Total Tayangan Halaman

Selasa, 12 Maret 2013

Hawa Nafsu (Itba al-Hawa) dan Penjelasannya


Sesungguhnya bagi manusia di dunia ini hanya ada dua jalan; Jalan Kebenaran dan Jalan Hawa Nafsu. Jalan kebenaran adalah petunjuk yang diturunkan oleh Allah SWT, Sedang hawa nafsu merupakan jalan yang diprakarsai oleh setan sebagai musuh manusia guna menimbun bahan bakar api neraka pada hari kiamat nanti, melawan hawa nafsu berarti mengikuti jalan Allah dengan penuh kesabaran[1], sebagaimana Allah SWT berfirman[2]:
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا قُوْا اَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَاْلحِجَارَةُ
عَلَيْهَا مَلَئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَّ يَعْصُوْنَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
“ Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
Hawa nafsu berarti kecenderungan manusia kepada perkara yang di sukai oleh jiwanya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa para salaf menggelari sebagian orang yang menisbatkan diri kepada ilmu atau ibadah sebagai pengikut hawa nafsu, karena mereka menyelisihi petunjuk Allah SWT, yaitu ilmu agama yang diwahyukan kepada para khalifah-Nya, seperti yang telah difirmankan kepada Nabi Dawud AS[3]:

يَادَاوُ دُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيْفَةً قِى الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعِ الْهَوَى
فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ , إِنَّ الَّذِيْنَ يَضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ بِّمَا نَسُوْا يَوْمَ الْحِسَابِ .
“Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”.
Secara bahasa Itba’ al-Hawa berarti mengikut hawa nafsu, sedang secara istilah yaitu orang yang lebih mengikuti jeleknya hati yang telah diharamkan oleh hukum syariat, itulah orang yang selalu mengikut hawa nafsu.[4]
Dari definisi diatas dapat kita fahami bahwa itba’ al-hawa berarti mengikuti hawa nafsu untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang hukum syara’, berbuat hal-hal yang dilarang agama. Dengan demikian, itba’ al-hawa merupakan pangkal perbuatan maksiat, sumber malapetaka dan kemungkaran. Orang yang bersikap demikian akan tersesat dari jalan Allah dan dikenai siksa di akhirat kelak. Oleh karena itu, hawa nafsu harus dikekang dan dikendalikan agar manusia dapat meninggalkan perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah SWT.[5]
Hawa nafsu menjalar pada diri seseorang laksana sebuah penyakit yang sangat ganas, bahkan lebih berbahaya dari virus (rabies)nya seekor anjing. Hawa nafsu lebih berbahaya karena tidak disadari oleh pengidapnya, tetapi ia lebih mematikan. Jika rabies dapat membinasakan jasad manusia(jasmani), maka hawa nafsu bisa menghancurkan jiwanya (rohani). Sehingga hatinya pun mati dan gelap gulita, dan pada akhirnya dia tidak lagi mampu menerima petunjuk dari Allah SWT.
Dalam menghadapi hawa nafsu sangat dibutuhkan kesabaran. Seorang yang ingin bertahan di atas jalan Allah harus memiliki nyali yang besar untuk melawan hawa nafsu. Allah menegaskan di dalam Al-Qur’an[6]:
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبََّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهُ
وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً.
“ Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”.
Amirul Mukminin Ali Karramallahu Wajhahu dalam Nahjul Balaghahnya berkata: “Sesungguhnya yang paling aku kuatirkan pada kalian adalah dua hal, yaitu taat pada hawa nafsu dan mempunyai angan-angan yang panjang.”
Diriwayatkan melalui Imam Shadiq bahwa Rasulullah saw bersabda: “Waspadalah terhadap hawa nafsu kalian sebagaimana kamu sekalian waspada terhadap musuh. Tiada yang lebih pantang bagi manusia daripada mengikuti hawa nafsu dan ketergelinciran lidah yang tak bertulang.”
Dalam ayat lain Allah berfirman[7]:

قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُوْا فِىْ دِيْنِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ
وَلاَ تَتَّبِعُوْا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوْا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوْا كَثِيْرًا وَّضَلُّوْا عَنْ سَوَاءَ السَّبِيْلِ
“Katakanlah: “Hai ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus”.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT juga telah menegaskan bahwa hawa nafsu merupakan bahaya laten bagi orang-orang yang berilmu, karena mereka bisa saja menjadi sesat walaupun berilmu. Sebabnya tak lain adalah karena mengikuti hawa nafsu. Sehingga ilmu yang turun dari Allah tak mampu membuatnya teguh di atas jalan Allah, seperti dalam Surah Al-Jatsiyah ayat 23 Allah berfirman:
أَفَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللهُ عَلَى عِلْمٍ وَّخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ
وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَوَةً فَمَنْ يَهْدِيْهِ مِنْ بَعْدِ اللهِ أَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ .
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya[8], dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”.
Rasulullah SAW telah menyebutkan dalam hadits bahwa termasuk yang dikhawatirkan atas umatnya adalah hawa nafsu yang bisa menyesatkan. Hawa nafsu itu bisa berupa pemahaman atau syahwat.
Sebagaimana dalam surah al-Qasash ayat 50 Allah juga berfirman:
فَإِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ أَهْوَاءَ هُمْ ,
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللهِ , إِنَّ اللهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ.
“Maka jika mereka tidak Menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.
Imam Al-Ghazali membagi nafsu kepada empat bagian, yaitu:

1. Keserakahan nafsu terhadap harta benda.
Seseorang yang telah mendapat anugerah Allah maka kewajiban baginya untuk selalu mensyukuri segala nikmat-Nya. Jika engkau menjadi orang kaya, maka syukurilah. Jika dirimu berkedudukan, manfaatkanlah kekuasaan dan kedudukanmu untuk memakmurkan rakyat, bukan memanfaatkan kuasa untuk mengumpul harta benda sampai tidak habis dimakan tujuh keturunan.

2. Nafsu amarah akan membakar dan membutakan hati.
Cara terbaik untuk bisa mengendalikan nafsu amarah yang ada dalam diri sendiri dengan berusaha selalu bersabar dalam menghadapi kemarahan dan kezaliman orang lain, bersikap lapang dada, suka memaafkan dan bermurah hati. Sesungguhnya akhlak yang terpuji adalah bagi mereka yang mampu memaafkan kesalahan (kezaliman) orang lain terhadap diri kita.

Sebagaimana pesan rasul SAW: Ingat 2 perkara dan lupakan 2 perkara, yaitu:
Ingat kebaikan orang lain pada kita, dan ingat kezaliman kita pada orang lain, serta lupakan kebaikan kita pada orang, dan lupakan kezaliman orang lain pada kita, insya allah kita menjadi pribadi muslim yang sejati.

3. Kesenangan duniawi mendorong nafsu.
Kesenangan duniawi merupakan racun pembunuh yang mengalir dalam urat. Manusia selalu diingatkan agar tidak terjerumus akan kesenangan duniawi, karena hal itu akan mendorong nafsu menjadi liar. Orang berlumba mengejar kuasa, tanpa memeperdulikan kaedah yang di ajarkan agama, apalagi norma-norma pekerjaan yang sebenarnya, yang terpenting ia dapat memperoleh kekuasaan walau dengan cara apapun.

4. Nafsu syahwat.
Imam Al-Gazhali mengingatkan bahwa syaitan menggoda manusia di dunia ini melalui berbagai cara. Dan yang paling berbahaya ialah harta, wanita dan takhta (kekuasaan). Setan telah memasang perangkap godaannya, tidak sedikit manusia yang hancur dan rusak kehidupannya karena mencari kesenangan dunia semata.

Dalam ajaran Islam, nafsu itu bukan untuk dibunuh, melainkan untuk dijaga dan di kawal. Tetapi Rasulullah SAW sangat menekankan tentang adanya jihad yang batin, maknawi atau jihad melawan hawa nafsu. Ketika balik dari satu peperangan yang dahsyat melawan kaum musyrikin, Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud :
Kita baru kembali dari satu peperangan yang kecil untuk memasuki peperangan yang lebih besar. Sahabat terkejut dan bertanya, “Peperangan apakah itu wahai Rasulullah ? ” Baginda berkata, “Peperangan melawan hawa nafsu.” (Riwayat Al Baihaqi).
Rasulullah mengajak kita untuk meninggalkan satu peperangan, satu perjuangan atau satu jihad yang kecil untuk dilatih melakukan satu perjuangan atau jihad yang besar yaitu jihad melawan hawa nafsu. Orang yang berperang melawan nafsu ini nampak seperti duduk-duduk saja, tidak seperti orang lain mungkin bisa dengan bebas berekspresi, akan tetapi sebenarnya sedang membuat kerja yang besar iaitu berjihad melawan hawa nafsu.
Melawan hawa nafsu atau mujahadah al- nafs sangat susah. Mungkin kalau nafsu itu ada di luar jasad maka bisa kita pegang, mudah kita akan menekan dan membunuhnya sampai mati. Tetapi nafsu kita itu terletak ada dalam diri kita, mengalir bersama aliran darah dan menguasai seluruh tubuh kita. Karena itu tanpa kesedaran dan kemauan yang sungguh-sungguh kita pasti dikalahkan untuk diperalat sesukanya. Nafsu jahat dapat dikenal melalui sifat keji dan kotor yang ada pada manusia.
Dalam ilmu tasawuf, nafsu jahat dan liar sering disebut dengan istilah sifat madzmumah. Di antara sifat-sifat mazmumah itu seperti cinta dunia, tamak, sum’ah, riya’, ujub, gila pangkat dan harta, hasud, iri hati, dendam, sombong dan lain-lain. Sifat-sifat itu melekat pada hati seperti daki melekat pada badan. Kalau kita malas menggosok sifat itu akan semakin kuat dan menebal pada hati kita. Sebaliknya kalau kita rajin meneliti dan kuat menggosoknya maka hati akan bersih dan jiwa akan suci.
Nafsu itulah yang lebih jahat dari syaitan. Syaitan tidak dapat mempengaruhi seseorang kalau tidak meniti di atas nafsu. Dengan kata lain, nafsu adalah highway(jalan tol) atau jalan bebas hambatan untuk syaitan. Kalau nafsu dibiarkan akan membesar, maka semakin luaslah highway syaitan. Kalaulah nafsu dapat diperangi, maka tertutuplah jalan syaitan dan tidak dapat mempengaruhi jiwa kita. Sedangkan nafsu ini sebagaimana yang digambarkan oleh Allah sangat jahat[9].
إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوْءِ إِلاَّ مَا رَحِمَ رَبِّىْ
“……., Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, …….”.

Dan ini dikuatkan dengan sabda baginda Nabi SAW: “Musuh yang paling memusuhi kamu adalah nafsu yang ada di antara dua lambungmu “. Nafsu inilah yang menjadi penghalang utama dan pertama, kemudian barulah syaitan dan golongan-golongan yang lain. Memerangi hawa nafsu lebih hebat daripada memerangi Yahudi dan Nasrani atau orang kafir. Sebab berperang dengan orang kafir cuma sekali-sekali. Nafsulah penghalang yang paling jahat. Mengapa? Kalaulah musuh dalam selimut, itu mudah dan dapat kita hadapi. Tetapi nafsu adalah sebahagian dari badan kita. Tidak sempurna diri kita jika tidak ada nafsu. Ini yang disebut musuh dalam diri. Sebagian diri kita memusuhi kita. Ia adalah jizm al-latif tubuh yang halus yang tidak dapat dilihat dengan mata kepala, hanya dapat dirasa oleh mata otak (akal) atau mata hati. Oleh itu tidak dapat kita buang. Sekiranya dibuang kita pasti mati.
Siapa sanggup melawan hawa nafsu, maka Allah akan tunjukkan satu jalan hingga diberi kemenangan, diberi bantuan dan tertuju ke jalan yang benar. Inilah rahasia untuk mendapat pembelaan dari Allah. Hidup ini adalah perjuangan melawan hawa nafsu (syaitan). Kadangkala kita menang dan kadangkala kita kalah melawan hawa nafsu syetan kita.
Abu Hamid Imam al- Ghazali menyebut ada tiga bentuk perlawanan manusia terhadap hawa nafsu, yaitu:
  1. Nafs al-Muthmainnah (nafsu yang tenang), yaitu: Ketika iman menang melawan hawa nafsu, sehingga perbuatan manusia tersebut lebih banyak yang baik daripada yang buruk. Dengan kata lain mereka yang mampu menguasai terhadap hawa nafsunya.
  2. Nafs al-Lawwamah (nafsu yang gelisah dan menyesali dirinya sendiri), yaitu: Ketika iman kadangkala menang dan kadangkala kalah melawan hawa nafsu, sehingga manusia tersebut perbuatan baiknya relatif seimbang dengan perbuatan buruknya. Mereka yang sentiasa dalam bertarik tali melawan hawa nafsu. Adakalanya dia menang dan ada kalanya kalah. inilah orang yang sedang berjuang (mujahadah). Mereka ini menunaikan apa yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad melalui sabdanya yang bermaksud: ”Berjuanglah kamu melawan hawa nafsumu sebagaimana kamu berjuang melawan musuh-musuhmu.”
  3. Nafs al-Ammaarah al-Suu’ (nafsu yang mengajak kepada keburukan), yaitu: Ketika iman kalah dibandingkan dengan hawa nafsu, sehingga manusia tersebut lebih banyak berbuat yang buruk daripada yang baik. Mereka inilah yang hawa nafsu sepenuhnya telah dikuasai dan tidak dapat melawannya sama sekali.

Enam Sumber dalam Jiwa Manusia
Untuk mengenal posisi hawa nafsu dalam jiwa dan perannya dalam kehidupan manusia, Allah SWT telah meletakkan beberapa sumber gerak dan kesadaran manusia. Semua gerak-aktif ataupun reaktif, kesadaran manusia bermuara dari sumber-sumber ini, ada enam sumber penting yang terutamanya adalah hawa nafsu, yaitu:
  1. Fithrah, yang telah dilengkapi oleh Allah dengan kecenderungan, keinginan (hasrat) dan gaya tarik menuju dan mengenal-Nya dalam rangka meraih keutamaan-keutamaan seperti akhlak, kesetiaan, ‘iffah (harga diri), belas kasih sayang dan kebaikan.
  2. ‘Aql, adalah titik pembeda manusia.
  3. Iradah, adalah pusat keputusan yang menjamin kebebasan manusia (dalam mengambil keputusan) dan memerdekakannya.
  4. Dhamir, berfungsi sebagai hakim dalam jiwa yang bertugas mengadili, mengecam dan melakukan penekanan terhadap manusia demi menyeimbangkan segala perilakunya(baik dan buruk).
  5. Qalb-Fuad-Shodr (Hati) Merupakan jendela lain bagi kesadaran dan pengetahuan, sebagaimana kita pahami melalui ayat-ayat Al-Quran sehingga dapat menerima atau menampung pencerahan Ilahi.
  6. Al-Hawa, merupakan kumpulan berbagai nafsu dan keinginan dalam jiwa manuisia yang menuntut pemenuhan secara intensif. Bila tuntutannya dipenuhi, ia dapat memberi manusia kenikmatan tersendiri.

HAWA NAFSU: MENGUASAI ATAU DIKUASAI?
“Jika kita menguasai diri, kita akan menguasai dunia,” demikian kata-kata para ilmuwan.
Dalam Shahihain disebutkan, bahwasanya Rasul SAW bersabda “Surga itu dikelilingi dengan hal-hal yg dibenci, adapun neraka dikelilingi dengan berbagai syahwat.”
Imam Shâdiq radiyallahu ‘anhu juga berkata: “Janganlah kalian biarkan jiwa bersanding bersama hawa nafsu. Karena, hawa nafsu pasti (membawa) kehinaan bagi jiwamu.” Tetapi masalahnya adalah bagaimana jika kita gagal menguasai nafsu kita sendiri? Sudah pastilah kita pula yang akan dikuasainya. Jika demikian amat buruk akibatnya lantaran nafsu itu adalah ‘hamba’ yang baik tetapi ‘tuan’ yang sangat jahat. Sesungguhnya orang yang sukses adalah orang yang gigih mencari kebaikan dunia tetapi selamat daripada tipuannya. Seperti dalam surah Al-An’am ayat 32 Allah berfirman:

وَمَاالْحَيَوةُ الدُّنْيَا إِلاَّ لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وََلَدَّارُ اْلأَخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِيْنَ يَتَّقُوْنَ أَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ
“Dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka[10],dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?”.
Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, dalam ucapannya yang popular: “Dulunya kita adalah kaum yang paling hina, kemudian Allah SWT memuliakan kita dengan agama Islam, maka kalau kita mencari kemuliaan dengan selain agama Islam ini, pasti Allah SWT akan menjadikan kita lebih hina dan rendah tidak ada nilai. (Riwayat Al-Hakim dalam Al-Mustadrak).
Dalam surah Yunus ayat 58 Allah berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَالِكَ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ
Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira(karunia Allah dan rahmat itu), adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.
Karunia Allah dalam ayat ini mayoritas para ulama menafsirkan dengan keimanan kepada-Nya, adapun rahmat Allah ditafsirkan dengan Alquran[11]. Ibnu al-Qayyim dalam soal keutamaan melawan hawa nafsu mengatakan “Sesungguhnya melawan hawa nafsu bagi seorang hamba melahirkan suatu kekuatan di badan hati dan lisannya.”
Sementara sebagian ulama salaf berkata “Orang yg bisa mengalahkan nafsunya lebih kuat daripada orang yg menaklukkan sebuah kota dengan seorang diri.”
Dalam hadits yang shahih rasul bernah bersabda :“Tidaklah orang yang kuat itu yang menang dalam beradu fisik (seperti berkelahi/bergaduh), tetapi orang yang kuat adalah mereka yang dapat menguasai hawa nafsunya ketika ia marah”.
Di dalam sebuah riwayat, Rasulullah berkata: “Seorang Mujahid (orang yang berperang) adalah orang yang memerangi dirinya sendiri”, Peperangan dengan diri yang dimaksudkan adalah peperangan menentang hawa nafsu. Berkata Said Hawa di dalam Al-Asas Fi at-Tafsir, bahwa pada dasarnya melawan nafsu bermaksud menundukkan nafsu supaya mengikut kehendak Allah dalam setiap perbuatan. Jalan terbaik melawannya dengan bermujahadah, adapun cara paling mudah untuk bermujahadah dengan menitik-beratkan ibadah-ibadah wajib setiap hari, karena mujahadah adalah jembatan takwa.
Prinsip asas melawan hawa nafsu
  1. Menahan atau menyekat sumber kekuatannya
  2. Membebankan nafsu itu dengan ibadah, berbuat ibadah semata-mata mengharapkan ridho-Nya, dengan memperbanyak amalan sholih untuk mensucikan diri kita.
  3. Berdoa meminta bantuan Allah untuk mengalahkannya.

Semoga Allah menjauhkan diri kita dari kesalahan, kealpaan dan cinta kepada hawa nafsu. Semoga Ia menjadikan kita di antara orang-orang yang takut dan bertakwa kepada-Nya.
Ingatlah, bahwa nafsu itu bukan untuk dihapus tetapi untuk diurus. Terserah kepada kita untuk mengawalnya atau dikawal olehnya. Sama-sama kita bermujahadah dalam mengawal nafsu. Insya Allah.

Wallahu A’lam
Sholli ‘Alaa Muhammad Wa Aalihi
Keterangan:
[1] Imam Asy-Syafi’I RA
[2] Surah At-Tahriim Ayat 6
[3] Surah Shaad Ayat 26
[4] Syeh Ahmad Rifa’I, Riayah Akhir, Bab Ilmu Tasawuf, Korasan 21, halaman 13, baris 8, bisa juga lihat dalam kitab karangan beliau lainnya seperti dalam Abyan al-Hawaaij, Asn Al-Miqashad beliau memberikan pengertian serupa dengan redaksi yang sama.
[5] Shodiq Abdullah, Islam Tarjumah: Komunitas, Doktrin dan tradisi, RaSAIL: Semarang, Desember 2006, halaman 135
[6] Surah Al-Kahfi Ayat 28
[7] Surah Al-Maidah Ayat 77
[8] Maksudnya Tuhan membiarkan orang itu sesat, karena Allah telah mengetahui bahwa Dia tidak menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan kepadanya.
[9] Surah Yusuf Ayat 53
[10] Maksudnya: kesenangan-kesenangan duniawi itu hanya sebentar dan tidak kekal. janganlah orang terperdaya dengan kesenangan-kesenangan dunia, serta lalai dari memperhatikan urusan akhirat.
[11] Lihat keterangan Imam Ibnu al-Qayyim dalam kitab Miftahu Daaris Sa’aadah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar