Total Tayangan Halaman

Selasa, 05 Mei 2015

Membid’ahkan Maulid, karena tidak paham pengertian dari bid’ah


“Tradisi mauludan memiliki peran yang sangat signifikan dalam menjaga umat dari berbagai musibah yang mengancam. Tradisi ini bukan hanya akan membangkitkan atau menyuburkan kembali kecintaan mereka kepada nabinya, namun ia berpotensi mengantar mereka kepada pintu kejayaan dan kebahagiaan yang abadi.”

Bulan Rabiul Awwal salah satu bulan Hijriah yang memiliki khas tersendiri bagi kaum muslimin di seluruh dunia. Hal ini tidak lain dikarenakan pada bulan ini telah dilahirkan nabi mereka, manusia teragung sepanjang sejarah manusia, manusia yang kelahirannya telah diberitakan puluhan abad sebelumnya dan menjadi kabar gembira yang bersumber dari lisan suci para pembawa risalah Ilahi.
Kecintaan dan kesetiaan umat Islam terhadap nabi mereka telah menjadikan mereka beratusias untuk selalu mengenang dan mengabadikan sejarah kehidupannya, mengingat perjuangan dan jasa yang telah diberikannya. Salah satu manifestasi dari tujuan ini, ialah dengan memperingati hari kelahiran manusia pilihan ini.
Dengan memperingati kelahiran nabi yang biasa disebut dengan Mauludan, kaum muslimin berupaya menjaga dan menghidupkan misi serta ajaran yang dibawa nabi mereka, sehingga ajaran ini tetap eksis di tengah masyarakat dan hidup di kalbu umat dari generasi ke generasi.
Bayangkan, andai saja umat Islam enggan mengenang sejarah nabi mereka, maka lambat laun sirah dan ajarannya akan terlupakan. Generasi yang akan datang tidak lagi akan mengenal kepribadian agung nabi terakhir, yang tentunya hal ini akan menjauhkan mereka dari hidayah yang dibawanya.
Saat kaum muslimin tidak mengenal pribadi dan sirah nabi mereka, maka berbagai musibah besar akan datang menimpa. Beragam bid’ah dan inovasi dalam agama akan bermunculan secara ekstrim tanpa ada yang mampu membendungnya, kejahilan umat akan ajaran nabi mereka menjadikan mereka kehilangan barometer yang dapat membedakan antara ajaran sebenarnya dan yang telah terdistorsi, antara ajaran asli Ilahi dan ajaran baru syaitani.
Pesan-pesan suci qur’ani akan kehilangan fungsinya, karena umat tidak lagi memahami dan mengamalkannya. Pilar-pilar kekuatan umat Islam akan runtuh, sehingga bukan hanya dalam ideologi dan iman, namun dalam berbagai ranah baik politik, sosial, ekonomi, budaya, mereka akan mengalami keterpurukan. Agama Ilahi yang sempurna pun akan menjadi bahan cemoohan sebagai imbas dari kondisi memprihatinkan para pemeluknya. Tradisi mauludan memiliki peran yang sangat signifikan dalam menjaga umat dari berbagai musibah yang mengancam.
Tradisi ini bukan hanya akan membangkitkan atau menyuburkan kembali kecintaan mereka kepada nabinya, namun ia berpotensi mengantar mereka kepada pintu kejayaan dan kebahagiaan yang abadi. Bagaimana tidak, dengan memperingati hari kelahiran Nabi tercinta Saw, kita akan mengenal kepribadian agungnya dan misi suci yang diperjuangkannya, tentunya pengenalan ini akan melahirkan tekad pada diri kita untuk mengimplementasikan misi tersebut dalam diri dan masyarakat sekitar kita.
Dengan mengamalkan ajaran suci Nabi Saw, umat akan mampu melewati berbagai rintangan sehingga mereka berhasil mencapai kejayaan dan kebahagian hakiki yang menjadi tujuan penciptaan manusia itu sendiri. Memperingati kelahiran Rasulullah Saw bukan hanya selaras dengan fitrah dan naluri manusia sebagai umat yang mencintainya, namun ia juga sejalan dengan tujuan pengutusan para nabi, penurunan kitab suci dan pensyariatan hukum-hukum Ilahi. Tidak diragukan, kecintaan yang tertanam pada diri seseorang akan memotifasinya untuk mengagungkan dan mengenang pribadi yang dicintainya.
Di saat yang sama, misi Ilahi dalam membawa manusia kepada hidayah dan jalan menuju cahaya-Nya, juga tersirat dalam tradisi mulia ini. Para nabi adalah penyampai risalah Ilahi kepada manusia, dengan mengenalkan masyarakat kepada pengemban misi suci ini, berati kita telah mendekatkan mereka kepada hidayah yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, tradisi maulid adalah salah satu bentuk dari upaya menyampaikan misi Ilahi yang menjadi tanggung jawab para nabi. Perkara agung yang untuk merealisasikannya, Allah Swt rela mengorbankan para kekasih-Nya dilecehkan bahkan dianiaya oleh para musuh-Nya.
Betapa banyak utusan Allah yang mati syahid ditangan umatnya sendiri dikarenakan mereka tidak bersedia meninggalkan misi yang diembannya itu. Semua ini menunjukkan betapa besarnya urgensitas perkara tersebut, sehingga Allah Swt pun menjanjikan imbalan yang sangat besar bagi mereka yang menjalankannya. “Dan barangsiapa menghidupkan satu jiwa, ia bagaikan menghidupkan seluruh jiwa manusia.” (QS. Al-Maa’idah [5] : 32)
Ulama dan kaum mukmin dengan mencontoh nabi mereka dan berharap ridha Ilahi, sepanjang masa selalu berupaya mengisi peran Rasul Saw sebagai perantara hidayah Ilahi kepada umat manusia. Berbagai bentuk upaya telah dikerahkan demi terealisasinya tujuan ini, yang salah satunya adalah dengan merayakan hari kelahiran nabi terakhir utusan termulia Tuhan. Oleh karenanya, tradisi maulid tidak bisa dikatagorikan sebagai bid’ah atau inovasi baru dalam agama, karena ia merupakan variasi dari upaya penyebaran risalah Ilahi yang telah diperintahkan sejak diturunkannya Adam as ke muka bumi, bahkan merupakan tujuan utama penciptaannya.
Tidak bisa dibayangkan, bagaimana jika seluruh kaum muslimin meyakini bahwa memperingati kelahiran nabi mereka adalah perbuatan bid’ah dan ritual yang meyimpang, maka cepat atau lambat berbagai musibah besar akan menimpa mereka. Mereka akan merasa asing dan terjauhkan dari simbol terbesar hidayah Ilahi, tidak lagi mengenal serta menyadari akan ajaran suci nan sempurna yang dibawa oleh Nabi Saw, dan pada akhirnya mereka akan terjerumus kepada propaganda besar musuh-musuh Islam sehingga mereka pun akan mengalami keterpurukan yang fatal. Mengapa perayaan maulid dianggap bid’ah oleh sebagian kolompok umat Islam?
Apakah mereka tidak mengetahui maksud dari bid’ah yang sebenarnya? Mungkinkah mereka tidak mencintai pribadi yang mereka anggap sebagai nabi pembawa hidayah dan kebahagiaan hakiki bagi diri mereka? Ataukah ada niat tersembunyi di balik pandangan yang sangat kontrafersial ini? Jika perayaan besar ini dianggap bid’ah hanya lantaran tidak pernah dilakukan oleh para salaf, maka akan banyak sekali tradisi umat Islam yang tergolong bid’ah. Bukan hanya tahlilan dan doa bersama, tetapi menggunakan pakaian yang kita miliki saat ini untuk melaksanakan shalat juga termaksud bid’ah. Karena kaum salaf tidak pernah menggunakan pakaian model seperti ini saat melakukan shalat. Dakwah via internet pun termaksud bid’ah, karena tidak ada satu sejarawan pun yang mengatakan bahwa ada dari salaf yang pernah berdakwah melalui internet. Seorang yang berakal dan bijak, tidak akan melakukan sesuatu yang berdapak besar sebelum ia meneliti dan mengkaji terlebih dahulu.
Oleh karenanya, alangkah baiknya jika kelompok yang membid’ahkan maulid itu terlebih dahulu mempelajari pengertian dari bid’ah sebelum mereka mengutarakan dan menyakini pandangan berbahaya tersebut. Bulan Rabuil Awwal adalah bulan yang mulia, bulan ini adalah momentum yang sangat tepat bagi kaum muslimin untuk kembali merapatkan barisan mereka. Karena pada bulan inilah telah dilahirkan pribadi mulia yang menjadi panutan seluruh umat Islam di mana pun mereka berada dan apa pun aliran serta mazhab yang dianutnya. Saat ini musuh-musuh Islam dengan segala daya dan dengan berbagai fasilitas yang mereka miliki, semangkin gencar dan agresif dalam memerangi Islam dan kaum muslimin.
Di mata mereka tidak ada Sunni dan Syiah, Syafii dan hanafi, Jakfari atau Zaydi, yang ada di benak mereka, umat Islam adalah satu yang mereka anggap sebagai kaum yang tidak berguna, yang hanya layak diperbudak atau dimusnahkan.
Hukum Maulid 
Meskipun di negeri ini secara resmi hari Maulid Nabi ditetapkan sebagai hari besar keagamaan, kita tidak bisa memungkiri keberadaan kelompok Islam yang enggan untuk turut memperingatinya. Keengganan itu patut kita apresiasi sebagai bentuk kecintaan juga.
Sebab keengganan mereka dikhawatirkan bahwa perbuatan tersebut terkategorikan bid’ah yang dilarang Islam. Atau minimal menyerupai perayaan kelompok Nashrani yang memperingati kelahiran Yesus Kristus. Sebab Nabi Saw telah mewanti-wanti, “Siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dalam golongan kaum itu” (Sunan abu Dawud Juz 4/78).
Tentu pendapat tersebut patut dihargai, bukan dijadikan dalih untuk saling bermusuhan dan berpecah belah.  Namun tetap patut diketahui, setidaknya oleh dua ulama besar Islam, Syaikh Ibnu Hajar al Atsqalani dan Imam Jalaluddin as-Suyuti meskipun tetap menyebut peringatan Maulid Nabi sebagai amalan bid’ah namun tidak mengkategorikannya sebagai bid’ah yang terlarang melainkan bid’ah hasanah (inovasi yang baik). Keduanya mengatakan bahwa status hukum maulid Nabi adalah bid’ah mahmudah (bid’ah terpuji).
Karenanya bisa dikatakan, bahwa tidak semua yang tidak dilakukan Nabi itu tertolak dan dipastikan sebagai bid’ah sesat. Untuk menguatkan pendapatnya, Ibnu Hajar menukil hadits Nabi Saw, “Siapa saja yang membuat suatu tradisi yang baik (tidak bertentangan dengan syariat) maka dia mendapatkan pahala dan pahala orang yang mengerjakannya” (Shahih Bukhari).
Penghayatan dan Kesemarakan 
Tidak ada seorang Muslimpun yang mengingkari wajibnya memberikan kecintaan kepada Nabi bahkan diharuskan melebihi dari kecintaan terhadap diri sendiri. Para sahabat mengapresiasikan kecintaannya kepada Nabi dengan mencintai apa saja yang datang dari beliau, hatta ludah sekalipun.
Karena kecintaan kepada Nabi Saw, para sahabat berebutan mengambil lembaran rambut, tetesan air wudhu, keringat, atau apa saja yang ditinggalkan Rasul. Salah satu ungkapan cinta ialah mengenang dan memuliakan atsar, yakni apa saja –waktu, peristiwa, tempat- yang berkaitan dengan yang kita cintai.
Lihatlah, dinegara manapun selalu ada monumen-monumen besar untuk mengenang peristiwa besar, tempat-tempat bersejarah dan momen-momen penting dari pemimpin negara yang mereka cintai, setiap Negara bahkan termasuk Kerajaan Arab Saudi sekalipun setiap tahunnya memperingati ulang tahun negaranya.  Karena itulah, sangat sulit orang untuk melarang kaum muslimin untuk memperingati maulid nabi, peristiwa Hijrah, Isra’ Miraj, Nuzulul Quran dan momen-momen penting lainnya yang berkaitan dengan sang kekasih Muhammad Saw meskipun peringatan tersebut dikatakan bid’ah.
Selama kaum muslimin mencintai Nabi, selama itu pula peringatan dan ziarah ke makam, gua Hira dan sebagainya akan terus berlangsung.  Imam As-Suyuti mengapresiasi peringatan maulid sebagai ungkapan syukur atas diutusnya Nabi Muhammad Saw ke muka bumi. Penuturan ini dapat dilihat dalam Kitab Al-Ni’mah Al-Kubra Ala Al-Alam fi Maulid Sayyid Wuld Adam.
Memperingati maulid Nabi adalah ungkapan kecintaan sekaligus kesyukuran atas kehadiran beliau di muka bumi menghidayai ummat manusia dan menyelematkannya dari lembah kesesatan.  Karenanya, peringatan ceremonial semacam maulid sangatlah dibutuhkan umat akhir-akhir ini, sebagai momentum untuk membincangkan keagungan dan kemuliaan nabi Muhammad Saw, untuk menyiarkan banyak dari sunnah-sunnah nabi yang terabaikan, untuk lebih memperkenalkan kemulian akhlak Rasulullah kepada mereka yang memendam dendam dan kebencian karena ketidak tahuan.
Saya rasa kita punya kaidah penetapan hukum untuk itu, bahwa setiap yang menjadi perantara pelaksanaan amalan yang wajib maka wajib pula pelaksanaannya. Membeli baju hukumnya mubah, namun menjadi wajib jika kita tidak memiliki baju untuk menutup aurat dalam pelaksanaan shalat.
Mengenang apapun yang berkenaan dengan Rasulullah menjadi wajib hukumnya karena menjadi syarat untuk menimbulkan kecintaan kepada Rasulullah Saw yang merupakan kewajiban bagi kaum muslimin.  Hari kelahiran Nabi sesungguhnya termasuk hari-hari Allah tentangnya Allah berfirman, “Keluarkanlah kaummu dari kegelapan kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.” (Qs. Ibrahim: 5).
Mari kita jadikan Rabiul Awal (yang masyhur dikenal sebagai bulan lahir dan wafatnya Rasulullah Muhammad Saw) sebagai momentum untuk memperingatinya, sebagai ungkapan kecintaan kita kepada Rasulullah Saw, untuk menghidupkan ghirah keislaman kita, membina semangat profetis agar bulan-bulan selanjutnya sampai ke bulan Rabiul Awal selanjutnya yang kita lakukan adalah kerja-kerja kenabian.
Secara sosiologis, dengan asumsi kehidupan manusia di abad ini, dengan kecenderungan bergaya hidup konsumeristik, hedonistik, dan materialistik, punya andil cukup besar terhadap terkikisnya tingkat kesadaran seseorang termasuk kecenderungannya dalam beragama, maka peringatan maulid Nabi menjadi tuntutan religius yang penting.  Kita berupaya menumbuhkan kecintaan kepada Rasulullah agar membuat takjub kaum muslimin dan pada saat yang sama membuat murka musuh-musuh Islam.
Kesemarakan yang terjadi dalam setiap peringatan Maulid bukanlah untuk dilarang, tetapi untuk diluruskan penyimpangan yang terjadi di dalamnya, untuk diarahkan kepada penghayatan makna peringatan perjalanan nabi sesungguhnya. Kesemarakan adalah bagian dari syiar agama, sementara syiar sendiri bagian dari pendalaman agama.
Dengan syiar para ulama atau tokoh agama bisa berperan dalam membina masyarakat.   “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Adz Dzazariyat : 55)***
Suatu hari, disebuah masjid kampung, dipingggiran kota, sehabis shalat Ashar berjama’ah, seorang anak muda, yang tampak begitu saleh dengan bekas sujud yang tampak jelas di dahinya dan penampilannya yang sedemikian islami dengan baju koko dan kopiah yang serba putih, mendekati imam masjid yang sudah sedemikian berumur. Keriput diwajah imam masjid itu sedemikian jelas disertai tubuh yang mulai membungkuk. Dia sedang membereskan sajadahnya, memasukkan mic kedalam kotaknya dan menutup lemari yang berisikan deretan kitab Al-Qur’an dan beberapa majalah bulanan Islam. Sementara jama’ah sudah meninggalkan masjid satu-satu dan menyisakan mereka berdua.
Singkat cerita terjadilah dialog sebagai berikut:
Anak Muda [AM]: Pak ustad, mau tanya. Boleh?
Imam Masjid [IM]: Silahkan nak..
Keduanya kemudian duduk bersilah di sisi mimbar masjid. Pak Imam menyandarkan tubuh tuanya di dinding.
AM: Begini pak, benar di masjid ini akan diadakan peringatan maulid Nabi?
IM: Benar. Memang kenapa, bukannya kamu juga penduduk kampung ini, dan sudah tahu bahwa peringatan maulid di kampung ini telah menjadi tradisi tahunan dan warga kampung menyambutnya dengan gembira?
AM: Iya pak. Tapi bukankah itu amalan bid’ah?
IM: Bid’ah? Maksudnya?
AM: Iya bid’ah. Tidak ada contohnya dalam Islam. Tidak pernah dianjurkan Nabi, dan juga tidak pernah diamalkan para sahabat.
IM: Apa semua yang tidak dianjurkan Nabi dan tidak diamalkan sahabat sudah berarti bid’ah?
AM: Iya. Mengadakan hal-hal yang baru yang tidak ada contohnya dari Nabi itu semuanya bid’ah, semua yang bid’ah itu sesat dan kesesatan itu di neraka.
IM: Kamu tahu dari mana semua itu nak?
AM: Dari pengajian di kampusku di kota. Saya diajari ustad alumni Arab Saudi.
IM: Terus, apakah mengenakan kopiah dan sarung itu juga bid’ah? mengenakan mic di masjid saat azan itu juga bid’ah karena tidak ada contohnya dari Nabi?
AM: Kalau itu termasuk bid’ah dari segi bahasa, dan tidak masalah.
IM: Jadi yang bermasalah, bid’ah dari segi mana?
AM: Bid’ah secara istilah. Yaitu melakukan amalan ibadah yang tidak ada contohnya dalam syariat. Menggunakan kopiah dan sarung itu, masalah duniawi, bahkan implementasi dari perintah untuk menutup aurat, jadi apa saja yang akan dikenakan itu diserahkan pada ummat.
IM: Bukankah, mengadakan maulid nabi juga dari perintah Nabi untuk mengagungkan, memuliakan dan selalu mengingatnya?
AM: Memang dalam agama kita, kita diperintahkan memuliakan Nabi, tapi ya tentu sesuai dengan tuntunan Nabi. Nabi misalnya telah menganjurkan untuk bershalawat dan mematuhi perintahnya. Sahabat-sahabat sedemikian besarnya cintanya pada Nabi, tapi tidak ada seorangpun dari mereka yang menganjurkan memperingati hari kelahiran Nabi apalagi melakukannya.
IM: Nabi juga tidak pernah meminta kita mendirikan pesantren, tapi mengapa dilakukan?
AM: Pesantren hanya wasilah pak. Mendirikan pesantren bagian dari perintah Nabi untuk ummat ini menuntut ilmu dan belajar.
IM: Apa Nabi pernah memerintahkan mendirikan pesantren?
AM: Ya tidak pernah.
IM: Apa sahabat-sahabat melakukannya?
AM: Ya tidak. Tapi waktu itu memang tidak begitu penting mendirikan pesantren.
IM: Sekarang mengapa mendirikan pesantren? Apa karena dirasa penting, meskipun itu tidak pernah dilakukan Nabi dan sahabat-sahabatnya?
AM: Tapi pak. Mendirikan pesantren itu ada dasarnya. Pertama, adanya perintah untuk menuntut ilmu. Bentuk bagaimana menuntut ilmu itu diserahkan kepada ummat. Mau dipesantren, kajian di masjid, dengar ceramah, nonton program TV Islami, baca buku dan sebagainya, terserah.
Kedua, dimasa Nabipun dilakukan majelis-majelis ilmu, yang sesungguhnya itu adalah cikal bakal berdirinya pesantren. Hanya saja di masa Nabi masih dalam bentuk yang sangat sederhana.
IM: Bukankah memperingati maulid juga begitu?. Pertama, dasarnya adalah adanya perintah untuk mencintai dan mengagungkan Nabi. Bentuk amalannya diserahkan kepada ummat. Memperingati maulid Nabi adalah perwujudan dari kecintaan dan bentuk pengagungan pada Nabi. Sama halnya perintah mencintai dan menghormati orang tua. Nabi tidak memberi batasan dan pengkhususan mengenai bentuk amalannya. Ada yang mencintai orangtuanya dengan membiayai keduanya naik haji. Ada yang mencintai kedua orangtuanya dengan membangunkan rumah, membayarkan hutang-hutangnya atau dalam bentuk menjadi anak yang saleh dan berbakti. Ada pula yang sampai bertekad menjadi sarjana dengan niat, itu yang menjadi bentuk pengabdian dan kecintaannya pada orangtua. Jadi apa alasannya menghalangi mereka yang hendak mengekspresikan kecintaannya pada Nabi dengan memperingati hari kelahirannya dan bersuka cita didalamnya, sementara Nabi tidak pernah memberi batasan dan pengkhususan bagaimana amalan dari perintah mencintainya?.
Kedua, cikal bakalnya di masa Nabi sudah ada. Sahabat-sahabat sangat mengagungkan apa saja yang berkaitan dengan Nabi. Mereka berebutan untuk mengambil berkah dari sisa air wudhu Nabi. Mereka menyimpan rambut Nabi, mengambil keringat dan peluh Nabi. Mereka mendahulukan Nabi dari diri-diri mereka sendiri. Nah, dimasa kita yang tidak bisa bertemu Nabi, tentu tidak bisa mengagungkan Nabi sebagaimana yang dilakukan para sahabat. Kalau kita di Madinah, tentu kita akan setiap hari berziarah ke makam Nabi, dan mengambil berkah dengan menyentuh pusaranya. Sayang, kita menetap di tempat yang jauh dari itu. [Mata imam tua itu mulai berkaca-kaca]
Karenanya, cukuplah memperingati kelahiran Nabi dan memuliakan bulan kelahirannya, sebagai bentuk yang paling sederhana yang bisa kita lakukan untuk meluapkan kecintaan dan kerinduan kepada baginda Nabi. Selain itu, tentu saja dalam keseharian adalah meneladani Nabi. [Tidak tahan, imam masjid itu untuk menyeka matanya yang sembab]
Kalau kita tidak bisa mengambil berkah dari fisik ataupun makam Nabi dan semua tempat bersejarah yang pernah dipijaknya, setidaknya kita mengambil berkah dari waktu-waktu mulia yang pernah dilalui Nabi. Bukankah kita sendiri tetap menganggap istimewa, hari saat kita dilahirkan, hari pertama masuk sekolah, hari saat diwisuda, hari pernikahan, hari lahirnya anak pertama dan sebagainya, dan ketika mengenang semua hari-hari menggembirakan itu kita lantas bersyukur dan bersuka cita atas rahmat Allah. Karena itu kita mengistimewakan hari lahirnya Nabi, saat beliau hijrah, saat isra mi’raj, dengan mengenang, memperingati dan membicarakannya, sebagai bentuk cinta kita pada beliau.
AM: Tapi pak, bagaimanapun itu sama saja menambah-nambahkan syariat dalam agama. Tidak ada contohnya, dan tidak pernah diamalkan. Kalau memang itu penting, pasti Nabi dan sahabatnya pasti yang lebih dulu melakukan dan menyemarakkannya.
IM: Lho, kalau pesantren itu penting. Pasti Nabi dan sahabatnya yang lebih dulu mendirikannya.
AM: Pesantren hanya wasilah pak. Bukan ibadah.
IM: Bukan ibadah? Maksudnya?
AM: Ya, hanya wasilah untuk lebih mudah menuntut ilmu, dan lebih tersistematis dengan adanya kurikulum. Intinya itu adalah pengamalan dari perintah Nabi untuk menuntut ilmu.
IM: Lho, kalau begitu, maulid adalah juga wasilah untuk menunjukkan kecintaan kepada Nabi. Maulid, jalan untuk bisa mengumpulkan warga, sehingga mereka mau mendengarkan ceramah tentang Nabi, mereka jadi tahu akhlak dan keindahan perangai Nabi, mereka jadi tahu sunnah-sunnah Nabi apa saja. Dan dibuat tersistematis, agar ummat bisa lebih mudah untuk mengingatnya. Setiap Muharram yang diingat, peristiwa hijrahnya Nabi. Setiap Zulhijjah, yang diingat peristiwa haji terakhir Nabi dan lengkapnya syariat Islam. Setiap Rajab yang diingat adalah peristiwa isra mi’raj. Setiap Ramadhan, disaat Nabi menerima wahyu dan turunnya Al Qur’an pertama kali. Setiap Safar bulan wafatnya Nabi dan setiap Rabiul Awal adalah bulan kelahiran Nabi. Dengan adanya tradisi memperingati semua hal yang penting dari peristiwa yang pernah dialami Nabi tersebut menjadi wasilah bagi para ulama, da’i dan muballigh untuk lebih mudah menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada ummat.
Bapak tanya. Pembacaan proklamasi itu kapan? Hari ibu kapan diperingati? Kalau hari Kartini kapan?
AM: Hari proklamasi 17 Agustus. Hari Ibu 22 Desember dan Hari Kartini 21 April.
IM: Kok kamu bisa ingat?
AM: Ya, karena diperingati tiap tahun.
IM: Kalau tidak diperingati secara nasional, bagaimana? Apa kamu masih bisa ingat?
AM: Ya bisa jadi saya lupa. Tapi apa pentingnya mengetahui itu pak?
IM: Ya, apa pentingnya bagimu kamu tahu kapan kamu lahir, tanggal, bulan dan tahunnya?.
AM: [Diam]
IM: Sejarah itu penting nak. Dan adanya peringatan-peringatan itu diadakan sebagai bentuk penghargaan terhadap sejarah. Bukankah dalam Al-Qur’an sendiri banyak perintah untuk mengingat peristiwa-peristiwa ummat-ummat terdahulu, yang dengan itu kita bisa banyak mengambil ibrah?
AM: Tapi bukankah tanggal kelahiran Nabi itu diperselisihkan ulama pak?
IM: Tapi tidak ada yang menyelisihi bahwa baginda Nabi lahir dibulan Rabiul Awwal, iya kan?. Karena itu, kita juga tidak pernah mempersoalkan kapan acara maulid Nabi diadakan. Apa tepat 12 Rabiul Awal, lebih cepat atau lebih lambat. Ditiap kampung, masjid, kantor dan sekolah, beda-beda hari dimana mereka mengadakan Maulid. Dan itu tidak mesti dipersoalkan. Dan kami juga tidak pernah menyebut mereka yang tidak mau ikut maulidan sebagai orang yang tidak mencintai Nabi. Maulidan itu tidak wajib. Kalau ada yang menyatakan, yang tidak ikut acara maulidan itu berdosa, itu yang bid’ah.
AM: Tidak ada amalan yang kalau itu dianggap baik dan dapat mendekatkan pada Allah kecuali pernah dianjurkan Nabi dan diamalkan para sahabat. Maulid tidak dianjurkan dan tidak diamalkan, artinya tidak dianggap baik oleh Nabi.
IM: Nak, ceramah taraweh itu pernah tidak dilakukan Nabi? Pernah diamalkan sahabat?
AM: Setahu saya tidak.
IM: Lantas mengapa umat Islam saat ini menggalakkannya?. Di masjid-mesjid dibuatkan jadwal ceramah taraweh, ditentukan penceramahnya, temanya apa dan seterusnya. Kalau itu baik, pasti Nabi dan para sahabat yang lebih dulu mengamalkannya.
AM: Ya itu hanya karena memanfaatkan momentum Ramadhan saja pak. Ruhiyah umat Islam lebih siap mendengarkan siraman rohani dibanding bulan lain.
IM: Lho kalau itu alasannya. Kami mengadakan maulid juga sekedar memanfaatkan momentum Rabiul Awal saja. Ruhiyah umat Islam dibulan ini lebih siap untuk mendengarkan ceramah-ceramah mengenai keagungan Nabi dan keteladanannya. Jadi kalau memanfaatkan momentum Ramadhan bukan bid’ah, sementara memanfaatkan momentum Rabiul Awal menjadi bid’ah, begitu?.
AM: Tidak begitu juga sih pak. Tapi pak, memperingati Maulid itu menambah-nambah hari raya dalam Islam, sementara hari raya dalam Islam itu hanya tiga. Jum’at, Idul Fitri dan Idul Adha. Tidak perlu ditambah lagi. Menambahhya sama halnya meragukan kesempurnaan ajaran Islam yang telah dijamin kesempurnannya oleh Allah Swt. Atau menuduh Nabi tidak amanah dalam menyampaikan syariat ini.
IM: Yang bilang Maulid itu hari raya siapa?. Kami menyebutnya peringatan. Bukan perayaan. Karena bentuknya peringatan, ya bisa dilakukan kapan saja. Bahkan diluar Rabiul Awal pun sah-sah saja. Kalau perayaan, ya harus di hari Hnya. Kalaupun ada yang menyebutkan merayakan maulid Nabi, itu bukan maksudnya menjadikan hari maulid sebagai hari raya dan menyikapinya sebagaimana hari raya Jum’at, Idul Fitri atau Idul Adha. Ketiga hari raya itu memiliki rukun yang tidak bisa dibolak balik, ditambah ataupun dikurangi. Sementara Maulid, ya terserah pada penyelenggaranya. Ada yang melengkapinya dengan barazanji, ada pula yang tidak. Ada yang menyertainya dengan lomba-lomba ada pula sekedar mendengar ceramah, shalawatan dan makan bersama sudah cukup. Ada yang melakukannya dipagi hari. Ada sore hari, ada pula yang malam hari setelah shalat Isya. Kalau idul Fitri ya sudah ditentukan kapan dan batasannya.
AM: Tetap saja bid’ah pak. Bukankah bapak mengharapkan pahala dari mengadakan Maulid itu? Nah karena mengharap pahala, berarti itu dianggap ibadah. Sementara dalam ibadah Islam, tidak ada yang namanya maulidan. Kalau bapak ngotot menyebutnya bukan ibadah, berarti bapak harus menyebut itu perbuatan sia-sia karena tidak mengharap pahala.
IM: Apa mereka yang mendirikan pesantren itu tidak mengharap pahala? Apakah yang menyumbang untuk pembangunan pesantren tidak mengharap pahala? Sementara dalam hadits Nabi sama sekali tidak ada perintah untuk membangun pesantren, mendirikan ormas Islam, membuat yayasan-yayasan, membangun rumah sakit, puskesmas dan sekolah-sekolah?.
AM: [Diam]
IM: Apa yang lepas dari masalah ibadah nak? Mana yang kamu sebut tadi masalah duniawi?
AM: Mengenakan sarung dan kopiah. [Menjawab dengan nada lemah]
IM: Saya tanya, kalau itu hanya masalah duniawi. Mana yang lebih afdhal yang shalat dengan mengenakan sarung, kopiah dan baju koko, dengan yang shalat mengenakan kaos oblong, celana jeans dan topi koboy?
AM: Tentu yang pertama.
IM: Kok bisa? Bukankah itu hanya masalah duniawi? Berpakaian pun bisa menjadi ibadah, jika itu diniatkan untuk mendapatkan keridhaan Allah dan menjalankan tuntunan Nabi untuk mengenakan pakaian yang layak dan bersih. Bukankah tidurpun termasuk ibadah?. Apa Nabi pernah mencontohkan tidur di kasur yang empuk dan mahal?.
Jadi sekarang saya bertanya lagi. Mana yang lebih afdhal yang bergembira di bulan Maulid dengan niat kegembiraannya itu karena tahu bahwa bulan itu adalah bulan lahirnya Nabi yang mulia, yang dijunjung dan diagungkan oleh semua umat Islam. Yang kegembiraannya itu diluapkan dengan berbondong-bondong ke masjid, mendengar ceramah, bersilaturahmi dan makan bersama, atau yang lebih sibuk dan ribut-ribut menyebut mereka yang memperingati maulid itu sebagai ahli bid’ah, sesat dan tempatnya kelak di neraka?.
Mana yang lebih meneladani Nabi, mereka yang menyerukan persatuan dan persaudaraan Islam dengan memanfaatkan momentum bulan kelahiran Nabi atau mereka yang ngotot dan memaksakan pendapat mereka sendiri, dan menyebut mereka yang menyelisihnya sebagai golongan sesat dan jahil?.
AM: Lebih afdhal yang pertama, pak. [Sedikit tersipu]
Tapi pak, bukankah memperingati maulid Nabi sama halnya tasyabbuh dengan budaya kuffar yang juga memperingati hari kelahiran orang-orang yang mereka agungkan? Sementara Nabi melarang kita meniru-niru adat-adat dan kebiasaan mereka.
IM: Apa dalam semua hal? Kaum jahiliah Arab dulu dikenal sangat menghormati dan mengagungkan tamu, mereka juga punya ikatan yang kuat dengan keluarga dan kabilah mereka. Apa itu jelek dan harus diselisihi karena bakal menyerupai kebiasaan mereka? Kegigihan orang-orang Barat dalam menuntut ilmu, dalam menemukan hal-hal yang canggih dan baru dalam bidang tekhnologi, apa itu harus diselisihi karena telah menjadi tradisi keilmuan mereka?
Mengagungkan Nabi-nabi Allah, memuliakan orang-orang yang saleh dan mengistimewakan mereka diatas yang lainnya bukanlah kebiasaan jelek yang harus dihindari. Selama bentuk pengagungan dan pemuliaan kita tidak sampai menyamakan derajat mereka dengan Tuhan atau menyematkan sifat Rububiyah kepada orang-orang saleh itu.
Perintah agama kita jelas. Menyuruh kita melakukan hal-hal yang bisa menjengkelkan orang-orang kafir dan menyenangkan hati orang-orang beriman. Keras pada orang kafir dan berlembah lembut pada orang beriman. Nah, apa iya, melarang-larang umat Islam memperingat kelahiran Nabi itu menjengkelkan orang-orang kafir?. Apa iya mengharamkan makanan maulid itu membuat geram mereka? Apa iya sengaja menyulut perselisihan di bulan kelahiran Nabi itu membuat muak orang-orang kafir?
Dalam keyakinan bapak, semakin semarak umat Islam memperingati kelahiran Nabinya, akan semakin menjengkelkan orang-orang kafir. Semakin ummat Islam mengagungkan Nabi di kantor-kantor, sekolah-sekolah, di jalan-jalan, di tanah lapang, dan memuliakan bulan kelahirannya akan semakin menggeramkan orang-orang kafir. Semakin anak-anak bergembira dan bersorak sorai, bershalawatan dan menyanyikan syair-syair rindu pada Nabi di bulan maulid, akan semakin membuat mereka putus asa untuk menjauhkan generasi muda Islam dengan Nabinya.
Menyemarakkan maulid itu menyenangkan orang-orang beriman. Hari dimana kita berbagi kebahagiaan, keceriaan, kebersamaan, dengan makan bersama, duduk bersama, mendengarkan ceramah bersama, shalawatan bersama, melihat keceriaan anak-anak yang riang gembira, dan saling mematri janji untuk selalu saling memuliakan dan menjaga ukhuwah. Bukan begitu?.
AM: Iya pak. [Pemuda itu menganggukkan kepalanya]
[Senyap sesaat, yang terdengar hanya suara gesekan tubuh imam masjid yang mengubah letak duduknya.]
AM: Tapi Pak. Yang patut disayangkan. Mereka yang getol memperingati maulid, justru hanya masuk masjid saat peringatan maulid, dan dihari selainnya tidak menampakkan lagi batang hidungnya di masjid. Bahkan pada saat shalat lima waktu sekalipun.
IM: Justru, dengan adanya peringatan maulid itu setidaknya mereka tercatat pernah ke masjid. Coba kalau tidak ada maulid. Mungkin seumur-umur mereka tidak pernah ke masjid padahal mereka mengaku muslim juga.
AM: [Mengangguk]
IM: Nak, yang dimaksud bid’ah itu adalah jika mengubah-ubah syariat yang telah ditetapkan secara pasti. Misalnya menambah rakaat shalat. Naik haji bukan diwaktu yang telah ditentukan. Mengurangi rukun puasa. Dan sebagainya.
Kita tidak mewajibkan maulid. Yang mau ikut silahkan, yang tidakpun tidak kita paksa. Apalagi sampai mencemoohnya tidak mencintai Nabi dan telah berdosa. Semua orang punya cara untuk meluapkan kecintaannya pada Nabi. Kita percaya, yang tidak memperingati maulid juga tetap tidak kurang cintanya pada Nabi. Hanya saja, kecintaan pada Nabi itu akan ternodai kalau sampai menyakiti hati sesama muslim dengan menggelari mereka yang memperingati maulid sebagai ahli bid’ah, sesat dan ahli neraka, padahal ini pun masih diperselisihkan para ulama.
Betapa keras usaha dan upaya Nabi untuk menjaga agar umat Islam bersatu. Janganlah dirusak hanya karena berbeda dalam memahami anjuran Nabi. Bid’ahnya maulid masih diperselisihkan, tapi mencela, melecehkan dan merendahkan sesama muslim tidak diperdebatkan keharamannya. Orang Islam itu, kesibukannya melakukan amalan-amalan yang akan memasukkannya ke surga, bukan sibuk membuktikan orang lain pasti ke neraka.
AM: Iya pak. Terimakasih.
IM: Sama-sama.
Imam Masjid itu kemudian berdiri. Menyalakan tape masjid, yang seketika itu juga memperdengarkan alunan Qari yang melantunkan ayat suci Al-Qur’an.  Pak tua itu, keluar masjid, masuk WC dan memperbaharui wudhunya. Tidak lama lagi, matahari akan tenggelam, dan waktu maghrib akan masuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar