Dengan menelaah sejarah ilmu pengetahuan, inovasi-inovasi dan penemuan,
kita melihat bahwa sekelompok ilmuwan, bertahun-tahun lamanya menanggung
jerih payah hingga dapat melakukan invensi dan inovasi demi mengurangi
beban yang dipikul oleh sesamanya.
Sebagai contoh, Thomas Alfa Edison, penemu listrik. Betapa ia bersusah
payah melakukan invensi yang sarat beban ini. Dan barangkali jiwanya
menjadi tebusan untuk pekerjaan ini. Akan tetapi, ia telah berhasil
menerangi dunia, mengaktifkan pabrik-pabrik. Berkat invensinya,
susia-susia yang dalam, pepohonan yang hijau, dan ladang-ladang garapan
bermunculan. Singkatnya, ia telah menggoncang wajah dunia.
Bagaimana dapat diyakini ia atau yang lainnya, seperti Louis Pasteur
yang menemukan mikroba, yang telah menyelamatkan jutaan manusia dari
kematian, serta puluhan orang sepertinya, akan dikirim ke jurang neraka
dengan alasan mereka tidak beriman? Tetapi orang-orang yang pada masa
hidupnya tidak satu pun pekerjaan yang dibaktikan untuk kemanusiaan,
akan menghuni Firdaus sebagai kediaman abadinya?
Berdasarkan pandangan dunia Islam, hanya mengkaji dan menelaah suatu
pekerjaan tidaklah memadai. Akan tetapi, pekerjaan yang bermuatan iman
yang membentuk sebagai motovasi dan pendorong perbuatannya. Telah banyak
terlihat orang-orang yang membangun rumah sakit, sekolah-sekolah atau
bangunan-bangunan sosial lainnya dan mereka memiliki pretensi terhadap
bantuan-bantuan kemanusiaan ini, bahwa tujuan mereka hanyalah pelayanan
kemanusiaan terhadap masyarakat sehingga mereka merasa berhutang
kepadanya. Sementara di balik semua kebajikan itu, terselubung tujuan
lain, yaitu menjaga kedudukan, kekayaan, atau popularitas, dan
mengokohkan kepentingan-kepentingan materinya. Bahkan, mereka melakukan
perbuatan-perbuatan khianat yang jauh dari pandangan orang-orang.
Namun sebaliknya, terdapat seseorang yang melakukan pekerjaan kecil,
dengan ketulusan yang sempurna dan motivasi murni insani dan ruhani.
Kini dokumen-dokumen orang-orang besar ini, baik dari sudut pandang
perbuatan maupun dari sudut pandang motivasi, harus dikaji kembali.
Tentu saja, motivasi tidak keluar dari beberapa hal di bawah ini:
Pertama, acapkali tujuan utama dari invensi atau penemuan tersebut
adalah sebuah perbuatan destruktif, (seperti penemuan energi atom yang
pertama kalinya dimaksudkan untuk merakit bom atom), sementara
kemasalahatan manusiawinya ditempatkan pada prioritas kedua. Tujuan asli
dari para penemu dan inventor ini bukanlah untuk hal ini (mendatangkan
kemaslahatan) atau hal ini ditempatkan pada sasaran kedua. Kondisi
sekelompok penemu ini sangat jelas.
Kedua, terkadang tujuan penemu adalah eksploitasi dan popularitas.
Sejatinya, mereka tak ubahnya dengan peniaga. Untuk memperoleh
pendapatan yang lebih besar, mereka mendirikan fasilitas umum,
menciptakan lapangan kerja bagi sekelompok orang, dan memberikan
penghasilan bagi pemerintah. Mereka tidak memiliki tujuan selain
mendapatkan keuntungan dan pendapatan. Dan apabila ada pekerjaan yang
lebih menghasilkan, mereka akan segera menggarapnya.
Tentu saja, sekiranya perniagaan semacam ini dilakukan berdasarkan
standar hukum syar'i, tidak termasuk pekerjaan haram dan pelanggaran,
akan tetapi tidak termasuk sebagai perbuatan suci.
Para penemu ini di sepanjang sejarah tidaklah sedikit. Ciri-ciri khas
pemikiran mereka yaitu apabila ada keuntungan yang lebih besar, misalnya
antara industri farmasi yang memberikan keuntungan dua puluh persen dan
industri heroin yangmenghasilkan lima puluh persen, tentu mereka akan
memberikan mengusahakannya meskipun melalui jalan-jalan yang berbahaya
bagi keadaan masyarakat sekalipun.
Keadaan kelompok ini juga jelas. Mereka tidak menuntut apa-apa dari
Tuhan, dan tidak juga dari sesamanya. Dan ganjaran mereka hanyalah
keuntungan dan popularitas yang ingin dicapai.
Ketiga, kelompok ini memiliki motivasi humanis, atau mereka memiliki
motivasi Ilahi, karena mereka percaya kepada Tuhan. Terkadang
bertahun-tahun lamanya mereka lalui hidup dengan segala kesusahan di
sudut laboratorium-laboratorium dengan harapan; mereka dapat memberikan
pelayanan terhadap sesamanya. Dan ia dapat memberikan persembahan kepada
dunia kemanusiaan, memecah rantai yang mengekang kakinya yang luka, dan
menyapu deru dan debu yang memenuhi wajah-wajah lelah.
Apabila orang-orang semacam ini memiliki iman dan motivasi Ilahi, yang
sebagian dari mereka tidak demikian, dan apabila tidak memiliki iman dan
motivasinya adalah manusia atau masyarakat, tanpa syak lagi mereka akan
mendapatkan ganjaran yang sesuai dari Allah Swt. Ganjaran ini boleh
jadi mereka dapatkan di dunia, dan mungkin juga di dunia yang lain.
Tentu saja Tuhan semesta alam tidak akan memasung keadilan mereka.
Namun, bagiamana? Uraian persoalan ini tidak terang bagi kita.
Sebatas ini dapat kita katakan bahwa Tuhan tidak akan mengabaikan
ganjaran orang-orang yang melakukan kebaikan ini begitu saja. (Namun,
jika mereka menolak iman karena kekurangan yang tak disengaja (jâhil
qâshir) , masalahnya akan menjadi sangat jelas).
Dalil atas masalah ini, di samping hukum akal, juga disinggung oleh ayat dan riwayat.
Sejauh pengetahuan kita, tidak satu pun dalil yang menyatakan bahwa
redaksi "Allah tidak akan mengabaikan ganjaran orang-orang yang
melakukan kebaikan" tidak meliputi orang-orang seperti ini. Lantaran
orang-orang yang melakukan kebaikan (muhsinîn) yang disebutkan dalam
Al-Qur'an tidak hanya ditujukan kepada orang-orang mukmin. Oleh karena
itu, kita melihat saudara-saudara Yusuf tatkala mereka datang kepadanya
tanpa mereka kenali, sementara mereka beranggapan bahwa Yusuf adalah
'Aziz Mesir (panggilan terhormat untuk seorang penguasa di Mesir-pen.),
mereka berkata kepada Yusuf, "Kami melihat engkau adalah bagian dari
orang-orang yang baik."
Terlepas dari itu, ayat "Barangsiapa yang mengamalkan kebaikan walaupun
sebiji atom ia akan mendapatkan ganjaran, dan barangsiapa yang
mengamalkan keburukan walaupun sebiji atom, ia akan mendapatkan
keburukannya" dengan jelas juga menyinggung orang-orang seperti ini.
Dalam hadis dari Ali bin Yaqtin yang menukil dari Imam Al-Kazhim a.s.
disebutkan, "Di antara kaum Bani Israil terdapat seorang beriman yang
memiliki tetangga seorang kafir. Orang yang tidak beriman ini selalu
berbuat kebaikan terhadap jirannya yang kumin itu. Ketika orang kafir
itu meninggal dunia, Tuhan membangunkan baginya rumah yang menjadi
perisai dari api neraka …. Disebutkan bahwa ia mendapatkan ini lantaran
perbuatan baiknya terhadap tetangganya yang mukmin."
Diriwayatkan dari Nabi saw. tentang Abdullah bin Jadz'an, seorang
musyrik jahiliyah dan juga sesepuh suku Quraisy, "Serendah-rendahnya
azab Jahannam adalah yang menimpa Jadz'an." Rasulullah saw. ditanya,
"Mengapa?" Beliau bersabda, "Ia memberikan makanan kepada orang-orang
yang lapar."
Dalam riwayat yang lain, kita membaca bahwa Nabi saw., bersabda kepada
'Adi bin Hatim, putra Hatim ath-Thai, "Tuhan mengangkat azab yang
menimpa ayahmu lantaran kebaikan dan sikap pemurah yang dimilikinya."
Kita juga menjumpai hadis dari Imam Ash-Shadiq a.s. yang menyebutkan,
"Sekelompok orang dari Yaman hendak menjumpai Rasulullah saw. dengan
maksud untuk berdebat ilmiah dengan beliau. Di antara mereka, ada
seorang yang paling tua. Ia berbicara dan menunjukkan sikap permusuhan
dan keras kepala di hadapan Nabi saw. Beliau sedemikian kesalnya
sehingga nampak kesan pada wajah beliau. Pada saat-saat seperti ini,
Jibril turun dan menyampaikan pesan Ilahi, 'Allah Swt. berfirman bahwa
orang ini adalah orang pemurah.' Ketika mendengar pesan Jibril itu,
kekesalan beliau mereda. Beliau menoleh kepada orang itu dan bersabda,
'Tuhanku mengirimkan pesan seperti ini, dan sekiranya bukan karena itu,
aku akan bersikap keras kepadamu, sehingga engkau menjadi pelajaran bagi
yang lain.'
Orang itu berkata, 'Apakah Tuhanmu menyukai orang-orang pemurah?' 'Iya',
jawab beliau. Orang itu berkata, 'Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah dan engkau adalah utusan-Nya. Aku bersumpah kepada Tuhan
yang mengutusmu, hingga kini tidak seorang pun yang berpisah dariku
dengan tangan kosong.'"
Pertanyaannya adalah, di sebagian ayat dan riwayat disebutkan bahwa
iman, bahkan wilâyah (imamah) merupakan syarat dikabulkannya amal dan
perbuatan atau masuknya ke dalam surga. Dengan demikian, sebaik-baik
amal yang dilakukan oleh seseorang yang tidak beriman tidak akan
diterima di sisi Allah.
Jawabannya, masalah dikabulkannya amal kebaikan adalah satu persoalan,
dan ganjaran yang sesuai adalah persoalan lain. Berangkat dari sini,
disebutkan di dalam hukum Islam bahwa shalat tanpa kehadiran hati
(khusyu'), atau pelakunya jatuh dalam dosa seperti ghibah, tidak akan
diterima oleh Allah Swt. Padahal kita ketahui bahwa secara syar'i,
shalatnya sahih dan ia dianggap telah mengerjakan perintah Allah serta
menunaikan tugasnya. Tentu saja, tidak mungkin seseorang menaati
perintah Allah tanpa mendapatkan ganjaran yang sesuai.
Oleh karena itu, dikabulkannya amal perbuatan adalah peringkat amal yang
tertinggi. Dalam pembahasan kita ini, apabila ia berkhidmat kepada
manusia dan masyarakat disertai dengan iman, ia akan memiliki ganjaran
yang paling tinggi. Akan tetapi, selain dari itu, secara umum ia akan
mendapatkan ganjaran yang setimpal. Baginya, berada di ambang pintu
surga pun sudah cukup. Ganjaran amal tidak terbatas pada ganjaran
Firdaus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar