|
38. Apakah Perbedaan antara Mukjizat dan Kekuatan Supranatural Para Penyihir serta Petapa?
a. Mukjizat bersandar pada kekuatan Ilahi, sementara sihir dan kekuatan
supranatural para penyihir dan petapa (murtâdhan) bersumber dari
kekuatan manusia. Dengan demikian, mukjizat bersifat nir-batas dan
begitu agung, sedangkan kekuatan sihir dan supranatural para petapa
(asketik) bersifat terbatas.
Dengan kata lain, mereka hanya dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan
lantaran telah melakukan latihan. Dan untuk mewujudkan kekuatan tersebut
mereka telah memiliki persiapan. Mereka sekali-kali tidak dapat
melakukan perbuatan yang diusulkan kepadanya. Hingga kini, belum
dijumpai seorang petapa dan penyihir berkata, "Aku siap memenuhi apa pun
yang Kamu inginkan." Sebab, mereka dapat melakukan perbuatan sihir dan
supranatural itu hanya berdasarkan pelatihan yang dijalaninya.
Benar bahwa para nabi secara pribadi menunjukkan mukjizat dan sebelum
adanya tuntutan dari manusia, seperti Al-Qur'an bagi Nabi saw., mukjizat
tongkat dan tangan bercahaya bagi Nabi Musa a.s., menghidupkan para
mayit bagi Nabi Isa a.s. Namun, ketika umat meminta sesuatu yang baru,
seperti, membelah bulan, mengenyahkan segala musibah yang dipaksakan
oleh Fir'aun, turunnnya makanan dari langit untuk para Hawariyyun, dan
semisalnya, mereka sekali-kali tidak menolaknya. (Tentu saja dengan
catatan, bahwa permintaan itu untuk mendapatkan kebenaran, bukan karena
keras kepala dan angkuh).
Oleh karena itu, kita melihat dalam kisah Nabi Musa a.s., bagaimana
Fir'aun meminta kesempatan yang panjang dari beliau sehingga ia dapat
mengumpulkan para tukang sihirnya dan mempersiapkan segala sesuatunya.
"Maka himpunkanlah segala daya [sihir] kamu sekalian, kemudian datanglah
dengan berbaris ...." (QS. Thaha [20]: 64) Mereka memusatkan seluruh
kekuatan dan mendemonstrasikannya. Sementara Nabi Musa a.s. tidak
memerlukan persiapan-persiapan pendahuluan ini. Dan setelah menyaksikan
sihir para penyihir tersebut, beliau tidak meminta waktu untuk bertempur
dengan mereka, karena beliau bersandar kepada kekuatan Ilahi, sedangkan
para penyihir bersandar kepada kekuatan terbatas manusia.
Atas dasar ini, dalil kekuatan supranatural manusia dapat tertandingi
dan diserupai, dimana orang lain pun dapat melakukan hal yang sama. Atas
dasar ini pula, pembawa kekuatan ini sama sekali tidak pernah berani
menantang orang lain untuk melakukan hal yang sama. Dan orang yang
memiliki kekuatan ini juga tidak pernah mengatakan bahwa tidak seorang
pun yang dapat melakukan seperti apa yang telah dilakukannya. Sedangkan,
mukjizat -lantaran tidak dapat dilakukan oleh manusia (dengan
kekuatannya)- selalu disertai dengan tantangan. Nabi saw. bersabda,
"Sekiranya seluruh bangsa jin dan manusia berkumpul untuk mendatangkan
Al-Qur'an, mereka tidak memiliki kemampuan untuk itu."
Masih atas dasar ini, ketika kekuatan supranatural manusia berhadapan
dengan mukjizat, kekuatan itu segera tumbang, dan sihir tidak akan
pernah dapat menandingi mukjizat, persis seperti tidak adanya manusia
yang mampu menandingi kekuatan Allah swt.
Contoh permasalahan ini dapat terlihat dengan baik pada kisah Nabi Musa
a.s. dan Fir'aun. Fir'aun mengumpulkan tukang-tukang sihir dari berbagai
penjuru negeri Mesir, dan dalam beberapa waktu mereka melakukan
persiapan untuk mendemonstrasikan sihir mereka. Pada akhirnya, kekuatan
sihir mereka lenyap tatkala berhadapan dengan kekuatan mukjizat Nabi
Musa a.s. dalam sekejap mata.
b. Karena berasal dari sisi Allah Swt., mukjizat tidak memerlukan
pendidikan dan pengajaran yang berkelanjutan. Sedangkan sihir,
apabila murid tidak belajar dengan baik dari gurunya, ia tidak akan
dapat mendemonstrasikannya dengan baik di hadapan khalayak, dan akan
mengalami rasa malu di hadapan publik.
Dengan ungkapan lain, mukjizat dapat terjadi pada setiap detik tanpa
adanya pengalaman sebelumnya, sedangkan kekuatan supranatural bersifat
gradual dan memerlukan waktu yang lama untuk mendapatkan kemahiran dan
kepandaian, dan tidak akan pernah terlaksana secara seketika dan tak
terduga-duga.
Masalah ini juga telah diisyaratkan dalam kisah Fir'aun dan Nabi Musa.
Fir'aun menuding tukang sihir sebagai guru mereka dan Musa mengajarkan
kepada mereka rahasia-rahasia sihir kepada Kamu.
... sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian .... (QS. Thaha [20]: 71)
Dengan alasan ini, para tukang sihir itu senantiasa mengajarkan sihir
kepada murid-muridnya dan berlatih dengan mereka selama berbulan-bulan
atau bertahun-tahun.
c. Kondisi orang yang mendemonstrasikan mukjizat merupakan bukti atas kebenaran mereka.
Cara lain untuk membedakan kekuatan mukjizat dan kekuatan supranatural
manusia adalah membandingkan pembawa kedua kekuatan ini. Pembawa
mukjizat memiliki tugas dari sisi Allah swt. untuk memberikan petunjuk
kepada manusia. Ia memilki sifat-sifat yang pantas dengan tugasnya.
Sedangkan para tukang sihir, peramal, dan petapa tidak memiliki tugas
seperti ini, juga tidak mengupayakan tujuan-tujuan seperti ini.
Biasanya, tujuan mereka tidak keluar dari salah satu dari tiga hal
berikut ini:
- Membuat orang-orang awam terpedaya.
- Mencari popularitas di tengah-tengah masyarakat.
- Memperoleh keuntungan materi dengan memberikan hiburan kepada mereka.
Tatkala kedua kelompok ini (para nabi dan tukang sihir dan semisalnya)
berada dalam sebuah medan, untuk waktu yang lama mereka tidak akan dapat
menyembunyikan niat dan tujuan-tujuan laten mereka, sebagaimana para
penyihir Fir'aun. Sebelum memasuki medan, mereka meminta imbalan dan
upah, dan Fir'aun juga menjanjikan upah penting bagi mereka,
Dan beberapa ahli sihir itu datang kepada Fir'aun seraya berkata,
"[Apakah] sesungguhnya kami akan mendapatkan upah, jika kamilah yang
menang?" Ahli sihir berkata, "Wahai Musa! Kamulah yang akan melemparkan
lebih dahulu ataukah kami yang akan melemparkan?" (QS. Al-A'raf [7]:
113-114)
Sementara para nabi berulang kali berkata, "Aku tidak meminta sepeser pun upah dari Kamu." (QS. Aasy-Syua'ara [26]: 109)
Pada dasarnya, realita bahwa para penyihir itu rela melayani Fir'aun
yang lalim dan tiran, telah memadai bagi kita untuk dapat dijadikan
bukti sebagai pembeda antara sihir dan mukjizat.
Sudah jelas bahwa manusia melalui perbuatan-perbuatannya, semakin mahir
ia menutupi tujuan dan pikirannya, semakin jelas bentuk aslinya.
Singkatnya, dengan menelaah kehidupan masa lalu orang-orang ini dan
bagaimana mereka menggunakan kekuatan supranatural ini, dan demikian
juga, dengan memperhatikan kebersamaan mereka dalam kaitannya dengan
kelompok-kelompok yang beragam dalam masyarakat, perilaku dan perbuatan
mereka ini merupakan pedoman yang baik untuk membedakan antara sihir dan
mukjizat. Dan terlepas dari perbedaan-perbedaan yang telah disebutkan
di atas, cara menentukan perbedaan antara mukjizat, sihir dan kekuatan
supranatural yang lain, dapat dilakukan dengan mudah melalui cara
seperti ini.
Al-Qur'an dengan redaksi-redaksi akurat mengisyaratkan realitas ini. Di
satu tempat ia berfirman, "... Musa berkata, 'Apa yang Kamu lakukan
itulah yang merupakan sihir. Sesungguhnya Allah akan menampakkan
kebatilannya.' Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan terus pekerjaan
orang-orang yang berbuat kerusakan berlangsung.'" (QS.Yunus [10]: 81)
Benar! Para penyihir merupakan orang-orang yang rusak dan perbuatan
mereka batil. Tentu saja perbuatan demikian tidak dapat memberikan hasil
bagi perbaikan sebuah masyarakat.
Di tempat lain, Al-Qur'an menyebutkan, "Kami berkata, 'Janganlah engkau
takut, sesungguhnya engkaulah yang paling unggul.'" (QS. Thaha [20]: 68)
Kemudian ia menambahkan, "Dan lemparkanlah apa yang ada di tangan
kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat. Sesungguhnya
apa yang mereka perbuat itu adalah tipu-daya tukang sihir [belaka]. Dan
tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja mereka datang." (QS.
Thaha [20]: 69)
Benar bahwa perbuatan sihir itu adalah licik, dan tentu saja moralitas
penyihir senada dengan kelicikan tersebut. Mereka adalah orang-orang
licik dan tidak jujur, dan akan segera dapat dikenali dari seluruh
perbuatan dan sifat-sifatnya. Sedangkan keikhlasan, kekudusan dan
kebenaran para nabi merupakan menyataan yang dibuktikan oleh mukjizat
mereka dan memberikan penjelasan yang lebih gamblang.
39. Tidakkah Kelahiran Nabi Isa a.s. hanya dari Seorang Ibu Bertentangan dengan Sains Mutakhir?
Tanpa syak lagi bahwa kelahiran ini terjadi melalui mukjizat. Sains
modern tidak dapat menafikan kemungkinan terjadinya masalah ini. Malahan
sebaliknya. Ia dapat menjelaskan kemungkinan terjadinya masalah ini,
khususnya masalah virginitas yang terlihat di antara kebanyakan hewan.
Dengan memperhatikan masalah koagulasi sperma, tidak terkhusus kepada
manusia saja, masalah ini secara umum mungkin dibuktikan.
Dokter Alexis Carell, seorang fisiolog dan biolog ternama berkebangsaan
Prancis, dalam buku Insân Maujud-e Nâshenakhteh (Manusia Wujud
Misterius) menuliskan: "Jika kita memikirkan equilibrium saham dari ibu
dan bapak (bertemunya sperma dan ovum-AK.) dalam reproduksi, kita harus
mengingat percobaan-percobaan laub dan batâyun yang ada pada seekor
katak tanpa interfensi spermatozoid. Dengan menggunakan teknik khusus,
ia dapat melahirkan katak yang lain."
Dengan demikian, boleh jadi sebuah faktor kimia atau fisika menggantikan
sel baru. Namun, bagaimanapun wujudnya, faktor materi senantiasa
bersifat niscaya adanya.
Oleh karena itu, dalam pandangan sains, yang jelas di dalam proses
melahirkan anak adalah adanya nutfah betina (ovum) dari pihak ibu. Kalau
tidak, nutfah jantan (spermatozoa) merupakan faktor lain yang dapat
menggantikan peran ovum tersebut. Dengan alasan ini, masalah virginitas
merupakan sebuah realitas yang dapat diterima oleh dunia fisiologi
dewasa ini, betapa pun hal ini sangat jarang terjadi.
Terlepas dari ini semua, hal itu terjadi di bawah hukum-hukum penciptaan
dan kekuasaan Tuhan, sebagaimana Al-Qur'an berfirman, "Sesungguhnya
perumpamaan [penciptaan] Isa di sisi Allah adalah ibarat [penciptaan]
Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman
kepadanya, 'Jadilah [seorang manusia]!' Maka, jadialah ia." (QS. Ali
'Imran [3]: 59).
Maksudnya, kekuatan mukjizat penciptaan Adam tidak begitu penting dibanding kekuatan mukjizat penciptaan Isa.
40. Apabila Ajaran Nabi Musa a.s. Sempurna, Apakah Nilai Ajaran Kristen dan Islam?
Setiap ajaran yang pernah ada hanya diperuntukkan untuk masa dan
zamannya. Pada masanya ia merupakan ajaran yang sempurna dan lengkap,
dan mustahil ajaran yang cacat turun dari sisi Allah Swt. Barangkali
untuk masa-masa berikutnya, ajaran itu sudah tidak utuh dan memadai,
sebagaimana suatu program lengkap dan sempurna untuk pendidikan
tingkatan SD tidak sesuai dengan pendidikan tingkatan SMP. Dan rahasia
pengutusan para nabi dengan kitab samawi yang beragam, termasuk Nabi
saw. dan ajaran pamungkas juga demikian adanya.
Akan tetapi, tatkala umat manusia memiliki kesiapan untuk menyambut
ajaran pamungkas, maka ajaran ini diturunkan kepada mereka. Mereka tidak
lagi memerlukan kepada ajaran yang baru, ebagaimana orang-orang yang
telah lulus beradasarkan pengetahuan yang dimilikinya, dapat terus
melaju melalui telaah yang dilakukannya. Pengikut agama seperti ini
tidak lagi memerlukan ajaran baru, dan dapat hidup sempurna melalui
ajaran pamungkas ini.
41. Apakah Mukjizat "Membelah Bulan" Dapat Ditafsirkan oleh Sains Modern?
Dalam ayat pertama, surat Al-Qamar [54] kita membaca, "Telah dekat [datangnya] saat itu dan telah terbelah bulan."
Ayat suci ini berkisah tentang mukjizat agung Syaq al-Qamar (membelah bulan).
Menurut riwayat yang masyhur -sebagian ulama juga mengklaimnya sebagai
riwayat yang mencapai derajat tawâtur- kaum musyrikin datang kepada
Rasulullah saw. dan berkata, "Sekiranya engkau berkata benar dan engkau
adalah seorang utusan Allah, belahlah bulan di hadapan kami." Rasulullah
saw. bersabda, "Jika aku melakukannya apakah Kamu akan beriman
kepadaku?" "Iya!", jawab mereka. Dan pada malam itu, tepatnya malam
keempat belas, Rasulullah saw. memohon kepada Allah swt. supaya
mengabulkan permintaan mereka. Tiba-tiba bulan terbelah dua, dan Rasul
memanggil mereka satu per satu seraya bersabda, "Lihatlah!"
Tentang bagaimana mungkin benda besar langit dapat terbelah dan
seluk-beluk kejadian seperti ini, apa akibat yang ditimbulkan atas
planet bumi dan tata surya, bagaimana dua bagian bulan itu setelah
terbelah, dan bagaimana mungkin kejadian seperti ini dapat terjadi,
sementara sejarah alam semesta tidak pernah berkisah tentang kejadian
ini? Dengan memperhatikan pelbagai temuan dan telaah para astronom,
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tidaklah begitu pelik. Lantaran
temuan menyatakan, "Kejadian seperti ini bukan hanya tidak mustahil,
melainkan contoh kejadian seperti ini telah disaksikan berulang kali,
meskipun masing-masing kejadian ini memiliki faktor khusus."
Dengan kata lain, seringkali terjadi ledakan dan belahan-belahan pada
tata surya dan planet-planet lainnya. Di sini kami akan sebutkan
beberapa contoh sebagai berikut:
a. Penemuan Tata Surya (Solar System)
Pendapat ini diterima oleh segenap ilmuwan bahwa seluruh planet yang
berada dalam tata surya -pada mulanya- termasuk di dalam matahari,
kemudian mereka berpisah. Dan setiap saat ia berputar pada orbitnya.
Namun, berkenaan dengan faktor penyebab terjadinya hal ini terdapat
teori yang berbeda.
Laplace (1749-1827) berkeyakinan bahwa faktor penyebab terjadinya
perpisahan ini adalah "kekuatan lari dari poros" yang dahulu merupakan
bagian ekuator matahari, (dan kini juga demikian adanya). Berputar
mengelilingi matahari, dan kecepatan perputaran pada daerah ekuator
menjadi penyebab bagian-bagiannya terpisah dari matahari, lalu
bercerai-berai di ruang angkasa dan berputar mengelilingi poros aslinya,
yaitu matahari.
Akan tetapi, penelitian-penelitian yang diadakan kemudian oleh para
ilmuwan selepas Laplace berujung kepada teori lain. Mereka berpendapat
bahwa berpisahnya ekuator ini terjadi karena pasang-surut yang luar
biasa dalam tingkatan matahari beradasarkan melintasnya satu bintang
raksasa dari dekat ekuator tersebut.
Para pendukung teori ini tidak memandang cukup bahwa gerakan orbit
matahari pada saat itu merupakan penjelas berpisahnya bagian-bagian
ekuator tersebut. Mereka pun bersandar kepada asumsi yang lain. Kata
mereka: "Gerakan pasang-surut ini menghasilkan gelombang raksasa pada
permukaan matahari, persis seperti jatuhnya sebongkah batu raksasa di
sebuah samudra. Dan efeknya, penggalan matahari, satu per satu,
terlempar keluar, dan berputar pada poros matahari."
Secara umum, apa pun faktor pemisahnya, seluruh ilmuwan ini berkeyakinan
bahwa tata surya terjadi melalui proses pembelahan dan pemisahan.
b. Asteroid
Asteroid-asteroid merupakan batu-batu raksasa yang berada di langit yang
berputar mengelilingi tata surya. Terkadang ia disebut sebagai planet
kecil dan serupa dengan bintang. Yang besar dari asteroid ini,
kucurannya mencapai 25 kilometer. Akan tetapi, biasanya ia berukuran
lebih kecil dari kucuran 25 kilometer.
Para ilmuwan ruang angkasa berkeyakinan bahwa asteroid-asteroid ini
merupakan bintang-bintang raksasa lainnya yang bergerak di antara orbit
planet Mars dan Jupiter. lalu, lantaran faktor-faktor yang tidak
diketahui, asteroid-asteroid ini meledak dan pecah.
Hingga kini, lebih dari lima ribu asteroid yang telah ditemukan. Di
antara asteroid ini, ada yang lebih besar dilihat dari sisi volume,
ukuran, dan durasi gerakannya mengelilingi matahari. Sebagian ilmuwan
itu memberikan signifikansi terhadap asteroid ini, dan terkadang
berpendapat bahwa asteroid ini dapat digunakan oleh para pelancong ruang
angkasa sebagai posko.
Hal ini merupakan contoh yang lain dari terpecahnya celestial body di langit.
c. Meteor
Meteor merupakan batu-batu kecil yang berada di langit. Acapkali ukuran
komet-komet ini tidak melebihi satu biji kemiri. Ia mengitari orbit khas
lingkaran matahari dengan laju yang sangat cepat. Dan terkadang
jalannya mengalami interseksi dengan orbit planet bumi, dan tertarik ke
arah bumi.
Lantaran benturan keras dengan udara yang menguasai planet bumi,
batu-batu kecil ini akan menjadi panas dan membara, serta menyala
karena kecepatannya yang luar biasa bak kilat. Kita melihatnya dalam
bentuk garis bersinar indah pada kisi-kisi (atmosfer) langit. Dan kita
menyebutnya anak panah meteor.
Kerap kita membayangkannya sebagai bintang jatuh. Meteor yang kecil
dalam jarak yang sangat pendek akan terbakar, dan kemudian menjadi debu.
Poros rotasi meteor bersambung dengan poros bumi dengan dua poin. Atas
dasar ini, pada bulan Murdâd dan ?bân (keduanya adalah nama bulan Iran
yang hampir bertepatan dengan bulan Juli dan Agustus [Murdâd], Oktober
dan November [?bân] -AK.) terlihat banyak meteor yang berbentuk dua
garis yang saling memotong dua poros.
Para ilmuwan berkata, "Meteor ini adalah sisa-sisa komet-komet yang
disebabkan oleh kejadian yang tidak diketahui, meledak dan saling
bertabrakan."
Semua ini adalah contoh dari adanya insyiqâq (terbelah) di planet langit.
Bagaimana pun, masalah ledakan dan pembelahan yang terjadi di
planet-planet langit bukanlah sebuah kejadian yang baru. Dan hal itu
tidak mustahil dari sudut pandang sains, bahkan dalam persfektif
mukjizat.
Kembali kepada masalah insyiqâq. Dalam keadaan normal, berdasarkan
kekuatan gravitasi yang berada di antara kedua garis tersebut, sangat
memungkinkan peristiwa ini dapat terjadi.
Ilmu perbintangan kuno -yang masih berbasis pada pandangan Ptolemius dan
objek selestial sembilan (planet-planet)nya yang mirip irisan bawang
yang satu dengan lainnya bersambung menjadi satu sehingga peristiwa
kharq dan iltiyâm- mustahil terjadi bagi kebanyakan orang. Selain
mengingkari Mikraj jasmani, ia juga mengingkari terbelahnya bulan.
Karena, kedua hal ini menjadi penyebab kharq dan iltiyâm pada obyek
selestial. Akan tetapi, dewasa ini asumsi objek selestial Ptolemius
telah musnah dan hanya menjadi sebuah legenda dan ilustrasi semu. Dengan
demikian, tidak ada ruang lagi bagi kita untuk membahasnya.
Barangkali, perlu diingatkan di sini bahwa terbelahnya bulan tidak
terjadi di bawah satu faktor natural yang biasa, melainkan memiliki
dimensi mukjizat. Karena mukjizat tidak termasuk sesuatu yang mustahil,
maka masalah ini juga bukan termasuk hal yang mustahil.
42. Apakah Perbedaan antara Ilmu Gaib Para Nabi dan Ramalan Para Dukun dan Petapa?
Dengan memperhatikan satu poin, pertanyaan ini akan menjadi jelas. Poin
itu adalah ramalan-ramalan para petapa dan kabar-kabar gaib para
astrolog (ahli nujum) tidak dapat dianggap sebagai informasi yang
meyakinkan dan lepas dari kesalahan. Ramalan mereka terkadang benar,
terkadang juga keliru. masing-masing memiliki contoh yang banyak. Oleh
karena itu, informasi mereka sekali-kali tidak dapat dianggap sebagai
ilmu gaib. Kemudian, kerap mereka sendiri mengakui bahwa informasi yang
mereka miliki bersumber dari setan, dan mereka tidak selamanya berkata
benar kepada kita.
Dengan ungkapan lain, informasi yang mereka peroleh itu berdasarkan
pelatihan yang mereka tempuh selama ini. Mereka melihat phantom (momok)
dari kejauhan di ufuk benak mereka. Dan mereka menafsirkan phantom ini.
Terkadang tafsir ini benar, terkadang juga keliru. Ibarat orang yang
bermimpi, terkadang penakwilannya terhadap mimpi tersebut benar,
terkadang juga keliru.
Informasi yang bersumber kepada kesangsian dan sumber yang tidak paten sekali-kali tidak akan disebut sebagai ilmu gaib.
43. Bagaimana Mengkompromikan
Sebagian Ayat atau Riwayat yang Menafikan Keberasalan Ilmu Gaib dari
Tuhan dengan Sebagian Ayat atau Riwayat yang Menetapkannya?
Di sini terdapat cara yang beragam untuk itu:
1. Cara yang paling masyhur adalah ilmu gaib yang khusus pada Tuhan
merupakan ilmu Dzati dan independen. Dengan demikian, tidak seorang pun
yang mendapatkan informasi tentang gaib secara mandiri. Apa pun yang
dimilikinya bersumber dari anugrah Tuhan, dan berdimensi natural.
Bukti dari kompromi ini adalah surat Al-Jin [72], ayat 26 dan 27, "[Ia
adalah Tuhan] Yang Maha Mengetahui yang gaib. Maka Ia tidak
memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada
rasul yang diridhai-Nya ...."
Juga dalam Nahju Balâghah terdapat indikasi yang sama, tatkala Imam Ali
a.s. memberikan berita tentang kejadian yang akan terjadi pada masa yang
akan datang (dan meramalkan serangan Mongol ke berbagai negeri Islam).
Salah seorang sahabat bertanya, "Wahai Amirul Mukminin! Apakah Anda
memiliki ilmu gaib?" Amirul Mukminin tersenyum simpul dan menjawab, "Ini
bukan ilmu gaib. Ilmu ini aku terima dari pemilik ilmu, Nabi saw!"
Kompromi demikian ini banyak diterima oleh para ilmuwan dan peniliti.
2. ada dua bagian ilmu gaib: bagian khusus untuk Tuhan dan tidak seorang
pun yang tahu kecuali Diri-Nya, seperti datangnya Hari Kiamat dan
masalah-masalah yang serupa dengannya. Bagian ilmu ini juga telah
diajarkan kepada para nabi dan para imam maksum as.
Disebutkan di dalam Nahjul Balâghah pada khutbah yang sama yang telah
kami sebutkan di atas, "Ilmu gaib hanya berlaku pada ilmu tentang Kiamat
dan apa yang difirmankan oleh Tuhan dalam ayat, 'Ketahuilah bahwa
Kiamat adalah khusus urusan Tuhan dan Ia-lah yang menurunkan hujan dan
apa yang terkandung dalam rahim ibu, dan tidak seorang pun yang tahu apa
yang dilakukannya esok atau di bumi mana ia akan mati.'"
Lalu, dalam mengomentari ayat ini, beliau menambahkan, "Allah Swt.
mengetahui apa yang terkandung dalam rahim seorang ibu; pria atau
wanita, baik atau buruk, pemurah atau pelit, orang yang bahagia atau
sengsara, dan ahli firdaus atau neraka? .… Semua ini merupakan ilmu
gaib. Tidak ada yang mengetahuinya selain Allah Swt. Selain itu, Dia
telah mengajarkan ilmu-ilmunya kepada Nabi saw. dan beliau
mengajarkannya kepadaku."
Barangkali sebagian orang mendapatkan ilmu ijmâli (global) tentang
keadaan janin atau turunnya hujan. Akan tetapi, ilmu tafshîlî (detail)
dan pengetahuan tentang partikular-partikular hal ini khusus bagi Allah
Swt., seperti ilmu tentang Hari Kiamat. Kita hanya memiliki ilmu global
tentang hal itu, dan tidak memiliki pengetahuan tentang rincian perkara
tersebut. Dan sekiranya terdapat dalam riwayat yang menyebutkan bahwa
para nabi atau imam mengetahui sebagian kondisi seseorang atau akhir
usianya, ilmu itu hanya bersifat global.
3. Cara lain untuk mengompromikan kedua kelompok ayat dan riwayat ini
adalah, bahwa rahasia gaib tercatat di dua tempat: pertama, pada al-Lauh
al-Mahfûzh yang tidak ada perubahan di dalamnya dan tak seorang pun
yang mengetahuinya, dan kedua, di Lauh al-Mahw wa al-Itsbât yang
merupakan ilmu tentang kelaziman-kelaziman (iqtidhâ`), bukan sebab
memadai ('illah tâmmah). Dengan alasan ini, ia dapat berubah. Dan apa
yang tidak diketahui oleh orang lain bertalian dengan bagian ini.
Oleh karena itu, terdapat dalam sebuah hadis yang berasal dari Imam
Ash-Shadiq a.s., "Allah Swt. memiliki ilmu yang tidak seorang pun
mengetahuinya kecuali Diri-Nya, dan Ia mengajarkannya kepada para
malaikat dan nabi. Kami mengetahui apa yang diberikan kepada para
malaikat dan para nabi."
Imam Ali bin Husain a.s. berkata, "Apabila tidak ada ayat dalam
Al-Qur'an, aku akan memberitahukan apa yang terjadi pada masa lalu dan
peristiwa yang berlaku hingga Hari Kiamat." Seseorang bertanya, "Ayat
yang mana?" Beliau menjawab, "Allah Swt. berfirman, 'Allah menghapus apa
yang dikehendaki dan menetapkan apa yang dikehendaki. Dan di sisi-Nya
ada Ummul Kitab (al-Lauh al-Mahfûzh).'"
Penganugrahan ilmu -menurut kompromi ini- berdasarkan keniscayaan dan
ketidakniscayaan ilmu tersebut, sedangkan pada kompromi sebelumnya
berdasarkan derajat pengetahuan. (Perhatikan baik-baik!).
4. Cara kompromi lain adalah, bahwa Allah secara aktual mengetahui
segala rahasia yang gaib. Akan tetapi, para nabi dan wali boleh jadi
secara aktual tidak memiliki banyak pengetahuan tentang rahasia-rahasia
gaib. Akan tetapi, ketika mereka menghendaki, Allah Swt. mengajarkannya
kepada mereka. Dan tentu saja kehendak ini dapat terlaksana sesuai
dengan izin -Nya.
Dengan demikian, ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang mempaparkan bahwa
mereka tidak mengetahui hal-hal yang gaib, menyiratkan bahwa mereka
tidak memilikinya secara aktual, dan ayat-ayat dan riwayat yang
menyatakan bahwa mereka mengetahuinya hendak menekankan bahwa mereka
punya kemampuan untuk mengetahuinya.
Hal ini persis seperti seseorang yang menyerahkan surat kepada temannya
untuk disampaikan kepada si penerima. Di sini, si pembawa surat ini
tidak mengetahui isi surat tersebut, sementara ia dapat membuka surat
itu untuk mengetahui isinya. Terkadang pemilik surat memberikan izin
kepada si pembawa surat untuk menelaah isi surat tersebut. Dengan
demikian, ia dapat mengetahui isi surat tersebut. Dan terkadang si
pemilik surat tidak memberikan izin kepadanya.
Bukti atas kompromi ini adalah kumpulan riwayat yang terdapat pada kitab
al-Kâfî pada bab "Para imam setiap saat hendaki untuk mengetahui
sesuatu, mereka diajarkan ilmu tersebut". Contoh, hadis yang
diriwayatkan dari Imam Ash-Shadiq a.s., "Tatkala seorang imam
berkehendak untuk mengetahui sesuatu, Allah Swt. mengajarkan kepadanya".
Kompromi ini dapat memecahkan banyak permasalahan berkenaan dengan ilmu
Nabi saw. dan imam a.s. Di antaranya, bagaimana mereka minum minuman
atau makan makanan yang beracun, padahal tidak boleh hukumnya seseorang
melakukan pekerjaan yang membahayakan jiwanya? Di sini Nabi saw. atau
imam tidak memiliki izin untuk berkehendak mengetahui rahasia-rahasia
gaib sehingga hal itu menjadi terang bagi mereka.
Mungkin alasan kemaslahatan membuat Nabi saw. dan Imam a.s. tidak
mengetahuinya, atau hal itu sebagai ujian bagi mereka sehingga menjadi
faktor kesempurnaan mereka, sebagaimana hal itu terjadi dalam kisah
Lailatul Mabit, ketika Imam Ali a.s. tidur di atas pembaringan Nabi saw.
Menurut sebuah nukilan, beliau tidak mengetahui apakah akan terbunuh
atau selamat pada waktu musyrikin Quraisy menyerang pembaringan tersebut
di pagi harinya. Merupakan sebuah kebanggaan ketika Imam Ali tidak
mengetahui akhir dari pekerjaan ini, sehingga ujian Ilahi itu dapat
terlaksana. Sekiranya beliau mengetahui bahwa tidur di atas pembaringan
Nabi saw. untuk tujuan tersebut dan di pagi harinya beliau akan
terbangun dalam keadaan selamat, maka pengorbanan beliau ini tidak
menjadi sebuah kebanggaan. Dan sepertinya, kandungan yang tersirat dalam
ayat-ayat dan riwayat-riwayat ihwal signifikasi sikap pengorbanan tidak
membenarkan bila Imam Ali a.s. mengetahui apa yang akan terjadi.
Ya! Konsep ilmu irâdî (yang dikehendaki) merupakan jawaban atas seluruh masalah yang ada.
5. Cara kompromi yang lain, terdapat pada riwayat yang beragam ihwal
ilmu gaib, (betapa pun cara ini hanya berlaku benar pada sebagian
riwayat ini). Riwayat itu adalah, bahwa para pendengar (mukhâtab) yang
dimaksudkan oleh riwayat ini beragam. Mereka yang memiliki potensi dan
kesiapan untuk menerima ilmu gaib yang dimiliki oleh para imam, ilmu itu
akan disampaikan kepada mereka secara keseluruhan dan selayaknya. Akan
tetapi, orang-orang selain mereka, baik berpotensi lemah atau kurang,
akan diberikan ilmu gaib seukuran dengan pemahaman mereka.
Misal, dalam sebuah hadis kita membaca bahwa Abu Bashir dan beberapa
orang sahabat Imam Ash-Shadiq a.s. berada dalam suatu majelis. Imam a.s.
memasuki majelis dalam keadaan marah. Setelah duduk beliau berkata,
"Sungguh aneh orang yang menyangka kami memiliki ilmu gaib. Tidak
seorang pun yang mengetahui ilmu gaib selain Allah swt. Sekarang aku
ingin mendidik budakku yang lari dari tanganku, dan aku tidak tahu di
kamar mana ia berada."
Perawi hadis ini berkata, "Tatkala Imam Ash-Shadiq a.s. berdiri, aku dan
sebagian sahabat beliau masuk ke dalam rumah dan kami berkata, "Semoga
kami menjadi tebusan Anda, wahai Imam! Anda telah menyebutkan budak
Anda. Kami tahu bahwa Anda memiliki banyak ilmu dan kami tidak menyebut
itu sebagai ilmu gaib."
Imam a.s. memberikan penjelasan bahwa maksud beliau adalah pengetahuan beliau tentang ilmu gaib.
Jelas bahwa orang-orang yang berada di dalam majelis tersebut tidak
memiliki potensi dan persiapan yang diperlukan untuk dapat memahami
makna ilmu gaib ini dan makrifat tentang kedudukan seorang imam.
Harus diperhatikan bahwa kelima cara di atas ini selaras satu dengan
yang lainnya dan segenap cara ini dapat diterima. (Perhatikan
baik-baik!).
Cara Lain untuk Membuktikan Ilmu Gaib Para Imam
Di sini, terdapat dua cara lain untuk membuktikan bahwa para nabi a.s.
dan para imam maksum a.s. secara global mengetahui perihal ilmu gaib.
Pertama, kita ketahui bahwa lingkup penugasan mereka terbatas pada ruang
dan waktu tertentu. Akan tetapi, risalah Nabi saw dan imâmah para imam
a.s. bersifat universial dan abadi. Bagaimana mungkin orang yang
memiliki tugas seluas ini, tidak memiliki pengetahuan kecuali
pengetahuan tentang masa dan wilayahnya yang terbatas? Apakah mungkin
seseorang, seperti gubernur, dapat mengurus sebuah wilayah besar dengan
baik, sementara ia tidak mengetahui wilayah tersebut?
Dengan ungkapan lain, Nabi saw. dan imam a.s. pada masa hidupnya
sedemikian mereka menjelaskan dan menjalankan hukum-hukum Tuhan sehingga
mereka dapat menjadi jawaban atas segenap kebutuhan seluruh manusia
pada setiap zaman dan tempat. Dan hal ini tidak mungkin terwujud kecuali
setidak-tidaknya mereka mengetahui sebagian dari rahasia-rahasia ilmu
gaib.
Kedua, tiga ayat Al-Qur'an yang sekiranya kita dudukkan sejajar dengan
masalah ilmu gaib Nabi saw. dan para Imam a.s., maka perkaranya akan
menjadi jelas. Ayat pertama bercerita tentang seseorang yang hendak
membawa singgasana Ratu Saba' dalam sekejap mata ke hadapan Nabi
Sulaiman a.s.
Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab, "Aku akan membawa
singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip." Maka tatkala Sulaiman
melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia berkata, "Ini termasuk
karunia Tuhanku ...." (QS. An-Naml [27]: 40)
Dalam ayat yang lain Ia berfirman, "... katakanlah, 'Cukuplah Allah
menjadi saksi antara aku dan kamu, dan [begitu juga] antara orang-orang
yang mempunyai ilmu Al-Kitab.'" (QS. ar-Ra'ad [13]: 43)
Di sisi lain, terdapat hadis yang berjumlah sangat banyak yang terdapat
di buku-buku referensi Ahli Sunnah dan Syi'ah. Abu Said Al-Khudzri
pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang makna ayat "Alladzîna
'indahû 'ilmun minal kitab". Rasul bersabda, "Ia adalah washî saudaraku,
Sulaiman bin Dawud." Ia bertanya lagi, "Siapakah yang di dalam dirinya
terdapat ilmu seluruh al-Kitab?" Beliau bersabda, "Ia adalah saudaraku,
Ali bin Abi Thalib".
Ungkapan 'ilmun minal Kitâb yang berkisah tentang 'Asif menunjuk kepada
ilmu juzî (partikular) dan ungkapan 'ilmul Kitâb yang bercerita tentang
Ali a.s. merujuk kepada ilmu kullî (universal). Dengan memperhatikan
kedua ungkapan tersebut perbedaan antara kedudukan ilmu 'Asif dan Ali
a.s. akan menjadi jelas.
Dari sisi yang ketiga, di dalam surat An-Nahl [16], ayat 89 disebutkan,
"... dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab [Al-Qur'an] untuk menjelaskan
segala sesuatu ....".
Mengenai seseorang yang memiliki ilmu tentang rahasia-rahasia Kitab
semacam ini, ia pasti mengetahui rahasia-rahasia gaib. Dan hal ini
merupakan dalil yang jelas bahwa boleh para wali Allah mengetahui
rahasia-rahasia gaib sesuai dengan kehendak-Nya.
44. Siapakah Ruhul Kudus itu?
Di dalam surat Al-Baqarah [2], ayat 78 disebutkan, "Dan Kami menguatkannya [Isa bin Maryam] dengan Ruhul Kudus."
Berangkat dari ayat ini, pertanyaan yang kemudian muncul adalah siapakah Ruhul Kudus tersebut?
Para penafsir ulung memiliki penafsiran yang beragam ihwal Ruhul Kudus ini.
a. Sebagian mengatakan bahwa Ruhul Kudus itu adalah Jibril. Oleh karena
itu, makna ayat yang sedang dibahas adalah Tuhan menolong dan menguatkan
kenabian Nabi Isa melalui Malaikat Jibril.
Bukti dari pendapat ini adalah surat An-Naml [27], ayat 102 yang
berfirman, "Katakanlah bahwa Ruhul Kudus itu adalah kebenaran yang turun
dari Tuhanmu."
Akan tetapi, mengapa Malaikat Jibril disebut sebagai Ruhul Kudus?
Lantaran wujud ruh para malaikat merupakan masalah yang jelas dan
penggunaan kata ruh pada mereka adalah sangat tepat. Dan penambahan
kalimat al-kudus setelah kalimat itu adalah tanda kesucian dan kekudusan
luar biasa malaikat ini.
b. Sebagian yang lain berkeyakinan bahwa Ruhul Kudus adalah kekuatan
gaib yang menguatkan Nabi Isa a.s. Dengan kekuatan misterius Ilahi
tersebut, Nabi Isa -atas perintah Ilahi- dapat menghidupkan orang-orang
yang sudah mati.
Tentu saja, kekuatan gaib ini dapat ditemukan dalam diri seorang mukmin
dalam bentuknya yang lemah disebabkan adanya perbedaan derajat iman. Dan
pertolongan-pertolongan Tuhan tersebut yang membantu manusia dalam
menunaikan ketaatan dan pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan atasnya dan
mencegahnya dari melakukan apa yang dilarangnya.
Dalam sebagian hadis tentang sebagian para penyair yang menyanjung Ahlul
Bait, kita membaca bahwa setelah mereka membaca syair-syair untuk
seorang imam, beliau berkata kepada mereka, "Ruhul Kudus telah berhembus
di lisanmu dan apa yang Kamu lantunkan tersebut berkat pertolongannya".
c. Sebagian mufassir lainnya menafsirkan bahwa Ruhul Kudus bermakna Injil.
Namun, kedua tafsir yang pertama tampaknya lebih mendekati kebenaran.
45. Mengapa Para Nabi Muncul dari Kawasan-kawasan Tertentu?
Pertanyaan ini muncul karena melihat realita bahwa para Nabi Ulul 'Azmi
yang memiliki syariat dan kitab samawi -sesuai dengan masa mereka- hanya
diutus untuk kawasan Timur Tengah. Nabi Nuh a.s. bangkit dari tanah
Irak dan pusat dakwah Nabi Ibrahim adalah Irak dan Syam (Syiria), serta
beliau juga melakukan perjalanan ke Mesir dan tanah Hijaz. Nabi Musa
a.s. bangkit dari negeri Mesir, kemudian datang ke Palestina. Pusat
kelahiran, kebangkitan dan dakwah Nabi Isa as juga Palestina dan Syam.
Dan Nabi saw. bangkit dari tanah Hijaz. Pada umumnya, Nabi-nabi yang
lain juga hidup di daerah-daerah ini. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa Timur Tengah adalah kawasan bangkitnya para nabi.
Apakah ada dalil bahwa mereka secara keseluruhan bangkit dari kawasan
ini? Dan apakah kawasan-kawasan lain tidak memerlukan nabi atau mereka
tidak memiliki persiapan untuk menyambut nabi tersebut?
Dengan memperhatikan secara cermat sejarah ditemukannya umat manusia dan
lahirnya peradaban mereka, masalah ini tidak lagi menyisakan keheranan.
Sebab, para sejarawan besar dunia menjelaskan bahwa tanah Timur,
(khususnya Timur Tengah) adalah tempat kelahiran peradaban dan sebuah
kawasan yang bernama Hilâl Khasib (bulan sabit [awal bulan] yang penuh
dengan keberkahan, dan hal ini adalah isyarat kepada sebuah kawasan yang
bermula dari sungai Nil hingga Dajlah dan Eufrat. Dan letak geografis
kawasan-kawasan tersebut berbentuk sebuah bulan besar yang terrefleksi
di atas peta geografis), tempat lahirnya peradaban besar seluruh dunia.
Peradaban Mesir Kuno terkenal sebagai peradaban yang paling kuno,
peradaban Babylon di Irak, peradaban Yaman di sebelah selatan Hijaz, dan
demikian juga peradaban Iran dan Syiria, semuanya merupakan model
peradaban-peradaban yang dikenal oleh manusia.
Karya-karya sejarah yang penting di kawasan ini masih tersimpan. Dan
adanya batu-batu prasasti adalah bukti nyata atas klaim ini.
Kunonya peradaban manusia di kawasan-kawasan ini dapat dilacak kembali
ke tujuh ribu tahun silam. Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, hubungan
dekat di antara peradaban manusia dan munculnya nabi-nabi besar,
lantaran manusia yang berperadaban lebih memerlukan ajaran-ajaran Ilahi,
sehingga selain menjamin terlaksananya hukum-hukum dam hak-hak sosial,
mengantisipasi keonaran dan kerusakan, juga menyemaikan fitrah Ilahi
pada diri manusia. Atas alasan ini, hajat manusia dewasa ini -khususnya
negara-negara yang berasal dari peradaban industri- kepada ajaran-ajaran
Ilahi lebih besar ketimbang pada zaman-zaman sebelumnya.
Kaum-kaum yang brutal atau setengah brutal tidak memiliki kesiapan yang
cukup untuk menerima agama-agama. Dan sekiranya mereka menerima agama,
mereka tidak memiliki kekuatan untuk menyebarkannya.
Akan tetapi, tatkala agama muncul di pusat peradaban, dengan segera ia
akan menyebar ke kawasan-kawasan lainnya. Sebab, Lantaran masyarakat di
tempat-tempat lain, untuk memecahkan masalah-masalah mereka, selalu
mengadakan perjalanan bolak-balik ke kawasan ini. Belum lagi sarana
penyebaran di kawasan ini lebih banyak.
Barangkali kita bertanya, lalu mengapa Islam sebagai ajaran terbesar Ilahi muncul di kawasan yang terbelakang?
Apabila kita melihat dengan benar peta geografi, daerah yang tertinggal
ini (Makkah) sebenarnya pusat di antara kawasan-kawasan sekitarnya. Pada
waktu itu, terdapat lima perdaban besar yang tersisa, dan Makkah
merupakan sentral bagi kawasan-kawasan seperti ini.
Di belahan timur, terdapat peradaban Romawi dan Syamat, peradaban Iran,
Kulde dan Asyur terletak di bagian selatan, peradaban Yaman di sebelah
barat, dan peradaban Mesir Kuno. Tatkala Islam menyebar dalam kondisi
geografis demikian, seluruh peradaban ini berada di bawah supremasi
Islam dan melebur di dalamnya. Islam mengadopsi unsur positif dari
peradaban ini, dan membuang unsur negatifnya, serta menambahkan
nilai-nilai akidah dan praktikal kepadanya. Maka, peradaban Islam yang
cemerrlang menyinari segenap peradaban ini.
Ringkasnya, dengan memperhatikan uraian di atas, jelas bahwa mengapa
Allah swt. mengutus para nabi besarnya di kawasan Timur Tengah dan
mengapa belahan timur bumi hingga kini menjadi tempat munculnya
agama-agama besar Ilahi.
46. Apakah Nabi Ayyub a.s. Menderita Penyakit yang Menjijikkan?
Wajah suci Nabi besar ini menjadi manifestasi (mazhhar) kesabaran dan
ketabahan, sehingga ketabahan Nabi Ayyub a.s. menjadi pepatah di
kalangan seluruh umat. Di dalam Al-Qur'an, terdapat surat Ash-Shaf.
Dari permulaan hingga akhir kisah Nabi Ayyub as, Allah Swt
mengekspresikan sebaik-baik pujian kepada beliau.
Akan tetapi, sayangnya nasib Nabi besar ini tidak terjaga dari pelecehan
orang-orang dungu atau musuh-musuh yang berpengetahuan. Mereka
memunculkan khurafat ihwal Nabi Ayyub a.s. sehingga kekudusan dan
kesuciannya ternodai. Misal, mereka mengekspresikan bahwa ketika Nabi
Ayyub menderita penyakit yang menimpa badannya, tubuhnya sedemikian bau
dan busuk sehingga penduduk membuangnya dari kota.
Tanpa syak lagi, riwayat seperti ini adalah karangan belaka, betapapun
banyaknya riwayat itu. sebab, risalah para nabi menjawab bahwa
masyarakat pada setiap masa dapat berinteraksi dengan mereka setiap
dikehendaki. Dan apa yang menjadi sumber kejijikan dan kebencian
masyarakat dan terciptanya kesenjangan orang-orang dengan mereka, entah
tertimpa penyakit-penyakit yang menjijikan, cacat jasmani, atau
kekasaran moral, tidak akan ada pada mereka, karena filsafat risalah
bertentangan dengan semua ini.
Al-Qur'an bertutur ihwal Nabi saw., "Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah engkau berlaku lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau
bersikap keras lagi berhati kasar, niscaya mereka akan menjauh dari
sekelilingmu." (QS.Ali 'Imran [3]: 159)
Ayat ini merupakan dalil bahwa nabi tidak boleh berlaku demikian sehingga orang-orang di sekitarnya tidak menjauh darinya.
47. Apakah Filsafat Banyaknya Istri Nabi saw.?
Pernikahan Nabi saw. dengan beberapa orang wanita adalah untuk
memecahkan rangkaian persoalan sosial dan politik dalam kehidupan
beliau. Karena kita ketahui bahwa tatkala Nabi saw. menyerukan dakwah
Islam, beliau hanyalah seorang diri. Hingga beberapa lama, selain
beberapa orang yang beriman kepadanya, beliau bangkit melawan segenap
kepercayaan sesat yang telah merajalela di lingkungannya. Dan beliau
mengumumkan perang (ideologi) kepada semua pihak. Wajarlah kiranya jika
seluruh kaum dan kabilah di lingkungan tersebut memobilisasi massa untuk
melawan Sang Nabi.
Seluruh sarana yang dapat digunakan untuk mematahkan persekongkolan
musuh yang kotor ini, harus diberdayakan. Salah satu strategi dan sarana
tersebut adalah menjalin hubungan kekeluargaan dan kekerabatan melalui
jalan pernikahan dengan kabilah-kabilah yang beragam. Karena, pernikahan
dan hubungan kekerabatan adalah jalinan yang termasuk paling kokoh dan
kuat pada masyarakat Arab jahiliyah. Dan mereka berpandangan bahwa
menantu kabilah merupakan bagian dari mereka, membelanya adalah wajib,
dan meninggalkannya terlantar termasuk perbuatan tercela.
Terdapat indikasi-indikasi banyak di hadapan kita yang menunjukkan bahwa
pernikahan Nabi saw. setidak-tidaknya lebih bernuansa politis.
Dan sebagian pernikahan beliau, seperti pernikahannya dengan Zainab,
didasari tujuan untuk mematahkan tradisi jahiliyah sebagaimana tertuang
dalam surat Al-Ahzab [33], ayat37. Sebagian lainnya adalah untuk
mengurangi jumlah musuh, menjalin persahabatan dan menarik kecintaan
orang-orang atau kaum yang fanatik dan keras kepala.
Jelas bahwa seseorang yang berusia dua puluh lima tahun, masa prime
time, menikah dengan wanita janda yang berusia empat puluh tahun dan
merasa puas diri dengan seorang janda hingga usia tiga puluh lima tahun,
kemudian ia melakukan pernikahan dengan berbagai wanita, tentu saja
beliau memiliki alasan dan filsafat di balik pernikahan-pernikahan ini.
Sama sekali tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa beliau menikah
semata-mata karena motivasi atau dorongan seksual, sebab pernikahan bagi
bangsa Arab pada masa itu sangat sederhana dan biasa, dan bahkan
terkadang istri pertama yang melakukan lamaran untuk istri kedua bagi
suaminya, dan mereka tidak percaya pada pembatasan jumlah istri. Bagi
Nabi saw., pernikahan-pernikahan yang dilakukan beliau pada masa
mudanya, selain tidak ada kendala sosial, atau tidak dikenakan
syarat-syarat berat agar memiliki kekayaan yang banyak, juga tidak
dinilai sebagai aib dan cela.
Menariknya, menurut catatan sejarah disebutkan bahwa Nabi saw. hanya
sekali menikah dengan seorang wanita perawan, yaitu 'Aisyah. Selebihnya,
istri-istri beliau adalah wanita-wanita janda, yang tentu saja tidak
dapat dilihat dari sisi adanya motivasi seksual di balik pernikahan ini.
Bahkan, kita membaca di sebagian catatan sejarah bahwa Nabi saw. menikah
dengan beberapa wanita dan tidak melaksanakan acara walimah, dan Nabi
saw. tidak pernah bersenggama dengan mereka, bahkan beliau cukup merasa
puas dengan lamaran beberapa wanita dan beberapa kabilah. Sebatas itu
mereka sudah merasa gembira dan bangga bahwa wanita dari kabilah mereka
disebut sebagai istri Nabi saw., dan ini merupakan kehormatan bagi
mereka. Dengan demikian, hubungan dan jalinan sosial mereka dengan Sang
Nabi semakin kokoh dan solid, serta semakin bertekad dalam membela
beliau.
Dari sisi lain, jelas bahwa Nabi saw. bukanlah seorang mandul dan
kenyataannya, beliau hanya memiliki beberapa anak sebagai buah hatinya.
Sekiranya pernikahan-pernikahan ini disebabkan oleh daya tarik seksual,
tentu saja beliau akan memiliki banyak anak dari wanita-wanita yang
dinikahinya.
Juga harus diingat bahwa sebagian dari wanita-wanita ini, seperti
'Aisyah, menjadi istri Nabi saw. pada usia yang sangat belia. Oleh
karena itu, setelah sekian tahun berlalu, baru ia dapat menjadi istri
Nabi saw. yang sebenarnya. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan dengan
putri belia seperti ini memiliki motivasi-motivasi yang lain, dan tujuan
utamanya adalah seperti yang telah kami singgung di atas.
Meski musuh-musuh Islam hendak berdalih dengan melecehkan
pernikahan-pernikahan Nabi saw., dan membuat sebuah dongeng palsu dari
pernikahan-pernikahan tersebut, akan tetapi usia tua Nabi saw. ketika
melakukan pernikahan-pernikahan ini dari satu sisi, dan beragamnya usia
dan kabilah wanita-wanita ini dari sisi lain, serta berbagai indikasi
lainnya sebagaimana telah kami singgung sebelumnya, menjadi realitas
yang dapat menerangi dan menepis tuduhan dan konspirasi keji yang
dialamatkan kepada Nabi mulia saw. ini.
CATATAN KAKI:
Tafsir-e Nemûneh, jilid 17, hal. 345.
Untuk penjelasan lebih lanjut, Anda dapat menelaahnya dalam kitab Bihâr al-Anwâr, jilid 18, hal. 277.
Tafsir-e Nemûneh, 440/1.
Nûr ats-Tsaqalain, jilid 3, hal. 325.
Idem.
Tafsir Nemûneh, jilid 13, hal. 27.
Futûh al-Buldân, Buladzuri, cet. Mesir, hal. 459.
Tafsir al-Burhân, jilid 4, hal. 332, dalam penafsiran ayat pertama surat al-Jumu'ah.
Tafsir Nemûneh, jilid 6, hal. 400.
Muhammad Payambariy keh az Nou Bayad Shenâkht, hal. 125.
Tafsir al-Burhân, jilid 2, hal. 400; Tafsir Nemûneh, jilid 12, hal. 16.
Objek selestial (planet-planet) ini berjumlah sembilan. Antara lain,
Mercurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus,
Pluto-AK.
Kharq berarti membuka dan mengoyak, dan Iltiyam berarti bergabung
bersama. (Kedua terma ini akrab digunakan dalam pembahasan ilmu kalam
[teologi], bahwa ketika seseorang melintas menembus objek selestial yang
ibarat garis bawang tersebut, maka garis tersebut akan terkuak,
terenggut [kharq] dan setelah itu mengalami konsiliasi, tersambung
kembali [ilitiyam]-AK.). Sebagian filsuf terdahulu percaya bahwa perkara
ini (Mikraj) tidak mungkin terjadi pada objek selestial.
Untuk penjelasan lebih jauh, silakan rujuk Hameh Mikhâkhand Bedânand
(Semua Orang Pengen Tahu), ihwal masalah Mikraj, membelah bulan (syaq
al-Qamar), ibadah pada dua kutub yang telah kami bahas. Silakan juga
lihat Tafsir Nemûneh, jilid 12, hal. 17.
Redaksi, tsumma ji`ta 'alâ qadarin yâ Musa terkadang bermakna
kelayakan untuk menerima wahyu, dan terkadang bermakna masa menerima
perintah risalah.
Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 7, hal. 193.
Dalam tradisi masyarakat India, ritus-ritus asketik ini dipraktikan
melalui jalan-jalan haram, menyiksa jiwa dan raga dengan tujuan
memperkuat ruh dan jiwa untuk memperoleh kesaktian. Padanan terma
murtâdhan dalam Bahasa Inggris adalah asceticism atau petapa dalam
Bahasa Indonesia-AK.
Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 7, hal. 288.
Tafsir Nemûneh, jilid 13, hal. 58.
Tafsir Nemûneh, jilid 6, hal. 41.
Segala objek yang secara terus-menerus hadir di langit. Contoh, bintang dan planet-AK.
Tafsir Nemûneh, jilid 23, hal. 9 dan jilid 23, hal. 13.
Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 7, hal. 234.
Nahjul Balâghah, Khutbah ke-128.
Idem.
Bihâr al-Anwâr, jilid 26, hal. 160, hadis ke-5.
Nûr ats-Tsaqalaîn, jilid 2, hal. 512, hadis ke-160.
Al-Kâfi, bab "innal a`immah idzâ Syâ`û an(y) ya'lamu 'ullimû", hadis
ke-3. Terdapat juga riwayat lain pada bab yang sama juga dengan redaksi
yang sama.
Ushûl al-Kâfî, jilid 1, bab an-nâdir fi dzikr al-ghaib, hadis ke-3.
Silakan rujuk Ihqâq al-Haqq, jilid 3, hal. 280-281; Nûr ats-Tsaqalain, jilid 2, hal. 523.
Tafsir Nemûneh, jilid 25, hal. 146.
Pujangga yang terkenal pada masa Rasulullah saw. adalah Hassan bin
Tsabit. Kita membaca bahwa Rasulullah saw berkata tentangnya, "Sepanjang
engkau membela kami dengan syair-syairmu, Ruhul Kudus pasti bersamamu."
Tafsir al-Manâr.
Tafsir Nemûneh, jilid 1, hal. 338.
Dalam hadis yang diriwayatkan dari Imam Ash-Shadiq a.s. disebutkan
bahwa Kufah dan masjid-masjid terdapat di zaman Nabi Nuh a.s. Dan
kediaman Nabi Nuh a.s. terdapat pada sebuah tanah yang makmur di tepi
Sungai Eufrat yang berada di sebelah barat Kufah. Lihat Tafsir 'Ayyâsyî,
surat Hud, hadis ke-19.
Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 7, hal. 367.
Tafsir Nemûneh, jilid, 19, hal. 303.
Bihâr al-Anwâr, jilid 22, hal. 191-192.
Idem.
Tafsir Nemûneh, jilid 17, hal. 381. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar