Total Tayangan Halaman

Selasa, 12 Maret 2013

ILMU PALAK SAR''AYAH


ILMU PALAK SAR''AYAH
Sejarah & Perkembangan Ilmu Falak dalam Islam Islam

Sejak silam, kajian ilmu falak banyak mendapat perhatian dari para peneliti dan sejarawan. Regis Morlan (seorang orientalis Prancis, peneliti sejarah ilmu falak klasik) mengemukakan beberapa faktor: (1) banyaknya ulama yang berkecimpung di bidang ini sepanjang sejarah, (2) banyaknya karya-karya yang dihasilkan, (3) banyaknya observatorium astronomi yang berdiri sebagai akses dari banyaknya astronom serta karya-karya mereka, (4) banyaknya data observasi (pengamatan alami) yang terdokumentasikan. Sementara itu Prof. Dr. Muhammad Ahmad Sulaiman (guru besar ilmu falak di Institut Nasional Penelitian Astronomi dan Geofisika, Helwan - Mesir) mengatakan “astronomi adalah miniatur terhadap majunya peradaban sebuah bangsa”.
Dalam perjalanan mulanya, peradaban India, Persia dan Yunani adalah peradaban yang punya kedudukan istimewa. Dari tiga peradaban inilah secara khusus muncul dan lahirnya peradaban falak Arab (Islam), disamping peradaban lainnya. Peradaban India adalah yang terkuat dalam pengaruhnya terhadap Islam (Arab). Buku astronomi ‘Sindhind’ punya pengaruh besar dalam perkembangan astronomi Arab (Islam), dengan puncaknya pada dinasti Abbasiah masa pemerintahan Al-Manshur, buku ini diringkas dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Ibrahim al-Fazzârî adalah orang yang mendapat amanah untuk mengerjakan proyek ini, sekaligus juga ia melahirkan buku penjelas yang berjudul “as-Sind Hind al-Kabîr”.
Peradaban Persia memberi pengaruh signifikan dalam peradaban ilmu falak Islam, ditemukan cukup banyak istilah-istilah falak Persia yang terus dipakai dalam Islam hingga saat ini, seperti zij (epemiris) dan auj (aphelion). Buku astronomi berbahasa Persia yang banyak mendapat perhatian Arab (Islam) adalah 'Zij Syah' atau ‘Zij Syahryaran’ yang merupakan ephemiris (zij) yang masyhur di zamannya.
Sementara dari peradaban Yunani puncaknya dimotori oleh Cladius Ptolemaus (w. ± 160 M) yang dikenal dengan sistem "geosentris"nya. Gagasan astronomi Ptolemaus terekam dalam maha karyanya yang berjudul ‘Almagest’ atau ‘Tata Agung’ yang menjadi buku pedoman astronomi hingga berabad-abad sebelum runtuh oleh teori tata surya Ibn Syathir (w. 777 H) dan Copernicus.

Peran Ilmu Falak dalam Islam
Dalam penggunaan praktis, ilmu falak merupakan ilmu yang mempelajari tata lintas pergerakan bulan dan matahari dalam orbitnya secara sistematis dan ilmiah demi kepentingan manusia. Ibn Khaldun (w. 808 H) dalam “Muqaddimah”nya mendefinisikan ilmu ini sebagai ilmu yang membahas tentang pergerakan bintang-bintang (planet-planet) yang tetap, bergerak dan gumpalan-gumpalan awan yang berhamburan. Makna yang hampir sama juga dikemukakan al-Khawarizmi (w. 387 H) dalam ‘Mafatih al-‘Ulmu’nya.
Ilmu falak sebagai ilmu yang mempelajari benda-benda angkasa selalu dibutuhkan oleh manusia. Dari penelaahan berbagai benda-benda angkasa ini manusia dapat mengetahui dan memanfaatkan banyak hal. Ilmu ini selalu ada dan dibutuhkan dalam kehidupan manusia dan selalu dibicarakan orang disetiap waktu dan zaman. Hal demikian mengingat betapa penting dan menariknya ilmu ini. Mengamati langit, yang merupakan kegiatan utama ilmu falak adalah aktifitas pengamatan benda-benda angkasa alamiah ciptaan Allah Swt yang selalu berubah dan bergerak serta menawarkan berbagai tantangan bagi para pengamatnya. Dahulu, dan hingga kini, langit atau angkasa merupakan obyek wisata yang menarik dan banyak digemari manusia.
Obyek pembahasan utama ilmu falak syar'i dalam Islam adalah fenomena bulan dan matahari. Fenomena alamiah dari dua benda angkasa ini menjadi wasilah kebolehan dan batas waktu ibadah seorang muslim seperti batas waktu salat, puasa dan kiblat yang diperkuat oleh berbagai nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Pembahasan falak syar’î secara garis besar meliputi empat hal: (1) penetapan awal-awal bulan kamariah, (2) penetapan waktu-waktu salat, (3) penentuan arah dan bayang kiblat, dan (4) penentuan terjadinya gerhana (baik gerhana matahari maupun gerhana bulan).

(1) Penentuan Awal Bulan (Kalender)
Menentukan awal bulan, khususnya menetapkan puasa & hari raya, dalam Islam adalah berdasarkan sistem bulan (qamarî) yaitu peredaran bulan mengelilingi bumi dalam porosnya yang dalam aplikasi bulanannya ditetapkan dengan berganti-ganti antara 30 dan 29 hari. Hal ini diperkuat dengan sabda Nabi Saw; “… as syahru hakadzâ wa hakadzâ wa hakadzâ” (… bulan itu adakalanya begini dan begini (adakalanya 30 hari dan adakalanya 29 hari) [HR. Muslim]. Khusus dalam menetapkan awal puasa dan hari raya, Rasulullah Saw menyatakan untuk melihat hilal (rukyat). Nabi Saw menegaskan: “shumû liru’yatihi wa afthirû liru’yatihi…” (puasalah kamu karena melihat hilal, dan berbuka (berhari raya) lah karena melihat hilal) [HR. Muslim]. Dengan berbagai data, fakta dan perdebatan, perintah melihat yang disabdakan baginda Nabi Saw ini berganti dan dapat difahami dengan melihat secara rasional (hisab). Melalui pemahaman yang baik terhadap pergerakan fenomena bulan dan matahari, hadis-hadis tersebut terfahami dan teraplikasikan secara teoritis matematis tanpa perlu rukyat secara faktual (ru’yah bashariyah), namun perdebatan dalam masalah ini senantiasa ramai dibicarakan di Indonesia maupun di negara-negara muslim lainnya.
(2) Menentukan Waktu-Waktu Salat
Penentuan waktu salat dalam Islam ditetapkan berdasarkan fenomena alamiah matahari, seperti terangkum dalam makna ayat “aqimish shalah liduluk as syams…” (dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir…) [QS. Al-Isra’ : 78], serta sabda panjang Nabi Saw terkait teknis pelaksanaan waktu salat fardu yang lima yang dikaitkan dengan fenomena matahari (HR. Muslim) Rumitnya, baik nash al-Qur’an maupun al-Hadits tidak memuat rincian pasti tentang penentuan waktu-waktu tersebut, yang pasti hanyalah “kitâban mawqûta” (waktu yang sudah ditentukan), tidak ada kepastian tata cara yang akan digunakan. Namun demikian ilmu falak mampu menyelesaikan ‘ketidak rincian nash’ tersebut melalui berbagai pengamatan dan penelaahan teks dan konteks fenomena matahari. Dalam kenyataannya, secara umum masyarakat telah sepakat menerima data hisab penentuan kapan seorang muazin akan mengumandangkan azan atau kapan seorang muslim akan salat tanpa ada perdebatan berarti, meski berbagai persoalan tetap menyelip dalam data hisab waktu-waktu salat, seperti halnya dalam menetapkan awal waktu puasa dan hari raya.

(3) Menentukan Arah Kiblat
Menghadap kiblat adalah satu keharusan (syarat) dalam salat. Salat dinyatakan tidak sah jika tidak menghadap Kakbah, karena menghadapnya adalah kemestian untuk sah dan berkualitasnya salat seorang muslim. Al-Qur’an hanya menyatakan “wa min haytsu kharajta fa walli wajhaka syathral masjidil haram wa haytsu ma kuntum fa wallu wujuhaum syathrah” (Dan dari mana saja kamu berangkat, maka palingkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram. Dan dari mana saja kamu berada, maka palingkanlah wajahmu kearahnya) [QS. Al-Baqarah (02): 150] tanpa ada penjelasan rinci tentang menghadap yang dimaksud. Dimaklumi, bagi penduduk Mekah dan sekitarnya, menghadap dan mengarah Kakbah dapat diusahakan meski secara alamiah dengan serta merta menghadap, dan ini masih dalam koridor ‘zhan’ yang dilegalkan. Berpaling kurang beberapa derajat dari bangunan Kakbah dapat ditolerir karena masih dalam teritorial kota Mekah. Namun bagaimana halnya jika berada jauh dari Kakbah atau kota Mekah, Indonesia misalnya? Serta merta atau asal menghadap tidaklah dibenarkan, meski dilandasi dengan ‘zhan’ namun tetap saja tidak realistis dan logis, karena ‘zhan’ dalam syariat akan selalu bersesuaian dengan realitas empirik (mashlahat-waqi’iyat). Dalam konteks Indonesia, berpaling beberapa derajat dari bangunan Kakbah akan berpaling jauh dari bangunan Kakbah bahkan kota Mekah. Ini tentunya tidak realistis, dan tidak bisa disebut 'zhan'. Untuk mengatasi hal ini, fikih an sich tidak memadai. Nah, ilmu falak berperan memersiskan atau setidak-tidaknya meminimalisir perpalingan arah yang begitu mencolok tersebut. Dan dalam penentuan arah kiblat inipun masyarakat dapat menerima tanpa perdebatan, seoarang mushallî (orang yang akan menunaikan shalat) merasa ithmi’nan (tenang) dengan arah sajadah yang terhampar di mushallâ atau mesjid tanpa ambil pusing tepat atau melesetkah arah sajadah tersebut. Padahal banyak mushallâ dan mesjid yang kadang serampangan menentukan arah kiblat. Ilmu falak lagi-lagi berperan dalam menetapkan arah kiblat ini.

(4) Menentukan terjadinya Gerhana
Gerhana matahari maupun gerhana bulan adalah fenomena alamiah ‘luar biasa’ yang dapat disaksikan dengan mata, meski jarang dan tidak semua orang dapat menyaksikan dan tidak disemua tempat dapat disaksikan. Salat gerhana dalam fikih Islam adalah ibadah anjuran yang sangat dianjurkan (sunnah mu’akadah). Namun, kapan salat itu dilakukan ? fenomena alamiah ini jarang terjadi, pula tidak banyak manusia yang perhatian terhadap fenomena ini, hingga terkadang ia dilupakan atau terlupakan. Namun ilmu falak selalu dan senantiasa dapat mengingatkan dan mendeteksi fenomena ini, kapan dan dimana peristiwa alamiah ini akan terjadi. Dengan demikian dari peranan ilmu falak ini seorang muslim dapat menunaikan anjuran yang sangat dianjurkan tersebut dengan yakin dan nyaman.
Dari uraian diatas jelas bahwa peranan ilmu falak sangatlah nyata dan signifikan. Artikel ini hanyalah ‘pengantar’, paling tidak pengantar bahwa ilmu falak itu berguna dan berperan dalam ibadah utama umat Islam. Betapapun lihai dan piawainya seorang muslim memahami teks nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah, namun jika tidak memahami konteks (aplikasi) nash tersebut, nash-nash tersebut tetaplah ‘tidak tanggap’. Karena itu “fikih tidak sempurna tanpa peranan ilmu falak”. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar