Total Tayangan Halaman

Minggu, 17 Maret 2013

Wasiat Sayyidina Ali KW kepada Sayyidina Hasan dan Husein


Wasiat Sayyidina Ali KW kepada Sayyidina Hasan dan Husein
bismillahi, solatullah wa salamuhu ‘ala sayyidina Muhammad wa ali Muhammad.
“Saya nasihati Ananda berdua untuk bertakwa kepada Allah SWT dan Ananda hendaknya tidakmenjadikan (kesenangan) dunia sebagai tujuan, sekalipun dunia mengejarmu. Jangan menyesaliapapun yang tidak dapat kalian gapai dari dunia ini. Berkata dan berbuat benarlah Ananda. Jadilahmusuh penindas dan penolong yang tertindas.
Saya menasihati ananda berdua, semua anak saya, anggota keluarga saya dan setiap orang yangbersinggungan dengan tulisan saya agar bertakwa kepada Allah …..”
(Dikutip dari buku; Wasiat Imam Ali dengan perubahan seadanya dari penulis catatan ini)
Sayyidina Ali KW dilahirkan di dalam Ka’bah. Beliau adalah salah seorang sahabat muda Rasulullah SAW yang merupakan satu-satunya sahabat - menurut catatan sejarah- mewariskan karya tulis. Dan yang saat ini bertahan -dalam perkiraan sebagai kumpulan khutbah dan surat surat  beliau adalah-  kitabNahjul Balaghah. Beliau, sebagai pemuda muslim pertama yang memeluk Islam merupakan orang terdekat Rasulullah SAW. Pertalian darah beliau dengan Rasulullah masih terhitung saudara dekat (sepupu). Lebih dari itu, beliau adalah menantu yang sekaligus anak asuhnya SAW.
Sayyidina Ali KW tumbuh dewasa di bawah atap (madrasah) Rasulullah. Maka dengan demikian, Say. Ali adalah sarjana tertua (baca; seneor) yang pernah dilahirkan oleh Universitas paling bergengsi sepanjang sejarah kehidupan dunia ini, Baiturrosul SAW.
Wasiat di atas adalah kutipan kecil yang sangat penting  untuk disebarluaskan. Singkat memang. Tapi tidak sesingkat itu makna yang tersimpan. Lihatlah misalnya, kandungan wasiat yang berbunyi “Saya nasihati Ananda berdua untuk bertakwa kepada Allah SWT dan Ananda hendaknya tidak menjadikan (kesenangan) dunia sebagai tujuan, sekalipun dunia mengejarmu”. Bagi umat Islam yang sudah terbiasa dengan wasiat, kata takwa adalah hal paling esensial untuk menjadi nasehat antar dua orang sahabat, antar dua kekasih, antar orangtua dan anak, antar suami dan istri, antar teman, antar guru dan murid, antar makhtub dan khatib, antar mad’u dan da’i, dan seterusnya. Pembahasan tentang takwa sangat banyak tersebar di berbagai pembahasan, mulai dari pembahasan tentang akhlak, akidah atau tasawuf, bahkan sudah masuk dalam pembahasan tentang psikologi (spesifik: Psikologi Islam).
Adanya kata takwa dalam wasiat yang disampaikan oleh Say. Ali di atas menunjukkan perhatian dan kepedulian beliau yang dalam tentang pentingnya implementasi dan konsistensi seorang mukmin (muslim) akan takwa. Maka bertakwalah, wahai saudaraku, semoga Allah mengumpulkan Kita dengan orang-orang yang bertakwa, baik selagi di dunia dan lebih-lebih ketika kelak di akhirat. Amin.
Terlepas dari wasiat takwa yang sejatinya pada prosesi mingguan (baca: solat jumat) umat Islam menjadi rukun (tidak boleh ditinggalkan) yang menarik perhatian saya disini adalah kalimat Ananda hendaknya tidak menjadikan (kesenangan) dunia sebagai tujuan, sekalipun dunia mengejarmu.
Dalam renungan saya, wasiat ini terasa absurd. Absurd tidak dalam pengertian maknanya yang sangat tinggi. Juga tidak dalam pengertian tujuannya yang sangat mulia. Tapi lebih kepada kondisi pribadi saya, dan “pribadi-pribadi umat” dalam konteknya saat ini. Untuk Tidak menjadikan dunai sebagai tujuan.
Pada pernyataan saya terakhir ini, saya tidak menilai saudara-saudara saya seiman sebagai diri saya. Penilaian saya pada berbagai hal sebagai sebuah isyarat akan kondisi mereka yang mencerminkan kondisi dimana dunia menjadi tujuan. Saya bersyukur kepada Allah jika penilaian saya salah. Penilaian saya sangat sederhana. Sebagai misal, merebaknya fenomina da’i dan khatib yang menarif adalah salah satu isyarat bahwa dunialah tujuan (Allahu A’lamu bish Shawab). Pernyataan ini sepenuhnya saya sadari dan saya membuka diri untuk dikritik dengan berbagai pilihan cara yang arif.
Isyarat lain yang boleh ditarik dalam catatan saya ini adalah fakta-fakta para pemimpin bangsa yang -notabenenya- mereka muslim. Adakah dari mereka didapati mengedepankan kepentingan umat? Adakah dari mereka yang memilih mendahukan rakyat? Adakah dari mereka yang tampil menjadi Sultan Al Fatih yang memilih merelakan dirinya tidak tidur siang malam demi rakyat yang dipimpinnya dan memilih hidup sederhana lebih sederhana dibandingkan dengan kesederhanaan kehidupan rakyat yang paling sederhana? Atau memilih menjadi pencitraan Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali? Mungkin misal - misal itu terlalu jauh. Terlalu suci dan ideal untuk ukuran masyarakat modern seperti saat ini. Tapi kemudian, pertanyaan saya adalah dimana martabat kemodernan jika makna modern adalah kehidupan penindasan, kehidupan yang tidak mengenal keprimanusiaan lebih-lebih nilai-nilai keagamaan?
Saya berdoa kepada Allah agar mereka tidak terjatuh dalam kesimpulan Nabi SAW bahwa seoarang muslim (baca: Mukmin) yang kemuslimannya tidak menghalanginya berlaku mungkar, maka dia sejatinya bukanlah muslim. Saya juga berdoa kepada Allah agar senantiasa membentangkan pengawasanNya kepada saya, orang-orang yang saya cintai, saudara-saudara saya seagama untuk tidak terjebak pada tujuan sementara, kenikmatan dunia.
Amin ya robbana, wa antallah maksuduna…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar