Meskipun pengetahuan detail tentang realitas-realitas yang bertalian
dengan Kiamat dan dunia pascakematian sebagai dunia yang lebih utama
dari dunia ini bagi penduduk dunia tidak mungkin adanya, akan tetapi
perkara ini tidak lantas menjadi kendala untuk mengetahuinya secara
global.
Yang dapat dipahami dari beberapa ayat dan riwayat adalah, bahwa shirâth
merupakan jembatan yang melintang antara jalan neraka dan surga yang
akan dilintasi oleh orang-orang yang berbuat kebaikan dan orang-orang
yang berbuat keburukan. Orang-orang yang berbuat kebaikan dengan cepat
akan melintasi jembatan tersebut dan mendapatkan anugerah-anugerah yang
tak-berkesudahan dari Allah swt.. Sementara orang-orang yang berbuat
keburukan akan jatuh dan menjadi penghuni neraka. Bahkan, dari sebuah
riwayat dapat dipahami bahwa kecepatan melintas manusia dari jembatan
tersebut tergantung kepada timbangan iman, ikhlas, dan amal saleh
mereka.
Dalam hadis yang diriwayatkan dari Imam Ash-Shadiq a.s. disebutkan,
"Sebagian orang melintas di atas jembatan tersebut laksana kilat,
sebagian melintas laksana kuda cepat, sebagian merangkak, sebagian bak
orang-orang yang berjalan, dan sebagian bergelantung untuk dapat
melintasi jembatan tersebut. Terkadang api jahannam membakar sebagian
dan membebaskan sebagian."
Mengapa harus melalui neraka untuk dapat sampai ke surga? Di sini terdapat poin-poin teliti yang perlu diperhatikan.
Dari satu sisi, penghuni surga, dengan menyaksikan jahanam, dapat
mengetahui nilai dan keutamaan surga. Dan dari sisi lain, kondisi
jembatan pada saat itu merupakan manifestasi (tajassum) kondisi kita di
dunia ini. Mereka harus melintasi jahannam yang membakar hingga dapat
mencapai surga ketakwaan. Dan dari sisi ketiga, jembatan ini merupakan
ancaman serius bagi semua pendosa dan pemaksiat bahwa pada akhirnya
lintasan mereka melalui jalan tipis dan licin serta berbahaya ini.
Oleh karena itu, dalam hadis Mufaddal bin Umar dari Imam Ash-Shadiq a.s.
ihwal shirâth disebutkan, "Shirâth adalah jalan yang membentang menuju
makrifat dan pengetahuan tentang Allah swt."
Selepas itu, beliau menambahkan, "Shirâth terbagi menjadi dua: shirâth
di kehidupan dunia ini dan shirâth di kehidupan akhirat. Shirâth dunia
adalah ketaatan kepada imam yang wajib hukumnya. Barangsiapa yang
mengenalnya dan mengikuti petunjuknya, ia akan dapat melintasi shirâth
yang membentang di atas jahannam. Dan barangsiapa yang tidak mengenalnya
di dunia ini, langkah kakinya akan bergetar di atas shirâth akhirat dan
akan terpuruk pada api jahannam.
Dalam Tafsir Imam Hasan Al-'Askari a.s., kedua shirâth ini ditafsirkan
sebagai shirâth yang lurus (mustaqîm) yang seimbang antara gulluw
(kelebihan) dan taqsir (kekurangan), dan shirâth akhirat.
Nuktah yang layak untuk diperhatikan adalah bahwa dalam riwayat-riwayat,
melintas dari jalan ini penuh resiko dan berbahaya. Dalam hadis yang
dinukil dari Rasulullah saw. (dan juga dari Imam Ash-Shadiq a.s.)
disebutkan, "Sesungguhnya di atas neraka terdapat sebuah "jisr"
(jembatan) yang lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari mata
pedang".
Shirâth mustaqîm (lurus) dan hakikat wilâyah (imamah) dan 'adâlah
(keadilan) di dunia ini juga demikian adanya. Ia lebih tipis dari rambut
dan lebih tajam dari mata pedang, lantaran garis lurus ini tidak lain
adalah garis yang tipis. Dan selainnya, apa pun itu, adalah garis-garis
yang menyimpang di kiri dan kanan.
Wajar kiranya shirâth Kiamat merupakan manifestasi nyata (tajjassum 'aini) dari shirâth dunia ini.
Akan tetapi, sebagaimana yang telah kami isyaratkan sebelumnya, ada
sekelompok orang yang melintas dengan cepat di atas jalan yang sangat
berbahaya ini; di bawah pelita iman dan amal saleh.
Tanpa syak bahwa hubungan dengan Nabi saw. dan Allah swt. dapat
memudahkan untuk dapat melintas jalan yang berbahaya ini. Hadis yang
diriwayatkan dari Nabi saw. menyebutkan: "Pada Hari Kiamat, tatkala
shirâth dibentangkan di atas jahannam, hanya orang-orang yang dapat
melintasinya,yaitu orang-orang yang memiliki izin. Dan izin itu adalah
wilâyah Imam Ali."
Makna hadis yang serupa dengan hadis ini, meskipun berlainan redaksi, juga diriwayatkan dari Sayidah Fatimah Az-Zahra a.s.
Jelas bahwa wilâyah Imam Ali dan Fatimah a.s. tidak terpisah dari
wilâyah Nabi saw. dan Al-Qur'an, Islam, dan para imam yang lain. Pada
kenyataannya, kalau tidak berhubungan dengan para imam besar ini dari
sisi iman, akhlak dan amal, seseorang tidak akan dapat melintasi
jembatan ini. Dan dalam masalah ini, terdapat banyak hadis yang
mengungkapkan kenyataan ini.
Hal terakhir yang perlu disinggung di sini adalah dimensi tarbiyah pada
iman terhadap shirâth; lintasan yang mengerikan, menggetarkan, lebih
tipis dari rambut, lebih tajam dari pedang. Lintasan itu memiliki
beragam terminal. Pada setiap terminal, seseorang akan ditanya; di satu
tempat ditanya ihwal shalat, di tempat lain ditanya soal amanah dan
silaturahmi, di satu tempat tentang keadilan, dan seterusnya. Melintasi
lintasan ini tanpa izin dari wilâyah Nabi saw. dan Imam Ali dan
berakhlak sebagaimana akhlak mereka, tidak akan berhasil. Dan akhirnya,
cara melintasi jembatan tersebut sesuai dengan kadar cahaya iman dan
amal saleh seseorang. Apabila seseorang tidak dapat melintasi jembatan
tersebut dengan selamat, niscaya ia terpuruk ke dalam neraka jahannam,
sekali-kali tidak akan mendapatkan sumber nikmat materi dan anugerah
maknawi, yaitu kenikmatan surgawi dari sisi Allah swt.
Atas dasar uraian ini, beriman kepada shirat tentu akan terefleksi pada
amal perbuatan dan pendidikan manusia. Imamlah akan menuntunnya dalam
memilih jalan kehidupan, dan memilah antara hak dan batil dengan teliti,
serta berakhlak sebagaimana akhlak Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar