Hanya sedikit individu yang tidak mempertanyakan pertanyaan ini kepada
dirinya sendiri atau kepada orang lain. Setiap saat terdapat kelompok
manusia yang senantiasa lahir di dunia ini, kemudian diikuti oleh
kelompok-kelompok lain yang meninggal dunia. Apakah sebenarnya tujuan
dari kedatangan dan kepergian ini?
Seandainya kita, manusia, tidak hidup di bumi ini, kira-kira bagian alam
manakah yang akan rusak? Dan apakah masalah yang akan timbul? Apakah
kita perlu untuk mengetahui; mengapa kita datang dan pergi? Dan untuk
mengetahui makna dari semua ini, apakah kita punya kemampuan untuk itu?
Dan beribu pertanyaan lain sebagai konsekuensi dari
pertanyaan-pertanyaan semacam ini akan memenuhi pikiran manusia.
Setiap kali kaum materialis mengutarakan pertanyaan semacam ini,
sepertinya belum ada jawaban (yang dapat memuaskan). Karena, alam materi
tidak memiliki akal dan perasaan sama sekali sehingga ia dapat memiliki
sebuah tujuan. Dengan alasan inilah, mereka telah meloloskan diri dari
persoalan ini dan meyakini bahwa alam penciptaan adalah nihil dan tak
bertujuan. Dan betapa sangat menyedihkan apabila manusia melangsungkan
hidupnya di seluruh bidang seperti pendidikan, usaha dan kerja, makanan,
penyembuhan, kesehatan, olah raga, dan lain sebagainya dengan tujuan
yang pasti dan dengan program yang sangat detail, akan tetapi seluruh
(sistem) kehidupan (sebagai sebuah kesatuan) yang ada di alam semesta
ini adalah nihil dan tidak mempunyai tujuan sama sekali.
Oleh karena itu, bukanlah suatu hal yang mengherankan apabila sebagian
mereka setelah melakukan perenungan terhadap persoalan ini, merasa puas
dengan kehidupan yang nihil dan tanpa tujuan ini, dan akhirnya
mengakhiri hidupnya dengan melakukan bunuh diri.
Akan tetapi, ketika pertanyaan ini dipertanyakan oleh seorang penyembah
Tuhan kepada dirinya sendiri, ia tidak akan pernah menemui jalan buntu.
Karena dari satu sisi, ia tahu bahwa pencipta dunia ini adalah
Mahabijaksana dan pastilah apa yang Dia ciptakan mempunyai sebuah hikmah
yang luar biasa, walaupun kita tidak tahu akan hal tersebut. Dan dari
sisi lain, ketika ia memperhatikan anggota-anggota tubuhnya, ia akan
menemukan tujuan dan filsafat dari setiap bagiannya. Bukan hanya pada
anggota-anggota badan, seperti jantung, otak, pembuluh darah, dan urat
saraf saja, bahkan anggota-anggota badan lainnya, seperti kuku, bulu
mata, garis-garis sidik jari, lekukan telapak tangan dan kaki,
masing-masing mempunyai filsafat yang saat ini telah diketahui oleh
setiap orang.
Betapa konyol jika kita meyakini kebertujuan semua anggota itu, tetapi
keberadaan alam semesta (sebagai sebuah kesatuan) tidak mempunyai
tujuan?
Betapa bodoh jika kita meyakini bahwa setiap bangunan di sebuah kota
mempunyai tujuan dan filsafat, akan tetapi bangunan-bangunan itu (secara
keseluruhan) tidak tidak memiliki tujuan sama sekali?
Apakah mungkin seorang insinyur membangun sebuah bangunan besar yang
seluruh ruangan, koridor, pintu, jendela, kolam, dekor, dan lain
sebagainya, masing-masing dirancangnya dengan maksud dan tujuan
tertentu, tetapi seluruh bangunan itu (sebagai sebuah kesatuan) tidak
mempunyai tujuan sama sekali?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang memberikan kepercayaan kepada seorang
manusia mukmin bahwa penciptaan dirinya mempunyai tujuan yang sangat
agung, yang untuk memahami hal tersebut, ia harus berusaha dan
memanfaatkan kekuatan ilmu serta akal.
Ironisnya, para penganut Nihilisme; ketakbermaknaan penciptaan ini malah
masuk ke dalam semua bidang ilmu-ilmu alam untuk menginterpretasikan
beragam fenomena yang ada untuk mencari suatu tujuan, dan mereka tidak
bisa duduk tenang kecuali telah mendapatkan apa yang mereka maksudkan.
Bahkan, mereka pun tidak bersedia menerima kehadiran sebuah wujud berupa
butiran begitu kecil yang berada dalam bagian badan manusia tanpa
mempunyai sebuah aktifitas pun, dan mungkin saja mereka membutuhkan
waktu bertahun-tahun di dalam laboratorium penelitian untuk menemukan
filsafat dari satu wujud ini. Akan tetapi, ketika sampai pada penciptaan
manusia, mereka dengan tegas mengatakan bahwa penciptaannya tidak
memiliki tujuan sama sekali.
Betapa sebuah kontroversial yang sangat menakjubkan!
Bagaimanapun, iman pada hikmah Allah swt. dari satu sisi, dan beragam
filsafat yang terdapat pada setiap bagian dari wujud insan pada sisi
lain akan membentuk diri kita menjadi seorang mukmin. Hal ini merupakan
sebuah tujuan agung dari penciptaan manusia.
Saat ini kita harus mencoba mencari apa tujuan tersebut, dan sejauh
kemampuan kita akan mencoba menyingkapnya dan setelah itu, kita akan
berusaha melangkahkan kaki ke arahnya secara bertahap. Perhatian
terhadap satu masalah prinsip akan mampu membentuk pelita yang menerangi
jalan yang gelap ini.
Kita senantiasa mempunyai tujuan dalam setiap apa yang kita lakukan.
Tujuan tersebut biasanya dalam rangka menutupi kekurangan dan kebutuhan
yang kita miliki. Bahkan, apabila kita berkhidmat kepada orang lain atau
menuntun tangan seseorang yang mengalami kesulitan dan memberikan jalan
keluar dari kesulitan yang sedang dialaminya, atau bahkan dengan
melakukan kesetiaan dan ketakwaan, semua ini pun merupakan sebuah cara
untuk memenuhi kekurangan-kekurangan maknawi yang ada pada diri kita
sehingga kebutuhan-kebutuhan suci kita akan menjadi tercukupi.
Dan karena kita sering membandingkan sifat dan perbuatan Ilahi dengan
sifat dan perbuatan diri kita, mungkin saja akan memunculkan sebuah
pertanyaan; adakah kekurangan yang dimiliki oleh Allah swt. sehingga
menciptakan kita untuk menutupi kekurangan itu? Dan apabila di dalam
salah satu ayat Al-Qur'an kita menemukan bahwa tujuan dari penciptaan
manusia adalah untuk melakukan ibadah dan penghambaan, lalu apa perlunya
Dia membutuhkan penghambaan dari kita?
Cara berpikir yang demikian ini muncul lantaran komparasi sifat Khaliq
dengan makhluk, dan antara yang Wajib dengan yang mungkin.
Wujud kita adalah sebuah wujud yang terbatas, maka kita harus melakukan
usaha untuk menutupi kekurangan yang ada dan semua amalan kita dalam
rangka memenuhi kekurangan ini. Akan tetapi, pada sebuah wujud yang
tanpa batas, penjelasan ini tidaklah bisa diterima. Kita harus mencari
tujuan perbuatan-Nya dari selain wujud-Nya.
Ia adalah Sang Awal dan Sumber kenikmatan. Segenap makhluk berada dalam
genggaman kepedulian, perhatian dan pemeliharaan-Nya. Dia membawa mereka
dari kekurangan kepada kesempurnaan. Inilah tujuan hakiki dari
penghambaan ('ubûdiyah) kita, dan inilah filsafat dari ibadah dan doa
kita; dimana semua itu merupakan rangkaian pendidikan bagi kesempurnaan
kita.
Dengan demikian, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah untuk kesempurnaan wujud kita.
Pada prinsipnya, penciptaan merupakan satu langkah menuju kesempurnaan
yang sangat agung yang akan membuat ketiadaan menjadi sebuah wujud; dari
tidak ada menjadi ada, dan dari nol menuju angka.
Dan setelah tuntasnya proses kesempurnaan yang agung ini, tahapan
kesempurnaan yang lain akan dimulai dan seluruh program agama dan Ilahi
akan berada dalam rute ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar