Total Tayangan Halaman

Sabtu, 02 Februari 2013

Niat shalat.


Niat shalat.

Berangkat dari Hadits ini niat diatas, niat shalat menjadi bahan diskusi diantara Ulama-ulama ahli fiqih.

Al-Imam Asy-Syafi’i menyimpulkan bahwa semua amal, termasuk shalat, tiada sah tanpa dengan niat. Sementara yang lain, seperti Al-Imam Malik, menyimpulkan bahwa semua amal tidak sempurna (bukan tidak sah) tanpa dengan niat.

Bagi pengikut madzhab (pendapat) Asy-Syafi’i, berangkat dari pendapat bahwa niat adalah rukun, dimana shalat tidak sah tanpanya, maka ditulislah teks panduan niat dalam kitab-kitab madzhab tersebut, dengan menyaratkan adanya Ta’yin  (penentuan) komplit dalam niat shalat, yaitu menentukan shalat “apa” dan berapa raka’atnya, fardhu atau sunnah, melaksanakan kewajiban pada waktunya atau qadha’. Misalnya untuk shalat zhuhur;

 “Aku berniat shalat zhuhur empat raka’at, menghadap qiblat, untuk melaksanakan kewajiban yang sekarang (bukan qadha’), karena Allah ta’ala.”

Ke”komplit”an ini tidak lain adalah merupakan kepedulian ulama fiqih terhadap penjelasan tentang niat. Bahkan untuk itu mereka kemudian menyusun suatu kalimat untuk dilafalkan ketika berniat, dengan maksud sebagai usaha untuk memandu hati pada niat tersebut.

Bagi orang yang tidak mengerti maksud dan tujuannya, talaffuzh (melafalkan niat) ini dianggap sebagai bid’ah yang dibuat-buat oleh madzhab Asy-Syafi’i.

Namun tidak sedikit pula dari pengikut madzhab Asy-Syafi’i yang kemudian, ternyata, memang salah faham dengan panduan niat ini, mereka menganggap bahwa niat itu adalah menghadirkan ungkapan sebagaimana lafal niat tersebut dan mengejanya kalimat demi kalimat di dalam hati. Dan karena definisi niat itu dalah..

قَصْدُ شَيْءٍ مُقْتَرِناً بِفِعْلِهِ

 “Menyengaja sesuatu bersamaan dengan melakukannya”

Maka proses penghadiran ungkapan niat itu di lakukan pada awal takbiratul-ihram. Ironisnya, mereka yang salah faham (dengan mengeja lafal niat didalam hati) itu kemudian salah faham lagi dengan kalimat “muqtarinan bi-fi’lihi” (bersamaan dengan perbuatannya) yang ada dalam konteks definisi niat itu. Mereka menganggap bahwa proses pengungkapan niat harus rampung pada saat takbiratul-ihram, sehingga mereka menyelesaikan bacaan takbir dalam waktu yang cukup lama, karena menunggu selesainya pelafalan niat didalam hati, bahkan tidak sedikit dari mereka yang kemudian sering was-was semasa takbir, merasa niatnya tidak sah karena belum sempurna terlafalkan didalam hatinya, dan akibatnya banyak yang sering menggagalkan takbir dan mengulanginya kembali dengan niat ala mereka.

Sungguh ini merupakan kesalahfahaman yang ironis, karena selain hal ini dapat menyulitkan si peshalat, maka bagi pengkeritik madzhab Asy-Syafi’i, hal ini akan dibuat sebagai alasan untuk menyalahkan Ulama Asy-Syafi’iyah yang telah menyusun lafal niat.

Memang benar, niat itu harus rampung pada saat takbir, artinya kesadaran dan kesengajaan untuk shalat itu harus sudah hadir didalam hati sebelum takbir usai. Namun, sekali lagi, bukan melafalkan niat pada saat takbir.

Niat itu praktis.

Untuk memahami niat yang sebenarnya, marilah kita simak perumpamaan berikut ini; Ketika si Amin menyerahkan selembar uang kepada seorang pengemis, si Amin bermaksud bersedekah uang sebesar lima ratus rupiah. Setelah uang itu diterima oleh si pengemis, si Amin baru sadar bahwa uang lembaran itu ternyata pecahan lima ribu rupiah. Si Amin merasa keberatan untuk membiarkan semua uang itu diambil si pengemis, namun untuk menukarnya atau minta kembalian adalah sesuatu yang tidak mungkin. Maka si Amin pun mengelus dada seolah hal itu adalah musibah.

Menyikapi ihwal si Amin ini, kita dapat berdiskusi mengenai hal berhubungan dengan niat. Si Amin bersedekah dengan maksud lima ratus rupiah, namun yang terjadi adalah ia keliru menyerahkan uang pecahan lima ribu rupiah. Sebenarnya si Amin tidak ikhlas dengan yang empat ribu lima ratus rupiah, namun apa boleh buat, karena uang itu oleh si pengemis telah dimasukkan kedalam kantong bajunya.

Kalau mereka mengatakan bahwa si Amin hanya mendapatkan pahala dari uang yang lima ratus rupiah, tentu semua orang akan membenarkan mereka dan si Amin pun tidak akan merasa keberatan. Akan tetapi kalau mereka bertanya dulu kepada si Amin, apakah sewaktu menyerahkan uangnya ia berniat dengan mengungkapkan seumpama kalimat “aku berniat menyerahkan uang lima ratus rupiah ini kepada pengemis ini sebagai shadaqah sunnah, karena Allah”, maka tentu saja si Amin akan jengkel dan berkata, “Memangnya siapa yang bilang harus niat begitu?”

Demikian pula dengan niat shalat, yang dimaksud dengan niat itu adalah bersengaja dan bermaksud, sehingga ada bedanya dengan orang yang sedang mengigau, atau orang yang lupa waktu, atau orang yang belum hafal betul tentang jumlah raka’at shalat. Adapun bagi orang yang sudah rapi menghadap qiblat di masjid, serta sadar dengan waktu shalatnya, misalnya shalat zhuhur, dan sudah puluhan tahun melakukan shalat sehingga hafal betul kalau shalat zhuhur itu empat raka’at, maka apa lagi yang ia perlukan dalam niatnya? Apakah kesiapannya dengan mengangkat tangan untuk bertakbir itu belum cukup untuk disebut niat?

Satu hal lagi hendaknya mereka perhatikan, kalau memang niat itu harus seperti faham mereka, maka ingatlah bahwa niat itu harus “muqtarinan bifi’lihi” (bersamaan dengan perbuatannya). Nah, lalu kenapa proses talaffuzh di hati itu hanya mereka pusatkan pada saat takbir? Bukankah perbuatan shalat itu bukan hanya takbir, melainkan semua amalan mulai takbir sampai salam? Kalau memang niat itu harus melafalkan panduan niat dihati, maka sepanjang shalat hati kita hanya akan sibuk dengan kalimat “Aku berniat shalat zhuhur empat raka’at, dengan menghadap qiblat, untuk melaksanakan kewajiban yang sekarang, karena Allah Ta’ala.”  Sungguh ini adalah suatu kesimpulan dari sebuah faham yang keliru!

Hendaknya hal ini difahami oleh para peshalat, terutama pengikut madzhab Asy-Syafi’i yang mengharuskan niat dalam shalat, terutama lagi oleh orang-orang yang sering was-was semasa bertakbir.

Ketahuilah bahwa syetan telah memanfaatkan kesalahfaman mereka untuk mengganggu mereka. Karena dengan kesalahfahaman itu biasanya seseorang melakukan beberapa kekeliruan, diantaranya;

1.      Memanjangkan bacaan “Allaah” melebihi batas panjangnya, yaitu tiga huruf atau enam harakat (enam detik).

2.      Mengurungkan takbir dan mengulang dari awal, padahal apabila seseorang telah membaca takbir shalat maka berarti ia telah masuk dalam shalat, dan tidak boleh (haram) membatalkan shalat kecuali sangat terdesak.

3.      Meninggalkan konsentrasi terhadap kandungan makna takbir demi untuk talaffuzh di hati yang tahshilul-hasil (mengusahakan seseuatu yang telah tercapai), karena sebenarnya niatnya telah tercapai. Padahal, sewaktu takbir, semestinya kita merasakan kebesaran dan kewibawaan Allah Azza wa-Jalla, sehingga sewaktu bertakbir hati kita menjadi ciut dan terkesiap karena takut kepada Allah Azza wa-Jalla.

Kesimpulannya, niat shalat menurut madzhab Asy-Syafi’i adalah sebagai berikut:

a.       Niat adalah rukun shalat. Niat shalat artinya bersengaja di hati (bukan melafalkan sengaja di hati) untuk melakukan shalat tertentu, bersengaja fardhu atau sunnah, bersengaja dengan raka’at tertentu, bersengaja menghadap qiblat, bersengaja ada’ (sholat pada waktunya) atau qadha’ (shalat mengantikan yang terlewatkan), bersengaja jadi makmum (kalau bermakmum) dan bersengaja karena Allah. Niat atau kesengajaan itu harus sudah dilakukan atau terjadi sebelum takbiratul-ihram usai, dan harus terus berlangsung (tidak putus) sampai salam, karena fi’lu (kelakuan shalat) itu adalah semua bagian shalat mulai dari takbiratulihram sampai salam. Perlu diperhatikan bahwa niat dan talaffuzh bin-niyyah (melafalkan niat) itu adalah dua hal yang berbeda!

b.      Talaffuzh bin-niyyah di mulut dan di hati sebelum takbiratul-ihram adalah “sunnah” dalam arti mustahabb (disukai atau dianjurkan), apabila talaffuzh ini memang dapat membantu kesiapan shalat.

c.       Talaffuzh bin-niyyah di mulut pada saat takbiratul-ihram adalah hal yang tidak mungkin. Karena mulut tidak mungkin dapat mengucapkan takbir dan lafal niat dalam satu waktu, melainkan mesti harus bergantian; entah lafal niat terlebih dahulu atau takbir dahulu.

d.      talaffuzh bin-niyyah (bukan niat) di hati pada saat takbiratul-ihram adalah hal yang tidak semestinya. Karena, apabila peshalat telah sadar bahwa ia sedang atau mulai melakukan suatu shalat, maka talaffuzh bin-niyyah adalah tahshilul-hashil (mengusahakan sesuatu yang telah tercapai). Dan bahkan gara-gara talaffuzh yang tidak semestinya itu, peshalat justru mengorbankan sesuatu yang semestinya dan penting, yaitu menghadirkan kandungan makna takbiratul-ihram.

Dari itu, bila kita telah siap untuk shalat, pastikan di hati bahwa kita hendak menghadap Allah ‘Azza wa-Jalla, pastikan kalau kita sadar hendak shalat, misalnya, zhuhur, pastikan bahwa kita tidak lupa kalau zhuhur itu empat raka’at, pastikan kalau kita sudah menghadap ke qiblat, pastikan apakah sedang shalat ada’ atau shalat qadhaa’, pastikan apakah kita shalat sendirian atau berma’mum, kemudian dengan mantap kita angkat kedua tangan seraya mengucapkan “Allaahu Akbar”, kita ucapkan dengan fasih dan tenang, hayati makna takbir dengan penuh khusyu’.

Sungguh niat itu sangat praktis, kecuali bagi orang yang tidak memahami niat dengan sebenarnya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar