|
Al-Qur'an
48. Bagaimana Al-Qur'an Dapat Menjadi Sebuah Mukjizat?
Sebagai pendahuluan, kami akan menukil ihwal keagungan Al-Qur'an dari
beberapa ucapan para pembesar agama dan bahkan, orang-orang yang dicap
sebagai orang yang memerangi Al-Qur'an.
a. Abul A'la Al-Ma'arri
Orang yang telah menyatakan perang melawan Al-Qur'an ini berkata,
"Pendapat masyarakat, baik dari kalangan Muslim maupun nonmuslim,
sepakat bahwa kitab yang dibawa oleh Muhammad saw. membuat akal-akal
mereka tumbang di hadapan Al-Qur'an. Dan hingga kini tak seorang pun
dapat menghadirkan dan menyajikan yang serupa dengannya. Gaya bahasa
kitab ini tidak menyerupai gaya-gaya bahasa yang akrab digunakan di
kalangan bangsa Arab, termasuk orasi para orator, epik, syair pujangga,
dan prosa ruhaniawan Yahudi. Keunggulan dan keperkasaan kitab ini
sedemikian hebat sehingga sekiranya satu ayat dari kalimat Al-Qur'an
diletakkan di antara kalimat-kalimat yang lain, ayat itu akan
bergemerlapan ibarat bintang di malam gulita."
b. Walid bin Mughirah al-Makhzumi
Walid bin Mugairah adalah orang yang memiliki popularitas dan tersohor
di kalangan bangsa Arab. Untuk memecahkan pelbagai masalah sosial,
mereka menggunakan pikiran dan pendekatan managerial Walid ini. Karena
itulah mereka menamainya sebagai Raihan Quraisy (Kusuma Suku Quraisy) .
Setelah mendengar Nabi saw. membaca beberapa ayat dari surat Al-Ghafir
(Al-Mu'min), ia menghadiri majelis suku Bani Makhzum dan berkata, "Demi
Allah! Aku bersumpah, aku mendengar dari Muhammad sesuatu yang tidak
serupa dengan perkataan-perkataan manusia dan juga tidak dapat disamai
oleh peri-peri …. Ucapannya memiliki keindahan dan kelezatan yang khas.
Di atasnya (seperti cabang-cabang pohon-pohon yang berbuah) penuh buah
dan di bawahnya (ibarat akar-akar pepohonan muda) penuh air. Ucapannya
unggul atas segalanya dan selainnya tidak akan dapat mengunggulinya."
c. Carlyle
Sejarawan dan cendekiawan terkemuka Inggris berkomentar perihal
Al-Qur'an, "Sekiranya sekali waktu kita mengalihkan pandangan kita
kepada Kitab Suci ini, hakikat-hakikat unggul dan rahasia-rahasia unik
keberadaan, kandungan-kandungan mutiaranya memiliki keistimewaan
sehingga keagungan dan realitasnya dengan baik dapat terlihat. Dan hal
ini merupakan keunggulan besar yang khusus dimiliki Al-Qur'an. Tidak
satu pun keunggulan yang dimiliki Kitab Suci ini tampak pada buku-buku
ilmiah, politik, ekonomi, dan buku-buku lainnya. Benar bahwa membaca
sebagian buku memberikan kesan yang dalam di benak seseorang. Namun, hal
itu tidak dapat dibandingkan dengan apa yang ditinggalkan Al-Qur'an
pada benak seseorang. Dari dimensi ini, harus diakui bahwa keunggulan
pertama Al-Qur'an dan pilar-pilar asasinya bertaut dengan hakikat,
dimensi-dimensi kudus, obyek-obyek unggul permasalahan dan muatan-muatan
pentingnya yang tidak dapat disangsikan. Keutamaan terakhir adalah
menciptakan kesempurnaan dan kebahagiaan umat manusia. Dan Al-Qur'an
memiliki ajaran yang dapat menciptakan kesempurnaan dan kebahagiaan ini
dengan baik."
d. John Davenport
Penyusun buku 'Uzr-e Taqsiri beh Pishgâh-e Muhammad wa Qur'ân menulis,
"Al-Qur'an sedemikian sucinya sehingga tidak memerlukan secuil pun
perbaikan dan penyuntingan. Boleh jadi sejak awal hingga akhirnya
dibacakan tanpa seseorang merasakan sekecil pun kejenuhan di dalamnya."
Ia menambahkan, "Dan semua orang menerima bahwa Al-Qur'an turun dengan
sefasih-fasih ungkapan, dan dengan dialek suku Quraisy yang merupakan
dialek yang paling beradab dan paling wibawa di kalangan bangsa Arab ….
Dan (Kitab ini) juga penuh dengan sejelas-jelasnya masalah dan
sekuat-kuat perumpamaan ...."
e. Goethe
Penyair dan cendekiawan berkebangsaan Jerman berkata, "Al-Qur'an
merupakan karya yang (terkadang) dengan perantara redaksinya yang berat.
Pada mulanya, pembaca akanterkejut, kemudian terpukau akan daya
tariknya, dan pada akhirnya, terlena dengan keindahannnya yang tak
terkira."
Di tempat lain, ia berkata, "Bertahun-tahun lamanya para pendeta tidak
memberikan berita tentang Tuhan. Mereka telah membuat kami jauh dari
hakikat-hakikat Al-Qur'an yang agung dan pembawanya nan kudus, Muhammad
saw. Namun, sebanyak langkah kami ayunkan di jalan ilmu dan pengetahuan,
tirai kejahilan dan puritanisme yang tidak berguna tersingkap (dari
dunia kita), dan dengan segera, kitab (Al-Qur'an) yang tak tersifati ini
membuat semesta alam tertarik dan menyisakan kesan yang dalam pada ilmu
dan pengetahuan. Pada akhirnya, ia menjadi poros pemikiran dunia."
Ia juga berkata, "Pada mulanya, kami bersikap acuh tak acuh terhadap
Al-Qur'an. Akan tetapi, tidak lama berselang Kitab ini menarik perhatian
kami, dan kami terjerembab dalam keheranan sehingga kami pun tertunduk
pasrah dalam berhadapan dengan kaidah dan hukum ilmiah serta
kebesarannya."
f. Will Durant
Ia mengatakan, "Al-Qur'an yang berada di tangan Muslimin ini sedemikian
membawa kebesaran jiwa ('izzah an-nafs), keadilan, dan ketakwaan
sehingga tidak satu pun titik di jagad raya ini yang sebanding
dengannya."
g. Jaul Lobum
Seorang cendekiawan dan penulis berkebangsaan Prancis dalam bukunya,
"Tafsîl-e ?yât" berkata, "Ilmu dan pengetahuan penduduk dunia ini
berasal dari muslimin, dan mereka mendulangnya dari lautan ilmu
(Al-Qur'an), serta sungai-sungai Al-Qur'an mengalir untuk manusia
sejagad …."
h. Dinuwart
Orientalis ini menulis, "Harus kita akui bahwa ilmu pengetahuan dunia,
astronomi, filsafat, dan matematika yang menyebar di Eropa, galibnya
adalah berkat pengajaran Al-Qur'an dan kita berhutang budi kepada
muslimin. Bahkan dari sudut pandang ini, Eropa merupakan sebuah kota
dari negeri Islam."
i. Vacsia Vagleiri
Seorang dosen universitas Nepal ini dalam buku "Pishraft-e Sari'-e
Islâm" (Kemajuan Pesat Islam), menulis, "Kitab samawi Islam merupakan
contoh dari sebuah mukjizat. Al-Qur'an adalah sebuah kitab yang tidak
dapat ditiru. Metode Al-Qur'an dalam ilmu kesatraan belum ada model
sebelumnya. Kesan yang diciptakan oleh gaya bahasa Al-Qur'an menunjukkan
keunggulan dan keistimewaannya pada ruh manusia …. Bagaimana mungkin
"kitab yang sarat dengan mukjizat ini" adalah buatan Muhammad, sedangkan
ia tidak belajar pada seorang pun dari bangsa Arab. Dalam kitab ini
Kita melihat pelbagai khazanah dan perbekalan ilmu yang berada di atas
bakat dan kemampuan pikiran orang paling jenius sekali pun dan filsuf
terbesar dan politikus yang berpengaruh dan ahli hukum kawakan.
Berangkat dari sisi ini, Al-Qur'an bukan merupakan karya seorang manusia
yang terpelajar dan seorang cendekiawan."
Salah satu argumentasi kebenaran Al-Qur'an dan keberasalannya dari Allah
swt. adalah tidak adanya pertentangan dan perbedaan pada segenap
kandungannya. Untuk menjelaskan hakikat ini, mari kita renungkan
bersaman uraian di bawah ini:
Kondisi jiwa manusia senantiasa mengalami perubahan. Konsep
kesempurnaan, dalam keadaan normal, tanpa pengecualian, termasuk kondisi
pikiran, lisan, dan pikiran, serta ucapan-ucapannya dapat menciptakan
gejolak dalam dirinya dengan berlalunya hari, bulan, dan tahun.
Sekiranya kita amati dengan seksama tulisan seorang penulis, sekali-kali
tidak akan pernah sama. Bahkan, pada permulaan dan penutup penulisan
sebuah buku, ia pasti mengalami perbedaan, khususnya apabila ia sedang
mengalami pengalaman dan peristiwa besar yang berlangsung.
Peristiwa-peristiwa yang merupakan landasan bagi suatu revolusi
pemikiran, sosial, dan ideologi, berfungsi sebagai pondasi pemikiran
dari berbagai dimensi. Betapapun menghendaki ucapannya memiliki kesatuan
arah dan keutuhan dengan ucapan-ucapan sebelumnya, ia tidak akan mampu,
khususnya apabila ia tidak belajar atau terbina di dalam lingkungan
yang terbelakang.
Akan tetapi, Al-Qur'an dalam masa 23 tahun diturunkan sesuai dengan
kebutuhan dan keperluan masyarakat yang berada pada kondisi dan tempat
yang sangat berbeda. Al-Qur'an membahas tema-tema yang beragam, dan
tidak seperti buku-buku biasa yang melulu membahas masalah sosial,
politik, filsafat, hak-hak, atau sejarah. Terkadang ia berbincang
tentang keesaan Tuhan (tauhid) dan rahasia-rahasia penciptaan, dan
terkadang menerangkan hukum dan undang-undang, adab, dan peradaban. Di
lain waktu, ia berkisah tentang umat-umat terdahulu dan nasib mereka
yang mengerikan. Terkadang ia juga berbicara tentang nasihat dan
wejangan, ibadah dan hubungan antara hamba dan Tuhan.
Meminjam ucapan Dr. Gustav Lebon, bahwa sebagai kitab samawi umat Islam,
Al-Qur'an tidak hanya terbatas pada ajaran-ajaran dan aturan-aturan
agama saja, melainkan juga membahas masalah aturan-aturan sosial dan
politik.
Galibnya, kitab dengan tipologi semacam ini mustahil bebas dari
kontradiksi, pertentangan, dan statemen-statemen yang berlainan, serta
plus-minus yang banyak. Akan tetapi kaitannya dengan berbagai dimensi,
kita saksikan bagaimana seluruh kandungan ayat-ayat Al-Qur'an selaras
dan seirama dengan yang lainnya, bebas dari segala bentuk kontradiksi,
pertentangan, perbedaan dan inkoordinasi. Dengan baik kita dapat menduga
bahwa kitab ini bukan merupakan hasil pemikiran manusia, melainkan
berasal dari Tuhan, sebagaimana Al-Qur'an menjelaskan realitas ini
dengan indah.
Di dalam surat Hud [11], ayat 12-14, Al-Qur'an menegaskan mukjizatnya,
"Ini bukanlah sebuah perkataan biasa dan bukan pula refleksi otak
manusia, melainkan wahyu dari langit yang bersumber dari ilmu dan
kekuasaan Tuhan yang tidak terbatas". Dengan alasan ini, Al-Qur'an
melancarkan tantangan dan mengajak seluruh penghuni jagad raya untuk
berjajal dengannya. Orang-orang yang hidup semasa dengan Nabi saw dan
bahkan, hingga hari mencoba untuk mendatangkan yang serupa dengan
Al-Qur'an. Namun, mereka tidak mampu. Mereka telah mengerahkan seluruh
jiwa dan raga dengan menantang segala kesulitan untuk menciptakan
Al-Qur'an baru. Akan tetapi, mereka tidak mampu melakukan tindakan untuk
mengungguli ayat-ayatnya. Dengan ini, jelas bahwa pekerjaan seperti ini
pada dasarnya tidak dapat dilakukan oleh manusia. Apakah mukjizat tidak
lebih dari hal ini?"
Seruan Al-Qur'an ini masih saja terngiang di telinga kita. Mukjizat ini
bersifat abadi, sebagaimana ia menantang seluruh penduduk jagad dan
segenap pusat-pusat riset dunia untuk membuat bandingannya; tidak hanya
dari sisi kefasihan (elokuensi), balâghah (retorika); daya tarik redaksi
dan keelookan makna, tetapi juga dari sisi muatan dan kandungannya.
Ilmu pengetahuan yang -menurut manusia masa itu- belum tersingkap,
undang-undang yang menjamin kebahagiaan dan keselamatan manusia,
penjelasan-penjelasan yang kosong dari setiap bentuk kontradiksi,
sejarah-sejarah yang tidak dkotori oleh setiap jenis khurafat, dan
semisalnya, semua itu sudah dijelaskan oleh Kitab ini.
Bahkan, menurut Sayid Quthb dalam tafsir Fî Zhilâl Al-Qur'an, tatkala
sekelompok kaum materialis di Rusia hendak meremehkan Al-Qur'an dalam
kongres kaum Orientalis yang diselenggarakan pada tahun 1945 M, mereka
berkata, "Kitab ini bukanlah refleksi pemikiran manusia (Muhammad),
melainkan ia mesti bersumber dari hasil usaha dan upaya sekelompok
orang-orang besar! Bahkan, tidak dapat dipercaya bahwa seluruh
kandungannya ditulis dari jazirah Arab. Yang pasti, sebagian darinya
ditulis di luar jazirah Arab."
Dari satu sisi, karena logika mereka mengingkari keberadaan Tuhan dan
masalah wahyu, mereka mencarikan penafsiran yang bercorak materialistik
untuk ayat Al-Qur'an. Dan dari sisi lain, karena mereka tidak mampu
meyakini bahwa Al-Qur'an merupakan produk otak manusia di jazirah Arab,
terpaksa mereka mencarikan penafsiran yang konyol. Dalam penafsiran ini,
mereka membagi Al-Qur'an kepada produk jazirah Arab dan produk luar
jazirah Arab. Penafsiran ini diingkari oleh sejarah secara keseluruhan.
49. Apakah Al-Qur'an Membenarkan Kandungan Taurat dan Injil?
Di dalam banyak ayat Al-Qur'an al-Majid, kita jumpai redaksi ayat yang
menyatakan bahwa Al-Qur'an membenarkan muatan kitab-kitab sebelumnya.
Di dalam surat Al-Ma'idah [5], ayat 48 disebutkan, "Dan Kami turunkan
kepadamu Al-Qur'an dengan membawa kebenaran dengan membenarkan apa yang
telah diturunkan sebelumnya, yaitu kitab-kitab [yang diturunkan
sebelumnya] .…"
Perintah ini telah menyebabkan sekelompok mubaligh Yahudi dan Masehi
memasukkan ayat ini sebagai bukti tertulis atas tidak terjadinya
penyimpangan dan distorsi (tahrîf) terhadap kitab Taurat dan Injil.
Mereka berkata, "Kitab Taurat dan Injil pada masa Nabi saw. tentu saja
tidak memiliki perbedaan dengan Taurat dan Injil hari ini. Sekiranya
terjadi distorsi di dalam Taurat dan Injil, tentu saja bertalian dengan
masa sebelumnya. Dan karena Al-Qur'an menyatakan validitas Taurat dan
Injil pada masa Nabi saw., dengan demikian Muslimin harus mengakui
secara resmi bahwa Taurat dan Injil ini merupakan kitab-kitab samawi
yang tidak terjamah oleh campur -tangan manusia."
Banyak ayat Al-Qur'an yang memberikan kesaksian bahwa tanda-tanda Nabi
saw. dan ajarannya terdapat di dalam kitab-kitab yang telah terdistorsi
(muharraf) di tangan Yahudi dan Nasrani pada masa itu. Sebab tentu saja,
distorsi kitab-kitab samawi ini bukan berarti bahwa seluruh kitab-kitab
yang ada adalah batil dan bertentangan dengan realitas yang ada.
Melainkan sebagian kandungan Taurat dan Injil yang asli masih terdapat
di sela-sela kitab ini, dan tanda-tanda kenabian Nabi saw. masih dapat
ditemukan kitab-kitab samawi yang berada di tangan Yahudi dan Nasrani
ini.
Dengan demikian, kemunculan Nabi saw. dan kitab samawinya secara praktis
membenarkan seluruh tanda-tanda kenabian Nabi saw. tersebut, lantaran
sesuai dengannya.
Oleh karena itu, makna penegasan Al-Qur'an tentang Taurat dan Injil
adalah karakteristik Nabi saw. dan Al-Qur'an, serta tanda-tanda yang
dimilikinya sesuai dengan apa yang terdapat dalam Taurat dan Injil.
Penggunaan kosa kata tashdîq (membenarkan) dalam makna muthâbaqah
(harfiyah) dapat juga ditemukan dalam ayat-ayat yang lain. Misalnya, di
dalam surat Ash-Shaffat [37], ayat 105 yang ditujukan kepada Nabi
Ibrahim, disebutkan, "Qad shaddaqta(r) ru'yâ (sesungguhnya engkau telah
membenarkan mimpi itu)". Maksudnya adalah, bahwa perbuatanmu sesuai
dengan kebaikan yang engkau lihat. Di dalam surat Al-A'raf ayat 157
disebutkan, "[Yaitu] orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi
yang [namanya] mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada
pada sisi mereka ...." Dalam ayat ini dijelaskan bahwa sifat-sifat yang
terdapat dalam diri beliau sesuai dengan apa yang dijumpai dalam
Taurat.
Secara umum, ayat-ayat yang telah disebutkan di atas telah menjelaskan
sikap Al-Qur'an berkenaan dengan Taurat dan Injil, dan bahwa tanda-tanda
kebenaran Nabi saw. terdapat di dalam kedua kitab samawi itu. Akan
tetapi, hal itu tidak menunjukkan kebenaran seluruh kandungan Taurat dan
Injil. Karena, selain itu masih terdapat banyak ayat yang menyebutkan
realita distorsi yang telah dialami oleh kedua kitab itu. Dan hal ini
merupakan saksi hidup atas kepicikan klaim di atas.
50. Apakah Penghimpunan Al-Qur'an ke dalam Bentuk Kitab Dilakukan pada Masa Nabi saw. atau Sepeninggal Beliau?
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa nama surat pertama Al-Qur'an
adalah Fâtihatul Kitâb. Fâtihatul Kitâb berarti pendahuluan kitab. Dan
suatu hadis yang dinukil dari Nabi saw. menyatakan bahwa pada masa
beliau, surat ini juga dikenal dengan nama ini.
Dari sini, titik terang pada satu masalah penting dalam Islam ini
menjadi tampak. Masalah tersebut adalah -berbeda dengan pendapat yang
telah popular bahwa Al-Qur'an pada masa Nabi saw. hanya berbentuk
lembaran yang terpisah-pisah, kemudian baru dikumpulkan pada masa Abu
Bakar, Umar, atau Utsman- bahwa Al-Qur'an pada masa Nabi saw. sendiri
telah terkumpul sesuai dengan bentuknya hari ini, dan surat pertamanya
adalah surat Al-Hamd. Jika tidak demikain, surat ini bukan sebagai surat
pertama yang turun kepada Nabi saw. dan juga tidak ada dalil lain untuk
menamakan surat ini dengan nama Fâtihatul Kitâb.
Bukti-bukti lain yang banyak juga menegaskan bahwa Al-Qur'an dalam
bentuk kumpulan yang kini berada di tangan kita telah dikumpulkan pada
masa Nabi saw. atas perintah beliau.
Ali bin Ibrahim menukil dari Imam Ash-Shadiq a.s. bahwa Rasulullah saw.
bersabda kepada Ali a.s., "Wahai Ali! Kumpulkanlah Al-Qur'an yang berada
pada potongan-potongan sutra, kertas, dan semisalnya yang
terpisah-terpisah itu." Imam Ash-Shadiq a.s. menambahkan, "Ali a.s.
pergi dari majelis tersebut dan mengumpulkan Al-Qur'an di dalam potongan
kain berwarna kuning, lalu menorehkan stempel di atasnya."
Bukti yang lain adalah Kharazmi, seorang ulama besar Ahli Sunnah, dalam
buku Al-Manâqib menukil dari Ali bin Riyah bahwa Ali bin Thalib dan Ubay
bin Ka'b mengumpulkan Al-Qur'an pada masa Nabi saw.
Bukti ketiga adalah pernyataan Al-Hakim, seorang penulis kenamaan Ahli
Sunnah dalam kitab Al-Mustadrak. Ia menukil ucapan Zaid bin Tsabit,
"Kami berada di hadirat Nabi saw. Kami mengumpulkan Al-Qur'an dari
potongan-potongan terpisah. Dan masing-masing dikumpulkan sesuai dengan
bimbingan Nabi saw. Kami meletakkan pada tempatnya masing-masing. Akan
tetapi, dengan tulisan yang terpisah-pisah ini, Nabi saw. memerintahkan
Ali untuk mengumpulkannya pada satu tempat. Kami mendapatkan peringatan
keras dari Nabi untuk tidak memperlakukannya dengan buruk."
Sayid Murtadha, ulama besar Syi'ah berkata, "Al-Qur'an dikumpulkan pada
masa Rasulullah saw. sebagaimana bentuknya pada hari ini".
Thabarani dan Ibnu 'Asakir menukil dari Syi'ah bahwa enam orang dari
Anshar mengumpulkan Al-Qur'an pada masa Nabi saw. Qatadah bercerita,
"Aku pernah bertanya kepada Anas, 'Siapakah yang mengumpulkan Al-Qur'an
pada masa Nabi saw.?' Ia menjawab, 'Empat orang dan mereka semua berasal
dari Anshar: Ubay bin Ka'b, Muadz, Zaid bin Tsabit, dan Abu Zaid.'"
Masih lagi riwayat yang lain. Jika kita menukilnya di sini, pembahasan
kita akan melebar.
Lebih dari itu, selain hadis-hadis yang terdapat di dalam buku-buku
referensi Ahli Sunnah dan Syi'ah, pemilihan nama Fâtihatul Kitâb untuk
surat Al-Hamd -sebagaimana yang telah kami singgung di atas- merupakan
saksi hidup untuk membuktikan hal ini.
Pertanyaan
Pertanyaan yang muncul di sini ialah bagaimana pendapat ini dapat
dipercaya, sementara di kalangan sekelompok ulama terkenal tersebar
pendapat yang menyatakan bahwa Al-Qur'an dikumpulkan pasca wafatnya
Rasulullah saw. (melalui Ali a.s. atau orang lain)?
Untuk menjawab pertanyaan ini, harus dijelaskan bahwa Al-Qur'an yang
dikumpulkan oleh Ali a.s. bukan Al-Qur'an itu sendiri. Akan tetapi,
kumpulan dari Al-Qur'an, tafsir, dan asbâbun nuzul ayat-ayatnya.
Tentang Al-Qur'an yang dikumpulkan oleh Utsman, hal itu hanyalah sebuah
perintah darinya untuk menyatukan penulisan Al-Qur'an disertai dengan
bacaan dan harakat demi menghindari perbedaan antarbacaan (qirâ'ah).
Akan tetapi, desakan sekelompok orang bahwa Al-Qur'an tidak dikumpulkan
pada masa Nabi saw. dan kebanggaan ini sudah menjadi hak Utsman atau
khalifah pertama, barangkali hanya bertujuan menciptakan keutamaan
semata baginya. Oleh karena itu, setiap bentuk keutamaan ini dinisbahkan
kepada orang yang dinukilkan dalam riwayat tersebut.
Pada dasarnya, bagaimana mungkin dapat dipercaya Nabi saw. menyepelekan
pekerjaan teramat penting ini? Padahal, beliau sangat menaruh perhatian,
bahkan terhadap pekerjaan-pekerjaan kecil sekalipun. Bukankah Al-Qur'an
ini merupakan undang-undang dasar umat Islam, kitab agung pendidikan
dan pengajaran, pondasi seluruh program-program Islam dan akidahnya?
Apakah tidak dikumpulkannya Al-Qur'an pada masa Nabi saw. tidak
mengandung resiko penyepelean terhadap sebagian Al-Qur'an dan atau
munculnya perbedaan di kalangan muslimin?
Di samping itu, hadis masyhur "Tsaqalain" yang dinukil oleh Ahli Sunnah
dan Syi'ah bahwa Nabi saw. bersabda, "Telah aku tinggalkan dua pusaka
berharga di antara Kamu: Kitab Allah dan 'Itrahku", menunjukkan bahwa
Al-Qur'an merupakan sebuah kitab yang telah dikumpulkan.
Apabila kita meneliti riwayat-riwayat yang menceritakan pengumpulan
Al-Qur'an oleh beberapa sahabat di bawah pengawasan Nabi saw. dengan
jumlah pengumpul yang berbeda-beda, tentu hal itu tidak akan menimbulkan
polemik. Barangkali setiap riwayat tersebut memperkenalkan beberapa
orang dari para pengumpul tersebut.
51. Mengapa Haram Hukumnya Memberikan Al-Qur'an kepada Orang Kafir?
Memang, tidak diperkenankan memberikan Al-Qur'an kepada nonmuslim yang
akan merongrong kehormatannya. Akan tetapi, sekiranya kita tahu bahwa
seorang nonmuslim ingin melakukan penelitian terhadap Islam dan ia
hendak mengkaji dan mempelajari Al-Qur'an dengan sungguh-sungguh, maka
tidak hanya diperbolehkan memberikan kitab ini, bahkan boleh jadi
hukumnya adalah wajib. Maksud mereka yang melarang pemberian tersebut
berdasarkan tujuan selain ini.
Oleh karena itu, institusi-institusi besar Islam menuntut supaya
Al-Qur'an diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia. Dan untuk
penyebaran dakwah Islam, Al-Qur'an diberikan kepada mereka yang sedang
berusaha untuk mencari kebenaran dan dahaga akan hakikat.
CATATAN KAKI:
Tafsir Nemûneh, jilid 17, hal. 381.
Sebuah eulogi (pujian) yang diberikan kepada seorang Arab-pen..
Majma' al-Bayân, jilid 10, surat al-Muddatstsir.
Dinukil dari permulaan buku Sâzemânha-ye Tamaddun-e Emperâtur-e Islâm.
Idem, hal. 114.
Idem, hal. 91
Dari buku 'Uzr-e Taqsiri beh Pishgâh-e Muhammad wa Qur'ân.
Al-Mu'jizah al-Khâlidah, sesuai nukilan dari kitab Qur'an Bar Farâz-e A'sâr.
Pishraft-e Sari'-e Islam dalam pembahasan ihwal mukjizat al-Qur'an disadur dari buku Qur'ân va ?khirin Payâmbar.
Qur'ân wa ?khirîn Payâmbar, hal. 309; Tafsir Nemûneh, j ilid 4, hal. 28.
Tafsir Nemûneh, jilid 9, hal. 42.
Tafsir fî Zhilâl Al-Qur'an, jilid 5, hal. 282.
Tafsir Nemûneh, jilid 11, hal. 410.
Tafsir Nemûneh, jilid 1, hal. 210.
Redaksi asli riwayat ini adalah "Wantalaq 'Ali as fa jama'ahu fî
tsubûtin ashfar tsumma khatama 'alaih". Lihat Târikh Al-Qur'ân Abu
'Abdillâh Zanjâni, hal. 24.
Majma' al-Bayân, jilid 1, hal. 15.
Muntakhab Kanz al-'Ummâl, jilid 2, hal. 52.
Shahîh Bukhâri, jilid 6, hal. 102.
Tafsir Nemûneh, jilid1, hal. 8.
Idem, jilid 19, hal. 417. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar