia segera memutuskan berbagai bentuk belenggu
keterikatan.
Selain itu, agama
juga bersumpah untuk tidak menyantuni berbagai individu atau kelompok yang
rusak (fâsid), gemar berfoya-foya, bersikap congkak, berperilaku lalim, bodoh,
dan sejenisnya.
Menyerahkan
sebuah masyarakat untuk hidup di bawah kepemimpinan seseorang yang tidak maksum
(terjaga dari berbagai kesalahan) sesungguhnya sama dengan bertindak zalim dan
menginjak-injak nilai-nilai kemanusiaan.
Kesimpulannya,
agama merupakan subjck yang menentukan program universal yang terdiri dari
"pandangan", "usaha" serta "sistem" yang layak
dan sesuai dengan standar khusus ketuhanan bagi kehidupan manusia, baik secara
individual maupun secara sosial.
Hakikat dan
Dimensi-Dimensi Ketauhidan
Dalam wawasan
Islam, istilah "tauhid" memiliki makna yang sangat agung dan luas.
Kalangan cendekiawan Muslim pada umumnya menggolongkan jenis-jenis ketauhidan
menjadi "tauhid dalam zat" (dzati), "tauhid dalam sifat"
(sifati), dan "tauhid dalam perbuatan" (fi’li). Namun, sayang,
ternyata ada sebagian pihak yang justru menyalahgunakan istilah yang suci ini
-sebagaimana mereka juga sering melakukannya terhadap pelbagai hal suci
lainnya. Mereka menjadikan istilah tauhid sebagai slogan semata, seperti
masyarakat yang tauhid, tentara yang tauhid dan sehagainya. Padahal,
sesungguhnya mereka hendak menggunakan semua itu sebagai pembenaran terhadap
sistem sosial komunisme yang mereka junjung tinggi-tinggi berupa kepemilikan
bersama dan penghapusan kasta (penyamarataan).
Akan tetapi,
berkat perjuangan ilmiah Imam Khomeini— yang merupakan pemimpin revolusi— dan
kalangan cendekiawan lainnya, mereka berhasil menyingkap hakikat kelompok
minoritas tersebut dan menyelamatkan istilah suci ini dari penyalahgunaan dan
pemutarbalikan yang mereka upayakan.
Dalam pembahasan
kali ini —seraya tidak menyertakan sebagian istilah yang berhubungan dengan
ketauhidan— saya akan menyampaikan semua itu kepada para pembaca yang budiman.
Dengannya, kita hendak mengaca diri agar kita mengetahui dengan jelas seberapa
jauh sebenarnya diri kita berada dalam lingkup ketauhidan.
Arti tauhid
adalah mengakui hanya Allahlah "Yang merupakan Raja bagi manusia",
beriman kepada ketunggalan Allah dan meyakini Allah itu Esa. Dalam maknanya
yang lain, tauhid berarti menafikan berbagai nafsu. Seseorang yang memuja
nafsunya berarti telah keluar dari lingkup ketauhidan, “Maka pernahkah kamu
melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya”. (al-Jâtsiyah:
23)
Orang-orang yang
tunduk pada desakan hawa nafsunya (yang keliru) pada hakikatnya telah
menuhankan hawa nafsu itu sendiri.Tauhid berani pula penolakan dan penentangan
terhadap kepemimpinan tiran dan lalim. Slogan dan tujuan para nabi adalah; “Dan
sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
‘Semabhlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut’”. (a]-Nahl: 36)
Dalam riwayat
dituturkan bahwa setelah Imam Ali Ridha menerima dengan penuh keterpaksaan
jabatan waliy al-ahd (pewaris kerajaan) dari Makmun, beliau menyampaikan sebuah
pernyataan yang sangat tegas dalam suatu pertemuan yang diadakan secara
terang-terangan dan dihadiri seluruh masyarakat. Pernyataan terebut pada
intinya menegaskan bahwa dalam tubuh pemerintahan Makmun, beliau tidak mau ikut
campur tangan dalam urusan pengangkatan atau pemecatan seseorang.
Tauhid juga
bermakna tidak mengakui berbagai hal yang digariskan pihak Barat maupun Timur,
dan menghalangi serta menolak mentah-mentah keberadaan sistem yang dibangun
berdasarkan konsep pemikiran orang-orang serakah.
Makna tauhid
lainnya adalah merobek dan memutus seluruh jalinan berbagai faktor yang
menyebabkan kaum Muslimin terpinggirkan dan jatuh di bawah penguasaan orang
lain. Tauhid juga bisa dimaknai dengan tidak mengamini segenap perintah yang
bertentangan dengan perintah Allah.
Makna lain dari
tauhid adalah menenma kepemimpinan para individu yang disepakati dan diabsahkan
Allah. Dalam pengertian lain, tauhid berarti tidak melanggar segenap perintah
Allah; menyerahkan diri secara total dan menjadi hamba-Nya. Tauhid juga bisa
diartikan sebagai upaya merontokkan seluruh berhala yang bersemayam di dalam
dan di luar diri; berhala gelar, titel, kedudukan, harta, harta (yang mana
semua itu berpotensi untuk menglealangi kita menerima dan berada dalam
kebenaran).
Dan akhirnya,
tauhid adalah tidak adanya hubungan dan keterikatan dengan berbagai pihak yang
memaksa kita untuk meniti jalan kebatilan dan kerusakan. Hubungan dan
keterikatan yang dijalin hanya dilakukan terhadap mereka yang membimbing manusia
di atas jalan dan kerelaan Allah.
Sistem ekonomi
bernuansa tauhid akan senantiasa menyandarkan proses produksi, pemasaran,
pengkonsumsian, dan pengelolaan kepada syariat Allah semata. Barisan tentara
beratribut tauhid akan selalu konsisten dalam menjaga dan mempertahankan
berbagai ilmu pengetahuan, berpengalaman, memiliki kemahiran dalam menyerang,
serta ahli taktik dan strategi perang.
Di samping itu,
tentara tauhid senantiasa memperhatikan tuntunan dan tuntutan Ilahi dalam
berbagai kondisi, baik ketika marah atau gusar, maupun dalam keadaan tenang.
Prinsip dan tujuan yang mendasari gerak-gerik tentara tauhid bukanlah egoisme,
balas dendam, perluasan negeri, ataupun pengerukan keuntungan.
Namun,
semata-mata demi menegakkan kalimat yang hak (benar) dan memperluas pengamalan
ajaran-ajaran Ilahi. Tujuannya hanyalah menjadikan orang-orang yang tadiriya
lalim untuk melaksanakan hukum-hukum Allah. Selain pula bertujuan untuk
menolong kaum yang tertindas, mempertahankan kehomratan, harta,jiwa, dan raga, diri
sendiri serta keluarga, dan berusaha keras menjaga wilayah perbatasan (negara).
Seorang komandan
tentara tauhid memiliki hubungan dengan wakil Imam yang ma’shum (suci dari
dosa), berorientasi pada tujuan yang benar, serta menjadikan pasukannya rela mati
syahid. Karir ketentaraan orang semacam itu jelas merupakan sebuah ibadah.
Makna sesungguhnya dari tentara tauhid bukanlah dengan menghapus dan meniadakan
hierarki kepangkatan dan kelebihan masing-masing serdadu (umpama dalam hal
pengalaman, keahlian, kecakapan, dan ketangkasan bertempur) atau bahkan berani
membangkang perintah atasan. Memang kita tak bisa menutup mata terhadap adanya
sejumlah pihak yang berniat jahat dengan mengatasnamakan tentara taulnd. Pada
hakikatnya, mereka bertujuan hendak melunturkan wibawa dirias ketentaraan itu
sendiri. Dan berkat pertolongan Allah serta kecakapan pemimpin revolusi yang
agung (Imam Khomeini),semua itu berhasil digagalkan.
Masyarakat
bertauhid merupakan masyarakat yang dipimpin seseorang yang memang telah memenuhi
pelbagai syarat dan standar Ilahi (ilmu, takwa, jihad, pengalaman. amanat,
kecakapan, dan kemampuan). Dengan kata lain, figur pemimpin masyarakat
bertauhid tidak boleh mengacu pada pelbagai kriteria non-llahi (seperti
paksaan, kesukuan, teman dekat, dan sejenisnya)
Dalam masyarakat
bertauhid, undang-undang yang diberlakukan hanyalah undang-undang yang
bersumbei dari Allah semata. Semua masyarakat tentu wajib mematuhi dari
melaksanakannya. Dalam pada itu, semua orang, tanpa pandang bulu, memiliki
kedudukan yang sama di mala hukum. Pemberlakuan undang-undang tersebut pada
gilirannya akan melenyapkan segenap tujuan yang sia-sia. Selain mencegah
terjadiriya perpecahan di tengah-tengah masyarakat.
Nampaknya,
pelbagai bentuk pengertian tauhid di atas sudah melingkupi, sempurna, luas, dan
benar. Persoalannva sekarang, siapakah orang atau masyarakat yang telah
mencapai peringkat tauhid semacam itu? Juga, bagaimana cara mencapai puncaknya?
Kita tentu tidak
bisa menganggap enteng sabda Rasul saww, “Ucapkanlah, tiada Tuhan selain Allah,
maka kalian akan mendapatkan kemenangan”. Sebabnya, hasil yang akan dipetik
dari menggaungkan dan mewujudkan slogan tersebut adalah tuflihû (maka kalian
akan mendapatkan kemenangan).
Al-Quran
menegaskan bahwa hasil akhir dari semua upaya tersebut tak ada lain kecuali
kemenangan. Karenanya, kita dapat memahami bahwa tujuan seluruh peribadahan
adalah demi menggapai ketakwaan sejati, “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang
telah menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”.
(al-Baqarah: 21)
Wahai masyarakat,
beribadahlah kepada Tuhan yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum
kalian agar kalian bertakwa. Akan tetapi, ketakwaan itu sendiri bukanlah sebuah
fase perjalanan paling akhir.
Ketakwaan tak
lebih dari sebuah pintu gerbang yang harus dilalui demi meraih kemenangan
akhir. Semua itu sesuai dengan pernyataan yang termaktub dalam al-Quran; “Maka
bartakwalah kepada Allah, hai orang-orang yang berakal, agar kalian mendapatkan
kemenangan”. (al-Maidah: 100)
Wahai para
pemilik akal, bertakwalah kalian kepada Allah agar buah kemangan dapat diraih.
Pada dasarnya, jagat alam ini dianugrahkan untuk kita (manusia), sebagaimana
penegasan al-Qur’an, sakhkhara lakum (Dia telah menundukkan bagi kalian), atau
khalaqa lakum (Dia telah menciptakan bagi kalian).
Sementara itu,
kita diciptakan hanya untuk beribadah dan menapaki jalan Allah. Adapun ibadah
itu sendiri dipraktikan demi menggapai ketakwaan. Dan ketakwaan tak lebih dan
gerbang atau mukadimah dalam meraih falâh (yang secara harfiah berarti zhafar
atau kemenangan/keberhasilan).
Dengan demikian,
alur kehidupan kita menjadi begitu gamblang: jagat raya ini untuk kita; kita
untuk beribadah; beribadah untuk ketakwaan; dan ketakwaan demi meraih
kemenangan. Darinya kita pun menjadi tahu, apa arti penting dari falâh
(kemenangan). Kemenangan yang dimaksud adalah keterbebasan dari pelbagai
belenggu dan ikatan, baik dari musuh luan maupun dalam. Tatkala menjelaskan
arti kalimat 'tiada Tulmn selain Allah' dalam suatu kesempatan di dalam kelas,
saya membuat sebuah itustrasi. Saya menggambar sebutir biji yang di atasnya
ditaburi tanah. Setelah itu, ia pun tumbuh dan menghijau. Berdasarkan itu, saya
mengatakan bahwa demi membebaskan diri dari timbunan tanah, biji tersebut harus
melewati tiga tahap perjalanan:
1. Mengikatkan
dan menghujamkan akar-akarnya ke dalam tanah.
2. Menghisap
sari-sari makanan dari dalam tanah.
3. Mendorong dan
menyibakkan serpihan-serpihan tanah yang menutupi dirinya.
Kemudian, saya
menyatakan bahwa jika manusia berkeinginan untuk tumbuh, ia juga harus
melintasi tiga fase yang tidak dipisahkan antara satu sama lain:
1. Pertama-tama,
ia mesti memiliki akidah dan ideologi fundamental yang ditopang oleh pelbagai
argumen yang masuk akal.
2. la harus
memiliki sejumlah sarana dan tenaga yang memadai untuk mendorong dan mendukung
kemajuan serta perkembangan dirinya.
3. la juga harus
menyingkirkan pelbagai rintangan yang melintang di tengah jalan yang sedang
dilaluinya sehingga dirinya menjadi leluasa dalam meraih ketauhidan.
Apabila salah
satu dari ketiga fase perjalanan tersebut tidak kita lampaui, maka kita tidak
akan pernah mengalami perkembangan, kalau bukan malah akan celaka.
Seandainya akidah
kita begitu rapuh dan tidak disangga oleh ilmu dan argumen yang tepat, serta
tidak memiliki sarana dan tenaga yang memadai untuk itu, niscaya diri kita
perlahan-lahan akan rusak, kcropos, dan kemudian mati membusuk. Ini sebagaimana
nasib sebutir biji-bijian yang ditanam di dalam tanah: menjadi busuk ketika
salah satu dari tiga fase perajalanan hidupnya luput dilewati.
Sebab-sebab
Penyimpangan dari Ketauhidan
Penyebab
seseorang menyreleweng dari garis Allah dan ketauhidan antara lain:
1. Tirani dan
penindasan. Kedua bentuk perilaku tersebut merupakan faktor pemicu terjadiriya
pengalihan rasa takut dalam diri masyarakat (yang tadiriya harus semata-mala
ditujukan kepada Allah, kini beralih kepada para tiran dan pihak
penindas—pent.). Al-Quran menukil ucapan Fir'aun yang menyatakan bahwa siapa
saja yang mengakui dan menerima adanya Tuhan dan kekuatan selain dirinya, maka
ia akan menjebloskannya ke dalam penjara.[1] Lantaran rasa takut yang begitu
mencekam, akhirnya masyarakat bersikap pasrah dan menyerahkan dirinya menjadi
budak dan hamba Fir'aun.
2. Cinta dan
kesukaan. Terkadang, proses mencintai dan menyukai sesuatu dapat menyebabkan
seseorang lupa kepada Allah. Dalam keadaan demikian, orang tersebut hanya
mencurahkan perhatiannya kepada sesuatu atau seseorang yang dicintai dan
disukainya. Bahkan tak jarang, sesuatu tersebut menjadi garis orbit aktivitas
kecintaan dan kebenciannya.
Kasus semacam itu
diituslrasikan dengan begitu indah oleh al-Quran. Dikatakan bahwa orang-orang
Yahudi kerap menjadikan para rahibnya sehagai tuhan mereka, seraya
mengesampingkan keberadaan Allah. Disebabkan kecintaan serta kesukaan, mereka
menjadi begitu patuh pada perintah dan larangan para rahibnya yang berpura-pura
cerdik dan pandai. Padahal, para rahib te'sebut menghalalkan apa-apa yang
diharamkan Allah dan mengharamkan apa-apa yang dihalalkan Allah.[2]
3. Berpengharapan
tidak pada tempatnya. Kondisi demikian akan menyebabkan seseorang menjadikan
sesuatu selain Allah sebagai tumpuan harapan demi memperoleh bantuan,
pertolongan, atau kemuliaan.
Dalam al-Quran
diriyatakan bahwa sebagian orang sesungguhnya tengah berjalan menuju kepada
Selain Allah, seraya berharap akan mendapat pertolongan.[3] Dan dalam ayat
lainnya dikatakan bahwa mereka berharap kepada selain Allah dalam menginginkan
kemuliaan!![4]
Peringatan
Dalam usahanya
membelokkan manusia dari garis lurus dan lingkaran ketauhidan, mereka
(musuh-musuh ketauhidan) senantiasa menggembar-gemborkan berbagai propaganda
dan slogan yang sedemikian memikat, sembari pula menebar janji-janji membuai.
Akan tetapi, al-Quran mengatakan bahwa semua itu pada hakikatnya nihil, tidak
memiliki arti, dan hanya sebentuk istilah-istilah belaka.[5] Pada masa
sekarang, kita bisa menjumpai berbagai istilah yang pada dasarnya membalut
usaha diam-diam dalam menyelewengkan umat manusia dari garis perjalanan Islam.
Beberapa di antaranya adalah kebebasan, demokrasi, hak asasi, undang-undang
internasional, majelis permusyawaratan dan sejenisnya. Padahal, semua itu tak
lain hanyalah peristilahan yang tidak memiliki fungsi sama sekali kecuali untuk
menjadikan kita sibuk dan terlena.
Bukti Ketauhidan
1. Keserasian
Bukti termudah
dan tergamblang tentang ketauhidan adalah keserasian dan keteraturan yang
terjalin di antara berbagai ciptaan yang tersebar di jagat alam. Umpama,
keserasian yang tercetak pada sebuah bangunan, tulisan dalam sebuah buku atau
surat. Semua itu merupakan bukti nyata yang menunjukkan bahwa masing-masing
darinya pasti disusun atau ditulis oleh satu orang. Dengan kata lain, semua itu
mustahil dilakukan oleh lebih dari satu orang. Ambil contoh, tiga orang pelukis
yang masing-masing hendak melukis bagian-bagian dari tubuh seekor ayam jantan
yang sama. Sang pelukis pertama melukiskan bagian kepalanya. Sedangkan pelukis
kedua melukis kakinya. Dan pelukis ketiga melukiskan potongan tubuhnya.
Setelah itu,
ketiga lembar lukisan tersebut kita gabungkan. Pastilah ketiga bagian lukisan
ayam tersebut tidak harmonis dan tidak beraturan. Dengan begitu, keserasian,
keteraturan, serta keseimbangan yang jalin-menjalin dalam pelbagai ciptaan ini
merupakan bukti terbaik dan termudah bagi ketunggalan Sang Pencipta.
Kelemahan dan
kekuatan, penyerangan dan pertahanan, kekerasan dan kelembutan, semuanya memang
terjalin dalam suatu kesatuan yang membingungkan. Biarpun begitu, kesemuanya
ternyata merangkai sebuah sistem yang betul-betul harmonis.
Kita bisa
saksikan bagaimana seorang bayi yang lemah dan rapuh dilindungi kekuatan kedua
orang tua. Juga kita saksikan bersama, bagaimana batu besar meteor yang jatuh
mengarah ke permukaan bumi, namun disebabkan adanya lapisan kuat dan panas yang
mengelilingi bumi, menjadikannya tertahan dan terbakar sejak masih di lapisan
atmosfer!
Atau juga,
bagaimana manusia mengeluarkan karbondioksida (CO2) yang kemudian dibisap
tetumbuhan, yang pada gilirannya menghembuskan oksigen (02). Pada prinsipnya,
seluruh keberadaan dalam kehidupan ini pasti tak luput dari harmoni dan
keteraturan.
Dalam hal
penglihatan, mata seseorang harus bekerja sama dengan cahaya yang memancar.
Ketika menghadapi berkas cahaya yang begitu kuat, lensa mata seseorang dengan
serta merta akan mengecil. Sedangkan kalau pancaran cahaya yang diterima
sedemikian lemah, otomatis ia akan membesar. Sementara itu, kelopak mata serta
bulu mata yang hitam dan indah berfungsi sebagai penapis jatuhnya cahaya, untuk
kemudian ditransmisikan ke alat penglihatan (biji mata). Air mata yang terasa
asin dan air liur di mulut yang serasa manis pada dasarnya sesuai dengan
kebutuhan dan komposisi tubuh. Kekekaran dan ketegasan kaum laki-laki, serta
kelemahlembutan perempuan berfungsi untuk menyeimbangan dan menyerasikan
kehidupan yang mereka arungi bersama. Perhatikanlah secara cermat pelbagai
ihwal yang terdapat dalam kehidupan ini. Semuanya terjalin secara paksa dan
alamiah dalam sebuah tatanan yang rapi, harmonis, dan seimbang.
Bayi yang mungil
dan air susu ibu diciplakan oleh Pencipta yang satu. Sebabnya, begitu bayi
terlahir ke dunia, dengan serta merta air susu akan keluar dari payudara sang
ibu. Begitu pula dengan proses siklus ulain.
Matahari
memancarkan cahayanya ke permukaan bumi; lautan membubungkan uap air ke
angkasa; kemudian berkat daya gravitasi bumi, uap tersebut ditarik kembali ke
permukaan bumi; akar tetumbuhan menghisap sari-sari makanan dari perut bumi;
tidakkah semua keserasian ini merupakan bukti atas adanya kekuasaan atau
kekuatan pemelihara adikodrati yang tak terbatas?
Alhasil,
perbandirigan antara wawasan pengetahuan kita dengan lubang gelap ketidaktahuan
kita, ibarat setetes air di hadapan lautan yang menghampar. Di jagat alam ini,
jutaan rahasia masih tersimpan rapi. Bagaimanapun canggihnya teknologi dan ilmu
yang dirumuskan, sampai saat ini belum seorangpun yang mampu menyingkapkan
keseluruhan hubungan yang terjalin dalam ekosistem secara utuh dan tuntas.
Sebuah Kejadian
Pernah pada suatu
hari seorang pemuda datang menemui saya. Pemuda tersebut yang baru mempelajari
beberapa istilah saja, namun kemudian menjadi sombong dan lupa diri karenanya,
berkata kepada saya, "Kenapa salat Subuh hanya dua rakaat?" Saya
menjawab, “Saya tidak tahu, yang jelas, pasti ada dalituya. Akan tetapi, kita
tidak harus mengetahui dalil yang mendasari seluruh perintah Allah. Apalagi
kalau kita rnenginginkan dalil-dalil tersebut diketahui sekarang ini
juga."
Dalam al-Quran,
kita membaca bahwa tatkala posisi kiblat kaum Muslimin dipindahkan, Kami hendak
mengetahui siapakah di antara mereka (yang setelah perpindahan kiblat itu)
masih tetap mengikuti Nabi, dan siapa yang mencari-cari alasan dan membangkang
perintah tersebut.
“Dan Kami tidak
menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami
mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot”.
(al-Baqarah: 143)
Apakah dalam
Al-Quran tidak termaktub perintah kepada Nabi Ibrahim as untuk menyembelih
puteranya sendiri, Ismail? Berkenaan dengan perintah tersebut, al-Quran
mengemukakan bahwa semua itu dilakukan agar diketahui siapakah yang memang
bersedia berkorban demi Kami? (ash-Shaffat: 105)
Kemudian saya
berkata kepada pemuda itu, "Sebagaimana di alam materi ini terdapat
berbagai formula, yang sekiranya tidak diperhatikan secara rinci dan seksama
niscaya seseorang tidak akan memperoleh hasil yang sesuai dengan keinginannya,
begitu pula dengan alam maknawiah. Di alam tersebut, besar kemungkinan memang
terkandung pelbagai formula bagi kebahagiaan kekal dan abadi. Seandainya
formula tersebut diabaikan, tentu kebahagiaan abadi tersebut mustahil
terwujudkan.”
Sebagai contoh,
andaikata seseorang mengatakan kepada Anda bahwa dalam seratus langkah ke depan
tertanam seonggok “harta karun", namun Anda menapaknya sampai seratus
sepuluh langkah, tentunya Anda tidak akan menjumpai apapun di situ sekalipun
Anda menggali tanah tersebut dalam-dalam.
Dalam hal ini,
Anda mesti memperhatikan ukuran dan jarak yang diinstruksikan. Penggunaan
telepon memerlukan ketelitian dalam memencet tombol angka-angkanya. Kalau
sampai terjadi kekurangan atau kelebihan, tentu tidak akan terjadi kontak
dengan kota atau tempat tujuan.
Meskipun sudah
banyak contoh yang dikemukakan, saya berharap Anda masih bersemangat
mendengarkan contoh berikut ini. Perhatikanlah sebatang kunci pintu rumah atau
kunci mobil. Apabila salah satu geriginya patah, atau lebih panjang atau lebih
pendek, pasti pintu mobil tersebut tidak dapat dibuka dan mesinnya pun mustahil
bisa dinyalakan.
Saya menjumpai
dalam kenyataannya bahwa sekalipun deretan contoh semacam itu telah dikemukakan
secara gamblang, namun lantaran titel dan tingkat pendidikan tinggi yang
berhasil ditempuhnya, tidak sedikit orang-orang yang terdidik menjadi takabur
dan sombong. Akibatnya, dirinya menjadi enggan menerima dan mengakui pelbagai
persoalan yang menyangkut ta’abbudi (penghambaan).
Padahal,
sebagaimana diketahui bersama, tanpa mengarungi sungai taslim (penyerahan
diri), seseorang mustahil mampu menggapai kesempurnaan dirinya; pintu eksistensinya
tidak akan pernah terbuka hanya dengan menggunakan kunci akal dan ilmu yang
serba terbatas semacam ini. Di jagat alam yang penuh rahasia dan misteri ini,
kita tidak akan memperoleh apapun selain keragu-raguan dan kebimbangan.
Argumen
Ketauhidan
Argumen pertama
menegaskan tentang adanya keserasian dan harmoni dalam berbagai ciptaan di alam
ini. Argumen kedua berkaitan erat dengan penjelasan Amirul Mukminin Ali bin Abi
Thalib —yang juga menyertakan himbauan agar kita betul-betul memperhatikannya. Bunyinya
seperti ini, seandainya memang terdapat Tuhan lain (Selain Tuhan Yang Tunggal),
tentu Dia juga akan mengutus para nabi dan menunjukkan jejak serta tanda-tanda
kekuasaannya. "Apabila Tuhanmu memiliki sekutu, niscaya engkau akan
menemui para utusan-Nya dan melihat tanda-tanda kerajaan-Nya."
Anggapan tentang
adanya dua bentuk kekuatan (Tuhan) tersebut juga meniscayakan keterbatasan
eksistensial masing-masing, yang karenanya menjadikan keduanya sebagai “bukan
Tuhan”.
Kekuatan yang
serba terbatas, yang menuju titik ketiadaan (fana), jelas mustahil disandang
Tuhan. Dan jika kedua kekuatan tersebut dikatakan "tidak terbatas",
maka yang ada bukan lagi "dua kekuatan" (melainkan satu kekuatan).
Saya akan menukil sebuah ungkapan salah seorang cendekiawan, "Apabila Anda
mengatakan kepada seorang ahli bangunan untuk membangun sebuah rumah yang
luasnya meliputi seluruh tanah di permukaan bumi ini, pasti ia hanya akan
membangun sebuah rumah saja. karena sudah tak ada lagi tempat baginya untuk
membangun rumah yang lain."
Pembahasan Syirik
Syirik berarti
bersandar kepada Selain Allah, menggeser posisi ketuhanann-Nya kepada makhluk,
serta menyakini adanya kekuatan di atas kekuatan-Nya. Syirik juga memiliki arti
kepatuhun secara absolut kepada selain Allah. Syirik bisa bermakna segala
bentuk pemujaan dan pendirian suatu kelompokk di luar jalan yang dibentangkan
Allah. Di sela-sela kisah yang tercantum dalam al-Quran, terdapat dua persoalan
yang sungguh berharga:
1. Menghidupkan
keimanan dengan kekuatan Ilahi, menyadari adanya kemurahan dan pertolongan gaib
dan Allah, serta tidak lalai terhadap amarah dan murka-Nya.
2. Meruntuhkan
seluruh sandaran yang bersifat semu, menolak segenap tolok ukur yang keliru,
dan mencabut pelbagai akar kesyirikan.
Kita membaca
dalam al-Quran bahwa Nabi Nuh as telah menasehati anaknya yang tidak beriman,
dan memperingatkan seluruh orang kafir yang hidup pada masa itu akan kemurkaan
Ilahi yang mendatangkan bencana air bah yang akan menenggelamkan mereka. Namun
anaknya mengatakan, "Selama belum menyaksikan murkaTuhanmu, aku akan pergi
berlindung ke puncak gunung."
Perhatikanlah,
bagaimana logika berpikir yang dibangun anak Nabi Nuh as tersebut! la
membandingkan eksistensi gunung dan kekuatannya dengan eksistensi dan kekuatan
Allah. Inilah salah satu bentuk jiwa yang mengidap kesyirikan. Oleh karenanya,
tatkala kita juga bersikap seperti itu (mengagungkan seseorang atau sesuatu
secara sejajar atau bahkan melebihi Allah), pada saat itu pula kita terbenam
dalam kesyirikan.
Perbuatan Syirik
Seseorang pernah
mengatakan, "Sekarang ini kita tidak perlu lagi melakukan salat istisqa`
(meminta hujan). Sebab, dengan menggali sumur dalam-dalam, kita pasti akan
memperoleh air yang dibutuhkan."
Orang yang lain
juga pernah mengatakan, "Kini sudah bukan saatnya lagi Allah bermurka dan
menyiksa suatu kaum dengan mendatangkan paceklik (kekurangan bahan makanan).
Soalnya, kapal-kapal bermuatan gandum dapat dengan mudah didatangkan dari
berbagai daerah di luar negeri." Orang ketiga pun pernah mengatakan,
"Kita mengakui bahwa hukum-hukum syariat bersandar pada perhitungan. Tapi,
kita tidak dapat menentang hukum-hukum pemerintahan (nasional) dan
internasional." Ada pula yang mengatakan. "Keberadaan hukum Allah
memang demikian (pasti dan gamblang), namun kita juga harus mempertimbangkan
kerelaan masyarakat serta isteri; Ketika kita patuh kepada perintah Allah, kita
juga harus taat kepada ini dan itu."
Semua itu
jelas-jelas bertentangan dengan tauhid dan penghambaan kepada Tuhan Yang Hak.
Salah seorang ahli hukum (fuqaha) yang bertugas di Majelis Penjaga Revolusi
(Syura-e Negahbon) menceritakan bahwa sekitar dua puluh tahun silam, saat
menyertai Imam Khomeini dalam perjalanan dari Teheran menuju Qum, terdapat
sebuah peristiwa yang sulit dilupakan.
Beliau berkata, "Pada
waktu itu saya berkata, 'Alangkah baiknya jika pemerintah Irak melarang warga
Iran memasuki Irak. Sebab kalau tidak, para ulama dan santri yang belajar dan
mengajar di Qum akan berbondong-bodong pindah ke Najaf, sehingga Hauzah ilmiah
(pesantren) di Qum akan menjadi kosong dan sepi.’
Ketika mendengar
perkataan saya tersebut, Imam Khomeini langsung terkejut dan kecewa. Sejak dari
Teheran sampai Qum —dalam mobil, beliau tak henti-hentinya menasihati saya
dengan mengatakan, 'Kalau pemikiran seseorang tidak semata-mata diarahkan untuk
Allah, maka ia akan senantiasa menginginkan agar yang satu naik dan satunya
lagi jatuh, Hauzah yang ada di Qum menjadi sepi dan Hauzah di Najaf menjadi
ramai, atau sebaliknya.
Alhasil,
seandainya seseorang giat berupaya memenuhi sesuatu tanpa mempertimbangkan
keridhaan Allah dan tidak berada di jalan-Nya, ia telah jauh dan terlempar dari
orbit tauhid.
Semua usaha kita
harus ditandasi ketentuan Allah. Bukan disandarkan pada pelbagai hubungan atau
ikatan sesama kawasan, dacrah, ras, profesi, atau fanatisme kedaerahan,
kekahilahan, kesukuan, dan sejenisnya.'"
Tanda-tanda
Kesyirikan
Dalam al-Quran
(yang tersebar di pelbagai ayatnya), tercantum sekitar dua ratus kata dunallah
atau dunahu (selain Allah). Inilah pokok pembicaraan tentang kesyirikan. Adapun
tanda-tanda kesyirikan yang paling mencolok dan sesuai dengan perkataan
al-Quran adalah berjalan bukan di jalan Allah, keagungan dan kehinaan diri
digantungkan kepada selain Allah, menjalankan undang-undang yang diproduksi selain
Allah, terikat dengan selain-Nya, menyokong kegiatan yang tidak diridhai Allah,
gentar terhadap selain Allah, serta berusaha demi selain Allah. Semua itu jelas
berada di luar jaring-jaring ketuhidan.
Kuantitas
Keberadaan Musyrikin (Orang-orang Musyrik)
Sebagaimana
diketahui, jumlah atau kuantitas orang-orang ikhlas sangat minor (sedikit).
Mereka adalah orang-orang yang tegar dan konsisten dalam menapaki jalan Allah
dan tidak mengharapkan balasan serta ucap terima kasih secuilpun dari
Selain-Nya. Mereka tidak memiliki sifat riya’ (suka pamer), bersikap pasrah
secara total di hadapan undang-undang Allah, dan tidak menjalankan produk
undang-undang selain yang diturunkan Allah.
Kuantitas
orang-orang semacam ini memang sangat sedikit sekali. Al-Quran mengatakan, Dan
sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan
mempersekutukan Allah (dengan sembahab-sembahan yang lain)”. (Yusuf: 106)
Depresi: Dampak
Kesyirikan
Di antara
pelbagai masalah yang dikaji dan diteliti para ahli kejiwaan berkenaan dengan
depresi dan tekanan jiwa, serta cara pencegahannya.
Menurut hemat
saya, seseorang yang terus hidup dalam lingkaran ketauhidan, dan segenap usaha
serta aktivitasnya semata-mata ditujukan kepada Allah, mustahil mengalami
depresi dan frustasi. Lebih jelasnya, ia terbebas sama sekali dari pelbagai
gangguan jiwa. Alasannya sebagai berikut:
Segenap hasil
kerja dan upaya seseorang yang melangkahkan kakinya demi Allah akan dibeli
Allah,[6] Allah mendengar pembicaraannya dan menyaksikan perbuatannya.[7]
Dan dirinya tidak
terbelenggu dan tidak bergantung kepada Selain Allah.[8] Di tengah-tengah
kehidupan masyarakat, acapkali kita jumpai pelbagai ungkapan yang berkenaan
dengan tingkat keberhasilan usaha seseorang. Umpama,
"berhasil/gagal", "menang/kalah", atau
"berkembang/statis atau mundur".
Sementara itu,
dalam literatur psikologi, pada umumnya diasumsikan bahwa sikap putus asa
(frustasi) terhadap suatu usaha merupakan penyebab utama terjadinya depresi.
Sikap putus asa jelas-jelas berada di luar lingkaran ketauhidan.
Dengan kata lain,
ketauhidan tidak mengenal dan mencakupi segenap hal yang berbau keputusasaan.
Semua itu dapat kita saksikan secara prima pada diri Nabi mulia saww: ketika
menjadi seorang penggembala; tatkala beihjrah dari Mekah ke Madinah; saat
berlindung di gunung-gunung; dalam berbagai peperangan; ketika berdiri di atas
numbar; dalam keadaan tawaf; ketika mengangkut tanah liat guna membangun masjid
di Madinah; ketika mengenakan atau tidak mengenakan pakaian tempur; saat sedang
sendirian atau bersama-sama; jiwa Rasulullah saww sama sekali tidak bergeming
dan berubah.
Memang benar,
jika dikatakan bahwa masing-masing bentuk pertanggungjawabannya berbeda-beda.
Namun, semua itu bukan semata-mata dimaksudkan sebagai bentuk yang menyenangkan
hati (yang ini lebih menyenangkan sedangkan yang lain tidak—pent.).
Lain hal
(mudah-mudahan saja tidak) dengan diri kita. Tatkala terjadi perubahan dalam
hal pekerjaan, pakaian, meja, buku, atau lingkungan kehidupan, kita kontan
bersikap murung, merasa sedih, dan kecewa.
Keadaannya bahkan
sedemikian rupa, sampai-sampai kita—na’udzubillah—nekad bunuh diri.Tindakan
yang sulit diterima akal sehat tersebut mungkin saja terjadi lantaran semua itu
betul-betul diyakini sebagai hal yang paling utama. Dengan kata lain,
"Semua itu telah menjadi semacam berhala yang membelenggu jiwa."
Pada masa
pemerintahan lalu, agen-agen Savak (dirias intelijen rezim Syah) pernah
mengintimidasi salah seorang ulama. Mereka memerintahkan agar pada saat
berkhuthah di atas mimbar, sang ulama tersebut mendoakan Syah. Tentunya,
desakan yang dilakukan agen-agen Savak itu terhadap sang ulama tadi disertai
pula dengan pelbagai ancaman dan teror.
Padahal kita
tahu, perbuatan (mendoakan Syah) tersebut sangatlah berbahaya. Ini sebagaimana
yang ditegaskan dalam hadis, “Jika orang lalim dipuji, akan berguncanglah ‘Arsy
Allah”.
Tatkala pujian
dilayangkan kepada seseorang yang lalim, dengan sendirinya kelaliman yang
dipraktikkannya akan kian menguat dan bertambah luas. Sehingga, jelas, Arsy
yang merupakan sebutan bagi pemerintahan Allah akan berguncang hebat. Secara
logis, menguatnya eksistensi pemerintahan yang lalim akan dibarengi dengan
melemahnya pemerintahan Allah. Dan dalam hal ini, sungguh amat disesalkan bahwa
pada akhirnya ia melaksanakan juga perintah tersebut.
Seandainya ulama
yang berada di bawah tekanan penguasa lalim tersebut siap berhijiah ke daerah
lain, menghentikan ceramahnya, serta menanggalkan pakaian ulama yang
dikenakannya, maka semua itu justru akan menjadi sebuah tekanan balik yang
sangat bertenaga. Selain pula, dirinya tidak sampai melakukan perbuatan tercela
(memuji penguasa yang lalim—pent.).
Akan tetapi,
dikarenakan tempat kediaman, pekerjaan, pakaian, dan kedudukan, telah menjadi
semacam berhala dan membelenggu dirinya, maka ia pun tunduk dan mau melakukan
perbuatan mengerikan semacam itu.
Semoga Allah
membebaskan kita dari berbagai belenggu dan keterikatan kepada Selain Allah
yang selama ini telah tertanam kuat-kuat dalam benak dan jiwa kita.
[1] “Fir’aun berkata,
“Sesungguhnya jika kamu menyembah Tuhan selain ku, benar-benar aku akan
menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan”. (asy-Syu’ara`: 29)
[2] “Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahibnya sebagai Tuhan selain Allah”.
(at-Taubah: 31)
[3] “Mereka
mengambil sesembahan-sesembahan selain Allah agar mereka mendapat pertolongan”.
(Yasin: 74)
[4] “Dan mereka
mengambil sesembahan-sesembahan selain Allah agar sesembahan-sesembahan itu
menjadi pelindung mereka”. (Maryam: 81)
[5] Qishârul Jumal.
[6] “Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin, diri dan harta mereka dengan
memberikan surga untuk mereka”. (at-Taubah: 111)
[7] Seluruh ayat
yang menyifati Allah dengan Mahadengar dan Mahalihat.
[8] Ini merupakan
kejadian yang pernah dialami oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib yang
memberikan makanan untuk berbukak puasa selama tiga malam berturut-turut kepada
masyarakat yang sedang kekurangan (orang miskin, anak yatim, dan tawanan).
Kemudian beliau berkata, “Dalam memberikan makanan ini, aku tidak menginginkan
balasan dan ucapan terimakasih dari kalian”. (al-Insan: 9)
<<Kembali
- Lanjut>> KETAUHIDAN
Pandangan Dunia (ar-ru`yah al-kaumah)
Kita semua
acapkali mendengar istilah “Pandangan Dunia” (world view). Pandangan Dunia merupakan
sebuah tafsiran universal terhadap keberadaan jagat alam (macrocosmos). Adapun
Pandangan Dunia yang menyertakan kesadaran bahwa keberadaan alam ini memiliki
tujuan, bersandar pada wujud yang memiliki perasaan, dan berdasarkan pada
sebuah rancangan, sistem, serta perhitungan yang pasti, disehut Dengan
"Pandangan Dunia Ilahiah". Sementara, pandangan semesti yang
mengedepankan asumsi bahwa jagad alam ini tidak didasari oleh rancangan
sebelumnya, tidak memiliki perancang yang berperasaan, tanpa tujuan, dan tanpa
perhitungan, disebut dengan "Pandangan Dunia Materialisme."
Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa "Pandangan Dunia" tak lain dari bentuk tafsiran
serta perspektif universal seseorang terhadap universum keberadaan alam dan
manusia.
Manfaat Pembahasan Pandangan Dunia
Tak diragukan
lagi, pembahasan terhadap kedua bentuk pandangan tersebutpasti memiliki
manfaat, serta keuntungan yang khas. Seumpama, rumah yang besar (alam) ini ada
pemiliknya, dibangun dengan perhitungan, serta memiliki tujuan, di mana saya
menjadi salah satu bagian di dalamnya, tentunya sikap serta perbuatan saya
harus berdasar pada kerelaan pemilik rumah (Allah).
Selain itu, saya
juga mesti mengamalkan berbagai aturan yang telah diberikan saya (dengan
perantaraan wahyu dan para nabi). Adapun seandainya seluruh alam ini tercipta
tanpa suatu rancangan apapun, tidak bertujuan, dan tanpa perhitungan, maka bagi
saya tak ada alasan untuk menaati berbagai aturan serta tidak harus petuh pada
berbagai ikatan dan larangan.
Pada masa
sekarang, kalimat "manusia yang konsisten dan bertanggung jawah"
acapkali didengung-dengungkan. Padahal, masalah pertanggungjawaban, adanya
pengawasan, dipertanyakannya segala perbuatan, dan keyakinan bahwa alam ini
tercipta berdasarkan perhitungan, sistem, serta tujuan, merupakan masalah yang
tercakup dalam topik "Pandangan Dunia Ilahiah".
Dan melalui
pandangan semacam inilah, kita dapat menjadi manusia yang konsisten dan
bertanggung jawab. Akan tetapi, berbandirig terbalik Dengan itu, dalatn sudut
pandang materialisme, seluruh jagat alam terwujud tanpa rancangan sebelumnya.
Menurut pandangan
ini, semua keberadaan tercipta sesuai dengan berlalunya waktu. Dikatakan pula
bahwa seluruh manusia berjalan menuju kemusnahan diri. Dengan kematian, mereka
akan menjadi musnah. Sementara tujuan dari kehidupan ini tak lebih dari sekadar
meraih kesenangan (dunia), untuk kemudian segera musnah dan bmasa. Bentuk
pemikiran semacam ini niscaya akan menjadikan seseorang berkata kepada dirinya
sendiri, "Mengapa saya mesti ada (hidup) dan tidak melakukan bunuh diri?
Bertahun-tahun saya hidup menderita, toh akhirnya saya juga akan bmasa.
Lalu mengapa saya
tidak segera mengakhiri hidup saya ini?" Benar, kehidupan yang bermakna
hanyalah kehidupan yang berada di bawah naungan "Pandangan Dunia
Ilahiah", tidak pada yang lain.
Fungsi Pandangan Dunia
Ketika di tengah
malam buta, rumah Anda tiba-tiba diketuk seseorang yang belum Anda kenal betul
dan tidak dapat terlihat secara jelas, tentu Anda tidak akan segera membuka
pintu.
Ketika tidak mengetahui
bagaimana cuaca kota yang akan kita tuju, pasti kita tidak akan mengetahui
jenis pakaian apakah yang harus dibawa. Pabila kita tidak mengetahui apakah
undangan yang ditujukan untuk kita berupa undangan dukacita atau pernikahan,
jelas kita tidak akan bisa memutuskan pakaian maLam apakah yang mesti kita
kenakan.
Dengan demikian,
agar tugas-tugas yang akan kita laksanakan menjadi jelas, kita terlebih dahulu
harus memiliki pandangan serta pengenalan yang jelas terhadapnya.
Karena itu,
akidah bentuk pemikiran, serta pengenalan (yang keseluruhannya bisa dnstilahkan
dengan "Pandangan Dunia") yang ada pada diri kita akan berpengaruh
terhadap seluruh perilaku serta pilihan-pilihan kita.
Memilih Pandangan Dunia
Telah saya
kemukakan bahwasannya terdapat dua bentuk pandangan terhadap keberadaan alam
semesti dan manusia.
1. Pandangan
Ilahiah: Sebuah pandangan yang menerima prinsip tentang adanya pemilik,
perhitungan yang pasti, rancangan yang sistemis, serta perancang dari
keberadaan jagat alam ini.
2. Pandangan
Materialis: Sebuah pandangan yang meyakini bahwa semesti alam ini bukan milik
siapa-siapa, tak ada perancangnya, tercipta tanpa tujuan, dan bergerak menuju
titik kemusnahan. Dengan memperhatikan manfaat serta fungsi "Pandangan
Dunia" sebagaimana yang saya singgung pada awal pembahasan, setiap orang
mau tidak mau harus memnih salah satu dari kedua bentuk pandangan tersebut.
Ciri-ciri
pandangan yang baik mengandungi sejumlah hal:
1. Pandangan
Dunia senantiasa berpijak di atas berbagai argumen akal (logika).
2. Pandangan
serta proses penafsirannya harus sesuai dengan fitrah penciptaan alam.
3. Selain
memiliki nilai, Pandangan Dunia juga mengobarkan semangat, harapan. serta rasa
bertanggung jawab.
Dengan
memperhatikan ciri-ciri di atas, kita akan memulai pembahasan dan kajian ini.
Tauhid: Poros "Pandangan Dunia
Ilahiah" (ar-ru`yah al-kaumah al-ilâhiah)
Sesuai Dengan
prinsip penalaran, kita mengetahui bahwasannya keberadaan sesuatu pasti
memiliki sebab-musababnya. Keyakinan dan ketentuan ini sedemikian jelas
sampai-sampai jika Anda meniup wajah seorang bayi, sekalipun secara perlahan,
ia akan segera membuka matnya serta menengok ke kanan dan ke kiri demi mencari
sebab munculnya angin yang menerpa wajah mungituya.
la mengetahui
bahwa hembusan angin tersebut berasal dari suatu sumber tertentu. Ya, masalah
adanya bekas atau jejak yang menunjukkan adanya sesuatu yang membuat bekas atau
jejak tersebut, merupakan suatu masalah yang teramat jelas dalam kehidupan
kita. Di seluruh pengadilan, keberadaan bekas atau jejak acapkali mampu
mengungkap fakta suatu kasus. Apabila terdapat lukisan seekor burung merak atau
ayam jantan, kita bisa memastikan bahwa untuk itu ada yang menggambar atau
melukisnya.
Akan tetapi,
mungkinkah hagi kita untuk membayangkan bahwasanya keberadaan hurung merak dan
ayam jantan itu sendiri tidak memiliki perancang dan penciptanya? Bagaimana
kita dapat meyakinkan akal kita kalau sebuah kamera saja ada yang membuatnya,
sementara mata manusia tidak dibuat oleh pencipta yang memiliki perasaan?
Padahal, kita
mengetahui dengan pasti bahwa dalam hal pengamhilan gambar, kemampuan mata kita
jauh lebih sempurna daripada sebuah kamera. Setelah beberapa kali melakukan
pengambilan gambar, sebuah kamera harus mengganti negatif filmnya dengan
negatif film yang baru.
Sementara mata
kita tiada henti-hentinya mengambil gambar tanpa perlu mengganti negatif film.
Sebuah kamera biasanya hanya bisa mengambil gambar hitam-putih atau berwarna,
sedangkan mata kita dapat mengambil gambar berbagai benda dalam berbagai wama,
hitam-putih, berwama, dari jarak dekat maupun jauh, di bawah pancaran sinar
matahari atau terlindung darinya.
Dengan demikian,
mungkinkah akal kita dapat menerima pandangan bahwa anggota tubuh bagian
permukaan diciptakan oleh sang pencipta, sementara bagian organ pencernaan
tidak?! Kita meyakini bahwa keteraturan yang terdapat pada diri seseorang
mencerminkan adanya perasaan dalam dirinya. Lalu, apakah keteraturan yang
berlangsung di alam semesti ini tidak merefleksikan adanya (pencipta yang memiliki)
perasaan? Bagaimanakah mereka bisa menggantikan (pencipta alam ini) dengan
berbagai sebab-sebab serta hukum-hukum alam? Padahal kita mengetahui bahwa
hanya untuk mengetahui hakikat keberadaan dari salah satu saja dari hukum-hukum
alam tersebut, seorang cendekiawan sampai harus menghabiskan waktunya selama
berpuluh-puluh tahun!
Ringkasnya,
apabila ciri-ciri utama yang melekat pada "Pandangan Alam" terbaik
selaras dengan pendapat akal, maka sejak kali yang pertama, akal kita telah
menyaksikan adanya sistem (keteraturan) serta perhitungan yang rinci di jagat
alam ini, sekaligus memberi keyakinan bahwa alam semesti merupakan hasil
ciptaan suatu kekuatan yang memiliki perasaan. Melalui rumus akal itulah, Allah
memberikan sederet jawaban atas berbagai keraguan yang mendera. Setelah
melakukan observasi terhadap alam semesti dan mengetahui adanya berbagai
keteraturan serta perhitungan yang amat hnci di dalamnya, kita niscaya akan
terbawa ke dalam pandangan Ilahiah. Inilah suatu pertanda adanya kebenaran dalam
cara memandang dan berpikir.
Pertanda lain
yang menunjukkan kebenaran "Pandangan Dunia Ilahiah" adalah
kesesuaiannya dengan keberadaan fitrah. Dalam hal ini, saya akan menjelaskan
terlebih dahulu kepada saudara-saudara sekalian, makna dari fitrah, sehingga
ketika saya menyinggung masalah pengenalan tuhan secara fitriah, kita sudah
memiliki bekal pengetahuan yang memadai.
Penafsiran Fitrah
Istilah fitrah
identik dengan kata khilqahi, yang memiliki arti "ciptaan"; suatu
bentuk perasaan yang terdapat dalam diri manusia yang dalam perwujudannya tidak
memerlukan latihan serta pengajaran dari seorang pendidik atau pengajar, dan
perasaan tersebut senantiasa bersemayam dalam jiwa seluruh manusia di pelbagai
tempat dan masa. Perasaan tersebut terkadang disebut fitrah, dan terkadang pula
disebut gharîzah (insting).
Alhasil, insting
merupakan perasaan serta berbagai kecenderungan yang Selain terdapat dalam diri
manusia, juga terdapat pada hewan. Tentunya jelas bahwa salah satu pertanda
bahwa sesuatu hal bersifat fitriah ialah apabila keberadaannya bersifat
universal.
Misalnya,
kecintaan seorang ibu terhadap anaknya yang merupakan sesuatu yang bersifat
fitriah; perasaan kasih sudah tertanam dalam jiwa sang ibu, sehingga untuknya
tidak diperlukan bimbingan atau pengajaran. Dan hal itu juga bersifat
universal.
Dalam arti,
apabila Anda rnenelusuri pelbagai tempat dan masa, pelbagai bentuk dan sistem
pemerintahan, Anda tentu akan menjumpai kecintaan seorang ibu terhadap anaknya.
Akan tetapi, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan kuat dan lemahnya
perasaan (fitrah) tersebut.
Boleh jadi suatu
perasaan yang terdapat dalam jiwa seseorang berhasil mengalahkan perasaan yang
lain. Misalnya saja dalam diri manusia terdapat rasa cinta terhadap harta,
kesenangan, atau keselamatan. Akan tetapi, bobot dan masing-masing bentuk
perasaan yang terkandung dalam diri setiap individu tersebut tidaklah sama
persis.
Sebagian orang
akan rela mengorbankan nyawa demi hartanya, sementara sebagian lainnya akan
rela mengorbankan harta demi nyawanya. Sebagaimana pernah terjadi pada suatu
masa, seorang ayah yang demi mempertahankan harga diri (dikarenakan anggapan
yang berkembang waktu itu bahwa memiliki anak perempuan merupakan suatu
kehinaan dan cela) sampai-sampai harus memutuskan rasa cintanya kepada anak
(perempuan)nya.
Kemudian dengan
tangannya sendiri, ia tega mengubur hidup-hidup anak itu. Karena itu,
keberadaan fitrah tidak meniscayakan semua manusia memiliki sikap yang sama.
Sebabnya, banyak sekali fitrah yang tertutupi fitrah yang lain. Salah satu hal
yang dihasilkan fitrah ialah rasa bangga diri. Seseorang yang berjalan di garis
fitrah, akan memiliki jiwa yang tenang. Seorang ibu yang menggendong putranya
akan merasa bangga, sampai-sampai ia akan marah ketika menyaksikan seorang ibu yang
tidak mengasihi anaknya sendiri. Ya, rasa bangga dan marah tersebut merupakan
bentuk sikap yang dihasilkan oleh fitrah.
Sekarang, marilah
kita saksikan bersama, apakah pengenalan terhadap Tuhan merupakan sesuatu hal
yang bersifat filrah ataukah bukan?
Kita akan
bertanya kepada setiap manusia yang ada di setiap tempat, masa, serta
pemerintahan, "Apa yang kalian rasakan dalam kehidupan di alam semesti
ini?" Apakah kalian merasa bahwa diri kalian benar-benar bebas? Ataukah
kalian merasakan bahwadalam diri terdapat suatu keterikatan?
Tak seorangpun
yang mengatakan, "Di alam semesti ini saya benar-benar merasa bebas."
Setiap orang pasti akan merasakan bahwa di dalam dirinya terdapat suatu ikatan.
Namun, perasaan yang benar semacam ini bisa terpenuhi dalam dua bentuk:
1. Perasaan yang
henar dan dipenuhi dengan cara yang benar.
2. Perasaan yang
benar dan dipenuhi dengan cara yang keliru (kebohongan).
Seumpama, seorang
bayi yang menangis karena merasa lapar. Perasaan lapar tersebut merupakan
sesuatu yang benar. Namun terkadang, pemenuhan tuntutan perasaan tersebut
dilakukan dengan cara menghisap susu ibunya yang penuh dengan air susu.
Tentunya,
pemenuhan semacam ini dilakukan dengan cara yang benar. Namun, terkadang
pemenuhan perasaan tersebut dipenuhi dengan cara menghisap puting susu plastik
tiruan (dot). Sebagaimana dikemukakan bahwa dalam diri manusia benar-benar
terdapat rasa keterikatan. Akan tetapi, keterikatan pada apa?
1. Pada kekuatan
Allah?
2. Pada kekuatan
alam?
Keberadaan alam
sendiri memiliki keterikatan terhadap ratusan sebab dan akibat. Dengan
demikian, kita mesti mengikatkan diri kita dengan suatu kekuatan yang tidak
lagi terikat sebagaimana diri kita.
Misi Para Nabi
Misi para nabi
ditujukan untuk menjaga agar perasaan manusia yang pada hakikatnya bersifat
lembut tidak sampai dijejali berbagai modus kebohongan (kekeliruan).
Sebagaimana seorang ibu atau seorang pengasuh yang tidak akan pernah membiarkan
seorang anak yang lapar—demi menghilangkan rasa laparnya—menyantap makanan
secara sembarangan. Sejarah menunjukkan bahwa mereka yang tidak berada di bawah
bimbingan para nabi akan terjerumus ke dalam berbagai macam khurafat
(penyelewengan).
Apakah Perbudakan Bertentangan dengan
Kebebasan Manusia?
Kadang kala,
terbayang dalam benak kita bahwa ajakan pari nabi serta berbagai mazhab samawi
untuk menyembah Allah semata merupakan perbuatan yang bertentangan dengan
kebebasan manusia.
Namun, perlu
diperhatikan bahwa susunan tubuh manusia telah diciptakan sedemikian rupa,
sehingga manusia tidak dapat hidup tanpa cinta, kasih, peribadahan, serta
harapan. Rasa cinta dan kegemaran dalam beribadah telah tertanam dalam jiwa
manusia. Dan, jika perasaan tersebut tidak ditundukkan di bawah bimbingan para
nabi, akibatnya manusia akan menjadi penyembah patung berhala, benda-benda
langit, sesamanya, serta para pemimpin yang zalim.
Karena itu,
perbudakan dan peribadahan kepada Allah merupakan suatu cara pemuasan yang
benar, yang menghalangi berbagai bentuk pemuasan semu (keliru), sekaligus
menyelamatkan jalur cinta dan peribadahan dari pelbagai penyimpangan.
Pandangan Alam
Ilahiah dan iman kepada Allah berakar pada keberadaan fitrah. Perasaan serta
keterikatan pada kekuatan adikodrati yang tidak terbatas, sudah tentu terdapat
dalam jiwa setiap manusia. Namun demikian, sekalipun seseorang bisa memastikan
adanya kekuatan tidak terbatas itu, ia boleh jadi mengalami kekeliruan dalam
hal menentukan kekuatan manakah yang bersifat llahi dan mana yang bersifat
alamiah.
Alhasil, perasaan
dan huhungan semacam itu benar-benar ada. Karena itu, Pandangan Dunia Ilahiah
meyakini bahwa seluruh keberadaan di jagat alam terikat dengan suatu kekuatan
adikodrati tanpa batas dan memiliki perasaan, dan ini sesuai dengan fitrah
manusia. lnilah bukti lain yang berkenaan dengan kebenaran.
Pandangan Dunia Ilahiah
Tanda ketiga yang
melekat pada suatu pandangan yang paling komprehensif ialah melahirkan
rasacinta, harapan, serta tanggungjawab dalam diri manusia.
Pabila seorang
pelajar yang ada di sebuah sekolah mengetahui bahwa berbagai usahanya tidak
akan sia-sia, seperseratus dari nilainya akan diperhitungkan, dan seluruh
alasan yang masuk akal akan diterima, tentu akan terus belajar dengan semangat
yang luar biasa.
Berkat Pandangan
Dunia Ilahiah, manusia akan memiliki keyakinan bahwa setiap detik dari
kehidupannya senantiasa berada di bawah pengawasan Allah. Dengan pandangan
tersebut, setiap alasan keberadaannya juga akan diterima, perbuatan baik dan
buruknya sekecil apapun—tidak akan diabaikan bahkan perbuatan baiknya akan
dibeli Allah, harga dari nyawa dan hartanya akan dibayar oleh kenikmatan
surgawi, dan memiliki keyakinan bahwa pada satu sisi dirinya acapkali
memperoleh pertolongan gaib, sementara pada sisi yang lain memperoleh sarana
pendidikan yang bebas dari keraguan, kekeliruan, serta kealpaan.
Ala kulli ha,
semua itu merupakan pelita harapan yang paling benderang yang menerangi hati
manusia.
Bagaimanakah Bentuk Iman dan Kecenderungan
yang Berharga?
Dalam al-Quran
terdapat berbagai kritikan atas berbagai bentuk iman serta kecenderungan yang
dimiliki manusia:
1. Berbagai
kecenderungan yang bersifat musiman (angin-anginan). Sebagai contoh. seseorang
yang pada suatu ketika merasakan dirinya tengah berada dalam bahaya, di mana
kapal yang ditumpanginya akan tenggelam.
Pada saat itu, ia
segera menyebut, "Yaa Allah." Akan tetapi, begitu terlepas dari
kesulitan tersebut, dan dirinya melihat bahwa kapal yang ditumpanginya tengah
mendekati pantai, seketika itu pula ia kembali menyerahkan dirinya kepada
Selain Allah; berbuat syirik.
2. Dalam Al-Quran
kita membaca ayat ini: “Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada
Allah dengan memurnikan niat ketaatan kepada-Nya, maka tatkala Allah
menyelematkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka kembali mempersekutukan
(Allah)” (al-Ankabût: 65)
3. Keimanan serta
kecenderungan ikut-ikutan terhadap keyakinan urang tua dan para pendahulu.
Kecenderungan semacam ini biasanya tidak didasari argumentasi atau dalil
yangrasional.
Keimanan ini
mirip dengan keimanan yang dimiliki para penyembah berhala. Tatkala menjawab
pertanyaan para nabi, mereka mengatakan, "Keyakinan kami dalam menyembah
berhala ini diwarisi dari para pendahulu kami." Berkenaan dengan ini,
al-Quran mengatakan, “Mereka menjawab, ‘(Bukan karena itu), sebenarnya kami
mendapati nenek moyang berbuat demikian” (asy-Syu’arâ`: 74)
4. Keimanan dan
kecenderungan yang hanya bersifat kulit belaka dan belum menembus ke dalam
lubuk hati, ruh, serta jiwa.
Al-Quran
mengatakan, "Sekelompok orang-orang Arab datang menemui Rasul saww dan mengatakan,
“Kami semua telah beriman”.
Kemudian Allah
berfirman kepada Nahi saww, “Katakanlah kepada mereka, “Keimanan kalian
sekarang ini masih belum membekas dalam hati kalian. Kalian hanya sekedar
mengungkapkan rasa keimanan saja’. Orang-orang Arab Badui itu berkata, ‘kami
telah beriman’, Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman, tapi
katakanlah, ‘Kami telah tunduk’, karena iman itu berlum masuk ke dalam hatimu”.
(al-Hujurât: 14)
5. Keimanan yang
kosong dari amal perbuatan yang baik. Orang yang memiliki keimanan ini adalah
orang yang berpengetahuan namun enggan mengamalkannya. Dalam al-Quran, terdapat
banyak sekali kecaman terhadap orang-orang semacam ini.
Manakah Bentuk Keimanan yang Bernilai?
Dalam al-Quran
disebutkan bahwa iman yang bernilai dan berharga harus didasari pada pemikiran
serta pertimbangan rasional terhadap berbagai ciptaan. Kita membaca dalam
al-Quran; “... dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata), Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia” (Ali
Imrân: 191)
Hasil-hasil Keimanan Terhadap Allah
1. Munculnya
perasaan cinta dan semangat.
Seseorang akan
mengetahui secara pasti bahwa seluruh perbuatannya senantiasa berada di bawah
pengawasan Allah, sembari meyakini pula bahwa tak satupun dari amal
perbuatannya akan musnah, dan semua usahanya akan diganjar Allah dengan surga
dan ridhwân (kerelaan Allah).
Bahkan, sekalipun
ia hanya memiliki niat semata dan tidak berusaha, Allah tetap akan
menganugerahkan paHala dan ganjaran kepadanya. Seseorang yang mengetahui semua
itu pasti akan menjalani kehidupan yang penuh dengan semangat dan cinta.
2. Menjauhkan
diri dari tipu muslihat, kehinaan moral, dan pelecehan hak.
Seseorang yang
menyadari bahwa diri serta perbuatannya berada di bawah pengawasan serta
kekuasan Allah, tidak akan melakukan berhagai bentuk penipuan.
3. Keagungan.
Seseorang yang
bersedia menjadi hamba-Nya, tidak akan bersedia tunduk pada kekuatan lain. la
akan memandang seluruh kebciadaan Selain-Nya sama seperti dirinya yaku hanya
sebagai hamba.
4. Tidak akan
melakukan pekerjaan yang merugikan.
Dikarenakan
setiap perbuatan baik yang dikerjakannya akan mendapat pahala serta ganjaran
yang kekal dan abadi, ia tidak akan pernah bersandar kecuali kepada-Nya, dan
senantiasa menjauhkan diri dari berbagai kecenderungan kepada Selain-Nya.
5. Merasakan
ketenangan jiwa.
Di sini kita akan
melihat berbagai faktor penyebab munculnya rasa gelisah dan guncanganjiwa.
Darinya, kita dapat menyaksikan dengan jelas bagaimana keimanan kepada Allah
mampu menciptakan ketenangan dalam jiwa.
Faktor-faktor Penyebab Guncangan Jiwa
1. Adakalanya
guncanganjiwa dan rasa gelisah timbul akibat keadaan yang dialami di masa lalu.
Pada umumnya, hal itu berkaitan dengan berbagai kekeliruan yang dilakukan pada
masa silam.
Akan tetapi,
dengan mengingat serta menyebut nama AllahYang Mahapengasih lagi Mahapemurah,
keadaan jiwa semacam itu niscaya akan berubah. Dari serba gelisah menjadi penuh
dengan ketenangan. Sebabnya. Dia maha mengampuni berbagai kekeliruan dan
perbuatan dosa, dan Dia juga Mahapenerima tobat.
2. Adakalanya
guncangan jiwa serta kegelisahan bersumber dan rasa terasing (kesendirian).
Dalam hal ini, keimanan kepada Allah Yang Maha Ada dan Maha Menyaksikan, akan
mengubah semua itu menjadi penuh ketenangan den ketenteraman. la menyenangkan
dan disenangi; la mendengar suaraku; la menyaksikan segenap perbuatanku; la
mengasihi dan menyayangi diriku.
3. Adakalanya
guncangan jiwa terjadi akibat adanya anggapan bahwa kehidupan dirinya tidak
memiliki arti apa-apa serta nihil dari tujuan. Akan tetapi, dengan keimanan
kepada Allah yang Mahabijaksana, yang telah menciptakan segala sesuatu di jagat
alam ini berdasarkan pada kebijakan dan masing-masingnya memiliki tujuan,
kadar, dan masa yang telah diperhitungkan secara cermat dan rinci, berbagai
bentuk guncangan jiwa semacam itu niscaya akan lenyap.
4. Adakalanya
rasa gelisah dan guncangan jiwa tersebut muncul dikarenakan seseorang tidak
berhasil menyenangkan semua orang. la merasa sedih, "Mengapa si fulan atau
golongan fulan merasa kecewa kepadaku?" Akan tetapi, sesuai dengan prinsip
keimanan bahwa kita hanya diharuskan untuk membuat Allah rela dan senang, di
mana keagungan serta kehinaan hanya berada dalam genggaman-Nya, seluruh
kegelisahan dan guncangan tersebut akan pudar.
Berkenaan dengan
itu, al-Quran mengatakan, “... Ingatlahm hanya dengan mengingat Allah hati
menjadi tentram”. (ar-Ra’d: 28) (ketahuilah, dengan mengingatdan menyebut nama
Allah, hati akan menjadi tenteram). Semua itu merupakan suatu kenyataan yang
tak bisa dipungkiri.
Berbagai Dampak dari Kekosongan Iman
Seseorang yang
tidak beriman kepada Pencipta alam, Tuhan Yang Mahabijaksana, pada dasarnya:
1. Tidak memiliki
prinsip dan tujuan hidup. Baginya, kehidupan hanyalah ditujukan untuk meraih
kebahagiaan yang bersifat material. Keberadaan orang semacam ini tak ubahnya
seekor hewan!!
2. Setiap
aktivitas yang dilakukannya diyakini bersifat paksaan belaka (baik oleh
masyarakat maupun kasta).
3. Rumah masa
depannya adalah kebmasaan. Sebabnya, ia tidak meyakini adanya kehidupan pasca
kematian serta adanya kekekalan ruh.
4. Para
pembimbingnya terdiri dari orang-orang zalim. Selain itu, ia tunduk di bawah
kemauan hawa nafsu.
5. Ruang
kehidupannya (dikarenakan tidak meyakini adanya wahyu dan keberadaan para nabi
yang maksum) sarat dengan berbagai keragu-raguan, keterbatasan, kekurangan, dan
kekeliruan.
6. Mengalami
kebingungan yang luar biasa dalam upayanya memahami eksistensi alam ini. la
sama sekali tidak mengetahui, kenapa dirinya terlahir ke alam ini? Mengapa
kemudian setelah itu dirinya pergi entah ke mana? Dan apa sebenarnya tujuan
kehidupan ini?
Seluruh
pemikirannya hanya tertumpu pada, "Bagaimanakah cara meraih kehidupan
duniawi yang lebih baik." Bukannya pada, "Apakah tujuan kehidupan ini?"
Ya, demikianlah sejumlah karakter khas dari seseorang yang nihil dari Pandangan
Dunia Ilahiah dan akidah Islam. Dengan membandingkan wajah orang beriman kepada
Allah dengan wajah orang tidak beriman kepada Allah, Anda dapat mengetahui
dengan jelas fungsi penting dari sebuah keimanan.
Penjelasan Kaum Materialis Tentang Mazhab
Setelah kita
mengetahui sebab-sebab serta akar keimanan kepada Allah, terdapat dua hal yang
terkait dengannya:
1. Akal
2. Fitrah
Akal manusia akan
mengatakan bahwa setiap sesuatu yang eksis harus ada yang meneiptakan
(mengeksiskan). Di mana dan kapan saja kita menyaksikan adanya keteraturan dan
kerapihan, kita pasti akan mengetahui bahwa untuk itu terdapat sesuatu yang
mengatur serta merapihkan.
Demikian juga,
fitrah mengatakan bahwa setiap jiwa manusia memiliki hubungan dengan sebuah
kekuatan adi-kodrati. Namun, terdapat. pula sekelompok orang yang tidak
menghiraukan kedua faktor tersebut. Dan berkenaan dengan keberadaan mazhab,
mereka memberikan berbagai penjelasan yang menggelikan.
Sejumlah
argumentasi yang mereka lontarkan telah saya kemukakan di celah-celah
pembahasan ini, meskipun masih bersifat global. Sementara untuk lebih
mengetahuinya secara lebih mendetail, saya persilahkan Anda merujuk buku Ushûl
al-Falsafah jilid V atau juga sejumlah buku lainya yang membahas topik
"Mengenal Allah" (ma’rifatullâh).
Kekeliruan Pandangan Kelompok Marxisme
Dengan berlalunya
waktu, berbagai pandangan Marxisme semakin jelas menampakkan kekeliruannya
sehingga mencoreng muka mereka sendiri. Umpama, berkaitan dengan peristiwa
revolusi Islam di Iran. Meletusnya revolusi yang menggegerkan tersebut telah
menudirig hidung masyarakat kita yang telah melakukan kesalahan dan kekeliruan
dalam memandang keberadaan agama serta proses perubahan sosial.
Di antaranya,
Marxisme mengatakan bahwa keberadaan agama tak lebih sebagai candu masyarakat.
Agama telah menjadikan masyarakat lunglai, lesu, hina, pasrah, dan kecanduan.
Akan tetapi, di negeri Iran ini kita memiliki tiga puluh limajuta saksi yang
bisa mengatakan bahwa alih-alih membuat lesu, agamajustru telah menghembuskan
semangat dan menginspirasikan pergerakan kepada masyarakatani merupakan salah
satu bentuk pandangan mereka yang keliru dan amat memalukan.
Kekeliruan yang
kedua dari pandangan Marxisme adalah ketika mereka mengatakan, "Kerusakan
moral merupakan akibat dari kelemahan ekonomi." Berdasarkan itu, bisa
dikatakan bahwa apabila ada seseorang yang rnencuri, umpamanya, maka
tindakannya itu lebih disebabkan oleh tekanan kemiskinan!
Untuk itu, kita
juga memiliki tiga puluh limajuta orang yang menyaksikan bahwa Syah Iran, si
pengkhianat, adalah gembong para perampok. Kondisi kehidupan ekonomi dirinya
tidaklah miskin. Demikian pula halnya dengan status ekonomi dari berbagai
pencuri kelas kakap lainnya di seantero sejarah. Kekeliruan ketiga Marxisme
terjadi dalam perkataannya, "Yang mencetuskan revolusi adalah gerakan
orang-orang miskin dan perlawanan kaum yang kelaparan melawan para pengeruk
keuntungan!"
Lagi-lagi kita
semua yang ada di Iran menyaksikan bahwa revolusi Islam Iran diledakkan demi
mewujudkan kebebasan serta kemerdekaan dalam melaksanakan hukum-hukum Ilahi,
bukan demi roti dan air, juga bukan dikarenakan tinggi rendahnya harga
barang-barang! Jika benar bahwa revolusi tersebut merupakan bentuk perlawanan
orang-orang miskin (vis a vis segelintir pengeruk keuntungan—pent.), tentunya
mereka yang pertama kali akan menggelar revolusi adalah para penduduk yang
tinggal di daerah Kurdistan, Sistan, atau Baluchistan.
Namun, api
revolusi yang disulut dari Madrasah Fadhiah dan dipimpin para ulama, dengan
mengumandangkan slogan Allahu Akbar, justru terjadi pada hari-hari ‘Asyura (10
Muharam—pent.).
Dan pergerakan
tersebut mencapai puncaknya tatkala tiba hari Arba’in (hari keempat puluh dari
kesyahidan Imam Husain as di medan Karbala, tanggal 20 Safar—pent.). Semua itu
merupakan bukti nyata bahwa yang menggerakkan revolusi tak lain dan spirit
keyakinan (ideologi), bukannya perut. Revolusi tersebut menggelegar tak lain
demi menghidupkan undang-undang Ilahi dan menpampakkan undang-undang penguasa
zalim.
Revolusi tersebut
bukanlah buah dari pergerakan orang-orang miskin. Tentu saja kita tidak
mengingkari peran dari tekanan kondisi ekonomi serta keberadaan kaum miskin.
Namun, faktor manakah yang menjadi lokomotif serta penggerak utama revolusi
tersebut? Perut ataukah mazhab? Betapa banyak mereka yang hidup serba
berkecukupan namun kemudian menyerahkan apa yang mereka miliki demi kemenangan
revolusi.
Kekeliruan
keempat—dan ini merupakan pembahasan kita pada bab "Pandangan dunia
Materialisme"—dari pandangan Marxisme malah lebih menggelikan lagi. Kali
ini komentar mereka berkaitan dongan keberadaan mazhah dan agama. Mereka
menyatakan, "Kaum kapitalis dengan perantaraan suatu sarana pemberi harapan
yang mereka sebut dengan mazhab, berusaha menenangkan dan membungkam suara
orang-orang miskin! Mereka mengatakan kepada kaum miskin, "Bersabarlah,
Tuhan menyukai orang-orang yang sabar. Jika hak kalian dilanggar, tabahkanlah
hati kalian." Atau dikatakan, "Dunia tidak memiliki nilai, yang utama
adalah akhirat." Atau, "Janganlah kalian melakukan revolusi,
tunggulah kedatangan Imam Zaman (Mahdi) as. Dia sendirilah yang akan membuat
perbaikan. "Juga dikatakan, "Lakukanlah taqiah. Apapun yang kalian saksikan,janganlah
bersuara."
Seruan-seruan
semacam itulah yang didengungkan kaum kapitalis melalui perantaraan sarana
pemberi harapan yang diriamakan dengan mazhab. Pada akhirnya, seruan-seruan
tersebut dibenarkan kelas pekerja, yang karenanya mereka (kaum kapitalis)
berhasil mencegah dan menghalangi kelas pekerja untuk melakukan perlawanan
serta penggugatan terhadap hak-haknya."
Perhatikanlah
dengan cermat, betapa pernyataan semacam itu amat sulit diterima akal sehat.
Pandangan tersebut sungguh amat memalukan.
Alhamdullah, kita
hidup dalam sebuah masa, di mana para pemudanya telah memiliki kemajuan
berpikir yang sangat mencengangkan sehingga sanggup menjawab berbagai pandangan
Marxisme yang irasional dan primitif semacam itu. Dalam sekejap saja, para
pemuda Muslim akan mengajukan berbagai bantahan kepada para pendukung Marxisme,
di antaranya:
1. Jika yang
menjadi pencipta mazhab adalah kaum kapitalis, dan itupun ditujukan untuk
menenangkan kaum miskin, lantas mengapa dalam mazhab itu sendiri termaktub
undang-undang yang justru menggerogoti modal kaum kapitalis, dan bahkan menyita
harta mereka?
Berbagai
keuntungan yang diperoleh kaum kapitalis melalui proses kezaliman, suap,
pelambungan harga, pengurangan penjualan, riba, penumpukkan harta, penipuan dan
sehagainya, dengan kata lain, seluruh kekayaan tersebut dihasilkan melalui
cara-cara yang ilegal, akan serta merta disita oleh Islam dan mazhabnya.
Kalau memang
demikian adanya, bisakah dibenarkan bahwasannya kaum kapitalislah yang
menciptakan agama dan mazhab? Mungkinkah mereka menciptakan sesuatu yang justru
pada akhirnya akan merampas seluruh harta yang dimilikinya?
Uraian ini baru
ditinjau dai i satu sisi. Sementara pada sisi yang lain, berkenaan dengan
berbagai peristilahan yang maknanya bisa diselewengkan sedemikian rupa.
Padahal, agama sendiri telah memaknai berbagai peristilahan tersebut secara
jitu dan benar.
Umpama, istilah
intizhâr (penantian), yang artinya bukan semata-mata diam dan berpangku tangan.
Ketika menanti terbitnya matahari, tentunya pada malam hari kita tidak hanya
berdiam diri dan tidak menyalakan pelita atau lampu. Makna dari menunggu musim
panas bukan berarti pada saat musim dirigin kita tidak mempersiapkan berbagai
sarana pemanas ruangan.
Benar, dalam
menunggu kedatangan Imam Zaman as demi mengharap terjadiriya perbaikan, tidak
berarti kemudian kita tidak melakukan aktivitas apapun, berdiam diri, bahkan
tunduk di bawah tekanan kezaliman. Makna dari idiom "dunia ini tidak
memiliki nilai" bukan melepaskan dunia secara total. Akan tetapi, maksudnya
adalah bahwa eksistensi manusia yang merupakan khalifah Allah di muka bumi jauh
lebih bernilai dari keberadaan dunia itu sendiri. Sehingga, jangan sampai
keberadaan dunia menjadi tujuan utama seseorang. Pendek kata, dalam pandangan
Islam, istilah kesabaran, penantian, dan kerelaan bukanlah dimaksudkan bahwa
kaum miskin harus pasrah dan berdiam diri terhadap berbagai kebijakan para
pengeruk keuntungan.
Selain menyita
harta yang telah dikumpulkan kaum kapitalis dengan cara yang tidak absah, Islam
juga menyeru kepada orang-orang miskin:
1. Tidak
dibenarkan tunduk dan merendahkan diri di hadapan para pemilik modal.
Barangsiapa yang merendahkan dirinya di hadapan seseorang karena hartanya, maka
sepertiga dari agamanya telah lenyap.
2. Imam Ridha as
bersabda, “Barangsiapa yng lebih bersemangat dalam memberi salam kepada
orang-orang kaya, pada hari kiamat kelak Allah akan murka kepadanya”
3. Memperingatkan
manusia agar jangan mengistimewakan seseorang dikarenakan hartanya.
4. Tidak
dibenarkan duduk dalam sebuah hidangan yang hanya dihadiri orang-orang kaya.
5. Imam Ridha as
sendiri senantiasa duduk dan bersantap bersama dengan budaknya. Nabi Sulaiman
as dengan berbagai keagungannya, senantiasa hidup bersama dengan orang-orang
miskin. Imam Ali bin Abi Thalib as senantiasa duduk beralaskan tanah, dan
nabi-nabi as kita pada umumnya menjadi penggembala ternak. Allah tidak akan
mengabulkan doa orang yang menganggur, dan mengutuk seseorang yang membebankan
kebutuhan hidupnya kepada orang lain. Dari perintah-perintah tersebut, kita
mengetahui dengan jelas bahwa keberadaan Islam bukunlah hasil rekayasa kaum
kapitalis. Islam tidak mendukung kebijakan mereka, dan bukan penyebab kelesuan
masyarakat serta tidak menganjurkan seseorang untuk berdiam diri. Semua ini
merupakan kajian singkat terhadap pandangan Marxisme seputar munculnya agama
dan mazhab. Kesimpulannya, pandangan Marxisme merupakan pandangan yang
menyimpang jauh dari kebenaran dan isinya amat menggelikan.
Penjelasan Lain yang Menggelikan
Sebagian kalangan
Materialis tidak memiliki kesanggupan untuk memahami prinsip bahwa Pandangan
Dunia Ilahiah bersumber dari akal dan fitrah. Acapkali mereka mengklaim dirinya
sebagai cendekiawan yang kemudian berlagak memberikan berbagai penjelasan
mengenai keimanan terhadap Sang Pencipta yang bersemayam dalam lubuk hati
orang-orang mukmin.
Mereka umpamanya
mengatakan, "Asal muasal keimanan kepada Allah adalah rasa takut".
Maksud yang terkandung dari ucapan tersebut analog dengan keadaan seorang anak
kecil yang butuh perlindungan kepada kedua orang tuanya. Namun, tatkala ia
tumhuh dewasa, perlindungan tersebut tetap dibutuhkannya. Oleh karena itu, ia
yang kini telah menjadi orang dewasa akan menciptakan sosok pelindung bagi
dirinya yang kemudian diriamakan dengan Allah.
Pada saat menghadapi
berbagai malapetaka seperti gempa bumi, sambaran petir dan guntur, serangan
binatang buas, dan sejenisnya, seseorang akan segera membayangkan
(mengharapkan—pent.) adanya sesosok pelindung bagi dirinya. Sehingga, setiap
kali dirinya merasa ketakutan, (sosok pelindung itu) akan menenangkan jiwanya.
Dengan demikian, disimpulkan bahwa asal muasal keimanan kepada Allah adalah
rasa takut!
Jawab:
1. Apabila
ketakutan merupakan asal muasal keimanan kepada Allah, maka itu berarti mereka
yang paling penakutlah yang paling beriman. Andaikata keimanan kepada Allah
berakar pada rasa takut. niscaya yang akan pertama kali beriman adalah
orang-orang yang penakut.
2. Kalau memang
demikian adanya bisa dikatakan bahwa tatkala seseorang tidak merasa takut,
sesungguhnya ia tidak sedang mengingat Allah. Padahal, hakikatnya tidaklah
demikian. Benar memang, ketika merasa takut, kita akan segera menghadap Allah.
Namun, itu bukan berarti keimanan semata-mata bersumber dari rasa takut.
Acapkali kita jumpai dalarn suatu kondisi tertentu, seseorang yang tidak
memiliki rasa takut tetap beriman kepada Allah. Tatkala ia melihat adanya
berbagai ciptaan yang sempuma, tertata, dan serba teliti, segera saja nalarnya
mengenal keberadaanAllah Yang Mahatinggi.
la memiliki
kepekaan fitriah sehingga rnampu merasakan aidanya sebuah kekuatan yang agung.
Setiap kali ia bertafakur dan berbincang-bincang dengan dirinya sendiri.
"Aku ada, dan keberadaanku bukan karena aku yang menciptakan. Seandainya
akulah yang menciptakan diriku sendiri, tentu aku akan menciptakan sosok yang
lebih kuat dan lebih bagus. Minimal, aku akan membuat perubahan pada diriku.
Orang lain tentunya juga sama seperti diriku. Kita semua ada bukannya tanpa
perhitungan. Masing-masing anggota tubuh dan sel memiliki perhitungan dan
aturan yang pasti. Kalau memang demikian adanya, bisa dipastikan bahwa aku
diciptakan Allah Yang Mahakuasa."
Logika semacam
itu bersumber dari seseorang yang memikirkan dan menelaah kebenaran secara
sungguh-sungguh, bukan oleh seseorang yang dirinya dihantui rasa takut dan
kegelisahan.
Fitrah serta
akallah yang telah membimbing dirinya ke arah pengetahuan tentang keberadaan
Allah Yang Mahatinggi. Dengan demikian, pandangan yang menyatakan bahwa
keimanan kepada Allah bersumber dari rasa takut tak lebih dari sekadar ungkapan
yang asal-asalan belaka.
Pandangan semacam
itu mengingatkan kita pada pandangan seseorang (yang menganggap pendapatnya
sebagai sebuah argumen) mengenai suhu udara kota Kasyan pada saat musnn panas.
Dalam hal ini, ia
mengatakan, "Tahukah Anda, mengapa suhu udara Kasyan sangat tinggi pada
saat musim panas? Karena pada nami "Kasyan" terdapat huruf syîn, dan
udara di padang Karbala amatlah panas sewaktu Syimr (pembunuh Imam Husain
as—pent.) berada di situ.
Dengan demikian,
kota Kasyan memiliki udara yang panas pula! "Pandangan tentang keimanan
(yang bersumber dari rasa takut—pent.) tersebut sebenamya berasal dari salah
seorang ahli psikologi. Ya, para cendekiawan ternyata dapat pula melakukan
berbagai kesalahan yang fatal. Ini terhitung wajar, sebab, semakin tinggi
sebuah gunung, semakin bahaya pula puncaknya.
Jangan sampai
kita menjadi orang yang kagum dan fanatik buta terhadap ilmu pengetahuan
sehingga kita akan menelan mentah-mentah satu atau dua penjelasan rasional
salah seorang cendekiawan terkemuka berkenaan dengan masalah tertentu.
Salah satunya
adalah (seorang cendekia dari Inggris—pent.) [Bertrand] Russel. la mengatakan,
"Pertama-tama saya meyakini keberadaan Tuhan, lalu saya mulai berpikir
bahwa apabila semua keberadaan ini merupakan hasil ciptaan Tuhan, lantas
siapakah yang menciptakan Tuhan? Saya tidak berhasil menemukan jawabannya,
sampai pada akhirnya saya memutuskan untuk tidak mengakui adanya Tuhan!"
Jawaban saya
terhadapnya ialah, "Hai Russel, jika sekarang kau tidak lagi mengakui
adanya Tuhan, lalu apa yang kau yakini?" Ia menjawab, "Sekarang saya
berkeyakinan bahwa asal muasal seluruh keberadaan di jagat alam ini adalah
materi, bukan Tuhan!''
Kita akan
menjawah, "Baiklah, sebagaimana ketika kau bertanya kepada dirimu sendiri
dari manakah Tuhan dan kemudian kau melepaskan keyakinan itu, sekarang
tanyakanlah kepada dirimu juga, dari manakah asal muasal materi?" la akan
menjawab, "Materi sudah ada sejak dahulu kala." Kita juga akan
menjawab, "Allah juga telah ada sejak dahulu kala. Wahai Russel, mengapa
engkau tidak meyakini Allah yang keberadaannya memiliki perasaan dan telah
eksis sejak dahulu kala. Malah, kau meyakini keberadaan berjuta-juta materi
yang telah ada sejak dahulu kala dan semua itu tidak memiliki perasaan?!!
Sebuah Contoh yang Lain
Para pendukung
Marxisme mengatakan, "Selama tidak dapat dirasakan dan
dieksperimentasikan, maka sesuatu tersebut tidak dapat kami terima. Dengan
demikian, kami tidak dapat mempercayai keberadaan Tuhan, malaikat, ruh, dan
sejenisnya.
Sebabnya, kami
hanya mengenal dan mengetahui segala sesuatu hanya melalui perantaraan panca
indera dan uji coba (eksperimen)!!"
Jawaban kita yang
kita berikan kepada mereka, "Kalian mampu meneliti dan mengambil sebuah
kesimpulan bahwa dalam ratusan abad yang silam, manusia hidup secara
bersama-sama dalam berburu binatang dan memakan, juga hidup bersama dalam
kondisi ketiadaan kepemilikan serta pemerintahan. Kemudian tibalah masa
perbudakan, dan beberapa lama kemudian muncul kepemimpinan kepala suku dan
seterusnya."
Bentuk pertanyaan
kita ialah, "Sekarang ini, kalau memang kalian mampu mengetahui adanya
kehidupan bersama pada ratusan abad yang lalu, apakah semua itu dapat kalian
sentuh dan diujicobakan (eksperimen)?" Mereka menjawab, "Tidak,
tetapi kami mengetahui semua itu dari berbagai jejak serta tanda-tanda yang
ada."
Kita akan
mengatakan, "Sebagaimana kalian mengetahui sejarah kehidupan manusia
purbakala melalui perantaraan jejak dan tanda-tandanya, kami juga mengetahui
jejak dan tanda-tanda Allah. Kalau saja berkat jejak dan tanda-tanda Kita pada
akhirnya dapat menerima adanya suatu kenyataan, tentu tak ada beda antara jejak
serta tanda-tanda yang menunjukkan adanya kehidupan manusia purbakala dengan
jejak dan tanda-tanda yang menunjukkan adanya Allah Yang Mahaagung. Apakah
sarana serta instrumen untuk mengetahui keberadaan segala sesuatu hanyalah
panca indera dan pengujicobaan semata? Apakah hanya dengan mengetahui jejak dan
tanda-tanda keberadaan, kita tidak akan mengetahui berbagai permasalahan?
Apabila kita
benar-benar cermat dalam berpikir, kita akan mengakui bahwasannya sebagian
besar dan pengenalan kita terhadap berbagai hal merupakan hasil dari penelaahan
terhadap berbagai jejak dan tanda-tanda.
Sebuah Penjelasan yang Lain
Sebagian pihak enggan
mengakui keberadaan akal dan fitrah sebagai salah satu sarana untuk mengenal
Allah. Mereka melontarkan berbagai alasan serta pandangan tentang asal muasal
munculnya keimanan. Pada intinya, mereka berkeyakinan bahwa Keimanan bersumber
dari kebodohan!
Penjelasannya
sebagai berikut: Pada saat tertimpa berbagai musibah dan bencana yang tidak
diketahui sebab-musababnya, seseorang segera berkhayal bahwa memang ada sesuatu
yang disebut dengan Tuhan. Karenanya, di mana dan kapan saja seseorang
menghadapi permasalahan yang secara ilmiah tidak dapat diketahui, segera saja
akan mengatakan, "Ini merupakan perbuatan Allah."
Dari sinilah
munculnya keyakinan terhadap adanya Tuhan. Jujur saja, ungkapan-ungkapan
semacam ini sesungguhnya telah sedemikian lama lenyap di telan masa. Bahkan
sejiak awal dirumuskan, tak seorangpun yang sudi mendengarnya. Sebab:
1. Seandainya
asal muasal keimanan kepada Allah merupakan sebuah kebodohan, tentu dengan
semakin bertambahnya ilmu, iman seseorang akan semakin berkurang! Dan begitu
mengetahui faktor penyebab terjadiriya sebagian bencana alam, ia tidak akan
lagi beriman kepada Allah. Padahal kita mengetahui bagaimana para ilmuwan
semacam Galileo (Galilei), (Albert) Enstein, atau Ibnu Sina yang berhasil
mengungkap sebab-sebab kejadian alam tetap memiliki keimanan kepada Allah.
Benarkah ketika sebagian hukum alam berhasil disingkapkan, kita tidak lagi
butuh kepada pencipta hukum tersebut.
Umpama, kita
berhasil menyingkap sebuah hukum alam yang disebut dialektika (formula
perjalanan sejarah yang terdiri dari unsur tesis, antitesis, dan sintesis).
Lantas, apakah dengan temuan semacam itu kita tidak lagi menyakini keberadaan
pembuatnya?
Jika memang
demikian, ketika menemukan sejumlah uang di tengah jalan, janganlah kalian
bertanya, "Uang ini jatuh dari kantong siapa?" Apakah hanya dengan
menyingkap dan menemukan (berbagai hukum alam), lalu habis perkara?!
Mengapa Timbul
Kelompok Anti-Allah dan Anti-Mazhab?
Jawaban:
1. Seseorang tentunya bisa memperuleh
pengetahuan serta kejelasan tentang keberadaan Allah hanya dengan cara
memperhatikan sebuah sel, atom, ataupun sehelai daun. Asalkan, ia memang benar-benar memiliki keinginan
untuk mengenal Allah. Adapun seseorang yang tidak berkeinginan untuk mengenal
Allah, sekalipun sering menyaksikan jejak dan tanda-tanda keberadaan-Nya, tidak
akan pernah mengenal dan merasakan keberadaan-Nya.
Agar mempermudah
Pernahaman kita, perhatikanlah beberapa contoh di bawah ini.
a). Seorang
penjual hati (hewan sembelihan), setiap harinya memotong dan mengiris-iris
berpuluh-puluh potong hati, untuk kemudian dijual ke pasar. Namun, sesungguhnya
ia tidak mengetahui adanya urat halus yang melekat pada jaringan hati tersebut.
Wajar, ia memang tidak berminat untuk meneliti keberadaan urat halus tersebut.
b). Seorang
penjual cermin yang rambutnya acak-acakan. Sekalipun sejak pagi sampai petang
sudah ratusan kali memandangi cermin jualannya, tetap saja ia tidak merapikan
rambutnya yang acak-acakan tersebut. Dalam keadaan itu, ia tidak akan sempat
memikirkan kerapihan rambutnya, lantaran terlampau sibuk menjual cermin-cermin
itu.
c). Cobalah Anda
bertanya kepada seseorang yang tengah mengelap kaca sebuah jam, "Waktu
azan dhuhur tinggal berapa menit lagi?" Tentu ia terlebih dahulu akan
menengok kepada jam tersebut. Mengapa? Sebab, sampai saat itu, ia begitu sibuk
membersihkan kaca jam tersebut dan tidak memiliki tujuan untuk mengetahui waktu
yang ditunjukkannya.
d). Seorang
tukang kayu yang senantiasa membuat tangga, belum tentu pernah memanjat tangga
yang dibuatnya. Sementara boleh jadi, seorang tukang batu yang membeli tangga
tersebut justru telah ribuan kali memanjatnya.
Dari
contoh-contoh di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa bila seseorang tidak
berkeinginan untuk mengenal atau mengetahui sesuatu, mustahil ia dapat mengenal
dan mengetahuinya.
Pabila seseorang
telah menyaksikan jejak dan tanda-tanda Allah, namun tetap saja tidak memiliki
keimanan, itu tak lain dikarenakan tujuan atas kajian serta penelitiannya
bukanlah untuk mengenal Allah.
2. Anda pasti
telah mengetahui bahwa jika kehidupan kita sejak awal telah dipenuhi berbagai
kenikmatan, tentu kita tidak akan Pernah merasakan adanya sesuatu yang baru
(berkenaan dengan jenis kenikmatan—pent.).
Dalam kehidupan
ini, kita senantiasa melihat berbagai jejak dan tanda-tanda Allah. Namun,
justru karena itulah kita tidak mengingat dan bersyukur kepada-Nya. Sebabnya,
sudah sejak awal kita telah hidup dalam dan dengan berbagai kenikmatan. Sebagai
contoh:
Sampai detik ini,
Anda belum bersyukur kepada Allah atas keberadaan ibu jari Anda, dikarenakan
sejak awal, ibu jari tersebut telah menyertai Anda. Namun, seandainya dalam
beberapa saat ibu jari tersebut tidak berfungsi, atau terpotong, Anda tentu
akan segera menyadari bahwa tanpanya, Anda tidak dapat memasukkan kancing baju
ke dalam lubangnya (sekarang ini juga Anda dapat mencoba dan membuktikan
kebenaran ungkapan tersebut).
Ya, lantaran
terus tenggelam dalam samudera berbagai kenikmatan, kita menjadi lalai terhadap
keberadaan Allah. Salah satu filosofi dari terjadiriya bencana adalah sebagai
wahana peringatan serta penyadaran.
Al-Quran
mengatakan bahwa terkadang Tuhan menimpakan berhagai kejadian yang tidak
menyenangkan kepada sekelompok orang, “....supaya mereka tunduk merendahkan
diri,” (la’allahum yatadharra’ûn) (al-A'raf: 94), yakni agar mereka sadar dan
merendahkan diri.
Al-Quran
senantiasa memerintahkan manusia untuk senantiasa mengingat berbagai kenikmatan
dan pertolongan llahi. Kita sendiri menyaksikan bagaimana dalam memanjatkan
doanya, para wali Allah senantiasa mengungkapkan secara satu persatu berbagai
kenikmatan yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka. Misalnya dikatakan,
"Engkaulah Yang mengubah kami dari kecil menjadi besar, bodoh menjadi
pintar, sedikit menjadi banyak, miskin menjadi kaya, sakit menjadi sehat,
dan...."
Sebelumnya telah
dikemukakan sekitas pembahasan berkenaan dengan mengingat Allah. Karenanya,
dalam kesempatan ini saya tidak akan mengulanginya kembali.
3. Penyebab
larinya sebagian pihak dari agama dan mazhah adalah adanya berbagai khurafat
yang dijejalkan ke dalam agama oleh sejumlah sahabat yang bodoh dan culas.
Sebagai contoh, jika kita memberi segelas air yang ada lalatnya kepada
seseorang yang sedang kehausan, tentu ia tidak akan bersedia meminum air
tersebut, hahkan mungkin langsung membuangnya.
Begitu pula
halnya dengan keberadaan agama. Apabila sebuah agama dipenuhi khurafat, tentu
orang akan enggan menganut dan mengikutinya. Karena itu, Janganlah kita sampai
lengah terhadap segenap ulah sebagian Muslimin yang menyusupkan pelbagai
khurafat ke dalam agama. Sebab, semua itu akan menyebabkan masyarakat kabur
dari agama.
4. Pengaruh
lingkungan merupakan salah satu faktor penyebab terjadiriya penyimpangan
manusia dari ajaran agama. Secara fitriah, manusia tidak menyukai, bahkan amat
membenci, tindak pencurian. Selain pula memandang buruk berbagai bentuk
pengkhianatan. Namun, jika seseorang hidup dalam sebuah lingkungan atau habitat
di mana masyarakat sekelilingnya rata-rata “berprofesi” sebagai maling dan suka
berkhianat, niscaya ia akan terpengaruh juga.
5. Lari dari
tanggung jawah. Adakalanya ketidakpedulian seseorang terhadap agama disebabkan
adanya keinginan untuk menghindar dari tanggungjawab. Hal ini memang masuk
akal.
Sebab, tatkala
menerima dan memeluk agama, seseorang juga mesti menerima sederetan ikatan dan
kekangan. Konsekuensi semacam ini tentu bertolak-belakang dengan keinginan
orang-orang yang tergila-gila pada prinsip kebebasan mutlak dalam menjalani
kehidupannya. Orang semacam itu tentu tidak akan mau peduli dan bersikap curiga
terhadap agama.
Padahal, mereka
tidak menyadari bahwa dengan tidak mengindahkan berbagai perintah Allah,
berarti mereka telah menerima bentuk lain dari pengekangan dan perbudakan.
Seseorang yang enggan menjadi hamba-Nya, pada saat yang sama akan menjadi hamba
sesuatu yang lain. “Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia
seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung...” (al-Hajj: 31)
Seseorang yang
bergerak menuju kepada Selain Allah diibaratkan seolah-olah terhempas dari
tahta langit ke permukaan bumi, untuk kemudian dikelilingi burung pemakan
bangkai yang masing-masingnya mencabik-cabik tubuhnya dan membawanya terbang
jauh.
6. Pembangkangan.
Dorongan fanatisme, nafsu, dan egosime yang berkobar-kobar dan menghanguskan
jiwa, akan menjadikan seseorang gemar melancarkan penolakan, pembangkangan,
serta meremehkan ajaran agama samawi.
7. Tidak adanya
penyampaian (tablîgh) secara benar. Pelbagai bentuk penyampaian yang keliru
atau sesat menjadi salah satu faktor kuat yang bisa mendorong orang-orang tidak
bersimpati kepada agama.
Keharusan Adanya Agama
Kehidupan yang
dijalani manusia tentu akan senantiasa disertai dengan program tertentu. Namun
darimanakah asal muasal program, rancangan hidup, kebahagiaan, serta perkembangannya?
Di sini terdapat
tiga cara yang bisa ditempuh:
1. Memilih dan
menentukan program menurut selera kita.
2. Kita menyusun
berbagai program tersebut menurut tuntutan dan desakan masyarakat.
3. Dengan
berprinsip pada penyerahan diri secara total kopada Allah, program kehidupan
yang kita rancang semata-mata bersumber dari-Nya.
Evaluasi terhadap Cara Pertama
Cara pertama
jelas keliru. Sebabnya, pengetahuan manusia amatlah terbatas. Dikarenakan
keterbatasan itulah, dirinya menyaksikan ratusan kekeliruan yang telah
diperbuatnya sendiri di masa silam. Selain itu. setiap saat, hawa nafsu yang
bersemayam dalam diri seseorang akan senantiasa mendorongnya ke suatu arah
tertentu.
Dalam kondisi
semacam ini, apakah layak jika seseorang menentukan cara yang akan
ditempuhnya—cara mana yang akan menjadi faktor penentu apakah dirinya akan
meraih kebahagiaan ataukah kesengsaraan abadi—semata-mata berdasarkan akal
pikiran yang tidak sempurna dan persediaan ilmu yang sangat terbatas?!
Evaluasi terhadap Cara Kedua
Sebagaimana cara
pertama, seseorang yang menempuh cara kedua juga tidak akan pernah bisa meniti
jalan kehidupannya dengan stabil. Sebabnya, keberadaan masyarakat terdiri dari
kumpulan individu-individu yang berbeda-beda keinginan serta selera. Selain itu
pula, keinginan atau selera masing-masing individu masyarakat pasti mengandungi
kekeliruan, kelalaian, dan keterbatasan.
Berkenaan dengan
selera atau keinginan saya, inisalnya, tak ada satupun argumen meyakinkan yang
mengharuskan saya untuk menanggalkan atau mengabaikannya. Atau tak ada
keharusan untuk menyerahkan kebebasan saya, untuk kemudian menjadi budak orang
lain yang tidak saya kenal. Sebabnya, mereka tidak mengetahui konsepsi
kebahagiaan abadi saya, dan juga tidak jelas mengetahui kebahagiaan apa yang
saya inginkan.
Evaluasi terhadap
Cara Ketiga
Hanya inilah cara
yang benar. Kalau kita, umpamanya, memiliki sebuah mobil, tentu kita akan
menyerahkan seluk-beluk mobil tersebut kepada seorang ahli otomotif. Atau
terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan tubuh kita, pasti kita akan
mempercayakannya kepada seorang dokter.
Semua itu
didasari alasan bahwa mereka lebih tahu ketimbang kita. Dengan demikian,
segenap program kehidupan yang kita jalani ini harus kita serahkan sepenuhnya
kepada Allah. Sebab, Dialah yang paling mengetahui serta paling menyayangi diri
kita.
Program dan
Rancangan Umum Agama
Rancangan umum
yang terkandung dalam agama dapat diungkapkan dalam beberapa kalimat. Menurut
ungkapan salah seorang teman, "Sebagaimana kita yang mengerahkan segenap
daya upaya kita terhadap sebuah mobil, demikian pula halnya dengan agama dalam
memperlakukan manusia."
Maksudnya, dalam
memproduksi sebuah mobil, kita mesti melewati beberapa fase berikut:
1. Mencari dan
menemukan lokasi barang tambang.
2. Menggali dan
mengeluarkan barang tambang tersebut.
3. Membuat
bagian-bagian mobil.
4. Memasang dan
merakit bagian-bagian tersebut.
5. Mobil jadi
tersebut dioperasikan seorang sopir yang mahir berkendara.
Rancangan umum
dan peran agama terhadap diri manusia pada dasarnya mirip dengan kelima poin di
atas:
1. Menemukan
(jati diri) manusia. Seseorang yang lupa pada jati dirinya niscaya akan
kehilangan jalan, pembimbing, dan tujuan hidupnya. Dalam keadaan demikian, ia
telah menjelma menjadi seekor binatang. Tujuan hidup yang ada dalam pikirannya
hanyalah mencari dan memenuhi kesenangan dan kenikmatan duniawi serta materi.
la tak ubahnya seonggok mayat. Kebenaran apapun tidak akan sanggup menggoreskan
pengaruh pada dirinya. la menjadi begitu buas bak seekor serigala, licik
seperti seekor rubah, maling layaknya seekor tikus, sementara hatinya membatu.
Karenanya, jati diri yang hilang harus segera dicari dan ditemukan kembali,
sehingga seseorang mampu menemukan dan mengenali dirinya sendiri.
Salah satu upaya
agama berkenaan dengan kondisi semacam itu adalah memberi penjelasan kepada
manusia tentang potensi dan kemampuan yang bersemayam dalam dirinya. Selain
itu, agama juga akan mengenalkan seseorang pada hakikat keberadaannya sendiri.
Dalam al-Quran, kita dapat menjumpai penjelasan Islam tentang hakikat manusia.
Al-Quran mengatakan:
a. Engkau adalah
khalilah (wakil) Allah di jagat alam ini. “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi”. (al-Baqarah: 30)
b. Segenap yang
ada di langit dan di bumi diciptakan demi kepentinganmu. “Tidakkah kamu
perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang
dilangit dan apa yang di bumi?” (Luqman: 20)
c. Engkau
(manusia) adalah pemegang amanat Ilahi. “Dan dipikullah amanat itu oleh manusia”.
(al-Ahzab: 72)
d. Dalam dirimu
bersemayam ruh Allah yang ditiiupkan-Nya. “Dan telah meniupkan ke dalamnya ruh
(ciptaab)-Ku”. (al-Hijr: 29)
e. Kami
memuliakan manusia. “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam”.
(al-Isra`: 70)
f. Kami
menganugerahkan manusia berbagai kelebihan. “Dam Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.
(al-Isra': 70)
Dalam al-Quran
juga tercantum peringatan yang menyatakan janganlah sekali-kali engkau lupa
pada dirimu sendiri, menghilangkannya, merugi, tidak memperoleh keuntungan
dalam perdaganganmu, engkau jual dirimu dengan harga yang begitu murah, engkau
gadaikan dirimu kepada pembeli yang tidak layak.
Melalui
perumpamaan berbagai burung dan nasib yang menimpa orang-orang yang merugi,
al-Quran hendak memberi contoh dan teladan agar manusia mampu mengetahui adanya
sejumlah potensi dan kemampuan terpendam dalam dirinya sehingga ia bisa
berpikir jernih dan bertanya kepada dirinya sendiri: "Jika kehidupan saya
ini hanya demi mengejar materi, berfoya-foya, dan memenuhi tuntutan nafsu
kebinatangan semata, lantas apa gunanya berbagai kecerdasan, potensi, dan
harapan yang terdapat dalam diri saya?"
2. Usaha agama
yang kedua adalah mengeluarkan barang tambang (jati diri manusia) yang telah
ditemukan tersebut. Setiap manusia harus dibebaskan dari berbagai belenggu
kelaliman, kebodohan, penyimpangan, syirik, dan....."Dia mengeluarkan
mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)."(al-Baqarah: 257)
3. Sementara itu
usaha agama yang ketiga berkisar pada pembentukan kepribadian serta penyusunan
berbagai program peribadahan, ketakwaan, pengembangan sifat-sifat mulia, dan
penyempumaan manusia.
4. Adapun usaha
agama yang keempat adalah merakit dan menghubung-hubungkan berbagai bagian yang
sudah jadi tersebut sehingga terbentuk sebuah pemerintahan Ilahi yang memiliki
undang-undang yang lengkap dan jelas dalam berhagai aspek. Upaya semacam ini
yang dijalankan Rasulullah saww di Madinah. Pemerintahan yang sudah terbentuk
itu pada gilirannya menggabungkan segenap individu demi menggalang kekuatan dan
menyiapkan rancangan kehidupan bersama. Dalam membentuk masyarakat yang Islami,
agama menentukan berbagai standar, tujuan, simbol, dan slogan yang khas.
5. Sedangkan
usaha agama yang kelima atau yang terakhir adalah menyerahkan masyarakat yang
telah terbentuk tersebut kepada seorang pemimpin yang layak. Sembari itu,
(agama) memerintahkan agar manusia segera memutuskan berbagai bentuk belenggu
keterikatan.
Selain itu, agama
juga bersumpah untuk tidak menyantuni berbagai individu atau kelompok yang
rusak (fâsid), gemar berfoya-foya, bersikap congkak, berperilaku lalim, bodoh,
dan sejenisnya.
Menyerahkan
sebuah masyarakat untuk hidup di bawah kepemimpinan seseorang yang tidak maksum
(terjaga dari berbagai kesalahan) sesungguhnya sama dengan bertindak zalim dan
menginjak-injak nilai-nilai kemanusiaan.
Kesimpulannya,
agama merupakan subjck yang menentukan program universal yang terdiri dari
"pandangan", "usaha" serta "sistem" yang layak
dan sesuai dengan standar khusus ketuhanan bagi kehidupan manusia, baik secara
individual maupun secara sosial.
Hakikat dan
Dimensi-Dimensi Ketauhidan
Dalam wawasan
Islam, istilah "tauhid" memiliki makna yang sangat agung dan luas.
Kalangan cendekiawan Muslim pada umumnya menggolongkan jenis-jenis ketauhidan
menjadi "tauhid dalam zat" (dzati), "tauhid dalam sifat"
(sifati), dan "tauhid dalam perbuatan" (fi’li). Namun, sayang,
ternyata ada sebagian pihak yang justru menyalahgunakan istilah yang suci ini
-sebagaimana mereka juga sering melakukannya terhadap pelbagai hal suci
lainnya. Mereka menjadikan istilah tauhid sebagai slogan semata, seperti
masyarakat yang tauhid, tentara yang tauhid dan sehagainya. Padahal,
sesungguhnya mereka hendak menggunakan semua itu sebagai pembenaran terhadap
sistem sosial komunisme yang mereka junjung tinggi-tinggi berupa kepemilikan
bersama dan penghapusan kasta (penyamarataan).
Akan tetapi,
berkat perjuangan ilmiah Imam Khomeini— yang merupakan pemimpin revolusi— dan
kalangan cendekiawan lainnya, mereka berhasil menyingkap hakikat kelompok
minoritas tersebut dan menyelamatkan istilah suci ini dari penyalahgunaan dan
pemutarbalikan yang mereka upayakan.
Dalam pembahasan
kali ini —seraya tidak menyertakan sebagian istilah yang berhubungan dengan
ketauhidan— saya akan menyampaikan semua itu kepada para pembaca yang budiman.
Dengannya, kita hendak mengaca diri agar kita mengetahui dengan jelas seberapa
jauh sebenarnya diri kita berada dalam lingkup ketauhidan.
Arti tauhid
adalah mengakui hanya Allahlah "Yang merupakan Raja bagi manusia",
beriman kepada ketunggalan Allah dan meyakini Allah itu Esa. Dalam maknanya
yang lain, tauhid berarti menafikan berbagai nafsu. Seseorang yang memuja
nafsunya berarti telah keluar dari lingkup ketauhidan, “Maka pernahkah kamu
melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya”. (al-Jâtsiyah:
23)
Orang-orang yang
tunduk pada desakan hawa nafsunya (yang keliru) pada hakikatnya telah
menuhankan hawa nafsu itu sendiri.Tauhid berani pula penolakan dan penentangan
terhadap kepemimpinan tiran dan lalim. Slogan dan tujuan para nabi adalah; “Dan
sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
‘Semabhlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut’”. (a]-Nahl: 36)
Dalam riwayat
dituturkan bahwa setelah Imam Ali Ridha menerima dengan penuh keterpaksaan
jabatan waliy al-ahd (pewaris kerajaan) dari Makmun, beliau menyampaikan sebuah
pernyataan yang sangat tegas dalam suatu pertemuan yang diadakan secara
terang-terangan dan dihadiri seluruh masyarakat. Pernyataan terebut pada
intinya menegaskan bahwa dalam tubuh pemerintahan Makmun, beliau tidak mau ikut
campur tangan dalam urusan pengangkatan atau pemecatan seseorang.
Tauhid juga
bermakna tidak mengakui berbagai hal yang digariskan pihak Barat maupun Timur,
dan menghalangi serta menolak mentah-mentah keberadaan sistem yang dibangun
berdasarkan konsep pemikiran orang-orang serakah.
Makna tauhid
lainnya adalah merobek dan memutus seluruh jalinan berbagai faktor yang
menyebabkan kaum Muslimin terpinggirkan dan jatuh di bawah penguasaan orang
lain. Tauhid juga bisa dimaknai dengan tidak mengamini segenap perintah yang
bertentangan dengan perintah Allah.
Makna lain dari
tauhid adalah menenma kepemimpinan para individu yang disepakati dan diabsahkan
Allah. Dalam pengertian lain, tauhid berarti tidak melanggar segenap perintah
Allah; menyerahkan diri secara total dan menjadi hamba-Nya. Tauhid juga bisa
diartikan sebagai upaya merontokkan seluruh berhala yang bersemayam di dalam
dan di luar diri; berhala gelar, titel, kedudukan, harta, harta (yang mana
semua itu berpotensi untuk menglealangi kita menerima dan berada dalam
kebenaran).
Dan akhirnya,
tauhid adalah tidak adanya hubungan dan keterikatan dengan berbagai pihak yang
memaksa kita untuk meniti jalan kebatilan dan kerusakan. Hubungan dan
keterikatan yang dijalin hanya dilakukan terhadap mereka yang membimbing
manusia di atas jalan dan kerelaan Allah.
Sistem ekonomi
bernuansa tauhid akan senantiasa menyandarkan proses produksi, pemasaran,
pengkonsumsian, dan pengelolaan kepada syariat Allah semata. Barisan tentara
beratribut tauhid akan selalu konsisten dalam menjaga dan mempertahankan
berbagai ilmu pengetahuan, berpengalaman, memiliki kemahiran dalam menyerang,
serta ahli taktik dan strategi perang.
Di samping itu,
tentara tauhid senantiasa memperhatikan tuntunan dan tuntutan Ilahi dalam
berbagai kondisi, baik ketika marah atau gusar, maupun dalam keadaan tenang.
Prinsip dan tujuan yang mendasari gerak-gerik tentara tauhid bukanlah egoisme,
balas dendam, perluasan negeri, ataupun pengerukan keuntungan.
Namun,
semata-mata demi menegakkan kalimat yang hak (benar) dan memperluas pengamalan
ajaran-ajaran Ilahi. Tujuannya hanyalah menjadikan orang-orang yang tadiriya
lalim untuk melaksanakan hukum-hukum Allah. Selain pula bertujuan untuk
menolong kaum yang tertindas, mempertahankan kehomratan, harta,jiwa, dan raga,
diri sendiri serta keluarga, dan berusaha keras menjaga wilayah perbatasan
(negara).
Seorang komandan
tentara tauhid memiliki hubungan dengan wakil Imam yang ma’shum (suci dari
dosa), berorientasi pada tujuan yang benar, serta menjadikan pasukannya rela
mati syahid. Karir ketentaraan orang semacam itu jelas merupakan sebuah ibadah.
Makna sesungguhnya dari tentara tauhid bukanlah dengan menghapus dan meniadakan
hierarki kepangkatan dan kelebihan masing-masing serdadu (umpama dalam hal
pengalaman, keahlian, kecakapan, dan ketangkasan bertempur) atau bahkan berani
membangkang perintah atasan. Memang kita tak bisa menutup mata terhadap adanya
sejumlah pihak yang berniat jahat dengan mengatasnamakan tentara taulnd. Pada
hakikatnya, mereka bertujuan hendak melunturkan wibawa dirias ketentaraan itu
sendiri. Dan berkat pertolongan Allah serta kecakapan pemimpin revolusi yang
agung (Imam Khomeini),semua itu berhasil digagalkan.
Masyarakat
bertauhid merupakan masyarakat yang dipimpin seseorang yang memang telah
memenuhi pelbagai syarat dan standar Ilahi (ilmu, takwa, jihad, pengalaman.
amanat, kecakapan, dan kemampuan). Dengan kata lain, figur pemimpin masyarakat
bertauhid tidak boleh mengacu pada pelbagai kriteria non-llahi (seperti
paksaan, kesukuan, teman dekat, dan sejenisnya)
Dalam masyarakat
bertauhid, undang-undang yang diberlakukan hanyalah undang-undang yang bersumbei
dari Allah semata. Semua masyarakat tentu wajib mematuhi dari melaksanakannya.
Dalam pada itu, semua orang, tanpa pandang bulu, memiliki kedudukan yang sama
di mala hukum. Pemberlakuan undang-undang tersebut pada gilirannya akan
melenyapkan segenap tujuan yang sia-sia. Selain mencegah terjadiriya perpecahan
di tengah-tengah masyarakat.
Nampaknya,
pelbagai bentuk pengertian tauhid di atas sudah melingkupi, sempurna, luas, dan
benar. Persoalannva sekarang, siapakah orang atau masyarakat yang telah mencapai
peringkat tauhid semacam itu? Juga, bagaimana cara mencapai puncaknya?
Kita tentu tidak
bisa menganggap enteng sabda Rasul saww, “Ucapkanlah, tiada Tuhan selain Allah,
maka kalian akan mendapatkan kemenangan”. Sebabnya, hasil yang akan dipetik
dari menggaungkan dan mewujudkan slogan tersebut adalah tuflihû (maka kalian
akan mendapatkan kemenangan).
Al-Quran
menegaskan bahwa hasil akhir dari semua upaya tersebut tak ada lain kecuali
kemenangan. Karenanya, kita dapat memahami bahwa tujuan seluruh peribadahan
adalah demi menggapai ketakwaan sejati, “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang
telah menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”.
(al-Baqarah: 21)
Wahai masyarakat,
beribadahlah kepada Tuhan yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum
kalian agar kalian bertakwa. Akan tetapi, ketakwaan itu sendiri bukanlah sebuah
fase perjalanan paling akhir.
Ketakwaan tak
lebih dari sebuah pintu gerbang yang harus dilalui demi meraih kemenangan
akhir. Semua itu sesuai dengan pernyataan yang termaktub dalam al-Quran; “Maka
bartakwalah kepada Allah, hai orang-orang yang berakal, agar kalian mendapatkan
kemenangan”. (al-Maidah: 100)
Wahai para
pemilik akal, bertakwalah kalian kepada Allah agar buah kemangan dapat diraih.
Pada dasarnya, jagat alam ini dianugrahkan untuk kita (manusia), sebagaimana
penegasan al-Qur’an, sakhkhara lakum (Dia telah menundukkan bagi kalian), atau
khalaqa lakum (Dia telah menciptakan bagi kalian).
Sementara itu,
kita diciptakan hanya untuk beribadah dan menapaki jalan Allah. Adapun ibadah
itu sendiri dipraktikan demi menggapai ketakwaan. Dan ketakwaan tak lebih dan
gerbang atau mukadimah dalam meraih falâh (yang secara harfiah berarti zhafar
atau kemenangan/keberhasilan).
Dengan demikian,
alur kehidupan kita menjadi begitu gamblang: jagat raya ini untuk kita; kita
untuk beribadah; beribadah untuk ketakwaan; dan ketakwaan demi meraih
kemenangan. Darinya kita pun menjadi tahu, apa arti penting dari falâh
(kemenangan). Kemenangan yang dimaksud adalah keterbebasan dari pelbagai
belenggu dan ikatan, baik dari musuh luan maupun dalam. Tatkala menjelaskan
arti kalimat 'tiada Tulmn selain Allah' dalam suatu kesempatan di dalam kelas,
saya membuat sebuah itustrasi. Saya menggambar sebutir biji yang di atasnya
ditaburi tanah. Setelah itu, ia pun tumbuh dan menghijau. Berdasarkan itu, saya
mengatakan bahwa demi membebaskan diri dari timbunan tanah, biji tersebut harus
melewati tiga tahap perjalanan:
1. Mengikatkan
dan menghujamkan akar-akarnya ke dalam tanah.
2. Menghisap sari-sari
makanan dari dalam tanah.
3. Mendorong dan
menyibakkan serpihan-serpihan tanah yang menutupi dirinya.
Kemudian, saya
menyatakan bahwa jika manusia berkeinginan untuk tumbuh, ia juga harus
melintasi tiga fase yang tidak dipisahkan antara satu sama lain:
1. Pertama-tama,
ia mesti memiliki akidah dan ideologi fundamental yang ditopang oleh pelbagai
argumen yang masuk akal.
2. la harus
memiliki sejumlah sarana dan tenaga yang memadai untuk mendorong dan mendukung
kemajuan serta perkembangan dirinya.
3. la juga harus
menyingkirkan pelbagai rintangan yang melintang di tengah jalan yang sedang
dilaluinya sehingga dirinya menjadi leluasa dalam meraih ketauhidan.
Apabila salah
satu dari ketiga fase perjalanan tersebut tidak kita lampaui, maka kita tidak akan
pernah mengalami perkembangan, kalau bukan malah akan celaka.
Seandainya akidah
kita begitu rapuh dan tidak disangga oleh ilmu dan argumen yang tepat, serta
tidak memiliki sarana dan tenaga yang memadai untuk itu, niscaya diri kita
perlahan-lahan akan rusak, kcropos, dan kemudian mati membusuk. Ini sebagaimana
nasib sebutir biji-bijian yang ditanam di dalam tanah: menjadi busuk ketika
salah satu dari tiga fase perajalanan hidupnya luput dilewati.
Sebab-sebab
Penyimpangan dari Ketauhidan
Penyebab seseorang
menyreleweng dari garis Allah dan ketauhidan antara lain:
1. Tirani dan
penindasan. Kedua bentuk perilaku tersebut merupakan faktor pemicu terjadiriya
pengalihan rasa takut dalam diri masyarakat (yang tadiriya harus semata-mala
ditujukan kepada Allah, kini beralih kepada para tiran dan pihak
penindas—pent.). Al-Quran menukil ucapan Fir'aun yang menyatakan bahwa siapa
saja yang mengakui dan menerima adanya Tuhan dan kekuatan selain dirinya, maka
ia akan menjebloskannya ke dalam penjara.[1] Lantaran rasa takut yang begitu
mencekam, akhirnya masyarakat bersikap pasrah dan menyerahkan dirinya menjadi
budak dan hamba Fir'aun.
2. Cinta dan
kesukaan. Terkadang, proses mencintai dan menyukai sesuatu dapat menyebabkan
seseorang lupa kepada Allah. Dalam keadaan demikian, orang tersebut hanya
mencurahkan perhatiannya kepada sesuatu atau seseorang yang dicintai dan
disukainya. Bahkan tak jarang, sesuatu tersebut menjadi garis orbit aktivitas
kecintaan dan kebenciannya.
Kasus semacam itu
diituslrasikan dengan begitu indah oleh al-Quran. Dikatakan bahwa orang-orang
Yahudi kerap menjadikan para rahibnya sehagai tuhan mereka, seraya
mengesampingkan keberadaan Allah. Disebabkan kecintaan serta kesukaan, mereka
menjadi begitu patuh pada perintah dan larangan para rahibnya yang berpura-pura
cerdik dan pandai. Padahal, para rahib te'sebut menghalalkan apa-apa yang
diharamkan Allah dan mengharamkan apa-apa yang dihalalkan Allah.[2]
3. Berpengharapan
tidak pada tempatnya. Kondisi demikian akan menyebabkan seseorang menjadikan
sesuatu selain Allah sebagai tumpuan harapan demi memperoleh bantuan,
pertolongan, atau kemuliaan.
Dalam al-Quran
diriyatakan bahwa sebagian orang sesungguhnya tengah berjalan menuju kepada
Selain Allah, seraya berharap akan mendapat pertolongan.[3] Dan dalam ayat
lainnya dikatakan bahwa mereka berharap kepada selain Allah dalam menginginkan
kemuliaan!![4]
Peringatan
Dalam usahanya
membelokkan manusia dari garis lurus dan lingkaran ketauhidan, mereka
(musuh-musuh ketauhidan) senantiasa menggembar-gemborkan berbagai propaganda
dan slogan yang sedemikian memikat, sembari pula menebar janji-janji membuai.
Akan tetapi, al-Quran mengatakan bahwa semua itu pada hakikatnya nihil, tidak
memiliki arti, dan hanya sebentuk istilah-istilah belaka.[5] Pada masa sekarang,
kita bisa menjumpai berbagai istilah yang pada dasarnya membalut usaha
diam-diam dalam menyelewengkan umat manusia dari garis perjalanan Islam.
Beberapa di antaranya adalah kebebasan, demokrasi, hak asasi, undang-undang
internasional, majelis permusyawaratan dan sejenisnya. Padahal, semua itu tak
lain hanyalah peristilahan yang tidak memiliki fungsi sama sekali kecuali untuk
menjadikan kita sibuk dan terlena.
Bukti Ketauhidan
1. Keserasian
Bukti termudah
dan tergamblang tentang ketauhidan adalah keserasian dan keteraturan yang
terjalin di antara berbagai ciptaan yang tersebar di jagat alam. Umpama,
keserasian yang tercetak pada sebuah bangunan, tulisan dalam sebuah buku atau
surat. Semua itu merupakan bukti nyata yang menunjukkan bahwa masing-masing
darinya pasti disusun atau ditulis oleh satu orang. Dengan kata lain, semua itu
mustahil dilakukan oleh lebih dari satu orang. Ambil contoh, tiga orang pelukis
yang masing-masing hendak melukis bagian-bagian dari tubuh seekor ayam jantan
yang sama. Sang pelukis pertama melukiskan bagian kepalanya. Sedangkan pelukis
kedua melukis kakinya. Dan pelukis ketiga melukiskan potongan tubuhnya.
Setelah itu,
ketiga lembar lukisan tersebut kita gabungkan. Pastilah ketiga bagian lukisan
ayam tersebut tidak harmonis dan tidak beraturan. Dengan begitu, keserasian,
keteraturan, serta keseimbangan yang jalin-menjalin dalam pelbagai ciptaan ini
merupakan bukti terbaik dan termudah bagi ketunggalan Sang Pencipta.
Kelemahan dan
kekuatan, penyerangan dan pertahanan, kekerasan dan kelembutan, semuanya memang
terjalin dalam suatu kesatuan yang membingungkan. Biarpun begitu, kesemuanya
ternyata merangkai sebuah sistem yang betul-betul harmonis.
Kita bisa
saksikan bagaimana seorang bayi yang lemah dan rapuh dilindungi kekuatan kedua
orang tua. Juga kita saksikan bersama, bagaimana batu besar meteor yang jatuh
mengarah ke permukaan bumi, namun disebabkan adanya lapisan kuat dan panas yang
mengelilingi bumi, menjadikannya tertahan dan terbakar sejak masih di lapisan
atmosfer!
Atau juga,
bagaimana manusia mengeluarkan karbondioksida (CO2) yang kemudian dibisap
tetumbuhan, yang pada gilirannya menghembuskan oksigen (02). Pada prinsipnya,
seluruh keberadaan dalam kehidupan ini pasti tak luput dari harmoni dan
keteraturan.
Dalam hal
penglihatan, mata seseorang harus bekerja sama dengan cahaya yang memancar.
Ketika menghadapi berkas cahaya yang begitu kuat, lensa mata seseorang dengan
serta merta akan mengecil. Sedangkan kalau pancaran cahaya yang diterima
sedemikian lemah, otomatis ia akan membesar. Sementara itu, kelopak mata serta
bulu mata yang hitam dan indah berfungsi sebagai penapis jatuhnya cahaya, untuk
kemudian ditransmisikan ke alat penglihatan (biji mata). Air mata yang terasa
asin dan air liur di mulut yang serasa manis pada dasarnya sesuai dengan
kebutuhan dan komposisi tubuh. Kekekaran dan ketegasan kaum laki-laki, serta
kelemahlembutan perempuan berfungsi untuk menyeimbangan dan menyerasikan
kehidupan yang mereka arungi bersama. Perhatikanlah secara cermat pelbagai ihwal
yang terdapat dalam kehidupan ini. Semuanya terjalin secara paksa dan alamiah
dalam sebuah tatanan yang rapi, harmonis, dan seimbang.
Bayi yang mungil
dan air susu ibu diciplakan oleh Pencipta yang satu. Sebabnya, begitu bayi
terlahir ke dunia, dengan serta merta air susu akan keluar dari payudara sang
ibu. Begitu pula dengan proses siklus ulain.
Matahari
memancarkan cahayanya ke permukaan bumi; lautan membubungkan uap air ke
angkasa; kemudian berkat daya gravitasi bumi, uap tersebut ditarik kembali ke permukaan
bumi; akar tetumbuhan menghisap sari-sari makanan dari perut bumi; tidakkah
semua keserasian ini merupakan bukti atas adanya kekuasaan atau kekuatan
pemelihara adikodrati yang tak terbatas?
Alhasil,
perbandirigan antara wawasan pengetahuan kita dengan lubang gelap ketidaktahuan
kita, ibarat setetes air di hadapan lautan yang menghampar. Di jagat alam ini,
jutaan rahasia masih tersimpan rapi. Bagaimanapun canggihnya teknologi dan ilmu
yang dirumuskan, sampai saat ini belum seorangpun yang mampu menyingkapkan
keseluruhan hubungan yang terjalin dalam ekosistem secara utuh dan tuntas.
Sebuah Kejadian
Pernah pada suatu
hari seorang pemuda datang menemui saya. Pemuda tersebut yang baru mempelajari
beberapa istilah saja, namun kemudian menjadi sombong dan lupa diri karenanya,
berkata kepada saya, "Kenapa salat Subuh hanya dua rakaat?" Saya
menjawab, “Saya tidak tahu, yang jelas, pasti ada dalituya. Akan tetapi, kita
tidak harus mengetahui dalil yang mendasari seluruh perintah Allah. Apalagi kalau
kita rnenginginkan dalil-dalil tersebut diketahui sekarang ini juga."
Dalam al-Quran,
kita membaca bahwa tatkala posisi kiblat kaum Muslimin dipindahkan, Kami hendak
mengetahui siapakah di antara mereka (yang setelah perpindahan kiblat itu)
masih tetap mengikuti Nabi, dan siapa yang mencari-cari alasan dan membangkang
perintah tersebut.
“Dan Kami tidak
menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami
mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot”.
(al-Baqarah: 143)
Apakah dalam
Al-Quran tidak termaktub perintah kepada Nabi Ibrahim as untuk menyembelih
puteranya sendiri, Ismail? Berkenaan dengan perintah tersebut, al-Quran
mengemukakan bahwa semua itu dilakukan agar diketahui siapakah yang memang
bersedia berkorban demi Kami? (ash-Shaffat: 105)
Kemudian saya
berkata kepada pemuda itu, "Sebagaimana di alam materi ini terdapat
berbagai formula, yang sekiranya tidak diperhatikan secara rinci dan seksama
niscaya seseorang tidak akan memperoleh hasil yang sesuai dengan keinginannya,
begitu pula dengan alam maknawiah. Di alam tersebut, besar kemungkinan memang
terkandung pelbagai formula bagi kebahagiaan kekal dan abadi. Seandainya
formula tersebut diabaikan, tentu kebahagiaan abadi tersebut mustahil
terwujudkan.”
Sebagai contoh,
andaikata seseorang mengatakan kepada Anda bahwa dalam seratus langkah ke depan
tertanam seonggok “harta karun", namun Anda menapaknya sampai seratus
sepuluh langkah, tentunya Anda tidak akan menjumpai apapun di situ sekalipun
Anda menggali tanah tersebut dalam-dalam.
Dalam hal ini,
Anda mesti memperhatikan ukuran dan jarak yang diinstruksikan. Penggunaan
telepon memerlukan ketelitian dalam memencet tombol angka-angkanya. Kalau
sampai terjadi kekurangan atau kelebihan, tentu tidak akan terjadi kontak
dengan kota atau tempat tujuan.
Meskipun sudah
banyak contoh yang dikemukakan, saya berharap Anda masih bersemangat
mendengarkan contoh berikut ini. Perhatikanlah sebatang kunci pintu rumah atau
kunci mobil. Apabila salah satu geriginya patah, atau lebih panjang atau lebih
pendek, pasti pintu mobil tersebut tidak dapat dibuka dan mesinnya pun mustahil
bisa dinyalakan.
Saya menjumpai
dalam kenyataannya bahwa sekalipun deretan contoh semacam itu telah dikemukakan
secara gamblang, namun lantaran titel dan tingkat pendidikan tinggi yang
berhasil ditempuhnya, tidak sedikit orang-orang yang terdidik menjadi takabur
dan sombong. Akibatnya, dirinya menjadi enggan menerima dan mengakui pelbagai
persoalan yang menyangkut ta’abbudi (penghambaan).
Padahal, sebagaimana
diketahui bersama, tanpa mengarungi sungai taslim (penyerahan diri), seseorang
mustahil mampu menggapai kesempurnaan dirinya; pintu eksistensinya tidak akan
pernah terbuka hanya dengan menggunakan kunci akal dan ilmu yang serba terbatas
semacam ini. Di jagat alam yang penuh rahasia dan misteri ini, kita tidak akan
memperoleh apapun selain keragu-raguan dan kebimbangan.
Argumen
Ketauhidan
Argumen pertama
menegaskan tentang adanya keserasian dan harmoni dalam berbagai ciptaan di alam
ini. Argumen kedua berkaitan erat dengan penjelasan Amirul Mukminin Ali bin Abi
Thalib —yang juga menyertakan himbauan agar kita betul-betul memperhatikannya.
Bunyinya seperti ini, seandainya memang terdapat Tuhan lain (Selain Tuhan Yang
Tunggal), tentu Dia juga akan mengutus para nabi dan menunjukkan jejak serta
tanda-tanda kekuasaannya. "Apabila Tuhanmu memiliki sekutu, niscaya engkau
akan menemui para utusan-Nya dan melihat tanda-tanda kerajaan-Nya."
Anggapan tentang
adanya dua bentuk kekuatan (Tuhan) tersebut juga meniscayakan keterbatasan
eksistensial masing-masing, yang karenanya menjadikan keduanya sebagai “bukan
Tuhan”.
Kekuatan yang
serba terbatas, yang menuju titik ketiadaan (fana), jelas mustahil disandang
Tuhan. Dan jika kedua kekuatan tersebut dikatakan "tidak terbatas",
maka yang ada bukan lagi "dua kekuatan" (melainkan satu kekuatan).
Saya akan menukil sebuah ungkapan salah seorang cendekiawan, "Apabila Anda
mengatakan kepada seorang ahli bangunan untuk membangun sebuah rumah yang
luasnya meliputi seluruh tanah di permukaan bumi ini, pasti ia hanya akan
membangun sebuah rumah saja. karena sudah tak ada lagi tempat baginya untuk
membangun rumah yang lain."
Pembahasan Syirik
Syirik berarti
bersandar kepada Selain Allah, menggeser posisi ketuhanann-Nya kepada makhluk,
serta menyakini adanya kekuatan di atas kekuatan-Nya. Syirik juga memiliki arti
kepatuhun secara absolut kepada selain Allah. Syirik bisa bermakna segala
bentuk pemujaan dan pendirian suatu kelompokk di luar jalan yang dibentangkan
Allah. Di sela-sela kisah yang tercantum dalam al-Quran, terdapat dua persoalan
yang sungguh berharga:
1. Menghidupkan
keimanan dengan kekuatan Ilahi, menyadari adanya kemurahan dan pertolongan gaib
dan Allah, serta tidak lalai terhadap amarah dan murka-Nya.
2. Meruntuhkan
seluruh sandaran yang bersifat semu, menolak segenap tolok ukur yang keliru,
dan mencabut pelbagai akar kesyirikan.
Kita membaca
dalam al-Quran bahwa Nabi Nuh as telah menasehati anaknya yang tidak beriman,
dan memperingatkan seluruh orang kafir yang hidup pada masa itu akan kemurkaan
Ilahi yang mendatangkan bencana air bah yang akan menenggelamkan mereka. Namun
anaknya mengatakan, "Selama belum menyaksikan murkaTuhanmu, aku akan pergi
berlindung ke puncak gunung."
Perhatikanlah,
bagaimana logika berpikir yang dibangun anak Nabi Nuh as tersebut! la
membandingkan eksistensi gunung dan kekuatannya dengan eksistensi dan kekuatan
Allah. Inilah salah satu bentuk jiwa yang mengidap kesyirikan. Oleh karenanya,
tatkala kita juga bersikap seperti itu (mengagungkan seseorang atau sesuatu
secara sejajar atau bahkan melebihi Allah), pada saat itu pula kita terbenam
dalam kesyirikan.
Perbuatan Syirik
Seseorang pernah
mengatakan, "Sekarang ini kita tidak perlu lagi melakukan salat istisqa`
(meminta hujan). Sebab, dengan menggali sumur dalam-dalam, kita pasti akan
memperoleh air yang dibutuhkan."
Orang yang lain
juga pernah mengatakan, "Kini sudah bukan saatnya lagi Allah bermurka dan
menyiksa suatu kaum dengan mendatangkan paceklik (kekurangan bahan makanan).
Soalnya, kapal-kapal bermuatan gandum dapat dengan mudah didatangkan dari
berbagai daerah di luar negeri." Orang ketiga pun pernah mengatakan,
"Kita mengakui bahwa hukum-hukum syariat bersandar pada perhitungan. Tapi,
kita tidak dapat menentang hukum-hukum pemerintahan (nasional) dan
internasional." Ada pula yang mengatakan. "Keberadaan hukum Allah
memang demikian (pasti dan gamblang), namun kita juga harus mempertimbangkan
kerelaan masyarakat serta isteri; Ketika kita patuh kepada perintah Allah, kita
juga harus taat kepada ini dan itu."
Semua itu
jelas-jelas bertentangan dengan tauhid dan penghambaan kepada Tuhan Yang Hak.
Salah seorang ahli hukum (fuqaha) yang bertugas di Majelis Penjaga Revolusi
(Syura-e Negahbon) menceritakan bahwa sekitar dua puluh tahun silam, saat
menyertai Imam Khomeini dalam perjalanan dari Teheran menuju Qum, terdapat
sebuah peristiwa yang sulit dilupakan.
Beliau berkata,
"Pada waktu itu saya berkata, 'Alangkah baiknya jika pemerintah Irak
melarang warga Iran memasuki Irak. Sebab kalau tidak, para ulama dan santri
yang belajar dan mengajar di Qum akan berbondong-bodong pindah ke Najaf,
sehingga Hauzah ilmiah (pesantren) di Qum akan menjadi kosong dan sepi.’
Ketika mendengar
perkataan saya tersebut, Imam Khomeini langsung terkejut dan kecewa. Sejak dari
Teheran sampai Qum —dalam mobil, beliau tak henti-hentinya menasihati saya
dengan mengatakan, 'Kalau pemikiran seseorang tidak semata-mata diarahkan untuk
Allah, maka ia akan senantiasa menginginkan agar yang satu naik dan satunya lagi
jatuh, Hauzah yang ada di Qum menjadi sepi dan Hauzah di Najaf menjadi ramai,
atau sebaliknya.
Alhasil,
seandainya seseorang giat berupaya memenuhi sesuatu tanpa mempertimbangkan
keridhaan Allah dan tidak berada di jalan-Nya, ia telah jauh dan terlempar dari
orbit tauhid.
Semua usaha kita
harus ditandasi ketentuan Allah. Bukan disandarkan pada pelbagai hubungan atau
ikatan sesama kawasan, dacrah, ras, profesi, atau fanatisme kedaerahan,
kekahilahan, kesukuan, dan sejenisnya.'"
Tanda-tanda
Kesyirikan
Dalam al-Quran
(yang tersebar di pelbagai ayatnya), tercantum sekitar dua ratus kata dunallah
atau dunahu (selain Allah). Inilah pokok pembicaraan tentang kesyirikan. Adapun
tanda-tanda kesyirikan yang paling mencolok dan sesuai dengan perkataan
al-Quran adalah berjalan bukan di jalan Allah, keagungan dan kehinaan diri
digantungkan kepada selain Allah, menjalankan undang-undang yang diproduksi
selain Allah, terikat dengan selain-Nya, menyokong kegiatan yang tidak diridhai
Allah, gentar terhadap selain Allah, serta berusaha demi selain Allah. Semua
itu jelas berada di luar jaring-jaring ketuhidan.
Kuantitas
Keberadaan Musyrikin (Orang-orang Musyrik)
Sebagaimana
diketahui, jumlah atau kuantitas orang-orang ikhlas sangat minor (sedikit).
Mereka adalah orang-orang yang tegar dan konsisten dalam menapaki jalan Allah
dan tidak mengharapkan balasan serta ucap terima kasih secuilpun dari
Selain-Nya. Mereka tidak memiliki sifat riya’ (suka pamer), bersikap pasrah
secara total di hadapan undang-undang Allah, dan tidak menjalankan produk
undang-undang selain yang diturunkan Allah.
Kuantitas
orang-orang semacam ini memang sangat sedikit sekali. Al-Quran mengatakan, Dan
sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan
mempersekutukan Allah (dengan sembahab-sembahan yang lain)”. (Yusuf: 106)
Depresi: Dampak
Kesyirikan
Di antara
pelbagai masalah yang dikaji dan diteliti para ahli kejiwaan berkenaan dengan
depresi dan tekanan jiwa, serta cara pencegahannya.
Menurut hemat
saya, seseorang yang terus hidup dalam lingkaran ketauhidan, dan segenap usaha
serta aktivitasnya semata-mata ditujukan kepada Allah, mustahil mengalami
depresi dan frustasi. Lebih jelasnya, ia terbebas sama sekali dari pelbagai
gangguan jiwa. Alasannya sebagai berikut:
Segenap hasil
kerja dan upaya seseorang yang melangkahkan kakinya demi Allah akan dibeli
Allah,[6] Allah mendengar pembicaraannya dan menyaksikan perbuatannya.[7]
Dan dirinya tidak
terbelenggu dan tidak bergantung kepada Selain Allah.[8] Di tengah-tengah kehidupan
masyarakat, acapkali kita jumpai pelbagai ungkapan yang berkenaan dengan
tingkat keberhasilan usaha seseorang. Umpama, "berhasil/gagal",
"menang/kalah", atau "berkembang/statis atau mundur".
Sementara itu,
dalam literatur psikologi, pada umumnya diasumsikan bahwa sikap putus asa
(frustasi) terhadap suatu usaha merupakan penyebab utama terjadinya depresi.
Sikap putus asa jelas-jelas berada di luar lingkaran ketauhidan.
Dengan kata lain,
ketauhidan tidak mengenal dan mencakupi segenap hal yang berbau keputusasaan.
Semua itu dapat kita saksikan secara prima pada diri Nabi mulia saww: ketika
menjadi seorang penggembala; tatkala beihjrah dari Mekah ke Madinah; saat
berlindung di gunung-gunung; dalam berbagai peperangan; ketika berdiri di atas
numbar; dalam keadaan tawaf; ketika mengangkut tanah liat guna membangun masjid
di Madinah; ketika mengenakan atau tidak mengenakan pakaian tempur; saat sedang
sendirian atau bersama-sama; jiwa Rasulullah saww sama sekali tidak bergeming
dan berubah.
Memang benar, jika
dikatakan bahwa masing-masing bentuk pertanggungjawabannya berbeda-beda. Namun,
semua itu bukan semata-mata dimaksudkan sebagai bentuk yang menyenangkan hati
(yang ini lebih menyenangkan sedangkan yang lain tidak—pent.).
Lain hal
(mudah-mudahan saja tidak) dengan diri kita. Tatkala terjadi perubahan dalam
hal pekerjaan, pakaian, meja, buku, atau lingkungan kehidupan, kita kontan
bersikap murung, merasa sedih, dan kecewa.
Keadaannya bahkan
sedemikian rupa, sampai-sampai kita—na’udzubillah—nekad bunuh diri.Tindakan
yang sulit diterima akal sehat tersebut mungkin saja terjadi lantaran semua itu
betul-betul diyakini sebagai hal yang paling utama. Dengan kata lain,
"Semua itu telah menjadi semacam berhala yang membelenggu jiwa."
Pada masa
pemerintahan lalu, agen-agen Savak (dirias intelijen rezim Syah) pernah
mengintimidasi salah seorang ulama. Mereka memerintahkan agar pada saat
berkhuthah di atas mimbar, sang ulama tersebut mendoakan Syah. Tentunya,
desakan yang dilakukan agen-agen Savak itu terhadap sang ulama tadi disertai
pula dengan pelbagai ancaman dan teror.
Padahal kita
tahu, perbuatan (mendoakan Syah) tersebut sangatlah berbahaya. Ini sebagaimana
yang ditegaskan dalam hadis, “Jika orang lalim dipuji, akan berguncanglah ‘Arsy
Allah”.
Tatkala pujian
dilayangkan kepada seseorang yang lalim, dengan sendirinya kelaliman yang
dipraktikkannya akan kian menguat dan bertambah luas. Sehingga, jelas, Arsy
yang merupakan sebutan bagi pemerintahan Allah akan berguncang hebat. Secara
logis, menguatnya eksistensi pemerintahan yang lalim akan dibarengi dengan
melemahnya pemerintahan Allah. Dan dalam hal ini, sungguh amat disesalkan bahwa
pada akhirnya ia melaksanakan juga perintah tersebut.
Seandainya ulama
yang berada di bawah tekanan penguasa lalim tersebut siap berhijiah ke daerah
lain, menghentikan ceramahnya, serta menanggalkan pakaian ulama yang
dikenakannya, maka semua itu justru akan menjadi sebuah tekanan balik yang
sangat bertenaga. Selain pula, dirinya tidak sampai melakukan perbuatan tercela
(memuji penguasa yang lalim—pent.).
Akan tetapi,
dikarenakan tempat kediaman, pekerjaan, pakaian, dan kedudukan, telah menjadi
semacam berhala dan membelenggu dirinya, maka ia pun tunduk dan mau melakukan
perbuatan mengerikan semacam itu.
Semoga Allah
membebaskan kita dari berbagai belenggu dan keterikatan kepada Selain Allah
yang selama ini telah tertanam kuat-kuat dalam benak dan jiwa kita.
[1] “Fir’aun berkata, “Sesungguhnya jika
kamu menyembah Tuhan selain ku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah
seorang yang dipenjarakan”. (asy-Syu’ara`: 29)
[2] “Mereka menjadikan orang-orang alimnya
dan rahib-rahibnya sebagai Tuhan selain Allah”. (at-Taubah: 31)
[3] “Mereka
mengambil sesembahan-sesembahan selain Allah agar mereka mendapat pertolongan”.
(Yasin: 74)
[4] “Dan mereka
mengambil sesembahan-sesembahan selain Allah agar sesembahan-sesembahan itu
menjadi pelindung mereka”. (Maryam: 81)
[5] Qishârul
Jumal.
[6] “Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin, diri dan harta mereka dengan
memberikan surga untuk mereka”. (at-Taubah: 111)
[7] Seluruh ayat
yang menyifati Allah dengan Mahadengar dan Mahalihat.
[8] Ini merupakan
kejadian yang pernah dialami oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib yang
memberikan makanan untuk berbukak puasa selama tiga malam berturut-turut kepada
masyarakat yang sedang kekurangan (orang miskin, anak yatim, dan tawanan).
Kemudian beliau berkata, “Dalam memberikan makanan ini, aku tidak menginginkan
balasan dan ucapan terimakasih dari kalian”. (al-Insan:
9)
PELBAGAI DAMPAK KESYIRIKAN
Kesyirikan kepada
Allah menimbulkan pelbagai dampak buruk. Dalam kesempatan ini, saya akan
mengemukakan sebagian saja darinya.
Dampak terhadap Perbuatan
Perbuatan syirik
akan merontokkan dan menyapu bersih seluruh amal kebajikan. Dalam ungkapan
al-Qur’an, segenap perbuatan baik manusia akan menjadi sia-sia belaka. Tak
jarang terjadi, suatu kekeliruan kecil yang dilakukan dalam kehidupan sanggup
meruntuhkan dan nenghancurkan berbagai usaha yang dibangun manusia dengan susah
payah. Berkenaan dengan itu, beberapa contoh berikut ini kiranya bisa dijadikan
bahan renungan bersama.
a). Apabila
seorang pelajar yang selalu mengikuti pelajaran dengan tertib dan teratur,
namun pada saat ujian dirinya tidak hadir, maka dirinya tidak akan memperoleh
ijazah (kelulusan). Dengan demikian, sekalipun memiliki wawasan ilmu
pengetahuan yang luas, namun dirinya tidak mendapat pengakuan masyarakat.
b). Atau tentang
seseorang yang sepanjang hidupnya senantiasa menjaga kesehatan dirinya. Sekali
saja ia menelan racun —kendati dalam kadar yang kecil, maka segenap keperihan
usahanya dalam menjaga kesehatan tubuh dengan serta merta menjadi sia-sia.
c). Juga tentang
seorang pelajar yang selalu berkhidiriat dan bekerja untuk gurunya. Hanya
dikarenakan suatu perbuatan saja -umpama membunuh anak gurunya, seluruh
perbuatan baiknya selaina ini menguap dan lenyap begitu saja.
Berbuat syirik
kepada Allah laksana meminumracun dan membunuh anak guru. Semua itu sanggup
memporak-porandakan seluruh perbuatan baik yang telah dibangun sepanjang hayat.
Marilah kita merujuk ayat al-Quran yang mengatakan; “Seandainya mereka
mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka
kerjakan”.[1] (Jika mereka berbuat syirik kepada Allah, maka seluruh perbuatan
mereka akan sia-sia dan musnah).
Dampak terhadap Jiwa
Tidak diragukan
lagi, salah satu penyebab terguncangnya jiwa seseorang adalah perasaan tidak
mampu untuk menjadikan seluruh masyarakat rela dan suka terhadap dirinya. Suatu
entitas masyarakat terdiri dari berbagai indvidu yang jumlahnya cukup banyak.
Masing-masing darinya tentu memiliki keinginan, kebutuhan, dan tuntutan yang
berbeda satu sama lain. Karenanya, orang yang hidup di tengah-tengah lalu
lintas beragam keinginan dan tuntutan tersebut tak ayal akan mengalaini semacam
tekanan dan guncangan kejiwaan. Dirinya akan senantiasa dihantui dilema yang
berkepanjangan. Segenap upayanya untuk memenuhi keinginan dan tuntutan suatu
individu atau kelompok, mau tak mau, akan menyebabkan ketidaksenangan atau
antipati dari individu atau kelompok lain. Dari semua itu, kita kiranya bisa
memperoleh pengertian yang cukup mengena tentang bagaimana sebenarnya posisi
ketauhidan dan kesyirikan itu sendiri. Seorang muwahhid (percaya kepada Tuhan
Yang Esa) hanya melulu memikirkan bagaimana caranya membuat Allah senang dan
rela.
Pada saat
bersamaan, dirinya tidak memperdulikan sama sekali keinginan serta tuntutan
individu atau kelompok. Kalau memang demikian adanya, ia tentu akan memperoleh
ketenangan jiwa. Al-Quran, dengan indahnya menyajikan dua contoh berikut:
1. "Manakah
yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Mahaesa lagi
Mahaperkasa?"[2] (Apakah dengan memiliki bermacam-macam Tuhan, menjadikan
manusia lebih baik ketimbang hanya memiliki Allah Yang Esa, Yang Mahaperkasa?)
Dalam keadaan bagaimana jiwa manusia akan diliputi ketenteraman: tatkala hanya
memikirkan keridhaan Tuhan Yang Esa semata, ataukah ketika memikirkan kerelaan
berbagai individu yang pada hakikatnya memiliki beragam selera dan keinginan?
2. "Allah
membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki beberapa
orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak menjadi milik
penuh dari seorang laki-laki (saja); adakah kedua budak itu sama halnya?"
(az-Zumar 29) Contoh ini nyaris mirip—kendati tetap memiliki perbedaan tipis
sekalipun—dengan contoh sebelumnya. Akankah ketenangan jiwa dialaini seseorang
yang berserah diri kepada satu prang saja? Ataukah ia juga bisa diperoleh oleh
orang yang berada di bawah pemeliharaan sejumlah individu yang saling bertikai
dan bermusuhan?
Selain itu, harus
diakui, kesukaan atau kerelaan orang lain amatlah sulit didapatkan. Sebaliknya,
sangatlah mudah mendapatkan kerelaan Allah. Ini sebagaimana yang sering kita
lantunkan dalam doa Kumail, “Wahai yang cepat kerelaan-Nya”, wahai Zat Yang
cepat merelakan. Satu hal lagi, sekalipun rela atas diri kita, namun orang lain
tidak akan begitu saja mengabaikan kelemahan yang melekat pada diri kita.
Hanya Allahlah
yang tidak memperdulikan sama sekali berbagai sisi lemah yang menyertai diri
kita; sebagaimana kita baca dalam doa, “Wahai Yang menampakkan keindahan dan
menutupi kejelekan”, wahai Tuhan, Engkau menampakkan berbagai kebaikan dan
menutupi berbagai aib (cela).
Kalau memang
demikian, apa gunanya membuat masyarakat rela dan senang kalau semua itu justru
menjadikan kita "berjarak dengan ketauhidan" (berada di luar orbit
tauhid), bahkan sampai mendorong kita menentang kerelaan Allah?
Apa yang
diperbuat masyarakat kepada saya? Selain bertepuk tangan, mengabadikan nama
saya menjadi sebuah nama jalan tertentu, menghamburkan berbagai kata pujian dan
sanjungan, yang semuanya itu cepat berlalu dan tidak bermakna apapun, apakah
mereka mampu melakukan hal lain yang lebih berbobot?
Adakah Selain Allah
yang memperhatikan diri saya ketika masih berada dalam perut ibu saya? Tidakkah
sekarang ini—detik demi detik—saya berada di bawah tatapan dan perhatian-Nya?
Apakah pada hari kiamat kelak saya tidak akan berhadapan dengan-Nya? Lantas,
kalau memang demikian, mengapa saya harus mengesampingkan sumber kehidupan
(Tuhan) itu sendiri seraya menuruti keinginan Selain-Nya?!!
Ringkasnya,
membuat rela (ridha atau senang) dan selalu berhubungan dengan Tuhan Yang
Esa—yang cepat merelakan dan sanggup membelokkan hati orang lain kepada diri
kita—serta menyerahkan secara total segenap urusan kita mulai dari awal sampai
akhir, jelas lebih hakiki ketimbang menjadikan masyarakat (yang jumlahnya
teramat banyak dan masing-masing memiliki selera tertentu) merasa rela dan senang.
Toh, kerelaan dan rasa senang masyarakat tidak akan memberikan efek yang
berarti pada kehidupan kita di masa silain maupun di masa datang.
Al-Quran
mengatakan, “Janganlah kamu mengadakan Tuhan lain di samping Allah, agar kamu
tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan (Allah)”.[3]
Dengan adanya
Allah, janganlah kalian memuja Tuhan lain. Sebab, itu hanya akan menyebabkan
kemunduran, kehinaan, dan keburukan diri belaka. Sepanjang hidup, kita hanya
terus berusaha menarik perhatian si anu dan anu. Dan akhirnya kita sadar bahwa
mereka hanya mencari manfaat bagi dirinya sendiri.
Sementara, hanya
Allah sajalah yang menginginkan agar masing-masing orang mencari dan mengambil
manfaat bagi dirinya sendiri.
Tatkala seorang
teman kita menjalin pcrsahabatan dengan orang lain (yang lebih bermanfaat bugi
dirinya), atau mendapat jabatan pekerjaan yang lebih tinggi (dari kita), maka
dengan segera ia akan meninggalkan dan mengabaikan kita yang tengah berkubang
dalam kehinaan serta kesengsaraan. Gejala semacam itu ternyata tak cuma terjadi
di lingkungan sosial, melainkan juga dalam ruang kehidupan keluarga. Al-Quran
mengingatkan bahwa dalam kenyataan, sebagian isteri dan anak-anak justru
menjadi musuh yang paling mengancam; “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu”.[4]
Alasannya, mereka
(isteri atau anak-anak kita) hanya berambisi mengejar kebahagiaan diri sendiri,
dan tidak peduli sama sekali bahwa hasrat dan tindakannya tersebut akan
berujung pada kesengsaraan dan kehancuran diri kita.
Dampak terhadap Masyarakat
Dalam kehidupan
masyarakat tauhidi (meyakini ketauhidan), segenap kepentingan dan undang-undang
yang diberlakukan seyogianya berada dalam satu koridor.
Hukum,
undang-undang, dan peraturan hanyalah tunggal; bersumber dari hukum dan
undang-undang Allah, sementara seluruh komponen masyarakat tunduk di bawah
pemelihara yang tunggal saja. Adapun kehidupan masyarakat musyrik tidak hanya
berlangsung di bawah satu bentuk undang-undang. Mereka hidup dan menciptakan
ratusan undang-undang.
Dalam keadaan
demikian, masing-masing individu akan berusaha mati-matian mempertahankan
gagasan (hukum) atau sesuatu yang telah dikemukakannya. Dalam ungkapan
al-Quran, “Masing-masing Tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya”.[5]
Dalam masyarakat
semacam itu (musyrik), proses penghambaan yang berlangsung terfokus kepada
selain Allah, "Sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan
pembesar-pembesar kami."[6] Akibatnya, mereka senantiasa berhasrat untuk
saling bersaing satu sama lain, "...dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan
mengalahkan sebagian yang lain."[7]
Lebih dari itu,
masing-masing kelompok atau golongan akan berbangga hati terhadap segenap apa
yang dimiliki dan dikuasai, seraya tidak mengacuhkan nilai-nilai kebenaran dan
kebatilan yang mungkin terkandung di dalamnya. Mereka juga tidak menghargai
keberadaan lawan-lawannya (kendatipun lawan-lawan tersebut memiliki tandasan
berpikir yang logis dan cerdas).
Dalam henak
mereka, yang layak dihargai dan diperhatikan hanyalah tujuan, pendukung, serta
simbol yang dijunjungnya. Al-Quran menyatakan, “Tiap-tiap golongan mereka
bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”.[8]
Pelbagai
perselisihan, pertikaian, propaganda yang tidak pada tempatnya, serta
perpecahan merupakan serangkaian gejala (dampak) yang niscaya muncul dalam
proses kehidupan masyarakat musyrik.
Al-Quran
mengatakan, “Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka danmereka
menjadi beberapa golongan”. (ar-Rum: 32)
Janganlah kalian
bertindak seperti orang-orang musyrik. Jangan pula kalian menduga bahwa kaum
musyrik hanya menyembah berhala. Mereka acapkali menciptakan perpecahan dalam
kehidupan agama. Mereka juga sering menjejalkan berbagai kepentingan dan
pandangan pribadi ke dalam agama (dengan cara paksa, yang akhirnya akan
melunturkan nilai keotentikan serta kesucian agama). Sikap serta tingkah laku
yang jelas-jelas bemuansa kemusyrikan semacam itu telah menjadikan hukum Allah
sedemikian keruh dan bercampur baur dengan pelbagai kepentingan pribadi.
Akibat Ukhrawi
Buah kesyirikan
yang akan dipetik di akhirat kelak adalah kehinaan dan siksa neraka. Kita tentu
sering mendengar dan membaca pernyataan al-Quran tentang seruan yang bergaung
di hari kiamat yang ditujukan kepada orang-orang musyrik; “Selaina di dunia
kalian mengikuti selalin Allah, dan kalian mengira bahwa mereka mampu
menyembuhkan yang sakit. Sekarang, kalian tengah berada dalam kesulitan,
mintalah kepada mereka agar memberikan jalan keluar”. Dalam surah al-Isra (ayat
ke-39) difirmankan, “Dan janganlah kamumengadakan Tuhan lain di samping Allah
yang menyebabkan kamu dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela lagi
dijauhkan (dari rahmat Allah)”.
Jangan sampai
kalian berjalan menuju kepada selain Allah. Sebab, kalau itu dilakukan, kalian
akan dilemparkan dengan penuh hina ke dalam kobaran api neraka.
Berbagai Figur Ketauhidan
Di antara
pelbagai ciri khusus pernyataan al-Quran yang cukup menarik ditelaah, selain
memerintah dan melarang, adalah memperkenalkan figur, sosok panutan, atau
model. Umpama, pernyataan tentang isteri Fir'aun yang merupakan figur sekaligus
teladan orang-orang yang beriman.
Sebagaimana
diketahui, isteri Fir'aun sanggup bertahan hidup (dalam kebajikan) sekalipun
dikepung oleh situasi yang penuh tipu daya dan marabahaya. Dirinya tetap tegar
dan tidak sampai terpengaruh harta dan kedudukan sang suami (Fir'aun). Bahkan,
imannya justru menjadi semakin kokoh. la senantiasa memohon kepada Allah agar
dirinya terbebaskan dari keadaan yang menghimpitnya.[9]
Contoh lain yang
juga bisa dijumpai dalam al-Quran adalah pernyataan yang berkenaan dengan sosok
orang kafir. Salah satunya, isteri Nabi Nuh as. Sungguh, betapa keras
pembangkangan dan perlawanan yang dilakukannya terhadap Kebenaran. Dalam pada
itu, hawa nafsu telah betul-betul menaklukan dirinya sehingga menghalangi jalan
masuk bagi hidayah (petunjuk).[10] Sekalipun mendiami rumah tempat turunnya
wahyu, dan senantiasa berada di bawah pemeliharaan Nahi Nuh as, namun dirinya
tetap berkubang dalam kekafiran.
Pahlawan Ketauhidan
Dalam kesempatan
lain, al-Quran menampilkan sosok Nabi Ibrahim as dengan mengatakan, “Dan
bukanlah ia termasuk orang-orang musyrik”.[11] Nabi Ibrahim bukanlah seorang
musyrik. Sekarang, tengoklah kisah dan sejarah Nahi Ibrahim as, kemudian
bukalah satu per satu lembaran hidup beliau. Sungguh, kita akan mengetahui
dengan jelas, betapa beliau hidup sebagai pahlawan ketauhidan.
Nabi Ibrahim as
senantiasa berserah diri kepada Allah. Beliau tak pernah gentar dalam
menghadapi pelhagai rintangan yang menghadang. Bahkan, beliau senantiasa
berhasil melainpaui dan mengatasi ujian-ujian Ilahi.[12]
1. Berkenaan
dengan putera kecintaannya, Ismail, yang lahir setelah menunggu selaina seratus
tahun. Pada suatu ketiku Allah memerintahkan beliau untuk menyembelih Ismail
yang kala itu masih belia. Disertai kepasrahan diri yang total kepada Allah,
beliau (Nabi Ibrahim) langsung melaksanakan perintah tersebut tanpa pikir
panjang lagi.
Dalam hal ini,
beliau lebih mengutamakan pelaksanaan tugas dan amanat di pundaknya, ketimbang
orang yang dicintainya. Inilah salah satu hukti bahwa beliau berhasil
menghancurkan berhala hawa nafsu yang bersemayam dalam dirinya.
Dengan hati yang
tegar, beliau membaringkan Ismail, seraya menempelkan sebilah belati yang tajam
di leher puteranya tersebut. Sebelum belati itu mengoyak leher Ismail, mendadak
Allah mewahyukan, "Hentikan! Semua itu hanyalah ujian." Dengan
demikian, dalam upayanya menghancurkan berhala dalam diri, beliau sukses
menggapai kemenangan.[13]
2. Dalam upayanya
melawan pemimpin yang zalim, Nabi Ibrahim berhasil menjatuhkan raja Namrud
dengan menggunakan senjata argumen dan hujjah.[14]
3. Dalam upayanya
menghancurkan pelbagai patung dan berhala fisik, beliau tanpa diliputi rasa
takut menghadapi para penyembah bulan, matahari, dan bintang. Saat itu,
argumentasi yang dilontarkan beliau adalah, "Saya tidak suka kepada yang
tenggelain (innî lâ uhibbul âfilîn)." Berkat argumen tersebut, beliau
berhasil menyingkirkan debu-debu tebal yang menyelubungi fitrah mereka selaina
ini.[15]
4. Beliau juga
memutuskan hubungan dengan kaum kerabat dekat dikarenakan Allah.[16]
5. Demi keagungan
agama Allah, beliau rela mengorbankan Isteri dan anaknya yang masih
menyusui.[17]
6. Dirinya tak
pernah merasa putus asa (tatkala dilemparkan ke dalam kobaran api).[18]
Seluruh topik di
atas yang berkenaan dengan pribadi agung tersebut telah diuraikan secara rinci
dan gamblang dalam berbagai ayat al-Quran. Karena itu, untuk mempersingkat
pembahasan, saya rasa cukup menyebutkan nama serta nomor surat-surat tersebut
pada catatan kaki buku ini.
Suka Pamer (Riya')
Dalam hadis Nabi
saww disabdakan, “Segala bentuk riya` adalah syirik”. Kesyirikan memiliki
tingkatan-tingkatan. Kadangkala, ia nampak dalam suasana yang terang benderang,
sebagaimana yang melekat pada diri para penyembah berhala, matahari, dan bulan.
Kadangkala pula,
ia begitu tersembunyi, sampai-sampai seseorang tidak menyadari keberadaannya.
Dalam hadis Nabi saww yang berkenaan dengan masaeah kesyirikan dan keikhlasan,
terselip penjelasan yang amat mengagumkan seputar bentuk-bentuk kesyirikan.
Bentuk kesyirikan yang paling halus tentu sulit dideteksi. Kehalusannya
diibaratkan dengan seekor semut yang merayap di atas batu yang berwama hitam
legam di malain yang gelap gulita. Karena itujelas teramat sulit untuk
membebaskan diri dari kesyirikan semacam ini. Semua itu baru berhasil
dilenyapkan apabila pengidapnya berusaha mati-matian menjaga dirinya dan
terus-menerus meminta pertolongan Ilahi.
Ciri-ciri Keikhlasan
1. Tanpa pamrih
Al-Quran
menegaskan bahwa ciri orang ikhlas adalah memberikan makanan (yang telah
disiapkan untuk berbuka puasa) secara terus-menerus kepada Orang miskin, anak
yatim, dan tawanan perang. Disertai dengan itu, orang tersebut juga menyatakan
bahwa dirinya tidak mengharap balasan apa-apa, sekalipun ucap terimakasih,
(dari si penerima).[19]
Oleh sebab itu,
seseorang yang mengharap pujian, sanjungan, imbalan, dan bayaran dari
masyarakat terhadap segenap amal perbuatan yang dilakukannya, niscaya akan
merasa kecewa dan getir tatkala m6ngctahui bahwa dirinya tidak memiliki
keikhlasan. Dengan begitu, berusahalah mati-matian agar diri kita senantiasa
dibayang-bayangi niat yang ikhlas.
2. Terjaga dari
dorongan hawa nafsu
Orang yang ikhlas
tidak akan terpengaruh sedikitpun oleh perasaan dan kecenderungan pribadinya.
Boleh jadi semua orang pernah mendengar kisah mengagumkan dari pribadi besar
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Dalam suatu peperangan, setelah beliau
berhasil menjatuhkan musuh dan hendak membunuhnya, dari mulut musuh tersebut
tersembur hinaan kepada Imam Ali (dengan meludahi wajah suci beliau). Imam Ali
tentu merasa gusar karenanya. Kemudian beliau berdiam dan bersabar sejenak guna
meredam amarahnya. Ketika keadaannya telah kembali pulih, beliau langsung
membunuh musuh tersebut. Setelah itu beliau berkata, "Aku bersabar agar
dalam melaksanakan perintah Allah diriku tidak sampai terpengaruh perasaan dan
amarah yang bersifat pribadi, yakni dikarenakan ia telah menghina diriku."
3. Tidak kecewa
dan merasa kekurangan
Orang ikhlas akan
mengarahkan segenap amal perbuatannya semata-mata kepada Allah. Karena itu,
pahala bagi dirinya akan tetap terjaga. Dirinya sama sekali tidak mengurusi
soal menang-kalah, untung-rugi, ataupun berhasil-gagal. Dengan begitu,
sebagaimana telah saya kemukakan sebelumnya, ia tidak pernah didera stres atau
depresi mental. Timbulnya depresi dipicu oleh berbagai harapan yang buyar dan
tak terjangkau, selain pula oleh sikap putus asa seseorang. Orang-orang ikhlas
sama sekali tidak pernah bersikap putus asa lantaran dirinya hanya mengharapkan
keridhaan dan pahala Allah semata. Kehidupan yang diarunginya senantiasa
dibalut kedamaian dan ketenteraman.
Menjauhkan Kesyirikan
Dalam al-Quran,
terdapat banyak ayat yang memerintahkan kita untuk menjauhi kesyirikan. Apabila
kita benar-benar sanggup membebaskan diri dari ikatan dan belenggu setan
(keluar sebagai pemenang ketika berjuang melawan hawa nafsu [perjuangan dalam
diri] dan ketika berjuang menumbangkan kekuasaan pemimpim yang zalim
[perjuangan di luar diri], niscaya kehidupan kita akan mengalir dengan lancar
dan baik.
Seluruh
kesengsaraan yang menimpa dan kendala yang merintangi perjalanan hidup kita,
pada dasarnya berporos pada berbagai tindak kesyirikan, bisikan setan dalam
jiwa, serta keberadaan para pemimpin yang zalim (thaghut). Karena itu pula,
pembersihan jiwa dan kesyirikan, lebih diutamakan ketimbang pengisian jiwa
dengan ketauhidan (pengesaan Tuhan): bila belum dibersihkan dari makanan yang
busuk, sebuah cawan tidak bisa diisi kembali oleh makanan yang baik dan segar.
Karena itulah, dalam slogan ketauhidan, kalimat 'tiada Tuhan' lebih didahulukan
ketimbang kalimat 'selain Allah'.
Berkenaan dengan
akar-akar kesyirikan yang menghujam jiwa, al-Quran menyatakan, wahai manusia,
berbagai tempat berlindung yang kalian pilih itu, dan kalian berharap akan
mendapatkan manfaat dari semua itu serta hasil dari semua itu, sebenarnya
hanyalah sebentuk rumah laba-laba.[20]
Pada ayat lain
dikatakan bahwa tak satupun selain Allah yang mampu memberikan manfaat ataupun
kerugian pada dirinya sendiri. Karenanya, bagaimana mungkin mereka sanggup
menolong dirimu.'[21]
Selain itu, kita
juga menjumpai dalam al-Quran sebuah pernyataan bahwa sekiranya seluruh
kekuatan yang ada di muka bumi saling bekerja sama (bersekutu), mereka tetap
tidak akan mampu menciptakan seekor lalat.[22] Apakah kalian benar-benar
menginginkan kemuliaan dari selain Allah?![23] Di tempat lain, dikemukakan pula
sejumlah contoh mengenai kekuatan Karun, Fir'aun, serta Namrud yang pada
kenyataannya tidak sanggup membendung arus kekuatan Allah. Pada masa sekarang,
kita juga dapat menyaksikan dengan gamblang bagaimana seluruh kekuatan besar di
dunia berusaha mati-matian melindungi Syah (raja Iran sebelum revulusi Islain
pada 1978—pent.) dan bernafsu melenyapkan seruan Imam Khomeini.
Namun,
sebagaimana kita saksikan, semua upaya tersebut pada akhirnya gagal dan patah
di tengah jalan. Berkenaan dengan kiat-kiat membersihkan kesyirikan, al-Quran
mengemukakan:
1. Penjelasan
mengenai hakikat segenap kesyirikan. Al-Quran mempertanyakan, bagaimana mungkin
kekuatan (selain Allah) dijadikan tumpuan harapan apabila ia tidak sanggup
memberikan manfaat atau kerugian, tidak mampu menciptakan, tidak memuliakan,
dan seterusnya?!
2. Pelbagai contoh
yang ada diluar. Seperti, bagaimana mereka yang bersandar kepada selain Allah
tidak memperoleh hasil dan manfaat secuilpun, sementara Allah menjaga dan
melindungi; (a) Nabi Ibrahim as ketika dilemparkan ke dalam kobaran api; (b)
Nabi Yusuf as tatkala dicampakkan ke dalam sumur; (c) Nabi Yunus as saat berada
dalam perut ikan, (d) Nabi Muhammad saww tatkala rumah beliau dikepung kaum
musyrikin Quraisy; (e) serta Imam Khomeini dari serangan para adikuasa yang
zalim.
3. Perbandingan.
Salah satu modus al-Quran dalam upaya mengenyahkan kesyirikan adalah
memperbandirigkan antara Allah dan selain Allah. Lewat modus ini, al-Quran
berusaha menyadarkan manusia agar tidak sampai jatuh tersungkur, seraya
memaparkan hakikat dari pengganti Yang Mahakuasa (tuhan-tuhan Selain Allah)?!
Untuk lebih memperjelas, saya akan menunjukkan sejumlah ayatnya;
a) “Maka apakah
(Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan
(apa-apa)”.[24]
Tidakkah kalian
sadar bahwa sesuatu Zat yang memiliki kemampuan untuk menciptakan sama dengan
mereka yang tidak memiliki kesanggupan semacam itu?!
b) “Sesungguhnya
berhal-berhala yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk (yang lemah) yang
serupa juga denganmu”.[25]
Sesungguhnya
segenap berhala yang dijadikan sandaran dan tempat memohon kalian, tak ubahnya
seonggok hamba yang sama dengan diri kalian sendiri; lemah, tidak mampu,
memerlukan kepada selainnya, dan seterusnya.
Lalu mengapa
kalian sampai menjatuhkan harga diri kalian di hadapan sesuatu yang serupa
dengan kalian? Lenyapnya kemuliaan manusia akan terjadi seiring dengan sirnanya
keimanan kepada Allah. Pada saat itulah, manusia menjadi budak dari (makhluk)
yang lain. Pada kesempatan ini, tentu tak ada salahnya bila saya menukil salah
satu syair seorang cendekiawan asal Pakistan, Muhammad lqbal, berkenaan dengan
kehinaan serta pemujaan yang tidak pada tempatnya. Manusia tak memiliki
penglihatan menjadi budak manusia. Memiliki permata namun diserahkan kepada
Qubad dan Jam.[26] Yakni bahkan lebih rendah dari kehidupan seorang budak Aku
tak melihat anjing menundukkan kepala di hadapan anjing lain.
c) “Katakanlah,
‘Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang menunjuki kepada kebenaran?’”[27]
Dari seluruh
sekutu selain Allah yang kalian pilih, adakah di antaranya yang sanggup
menunjukkan jalan kebenaran kepada kalian?!
4. Berbagai
praktik ritual seperti salat, doa, dan zikir. Setiap kata-kata yang tercantum
di dalamnya, apabila benar-benar diperhatikan dan dihayati, tentu pada
gilirannya akan mengembangkan jiwa ketauhidan dalam diri seseorang.
Coba saja kita
renungkan sungguh-sungguh, dalam satu menit saja, makna kalimat Allahu AKbar
(Allah Mahabesar), bihaulillah (dengan daya upaya Allah), serta iyyâka na’budu
(hanya kepada-Mu aku menyembah).
Secara harfiah,
kata Allahu Akbar memiliki arti 'lebih besar'. Secara maknawi, kata tersebut
bermakna 'lebih besar dari yang dapat disifati atau dikhayalkan'; ‘lebih besar
dari gambaran dalam benak manusia', 'lebih besar dari segenap keberadaan yang
yang dapat dijangkau penglihatan, pendengaran, pengucapan, dan penulisan';
serta 'lebih besar dari para adikuasa, para pcinimpin yang zalim (thaghut).
Sedangkan kata
bihaulillah (dengan daya upaya Allah aku berdiri dan duduk) bermakna, bangkit
dan duduknya saya di suatu tempat dan waktu berasal dari dan ditopang oleh
kekuasaan-Nya.
Adapun kata
iyyâka na’budu wa iyyâka nast’în (hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya
kepada-Mu kami memohon pertolongan) dimaksudkan bahwa penghambaan hanya
semata-semata diarahkan kepada-Nya: Kami tidak menghamba Timur maupun Barat.
Kami hanya memohon pertolongan kepada-Mu. Sebab, kekuatan-Mu sungguh tidak
terbatas dan seluruh keberadaan di permukaan bumi ini tak lain dari pasukan-Mu.
Engkau (Allah) sanggup menolong manusia dengan perantaraan angin, batu kerikil,
awan, dan air. Engkau mampu menurunkan pertolongan dengan mengerahkan para
malaikat serta menciptakan rasa takut dalam hati musuh, menjatuhkan bebatuan
dan langit, sekonyong-konyong menumpahkan air hujan kepada musuh, dan
menghembuskan ketenteraman serta memberi bantuan kepada orang-orang
beriman.[28]
Kami hanya
memohon kepada Tuhan; Zat yang seluruh keberadaan dijagat raya ini berasal dan
berpulang. Melihat tu, tak bisa disangsikan lagi bahwa setiap kata dalam doa
dan zikir merupakan gelombang energi yang akan menghidupkan jiwa ketauhidan,
sekaligus memutuskan keterikatan dengan selain Allah. Namun, ini bukan berarti
kita mesti mengabaikan usaha, aktivitas, serta pemanfaatan berbagai sarana
material.
Alhasil,
pembahasan mengenai hal itu saya cukupkan dulu sampai di sini. Saya khawatir,
pembahasan yang terlainpau panjang lebar akan semakin menjauhkan kita dari
tujuan penulisan buku ini. Akan tetapi, dengan hanya menyebutkan adanya empat
modus atau cara dalam mengembangkan jiwa ketauhidan serta mencabut akar-akar
kesyirikan bukan berarti tidak ada lagi cara altematif lain (kelima, keenam,
dst.). Seluruh paparan yang saya kemukakan dalam pelbagai pelajaran akidah ini
tak lebih sebagai pengetahuan yang dicurahkan Allah kepada saya.
Tanda-tanda Kemusyrikan
Al-Quran
mengungkapkan, “Dan apabila hanya nama Allah saja yang disebut, kesallah
orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, dan apabila nama
sesembahan-sesembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang
hati”.[29]
Tatkala nama
Allah disebut-sebut secara sendirian, hati orang yang tidak beriman kepada
akhirat tentu merasa kegerahan dan tidak senang. Lain hal apabila nama selain
Allah yang disebut-sebut. Mereka tentu akan senang, gembira, dan saling
melempar senyum satu sama lain.
Sebagai contoh,
kalau kita mengatakan, "Sesuai perintah Allah,kita harus memerangi
tindakan pribadi atau kelompok anu. Ini adalah perintah Allah, tugas
Ilahi," niscaya wajah-wajah mereka akan mendadak suram dan muram.
Sebaliknya,
ketika kita katakan bahwa semua ini merupakan perintah si fulan atau
undang-undang internasional, segera saja wajah mereka berseri-seri. Atau kalau
kita mengatakan, "Allah yang menghendaki," mereka dengan serta merta
bermuka masam.
Lain halnya bila
kita mengatakan, "Masyarakatlah yang menghendaki ini," tentu mereka
akan bergembira dan bersenang hati. Semua itu mengindikasikan bahwa umat
tersebut telah terjerumus dalam kemusyrikan dan penyelewengan.
Dalam berhagai
persoalan, mereka tidak mendasarkan tindakannya pada wahyu llahi. Sebaliknya,
mereka malah mengikuti aturan Barat dan Timur, tunduk dan patuh pada selain
Allah, dan hatinya condong pada undang-undang yang bukan bersumber dari Allah.
Kondisi Pelarangan Menaati Orang Tua
Al-Quran
mencantumkan lima buah penegasan tentang keharusan berbuat baik kepada kedua
orang tua[30], serta empat topik persoalan yang berkenaan dengan penghormatan
kepada kedua orang tua. Pemhahasan tersebut dikemukakan seraya menyinggung pula
persoalan ketauhidan atau penghambaan kepada Allah secara murni. Sebabnya, pada
tingkat yang pertama, keberadaan manusia hanya bergantung kepada Allah semata.
Sementara pada tingkat kedua, ia bergantung kepada kedua orang tua. Ini baru
dari satu sisi. Pada sisi yang lain, berkhidmat kepada kedua orang tua amat
dianjurkan dan selalu disebutkan berdampingan dengan masalah ketauhidan,
keimanan, serta penghambaan kepada Allah.
Dalam pelbagai
riwayat, seringkali dijumpai himbauan agar seseorang menghormati ayah dan
ibunya. Sampai-sampai dalam sejumlah riwayat dikatakan bahwa memandang keduanya
terbilang sebagai ibadah.
Kendati didukung
berbagai penegasan semacam itu, siapapun orang tua yang berusaha menyimpangkan
anaknya dari jalan Allah, tidak diperbolehkan ditaati (anak-anaknya). Seorang
anak bahkan wajib menolaknya. Masalah penolakan ini termaktub dalam dua buah
ayat yang memiliki arti sama satu dengan yang lainnya.
1. “Dan jika
keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang kamu tidak
memiliki pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu menaati keduanya”.
(al-Ankabut: 8)
2. “Dan jika
keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang kamu tidak
memiliki pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu menaati keduanya”.
(Luqman: 15)
Makna yang
terkandung dalam kedua ayat di atas jelas identik satu sama lain; jika ayah dan
ibumu berusaha mengeluarkan dirimu dari bingkai tauhid dan menggiringmu pada
suatu perbuatan buruk yang tidak kamu ketahui, maka engkau harus menampiknya.
Upaya orang tua semacam ku tak jarang disampaikan dalam bentuk yang amat
menyentuh hati. Umpama, "Wahai anakku jika kita tidak patuh pada perintah
thaghut, tentu kita bakal kehilangan sumber makanan dan minuman.
Ketahuilah,
harta, kedudukan, dan kemuliaan kita amat bergantung pada ungkapan: 'Ya, kami
siap melaksanakan.'" Namun terkadang pula, upaya tersebut dilakukan dalam
bentuk hinaan dan lecehan. Misal, "Kau tidak tahu apa-apa. Mereka lebih
tua darimu dan telah melintasi perjalanan ini. Mereka patuh dan taat, serta
memiliki kehidupan yang menyenangkan.
Para pendahulu,
masyafakat, dan bangsa kita menuntut agar kita berjalan di jalur ini,
mengamalkan ajaran anu, menyerahkan diri kepada si fulan, dan memiliki selera
semacam itu."
Alhasil, di
samping kedua bentuk gaya dan cara di atas, masih tersedia ratusan bentuk gaya
dan cara lainnya. Namun, biar bagaimanapun, sebagaimana diungkapkan al-Quran,
bila kedua orang tua berusaha memaksa kita keluar dari jalan Allah—dengan
memerintahkan sesuatu yapg berhubungan dengan kesyirikan serta pembangkangan
terhadap perintah Allah—, maka kita harus menolaknya mentah-mentah.
Dosa Tak Terampuni
Kesyirikan akan
membuahkan dosa yang tidak terampuni. Dalam al-Quran, kita dapat menjumpai ayat
yang berkenaan dengan itu, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik,
dan Ia mengampuni segala dosa selalin itu, bagi siapa yang dikehendakinya”.[31]
Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa kesyirikan (sampai orang tersebut meyakini
keesaan Allah). Sementara dosa-dosa selain itu masih mungkin diampuni-Nya.
Jelas, pengampunan Allah terhadap mereka yang dikehendaki dan diinginkan-Nya,
tetap bergantung pada kesiapan serta kelayakan diri manusia itu sendiri.
Perlawanan Terhadap Orang-orang Musyrik
Kita tidak
dibenarkan untuk berdiam diri menyaksikan orang-orang yang mengupayakan sesuatu
bukan demi Allah, tidak melaksanakan tugas Ilahi, dan hanya demi memperkokoh
posisi serta kedudukan pribadi belaka.
Kalau saja kita
tidak memiliki prinsip yang benar, tentu semua kelompok dan golongan besar
maupun kecil bakal merongrong kita. Dengan begitu, tentu kita akan menjadi tak
ubahnya seonggok mayat yang tidak berdaya dalam menghadapi para pemangsa
bangkai.
Setiap hari, kita
(yang sudah jadi mayat—pent.) akan diseret ke sana dan ke mari. Dan setelah
mereka menyelesaikan upayanya, kita akan ditinggalkan tergeletak begitu saja,
untuk kemudian mencari mangsa yang lain.
Almarhum Syahid
Muthahhari berpesan agar kita senantiasa memanjatkan doa ini, “Sia-sialah
mereka yang mendatangi selain-Mu dan merugilah mereka yang tidak menghadap
kepada-Mu”. Sia-sialah orang-orang yang mendatangi rumah selain rumah Allah,
dan benar-benar merugi orang-orang yang merujuk kepada selain Allah.
Para pembaca yang
budiman, perhatikanlah baik-baik beberapa altematif jalan di bawah ini. Setiap
manusia niscaya akan menempuh salah satu dari jalan-jalan tersebut.
1. Jalan yang
ditentukan berdasarkan keinginan pribadi seseorang.
2. Jalan yang
ditentukan orang lain.
3. Jalan yang
ditentukan Allah.
Jalan serta dasar
penentuan yang pertama jelas keliru. Sebabnya, ketika hari ini saya mengambil
keputusan tertentu, keesokan harinya boleh jadi saya menyadari bahwa keputusan
tersebut salah.
Mungkinkah saya
yang dilingkupi berbagai keterbatasan dan acapkali dikuasai hawa nafsu, mampu
memilih jalan yang baik di antara ratusan altematif jalan yang ada?!
Jalan serta asas
penentuan yang kedua juga tidak benar. Hal ini sesuai dengan ungkapan Amirul
mukminin Ali bin Abi Thalib, bahwasannya aku dilahirkan ibuku dalam keadaan
merdeka, lalu mengapa aku mesti menjadi budak orang lain. Ketaatan serta
kepatuhan secara membabi buta merupakan perbuatan syirik.
“Dan jika kamu
menuruti mereka, tentulah kamu menjadi orang-orang yang musyrik”. (al-An'am:
121)
Terakhir adalah
jalan ketiga. Inilah jalan Allah, “sabilillah”[32], jalan yang lurus, “... ini
adalah jalan-Ku yang lurus”[33], dan tidak terdapat penyimpangan, “... dan Dia
tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya”.[34]
Jalan lurus yang
membentang ini merupakan kebalikan dari segenap jalan yang dilintasi orang
lain; “yang dimurkai” dan “yang sesat”.[35] Rentang jalan ini ditempuh para
syuhada, para nabi, serta orang-orang jujur dan saleh.[36]
Ringkasnya, jalan
tersebut merupakan jalan peribadahan, berasal dari wahyu, bersumber dari ilmu
Allah yang tidak terbatas, dan disampaikan kepada kita melalui perantaraan
nabi-Nya yang mulia, yang kemudian dilanjutkan para fukaha yang adil dan tidak
dikuasai hawa nafsu. Inilah jalan yang harus kita
tempuh.[37]
Tatkala jalan ketauhidan sudah terhampar
secara gamblang di hadapan kita, jelas kita harus membangun perlawanan terhadap
pelbagai jalan lainnya. Kalau tidak, mereka (yang menempuh jalan lain selain
jalan Allah—pent.) tentu akan memanfaatkan sikap acuh tak acuh kita untuk
mendongkel diri kita keluar dari bingkai ketauhidan.
Allah berfirman kepada nabi-Nya agar
menjauhkan diri dari orang-orang musyrik[38] yang tidak berhak memakmurkan
masjid-masjid.[39] Allah juga menegaskan bahwa nabi-Nya tidak boleh mendoakan
orang-orang musyrik.[40]
Nabi-Nya juga
diperintahkan untuk tetap tegardan penuh semangat dalam menempuh jalan
(kebenaran). Seraya dikatakan pula oleh-Nya agar nabi-Nya berlepas diri dari
pelbagai jalan lain serta dari para penyerunya.[41]
[1] Al-An'am:88
[2] Yusuf: 39.
[3] Isra’: 22.
[4] At-Taghabun: 14.
[5] Al-Mu’minun: 91.
[6] Al-Ahzab: 67.
[7] Al-Mu’minun: 91.
[8] Ar-Rum: 32.
[9] “Dan Allah
membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang beriman”. (at-Tahrim: 11)
[10] “Allah
membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir”. (at-Tahrim: 10)
[11] Ali-Imran: 95.
[12] Diisyaratkan
dalam surah al-Baqarah: 124.
[13] Ash-Shaffat: 105.
[14] Al-Baqarah: 258.
[15] Al-An’am: 76.
[16] At-Taubah: 104.
[17] Ibrahim: 37.
[18] Al-Anbiya’: 69.
[19] Diisyaratkan
dalam deretan ayat yang termaktub dalam surah al-Insan.
[20] Al-Ankabut: 41.
[21] Ar-Ra’d: 16.
[22] Al-Hajj: 73.
[23] An-Nisa’.
[24] An-Nahl: 17.
[25] Al-A’raf: 194.
[26] Yang dimaksud dengan qubad adalah
Kiqubad yang merupakan salah satu raja Iran kuno. Ada pun yang dimaksud dengan Jam adalah Jamsyid, juga
raja Iran kuno.
[27] Yunus: 35.
[28] Semua itu
tercantum dalam berbagai ayat al-Qur’an.
[29] Az-Zumar:
45.
[30] Al-Baqarah:
83; an-Nisa’: 36; al-An’am: 151; al-Isra’: 23; al-Ahqaf: 15.
[31] Yang pertama
disebutkan dalam ayat ke-48, sementara yang kedua disebutkan dalam ayat ke-116.
[32] Dalam
al-Qur’an, ungkapan sabilillah (jalan Allah) dapat dijumpai lebih dari lima
puluh kali, khususnya dalam pelbagai topik yang berkenaan dengan jihad,
pembunuhab dan hijrah, yang semestinya ditempuh di atas jalan Allah (fi
sabilillah).
[33] Al-An’am: 153.
[34] Al-Kahf: 1.
[35] Yasin: 4.
[36] Al-Fatihah.
[37] An-Nisa’:
68.
Ini merupakan
perintah Imam Mahdi. Beliau pernah berpesan bahwa semasa kegaibannya, para
pengikutnya harus merujuk kepada para fukaha (ulama) yang adil (tidak melakukan
perbuatan maksiat) dan tidak mengikuti hawa nafsu.
[38] Al-An’am: 106.
[39] At-Taubah: 17.
[40] At-Taubah: 113.
[41] Al-Mumtahanah: 4.
KEADILAN (al-‘Adl)
Dengan menyebut
nama Allah Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang. Salawat dan salam atas
Muhammad dan keluarganya yang suci dan mulia.
Pada pembahasan
tauhid, saya telah menguraikan topik yang berkenaan dengan "Pandangan
Dunia Ilahiah" secara panjang lebar. Selain itu, saya juga menyinggung
sejumlah problem yang berkaitan dengan ketauhidan dan kesyirikan.
Kali ini, saya
akan mengkaji dan memaparkan poros kedua dari akidah Islam yakni al-‘adl (keadilan). Allah Swt telah
menganugerAbi kekuatan akal kepada manusia. Lewat kekuatan itu, manusia dapat
mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Lebih khusus lagi, seseorang
akan sanggup mengetahui bahwa perbuatan zalim merupakan keburukan, sedangkan
perbuatan adil adalah kebaikan. Kita yakin bahwa Allah mustahil berlaku buruk.
Pada Zat-Nya, Allah suci dari sifat zalim dan aniaya. Sebab, berbagai kezaliman
dan tindakan aniaya (sebagaimana sering kita saksikan melekat pada diri
manusia) pada dasarnya bersumber dari sifat-sifat berikut ini:
1. Kebodohan
(al-jahl). Tak jarang, kebodohan dan ketidaktahuan menjadi sumber kezaliman.
Misalnya saja, seseorang tidak tahu bahwa ras putih dan ras hitam pada
hakikatnya tidak memiliki perbedaan satu sama lainnya. Namun, entah mengapa,
orang-orang dari ras putih kemudian merasa dirinya lebih unggul (superior) dari
ras hitam, sehingga melegitimasi dirinya untuk memperlakukan ras hitam secara
sewenang-wenang. Sumber kezaliman ini tidak lain dari ketidaktahuan atau
egosentrisme. Dikarenakan menganut berbagai bentuk pemikiran serta pemahanun
yang menyimpang, atau bahkan kebodohan, seseorang niscaya akan bertindak zalim.
Akan tetapi, mungkinkah Allah, Tuhan Yang Mahasuci dan yang tak terbatas
ilmu-Nya sehingga jauh dari kebodohan, bertindak zalim?
2. Rasa takut
(al-khauf). Timbulnya tindak kezaliman bisa juga diakibatkan oleh rusa takut
yang mencekam. Umpama, seseorang yang merasa tersaingi orang lain. Lantaran
dirinya merasa terancam, takut dan khawatir kalau-kalau kekuatan dan
kedudukannya bakal pudar, ia pun tidak segan-segan bertindak aniaya dan serba
keterlaluan terhadap para pesaingnya. Dalam upaya memperkokoh kekuasaannya,
para pemimpin yang zalim (thaghut) tidak akan sungkan-sungkan bertindak zalim
kepada para penuntut kebebasan dan kemerdekaan. Dalam hal ini, apakah Allah
memiliki saingan? Apakah kekuasaan Allah masih harus diperkuat dan diperkukuh?
3. Memerlukan
(al-ihtiyaj) dan serba kurang (an-naqsh). Adakalnya, perbuatan zalim timbul
lantaran didorong oleh suatu kebutuhan. Desakan kebutuhan jasmaniah atau
ruhaniah bisa saja memaksa untuk memperlakukan sesamanya secara buruk, tercela,
dan zalim.
4. Acapkali pula,
munculnya kezaliman bersumber dari pelbagai sifat buruk yang bersemayam dalam
jiwa seseorang. Bahkan sebagian orang sedemikian menderita jiwanya (psikopatis)
sampai-sampai memiliki perilaku yang begitu sadis; dirinya merasa senang dan
bahagia tatkala menyakiti seseorang atau menyaksikan penderitaan orang lain.
Kini kita telah
mengetahui sejumlah faktor pemicu timbulnya kezaliman. Lantas, adakah
faktor-faktor semacam itu pada Zat Allah yang memungkinkan-Nya berbuat zalim?
Al-Quran menegaskan, “... dan tiadalah
Allah berkehendak untuk menganiaya hamba-hamba-Nya”.[1] Berdasarkan ayat
tersebut, Allah sama sekali tidak berhasrat untuk bertindak zalim terhadap
seluruh makhluk (ciptaan) yang menghuni jagat alam ini.
Kalau Tuhan memerintahkan
kita berbuat adil[2], mungkinkah diri-Nya sendiri berbuat zalim? Apakah masuk
akal apabila Allah memerintahkan manusia (yang lemah dan senantiasa dirongrong
tuntutan hawa nafsu) agar jangan sampai kebenciannya terhadap suatu kaum
menjadikannya bersikap tidak adil[3], sementara diri-Nya sendiri (yang memiliki
kekuatan tak terbatas dan tidak terpengaruh segenap kecenderungan hawa nafsu)
bakal berbuat zalim?!
Cara Mengenal
Sifat-sifat AllahCara yang ditempuh dalam mengenal sifat-sifat Allah lebih
kurang sama dengan cara mengenal Zat Allah. Ini tak ubahnya dengan sebuah
tulisan yang bisa dijadikan petunjuk bagi keberadaan penulisnya. Umpamanya,
dari bentuk tulisannya dapat diketahui bagaimana sebenarnya kafakter
sangpenulis. Dari kalimat-kalimat yang tertera dalam tulisan tersebut, dapat
pula diketahui sampai sejauh mana penguasaan sang pengarang terhadap bahasa
serta topik yang diuraikannya.
Selain itu, dapat
juga diketahui seberapa banyak perbendaharaan kata yang dimilikinya. Tulisan
tersebut juga dapat dijadikan tolok ukur kemampuan sang pengarang dalam
menyusun sebuah karya tulis (berbobot ataukah picisan belaka). Lebih dari itu,
tulisan tersebut juga akan mencerminkan semangat serta tujuan pengarangnya.
Kalau memang demikian halnya, tentu setiap ciptaan (makhluk) akan merefleksikan
dua hal; (a) mengenal penciptanya; (b) mengetahui sifat, keadaan, dan tujuan
penciptaan.[4]
Keadilan: Prinsip
AgamaSekalipun Allah memiliki cukup banyak sifat seperti MAllahijaksana,
Mahakuasa, Mahatahu, dan seterusnya, lantas mengapa justru konsep keadilan, dan
bukan salah satu dari sifat di atas, yang dijadikan prinsip keagamaan?
Mengapa tidak
dikatakan bahwa prinsip keagamaan yang pertama adalah tauhid, sedangkan yang
kedua adalah hidup (al-hayah) atau Mahamengetahui (al-'alim)? Atas dasar apa
menjadikan keadilan sebagai prinsip keagamaan yang kedua setelah ketauhidan?
Salah satunya
adalah untuk menanggapi sekelompok kecil masyarakat Islam-kaum 'Asy'ariyah-yang
tidak beranggapan bahwa Allah senantiasa bertindak adil. Mereka (kelompok
'Asy'ariyah) mengatakan bahwa apapun yang dilakukan dan dikehendaki Allah
adalah benar dan adil, sekalipun menurut akal serta pengetahuan kita, semua itu
buruk, tercela, dan zalim!!
Misalnya
dikatakan, "Apabila Allah hendak memasukkan Amirul mukminin Ali bin Abi
Thalib ke dalam neraka, sementara Ibnu Muljam ke dalam surga, semua itu tentu
tidak ada masalah." Jelas, kita akan menolak rumus berpikir semacam mi.
Kita yakin betul bahwa keadilan merupakan bagian dari prinsip akidah.[5] Berdasarkan
pikiran logis yang dikuatkan ayat-ayat al-Quran, kita akan menjumpai
baliwasannya segenap perbuatan Allah benar-benar bijaksana dan ditandasi oleh
perhitungan yang sangat cermat. Dia sama sekali tidak akan pernah melakukan
perbuatan buruk dan tercela. Keimanan terhadap keadilan Ilahi berpengaruh besar
dalam membenahi manusia:
1. Sebagai
kontrol terhadap dosa-dosa. Tatkala meyakini bahwa ucapan dan perbuatannya
senantiasa berada di bawah pengawasan-Nya, tentu seseorang tidak akan
meremehkan perbuatannya sekecil apapun. Dirinya yakin betul bahwa kelak segenap
perbuatan (baik atau buruk) yang pernah dilakukannya akan diganjar. Seraya itu,
ia juga akan beranggapan bahwa mustahil dirinya dilepas begitu saja tanpa
adanya ikatan atau aturan (yang dalam hal ini banyak dibahas al-Quran dalam
pelbagai ayatnya).
2. Berprasangka
baik. Seseorang yang mengimani keadilan Ilahi akan berprasangka baik terhadap
sistem yang beroperasi dijagat alam ini. Keyakinan terhadap keadilan Allah
niscaya akan menjadikan seseorang beranggapan bahwa pelbagai kejadian pahit
yang menimpanya tak lain dari sesuatu yang menyenangkan. Orang semacam ini
tidak akan pernah merasa getir dan berputus asa.
3. Keimanan
terhadap keadilan Ilahi merupakan faktor penggerak timbulnya keadilan dalam
konteks kehidupan individu maupun masyarakat. Setiap orang yang rneyakini
keadilan Allah, tentu akan mudah menerima keadilan dalam hidupnya, baik secara
individual maupun sosial.
Makna
KeadilanSebenarnya, persoalan utama yang terkandung dalam topik keadilan ini
terkait erat dengan bagaimana menjawab pelbagai sanggahan. Dalam menanggapi
sanggahan-sanggahan tersebut, saya akan menukil dan menguraikan secara singkat
sejumlah ayat al-Quran serta hadis Nabi saww.
1. Allah Mahaadil
Dalam arti, Dia
tidak akan menghilangkan hak seseorang. Dia juga akan senantiasa mencurahkan
karunia-Nya kepada setiap makhluk sesuai dengan ketentuan alam yang berpijak di
atas kebijaksanaan-Nya. Kezaliman berarti menghilangkan atau merampas hak
secara paksa. Kalau memang demikian, maka makna keadilan dan kezaliman tak lain
dari sesuatu hal yang berhubungan erat dengan keberadaan hak tertentu.
Sekarang, marilah
kita telaah bersama, apakah Allah memiliki tuntutan tertentu? Apakah seluruh
makhluk yang ada sejak pertama kali diciptakan telah memiliki suatu hak, untuk
kemudian diabaikan, dirampas, dan dilenyapkan? Apakah sejak dahulu kala kita
telah memiliki sesuatu (hak) untuk kemudian lenyap oleh suatu kezaliman?
Yang jelas, di
jagat alam ini, terdapat pelbagai ciptaan dalam bentuknya yang berbeda satu
sama lain. Sebagian benda mati, sebagian lain benda hidup. Sebagian binatang,
sebagian lainnya manusia. Akan tetapi, seluruh ciptaan tersebut sebelumnya sama
sekali tidak memiliki hak eksistensial apapun, yang kemudian bisa dikatakan tidak
diakui atau bahkan dirampas dan dilenyapkan. Misalnya, seseorang yang
merobek-robek selembar permadani yang lebar.
Dalam hal ini,
permadani yang sebelumnya memiliki ukuran yang lebar tersebut, setelah
dirobek-robek, tinggal menjadi serpihan-serpihan kecil alias tidak lebar lagi
(kehilangan kelebarannya). Berbeda, misalnya,ketika permadani tersebut memiliki
ukuran yang kecil sejak pertama kali ditenun. Jelas, permadani kecil itu tidak
memiliki alasan untuk mengatakan, "Mengapa saya kecil?"
Sebab, sebelumnya
ia (permadani berukuran kecil tersebut) bukanlah sesuatu dan tidak ada
(eksistensinya) sama sekali. Dan Ketika diadakan (ditenun seseorang) pun,
permadani tersebut sama sekali tidak memiliki ukuran yang besar, yang kemudian
seseorang merampas dan meniadakan ukurannya yang besar tersebut.
Allah menciptakan
seluruh makhluk (yang sejak awal keberadaannya tidak memiliki hak serta
tuntutan) dengan pelbagai perbedaan dengan mendasarkannya pada kebijaksanaan
tak tertandingi.
Dalam jagat alam
ini, diberlakukan sebuah sistem kausalitas atau sebab-akibat) yang menyediakan
jalan tertentu bagi setiap ciptaan.
Allah juga
membebankan tugas dan kewajiban kepada segenap makhluk-Nya (yang sesungguhnya
semua itu diperuntukkan semata-mata begi pemenuhan kepentingan makhluk
bersangkutan).
Selain itu, Allah
juga sama sekali tidak membeda-bedakan (bersikap diskriminatif) ras, umat atau
individu yang satu dengan ras, umat, atau individu yang lain dalam hal
pemberian pahala dan siksa. Mereka semua akan diganjar pahala dan siksa secara
adil dan bijaksana.
Ambil contoh
sebuah pabrik yang selain membuat mur dan baut kecil juga membuat ban mobil
yang berukuran besar. Dapatkah dikatakan bahwa pengelola pabrik tersebut —
dikarenakan adanya perbedaan dalam memproduksi; produk yang satu kecil yakni
mur dan baut, sementara produk yang lain berukuran besar yaitu ban mobil— telah
bertindak zalim? Apakah mur dan baut itu sendiri berhak menggugat? Yang pasti,
jawabannya adalah negatif.
Sebabnya, sistem
kerja sebuah mobil memerlukan mur dan baut yang berukuran kecil, sekaligus juga
beberapa buah ban yang besar. Perlu digarisbawahi bahwasannya ketiga jenis
benda tersebut sebelumnya tidak eksis. Namun, lantaran adanya kegunaan
tertentu, pengelola pabrik itupun lantas menciptakan ketiganya.
Di samping
beberapa kemungkinan di atas (yang sudah terpatahkan), masih ada lagi satu
kemungkinan bagi terjadinya tindak kezaliman; soal pembebanan fungsi mur dan
baut serta roda yang besar. Apabila seluruh bagian (mobil itu) telah berhasil
diproduksi, dan kemudian masing-masingnya tidak diberi beban fungsi yang
melebihi kapasitasnya, tentu tidak dapat dianggap bahwa dalam hal ini telah
terjadi tindak kezaliman.
Sebabnya semua
produk tersebut diperlakukan secara proporsional dan sesuai dengan batas-batas
fungsinya masing-masing. Mengapa hanya sedemikian saja batas-batas fungsinya?
Jelas, seluruh
bagian-bagian mobil yang diproduksi itu secara prinsipil tidak berhak menuntut
(agar fungsi dirinya melampaui batas-batas tertentu) kepada pengelola pabrik
disebabkan sebelumnya mereka (bagian-bagian mobil itu) memang tidak eksis.
Selain itu, sang
pengelola pabrik juga tidak memiliki pengharapan yang berlebihan akan fungsi
masing-masing bagian tersebut. Sungguh, kalau tetap dipaksakan melampaui batas
fungsi masing-masing, keadaannya tentu akan sangat menggelikan (mur dan baut
berfungsi sebagai roda mobil, atau sebaliknya).
Sekarang, setelah
memiliki kejelasan tentang makna yang sebenarnya dari kata ‘adil’ dan 'zalim',
kita perlu memperhatikan noktah penting berikut ini: keadilan tidak selamanya
identik dengan sama rata.
Apabila,
misalnya, seorang guru tanpa pandang bulu memberikan nilai yang sama kepada
seluruh muridnya—tanpa memperhatikan kerajinan serta usaha belajar
masing-masing murid—tentu bisa dikatakan bahwa ia telah bertindak zalim.
Perbuatan guru tersebut persis sama dengan perbuatan zalim seorang dokter yang
memberi obat yang sama kepada seluruh pasiennya tanpa terlebih dulu memeriksa
kondisi masing-masingnya (yang tentunya mengidap penyakit yang berbeda-beda
sehingga meniscayakan obat yang berbeda-beda pula).
Keadilan yang
niscaya bagi seorang dokter dan guru ialah ketika mereka memberi angka (sang
guru) dan obat (sang dokter) yang berbeda-beda. Dan, perbedaan ini bukanlah
sebuah diskriminasi. Perbedaan tersebut merupakan sesuatu yang niscaya,
alamiah, wajar, dan bukan sekadar bermain-main. Segenap perbedaan yang
diberlakukan dilandasi oleh suatu kebijaksanaan. Dengan demikian, perlakuan
membeda-bedakan dan tidak pukul rata, selama masih berada dalam lingkup
kebijaksanaan, tidak dapat dikatakan sebagai tindakan zalim.
2. Penarikan kesimpulan secara gegabah
Pada dasarnya,
banyak sanggahan yang kita ajukan berpijak di atas tandas pemahaman yang serba
dangkal, penilaian yang gegabah, serta pemikiran yang kurang matang. Dalam
kesempatan ini, saya akan mengemukakan beberapa contoh yang dimaksudkan sebagai
cermin jernih tempat kita mengaca diri:
a. Demi memenuhi
kepentingan masyarakat umum, sebuah pemerintahan Islam membuat kebijakan untuk
membuat jalan raya yang lebarnya 45 meter. Dibuatnya jalan tersebut disebabkan
oleh terjadinya lonjakan jumlah mobil dan penduduk.
Dalam proses
pembuatannya, sudah barang tentu akan menyulitkan segelintir warga penduduk
yang rumahnya digusur; mesti mengambil uang ganti rugi tanah dan rumah
masing-masing dari pihak pemerintah, untuk kemudian mencari tempat tinggal baru
di kawasan lain. Alhasil, mereka harus menanggung berbagai kesulitan.
Namun, kenyataan
itu tidak meniscayakan usaha pemerintah (membangun jalan raya publik) yang akan
bermanfaat dan memberi kenyamanan bagi masyarakat luas harus dihentikan. Islam
lebih menitikberatkan pemenuhan hak-hak sosial ketimbang hak-hak pribadi.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib pernah berkata kepada Malik al-Asytar,
"Temuilah mereka yang menimbun berbagai hal yang dibutuhkan masyarakat,
dan nasihatilah mereka serta sampaikanlah
amar ma’ruf dan nahi munkar. Jika
mereka tetap menjalankan kegiatannya, tindaklah mereka dengan keras.”[6]
Kemudian beliau
berkata, "Penimbunan, sekalipun mendatangkan manfaat pada individu, akan
merugikan masyarakat."[7] Pada kesempatan lain, beliau juga berkata, “Dalam mengelola pemerintahan, hendaklah
senantiasa diperhatikan kerelaan masyarakat sekalipun menyebabkan
ketidaksenangan orang-orang dekat”.
b. Konon, pernah
hidup seseorang yang memelihara seekor anjing dalam rumahnya. Pada suatu hari,
demi suatu keperluan yang mendesak, ia pergi keluar rumah dan meninggalkan
bayinya yang masih menyusui bersama anjingnya itu. Dalam perkiraannya, ia bakal
cepat kembali ke rumah. Namun, tatkala pulang ke rumah, dirinya disambut sang
anjing dengan mulut yang berlumuran darah. la langsung beranggapan,
jangan-jangan anjing ini telah menerkam dan membunuh si bayi.
Dengan rasa
marah, ia lantas mengangkat senapannya dan menembak anjing tersebut. Setelah
itu, ia bergegas masuk ke dalam rumah. Namun, kejadian yang sesungguhnya
ternyata amat jauh berbeda. la menjumpai anaknya yang masih bayi itu tidak
mengalami cedera apapun.
Kejadian
sebenarnya begini. Sewaktu pergi, ia meninggalkan pintu rumahnya yang berlokasi
di pinggiran kota itu dalam keadaan terbuka. Tak urung, seekor serigala pun
datang dan dengan mudah masuk ke dalamnya.
Kemudian, dengan
leluasa pula ia bisa memasuki kamar tidur si bayi mungil itu dan berusaha menyerangnya.
Adapun anjing yang bertugas melindungi bayi tersebut berusaha mati-matian
melindungi si bayi dan mengusir serigala tersebut keluar dari rumah. Dengan
mengunakan kuku serta taringnya yang tajam, anjing itu menyerang balik sang
serigala. Dalam perkelahian itu, sang serigala akhirnya menderita luka-luka
yang mengeluarkan darah, untuk kemudian lari terbirit-birit keluar dari rumah.
Namun sayang, akibat penilaian sang pemilik rumah yang tergesa-gesa itu,
alih-alih ungkapan terima kasih yang diterimanya, anjing yang telah berjuang
sekuat tenaga menyelamatkan si bayi tersebut, malah harus meregang nyawa dan
mati dibunuh tuannya sendiri!
Sang pemilik
rumah segera saja menyesali perbuatannya itu dan menghampiri tubuh anjingnya
yang telah terkapar. la berharap bisa menyelamatkannya dari kematian. Namun
nasi telah menjadi bubur, anjing tersebut telah mati dengan meninggalkan rasa
sesal yang begitu getir.
Orang tersebut
kemudian berkata, "Aku mcnatap bola mata anjingku yang ketika itu sedang
dalam keadaan terbuka dan hatiku mendengar suara jeritannya yang parau, 'Wahai
manusia, betapa engkau amat tergesa-gesa! Mengapa engkau memberikan penilaian
secara gegahah? Mengapa engkau terlebih dulu tidak masuk ke dalam rumah? Engkau
telah membunuhku tanpa disertai alasan yang jelas."
Setelah melakukan
tindakan yang amat disesalinya itu, sang pemilik rumah menulis sebuah artikel
yang bertajuk "Wahai Manusia, Betapa Cepatnya Engkau Menilai".
Dalam sejumlah
kisah lain, kita juga acapkali menyaksikan bagaimana sejumlah orang yang
memanjatkan doa, namun tidak dikabukan Tuhan, pada akhirnya justru menyadari
kebaikan dari tidak terkabulnya doa tersebut.
Dari segenap
contoh yang berkenaan dengan ketergesa-gesaan penilaian yang acapkali berakibat
fatal tersebut, al-Quran mengajukan berbagai sanggahan yang sangat jitu. Dalam
hal ini, al-Quran senantiasa memperingatkan, "Wahai manusia, sebagian
besar dari dugaan dan sangkaan yang muncul dari dalam dirimu sama sekali tidak
berdasar.
Betapa banyak hal
yang menurut pandanganmu buruk dan engkau amat membencinya, pada hakikatnya
merupakan kebaikan bagimu. Dan betapa banyak hal yang engkau sukai namun pada
hakikatnya merupakan keburukan bagi engkau,"
Umpama berkenaan
dengan masalah jihad. Al-Quran menyatakan bahwa mungkin untuk kali yang
pertama, kalian akan beranggapan bahwa itu adalah sesuatu yang buruk. Padahal,
secara hakiki, semua itu merupakan kebaikan bagi kalian.[8] Jihad dan
peperangan pada gilirannya akan mengembangkan pelbagai potensi dan menumbuhkan
kemampuan yang ada dalam diri manusia. Dalam ungkapan Imam Khomeini;
“Dalam
peperangan, esensi manusia menjadi tumbuh dan berkembang”.
Dalam setiap
peperangan dan pertempuran, terjadi pemisahan dan kontras antara
barisan-barisan (manusia) yang hanya meneriakkan slogan belaka, dengan barisan
lain yang benar-benar berjuang dan tekun bekerja.
Peperangan
mengharmonisasikan pelbagai kekuatan dan tujuan. Peperangan menganugerahkan
kemuliaan serta kehormatan diri seseorang. Dan terakhir, peperangan pada
dasarnya menjadi cermin jernih yang memantulkan kenyataan tentang adanya sebuah
masyarakat yang hidup di bawah telapak kaki kezaliman. Dalam surat an-Nisa'
ayat ke-19, kita membaca bahwa betapa sering orang-orang menganggap suatu
kejadian bersifat tidak menyenangkan, padahal darinya Allah hendak mencurahkan
kebaikan yang amat banyak.[9]
Apabila kata hisban (mengira) ditelaah dan ditelusuri
dalam al-Quran, kita akan segera mengetahui dengan gamblang bahwasanya al-Quran
yang senantiasa memperingatkan kita melalui ungkapan, “jangan kau menyangka demikian...”, “jangan
kamu berfikir demikian...”, “jangan kamu berprasangka semacam itu”, serta
berbagai ungkapan senada lainnya, sesungguhnya tengah melontarkan sanggahan
terhadap pelbagai bentuk pandangan serta penilaian yang serba gegabah dan tergesa-gesa.
Ada lagi contoh
lain yang berkenaan dengan persoalan melakukan penilaian yang serba
terburu-buru. Dalam al-Quran, kita jumpai bagaimana para malaikat (dikarenakan
tidak memiliki pengetahuan yang mendalam tentang hakikat manusia) menyatakan kepada
Allah, “Kami senantiasa bertasbih
kepada-Mu dan senantiasa beribadah kepada-Mu, lalu kenapa Engkau ciptakan
manusia yang akan berbuat kerusakan?!”
Akan tetapi,
Allah tetap berkeinginan untuk memiliki khalifah (wakil) yang layak di muka
bumi ini. Untuk itu, Allah menganugerahkan pelbagai ilmu pcngelaleuan (wa
‘allama Adamal-asma`a kullaha) kepada khalifahnya tersebut. Semua itu jelas
merupakan bukti yang tak bisu disangkal bahwa penilaian mereka (para malaikat)
muncul dari ketergesa-gesaan.
Ringkasnya,
keragu-raguan serta kebimbangan yang muncul ketika kita mengkaji keadilan Allah
(mengapa Allah begini dan begitu?), pada dasarnya menghendaki agar kita
mengakui bahwa cuma sebagian kecil saja penilaian dan penentuan kita yang
benar. Sebaliknya, masih banyak rahasia-rahasia serta misteri di sekitar jagat
alam ini yang masih belum tersingkap dan diketahui dengan jelas.
Dari sisi ini,
ilmu pengetahuan serta pengalaman kita sungguh amat terbatas. Kendati telah
melewati hidup selama bertahun-tahun, kita masih saja beranggapan bahwa
keberadaan hutan sama sekali tidak bermanfaat.
Namun, dengan
berlalunya waktu, baru diketahui dengan jelas bahwa ternyata manfaat dari
keberadaan hutan sangat besar sekali bagi kehidupan manusia. Banyak
barang-barang berharga yang bisa dihasilkan darinya.
Bukankah selama
bertahun-tahun, banyak orang yang mengatakan bahwa 'amandei’ (sejenis daging
tumbuh yang menempel di pangkal tenggorokan manusia) tidak ada manfaatnya.
Malah ada yang mengatakan sangat berbahaya bagi kesehatan seseorang. Namun
ternyata, baru-baru ini diketahui bahwa setiap harinya, amandel tersebut
bekerja memproduksi sel-sel darah putih yang berfungsi sebagai pasukan
pelindung tubuh dari serangan berbagai jenis mikroba. Selama bertahun tahun
pula, banyak orang yang yakin bahwa usus buntu (appendix) tidak memiliki faedah
apapun bagi tubuh seseorang. Sekarang, mereka justru mengatakan bahwa usus
(buntu) kecil ini memiliki peranan yang cukup penting dalam melawan penyakit
kanker.
Apabila dalam
membaca atau mengkaji sebuah buku yang berbobot dan menarik, dijumpai satu atau
dua kata yang tidak diketahui artinya dengan jelas, janganlah kita terburu-buru
memaknainya. Termasuk pula, jangan buru-buru memunculkan dalam benak kita,
prasangka negatif terhadap sang penulisnya.
Kini, setelah
memahami makna sebenarnya dari kata 'adii’, serta mengetahui pula sebab-sebab
kemunculannya yang bersumber dari penilaian serba dangkal dan tergesa-gesa,
kita akan menapaki topik pembahasan berikutnya seputar pelbagai unsur pemicu
kegelisahan manusia.
3. Sebab-sebab Kegelisahan Diri
Acapkali kita
tidak menyadari bahwa pada dasarnya pelaku utama yang memicu terjadinya
pelbagai derita hidup tak lain dari diri kita sendiri. Lebih menggelikan lagi,
tuduhan sebagai penyebab munculnya seluruh kejadian pahit tersebut justru
diarahkan kepada Allah. Karenanya, sadar atau tidak, kita sering melontarkan
p&lbagai sanggahan dan protes seperti, "Wahai Tuhan, jika Engkau
adalah Zat Yang Mahaadil, lalu mengapa musibah dan bencana ini menimpa diri
kami?"
Tak diragukan
lagi, sebagian besar musibah dan bencana itu terjadi akibat ulah kita sendiri.
Misalnya, kalau kesehatan dan kebugaran fisik tidak dirawat, tentu tubuh kita
akan digerogoti berbagai macam penyakit. Atau, tatkala kita menyaksikan
timbulnya berbagai kerusakan (fasad), namum kita tidak melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar (sesuai dengan kapasitas diri), tentu
kejahatan-kejahatan tersebut akan segera menguasai diri kita.
Dan pada
gilirannya, jangan heran, kalau doa yang kita panjatkan tidak akan pernah
terkabulkan. Atau jika di halaman rumah kita terdapat sebuah kolam yang cukup
dalam, namum tidak ditutupi pagar pembatas yang layak di sekelilingnya, jangan
salahkan siapa pun kalau nanti ada seorang anak yang dekat leluasa mendekat,
untuk kemudian tercebut dan tenggelam di dalamnya.
Dalam menghadapi
deret permasalahan ini, sebagaimana biasanya, kita akan segera memanfaatkan
bimbingan serta petunjuk al-Quran. Dalam hal ini, saya akan memaparkan sebagian
darinya:
a. “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka
disebabkan perbuatan tanganmu sendiri”.[10] Segenap musibah dan bencana yang
menimpa kalian lebih dikarenakan perbuatan kalian sendiri. Kalian sendirilah
yang memicu terjadinya penderitaan tersebut!
b. “... dan apabila mereka ditimpa suatu musibah
(bahaya) disebabkan kesalahan yang telah dikerjakan tangan mereka sendiri,
tiba-tiba mereka itu berputus-asa”.[11]
c. “Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu
membatasi rezekinya, maka ia berkata, ‘Tuhanku menghinakanku”.[12] Tatkala
Allah menurunkan ujian sehingga mereka terjebak dalam kesulitan dan kekurangan,
dengan segera mereka akan mengatakan, “Allah telah menghinakan diri saya”.
Padahal mereka sendirilah yang sebenarnya harus mencari asal-muasal terjadinya
penderitaan yang menyengat itu. Ayat itu kemudian melanjutkan, “Sesekali tidak (demikian), sebenarnya kamu
tidak memuliakan anak yatim dan kamu tidak mengajak memberi makan orang
miskin”.
Sesungguhnya,
Allah tidak akan menyumbat aliran rezeki seseorang. Kalaupun mereka berada
dalam kesulitan dan kesusahan, ketahuilah bahwa semua itu merupakan akibat dari
ulah mereka yang enggan menyantuni anak-anak yatim dan tidak menyerukan
masyarakat agar membantu orang-orang miskin. Sikap mereka yang tidak mau
perduli itulah yang memicu kemarahan dan kemurkaan Allah.
Ayat ini
menjelaskan bahwa penyebab munculnya perbeduan perolehan karunia Allah tak lain
dari perilaku manusia itu sendiri.
d. “... tetapi (penduduknya) mengingkari
nikmat-nikmat Allah; karena itu, Allah mengenakan mereka pakaian kelaparan dan
ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”.[13]
Pada ayat ini,
Allah menyebutkan adanya sebuah desa yang diliputi pelbagai kenikmatan. Namun,
dikarenakan mereka (penduduknya) bersikap ingkar (kufur)[14] terhadap segenap
kenikmatan itu, Allah pada akhirnya menumpahkan bencana ketakutan dan kelaparan
dalam kehidupan mereka. Dari paparan ayat tersebut, kita jelas mengetahui bahwa
penyebab timbulnya gelombang bencana itu tak lain dari kekufuran dan keengganan
mensyukuri nikmat Allah.
Berdasarkan
pembahasan (poin ketiga) di atas, kita menyadari bahwa terjadinya sebagian
besar musibah dan bencana yang menimpa lebih diakibatkan oleh tangan kita
sendiri. Segenap perbuatan manusia yang tidak pantas dilakukan, pada hakikatnya
menjadi sarana penyamhut kedatangan murka Allah dan segala macam bencana.
Sekaitan dengan
itu, muncul sejumlah keberatan. Salah satunya, dalam kehidupan ini, acapkali
kita menyaksikan adanya segelintir orang yang berbuat zalim dan aniaya. Namun,
yang sangat mengherankan, mereka justru hidup bahagia!
Kalau dikatakan
bahwa timbulnya segenap bencana yang melanda, lebih diakibatkan perbuatan
manusia sendiri, lantas mengapa si fulan yang senantiasa berbuat buruk serta
memiliki riwayat hidup yang kelam, tidak dihantam bencana dan musibah
sebagaimana yang dialami orang lain?
Dalam hal ini,
sesuai dengan pernyataan yang tercantum dalam sejumlah ayat dan riwayat,
masing-masing manusia tidaklah memiliki posisi yang sama di hadapan Allah
(dalam hal ini dilanda musibah atau bencana).
a. Ada
kelompok/golongan yang cepat mengalaminya.
b. Ada
kelompok/golongan yang diberi tenggang waktu.
c. Sedangkan
kelompok lain sekalipun seumur hidupnya senantiasa berbuat zalim namum tetap
menjalani kehidupan bahagia memang sengaja tidak diberi bencana dan musibah.
Keadaan semacam itu tetap bertahan dan ditangguhkan hingga harikiamat tiba.
Sesuai dengan konsep “Pandangan Dunia” yang kita yakini, kehidupan ini tidak
akan terlepas dari hari kiamat.
Perlakuan seorang
pengajar (guru) terhadap masing-masing muridnya tentu akan berbeda-beda.
Sebagian darinya ada yang dididik dengan cara dibentak atau dimarahai.
Sementara kepada sebagian lainnya diberi kesempatan/tenggang waktu.
Adapun terhadap
mereka yang sering bertindak keterlaluan, sang guru biasanya tidak langsung
memperlihatkan tindak apapun. Dirinya lebih memilih untuk mendiamkan seraya
menanti kesempatan untuk memberi nilai di akhir tahun ajaran nanti. Perbedaan
sikap Allah tersebut jelas merupakan suatu Kebijaksanaan. Masing-masing alasan
dan penyebab dilakukannya suatu perbuatan buruk dan keliru tentunya tidak
serupa.
Karenanya,
orang-orang yang melakukannya juga tidak akan dijatuhi hukuman yang sama.
Adakalanya dalam menghadapi sejumlah kesalahan yang dtlakukan seorang murid
teladan, seorang pendidik akan menunjukkan reaksi yang sangat berlebihan;
sebabnya, ia sama sekali tidak mengharapkan itu dilakukan sang murid teladan
tersebut. Lain hal jika itu dilakukan murid yang biasa-biasa saja atau bahkan
yang berperangai buruk, tentu ia tidak akan bersikap sekeras itu.
Dalam al-Quran,
kita dapat menyaksikan bagaimana Allah bisa sedemikian murka dan marah terhadap
para wali dan nabi hanya lantaran mereka melakukan suatu perbuatan (yang
terkadang bukan suatu dosa); pasalnya, seseorang yang mulia dan agung semacam
mereka sama sekali tidak layak melakukan perbuatan semacam itu.
Namun terhadap
orang lain, al-Quran mengatakan, “...
dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka”.[15]
Pembinasaan yang
Kami lakukan tak lain diakibatkan oleh perbuatan zalim penduduk desa
bersangkutan. Semua itu tentunya sesuai dengan ketentuan serta batas-batas yang
berlaku. Dengan kata lain, Kami tidak langsung menjatuhkan bencana dan musibah
pada saat suatu kekeliruan atau keburukan dilakukan. Dalam membinasakan dan
membalas tindakan buruk suatu kaum, Kami senantiasa bersabar dan menyediakan
kesempatan. Tentunya bersamaan dengan itu, Kami tidak henti-hentinya
melontarkan ancaman.
“Dan mereka
meminta kepadamu agar azab itu disegerakan. padahal Allah sekali-kali tidak
akan sekali-kali menyalahi janji-Nya”.[16]
Kami telah
mengemukakan kepada masyarakat tentang sejarah kebinasaan suatu kaum.
Orang-orang kafir ini mengatakan, “Lalu kenapa kita tidak diazah, sedangkan
kita rnelakukan berbagai kezaliman dan penganiayaan, namun kita telap hidup
bahagia?"
Mereka begitu
bernafsu hendak merasakan siksaan Allah. Sementara Allah sendiri memastikan
bahwa janji-Nva itu akan ditepati apabila memang sudah tiba waktunya.
Dengan demikianm
adakalanya Allah tidak langsung membalas kezaliman dan penganiyaan yang
dilakukan sebagian orang. Difirmankan,
“... maka Aku beri tangguh kepada orang-orang kafir itu, kemudian Aku
binasakan mereka itu”.[17] (Pertama-tama, Kami akan memberi kesempatan kepada orang-orang
kafir itu untuk kemudian Kami menghancurleburkannya) Allah juga menjelaskan
tentang masalah kesempatan yang diberikan kepada orang-orang kafir, “Danjanganlah sekali-kali orang-orang kafir
menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi
mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya dosa
mereka bertambah; dan bagi mereka azab yang menghinakan”.[18]
Orang-urang kafir
(yang tindakannya melampui batas) mengira bahwa penangguhan dan kesempatan
(hidup) yang Kami berikan hanya akan menguntungkan mereka. Pemberian kesempatan
tersebut tak lain ditujukan agar dosa-dosa mereka kian menumpuk dan
timbangannya menjadi semakin berat. Dengan begitu, Kami akan menyiksa mereka
dengan siksaan yang amat pedih dan menghinakan.
Setelah peristiwa
pembantaian Imam Husain hin Ali bin Abi Thalib, Yazid beranggapan bahwa dirinya
telah berhasil meraih kemenangan. Akan tetapi, sayidah Zaenab al-Kubra segera
melantunkan ayat tersebut seraya menyatakan bahwa kebebasan, kemenangan,
kebahagiaan, dan kekuasaan yang sekarang digenggam Yazid justru hanya akan
makin memperberat timbangan dosa-dosanya. Pada dasarnya, kebahagiaan yang
bersifat sementara ini merupakan sebaik-baiknya cara untuk menyiksa (Yazid atau
orang kafir ada umumnya).
Sekaitan dengan
itu, al-Quran mengatakan bahwa Allah mencurahkan kebahagiaan hidup kepada
orang-orang tertentu agar mereka benar-benar terbuai dan merasa terikat (dengan
kenikmatan itu).
Baru setelah itu,
sekonyong-konyong Kami akan menenggelamkan mereka ke dalam kobaran api
neraka. “Maka tatkala mereka melupakan
peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua
pinti-pinti kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan
apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka sekonyong-konyong,
maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”.[19]
Dikarenakan
mengabaikan peringatan dan anjuran Kami, serta secara terang-terangan tidak
menghiraukan segenap ketentuan Kami, maka Kami membukakan mereka berbagai pintu
(kenikmatan). Kami mengalirkan berbagai macam kenikmatan agar mereka
bersenang-senang dan merasa terikat dengannya.
Sesudah itu,
secara mendadak Kami akan mencabut berbagai kenikmatan hidup mereka tersebut,
sehingga jiwa mereka dicekam kebingungan, kegetiran, dan rasa putus asa. Mereka
yang mengalami nasib semacam ini tak ubahnya seseorang yang memanjat sebatang
pohon. Semakin tinggi panjatannya, semakin ia menyangka dirinya berhasil.
Namun, saat ia
terjatuh dari puncak yang paling tinggi, barulah menjadi jelas baginya bahwa
semua itu justru hanya menunjukkan tingkat siksaan yang akan diterimanya
(semakin tinggi kejatuhan seseorang, semakin nyeri penderitaan yang akan
ditanggungnya).
Alhasil, Allah
memperlakukan sebagian orang dengan perlakuan semacam itu. Adapun terhadap
seseorang yang memiliki keinginan dan harapan untukmemperbaiki diri, Allah
berfirman, “... supaya Allah merasakan
kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke
jalan yang lurus”.[20]
Kami memberikan
balasan yang pedih terhadap segenap perbuatan buruk yang telah dilakukan agar
mereka kembali (kejalan yang benar) dan memperbaiki diri. Sampai titik ini,
kiranya terjawab sudah pertanyaan di atas tentang mengapa orang yang sering
berbuat zalim tetap memiliki kehidupan yang menyenangkan dan bahagia, sementara
sebagian lain yang begitu melakukan kesalahan, langsung mendapat balasannya.
Dalam hal ini,
kita harus senantiasa memanfaatkan sebaik-baiknya, sekaligus juga mengukir
dalam-dalam di benak dan sanubari kita, peringatan bahaya yang terkandung dalam
pelbagai riwayat; yakni apabila kita terus-menerus berbuat dosa, sementara
dalam kehidupan ini kita tidak menjumpai dan merasakan adanya kemurkaan dan
kegusaran Allah, semestinya kita benar-benar merasa takut dan khawatir
terhadapnya.
Sebab, besar kemungkinan
kita sudah tidak lagi diberi peringatan oleh Allah, sehingga menjadikan siksa
neraka menjadi satu-satunya jalan untuk menebus dosa-dosa tersebut. Keadaan
semacam itu bisa kita sejajarkan dengan keadaan seorang pasien yang dibiarkan
dokternya untuk berbuat apa saja.
Dokter itu tidak
akan memberikan anjuran atau perintah apapun kepadanya dengan mengatakan,
"Biarkan saja ia memakan makanan apapun yang diinginkannya." Allah,
layaknya seseorang yang sedang muak, akan membiarkan sebagian orang untuk berbuat
dosa sebanyak mungkin, “... perbuatlah
apa yang kamu kehendaki...”.[21] Lakukanlah perbuatan apapun yang kalian
inginkan. Para nabi yang merasa tidak mendapat tanggapan lagi dari kaumnya akan
mengatakan, “Dan (dia berkata), “Hai
kaumku, beruatlah menurut kemampuanmu”.[22]
Wahai orang-orang
yang senantiasa berbuat kebatilan, lakukanlan apa yang kalian kehendaki! Kita
juga seringkali membaca dalam berbagai doa,
“Wahai Tuhanku, janganlah Engkau serahkan diri kami pada diri kami
sendiri”. “Wahai Tuhanku, janganlah
Engkau membiarkan kami sendiri”.
Singkat kata,
amarah dan murka Allah kadangkala mengalir diam-diam bersama kebahagiaan dan
kesenangan (duniawi), sehingga luput dari pandangan orang-orang yang berbuat
zalim. Akibatnya, mereka menjadi lupa terhadap siksa hari kiamat yang tengah
menanti.
4. Problema bencana dalam sudut pandang al-Quran
Ternyata, ada
juga manusia yang tidak melakukan dosa dan kesalahan namun mengalami berbagai
musibah dan bencana. Lalu, bagaimana pendapat al-Quran berkenaan dengan
persoalan yang seolah-olah bertolak belakang dengan keadilan Ilahi semacam itu?
Dalam al-Quran,
terdapat banyak pembahasan yang berkenaan dengan ujian Ilahi. Dikatakan bahwa
salah satu kemestian dan sunnah Ilahi yang mantap, pasti, dan berlaku terhadap
diri manusia adalah pengujicobaan (Tuhan kepada manusia) melalui sederetan
bencana dan musibah.
Pendek kata,
pelbagai musibah dan bencana tak lain dari cara atau sarana untuk menguji
keimanan manusia. Allah berfirman, “Dan
sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar”.[23]
Kami menguji
kalian dengan rasa takut, kelaparan, paceklik, berkurangnya harta, nyawa,
buah-buahan, serta segenap sumber penghasilan. Namun, Kami juga menyampaikan
kabar gembira bagi mereka yang senantiasa tegar dan sabar dalam menghadapi
himpitan situasi serta kondisi semacam itu.
Sekarang, kita
akan menelaah sejumlah persoalan yang berkaitan dengannya.
a. Apakah dengan
memberikan ujian berupa bencana dan musibah berarti Allah tidak mengetahui
kepribadian serta perilaku seseorang secara hakiki?
Tidak diragukan
lagi bahwa pengujian yang dilakukan-Nya bukan dimaksudkan untuk mengetahui
keadaan jiwa dan reaksi manusia. Dia justru mengetahui secara hakiki segenap
pemikiran dan perbuatan manusia. Dia mengetahui apa yang dipikirkan dan apa
yang hendak diperbuat seseorang.
Pengujian
tersebut semata-mata dimaksudkan agar manusia melakukan perbuatan tertentu
sehingga menjadikannya layak diganjar pahala atau siksa. Dengan kata lain,
Allah tidak akan mengganjar seseorang dengan pahala atau siksa apabila orang
lersehul belum melakukan suatu perbuatan apapun. Sekalipun dalam hal ini, Dia
mengetahui kebaikan dan keburukan seluruh umat manusia.[24]
b. Sarana macam
apa saja yang digunakan dalam proses pengujian?
Berkenaan dengan
soal kedua, saya telah mengungkapkan sebelumnya bahwa seluruh musibah dan
penderitaan yang menimpa tak lain dimaksudkan sebagai sarana ujian bagi
manusia.
Al-Quran
mengatakan, “... Kami menguji kalian
dengan keburukan dan kebaikan...”.[25] Harta dan jiwa juga bisa menjadi sarana
ujian, “Kamu sungguh-sungguh akan diuji
terhadap harta dan dirimu”.[26] Yang terang, kita pasti bakal diuji dengan
perantaraan harta dan jiwa kita.
c. Bagaimana
reaksi masyarakat terhadap kejadian pahit yang dialaminya?
Salah seorang
sahabat pernah mengatakan bahwa dalam menghadapi pelbagai kejadian, keberadaan
manusia terbagi ke dalam empat kelompok:
Kelompo pertama
terdiri dari orang-orang yang kontan menjerit seraya mempertanyakan keadilan
Allah, mencaci-maki kebijakan dan anugerah-Nya (serta sistem yang berlaku di
jagat alam ini), tatkala menghadapi suatu peristiwa getir dan tidak
menyenangkan.
Sekaitan dengan
sikap semacam itu, al-Quran menyatakan,
“Apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh-kesah”.[27] Ya, begitu didera
kesulitan dan musibah yang berkecamuk, mereka langsung galau, berteriak, dan
berkeluh kesah.
Sementara
kelompok kedua, memiliki ketegaran jiwa dan sanggup bertahan dalam badai
kesulitan yang menerpa kencang. Mereka senantiasa berucap dalam hati, “Inna lillahi wa inna ilahi raji’un”
(sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nyalah kami akan
kembali). "[28]
Sedangkan kelompok
yang ebih tinggi kualitasnya dari kelompok kedua. Sebabnya, dalam menghadapi
sederet penderitaan dan musibah, mereka tidak hanya bersabar dan menahan diri,
namun juga bersyukur kepada Ilahi. Dalam doa Asyura', kita membaca kalimat
sebagai berikut, “Ya Allah, bagi-Mu
segala puja-puji orang-orang yang bersyukur kepada-Mu atas musibah yang menimpa
diri mereka...”.[29]
Ya Allah, rasa
syukur yang kami panjaekan kepada-Mu sama dengan rasa syukur para pengikut Imam
Husain tatkala didera musibah. Alhasil, orang-orang yang menghadapi rangkaian
kesulitan demi menggapai citanya menegakkan ajaran Allah dan menjemput
kesyahidan di jalan-Nya, kemudian berhasil, dengan serta merta akan bersyukur
kepada Allah.
Adapun kelompok
terakhir atau yang keempat, yang boleh jadi memiliki kualitas lebih tinggi dari
tiga kelompok sebelumnya terdiri dari orang-orang yang tidak hanya selalu
berprasangka baik pada keadilan dan anugerah Allah, dan juga bukan hanya
bersabar dan bersyukur atas musibah yang dialaminya. Lebih dari itu, mereka
malah dengan senang hati akan berlari dan menceburkan diri ke dalam telaga
penderitaan dan musibah.
Dalam al-Quran,
disebutkan tentang sejumlah sahabat yang menemui Nabi saww guna meminta bantuan
serta perlengkapan perang. Nabi saww kemudian bersabda, “Saya tidak memiliki perlengkapan perang
(kuda dan pedang) yang dapat diberikan kepada kalian”.
Akhirnya, mereka
semua pun pulang dengan hati masygul dan tangisan seraya bergumam, “Kenapa kita tidak dapat ikut menyusul dan
bergabung bersama pasukan Islam lainnya demi mengorbankan jiwa dan raga di
jalan Islam?”[30]
Dengan begitu,
terdapat bentuk penyikapan yang beraneka ragam dari masing-masing individu atau
masyarakat dalam menghadapi rentetan kesulitan. Apabila Anda memberikan sebutir
bawang merah kepada seorang anak kecil, yang kemudian menggigitnya, apa yang
akan terjadi?
Tentu seketika
itu pula si anak tersebut akan berteriak, menjerit, meneteskan air mata
(lantaran merasa pedas), dan langsung mencampakkan bawang tersebut. Sebaliknya,
seseorang yang sudah dewasa justru amat menggemari dan bahkan membeli bawang
merah pedas tersebut setiap hari.
Demikianlah
ilustrasi yang mengena tentang pelbagai kesulitan dan musibah yang mungkin
terjadi dalam kehidupan ini; sebagian orang berusaha berlari dan menjauh
darinya; sebagian lainnya justru mendatangi dan menyambutnya.
d. Bagaimana cara
memperoleh kemenangan dalam menghadapi pelbagai kesulitan?
Kita telah
meyakini bahwa Allah Mahaadil. Adapun rentetan bencana dan musibah yang
mengguncang, akan dipahami sebagai lahan uji-coba bagi manusia agar segenap
potensi yang bersemayam dalam dirinya bertumbuh dan berkembang.
Lantas, apakah
yang mesti kita lakukan dalam menghadapi rangkaian musibah dan ujian tersebut
sehingga pada akhirnya kita berhasil keluar sebagai pemenang?
Untuk memecahkan
problem itu, seperti biasa, saya akan berpedoman kepada al-Quran. Sebagaimana
diperlihatkan al-Quran, syarat-syarat yang harus dipenuhi agar kita sanggup
menggapai keberhasilan dalam menghadapi serangkaian penderitaan, pertama,
memiliki "Pandangan Dunia Ilahiah". Seraya memuji orang-orang
yang bersabar, al-Quran mengungkapkan bahwa semua itu dikarenakan mereka
memiliki Pandangan Dunia Ilahiah.
Tatkala diterkam
musibah, pada satu sisi mereka akan mengatakan, "Kita adalah untuk Allah,
kita tidak dapat berdiri sendiri dan tidak memiliki tuntutan apapun kepada-Nya.
Kehadiran dan keberadaan kita, serta seluruh kenikmatan yang terhampar ini
semata-mata berasal dari-Nya. Kita tak lain hanyalah pemegang amanat."
Sementara pada sisi
yang lain, mereka juga akan mengatakan, "Dunia hanyalah tempat lintasan
belaka, bukan tempat yang kekal dan abadi yang menjadikan kita mengatakan,
'Mengapa kita harus meninggalkan (kehidupan) dunia ini?’
Berkat kematian,
kita akan pergi menuju kepada-Nya, dan kita sama sekali tidak akan musnah.
Sekarang kita ada dan setelah mati pun akan tetap ada. Semua itu tak ada
bedanya; tempat kehidupan memang berbeda, namun diri kita tidak akan
musnah."
Pandangan Dunia
semacam inilah yang mengalirkan energi yang luar biasa besar ke dalam diri
manusia sehingga menjadikannya begitu tegar dalam menghadapi pelbagai derita
dan musibah.
Pandangan Dunia
yang menitis dalam kesadaran mereka tak lain dari, “Inna lillahi wa inna ilahi raji’un”.[31]
Syarat kedua
adalah mengetahui rangkaian sunah Ilahiah. Dalam sejumlah ayatnya, al-Quran
mengatakan bahwa manusia tidak akan mungkin bisa memasuki surga tanpa diiringi
usaha dan kesusahpayahan.
Kita, sebagaimana
umat-umat sebelumnya, harus terlebih dahulu mengarungi telaga kesulitan dan
penderitaan. “Apakah kamu mengira bahwa
kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana
halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan
kesengsaraan, serta diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga
berkatalah Rasul dan orang-orang beriman yang bersamanya, “Bilakah datangnya
pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat
dekat”.[32]
Apakah kalian
mengira bakal masuk surga tanpa terlebih dulu menghadapi rentetan kejadian
pahit sebagaimana yang menimpa umat-umat terdahulu? Orang-orang mukmin sebelum
kalian telah ditimpakan pelbagai kesulitan sampai-sampai jiwa mereka terguncang
dan bertanya-tanya kepada Rasul saww serta para pengikut setia beliau,
"Manakah pertolongan Allah?" Namun, ketahuilah, pertolongan Allah
akan dihembuskan dalam waktu dekat.
Pada dasarnya,
ayat ini hendak menyatakan bahwa sepanjang sejarah, orang-orang mukmin tidak
pernah luput dari pelbagai rintangan hidup yang sangat menyulitkan dan menyusahkan.
Dan, sekarang, giliran kalian yang harus menghadapinya!
Peristiwa getir
yang kalian hadapi itu bukanlah yang pertama kali terjadi. Selain itu, kalian
juga bukanlah orang pertama yang menghadapinya. Semua itu merupakan tatanan dan
lintasan sejarah yang mesti kalian lampaui. Al-Quran berulang-kali mengatakan
kepada Rasul saww untuk senantiasa memperhatikan sejarah kehidupan pribadi si
fulan atau kelompok fulan, agar tidak sampai muncul dugaan kalau-kalau kejadian
pahit tersebut hanya menimpa dirinya.[33]
Ketika memperoleh
pemahaman yang penuh tentang munculnya kesulitan serta derita hidup yang pada
dasarnya bersumber semata-mata dari ketentuan dan sunnah Ilahiah yang berlaku
umum dan menjangkau setiap individu manusia, tentu seseorang akan lebih siap menghadapi
kesulitan dan penderitaan.
Sebagai contoh,
seseorang yang melaksanakan ibadah puasa. Tentunya ibadah puasa di bulan
Ramadhan akan lebih mudah ditunaikan seseorang mengingat pada saat bersamaan
hamplr semua orang (Muslim) juga berpuasa. Lain hal jika ibadah puasa
dijalankan di luar bulan Ramadhan. Jelas, tingkat kesulitannya akan jauh lebih
tinggi.
Dalam
memerintahkan pelaksanaan ibadah puasa, al-Quran menyatakan, wahai orang-orang
beriman, janganlah kalian mengira bahwa keharusan (berpuasa) ini hanya khusus
untuk kalian saja. Seluruh umat yang terdahulu juga menjalankan ibadah
puasa, “... sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu”. (al-Baqarah: 183)
Pengetahuan
tentang sejarah masa lalu, sebagaimana juga pengetahuan tentang masa depan,
sangat berpengaruh terhadap kesabaran dan ketcgaran hati manusia.
Nabi Hidhr as
pernah berkata kepada Nabi Musa as, bahwa dikarenakan tidak mengetahui rahasia
perbuatannya (Nabi Hidhr), maka Nabi Musa tidak mampu menahan diri. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu,
yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang itu”.[34]
Suatu hal yang
dapat memupuk kesabaran diri seseorang adalah mengenal orang-orang yang sabar
sekaligus mengetahui pelbagai bentuk kesabaran. Pengetahuan tentang sejarah
para pendahulu merupakan kunci keberhasilan kita dalam menghadapi dan memahami
segenap peristiwa. Dalam pelbagai ayatnya, al-Quran acapkali mencantumkan
contoh serta teladan berbagai individu atau umat yang sabar serta tegar dalam
mengarungi samudera kehidupan.Tatkala menghadapi para penentangnya yang cukup
keras, para nabi Allah selalu menyatakan,
“... dan kami sungguh-sungguh akan bersabar atas gangguan-gangguan yang
kamu lakukan kepada kami”.[35]
Kami akan tetap
bertahan dalam menghadapi berbagai bentuk gangguan yang kalian lancarkan
terhadap diri kami. Para penyihir yang datang memenuhi undangan Fir'aun demi
mengalahkan Nabi Musa as, begitu menyaksikan kebenaran Nabi Musa as, langsung
menyatakan beriman kepadanya.
Sedangkan dalam
menghadapi ancaman Fir’aun, mereka mengatakan,
“... maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu
hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja”.[36]
Lakukanlah apa
yang engkau kehendaki terhadap kami. Toh, kami telah menemukan kebenaran dan
tidak akan mungkin melepaskannya.
Sementara syarat
yang efea adalah memiliki kesadaran bahwasannya Allah pasti mendengar segenap
ucapan, melihat setiap perbuatan, dan meringankan kesulitan yang dihadapi
manusia.
Dalam salah satu
firman-Nya, Allah memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun untuk menemui Fir'aun,
seraya menyampaikan ajaran-ajaran kebenaran. Allah juga menegaskan bahwa
diri-Nya senantiasa bersama dan mendengar pembicaraan mereka berdua, “... sesungguhnya Aku beserta kamu berdua,
Aku mendengar dan melihat”.[37]
Allah Juga telah
memerintahkan Nabi Nuh as untuk membuat sebuah bahtera, Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan
petunjuk wahyu Kami”.[38]
Pada saat Nabi
Nuh as mulai membuat bahtera tersebut, setiap orang kafir yang melintas di
dekatnya langsung mengolok-olok dan mencemooh dirinya, seraya mengatakan, “Tampaknya dengan menjadi nabi engkau tidak
memperoleh hasil, sehingga pada akhirnya engkau menjadi tukang kayu!”
Dalam keadaan
demikian, yang menjadikan hati Nabi Nuh as diliputi kesabaran dan daya tahan
yang luar biasa tak lain dari firman Allah yang menyebutkan, “Aku senantiasa melihatmu” dan “engkau selalu dalam pengawasan-Ku”. Kekuatan
iman semacam inilah yang sanggup menghidupkan tekad manusia untuk bersabar dan
bertahan.
Syarat Keempat,
yang berkenaan dengan kesanggupan untuk menghidupkan semangat kesabaran dalam
diri manusia adalah memiliki perhatian terhadap ganjaran pahala dan kebaikan.
Seseorang yang bersedia menanggung beban penderitaan di kehidupan dunia ini
akan memperoleh kucuran pahala yang cukup besar di kehidupan akhirat kelak.
Al-Quran banyak menyajikan contoh-contoh menarik yang berkenaan dengan hal itu.
Adapun syarat
kelima adalah senantiasa meminta pertolongan kepada Allah melalui shalat, doa,
dan kesabaran, “Dan mintalah pertolongan
(kepada Allah) dengan sabar dan shalat...”.[39]
Kesimpulannya,
Allah memang Mahaadil. Segenap musibah dan derita yang melanda kita tak lebih
dari rangkaian ujian Ilahi. Dalam menghadapi pelbagai ujian tersebut,
keberadaan masyarakat terbagi ke dalam empat golongan. Selain itu, telah
dijelaskan pula sejumlah cara jitu untuk menggapai keberhasilan dalam
mengarungi samudera ujian dan cobaan hidup.
Masalah
KelimaBerbagai kebimbangan yang muncul dalam benak sekaitan dengan keadilan
Ilahi, pada dasarnya bersumber dari proses pemahaman yang menyimpang dan
penarikan kesimpulan yang keliru. Akibatnya, sering tanpa disadari, seseorang
akan melontarkan keberatan serta kritikan (yang menggelikan) kepada Allah.
Sebagai contoh, jika dianggap bahwa kematian itu tak lebih dari kemusnahan,
tentu kita akan melancarkan sanggahan bernada sinis, "Wahai Tuhan, mengapa
si fulan mati?"
Juga pada saat
kita menyangka bahwa keberadaan dunia ini merupakan tempat tinggal yang
bersifat abadi, tentunya kita dengan lirih akan mengeluh, "Mengapa mereka
mesti tewas mengenaskan diterjang gempa bumi, banjir, dan penyakit...?"
Kita sering
menduga kalau dunia ini merupakan sebuah tempat yang menyenangkan dan
membahagiakan sampai-sampai kita mempertanyakan, "Mengapa mesti terjadi
malapetaka?" Sikap semacam itu menjadikan kita tak ubahnya seseorang yang
memasuki ruang diskusi, lalu melontarkan pernyataan sinis, "Mana air
tehnya? Mengapa mereka tidak mengantarkan makanan? Kenapa tidak ada tempat
tidur?" Dan seterusnya.
Segenap kritikan
tersebut dihasilkan dari bentuk pemikiran yang keliru dan menyimpang. la
mengira tempat tersebut merupakan tempat untuk menerima tamu! Apabila kita
berusaha menyadarkannya dengan mengatakan bahwa tempat tersebut bukanlah tempat
penerimaan tamu, tentu ia akan segera menyesali semua lontaran kritiknya dan
langsung meminta maaf. Belajar dari kejadian itu, kita sudah sepantasnya
mengenali seluk-beluk keberadaan dunia ini, sekaligus mencari tahu tentang
tujuan penciptaannya.
Dengan itu, niscaya
kita tidak akan sampai melontarkan kritikan atau sanggahan yang tidak masuk
akal dan tidak pada tempatnya (terhadap segenap peristiwa yang terjadi di
dalamnya). Kita harus sepenuhnya yakin bahwa dunia ini bukanlah tempat untuk
menetap. Dunia ini tak lain hanyalah terminal lintasan saja. Dengan memiliki
keyakinan semacam itu, mustahil pelbagai sanggahan dan kritikan (umpama, kalau
Allah memang Mahaadil, lantas mengapa banyak orang yang mati diterjang banjir,
gempa bumi, dan penyakit?) bakal muncul dalam benak.
Kita akan sadar
bahwa kedatangan kita di dunia ini hanya bersifat sementara; hanya untuk
melintas dan singgah barang sebentar saja. Untuk kemudian, kita harus keluar
dari kehidupan dunia ini melalui pintu yang mana saja; banjir, gempa bumi, dan
lain-lain. Sebagai contoh, seorang penjual gelas yang meletakkan gelas-gelas
dagangannya di meja pajangan secara terbalik. Tiba-tiba, datanglah seseorang
yang hendak membeli gelas tersebut. Dengan penuh rasa heran, orang tersebut
memandangi deretan gelas tersebut.
Kemudian, ketika
tangannya menyentuh bibir bagian atas dari gelas tersebut, segera saja ia
melontarkan kritikan, "Mengapa mulut gelas ini tertutup?" Setelah
itu, ia pun mengangkat gelas yang sedang dalam keadaan terbalik itu seraya
mengatakan, "Gelas ini juga tidak ada alasnya (dasar gelas tersebut
berlubang)! "Penjual gelas itu tentu saja tersenyum.
Seraya mengambil
gelas itu dari tangan orang tersebut, dan membaliknya, ia pun berkata,
"Gelas ini memiliki mulut dan juga alas." Keadaan ini persis sama
dengan yang dialami seseorang yang mengenakan kacamata merah, yang akan mengira
sayur lobak sebagai wortel!
Kebanyakan
lontaran kritik yang kita bidikkan ke arah sistem penciptaan alam ini bersumber
dari cara pandang dan pola pikir yang serba menyimpang.
Singkat kata,
kritikan serta sanggahan yang kita kemukakan pada hakikatnya berasal dari
kesalahan tafsir terhadap keberadaan manusia, kehidupan yang melingkupinya,
serta tujuan penciptaannya. Dengan mengira bahwa keberadaan dunia merupakan
tempat peristirahatan, kita menyatakan, "Mengapa mesti terjadi berbagai
kesulitan?"
Pada hakikatnya,
keberadaan dunia ini tak lain sebagai lahan untuk bertumbuh dan berkembang;
ladang tempat bercocok tanam.
Dalam hal
inijelas bahwa dengan menycbutnya sebagai sarana untuk berkembang, sekaligus
lahan bercocok tanam, mengandaikan adanya keharusan untuk bekerja keras,
mencucurkan keringat, dan berletih-letih.
Fungsi Perbedaan
dalam Pembentukan MasyarakatPemahaman dan penerimaan terhadap kenyataan hidup
akan menyadarkan kita tentang betapa perbedaan yang terjadi memiliki peran
menentukan bagi kehidupan manusia.
Pertama, manusia
adalah makhluk yang cenderung hidup bermasyarakat. Manusia bukanlah tetumbuhan
liar yang hidup subur dengan sendirinya atau menjadi kering dan mati.[40]
Kedua, dalam
menjaga kelangsungan hidupnya secara sosial, seseorang tidak menjumpai cara
lain kecuali saling bekerja sama. Terjadinya kerja sama tersebut dikarenakan
adanya sejumlah perbedaan yang dimiliki masing-masing individu, baik dari segi
kemampuan dan maupun keahlian dalam menggarap bidang tertentu.
Perbedaan dalam
kekuatan, kemampuan. selera, perasaan, dan semangat di antara individu-individu
menyebabkan munculnya rasa saling membutuhkan antara satu sama lain.
Rasa saling
membutuhkan antar individu inilah yang pada gilirannya melahirkan entitas
masyarakat. Dengannya, kebutuhan seorang individu akan bisa dipenuhi oleh
individu lainnya.
Oleh karena itu,
berbagai perbedaan yang ada akan memunculkan rasa saling memerlukan, dan rasa
saling memerlukan itulah yang menyebabkan terbentuknya sebuah masyarakat. Untuk
selanjutnya, perkembangan serta kemajuan individu berada di bawah naungan
masyarakat.
Bencana dan
Pembenahan DiriAl-Quran mengatakan bahwa bencana, malapetaka. atau musibah
merupakan sinyal bahaya bagi manusia. Kehidupan yang sifatnya monoton tentu
akan terasa membosankan. Sebagian orang mengatakan, "Jika jalan raya itu
halus dan lurus, niscaya para pengemudi kendaraan akan cepat mengantuk."
Dalam sebuah
riwayat darijalur Ahlul Bait, disebutkan bahwa Allah akan menurunkan bencana
dan cobaan kepada para hamba yang dekat dengan diri-Nya. Dari Abu Abdillah,
Ja'far as-Shadiq, “Sesungguhnya
orang-orang yang paling berat adalah para nabi, kemudian mereka yang
mengikutinya, kemudian orang-orang yang seperti mereka”.[41]
Bencana terberat
hanya akan menimpa para nabi. Demikian pula halnya dengan para pencinta nabi
yang sangat konsisten dalam menjalankan ajaran-ajarannya.
Mereka juga akan
ditimpa bencana dan cobaan yang terbilang berat. Pengaruh pelbagai bencana
terhadap pembenahan pribadi bukan hanya terjadi pada saat seseorang tengah
tertimpa bencana tersebut. Melainkan juga hanya dengan mengingat terjadinya
bencana yang telah lewat.
Dalam al-Quran
dikatakan, “Bukankah Dia mendapatimu
sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai orang
yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk”.[42]
Tidakkah ketika
engkau sedang dalam keadaan yatim, Dia memberimu perlindungan. Ingatkah tatkala
engkau tengah berada dalam kekurangan, lantas Dia mencukupimu. Sekarang,
setelah menduduki tampuk kepemimpinan, janganlah engkau mengabaikan anak-anak
yatim dan bersikap kasar terhadap orang-orang miskin.
Dalam pada itu,
Allah tak henti-hentinya menegaskan bahwa ingatan terhadap pelbagai peristiwa
yang terjad; di masa silain akan memberikan pengaruh cukup besar terhadap
perkembangan serta pembenahan pribadi manusia.
Dengan tegas
pula, al-Quran menyatakan bahwa berbagai kesulitan hidup yang terjadi tak lain
dimaksudkan untuk membersihkan kotoran yang menempel dalam hati, sekaligus
untuk menjadikan manusia merendahkan dirinya.
“Dan sesungguhnya
Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian
Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya
mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri”.[43]
Sesungguhnya Kami
telah mengutus para nabi kepada umat-umat yang hidup di masa lalu. Kami
mengujinya dengan pelbagai kekurangan dan kesulitan hidup supaya mereka
merendahkan diri. Pada ayat lain (al-A'raf: 94) yang isinya hampir sama dengan
ayat di atas, disebutkan bahwa salah satu manfaat dari bencana adalah
menjadikan seseorang senantiasa mengarahkan perhatian dan ingatannya kepada
Allah. Dan dalam sebuah hadis dikatakan,
“Jika bukan dikarenakan tiga perkara, maka kepala anak Adam ini tidak
mungkin menunduk; kefakiran, kematian, dan penyakit”.[44]
Kalau bukan
lantaran kerniskinan, kematian, dan penyakit, niscaya tidak akan ada yang
sanggup menjadikan kepala manusia (yang senantiasa mendongak lantaran
kesombongan diri) menunduk.
Sesungguhnya
kesenangan dan serba kecukupan akan menyebabkan seseorang menjadi malas dan
kehilangan semangat. Imam Ali bin Abi Thalib pernah menyatakan bahwa pepohonan
yang bertumbuh dan berkembang di padang pasir nan gersang memiliki batang yang
teramat kokoh.[45]
Boleh jadi,
maksud Imam Hasan al-Askari dalam pernyataannya, “Dalam berbagai malapetaka (bala’) terdapat
berbagai kebaikan”,[46] adalah bahwa di satu sisi, malapetaka dan bencana
tersebut akan memicu terbentuknya jalinan hubungan antara kita dan Allah,
sementara pada sisi yang lain, akan mendorong diri kita untuk berpikir,
berusaha, dan bekerja keras.
Karena itu,
tekanan yang dirasakan pada saat terjadinya berbagai malapetaka justru akan
semakin mengokohkan jiwa. Misalnya, untuk menjamu seorang tamu, sang tuan rumah
tentu akan berusaha keras menyiapkan hidangan yang baik.
Dan usaha
kerasnya itu. pada gilirannya akan menjadikan jiwa dan kedermawanannya semakin
tumbuh berkembang dan menyempuma. Inilah yang saya maksud dengan manfaat dari
terjadinya malapetaka bagi pembenahan dan pertumbuhan pribadi seseorang.
Salah satu hadis
menyebutkan, “Bagi seorang yang zalim,
malapetaka adalah wahana pendidikan; sementara bagi orang Mukmin adalah lahan
pengujian; bagi para wali Allah adalah derajat”.[47]
Bagi orang-orang
kafir, pelbagai kesulitan yang mendera tak lebih sebagai peringatan atau tanda
bahaya; bagi orang-orang mukmin sebagai lahan pengujicobaan; sedangkan bagi
hamba-hamba yang suci dan para wali Allah sebagai suatu sarana guna
meningkatkan derajat atau kedudukannya (di hadapan Allah).
Sebagai contoh,
apa yang terjadi dalam bidang ketentaraan. Terdapat tiga hal yang menyebabkan
seorang prajurit dibebani tugas dan pekerjaan berat.
Pertama, ada
kalanya pembebanan tugas berat tersebut terjadi lantaran si prajurit telah
melakukan suatu kesalahan. Pembebanan ini merupakan bentuk dari "bagi
orang yang zalim, malapetaka berfungsi sebagai sarana pendidikan".
Pada saat yang
lain, boleh jadi pembebanan tugas berat itu dimaksudkan untuk mengembangkan
keahlian serta potensi sang prajurit ("bagi orang-orang mukmin sebagai
lahan pengujian").
Namun, tak jarang
pula, pembebanan tugas mahaberat tersebut dilakukan demi meningkatkan atau
mendongkrak pangkat si prajurit. Kalau tugas berat yang diemban itu berhasil
ditunaikan, tentu pangkatnya secara otomatis akan naik. Kurang lebih,
demikianlah maksud yang terkandung dalam hadis di atas.
Karenanya,
segenap Pemberian dan anugerah Ilahi tidak dengan sendirinya menunjukkan
kemulian, keagungan, atau kebaikan seseorang. Sebab, boleh jadi orang yang
paling suci dan mulia justru senantiasa ditanda pelbagai kesulitan hidup yang
kian hari kian memberat. Namun, dalam proses menghadapi kesulitan-kesulitan
tersebut, keimanan dirinya akan kian mantap dan menyempuma. Sebatang kayu
gaharu tidak akan mengeluarkan bau yang harum sebelum dibakar.
Dengan demikian,
aneka ragam kejadian yang menimpa seluruh makhluk di jagat alam ini semata-mata
merupakan sarana untuk menggapai kesempumaan masing-masing. Sebelum dilebur,
sebatang logam tidak mungkin bisa dimurnikan. Sebelum dibajak, sebidang tanah
belum siap ditanami.
Sebelum dikunyah
gigi-gigi kambing, seikat rumput mustahil menjadi segumpal daging. Sebelum
dimasak di atas tungku perapian, seonggok daging kambing belum dapat
dikonsumsi, yang karenanya tidak akan berubah menjadi sel-sel dalam tubuh
manusia.
Berdasarkan itu,
apabila dalam kehidupan di dunia ini tidak terjadi benturan dan rentetan
malapetaka yang pada gilirannya akan meluluhkan jiwa, niscaya manusia tidak
akan mampu berkembang dan menggapai kesempumaan diri.
Nilai kemanusiaan
seseorang tidak hanya diukur dengan makan dan tidur. Sebabnya, seluruh binatang
juga melakukan hal yang sama. Nilai kemanusiaan nampak dari sejumlah sifat dan
kesempumaan diri seperti menghadap kepada Allah, rasa persahabatan, rela
berkorban (altruisme) dan kedermawanan. Tidak diragukan lagi, jalan yang harus
ditempuh dalam upaya mengembangkan berbagai sifat tersebut tidak ada lain
kecuali dengan berjuang melawan berbagai kesulitan hidup.
Peran Kesulitan
dan Bencana Terhadap Hasil Temuan ManusiaSedikit sekali hasil temuan manusia
yang tidak diiringi perjuangan serta tuntutan kebutuhan hidup. Tanpa disertai
kesulitan dan penderitaan, niscaya ilmu pengobatan tidak akan pernah ditemukan.
Adanya cuaca panas dan cuaca dingin telah meniscayakan terciptanya alat-alat
pendirigin dan pemanas ruangan. Kemajuan berbagai ilmu pengetahuan, seperti
dalam bidang kedoteran, teknik, kemiliteran, serta perindustrian, lebih disebabkan
adanya dorongan kebutuhan serta perjuangan melawan kesulitan-kesulitan. Semua
itu telah menjadi fakta yang sangat gamblang dan sulit dibantah sehingga tidak
lagi memerlukan argumen dan penjelasan lebih lanjut.
6. Nilai positif dan Negatif. Dalam menghukumi atau menetapkan pemahaman
tentang sesuatu, seseorang tidak boleh memandang hanya pada sisi negatifnya
saja. Salah seorang cendekiawan pernah mengatakan bahwa kendati jeruk nipis
dalam genggaman tangan Anda rasanya sangat masam jangan kemudian dibuang dan
dicampakkan. Namun, jadikanlah jeruk nipis masam itu segelas minuman yang
segar. Inilah kenyataan yang patut diperhatikan, bahwa terhadap segenap
keberadaan di semesti alam ini, seseorang harus mengambil sisi positifnya.
Kita tentu tahu
bagaimana kisah sejarah tentang Nabi Yusuf as. Beliau dilemparkan
saudara-saudaranya sendiri ke dalam sumur. Tak lama berselang, datanglah
sekelompok kafilah yang mengeluarkannya dari dasar sumur tersebut. Kemudian,
oleh para kafilah itu, beliau dijadikan budak yang dijual dengan harga tinggi.
Saat berada di
Mesir, Nabi Yusuf as menghadapi tuduhan keji yang menjebloskan diri beliau ke
penjara. Setelah semua itu berlalu, beliau pun menjadi raja Mesir dan kemudian
berjumpa kembali dengan Ayahnya. Setelah berjumpa, ayahnya bertanya, “Apa yang telah diperbuat saudaramu atas
dirimu?” Nabi Yusuf menjawab, “Janganlah
ayak mempertanyakan apa yang dipertanyakan oleh saudara-saudaraku. Tanyakanlah
mengenai kemurahan Allah, serta bagaimana Dia menjaga dan melindungiku saat aku
menghadapi persekongkolan, perbudakan, tuduhan keji, dan penjeblosan ke dalam
penjara”.
Inilah contoh
yang pas tentang sesuatu yang bersifat rasional; perhatian beliau terhadap
rangkaian tragedi yang menimpanya tidak hanya diarahkan pada sisi negatifnya
saja, melainkan lebih pada sisi positifnya. Berkenaan dengan itu, ada bagusnya
jika kita senantiasa mengingat hadis dari Imam Hasan al-Askari, “Tidak ada satupun musibah melainkan di
dalamnya Allah meletakkan suatu kenikmatan”.[48]
Tak ada satupun
bencana melainkan bersamanya Allah meletakkan kebaikan yang bobotnya lebih
besar dari bencana itu sendiri. Sanggahan serta kritikan seseorang terhadap
keadilan Ilahi pada dasarnya muncul lantaran dirinya yang begitu picik hanya
memandang persoalan tersebut dari satu sudut atau satu aspek saja. Di sini saya
akan menguntip pernyataan salah seorang ilmuwan:
"Matahari
memancarkan sinarnya dan air laut pun menguap. Uap air laut tersebut membubung
ke angkasa dan menjadi gumpalan awan. Kemudian, dari gumpalan awan itu
terjadilah hujan.
Gravitasi (gaya
tarik) bumi menarik air hujan itu ke arah permukaan bumi. Tetesan-tetesan air
hujan yang jatuh tersebut saling bertemu dan bergabung, untuk kemudian menjadi
satu genangan air; darinya jadilah sungai. Kemudian berkat aliran sungai itu,
manusia bisa membangun bendungan air, dan menjadikannya pembangkit listrik
tenaga air. Pada tahap selanjutnya, pembangkit tersebut dijadikan sarana
pengembangan pertanian.”
Sekarang, kalau
ada seseorang yang disebabkan kelalaian dan kebodohannya, tersengat listrik dan
tewas di tempat (atau usaha perluasan lahan pertanian mengakibatkan rusaknya
sarang semut), apakah kalian akan memberi hak kepada orang (atau semut)
tersebut untuk mengajukan keberatan atau kritikan?
Apakah kalian
tidak terkejut apabila ada seseorang yang memaki Thomas Edison, padahal dialah
penemu listrik yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat? Apakah semua
berhak berteriak, "Terkutuklah matahari, laut, hujan, manusia, dan
pertanian, yang telah merusak rumah serta kehidupanku!"
Bukankah
munculnya keberatan-keberatan semacam ini didorong oleh egoisme atau keinginan
untuk mementingkan diri sendiri? Tidakkah gugatan dan kutukan tersebut muncul
lantaran orang atau semut itu memandang dan memikirkan permasalahan (yang
sesungguhnya kompleks) itu hanya dari satu sisi saja, sehingga mencerminkan
bahwa semua itu hanya bertumpu di atas kepentingan pribadi belaka?
Dengannya,
seolah-olah setiap orang akan mengatakan, "Seluruh keberadaan di jagat
raya ini harus berjalan sesuai dengan kematian, penggapaian kebahagiaan, serta
pemenuhan kepentingan saya pada hari ini. Tidak perduli, apakah itu juga bakal
bermanfaat buat saya di masa yang akan datang." Tatkala di hari ini mereka
tidak segera memperoleh hasil, seketika itu pula mereka menyesali diri dan
merasa kecewa!
Sebuah
PenjelasanHubungan antara keadilan Ilahi dengan serangkaian bencana dan
malapetaka juga bisa ditelaah dari sudut pandang yang lain. Dalam menempuh
kehidupan di alam ini, seseorang harus menerima salah satu dari dua asumsi
berikut; meyakini keberadaan alam ini dilingkupi keteraturan (sistem) ataukah
justru kacau batau tanpa aturan (chaos). Kalau diasumsikan bahwa dijagat alam
ini berlaku aturan, tatanan, dan sistem tertentu, maka segenap bencana yang
terjadi pasti tercakup dalam sistem yang membingkainya tersebut. Bila tidak,
berarti semesti alam ini memang kacau batau dan tanpa aturan.
Untuk
membuktikannya, kaji dan telitilah sebuah kejadian pahit tertentu. Bisa
dipastikan, kita tidak akan menjumpai apapun kecuali sebuah sistem serta aturan
yang begitu rinci dan masuk akal.
Dan setelah
memahami bahwa kejadian pahit tersebut berlungsung dalam sebuah tatanan kosmis
yang benar-benar teratur dan logis, kita tentu akan sanggup menanggung akibat
yang ditimbulkan bencana tersebut. Ambil contoh tentang sebuah rumah yang
runtuh, dimana puing-puingnya menimpa para penghuninya. Cobalah kita selidiki,
gerangan apa yang menyebabkan runtuhnya rumah tersebut; anak-anak sedang
bermain hoki di halaman rumah; suatu saat, anak-anak itu terlalu keras
menendang bola yang kemudian melambung sampai atap rumah; bola itu
nienggelindirig di atap rumah dan menyumbat saluran air (talang); hujan turun
berkali-kali dengan deras; air terus menggenang atap rumah yang terbuat dari
tanah liat; pemilik rumah tidak mengetahui kejadian tersebut; Air hujan yang
menggenang itu kemudian merembesi dan membasahi celah-celah sambungan antara
batu bata; penghuni rumah tidur tidur dengan nyaman di bawah atap yang sudah
dirembesi air itu; padahal atap tersebut sudah kepayahan menanggung resapan air
hujan di dalamnya yang kian hari kian memberat; tak lama kemudian atap itupun
ambruk sehingga menyebabkan sejumlah orang di bawahnya tewas seketika.
Sekarang,
berdasarkan hasil penelitian di atas, kita dapat memahami bahwa peristiwa naas
itu terjadi dikarenakan, pertama, bola
bulat itu menggelinding dan menutupi saluran air (talang) di atap rumah. Kedua, banyaknya air yang menggenang dan
merembesi atap rumah tersebut lama-lama melampui daya tahan batu bata. Ketiga, susunan tulang-tulang tubuh manusia
memiliki kekuatan serta ukuran tertentu (sehingga tidak sanggup menahan
beratnya puing-puing batu bata yang ambruk).
Dengan demikian,
kecenderungan untuk meyakini bahwa keberadaan alam semesta ini dilingkupi
aturan serta perhitungan yang cermat akan meniscayakan kita menerima dengan
lapang dada peristiwa naas yang menimpa para penghuni rumah tersebut.
Sebaliknya,
apabila kita menolak dan menyesali terjadinya peristiwa naas itu, berarti kita
menyangkal bahwa alam semesti ini memilrki aturan serta sistem yang mantap.
Kalau sudah demikian, tentu segenap penyebab yang memungkinkan terjadinya
peristiwa naas itu —sebagaimana telah kita sebutkan sebelumnya—akan menjadi
sia-sia belaka dan tidak bermakna apapun.
Rangkaian kejadiannya
akan menjadi seperti ini: bola yang digunakan anak-anak harus dibuat sedemikian
berat sehingga tidak mudah terlempar sampai ke atap rumah; kaki anak-anak harus
dijadikan lemah dan tak bertenaga sehingga tidak sanggup menendang bola; lubang
saturan air di atap rumah harus dibuat sedemikian besar sehingga bola yang
masuk ke dalamnya dapat keluar dengan mudah (tidak menyumbatnya).
Atau, kejadiannya
seperti ini: sebab-sebab turunnya hujan telah terpenuhi; lalu tiba-tiba
semuanya menjadi berantakan sehingga hujan tidakjadi turun; air tidak lagi
memiliki sifat alamiah sehingga tidak mampu membasahi batu bata; seluruh atap
rumah terbuat dari batu bata (tanpa disambung campuran semen dan pasir)
sehingga air hujan tidak dapat merembesi dan membasahinya.
Di malam itu,
gravitasi bumi terhenti, sehingga tidak sampai menarik atap yang terbasahi air
hujan; tulang belulang penghuni rumah yang tertidur itu sekonyong-konyong
berubah menjadi baja, sehingga puing-puing atap rumah yang menimpanya tidak
dapat mencederainya; atau, bobot atap rumah yang basah dan berat itu berubah
menjadi seringan kapas sehingga ketika ambruk tidak sampai menjadikan tubuh
penghuninya ringsek!
Kecenderungan
untuk meyakini adanya sistem serta aturan di alam ini, akan meniscayakan
keterikatan dengan hukum sebab dan akibat (kausalitas). Terjadinya bencana atau
kejadian pahit tersebut merupakan suatu keharusan yang tidak mungkin dipisahkan
dari proses kehidupan ini. Penghapusan salah satu bencana saja akan menyebabkan
segenap sistem serta tatanan yang berada di bawah pengaturan Allah Yang
MAhabijaksana ini menjadi rusak dan kocar-kacir.
Pendek kata,
berlakunya sistem serta perhitungan yang cermat di alam semesti ini
meniscayakan adanya serangkaian bencana yang mengguncang. Kalau memang rangkaian
bencana dan malapetaka tersebut tidak pernah terjadi, atau bahkan seluruh
kejadian pahit yang muncul tak lebih sebagai bukti yang mengukuhkan bahwa alam
ini kacau-balau dan tanpa aturan, maka semua itu justru merupakan "bencana
di atas bencana".
Sebuah Catatan
PentingBerkenaan dengan topik keadilan Ilahi serta kenyataan tentang adanya
perbedaan potensi dan kemampuan masing-masing individu dalam memahami sesuatu,
kiranya ada satu hal penting lain yang harus sungguh-sungguh diperhatikan.
Bahwa seseorang yang lemah potensinya (di bidang tertentu) boleh jadi justru
amat berbakat dalam bidang yang lain. Misalnya, lantaran terdorong hawa nafsu,
sejumlah orang berusaha mati-matian untuk meraup penghasilan
sebanyak-banyaknya. Namun, kendati sudah memacu diri sedemikian rupa serta
mengerahkan segenap keahlian yang dimiliki, mereka tetap tidak memperoleh hasil
yang diidam-idamkan.
Dihadapkan dengan
kenyataan semacam itu, mereka lantas berputus asa dan beranggapan bahwa diri
mereka telah kalah. Dalam keadaan demikian, mereka pun tak segan-segan dan
tanpa pikir panjang lagi akan segera melontarkan umpatan serta kutukan terhadap
sistem yang berlaku di semesta alam ini.
Alhasil, mereka
pun mengalami stres yang cukup Keadaannya sedemikian rupa, sampai-sampai
sebagian masyarakat di sekelilingnya akan menganggap mereka sebagai orang-orang
dungu yang tidak berkemampuan dan berkecakapan. Bahkan sebagian lainnya akan
menghina dan meremehkannya.
Padahal, boleh
jadi, orang-orang tersebut justru akan menggapai sukses kalau saja mereka mau
berkiprah di bidang yang lain (yang kemungkinan malah sesuai dengan bakatnya).
Sejarah menyaksikan, betapa banyak orang yang gagal di bidang tertentujustru
memperoleh sukses yang gemilang di bidang lainnya.
Konon, ayah
(Charles) Darwin yang berprofesi sebagai dokter, menginginkan agar anaknya
kelak menjadi asistennya. Namun, ternyata Darwin tidak berhasil menguasai
bidang kedokteran. Ayahnya tentu amat bersedih melihat kenyataan tersebut.
Kemudian, kembali
ia memaksa Darwin untuk mendalami agama agar kelak menjadi pastur dan
ruhaniawan yang baik menurut ajaran Nasrani. Lagi-lagi ia gagal! Setelah
menghadapi dua-kegagalan tersebut, Darwin lantas berinisiatif untuk menggeluti
ilmu-ilmu alam. Dan, sebagaimana diketahui bersama, dirinya mampu meraih
keberhasilan di bidang itu. Lebih dari itu, ia berhasil menelorkan sebuah teori
(evolusi) yang cukup menakjubkan dan membuat geger kalangan akademik.[49]
Dalam pelbagai
hadis, dikatakan bahwa kalau kita gagal dalam pekerjaan tertentu, bersegeralah
untuk mencari pekerjaan atau keahlian yang lain. Sebab, boleh jadi di situ kita
akan memperoleh keberhasilan yang luar biasa. Dalam Nahj al-Balaghah, Imam Ali bin Abi Thalib
pernah mengungkapkan sejumlah pernyataan yang sungguh memikat. Misalnya,
tentang sekelompok orang yang bertubuh tinggi namun memiliki semangat yang
pendek, "Tubuhnya tinggi,
semangatnya pendek."
Atau tentang
sebagian orang yang berpenampilan buruk namun berperilaku baik, "Perbuatannya baik, rupanya buruk."
Juga mengenai seseorang yang mampu menjabarkan sesuatu dengan lancar, namun
hatinya keras membatu, "Lisannya
fasih, hatinya keras."[50]
Alhasil, dari
seluruh kata-kata agung tersebut, terkandung pemahaman bahwa di samping setiap
kesempumaan terdapat kekurangan, dan di samping kekurangan terdapat
kesempurnaan. Dengan demikian, kegagalan dalam bidang tertentu tidak
meniscayakan kegagalan dalam berbagai bidang lainnya. Orang-orang yang tidak
memiliki semangat dan kesiapan mental, lalu menggeluti bidang tertentu dan
gagal, pasti akan melontarkan gugatan terhadap keadilan Ilahi, "Wahai
Tuhan kenapa si fulan berhasil dan saya gagal?"
Padahal, kalau
sajabidang lain yang digelutinya (asalkan sesuai dengan semangat serta
bakatnya), boleh jadi dirinya bakal meraih keberhasilan yang amat mengagumkan.
Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa kegagalan seseorang dalam bidang tertentu
pada dasarnya diakibatkan jiwa serta semangatnya belum mengenali betul seluk
beluk bidang tersebut.
Adapun bila
seseorang meneliti secara seksama keberhasilan yang diraihnya dalam suatu
bidang kegiatan, niscaya dirinya akan menjumpai pula pelbagai kelemahan,
kegagalan, serta kekurangan di dalamnya (di samping keberhasilan tersebut).
Topik keadilan Ilahi ini, pada tahap selanjutnya memunculkan sejumlah
pertanyaan yang agaknya layak untuk ditelaah.
1. Apakah
penciptaan iblis selaras dengan keadilan dan kebijaksanaan Allah? Bukankah
tujuan Allah menciptakan manusia tak lain untuk beribadah kepada-Nya?
Sekilas,
penciptaan makhluk semacam iblis nampak bertolak belakang dengan tujuan
tersebut. Dikarenakan bisikan serta rayuan setan, bangunan amal perbuatan yang
diupayakan seseorang dengan penuh susah payah akan menjadi rusak dan porak
poranda.
Dalam hal ini,
terdapat tiga kemungkinan terjadinya kerusakan amal perbuatan; pada mulanya,
amal perbuatan tersebut memang tidak dilandasi harapan untuk mendapatkan
keridhaan Allah (semata-mata didorong
riya' atau keinginan memamerkan diri); di pertengahan prosesnya, amal
perbuatan itu dikoyak-koyak rasa bangga diri ('ujub); ataupun setelah (amal
perbuatan itu) dilaksanakan, ia tenggelam dalam kubangan dosa sehingga
menyebabkan amal perbuatan baiknya itu musnah dan lenyap tanpa bekas.
Dengan demikian,
apakah penciptaan setan memang selaras dengan keadilan dan kebijaksanaan Allah?
Seluruh sarana yang disediakan Allah untuk iblis adalah baik. Sementara ia
sendiri (iblis) selama bertahun-tahun tekun beribadah kepada Allah.[51]
Keburukan yang
dilakukannya adalah menentang perintah Allah. Lebih buruk lagi, ia tidak mau
bertobat, tidak memohon ampun, bahkan tidak menyesali perbuatannya sama sekali.
Selain itu, dengan penuh kesombongan dan keangkuhan, ia melecehkan perintah
Allah (untuk menyembah Adam,—peny.) seraya mengatakan “Perintah tersebut tidak
benar! Aku lebih mulia dari Adam. Aku terbuat dari api dan Adam dari
tanah."
Dengan demikian,
penentangan dan keangkuhan setan hanya berhubungan dengan dirinya sendiri dan
secuilpun tidak berkaitan dengan Allah. Adapun bisikan (al-waswas) setan dihembuskan untuk melakukan
suatu dosa, sama sekali tidak mengandung unsur paksaan. Bisikan-bisikan
tersebut hanya bersifat ajakan semata. Dengan adanya bisikan-bisikan itu, tidak
lantas kita tidak lagi memiliki kemampuan berkehendak dan menentukan pilihan.
Pada dasarnya, bisikan-bisikan tersebut mengandungi aspek positif.
Sebabnya,
kesempumaan manusia justru semakin berkilau tatkala dirinya sanggup menepis
berbagai dorongan hawa nafsu dan bisikan-bisikan setan. Ketidaksanggupan
seseorang untuk menggunjing atau membicarakan (keburukan) orang lain
dikarenakan kebisuan (tunawicara), tidak bisa digolongkan sebagai sesuatu yang
bernilai. Demikian pula, jika tidak terdapat dorongan hawa nafsu. Jelas, kalau
memang tidak ada dorongan nafsu, niscaya manusia akan senantiasa berbuat baik.
Namun, perbuatan baik tersebut tidaklah memiliki nilai dan makna apapun.
Kita menyebut
seseorang perkasa apabila dirinya sanggup mengangkat beban yang sangat berat
—karena dengannya, ia mampu melawan gravitasi bumi. Keperkasaan merupakan
kemampuan untuk melawan berbagai daya tarik maupun daya tolak.
Nabi mulia saaw
pernah bersabda bahwa rasa amarah akan menarik seseorang ke satu sisi. Namun,
jika (amarah itu) mampu dikendalikan, niscaya dirinya akan menjadi orang
perkasa. Terlepas dari semua itu, bagi seseorang yang memang tidak memiliki
kesanggupan untuk menolak bisikan-bisikan setan, dirinya bisa menebusnya dengan
memasuki pintu tobat yang memang terbuka lebar.
Permohonan ampun
dan bertobat mencerminkan bahwa ia masih diberi kesempatan untuk menentukan
pilihan, walau untuk yang terakhir kalinya. Kalau saja dalam menempuh hidup di
jagat alam ini, keberadaan diri kita hanya semata-mata disertai bisikan setan,
tentu sah-sah sajajika kemudian muncul berbagai gugatan (terhadap keadilan
Ilahi).
Namun ternyata,
di samping bisikan setan, terdapat pula pelbagai seruan nabi dan petunjuk akal.
Semua itu merupakan sarana sekaligus pembantu terbaik kita dalam melintasi
jalan yang lurus. Bukan bisikan setan yang memaksa kita menyimpang darijalan
lurus, melainkan justru diri kitalah yang menarik setan itu. Dalam al-Quran,
dijelaskan soal orang-orang yang dibuntuti setan. Al-Quran memfirmankan, "Dan bacakanlah kepada mereka berita
yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab),
kemudian ia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan
(sampai ia tergoda), maka jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat."[52]
Kami mengisahkan
tentang orang-orang yang telah Kami beri tanda-tanda, namun mereka melupakannya
dan akhirnya setan membuntutinya. Mereka tergolong orang-orang yang sesat.
Dari ayat di
atas, jelas sudah bahwa setan senantiasa menyertai mereka yang, melalui
perbuatannya sendiri, menyatakan siap dibuntuti (setan). Salah satu bukti nyata
ayat di atas berkenaan dengan kisah seseorang yang bernama Bal'am Ba'ura. la
adalah seorang keturunan Bani Israel. Allah telah mengajarkannya berbagai ilmu
dan makrifat. Dikarenakan itu pula, doa-doa yang dipanjatkannya senantiasa
terkabul.
Namun, tatkala
dirinya mulai menyukai Fir'aun dan mencintai kedudukan serta harta, tanda-tanda
Allah dan ilmu yang dimilikinya pun menguap dari dirinya. Pada akhirnya, ia pun
dibuntuti setan. Pada ayat lain disebutkan,
"Sesungguhnya kekuasaannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang
mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan
Allah".[53]
Pengaruh setan
hanya berlaku kepada mereka yang mencintai dan menganggap setan sebagai
pemeliharanya. Pada saat diri kita tidak berkeinginan menjadikan setan sebagai
pemelihara, tentu setan tidak akan sanggup menguasai kita. Karena itu, al-Quran
berkata, "Sesungguhnya setan itu
tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada
Tiihannya".[54]
Setan tidak
memiliki kemampuan untuk menguasai orang-orang yang bertawakal kepada Allah. Jelas,
yang dimaksud bahwa setan tidak mampu menguasai diri kita, tidak berarti ia
(setan) juga tidak mampu menghembuskan pelbagai bisikan. Akan tetapi, maksudnya
adalah bahwa orang-orang mukmin sejati mengenal betul keberadaan setan,
sehingga tidak memungkinkan dirinya dipengaruhi bisikan-bisikan itu. Sebelum
terpengaruh bisikan-bisikan setan, mereka telah memiliki kesadaran yang bening
tentangnya.
Al-Quran
menjelaskan bagaimana sikap orang-orang beriman saat menghadapi bisikan-bisikan
setan yang begitu menggoda,
"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was
dari setan, mereka ingat kepcida Allah...".[55]
Orang-orang yang
beriman dan bertakwa memiliki kepekaan terhadap segenap usaha jahat setan,
sehingga memampukannya untuk menjaga diri darinya. Hubungan antara orang-orang
beriman dengan setan adalah hubungan permusuhan.
Sementara
hubungan antara orang-orang fasik dengan setan bernuansa persahabatan yang
intim, "Barangsiapa berpaling dari
pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Qur'an), Kami adakan baginya setan (yang
menyesatkan) maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu
menyertainya".[56]
Kesimpulannya,
sebenarnya setan merupakan makhluk yang memiliki pelbagai kemampuan potensial
yang dapat dimanfaatkan dengan baik dan optimal bagi kehidupannya. Namun,
lantaran dirinya membangkang dan bersikap pongah, maka segenap kemampuan
potensialnya itupun rusak. Semua itu merupakan akibat dari ulahnya sediri.
Bisikan-bisikan setan yang menggoda tidak sampai menghilangkan kehendak diri kita
sehingga kita menjadi terpaksa melakukan perbuatan dosa. Orang-orang yang
terpedaya bisikan serta rayuan setan, pada dasarnya masih berkesempatan untuk
bertobat.
Sebenarnya kita
sendirilah yang telah menyiapkan lahan bagi tumbuh subumya bisikan setan itu.
Dengan demikian, kita jelas tidak dapat mengatakan bahwa penciptaan setan
bertentangan dengan keadilan Allah.
Pertanyaan
KeduaSalah satu persoalan yang berhubungan dengan keadilan Allah, dan
senantiasa menimbulkan tanda tanya, adalah anak yang lahir dalam keadaan cacat.
Mereka menyatakan, "Jika Allah memang adil, lantas mengapa banyak orang
yang lahir dalam keadaan cacat, sehingga seumur hidupnya menjadi bahan cemoohan
masyarakat?"
Jawaban dari
pertanyaan itu pada dasarnya terdapat dalam pembahasan sebelumnya. Darinya kita
mengetahui bahwa sumber kemunculan pelbagai bencana dan malapetaka adalah ulah
manusia sendiri. Orang-orang yang cacat sejak lahir sebenarnya lebih merupakan
dampak dari kelalaian kita sendiri.
Dalam hal ini,
kedua orangtua (anak yang cacat) semestinya memperhatikan segenap persoalan
yang berhubungan dengan kesehatan dan kejiwaan. Namun, mereka justru meremehkan
dan mengabaikannya, sehingga menyebabkan sang bayi terlahir dalam keadaan
cacat. Para imam yang suci telah menjelaskan semua ini.
Umpama dikatakan,
jangan bersetubuh pada saat mabuk; saat si wanita sedang haid; jangan sampai
keracunan makanan; dan hindari keadaan jiwa yang serba gelisah. Semua itu dapat
menimbulkan dampak negatif pada janin.
Saya berharap,
semoga dilakukan pengajaran serta penyuluhan khusus bagi para pemuda dan pemudi
yang hendak melangsungkan pemikahan. Tujuannya agar mereka mengetahui dengan
jelas segenap tugas yang bersifat islami, hak-hak serta kewajiban
masing-masing, cara mendidik anak, tata cara berhubungan seksual, dan lain
sebagainya. Lantas, apa dosa yang harus ditanggung si anak bersangkutan (yang
mengalami cacat)? Pertanyaan tersebut sama dengan mempertanyakan, "Apa
dosa Allah?"
Dalam kasus ini,
sang bayi tidak bersalah apapun dan Allah juga Mahasuci dari berbagai
kekeliruan. Pihak yang bersalah hanyalah kedua orang tuanya, sementara
dampaknya ditanggung si anak. Hal semacam ini persis sama dengan berbagai
penindasan yang terjadi di muka bumi. Penindasan diperbuat oleh para penindas.
Namun, dampak
yang ditimbulkan dari proses penindasan tersebut justru harus dipikul
orang-orang yang tertindas. Ambil contoh, saya melemparkan sebongkah batu ke
wajah Anda, kemudian dahi Anda terluka dan mengucurkan darah.
Dalam kasus ini,
Anda tidak bersalah apapun dan Allah juga tidak bersalah! Pihak yang harus
disalahkan tak lain dari diri saya sendiri yang berinisiatif melemparkan batu
tersebut. Hanya saja, pihak yang harus menanggung dampak perbuatan tersebut
adalah diri Anda.
Pertanyaan, kalau kedua orang tua yang bersalah, lalu apa
salah si anak, mirip dengan pertanyaan,
pihak yang bersalah adalah para penindas, lantas apa salah orang
tertindas.
Pada saat Anda
memberikan adonan tepung yang terasa asin atau pahit kepada seorang pembuat
roti, yang kemudian menyerahkan balik kepada Anda sepotong roti asin atau
pahit, lantas apakah Anda akan mengatakan bahwa pembuat roti itu orang yang
zalim?
Apakah terdapat
celah untuk menyanggah kalau Anda menanam benih semangka dan menuai darinya
buah semangka pula? Kalau Anda melangkah ke arah Utara, apakah Anda berharap
akan sampai di suatu kota yang terletak di Selatan? Setiap jenis makanan dan
kondisi kejiwaan memiliki pengaruh alamiah dan esensial dalam sistem kehidupan
ini. Dalam hal ini, setiap benih atau sperma akan memunculkan hasil tertentu.
Merupakan suatu kesalahan yang menggelikan pabila seseorang berharap mendapat
hasil yang berbeda dari benih yang dimaksud. Biarpun perbuatan orang tua hanya
dilakukan dalam sekejap, semua itu bisa mengakibatkan penderitaan si anak cacat
ini selama-lamanya.
Namun jelas, hal
ini tak ada hubungannya dengan Allah. Dalam sekejap saja ke dua belah mata Anda
dicolok dengan sebilah belati, tentu Anda akan menderita kebutaan seumur hidup.
Kesalahan tersebut memang hanya dilakukan dalam hitungan sedetik, tetapi
dampaknya harus ditanggung selamanya. Sebuah cermin akan pecah berkeping-keping
selamanya hanya dengan sebongkah batu yang Anda lemparkan dalam beberapa detik.
Demikian pula
halnya dengan masalah kejiwaan. Sekali saja Anda mengumpat seseorang,
persahabatan yang anda jalin dengannya akan rusak seumur hidup. Atau, hanya
dalam beberapa menit permintaan maaf diungkapkan, pelbagai rasa sakit hati dan
dendam yang terpendam selama bertahun-tahun niscaya akan raib begitu saja.
Persoalan habth (rusaknya amal perbuatan) telah saya bahas
sebelumnya dalam bab tauhid.
Dalam hal ini,
saya telah mengemukakan sejumlah contoh yang cukup gamblang. Antara lain,
tentang seseorang yang selama hidupnya senantiasa menjaga kesehatan tubuh.
namun lantaran menenggak sesendok racun, semua menjadi hancur berantakan.
Berkenaan dengan itu, muncul pertanyaan lain, "Bagaimana jika kedua orang
tua tidak mengetahui kalau perbuatannya itu akan berdampak negatif terhadap
sang bayi?"
Tahu dan tidak
tahunya sang ayah atau ibu (terhadap dampak perbuatannya itu), tidak akan
berpengaruh apapun terhadap timbulnya dampak alamiah segala sesuatu. Kendati
kita tidak mengetahui bahwa pada seutas kabel terdapat aliran listrik, kemudian
kita menyentuhnya, tentu kita tetap akan tersengat aliran listrik tersebut.
Sengatan listrik itu tidak berurusan dengan pengetahuan kita. Meskipun kita
mengira minuman keras dalam sebuah gelas hanyalah air putih belaka, kemudian
kita meminumnya, tentu kita akan dibuat mabuk olehnya.
Dalam hal ini, kemabukan
merupakan pengaruh alamiah dari minuman keras, terlepas apakah kita
menyangkanya air atau sesuatu yang lain.
Oleh karena itu
yang dimaksud bahwa ayah dan ibu tidak bersalah ialah mereka berdua tidak
melakukan kesalahan secara sengaja, namun pengaruh alamiah dari perbuatan salah
itu masih tetap ada.
Pertanyaan lain
muncul berkenaan dengan cemoohan masyarakat terhadap orang-orang yang cacat
(fisik). Tidak diragukan lagi, cemoohan tersebut amat bergantung pada tingkat
peradaban masyarakat itu sendiri. Bukan kepada hal lain, apalagi kepada Allah.
Kita tidak pemah dibolehkan menghina orang-orang yang menderita cacat. Bahkan,
dalam hal ini Islam memberikan berbagai petunjuk yang tegas dan jelas.
Pada akhirnya
pula, masalah ini berkaitan langsung dengan tanggung jawab pemerintah. Artinya,
pemerintah harus menjamin kehidupan mereka. Pemerintah wajib memberikan
pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan serta kondisi masing-masing. Sekaligus
pula memberikan upah yang layak bagi kehidupan mereka.
Dengan demikian,
beban penderitaan saudara-saudari kita (yang mengalami cacat fisik) tersebut
menjadi ringan. Sebelum mengakhiri pembahasan ini, saya akan menguraikan
terlebih dulu sebuah permohonan yang diajukan para pembaca yang budiman.
Sebuah
PermohonanKita tentu tidak diliputi keraguan secuilpun terhadap akidah dan
pemikiran Islam (yang semestinya berpijak di atas argumentasi yang sederhana
sekalipun). Kalaupun pada suatu ketika muncul sesuatu yang tidak berkenan di
hati, kita harus segera mempertanyakannya kepada orang yang betul-betul
mengenal Islam.
Dalam buku
catatan nomor telepon siapapun, baik yang beraktivitas di pabrik, kantor,
universitas, pasar, sekolahan, desa, atau kota, harus dicantumkan nomor telepon
seorang atau beberapa orang cendekiawan (ulama) Muslim. Telapak kaki yang
tertusuk sebilah jarum kecil akan menjadikan seseorang sulit berjalan dan
kehidupannya akan terasa getir.
Demikian pula
dengan secercah persoalan kecil yang melintas dalam benak kita. Biarpun kecil
dan nampak remeh, persoalan tersebut berpotensi untuk menghalangi kemampuan
kita dalam berpikir. Bahkan, lebih dari itu, ia akan melenyapkan prasangka baik
kita kepada Allah. Ujung-ujungnya, ketenteraman hidup kita akan berubah menjadi
kegalauan yang tems berkecamuk hingga akhir hayat.
Khusus kepada
para pemuda yang mulia, yang di masanya acapkali menghadapi bermacam-macam
persoalan yang merisaukan, saya mengharuskan Anda semua untuk memiliki hubungan
dengan seorang cendekiawan bertakwa.
Inilah permohonan
sungguh-sungguh saya kepada Anda sekalian. Saya memiliki sebuah kenangan yang
sungguh berkesan pada masa rezim taghut
(Syah Reza Pahlevi). Waktu itu, saya berjumpa dengan sejumlah teman yang mulia,
yang mengatakan bahwa undang-undang Islam tidak sesuai dengan perkembangan
peradaban. Sebabnya, kata mereka, Islam menyatakan bahwa empatjari pencuri hams
dipotong, sedangkan Marxismejustru menyatakan bahwa kalau perut pencuri dibuat
kenyang, artinya kita telah membuat suatu perubahan berarti dalam sistem
perekonomian. Dan karena itu, dengan sendirinya tidak akan ada lagi seorang
pencuri pun!
Pada saat itu,
saya mengetahui bahwasannya mereka Sebenarnya telah terpengaruh ucapan seorang
guru yang menganut Marxisme. Pendapat semacam itu mereka peroleh di
tengah-tengah pelajaran yang disampaikan sang guru dimaksud.
Saya kemudian
berkata, "Tidakkah kalian mengetahui bahwa Islam tidak memotong jari
setiap pencuri, kecuali setelah memenuhi dua puluh syarat yang ditentukan.
Siapakah di antara kalian yang mengetahui syarat-syarat tersebut?"
Semuanya menjawab,
"Kami tidak mengetahuinya." Saya melanjutkan, "Seandainya kalian
mengetahui syarat-syarat tersebut, sementara sang guru tersebut menyampaikan
pernyataan semacam itu, semestinya kalian langsung berdiri dan mengatakan,
'Pada saat menjatuhkan hukuman potong jari bagi seorang pencuri, Islam terlebih
dulu akan menerapkan kedua puluh syarat yang harus dipenuhi.
Wahai guru,
ketika Anda tidak mengetahui syarat-syarat tersebut, janganlah Anda ikut campur
di dalamnya.' Paling tidak, kalian mengajaknya berdiskusi secara terbuka, atau
menghubungi seorang ulama via telepon guna menanyakan syarat-syarat tersebut.
Semua itu harus kalian lakukan demi membela Islam yang mulia."
Kemudian saya
menguraikan sejumlah syarat tersebut dan mereka pun menyadarinya. Tak lama dari
itu, kami pun berpisah. Para pembaca yang budiman, al-Quran menjanjikan bahwa
kemenangan akhir akan di genggam Islam.
Pada akhir zaman
kelak, masyarakat di seluruh penjuru dunia akan berbondong-bondong memasuki
Islam. Dan pada saat itu pula akan terbentuk pemerintahan al-Mahdi as. Namun
janji-janji tersebut memiliki beberapa persyaratan:
1. Adanya
perhatian masyarakat dunia terhadap Islam.
2. Adanya upaya
untuk memperkenalkan Islam.
3. Adanya
kecenderungan terhadap Islam.
Para syuhada yang
menjemput kesyahidan dalam revolusi Islam kita, telah menarik banyak perhatian
masyarakat dunia ke arah Islam. Dan ini sudah merupakan langkah pertama.
Sekarang, kita harus inelangkah pada tahap yang kedua; mengenalkan dan
menyebarluaskan Islam.
Sementara langkah
ketiga berhubungan erat dengan gejala kecenderungan masyarakat dunia sendiri;
ketika menghadapi berbagai benturan, mereka akan berbondong-bondong memasuki
Islam. Sekaitan dengan itu, sedikitnya dalam seminggu, kita mesti membaca
sebuah buku bermanfaat yang merupakan hasil karya seorang cendekiawan yang
tidak berpretensi apapun.
Hasilnya, dari
hari ke hari, pengetahuan kita tentang Islam akan terus bertambah. Imam Ali
Ridha pernah mengatakan bahwa seandainya masyarakat mengetahui ajaran,
pembicaraan, dan tulisan beliau (di samping para imam lainnya), mereka pasti
akan condong (kepada ajaran kami).
Langkah pertama
yang harus kita tempuh adalah membaca buku-buku yang berkenaan dengan ideologi
dan "Pandangan Dunia". Sebabnya, hal itu merupakan fondasi dari
segenap amal perbuatan dan pemikiran kita. Dalam hal ini, kita harus memiliki
argumen serta hujjah yang kokoh terhadapnya (Islam). Sementara itu, ajaran yang
dipilihjuga harus sesuai dengan tuntutan fitrah.
Perbedaan:
Rahasia Mengenal AllahTelah sayajelaskan sebelumnya bahwa antara
diskriminasi (tab'id atau pembedaan) dan perbedaan
(tafawut)[57] tidaklah identik satu sama lain. Keduanya malah saling
bertolak belakang. Yane terakhlr disebutkan dilakukan di atas landas-pijak
kebijaksanaan. Selain sebagai inti dari keadilan (Allah). perbedaanjuga
merupakan salah satu kunci rahasia untuk mengenal Allah. Ini sebagaimana
dikatakan al-Quran;
"Dan di
antara tanda-tanda kekuasaannya ialah menciptakan langit dan bumi dan
berlain-lainan bahasa dan warna kulitmu." (ar-Rum: 22)
Berbagai
perbedaan dan ketidaksamaan dalam berbahasa, warna kulit, dan sebagainya justru
menunjukkan bukti kekuasaan Allah. Seorang pelukis yang selalu melukis satu
jenis lukisan saja. seorang arsitek yang hanya merancang satu bentuk bangunan
saja, seorang penyair yang hanya menyusun satu bentuk syair saja; semua itu
menunjukkan kelemahan dan ketidakmampuan masing-masing (dalam memproduksi karya
yang bervariasi).
Akan tetapi, bila
setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit dan detik, lahir suatu ciptaan
atau produk baru, semua itu menunjukkan adanya kemampuan dan kemahiran sang
pelaku yang sungguh mengagumkan.
[1] Ali Imran:
108.[2] “Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan ...” (an-Nahl: 90)
[3] “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil”. (al-Ma’idah: 8)
[4] Alhasil,
semua sifat Allah, selain sifat berkuasa (al-qudrah) dan mengetahui (al-‘ilm).
Sifat-sifat Allah terdiri dua jenis; (a) sifat-sifat yang tidak dapat terpisah
dari Zat-Nya, seperti sifat mengetahui, berkuasa, dan hidup; (b) sifat-sifat
yang ada pada Zat-Nya namun dapat dipisahkan dari-Nya. Seperti Mahapencipta.
Dalam hal ini, kita dapat menggambarkan bahwa Allah itu eksis (ada) namun tidak
menciptakan sesuatu. Sebaliknya, kita tidak dapat menggambarkan bahwa Allah itu
eksis tetapi tidak berkuasa, berilmu, dan hidup.
[5] Jelas sudah
bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, namun tidak akan melakukan suatu
pekerjaan yang bertentangan dengan hikmah (kebijakan). Sebagai contoh, meskipun
berkemampuan untuk membutakan kedua belah mata, namun kita tidak melakukannya;
sebabnya perbuatan itu sangat tidak bijaksana. Kalau memang demikian, kendati
memiliki kemampuan dan kekuasaan, namun perbuatan yang dilakukan-Nya pasti akan
disertai dengan memperhatikan keadilan, kebijaksanaan, dan janji-janji yang
pernah diberikan-Nya. Tuhan telah berjanji bahwa orang-orang yang beriman akan
dimasukkan ke dalam sorga, sedangkan orang-orang fasik akan dijebloskan ke
dalam neraka. Dalam hal ini, mustahil Dia akan berbuat sebaliknya (tidak
menepati janji-Nya), karena itu merupakan perbuatan buruk dan tecela. Allah
sama sekali tidak akan menggunakan kekuasaan-Nya untuk berbuat bumk dan
tercela. Dengan mengatakan bahwa Allah tidak akan berbuat zalim, bukan berarti
kita membatasi kekuasaan Allah. Ketidakzaliman Allah merupakan bukti
kebijaksanaan-Nya; kekuasaan yang ada pada Zat-Nya hanya digunakan untuk
hal-hal yang pantas semata.
[6] Kalimal fa nakkil bihi, yakni perlakukanlah secara
keras dan tegas. orang-orang yang telah melakukan penimbunan. (Nahj
al-Balaghah)
[7] Dan
kalimat wa dzalika babu madharratin lil
‘ammah, yakni penimbunan merupakan suatu jalan yang akan merugikan umat. (Nahj al-Balaghah)
[8] “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal
berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci”. (al-Baqarah: 216) Telah
diwajibkan atas kalian peperangan dan jihad namun kalian merasa berat dan tidak
menyukai perintah ini. Ketahuilah, betapa banyak sesuatu yang tidak menyenangkan
hati kalian, namun sebenarnya memberikan manfaat pada diri kalian, begitu pula
sebaliknya, “... karena mungkin kamu
tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.
[9]Asy-Syu’ara`:
30.
[10] Ar-Rum: 36.
[11] Al-Fajr: 16.
[12] An-Nahl:
112.
[13] Kadangkala,
kufur terhadap Allah dimaksudkan dengan pengingkaran terhadap perintah Allah.
Dan terkadang pula terhadap berbagai kenikmatan yang telah diberikan Allah.
Pada bentuk terakhir ini, istilah yang biasa digunakan adalah kufraan, yang artinya menggunakan pelbagai
kenikmatan (rezeki) tidak pada tempatnya.
[14] Al-Kahfi:
59.
[15] Al-Hajj: 47.
[16] Ar-Ra’d: 32.
[17]Ali-Imran:
178.
[18] Al-An’an:
44.
[19] Ar-Rum: 41.
[20]Fushshilat:
40.
[21] Hud: 93.
[22]AL-Baqarah:
155.
[23] Pengertian
semacam itu kami nukil dari penafsiran Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib
dalam Nahjul Balaghah.
[24] Tafsir Nemuneh, jilid 1.
[25]Al-Anbiya’:
35.
[26] Ali Imran:
186.
[27]Al-Ma’arij:
20.
[28]Al-Baqarah:
155.
[29] Ini merupakan
bagian dari kalimat yang dibaca dalam keadaan sujud setelah selesai membaca doa
ziarah Asyura.
[30]At-Taubah: 92.
[31]Al-Baqarah: 156.
[32]Al-Baqarah: 214.
[33] Ayat-ayat tersebut ialah, “Ceritakanlah (hai Muhammad kisah Ibrahim
dalam al-Kitab (al-Quran)”. (Maryam: 41)
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Musa di dalam
al-Kitab (al-Quran)”. (Maryam: 51) Semua ini mengisyaratkan berlakunya sunnah
Ilahi sepanjang sejarah kehidupan manusia. Kita Juga membaca dalam surah
al-Ahqaf ayat ke-35, “Maka bersabarlah
kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah
bersabar dan ...”. (Engkau mesti bersabar sebagaimana para nabi terdahulu).
[34] Al-Kahfi: 68. Dalam surah ini,
dipaparkan peristiwa perjalanan Nabi Musa as dengan Nabi Hidhr as. Sebelum
mereka berdua memulai perjalanan, Nabi Hidhr berkata kepada Nabi Musa,
"Aku akan melakukan berbagai hal yang luar biasa dan karena engkau tidak
mengetahui rahasia dari perbuatanku itu, maka engkau tidak akan mungkin mampu
bersabar bersamaku." Nabi
Musa as menjawab, "Insya Allah, aku akan mampu bersabar." Namun,
ketidaktahuan terhadap rahasia itu menyebabkan Nabi Musa tidak mampu lagi
bersabar dan akhirnya berpisah dengan Nabi Hidhr.
[35] Ibrahim: 12.
[36] Thaha: 72.
[37] Thaha: 46.
[38] Hud: 37.
[39] Al-Baqarah: 45-153. Kita membaca dalam
surah al-A'raf ayat seperti ini,
“Mohonlah pertolongan kepada Allah...” Maksudnya, mintalah pertolongan
kepada Allah. Kita juga membaca sebuah hadis bahwa tatkala Imarn Ali bin Abi
Thalib menghadapi musibah atau peristiwa yang tidak menyenangkan, beliau
langsung menunaikan salat. Salat merupakan sarana penghubung antara yang paling
kecil dengan Zat Yang Mahabesar, yang paling lemah dengan Zat Yang Mahakuat,
Zat yang menentramkan hati anak-anak Adam,
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hatimenjadi tentram”. (ar-Ra’d: 28)
[40] Alhasil,
berkenaan dengan falsafah sosialisme, terdapat dua pendapat. Pertama, kehidupan ini memaksa dan menunlut
manusia hidup bermasyarakat. Kedua, sama
sekali tidak terdapat unsur paksaan, justru manusia sendirilah yang memiliki
kecenderungan hidup bermasyarakat dan tidak memnyukai kehidupan yang bersifat
individual.
[41] Bihar al-Anwar, jilid 81, hal.195 (nukilan
dari buku Keadilan Menurut Pandangan
Tasyayyu’).
[42]Ash-Shaduq, Tauhid, hal.402.
[43] Nahj al-Balaghah, surat ke-45.
[44]
Bihar al-Anwar, op.cit., hal.374.
[45] Ibid., hal.108.
[46] Ibid., jilid 78, hal.374.
[47] Ibid., jilid 81, hal.108.
[48] Ibid., jilid 78, hal.374.
[49] Alhasil, mungkin saja terdapat
kritikan ilmiah terhadap seorang penemu teori baru itu, namun bukan berarti
menafikan kejeniusan dan hasil temuannya tersebut.
[50]
Nahj al-balaghah, "Faidh al-Islam", hal. 721-722.
[51] Dalam
Nahj al-Balaghah, Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa iblis telah
beribadah selama enam ribu tahun. Kendati tidak diketahui dengan pasti apa yang
dimaksud dengan tahun sebagaimana yang ada di dunia (setiap tahun adalah 365
hari), ataukah sebagaimana yang ada di alam akhirat (yang menurut penjelasan
al-Quran. satu hari di akhirat sama dengan lima puluh tahun di dunia). Nahj al-Balaghah, Shubhi Shaleh.
[52] Al-A'raf: 175.
[53] An-Nahl: 100.
[54] An-Nahl: 99.
[55] Al-A’raf: 201.
[56]Az-Zukhruf: 34.
[57] Saya telah
menjelaskan perbedaan antara tab'id
(pembedaan) dan tafawut
(perbedaan). Tab'id adalah suatu kondisi
di mana para individu memiliki posisi yang sama, kemudian dibeda-bedakan satu
dengan yang lain. Perbuatan ini jelas bersifat zalim. Sementara makna tafawut berhubungan dengan situasi dan
kondisi yang berbeda. Sebagai contoh, kalau semua murid di kelas secara sama
dan serempak mengikuti pelajaran seorang guru, namun kemudian guru tersebut
memberikan nilai yang berbeda-beda, maka itu merupakan perbuatan zalim. Namun,
seandainya ia memberikan nilai yang berbeda dikarenakan perbedaan pemahaman
masing-masing muridnya terhadap mata pelajaran yang diberikan, maka itu jelas
dibenarkan.
KEADILAN LAIN
Aqil membawa
anaknya yang pucat pasi dan kelaparan menemui saudaranya, amirul mukminin Ali bin Abi Thalib, guna
mengharapkan tambahan bagian dari baitul mal. Jelas, siapapun yang menyaksikan
anak saudaranya tengah menanggung rasa lapar, pasti hatinya akan langsung
terenyuh.
Namun, sekalipun
demikian, Imam Ali tetap memberikan jawaban yang negatif (menolak). Seraya
mendekatkan besi yang sedang membara ke muka saudaranya itu, Imam Ali
berkata; "Sebagaimana engkau takut
mendekati besi membara ini, aku pun takut akan siksa hari kiamat".[1]
Mengandalkan
Status-KedudukanBiasanya, untuk membeli sesuatu di pasar, orang-orang terkemuka
dan termasyhur akan menyuruh orang lain untuk melakukannya. Orang suruhan itu
lantas diperintahkan agar mengatakan pada si penjual bahwa barang yang
dibelinya itu diperuntukkan bagi si fulan.
Dengan demikian,
sang penjual itu akan memberikan barang dagangan yang paling berkualitas dengan
harga yang jauh lebih murah! Dalam beberapa hal, perbuatan semacam ini
berpotensi menjadi sarana penyuapan dan penyalahgunaan kedudukan, untuk
kemudian berujung pada terjadinya tindak diskriminasi di pasar; orang-orang
terkemuka akan memperoleh jenis barang yang berkualitas bagus dengan harga yang
sangat murah, sementara orang-orang umum hanya memperoleh jenis barang
sederhana, bahkan dengan hargajauh lebih tinggi.
Hanya sosok Imam
Ali saja yang senantiasa berusaha agar si penjual barang tidak mengenalinya.
Baik ketika beliau mengutus orang untuk membeli barang, maupun pada saat
berbelanja sendiri, ke pasar.
Ketelitian Imam
AliTatkala Imam Ali sedang membagi-bagi harta baitul mal, salah seorang cucu
beliau mengambil sesuatu dan langsung pergi. Pada umumnya, seorang kakek tidak
akan menghiraukan sama sekali persoalan semacam itu. Lain halnya dengan Imam
Ali. Beliau kontan mengejar cucunya yang masih kanak-kanak tersebut dan
mengambil barang yang diambil itu. Setelah itu, beliau langsung
mengembalikannya ke baitul mal. Banyak orang yang mengatakan bahwa anak
tersebut seharusnya juga memperoleh bagian dari baitul mal. Namun, Imam Ali
menegaskan, "Tidak, hanya ayahnya
yang mendapat bagian, dan itupun harus sama dengan jumlah yang diberikan kepada
Muslimin. Dia (ayahnya) yang akan mencukupi keperluan anaknya".[2]
Tentu saja
keketatan semacam ini hanya berlaku pada hal-hal yang berhubungan dengan baitul
mal. Sementara dalam hal memberikan serta menginfakkan harta pribadinya, beliau
benar-benar figur yang sangat dermawan.
Berkenaan itu,
Muawiyah sampai mengatakan bahwa kalau Imam Ali memiliki dua kamar (di mana
kamar yang satu dipenuhi gandum, sedangkan kamar lainnya dipenuhi batangan
emas) dan hendak memberikan isinya, tentu ia tidak akan membeda-bedakan antara
keduanya.
Kritik Tak
BeralasanTalhah dan Zubair, sahabat Rasulullah saww, merasa dirinya memiliki
keistimewaan. Sehingga, keduanya hobi mengkritik kebijakan Imam Ali dalam
banyak hal, termasuk terhadap pembagian baitul mal. Suatu ketika, mereka
memprotes Imam Ali, "Mengapa engkau tidak pernah bermusyawarah dengan
kami?!"
Setelah
menjelaskan kesiapan, kelayakan, dan keadilan dirinya, serta memaparkan
berbagai aktivitasnya, Imam Ali berkata, "Apakah kalian mengira bahwa
ketika tidak bermusyawarah dengan kalian, saya haus akan kedudukan dan
bermaksud hendak menguasainya?
Demi Allah, saya
tidak serakah pada kedudukan dan kepemimpinan. Kalianlah yang dulu mengelilingi
serta membaiat diriku, dan menyerahkan pemerintahan ini kepadaku. Saya selalu
mengedepankan al-Quran serta kebijakan Rasul saww. Saya juga senantiasa
menjalankan pemerintahan ini sesuai dengan petunjuknya.
Sampai sekarang,
saya tidak pernah menghadapi permasalahan (yang sulit) dan tidak disertai hukum
yang jelas, sehingga mengharuskan saya bermusyawarah dengan kalian atau umat
Islam. Jika suatu saat memang diperlukan, pasti saya akan bermusyawarah dengan
kalian dan juga dengan yang lain. Dalam bermusyawarah juga saya tidak akan
membeda-bedakan antara kalian dan Muslimin yang lain."[3]
Adil dalam
BersikapImam Ali menulis pesan kepada wakil beliau di Mesir, Muhammad bin
Abubakar, "Dan adillah terhadap
mereka dalam perhatian dan pandangan".[4]
Dalam memperhatikan
dan memandang mereka, engkau mesti bersikap adil tanpa pandang bulu. Ketelitian
dan keadilan ini dimaksudkan agar orang-orang lemah (miskin) tidak berputus asa
terhadap kemurahanmu, sekaligus pula menutup celah bagi orang-orang kaya yang
mengharap kezaliman dan ketidakadilanmu.
Dalam salah satu
hadis disebutkan, "Tatkala
berbicara di hadapan khalayak, pandangan Nabi saww senantiasa tertuju kepada
seluruh sahabat tanpa pilih kasih".[5]
Sebegitu adilnya,
sampai-sampai Islam juga menganjurkan dan menyediakan tuntunan untuk
menghormati para tamu; dalam membasuh tangan para tamu yang hendak menyantap
hidangan, dianjurkan untuk memulainya dari (tangan) sebelah kanan; dan sesuai
menikmati hidangan, tangan mereka harus dibasuh mulai dari sebelah kiri; kita dianjurkan
membasuh tangan para tamu sebelum menyantap mulai dari sebelah kanan; dan
kembali membasuh tangan mereka seusai menyantap mulai dari sebelah kiri. Jujur
saja, agama mana yang memiliki Ketelitian dan keadilan semacam ini!
Selain itu, Islam
juga melarang pengikutnya menghambur-hamburkan kertas. Dalam surat yang
ditujukan kepada para wakilnya, Imam Ali menulis, " Perunanglah pena-pena kalian."
Maksudnya, runcingkanlah ujung-ujung pena kita. "Dan dekatkanlah jarak
antar kalimat dalam tulisan kalian".
Artinya, antara
satu kalimat dengan kalimat yang lain dalam tulisan kita jangan sampai terdapat
jarak pemisah yang cukup senggang.
"Hapuslah berbagai tambahan." Hapuslah berbagai kata tambahan
yang tidak perlu. "Raihlah makna
yang dituju."
Ketimbang menulis
kalimat secara bertele-tele, hendaknya kita langsung mengemukakan inti
persoalan yang termaktub di dalamnya.
"Hati-hatilah terhadap penghambur-hamburan." Kita harus
menghindarkan diri dari tulisan serta penggunaan kertas yang berlebih-lebihan.
"Sesungguhnya, kaum Muslimin tidak boleh sampai menanggung kerugian
harta."
Maksudnya,
mengingat kertas untuk menulis tersebut merupakan milik baitul mal, maka kalau
terjadi pemborosan terhadapnya akan mengakibatkan pelbagai kerugian yang harus
ditanggung (baitul mal).[6]
Dalam khotbah
ke-222, Imam Ali memberikan uraian yang sangat memukau berkenaan dengan
pentingnya keadilan serta keharusan menjauhkan diri dari kezaliman.
Beliau
berkata, "Demi Allah, jika tujuh
wilayah[7]diberikan kepadaku dengan syarat aku harus bermaksiak kepada Allah
sekalipun hanya dengan merampas sebutir gandum yang bertengger di mulut seekor
semut, aku tidak akan pernah bersedia. Demi Allah, apabila sejak malam hingga
pagi hari tubuhku digelindingkan di atas pisau-pisau yang sangat tajam, itu
jauh lebih baik ketimbung kelak ketika di hadapan Allah dan Rasulnya yang
mulia, aku digolongkan sebagai orang-orang yang zalim."
Usaha Penambah
PenghasilanSuatu ketika, Talhah dan Zubair menemui amirul mukminin Ali bin Abi Thalib. Kemudian,
keduanya berkata, "Umar telah memberi bagian kepada kami melebihi
pemberian kepada Muslimin lainnya."
Dengan ungkapan
ini, mereka sebenarnya ingin mengisyaratkan agar Imam Ali juga memberi mereka
bagian yang lebih banyak. Imam Ali bertanya, "Kalian diberi apa oleh
Rasulullah?" Mendengar itu, mereka langsung terdiam. Beliau lantas
melanjutkan ucapannya, "Tidakkah Rasul saww senantiasa memberi bagian
kepada seluruh kaum Muslimin secara sama rata?" Mereka menjawab,
"Ya." Imam kembali bertanya, "Apakah saya mesti mengikuti sunnah
Rasulullah ataukah cara-cara Umar?" Mereka menjawab, "Jelas, sunnah
Rasulullah." Lagi-lagi beliau mempertanyakan, "Lantas mengapa kalian
mengharap bagian yang lebih banyak?"
Mereka menjawab,
"Karena kami memiliki jasa yang cukup banyak dalam mengembangkan Islam dan
kami juga merupakan kerabat dekat Rasul saww. Kami juga sering ikut serta dalam
berbagai peristiwa sulit dan getir!"
Imam berkata,
"Dalam tiga hal tersebut, saya lebih utama dari kalian. Sebabnya, saya
beriman kepada Nabi saww sebelum kalian; saya menantu Rasul saww; saya
kemenakannya; dalam berbagai peperangan, saya lebih banyak menghunus pedang
daripada kalian.
Demi Allah,
walaupun memiliki berbagai kelebihan dan juga duduk sebagai pemimpin
pemerintahan, namun bagian yang saya terima sama persis dengan bagian yang
diterima para pegawai yang bekerja di sudut-sudut sana."[8]
Penyalahgunaan
KedudukanAmirul mukminin Ali bin Abi Thalib, dalam suatu kesempatan di
Kufah—kota yang menjadi pusat pemerintahannya, menyampaikan ceramah kepada
masyarakat. "Saudara-saudara
sekalian, seandainya kelak saya meningglkan kota ini, sementara kalian
menyaksikan kondisi (hidup) saya berubah dari sebelumnya, umpama saja dalam hal
berpakaian (menjadi serba mewah), tunggangan (menjadi berlebihah), makanan
(menjadi serba lezat), kepemilikan budak (menjadi banyak), dan dalam hal
pengelolaan pemerintahan ini (dengan memiliki kehidupan serba kecukupan),
ketahuilah bahwa selama memegang pemerintahan ini, saya telah berkhianat kepada
kalian semua."
Seusai
nembagi-bagikan roti yang dibaluri daging cincang kepada umat Islam, beliau
kemudian mengambil bagiannya sendiri; ternyata hanya roti belaka (tanpa
dibubuhi daging secuilpun)! Imam Ali berkata:
"Wahai warga Kufah! Kalau aku keluar dari negeri kalian tanpa
bekal, tunggangan, atau budak fulan (sebagaimana biasa), maka sesungguhnya aku
telah berkhianat...".[9]
Persamaan dalam
IslamNabi mulia saww hidup di tengah-tengah masyarakat hanya dengan mengenakan
pakaian yang cukup sederhana. Pada suatu hari, ketika beliau sedang berada di
masjid, seorang asing bermaksud menemuinya. Tatkala tiba di masjid, orang
tersebut merasa kesulitan untuk menentukan manakah Rasul saww.
Setelah beberapa
saat menatap wajah-wajah yang hadir di masjid tersebut, ia pun bertanya,
"Siapakah di antara kalian yang Rasulullah?" Demikianlah. Namun,
bukan cuma itu. Setiap kali duduk bersama para sahabatnya, beliau senantiasa
membentuk lingkaran, sehingga tidak pernah terjadi pengistimewaan antara satu
sama lain.
Dengan kata lain,
semua itu dimaksudkan agar pertemuan tersebut tidak sampai memunculkan anggapan
adanya seorang atau lebih sahabat yang duduk (atau didudukkan) lebih tinggi
atau lebih rendah. Ya, kebersamaan, kesederhanaan, dan kebersihan merupakan
ciri-ciri khusus ajaran para Nabi.
Nepotisme Tidak
DibenarkanSeorang wanita dari bani Makhzum —salah satu kabilah terkenal—
melakukan pencurian. Rasul saww mengambil keputusan untuk tetap menjatuhkan
hukuman Ilahi terhadapnya. Pada saat bersamaan, keluarga si wanita tersebut
menganggap pelaksanaan hukuman itu bakal merusak citra mereka. Karenanya,
mereka berusaha mati-matian membatalkan pelaksanaan hukuman tersebut dengan
mengutus seorang sahabat Rasul saww bemama Usamah.
Rasul saww
menjadi marah dan bersabda kepada Usamah,
"Apakah engkau menjadi perantara yang menghendaki agar hukum Allah
tidak terlaksana?” Penyebab kesengsaraan
dan kebinasaan umat-umat terdahulu adalah ketika orang-orang kaya dan terkenal
melakukan kesalahan, hukum Allah tidak diberlakukan kepada mereka; sebaliknya,
kalau yang berbuat salah itu orang-orang miskin dan tidak populer, segera saja
hukum Ilahi diberlakukan atasnya. “Demi
Allah, seandainya anakku Fatimah mencuri, saya akan memotong tangannya”.[10]
Hukum Cambuk
Tanpa Pandang BuluPerintah agar masyarakat Islam menjaga kesuaan dirinya
bersifat umum. Selain mewajibkan kaum wanita menutupi sekujur tubuhnya (dengan
hijab), serta mengharuskan pelaksanaan amar ma'ruf dan nahi munkar, perintah
tersebut juga membolehkan pihak-pihak tertentu untuk mencambuk orang-orang yang
melakukan kesalahan dan kejahatan. Memang, hukuman cambuk akan menjatuhkan
harga diri pihak yang bersalah.
Namun, mengingat
orang-orang tersebut telah merusak dan mencemarkan kesuaan masyarakat,
melecehkan ajaran-ajaran sua agama. dan memberi peluang bagi orang lain
melakukan pelanggaran, tentunya hukuman itu harus secara tegas dijatuhkan
kepada mereka (yang memang tidak bermoral) dengan disaksikan khalayak ramai!
Hukuman ini merupakan ibadah yang harus dijalankan sesuai dengan ketentuan
Allah, dan bukan dimaksudkan sebagai tindakan balas dendam.
Dalam sebuah
hadis, dikisahkan tentang seorang wanita yang telah berbuat zina dan digiring
ke pengadilan. Setelah mengusut dan meneliti kejadian yang sebenarnya, Imam Ali
memerintahkan agar hukum Allah diberlakukan terhadap wanita tersebut. Qanbar,
petugas pelaksana hukuman itu, dikarenakan pengaruh amarah yang meledak-ledak,
menambah tiga cambukan dari jumlah yang telah ditentukan.
Ketika Imam
mengetahui peristiwa itu, Imam dengan seketika mengambil alih cambuk tersebut
dan memerintahkan Qanbar berbaring. Kemudian, beliau pun mencambuknya sebanyak
tiga kali.
Inilah wajah
pengadilan Islam yang betul-betul adil. Terhadap seseorang yang bertahun-tahun
telah berkhidmat, dan sekarang ini bertugas sebagai pelaksana hukuman, Imam
tetap memberlakukan hukum Allah dengan tegas dan adil.
Usulan
PenyuapanSetelah bertahun-tahim lamanya, pemerintahan (Islam) pada akhirnya
diserahkan kepada ahlinya, Imam Ali bin Abi Thalib. Pada suatu hari, sejumlah
orang yang masih belum mengenal Islam secara benar dan memiliki gaya berpikir
layaknya para politikus dan diplomat internasional, menemui Imam Ali. Mereka
menyatakan, "Pemerintanan baru saja berdiri dan Anda amat memerlukan
kekuatan untuk memperkokoh sendi-sendi pemerintahan. Menurut hemat kami, usaha
terbaik bagi Anda adalah membagi-bagikan harta baitul mal kepada para pemimpin,
pembesar, dan sanak keluarga.
Dengan begitu,
niscaya mereka tidak akan menentang Anda." Sebagai jawaban kepada para
politikus yang tidak mengenal Allah dan sosok diri beliau, Imam Ali berkata,
"Apakah kalian berharap orang yang seperti aku ini akan memperkokoh
sendi-sendi pemerintahan dengan kezaliman dan penindasan!! Apakah dengan kaki
syirik, kita dapat melangkah menuju tauhid?[11] Aku menerima kepemimpinan ini
justru dimaksudkan untuk menyapu bersih ketidakadilan (penindasan) serta
pengduaran tidak pada tempatnya. Sekarang, kalian berharap agar aku melakukan
perbuatan buruk yang justru harus aku lenyapkan?"
Masalah Keutamaan
DiriImam Ja'far ash-Shadiq berkata,
"Seluruh umat Islam adalah anak dari Islarn dan dalam membagi
baitul mal, saya tidak akan membeda-bedakan antara satu sama lain. Berbagai
keutamaun dan kesempurnaan maknawiah seperti lebih berpengalaman, lebih
berilmu, lebih bertakwa, lebih banyak berjihad, dan sebagainya, berhubungan
dengan hari kiamat, bukan berhubungan dengan perolehan bagian yang lebih banyak
dari baitul mal".[12]
Nampaknya
pernyataan ini berhubungan erat dengan pelbagai harapan atau corak pemikiran
pihak-pihak tertentu yang menginginkan agar setiap orang yang memiliki
kelebihan dan keutamaan diperhatikan secara khusus serta layak mendapat bagian
lebih banyak dari baitul mal. Namun melalui pernyataan itu, Imam ash-Shadiq
dengan tegas mengecam dan menolak harapan serta corak berpikir pemikiran
semacam itu.
Anggapan bahwa
keutamaan dan kelebihan tertentu meniscayakan seseorang diberi bagian lebih
banyak, tentu bakal memicu dua kesalahan fatal;
1. Menilai
unsur-unsur kesempurnaan tersebut dengan sesuatu yang tidak berharga.
2. Mengguncang
keikhlasan orang-orang yang memiliki keutamaan dan kelebihan, sehingga dalam
meraih berbagai kesempurnaan tersebut, mereka akan cenderung kepada hal-hal
yang bersifat material. Tidak diragukan lagi, penilaian terhadap kesempurnaan
maknawiah dan jiwa berdasarkan pada banyak-sedikitnya penerimaan bagian dari
baitui mal, sesungguhnya merupakan pukulan telak bagi kesempurnaan itu sendiri
serta kepada orang-orang yang memiliki kesempurnaan.
Sebuah Kritikan
TajamDalam mengawasi jalannya pemerintahan serta pelaksanaan tugas yang diemban
para wakilnya, Imam Ali sendiri langsung terjun ke lapangan. Semua itu
dilakukan dengan cara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.
Pada saat itu
pula, masyarakat memiliki kebebasan penuh untuk mengadukan langsung kepada Imam
Ali berbagai kelemahan kerja para wakil beliau.
Di antara pelbagai aduan yang diajukan, salah satunya berkenaan dengan
wakil beliau di Persia. Isinya menyebutkan bahwa dalam hal pembagian baitul
mal, wakil tersebut membeda-bedakan antara Muslimin dan keluarganya sendiri. Ia
memberi sanak saudaranya bagian yang lebih banyak dari yang diterima kaum
Muslimin pada umumnya. Figur keadilan itu (Imam Ali) memberi peringatan kepada
wakilnya melalui sebuah surat yang berbunyi,
"Engkau tidak boleh membeda-bedakan walau sekecil apapun antara
Muslimin dan sanak keluargamu."[13]
Teguran Imam
kepada UmarDalam berbagai pesan yang ditujukan kepada Umar, Imam Ali
menyatakan, "Perhatikanlah secara
cermat, tiga soal penting ini; pertama, dalam melaksanakan hukum, janganlah
engkau membeda-bedakan berbagai individu; kedua, dalam keadaan senang dan marah, hendaklah
engkau menjalankan hukum sesuai perintah Allah;
ketiga, dalam rnembagi baitul mal, janganlah engkau menjadikan ras
sebagai tolok ukur."[14]
Kondisi kejiwaan
(senang dan marah), kesamaan atau kecenderungan rasial, semangat kesukuan dan
kabilahisme, serta segenap bentuk hubungan kekerabatan bukanlah tolok ukur
untuk menjalankan hukum Ilahi.
Mengapa Imam
Meninggalkan PengadilanPada masa pemerintahan Umar, seseorang mengadukan Imam
Ali kepada hakim setempat. Kedua orang bersengketa itu kemudian hadir di
pengadilan. Hakim yang semestinya berbicara dan bahkan memandang serta
memanggil keduanya secara adil dan tanpa pandang bulu, justru memberlakukan
perbedaan yang tercermin dalam caranya memanggil Imam dengan sebutan yang lain;
si hakim memanggil Imam dengan menyebut nama julukan beliau (Abu al-Hasan, yang
sekaligus merupakan penghormatan), sementara terhadap pihak yang lain, ia hanya
menyebut namanya saja.
Mendengar itu,
Imam langsung gusar dan segera meninggalkan ruang pengadilan seraya
berkata, "Seorang hakim yang adil
tidak boleh membeda-bedakan antara dua orang yang berselisih. Engkau telah
membeda-bedakan dalam memanggil kami berdua; engkau memanggil saya dengan
penghormatan khusus. Pengadilan ini tidak Islami."[15]
Noktah penting
yang tertera dalam kejadian ini perlu diperhatikan dengan seksama; kehadiran
sosok mulia seperti Imam Ali di sisi seseorang yang tidak populer, kendati
tanpa pengadilan khusus, waktu khusus, ataupun hakim khusus, akan menjadikan
keadilan Islam berkilau dan terlaksana dengan benar.
Keadilan
BersikapSepanjang perjalanan bersama al-Quran, kita menyaksikan bahwa dalam
menghadapi pelbagai persoalan penting, al-Quran senantiasa bersikap adil,
bijaksana, dan netral. Dalam kesempatan ini, saya akan menguraikan secara
ringkas, sejumlah contoh berikut:
1. Sebelum
mengharamkan minuman keras, al-Quran terlebih dulu menyinggung persoalan yang
berkenaan dengan keuntungan darinya (pembuatan minuman keras dari sisi ekonomi,
kedokteran, dan sebagainya). Baru setelah itu dikatakan, "...tetapi dosa keduanya lebih besar
dari manfaatnya." Kerugian yang diakibatkan meminum minuman keras, jauh
lebih besar dari manfaatnya, yang dalam hal ini juga akan cepat berlalu.[16]
2. Meskipun
memiliki pelbagai kesempurnaan serta kelebihan, al-Quran tetap tidak
mengabaikan kitab-kitab Samawi lainnya. Dikatakan, "Dan (aku datang kepadamu) membenarkan
Taurat yang datang sebelumku..."[17] Aku mempercayai kitab-kitab (sua)
yang diturunkan sebelum aku; Taurat dan Injil yang masih otentik dan tidak
mengalami perubahan. Pernyataan ini sekaligus menunjukkan bahwa al-Quran telah
bersikap adil.
3. Berkenaan
dengan kejujuran ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), seseorang tidak akan hanya
menjumpai satu-dua penjelasan saja di dalamnya. Lebih dari itu, ditegaskan
bahwa sebagian dari mereka terdiri dari orang-orang yang teramat jujur. Saking
jujurnya, sampai-sampai kalau ada seseorang yang menitipkan harta cukup banyak,
mereka tidak akan berkhianat; mereka bakal mengembalikan secara keseluruhan
harta titipan tersebut kepada si penitip.
Memang, di
samping itu, ada juga sebagian darinya yang sedemikian hina dan gemar
berkhianat. Kelakuannya sudah sedemikian rupa, sampai-sampai kalau kita
menmpkan uang seratus rupiah saja, mereka tidak akan pernah mau
mengembalikannya kepada kita.[18]
Semua itu
merupakan bukti kebenaran dan keadilan ucapan serta penjelasan Rasul saww
mengenai orang-orang yang menampik ajakannya. Dalam pelbagai riwayat dan kode
etik Islami, dipesankan agar kalau dalam suatu perbincangan ilmiah yang
bertujuan untuk mencari keadilan dan kebenaran terjadi perdebatan dan
pertengkaran antar beberapa pihak, seyogianya kita menarik diri darinya.
Sekalipun dalam kenyataannya, kebenaran dan keadilan tersebut berpihak kepada
kita.
Adil Terhadap
Orang-orang Kafir dan MusuhBersikap adil bukan hanya dilakukan terhadap kawan,
namun juga terhadap lawan yang dihadapi di medan peperangan:
1. "Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu),
maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir."[19]
Kalau musuh hendak membunuhmu, maka bunuhlah mereka dengan segera. Itulah
pembalasan bagi orang-orang kafir. Dalam hal ini, keadilan dipraktikkan dengan
membunuh. Sementara kalau tidak dilakukan (membunuh musuh), maka kita akan
dicap sebagai orang penakut dan pengecut. Namun itu bukan berarti bahwa dalam
setiap penyerangan dan gempuran, kita yang harus terlebih dulu memulainya.
Melainkan, kita harus menggerakan perlawanan yang seimbang dengan kekuatan
musuh yang menyerang.
2. "Dan barangsiapa dibunuh secara zalim,
maka sesungguhnya Karni telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi
janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh."[20]
Siapa saja yang
dibunuh secara aniaya dan tanpa alasan yang jelas, Kami akan menganugerahkan
kekuasaan serta kebijakan kepada walinya (kalau mereka berniat menuntut balas,
walinya tersebut sanggup melakukan balas-bunuh, sedangkan kalau tidak, maka ia
dapat menuntut harga yang harus ditebus dari nyawa yang melayang).
Akan tetapi,
dalam menuntut balas, para wali dan ahli waris si terbunuh tersebut tidak
diperbolehkan bertindak secara berlebihan dan melampaui batas. Ini sekaligus
sebagai koreksi terhadap apa yang terjadi pada masa jahiliah; masa ketika
seseorang terbunuh, seluruh sanak kerabatnya bangkit mununtut balas dan tidak
akan berhenti sampai berhasil membantai beberapa orang sebagai harga yang
dianggap pantas untuk dibayar untuk kematian seorang dari keluarganya tersebut.
Dalam menghadapi
bentuk fanatisme semacam itu, al-Quran memerintahkan untuk bertindak adil, "Tetapi janganlah ahli waris itu
melampaui batas dalam rnembunuh." Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam
menuntut balas. Kalian hanya berhak membalas sesuai dengan batas-batas kelakuan
si pembunuh bersangkutan. Tatkala sedang dalam keadaan terluka parah setelah
ditikam Ibnu Muljam, Imam Ali berwasiat kepada kedua puteranya yang mulia, Imam
Hasan dan Imam Husain, antara lain, "Janganlah
kalian menuntut balas bunuh karenaku melainkan hanya pada pembunuhku. "
Dikarenakan
kesyahidan ku janganlah kalian kemudian melakukan pembantaian massal. Hanya
pembunuhku (Ibnu Muljam) sajalah yang harus kalian hukum. Kemudian beliau
melanjutkan. "Maka, pukullah ia
dengan satu pukulan dikarenakan satu pukulan. "
Maksudnya, ia
hanya sekali saja menetak kepalaku dengan pisau belatinya. Karenanya, kalian
juga mesti menetak kepalanya dengan belati itu hanya sekali saja.[21] Kendati
tengah bersimbah darah, amirul mukmmm
Ali bin Abi Thalib tetap tidak bergeming dari jalur keadilan.
3. Di antara
pelbagai hasil yang sukses diperoleh dari perjuangan Islam ialah terbentuknya
kawasan luas yang disebut al-Haram
(Tanah suci). Di kawasan tersebut, siapapun tidak dibenarkan untuk mengobarkan
peperangan dan saling berbantah-bantahan. Kawasan tersebut merupakan kawasan
bebas-hidup; binatang yang hidup di situ tidak boleh diburu; pepohonan yang
tumbuh dilarang dipetik.
Meskipun
demikian, al-Quran menegaskan bahwa kalau musuh menyerang di kawasan itu, kita
tetap harus mesti mempertahankan diri dan menyerukan perlawanan. Bahkan, kalau
sampai mereka melakukan pembunuhan, maka kita diperintahkan untuk balas
membunuh mereka semua. Pembunuhan yang kita lakukan dimaksudkan sebagai balasan
bagi orang-orang yang kafir.[22]
4. Serangan balik
yang kita lancarkan harus sepadan dengan kekuatan serangan para musuh. "Oleh sebab itu, barangsiapa yang
menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya
terhadapmu."[23]
5. Setiap pribadi
Muslim harus bertindak adil dan bijaksana terhadap orang-orang yang tidak
melakukan pengrusakan, pembunuhan, perampokan, serta pengusiran orang-orang
Muslim.
"Allah tiada
melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil".[24]
6. Di tempat
lain, al-Quran menyatakan, "Dan
jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan
siksaan yang ditimpakan kepadamu." Apabila tidak mampu bersabar dan hendak
menuntut balas, maka kita dibolehkan untuk melancarkan balasan. Namun, tentunya
semua itu harus sesuai dan tidak melampaui kadar dari tindakan mereka
sebelumnya terhadap kita. Di atas semua itu, bersabar terhadapnya justru
merupakan sikap yang jauh lebih baik.
"Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih
haik bagi orang-orang yang bersabar."[25]
7. Dalam surah
al-Maidah juga disebutkan, "Dan
jangan sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil." Permusuhan dengan suatu kaum jangan sampai membuat
kita bersikap tidak adil.
8. Sekalipun
terdapat banyak sekali ayat yang berkenaan dengan masalah ini, namun di sini
saya hendak menguraikan sebuah ayat lain beserta sedikit penjelasan. "...dan janganlah kamu mengatakan kepada
orang yang rnengucapkan 'salam' kepadamu, 'Kamu bukan seorang mukmin , (lalu
kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia...".[26]
Ayat ini
diturunkan sehubungan dengan terjadinya sebuah peristiwa sebagai berikut; Rasul
saww mengutus serombongan kaum Muslimin demi mengetahui sikap yang mesti
diambil terhadap orang-orang Yahudi Khaibar.
Salah seorang
dari mereka (orang-orang Yahudi) yang menimbun hartanya di sebuah gunung,
datang menyambut kedatangan kaum Muslimin dan memperlihatkan diri telah memeluk
Islam.
Saking
tergesa-gesanya dalam bersikap, sebagian Muslimin mengatakan,
"Keislamannya tak lebih dari tipuan dan siasat belaka. Sebabnya, ia merasa
takut akan jiwa dan hartanya sehingga mengharuskannya menampakkan diri semacam
ini."Akhirnya, merekapun langsung membunuhnya.
Kemudian,
turunlah ayat yang menyatakan bahwa kalau ada seseorang yang menampakkan
keislaman, janganlah dikatakan bahwa ia bukan seorang Muslim, sehingga dengan
begitu diperoleh cara (yang tidak benar) untuk membunuhnya dan juga merampas
hartanya. Hindarkanlah diri kita dari pengambilan keputusan secara
tergesa-gesa.
Jelas, perintah
itu bukan mengharuskan kita untuk gampang percaya dan pasrah menghadapi
berbagai tipu muslihat dan siasat licik musuh. Toh, di akhir ayat ini juga
disebutkan bahwa dalam menghadapi kejadian semacam itu, kita harus melakukan
penelitian secara seksama; bukan buru-buru melakukan pembunuhan dan bukan pula
gampang percaya terhadap bentuk lahiriah. Jalan tengah yang harus ditempuh
adalah menjaga keadilan sosial dengan terlebih dulu melakukan pemeriksaan dan
kajian secara cermat. Begitulah prinsip keagamaan dan keadilan sosial yang
harus kita junjung dalam menghadapi orang-orang yang menolak ajaran Islam;
bersikap adil dan lemah lembut kepada mereka yang tidak mengganggu, dan memberi
balasan serupa kepada orang yang telah berbuat kesalahan dan bertindak kejam.
Denda (diyah) dan hukum balas (gishash) merupakan jaminan bagi tegaknya keadilan
sosial, "Dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu..."[27]
Secara tata
bahasa, kata al-qishaash berarti 'yang
datang kemudian'. Lantaran para wali dari orang terbunuh akan melancarkan
pembalasan yang setimpal terhadap si pembunuh, dan itu berarti meniru perbuatan
si pembunuh (karena akan membunuh), perbuatan itu disebut dengan al-qishaash.
Salah satu
kebiasaan orang-orang Arab jahiliah adalah berupaya mati-matian membalas orang
yang membunuh salah seorang atau lebih dari mereka. Bahkan, hanya dikarenakan
terbunuhnya satu orang saja, mereka tega membunuh dan membantai seluruh sanak
dan keluarga si pembunuh.
Berkenaan dengan
itu, turunlah ayat di atas, yang isinya menjelaskan tentang bentuk-bentuk
hukuman yang adil. Undang-undang qishash
Islam sungguh teramat adil.
Islam berbeda
dengan ajaran Yahudi yang hanya menyandarkan diri pada hukum qishash semata. Juga bukan layaknya ajaran
Nasrani dewasa ini yang menyatakan kepada para pengikutnya bahwa untuk itu
hanya tersedia dua cara; memaafkan atau denda (tidak terdapat qishash, —pent.).
Memang, tak
jarang pelaksanaan hukum qishash menimbulkan berbagai dilema. Di satu pihak,
hukum tersebut menimbulkan dampak yang cukup negatif. Selain itu,
pelaksanaannya nampak tidak rasional. Misalnya saja pembunuh dan yang dibunuh
ternyata kakak-beradik, atau memiliki hubungan keluarga satu sama lain.
Dalam kondisi
semacam ini, kalau tetap dijalankan, tentu hukum qishash tersebut akan kian memukul batin
anggota kduarga masing-masing. Sementara kalau tidak diberlakukan, dan diganti
dengan hanya membayar denda atau permohonan maaf, tentu si pembunuh bakal
semakin nekat melakukan pembunuhan atau berbagai tindak kriminal lainnya.
Biarpun demikian,
Islam telah menetapkan keharusan untuk tetap menjatuhkan hukuman dasar
yaitu qishash. Kendati di samping itu juga terdapat
kelonggaran hukum berupa pemberian maaf atau penerimaan denda. Namun, semua itu
sangat bergantung pada pilihan para wali dari orang yang terbunuh.
Hukum Qishash dalam Al-Quran"Dan Kami telah
tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas)
dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga,
gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishashnya. "(al-Maidah: 45)
Sebagian pihak
menafsirkan ayat tersebut berikut ini; di masa Rasul saww, terdapat dua kabilah
termasyhur, Bani Nadhir dan Bani Quraidhah, yang sama-sama tinggal di kota
Madinah. Bani Nadhir senantiasa bertindak sewenang-wenang. Apabila seseorang
dari kabilahnya membunuh seorang anggota Bani Quraidah, mereka tidak akan
melakukan hukum qishash.
Akan tetapi,
kalau seorang Bani Quraidhah membunuh seorang Bani Nadhir, dengan segera mereka
akan menjatuhkan hukuman mati kepada si pelaku. Kemudian Islam datang dan
menghapus bentuk diskriminasi semacam itu. Bani Nadhir yang telah memeluk Islam
memohon kepada Rasul saww agar tetap memberlakukan hukuman sesuai dengan hukum
jahiliah, di mana hukum qishash hanya
menguntungkan pihak mereka. Rasul saww menolak permohonan tersebut dan bersabda
bahwa keadilan dalam menerapkan qishash
bukan cuma diwajibkan Islam saja. Keharusan bersikap adil juga dijelaskan dalam
kitab Taurat.[28]
Jika seseorang
dengan sengaja membunuh seorang yang tidak bersalah, maka wali-wali dari yang
terbunuh itu berhak untuk menuntut balas atas kematiannya dan menjatuhi hukuman
mati, "Dan Kami telah tetapkan
terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasannya jiwa dengan jiwa."
Dalam pandangan
hukum ini, kalau seseorang merusak atau melukai mata orang lain, ia harus dibalas
dengan setimpal (yang melakukan pengrusakan harus mengalami kerusakan dan luka
yang sama); mata dengan mata. Kalau sampai hidungnya yang terpotong, dibolehkan
baginya untuk memotong hidung pelakunya; hidung dengan hidung. Dan kalau sampai
telinga yang terpotong, maka balasannya adalah juga potong telinga; telinga
dengan telinga. Sedangkan bila gigi yang dipatahkan, maka sebagai gantinya,
gigi si pelaku harus juga dipatahkan; gigi dengan gigi.
Alhasil, secara
umum, seseorang yang melukai atau mencederai orang lain wajib di qishash. Oleh sebab itu, hukuman qishash
harus dilaksanakan tanpa pandang bulu. Dalam hal ini tidak boleh dilakukan
diskriminasi terhadap suatu ras, martabat (kasta) dalam masyarakat, kabilah,
maupun masing-masing individu.
Beribadah secara
SeimbangDalam pelbagai riwayat ditekankan bahwa ketika jiwa seseorang tidak
siap melaksanakan segenap peribadahan yang tidak wajib, maka ia dilarang
memaksakan diri untuknya. Oleh karena itu, sudah sepantasnya apabila kita
berusaha sekuat tenaga agar peribadahan yang ditunaikan senantiasa diiringi
dengan semangat serta kesiapan hati dan jiwa.
Imam Ja'far
ash-Shadiq berkata, “Jangan kalian
memaksakan ibadah atas diri kalian." Janganlah kalian memaksakan ibadah
tertentu terhadap diri kalian sendiri. Dalam hadis lain disebutkan, "Jangan kalian paksakan ibadah kepada
Allah atas hamba-hamba Allah."
Jangan sampai
kalian memaksakan peribadahan tertentu kepada hamba-hamba Allah. Terlebih dalam
hal mendidik serta membina anak-anak.
Dalam hal ini,
amat dianjurkan untuk memberi kebebasan serta kelonggaran kepada mereka. Tidak
dibenarkan untuk membiarkan mereka keletihan lantaran menunaikan ibadah yang
tidak wajib. Kita tentu banyak menjumpai hadis Rasul saww yang menjelaskan
persoalan ini dengan amat tegas dan gamblang.
Keadilan
MemujiSebagaimana telah disebutkan bahwa masalah menjaga keseimbangan dan
memperhatikan keadilan merupakan poros utama kehidupan setiap Muslim. Di antara
pelbagai persoalan yang harus benar-benar diperhatikan terkait dengan masalah
pujian dan celaan yang dilakukan secara zalim dan tidak pada tempatnya.
Tindakan demikian
jelas bakal menimbulkan pelbagai dampak buruk pada diri individu maupun
masyarakat. Imam Ali berkata.
"Berlebih-lebihan dalam memuji adalah bujukan. Dan enggan memberikan
pujian yang pantas adalah lemah atau dengki."[29]
Kalau pujian yang
kita lontarkan jauh melampaui yang selayaknya diterima, maka itu tak lain dari
bujukan, rayuan, atau bahkan jilatan. Sedangkan kalau tidak berani
mengungkapkan pujian yang semestinya, menunjukkan bahwa diri kita lemah atau
merasa iri dan dengki. Dalam keadaan demikian, jiwa kalian tidak sanggup untuk
menghadapi pujian yang disampaikan kepada orang lain.
Alhasil, dalam
memuji orang lain, kita harus bersikap adil dan jujur. Kalau tidak, kita bakal
dicekam salah satu dari, atau bahkan, kedua aib tersebut.
Keadilan
Mencintai dan MencelaDalam mencela, ternyata kita juga harus bersikap adil.
Imam Ali berkata, "Berlebih-lebihan
dalam mencela menyalakan api keras kepala."[30]
Keterlaluan dalam
hal mencela bakal menimbulkan dampak negatif, yaitu melahirkan sifat degil dan
keras kepala (pada diri orang yang dicela) dan menghapus sifat mudah menerima.
Para ayah dan ibu
harus betul-betul memperhatikan masalah ini. Kecintaan dan kasih sayang yang
melampaui batas akan mengakibatkan anak menjadi manja dan senantiasa ingin
disanjung. Ini sebagaimana sabda Rasul saww yang intinya menyatakan bahwa akan
celakalah ayah dan ibu di akhir zaman nanti; dikarenakan kecintaannya yang amat
sangat, jiwa sang anak secara berangsur-angsur mengeras dan dicemari sifat
egois.
Namun, pada sisi
yang lain, kasih sayang yang diberikan kepada anak-anak juga tidak boleh
terlampau minim. Sebuah hadis mengatakan,
"Barangsiapa memiliki anak maka ia menjadi kanak-kanak."
Seseorang yang
memiliki anak harus berlaku seperti anak-anak: senantiasa menyertai mereka
dalam bermain dan berbicara. Dengan demikian, jiwa sang anak niscaya akan
terpuaskan dan terpenuhi kebutuhannya.
[1] Subhi
Shaleh, op. cit., hal. 347.[2] Baqir
Syarif al- Quraisyi, Hayat al-Imam
Hasan, jilid I, hal.388.
[3] Subhi Shaleh, op. cit., khotbah ke-205, hal. 322.
[4]
Ibid., surat ke-27, hal. 383.
[5]
Wasail asy-Syi'ah, jilid VIII,
hal. 499.
[6] Biharal-Anwar, jilid XLI, ha. 105.
[7] Sebagaimana
sekarang ini, bola bumi terbagi menjadi beberapa benua. Dahulu kala, bagian
bumi yang dihuni manusia disebut dengan tujuh kawasan.
[8] Biharul-Anwar, jilid XLI, hal. 116.
[9] Ibid. hal.l37.
[10] Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, dinukil oleh Ruhuddin Islami.
[11]
Wasail as-Syi'ah, jilid XI, hal.10.
[12]
Ibid, hal.81.
[13] Muhammad Abduh, Nahj al-Balaghah, jilid III, hal. 76.
[14]
Wasail asy-Syi'ah, jilid XVII, hal. 156, dinukil dari buku al-Hayat, jilid II, hal. 387.
[15]
Shaut al-'Adalah al-Islamiyah, dinukil dari buku Dastan-e Rastan.
[16] Al-Baqarah: 219.
[17] Ali Imran: 50.
[18] Ali Imran: 75.
[19] Al-Baqarah: 191.
[20] Al-Isra': 33.
[21] Subhi Saleh, op. cit, hal. 422.
[22] Al-Baqarah: 191.
[23] Al-Baqarah: 193.
[24] Al-Mumtahanah: 8.
[25] An-Nahl:
125.
[26] An-Nisa':94.
[27] Al-Baqarah:
179.
[28] Qurtubi,
Tafsir Namuneh, berkenaan dengan ayat
ke-45, surah al-Maidah.
[29] Nahj al-Balaghah, "Faidh al-Islam",
hikmah ke-339, hal. 1249.
[30] Tuhaf al-'Uqul.
KESEIMBANGAN BERINFAK DAN BERPENGELUARAN
Sekalipun
pembahasan ini masih berkisar pada masalah keadilan sosial, namun kita akan
memanfaatkan pelbagai petunjuk lainnya yang termaktub dalam al-Quran dan hadis.
Di antaranya yang berkenaan dengan problema keadilan dan keseimbangan dalam
berinfak serta pengeluaran sehari-hari. Islam senantiasa menganjurkan agar
manusia benar-benar memperhatikan masalah keseimbangan dan keadilan.
Dalam memuji
orang-orang yang mulia, al-Quran mengatakan,
"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di
tengah-tengah antara demikian."[1]
Orang-orang
dimaksud tidak boros dan tidak pelit dalam berinfak. Mereka senantiasa berdiri
dalam posisi yang adil dan seimbang dalam hal pemberian. Dalam surat Bani
Israil[2], Allah Swt berfirman kepada Rasul-Nya, "Dan janganlah kamu jadikan tanganmu
terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu
kamu menjadi tercela dan menyesal."[3]Maksudnya, dalam berinfak, janganlah
kita melingkarkan tangan di leher sendiri (sebuah kiasan terhadap kekikiran,
mengingat tangan di leher identik dengan keengganan merogoh saku).
Namun pada sisi
lain, janganlah milik kita diinfakkan seluruhnya, sebab boleh jadi kelak kita
justru memerlukannya. Masalah menjaga keseimbangan —yang umumnya disebut
'berhemat dalam kehidupan'—banyak tercantum dalam pelbagai riwayat. Ini
sekaligus menunjukkan betapa pentingnya persoalan tersebut.
Keadilan dalam
Lingkup Keluarga"Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja."[4] Kalau kita merasa khawatir tidak akan
sanggup berbuat adil terhadap isteri-isteri kita, maka cukupkanlah diri kita
dengan hanya (menikahi) satu isteri saja.
Kendatipun
kehidupan Nabi mulia saww tengah menjelang hari-hari terakhirnya (di mana
kondisi tubuh beliau terus menurun), namun beliau tetap memperlakukan seluruh
isterinya secara adil. Setiap malam, tempat peraduan beliau dipindah-pindahkan
dari kamar isteri yang satu ke kamar isteri yang lain yang mendapat giliran.[5]
Aisyah, salah satu isteri Nabi saww, mengatakan: "Rasul saww sama sekali tidak pernah
lebih mengutamakan satu isteri dari isteri yang lain. Beliau senantiasa
bersikap adil tanpa pandang bulu. Setiap hari beliau menemui isterinya secara
satu persatu dan menanyakan keadaan mereka, namun dalam menetap di rumah
dilakukan secara bergilir. Jika hendak mengganti giliran, beliau terlebih
dahulu akan meminta ijin dari isterinya itu."
Kemudian Aisyah
melanjutkan, "Saya sendiri tidak
pernah memberikan giliranku kepada yang lain."[6] Semasa memiliki dua isteri, Imam Ali bin Abi
Thalib yang terbiasa berwudhu, tidak akan berwudhu di rumah isteri yang bukan
gilirannya. Demikianlah. Yang pasti, sebagaimana darah, keadilan harus
dialirkan ke seluruh jaringan urat-urat kehidupan masyarakat.
Keadilan
EkonomiSistem perekonomian Islam harus ditopang oleh keadilan. Sistem semacam
ini harus disusun sedemikian mpa sehingga tidak sampai menghilangkan hak
seseorang.
Dalam sistem
ekonomi Islam, setiap individu masyarakat harus memperoleh penghasilan sesuai
dengan jenis pekerjaannya. Dan dengan penghasilan tersebut pula, ia bisa
menutupi segenap kebutuhan hidup dirinya.
Waktu
BekerjaIslam menganjurkan agar setiap orang membagi rentang waktu kehidupannya;
waktu bekerja, beribadah, beristirahat, dan menikmati berbagai hal yang halal.
Dengan demikian, segenap kebutuhanjasmani dan rohani manusia niscaya akan
terpuaskan.[7]
Berkenaan dengan
itu, seseorang yang memiliki lahan kerja secara berlebihan, sampai-sampai lahan
orang lain tersita, harus diawasi langsung oleh
Wilayatul Faqih atau Hakim Islami (penguasa Muslimin) —yang dalam hal
ini juga dapat memberlakukan kebijakan tertentu kepada orang tersebut. Umpama
saja, sejumlah orang berupaya menghidupkan (menyuburkan dan mendayagunakan)
berkilo-kilo meter tanah mati (tandus atau gambut). Upaya semacam ini memang
sesuai dengan undang-undang —"Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang
mati maka tanah itu menjadi miliknya".
Namun, apabila
upaya itu ternyata menyebabkan sejumlah orang lain kehilangan lahan kerja, maka
pemerintah Islam berhak membatasi pengelolaan tanah tersebut secara adil.[8]
Adapun sekaitan dengan jenis pekerjaan yang ditekuni, Islam melarang dan
mengharamkan jenis pekerjaan yang buruk, bisa memicu kerusakan,dapat
menyebabkan kecanduan, dan sebagainya.
Keadilan
MembagiImam Ali berkata,
"Sesungguhnya yang jauh sama seperti yang
dekat."[9]Orang-orang yang tinggal di daerah terpenal harus mendapatkan
bagian yang sama dengan orang yang hidup di kawasan dekat (kota). Dana atau
kekayaan milik negara harus digunakan demi kepentingan masyarakat.
Pemerintah harus
membagi-bagi pundi-pundi kekayaannya kepada masyarakat secara sama rata. Tidak
pernah dibenarkan apabila pemerintah memberi bagian yang lebih banyak kepada
kaum kerabat atau orang-orang dekatnya ketimbang kepada khalayak umum.
Salah satu tugas
yang harus diemban para nabi adalah menyerukan umatnya ke arah keadilan. Nabi
Syuaib as, misalnya. Seusai menguraikan ketauhidan dan kenabian, hal pertama
yang beliau sampaikan adalah keadilan.
Seraya itu,
beliau memperingatkan para pedagang yang gemar mengurangi timbangan dan ukuran
(dagangannya), "Sempurnakanlah
takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan; dan timbanglah
dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada
hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat
kerusakan."[10]
Berkaitan erat
dengan hak-hak masyarakat, seyogianya kita tidak menguranginya barang
secuilpun. Dengan kata lain, kita harus memenuhi takarannya secara penuh. Dalam
berdagang, timbanglah barang dagangan kita dengan menggunakan timbangan yang
benar. Janganlah kita mengurangi kadar yang semestinya diberikan. Kalau tetap
dilakukan, maka sebenarnya kita telah menciptakan kerusakan di muka bumi ini.
Dalam surah
al-Muthaffifin, difirmankan,
"Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang." Artinya,
celakalah orang-orang yang mengurangi barang dagangannya. Orang semacam ini,
secara tajam memberlakukan perbedaan antara menerima dan memberi (menjual);
penuh dalam penerimaan, kurang dalam pemberian (penjualan).
Keadilan Meraup
Keuntungan dan PenggunaanDalam mengkonsumsi sesuatu, setiap orang wajib
memperhatikan keadilan. Dalam sejumlah ayatnya, al-Quran menegaskan, "Makanlah dari buahnya (yang
bermacam-macam itu) bila ia berbuah."[11]
Maksudnya, begitu
pohon-pohon berbuah, segera manfaatkanlah buah-buah yang dihasilkannya. Namun
jangan lupa, pada saat memetiknya, berikan juga bagian orang-orang miskin. Di
tempat lain, dikatakan, "... makan
dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan." Kita memang dibolehkan makan
dan minum. Akan tetapi, kita tidak diperbolehkan berfoya-foya dengannya.[12] "Makanlah di antara rezeki yang baik
yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang
menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu."
Maksudnya,
makanlah jenis (makanan) yang baik, yang Allah berikan kepada kita. Namun,
jangan sampai kita berlebih-lebihan dan malampaui batas dalam mengkonsumsi
makanan.[13] Tatkala menjabarkan tentang sifat orang-orang bertakwa, Imam Ali
menyatakan, "Dan pakaian mereka
adalah kesederhanaan".[14]
Orang-orang
bertakwa senantiasa mengenakan pakaian sederhana. Imam Ja’far ash-Shadiq
berkata, "Kalau manusia bersikap
sederhana dalam hal makanan, niscaya tubuhnya akan tegap."[15]
Kalau seseorang
tidak berlebih-lebihan dalam hal mengkonsumsi makanan, tentu tubuhnya akan
selalu sehat dan kuat.
Di samping itu,
al-Quran juga menguraikan persoalan yang berkenaan dengan kadar, kelayakan,
serta kehalalan jenis makanan yang hendak dikonsumsi. Selain pula menggariskan
keharusan untuk tetap memperhatikan ketakwaan dalam upaya mendapatkannya.[16]
Para nabi, imam,
dan fukaha merupakan figur-figur penjaga keadilan. Dalam upaya menegakkan
keadilan, kita harus benar-benar memperhatikan sabda para nabi. Sebabnya, di
kehidupan ini, pasti terdapat konflik kepentingan antar individu, sehingga
meniscayakan terjadinya perebutan serta pertengkaran.
Dalam keadaan
demikian, masing-masing pihak yang bersengketa tentu akan mengklaim dirinya
yang benar, atau minimal enggan mencabut kata-kata yang telah diucapkannya.
Berdasarkan itu, Islam secara tegas memerintahkan setiap individu yang
bersemangat menegakkan keadilan untuk merujuk kepada Rasul saww; "Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah dan Rasul (al-Quran dan sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian."[17]
Kalau kita saling
bertikai dalam suatu persoalan, segera merujuklah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Merujuk kepada keduanya merupakan bukti nyata bahwa kita memiliki keimanan yang
sebenarnya kepada Allah dan hari akhir. Sekaitan dengan itu pula, sebuah hadis
mengatakan, "Ulama adalah pewaris para nabi."[18]
Oleh karenanya,
dalam menghadapi suatu pertengkaran yang dikhawaiirkan bakal melewati
batas-batas keadilan sehingga menyebabkan terampasnya hak-hak orang lain,
seseorang wajib merujukkan dirinya kepada para ulama yang adil -yang dalam hal
ini akan mengeluarkan suatu hukum (fatwa) yang tentunya bersesuaian dengan
firman Allah.
Muslim Sebatas
NamaTatkala seseorang yang berselisih (yang mengira dirinya seorang Muslim)
tidak merujuk kepada orang yang layak, malah merujuk kepada pengadilan milik
penguasa zalim (thaghut), seraya
berharap bakal mendapatkan keadilan darinya, jelas keimanannya harus kembali
diperiksa. "Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang
diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak
berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah
mengingkari thaghut itu".[19]
Tidakkah kita
menyaksikan orang-orang yang menganggap dirinya Muslim dan mengimani firman
Allah yang diturunkan lewat para nabi, namun dalam praktiknya, menolak
menyelesaikan perselisihannya di hadapan orang-orang yang layak?
Sebaliknya,
mereka malah lebih cenderung menyelesaikannya di hadapan penguasa yang zalim.
Orang-orang semacam ini menyangka dirinya Muslim dan beriman, padahal tidak demikian
kenyataannya. Sebab, Allah telah memerintahkan mereka untuk tidak mengadukan
persoalannya kepada penguasa zalim
(thaghut) dan kafir, namun semua itu tidak dihiraukan sama sekali!
Kontrol Keadilan
Sosial: Tanggung Jawab Para Ahli Hukum (Fakih)Allah Swt sang Penapta, melalui
Rasul-Nya, telah menunjukkan kepada kita tman langkah menuju puncak kebahagiaan
hidup yang kekal dan abadi. Rasul saww merupakan pemimpin, penjaga hak-hak,
serta pembimbing masyarakat. Setelah Rasul saww (wafat), yang mendapat giliran
berikutnya untuk mengemban tugas dan bertanggung jawab membimbing serta
memimpin masyarakat adalah para imam.
Dari sisi
kelayakan, keilmuan, kemaksuman, serta segenap sifat kebaikan lainnya, mereka
identik dengan pribadi Rasul saww yang mulia. Pada masa gaib Imam Zaman Mahdi
al-Muntazhar, tanggungjawab tersebut dipikul para fukaha yang betul-betul
mengenal Islam. Selain harus berkeadilan, layak, dan berwawasan luas dalam hal
perpolitikan dan kepemimpinan, mereka juga harus berkemampuan untuk mengeluarkan
hukum-hukum Allah dalam kerangka ayat-ayat al-Quran dan segenap ucapan para
imam maksum.
Dalam hal ini,
mereka harus mampu, ahli, dan mahir benar sehingga layak disebut sebagai
fukaha. Ini sesuai dengan perintah Imam Mahdi yang ditujukan kepada seluruh
masyarakat, "Dan jika terjadi
berbagai peristiwa, maka kalian mesti merujuk kepada para periwayat hadis
kami...."[20]
Dalam menghadapi
pelbagai peristiwa, janganlah kita membuat keputusan secara tergesa-gesa dan
seenaknya sendiri. Dalam arti, kita diharuskan untuk menghubungi seorang fukaha
adil yang tidak terpengaruh hawa nafsu. Dari fukaha tersebut, kita akan
memperoleh penjelasan tentang hukum Allah yang berkenaan dengan permasalahan
itu.
Wilayatul Faqih:
Pilar Keadilan SosialImam Ridha berkata,
"Jika Dia tidak menjadikan bagi mereka seorang pemimpin yang
senantiasa mengurusi, menjaga, dan memperhatikan, maka agama akan
hancur."[21] Kalau saja Allah tidak menentukan seorang pemimpin yang
senantiasa mengurusi pelbagai persoalan serta mengawasi masyarakat secara adil
dan bijaksana, niscaya akan muncul berbagai kekacauan dan kegalauan. Dalam
hadis lain disebutkan, "Fukaha
adalah orang-orang kepercayaan para rasul."[22] Para fakih merupakan
orang-orang kepercayaan para rasul. Karenanya, dalam upaya menegakkan sebuah
sistem yang adil, kita wajib merujuk atau menyandarkan diri kepada mereka.
Salah seorang
sahabat kepercayaan Imam Ja'far ash-Shadiq bernama Abu Khudzaifah, pada suatu
hari diutus Imam untuk menyerukan masyarakat agar, ketika menghadapi berbagai
perselisihan dan berupaya menegakkan keadilan, merujuk kepada para fukaha yang
adil, "Jadikanlah di antara kalian
seorang yang telah mengetahui halal dan haram kami (sebagai hakim) karena
sesungguhnya kami telah menjadikannya sebagai hakim."[23]
Berdasarkan itu,
kita wajib merujukkan segenap persoalan halal-haramnya sesuatu kepada
pengadilan seseorang yang memang memiliki pengetahuan mendalam tentangnya. Ini
mengingat mereka telah didaulat para imam sebagai hakim bagi kita sekalian.
Adakalanya dalam kehidupan bermasyarakat muncul persoalan yang tidak jelas
hukumnya dalam al-Quran maupun hadis.
Dalam hal ini,
dikarenakan memiliki pengetahuan tentang pelbagai garis kebijakan, ketentuan,
standar, dan kaidahnya, seorang fakih tentu mampu menyimpulkan sebuah hukum
(berdasarkan al-Quran dan hadis atau ucapan para imam) yang berkenaan dengan
permasalahan tersebut.
Setiap kali
masyarakat mengalami guncangan dalam bidang politik, ekonomi, ataupun keamanan,
seorang fakih dengan kekuasaan di tangannya, berhak mengeluarkan kebijakan
hukum dalam jangka waktu tertentu demi mewujudkan kembali keseimbangan sosial.
Umpama, dengan mengeluarkan larangan terhadap sejumlah transaksi, memobilisasi
massa, meningkatkan pajak pendapatan, menutup sejumlah perusahaan, dan sejenisnya.
Tatkala
menyaksikan perekonomian (waktu itu, Persia) telah jatuh ke tangan Inggris
lewat rekayasa perdagangan tembakau, Mirza Syirazi segera melakukan tekanan
terhadap pemerintahan zalim saat itu dengan cara mengharamkan tembakau!
Sedangkan Imam Khomeini-
semoga Allah merahmatinya— mengeluarkan perintah kepada para serdadu militer
untuk meninggalkan pos-pos rezim Syah dan mendongkel Reza Pahlevi dari tahta
kepemimpinan. Imam Ali juga menentukan zakat atas kuda dan penghasilan pribadi,
sehingga memunculkan pertanyaan, "Pada masa Rasulullah saww, beliau tidak
menentukan pajak atas kuda; lantas mengapa Anda menentukannya?"
Beliau menjawab,
"Saya memiliki kekuasaan atas Muslimin dan pada tahun ini kita menghadapi
suatu kondisi yang tidak seperti biasanya. Dengan memanfaatkan kekuasaan yang
ada, saya berusaha mengumpulkan harta dalam jumlah lebih banyak untuk baitul
mal. Dan dikarenakan itulah saya memutuskan bahwa kudajuga harus
dizakati."[24]
Kisah Seputar
Hukum (Kaidah Fikih)Di antara kebebasan yang diberikan Islam kepada manusia
adalah kebebasan bertempat tinggal. Tak seorang pun dibenarkan memasuki tempat
kediaman orang lain tanpa izin, “Hai
orang-orang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum
meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya." Al-Quran menegaskan
agar jangan sampai kita memasuki rurnah orang lain tanpa izin.[25]
Alkisah, pernah
hidup seseorang yang keras kepala dan suka mengganggu ketenangan tetangganya,
Orang itu bernama Samurah. Acapkali, dirinya memasuki kebun milik salah seorang
sahabat Rasul saww tanpa meminta izin terlebih dahulu. Bukan cuma itu, ia juga
sering memandangi isteri serta anak wanita dari sahabat Rasul saww tersebut.
Kebiasaannya memasuki kebun itu didukung alasan, "Saya memiliki sebatang
pohon yang terletak di ujung kebun itu, dan kedatangan saya adalah untuk
melihat pohon itu." Sahabat Rasul saww itu berkata, "Tak ada masalah
kalau engkau bermaksud melihat pohon yang memang milikmu itu.
Namun sebelumnya
hendaklah engkau meminta izin terlebih dahulu sehingga isteri dan anakku
mengenakan hijabnya." Samurah kontan menjawab, "Tidak perlu."
Kemudian, si pemilik kebun tersebut mengadukan si pengganggu itu kepada Rasul
saww. Mendengar semua itu, beliau langsung menasihati dan memperingatkan dirinya
(Samurah). Namun, dasar keras kepala, ia tidak menghiraukan sama sekali nasihat
serta peringatan Rasul saww. Setelah itu, Rasul saww menawarkan,
"Bagaimana kalau pohonmu itu saya ganti dengan pohon di tempat lain."
Namun, Samurah
menampiknya. Rasul saww lantas melanjutkan, "Jual saja pohonmu itu
kepadanya (pemilik kebun)!" Lagi-lagi, ia menolak tawaran tersebut. Beliau
saww tetap memberi penawaran, "Kalau memang begitu, minimal sewaktu hendak
memasuki kebun itu, engkau harus meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik
kebun." Namun, kembali ia menolaknya. Dan Rasul saww masih menawar,
"Biarkan saja pohon itu dan saya akan menggantinya dengan pohon di
surga."
Keadaannya masih
seperti semula; menolak dan bersikap keras kepala. Rasul saww mengetahui bahwasannya
lelaki itu memang sengaja bermaksud menganggu, merugikan, dan bersikap keras
kepala. Karenanya, beliau langsung memerintahkan si pemilik kebun untuk
mencabut pohon tersebut beserta akar-akarnya.[26]
Faktor-faktor
Penyebab PenyelewenganPada umumnya, sebagaimana dikemukakan oleh al-Quran,
terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan seseorang menyeleweng dari garis
keadilan. Pertama, anta diri (egoisme).
Dalam hal ini,al-Quran mengatakan,
"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka
Allah lebih tahu kemashlahatannya."[27]
Wahai orang-orang
beriman, tegakkanlah keadilan dengan sebenar-benamya. dan kesaksian yang
diberikan hendaklah semata-mata demi Allah, sekalipun itu bakal merugikan diri,
kedua orang tua, dan sanak kerabat sendiri. Lagi pula jangan sampai soal kaya
atau miskin mempengaruhi kesaksian tersebut, sebab hanya Allahlah yang layak
menjaganya.
Orang-orang
beriman ditugaskan untuk membela hak (kebenaran) tanpa pandang bulu. Ayat ini
sekaligus mengisyaratkan bahwa berbagai hubungan sosial (persahabatan,
kekerabatan,dan persaudaraan) mengandungi bahaya yang mampu menyelewengkan
seseorang dari batas-batas keadilan.
Adapun
penyebab kedua adalah kebenaan terhadap
seseorang atau kelompok tertentu. Sekaitan dengan itu, al-Quran
menegaskan, "Hai orang-orang yang
beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu rnenegakkan (kebenaran),
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa."[28]
Wahai orang-orang
beriman, hendaklah kalian benar-benar beramal secara ikhlas dan hanya demi
Allah, sekaligus juga bersikap adil dalam memberikan kesaksian. Jangan lantaran
permusuhan dengan suatu kaum, kalian keluar dari garis keadilan.
Danjangan pula
kalian mengingkari pelbagai kesaksian yang telah diberikan. Al-Quran
berkali-kali mengeluarkan perintah kepada manusia agar bersikap adil dan
bijaksana. Sebabnya, semua itu akan menjadikan manusia lebih dekat pada
ketakwaan (menjadi bertakwa).
Dalam ayat ini,
disinggung pula persoalan kebenaan, permusuhan, dan kekecewaan. Dikatakan,
apabila sampai menyelimuti jiwa seseorang, semua itu niscaya akan mempengaruhi
caranya menilai dan bertindak di tengah-tengah masyarakat. Penyebab ketiga adalah memberi suap (risywah). Al-Quran jelas-jelas menentang
keras tindakan tersebut; "Dan
janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan
jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa padahal kamu mengetahui."[29]
Ayat ini
menegaskan agarjangan sampai kita memakan harta satu sama lain dengan cara-cara
yang keliru dan batil. Imam Ja’far ash-Shadiq berkata, "Adapun seseorang yang memberi suap
dalam hukum, maka sesungguhnya itu merupakan kufur kepada Allah Yang
Mahaagung."[30]
Dalam konteks
ini, melakukan suap dalam permasalahan hukum merupakan perbuatan kufur kepada
Allah. Sebuah hadis Rasul saww yang cukup termasyhur menyatakan, "Allah mengutuk orang yang memberi suap
dan orang yang menerima suap serta seseorang yang menjadi perantara
keduanya." Allah akan menjauhkan rahmat-Nya dari orang yang memberi dan
menerima suap, serta orang yang menjadi perantara keduanya. Tidak diragukan
lagi, perbuatan memalukan ini tak jarang dikemas dengan sebutan hadiah,
cenderamata, komisi, atau imbalan atas jerih payah. Suatu hari, Rasul saww
mendapat laporan tentang salah seorang gubernurnya yang menerima suap dalam
bentuk hadiah.
Seketika itu
pula, Rasul saww gusar dan langsung menegurnya, "Mengapa engkau menerima
yang bukan hakmu?" Ia (sang gubernur dimaksud) menjawab, "Yang saya
terima adalah hadiah, bukan suap!"
Rasul saww
bersabda, "Apakah kalau seseorang di antara kalian yang diam di rumah saja
dan kami tidak memberinya tugas apapun, lalu orang-orang akan memberinya
hadiah?" Seandainya hanya berdiam diri di mmah saja dan bukan menjadi
gubernur beliau di suatu daerah, apakah masyarakat akan memberinya hadiah?!
Islam
menganjurkan agar seorang hakim tidak pergi ke pasar. Alasannya, kalau dirinya
sendiri yang pergi ke pasar, lalu para pedagang memberi potongan harga, besar
kemungkinan itu akan mempengaruhi dirinya dalam menghakimi.
Kalau sudah
demikian, jangan heran jika nantinya (dalam menghadapi dan memutuskan suatu
perkara) ia akan cenderung memihak orang-orang yang telah memberi potongan
harga tersebut.
Ayat yang
Menjadikan Rasulullah Merasa Berusia LanjutRasul saww pernah bersabda, "Dalam sufah Hud, terdapat sebuah ayat
yang membuat saya merasa berusia lanjut, dan ayat itu adalah, "Maka
tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu...
(Hud: 112)’”
Tetaplah engkau
bertahan di atas jalan yang telah diperintahkan kepadamu. Dengan memperhatikan
ayat ini secara seksama, kita akan mengetahui dengan jelas bahwa perintah
bertahan dan bersabar bukan sesuatu yang baru. Sebabnya, perintah yang sama
juga terdapat dalam banyak ayat yang lain. Namun, ternyata ada ari khusus yang
termaktub dalam ayat ini, "...
sebagaimana diperintahkan kepadamu...." (kama umirta). Pernyataan
ini mengisyaratkan bahwa tak jarang seseorang bertahan dan tetap berteguh hati
(dalam menghadapi pelbagai problema kehidupan) bukan lantaran perintah Allah,
melainkan didasari oleh sikap keras kepala dan fanatisme buta. Ataujuga lebih
dikarenakan kekhawatiran terhadap omongan masyarakat (sehingga masyarakat tidak
sampai mengatakan si fulan melepaskan semua itu dikarenakan rasa takut atau
keletihan).
Dan tak sedikit
di antaranya yang merasa terpaksa untuk bertahan demi memamerkan kekuatan
dirinya. Menurut pandangan Allah, upaya untuk tetap bertahan dengan dilandasi
unsur-unsur semacam itu sama sekali nihil dan tidak memiliki arti. Sebab, semua
itu telah menyimpang dari jalur kebenaran dan berada di luar komando llahi.
Dalam al-Quran
difirmankan, "Dan orang-orang yang
sabar karena mencari keridhaan Allah."[31] Orang-orang tersebut bersabar,
tetap bertahan, dan berteguh hati dikarenakan mengharap kerelaan Allah. Upaya
tersebut bukan didorong oleh keinginan untuK membalas dendam, mencari
pengaruh,dan rasa takut terhadap hujatan orang lain.
Pendeknya,
menegakkan keadilan dan melangkah di atas rel ketentuan Ilahi merupakan sesuatu
yang amat sulit dan berat. Dalam melaksanakan semua itu jangankan kita, para
wali Allah saja senantiasa memohon pertolongan Allah Swt. Sekaitan dengan itu,
besar kemungkinan, yang dimaksud dengan
sirath (jalan) yang lebih tipis dari sehelai rambut dan lebih tajam dari
sebilah mata pedang itu tak lain dari jalan Ilahi di dunia ini.
Keadilan dan
Kontrol MasyarakatDalam peraturan umum berlalu lintas, seluruh mobil diharuskan
berjalan di sebelah kiri jalan. Dalam keadaan demikian, tentunya seluruh
pengemudi kendaraan akan saling memperhatikan satu sama lain. Ketika mereka
menyaksikan seorang pengemudi melakukan pelanggaran (berjalan di sebelah kanan
jalan, —pent.), jelas semuanya akan memperingatkan dengan membunyikan klakson
atau menyalakan lampu.
Kalau seorang
polisi mengetahui langsung kejadian itu, tentu ia akan langsung menindak sang
pelaku pelanggaran dan menjatuhkan denda kepadanya. Namun jika si polisi itu
tidak mengetahui kejadiannya, tentu masyarakat akan memberikan kesaksian
kepadanya. Dengan kondisi semacam itu, tentu akan sangat sedikit sekali
pengemudi yang berniat melakukan pelanggaran.
Berdasarkan perumpamaan
di atas kiranya keinginan agar seluruh masyarakat dalam berbagai masalah tidak
sampai melanggar undang-undang dan keluar dari garis keadilan, hanya mungkin
terwujud apabila secara bersama-sama, masyarakat menjalankan amar ma'ruf dan
nahi munkar.
Masing-masing
individu masyarakat tidak boleh menganggap remeh segenap bentuk pelanggaran dan
harus segera bereaksi menentangnya (apabila pelanggaran terjadi. — pent.). Melalui cara ini, masyarakat akan
mempersempit ruang gerak orang-orang yang berniat melakukan pelanggaran dan
memperlakukannya secara layak. Mudah-mudahan suatu hari kelak, kita akan
menyaksikan revolusi kebudayaan Islam sukses meraih kemenangan dan menyebar ke
pelbagai universitas di seluruh penjuru dunia.
Suatu masa di
mana, misalnya, seorang mahasiswa yang telah berhasil meraih gelar dokter,
namun ketika membuka praktik, dirinya tidak mengetahui cara pengobatan jenis
penyakit yang diderita seorang pasiennya, secara jujur mengatakan, "Saya
tidak mengetahui cara pengobatannya."
Dengan penuh
keikhlasan hati, ia juga akan mengembalikan biaya pengobatan yang telah
dibenkan, dan dengan diiringi rasa persaudaraan, menunjukkan seorang dokter
spesialis di bidang pengobatan penyakit dimaksud. Pada saat itulah, kita akan
menyaksikan keadilan sosial benar-benar terwujud di tengah-tengah masyarakat.
Catatan-Catatan
[1] Al-Furqan:
67.[2] Surat Bani Israil memiliki dua nama, dan nama lainnya adalah
al-Isra'.
[3] Al-Isra': 29.
[4] An-Nisa': 3.
[5] Nizham-e Huquq-e Zan (Sistem Hak-hak Wanita)
[6]
Ibid.
[7]
Nahj al-Balaghah, "Faidh al-Islam", hal. 1271.
[8]
Iqtishaduna.
[9]
Shubhi Saleh, op. cit., surat untuk Malik al-Asytar, hal.438.
[10] Asy-Syu'ara': 180-183.
[11] Al-An'am: 141.
[12] Al-A'raf: 31.
[13] Thaha: 81.
[14] Ushul al-Kafi, jilid II.
[15] An-Nizham at-Tarbawi fi al-lslam, hal. 376;
dinukil dari buku al-Fushul al-Muhimmah.
[16] Al-Anfal:
69.
[17] An-Nisa': 59.
[18] Imam Khomeini, Wilayah al-Faqih.
[19] An-Nisa': 60.
[20] Kitab
Ikmal ad-Din; dikutip dari Imam Khomeini, Wilayah al-Faqih.
[21]
'Ilal asy-Syara’i’ jilid I hal.
172; dikutipdarilmam Khomeini,
al-Hukumah al-lslamiyah.
[22] Imam Khomeini, Wilayah al-Faqih.
[23]
Ibid.
[24]
Wasa'il asy-Syi'ah.
[25] An-Nur: 27.
[26]
Wasai 'l asy-Syi 'ah, jilid XVII,
hal. 340 (Laa dharara wa laa dhirara fi
al-lslam).
[27] An-Nisa':
135.
[28]Al-Maidah: 8.
[29]Al-Baqarah:
188.
[30] Wasa 'il asy-Syi’ah, jilid XII.
[31] Ar-Ra'd: 22.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar