Total Tayangan Halaman

Selasa, 01 Juli 2014

menjamak sholat tanpa halangan,kenapa tidak?



Menjama’ Shalat tanpa Halangan? Kenapa tidak?
Seringkali ada dialog antara dua orang muslim tentang hukum menjama’ Shalat tanpa halangan. Proses dialog yang terjadi antara dua muslim ini beragam bentuknya. Ada yang bertanya: “Emang boleh menjamak Shalat tanpa halangan? Kayak orang Syiah aja deh loe !”, ada lagi yang menjawab: “Oh, ya udah kalo loe mau shalat gabung, ya gabung aja. Tapi kalo gue, ntar aja deh kalo sudah masuk azan ashar”.
Dialog seperti ini sebenernya umum juga buat saya pribadi. Suatu hari pernah kejadian di kantor, di bilangan Kuningan – Jakarta Selatan, ada seorang kolega yang bingung kenapa saya hobi shalat dijama’ – jama’. Namun, setelah memberikan pendapat dan argumen, mereka rata – rata menerima, dan mungkin tipikal orang Jakarta saat ini: “Ya udah urusan loe ya urusan loe, urusan gue ya urusan gue“.
Alhamdulillah-nya, tidak ada dari mereka yang meng-kafirkan saya seperti apa yang dilakukan oleh ustad – ustad yang suka memberikan khotbah jumat di sekitaran kantor (terutama di gedung Setiabudi Building), atau di parkiran Plaza BII di Jl MH Thamrin, yang kayaknya dari sekitar 1/2 jam mereka ceramah, mungkin kalo saya rajin menghitung, kata – kata “KAFIR!!” diucapkan mereka lebih dari 1 kali dalam 5 menit (jadi bisa dihitung sendiri betapa doyan-nya mereka ngomong kafir, selayaknya keponakan saya yang berumur 15 bulan yang lagi doyan banget ngomong: “Itu apa?, Itu apa?, itu apa?”)
Kembali ke masalah menjama’ Shalat tanpa halangan, dalam ajaran syi’ah memang diperbolehkan menjama’ Shalat tanpa adanya halangan, yakni menjama’ shalat zuhur dengan ashar dan Magrib dengan Isya’.
Terus mau ikutan bilang kafir juga? eitssss…tunggu dulu!
Sebelum jauh ikutan kelompok “Kafar-Kafir-Kufur” (Disingkat KKK, bukan Klu Klux Klan ya – organisasi rasialis di Amerika utara di tahun 1800-an), ada baiknya kita membahas dulu masalah ini dengan otak yang fresh dan pikiran yang terbuka ala orang – orang yang memiliki adab / civilized .
Dalam Islam sendiri, kita mengakui adanya dua aliran besar yakni aliran Ahlusunnah Wal Jama’ah dan aliran Ahlul Bayt / Syiah. Mengapa saya katakan bahwa Islam memiliki dua aliran besar? bukan hanya satu aliran saja seperti yang dikira masyarakat awam di Indonesia saat ini?. Ada baiknya kita tela’ah lagi, siapakah mereka – mereka yang disebut dengan muslim?
Fatwa Kelompok Sunni:
Syekh Universitas al-Azhar, Muhammad Sa’id Tanthawi
Rasulullah saww bersabda:
“Barang siapa yang beriman kepada tiada tuhan selain Allah Azza Wajalla, Muhammad saw sebagai utusan suci-Nya, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan melaksanakan ibadah haji ketika ia mampu, maka ia adalah seorang Muslim.”
Di lain hal, ada juga fatwa dari kelompok syiah:
1. Fatwa Ayatulah Sistani
Soal: Apakah orang yang melafalkan dua kalimat syahadat, melaksanakan salatnya dengan menghadap ke arah kiblat (Mekkah) dan ia adalah pengikut salah satu dari delapan mazhab Islam yang terdiri dari Hanafiyah, Syafiiyah, Malikiyah, Hanbaliyah, Ja’fariyah, Zaidiyah, Ibadiah dan Zhahiriyah, dianggap sebagai seorang Muslim? Dan apakah darah, kehormatan, dan hartanya mendapat perlindungan?
Jawab: Siapa pun yang mengucapkan dua kalimat syahadat atas nama Allah Yang Mahakuasa, tidak melakukan suatu perbuatan yang berlawanan dengannya dan siapapun yang bukan musuh Ahlulbait/keluarga rasul adalah seorang Muslim.
Okay, sekarang kalo sudah tau apa yang mengkategorikan orang sebagai seorang muslim berdasarkan pendapat dua orang yang tentunya sudah banyak makan asam garam (setidaknya dibanding saya) di dunia Islam, ada baiknya kita lihat lagi definisi dari dua mazhab besar ini:
Sunni/Ahlusunnah wal jama’ah

Aliran Ahlusunnah Wal Jama’ah (Sunni) secara fiqh/hukum Islam dan pemfatwa-an terbagi atas 4 mazhab, yakni mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Mazhab Hanafi didirikan oleh Nu’man atau Abu Hanifah atau Imam Hanafi, sedangkan Mazhab Maliki bersumber dari fatwa2 Imam Malik. Mazhab Syafi’i bersumber pada ijtihad Imam Syafi’i, dan Mazhab Hambali bersumber pada ijtihad Imam Hambali.
Urutan-nya adalah sebagai berikut: Imam Maliki adalah murid dari Imam Hanafi, Imam Syafi’i adalah murid dari Imam Maliki, dan Imam Hambali adalah murid dari Imam Syafi’i.
Tidakkah anda ingin bertanya? Lalu guru-nya imam Hanafi itu siapa? (Silahkan teruskan baca, untuk tau lebih lanjut)
Sunni memiliki koleksi hadist2 yang shahih (contoh: Bukhari, Muslim, Tarmidzi, Musnad ahmad bin hambal, dsb) dan keontetikannya diterima secara baik (walaupun dalam beberapa kasus, hadis2 yang menurut mereka shahih itupun ternyata bisa menjadi polemik karena ada yang menerima dan ada yang menolak, namun permasalahannya adalah karena kitab2 ini sudah dicap shahih, ada beberapa golongan dari ahlussunnah yang meyakini bahwa kitab2 shahih ini adalah pegangan suci setelah Al Qur’an dan tidak dapat didiskusikan atau ditolak).
Banyak orang bertanya kepada saya secara pribadi, lalu di Indonesia itu Islam apa?
Jawabnya: Di Indonesia mayoritas pengikut Sunni dengan mazhab Syafi’i. Walaupun ulama besar seperti Prof.Dr Quraish Shihab dalam beberapa kesempatan mengatakan bahwa di Indonesia mayoritas umat Islamnya tidak bermazhab. Tentunya argumen beliau ada benarnya, karena mayoritas muslim di Indonesia mengenal hukum – hukum atau Fiqih Islam, namun tidak mengetahui siapa yang memfatwakan atau malahan mereka mengambil mana yang termudah dengan cara mencampur-adukkan. Sebagai contoh: Masalah A dinilai haram oleh imam syafi’i, namun dibolehkan oleh imam Maliki, maka orang itu akan tetap mengerjakan hal tersebut dengan argumen hal tersebut dibolehkan oleh imam malik, padahal secara tidak sadar dalam kesehariannya dia mengerjakan hal yang difatwakan oleh imam syafi’i.
Perbedaan lain misalnya, pengikut Maliki (yang banyak terdapat di Afrika) tidak bersedekap dalam Shalatnya, sedangkan pengikut Syafi’i (seperti di Indonesia) dalam shalat melakukan sedekap dengan cara meletakkan tangan kanan di atas kiri dan kedua tangan tersebut diletakkan di atas pusar.
Namun demikian, sebenarnya perbedaan ini tidak perlu dibesar besarkan. Yang perlu diketahui oleh masyarakat awam adalah pemahaman bahwa Islam terdiri dari beberapa Mazhab dan Aliran, karena dikhawatirkan kurangnya pemahaman akan hal ini akan membuat orang Indonesia mudah untuk mengkafirkan orang Islam lain yang berbeda dalam menjalankan suatu ibadah / hal. Kembali lagi ke definisi, prinsipnya adalah apabila orang tersebut mengakui bahwa Allah SWT adalah Tuhan, Muhammad saww adalah penutup para Rasul/Rasul terakhir, Al Qur’an sebagai kitab suci dan tidak ada kitab suci lain selain Al Qur’an, Naik Haji bila mampu, maka insya Allah dia adalah seorang Muslim (Nice to know, Aliran Ahmadiyah Qadiyan memiliki Rasul baru setelah Muhammad saww yaitu Mirza Ghulam Ahmad).

Syiah/ahlul bayt
Sama dengan kaum Ahlusunnah, mereka juga mengakui bahwa Allah adalah Tuhan yang patut disembah, Muhammad saww adalah penutup para Rasul dan Al Qur’an adalah satu satunya kitab suci yang harus menjadi pegangan.
Aliran Syi’ah, seperti hal-nya aliran Ahlussunnah/Sunni juga terbagi kedalam 3 Mazhab besar, yakni mazhab 12 imam/ Syiah imamiah, Mazhab Zaidiyah, dan Mazhab Ismailiyah.  Mayoritas dari kelompok syiah adalah pengikut mazhab 12 Imam/Syiah Imamiah yang mendominasi dengan persentase 80% atau lebih.
Mazhab Syiah imamiah juga dikenal dengan mazhab Ja’fari dikarenakan peran besar Imam Ja’far. Imam Ja’far adalah keturunan ke 6 dari Rasulullah saww dari jalur Fatimah az-zahra as, melalui jalur imam Husayn as., dan guru dari Imam Hanafi. Maka dengan itu, beliau as juga dikenal sebagai “Guru Imam Mazhab”.
Guru dari Imam Ja’far adalah ayahnya :Imam Muhammad Al Baqir. Guru Imam Muhammad Al Baqir adalah ayahnya imam Ali Zainal Abidin. Imam Ali Zainal Abidin belajar dari Ayahnya yaitu Imam Husein. Imam Husein memiliki 2 guru yakni Ayahnya Imam Ali bin Abi Thalib (sang pintu kota ilmu) dan datuk-nya Rasulullah Muhammad saww (sang Kota Ilmu).
Kelompok Syiah tidak memiliki hadist yang shahih. Dalam hal ini bukan berarti mereka tidak memiliki hadist yang benar adanya, namun hadist2 ini dapat didiskusikan lagi kebenarannya dalam hal sanad dan matan-nya (sanad adalah asal, dan matan adalah pencocokan dengan Al Qur’an).
Berbeda dengan kaum sunni yang memiliki hadist shahih yang “dianggap” 100% benar, mazhab syiah melihat dan meneliti kembali tentang keontetikan hadist tersebut, dan dicocokkan kembali dengan Qur’an. Secara simpel, mereka menolak hadist2 yang bertentangan dengan Qur’an.
Sebagai contoh, didalam hadist kaum sunni, dalam salah satu hadist shahih, diriwayatkan bahwa Rasulullah saww pernah terkena sihir orang yahudi. Hadist ini mendapatkan penolakan keras dari kaum syiah, bahwa hal itu bertentangan dengan kalam Qur’an yang menyatakan bahwa orang2 yang suci itu tidak dapat dipengaruhi syaithan karena mendapatkan perlindungan Allah.
Secara gamblang, kaum syiah juga dengan keras menolak hadist yang ada pada kelompok mereka sendiri, seperti hadist yang mengatakan bahwa Jibril salah memberikan wahyu, yang semestinya kepada Ali bin Abi Thalib ternyata malah memberikan wahyu ke Muhammad saww, atau hadist yang menuhankan Imam Ali bin abi thalib as. Kitab hadist orang syiah contohnya seperti: Kulainy, dll.
Intinya, hadist didalam syiah adalah TERBUKA untuk didiskusikan.
Dikarenakan mayoritas umat muslim di Indonesia adalah Muslim Sunni, berikut ini saya tuliskan beberapa hadist2 dari sunni sendiri tentang menjama’ Shalat tanpa halangan dari koleksi hadist Shahih Musnad Ahmad bin Hambal:
Menjama’ Shalat Dibolehkan Walaupun Tidak Sedang Dalam Perjalanan telah ditetapkan berdasarkan hadis-hadis Shahih dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi dan Musnad Ahmad. Berikut akan ditunjukkan hadis-hadis shahih dalam Musnad Ahmad yang penulis ambil dari Kitab Musnad Imam Ahmad Syarah Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Penerjemah : Amir Hamzah Fachrudin, Hanif Yahya dan Widya Wahyudi, Cetakan pertama Agustus 2007, Penerbit : Pustaka Azzam Jakarta.
Yunus menceritakan kepada kami, Hammad yakni Ibnu Zaid menceritakan kepada kami dari Az Zubair yakni Ibnu Khirrit dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata “Ibnu Abbas menyampaikan ceramah kepada kami setelah shalat Ashar hingga terbenamnya matahari dan terbitnya bintang-bintang, sehingga orang-orang pun mulai berseru, “Shalat, Shalat”. Maka Ibnu Abbas pun marah, Ia berkata “Apakah kalian mengajariku Sunnah? Aku telah menyaksikan Rasulullah SAW menjamak Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’ “. Abdullah mengatakan “Aku merasa ada ganjalan pada diriku karena hal itu, lalu aku menemui Abu Hurairah, kemudian menanyakan tentang itu, ternyata Ia pun menyepakatinya”. (Hadis Riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid III no 2269, dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)
Hadis di atas dengan jelas menyatakan bahwa Menjama’ Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’ adalah Sunnah Rasulullah SAW , sebagaimana yang disaksikan oleh Ibnu Abbas RA. Dari hadis itu tersirat bahwa Ibnu Abbas RA akan menangguhkan melaksanakan Shalat Maghrib yaitu menjama’nya dengan shalat Isya’ dikarenakan beliau masih sibuk memberikan ceramah. Tindakan beliau ini adalah sejalan dengan Sunah Rasulullah SAW yang beliau saksikan sendiri bahwa Rasulullah SAW menjama’ Shalat Maghrib dengan Isya’ ketika tidak sedang dalam perjalanan.
Abdurrazaq menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abu Az Zubair dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas, ia berkata “Nabi SAW menjama’ Zhuhur dengan Ashar di Madinah ketika tidak sedang bepergian dan tidak pula dalam kondisi takut(khawatir)”. Ia(Sa’id) berkata “Wahai Abu Al Abbas mengapa Beliau melakukan itu?”. Ibnu Abbas menjawab “Beliau ingin agar tidak memberatkan seorangpun dari umatnya”. (Hadis Riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid III no 2557, dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)
Kata-kata yang jelas dalam hadis di atas sudah cukup sebagai hujjah bahwa Menjama’ shalat dibolehkan saat tidak sedang bepergian. Hal ini sekali lagi telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW sendiri dengan tujuan agar tidak memberatkan Umatnya. Jadi mengapa harus memberatkan diri dengan prasangka-prasangka yang tidak karuan
Yahya menceritakan kepada kami dari Daud bin Qais, ia berkata Shalih maula At Taumah menceritakan kepadaku dari Ibnu Abbas, ia berkata “Rasulullah SAW pernah menjama’ antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar dan antara shalat Maghrib dengan shalat Isya’ tanpa disebabkan turunnya hujan atau musafir”. Orang-orang bertanya kepada Ibnu Abbas “Wahai Abu Abbas apa maksud Rasulullah SAW mengerjakan yang demikian”. Ibnu Abbas menjawab “Untuk memberikan kemudahan bagi umatnya SAW” (Hadis Riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid III no 3235, dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)
Dengan demikian, gugurlah pendapat yang mengatakan bahwa kebiasaan menjama’ Shalat adalah kebiasaan orang – orang syiah yang melakukan bid’ah mereka se-enak hati mereka sendiri dikarenakan ternyata dalam hadist shahi kaum Ahlusunnah pun, menjama’ Shalat boleh dilakukan.
Sufyan menceritakan kepada kami dari Abu Az Zubair dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas, ia berkata ” Aku pernah shalat bersama Nabi SAW delapan rakaat sekaligus dan tujuh rakaat sekaligus”. Aku bertanya kepada Ibnu Abbas “Mengapa Rasulullah SAW melakukannya?”.Beliau menjawab “Dia ingin tidak memberatkan umatnya”. (Hadis Riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid III no 3265, dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)
Hadis di atas juga mengisyaratkan bahwa kebolehan Menjama’ Shalat itu mencakup juga untuk shalat berjamaah. Hal ini seperti yang diungkapkan dengan jelas oleh Ibnu Abbas RA bahwa Beliau pernah melakukan shalat jama’ bersama Nabi SAW.
Abdurrazaq menceritakan kepada kami, Ibnu Juraij mengabarkan kepada kami, Ibnu Bakar berkata Ibnu Juraij mengabarkan kepada kami, ia berkata Amr bin Dinar mengabarkan kepada kami bahwa Abu Asy Sya’tsa mengabarkan kepadanya bahwa Ibnu Abbas mengabarkan kepadanya, Ia berkata “Aku pernah shalat di belakang Rasulullah SAW delapan rakaat secara jamak dan tujuh rakaat secara jamak”. (Hadis Riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid III no 3467, dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)
Begitulah dengan jelas hadis-hadis shahih telah menetapkan bolehnya Menjama’ Shalat Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’ ketika tidak sedang dalam perjalanan atau dalam uzur apapun. Hal ini adalah ketetapan dari Rasulullah SAW sendiri dengan tujuan memberikan kemudahan pada umatnya.

Lalu seperti apakah praktek menjama’ Shalat tanpa halangan?
Imam Ja’far mengajarkan kita bahwa prakteknya adalah dengan cara melakukan Shalat seperti biasa dengan tetap mendahulukan Shalat yang lebih dulu masuk waktunya.
Misalkan, jam 4 Sore dan belum melakukan shalat Zuhur, maka Shalat yang dikerjakan terlebih dahulu adalah Shalat Zuhur karena Shalat Zuhur masuk waktunya lebih dahulu , setelah itu bangun untuk Iqamat dan langsung Shalat Ashar.
Begitu juga bila jam menunjukkan pukul 2 Siang, namun ingin melakukan Shalat Ashar sekalian, maka kerjakanlah hal yang sama (mendahulukan shalat zuhur baru ashar).
Hal yang sama juga diterapkan untuk Shalat Magrib dan Isya, Magrib tetap mendapatkan prioritas terlebih dahulu, baru setelah itu Shalat Isya’.
Lalu, Alasan apalagi yang anda miliki untuk meninggalkan Shalat bila Allah SWT melalui Rasul dan Hamba-nya yang mulia, sang Juru Selamat, Muhammad saww telah memudahkan Shalat bagi kita?
Lantas, siapakah yang kita percaya? Ustad – Ustad “KKK” yang saya ceritakan di atas, atau Rasulullah saww kah yang pantas menjadi panutan kita? Pertanyaan ini saya sampaikan kepada anda, sebagai tanda – tanda bagi mereka yang mau “berfikir”.
Wassalam,
Siapa yang ingin hidup seperti hidupku dan wafat seperti wafatku serta masuk ke surga yang telah dijanjikan kepadaku oleh Tuhanku yaitu Jannatul Khuld, maka hendaklah ia berwilayah (berpemimpin) kepada Ali dan keturunan sesudahnya, karena sesungguhnya mereka tidak akan mengeluarkan kamu dari pintu petunjuk dan tidak akan memasukkan kamu ke pintu kesesatan. (Shahih Bukhari, jilid 5, hal. 65, cet. Darul Fikr)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar