Total Tayangan Halaman

Minggu, 05 Agustus 2012

SUNNI DAN SYIAH

Sunni-Syiah dalam Tinjauan
Sunni-Syiah dalam Tinjauan

PENGERTIAN SUNNI-SYIAH
Sunni adalah kependekan dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah atau Ahlus-Sunnah wal Jama’ah atau kadang juga lebih sering disingkat Ahlul-Sunnah saja. Istilah ini memiliki pengertian sebagai kumpulan dari orang-orang yang menganut sunnah Nabi Muhammad Saw seperti yang sudah dilakukan oleh kelompok para sahabat dimasa lalu. Dalam prosesnya, istilah tersebut identik dengan manhaj atau madzhab para sahabat Rasul.
Syiah berarti pembela.
Dalam hal ini maksudnya adalah pembela keluarga atau Ahli Bait Nabi Muhammad.
Ini mengacu pada sekelompok orang yang menjadikan dirinya selaku pembela para keluarga Nabi Muhammad dari dinasti Fatimah dan Ali bin Abi Thalib atas kezaliman dinasti Muawiyah.
Pada proses perjalanan waktu, kelompok ini membentuk madzhab atau komunitas tersendiri. Sama seperti halnya kaum Sunni. Mereka justru membuat agama menjadi parsial, sesuai dengan kelompok mereka masing-masing.
Tidak ada yang salah dengan kedua istilah tersebut, Syiah dan Sunni merupakan istilah yang terbentuk setelah ajaran Islam selesai diwahyukan, keduanya pada dasarnya merupakan polarisasi pemahaman yang berawal dari pemilihan pemimpin umat Islam pasca kematian Nabi yang akhirnya meluas sampai pada tingkat penyelewengan dimasing-masing pemahaman oleh generasi-generasi sesudahnya.
Sudah sampai saatnya masing-masing kita melakukan koreksi diri terhadap apa yang selama ini terdoktrinisasi, bahwa pelurusan sejarah serta pentaklidan buta sudah saatnya dilakukan.
Isyu perpecahan didalam Islam memang bukan hal yang baru dan rasanya ini sesuatu yang wajar karena setiap orang bisa memahami ajaran Islam dari sudut pandang keilmuan yang berbeda, apalagi Islam mencakup pengajaran semua bangsa dan daerah yang masing-masingnya memiliki corak budaya, tradisi serta situasi yang beraneka ragam sebagai salah satu sifat universalismenya.
Semua perbedaan tersebut seharusnya tidak dijadikan sekat dalam mengembangkan rasa kebersaudaraan dan toleransi beragama, sebagaimana sabda Nabi sendiri bahwa umat Islam itu bagaikan satu tubuh, semuanya bersaudara yang diikat oleh tali Tauhid, pengakuan ketiadaan Tuhan selain Allah, Tuhan yang satu, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan dalam berbagai bentuk, penafsiran serta sifat apapun.
Karenanya kecenderungan untuk menghakimi pemahaman yang berbeda dari apa yang kita pahami apalagi sampai melekatkan label kekafiran atasnya sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang disampaikan oleh Allah melalui nabi-Nya.
“Barangsiapa bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah, menghadap kiblat kita,
mengerjakan Sholat kita dan memakan hasil sembelihan kita,
maka ia adalah seorang Muslim. Baginya berlaku hak dan kewajiban yang sama
sebagai Muslim lainnya.”
- Riwayat Bukhari -
Maraknya ajaran-ajaran sesat yang terjadi diberbagai belahan dunia akhir-akhir ini memang sewajarnya membuat umat Islam merasa prihatin, terlebih lagi mereka yang menggunakan nama dan tata cara Islam sebagai topeng yang menutupi kesesatannya. ; Akan tetapi kita juga harus mampu bersikap objektif, berpikiran terbuka dan jernih menyikapinya, selama kita belum mengetahui secara jelas seberapa jauh penyimpangan yang dianggap sudah dilakukan oleh mereka maka selama itu pula hendaknya kita menahan diri dari komentar maupun tanggapan yang justru menimbulkan keresahan dimasyarakat.
Saya tidak terikat dengan organisasi keagamaan manapun atau juga madzhab apapun yang ada, secara plural saya menganggap semuanya mengajarkan kebaikan dan dari masing-masing kebaikan yang diajarkan itu saya memetik nilai-nilai kebenaran yang sesuai dengan nash kitab suci serta objektifitas berpikir.
Islam adalah satu, semuanya bersumber dari ajaran yang satu, yaitu Yang Maha Kuasa yang kemudian diturunkan kepada kita melalui salah seorang hamba terkasih-Nya bernama Muhammad bin Abdullah ditanah Arab pada abad ke-6 masehi.
Jika Islam adalah satu, maka umatnya pun adalah satu dan ini konsekwensi logis darinya, karena itu Nabi bersabda :
“Dari Miqdad bin ‘Amr ; ia pernah bertanya kepada Nabi : Bagaimana jika ia berperang dengan kaum kafir, lalu berkelahi dengan seorang diantaranya hingga tangannya terputus dan dalam satu kesempatan sang musuh berhasil dijatuhkan lalu saat akan dibunuhnya dia berseru “Aslamtu lillah” – aku Islam kepada Allah – namun masih dibunuhnya, apa jawab Nabi ?
- Jangan kau bunuh dia, jika kau bunuh dia maka sesungguhnya dia sudah berada dalam kedudukanmu sebelum engkau membunuhnya, yaitu seorang Muslim, sedangkan kamu berada dalam posisinya sebelum dia mengucapkan kalimat itu (yaitu kafir).; lalu dijawab oleh Miqdad bahwa pernyataan orang itu hanya untuk menghindari pembunuhan saja, jawab Nabi lagi, bahwa dirinya diutus Allah tidak untuk menghakimi hati seseorang.”
“Islam adalah kesaksian bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan pembenaran kepada Rasulullah Saw, atas dasar itulah nyawa manusia dijamin keselamatannya. Dan atas dasar itu juga berlangsung pernikahan dan pewarisan serta terbina kesatuan kaum Muslimin.” – Riwayat Sama’ah
“Nabi bersabda : bahwa Jibril datang kepada beliau dan mengabarkan tentang keutamaan seseorang yang meninggal dunia dalam keadaan bertauhid secara murni maka ia akan masuk syurga kendati ybs pernah berzina dan mencuri.” – Riwayat Bukhari dari Abu Dzar
Kita semua tahu bagaimana vitalnya posisi dan peranan Ali bin Abu Thalib dikehidupan Nabi dan putrinya Fatimah.
Sejak kecil, Nabi dibesarkan dalam lingkungan keluarga ayahnya dari suku Bani Hasyim yang merupakan salah satu keluarga terpandang dikalangan penduduk Mekkah saat itu. Ketika kakeknya Abdul Muthalib wafat, hak pengasuhan atas diri Nabi pindah ketangan pamannya yang bernama Abu Thalib, dari pamannya inilah Nabi belajar banyak hal mengenai perdagangan dan kejujuran hingga beliau dikenal sebagai al-Amin (orang yang terpercaya) sampai-sampai beliau dipercaya untuk membawa dan menjualkan dagangan sejumlah saudagar hingga kenegri Syam dan bertemu dengan Khadijjah yang kelak dinikahinya.
Dimasa awal turunnya wahyu, selain istrinya, orang kedua yang mengimani kenabiannya adalah Ali putra pamannya, Abu Thalib yang dengan beraninya mengumumkan keislamannya secara terbuka kepada keluarganya.
Dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Hidup Muhammad”, hal 89, Muhammad Husain Haekal menggambarkan pernyataan kesetiaan Ali terhadap Nabi sebagai berikut :
“Tuhan menjadikanku tanpa aku perlu berunding dengan Abu Thalib, apa gunanya aku harus berunding dengannya untuk menyembah Allah ?”; selanjutnya pada halaman 92 juga dituliskan pernyataan Ali yang lain : “Rasulullah, aku akan membantumu, aku adalah lawan siapa saja yang menentangmu”.
Meskipun demikian, Abu Thalib sendiri menurut riwayat tetap pada keyakinan lamanya sebagai penyembah berhala, bertolak belakang dengan sikap putranya. Namun perbedaan keyakinan antara mereka tidak membuat Abu Thalib melepaskan perlindungan dan kasih sayangnya pada diri Nabi, Ali dan Khadijjah, beliaulah yang sering melakukan pembelaan manakala ada pihak Quraisy yang bermaksud mencelakakannya dan ini terus dilakoninya sampai ia wafat.
Ali bin Abu Thalib telah ikut bersama Nabi semenjak usia anak-anak, jauh sebelum Nabi bertemu dengan para sahabat lainnya, karena itu juga mungkin beliau digelari Karamallahuwajhah (yaitu wajah yang disucikan Allah dari penyembahan berhala).
Allah sendiri melalui wahyu-Nya telah menekankan kepada Nabi agar terlebih dahulu menyerukan ajaran Islam kepada keluarga terdekatnya :
Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat, Limpahkanlah kasih sayang terhadap orang-orang beriman yang mengikutimu; Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah:”Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan”. – Qs. Asy-Syu’araa 26:214-216
Seruannya memang di-ikuti oleh keluarganya dimulai oleh Khadijjah istrinya, Ali bin Abu Thalib sepupu sekaligus menantunya kelak, paman sesusuannya, Hamzah bin Abdul Muthalib, Ja’far bin Abu Thalib dan pamannya Abbas bin Abdul Muthalib.
Olehnya tidak menjadi suatu kesangsian lagi bila Ali mengenal betul sifat dan watak yang ada pada diri Nabi sehingga tidak ada alasan baginya untuk menolak perintah maupun membantah keputusannya, terlebih dalam kapasitasnya selaku seorang Rasul Tuhan. ; Jelas dalam hal ini sikap Ali bin Abu Thalib tidak bisa disejajarkan dengan sikap beberapa sahabat yang kritis dan vokal terhadap beberapa pendapat Nabi, bisa dimaklumi bahwa notabene mereka mengenal Nabi tidak lebih lama dari Ali bin Abu Thalib selain juga ditentukan oleh faktor watak dan kondisi lain yang melatar belakanginya.
Dimalam hijrahnya ke Madinah, Nabi meminta Ali bin Abu Thalib menggantikan posisi tidurnya dipembaringan dengan mengenakan mantel hijaunya dari Hadzramut, menyongsong rencana pembunuhan yang sudah disusun oleh para kafir Quraisy yang saat itu berada disekitar kediaman Nabi.
Tindakan Nabi ini seolah mengisyaratkan bahwa beliau berkeinginan untuk menjadikan sepupunya itu pengganti dirinya dikala hidup dan mati.
Saat Nabi mempersatukan kaum Muhajirin dan Anshar dikota Madinah, Nabi sendiri justru mengangkat Ali bin Abu Thalib sebagai saudaranya (padahal keduanya sama-sama Muhajirin), berbeda misalnya dengan Abu Bakar yang disaudarakan dengan Kharija bin Zaid, Umar bin Khatab dengan ‘Itban bin Malik al-Khazraji, bahkan pamannya sendiri yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib dipersaudarakan dengan Zaid, mantan budaknya.
Persaudaraannya ini sering di-ingatkan oleh Nabi dalam hadis-hadisnya bahwa kedudukannya terhadap Ali laksana kedudukan Musa terhadap Harun (bukankah dalam al-Qur’an surah al-A’raaf 7 : 142 disebutkan bahwa Harun menjadi pengganti Musa tatkala beliau berangkat ke Sinai untuk mendapat wahyu ? )
Dari Sa’ad bin Abu Waqqas : “Rasulullah Saw mengatakan kepada Ali : Engkau dengan aku serupa dengan kedudukan Harun dengan Musa, tetapi sesungguhnya tidak ada Nabi sesudah aku” – Hadis Riwayat Muslim
Saat semua sahabat utamanya mengajukan lamaran untuk menyunting Fatimah sebagai istri mereka, Nabi menolaknya dan menikahkan putri tercintanya itu dengan Ali bin Abu Thalib.
Tatkala Hisyam bin Mughirah meminta izin kepada Nabi agar memperbolehkan mengawinkan anak perempuannya dengan Ali, Nabi juga menolaknya dan bersabda :
“Aku tidak mengizinkan, sekali lagi aku tidak mengizinkan dan sekali lagi aku tidak mengizinkannya kecuali bila Ali bin Abu Thalib mau menceraikan puteriku dan kawin dengan anak-anak perempuan Hisyam, karena sesungguhnya, puteriku darah dagingku, menyusahkanku apa yang menyusahkannya dan menyakitkanku apa saja yang menyakitkannya” – Riwayat Muslim
Ali juga merupakan satu-satunya orang yang diserahi panji Islam dalam peperangan Khaibar oleh Nabi yang menurut beliau bahwa panji itu hanya layak bagi laki-laki yang benar-benar mencintai Allah dan Rasul-Nya lalu ditangannya Allah akan memberikan kemenangan.; Padahal Umar bin Khatab sangat berambisi agar tugas itu diserahkan kepadanya. (Riwayat Muslim dan Bukhari)
Saat akan terjadi Mubahalah antara Nabi dengan para pendeta dari Najran, beliau memanggil Ali, Fatimah serta kedua cucunya yaitu Hasan dan Husin untuk mendampinginya baru para istri beliau (ini ditegaskan juga dalam surah 3 Ali Imron ayat 61 yang mendahulukan penyebutan anak-anak Nabi dari istri-istrinya, ditambah riwayat dari Imam Muslim bahwa saat itu Nabi menunjuk Ali, Fatimah, Hasan dan Husin sebagai keluarganya).
Dalam haji terakhirnya disuatu daerah bernama ghadir khum, beberapa riwayat menyebutkan bahwa Nabi sempat menyinggung tentang regenerasi kepemimpinan umat sepeninggal beliau dan mengumumkan Ali sebagai penerusnya.; dan memperingatkan kaum Muslimin agar memperhatikan keluarga beliau sepeninggalnya kelak, ucapan ini sampai diulangnya sebanyak 3 kali, dan Zaid bin Arkam menyatakan bahwa yang dimaksud oleh Nabi adalah keluarga Ali, ‘Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga ‘Abbas. – Riwayat Muslim
Menjelang akhir hayatnya, Nabi menugaskan sebagian besar sahabat utamanya termasuk Abu Bakar dan Umar kedalam satu ekspedisi ke daerah Ubna, suatu tempat di Syiria dibawah komando Usamah bin Zaid bin Haritsah, sementara Ali sendiri diminta untuk tetap menemani hari-hari terakhirnya dikota Madinah serta memberinya wasiat agar mau mengurus jenasah dan pemakamannya bila waktunya tiba.
Ini juga tersirat tentang keinginan Nabi menjadikan dan memantapkan posisi Ali sebagai pengganti beliau memimpin umat, dijauhkannya para sahabat senior lain dari kota Madinah agar ketika mereka kembali tidak akan terjadi keributan seputar suksesi kepemimpinan.
Hanya sayang rencana Nabi kandas karena sebagian sahabat senior merasa enggan berada dalam komando Usamah bin Zaid yang masih relatif remaja sampai Nabi marah dan mempertanyakan kredebilitas dirinya dihadapan mereka mengenai penunjukan Usamah itu.
Pada akhirnya kehendak Nabi harus mengalah dengan kehendak Tuhan yang sudah mentakdirkan jalan lain, tidak ubah seperti keinginan Isa al-Masih agar cawan penyaliban dihindarkan darinya namun Tuhan tetap menginginkan semuanya terjadi sesuai mau-Nya.
Nabi wafat dipelukan Ali setelah membisikkan kepada Fatimah agar tidak bersedih sepeninggalnya karena dalam waktu tidak berapa lama setelah kematiannya, putrinya itupun akan menyusulnya.
Ali juga yang memandikan jenasah Nabi bersama Ibnu Abbas dan mengurus pemakamannya, saat yang sama sekelompok orang disaat itu malah meributkan suksesi kepemimpinan dan akhirnya menobatkan Abu Bakar selaku Khalifah penerus Nabi dalam memimpin umat serta melupakan semua peran dan posisi Ali dihadapan Nabi.
Inilah awal dari isyu perpecahan ditubuh Islam, sebagai bentuk protes terhadap perbuatan mereka ini, Ali, Fatimah dan sejumlah sahabat lainnya menolak mengakui kepemimpinan Abu Bakar, lebih-lebih lagi setelah sang Khalifah menolak memberikan tanah Fadak yang diwariskan Nabi kepada Fatimah hasil rampasan perang Khaibar.; Padahal semua orang tahu, bahwa menyakiti Fatimah sama seperti menyakiti Nabi, namun mereka mengabaikannya hingga akhirnya Fatimah wafat dalam keadaan tetap mendiamkan Abu Bakar dan menolak berbaiat kepada pemerintahannya.
Ali bin Abu Thalib memakamkan jenasah istrinya disuatu tempat pada malam harinya secara diam-diam dan hanya dihadiri oleh para simpatisan dan pengikut mereka karena tidak ingin dihadiri oleh pihak yang berseberangan dengannya.
Menyangkut perseteruan antara Ahli Bait dalam hal ini adalah Fatimah dan Ali bin Abi Thalib dengan Abu Bakar, maka untuk perbandingan yang jujur, saya coba hadirkan nilai-nilai kebenaran sejarah tersebut dengan menggunakan literatur yang dipercayai oleh kelompok sunni ( Ahli sunnah wal Jamaah ).
Dalam hal ini saya langsung merujuk ke Shahih Bukhari yang dianggap paling otentik dibanding yang lainnya …
Shahih ini saya nukilkan dari the Hadith Software versi 1.0 dengan modul database Shahi Bukhari yang bisa anda download dari situs http://www.islamasoft.co.uk/downloads.html
Hadis masih dalam bahasa inggris ( sesuai softwarenya ) sengaja tidak saya terjemahkan agar lebih menambah obyektifitas literatur yang saya bawa …saya juga sengaja memberikan referensi online softwarenya agar anda yang penasaran bisa melakukan cross check sendiri atas apa yang saya tuliskan disini.
Shahi Bukhari Vol 4, Book 53. One-fifth Of Booty To The Cause Of All…. Hadith 325.
Narrated By ‘Aisha: (Mother of the believers) After the death of Allah ‘s Apostle FATIMA the daughter of Allah’s Apostle asked Abu Bakr As-Siddiq to give her, her share of inheritance from what Allah’s Apostle had left of the Fai (i.e. booty gained without fighting) which Allah had given him. Abu Bakr said to her, “Allah’s Apostle said, ‘Our property will not be inherited, whatever we (i.e. prophets) leave is Sadaqa (to be used for charity).” FATIMA, the daughter of Allah’s Apostle got angry and stopped speaking to Abu Bakr, and continued assuming that attitude till she died. FATIMA remained alive for six months after the death of Allah’s Apostle.
Shahi Bukhari Vol 5, Book 59. Military Expeditions Led By The Prophe…. Hadith 546.
Narrated By ‘Aisha: FATIMA the daughter of the Prophet sent someone to Abu Bakr (when he was a caliph), asking for her inheritance of what Allah’s Apostle had left of the property bestowed on him by Allah from the Fai (i.e. booty gained without fighting) in Medina, and Fadak, and what remained of the Khumus of the Khaibar booty. On that, Abu Bakr said, “Allah’s Apostle said, “Our property is not inherited. Whatever we leave, is Sadaqa, but the family of (the Prophet) Muhammad can eat of this property.’ By Allah, I will not make any change in the state of the Sadaqa of Allah’s Apostle and will leave it as it was during the lifetime of Allah’s Apostle, and will dispose of it as Allah’s Apostle used to do.”
So Abu Bakr refused to give anything of that to FATIMA. So she became angry with Abu Bakr and kept away from him, and did not task to him till she died. She remained alive for six months after the death of the Prophet. When she died, her husband ‘Ali, buried her at night without informing Abu Bakr and he said the funeral prayer by himself.
Padahal … apa yang disabdakan oleh Nabi untuk puterinya itu ?
Shahi Bukhari Vol 5, Book 57. Companions Of The Prophet. Hadith 061.
Narrated By Al-Miswar bin Makhrama: Allah’s Apostle said, “FATIMA is a part of me, and he who makes her angry, makes me angry.”
Shahi Bukhari Vol 5, Book 57. Companions Of The Prophet. Hadith 111.
Narrated By Al-Miswar bin Makhrama: Allah’s Apostle said, “FATIMA is a part of me, and whoever makes her angry, makes me angry.”
Conclusion : Saat Abu Bakar telah membuat Fatimah menjadi marah dan kecewa bahkan hingga beliau wafat tidak mau berbaiat dan menolak melakukan komunikasi apapun dengan Abu Bakar dan kelompoknya …. lebih jauh lagi dari hadis diatas puteri kesayangan Nabi inipun seolah tidak rela jasad tak bernyawanya dilihat oleh Abu Bakar dan disholatkan oleh beliau ….. sungguh mereka sudah terkena apa yang disabdakan oleh Nabi … dalam hadis Bukhari no 061 dan 111 diatas.
Fatimah adalah bagian dari diri Rasul, siapapun yang membuatnya murka maka sesungguhnya orang itu telah membuat Rasul murka. Ada diantara anda yang mau mendapat murka Rasul ?
Orang yang telah sampai hati bersikap seperti ini sama artinya telah durhaka kepada Rasul, sebab telah melanggar apa yang beliau katakan.
Artinya apa ?
Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah:”Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan”. -Qs. 26:216
Menarik, ada hadis lainnya :
Shahi Bukhari Vol 6, Book 60. Prophetic Commentary On The Qur’an (Ta…. Hadith 149.
Narrated By Ibn Abbas: Allah’s Apostle delivered a sermon and said, “O people! You will be gathered before Allah bare-footed, naked and not circumcised.” Then (quoting Quran) he said: “As We began the first creation, We shall repeat it. A promise We have undertaken: Truly we shall do it…” (21.104)
The Prophet then said, “The first of the human beings to be dressed on the Day of Resurrection, will be Abraham. Lo! Some men from MY FOLLOWERs will be brought and then (the angels) will drive them to the left side (Hell-Fire). I will say. ‘O my Lord! (They are) my companions!’ Then a reply will come (from Almighty), ‘You do not know what they did after you.’ I will say as the pious slave (the Prophet Jesus) said: And I was a witness over them while I dwelt amongst them. When You took me up. You were the Watcher over them and You are a Witness to all things.’ (5.117) Then it will be said, “These people have continued to be apostates since you left them.”
Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. -Qs. an-Nisa’ 4:14
Wallau’alam … kembali lagi kepada anda masing-masing bagaimana memahami hal ini.
Bagaimana sekarang dengan kisah keributan di Saqifah seputar pemilihan Abu Bakar ?
Bukhari bercerita … dalam Vol 9, Book 88. Afflictions And The End Of The World. Hadith 227.
allegiance was given, are to be supported, lest they both should be killed.
And no doubt after the death of the Prophet we were informed that the Ansar disagreed with us and gathered in the shed of Bani Sa’da. ‘Ali and Zubair and whoever was with them, opposed us, while the emigrants gathered with Abu Bakr. I said to Abu Bakr, ‘Let’s go to these Ansari brothers of ours.’ So we set out seeking them, and when we approached them, two pious men of theirs met us and informed us of the final decision of the Ansar, and said, ‘O group of Muhajirin (emigrants) ! Where are you going?’ We replied, ‘We are going to these Ansari brothers of ours.’ They said to us, ‘You shouldn’t go near them.
Carry out whatever we have already decided.’ I said, ‘By Allah, we will go to them.’ And so we proceeded until we reached them at the shed of Bani Sa’da. Behold! There was a man sitting amongst them and wrapped in something. I asked, ‘Who is that man?’ They said, ‘He is Sa’d bin ‘Ubada.’ I asked, ‘What is wrong with him?’ They said, ‘He is sick.’
After we sat for a while, the Ansar’s speaker said, ‘None has the right to be worshipped but Allah,’ and praising Allah as He deserved, he added, ‘To proceed, we are Allah’s Ansar (helpers) and the majority of the Muslim army, while you, the emigrants, are a small group and some people among you came with the intention of preventing us from practicing this matter (of caliphate) and depriving us of it.’
When the speaker had finished, I intended to speak as I had prepared a speech which I liked and which I wanted to deliver in the presence of Abu Bakr, and I used to avoid provoking him. So, when I wanted to speak, Abu Bakr said, ‘Wait a while.’ I disliked to make him angry. So Abu Bakr himself gave a speech, and he was wiser and more patient than I. By Allah, he never missed a sentence that I liked in my own prepared speech, but he said the like of it or better than it spontaneously. After a pause he said, ‘O Ansar! You deserve all (the qualities that you have attributed to yourselves, but this question (of Caliphate) is only for the Quraish as they are the best of the Arabs as regards descent and home, and I am pleased to suggest that you choose either of these two men, so take the OATH OF ALLEGIANCE to either of them as you wish. And then Abu Bakr held my hand and Abu Ubada bin Abdullah’s hand who was sitting amongst us.
I hated nothing of what he had said except that proposal, for by Allah, I would rather have my neck chopped off as expiator for a sin than become the ruler of a nation, one of whose members is Abu Bakr, unless at the time of my death my own-self suggests something I don’t feel at present.’
And then one of the Ansar said, ‘I am the pillar on which the camel with a skin disease (eczema) rubs itself to satisfy the itching (i.e., I am a noble), and I am as a high class palm tree! O Quraish. There should be one ruler from us and one from you.’
Then there was a hue and cry among the gathering and their voices rose so that I was afraid there might be great disagreement, so I said, ‘O Abu Bakr! Hold your hand out.’ He held his hand out and I pledged allegiance to him, and then all the emigrants gave the Pledge of allegiance and so did the Ansar afterwards. And so we became victorious over Sa’d bin Ubada (whom Al-Ansar wanted to make a ruler). One of the Ansar said, ‘You have killed Sa’d bin Ubada.’ I replied, ‘Allah has killed Sa’d bin Ubada.’ Umar added, “By Allah, apart from the great tragedy that had happened to us (i.e. the death of the Prophet), there was no greater problem than the allegiance pledged to Abu Bakr because we were afraid that if we left the people, they might give the Pledge of allegiance after us to one of their men, in which case we would have given them our consent for something against our real wish, or would have opposed them and caused great trouble. So if any person gives the Pledge of allegiance to somebody (to become a Caliph) without consulting the other Muslims, then the one he has selected should not be granted allegiance, lest both of them should be killed.”
Ternyata dari literatur Sunni paling otentik pro dan kontra pemilihan Abu Bakar sebagai Khalifah dan juga kerusuhan antar sahabat dihari wafatnya Rasul memang terbukti ada …. ini selaras dengan apa yang kita lihat dalam sumber-sumber Syiah.
Manakala keadaan Madinah semakin memanas, dan beberapa pihak berusaha menghasut terjadinya peperangan antara pihak Ali dan Abu Bakar, sebuah keputusan berdamai diambil oleh Ali demi menjaga persatuan umat dan terciptanya kedamaian.
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah). – Qs. al-Ahzaab 33:6
Berikut sambungan dari hadis Shahi Bukhari Vol 5, Book 59. Military Expeditions Led By The Prophe…. Hadith 546.
When FATIMA was alive, the people used to respect ‘Ali much, but after her death, ‘Ali noticed a change in the people’s attitude towards him. So Ali sought reconciliation with Abu Bakr and gave him an oath of allegiance. ‘Ali had not given the oath of allegiance during those months (i.e. the period between the Prophet’s death and FATIMA’s death). ‘Ali sent someone to Abu Bakr saying, “Come to us, but let nobody come with you,” as he disliked that ‘Umar should come, ‘Umar said (to Abu Bakr), “No, by Allah, you shall not enter upon them alone ” Abu Bakr said, “What do you think they will do to me? By Allah, I will go to them’ So Abu Bakr entered upon them, and then ‘Ali uttered Tashah-hud and said (to Abu Bakr), “We know well your superiority and what Allah has given you, and we are not jealous of the good what Allah has bestowed upon you, but you did not consult us in the question of the rule and we thought that we have got a right in it because of our near relationship to Allah’s Apostle.”
Thereupon Abu Bakr’s eyes flowed with tears. And when Abu Bakr spoke, he said, “By Him in Whose Hand my soul is to keep good relations with the relatives of Allah’s Apostle is dearer to me than to keep good relations with my own relatives. But as for the trouble which arose between me and you about his property, I will do my best to spend it according to what is good, and will not leave any rule or regulation which I saw Allah’s Apostle following, in disposing of it, but I will follow.” On that ‘Ali said to Abu Bakr, “I promise to give you the oath of allegiance in this after noon.” So when Abu Bakr had offered the Zuhr prayer, he ascended the pulpit and uttered the Tashah-hud and then mentioned the story of ‘Ali and his failure to give the oath of allegiance, and excused him, accepting what excuses he had offered; Then ‘Ali (got up) and praying (to Allah) for forgiveness, he uttered Tashah-hud, praised Abu Bakr’s right, and said, that he had not done what he had done because of jealousy of Abu Bakr or as a protest of that Allah had favored him with. ‘Ali added, “But we used to consider that we too had some right in this affair (of rulership) and that he (i.e. Abu Bakr) did not consult us in this matter, and therefore caused us to feel sorry.” On that all the Muslims became happy and said, “You have done the right thing.” The Muslims then became friendly with ‘Ali as he returned to what the people had done (i.e. giving the oath of allegiance to Abu Bakr).
Yah, itulah sikap bijak Ahli Bait Nabi … sebuah keteladanan yang paripurna sebagai buah dari didikan sang guru yang mendapat bimbingan Allah sang empunya semesta alam ini.
sebuah riwayat dari Umar bin Abdul Aziz yang juga berhubungan dengan kasus ini dan sebuah hadis lain dari Abu Daud yang memperlihatkan betapa kasihnya Rasul terhadap diri Fatimah puterinya itu :
Abu Dawud Book 13. Tribute, Spoils, and Rulership. Hadith 2966.
Narrated By Umar ibn Abdul Aziz: Al-Mughirah (ibn Shu’bah) said: Umar ibn AbdulAziz gathered the family of Marwan when he was made caliph, and he said: Fadak belonged to the Apostle of Allah (pbuh), and he made contributions from it, showing repeated kindness to the poor of the Banu Hashim from it, and supplying from it the cost of marriage for those who were unmarried. FATIMAH asked him to give it to her, but he refused.
That is how matters stood during the lifetime of the Apostle of Allah (pbuh) till he passed on (i.e. died). When AbuBakr was made ruler he administered it as the Prophet (pbuh) had done in his lifetime till he passed on. Then when Umar ibn al-Khattab was made ruler he administered it as they had done till he passed on. Then it was given to Marwan as a fief, and it afterwards came to Umar ibn AbdulAziz. Umar ibn AbdulAziz said: I consider I have no right to something which the Apostle of Allah (pbuh) refused to FATIMAH, and I call you to witness that I have restored it to its former condition; meaning in the time of the Apostle of Allah (pbuh).
Abu Dawud Book 28. Combing the Hair. Hadith 4201.
Narrated By Thawban: When the Apostle of Allah (pbuh) went on a journey, the last member of his family he saw was FATIMAH, and the first he visited on his return was FATIMAH. Once when he returned from an expedition she had hung up a hair-cloth, or a curtain, at her door, and adorned al-Hasan and al-Husayn with silver bracelets. So when he arrived, he did not enter. Thinking that he had been prevented from entering by what he had seen, she tore down the curtain, unfastened the bracelets from the boys and cut them off.
They went weeping to the Apostle of Allah (pbuh), and when he had taken them from them, he said: Take this to so and so’s family. Thawban. In Medina, these are my family, and I did not like them to enjoy their good things in the present life. Buy FATIMAH a necklace or asb, Thawban, and two ivory bracelets.
Kondisi ini terus berlangsung hingga wafatnya Umar bin Khatab dan turunnya kredibelitas Usman bin Affan selaku Khalifah ke-3 akibat ulah para keluarganya yang tamak dan haus kekuasaan.
Keterbunuhan Usman bin Affan dan pengangkatan dirinya sebagai Amirul Mukminin membangkitkan dendam lama Quraisy terhadap Bani Hasyim keturunan Nabi, walaupun berakhir dengan baik dan terhormat, tidak urung pertempuran Jamal yang dipimpin langsung oleh ‘Aisyah istri Nabi merupakan awal yang bagus untuk dimanfaatkan oleh Muawiah bin Abu Sofyan dalam mengobarkan pemberontakan terhadap otoritas kepemimpinan Ali.
Ali akhirnya terbunuh dimasjid Kufah akibat tusukan pedang beracun milik salah seorang dari kelompok Khawarij bernama Abdurahman bin Muljam pada suatu Jum’at pagi dan menghembuskan nafas terakhirnya pada malam Ahad 21 Ramadhan 40 H.
Setelah kematian Ali bin Abu Thalib, Hasan puteranya tertua diangkat oleh sekelompok besar sahabat Nabi selaku Khalifah pengganti. Namun lagi-lagi Muawiyah tidak senang dan terus mengobarkan semangat permusuhan dengan Ali dan keturunannya, orang dipaksa untuk mencaci maki keluarga Nabi itu sejahat-jahatnya bahkan termasuk dalam mimbar-mimbar Jum’at.
Kenyataan ini jelas semakin memperdalam kehancuran persatuan umat Islam, suatu ironi yang tidak dapat dihindarkan, betapa dengan susah payah Nabi menggalang satu tatanan kehidupan masyarakat yang madani dengan mengorbankan air mata dan tetesan darah para syuhada harus hancur dihadapan cucu beliau sendiri.
Akhirnya Hasan bin Ali memutuskan untuk berdamai dengan Muawiyah dan menyerahkan tampuk kekuasaan Khalifah kepadanya demi untuk menghindarkan jurang yang lebih dalam lagi dikalangan umat Islam dengan beberapa persyaratan perjanjian.
Beberapa isi dari perjanjian itu adalah pemerintahan Muawiyah akan menjalankan pemerintahan berdasarkan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, menjaga persatuan umat, menyejahterakannya, melindungi kepentingannya, tidak membalas dendam kepada anak-anak yang orang tuanya gugur didalam berperang dengan Muawiyah juga tidak mengganggu seluruh keluarga Nabi Muhammad Saw baik secara terang-terangan maupun tersembunyi dan menghentikan caci maki terhadap para Ahli Bait ini serta tidak mempergunakan gelar “Amirul Mukminin” sebagaimana pernah disandang oleh Khalifah Umar bin Khatab dan Khalifah Ali bin Abu Thalib.
Akan tetapi selang beberapa saat sesudah Muawiyah diakui sebagai Khalifah, dia mulai melanggar isi perjanjian tersebut, orang-orang yang dianggap mendukung keluarga Nabi diculik dan dibunuh, perbendaharaan kas baitul mal Kufah disalah gunakan, caci maki terhadap keturunan Nabi dari Fatimah kembali dibangkitkan malah lebih parah lagi mereka memaksa orang untuk memutuskan hubungan dengan ahli Bait Nabi.
Tidak hanya sebatas itu, beberapa hukum agama yang diatur oleh Nabi Muhammad Saw pun dirombak oleh Muawiyah, misalnya Sholat hari raya mempergunakan azan, khotbah lebih didahulukan daripada sholat, laki-laki diperbolehkan memakai pakaian sutera dan sebagainya.
Mereka juga membuat pernyataan-pernyataan yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw dan beberapa sahabat utama yang sebenarnya tidak pernah ada.
Hal ini membuat prihatin para pendukung Hasan bin Ali bin Abu Thalib, mereka sepakat untuk kembali menyatakan cucu Nabi Saw ini selaku seorang Imam atau pemimpin mereka.
Orang-orang ini diantaranya Hajar bin Adi, Adi bin Hatim, Musayyab bin Nujbah, Malik bin Dhamrah, Basyir al-Hamdan dan Sulaiman bin Sharat.
Akan tetapi selang tak lama, putera pertama dari Fatimah az-Azzahrah ini wafat karena diracun, lama masa pemerintahan Khalifah Hasan ini 6 bulan lebih 1 hari.
Kekejaman dinasti Bani Umayyah terhadap Bani Hasyim keturunan Nabi Muhammad Saw terus berlanjut sampai pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah bin Abu Sofyan yang melakukan pembantaian besar-besaran atas diri Husain sekeluarga dan para pengikutnya dipadang Karbala pada hari Asyura.
Kepala Husain yang mulia telah dipenggal, wanita dan anak-anak di-injak-injak, wanita hamil serta orang tua pun tidak luput dari pembunuhan kejam itu.
Seluruh keturunan Nabi Muhammad Saw melalui Ali bin Abu Thalib terus dicaci maki meskipun tubuh mereka telah bersimbah darah merah, semerah matahari senja yang meninggalkan cahaya ke-emasannya untuk berganti pada kegelapan.
Kekejaman Yazid dalam membunuh Husain, menyembelih anak-anak dan pembantu-pembantunya, begitu pula memberi aib kepada wanita-wanitanya, ditambah dalam tahun ke-2 memperkosa kota Madinah yang suci serta membunuh ribuan penduduknya, tidak kurang dari 700 orang dari Muhajirin dan Anshar sahabat-sahabat besar Nabi yang masih hidup.
Marilah sekarang kita berpikir secara objektif, apakah perbuatan ini dianggap baik oleh orang yang mengaku mencintai Nabinya dan senantiasa bersholawat kepada beliau dan keluarganya dalam setiap sholat ?
Masihkah kita berpikir jahat terhadap orang yang mencintai dan mengasihi ahli Bait sementara kita sendiri justru berusaha untuk membela orang-orang yang justru telah secara nyata melakukan pembasmian terhadap keluarga Nabi Muhammad Saw ?
Permusuhan Muawiyyah bin Abu Sofyan terhadap Bani Hasyim terus menurun kepada generasi sesudahnya seperti Yazid bin Muawiyah, Marwan, Abdul Malik dan Walid, barulah pada pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz keadaan berubah.
Sekalipun Umar bin Abdul Aziz berasal dari klan Bani Umayyah sebagaimana juga pendahulunya, namun beliau bukan orang yang zalim, seluruh penghinaan terhadap keluarga Nabi dilarangnya, sebaliknya beliau membersihkan nama dan sangat menghormati para ahli Bait.
Sebagai tambahan catatan, dendam lama antara Bani Umayyah terhadap Bani Hasyim pernah secara nyata dilakukan pada jaman Nabi Muhammad Saw masih hidup, yaitu manakala Hindun istri Abu Sofyan (orang tua dari Muawiyah) melakukan permusuhan terhadap Rasul dan bahkan ia juga yang membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib secara licik dalam peperangan Uhud lalu tanpa prikemanusiaan mencincang tubuh paman Nabi itu lalu mengunyah hatinya dimedan perang.
Namun pembalasan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad Saw ketika berhasil menguasai seluruh kota Mekkah pada hari Fath Mekkah ?
Seluruh kejahatan Abu Sofyan dan Hindun justru dimaafkan begitu saja oleh Nabi dan rumah Abu Sofyan dinyatakan sebagai tempat yang aman bagi semua orang sebagaimana juga Masjidil Haram dinyatakan bersih dan terjamin keselamatan orang-orang yang berada disana.
Sungguh bertolak belakang sekali perlakuan generasi Bani Hasyim dibanding perlakukan Bani Umayyah terhadap sisa-sisa Bani Hasyim dari keturunan Nabi.
Jika keagungan tujuan, kesempitan sarana dan hasil yang menakjubkan, adalah tiga kriteria kejeniusan manusia, siapa yang berani membandingkan manusia yang memiliki kebesaran didalam sejarah modern dengan Muhammad ?
Orang-orang paling terkenal menciptakan tentara, hukum dan kekaisaran semata.
Mereka mendirikan apa saja, tidak lebih dari kekuatan material yang acapkali hancur didepan mata mereka sendiri.
Nabi Muhammad Saw, Rasul Allah yang agung, penutup semua Nabi, tidak hanya menggerakkan bala tentara, rakyat dan dinasti, mengubah perundang-undangan, kekaisaran. Tetapi juga menggerakkan jutaan orang bahkan lebih dari itu, dia memindahkan altar-altar, agama-agama, ide-ide, keyakinan-keyakinan dan jiwa-jiwa.
Berdasarkan sebuah kitab, yang setiap ayatnya menjadi hukum, dia menciptakan kebangsaan beragama yang membaurkan bangsa-bangsa dari setiap jenis bahasa dan setiap ras.
Dalam diri Muhammad, dunia telah menyaksikan fenomena yang paling jarang diatas bumi ini, seorang yang miskin, berjuang tanpa fasilitas, tidak goyah oleh kerasnya ulah para pendosa.
Dia bukan seorang yang jahat, dia keturunan baik-baik, keluarganya merupakan keluarga yang terhormat dalam pandangan penduduk Mekkah kala itu.
Namun dia meninggalkan semua kehormatan tersebut dan lebih memilih untuk berjuang, mengalami sakit dan derita, panasnya matahari dan dinginnya malam hari ditengah gurun pasir hanya untuk menghambakan dirinya demi Tuhannya. Dia lebih baik dari apa yang semestinya terjadi pada seseorang seperti dia.
Mari kita semua berpikir objektif dan mengedepankan kejujuran … sekali lagi, jika dengan mencintai keluarga Nabi maka seseorang disebut sebagai Syiah, maka saya adalah Syi’ah …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar