Total Tayangan Halaman

Selasa, 05 Mei 2015

Takhrij Hadis Dua Suara Yang Dilaknat : Hadis Yang Dijadikan Hujjah Untuk Mengharamkan Musik


Hadis ini termasuk salah satu hadis yang dijadikan hujjah oleh sebagian ulama untuk mengharamkan musik. Kedudukan hadis ini berdasarkan pendapat yang rajih [sesuai dengan kaidah ilmu hadis] adalah dhaif. Berikut pembahasan rinci tentangnya.
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ  ثنا أَبُو عَاصِمٍ  ثنا شَبِيبُ بْنُ بِشْرٍ الْبَجَلِيُّ  قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ  قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  صَوْتَانِ مَلْعُونَانِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ، وَرَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيبَة
Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Aliy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim yang berkata telah menceritakan kepada kami Syabiib bin Bisyr Al Bajalliy yang berkata aku mendengar Anas bin Malik mengatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “dua suara yang dilaknat di dunia dan akhirat, yaitu suara seruling ketika mendapat nikmat dan suara jeritan ketika mendapat musibah” [Musnad Al Bazzar 14/62 no 7513]
Riwayat ini juga disebutkan dalam Kasyf Al Astaar 1/377 no 795, Al Ahaadiits Al Mukhtaarah Dhiyaa’ Al Maqdisiy no 2200 dan 2201, At Targhiib Wat Tarhiib Abul Qaasim Al Ashbahaniy 3/238-239 no 2433. Semuanya dengan jalan sanad dari Syabiib bin Bisyr dari Anas bin Malik secara marfu’.
Riwayat ini sanadny dhaif karena Syabiib bin Bisyr Al Bajalliy, pendapat yang rajih ia seorang yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar hadisnya. Yahya bin Ma’in berkata “tsiqat” [Tarikh Ibnu Ma’in riwayat Ad Duuriy no 3265]. Al Bukhariy berkata “munkar al hadiits” [Tartib Ilal Tirmidzi no 106]. Abu Hatim berkata “[layyin] lemah hadisnya dan hadisnya adalah hadis syuyukh [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 4/357 no 1564]. Ibnu Hibban berkata
شَبيب بْن بشر البَجلِيّ يَرْوِي عَن أنس بن مَالك يخطىء كثيرا رَوَى عَنْهُ أَبُو عَاصِم النَّبِيل وَإِسْرَائِيل
Syabiib bin Bisyr Al Bajalliy meriwayatkan dari Anas bin Maalik, banyak melakukan kesalahan, telah meriwayatkan darinya Abu ‘Aashim An Nabiil dan Israiil [Ats Tsiqat Ibnu Hibban 4/359 no 3343]
Ibnu Syahiin memasukkan namanya dalam perawi tsiqat dengan mengutip tautsiq Yahya bin Ma’in [Tarikh Asmaa’ Ats Tsiqat no 540]. Ibnu Khalfuun memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ikmal Tahdzib Al Kamal Al Mughlathay 6/211 no 2342]. Ibnu Jauziy memasukkannya ke dalam perawi dhaif dengan mengutip jarh Abu Hatim [Adh Dhu’afa Ibnu Jauziy no 1610]. Adz Dzahabiy memasukkannya dalam kitabnya Diiwaan Adh Dhu’afa Wal Matruukin dengan mengutip jarh Abu Hatim [Diiwan Adh Dhu’afa Wal Matruukin no 1861].
Ibnu Hajar berkata dalam At Taqrib bahwa ia shaduq sering keliru tetapi dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa Syabiib bin Bisyr dhaif, tidak ada yang menyatakan tsiqat selain Ibnu Ma’in. Kemudian penulis menyebutkan jarh Bukhariy, Abu Hatim dan Ibnu Hibban [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 2738].
.
.                                                       
Syaikh Abdullah Al Judai’ dalam kitabnya Al Muusiiq Wal Ghinaa’ Fii Mizan Al Islam hal 407-409 menyatakan hadis di atas dhaif karena Syabiib bin Bisyr perawi yang dhaif jika tafarrud. Apa yang dikatakan Syaikh tersebut benar dan sesuai dengan pembahasan di atas.
Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa membantah Syaikh Al Judai’ dalam kitabnya Ar Radd Ala Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 329-333 dimana Syaikh berhujjah dengan tautsiq Yahya bin Ma’in, Ibnu Syahiin dan Ibnu Khalfun kemudian menyatakan bahwa Abu Hatim dan Ibnu Hibban termasuk ulama yang terlalu ketat dalam jarh. Sehingga Syaikh menyimpulkan sanad Al Bazzaar di atas hasan.
Bantahan Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa tersebut keliru. Ulama yang menyatakan jarh [celaan] terhadap Syabiib bin Bisyr tidak hanya Abu Hatim dan Ibnu Hibban [yang keduanya dikenal ketat dalam jarh] tetapi juga Al Bukhariy dengan lafaz jarh “munkar al hadiits”. Ibnu Hajar menjelaskan soal lafaz jarh Bukhariy ini dalam biografi Aban bin Jabalah Al Kuufiy
وقال البخاري منكر الحديث ونقل بن القطان ان البخاري قال كل من قلت فيه منكر الحديث فلا تحل الرواية عنه انتهى وهذا القول مروي بإسناد صحيح عن عبد السلام بن أحمد الخفاف عن البخاري
Dan Bukhariy berkata “munkar al hadiits” dan Ibnu Qaththan menukil bahwa Bukhariy berkata “semua yang aku katakan tentangnya munkar al hadiits maka tidak halal meriwayatkan darinya”. [Ibnu Hajar berkata] Perkataan ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari ‘Abdus Salaam bin Ahmad Al Khaffaaf dari Bukhariy [Lisan Al Mizan Ibnu Hajar juz 1 no 6]
Imam Bukhariy termasuk ulama yang tergolong mu’tadil [pertengahan] dalam jarh tidak terlalu mudah menjarh dan tidak pula tasahul. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Adz Dzahabiy
و المعتدل فيهم أحمد بن حنبل و البخاري و أبو زرعة
Dan golongan mu’tadil diantara mereka adalah Ahmad bin Hanbal, Bukhariy dan Abu Zur’ah [Al Muuqidzhah Fi Musthalah Al Hadiits Adz Dzahabiy hal 63]
Selain itu apa yang dikatakan Abu Hatim terhadap Syabiib bin Bisyr adalah jarh atau kelemahan pada dhabit-nya yaitu dengan lafaz jarh “layyin al hadiits”. Dan hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Ibnu Hibban bahwa Syabiib banyak melakukan kesalahan. Jika kita menggabungkan fakta ini dengan jarh Al Bukhariy dan tautsiq Ibnu Ma’in maka pendapat yang rajih adalah Syabiib bin Bisyr perawi yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar.
Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa juga mengutip tautsiq dari Ibnu Syahiin dan Ibnu Khalfun terhadap Syabiib tetapi hal ini tidak berpengaruh untuk mengangkat derajat Syabiib. Tautsiq Ibnu Syahiin pada dasarnya adalah berpegang pada tautsiq Yahya bin Ma’in sebagaimana dengan jelas disebutkan Ibnu Syahiin dalam kitabnya Tarikh Asmaa’ Ats Tsiqat.
Sedangkan Ibnu Khalfun dan kitabnya Ats Tsiqat tidak lagi ditemukan di masa sekarang dan biasanya tautsiq Ibnu Khalfun dikutip oleh Al Hafizh Al Mughlathay dan Ibnu Hajar dalam kitab mereka. Ibnu Khalfun termasuk ulama muta’akhirin dan ia sering menukil tautsiq dari ulama terdahulu maka kemungkinan tautsiqnya disini berdasarkan ulama terdahulu yang mentautsiq Syabiib [dalam hal ini adalah Yahya bin Ma’in].
Kalau kita juga mengandalkan ulama muta’akhirin maka ternukil pula ulama muta’akhirin yang melemahkan Syabiib bin Bisyr seperti Ibnu Jauziy dan Adz Dzahabiy, dimana keduanya juga berpegang pada jarh ulama mutaqaddimin yaitu jarh Abu Hatim. Maka dengan mengumpulkan perkataan ulama mutaqaddimin dan muta’akhirin tentang Syabiib bin Bisyr tetap akan menghasilkan kesimpulan bahwa ia perawi dhaif jika tafarrud.
.
.
.
Hadis Anas di atas dengan matan yang sama memiliki syahid dari hadis Ibnu ‘Abbaas. Hanya saja sanad hadis Ibnu ‘Abbaas ini maudhu’
حدثنا بن ياسين ثنا محمد بن معاوية ثنا محمد بن زياد ثنا ميمون عن بن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال صوتان ملعونان في الدنيا والاخره صوت مزمار عند نعمه وصوت رنة عند مصيبة
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Yasiin yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mu’awiyah yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ziyaad yang berkata telah menceritakan kepada kami Maimun dari Ibnu ‘Abbaas dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang berkata dua suara yang dilaknat di dunia dan akhirat adalah suara seruling ketika mendapat nikmat dan suara jeritan ketika mendapat musibah [Al Kamil Ibnu Adiy 7/298-299]
Riwayat ini maudhu’ [palsu] karena Muhammad bin Ziyaad Ath Thahhaan Al Yasykuriy. Yahya bin Ma’in mengatakan ia pendusta. Ahmad bin Hanbal mengatakan ia pendusta pemalsu hadis. Al Bukhariy berkata “matruk al hadiits”. ‘Amru bin ‘Aliy berkata “matruk al hadiits munkar al hadiits” [Al Kamil Ibnu Adiy 7/296-298 no 1632]
.
.
.
Ada hadis lain yang dijadikan hujjah untuk menguatkan hadis Anas bin Malik di atas yaitu hadis berikut
حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ قَالَ حَّدَثَنَا الحُسَيْنُ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ الْعِجْلِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبَى لَيْلَى , عَنْ عَطَاءٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنِّي نَهَيْتُ عَنْ صَوْتَيْنِ أَحْمَقَيْنِ فَاجِرَيْنِ صَوْتٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَمَزَامِيرُ شَيْطَانٍ وَصَوْتٌ عِنْدَ مُصِيبَةٍ  خَمْشُ وُجُوهٍ  وَشَقُّ جُيُوبٍ  وَرَنَّةُ شَيْطَانٍ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Utsman Al Ijliy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Numair yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Laila dari ‘Atha’ dari Jabir bin ‘Abdullah dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “aku melarang dua suara yang bodoh lagi fajir yaitu suara ketika mendapat nikmat hiburan permainan seruling-seruling syaithan dan suara ketika mendapat musibah, mencakar wajah, merobek pakaian dan jeritan syaithan [Dzammul Malaahiy Ibnu Abi Dunyaa hal 59-60 no 64]
Riwayat ‘Abdullah bin Numair Al Hamdaaniy dari Ibnu Abi Laila di atas juga disebutkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat 1/114-115, dan Al Ajurriy dalam Tahrim An Nardu hal 201 hadis 63. Abdullah bin Numair memiliki mutaba’ah dari
  1. Nadhr bin Ismaiil sebagaimana disebutkan Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat 1/114-115, Al Bazzar dalam Musnad-nya 3/214 no 1001, Al Ajurriy dalam Tahrim An Nardu hal 201 hadis 63, Ahmad bin Mani’ dalam Musnad-nya sebagaimana dinukil Ibnu Hajar dalam Mathalib Al ‘Aliyyah hal 359 no 844
  2. Isra’iil bin Yunuus sebagaimana disebutkan Ath Thahawiy dalam Syarh Ma’aaniy Al Atsaar 4/293 no 6975, Abu Ya’la dalam Al Maqshad Al ‘Aliy Fii Zawaid Abu Ya’la Al Haitsamiy no 441 dan Al Hakim dalam Al Mustadrak 4/43 no 6825
  3. Yunuss bin Bukair sebagaimana disebutkan Al Baihaqiy dalam Syu’aab Al Iimaan 7/241 no 10163 dan Al Ajurriy dalam Tahrim An Nardu hal 201 hadis 63
  4. Aliy bin Mushir sebagaimana disebutkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At Tamhiid 24/442-443
  5. ‘Imraan bin Muhammad bin ‘Abi Laila sebagaimana disebutkan Al Baghawiy dalam Syarh As Sunnah 5/437-438 no 1535 dengan matan ringkas tanpa menyebutkan lafaz “dua suara yang bodoh lagi fajir”.
Mereka semua meriwayatkan dengan jalan sanad dari Ibnu ‘Abi Laila dari Atha’ bin Abi Rabah dari Jabir dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf secara marfu’. Dan mereka diselisihi oleh sebagian perawi lain yang meriwayatkan dari Ibnu Abi Laila dari Atha’ dari Jabir [tanpa menyebutkan dalam sanadnya ‘Abdurrahman bin ‘Auf] yaitu
  1. Abu ‘Awanah Al Yasykuriy sebagaimana disebutkan Abu Dawud Ath Thayalisiy dalam Musnad-nya 3/262-263 no 1788, Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 4/69 no 6943, Syu’ab Al Iimaan 7/242 no 10164, dan Al ‘Adaab hal 472 no 1068, Al Baghawiy dalam Syarh As Sunnah 5/430-431 no 1530.
  2. Ubaidillah bin Muusa sebagaimana disebutkan Abdu bin Humaid dalam Al Muntakhab Min Musnad ‘Abdu bin Humaid 2/129-130 no 1004
  3. ‘Aliy bin Haasyim sebagaimana disebutkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 4/569 no 12243
  4. Iisa bin Yunus sebagaimana disebutkan At Tirmidzi dalam Sunan-nya 3/328 no 1005 hanya saja matannya tidak menyebutkan lafaz “suara ketika mendapat nikmat hiburan permainan seruling-seruling syaithan”. Tetapi lafaz ini disebutkan dalam riwayat lain Iisa bin Yunus oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin 2/253
Maka nampak bahwa terjadi idhthirab pada sanad tersebut yaitu pada Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abi Laila dimana terkadang ia menjadikan hadis ini sebagai hadis Jabir dan terkadang ia menjadikan hadis ini sebagai hadis’Abdurrahman bin ‘Auf.
Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abi Laila berdasarkan pendapat yang rajih adalah perawi dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar hadisnya, sebagian ulama khususnya telah melemahkan hadisnya dari Atha’ bin Abi Rabah.
Ahmad bin Hanbal berkata “buruk hafalannya”. Ahmad mengatakan bahwa Yahya bin Sa’id menyerupakannya dengan Mathar Al Warraaq yaitu dalam buruk hafalannya. Ahmad bin Hanbal berkata “mudhtharib al hadiits”. Ahmad bin Hanbal juga berkata “fiqih Ibnu Abi Laila lebih aku sukai daripada hadisnya, di dalam hadisnya terdapat idhthirab”. Terkadang Ahmad menyatakan ia dhaif dan terkadang berkata “tidak bisa berhujjah dengannya”. Ahmad bin Hanbal juga pernah berkata “Ibnu Abi Laila dhaif dan dalam riwayat Atha’ ia banyak melakukan kesalahan”. Ahmad bin Hanbal juga mengatakan Yahya telah mendhaifkan Ibnu Abi Laila dan Mathar dalam riwayatnya dari Atha’ [Mausu’ah Aqwaal Ahmad hal 285-287 no 2373]
Yahya bin Ma’in berkata “bukan seorang yang tsabit dalam hadis”. Yahya bin Ma’in juga pernah berkata “Ibnu Abi Laila dhaif”. Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa Yahya bin Sa’id tidak meriwayatkan hadis dari Ibnu Abi Laila yaitu apa yang diriwayatkannya dari Atha’. [Mausu’ah Aqwaal Yahya bin Ma’in hal 218-219 no 3501].
Daruquthniy berkata “buruk hafalannya” terkadang berkata “ia tsiqat terdapat sesuatu dalam hafalannya” terkadang berkata “ia banyak melakukan kesalahan” dan terkadang berkata “bukan seorang hafizh” [Mausu’ah Aqwaal Daruquthniy hal 596 no 3198]
Al Ijliy berkata “orang kufah shaduq tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat hal 243 no 1618]. Syu’bah berkata “aku tidak pernah melihat orang yang lebih jelek hafalannya dari Ibnu Abi Laila”. Abu Hatim mengatakan bahwa Ibnu Abi Laila tempat kejujuran jelek hafalannya tetapi tidak dituduh dengan dusta, ia diingkari karena banyak melakukan kesalahan, ditulis hadisnya tetapi tidak bisa dijadikan hujjah. Abu Zur’ah berkata “shalih tidak kuat” [Al Jarh Wat Ta’dil 7/322-323 no 1739]. Nasa’iy berkata “tidak kuat dalam hadis” [Adh Dhu’afa An Nasa’iy hal 214 no 550]. Ibnu Hibban mengatakan bahwa Ibnu Abi Laila buruk hafalannya banyak melakukan kesalahan dan banyak hal-hal mungkar dalam riwayatnya sehingga selayaknya ditinggalkan, Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in meninggalkannya [Al Majruhin Ibnu Hibban 2/251 no 918]
Ibnu Jarir Ath Thabariy berkata “tidak berhujjah dengannya”. Yaqub bin Sufyan menyatakan tsiqat terdapat pembicaraan pada sebagian hadisnya dan ia layyin al hadiits di sisi para ulama. Ibnu Madiniy berkata “buruk hafalannya dan lemah hadisnya”. Abu Ahmad Al Hakim berkata “sebagian besar hadis-hadisnya terbalik”. As Sajiy mengatakan bahwa ia jelek hafalannya tetapi bukan pendusta, ia terpuji dalam keputusannya, adapun dalam hadis maka tidak menjadi hujjah. Ibnu Khuzaimah mengatakan ia bukan seorang yang hafizh tetapi faqih lagi alim [Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar juz 9 no 503]
Dengan mengumpulkan semua perkataan ulama tentangnya maka Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abi Laila adalah perawi yang dhaif tidak bisa dijadikan hujjah karena hafalannya yang sangat buruk dan banyaknya kesalahan serta riwayat-riwayat mungkarnya. Tetapi ia bisa dijadikan i’tibar hadisnya dengan dasar pernyataan sebagian ulama bahwa ia tsiqat atau shaduq. Khusus untuk riwayatnya dari Atha’ bin Abi Rabah maka kedudukannya dhaif sebagaimana dinyatakan oleh Yahya bin Sa’id dan ditegaskan oleh Ahmad bin Hanbal bahwa riwayatnya dari Athaa’ banyak terdapat kesalahan. Ibnu Hibbaan dalam Al Majruuhin memasukkan hadis Ibnu Abi Laila dari Atha’ di atas sebagai bagian dari riwayat mungkarnya.
Hadis Ibnu Abi Laila di atas dhaif dan tidak bisa dijadikan i’tibar karena termasuk bagian dari kemungkaran atau kesalahan Ibnu Abi Laila. Hadis Ibnu Abi Laila tidak bisa dikuatkan dengan hadis Syabib bin Bisyr sebelumnya, begitu pula sebaliknya hadis Syabib bin Bisyr tidak pula dikuatkan oleh hadis Ibnu Abi Laila. Apalagi tidak ada bukti atau qarinah yang menunjukkan bahwa hadis Syabib bin Bisyr tersebut adalah hadis yang sama dengan hadis Ibnu Abi Laila atau ringkasan dari hadis Ibnu Abi Laila karena dari segi matan lafaz kedua hadis tersebut tidak sama.
.
.
.
Hadis riwayat Anas bin Malik yang matannya lebih tepat sebagai syahid bagi hadis Ibnu Abi Laila adalah hadis yang disebutkan oleh Syaikh Al Albaniy dan Syaikh Al Judai’. Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ahadiits Ash Shahihah hal 190 no 2157 mengatakan
Silsilah Shahihah 2157
“Aku menemukan jalan lain tentangnya, Ibnu As Sammaak berkata dalam Al ‘Awwal Min Hadiits-nya 2/87 telah menceritakan kepada kami Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaid bin ‘Abdurrahman At Tamiimiy yang berkata telah menceritakan kepadaku Iisa bin Thahmaan dari Anas seperti hadis Ibnu Abi Laila di atas”
Syaikh Al Judai’ dalam Al Muusiiq Wal Ghinaa’ Fii Mizan Al Islam hal 410 juga menyebutkan hadis Anas ini dan menyebutkan sebagian matannya
Al Musiiq Syaikh Judai' hal 410
“Aku menyebutkan mutaba’ah yaitu apa yang diriwayatkan oleh Abu ‘Amru Utsman bin Ahmad Ibnu As Sammaak dalam Al ‘Awwaal Min Hadiits-nya 2/87 dari Jalan Ubaid bin ‘Abdurrahman At Taimmiy yang berkata telah menceritakan kepadaku Iisa bin Thahmaan dari Anas yang berkata [maka ia menyebutkan kisah wafatnya Ibrahim putra Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam] dan di dalamnya terdapat lafaz “maka meneteslah air matanya, sahabatnya berkata kepadanya “wahai Nabi Allah bukankah engkau telah melarannangis?. Maka Beliau berkata “aku tidak melarangnya, sesungguhnya aku hanya melarang dua suara bodoh lagi fajir yaitu suara ketika mendapat musibah ratapan dan nyanyian, kami sangat bersedih atasmu wahai Ibrahim”
Perkataan Syaikh Al Judai’ bahwa hadis ini mutaba’ah bagi hadis Syabiib bin Bisyr keliru karena matannya tidak sama, yang benar adalah ia menjadi syahid bagi hadis Ibnu Abi Laila sebelumnya. Dan hadis ini tidaklah tsabit sebagai syahid karena sanadnya dhaif [Syaikh Al Judai’ juga melemahkan hadis ini dan menyatakan tidak baik sebagai mutaba’ah]. Ubaid bin ‘Abdurrahman yang meriwayatkan dari Iisa bin Thahmaan adalah perawi majhul. Abu Hatim berkata “aku tidak mengenalnya dan hadis riwayatnya dusta” [Al Jarh Wat Ta’dil 5/410 no 1905]
.
.
Syaikh Al Judai’ dalam kitabnya Al Muusiiq Wal Ghinaa’ Fii Mizan Al Islam hal 402-407 menjelaskan secara detail takhrij hadis Ibnu Abi Laila di atas dan penjelasan akan kelemahannya. Hal ini sesuai dengan pembahasan kami di atas bahwa hadis Ibnu Abi Laila dhaif dan tidak bisa dijadikan mutaba’ah bagi hadis Anas bin Malik.
Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam Ar Radd Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 333-335 ketika membantah Syaikh Al Judai’, ia menyatakan bahwa idhthirab Ibnu Abi Laila di atas tidak bersifat menjatuhkan karena perselisihan sanad itu hanya seputar sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut yaitu dari Jabir yang menyebutkan kisah ‘Abdurrahman bin ‘Auf atau Jabir dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf yang menceritakan kisahnya sendiri. Kesimpulannya menurut Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa kedua sanad tersebut benar.
Apa yang dikatakan Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa soal idhthirab tersebut memang benar dengan catatan idhthirab tersebut bukanlah menjadi sebab yang melemahkan sanad tersebut. Kelemahan riwayat Ibnu Abi Laila di atas bukan terletak pada sebab sanadnya yang terbukti idhthirab tetapi pada kelemahan hafalan atau dhabit Ibnu Abi Laila.
Adapun idhthirab sanad tersebut hanya menjadi qarinah yang menunjukkan bahwa dhabit [hafalan] Ibnu Abi Laila dalam hadis ini bermasalah. Sehingga dengan statusnya yang buruk hafalannya dan mudhtharib hadisnya serta ia banyak melakukan kesalahan [khususnya riwayat dari Atha’] maka menjadi lengkaplah bahwa hadis Ibnu Abi Laila disini dhaif dan bagian dari kesalahan atau kemungkarannya. Seandainya Ibnu Abi Laila ini seorang yang tsiqat tsabit maka tidak ada celah untuk mengatakan bahwa idhthirab tersebut adalah kelemahan dalam dhabitnya tetapi faktnya Ibnu Abi Laila memang seorang yang buruk hafalannya maka idhthirab tersebut menjadi qarinah kuat akan kelemahan dhabitnya.
Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam kitabnya Ar Radd ‘Ala Al Qaradhawi Wal Judai’ hal 339-340 mengutip pernyataan Tirmidzi dan Al Baghawiy yang menyatakan hadis ini hasan kemudian Beliau mengatakan sekelompok ulama hadis menyebutkan hadis ini tanpa menyatakan mungkar.
Bantahan Syaikh tersebut tidak memiliki hujjah yang kuat. Ulama hadis mengutip suatu hadis dalam kitabnya tanpa menyebutkan kelemahan atau kemungkaran hadis tersebut adalah fenomena yang wajar, tidak ada hujjah yang bisa diambil dari sini. Hujjah hanya bisa diambil dari pernyataan sharih [jelas] ulama terhadap hadis yang dikutipnya, apakah hadis tersebut shahih, dhaif atau mungkar. Adapun penghasanan Tirmidzi dan Al Baghawiy telah diselisihi oleh Ibnu Hibban dan Ibnu Thahir [sebagaimana dikutip Syaikh Al Judai’ dalam Al Muusiiq Wal Ghinaa’ Fii Mizan Al Islam hal 407].
Anehnya Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam kitabnya Ar Radd ‘Ala Al Qaradhawi Wal Judai’ hal 346 seolah ingin membantah Ibnu Hibban dengan menyatakan bahwa ia termasuk ulama yang terlalu mudah dalam menjarh perawi. Pernyataan ini benar tetapi keliru jika menjadikan seolah-olah semua perkataan jarh Ibnu Hibban terhadap perawi tertolak karena ia dikenal mudah dalam menjarh. Harus ada qarinah yang menunjukkan bahwa Ibnu Hibban memang berlebihan dalam mencela perawi tertentu.
Misalkan jika perawi yang bersangkutan adalah perawi kitab Shahih yang dikenal tsiqat kemudian Ibnu Hibban mencela dengan mengatakan ia meriwayatkan hadis palsu. Maka sudah jelas jarh Ibnu Hibban bertentangan dengan para ulama hadis lain yang lebih mu’tabar darinya.
Dalam kasus hadis Ibnu Abi Laila di atas apa yang dikatakan Ibnu Hibban sudah sesuai dengan pendapat para ulama hadis bahwa Ibnu Abi Laila termasuk perawi yang lemah dalam dhabitnya [buruk hafalannya] dan banyak melakukan kesalahan bahkan Yahya bin Sa’id dan Ahmad bin Hanbal secara khusus melemahkan hadis Ibnu Abi Laila dari Atha’. Jadi tidak ada alasan menuduh Ibnu Hibban disini terlalu mudah menjarh.
Justru yang nampak adalah At Tirmidzi yang menghasankan hadis Ibnu Abi Laila di atas menunjukkan sikap tasahul-nya dalam menguatkan hadis. Dan At Tirmidzi memang dikenal ulama yang tasahul dalam tashih dan tahsin hadis dalam kitab Sunan-nya. Bagaimana mungkin dikatakan hasan jika Ibnu Abi Laila adalah perawi yang buruk hafalannya dan banyak melakukan kesalahan. Jika yang dimaksudkan Tirmidzi dengan hasan dalam hadis Ibnu Abi Laila itu adalah hasan lighairihi maka mengapa ia tidak menyebutkan syahid bagi hadis Ibnu Abi Laila yang ia kutip. Bukankah At Tirmidzi seringkali menyebutkan syahid pada sebagian hadis yang ia sebutkan dalam kitab Sunan-nya.
Kesimpulannya disini adalah apa yang dikatakan Syaikh Al Judai’ bahwa hadis ini dhaif adalah pendapat yang benar, adapun pembelaan dan bantahan Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa tersebut keliru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar