Total Tayangan Halaman

Rabu, 22 Januari 2014

RIWAYAT HIDUP IMAM ALI BIN ABI THALIB


Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
(keluarga RASULULLOH SAW )

PENGANTAR PENERBIT

Peninggalan berharga Ahlul Bait as. yang sampai sekarang tetap tersimpan rapi dalam khazanah mereka merupakan universitas lengkap yang mengajarkan berbagai cAbâng ilmu Islam. Universitas ini telah mampu mendidik jiwa-jiwa yang berpotensi untuk menguasai pengetahuan dari sumber tersebut. Mereka mempersembahkan kepada umat Islam ulama-ulama besar yang membawa risalah Ahlul Bait as., di mana mereka mampu menjawab secara ilmiah segala keraguan dan persoalan yang dikemukakan oleh berbagai mazhab dan aliran pemikiran, baik dari dalam maupun luar Islam.
Berangkat dari tugas-tugas yang diembannya, Majma' Jahani Ahlul Bait (Lembaga Internasional Ahlul Bait) berusaha membela kemuliaan risalah dan hakikatnya dari serangan tokoh-tokoh firqah (kelompok), mazhab, dan berbagai aliran yang memusuhi Islam. Dalam hal ini, kami berusaha mengikuti jejak Ahlul Bait as. dan penerus mereka yang sepanjang masa senantiasa tegar dalam menghadapi tantangan dan tetap kokoh di garis depan perlawanan.
Khazanah intelektual yang terdapat dalam buku-buku ulama Ahlul Bait as. tidak ada tandingannya. Karena buku-buku tersebut berpijak pada landasan ilmiah dan didukung oleh logika dan argumentasi yang kokoh, serta jauh dari pengaruh hawa nafsu dan fanatik buta. Karya-karya ilmiah yang dapat diterima oleh akal dan fitrah yang sehat tersebut juga mereka peruntukkan kepada para ulama dan pemikir.
Dengan berbagai pengalaman yang melimpah, Lembaga Internasional Ahlul Bait berupaya mengetengahkan metode baru kepada para pencari kebenaran melalui berbagai tulisan dan karya ilmiah yang disusun oleh para penulis kontemporer yang mengikuti dan mengamalkan ajaran mulia Ahlul Bait as. Di samping itu, Lembaga ini berupaya meneliti dan menyebarkan berbagai tulisan bermanfaat dari hasil karya ulama Syi'ah terdahulu. Tujuannya adalah agar kekayaan ilmiah ini menjadi sumber mata air bagi setiap pencari kebenaran di seluruh penjuru dunia. Perlu dicatat bahwa era kemajuan intelektual telah mencapai kematangannya dan relasi antar individu semakin terjalin demikian cepatnya. Sehingga pintu hati terbuka untuk menerima kebenaran ajaran Ahlul Bait as.
Akhirnya, kami mengharap kepada para pembaca yang mulia agar sudi kiranya menyampaikan berbagai pandangan berharga dan kritik konstruktifnya demi kemajuan Lembaga ini di masa mendatang. Kami juga mengajak kepada berbagai lembaga ilmiah, ulama, penulis, dan penerjemah untuk bekerja sama dengan kami dalam upaya menyebarluaskan ajaran dan budaya Islam yang murni.
Semoga Allah swt. berkenan menerima usaha sederhana ini dan melimpahkan taufik-Nya serta senantiasa menjaga Khalifah-Nya (Imam Al-Mahdi as.) di muka bumi ini.
Kami ucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Syaikh Baqir Syarif Al-Qurasyi yang telah berupaya menulis dan menyusun buku ini. Demikian juga, kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Ustadz Ahmad Marzuqi Amîn yang telah bekerja keras menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Indonesia. Tak lupa, kami sampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penerbitan buku ini.
Lembaga Internasional Ahlul Bait

Divisi Budaya

KATA PENGANTAR

Allah swt. telah memilih Ahlul Bait as. sebagai penjaga rahasia-Nya, gudang ilmu pengetahuan-Nya, pelita wahyu-Nya, dan petunjuk menuju jalan-Nya. Dia memelihara mereka dari kesalahan, menyucikan mereka dari segala kotoran, dan menghilangkan dari diri mereka segala bentuk kenistaan. Allah swt. berfirman: "Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan segala kenistaan darimu Ahlul Bait dan menyucikan kamu sesuci-sucinya." (QS. Al-Ahzâb [33]:33)
Al-Qur'an menekankan supaya umat manusia menaati, ber-wilâyah, dan mencintai Ahlul Bait as. Allah swt. berfirman: "Taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya dan ulil amri [para pemimpin] dari kalangan kamu." (QS. An-Nisâ' [4]:59)
Dalam ayat yang lain, Allah berfirman: "Katakanlah [hai Muhammad], 'Aku tidak meminta upah kepadamu atas dakwahku [ini] selain kecintaan kepada keluarga[ku]." (QS. Asy-Syûrâ [42]:23)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang mengIsya'ratkan tentang Ahlul Bait as. Lebih dari itu, Rasulullah saw. juga sangat menekankan hal ini dalam hadis-hadis yang mutawâtir. Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya kutinggalkan untukmu dua pusaka yang sangat berharga. Apabila kamu berpegang teguh pada keduanya, kamu tidak akan tersesat sepeninggalku nanti. Salah satunya adalah lebih agung dari yang lain. Yang pertama adalah kitab Allah sebagai tali yang menjulur dari langit ke bumi, dan yang kedua adalah 'Itrahku, Ahlul Baitku. Kedua pusaka ini tidak akan pernah berpisah hingga menjumpaiku di telaga surga. Maka perhatikanlah bagaimana kamu memperlakukan kedua pusaka itu sepeninggalku."
Itu semua karena mereka adalah hujah Allah atas para hamba-Nya, khalifah penutup para nabi, pembawa bendera Islam, dan gudang ilmu dan cahaya. Mereka adalah suri teladan yang baik dan figur yang benar dalam penghambaan mutlak kepada Allah swt., baik dari sisi ucapan maupun perilaku. Riwayat hidup mereka penuh berkah, sarat dengan nilai yang tinggi dan berharga, dan contoh yang luhur. Semua itu adalah sumber ilmu pengetahuan Islam dan manifestasi pengorbanan, semangat mengutamakan orang lain (îtsâr), kezuhudan, kerendahan hati, membantu fakir miskin dan kaum tertindas, dan lain sebagainya. Seluruh manifestasi akhlak dan budi perkerti yang mulia ini akan dipaparkan dalam buku ini.
Akhirnya, kami bersyukur dan menghaturkan puji kepada Allah swt. yang telah menganugerahkan taufik kepada kami sehingga kami dapat melakukan perujukan ulang kepada nas dan buku-buku referensi-referensi yang ada demi (penyempurnaan) buku tersebut. Tak lupa, kami sampaikan ribuan terima kasih kepada Yayasan Islam Penelitian dan Ilmu Pengetahuan (Al-Mu'assassah Al-Islamiyah li Al-Buhûts wa Al-Ma'lumât) yang telah bersedia menyebarkan harta peninggalan Ahlul Bait as. yang sangat berharga.
Segala puji bagi Allah swt., salawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan atas Nabi Muhammad saw. dan keluarganya yang mulia dan suci.
13 Muharram 1324 H.

Mahdi Baqir Al-Qurasyi

PROLOG

(1)


Salah satu esensi jiwa manusia adalah pengetahuan yang kuat dan mendalam terhadap keyakinan yang dimilikinya dalam menempuh kehidupan sehari-hari. Di bawah naungan keyakinan ini, ia merasa tenang menanti berbagai peristiwa mendatang yang belum ia ketahui, terutama setelah ia meninggal dunia. Dan pada waktu yang sama, ia akan berusaha memuaskan jiwanya yang haus untuk mengenal dan mengetahui jati diri Dzat yang telah menciptakannya dalam kehidupan dunia yang penuh teka-teki ini.
Perbedaan pandangan yang terjadi dalam dunia pemikiran tentang Pencipta Agung alam semesta ini telah merambak begitu jauh. Satu perbedaan pendapat yang sangat mustahil muncul secara spontanitas, spontanitas yang tak berperasaan dan tak berakal.
Sebagian orang meyakini bahwa pencipta alam semesta ini adalah matahari sebagai sumber energi dan kekuatan panas. Sebagian yang lain meyakini bahwa pencipta alam semesta ini adalah rembulan. Karena rembulan memiliki aneka ragam faedah dan keajaiban. Semua faedah dan keajaiban itu nampak ketika rembulan itu muncul membesar dan membulat sempurna, kemudian sirna dan menghilang. Sementara itu, sekelompok orang bodoh melakukan penyembahan terhadap patung dan berhala yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri. Mereka menjadikan patung dan berhala itu sebagai tuhan yang layak disembah selain Allah swt.
Pada era jahiliah, di sekitar tembok-tembok Ka'bah yang suci terdapat sebanyak 360 buah patung. Salah satunya bernama Hubal. Patung Hubal ini adalah tuhan Abu Sufyân, ayah Mu'âwiyah dan kakek Yazîd. Patung-patung yang lain adalah milik seluruh bangsa Qurais yang hidup di dalam dan di luar Mekah.
(2)


Para nabi yang agung diutus oleh Allah swt. kepada umat manusia sebagai hujah atas mereka. Para nabi ini telah berusaha meluruskan pemikiran dan membersihkan cara pandang mereka dari berbagai kotoran, penyimpangan jahiliah, dan keyakinan-keyakinan yang menyimpang. Di samping itu, para nabi agung ini juga mengajak umat manusia meraih kemerdekaan yang sempurna demi memerdekakan kehendak, tingkah laku, dan keyakinan.
Salah satu tujuan penting dari pengutusan para nabi itu adalah mengajak umat manusia menyembah dan mengesakan Allah swt. Karena Dia-lah pencipta alam semesta dan sumber kehidupan. Mengenal dan mengetahui-Nya adalah sumber segala kebaikan dan keselamatan di muka bumi ini. Selain itu, tugas penting mereka yang lain adalah membangun sebuah masyarakat yang bebas dan bersih dari aneka ragam khurafat, sebuah fenomena yang dapat menjerumuskan umat manusia ke dalam lembah kesesatan dan kehinaan.
Salah seorang reformer yang pernah muncul di dataran Arab adalah Syaikhul Anbiyâ', Ibrahim as. Ia telah berusaha keras untuk mengangkat dan meninggikan kalimat Allah di muka bumi ini. Ia telah melakukan perlawanan terhadap para propagandis kemusyrikan dan paham ateisme (anti Tuhan) dengan gigih. Ia juga memiliki peran aktif dalam menghancurkan berhala-berhala sesembahan kaumnya. Setelah berhala-berhala itu dihancurkan, umat Nabi Ibrahim as. murka dan menyimpan rasa dendam terhadapnya. Raja Namrud, sang tagut, menjatuhkan aneka ragam sanksi dan penyiksaan yang berat atasnya. Ia menyalakan api panas yang menggunung dan melemparkan Nabi Ibrahim as. ke tengah-tengah api yang sedang mengamuk itu dengan menggunakan manjanik. Tetapi Allah menjadikan api itu dingin dan sumber keselamatan bagi Nabi Ibrahim.
Demikianlah, nabi Allah ini telah berjuang dan berusaha keras demi menyebarkan kalimat Allah di muka bumi. Tujuannya adalah agar umat manusia terlepas bebas dari jerat-jerat penyembahan selain Allah, baik dari sisi pemikiran maupun perbuatan.
(3)


Mubalig terbesar dan juru penyelamat teragung, Nabi Muhammad saw., lahir dan muncul di atas medan tauhid dan pembebasan. Ia datang membawa pancaran sinar, dan kemudian menciptakan goncangan yang meruntuhkan sendi-sendi keyakinan khurafat jahiliah yang telah mendarah daging di dalam tubuh masyarakat. Pancaran cahaya Ilahi ini bermula dari kota Mekah, kota pusat patung dan berhala. Tidak ada satu kabilah pun melainkan mempunyai patung, dan tidak ada sebuah rumah pun melainkan memiliki berhala. Mereka menyembahnya selain Allah swt. Dengan tekad yang kokoh dan semangat membaja yang tidak dapat dihalangi oleh apapun, Muhammad saw. bekerja keras menyebarkan risalah tauhid dan membentuk bangunan penghambaan kepada Allah swt. Ia telah berhasil mengubah arah perjalanan sejarah dan menyelamatkan umat manusia dari kehinaan.
Patut disebutkan di sini bahwa sebagian besar surah dan ayat Al-Qur'an diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw. di kota Mekah. Ayat dan surah-surah tersebut didominasi oleh dalil dan argumentasi yang kuat nan kokoh atas keberadaan Pencipta Yang Maha Agung. Argumentasi yang tidak mungkin dapat diingkari oleh siapa pun, betapa pun ia bodoh dan memiliki taraf pemikiran yang rendah.
(4)


Akhirnya, Nabi Muhammad saw. terpaksa melakukan hijrah dari kota Mekah ke kota Yastrib (Madinah). Allah swt. menganugerahkan kepadanya kemenangan yang nyata, dan menundukkan serta menghinakan musuh-musuhnya, termasuk para tagut bangsa Quraisy dan pembesar-pembesar Arab. Di Yatsrib, Rasulullah saw. mendirikan sebuah negara yang agung berdaulat dan memberlakukan undang-undang yang luhur dan maju untuk masyarakat. Dengan undang-undang itu, ia telah berhasil menciptakan pondasi sebuah kultur dan kebudayaan yang sangat maju. Undang-undang tersebut berhasil menjamin seluruh hak masyarakat dengan adil dan mengatasi berbagai problema kehidupan sosial. Tidak ada satu dimensi kehidupan manusia pun melainkan termaktub di dalam undang-undang yang luhur tersebut. Bahkan sangsi menggores kulit seseorang sekalipun.
Syariat Islam mencakup aneka ragam hukum yang sejalan dengan tabiat alam. Syariat ini penuh dengan kebaikan dan keberkahan, serta sejalan dengan fitrah manusia. Undang-undang ini sedikit pun tidak menyimpang dari garis jalan hidup manusia.
Sepeninggal Nabi Muhammad saw., syariat dan undang-undang tersebut diemban oleh para khalifah dan washînya untuk disampaikan kepada umat manusia. Para khalifah dan washî ini adalah para imam pemberi petunjuk dan pelita Islam.
(5)


Satu hal penting yang mendapat perhatian Rasulullah saw. secara serius pada waktunya masih hidup adalah masalah kepemimpinan umat manusia sepeninggalnya, dan penentuan figur-figur yang berhak menggantikan posisinya. Semua itu agar seluruh nilai, prinsip, dan petunjuk yang telah ia bawa dapat disebarkan kepada seluruh lapisan umat manusia. Dari sejak permulaan missi dan dakwahnya, Nabi Muhammad saw. senantiasa menyertakan iman kepada missi Ilahi dengan keyakinan terhadap khalifah sepeninggal dirinya. Para ahli sejarah sepakat bahwa di antara keluarganya yang siap memenuhi seruan tersebut hanyalah Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Padahal, pada saat itu Amirul Mukminin masih berusia sangat muda. Rasulullah saw. mengangkat Amirul Mukminin as. sebagai washî dan khalifah sepeninggalnya. Rasulullah saw. senantiasa memperhatikan dan menilai keluarga dan para sahabatnya. Tetapi, ia tidak menemukan seorang pun di antara mereka yang bisa menandingi anak paman, saudara, dan ayah kedua cucunya itu, yaitu Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Hal ini karena Amirul Mukminin as. memiliki keimanan yang tinggi dan tulus kepada Allah swt. Lebih dari itu, ia kokoh dalam menjalankan agama dan memiliki potensi ilmiah yang sangat tinggi. Seluruh ilmu pengetahuan itu adalah hasil ajaran Rasulullah saw. Dengan ini, pantas jika Amirul Mukminin as. menjadi cermin kebenaran Rasulullah saw. Oleh karena itu, Rasulullah saw. menetapkan Amirul Mukminin as. sebagai pemimpin umat sepeninggalannya demi menegakkan syariat, memperbaiki kondisi hidup umat, dan membimbing mereka menuju jalan yang benar.
Rasulullah saw. telah menetapkan imâmah dan kepemimpinan Amirul Mukminin Ali as. dalam berbagai peristiwa dan kesempatan. Banyak sekali hadis yang menegaskan bahwa Rasulullah saw. mengangkat Ali as. sebagaimana anak didik. Dalam beberapa hadis yang lain juga disebutkan bahwa Ali as. memiliki kedudukan di sisi Rasulullah saw. seperti kedudukan Nabi Hârûn di sisi Nabi Mûsâ; Ali selalu bersama kebenaran dan kebenaran senantiasa bersama Ali; Ali adalah pintu kota ilmu Rasulullah saw. Kemudian, Rasulullah saw. mengokohkan kepemimpinan Ali dengan mengambil baiat dari umat Islam di Ghadir Khum. Pada peristiwa ini, Rasulullah saw. betul-betiul menobatkan Ali sebagai pemimpin seluruh muslimin. Rasulullah saw. mewajibkan setiap muslim dan muslimah untuk ber-wilâyah kepada Ali. Rasulullah saw. memerintahkan setiap orang yang ikut serta dalam kafilah haji yang akan kembali ke negeri mereka masing-masing itu untuk membaiat kepemimpinan dan kekhalifahan Ali. Bahkan, Rasulullah saw. juga memerintahkan istri-istrinya sendiri untuk berbaiat kepada Ali. Hari itu adalah hari yang sangat agung dan abadi bagi dunia Islam. Oleh karena itu, hari itu dinamakan "Hari Keimanan" dan "Hari Anugerah Besar".
(6)


Apabila kita merenungkan riwayat hidup para imam suci Ahlul Bait as., kita akan menemukan nilai yang luhur dan teladan yang agung di dalamnya. Sungguh mereka adalah mata air kenabian dan pusat wahyu.
Alhamdulillah, saya merasa bangga dan besar hati. Lantaran lebih dari empat puluh tahun saya telah mengadakan kajian dan penelitian tentang hadis-hadis Ahlul Bait as. Kemudian saya telah berhasil menyebarkan riwayat hidup dan sirah mereka di tengah-tengah kehidupan umat manuisa.
Allah swt. menjadi saksiku! Tak selembar pun dari kehidupan imam suci yang kubuka untuk kutulis melainkan kudapati cahaya petunjuk dan kemuliaan di dalamnya. Semua ini adalah refleksi seluruh aspek kehidupan mereka dan pancaran cahaya Ilahi yang dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang sesat dan bimbingan bagi orang-orang yang diterpa kebingungan.
Sirah dan riwayat hidup para imam suci as. terjauhkan dari kegemerlapan dunia, dan terhiasi oleh konsentrasi dan penghambaan kepada Allah swt. yang mutlak. Mereka menghabiskan malam-malam mereka dengan ibadah, mendekatkan diri kepada Allah swt., dan membaca kalam Ilahi. Sementara itu, para musuh mereka melalui malam-malamnya yang gemerlap dalam pangkuan wanita jalang sembari bermabuk-mabukan dan berbuat aneka ragam kemaksiatan.
Dalam sebuah syairnya, Abu Firâs pernah membandingkan kehidupan para raja dinasti Bani Abbâsiah dengan kehidupan dan keluarga Rasulullah saw. Ia berkata,
Al-Qur'an senatiasa menghias rumah keluarga suci Nabi.
Tapi, rumahmu, hai Bani Abbâs, didendang lagu dan kecapi.
Demikianlah, para imam suci Ahlul Bait as. menjadi tonggak ketakwaan dan teladan keimanan. Sementara musuh-musuh mereka menjadi lambang kebejatan dan pelecehan atas seluruh nilai etika dan kemanusiaa.
(7)


Dari sejak kemunculannya hingga hari ini, mazhab Syi'ah Imamiah mempunyai sebuah keyakinan yang sangat kokoh. Yaitu, para pemimpin dan imam yang suci itu adalah pemelihara Islam dan washî Rasulullah saw., sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur'an. Keyakinan mereka ini tidak terbangun tanpa alasan atau terbentuk atas dasar fanatisme dan taklid buta. Tetapi, keyakinan ini terbentuk atas dasar dalil-dalil dan argumentasi yang kokoh. Semua dalil dan argumentasi itu termaktub dalam Al-Qur'an dan hadis-hadis nabi yang sangat gamblang, sehingga tak seorang muslim pun berhak mengabaikannya. Lantaran hadis-hadis tersebut memiliki indikasi yang jelas dan maksud yang gamblang, serta mewajibkan seluruh muslimin untuk mencintai Ahlul Bait as. Salah satu dalil tersebut adalah firman Allah swt. yang berbunyi: "Katakanlah [hai Muhammad], 'Aku tidak meminta upah apapun atas tabligku selain kecintaan kepada keluargaku.'" (QS. Asy-Syûrâ [42]:23)
Ayat ini mewajibkan umat manusia untuk ber-wilâyah dan mencintai Ahlul Bait Rasulullah saw. Salah satu bentuk kecintaan yang paling nyata adalah mengikuti ajaran-ajaran mereka yang terjelma dalam syariat Islam.
(8)


Perlu ditegaskan di sini bahwa Ahlul Bait as. tidak memiliki metode khusus yang berbeda dengan metode kakek mereka, Rasulullah saw., dalam mensyariatkan ajaran Islam. Seluruh ajaran yang mereka sampaikan, baik yang berhubungan dengan masalah ibadah, transaksi, akad maupun îqâ'ât, bersumber dari Rasulullah saw., sebuah sumber yang penuh dengan hikmah dan cahaya yang gemilang. Pelopor fiqih Islam, Imam Ja'far Ash-Shâdiq as., menegaskan tentang hal ini. Ia menekankan bahwa seluruh hukum syariat Islam, ajaran akhlak yang mulia, sopan santun Islami, dan lain sebagainya, itu semua diterima dari Rasulullah saw. melalui perantara nenek moyangnya yang mulia. Oleh karena itu, hadis-hadis mereka mencerminkan mutiara Islam, berikut hakikatnya yang turun dari Allah swt. Dengan statemen ini, kami sama sekali tidak bermaksud menikam mazhab-mazhab Islam yang lain. Yang jelas, mazhab-mazhab ini juga memiliki jalur-jalur ilmiah yang dapat dijadikan sebagai sumber legitimasinya.
(9)


Seluruh ajaran Islam yang ditinggalkan oleh para imam Ahlul Bait as. yang suci telah dibangun atas dasar kebenaran yang murni dan keadilan yang suci. Karena itu, tidak terdapat kesalahan dan kekaburan di dalamnya.
Salah satu prinsip yang digunakan sebagai sandaran oleh para fuqaha Syi'ah adalah prinsip raf' Al-'usr wa Al-haraj. Prinsip ini menegaskan bahwa kesulitan (al-'usr wa Al-haraj) dapat menjadi legitimasi pembatalan sebuah hukum. Dalil-dalil prinsip ini dapat dimenangkan atas dalil-dalil primer (Al-Adillah Al-Awwaliyah), apabila pelaksanaan dalil-dalil primer tersebut menimbulkan kesulitan. Prinsip yang lain adalah prinsip raf' adh-dharar. Prinsip ini menegaskan bahwa kemudaratan (dharar) dapat menjadi legitimasi pembatalan sebuah hukum. Dan dalil-dalil prinsip ini juga dimenangkan atas dalil-dalil primer, apabila pelaksanaan dalil-dalil primer ini menimbulkan kemudaratan. Dari uraian ini dapat dipahami bahwa mazhab Ahlul Bait as-pada seluruh aspek syariatnya-sesuai dengan tabiat alam dan sejalan dengan perkembangan masa. Lebih dari itu, mazhab ini juga senapas dengan kemajuan yang dicita-citakan oleh umat manusia dalam meniti sebuah peradAbân.
(10)


Banyak sahabat Rasulullah saw. yang setia mengikuti mazhab Ahlul Bait as., seperti Ammar bin Yâsir, Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, dan mayoritas suku Aus dan Khazraj. Mereka membela dan menegakkan Islam dengan penuh kesungguhan dan keseriusan. Karena mereka meyakini bahwa Nabi Muhammad saw. telah menobatkan 'Itrah sebagai bahtera penyelamat, mandataris Al-Qur'an, dan pintu Hiththah (pengampunan). Lebih dari itu, penghulu mereka, Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as., senantiasa bersama kebenaran dan kebenaran juga senantiasa bersama beliau; kedudukannya di sisi Nabi Muhammad saw. seperti kedudukan Nabi Hârûn as. di sisi Nabi Mûsâ as. Dengan demikian, mazhab Ahlul Bait as. dikenal sebagai mazhab yang benar.
Al-Kumait, seorang penyair muslim, berkata,
Tiada bagiku selain Syi'ah keluarga Ahmad yang kuikuti,
dan tiada pula selain mazhab hak yang kutaati.
(11)


Seandainya politik jahat Mu'âwiyah dan Bani Abbâsiyah tidak pernah menguasai dunia Islam, niscaya mazhab Ahlul Bait as. diikuti oleh mayoritas muslimin. Karena mazhab ini adalah satu-satunya mazhab yang bersambung langsung dan bersumber dari Rasulullah saw. Tetapi, para khalifah dinasti Bani Umayyah dan Bani Abbâsiyah senantiasa memusuhi mazhab Ahlul Bait as. dengan tujuan untuk memusnahkannya. Karena menurut hemat mereka, Ahlul Bait yang suci as. itu adalah bahaya serius yang selalu mengancam kekuasaan dan pemerintahan yang ditegakkan atas dasar kezaliman dan kediktatoran itu. Oleh karena itu, para khalifah zalim itu mencurahkan seluruh perhatian dan sarana politik dan ekonominya untuk melawan Ahlul Bait as. dan pengikut setia mereka. Melihat realita ini, para imam Syi'ah terpaksa menekankan kepada para pengikutnya untuk melakukan taqiyah dan menyembunyikan mazhab mereka, karena takut pada ancaman dan permusuhan para khalifah yang senanitasa mengintai dan mengancam keselamatan mereka. Tidak sampai di sini saja. Para khalifah itu juga melecehkan hak-hak wajar mereka dan tidak menerima kesaksian mereka di mahkamah syar'î.
(12)


Pada masa kekuasaan dinasti Bani Umayyah dan Bani Abbâsiyah, para pengikut mazhab Syi'ah mengalami penyiksaan dan penganiayaan yang sangat berat. Sebagian dari mereka ada yang dipotong tangannya, sebagian yang lain dicongkel matanya, dan ada juga yang dibunuh hanya atas dasar dugaan dan tuduhan belaka.
Syaikh Thusi berkata: "Tidak ada satu golongan pun dari kaum muslimin yang mengalami tekanan, ancaman, dan siksaan seperti yang dialami oleh pengikut Ahlul Bait as. Hal itu tiada lain karena keyakinan mereka terhadap konsep imâmah dengan ketentuan bahwa seorang imam harus memiliki karakteristik mulia. Dan karakteristik ini sama sekali tidak dimiliki oleh para khalifah dan raja mereka yang telah berkuasa atas kaum muslimin dengan kekuatan pedang, bukan dengan semangat keadilan. Oleh karena itu, kaum muslimin menganggap para khalifah dan raja tersebut sebagai pencuri dan perampok. Dengan demikian, kaum muslimin mengadakan perlawanan bersenjata untuk menggulingan takhta kerajaan mereka. Syi'ah layak berbangga diri, karena mazhab ini telah dibangun di atas pondasi keadilan politik dan sosial. Ajaran Syi'ah menuntut supaya harta kekayaan negara dibagi-bagikan kepada kaum muslimin secara adil, bukan berdasarkan kehendak dan nafsu para penguasa. Atas dasar ini, para khalifah dinasti Bani Umayyah dan Bani Abbâsiyah memberantas kebangkitan para pengikut Ahlul Bait as. dengan segenap sarana dan prasarana yang mereka miliki untuk menekan, menyiksa, dan mengancam mereka dengan kekekerasan."
(13)


Mazhab Syi'ah senantiasa mendapat berbagai macam tuduhan dan fitnah murahan yang tidak berdasar sama sekali. Hal ini membuktikan betapa para penuduh itu sangat berpikiran dangkal. Salah satu tuduhan dan fitnah itu adalah, bahwa Syi'ah melakukan sujud kepada patung berupa Turbah Husainiyah atau tanah Karbala. Tuduhan ini telah kami jawab secara tematis dan mendetail dalam buku kami yang berjudul Sujud Di Atas Turbah Husainiyah Dalam Ajaran Syi'ah. Buku ini telah dicetak ulang beberapa kali, bahkan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan bahasa-bahasa dunia yang lain. Dalam buku ini kami jelaskan bahwa Syi'ah meyakini Turbah Husainiyah itu sebagai tanah yang suci, dan sujud di atasnya pada saat mengerjakan salat karena semata tetesan darah seorang putra Islam termulia dan cucu Rasulullah saw., Imam Husain as., yang telah gugur sebagai syahid di situ. Lebih dari itu, menurut beberapa riwayat, malaikat Jibril as. mengambil segenggam tanah dari sebuah lembah yang suci dan mulia. Lalu ia memberikannya kepada Rasulullah saw. sembari memberitahukan bahwa Imam Husain as. akan meneguk cawan syahadah di tempat itu. Mendengar berita ini, Rasulullah saw. menerima segenggam tanah pemberian Jibril as. itu seraya mencium dan mengecupnya. Dengan uraian ini, para pengikut Syi'ah Imamiah bersujud kepada Allah Yang Maha Kuasa di atas tanah yang pernah dicium oleh Rasulullah saw. Dan masih banyak lagi fitnah murahan lainnya yang dituduhkan kepada mazhab Syi'ah. Tuduhan-tuduhan semacam ini hanya dilontarkan oleh orang-orang yang tidak mempunyai dasar agama dan keislaman yang kokoh.
(14)


Kami telah menyusun riwayat hidup para imam suci Ahlul Bait as. dalam buku ini secara ringkas. Kami akui dengan terus terang, ini semua adalah sebuah usaha dakwah dan ajakan untuk tunduk kepada kebenaran dan realita sejarah. Melalui buku ringkas ini, kami berusaha mengajak seluruh umat manusia untuk mencintai dan mengikuti Ahlul Bait as. Seluruh kandungan buku ini bertujuan untuk menghimpun dan mempersatukan umat, bukan untuk memecah belah barisan mereka. Kami sedikit pun tidak bermaksud untuk menipu, apalagi menyesatkan. Kami telah merangkum seluruh isi buku ini dari ilham-ilham Al-Qur'an sebagai sumber utama dan dari hadis-hadis Rasulullah saw. sebagai tonggak dakwah. Kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk membersihkannya dari setiap dorongan hawa nafsu dan perasaan subyektif. Karena hal ini dapat merusak hakikat dan realita, serta menyembunyikan fakta sejarah.
(15)


Kami memiliki pengalaman dan aneka ragam riset dan penemuan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Berdasarkan pengalaman ini, kami tegaskan dengan jujur, tak seorang pun dapat menguak penemuan atau menggapai kemajuan yang telah dicapai oleh mazhab Syi'ah, baik dalam bidang hukum maupun politik. Alasannya, seorang pemimpin dan imam suatu umat harus memiliki kesempurnaan dan karakteristik mulia, serta sepenuhnya menguasai hukum dan prinsip-prinsip kepemimpinan. Lebih dari itu, secara kontinyu, serius, dan sungguh-sungguh, ia juga harus berusaha memajukan umatnya dalam segala bidang dan aspek kehidupan, baik ekonomi maupun pendidikan, serta menebarkan keamanan dan ketentraman di seluruh penjuru negeri. Dan jelas, seluruh persyaratan dan karakteristik ini tidak mungkin terpenuhi melainkan dalam diri para imam Ahlul Bait as. Hal ini lantaran mereka adalah pelita petunjuk yang tersucikan dari noda-noda kecintaan kepada materi dan tulus memegang tongkat estafet kebenaran. Contoh gamblangnya adalah kehidupan dunia Islam pada masa kekhalifahan Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. sebagai pemimpin tertinggi umat Islam kala itu.
Imam Ali bin Abi Thalib as. mendeklarasikan persamaan hak terhadap seluruh penduduk, baik mereka yang muslim maupun yang non-muslim. Ia membagi-bagikan harta Baitul Mal kepada mereka secara sama rata dan adil. Ia tidak pernah memberikan bagian lebih kepada keluarga dekatnya atau mengutamakan mereka atas orang lain. Peristiwa yang pernah terjadi pada saudaranya, Aqil dan pada kemenakan sekaligus menantu Aqil, Abdullah bin Ja'far, adalah sebuah contoh yang sangat nyata. Kedua orang ini adalah kerabat dekat Amirul Mukminin Ali as. Tapi, kekerabatan ini tidak mempengaruhi Amirul Mukminin as. untuk memberikan bagian lebih kepada mereka. Bahkan, ia sendiri sangat ketat dalam menggunakan harta Baitul Mal, sekalipun untuk keperluannya sendiri. Oleh karena itu, ia sangat berhati-hati dalam mengawasi dan mengurusi harta amanat tersebut.
Imam Ali as. telah mengajarkan aspek hukum ajaran Islam dalam bobot yang tinggi. Hal itunya tuangkan dalam surat-surat instruksi dan perjanjian yang dikirimkan kepada para gubernurnya. Dalam surat-surat tersebut, ia menorehkan aneka ragam ajaran dan prinsip. Ajaran dan prinsip yang dapat meninggikan harga diri umat Islam dan menjayakan mereka dalam seluruh aspek kehidupan, baik dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya. Surat-surat instruksi dan perjanjian ini harus dikaji dan dipelajari secara serius, dan dijadikan sebagai bagian dari ajaran mazhab Ahlul Bait as. Karena menurut pandangan mazhab Syi'ah, hal ini adalah tanggung jawab bagi setiap pemimpin umat.
(16)


Sebelum mengakhiri pengantar ini, kami ingin menyampaikan satu hal kepada pembaca budiman. Sebenarnya kami menulis pengantar ini untuk sebuah kajian tentang mazhab Ahlul Bait as. Dalam kajian ini, kami uraikan prinsip-prinsip pendidikan, etika, undang-undang, dan nilai-nilai luhur yang datang dari Ahlul Bait as. Tidak lupa juga kami mengadakan studi kritis atas tulisan-tulisan Ibn Khaldun, Ahmad Amîn Al-Mishrî, dan beberapa penulis yang lain. Mereka menulis tentang riwayat hidup para imam suci Ahlul Bait as. dan Syi'ah secara tidak jujur dan tanpa kajian yang mendalam. Mereka menulis semua itu atas dasar semangat fanatisme dan taklid buta. Hasilnya, mereka hanya melemparkan fitnah dan tuduhan murahan yang tidak memiliki realita terhadap Syi'ah.
Setelah memasuki pembahasan asli, kami menjadikan riwayat hidup Ahlul Bait as. sebagai satu kajian khusus. Tapi, setelah itu kami mengambil sebuah inisiatif, alangkah baiknya kalau kami menulis sebuah buku khusus tentang riwayat hidup mereka. Akhirnya, terwujudlah buku ini, dan kami memberinya judul Nafahât min Sîrah A'immah Ahlil Bait as. (Semerbak Wangi Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.). Dalam pengantar ini, pembaca yang budiman dapat melihat sebuah kajian ringkas tentang mazhab Ahlul Bait as. (secara global).
Sebagai penutup, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada yang mulia, Sayid Abdullah dan Sayid Hâsyim Al-Mûsâw.i yang telah banyak membantu kami menyusun dan menerbitkan buku ini. Semoga Allah swt. senantiasa menambah pahala dan membalas jerih payah mereka berdua. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Najaf Asyraf, 28 Rabî'ul Akhir 1421 H.

Baqir Syarif Al-Qurasyi

PARA IMAM SUCI AHLUL BAIT

Kini kita berada di haribaan Ahlul Bait as. Mereka adalah pelopor islah (perbaikan) dan keadilan sosial, dan pelita benderang menuju kesadaran dan perombakan ideologi di dunia Arab dan Islam. Mereka telah berhasil membangun pondasi kebebasan berpikir, berkehendak, dan berperilaku bagi umat manusia secara sempurna. Dengan itu, para imam Ahlul Bait as. telah berhasil menyelamatkan mereka dari penghambaan kepada selain Allah menuju penghambaan kepada Allah swt. secara murni.
Para Imam suci Ahlul Bait as. adalah kepanjangan tangan kenabian dan cahaya cemerlang yang memancar darinya. Mereka berasal dari sebuah pohon yang penuh berkah. Akar-akar pohon ini menghujam kokoh ke dalam tanah dan ranting-rantingnya menjulang tinggi ke langit. Pohon yang penuh berkah ini senantiasa menghasilkan buah pada setiap masa dengan izin Tuhannya.
Para imam Ahlul Bait as. adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan Rasulullah saw., seorang figur yang telah berhasil mengentas umat manusia dari kehidupan yang hina menuju kehidupan yang penuh dengan cahaya dan kesadaran. Marilah kita mulai pembahasan ini dengan memaparkan riwayat hidup penghulu para imam Ahlul Bait as., Imam Ali bin Abi Thalib as.
Catatan Kaki:

1. Sebuah kuburan ditemukan di sebuah daerah yang terletak di dekat 'Ain At-Tamr, Irak. Di tembok yang mengelilingi kuburan tersebut terpampang lukisan matahari, bulan, dan sebagian planet yang lain. hal. ini mengindikasikan adanya penyembahan terhadap benda-benda tersebut.
2. Silakan Anda rujuk surah Al-Anbiyâ', ayat 51-67.
1. Allah telah mengganti unsur api yang panas dan bersifat membakar itu menjadi dingin. Ini adalah sebuah penafsiran atas hakikat mukjizat yang Allah anugerahkan kepada para nabi-Nya.
1. Muqadimah Ibn Khaldûn, hal. 196-202

IMAM ALI BIN ABI THALIB

Imam Ali bin Abi Thalib as. adalah seorang figur dan pribadi agung di kalangan umat manusia. Ia dikenal dengan kedermawanan, kecerdasan, keadilan, kezuhudan, dan jihad. Dalam dunia Islam, tak seorang dari sahabat Rasulullah saw. yang dapat menandingi sebagian karakteristiknya ini, apalagi seluruh karakteristik tersebut. Karakteristik dan sikap-sikapnya mengungguli seluruh bangsa dunia, baik dari kalangan muslimin maupun selain muslimin. Mereka seluruhnya sepakat bahwa di sepanjang sejarah dunia Arab maupun non-Arab, tak ada seorang pun yang dapat menandinginya kecuali saudara dan putra pamannya, Nabi Muhammad saw.
Berikut ini akan kami paparkan sebagian dimensi kehidupan dan karakteristik Imam Ali bin Abi Thalib as. secara ringkas.
Putra Ka'bah

Sejarawan sepakat bahwa Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. lahir di dalam Ka'bah yang suci. Tak seorang pun di dunia ini yang lahir di dalam Ka'bah. Hal ini adalah pertanda keagungan dan ketinggian kedudukannya di sisi Allah swt. Sehubungan dengan itu, Abdul Bâqî Al-'Amrî, seorang penyair berkata,
Engkaulah sang agung dijunjung tinggi,
lebih agung darimu di kota Mekah tiada lagi,
engkau dilahirkan di Baitullah yang suci.
Saudara Rasulullah saw. dan pintu kota ilmunya ini lahir di dalam rumah Allah yang paling suci. Tujuannya, supaya Imam Ali as. dapat menerangi jalan penduduk sekitarnya, menegakkan bendera tauhid, dan menyucikan Baitullah itu dari setiap berhala dan patung. Pengayom orang-orang asing, saudara orang-orang fakir, dan tempat berlindung orang-orang yang ditimpa kesusahan ini lahir di dalam rumah yang agung dan suci. Tujuannya, supaya ia dapat menebarkan keamanan, ketentraman, dan kebahagiaan dalam kehidupan mereka, serta memusnahkan kemiskinan dari dunia mereka. Ayahnya, sang mukmin Quraisy dan singa padang pasir, menamainya Ali. Sebuah nama yang paling bagus dan indah. Sebuah nama yang tinggi dalam kedermawanan dan kejeniusan, dan tinggi pula dalam kekuatan dan potensi cemerlang di bidang ilmu pengetahuan, adab, dan keutamaan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Penegak keadilan Islam ini dilahirkan pada hari Jumat, 13 bulan Rajab 30 tahun setelah tahun Gajah dan 12 tahun sebelum pengangkatan Rasulullah saw. menadi nabi.
Gelar Imam Ali bin Abi Thalib

Imam Ali bin Abi Thalib as. memiliki banyak gelar. Semua itu merefleksikan ketinggian karakteristiknya. Di antara gelar-gelar itu adalah berikut ini:

1. Ash-Shiddîq (Orang yang Jujur)

Imam Ali bin Abi Thalib as. memiliki delar Ash-Shiddîq (orang yang jujur), karenanya adalah orang pertama yang membenarkan Rasulullah saw. dan yang beriman kepada seluruh ajaran yang dibawanya dari sisi Allah swt.
Imam Ali as. pernah berkata: "Aku adalah Ash-Shiddîq Al-Akbar (orang jujur yang teragung). Aku telah beriman sebelum Abu Bakar beriman dan aku masuk Islam sebelum ia masuk Islam."

2. Al-Washî (Penerima Wasiat)

Imam Ali as. juga memiliki gelar Al-Washî (penerima wasiat), karenanya adalah washî Rasulullah saw. Gelar ini diberikan langsung oleh Rasulullah saw. kepadanya. Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya washî-ku, tempat rahasiaku, orang yang terbaik dan terutama yang kutinggalkan setelahku, pelaksana janjiku, dan yang melunasi utang-utangku adalah Ali bin Abi Thalib as."

3. Al-Fârûq (Pembeda Hak dan Batil)

Imam Ali as. diberi gelar Al-Faruq, karena beliaulah pembeda antara yang hak dan yang batil. Gelar ini disimpulkan dari beberapa hadis Rasulullah saw. yang menekankan masalah ini.
Abu Dzar dan Salman Al-Farisi meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw. menggandeng tangan Ali seraya bersabda: "Sesunguhnya orang ini-yaitu Ali bin Abi Thalib-adalah orang pertama yang beriman kepadaku. Ia adalah orang pertama yang akan bersalaman denganku di Hari Kiamat nanti. Ia adalah Ash-Shiddîq Al-Akbar, dan ia adalah Al-Faruq umat ini yang membedakan antara yang hak dan yang batil."

4. Ya'sûbuddin (Tonggak Agama)

Secara etimologis, Al-ya'sûb berarti pemimpin lebah. Kemudian nama ini diberikan kepada seseorang yang menjadi pemimpin sebuah kaum. Ya'sûb adalah sebuah gelar yang diberikan oleh Rasulullah saw. kepada Imam Ali bin Abi Thalib as. Rasulullah saw. pernah bersabda: "Orang ini-sembari menunjuk Ali bin Abi Thalib-adalah tonggak dan pemimpin (ya'sûb) orang-orang yang beriman, sedang harta adalah tonggak dan pemimpin orang-orang yang zalim."

5. Amirul Mukminin (Pemimpin Orang-Orang Beriman)

Salah satu gelar Ali bin Abi Thalib as. yang terkenal adalah Amirul Mukminin. Gelar ini diberikan oleh Rasulullah saw. kepadanya.
Abu Nu'aim meriwayatkan sebuah hadis dari Anas bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Hai Anas, tuangkanlah air wudu untukku." Setelah berwudu, Rasulullah saw. mengerjakan salat dua rakaat. Setelah usai salat, ia bersabda: "Hai Anas, orang yang pertama kali masuk menjumpaimu melalui pintu ini adalah Amirul Mukminin, Sayidul Muslimin, pemimpin orang-orang yang putih bercahaya, dan penutup para washî."
Anas berkata: "Aku memanjatkan doa, 'Ya Allah, pilihlah ia dari salah seorang kaum Anshar.' Aku menyembunyikan keinginanku itu. Tidak lama berselang, datanglah Ali bin Abi Thalib as. Rasulullah saw. bertanya, 'Siapakah orang itu, hai Anas?' 'Ali bin Abi Thalib, ya Rasulullah', jawabku pendek. Mendengar jawAbânku itu, Rasulullah saw. segera bangkit untuk menyambut dan memeluk Ali bin Abi Thalib. Lantasnya mengusap seluruh keringat yang mengalir di wajahnya dan juga mengusap seluruh keringat yang mengucur di wajah Ali bin Abi Thalib. Ali as. bertanya (terheran-heran), 'Hai Rasulullah, kali ini aku melihat Anda melakukan suatu perbuatan terhadapku yang belum pernah kulihat sebelumnya?' Rasulullah saw. Menjawab, 'Apakah yang menghalangiku untuk melakukan itu? Engkau adalah orang yang akan memenuhi seluruh amanatku, menyampaikan seruanku kepada masyarakat, dan menjelaskan segala pertikaian yang mereka lakukan sepeninggalku.'"

6. Hujjatullah (Hujah Allah)

Salah satu gelar agung Ali bin Abi Thalib as. yang lain adalah Hujatullah (hujah Allah). Ia adalah hujah Allah swt. untuk seluruh umat manusia yang bertugas memberi petunjuk mereka ke jalan yang lurus. Gelar ini pun juga diberikan langsung oleh Rasulullah saw. kepadanya. Rasulullah bersabda: "Aku dan Ali adalah hujah Allah swt. untuk seluruh hamba-Nya."
Itu adalah sebagian gelar mulia yang dimiliki oleh Imam Ali bin Abi Thalib as. Kami telah menyebutkan enam gelarnya yang lain dalam kitab kami yang berjudul Mawsû'ah Al-Imam Amiril Mukminin (Ensiklopedia Imam Ali bin Abi Thalib as.), jilid 1. Dalam buku ini, kami juga memaparkan julukan dan karakteristiknya secara mendetail.
Perkembangan Hidup Imam Ali bin Abi Thalib

Pada masa kanak-kanak, Imam Ali bin Abi Thalib as. diasuh oleh ayahnya, Abu Thalib, sang singa padang pasir dan mukmin Quraisy itu. Sang ayah adalah seorang figur dalam setiap kemuliaan, keutamaan, dan keagungan. Di samping itu, Imam Ali as. juga mengenyam pendidikan dari Ibunda tercinta, Fathimah binti Asad. Pada masa hidupnya, Fathimah binti Asad adalah teladan kaum wanita dalam kehormatan, kesucian, dan keluhuran budi pekerti. Sang ibunda telah mendidik anaknya dengan akhlak yang mulia, adat istiadat yang terpuji, dan tata krama yang luhur.
a. Di Bawah Asuhan Rasulullah saw.

Nabi Muhammad saw. mengasuh Imam Ali as. darinya masih kanak-kanak. Ketika Abu Thalib, paman Rasulullah saw., tengah mengalami kesulitan ekonomi, Rasulullah pergi menjumpai dua pamannya yang lain, Hamzah dan Abbâs. Rasulullah saw. menjelaskan kondisi ekonomi Abu Thalib kepada kedua paman itu. Ia meminta agar mereka dapat membantu menanggung beban hidup yang sedang diderita oleh Abu Thalib. Kedua paman memenuhi permintaan Rasulullah. Abbâs mengambil Thalib dan Hamzah mengambil Ja'far. Sedangkan Rasulullah saw. sendiri mengambil Ali untuk diasuh. Sejak saat itu, Ali berada di bawah asuhan dan kasih sayang Rasulullah saw. Rasulullah saw. menanamkan dasar-dasar keyakinan, nilai-nilai yang luhur, dan suri teladan yang terpuji dalam jiwa Ali as. Dengan demikian, Ali as. telah mengenal Islam dengan baik dan beriman kepadanya dari sejak usia muda.
Ali as. adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah saw. Karena itu, ia memiliki akhlak yang dimiliki oleh Rasulullah saw. dan paling mengerti tentang risalah yang ia emban. Ali as. pernah menceritakan bagaimana Rasulullah merawat dirinya dan betapa dekat hubungannya dengannya. Ali as. berkata: "Sesungguhnya kamu telah mengetahui kedudukanku di sisi Rasululah. Aku memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dan kedudukan yang istimewa di sisinya. Ia meletakkanku di pangkuannya ketika aku masih kecil. Ia mendekapku ke dadanya, menidurkanku di tempat tidurnya, menempelkanku ke badannya, dan mencium keningku. Ia mengunyah makanan untukku kemudian menyuapkannya ke mulutku. Aku sama sekali tidak pernah mendapati ia berdusta dan melakukan kesalahan dalam tingkah lakunya. Aku senantiasa mengikutinya seperti seekor anak unta mengikuti induknya. Setiap hari, ia menunjukkan kepadaku akhlak-akhlaknya yang mulia dan menyuruhku untuk mengikutinya."
Betapa erat hubungan Rasulullah saw. dengan Imam Ali as. Nabi Muhammad saw. telah mengasuh Imam Ali as. dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, dan dengan pendidikan yang luhur.
b. Pembelaan Imam Ali Terhadap Rasulullah saw.

Ketika Rasulullah saw. menciptakan sebuah revolusi spektakuler yang memporak-porandakan dan menghancurkan kultur dan adat istiadat jahiliah, bangsa Quraisy bangkit untuk menentangnya. Mereka berusaha untuk memadamkan revolusi ini dengan berbagai sarana dan prasarana yang mereka miliki. Bahkan, mereka pun menggerakkan anak-anak kecil untuk melempari Rasulullah saw. dengan batu. Ketika itu, Imam Ali as-yang masih kanak-kanak-berada di sisi Rasulullah saw. Ia berusaha menjaga Rasulullah dari serangan mereka sembari menghalau mereka dengan pukulan dan tangkisan. Begitu anak-anak kecil itu melihat Imam Ali berada di sisi Rasulullah sedang membelanya, mereka kabur menjumpai ayah mereka dengan perasaan takut dan malu.
c. Ali, Pemeluk Islam Pertama

Para sejarawan dan perawi hadis sepakat bahwa Imam Ali as. adalah orang pertama yang beriman kepada Rasulullah saw. dan memenuhi panggilannya dengan suara lantang. Ali as. mendeklarasikan kepada masyarakat bahwa ia adalah orang pertama yang menyembah Allah swt. kala itu. Ia berkata: "Sungguh aku menyembah Allah swt. sebelum seorang pun dari umat ini menyembah Allah."
Para sejarawan dan perawi hadis juga sepakat bahwa Imam Ali sama sekali tidak pernah disentuh oleh kotoran jahiliah. Ia juga sama sekali tidak pernah sujud kepada berhala, sedangkan selainnya pernah sujud kepada berhala.
Al-Muqrizî berkata: "Ali bin Abi Thalib Al-Hâsyimî sama sekali tidak pernah menyekutukan Allah swt. Hal itu karena Allah swt. menghendaki kebaikan atasnya. Karena itu, Dia menentukan supaya Ali diasuh oleh putra pamannya, junjungan para nabi, Rasulullah saw."
Perlu ditegaskan di sini bahwa Ummul Mukminin Sayidah Khadijah memeluk Islam bersamaan dengan Imam Ali bin Abi Thalib as. menganut Islam. Ali as. bercerita tentang keimanan dirinya dan keimanan Khadijah kepada Islam seraya berkata, "Ketika itu, tidak ada satu rumah pun yang menghimpun penghuninya untuk memeluk Islam selain Rasulullah dan Khadijah, dan aku adalah orang yang ketiga."
Ibn Ishâq berkata: "Ali as. adalah orang pertama yang beriman kepada Allah swt. dan kepada Muhammad Rasulullah saw."
Ketika memeluk agama Islam, Ali as. masih berusia tujuh tahun. Menurut sebagian pendapat, ia sudah berusia sembilan tahun.
Dengan uraian ini jelas bahwa Imam Ali as. adalah orang pertama yang memeluk Islam, dan hal ini disepakati oleh kaum muslimin. Ini adalah sebuah kemuliaan dan kebanggaan tersendiri baginya.
d. Kecintaan Ali as. kepada Nabi Muhammad saw.

Imam Ali bin Abi Thalib as. sangat mencintai Rasulullah saw. Seseorang pernah bertanya kepada Ali as. tentang sejauh mana kecintaannya kepada Rasulullah saw. Ali as. menjawab: "Demi Allah, Rasulullah saw. adalah orang yang lebih kami cintai daripada harta, anak, dan ibu kami. Bahkan, daripada air yang sejuk kami miliki ketika kehausan."
Salah satu manifestasi kecintaan Imam Ali as. kepada Nabi Muhammad saw. adalah peristiwa berikit ini:
Pada suatu hari, Imam Ali as. memasuki sebuah kebun kurma. Pemilik kebun kurma berkata kepadanya: "Maukah kamu menyirami pohon-pohon kurma ini, dan untuk setiap satu ember air, kamu akan mendapatkan upah satu biji kurma?" Imam Ali as. bergegas menyirami pohon-pohon kurma itu. Pemilik pohon kurma memberikan upahnya, dan upah itu terkumpul sebanyak segenggam kurma. Lantas, Imam Ali as. bergegas menghadap Rasulullah saw. dan memberikan segenggam kurma itu kepadanya.
Bukti kecintaan Imam Ali as. kepada Rasulullah saw. yang lain adalah Imam Ali as. senantiasa berkhidmat dan berusaha untuk memenuhi seluruh hajat Rasulullah saw. Kami telah memaparkan sebagian bukti ini dalam buku kami yang berjudul Mawsû'ah Al-Imam Amiril Mukminin (Ensklopedia Imam Amirul Mukminin as.).
e. Yawm Ad-Dâr (Hari Pembelaan)

Imam Ali as. senantiasa mengikuti Rasulullah saw. hingga ia dewasa. Pada suatu hari, Rasulullah saw. mendeklarasikan dakwah Islam dan mendapat perintah dari Allah swt. untuk memyampaikan risalah Ilahi kepada sanak keluarganya. Rasulullah saw. memanggil Ali as. dan menyuruhnya untuk mengundang mereka. Di antara para undangan itu terdapat paman-pamannya. Yaitu Abu Thalib, Hamzah, Abbâs, dan Abu Lahab. Ketika mereka telah hadir dan berkumpul, Ali as. menyajikan hidangan. Para undangan menikmati hidangan, dan hidangan itu tak sedikit pun berkurang. Setelah usai menikmati hidangan, Rasulullah saw. bangkit dan mengajak mereka untuk memeluk agama Islam dan meninggalkan penyembahan berhala. Ucapan Rasulullah diputus oleh Abu Lahab. Ia berkata kepada hadirin: "Sesungguhnya kamu semua telah disihir oleh Muhammad."
Pertemuan ini berakhir tanpa membuahkan suatu hasil apapun. Pada hari berikutnya, Rasulullah saw. mengadakan pertemuan untuk yang kedua kalinya. Ketika para undangan telah hadir dan berkumpul, mereka menikmati hidangan yang disuguhkan. Setelah usai menikmati hidangan itu, Rasulullah saw. berdiri untuk menyampaikan pidato. Ia berkata: "Hai Bani Abdul Muthalib, demi Allah, sungguh aku belum pernah mengenal seorang pemuda Arab yang datang kepada kaumnya dengan membawa missi yang lebih baik daripada missi yang telah kubawa untuk kamu semua. Aku datang membawa kebaikan dunia dan akhirat untukmu. Allah swt. telah memerintahkan kepadaku untuk mengajakmu menggapai kebaikan itu. Siapakah di antara kamu yang siap membantuku atas urusan ini dan ia akan menjadi saudara, washî, dan khalifahku untuk kamu semua?"
Para hadirin diam seribu bahasa seolah-olah di atas kepala mereka terdapat seekor burung. Imam Ali as. bergegas memberikan jawAbân, sekalipun usianya pada saat itu masih sangat muda. Ia berkata dengan penuh semangat: "Aku, wahai nabi Allah. Aku siap menjadi pembelamu."
Lantas Rasulullah saw. memegang pundak Ali seraya berkata kepada hadirin: "Sesungguhnya orang ini adalah saudara, washî, dan khalifahku untuk kamu semua. Karena itu, dengarkan dan taatilah segala perintahnya."
Mendengar ucapan itu, seluruh hadirin serentak berteriak sembari mengejek Abu Thalib seraya berkata: "Muhammad telah menyuruhmu untuk mendengar dan menaati anakmu."
Para perawi hadis sepakat atas kesahihan peristiwa ini. Peristiwa ini adalah dalil yang gamblang atas kepemimpinan (imâmah) Imam Ali bin Abi Thalib as. Hadis Rasulullah saw. dalam peristiwa ini menegaskan bahwa Imam Ali as. adalah wazir dan pembantu, washî dan khalifah Rasulullah saw. Kami telah memaparkan penjelasan hadis ini secara mendetail dalam buku kami yang berjudul Mawsû'ah Al-Imam Amiril Mukminin (Ensklopedia Imam Amirul Mukminin as.), jilid 1.
f. Di Syi'ib (Lembah) Abu Thalib

Bangsa Quraisy yang kafir sepakat untuk memboikot Nabi Muhammad saw. di Syi'ib Abu Thalib. Mereka memaksanya untuk tinggal di sana agar tidak dapat melakukan interaksi dengan masyarakat. Tujuannya, agarnya tidak memiliki kesempatan untuk merubah keyakinan dan membersihkan otak masyarakat Arab dari kotoran jahiliah. Untuk melancarkan permusuhan terhadap Bani Hâsyim, bangsa Quraisy telah mengambil beberapa keputusan berikut ini:

a. Tidak menikahkan anak-anak perempuan mereka dengan laki-laki yang berasal dari kalangan Bani Hâsyim.
b. Orang laki-laki dari kalangan mereka tidak boleh menikah dengan wanita yang berasal dari kalangan Bani Hâsyim.
c. Mereka tidak boleh melakukan transaksi jual beli dengan Bani Hâsyim.

Bangsa Quraisy menggantungkan surat keputusan tersebut di tembok Ka'bah.

Rasulullah saw. terpaksa tinggal di Syi'ib Abu Thalib dengan disertai orang-orang mukmin dari kalangan Bani Hâsyim, termasuk di antaranya adalah Imam Ali as. Mereka mengalami berbagai tekanan dan siksaan di Syi'ib tersebut. Ummul Mukminin Khadijah senantiasa memberikan bantuan yang mereka butuhkan, hingga harta kekayaannya yang melimpah habis. Rasulullah saw. tinggal di Syi'ib Abu Thalib bersama para pengikut setianya selama dua tahun lebih. Akhirnya, Allah swt. mengutus rayap untuk melahap surat keputusan yang telah digantung di tembok Ka'bah itu. Rasulullah saw. memberitahukan peristiwa ini kepada Abu Thalib. Mendengar informasi itu, Abu Thalib bergegas menjumpai orang-orang kafir Quraisy dan memberitahukan peristiwa tersebut. Mereka tersentak kaget dan segera pergi untuk melihat surat keputusan itu. Ternyata peristiwa itu benar sesuai informasi yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Akhirnya, masyarakat menuntut agar Rasulullah saw. berserta para pengikutnya dibebaskan dari pemboikotan itu. Bangsa kafir Quraisy pun terpaksa memenuhinya. Dengan kondisi fisik yang sangat lemah, Rasulullah saw. dan para pengikutnya keluar dari tempat pemboikotan itu.
Setelah bebas dari pemboikotan ini, Rasulullah saw. mulai mengajak umat manusia kepada tauhid dan menyingkirkan seluruh tradisi jahiliah. Di jalan ini, ia tidak merasa gentar sedikit pun terhadap ancaman dan kesepakatan orang-orang kafir Quraisy untuk menghabisi dirinya. Hal ini karenanya mendapat perlindungan dari pamannya, Abu Thalib, Imam Ali as., dan putra-putra Abu Thalib yang lain. Abu Thalib dan keluarganya adalah benteng dan tempat berlindung Rasulullah saw. yang kokoh. Bahkan, Abu Thalib senantiasa mendorong Rasulullah saw. untuk meneruskan perjuangannya menyebarkan risalah Islam. Dalam sebuah syair yang indah, Abu Thalib berkata kepada beliau:
Pergilah, anakku, dan sedikit pun jangan gusar, pergilah dengan gembira dan senang hati.
Demi Allah, mereka tak akan berani menyentuhmu, hingga aku terkubur dalam tanah nanti.
Kau mengajakku dan kutahu engkau penasihatku, kau benar dan sebelum itu engkaulah sang Amîn.
Aku tahu bahwa agama Muhammad adalah sebaik-baik agama, untuk manusia di dunia ini.
Laksanakanlah urusanmu dan sedikit pun jangan gusar, bergembira dan senang hatilah atas hal ini.
Syair ini mengungkapkan kedalaman imam Abu Thalib. Ia adalah pengayom Islam dan pejuang muslim pertama. Sungguh celaka orang yang berpendapat bahwa ia bukan muslim dan berada dalam siksa neraka. Padahal jelas bahwa putranya adalah pembagi (qâsim) surga dan nereka. Abu Thalib adalah tonggak akidah Islam. Seandainya bukan karena sikap dan pembelaannya yang sangat berani, niscaya Islam tidak berwujud lagi, melainkan namanya saja, dan orang-orang kafir Quraisy sudah dapat memberangus Islam sejak awal kemunculannya.
g. Bermalam di Atas Ranjang Nabi saw.

Salah satu kemuliaan Imam Ali as. yang paling menonjol adalah pengorbanannya untuk Nabi Muhammad saw. dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri. Di dunia Islam, Imam Ali as. adalah orang pertama yang mempertaruhkan jiwanya (demi kepentingan dakwah Islam). Saat itu orang-orang kafir Quraisy bertekad untuk membunuh dan mencabik-cabik tubuh Rasulullah saw. dengan tombak dan pedang. Di tengah malam yang gulita, mereka mengepung rumah Rasulullah saw. dengan tombak dan pedang yang terhunus. Rasulullah saw. telah mengetahui makar mereka sebelumnya. Untuk itunya memanggil putra pamannya dan memberitahu tentang rencana jahat bangsa Quraisy. Ia menyuruh Ali untuk tidur di atas ranjangnya. Ali as. menggunakan selimut berwarna hijau yang biasa dipakai Rasulullah saw. agar mereka menduga bahwa yang sedang tidur di atas ranjang itu adalah Rasulullah saw. Dengan senang hati, Ali as. menerima dan mematuhi perintah Rasulullah yang belum pernah terbersit di benaknya itu. Hal itu karena ia akan menjadi tebusan jiwa Rasulullah saw. Sementara itu, Rasulullah saw. keluar tanpa sepengetahuan para pengepung sedikit pun. Ia melemparkan segenggam debu ke wajah mereka yang keji sembari berkata: "Terhinalah wajah mereka itu." Setelah berkata demikian, ia membaca ayat Al-Qur'an yang berbunyi: "Dan Kami jadikan di hadapan dan di belakang mereka dinding, kemudian Kami tutupi mereka sehingga mereka tidak dapat melihat." (QS. Yâsîn [36]:9)
Tindakan Ali as. bermalam di tempat tidur Rasulullah saw. ini adalah sebuah jihad dan perjuangan cemerlang yang tidak ada tandingannya. Sehubungan dengan ini Allah swt. menurunkan ayat Al-Qur'an yang berbunyi: "Di antara manusia ada yang menjual jiwanya demi meraih keridaan Allah." (QS. Al-Baqarah [2]:207)
Peristiwa ini adalah babak penting dalam dakwah Islam yang belum pernah dilakukan oleh seorang muslim pun.
Seorang penyair besar dan tenar, Syaikh Hâsyim Al-Ka'bî pernah melantunkan beberapa bait syair yang ditujukan kepada Imam Ali as. Ia berkata:
Sungguh pembelaanmu terhadap Ahmad tak mungkin terlukis dengan kata.
Engkau tidur malam di ranjangnya sementara musuh mengintai dan mengancam.
Engkau tidur dengan hati yang tenang seakan asyik mendengar kicauan burung.
Engkau bak gunung kokoh dan penunggang kuda pemberani, telah kau lengkapi malamnya dengan tegar.
Menjelang pagi mereka menyerang bendera hidayah, mereka tak tahu bendera hidayah terjaga.
Imam Ali as. tidak tidur malam sembari berdoa kepada Allah swt. demi keselamatan saudaranya dari bencana yang dahsyat dan kejahatan para musuh. Ketika cahaya pagi muncul, mereka segera menyerang tempat tidur Rasulullah saw. sambil menghunuskan pedang. Ali as. segera bangkit dari tidurnya bak harimau yang geram dengan menggenggam pedang terhunus. Melihat Ali as., mereka gemetar ketakutan seraya berteriak: "Mana Muhammad?" Ali as. menjawab dengan suara lantang: "Kamu telah menjadikanku penjaganya."
Akhirnya, mereka mundur dengan penuh rasa malu dan kekesalan. Rasulullah saw. yang lahir untuk membebaskan mereka dan membangun kemuliaan yang agung itu telah terlepas dari incaran kejahatan mereka. Bangsa Quraisy betul-betul menaruh kedengkian yang dalam terhadap Ali as. Mereka memandangnya dengan mata yang tajam, tetapi Ali as. tidak menggubris dan berjalan di hadapan mereka dengan tenang sambil menghina dan mengejek mereka.
h. Hijrah ke Yatsrib

Ketika Rasulullah saw. berangkat meninggalkan kota Mekah menuju kota Madinah, Ali as. menyampaikan semua amanatnya saw. kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan membayar seluruh utangnya, seperti diperintahkan oleh Nabi saw. Tidak lama kemudian, Ali as. menyusul saudara dan putra pamannya berhijrah ke Madinah. Bersama Ali as. turut serta beberapa orang wanita mulia yang bernama Fathimah. Di tengah perjalanan, ia dihadang oleh tujuh orang kafir Quraisy. Ali mengadakan perlawanan terhadap mereka dengan penuh keberanian. Ketika ia berhasil membunuh salah seorang dari mereka, tak ayal lagi para penghadang yang masih hidup itu lari tunggang langgang. Ali as. melanjutkan perjalanan bersama rombongannya, sementara kalbunya dipenuhi oleh rasa rindu kepada Rasulullah saw. Setibanya di Madinah, ia berjumpa dengan Rasulullah saw. Menurut sebuah riwayat, ia berjumpa Rasulullah saw. di kota Quba sebelum memasuki kota Madinah. Nabi saw. sangat gembira dengan kedatangan saudara dan pembela setianya di setiap kesulitan dan peristiwa itu.
Ali as. dalam Kaca Mata Al-Qur'an

Tidak sedikit ayat-ayat Al-Qur'an yang menegaskan keutamaan Amirul Mukminin Ali as. dan memperkenalkannya sebagai peribadi Islami yang tinggi dan mulia setelah Rasulullah saw. Ini menunjukkan bahwa ia mendapat perhatian yang tinggi di sisi Allah swt. Banyak sekali buku-buku literatur Islam yang menegaskan bahwa terdapat tiga ratus ayat Al-Qur'an yang turun berkenaan dengan keutamaan dan ketinggian pribadi Iman Ali as.
Perlu ditegaskan di sini bahwa jumlah ayat yang sangat banyak seperti itu tidak pernah turun berkenaan dengan seorang tokoh Islam manapun.
Ayat-ayat tersebut dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori berikut ini:
Kategori pertama: Ayat yang turun khusus berkenaan dengan Imam Ali secara pribadi.
Kategori kedua: Ayat yang turun berkenaan dengan Imam Ali as. dan keluarganya.
Kategori ketiga: Ayat yang turun berkenaan dengan Imam Ali dan para sahabat pilihan Rasulullah saw.
Kategori keempat: Ayat yang turun berkenaan dengan Imam Ali as. dan mengecam orang-orang yang memusuhinya.
Berikut ini adalah sebagian dari ayat-ayat tersebut.
a. Kategori Ayat Pertama

Ayat-ayat yang turun menjelaskan keutamaan, ketinggian, dan keagungan pribadi Imam Ali as. adalah sebagai berikut:

1. Allah swt. berfirman: "Sesungguhnya engkau hanyalah seorang pemberi peringatan . Dan bagi setiap kaum ada orang yang memberi petunjuk." (QS. Ar-Ra'd [13]:7)
Ath-Thabarî meriwayatkan sebuah hadis dengan sanad dari Ibn Abas. Ibn Abbâs berkata: "Ketika ayat ini turun, nabi saw. meletakkan tangannya di atas dadanya seraya bersabda, 'Aku adalah pemberi peringatan. Dan bagi setiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.' Lalunya memegang pundak Ali as. sembari bersabda: 'Engkau adalah pemberi petunjuk itu. Dengan perantara tanganmu, banyak orang yang akan mendapat petunjuk setelahku nanti.'"

2. Allah swt. berfirman:.".. dan (peringatan itu) diperhatikan oleh telinga yang mendengar." (QS. Al-Hâqqah [69]:12)
Dalam menafsirkan ayat tersebut, Amirul Mukminin Ali as. berkata: "Rasulullah saw. berkata kepadaku, 'Hai Ali, aku memohon kepada Tuhanku agar menjadikan telingamu yang menerima peringatan.' Lantaran itu, aku tidak pernah lupa apa saja yang pernah kudengar dari Rasulullah saw."

3. Allah swt. berfirman: "Orang-orang yang menginfakkan hartanya pada malam dan siang hari, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut bagi mereka dan mereka tidak pula bersedih hati." (QS. Al-Baqarah [2]:274)
Pada saat itu, Imam Ali as. hanya memiliki empat dirham. Satu dirham ia infakkan di malam hari, satu dirham ia infakkan di siang hari, satu dirham ia infakkan secara rahasia, dan satu dirham sisanya ia infakkan secara terang-terangan. Rasulullah saw. bertanya kepadanya: "Apakah yang menyebabkan kamu berbuat demikian?" Ali as. menjawab: "Aku ingin memperoleh apa yang dijanjikan Allah kepadaku." Kemudian ayat tersebut turun.

4. Allah swt. berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, mereka itu adalah sebaik-sebaik makhluk." (QS. Al-Bayyinah [98]:7)
Ibn 'Asâkir meriwayatkan sebuah hadis dengan sanad dari Jâbir bin Abdillah. Jâbir bin Abdillah berkata: "Ketika kami bersama nabi saw., tiba-tiba Ali as. datang. Seketika itu itu Rasulullah saw. bersabda, 'Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya Ali as. dan Syi'ah (para pengikut)nya adalah orang-orang yang beruntung pada Hari Kiamat.' Kemudian turunlah ayat itu. Sejak saat itu, setiap kali Ali as. datang, para sahabat Nabi saw. mengatakan, 'Telah datang sebaik-baik makhluk.'"

5. Allah swt. berfirman:.".. maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan [Ahl Adz-Dzikr] jika kamu tidak mengetahui." (QS. An-Nahl [16]:43)
Ath-Thabarî meriwayatkan sebuah hadis dengan sanad dari Jâbir Al-Ju'fî. Jâbir Al-Ju'fî berkata: "Ketika ayat ini turun, Ali as. berkata: "Kami adalah Ahl Adz-Dzikr."

6.Allah swt. berfirman: "Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika hal itu tidak engkau lakukan, maka berarti engkau tidak menyampaikan risalahmu. Sesungguhnya Allah menjagamu dari kejahatan manusia." (QS. Al-Mâ'idah [5]: 67)
Ayat ini turun kepada Rasulullah saw. Ketika ia berada di Ghadir Khum dalam perjalanan pulang dari haji Wadâ'. Rasulullah saw. diperintahkan oleh Allah untuk mengangkat Ali as. sebagai khalifah sepeninggalnya. Nabi saw. melaksanakan perintah tersebut. Ia menobatkan Ali as. sebagai khalifah dan pemimpin bagi umat sepeninggalnya. Rasulullah saw. mengumandangkan sabda yang masyhur di hadapan khalayak: "Barang siapa yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali as. adalah pemimpinnya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya, musuhilah orang yang memusuhinya, tolonglah orang yang menolongnya, dan hinakanlah orang yang menghinakannya."
Setelah itu, Umar bangkit dan berkata kepada Ali as.: "Selamat, hai Ali bin Abi Thalib, engkau telah menjadi pemimpinku dan pemimpin setiap mukmin dan mukminah."

7. Allah swt. berfirman: "Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu dan telah Aku lengkapi nikmat-Ku atasmu dan Aku pun rela Islam sebagai agamamu." (QS. Al-Mâ'idah [5]: 3)
Ayat yang mulia ini turun pada tanggal 18 Dzulhijjah setelah nabi saw. mengangkat Ali as. sebagai khalifah sepeninggalnya. Setelah ayat tersebut turun, nabi saw. bersabda: "Allah Maha Besar lantaran penyempurnaan agama, pelengkapan nikmat, dan keridaan Tuhan dengan risalahku dan wilâyah Ali bin Abi Thalib as."

8. Allah swt. berfirman: "Sesungguhnya pemimpinmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman yang mendirikan salat dan mengeluarkan zakat ketika sedang rukuk." (QS. Al-Mâ'idah [5]: 55)
Seorang sahabat nabi terkemuka, Abu Dzar berkata: "Aku mengerjakan salat Zhuhur bersama Rasulullah saw. Tiba-tiba datang seorang pengemis ke masjid, dan tak seorang pun yang memberikan sedekah kepadanya. Pengemis tersebut mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdoa, 'Ya Allah, saksikanlah bahwa aku meminta di masjid Rasul saw., tetapi tak seorang pun yang memberikan sesuatu kepadaku.' Pada saat itu Ali as. sedang mengerjakan rukuk. Kemudian ia memberikan Isya'rat kepadanya dengan kelingking kanan yang sedang memakai cincin. Pengemis itu datang menghampirinya dan segera mengambil cincin tersebut di hadapan Nabi saw. Lalunya saw. berdoa, 'Ya Allah, sesungguhnya saudaraku, Mûsâ as. memohon kepadamu sembari berkata, 'Wahai Tuhanku, lapangkanlah untukku hatiku, mudahkanlah urusanku, dan bukalah ikatan lisanku agar mereka dapat memahami ucapanku. Dan jadikanlah untukku seorang wazîr dari keluargaku; yaitu saudaraku, Hârûn. Kokohkanlah aku dengannya dan sertakanlah dia dalam urusanku.' (QS. Thaha [20]:25-32) Ketika itu Engkau turunkan ayat yang berbunyi, 'Kami akan kokohkan kekuatanmu dengan saudaramu dan Kami jadikan engkau berdua sebagai pemimpin.' (QS. Al-Qashash [28]:35) Ya Allah, aku ini adalah Muhammad nabi dan pilihan-Mu. Maka lapangkanlah hatiku, mudahkanlah urusanku, dan jadikanlah untukku seorang wazîr dari keluargaku, yaitu Ali. Dan kokohkanlah punggungku dengannya.'"
Abu Dzar melanjutkan: "Demi Allah, Jibril turun kepadanya sebelumnya sempat menyelesaikan doanya itu. Jibril berkata, 'Hai Muhammad, bacalah, 'Sesungguhnya walimu adalah Allah, Rasul-Nya dan ....'"
Ayat ini membatasi wilâyah universal (Al-Wilâyah Al-'?mmah) hanya untuk Allah swt., Rasul-Nya yang mulia, dan Ali as. Ayat ini menggunakan bentuk jamak lantaran untuk mengagungkan kemuliaan Imam Ali as. dan menghormati kedudukannya. Di samping itu, ayat ini berbentuk jumlah ismiyyah dan menggunakan kata pembatas (hashr) 'innamâ' (yang berarti hanya). Dengan demikian, ayat ini telah mengukuhkan wilâyah tersebut untuk Imam Ali as.
Seorang penyair tersohor, Hassân bin Tsâbit, telah menyusun sebuah bait syair sehubungan dengan turunnya ayat tersebut. Ia berkata:
Siapakah gerangan yang ketika rukuk menyedekahkan cincin,
sementara ia merahasiakannya untuk dirinya sendiri.
b. Kategori Ayat Kedua

Al-Qur'an Al-Karim dihiasi dengan banyak ayat yang turun berkenaan dengan Ahlul Bait as. Ayat-ayat ini secara otomatis juga ditujukan kepada junjungan mereka, Amirul Mukminin Ali as. Berikut ini sebagian dari ayat-ayat tersebut:

1. Allah swt. berfirman: "Katakanlah, 'Aku tidak meminta kepadamu upah apapun atas dakwahku itu selain mencintai Al-Qurbâ. Dan barang siapa yang mengerjakan kebajikan akan Kami tambahkan kepadanya kebajikan itu. Sesungguhnya Allah Maha Penghampun lagi Maha Mensyukuri.'" (QS. Asy-Syûrâ [42]:23)
Mayoritas ahli tafsir dan perawi hadis berpendapat bahwa maksud dari "Al-Qurbâ" yang telah diwajibkan oleh Allah swt. kepada segenap hamba-Nya untuk mencintai mereka adalah Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain as., dan maksud dari "iqtirâf Al-hasanah" (mengerjakan kebaikan) dalam ayat ini ialah mencintai dan menjadikan mereka sebagai pemimpin. Berikut ini beberapa riwayat yang menegaskan hal ini.
Dalam sebuah riwayat, Ibn Abas berkata: "Ketika ayat ini turun, para sahabat bertanya, 'Ya Rasulallah, siapakah sanak kerabatmu yang kami telah diwajibkan untuk mencintai mereka?' Rasulullah saw. menjawab, 'Mereka adalah Ali, Fathimah, dan kedua putranya.'"
Dalam sebuah hadis, Jâbir bin Abdillah berkata: "Seorang Arab Badui pernah datang menjumpai Nabi saw. seraya berkata, 'Jelaskan kepadaku tentang Islam.' Rasulullah saw. menjawab, 'Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan Muhammad itu adalah hamba dan rasul-Nya.' Arab Badui itu segera menimpali, 'Apakah engkau meminta upah dariku?' Rasul menjawab: "Tidak, selain mencintai Al-Qurbâ'. Orang Arab Badui itu bertanya lagi, 'Keluargaku ataukah keluargamu?' Nabi saw. menjawab, 'Tentu keluargaku.' Kemudian orang Arab Badui itu berkata lagi: "Jika begitu, aku membaiatmu bahwa barang siapa yang tidak mencintaimu dan tidak juga mencintai keluargamu, maka Allah akan mengutuknya.' Nabi segera menimpali, 'Amîn.'"

2. Allah swt. berfirman: "Barang siapa yang menghujatmu tentang hal itu setelah jelas datang kepadanya pengetahuan, maka katakanlah, 'Mari kami panggil putra-putra kami dan putra-putra kamu, putri-putri kami dan putri-putri kamu, dan diri kami dan diri kamu, kemudain kita ber-mubâhalah agar kita jadikan kutukan Allah atas orang-orang yang dusta.'" (QS. Ali 'Imrân [3]:61)
Para ahli tafsir dan perawi hadis sepakat bahwa ayat yang mulia ini turun berkenaan dengan Ahlul Bait Nabi saw. Ayat tersebut menggunakan kata abnâ' (anak-anak) dan maksudnya adalah Hasan dan Husain as., kedua cucu Nabi yang dirahmati dan kedua imam pemberi hidayah. Ungkapkan kata an-nisâ' (wanita) mengindikasikan Sayidah Az-Zahrâ' as., penghulu seluruh wanita dunia dan akhirat. Dan tentang pemuka dan junjungan Ahlul Bait, Imam Amirul Mukminin as., diungkapkan dengan kata anfusanâ (diri kami).

3. Allah swt. berfirman: "Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum menjadi sesuatu yang dapat disebut ...." (QS. Ad-Dahr [76])
Mayoritas ahli tafsir dan para perawi hadis berpendapat bahwa surat ini diturunkan untuk Ahlul Bait nabi saw.

4. Allah swt. berfirman: "Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan segala kotoran hanya dari kamu, hai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya." (QS. Al-Ahzâb [33]:33)
Para ahli tafsir dan perawi hadis sepakat bahwa ayat yang penuh berkah ini turun berkenaan dengan lima orang penghuni Kisâ'. Mereka adalah Rasulullah saw.; junjungan para makhluk, Ali as.; jiwa dan dirinya, Sayyidah Fathimah; buah hatinya yang suci dan penghulu para wanita di dunia dan akhirat yang Allah rida dengan keridaannya dan murka dengan kemurkaannya, dan Hasan dan Husain as.; kedua permata hatinya dan penghulu para pemuda ahli surga. Tak seorang pun dari keluarga Rasulullah saw. yang lain dan tidak pula para pemuka sahabatnya yang ikut serta dalam keutamaan ini. Hal ini dikuatkan oleh beberapa hadis berikut ini:
Pertama, Ummul Mukminin Ummu Salamah berkata: "Ayat ini turun di rumahku. Pada saat itu ada Fathimah, Hasan, Husain, dan Ali as. di rumahku. Kemudian Rasulullah saw. menutupi mereka dengan Kisâ' (kain panjang dan lebar), seraya berdoa: "Ya Allah, mereka adalah Ahlul Baitku. Hilangkanlah dari mereka segala kotoran dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.'" Ia mengulang-ulang doa tersebut dan Ummu Salamah mendengar dan melihatnya. Lantas dia berkata: "Apakah aku masuk bersama Anda, ya Rasulullah?" Lalu dia mengangkat Kisâ' tersebut untuk masuk bersama mereka. Tetapinya menarik Kisâ' itu sembari bersabda: "Sesungguhnya engkau berada dalam kebaikan."
Kedua, dalam sebuah riwayat Ibn Abbâs berkata: "Aku menyaksikan Rasulullah saw. setiap hari mendatangi pintu rumah Ali bin Abi Thalib as. setiap kali masuk waktu salat selama tujuh bulan berturut-turut. Ia mendatangi pintu rumah itu sebanyak lima kali dalam sehari sembari berkata, 'Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh, hai Ahlul Bait. Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan segala kotoran hanya dari kamu, hai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Mari kita kerjakan salat,semoga Allah merahmati kalian."
Ketiga, dalam sebuah riwayat Abu Barazah berkata: "Aku mengerjakan salat bersama Rasulullah saw. selama tujuh bulan. Setiap kali keluar dari rumah, ia mendatangi pintu rumah Fathimah as. seraya bersabda, 'Salam sejahtera atas kalian. Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan segala kotoran hanya dari kamu, hai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.'"
Sesungguhnya tindakan-tindakan Rasulullah saw. ini merupakan sebuah pemberitahuan kepada umat dan seruan kepada mereka untuk mengikuti Ahlul Bait as. Lantaran Ahlul Bait as. adalah pembimbing bagi mereka untuk meniti jalan kemajuan di kehidupan duniawi maupun ukhrawi.
c. Kategori Ayat Ketiga

Terdapat beberapa ayat yang turun berkenaan dengan Amirul Mukminin Ali as. dan juga berkenaan dengan para sahabat Nabi pilihan dan terkemuka. Berikut ini ayat-ayat tersebut:

1. Allah swt. berfirman: "Dan di atas Al-A'râf tersebut ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka." (QS. Al-A'raf [7]:46)
Ibn Abbâs berkata: "Al-A'râf adalah sebuah tempat yang tinggi dari Shirât. Di atas tempat itu terdapat Abbâs, Hamzah, Ali bin Abi Thalib as., dan Ja'far pemilik dua sayap. Mereka mengenal para pecinta mereka dengan wajah mereka bersinar dan juga mengenal para musuh mereka dengan wajah mereka yang hitam pekat."

2. Allah swt. berfirman: "Di antara orang-orang yang beriman itu ada orang-orang yang menepati apa telah yang mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada [pula] yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah janjinya." (QS. Al-Ahzâb [33]:23)
Ali as. pernah ditanya tentang ayat ini, sementara ia sedang berada di atas mimbar. Dia berkata: "Ya Allah, aku mohon ampunanmu. Ayat ini turun berkenaan denganku, pamanku Hamzah, dan pamanku 'Ubaidah bin Hârist. Adapun 'Ubaidah, ia telah gugur sebagai syahid di medan Badar dan Hamzah juga telah gugur di medan perang Uhud. Sementara aku masih menunggu orang paling celaka yang akan mengucurkan darahku dari sini sampai ke sini-sembari ia menunjuk jenggot dan kepalanya."
d. Kategori Ayat Keempat

Berikut ini kami paparkan beberapa ayat yang turun memuji Imam Ali as. dan mengecam para musuhnya yang senantiasa berusaha untuk menghapus segala keutamaannya.

1. Allah swt. berfirman: "Apakah kamu menyamakan pekerjaan memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram dengan (amal) orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim." (QS. At-Taubah [9]:19)
Ayat ini turun berkenaan dengan Imam Ali as., Abbâs, dan Thalhah bin Syaibah ketika mereka saling menunjukkan keutamaan masing-masing. Thalhah berkata: "Aku adalah pengurus Ka'bah. Kunci dan urusan tabirnya berada di tanganku." Abbâs berkata: "Aku adalah pemberi minum orang-orang yang beribadah haji." Ali as. berkata: "Aku tidak tahu kalian ini berkata apa? Sungguh aku telah mengerjakan salat menghadap ke arah Kiblat selama enam bulan sebelum ada seorang pun yang mengerjakan salat dan akulah orang yang selalu berjihad." Kemudian turunlah ayat tersebut.

2. Allah swt. berfirman: "Maka apakah orang yang telah beriman seperti orang yang fasik? Tentu tidak sama." (QS. As-Sajdah [32]:18)
Ayat ini turun memuji Imam Ali as. dan mengecam Walîd bin 'Uqbah bin Abi Mu'îth. Walîd berbangga diri di hadapan Ali as. seraya berkata: "Lisanku lebih fasih daripada lisanmu, gigiku lebih tajan daripada gigimu, dan aku juga lebih pandai menulis." Ali as. berkata: "Diamlah. Sesungguhnya engkau adalah orang fasik". Kemudian turunlah ayat tersebut.

Ali as. dalam Kaca Mata Sunah

Buku-buku literatur hadis, baik Shihâh maupun Sunan, dipenuhi oleh hadis-hadis Nabi saw. yang bagaikan bintang-gumintang gemilang menegaskan keutamaan pelopor keadilan Islam, Imam Ali as., dan mengangkatnya tinggi di tengah-tengah masyarakat Islam.
Setiap orang yang mau merenungkan hadis-hadis yang masyhur dan telah tersebar di kalangan para perawi hadis itu pasti memahami tujuan utama Nabi saw. di balik hadis-hadis tersebut. yaitu ia ingin mengangkat Ali as. sebagai khalifah sepeninggalnya sehingga ia menjadi penerus tongkat estafet kenabian dan tempat rujukan umat yang bertugas menegakkan tonggak kehidupan mereka, memperbaiki kondisi mereka, dan menuntun mereka menapak jalan kehidupannya sehingga umat Islam menjadi pelopor bagi bangsa-bangsa dunia yang lain.
Bila kita mencermati hadis-hadis Nabi saw. mengenai keutamaan Imam Ali as. itu, niscaya kita temukan sekelompok hadis dikhususkan untuk dia secara khusus dan sekelompok hadis yang lain dikhususkan untuk Ahlul Bait Nabi as., yang secara otomatis kelompok hadis kedua ini juga meliputi Imam Ali as. Hal itu lantaran ia adalah junjungan 'Itrah.

Berikut ini kami nukilkan beberapa hadis tersebut.
1. Kelompok Hadis Pertama

Hadis-hadis kelompok ini memuat berbagai macam bentuk pemuliaan dan pengagungan terhadap Imam Ali as. dan penegasan atas keutamaannya. Hadis-hadis tersebut adalah berikut ini:

a. Kedudukan Ali as. di Sisi Nabi saw.

Amirul Mukminin Ali as. adalah satu-satunya orang yang paling dekat dengan Rasulullah saw. Ali as. adalah ayah untuk kedua cucunya dan pintu kota ilmunya. Nabi saw. sangat menghormati dan mencintai Ali as. Beberapa hadis Nabi saw. menegaskan betapa kecintaannya saw. kepada Ali as. sangat besar. Mari kita simak bersama beberapa hadis berikut ini.

Ali as., Diri Nabi saw.

Ayat Mubâhalah menegaskan kepada kita bahwa Imam Ali as. adalah diri dan jiwa Nabi saw. Kami telah memaparkan hal ini pada pembahasan yang lalu. Nabi saw. sendiri telah menjelaskan dalam berbagai hadis bahwa Ali as. adalah diri dan jiwanya.
Pada suatu hari, Walîd bin 'Uqbah memberikan informasi kepda Nabi saw. bahwa Bani Walî'ah telah murtad dari Islam. Mendengar informasi tersebut, Nabi saw. sangat murka seraya bersabda: "Apakah Bani Walî'ah menghentikan perbuatan mereka itu atau aku akan utus kepada mereka seorang laki-laki yang merupakan diri dan jiwaku; ia akan memerangi mereka dan menyandera kaum wanita mereka. Laki-laki itu adalah orang ini." Setelah bersabda demikian, Nabi saw. menepuk pundak Imam Ali as.
Dalam sebuah hadis, 'Amr bin 'Ash berkata: "Ketika aku kembali dari perang Dzâtus Salâsil, aku mengira bahwa tidak seorang pun yang lebih dicintai oleh Rasulullah saw. daripada aku. Aku bertanya kepadanya, 'Ya Rasulallah, siapakah yang paling Anda cintai?' Rasulullah saw. menyebutkan nama beberapa orang. Aku bertanya lagi, 'Ya Rasulallah, di manakah Ali?' Nabi saw. menoleh kepada para sahabat seraya bersabda, 'Sesungguhnya ia bertanya kepadaku tentang jiwaku.'"

Ali as., Saudara Nabi saw.

Nabi saw. pernah mengumumkan di hadapan para sahabat bahwa Ali as. adalah saudaranya. Masalah ini telah direkam oleh banyak hadis. Antara lain ialah:
At-Turmudzî meriwayatkan dengan sanad dari Ibn Umar. Ibn Umar berkata: "Rasulullah saw. telah mempersaudarakan para sahabatnya. Kemudain datanglah Ali as. dengan air mata yang berlinang seraya berkata, 'Ya Rasulallah, engkau telah mempersaudarakan para sahabatmu. Tetapi mengapa Anda tidak mempersaudarakanku dengan siapa pun?' Rasulullah saw. bersabda, 'Engkau adalah saudaraku di dunia dan di akhirat.'"
Nabi saw. mempersaudarakan Ali dengan dirinya bukan hanya di dunia ini saja. Tetapi persaudaraan antaranya Imam Ali as. ini berlanjut hingga hari akhirat yang tak berbatas.
Anas bin Malik berkata: "Rasulullah saw. naik ke atas mimbar. Setelah usai berpidato, ia bertanya, 'Di manakah Ali bin Abi Thalib?' Ali as. segera bangkit dan berkata: "Aku di sini, ya Rasulullah.' Tak lama kemudian Nabi saw. memeluk Ali as. dan mencium keningnya seraya bersabda dengan suara yang lantang: "Wahai kaum Muslimin, Ali adalah saudaraku dan putra pamanku. Dia adalah darah dagingku dan rambutku. Dia adalah ayah kedua cucuku Hasan dan Husain, penghulu para pemuda penghuni surga.'"
Dalam sebuah riwayat, Ibn Umar berkata: "Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda pada saat melaksanakan haji Wadâ' sementaranya menunggangi unta sembari menepuk pundak Ali as.: "Ya Allah, saksikanlah. Ya allah, aku telah menyampaikan seruan-Mu bahwa orang ini adalah saudaraku, putra pamanku, menantuku, dan ayah kedua cucuku. Ya Allah, sungkurkanlah orang yang memusuhinya ke dalam api neraka.'"

Nabi saw. dan Ali as. Berasal dari Satu Pohon

Nabi saw. pernah menegaskan bahwa ia saw. dan Ali as. berasal dari satu pohon yang sama. Hal ini telah disebutkan dalam beberapa hadis. Berikut ini adalah contoh dari hadis-hadis tersebut:
Dalam sebuah hadis, Jâbir bin Abdillah berkata: "Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda kepada Ali as., 'Hai Ali, sesungguhnya umat manusia berasal dari berbagai pohon yang berbeda. Sementara engkau dan aku berasal dari satu pohon yang sama.' Kemudannya membacakan ayat yang berbunyi: "Dan di atas bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan (tapi berbeda-beda), dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman, dan pohon kurma yang bercAbâng dan yang tidak bercAbâng, disirami dengan air yang sama ..." (QS. Ar-Ra'd [13]:4)
Rasulullah saw. bersabda: "Aku dan Ali as. berasal dari satu pohon, sedang umat manusia berasal dari pohon yang berbeda-beda."
Sungguh betapa agung dan mulia pohon tersebut yang telah melahirkan junjungan alam semesta, Rasulullah saw., dan pintu kota ilmunya, Amirul Mukminin Ali as. Pohon ini adalah pohon yang penuh berkah; pohon yang akarnya menghujam ke dalam bumi dan ranting-rantingnya menjulang ke langit, dan membuahkan hasil bagi umat manusia pada setiap generasi.

Ali as., Wazîr Nabi saw.

Dalam beberapa hadis, Nabi saw. sangat menekankan bahwa Ali as. adalah wazîrnya. Di antara hadis-hadis tersebut ialah berikut ini:
Dalam sebuah hadis, Asmâ' binti 'Umais berkata: "Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Ya Allah, sesungguhnya aku berkata sebagaimana saudaraku, Mûsâ berkata, 'Ya Allah, jadikanlah untukku seorang wazîr dari keluargaku, yaitu saudaraku Ali. Kokohkanlah aku dengannya, sertakanlah dia dalam urusanku agar kami banyak bertasbih kepada-Mu dan senantiasa mengingat-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui kondisi kami".

Ali as., Khalifah Nabi saw.

Nabi saw. memproklamasikan bahwa Ali as. adalah khilafah sepeninggalnya dari sejaknya memulai dakwah. Hal itu terjadi Ketika ia mengundang kaum Quraisy agar memeluk Islam. Di akhir pertemuan tersebut, ia saw. berkata kepada mereka: "Dengan demikian, orang ini-yaitu Ali as.-adalah saudaraku, washî-ku, dan khalifahku setelahku untuk kalian. Dengarkan dan taatilah dia."
Rasulullah saw. telah menggandengkan kekhalifahan Ali as. sepeninggalannya dengan permulaan dakwah Islam. Ia juga telah menyingkirkan kemusyrikan dan penyembahan terhadap berhala. Banyak sekali riwayat yang telah menegaskan kekhalifahan Ali as. ini. Berikut ini sebagian darinya:
Rasululllah saw. bersabda: "Hai Ali, engkau adalah khalifahku untuk umatku."
Beliau saw. juga bersabda: "Di antara mereka, Ali bin Abi Thalib paling dahulu memeluk Islam, paling banyak ilmu pengetahuannya, dan dia adalah imam dan khalifah setelahku."

Ali as. di Sisi Nabi saw. Seperti Hârûn di Sisi Mûsâ

Banyak sekali hadis dan riwayat telah diriwayatkan dari Nabi saw. yang memiliki kandungan yang sama. yaitu ia bersabda kepda Ali as.: "Engkau di sisiku seperti kedudukan Harus di sisi Mûsâ as. ...."
Berikut ini kami nukilkan sebagian hadis tersebut:
Nabi saw. bersabda kepada Ali as.: "Tidakkah engkau rela bahwa engkau di sisiku sebagaimana kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as., hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku?"
Sa'îd bin Mûsâyyib meriwayatkan hadis dari '?mir bin Sa'd bin Abi Waqqâsh, dari ayahnya, Sa'd. Sa'd berkata: "Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Ali as.: "Engkau di sisiku seperti kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as., hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku.'"
Sa'îd berkata: "Aku ingin menyampaikan informasi tersebut kepada Sa'd. Aku menjumpainya dan kuceritakan apa yang diceritakan oleh '?mir. Sa'd berkata: "Aku pun telah mendengarnya.' Aku bertanya: "Sungguh engkau telah mendengarnya?" Ia meletakkan jarinya di kedua telinganya seraya berkata: "Ya, aku telah mendengarnya. Jika tidak, berarti aku tuli.'"

Ali as., Pintu Kota Ilmu Nabi saw.

Satu hal lagi tentang ketinggian dan keagungan kedudukan Ali as. yang ditegaskan oleh Nabi saw. adalah bahwa ia telah menjadikannya sebagai pintu kota ilmunya. Hadis-hadis mengenai hal ini telah diriwayatkan melalui beberapa jalur sehingga mencapai peringkat qath'î (meyakinkan). Hadis-hadis ini telah diriwayatkan dari Rasulullah saw. pada beberapa kesempatan. Di antaranya adalah berikut ini:
Jâbir bin Abdillah berkata: "Pada peristiwa Hudaibiyah, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda sambil memegang tangan Ali as.: "Orang ini adalah pemimpin orang-orang saleh, pembasmi orang-orang zalim, akan ditolong siapa yang membelanya, dan akan terhina siapa yang menghinanya.' Lalunya mengeraskan suaranya: "Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya. Barang siapa yang ingin memasuki rumah, hendaklah ia masuk melalui pintunya.'"
Ibn Abbâs berkata: "Rasulullah saw. bersabda: "Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Barang siapa yang ingin memasuki kota, maka hendaklah ia mendatangi pintunya."
Rasulullah saw. bersabda: "Ali adalah pintu ilmuku dan penjelas risalahku kepada umatku sepeninggalku nanti. Mencintainya adalah iman, memurkainya adalah kemunafikan, dan memandangnya adalah kasih sayang."
Amirul Mukminin Ali as. adalah pintu kota ilmu Nabi saw. Setiap ajaran agama, hukum syariat, akhlak yang mulia, dan tata krama luhur yang datang darinya, semua itu bersumber dari Nabi saw. Konsekuensinya, kita harus mematuhi dan mengikutinya.
Sesungguhnya Nabi saw. telah meninggalkan sumber ilmu pengetahuan untuk memenuhi kehidupan ini dengan hikmah dan kesejahteraan. Sumber itunya titipkan kepada Ali as. agar umat ini dapat menimba darinya. Tetapi sangat sekali, kekuatan zalim yang dengki kepada Imam Ali as. telah menutup jendela cahaya tersebut, mencegah umat untuk mengambil manfat darinya, dan membiarkan mereka terperosok ke dalam kebodohan hidup ini.

Ali as., Serupa dengan Para Nabi

Suatu ketika Nabi saw. berada di tengah-tengah para sahabat. Ia berkata kepada mereka: "Jika kalian ingin melihat ilmu pengetahuan Adam as., kesedihan Nuh as., ketinggian akhlak Ibrahim as., munajat Mûsâ as., usia Isa as., dan petunjuk serta kelembutan Muhammad saw., maka hendaklah kalian melihat orang yang akan datang sebentar lagi." Setelah agak lama mereka menanti-nanti siapa yang akan datang, tiba-tiba Amirul Mukmini Ali as. muncul."
Seorang penyair terkenal, Abu Abdillah Al-Mufajji', telah banyak menyusun bait- bait syair tentang keagungan dan kemuliaan Imam Ali as. Ketika mengungkapkan realita tersebut di atas, ia menulis:
Wahai pendengki kekasihku Ali, masuklah ke dalam neraka Jahim dengan terhina.
Masihkah engkau menyindir manusia terbaik, sedang engkau tersingkirkan dari petunjuk dan cahaya?
Dialah yang mirip para nabi di kala kanak dan muda, di kala menyusu, disapih dan di kala makan.
Ilmunya bagai Adam di kala ia menjelaskan nama-nama dan alam semesta.
Bagai Nuh di kala selamat dari maut ketika ia turun di bukit Jûdî.

Mencintai Ali as., Keimanan; Membencinnya, Kemunafikan

Nabi Muhammad saw. menegaskan kepada umat bahwa mencintai Ali as. adalah tanda keimanan dan ketakwaam. Sementara membencinya adalah kemunafikan dan maksiat. Beriktu ini sebagian riwayat yang telah diriwayatkan darinya tentang hal ini:
Ali as. berkata: "Demi Dzat yang membelah biji-bijian dan menciptakan manusia, sesungguhnya janji Nabi yang ummî kepadaku adalah bahwa tidak ada yang mencintaiku kecuali orang mukmin dan tidak membenciku melainkan orang munafik."
Al-Musâwir Al-Humairî meriwayatkan hadis dari ibunya. Ibunya berkata: "Ummu Salamah datang menjumpaiku dan aku mendengar ia mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Orang munafik tidak akan mencintai Ali dan orang mukmin tidak akan membencinya.'"
Ibn Abbâs pernah meriwayatkan sebuah hadis. Ia berkata: "Rasulullah saw. memandang kepada Ali as. seraya bersabda: "Tidak mencintaimu melainkan orang mukmin dan tidak membencimu kecuali orang munafik. Barang siapa yang mencintaimu, berarti ia mencintaiku. Barang siapa yang membencimu, berarti ia membenciku. Kekasihku adalah kekasih Allah dan pendengkiku adalah pendengki Allah. Sungguh celaka orang yang mendengkimu setelahku nanti.'"
Dalam sebuah riwayat, Abu Sa'îd Al-Khudrî berkata: "Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Ali as., 'Mencintaimu adalah keimanan dan membencimu adalah kemunafikan. Orang yang pertama masuk surga adalah pecintamu dan orang pertama yang masuk neraka adalah pendengkimu.'"
Hadis-hadis di atas telah tersebar luas di kalangan para sahabat nabi saw. Mereka menerapkan hadis-hadis tersebut kepada orang yang mencintai Ali as. dan menyebutnya sebagai orang mukmin. Sementara orang yang mendengkinya mereka sebut sebagai orang munafik.
Seorang sahabat terkemuka yang bernama Abu Dzar Al-Gifârî pernah berkata: "Kami tidak mengenal orang-orang munafik, kecuali ketika mereka berdusta kepada Allah dan Rasul-Nya, meninggalkan salat, dan mendengki Ali bin Abi Thalib as."
Seorang sahabat Nabi terkemuka lainnya yang bernama Jâbir bin Abdillah Al-Anshârî juga pernah berkata: "Kami tidak pernah mengenal orang-orang munafik kecuali ketika mereka mendengki Ali bin Abi Thalib as."

b. Kedudukan Ali as. di Sisi Allah swt.

Selanjutnya kita beralih menjelaskan sebagian hadis yang telah diriwayatkan dari Nabi saw. berhubungan dengan keagungan Imam Ali as. di sisi Allah swt. dan kemuliaan-kemuliaan yang ia miliki.
Sejumlah hadis yang telah diriwayatkan dari Rasulullah saw. berhubungan dengan kemuliaan Imam Ali as. di sisi Allah di akhirat kelak. Sebagian hadis tersebut adalah berikut ini:

Imam Ali as., Pembawa Bendera Pujian

Banyak sekali hadis sahih dari Nabi saw. yang menjelaskan bahwa Imam Ali as. pada Hari Kiamat kelak akan diberikan kemuliaan oleh Allah swt. untuk membawa bendera pujian. Hal ini adalah anugerah khusus yang tidak diberikan kepada siapa pun selainnya. Di antara hadis-hadis tersebut adalah hadis berikut ini:
Rasulullah saw. bersabda kepada Imam Ali as.: "Pada Hari Kiamat kelak, engkau akan berada di hadapanku. Ketika itu aku diberi bendera pujian, lalu bendera tersebut kuserahkan kepadamu. Sementara engkau sedang mengusir orang-orang (yang tidak berhak) dari telagaku."

Imam Ali as., Pemilik Telaga Haudh Nabi saw.

Banyak sekali hadis Nabi saw. yang menjelaskan bahwa Imam Ali as. adalah pemilik telaga Haudh Nabi saw., sungai di surga yang paling sejuk, paling manis, dan sangat indah dipandang mata itu. Tak seorang pun dapat meneguk airnya kecuali orang yang ber-wilâyah dan mencintai Imam Ali as. Berikut ini kami paparkan sebagian hadis tersebut:
Rasulullah saw. bersabda: "Ali bin Abi Thalib as. adalah pemilik telaga Haudh-ku kelak di Hari Kiamat. Di sekelilingnya berjejer gelas-gelas sebanyak bilangan bintang di langit. Luas telaga Haudh-ku itu sejauh antara Jâbiyah dan Shan'a."

Imam Ali as., Pemilah Surga dan Neraka

Di antara posisi agung dan mulia yang diberikan oleh Rasulullah saw. kepada pintu kota ilmunya ini adalah bahwa ia adalah pemilah surga dan nereka. Ibn Hajar pernah meriwayatkan sebuah hadis bahwa Imam Ali as. pernah berkata kepada anggota Dewan Syura yang telah dipilih oleh Umar: "Demi Allah, apakah di antara kalian ada seseorang yang pernah disebut oleh Rasulullah saw. dengan sabda, 'Wahai Ali, engkau adalah pemilah surga dan neraka pada Hari Kiamat kelak', selainku?"
"Tak seorang pun", jawab mereka pendek.
Ibn Hajar memberikan catatan atas hadis ini. Ia menulis: "Maksudnya ialah ucapan yang pernah diriwayatkan dari Imam Ar-Ridhâ as. Sabda Nabi saw. kepada Ali as., 'Engkau adalah pemilah surga dan neraka pada Hari Kiamat kelak', berarti engkau, hai Ali, berkata kepada neraka, 'Ini adalah bagianku dan yang ini adalah bagianmu.'"
Dapat dipastikan bahwa tak seorang wali Allah pun, baik sebelum maupun setelah Islam, yang pernah memperoleh kemuliaan tak berbatas ini seperti yang pernah diperoleh oleh Imam Ali as. Allah swt. telah menganugerahkan kemulian itu kepadanya sebagai penghargaan atas jerih payah dan jihadnya di jalan Islam, dan atas usahanya dalam mengikis habis egoisme dan kerelaannya berkhidmat kepada kebenaran.
2. Kelompok Hadis Kedua

Tidak sedikit hadis yang telah diriwayatkan dari Nabi saw. tentang keutamaan Ahlul Bait Nabi saw. yang suci, keharusan mencintai dan berpegang teguh kepada mereka. Berikut ini adalah sebagian dari hadis-hadis tersebut:

Hadis Tsaqalain

Hadis Tsaqalain termasuk hadis Nabi saw. yang paling indah, paling sahih, dan paling tersebar luas di kalangan muslimin. Hadis ini telah diabadikan oleh Enam Kitab Sahih (Al-Kutub As-Sittah), dan para ulama juga menerimanya.
Perlu diingatkan di sini bahwa Nabi saw. telah menyampaikan hadis tersebut di beberapa tempat dan kesempatan. Di antaranya ialah berikut ini:
Zaid bin Arqam meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda: "Sesungguhnya aku tinggalkan dua pusaka berharga untuk kalian. Jika kalian berpegang teguh kepada keduanya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya sepeninggalku nanti. Salah satunya lebih agung daripada yang lainnya. Yaitu Kitab Allah, tali yang membentang dari langit ke bumi, dan yang kedua adalah 'Itrahku, Ahlul Baitku. Keduanya itu tidak akan pernah berpisah sampai menjumpaiku di telaga Haudh kelak. Perhatikanlah bagaimana kalian memperlakukan keduanya itu sepeninggalku kelak."
Nabi saw. juga pernah menyampaikan hadis ini ketika sedang melaksanakan haji Wada' pada hari Arafah. Jâbir bin Abdillah Al-Anshârî meriwayatkan hadis seraya berkata: "Aku melihat Rasulullah saw. pada haji Wada' pada hari Arafah. Ketika itunya berpidato sedangnya berdiri di atas punggung untanya yang bernama Al-Qashwâ'. Aku mendengarnya berkata, 'Wahai manusia, sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian sesuatu yang jika kalian mengikutinya, niscaya kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitab Allah dan 'Itrahku, Ahlul Baitku.'"
Rasulullah saw. juga pernah berpidato di hadapan para sahabat Ketika ia berada di atas ranjang pada saat mendekati wafat. Ia saw. bersabda: "Wahai manusia, sebentar lagi nyawaku akan diambil dengan cepat, lalu aku pergi. Dan sebelum ini aku pernah menyampaikan suatu ucapan kepada kalian. Yaitu aku tinggalkan untuk kalian Kitab Tuhanku Yang Mulia nan Agung dan 'Itrahku, Ahlul Baitku." Kemudian ia saw. memegang tangan Ali as. seraya berkata: "Inilah Ali yang selalu bersama Al-Qur'an dan Al-Qur'an pun senantiasa bersamanya. Keduanya tidak akan pernah berpisah hingga mendatangiku di telaga Haudh."

Hadis Bahtera Nuh as.

Dalam sebuah riwayat, Abu Sa'îd Al-Khudrî berkata: "Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Sesungguhnya perumpamaan Ahlul Baitku di tengah-tengah kalian adalah bagaikan bahtera Nuh as. Barang siapa yang menaikinya, niscaya ia akan selamat. Dan barang siapa yang meninggalkannya, maka ia akan tenggelam. Dan perumpamaan Ahlul Baitku di tengah-tengah kalian bagaikan pintu Hiththah (pengampunan) bagi Bani Isra'il. Barang siapa yang memasukinya, maka dosanya akan diampuni."
Hadis tersebut menegaskan agar umat manusia berpegang teguh kepada 'Itrah suci. Karena mereka adalah kunci keselamatan mereka dari tenggelam dan kebinggungan hidup ini. Ahlul Bait adalah bahtera penyelamat dan pengaman bagi umat manusia.
Imam Syarafuddin menulis: "Anda ketahui bahwa maksud dari penyerupaan mereka dengan bahtera Nuh as. adalah bahwa barang siapa yang bersandar kepada mereka di dunia dan akhirat; yaitu mengambil ajaran agama, baik pondasi maupun cAbângnya, dari para imam suci, maka ia akan selamat dari azab api neraka. Dan barang siapa membelakangi mereka, maka ia seperti orang yang berlindung kepada bukit ketika topan bergemuruh kencang agar selamat dari ketentuan Allah. Perbedaannya, ia hanya tenggelam di air. Sedangkan orang yang meninggalkan para imam suci akan terjerumus ke dalam neraka Jahanam. Semoga Allah melindungi kita.
Adapun sisi penyerupaan mereka dengan pintu pengampunan, artinya adalah Allah swt. menjadikan pintu tersebut sebagai salah satu lambang kerendahan diri terhadap keagungan-Nya dan ketundukan kepada ketentuan-Nya. Dengan demikian pintu itu menjadi faktor pengampunan dosa. Ini adalah rahasia penyerupaan tersebut. Tetapi Ibn Hajar berupaya mengutarakan rahasia yang lain di balik penyerupaan itu setelah ia memaparkan hadis tersebut dan hadis-hadis lainnya yang serupa. Ia menulis, 'Sisi penyerupaan mereka dengan bahtera Nuh as. adalah bahwa barang siapa yang mencintai dan menghormati mereka karena mensyukuri nikmat kemuliaan mereka dan mengikuti petunjuk ulama mereka, maka ia akan selamat dari kegelapan pertentangan. Dan barang siapa yang meninggalkan mereka, maka ia akan tenggelam di lautan pengingkaran nikmat dan terjerumus ke dalam lembah kesesatan ... Adapun faktor penyerupaan mereka dengan pintu Hiththah adalah bahwa sesungguhnya Allah swt. telah menjadikan masuk ke pintu Araiha atau Baitul Maqdis dengan rasa rendah hati dan beristrigfar sebagai faktor pengampunan dosa, dan juga menjadikan kecintaan kepada Ahlul Bait sebagai sebab pengampunan dosa bagi umat ini, (tidak lebih dari itu).'"

Ahlul Bait Pengaman Umat

Nabi saw. mewajibkan kecintaan kepada Ahlul Bait atas umat ini. Ia menegaskan bahwa berpegang teguh kepada mereka adalah faktor pengaman dari kehancuran. Ia saw. bersabda: "Bintang-bintang adalah pengaman bagi penduduk bumi dari tenggelam. Dan Ahlul Baitku adalah pengaman bagi umatku dari pertentangan dan pertikaian. Apabila salah satu kabilah Arab menentang mereka, ini berarti mereka telah bertikai. Akibatnya, mereka menjadi pengikut Iblis."
Jihad Ali as. Bersama Nabi saw.

Secara positif, landasan dakwah Nabi saw. adalah mengajak umat manusia kepada perdamaian dan membebaskan mereka dari setiap ancaman kehancuran dan kerugian perang. Ia memulai dakwah dari kota Mekah, kota sentral kekuatan jahiliah yang dikuasai oleh orang-orang kafir Quraisy. Dasar gerakan dan pemikiran mereka adalah kebodohan, kecongkakan, dan egoisme. Mereka adalah kaum yang keras kepala, sombong, dan bersikeras untuk mengadakan perlawanan terhadap Rasulullah saw. Di samping itu, mereka melakukan penyiksaan terhadap orang-orang yang beriman kepada missi Nabi saw. Kondisi ini menyebabkan mereka harus berhijrah ke Habasyah demi menyelamatkan diri mereka dari kekerasan dan tekanan kaum kafir Quraisy. Pada saat itu, Rasulullah saw. dilindungi oleh Singa Padang Pasir, Abu Thalib, dan putranya, Imam Ali as. Setelah Sang Singa ini kembali ke haribaan Ilahi untuk selamanya, ia tidak memiliki lagi pendukung untuk berlindung diri. Kesempatan tersebut digunakan oleh kaum kafir Quraisy untuk bersekongkol membunuhnya. Mengetahui rencana dan makar jahat ini, ia segera berhijrah ke Yatsrib (Madinah). Di Madinahnya memperoleh sambutan yang hangat dan perlindungan dari penduduknya. Mengetahui peristiwa ini, kaum kafir Quraisy bertambah berang dan marah seperti orang kebakaran jenggot. Mereka sepakat untuk menyulut api peperangan dengan penduduk Yatsrib dan berupaya mengerahkan seluruh sarana dan kekuatan ekonomi untuk menyerang dan melumpuhkan mereka.
Ali as. senantiasa siap siaga di samping Rasulullah saw. untuk melindunginya dan melakukan serangan balik dalam seluruh peperangan yang disulut oleh kaum kafir Quraisy itu. Rasulullah saw. menjadikan Ali as. sebagai komandan perang yang bertugas di garis depan.
Sebagian peperangan yang pernah diikuti Imam Ali as. adalah berikut ini:
1. Perang Badr

Dalam sejarah, peristiwa Badr telah mencatat kemenangan yang gemilang bagi Islam dan muslimin. Perang ini adalah pukulan yang telak bagi musyrikin. Dalam perang ini, Allah swt. telah memuliakan hamba dan Rasul-Nya, Muhammad saw., menghinakan dan menaklukan para musuhnya. Pahlawan ksatria pada perang ini adalah Imam Amirul mukminin Ali as. Pedang Ali menghantarkan mereka ke ambang kematian. Kepala musyrikin dan para penentang Tuhan tertebas habis oleh pedang tersebut. Ketangkasan dan kegigihan Ali dalam perang tidak diragukan lagi sehingga Jibril turun dan menyampaikan pujian untuknya dengan ungkapan: "Tidak ada pedang selain Dzul Fiqâr dan tidak ada pemuda selain Ali."
Kami telah menjelaskan perang Badr ini dan peran positif Imam Ali as. secara rinci pada Mawsû'ah Al-Imam Amirul Mukminin Ali as., jilid ke-2.
2. Perang Uhud

Dengan penuh duka yang mendalam, kaum kafir Quraisy menerima informasi kekalahan pasukannya dan kerugian yang berlipat ganda di front pertempuran Badar. Hindun, ibu Mu'âwiyah, termasuk salah seorang yang begitu merasa terpukul dan berduka dengan kekalahan itu. Ia melarang orang-orang Quraisy, baik kaum laki-laki maupun kaum wanita, untuk menangisi para perajurit yang terbunuh di medan Badar. Duka dan kesedihan itu tidak akan pernah padam di dalam lubuk hati mereka sebelum mereka dapat melakukan balas dendam.
Abu Sufyân bertindak sebagai panglima tertinggi pasukan pada perang Uhud. Dialah yang memberikan semangat kepada masyarakat jahiliah Quraisy untuk memerangi Rasulullah saw. Mereka mengumpulkan harta benda dan dana untuk membeli peralatan dan perbekalan perang. Himbauan Abu Sufyân itu disambut baik oleh masyarakat demi memerangi Rasulullah saw.
Pasukan Abu Sufyân keluar menuju medan Uhud dengan penuh semangat dan hati yang menggelora disertai oleh kaum wanita mereka sampai peperangan berakhir. Hindun memimpin pasukan wanita. Kaum wanita ini bergerak sembari menabuh genderang dan mendendangkan syair:

Bangkitlah wahai putra-putra Abdi Dar.
Bangkitlah wahai para penjaga negeri tak gentar.
Pukulkan pedang kalian dengan bak halilintar.

Sementara itu, Hindun sendiri menyanyikan dendang khusus yang ia tujukan kepada pasukan Quraisy dengan suara yang lantang:

Jika kalian maju berperang, kami akan peluk kalian dan gelar permadani.
Jika kalian mundur, kami akan berpisah dengan kalian sampai mati.

Pasukan kaum musyrikin Quraisy ketika itu berjumlah tiga ribu orang. Sementara pasukan muslimin hanya berjumlah tujuh ratus orang.
Seorang prajurit musyrikin yang bernama Thalhah bin Abi Thalhah maju ke depan dengan bendera komando di tangannya. Ia mengangkat suranya tinggi-tinggi: "Hai para sahabat Muhammad, apakah kalian yakin bahwa Allah akan mempercepat kami pergi ke neraka dengan pedang-pedang kalian, dan mempercepat kalian menuju ke surga dengan pedang-pedang kami? Siapakah yang berani duel denganku?"
Pejuang Islam, Imam Ali as., segera menimpali dan menyerangnya. Dengan sabetan pedangnya, lelaki itu jatuh ke tanah dengan berlumuran darah. Ali as. membiarkannya jatuh dan tidak meneruskan perlawanannya. Tidak lama kemudian, darahnya tumpah dan ia binasa. Kaum muslimin menyambut kemenangan Ali as. itu dengan penuh gembira, sementara kaum musyrikin menjadi hina dan nyali mereka surut. Bendera komando pasukan musyrikin Quraisy diambil alih oleh yang lain. Imam Ali as. menyambut dan melakukan serangan kepada beberapa orang Quraisy seraya menebas kepala-kepala mereka dengan pedangnya yang tajam. Hindun selalu membangkitkan semangat jiwa prajurit kaum musyrikin dan mendorong mereka agar menyerang kaum muslimin. Setiap kali seorang dari mereka gugur, ia menawarkan celak sembari berseloroh: "Kamu ini hanyalah seorang wanita pengecut. Pakailah celak mata ini ini."
Sangat disayangkan, dalam peperangan ini kaum muslimin mengalami kekalahan yang pahit dan kerugian yang memalukan. Hampir saja bendera Islam jatuh karena itu. Hal itu terjadi karena kecerobohan sekelompok pasukan Islam yang berani menyalahi pesan Rasulullah saw. Ketika itu Rasulullah saw. memerintahkan sekelompok pemanah yang dipimpin oleh Abdullah bin Jubair agar tetap diam di atas bubkit demi menjaga kaum muslimin dari arah belakang. Ia sangat menekankan agar mereka tidak bergeser sedikitpun dari tempat tersebut. Ketika pertempuran sedang terjadi, para pemanah itu berhasil membidikkan panah-panah mereka ke arah pasukan kafir Quraisy dan banyak membunuh mereka. Pasukan Quraisy mengalami kekalahan telak dan mereka kabur tunggang-langgang dengan meninggalkan berbagai senjata dan barang-barang berharga. Kaum muslimin mulai mengumpulkan harta rampasan perang. Melihat harta kekayaan yang melimpah itu, sebagian besar pasukan pemanah meninggalkan pos mereka untuk turut serta berebut harta rampasan perang. Mereka telah lupa akan pesan Nabi saw. untuk tetap tinggal di pos tersebut. Khalid bin Walid, pimpinan pasukan kafir Quraisy, melihat kondisi para pemanah tersebut dan merasa memiliki kesempatan emas. Ia segera melakukan serangan terhadap para pemanah yang masih tersisa di atas bukit itu sehingga banyak pasukan muslimin yang terbunuh. Setelah itu, Khalid dan pasukannya menyerang para sahabat Nabi saw. dari arah belakang dan berhasil memporak-porandakan dan membunuh prajurit muslimin. Dalam serangan ini, prajurit musyrikin banyak membunuh tokok-tokoh pasukan muslimin.

Pembelaan Ali as. Terhadap Nabi saw.

Kekalahan yang sangat menyakitkan menimpa kaum muslimin. Sebagian pasukan mereka kabur. Hal ini membuat mereka takut dan gentar menghadapi kaum musyrikin. Akhirnya sebagian besar mereka meninggalkan Nabi saw. yang telah dikepung oleh musuh-musuh Islam. Nabi saw. mengalami luka-luka parah dan jatuh terjerembab ke dalam lubang yang dibuat oleh Abu Amir dan sengaja ia sembunyikan agar kaum muslimin jatuh ke dalamnya. Ketika itu, Ali as. berada di samping Rasulullah saw. Ia segera memegang tangan Nabi saw., sementara Thalhah bin Abdullah mengangkatnya sehingga ia dapat berdiri. Pada saat itu, Nabi saw. menoleh kepada Ali as. seraya bertanya: "Hai Ali, apa yang telah mereka lakukan?" Ali as. menjawab dengan hati yang tersayat: "Ya Rasulallah, mereka menyalahi janji dan kabur tunggang langgang."
Sekelompok orang Quraisy berusaha melakukan serangan terhadap Nabi saw. sehingga ia terpojok. Ia berkata kepada Ali: "Halaulah mereka, hai Ali." Ali as. menyerang mereka tanpa menunggangi kuda, dan berhasil membunuh empat orang anak Abu Sufyân bin 'Auf dan enam orang dari kelompok penyerang tersebut. Setelah berusaha dengan susah payah, akhirnya Imam Ali as. berhasil menghalau dan mempermalukan mereka. Kemudian datang lagi kelompok yang lain untuk menyerang Nabi saw. Di antara mereka terlihat Hisyâm bin Umayyah. Ali as. pun berhasil membunuhnya, dan mereka yang masih tersisa kabur. Setelah itu, kelompok ketiga datang menyerang Rasulullah saw. Di tengah-tengah mereka terlihat Busyr bin Mâlik. Ali as. juga berhasil membunuhnya, dan sisa kelompok itu pun kabur dengan kekalahan yang memalukan.
Melihat keberanian dan ketangkasan Ali as., Jibril memohon izin kepada Allah untuk turun. Ia berkata kepada Nabi saw.: "Perlawanannya sungguh membuat kagum para malaikat." Rasulullah saw. bersabda kepadanya: "Kenapa tidak, karena Ali dariku dan aku darinya." Jibril menimpali: "Dan aku dari kalian berdua."
Dengan penuh keperkasaan dan ketangkasan, Ali as. senantiasa teguh membela Nabi saw. Selama pembelaan ini, ia tertebas pedang sebanyak enam belas tebasan. Setiap tebasan tersebut telah berhasil membuat Ali as. jatuh tersungkur ke atas tanah. Tetapi tak seorang pun yang membangunkannya selain Jibril.
Seluruh musibah dan bencana gala yang dialami oleh pejuang Islam dan penghulu orang-orang yang bertakwa ini hanyalah demi membela Islam semata.
Dalam perang Uhud ini, pejuang Islam abadi yang bernama Hamzah, paman Nabi saw. meneguk cawan syahadah. Ketika mengetahui kesyahidannya, Hindun sangat gembira dan berusaha mencari jenazahnya. Tatkala berhasil menemukan jenazahnya, bagaikan anjing hutan ia merobek perut Hamzah dan mengeluarkan hatinya, kemudian mengunyahnya dan memuntahkannya kembali. Ia juga mengiris hidung dan kedua telinga Hamzah, dan kedua anggota tubuh mulia itu ia jadikan kalung. Hal itu menggambarkan betapa kedengkian dan kebuasan Hindun yang sangat mendalam serta fanatismenya yang sangat tinggi. SuAmînya, Abu Sufyân, juga tidak mau ketinggalan. Ia bergegas menuju jenazah Hamzah dan berbicara kepadanya dengan penuh caci maki dan kedengkian seraya berkata: "Hai Abu Amârah, masa telah berganti. Kini telah tiba saatnya, dan dendam nafsuku menjadi reda." Kemudian Abu Sufyân mengangkat tombaknya dan menancapkannya ke badan Hamzah yang sudah tak bernyawa lagi itu sembari berkata: "Rasakanlah, rasakanlah!" ... Setelah berbuat demikian, ia berpaling dengan hati gembira dan suka ria. Hatinya yang penuh dengan kemusyrikan, kedengkian, dan sifat-sifat buruk itu merasa puas dengan terbunuhnya Hamzah.
Setelah peperangan usai, Nabi saw. menghampiri jenazah pamannya, Hamzah, yang telah dirobek-robek perutnya oleh Hindun. Dengan hati yang sangat sedih dan pilu, ia memandang jasad pamannya itu seraya berkata: "Hai Hamzah, aku belum pernah ditimpa musibah seperti musibah yang kualami lantaran kepergianmu ini. Aku tidak pernah merasa murka sebagaimana kemurkaanku atas tragedi ini. Sekiranya Shafiyyah tidak berduka dan setelah wafatku nanti tidak dijadikan tradisi, niscaya sudah aku tinggalkan tubuhmu sehingga menjadi mangsa binatang-binatang buas dan burung-burung ganas. Jika sekiranya Allah memenangkanku atas orang-orang kafir Quraisy dalam sebuah peperangan nanti, maka aku akan mencacah-cacah tiga puluh orang dari mereka."
Muslimin yang lain pun bangkit menuju jasad Hamzah. Mereka berkata: "Jika kami dapat mengalahkan orang-orang kafir itu pada suatu hari nanti, pasti kami akan mencacah-cacah badan mereka dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang Arab pun."
Melihat hal ini, Jibril turun menyampaikan ayat yang berbunyi: "Jika engkau menyiksa mereka, maka siksalah sesuai dengan apa yang mereka lakukan terhadapmu. Tetapi jika kamu bersabar, maka hal itu lebih baik bagi orang-orang yang sabar. Bersabarlah, kesabaranmu tiada lain kecuali hanya karena Allah. Janganlah bersedih atas mereka dan janganlah merasa sempit hati terhadap tipu daya mereka." (QS. An-Nahl [16]:129-127)
Mendengar ayat ini, Nabi saw. memaafkan para musuh dan bersabar, dan juga melarang muslimin untuk melakukan pencacahan terhadap tubuh-tubuh musuh. Ia bersabda: "Sesungguhnya mencacah tubuh itu haram sekalipun tubuh anjing galak."
Satu-satunya peperangan yang membawa kekalahan telah bagi kaum muslimin adalah perang Uhud. Ibn Ishâq berkata: "Sesungguhnya Uhud merupakan hari duka, bencana, ujian berat. Allah menguji orang yang beriman dengannya dan menampakkan orang munafik yang melahirkan keimanan pada lisannya, sementara ia menyimpan kekufuran dalam hatinya. Lebih dari itu, Uhud adalah hari kehormatan bagi orang-orang yang dimuliakan dengan mati syahid."
Seusai peperangan, Rasulullah saw. memberitahukan kepada Ali as. bahwa selepas peperangan Uhud ini, kaum musyrikin tidak akan dapat mengalahkan kaum muslimin hingga Allah memberikan kemenagan bagi muslimin.
Demikianlah perang Uhud ini berakhir. Sebagian kisah perang Uhud ini telah kami jelaskan dalam buku kami, Mawsû'ah Al-Imam Amiril Mukminin, jilid ke-2.
3. Perang Khandak

Nama lain perang Khandak adalah perang Ahzab. Hal itu lantaran beberapa kelompok kaum musyrikin bergabung membentuk satu kekuatan tunggal untuk menyerang pasukan Rasulullah saw. Pada peristiwa perang ini, kaum muslimin betul-betul merasa khawatir dan diliputi rasa takut yang dahsyat. Faktor utamanya adalah karena pasukan musyrikin yang sangat kuat dan orang-orang Yahudi juga turut bergabung dengan mereka. Seluruh pasukan mereka berjumlah sepuluh ribu prajurit. Sementara pasukan muslimin hanya berjumlah tiga ribu prajurit saja.
Ketika melukiskan sejauh mana rasa takut yang dialami oleh kaum muslimin dalam peperangan ini, Al-Qur'an berfirman: "Ketika mereka mendatangimu dari bagian atas dan bagian bawah kalian dan ketika mata-matamu terbelalak dan rasa takutmu sampai menembus hati." (QS. Al-Ahzâb [33]:10)
Pada perang ini, Allah telah memberikan kemenangan bagi Islam melalui tangan Ali bin Abi Thalib as. Dialah orang yang telah berhasil menghancurkan dan memporak-porandakan barisan kaum musyrikin.

Menggali Parit

Ketika Nabi saw. mengetahui pasukan Quraisy dan Bani Ghathafân ingin melakukan serangan terhadap muslimin, ia saw. mengumpulkan para sahabat dan memberitahukan kepada mereka rencana musuh tersebut. Ia saw. meminta pendapat mereka masing-masing demi menghalau musuh Islam itu. Salman Al-Fârisî, salah seorang sahabat terkemuka, mengusulkan untuk menggali parit di sekitar kota Madinah. Nabi saw. menyetujui pandangannya itu dan memerintahkan para sahabat untuk menggali parit. Ide tersebut merupakan taktik perang yang jitu untuk menyelamatkan pasukan muslimin dari serangan musuh Islam. Melihat parit digali di sekitar kota itu, pasukan musuh bingung dan tidak memiliki jalan lain untuk melancarkan serangan terhadap muslimin. Dengan terpaksa, mereka hanya dapat menggunakan anak panah. Kaum muslimin pun menjawab serangan mereka dengan serangan yang sama. Saling-melempar anak panah pun terjadi antara kedua pasukan tersebut tanpa terjadi perangan terbuka di antara mereka.

Imam Ali as. Bertanding dengan 'Amr

Orang-orang kafir Quraisy merasa jengkel dengan kondisi perang semacam ini. Karena hal itu tidak memberi kemenangan kepada mereka. Mereka berusaha mencari ukuran lebar parit yang agak sempit agar kuda-kuda mereka dapat melompati dan menyeberangi parit. Di tengah-tengah mereka terlihat 'Amr bin Abdi Wud. Dia adalah ksatria Quraisy dan penunggang kuda Kinânah yang tangguh pada masa jahiliah.
'Amr menggenggam pedang. Ia laksana benteng kokoh. Ia menaiki kudanya dengan penuh bangga dan congkak. Dengan segenap kekuatan ia dapat melompati parit. Kaum muslimin yang menyaksikan hal itu merasa ciut, kerdil, dan gemetar. 'Amr maju menghadap mereka dengan perlahan tapi pasti. Dengan suara yang lantang dan penuh penghinaan ia berkata: Hai perajurit Muhammad, adakah yang berani melawanku?"
Hati kaum muslimin bak tercabut dari tempatnya. Mereka diliputi rasa takut. Untuk kedua kalinya 'Amr angkat suara: "Adakah yang berani melawanku?"
Tak seorang pun berani menjawab. Tetapi pejuang Islam, Imam Amirul Mukminin as. menjawab: "Aku yang melawannya, ya Rasulullah."
Rasulullah saw. merasa khawatir atas keselamatan putra pamannya itu. Ia berkata: "Ketahuilah, dia adalah 'Amr!"
Imam Ali as. menaati perintah Rasulullah saw. dan segera duduk kembali. Kembali 'Amr mengejek kaum muslimin dan berkata: "Hai para sahabat Muhammad, mana surga yang kalian duga akan memasukinya jika kalian terbunuh? Siapakah di antara kalian yang menginginkannya?"
Pasukan muslimin membisu seribu bahasa. Imam Ali as. tetap memaksa Nabi saw. agar memberi izin untuk melawannya. Tak ada lagi alasan bagi Nabi untuk menolak desakan Ali as. Nabi saw. menetapkan sebuah predikat bagi Ali as. sebagai tanda keagungan dan kehormatan. Ia saw. bersabda: "Seluruh iman telah keluar untuk menentang seluruh kekufuran."
Sungguh betapa predikat kehormatan yang kekal abadi dan bersinar bak matahari. Rasulullah saw. telah memberikan predikat "seluruh imam dan Islam" bagi Abul Husain dan predikat "seluruh kekufuran" bagi 'Amr. Setelah itu Nabi saw. mengangkat kedua tangan seraya memanjatkan doa dan harapan kepada Allah swt. agar menjaga putra pamannya itu. Ia saw. berkata: "Ya Allah, Engkau telah mengambil Hamzah dariku di perang Uhud dan mengambil 'Ubaidah di perang Badar. Maka jagalah Ali pada hari ini. Wahai tuhanku, janganlah Engkau biarkan aku sendirian. Sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pewaris."
Ali as. maju menyerang dengan penuh semangat. Ia tidak merasa takut dan gentar sedikitpun terhadap 'Amr bin Abdi Wud. Ia bangkit dengan tekad yang kokoh membaja bak ksatria yang tak ada bandingannya. 'Amr terkejut dengan pemuda yang berani maju untuk melawan dan tak gentar.
'Amr bertanya: "Siapa kamu?"
Imam Ali menjawab dengan meremehkannya: "Aku adalah Ali bin Abi Thalib."
'Amr menampakkan rasa kasihan kepadanya seraya berkata: "Dahulu, ayahmu adalah teman baikku."
Imam Ali as. tidak bergeming sedikit pun dengan celotehan 'Amr itu. Ia malah menjawab: "Hai 'Amr, engkau telah berjanji kepada kaummu bahwa tidak seorang pun dari Quraisy yang mengajakmu kepada tiga karakter melainkan engkau pasti menerimanya?"
'Amr menjawab: "Ya, itulah janjiku."
Ali as. berkata: "Aku mengajakmu kepada Islam."
'Amr tertawa seraya berkata kepada Imam Ali sembari menghina: "Jadi, aku harus meninggalkan agama nenek moyangku? Jangan usik masalah ini!"
Ali as. berkata: "Aku akan menahan tanganku untuk membunuhmu, dan engkau bebas kembali."
Mendengar ucapan lancang itu, 'Amr marah dan berkata: "Jika begitu, bangsa Arab pasti membincangkan kepengecutanku."
Imam Ali as. melontarkan tawaran ketiga yang 'Amr sendiri telah berjanji untuk menerimanya. Imam Ali berkata: "Kalau begitu, aku mengajakmu duel."
'Amr sangat terkejut dengan keberanian pemuda yang telah berani menantang dan menginjak-injak kehormatannya. 'Amr turun dari kudanya dan dengan cepat melayangkan pedangnya ke arah leher Imam Ali as. Imam menangkis serangannya dengan prisai. Tetapi pedang 'Amr dapat menembus ke bagian kepala Imam Ali as. dan menciderainya. Muslimin yakin bahwa Imam Ali as. telah menjumpai ajal. Tetapi Allah swt. menolong dan menjaganya. Imam Ali as. kembali menyerang 'Amr dengan pedang hingga ia roboh. Ksatria Quraisy dan simbol kemusyrikan itu jatuh tersungkur di atas tanah dengan berlumuran darah seperti seekor sapi yang disembelih berlumuran darah.
Imam Ali as. mengucapkan takbir yang diikuti oleh pasukan muslimin. Tulang punggung kemusyrikan telah runtuh dan kekuatannya telah lumpuh. Sementara Islam telah menggapai kemenangan yang gemilang melalui kegagahan Imam Al-Muttaqîn as. Sekali lagi Nabi saw. menghadiahkan predikat agung kepada Imam Ali as. di sepanjang sejarah. Ia bersabda: "Sesungguhnya pertempuran Ali bin Abi Thalib atas 'Amr bin Abdi Wud pada perang Khandak adalah lebih utama daripada amal umatku hingga Hari Kiamat."
Salah seorang sahabat Nabi saw. yang bernama Hudzaifah bin Al-Yaman berkata: "Seandainya keutamaan Ali as. dengan membunuh 'Amr pada perang Khandak itu dibagi-bagikan kepada seluruh kaum muslimin, niscaya keutamaan itu akan mencukupi mereka."
Kemudian turun ayat kepada Rasulullah saw.:.".. dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan (dengan memberikan kemenangan kepada mereka) ...." (QS. Al-Ahzâb [33]:25)
Tentang tafsir ayat ini Ibn Abbâs berkata: "Sesungguhnya Allah mencukupkan kaum mukminin dengan pertempuran Ali as."
Di samping itu, Imam Ali as. juga berhasil membunuh seorang prajurit Quraisy lainnya yang bernama Naufal bin Abdullah. Dengan demikian, Quraisy mengalami kekalahan yang telak. Ketika itu Rasulullah saw. bersabda: "Kini kita telah mengalahkan mereka, dan mereka tidak akan mampu mengalahkan kita."
Akhirnya, pasukan kafir Quraisy mengalami kerugian dan kegagalan yang fatal. Sebaliknya, muslimin tidak mengalami kekalahan sedikit pun dalam peperangan ini.
4. Penaklukan Benteng Khaibar

Setelah Allah swt. memuliakan Nabi-Nya dan menghinakan kaum kafir Quraisy, ia berpikir bahwa program kaum muslimin tidak akan berjalan lancar, negara Islam tidak akan damai, dan slogan muslimin tidak akan terangkat tinggi di muka bumi ini selama kekuatan Yahudi sebagai musuh bebuyutan Islam dari sejak dulu hingga saat itu masih bercokol. Pusat kekuatan dan eksistensi mereka terletak di benteng Khaibar. Benteng ini adalah pusat produksi senjata modern pada masa itu. Di antara senjata yang mereka produksi adalah manjanik yang mampu menembakkan peluru-peluru api. Ketika itu Yahudi adalah sebuah kekuatan yang siap membantu setiap golongan yang ingin memerangi Islam dengan berbagai senjata dari pedang, panah, hingga prisai.
Nabi saw. memerintah pasukan muslimin agar melakukan serangan terhadap benteng Khaibar. Ia menyerahkan komando pasukan kepada Abu Bakar. Ketika Abu Bakar tiba di benteng Khaibar dengan pasukannya, orang-orang Yahudi melemparinya dengan manjanik sehingga Abu Bakar merasa kalah dan kembali dengan ketakutan dan gemetar. Pada hari kedua, Rasulullah saw. menyerahkan komando pasukan kepada Umar bin Khattab. Ternyata Umar tidak berbeda dengan sahabatnya itu. Ia kembali dengan membawa kegagalan. Selama benteng Khaibar tetap tegar dan tertutup rapat, tak seorang pun yang akan berhasil menguasai benteng tersebut.
Setelah muslimin tidak mampu menumbangkan benteng Khaibar dan kepemimpinan Abu Bakar dan Umar dianggap gagal, Nabi saw. mengumumkan bahwa ia akan mengangkat seorang komandan perang yang Allah swt. akan memberikan kemenangan di tangannya. Ia bersabda: "Besok aku akan berikan bendera komando perang kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah swt. dan Rasul-Nya. Allah dan Rasul-Nya juga mencintainya. Dia tidak akan mundur sampai Allah memberikan kemenangan kepadanya."
Mendengar maklumat tersebut, muslimin tidak sabar lagi ingin mengetahui siapakah komandan pasukan yang Allah akan menganugerahkan kemenangan kepadanya itu. Mereka tidak menduga bahwa ia adalah Imam Ali as. Karena pada saat itu ia sedang menderita sakit mata. Ketika sinar matahari pagi mulai menyingsing, Nabi saw. memanggil Ali as. Ketika itu kedua matanya dibalut dengan kain. Setelah berada di hadapan Nabi saw., ia melepaskan kain pembalut itu dari kedua mata Ali as. Lalu Nabi saw. memoleskan ludahnya kepada kedua matanya. Seketika itu juga sakit mata Ali as. sembuh. Rasulullah saw. berkata: "Hai Ali, ambillah bendera ini sehingga Allah memberikan kemenangan kepadamu!"
Pejuang Islam itu menerima bendera komando tersebut dari Nabi saw. dengan tekad yang kuat membaja dan gagah perkasa. Imam Ali as. bertanya kepada Rasulullah saw.: "Apakah aku perangi mereka sampai mereka memeluk Islam?"
Nabi saw. menjawab: "Laksanakanlah tugas ini sampai engkau dapat menundukkan mereka. Lalu ajaklah mereka kepada Islam. Beritahukan kepada kewajiban-kewajiban mereka. Demi Allah, jika Allah memberikan petunjuk kepada seorang saja dari mereka melalui tanganmu, niscaya hal itu lebih baik bagimu daripada memiliki unta merah."
Sang panglima perang, Ali as., segera melakukan serangan dengan gagah berani. Tak sebersit pun rasa takut dan gentar tergores di dalam hatinya. Ia mengangkat bendera komando itu tinggi-tinggi menuju benteng Khaibar. Ia berhasil mencabut pintu benteng Khaibar dan menjadikannya sebagai prisai untuk menangkal serangan orang-orang Yahudi. Pasukan Yahudi pun merasa gentar ketakutan dan pucat pasi. Gerangan ksatria apakah ini?! Ia mampu mencopot pintu benteng Khaibar dan menjadikannya sebagai perisai! Padahal pintu itu tidak dapat dicopot kecuali oleh empat puluh orang kuat. Bagaimana mungkin pintu itu dapat dicopot oleh satu orang saja?! Sungguh hal itu merupakan keajaiban yang sangat menakjubkan.

Imam Ali as. Melawan Marhab

Marhab adalah seorang ksatria Yahudi yang gagah berani. Ia menantang Imam Ali as. untuk bertanding. Marhab maju dengan mengenakan penutup wajah pelindung buatan Yaman dan batu berlobang yang ia letakkan di kepalanya seraya bersyair:

Khaibar tahu aku adalah Marhab.
Penghunus pedang pahlawan tangguh.
Bagai singa kekar menyerang musuh.

Imam Ali as. menyambutnya. Ia mengenakan jubah berwarna merah. Sebagai jawAbân syair Marhab, ia bersyair:

Akulah yang dinamai oleh ibuku Haidar.
Sang pemberani dan singa tak gentar.
Singa penerkam musuh bak halilintar.
Kedua lenganku terbuka lebar kekar.
Kekar dan tangguh bak singa hutan keluar.
'Kan kutebas setiap batang leher pengingkar.
'Kan kuperangi mereka untuk yang benar.
'Kan kuperangi mereka dengan pedangku yang tegar.

Tidak seorang perawi pun yang berbeda pendapat bahwa syair tersebut adalah syair Imam Ali as. Dalam bait-bait syairnya itu, Imam Ali as. menjelaskan kegagahan, kekuatan, ketangkasan, keberanian, dan ketegarannya dalam menghadapi orang-orng kafir dan para pembangkang.
Imam Ali as. maju menghadapi Marhab dengan keberaniannya yang luar biasa. Dengan cepatnya menyabetkan pedangnya ke arah kepala Marhab hingga menembus penutup kepalanya. Marhab pun terhuyung jatuh ke atas tanah dengan darah yang bersimbah. Kemudian ia menyeret mayat Marhab dan membiarkannya terkapar menjadi mangsa binatang-binatang buas dan burung-burung pemakan bangkai. Dengan itu, Allah swt. telah menetapkan kemenangan yang gemilang bagi Islam. Benteng Khaibar telah ditaklukkan dan Allah telah menghinakan kaum Yahudi. Peperangan berakhir dan Imam Ali as. memberikan pelajaran keberanian yang senantiasa dikenang di sepanjang sejarah.
5. Penaklukan Kota Mekah

Allah swt. telah menetapkan kemenangan yang nyata atas hamba dan rasul-Nya, Muhammad saw. dan menghinakan kekuatan syirik dan tiran. Kekuatan musuh-musuh Islam telah mengalami kegagalan dan kerugian yang besar. Sementara kekuasaan Islam terbentang di semanjung jazirah Arabia dan bendera tauhid berkibar megah.
Rasulullah saw. melihat bahwa kemenangan yang gemilang bagi Islam tidak akan terealisasi sepenuhnya, kecuali dengan penaklukan kota Mekah sebagai benteng kemusyrikan dan kekufuran kala itu yang senantiasa memeranginya selama masih berada di sana. Nabi saw. meninggalkan kota Mekah dan telah memiliki kekuatan. Ia bergerak menuju kota itu dengan bala tentara yang terlatih sebanyak sepuluh ribu atau lebih prajurit bersenjata lengkap. Tetapinya menyembunyikan tujuan keberangkatan itu kepada para prajuritnya. Karenanya khawatir jika orang-orang kafir Quraisy tahu, mereka akan mengadakan perlawanan dan terjadi pertumpahan darah di tanah Haram. Oleh karena itu, ia merahasiakan tujuan perjalanan tersebut sehingga kedatangan pasukan muslimin yang secara tiba-tiba tersebut dapat mengejutkan penduduk Mekah.
Pasukan muslimin bergerak dengan cepat dan tanpa menyia-nyiakan kesempatan sedikitpun hingga mereka memasuki daerah pinggiran kota Mekah, sementara penduduknya tengah lelap dan lalai. Rasulullah saw. segera memerintahkan para sahabat agar mengumpulkan kayu bakar. Seketika itu juga, setumpuk besar kayu bakar telah terkumpul menggunung.
Pada malam gelap gulita itu, Nabi saw. memerintahkan agar para sahabat menyulut kayu bakar-kayu bakar itu, sehingga jilatan-jilatan api terlihat dari dalam kota Mekah. Melihat kejadian itu, Abu Sufyân betul-betul terkejut dan khawatir atas jiwa raganya. Ia berkata kepada Badîl bin Warqâ' yang tengah berada di sampingnya: "Aku belum pernah melihat sinar api seterang malam ini sama sekali." Badîl segera menimpali: "Demi Allah, ini adalah kobaran api peperangan."
Abu Sufyân mencemooh Badîl sembari berkata: "Kobaran api peperangan! Cahaya api dan bala tentaranya tidak mungkin sesedikit ini."
Rasa takut menyelimuti Abu Sufyân. Abbâs segera mendatanginya. Ia mengetahui kedatangan pasukan Islam untuk menguasai kota Mekah. Ia berkata kepada Abu Sufyân: "Hai Abu Hanzhalah!"
Abu sufyân yang mengenalnya segera berkata: "Apa ini Abul Fadhl?"
"Ya", jawab Abbâs pendek.
"Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu", tegas Abu Sufyân.
Abbâs menimpali: "Celaka engkau, hai Abu Sufyân. Itu adalah Rasulullah di tengah-tengah khalayak. Esok paginya akan menaklukkan Quraisy."
Darah Abu Sufyân seketika itu membeku. Ia sangat khawatir terhadap diri dan kaumnya. Dia berkata dengan nada gemetar: "Apa yang harus kita lakukan?"
Abbâs segera memberikan solusi sehingga darahnya terjaga. Ia berkta: "Demi Allah, jika Rasulullah berhasil menangkapmu, ia pasti akan menebas batang lehermu. Naikilah ke punggung keledai tua ini. Aku akan mendatangi Rasulullah untuk mohon perlindungan untukmu."
Abbâs membonceng Abu Sufyân yang sedang gemetar ketakutan. Abu Sufyân tidak bisa tidur semalam suntuk. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi atas dirinya karena berat dan banyaknya kejahatan yang telah ia lakukan atas kaum muslimin. Setibanya di hadapan Rasulullah saw., ia berkata kepadanya: "Celaka engkau, hai Abu Sufyân! Apakah hingga kini belum tiba waktunya untuk kamu mengakui bahwa tidak ada tuhan selain Allah?"
Nabi saw. tidak menampakkan dendam atas berbagai kejahatan yang telah dilakukan oleh Abu Sufyân terhadapnya. Ia telah mengulurkan tirai atas kejadian-kejadian tersebut demi menyebarkan ajaran Islam yang tidak menaruh dendam terhadap kejahatan musuh-musuhnya. Abu Sufyân merengek di hadapan Nabi saw. untuk memohon maaf seraya berkata: "Demi ayah dan ibuku, betapa engkau pemaaf, berkepribadian mulia, dan penyambung persaudaraan. Demi Allah, sungguh aku mengira bahwa sekiranya ada tuhan lain selain Allah, pasti ia tidak akan membutuhkanku."
Nabi saw. menoleh ke arah Abu Sufyân seraya berkata dengan lemah lembut: "Celaka engkau, hai Abu Sufyân! Belumkah tiba waktunya untuk kamu mengenal bahwa aku adalah utusan Allah?"
Ketika itu Abu Sufyân tidak mampu lagi menyembunyikan kemusyrikan dan kekufuran yang sudah terukir dalam relung hatinya. Dia berkata kepada Rasulullah saw.: "Demi ayah dan ibuku, betapa lembutnya engkau dan betapa mulia dan penyambung persaudaraan engkau. Adapun masalah ini, hingga saat ini di dalam hatiku masih terdapat sesuatu."
Abbâs yang mendengar hal itu segera memberikan peringatan kepadanya bila ia tidak bersaksi atas kenabian dan tidak masuk Islam. Abbâs berkata: "Celakalah engkau. Masuklah Islam! Bersaksilah bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhamamd adalah Rasulullah sebelum lehermu ditebas!
Lelaki kotor dan keji itu tidak memiliki jalan lain. Ia terpaksa masuk Islam dengan lisannya. Sementara kekufuran dan kemusyrikan masih tetap terpendam di dalam relung hatinya.
Nabi saw. memerintahkan pamannya, Abbâs, agar menahan Abu Sufyân di sebuah lembah yang sempit sehingga prajurit Islam melewatinya dan ia menyaksikan mereka. Hal itu agar Quraisy merasa takut untuk mengadakan perlawanan. Abbâs melaksanakan perintah Nabi saw. Para prajurit Islam melaluinya dengan membawa aneka ragam senjata.
Abu Sufyân bertanya kepada Abbâs: "Siapakah ini?"
"Sulaim", jawab Abbâs pendek.
"Aku tidak ada urusan dengan Sulaim", tukas Abu Sufyân.
Tidak lama kemudian sekelompok pasukan berkuda lainnya lewat. Abu Sufyân bertanya lagi: "Siapakah ini?"
"Mazînah", jawab Abbâs singkat.
"Aku tiak ada urusan dengan Mazînah", tukas Abu Sufyân.
Kemudian Nabi saw. lewat dengan membawa pasukan berkuda yang berpakain hijau dengan pedang terhunus. Ia dikelilingi para sahabatnya yang pemberani. Melihat itu, Abu Sufyân merasa gentar. Ia bertanya: "Siapakan pasukan berkuda itu?"
"Itu adalah Rasulullah bersama Muhajirin dan Anshar", jawab Abbâs pendek.
"Sungguh kerajaan kemenakanmu telah hebat", tukas Abu Sufyân.
Abbâs menimpali: "Hai Abu Sufyân, itulah kenabian."
Abu Sufyân menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berkata dengan menghina: "Ya, kalau begitu."
Lelaki jahiliah ini tidak beriman kepada Islam. Ia hanya mengerti tentang kerajaan dan kekuasaan. Setelah itu Abbâs membebaskannya. Abbâs segera masuk ke dalam kota Mekah dan berteriak dengan keras: "Hai kaum Quraisy, Muhammad telah datang kepada kalian dengan pasukan yang kalian tidak mungkin dapat melawannya. Barang siapa yang memasuki rumah Abu Sufyân, maka ia akan aman."
Orang-orang Quraisy berkata kepada Abbâs: "Rumahmu tidak dapat menjamin kemanan kami?"
"Barang siapa yang menutup pintunya, maka ia akan aman. Dan barang siapa yang masuk ke dalam masjid, maka ia akan aman", teriak Abbâs lagi.
Hati kaum Quraisy menjadi tenang. Mereka segera masuk ke dalam rumah mereka dan masjid. Sementara itu, Hindun menentang Abu Sufyân. Hatinya dipenuhi kekecewaan. Ia berteriak dengan keras untuk membangkitkan amarah kaum Quraisy terhadap Abu Sufyân: "Bunuhlah lelaki keji dan kotor ini! Tindakannya tidak sesuai dengan tindakan seorang pemimpin suatu kaum."
Abu Sufyân memperingatkan kaum Quraisy agar tidak melawan dan mengajak mereka untuk menyerah. Nabi saw. memasuki kota Mekah bersama bala tentara Islam. Allah swt. telah menghinakan Quraisy dan membahagiakan muslimin yang tertindas selama ini. Nabi saw. segera menuju ke Ka'bah untuk menghancurkan patung-patung sembahan orang-orang kafir Quraisy. Ia saw. menikamkan tombak di bagian mata Hubal sambil berkata: "Telah datang kebenaran dan telah sirna kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu pasti sirna."
Kemudiannya saw. memerintahkan Ali as. agar menaiki pundaknya untuk menghancurkan patung-patung dan membersihkan Baitullah yang suci itu darinya. Ali as. mengangkat patung-patung itu dan melemparkannya ke atas tanah hingga hancur. Dengan itu, patung-patung itu telah hancur di tangan pahlawan Islam, sebagaimana patung-patung pernah dihancurkan oleh kakeknya, Ibrahim Khalîlullâh.
Haji Wadâ'

Nabi saw. merasa bahwa ia tidak lama lagi akan berangkat menghadap ke haribaan suci Ilahi. Karena itu, ia merasa perlu untuk melakukan haji ke Baitullah untuk menetapkan jalan-jalan keselamatan buat umat manusia. Pada tahun ke-10 Hijriah, ia berangkat menunaikan ibadah haji. Ia mengumumkan kepada segenap penduduk bahwa tidak lama laginya akan berangkat menuju ke alam akhirat dan meninggalkan dunia fana ini untuk selamanya. Ia bersabda: "Aku tidak tahu, barangkali setelah tahun ini aku tidak dapat berjumpa lagi dengan kalian untuk selamanya dalam kondisi seperti ini."
Dengan informasi itu, jamaah haji merasa takut dan khawatir. Mereka melakukan tawaf dengan perasaan sedih sembari berguman: "Nabi saw. telah memberitahukan kematian dirinya."
Nabi saw. menetapkan jalan-jalan keselamatan yang dapat menjaga umat dari segala fitnah dan menjamin kehidupan mereka yang mulia. Ia saw. bersabda: "Hai manusia, aku tinggalkan buat kalian dua pusaka yang sangat berharga, yaitu kitab Allah dan 'Itrahku, keluargaku."
Ya, berpegang teguh kepada kitab Allah, mengamalkan isinya, dan ber-wilâyah kepada Ahlul Bait as. adalah sebuah jaminan bagi umat dari penyimpangan dalam kehidupan dunia ini. Setelah selesai melakukan ibadah haji, Rasulullah saw. menyampaikan sebuah ceramah yang sangat indah. Dalam ceramah ini ia telah menjelaskan poin-poin yang sangat penting dan ajaran-ajaran Islam yang sangat benderang. Ia mengakhiri ceramah itu dengan pesan: "Sepeninggalku nanti, jangan sampai kalian kembali kepada kekufuran dan kesesatan sehingga segolongan dari kalian membunuh segolongan yang lain. Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian dua buah pusaka yang kalian pasti tidak akan tersesat untuk selamanya bila berpegang teguh kepadanya. Yaitu kitab Allah dan 'Itrahku, keluargaku. Apakah aku telah menyampaikan hal ini kepada kalian?"
"Ya", jawab mereka serentak.
Kemudian Nabi saw. bersabda lagi: "Ya Allah, saksikanlah! Sesungguhnya kalian akan dimintai tanggung jawab. Hendaknya kalian yang hadir di sini menyampaikan kepada yang gaib."
Kami telah memaparkan teks ceramahnya saw. ini dalam Mawsû'ah Al-Imam Amiril Mukminin as., jilid 2.
Muktamar Ghadir Khum

Setelah Nabi saw. menunaikan ibadah haji, ia kembali ke kota Madinah bersama rombongan jamaah haji. Ketika ia sampai di Ghadir Khum, malaikat Jibril turun kepadanya dengan membawa perintah Allah swt. yang maha penting. Allah swt. memerintahkan agarnya menghentikan rombongan di tempat tersebut guna mengangkat Ali as. sebagai khalifah dan imam atas umat setelahnya wafat. Juga ditekankan bahwa ia tidak boleh menunda-nunda pelaksanaan perintah itu. Ketika itu turun ayat: "Hai Rasulullah, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika engkau tidak melakukannya, maka berarti engkau belum menyapaikan semua risalah-Nya. Dan Allah menjagamu dari kejahatan manusia." (QS. Al-Mâ'idah [5]:67)
Rasulullah saw. menerima perintah tersebut dengan penuh perhatian. Dengan tekad yang kuat membaja dan kehendak yang bulat, ia menghentikan perjalanan di tengah-tengah terik matahari padang pasir. Ia memerintahkan agar kafilah jamaah haji berhenti untuk mendengarkan ceramah yang akannya sampaikan kepada mereka. Nabi saw. mengerjakan salat. Setelah usai salat, ia memerintahkan supaya pelana-pelana unta disusun menjadi mimbar. Setelah itu, ia saw. menyampaikan ceramah dengan penuh semangat. Ia menyampaikan berbagai kesulitan dan rintangan yang melitang jalan dakwah Islam yang pada saat itu umat manusia beada dalam kesesatan. Kemudian ia menyelamatkan mereka. Ia telah menanamkan pondasi kultur (Islam) dan kemajuan umat manusia. Kemudian ia saw. menoleh kepada mereka seraya berkata: "Lihatlah bagaimana kalian memperlakukan dua puaka berharga ini."
Ketika itu sebagian orang bertanya: "Apakah dua pusaka itu, ya Rasulullah?"
Rasulullah saw. menjawab: "Pusaka yang lebih besar adalah kitab Allah; satu bagian jungnya berada di tangan Allah dan satu ujungnya yang lain berada di tangan kalian. Maka berpegang teguhlah kepadanya dan janganlah kalian tersesat. Pusaka lainnya adalah lebih kecil, yaitu keluargaku. Sesungguhnya Allah Yang Maha Lembut dan Mengetahui memberitahukan kepadaku bahwa kedua pusaka itu tidak akan berpisah hingga keduanya menjumpaiku di telaga Haudh. Kemudian aku mohon hal itu kepada Tuhanku. Maka janganlah kalian mendahului keduanya, karena kalian pasti akan binasa, dan janganlah kalian lalai dari keduanya, niscaya kalian akan hancur …."
Kemudian Nabi saw. mengangkat tangan washî dan pintu kota ilmunya, Ali as. dan mewajibkan muslimin untuk ber-wilâyah kepadanya. Ia telah menobatkan dia sebagai pemimpin umat untuk menunjukkan mereka kepada jalan yang lurus.
Beliau saw. bersabda: "Hai manusia, siapakah yang lebih utama terhadap orang-orang beriman daripada diri mereka sendiri?"
Mereka menjawab: "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui."
Nabi saw. bersabda: "Sesungguhnya Allah adalah pemimpinku dan aku adalah pemimpin kaum mukminin. Maka aku lebih utama terhadap mereka daripada diri mereka sendiri. Barang siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka Ali ini adalah pemimpinnya." Ia mengulangi ucapan ini sampai tiga kali.
Setelah itunya melanjutkan: "Ya Allah, bimbinglah orang yang ber-wilâyah kepada Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya. Cintailah orang yang mencintainya dan murkailah orang yang memurkainya. Tolonglah orang yang menolongnya dan hinakanlah orang yang menghinakannya. Dan sertakanlah hak bersamanya di mana saja dia berada. Hendaknya yang hadir menyampaikan hal ini kepada yang gaib …."
Dengan ucapan tersebut, Nabi Muhammad saw. mengakhiri pidatonya, sebuah pidato yang menentukan Ali as. sebagai rujukan seluruh umat manusia sepeninggalnya saw. Ia telah menentukan seorang pemimpin yang mengatur seluruh urusan kamu muslimin setelahnya.
Kaum muslimin menyambut hal itu dengan membaiat Imam Ali as. dan menyampaikan ucapan selamat atas jabatannya sebagai pemimpin muslimin. Nabi saw. memerintahkan para Ummul Mukminin agar membaiatnya. Umar bin Khaththab pun maju menghadap Ali as. untuk mengucapkan selamat dan menyalAmînya. Ketika itu Umar mengucapkan ucapannya yang masyhur: "Selamat, hai putra Abi Thalib, engkau telah menjadi pemimpinku dan pemimpin setiap mukmin laki-laki dan perempuan."
Hassân bin Tsâbit pun bangkit untuk membacakan bait-bait syairnya:
Nabi memanggil mereka pada hari Ghadir Khum, dengarkanlah Rasul memanggil.
Dia berkata: "Siapaklah maula dan nabi kalian?" Mereka menjawab dan tidak seorang pun buta: "Tuhanmu adalah maula kami, dan engkau adalah nabi kami. Tak seorang pun di antara kami yang menentang."
Dia bekata: "Bangkitlah, hai Ali. Aku rela engkau sebagai imam dan penunjuk jalan setelahku.
Barang siapa aku adalah walinya, maka Ali adalah walinya. Hendaklah kalian menjadi pengikutnya yang jujur."
Dia berdoa: "Ya Allah, cintailah orang yang membantunya dan musuhilah orang yang mendengkinya."
Sesungguhnya membaiat Imam Ali as. pada peristiwa Ghadir Khum adalah bagian dari missi Islam. Barang siapa yang mengingkarinya, berarti ia telah mengingkari Islam, seperti ditegaskan Allamah Al-'Alâ'ilî.
Duka Abadi

Setelah Nabi saw. menyampaikan risalah Tuhan dan menjadikan Ali as. sebagai pemimpin umat, kesehatannya mulai menurun hari demi hari. Ia terjangkit penyakit demam berat seperti panas yang membakar. Ia mengenakan sehelai selimut. Jika istri-istrinya dan para penjenguk meletakkan tangan mereka di atas selimut tersebut, mereka pasti merasakan panasnya.
Kaum muslimin berbondong-bondong menjenguknya. Ia memberitahukan kepada mereka tentang ajalnya dan menyampaikan wasiatnya yang abadi. Ia berkata: "Hai manusia, sebentar lagi nyawaku segera akan diambil, lalu aku akan dibawa. Aku sampaikan kepada kalian sebuah amanat demi menyempurnakan hujah bagi kalian. Aku tinggalkan untuk kalian kitab Allah dan 'Itrahku, Ahlul Baitku."
Ajal begitu cepat mendekat kepadanya. Pada waktu itu, ia membaca ada glagat-glagat fanatisme golongan di dalam diri para sahabat untuk berusaha keras mengalihkan kekhalifahan dari Ahlul Baitnya as. Ia berpikir bahwa jalan yang paling tepat adalah mengosongkan kota Madinah dari mereka dengan cara mengutus mereka untuk memerangi bangsa Romawi. Ia menyiapkkan satu pasukan perang di bawah komando Usâmah bin Zaid yang masih berusia muda. Ia saw. tidak menyerahkan kepemimpinan pasukan kepada sahabat yang sudah berumur. Bahkan ia malah memerintahkan mereka menjadi prajurit Usâmah. Mereka merasa keberatan untuk bergabung dalam pasukan perang Usâmah itu.
Mengetahui hal itu, Rasulullah saw. segera naik ke atas mimbar dan menyampaikan pidato. Ia berkata: "Laksanakanlah perintah Usâmah! Semoga Allah melaknat orang-orang yang membelot dari pasukan Usâmah."
Perintahnya yang tegas ini tidak menyenangkan hati mereka. Mereka malah memasukkan ucapannya itu ke telinga kanan dan mengeluarkannya dari telinga kiri. Mereka tidak menaati perintahnya. Ada beberapa pembahasan penting lain dari bagian sejarah Islam ini, dan kami telah memaparkannya dalam kitab Hayâh Al-Imam Hasan as.

Tragedi Hari Kamis

Sebelum meninggal dunia, Rasulullah saw. melihat pentingnya memperkokoh baiat terhadap washî dan pintu kota ilmunya yang telah terlaksana di Ghadir Khum untuk menutup kesempatan bagi para pengkhianat. Ia saw. berkata: "Ambilkan secarik kertas dan pena untukku. Aku akan menulis untuk kalian sebuah wasiat agar kalian tidak tersesat untuk selamanya."
Betapa besar nikmat tersebut bagi kaum muslimin. Karena hal itu adalah sebuah jaminan dari penghulu alam, Rasulullah saw. bahwa umat manusia tidak akan tersesat sepeninggalannya. Mereka senantiasa dapat berjalan di atas jalan lurus yang tidak tercerabuti oleh penyimpangan sedikit pun. Wasiat apakah yang dapat menjamin petunjuk dan kebaikan bagi umat Islam itu? Wasiat itu tidak lain adalah kepemimpinan Ali as. atas umat manusia sepeninggalnya.
Sebagian sahabat mengetahui bahwa Nabi Muhammad saw. bermaksud ingin menulis wasiat mengenai kekhalifahan Ali as. sepeninggalnya. Oleh karena itu, mereka menolak permintaannya itu sembari berteriak: "Cukup bagi kita kitab Allah!"
Setiap orang yang merenungkan penolakan tersebut pasti mengetahui apa maksud ucapan itu. Sahabat yang menolak itu merasa yakin bahwa Nabi saw. akan mengangkat Imam Ali as. sebagai khalifah sepeninggalnya melalui wasiat tersebut. Seandainya sahabat itu tahu bahwa ia hanya ingin berwasiat supaya perbatasan-perbatasan wilayah negara Islam dijaga atau ajaran-ajaran agama Islam diperhatikan, pasti ia tidak akan menolak permintaannya seberani itu.
Yang jelas, ketika itu terjadi keributan di antara orang-orang yang hadir di rumah Rasulullah saw. Sekelompok dari mereka berusaha agar permintaannya itu segera dilaksanakan. Sementara sekelompok yang lain berusaha menghalanginya menulis wasiat tersebut. Beberapa Ummul Mukminin dan para wanita yang lain melawan sikap para penentang yang telah berani menghalang-halanginya di saat-saat terakhir Hayâhnya itu. Mereka berkata dengan nada protes: "Tidakkah kalian mendengar ucapan Rasulullah saw.? Tidakkah kalian ingin melaksanakan keinginan Rasulullah saw.?"
Khalifah Umar, dalang dan otak penentangan itu, bangkit dan berteriak kepada para wanita itu. Ia berkata: "Sungguh kalian adalah wanita-wanita yusuf. Apabila ia sakit, kalian hanya bisa menangis. Dan Jika ia sehat, kalian senantiasa membebaninya".
Mendengar teriakan itu, Rasulullah saw. berkata seraya membidikkan pandangan matanya yang tajam ke arah Umar: "Biarkan para wanita itu. Sungguh mereka lebih baik dibandingkan dengan kalian semua!"
Pertikaian di antara orang-orang yang hadir pun bertambah sengit. Hampir saja kelompok yang mendukung Nabi saw. untuk menulis wasiat itu memenangkan pertikaian. Tetapi seorang penentang segera bangkit dan membidikkan panahnya untuk menghancurkan taktiknya. Orang itu berkata: "Sesungguhnyanya sedang mengigau."
Betapa lancangnya orang itu berkata demikian kepada Rasulullah saw. dan sungguh berani ia menentang poros kenabian. Dia berani mengatakan bahwa Rasulullah saw. sedang mengigau, padahal Al-Qur'an berfirman: "Sahabat kalian itu tidak tersesat dan juga tidak menyimpang. Dia tidak berbicara atas dasar hawa nafsu, melainkan atas dasar wahyu yang diturunkan kepadanya. Dia dididik oleh Dzat Yang Maha Perkasa." (QS. An-Najm [53]:2-5)
Nabi Muhammad saw. mengigau? Padahal Allah swt. berfirman: "Sesungguhnya itu adalah ucapan seorang rasul yang mulia, yang memiliki kekuatan di sisi 'Arsy yang tersembunyi." (QS. At-Takwîr [81]:19-20)
Kita harus melihat peristiwa tersebut secara obyektif dan dengan kesadaran yang bukan penuh, bukan dengan perasaan dan emosi. Karena hal itu berkaitan erat dengan realitas agama kita dan dapat mengungkap bagi kita suatu realitas yang menunjukkan tipu daya musuh terhadap Islam.
Ala kulli hal, taktkala Ibn Abbâs, panutan umat yang alim itu, menyebutkan peristiwa yang mengenaskan itu, hatinya pilu bak tersayat sembilu dan melinangkan air mata bagaikan butiran-butiran permata. Dia berkata: "Hari Kamis! Oh betapa memilukan tragedi hari Kamis. Pada hari Kamis itu Rasulullah saw. bersabda: 'Ambilkan kertas dan pena untukku. Aku ingin menulis sebuah wasiat untuk kalian, agar kalian tidak akan tersesat selama-lamanya.' Tetapi mereka berkata: 'Sesungguhnya Rasulullah sedang mengigau.'"
Satu-satunya kemungkinan yang bisa kita ungkapkan berkenaan dengan masalah ini adalah sekiranya Rasulullah saw. sempat menulis wasiat berkenaan dengan hak Imam Ali as. itu, wasiat itu tidak akan bermanfaat sama sekali. Mereka akan menuduhnya saw. sedang mengigau dan tidak sadarkan diri. Padahal tuduhan semacam ini adalah sebuah tikaman yang sangat telak atas kesucian kenabian.
Rasulullah saw. Menghadap ke Haribaan Ilahi

Kini tiba saatnya manifestasi kelembutan Ilahi itu harus berangkat ke langit yang tinggi. Kini tiba saatnya cahaya yang menerangi alam semesta ini harus pindah ke haribaan suci Ilahi. Malaikat maut telah mendekat menghampirinya saw. untuk menerima roh yang agung itu. Pada saat itu, ia saw. menoleh ke washî dan pintu kota ilmunya. Ia saw. bersabda: "Letakkanlah kepalaku di atas pangkuanmu. Utusan Allah telah tiba. Apabila rohku telah keluar, maka raih roh itu dan usaplah wajahmu dengannya. Kemudian hadapkanlah aku ke arah kiblat, uruslah jenazahku, dan salatilah aku. Engkaulah orang pertama yang menyalatiku. Janganlah engkau tinggalkan aku hingga engkau kuburkan aku di dalam tanah, dan mintalah bantuan kepada Allah swt."
Imam Ali as. segera meraih kepala Rasulullah saw. dan meletakkan kepala suci itu di atas pangkuannya, lalu ia meletakkan tangan kanannya di bawah dagunya. Tidak lama kemudian, roh Rasulullah saw. yang agung pun berangkat. Imam Ali mengusap wajahnya dengan rohnya itu.
Bumi bergoncang dan cahaya keadilan pun lenyap. Oh, betapa hari-hari yang panjang ini penuh dengan kesedihan, hari yang gelap gulita tidak ada tandingannya. Telah sirna mimpi-mimpi kaum muslimin. Kaum wanita Madinah pun keluar sambil menampar-nampar pipi mereka. Suara duka dan kesedihan mereka terdengar nyaring. Para Ummul Mukminin menghempaskan jilbab-jilbab dari atas kepala sembari memukul-mukul dada. Sementara tenggorokan kaum wanita Anshar parau karena berteriak histris.
Di antara keluarga Rasulullah saw. yang paling terpukul dan sedih adalah buah hati dan putri semata wayangnya, Sayyidah Az-Zahrâ' as. Ia merebahkan diri ke atas jenazah ayahanda tercinta sembari berkata dengan suara yang pilu: "Oh, ayahku! Oh, nabi rahmatku! Kini wahyu tak 'kan datang lagi. Kini terputuslah hubungan kami dengan Jibril. Ya Allah, susulkanlah rohku dengan rohnya. Berikanlah aku syafaat untuk dapat melihat wajahnya. Janganlah Engkau halangi aku untuk memperoleh pahala dan syafaatnya pada Hari Kiamat kelak."
Az-Zahrâ' as. berjalan mondar-mandir di seputar jenazah ayahandanya yang agung itu dengan duka yang mendalam. Peristiwa itu telah membungkam lidahnya. Ia hanya dapat berkata: "Oh, ayahku! Kepada Jibril aku menyampaikan bela sungkawa ini. Oh, ayahku! Surga Firdaus tempat ia berteduh. Oh, ayahku! Ia telah memenuhi panggilan Tuhan yang telah memanggilnya."
Kewafatan ayahanda tercinta telah membuat Sayyidah Az-Zahrâ' bisu bagaikan mayat yang tak bernyawa lagi. Betapa sedihnya Az-Zahra as., buah hati Rasulullah saw. itu.
Menangani Proses Pemakaman Jenazah yang Agung

Imam Ali as. menangani proses pemakaman jenazah saudara dan putra pamannya itu sambil mencucurkan air mata yang deras. Ali as. memandikan jasad yang suci itu sambil berkata dengan suara yang lirih: "Demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah, dengan kepergianmu ini telah terputus kenabian dan berita langit yang tidak pernah terputus dengan kematian orang lain selainmu. Engkau dikhususkan (dengan kenabian) sehingga engkau senantiasa menjadi pelipur lara bagi orang lain, dan missimu bersifat umum sehingga seluruh manusia sama di hadapanmu. Sekiranya engkau tidak menyuruhku untuk bersabar dan tidak melarangku untuk berkeluh-kesah, niscaya telah kutumpahkan seluruh kesedihanku, problem pun berkepanjangan, dan kesedihan pun berkelanjutan."
Setelah selesai memandikan jasad Rasulullah saw., Ali as. mengkafaninya dan meletakkan jazad mulia itu di atas keranda untuk dimakamkan.
Menyalati Jenazah Rasulullah saw.

Orang pertama yang menyalati jenazah Rasulullah saw. yang suci adalah Allah swt. di atas 'Arsy-Nya, kemudian Jibril as., kemudian Israfil as., dan kemudian para malaikat serombongan demi serombongan. Setelah itu, kaum muslimin berbondong-bondong menyalati jenazah nabi mereka. Imam Ali as. berkata: "Tak seorang pun yang menjadi imam dalam salat ini. Ia adalah imam kalian, baik ketika hidup maupun setelah wafat."
Mereka masuk ke dalam ruangan sekelompok demi sekelompok dan menyalati jenazahnya dengan berbaris tanpa imam. Salat tersebut dilakukan secara khusus. Imam Ali as. membacakan bacaan-bacaan salat, sementara mereka mengikuti bacaan terebut. Bacaan itu adalah
?لسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَشْهَدُ أَنَّهُ قَدْ بَلَّغَ مَا

أُنْزِلَ إِلَيْهِ، وَ نَصَحَ لِأُمَّتِهِ، وَ جَاهَدَ فِي سَبِيْلِ اللهِ حَتىَّ أَعَزَّ اللهُ دِيْنَهُ وَ تَمَّتْ كَلِمَتُهُ،

اللَّهُمَّ فَاجْعَلْنَا مِمَّنْ يَتَّبِعُ مَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ، وَ ثَبِّتْنَا بَعْدَهُ وَ اجْمَعْ بَيْنَنَا وَ بَيْنَهُ

Salam sejahtera, juga rahmat, dan seluruh berkah Allah untukmu, wahai nabi Allah. Ya Allah, kami bersaksi bahwa ia telah menyampaikan apa yang telah diturunkan kepadanya, telah menasihati umatnya, dan telah berjuang di jalan Allah sehingga Allah memuliakan agama-Nya dan menyempurnakan kalimat-Nya. Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang mengikuti apa yang telah diturunkan kepadanya. Teguhkanlah kami sepeninggalnya dan himpunlah kami dengannya.

Sementara seluruh masyarakat yang menyalatinya itu mengucapkan: "Amîn."
Kaum muslimin berjalan melalui jenazah nabi yang agung itu sembari menatapnya dengan kesedihan dan rasa duka yang sangat dalam. Mereka kini telah kehilangan penyelamat dan pembimbing. Pembangun negara dan peradAbân yang tinggi itu telah wafat meninggalkan mereka.
Menguburkan Jenazah Rasulullah saw.

Seusai kaum muslimin menyalati jenazah Rasulullah saw., Imam Ali as. menggali kuburan untuknya. Setelah itu, ia menguburkan jenazah saudaranya itu.
Kekuatan Ali telah melemah. Ia berdiri di pinggiran kubur sembari menutupi kuburan itu dengan tanah dengan disertai linangan air mata. Ia mengeluh: "Sesungguhnya sabar itu indah, kecuali terhadapmu. Sesungguhnya berkeluh-kesah itu buruk, kecuali atas dirimu. Sesungguhnya musibah atasmu sangat besar. Dan sesungguhnya sebelum dan sesudahmu terdapat peristiwa besar."
Pada hari bersejarah itu, bendera keadilan telah terlipat di alam kesedihan, tonggak-tonggak kebenaran telah roboh, dan cahaya yang telah menyinari alam telah lenyap. Beliaulah yang telah berhasil mengubah perjalanan hidup umat manusia dari kezaliman yang gelap gulita kepada kehidupan sejahtera yang penuh dengan peradAbân dan keadilan. Dalam kehidupan ini, suara para tiran musnah dan jeritan orang-orang jelata mendapat perhatian. Seluruh karunia Allah terhampar luas untuk hamba-hamba-Nya dan tak seorang pun memiliki kesempatan untuk menimbun harta untuk kepentingannya sendiri.
Muktamar Tsaqîfah

Dalam sejarah dunia Islam, muslimin tidak pernah menghadapi tragedi yang sangat berat sebagai cobaan dalam kehidupan mereka seberat peristiwa Tsaqîfah yang telah menyulut api fitnah di antara mereka dan membuka pintu kehancuran bagi kehidupan mereka.
Kaum Anshar telah melangsungkan muktamar di Tsaqîfah Bani Sâ'idah pada hari Rasulullah saw. wafat. Muktamar itu dihadiri oleh dua kubu, suku Aus dan Khazraj. Mereka berusaha mengatur siasat supaya kekhalifahan tidak keluar dari kalangan mereka. Mereka tidak ingin muktamar tersebut diikuti oleh kaum Muhajirin yang secara terus terang telah menolak untuk membaiat Imam Ali as. yang telah dikukuhkan oleh Rasulullah saw. sebagai khalifah dan pemimpin umat pada peristiwa Ghadir Khum. Mereka tidak ingin bila kenabian dan kekhalifahan berkumpul di satu rumah, sebagaimana sebagian pembesar mereka juga pernah menentang Rasulullah saw. untuk menulis wasiat berkenaan dengan hak Ali as. Ketika itu mereka melontarkan tuduhan bahwa Rasulullah saw. sedang mengigau sehingga mereka pun berhasil melakukan makar tersebut.
Ala kulli hal, kaum Anshar merupakan tulang punggung bagi kekuatan bersenjata pasukan Rasulullah saw. dan mereka pernah menebarkan kesedihan dan duka di rumah-rumah kaum Quraisy yang kala itu hendak melakukan perlawanan terhadap Rasulullah saw. Ketika itu orang-orang Quraisy betul-betul merasa dengki terhadap kaum Anshar. Oleh karena itu, kaum Anshar segera mengadakan muktamar, karena khawatir terhadap kaum Muhajirin.
Hubâb bin Munzdir berkata: "Kami betul-betul merasa khawatir bila kalian diperintah oleh orang-orang yang anak-anak, nenek moyang, dan saudara-saudara mereka telah kita bunuh."
Kekhawatiran Hubbâb itu ternyata menjadi kenyataan. Setelah usia pemerintahan para khalifah usai, dinasti Bani kaum Umayyah berkuasa. Mereka berusaha untuk merendahkan dan menghinakan mereka. Mu'âwiyah telah berbuat zalim dan kejam. Ketika Yazîd bin Mu'âwiyah memerintah, ia juga bertindak sewenang-wenang dan menghancurkan kehormatan mereka dengan berbagai macam siksa dan kejahatan. Yazîd menghalalkan harta, darah, dan kehormatan mereka pada tragedi Harrah. Sejarah tidak pernah menyaksikan kekejian dan kekezaman semacam itu.
Ala kulli hal, pada muktamar Tsaqîfah tersebut, kaum Anshar mencalonkan Sa'd sebagai khalifah, kecuali Khudhair bin Usaid, pemimpin suku Aus. Ia enggan berbaiat kepada Sa'd karena kedengkian yang telah tertanam antara sukunya dan suku Sa'd, Khazraj. Sudah sejak lama, memang hubungan antara kedua suku ini tegang.
'Uwaim bin Sâ'idah bangkit bersama Ma'n bin 'Adî, sekutu Anshar, untuk menjumpai Abu Bakar dan Umar. Mereka ingin memberitahukan kepada Abu Bakar dan Umar peristiwa yang sedang berlangsung di Tsaqîfah. Abu Bakar dan Umar terkejut. Mereka segera pergi menuju ke Tsaqîfah secara tiba-tiba. Musnahlah seluruh cita-cita yang telah dirajut oleh kaum Anshar. Wajah Sa'd berubah. Setelah terjadi pertikaian yang tajam antara Abu Bakar dan kaum Anshar, kelompok Abu Bakar segera bangkit untuk membaiatnya. Umar yang bertindak sebagai pahlawan dalam baiat itu telah memainkan peranannya yang aktif dalam ajang pertikaian kekuasaan itu. Dia menggiring masyarakat untuk membaiat sahabatnya, Abu Bakar. Abu Bakar keluar dari Tsaqîfah diikuti oleh para pendukungnya menuju ke masjid Rasulullah saw. dengan diiringi oleh teriakan suara takbir dan tahlil. Dalam baiat ini, pendapat keluarga Nabi saw. tidak dihiraukan. Begitu pula pendapat para pemuka sahabatnya, seperti Ammâr bin Yâsir, Abu Dzar, Miqdâd, dan sahabat-sahabat yang lain.
Sikap Imam Ali as. Terhadap Pembaiatan Abu Bakar

Para sejarawan dan perawi hadis bersepakat bahwa Imam Ali as. menolak dan tidak menerima pembaiatan atas Abu Bakar. Ia lebih berhak untuk menjadi khalifah. Karena beliaulah orang yang paling dekat dengan Rasulullah saw. Kedudukan Ali as. di sisi Rasulullah saw. adalah seperti kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as. Islam tegak karena perjuangan dan keberaniannya. Dia mengalami berbagai macam bencana dalam menegakkan Islam. Nabi saw. menjadikan Ali as. sebagai saudaranya. Rasulullah saw. pernah bersabda kepada kaum muslimin: "Barang siapa yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali adalah juga pemimpinnya."
Atas dasar ini, Ali as. menolak untuk membaiat Abu Bakar. Abu Bakar dan Umar telah bersepakat untuk menyeret Ali as. dan memaksanya berbaiat. Umar bin Khaththab bersama sekelompok pengikutnya mengepung rumah Ali as. Umar menakut-nakuti, mengancam, dan menggertak Ali as. dengan menggenggam api untuk membakar rumah wahyu itu. Buah hati Rasulullah saw. dan penghulu para wanita semesta alam keluar dan bertanya dengan suara lantang: "Hai anak Khaththab, apa yang kamu bawa itu?" Umar menjawab dengan keras: "Yang aku bawa ini lebih hebat daripada yang telah dibawa oleh ayahmu."
Sangat disayangkan dan menggoncang kalbu setiap muslim! Mereka telah berani bertindak keras seperti itu terhadap Az-Zahrâ' as., buah hati Rasulullah saw. Padahal Allah rida karena keridaan Az-Zahrâ' dan murka karena kemurkaannya. Melihat kelancangan ini, tidak ada yang layak kita ucapkan selain innâ lillâh wa innâ ilaihi râji'ûn.
Akhirnya, mereka memaksa Imam Ali as. keluar dari rumahnya dengan paksa. Para pendukung Khalifah Abu Bakar menyeret Imam Ali as. untuk menghadap dengan pedang terhunus. Mereka berkata dengan lantang: "Baiatlah Abu Bakar! Baiatlah Abu Bakar!"
Imam Ali as. membela diri dengan hujah yang kokoh dan tanpa rasa takut sedikit pun terhadap kekerasan dan kekezaman mereka. Ia berkata: "Aku lebih berhak atas masalah ini daripada kalian. Aku tidak akan membaiat kalian, tetapi kalian sebenarnya yang harus membaiatku. Kalian telah merampas urusan ini dari kaum Anshar dengan alasan bahwa kalian memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi saw. Tetapi kalian telah menggasab kekhalifahan itu dari kami Ahlul Bait secara paksa. Bukankah kamu telah mengaku di hadapan kaum Anshar bahwa kamu lebih utama dalam urusan ini daripada mereka karena Nabi Muhammad saw. berasal dari kalangan kalian, sehingga mereka rela memberikan dan menyerahkan kepemimpinan itu kepadamu? Kini aku juga ingin berdalih kepadamu seperti kamu berdalih kepada kaum Anshar. Sesungguhnya aku adalah orang yang lebih utama dan lebih dekat dengan Rasulullah saw., baik Ketika ia masih hidup maupun setelah wafat. Camkanlah ucapanku ini, jika kamu beriman. Jika tidak, maka kamu telah berbuat zalim sedang kamu mengetahuinya."
Betapa indah hujah dan dalil tersebut. Kaum Muhajirin dapat mengalahkan kaum Anshar lantaran hujah itu, karena mereka merasa memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan Nabi saw. Argumentasi Imam Ali as. lebih tepat, lantaran suku Quraisy yang terdiri dari banyak kabilah dan memiliki hubungan kekeluargaan dengan Nabi saw. itu bukan anak-anak paman atau bibinya. Sementara hubungan kekerabatan antara Nabi saw. dengan Imam Ali as. terjelma dalam bentuk yang paling sempurna. Karena Ali as. adalah sepupu Nabi saw., ayah dua orang cucunya, dan suami untuk putri semata wayangnya.
Walau demikian, Umar tetap memaksa Imam Ali as. Umar berkata: "Berbaiatlah!"
"Jika aku tidak melakukannya?", tanya Imam Ali pendek.
"Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, jika engkau tidak membaiat, aku akan penggal lehermu", jawab Umar pendek.
Imam Ali as. diam sejenak. Ia memandang ke arah kaum yang telah disesatkan oleh hawa nafsu dan dibutakan oleh cinta kekuasaan itu. Imam Ali as. melihat tidak ada orang yang akan menolong dan membelanya dari kejahatan mereka. Akhirnya ia menjawab dengan nada sedih: "Jika demikian, kamu telah membunuh hamba Allah dan saudara Rasulullah."
Umar segera menimpali dengan berang: "Membunuh hamba Allah, ya. Tetapi saudara Rasulullah, tidak."
Umar telah lupa dengan sabda Rasulullah saw. bahwa Imam Ali as. adalah saudaranya, pintu kota ilmunya, dan kedudukannya di sisinya adalah sama dengan kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as. Ali as. adalah pejuang pertama Islam. Semua realita dan keutamaan itu telah dilupakan dan diingkari oleh Umar.
Kemudian Umar menoleh ke arah Abu Bakar seraya menyuruhnya untuk mengingkari hal itu. Umar berkata kepada Abu Bakar: "Mengapa engkau tidak menggunakan kekuasaanmu untuk memaksanya?"
Abu Bakar takut fitnah dan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Dia akhirnya menentukan sikap: "Aku tidak akan memaksanya, selama Fathimah berada di sisinya."
Akhirnya mereka membebaskan Imam Ali as. Ia berlari-lari menuju ke makam saudaranya, Rasulullah saw. untuk mengadukan cobaan dan aral yang sedang menimpanya. Ia menangis tersedu-sedu seraya berkata: "Wahai putra ibuku, sesungguhnya kaum ini telah meremehkanku dan hampir saja mereka membunuhku."
Mereka telah meremehkan Imam Ali as. dan mengingkari wasiat-wasiat Nabi saw. berkenaan dengan dirinya. Setelah itu ia kembali ke rumah dengan hati yang hancur luluh dan sedih. Benar telah terjadi apa yang telah diberitakan oleh Allah swt. akan terjadi pada umat Islam setelah Rasulullah saw. wafat. Mereka kembali kepada kekufuran. Allah swt. berfirman: "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul; sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun ...." (QS. ?li 'Imrân [3]:144)
Sungguh mereka telah kembali kepada kekufuran, kekufuran yang dapat menghancurkan iman dan harapan-harapan mereka. Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji'ûn.
Kita tutup lembaran peristiwa-peristiwa yang mengenaskan dan segala kebijakan pemerintah Abu Bakar yang tiran terhadap keluarga Nabi saw. ini, seperti merampas tanah Fadak, menghapus khumus, dan kebijakan-kebijakan yang lain. Seluruh peristiwa ini telah kami jelaskan secara rinci dalam Mawsû'ah Al-Imam Amiril Mukminin as.
Az-Zahrâ' Menuju ke Alam Baka

Salah satu peristiwa yang sangat menyedihkan Imam Ali as. adalah kepergian buah hati Rasulullah saw., Az-Zahrâ' as. Ia jatuh sakit, sementara hatinya yang lembut tengah merasakan kesedihan yang mendalam. Rasa sakit telah menyerangnya. Dan kematian begitu cepat menghampirinya, sementara usianya masih begitu muda. Oh, betapa beratnya duka yang menimpa buah hati dan putri semata wayang Rasulullah saw. itu. Ia telah mengalami berbagai kekezaman dan kezaliman dalam masa yang sangat singkat setelah ayahandanya wafat. Mereka telah mengingkari kedudukannya yang mulia di sisi Rasulullah, merampas hak warisannya, dan menyerang rumahnya.
Az-Zahrâ' telah menyampaikan wasiat terakhir yang maha penting kepada putra pamannya. Dalam wasiat itu ditegaskan agar orang-orang yang telah ikut serta merampas haknya tidak boleh menghadiri pemakaman, jenazahnya dikuburkan pada malam hari yang gelap gulita, dan kuburannya disembunyikan agar menjadi bukti betapa ia murka kepada mereka.
Imam Ali as. melaksanakan wasiat istrinya yang setia itu di pusaranya yang terakhir. Ia berdiri di pinggir makamnya sambil menyiramnya dengan tetesan-tetesan air mata. Ia menyampaikan ucapan takziah, bela sungkawa, dan pengaduan kepada Rasulullah saw. setelah menyampaikan salam kepada beliau:
Salam sejahtera untukmu dariku, ya Rasulullah, dan dari putrimu yang telah tiba di haribaanmu dan yang begitu cepatnya menyusulmu. Ya Rasulullah, betapa sedikitnya kesabaranku dengan kemangkatanmu dan betapa beratnya hati ini. Hanya saja, dalam perpisahan denganmu dan besarnya musibahmu ada tempat untuk berduka. Aku telah membaringkanmu di liang kuburmu. Dan jiwamu telah pergi meninggalkanku ketika kepalamu berada di antara leher dan dadaku. Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji'ûn. Titipan telah dikembalikan dan gadai pun telah diambil kembali. Tetapi kesedihanku tetap abadi. Malam-malamku pun menjadi panjang, hingga Allah memilihkan untukku tempatmu yang kini engkau singgahi. Putrimu akan bercerita kepadamu tentang persekongkolan umatmu untuk berbuat kejahatan. Tanyakanlah dan mintalah berita mengenai keadan mereka! Padahal perjanjian itu masih hangat dan namamu masih disebut-sebut. Salam sejahtera atasmu berdua, salam selamat tinggal, tanpa lalai dan jenuh. Jika aku berpaling, maka bukan karena bosan. Jika aku diam, maka bukan karena aku berburuk sangka terhadap apa yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang sabar.
Ungkapan-ungkapan Imam Ali as. di atas menunjukkan betapa ia mengalami kesedihan yang mendalam atas kepergian titipan Rasulullah saw. itu. Ungkapan-ungkapan itu juga menunjukkan betapa dalamnya sakit hati dan duka yang dialAmînya akibat perlakuan umat Islam. Imam Ali as. juga minta kepada Rasulullah saw. agar memaksa putrinya bercerita dan memberikan informasi tentang seluruh kejahatan dan kezaliman yang telah dilakukan oleh umatnya itu.
Seusai menguburkan jenazah buah hati Rasulullah saw., Imam Ali as. kembali ke rumah dengan rasa duka dan kesedihan yang datang silih berganti. Para sahabat telah mengasingkannya. Imam Ali as. berpaling sebagaimana mereka juga berpaling darinya. Ia bertekad untuk menjauhi seluruh urusan politik dan tidak ikut campur tangan tentang hal ini.
Pemerintahan Umar

Masa kekuasaan Abu Bakar tidak berlangsung lama. Setelah dua tahun berkuasa, ia mengalami sakit parah. Pada saat-saat menjelang kematiannya, ia menyerahkan kekhalifahan kepada sahabatnya, Umar. Keputusan ini mendapat kritikan dan kecaman keras dari para sahabat besar. Tetapi ia tidak bergeming. Ia tetap menjalankan tekadnya itu melalui sebuah surat wasiat. Wasiat ini ditulis oleh 'Utsmân bin 'Affân. Dia juga yang mengumumkan di hadapan khalayak ramai dan mengajak mereka untuk membaiat Umar.
Ala kulli hal, Umar telah menerima jabatan kekhalifahan dengan mudah dan tanpa bersusah payah. Dia menjalankan pemerintahan dengan tangan besi dan mengatur urusan Negara dengan kekerasan dan kekezaman. Tindakannya menuai kritikan pedas dari para sahabat besar. Para sejarawan menulis, sebenarnya perlakuan Umar (selama menjadi khalifah) itu lebih kejam dan keras daripada pedang Hajjâj bin Yusuf. Setiap orang yang beroposisi dengannya, ia hadapi dengan kejam dan bengis. Umar telah menguasai negara sepenuhnya. Dan ia memiliki cara tersendiri dalam menjalankan roda pemerintahan. Sepak terjang Umar dalam bidang politik, baik dalam maupun luar negeri, dan bidang ekonomi telah kami paparkan secara rinci dalam buku kami, Mawsû'ah Al-Imam Amirul Mukminin as., jilid 2.
Umar Terbunuh

Umar memiliki politik tersendiri untuk imperium Persia. Dia begitu dengki terhadap imperium ini, sebagaimana juga bangsa Persia membencinya. Abu Lu'lu'ah adalah seseorang berkebangsaan Persia yang sangat membenci Umar. Tetapi ia menyembunyikan isi hatinya itu. Pada suatu hari, ia pernah berlalu di hadapan Umar. Umar berkata kepadanya sembari mengejek: "Aku dengar engkau mampu membuat gilingan tepung yang digerakkan dengan tenaga angin?"
Abu Lu'lu'ah merasa tersengat oleh ucapan Umar yang bernada ejekan itu. Ia emosi seraya berkata: "Aku akan membuat gilingan tepung yang dapat berbicara dengan manusia."
Pada hari kedua, Abu Lu'lu'ah behasil membunuh Umar. Ia menikamnya dengan tiga kali tikaman. Salah satu tikaman itu mengenai bagian bawah perutnya hingga kulitnya robek. Setelah itu, Abu Lu'lu'ah menyerang orang-orang yang berada di dalam masjid. Ia berhasil menikam sebanyak sebelas orang. Kemudian ia melakukan bunuh diri. Umar segera dibawa ke rumahnya, sementara lukanya banyak mengeluarkan darah. Ia bertanya kepada orang-orang yang ada di sekitarnya: "Siapakah yang menikamku?"
"Budak Mughîrah", jawab mereka singkat.
Umar menimpali: "Bukankah aku telah berkata kepada kalian, 'Jangan bawa aku ke hadapan orang dungu sehingga kalian melengahkanku?'"
Kemudian keluarga Umar memanggil seorang tabib. Tabib bertanya kepada Umar: "Minuman apa yang paling kamu sukai?
"Nabîdz (anggur)", jawab Umar pendek.
Umar diberi minum anggur. Cairan anggur itu keluar dari salah satu tikamannya. Orang-orang yang hadir berkata: "Telah keluar nanah." Lalu ia diberi minum susu. Keluar lagi nanah dari salah satu tikaman yang lain. Tabib pun merasa putus asa. Tabib berkata: "Aku menduga engkau tidak dapat hidup lagi sampai sore hari."
Konsep Syûrâ

Penyakit Umar semakin parah. Ia lama berpikir kepada siapakah kekhalifahan ini harus diserahkan. Ia teringat kepada para pendukungnya yang pernah membantunya mengeluarkan kekhalifahan dari keluarga Rasulullah saw. Ia naik ke atas mimbar dan menampakkan kesedihan kepada masyarakat. Ia berkata: "Sekiranya Abu 'Ubaidah masih hidup, pasti aku berikan kekhalifahan ini kepadanya. Karena ia orang jujur di antara umat ini. Sekiranya Sâlim budak Abi Hudzaifah masih hidup, pasti aku serahkan kekhalifahan ini kepadanya. Karena ia sangat mencintai Allah swt."
Padahal, jika kita membuka kembali lembaran sejarah Islam, kita tidak akan menemukan sedikitpun peran Abu 'Ubaidah di medan jihad atau khidmatnya kepada dunia Islam. Sâlim budak Abi Hudzaifah adalah rakyat biasa yang tidak dikenal. Ia hanya memiliki peran ketika menyerang rumah Imam Ali as. Peristiwa tersebut harus dikaji secara seksama dan tanpa ada unsur semangat golongan dan fanatisme suku sehingga muslimin dapat mengetahuinya secara obyektif.
Ala kulli hal, Umar telah menetapkan konsep Syûrâ, sebuah konsep yang sangat goyah dan lemah. Tujuan Umar adalah untuk menyingkirkan Imam Ali as. dari kekhalifahan dan menyerahkannya kepada 'Utsmân bin Affân, pemuka Bani Umwiyah. Sikap ini menyenangkan hati orang-orang Quraisy yang memiliki kedengkian dan kebencian yang mendalam kepada Imam Ali as.
Akhirnya, 'Utsmân bin 'Affân memperoleh jabatan kepemimpinan umat Islam sesuai dengan ketetapan Syûrâ, Syûrâ yang telah menimpakan musibah dan berbagai fitnah atas kaum muslimin dan menjerumuskan mereka ke lembah kehancuran. Kami telah menjelaskan konsep Syûrâ yang telah ditetapkan oleh Umar ini dalam buku kami, Mawsû'ah Al-Imam Amiril Mukminin as. Pada kesempatan ini, kami hanya menyinggung masalah ini secara sekilas.
Pemerintahan 'Utsmân

Mayoritas kaum muslimin menerima kekhalifahan 'Utsmân dengan penuh kerisauan dan keraguan. Mereka menilai bahwa naiknya 'Utsmân ke takhta kekuasaan adalah kemenangan bagi keluarganya yang tidak pernah ikut andil dalam peperangan melawan musuh-musuh Islam. Dawzî melihat bahwa kemenangan keluarga Umayyah sebenarnya adalah kemenangan sekelompok orang yang menyimpan permusuhan terhadap Islam.
Kenyataannya, 'Utsmân mengangkat Bani Umayyah sebagai aparat negara. Mereka menguasai perekonomian umum demi kepentingan mereka sendiri dan untuk membangun kembali keluarga mereka yang telah dihancurkan oleh Islam. Mereka telah membelenggu kepribadian 'Utsmân yang lemah dan memanfaatkan kecintaannya kepada mereka. Dengan jalan ini, mereka mengeruk harta negara, sebagaimana unta melahap tumbuh-tumbuhan di musim bunga. Menurut perspektif Imam Ali as: "Dengan itu, mereka menyebarkan kefakiran dan kesengsaraan di tengah-tengah masyarakat Islam. Hal itu menyebabkan kemarahan umat tersebar dan negara hancur luluh."
Faktor penting lain yang membuat pemerintahan 'Utsmân runtuh adalah ia memberikan wewenang kepada Bani Umayyah dan Abi Mu'îth atas daerah-daerah kekuasaan Islam, padahal mereka tidak memiliki kelayakan dan kepandaian sama sekali dalam mengatur negara. Sebagian dari mereka malah diangkat untuk menangani masalah-masalah besar negara. Misalnya Walîd bin 'Uqbah diangkat menjadi gubernur Kufah. Ia menghabiskan kekayaan negara untuk bermabuk-mabukan setiap malam bersama para wanita penyanyi hingga pagi hari. Ia pernah mengerjakan salat Shubuh sebagai imam sambil mabuk sebanyak empat rakaat. Ketika rukuk dan sujud, ia berkata: "Aku ingin menenggak arak. Berikanlah!" Kemudian ia memuntahkan arak di mihrab salat dan mengucapkan salam. Setelah itu ia menoleh ke arah orang-orang yang salat di belakangnya seraya berkata: "Apakah aku perbanyak rakaat salat ini untuk kalian?" Ibn Mas'ûd menjawab: "Semoga Allah tidak menambahkan kebaikan padamu dan juga kepada orang yang mengutusmu." Ibn Mas'ûd mengambil sandal dan memukul wajah Walîd dengan pangkal sandal itu. Kemudian orang-orang berkumpul. Walîd memasuki istana sambil mabuk yang diikuti oleh jamaah. Walîd betul-betul bejad dan telah keluar dari agama.
Para wakil kota Kufah segera pergi ke Yatsrib untuk mengadukan kelakuan Walîd kepada 'Utsmân. Mereka membawa cincin yang mereka copot ketika Walid sedang mabuk untuk diperlihatkan kepada 'Utsmân. Sesampainya di sana, mereka mengadukan perbuatan Walîd yang suka minum arak. Tetapi mereka tidak mendapatkan jawAbân apa-apa. Bahkan 'Utsmân menghadapi mereka dengan ketus dan kejam seraya berkata: "Dari mana kalian tahu bahwa yang ia minum itu adalah arak?"
"Yang ia minum itu adalah arak yang biasa kita minum pada masa jahiliah", tukas mereka pendek.
'Utsmân naik pitam. Dia mendorong mereka sambil mengeluarkan kata-kata yang pedas. Akhirnya mereka keluar meniggalkan 'Utsmân setelah menerima murkanya. Mereka segera menjumpai Imam Ali as. dan menceritakan peristiwa yang terjadi antara mereka dengan 'Utsmân. Imam Ali as. segera bangkit menuju 'Utsmân dan berkata kepadanya: "Engkau telah menolak para saksi dan membatalkan sanksi."
'Utsmân merasa takut atas akibat yang akan terjadi. Ia berkata kepada Imam Ali as.: "Lalu, apa pendapatmu?"
Imam Ali as. menjawab: "Pendapatku adalah utuslah seseorang menemui sahabatmu itu. Jika ada dua orang yang siap bersaksi atas perbuatannya itu dan ia tidak memiliki dalih, maka perlakukanlah sanksi atasnya."
'Utsmân menerima pendapat Imam Ali as. Ia segera mengutus seseorang menjumpai Walîd. Ketika utusan itu tiba di hadapannya, ia memanggil para saksi. Para saksi bersaksi atas perbuatan Walîd itu. Walîd diam dan tidak mampu beralasan untuk membela diri. Iapun pasrah untuk menerima sanksi. Tetapi ia menolak hadir untuk dicambuk karena takut kepada 'Utsmân. Akhirnya Imam Ali as. melakukan sanksi atasnya. Walîd mencerca Imam Ali as. seraya berkata: "Hai si zalim." 'Aqîl bangkit dan menjawab cercaannya itu. Mulailah Imam Ali as. mengangkat cambuk tinggi-tinggi dan memukulnya. 'Utsmân nampak murka dan tidak tega melihat itu. Ia berteriak kepada Imam Ali as.: "Tidak seharusnya engkau berbuat begitu!" Imam Ali as. menjawab sesuai dengan hukum syariat yang menegaskan: "Bahkan lebih keras dari ini bila ia telah berbuat fasik dan melarang hak Allah dituntut darinya."
Sikap 'Utsmân seperti itu menunjukkan betapa ia meremehkan pelaksanaan hukum Allah, dan betapa ia menaruh kasihan terhadap keluarganya yang congkak dan dimurkai Allah.
Kelompok Penentang 'Utsmân

Kaum muslimin pilihan dan yang saleh sangat murka terhadap 'Utsmân dan para gubernurnya. Mereka mengecam dan melontarkan kritikan-kritikan yang pedas kepadanya.
Perlu disebutkan di sini, bahwa para penentang 'Utsmân memiliki haluan pemikiran yang berbeda-beda. Mereka terbagi dalam kelompok kanan dan kelompok kiri. Thalhah, Zubair, 'AIsya'h, dan 'Amr bin 'Ash berdiri di kelompok yang berambisi ingin mencapai kepentingan pribadi yang sangat sempit. Sedangkan kelompok lainnya terdiri dari para pembesar Islam seperti 'Ammâr bin Yâsir (anak keturunan orang-orang yang baik), Abu Dzar Al-Ghifârî sang mujahid agung, Abdullah bin Mas'ûd sang qârî, dan sahabat-sahabat lainnya yang telah mendapatkan ujian di jalan dan berhasil lulus dengan rapor yang memuaskan. Mereka melihat bahwa Sunah Rasulullah saw.telah dibunuh dan bidah telah dihidupkan kembali, kebenaran telah didustakan dan pengutamaan telah dilimpahkan kepada orang-orang yang tidak berhak. Mereka berdiri di hadapan 'Utsmân untuk menentang politiknya dan menuntut agar ia mengubah perilakunya dan menjauhkan keluarga Umayyah dari kekuasaan. Mereka tidak mempunyai kepentingan apapun dalam penentangan tersebut, selain berkhidmat kepada Islam. Tetapi 'Utsmân tidak mengindahkan keinginan mereka.
Penyerbuan atas 'Utsmân

Setelah berbagai macam cara yang diusulkan kepada 'Utsmân untuk melakukan perbaikan dalam tubuh sistem pemerintahan tidak berhasil, api pemberontakan berkobar untuk menentangnya. Para pemberontak mengepung rumahnya. Mereka menuntut agar ia mengundurkan diri. Tetapi ia menolak. Mereka menuntut agar ia menjatuhkan hukuman kepada Marwân dan Bani Umayyah. Tapi 'Utsmân pun tetap acuh tak acuh. Bani Umayyah telah meninggalkan 'Utsmân sendirian. Sekelompok orang yang dipimpin oleh Muhammad bin Abu Bakar melakukan penyerbuan terhadap 'Utsmân. Ia menjambak jenggot 'Utsmân seraya berkata kepadanya: "Allah telah menghinakanmu, hai Na'tsal."
'Utsmân menjawab: "Aku bukan Na'tsal. Tetapi aku adalah hamba Allah dan Amirul Mukminin."
Muhammad bin Abu Bakar menimpali: "Mu'âwiyah tidak lagi membutuhkanmu." Muhammad pun menyebutkan beberapa orang dari Bani Umayyah yang turut mengepung rumahnya.
'Utsmân merengek kepadanya seraya berkata: "Hai putra saudaraku, lepaskan jenggotku. Ayahmu tidak pernah melakukan seperti ini."
Muhammad menjawab: "Aku tidak menginginkan atasmu lebih keras dari pegangan tanganku terhadap jenggotmu ini."
Setelah berkata begitu, Muhammad menikamnya dengan belati yang digenggamnya. Tak ayal lagi, tubuh 'Utsmân menjadi sasaran para pemberontak dan tubuh tak bernyawa itu dicampakkan ke atas tanah. Tak seorang pun dari Bani Umayyah dan keluarga Abi Mu'îth yang berani menolongnya. Para pemberontak telah bertindak keterlaluan dalam menghinakannya. Mereka mencampakkan tubuh 'Utsmân itu di tempat yang terhina dan tidak mengizinkan untuk dikuburkan. Hal ini berlanjut hingga Imam Ali as. menyuruh agar 'Utsmân dikuburkan. Mereka pun mengizinkan untuk dikuburkan.
Kehidupan 'Utsmân telah berakhir dengan cara yang sangat mengenaskan. Dengan membunuh 'Utsmân ini, muslimin telah memperoleh ujian yang sangat berat. Berbagai musibah dan fitnah telah mengintai dan akan menjerumuskan mereka ke dalam jurang keburukan yang sangat besar. Karena Bani Umayyah merasa beruntung dengan terbunuhnya 'Utsmân. Mereka memperoleh celah untuk menuntut darahnya, sebagaimana kekuatan oposisi seperti Thalhah, Zubair, dan 'AIsya'h juga memperoleh kesempatan untuk menuntut darahnya. Mereka menjadikan pertikaian ini sebagai kartu kemenangan bagi diri mereka, padahal mereka sendirilah yang telah ikut bersekongkol untuk mengepung rumah 'Utsmân.
Kekhalifahan Imam Ali as.

Imam Ali as. merasa sangat gelisah menghadapi peristiwa pembunuhan 'Utsmân. Hal itu lantaran ia tahu tentang peristiwa-peristiwa yang bakal terjadi. Bani Umayyah dan orang-orang yang rakus kekuasaan pasti akan menuntut darah 'Utsmân sebagai alasan atas penolakan dan pembangkangan mereka, bila Imam Ali as. bersedia memegang tampuk kekuasaan.
Ada hal lain yang membuat Imam Ali as. tidak tenang dan gelisah. Yaitu ia adalah satu-satunya figur yang dicalonkan sebagai pemimpin umat. Tentunya ketika ia menduduki jabatan kekhalifahan, ia akan menjalankan politik atas umat Islam berdasarkan hak, kebenaran, dan keadilan yang murni, dan menjauhkan para koruptor dan orang-orang yang tamak dunia dari kursi kekuasaan. Sudah pasti, kelompok oposisi akan menjadi penghalang bagi strategi politiknya dan akan melakukan perlawanan bersenjata.
Pada mulanya, Imam Ali as. menolak untuk menjadi khalifah. Tetapi mayoritas muslimin memaksanya. Mereka menuntut agar ia memimpin umat Islam. Imam Ali as. menjawab: "Aku tidak memerlukan kekuasaan. Siapa saja yang kalian pilih, aku akan merestuinya."
Mereka tidak mau mengerti ucapan Imam Ali as. dan tetap memilihnya sebagai khalifah. Mereka berkata: "Kami tidak memiliki pemimpin selain dirimu."
Mereka memohon lagi untuk kedua kalinya: "Kami tidak akan memilih selain dirimu."
Imam Ali as. tetap pada pendiriannya. Ia tidak mau menerima permohonan mereka. Karena ia tahu bencana dan aral yang akan melintang. Sementara itu, sekelompok pasukan bersenjata mengadakan sebuah pertemuan setelah mereka tahu bahwa Imam Ali as. tetap pada pendiriannya; tidak mau menerima kekhalifahan. Mereka sepakat untuk menghadirkan para tokoh Madinah dan orang-orang yang memiliki pengaruh, dan mengancam untuk membunuh Imam Ali as., Zubair dan Thalhah, bila mereka tidak berhasil mengangkat seorang pemimpin untuk kaum muslimin.
Para pemuka Madinah segera mendatangi Imam Ali as. Dengan penuh cemas mereka memohon kepadanya: "Terimalah baiat kami! Terimalah baiat kami! Apakah Anda tidak melihat apa yang akan terjadi atas Islam dan ancaman para penduduk terhadap kami?"
Imam Ali as. tetap menolak seraya berkata: "Biarkanlah aku dan carilah orang selainku." Imam berusaha memberikan pengertian kepada mereka atas berbagai bencana yang akan ia hadapi. Ia berkata: "Wahai hadirin, kita akan menghadapi problema yang beraneka agam sehingga hati ini tidak akan tentram dan akal pikiran tidak akan tegak."
Mereka tetap tidak memahami ucapan Imam Ali as. Malah mereka memohon dengan menggunakan gelarnya. Mereka berkata: "Amirul Mukminin adalah Anda! Amirul Mukminin adalah Anda!"
Akhirnya, Imam Ali as. menjelaskan kepada mereka sistem pemerintahan yang akan ia jalankan. Ia menegaskan: "Ketahuilah, jika aku menerima permohonan kalian, aku akan memperlakukan kalian sesuai dengan ilmuku. Aku tidak akan menggubris ucapan siapa pun dan tidak menerima kecaman siapa pun. Jika kalian meninggalkanku, maka aku adalah sama dengan kalian. Barangkali aku akan mendengarkan kalian dan menaati orang yang kalian serahi urusan ini. Aku menjadi pembantu kalian adalah lebih baik bagi kalian daripada aku sebagai pemimpin kalian."
Imam Ali as. telah menjelaskan kepada mereka sistem pemerintahan yang akan ia jalankan. Yaitu hak, kebenaran, dan keadilan. Mereka menerima seluruh penjelasan yang telah diberikan oleh Imam Ali as. Mereka berkata: "Kami tidak akan meninggalkanmu sebelum kami membaiatmu."
Mereka mengerumuni Imam Ali as. dari seluruh arah dan menuntut agar ia menerima kekhalifahan. Ketika menjelaskan pemandangan yang ada pada saat pembaiatan itu, Imam Ali as. berkata: "Dengan serentak, mereka berdesak-desakan bagai rambut tebal anjing hutan yang ada di lehernya. Mereka mengerumuniku dari semua arah hingga Hasan dan Husain terinjak-injak dan bajuku sobek. Mereka berkumpul di sekelilingku bagaikan kerumunan domba."
Imam Ali as. Menerima Kekhalifahan

Tidak ada alasan lagi bagi Imam Ali as. untuk tidak menerima kekhalifahan. Ia terpaksa menerima kedudukan ini. Hal itu karena ia khawatir kepemimpinan umat Islam akan dipegang oleh Bani Umayyah yang fasik. Ia berkata: "Demi Allah, aku tidak menerima kekhalifahan ini, melainkan karena aku takut umat Islam ini akan dipermainkan oleh seorang durjana dari Bani Umayyah yang akan mempermainkan kitab Allah swt."
Masyarakat muslim beramai-ramai menuju ke masjid. Imam Ali as. maju ke depan sembari diiringi dengan gemuruh takbir dan tahlil. Thalhah maju ke depan dan membaiat Imam Ali as. dengan tangannya yang lumpuh, tangan yang cepat sekali akan melanggar janji Allah itu. Imam Ali as. telah membaca sikapnya itu. Ia berkata: "Betapa cepatnya ia akan melanggar baiatnya."
Setelah itu, kaum muslimin beramai-ramai membaiat Imam Ali as. Hal itu berarti mereka telah membaiat Allah dan Rasul-nya. Pembaiatan umum terhadap Imam Ali as. telah selesai, sebuah pembaiatan yang tidak pernah terjadi pada masa khalifah-khalifah lainnya. Kaum muslimin merasa senang dan bahagia dengan itu. Imam Ali as. berkata: "Begitu gembiranya kaum muslimin dengan pembaiatan terhadapku, sehingga anak kecil pun merasa gembira. Orang-orang tua tertatih-tatih datang membaiat, orang-orang yang sakit turut untuk membaiat sambil menahan derita sakitnya, dan kaki mereka pun lemah lunglai karena ingin membaiat."
Pada hari bersejarah itu, bendera keadilan dan kebenaran di dunia Islam telah berkibar. Islam telah kembali kepada kegemilangan dan kejayaannya.
Keputusan yang Tegas

Setelah Imam Ali as. menduduki kursi kekhalifahan, ia langsung mengeluarkan beberapa keputusan penting sebagai berikut:
1. Mengambil alih tanah-tanah yang pernah diberikan 'Utsmân kepada Bani Umayyah.
2. Mengembalikan alih harta kekayaan negara melimpah yang pernah diberikan 'Utsmân kepada Bani Umayyah dan Bani Abi Mu'îth.
3.Mengambil alih harta kekayaan 'Utsmân, termasuk juga pedang dan perisainya.
4.Memecat seluruh gubernur, karena mereka telah berbuat kezaliman dan kerusakan di muka bumi ini secara terang-terangan.
5.Menyamakan hak antara muslimin dan non-muslim yang tinggal di negara Islam tapi tidak belum memeluk agama Islam. Persamaan hak ini mencakup:
o Persamaan dalam pemberian tunjangan.
o Persamaan di hadapan undang-undang.
o Persamaan dalam hak dan tugas.
Orang-orang Quraisy merasa sangat jengkel dan kecewa dengan keputusan-keputusan tersebut. Mereka merasa khawatir terhadap harta kekayaan yang selama ini telah mereka tunai dari hasil korupsi. Karena itu, mereka melakukan penentangan dan berusaha menghalangi dan membendung setiap strategi politik Imam Ali as. yang bertujuan menegakkan keadilan sosial dan politik di dalam masyarakat Islam.
Akhirnya, berbagai kekuatan oposisi berusaha menyulut api peperangan melawan Imam Ali as. untuk menjatuhkan pemerintahannya. Secara ringkas, kami akan menjelaskan beberapa peperangan yang telah berhasil disulut oleh mereka untuk menentang pemimpin keadilan Islam dan sahabat kaum tertindas ini.
1. Perang Jamal

Perang Jamal ini lahir akibat ketamakan politik dan kekuasaan. Mu'âwiyah telah menipu Zubair dan Thalhah dengan mengiming-imingi kekhalifahan dan pembaiatan kepada mereka setelah kekuasaan Imam Ali as. berhasil diruntuhkan. Adapun 'AIsya'h, hatinya telah dikuasai oleh kedengkian dan kebencian terhadap Imam Ali as. Akhirnya, terbentuklah sebuah fron oposisi penentang Imam Ali as. yang dikepalai oleh ketiga orang tersebut di Mekah. Orang-orang yang memiliki sifat tamak, congkak, dan pikiran dangkal turut mendukung fron ini. 'AIsya'h segera membentuk pasukan, sementara Bani Umayyah melengkapi mereka dengan senjata dan sarana perang. Mereka telah mengeluarkan harta melimpah. Harta ini telah berhasil mereka korupsi dari Baitul Mâl muslimin pada saat mereka menjadi gubernur selama 'Utsmân memegang tampuk kepemimpinan.
Pasukan yang dipimpin oleh 'AIsya'h, Thalhah, dan Zubair itu berangkat menuju ke Bashrah. Mereka berhasil menguasai kota Bashrah setelah melakukan pertempuran sengit dengan pasukan Bashrah. Mengetahui serangan para pembangkang ini, Imam Ali as. keluar dengan bala tentaranya untuk menumbangkan mereka. Kedua pasukan tersebut bertempur dengan sengit. Imam Ali as. berhasil membunuh Thalhah dan Zubair. Komando perang diambil alih oleh 'AIsya'h. Unta yang ditungganginya dikelilingi oleh bala tentara yang tak terhitung. Mereka dapat menebas tangan-tangan dan menghabiskan nyawa-nyawa yang ada di sekelilingnya. Setelah pertempuran sengit terjadi, unta 'AIsya'h tersungkur jatuh ke atas tanah dan pasukannya kalah.
Missi peperangan ini pun mengalami kegagalan dan kerugian yang besar. Peperangan ini telah menimbulkan kerugian yang memalukan di barisan muslimin dan menebarkan perpecahan dan permusuhan di antara mereka. Sementara rumah-rumah penduduk Bashrah dipenuhi oleh duka, kesedihan, dan nestapa.
2. Perang Shiffin

Belum lagi sempat beristirahat untuk menghilangkan kepenatan akibat perang Jamal, Imam Ali as. telah mendapat ujian berat dari musuh pemakar yang tidak pernah memiliki satu pun nilai-nilai insani. Dia menggunakan taktik kemunafikan, tipu daya, dan khianat. Dia mahir dan terbiasa dengan karakrer buruk ini. Dia adalah Mu'âwiyah bin Abu Sufyan yang dijuluki oleh para pendukungnya dengan sebutan Kisra Arab. Mereka menyerahkan kekuasaan Syam kepadanya, sedang mereka tidak memperhatikan lembaran-lembaran tingkah lakunya yang hitam. Mereka juga tidak memperhatikan bahwa ia berasal dari pohon yang terkutuk seperti ditegaskan oleh Al-Qur'an. Apakah mereka tidak pernah mendengar tentang berbagai peperangan destruktif yang telah disulut oleh Abu Sufyân dan Bani Umayyah untuk menentang Rasulullah saw., padahal realita itu belum berlalu terlalu lama? Kemaslahatan apa yang diperoleh kaum muslimin dengan mengangkat srigala bodoh itu sebagai penguasa Syam sebagai daerah terpenting bagi negara Islam? Mengapa mereka tidak menyerahkan kedudukan yang berharga itu kepada putra-putra Rasulullah saw. atau kepada orang-orang pilihan dan terdidik dari putra-putra suku Aus dan Khazraj yang telah rela berjuang dengan baik untuk menegakkan ajaran Islam?
Ringkasnya, Mu'âwiyah telah mengerahkan pasukannya menuju ke Shiffin untuk memerangi saudara dan pintu kota ilmu Rasulullah saw. Pasukan Mu'âwiyah berhasil menguasai sungai Furat dan mencegah pasukan Imam Ali as. untuk mengambil sir minum. Pasukan Mu'âwiyah menganggap hal ini sebagai sebuah prolog kemenangan.
Imam Ali as. mengerahkan pasukannya untuk membasmi musuh penipu yang telah mencabut ketaatan dan bergegas kepada fitnah itu. Pasukan Imam Ali as. percaya dan yakin betul bahwa mereka sedang memerangi musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya.
Pasukan Imam Ali as. tiba di Shiffin. Mereka melihat sungai Furat telah dikelilingi dan dikuasai oleh pasukan Mu'âwiyah. Pasukan Islam tidak memiliki jalan lain untuk memperoleh air minum. Sementara pasukan Mu'âwiyah tetap menghalangi mereka untuk mengambil air minum. Seorang komandan pasukan Imam Ali bertekad untuk menyerang dan memporak-porandakan barisan pasukan Mu'âwiyah. Sekelompok pasukan Imam Ali menyerang pasukan Mu'âwiyah dengan ksatria. Pasukan Imam Ali berhasil menyingkirkan mereka dari sungai Furat dan menimpakan kerugian yang memalukan kepada mereka. Sebagian pasukan Imam Ali meminta supaya Imam Ali as. memperlakukan pasukan Mu'âwiyah seperti itu pula. Imam Ali as. menolak permohonan pasukannya itu. Karena syariat Islam tidak membenarkan tindakan semacam itu. Sesungguhnya air itu diperbolehkan untuk diminum sekalipun kepada anjing dan babi.
Imam Ali as. mengutus beberapa orang kepada Mu'âwiyah untuk melakukan perdamaian dan menghindari pertumpahan darah. Tetapi Mu'âwiyah menolak usulan itu. Dia tetap membangkang dan menentang. Api peperangan pun berkobar antara kedua pasukan dan berlangsung hingga dua tahun lamanya. Pertempuran yang paling dahsyat terjadi adalah pertempuran yang terjadi pada malam Al-Harîr. Pertempuran ini telah menelan korban sebanyak 70.000 prajurit dari kedua belah pihak. Dalam peperangan ini pasukan Mu'âwiyah mengalami kekalahan telak. Pasukannya porak poranda dan ia hendak melarikan diri. Tetapi ia mengurungkan niatnya itu setelah ingat syair Ibn Ithnâbah.
Mempermainkan Mushhaf

Pasukan Imam Ali as. melakukan penyerangan di bawah komando Malik Al-Asytar. Ia hampir saja meraih kemenangan. Jarak antara mereka dengan kemenangan atas Mu'âwiyah hanyalah seukuran memerah susu kambing. Tetapi 'Amr bin 'Ash, sang penipu ulung, telah mengatur siasat untuk memporak-porandakan pasukan Imam Ali as. dan menggulingkan kepemimpinannya. Ibn 'Ash telah menjalin hubungan dengan Asy'ats bin Qais dan beberapa komandan pasukan Imam Ali as. secara rahasia.Dia telah berhasil menipu, mengiming-imingi, dan memberikan uang sogok kepada mereka. Mereka sepakat untuk mengangkat mushhaf Al-Qur'an dan mengajak muslimin untuk tunduk kepada hukum Al-Qur'an berkenaan dengan perkara yang sedang mereka perselisihkan itu. Pengangkatan mushhaf dimulai dan seruan pasukan Mu'âwiyah untuk bertahkim kepada Al-Qur'an terdengar nyaring. Tipu daya ini laksana halilintar bagi pasukan Imam Ali as. Sebanyak lebih dari dua puluh ribu prajurit yang berteriak mengajak untuk bertahkim kepada Al-Qur'an. Imam Ali as. memperingatkan dan menasihati mereka bahwa semua itu hanyalah sebuah tipu daya belaka. Mu'âwiyah terpaksa melakukan siasat ini karena pasukannya telah lemah dan tidak dapat berdiri tegak lagi. Tetapi pasukan Imam Ali as. tidak mau mengerti. Bahkan mereka mengancam bila Imam Ali as. tidak mengabulkan permohonan mereka itu. Akhirnya Imam Ali as. terpaksa mengabulkan permintaan mereka. Pada saat-saat yang genting dan mengkhawatirkan itulah kekhalifahan Imam Ali as. berakhir dan tenggelam cahayanya.
Penentuan Abu Mûsâ Al-Asy'arî

Setelah peristiwa itu, berbagai peristiwa besar berturut-turut menimpa Imam Ali as. Di antaranya adalah penentuan Abu Mûsâ Al-Asy'arî sebagai wakil pasukan Irak (untuk menghadiri proses tahkim). Imam Ali as. menolak penentuan tersebut. Tetapi mereka memaksa Imam Ali as. untuk memilihnya sebagai wakil mereka. Pasukan Syam memilih 'Amr bin 'Ash sebagai wakil mereka. Ia berhasil menipu Al-Asy'arî. Sebelumnya, 'Amr dan Al-Asy'arî telah sepakat untuk mencopot kekhalifahan Imam Ali as. dan Mu'âwiyah, dan memilih Abudullah bin Umar sebagai pemimpin kaum muslimin. Al-Asy'arî merasa gembira dengan keputusan ini. Ketika tiba waktu bertahkim, Al-Asy'arî mencopot kekhalifahan Imam Ali as., tetapi 'Amr bin 'Ash menetapkan kekhalifahan Mu'âwiyah.
3. Melawan Khawârij

Setelah peristiwa tahkim itu, fitnah terjadi di kalangan pasukan Imam Ali as. Sekelompok orang melakukan pembangkangan. Mereka mengumumkan akan mengangkat senjata dan menilai bahwa Imam as. telah kafir, karena ia mau menerima ajakan bertahkim. Padahal sebenarnya, merekalah yang memaksa Imam Ali as. untuk menerima tahkim. Yel-yel yang mereka teriakkan adalah lâ hukma illa lillâh (tiada hukum selain hukum Allah). Tetapi, begitu cepatnya syiar ini berubah menjadi sarana penumpahan darah dan angkat senjata. Imam Ali as. menghujat dan menyadarkan mereka atas kekeliruan pandangan mereka itu. Sekelompok dari mereka menerima pandangannya. Tetapi sekelompok yang lain tetap bersikeras atas kesesatan dan kebodohan mereka dan menebarkan kerusakan di muka bumi. Mereka banyak membunuh orang-orang yang tidak berdosa dan menyebarkan rasa takut di tengah-tengah masyarakat Islam. Akhirnya Imam Ali as. terpaksa mengadakan perlawanan terhadap mereka. Meletuslah perang Nahrawan. Dalam peperangan ini, sebagian besar mereka telah tewas.
Peperangan tersebut belum berakhir sampai di situ. Tampak lagi pembangkangan yang lebih buruk di dalam tubuh pasukan Imam Ali as. Mereka mengajak untuk memerangi Mu'âwiyah. Tetapi tidak seorang pun yang mengikuti ajakan mereka itu.
Kekuatan Mu'âwiyah mulai nampak di panggung politik sebagai kekuatan yang besar. Mulailah mereka menguasai daerah-daerah Islam dan memerangi daerah-daerah yang taat kepada kepemimpinan Imam Ali as. Hal itu mereka lakukan untuk menunjukkan bahwa Imam Ali as. tidak mampu melindungi mereka. Akhirnya sinar kewibawaan Imam Ali as. mulai pudar dan bencana pun datang menghantuinya silih berganti. Imam Ali melihat kebejatan Mu'âwiyah semakin kokoh dan sinar harapan dan angan-angannya pun telah sempurna, sedangkan ia tidak memiliki satu kekuatan pun yang mampu menegakkan kebenaran dan menumbangkan kebatilan.
Syahadah Imam Ali as.

Imam Ali as. mulai berdoa, bersimpuh, dan bermunajat kepada Allah swt. agar Dia segera memnyelamatkan dirinya dari masyarakat yang sesat itu dan memindahkannya ke alam baka. Di sana ia akan mengadukan kepada putra pamannya segala bencana dan musibah yang telah menimpanya. Allah swt. mengabulkan doanya itu. Seorang durjana dan pendurhaka yang bernama Abdurrahman bin Muljam telah menebas kepala Imam Ali as., seperti pembunuh unta Nabi Saleh membunuh untanya. Pada waktu itu Imam Ali as. sedang berdiri di hadapan Allah swt. di mihrabnya mengerjakan salat di dalam sebuah rumah Allah. Si durjana itu menghunus dan menebaskan pedangnya. Ketika merasakan pedihnya tebasan pedang itu, ia berteriak: "Demi Tuhan Ka'bah, sungguh aku telah beruntung."
Penghulu orang-orang yang bertakwa telah beruntung. Hayâhnya telah berakhir dengan jihad di jalan Allah dan meninggikan kalimat hak.
Salam sejahtera Allah atasnya pada hari ia dilahirkan di dalam Ka'bah dan pada hari ia meneguk cawan syahadah di dalam rumah Allah.
Dengan syahadahnya itu, bendera hak, kebenaran, dan keadilan terlipat, sinar hidayah dan cahaya petunjuk yang selama ini telah menyinari dunia Islam telah padam.
Catatan Kaki:

Murûj Adz-Dzahab, jilid 2, hal. 3; Al-Fushûl Al-Muhimmah, karya Ibn Shabbâgh, hal. 24; Mathâlib As-Sa'ûl, hal. 22; Tadzkirah Al-Khawwash, hal. 7; Kifâyah Ath-Thâlib, hal. 37; Nûr Al-Abshâr, hal. 76; Nuzhah Al-Majâlis, jilid 2, hal. 204; Syarh asy-Syifâ', jilid 2, hal. 15; Ghâyah Al-Ikhtishâr, hal. 97; 'Abqariyyah Al-Imam, oleh Al-'Aqqâd, hal. 38; Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 483. Dalam Al-Mustadrak, Al-Hakim menegaskan: "Terdapat hadis-hadis mutawâtir yang manyatakan bahwa Fathimah binti Asad melahirkan Ali bin Abi Thalib di dalam Ka'bah."
Hayâh Al-Imam Amiril Mukminin as., jilid 1, hal. 32, menukil dari Manâqib Ali bin Abi Thalib, jilid 3, hal. 90.
Târîkh Al-Khamîs, jilid 2, hal. 275.
Al-Ma'ârîf, hal. 73; Adz-Dzakhâ'ir, hal. 58; Ar-Rriyâdh An-Nâdhirah, jilid 2, hal. 257.
Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 154.
Majma' Az-Zawâ'id, jilid 9, hal. 102; Faidh Al-Qadîr, jilid 4, hal. 358; Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 156; Fadhâ'il Ash-Shahâbah, jilid 1, hal. 296.
Majma' Az-Zawâ'id, jilid 9, hal. 102.
Hilyah Al-Awliyâ', jilid 1, hal. 63.
Kunûz Al-Haqâ'iq, karya Al-Manâwî, hal. 43.
Shifah Ash-Shafwah, jilid 1, hal. 162.
Imtâ' Al-Asmâ', jilid 1, hal. 16.
Hayâh Al-Imam Amiril Mukminin as., jilid 1, hal. 54.
Syarh Nahjul Balaghah, karya Ibn Abil Hadid, jilid 4, hal. 116.
Shahîh At-Turmudzî, jilid 2, hal. 301; Thabaqât Ibn Sa'd, jilid 3, hal. 21; Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 400; Târîkh At-Thabarî, jilid 2, hal. 55.
Khazânah Al-Adab, jilid 3, hal. 213.
Târîkh At-Thabarî, jilid 2, hal. 63; Târîkh Ibn Al-Atsîr, jilid 2, hal. 24; Musnad Ahmad bin Hanbal, hal. 263. Peristiwa ini diriwayatkan oleh banyak perawi hadis.
Târîkh At-Thabarî, jilid 2, hal. 63; Târîkh Ibn Al-Atsîr, jilid 2 hal. 24; Musnad Ahmad, hal. 263.
Târîkh Bagdad, jilid 6, hal. 221; Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 76; Nûr Al-Abshâr, hal. 76.
Tafsir At-Thabarî, jilid 13, hal. 72; Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 157; Tafsir Al-Haqâ'iq, hal. 42; Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 129.
Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 108; Asbâb An-Nuzûl, karya Al-Wâhidî, hal. 329; Tafsir At-Thabarî, jilid 4, hal. 600; Ad-Durr Al-Mantsûr, jilid 8, hal. 267.
Usud Al-Ghâbah, jilid 4, hal. 25; Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 78; Asbâb An-Nuzûl, karya Al-Wâhidî, hal. 64.
Ad-Durr Al-Mantsûr, jilid 8, hal. 589; Tafsir At-Thabarî, jilid 30, hal. 17; Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 96.
Tafsir At-Thabarî, jilid 8, hal. 145.
Asbâb An-Nuzûl, hal. 150.
Târîkh Baghdad, jilid 8, hal. 19; Ad-Durr Al-Mantsûr, jilid 6, hal. 19.
Dalâ'il Ash-Shidq, jilid 2, hal. 152.
Tafsir Ar-Râzî, jilid 12, hal. 26; Nûr Al-Abshâr, hal. 170; Tafsir Ath-Thabarî, jilid 6, hal. 186.
Ad-Durr Al-Mantsûr, jilid 3, hal. 106; Tafsir Al-Kasysyâf, jilid 1, hal. 692; Dzakhâ'ir Al-'Uqbâ, hal. 102; Majma'Az-Zawâ'id, jilid 7, hal. 17; Kanz Al-'Ummâl, jilid 7, hal. 305.
Majma' Az-Zawâ'id, jilid 7, hal. 103; Dzakhâ'ir Al-'Uqbâ, hal., 25; Nûr Al-Abshâr, hal. 101; Ad-Durr Al-Mantsûr, jilid 7, hal. 348.
Hilyah Al-Awliyâ', jilid 3, hal. 102.
Tafsir Ar-Râzî, jilid 2, hal. 699; Tafsir Al-Baidhâwî, hal. 76; Tafsir Al-Kasysyâf, jilid 1, hal. 49; Tafsir Rûh Al-Bayân, jilid 1, hal. 457; Tafsir Al-Jalâlain, jilid 1, hal. 35; Shahîh Muslim, jilid 2, hal. 47; Shahîh At-Turmuzî, jilid 2, hal. 166; Sunan Al-Baihaqî, jilid 7, hal. 63; Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1, hal. 185; Mashâbîh As-Sunnah, karya Al-Baghawî, jilid 2, hal. 201; Siyar A'lâm An-Nubalâ', jilid 3, hal. 193.
Tafsir Ar-Râzî, jilid 10, hal. 243; Asbâb An-Nuzûl, karya Al-Wâhidî, hal. 133, Rûh Al-Bayân, jilid 6, hal. 546; Yanâbî' Al-Mawaddah, jilid 1, hal. 93; Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, jilid 2, hal. 227; Imtâ' Al-Asmâ', hal. 502.
Tafsir Ar-Râzî, jilid 6, hal. 783; Shahîh Muslim, jilid 2, hal. 331; Al-Khashâ'ish Al-Kubrâ, jilid 2, hal. 264; Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, jilid 2, hal. 188; Tafsir Ibn Jarîr, jilid 22, hal. 5; Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 4, hal. 107; Sunan Al-Baihaqî, jilid 2, hal. 150; Musykil Al-Atsar, jilid 1, hal. 334; Khashâ'ish An-Nisa'î, hal. 33.
Mustadrak Al-Hâkim, jilid 2, hal. 416; Usud Al-Ghâbah, jilid 5, hal. 521.
Ad-Durr Al-Mantsâr, jilid 5, hal. 199.
Dzakhâ'ir Al-'Uqbâ, hal. 24.
Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 101.
Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 80; Nûr Al-Abshar, hal. . 80.
Tafsir Ath-Thabarî, jilid 10, hal. 68; Tafsir Ar-Râzî, jilid 16, hal. 11; Ad-Durrul Mantsur, jilid 4, hal. 146; Asbâb An-Nuzûl, karya Al-Wâhidî, hal. 182.
Tafsir Ath-Thabarî, jilid 21, hal. 68; Asbâb An-Nuzûl, hal. 263; Târîkh Bagdad, jilid 13, hal. 321; Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, jilid 2, hal. 206.
Majma'Az-Zawâ'id, jilid 7, hal. 110.
Tetapi ternyata Walîd berdusta. Kemudian turunlah ayat: "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan ...." (QS. Al-Hujurât [49]:6)
Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 400.
Shahîh At-Turmudzî, jilid 2, hal. 299; Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 14.
Dzakhâ'ir Al-'Uqbâ, hal. 92.
Kanz Al-'Ummâl, jilid 3, hal. 61.
Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 154.
Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, jilid 2, 163.
Târîkh At-Thabarî, jilid 2, hal. 127; Târîkh Ibn Atsîr, jilid 2, hal. 22; Târîkh Abi Al-Fidâ', jilid 1, hal. 116; Musnad Ahmad, jilid 1, hal. 331; Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 399.
Al-Murâja'ât, hal. 208.
Musnad Abu Daud, jilid 1, hal. 29; Hilyah Al-Awliyâ', jilid 7, hal. 195; Musykil Al-?tsâr, jilid 2, hal. 309; Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1, hal. 182; Târîkh Bagdad, jilid 11, 432; Khashâ'ish An-Nasa'î, hal. 16.
Usud Al-Ghâbah, jilid 4, hal. 26; Khashâ'ish An-Nisa'î, hal. 15; Shahîh Muslim, kitab Fadhâ'il Al-Ashhâb, jilid 7, hal. 120.
Târîkh Bagdad, jilid 2, hal. 377.
Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 401.
Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 156; As-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 73.
Mu'jam Al-Udabâ', jilid 17, hal. 200.
Shahîh At-Turmudzî, jilid 1, hal. 301; Shahîh Ibn Mâjah, jilid 12; Târîkh Baghdad, jilid 1, hal. 255; Hilyah Al-Awliyâ', jilid 4, hal. 185.
Shahîh At-Turmudzî, jilid 1, hal. 299.
Majma' Az-Zawâ'id, jilid 9, hal. 133.
Nûr Al-Abshâr, hal. 72.
Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 129.
Al-Istî'âb, jilid 2, hal. 464.
Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 400.
Majma' Az-Zawâ'id, jilid 1, hal. 367.
Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 75.
Shahîh At-Turmudzî, jilid 2, 308.
Shahîh At-Turmudzî, jilid 2, hal. 308; Kanz Al-'Ummâl, jilid 1, hal. 84.
Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 75.
Majma' Az-Zawâ'id, jilid 9, 168; Al-Mustadrak, jilid 2, hal. 43; Târîkh Baghdad, jilid 2, hal. 120; Al-Hilyah, jilid 4, hal. 306; Adz-Dzakâ'ir, hal. 20.
Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 149; Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 116. Dalam kitab Faidh Al-Qadîr dan Majma' Az-Zawâ'id, Nabi saw. bersabda: "Bintang-bintang adalah pengaman bagi penduduk bumi dan Ahlu Baitku adalah pengaman bagi umatku."
Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, jilid 2, hal. 252. Serupa dengan hadis itu, hadis yang terdapat dalam Shahîh At-Turmudzî, jilid 2, hal. 319 dan Sunan Ibn Mâjah, jilid 1, hal. 52.
Kanz Al-'Ummâl, jilid 3, hal. 154.
Al-Mîzân, jilid 14, hal. 12.
As-Sîrah An-Nabawiyah, hal. 74.
Hayâh Al-Imâm Amirul Mukminin, jilid 2, hal. 20.
Usud Al-Ghâbah, jilid 4, hal. 93.
Al-Imam Ali bin Abi Thalib, jilid 1, hal. 82.
As-Sîrah An-Nabawiyah, jilid 2, hal. 105.
Târîkh Ibn Katsîr, jilid 4, hal. 47.
Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 32.
Târîkh Baghdad, jilid 13, hal. 19; Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 32.
Rasâ'il Al-Jâhizh, hal. 60.
Hayâh Al-Imam Amirul Mukminin as., jilid 2, hal. 27.
A'yân Asy-Syi'ah, jilid 3, hal. 113.
Hilyah Al-Awliyâ', jilid 1, hal. 62; Shifah Ash-Shafwah, jilid 1, hal. 163; Musnad Ahmad, Hadits ke-778.
Shifah Ash-Shafwah, jilid 1, hal. 164; Shahîh Al-Bukhârî, jilid 7, hal. 121.
Hayâh Al-Imam Amirul Mukminin as., jilid 2, hal. 30.
Târîkh Baghdad, jilid 1, hal. 324; Mîzân Al-I'tidâl, jilid 2, hal. 218; Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 368. Dalam kitab Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, jilid 2, hal. 188 disebutkan bahwa tujuh puluh orang lelaki telah bergotong royong untuk mengembalikan pintu benteng tersebut ke tempatnya semula dengan susah payah.
Khazânah Al-Adab, jilid 6, hal. 56.
Hayâh Al-Imam Amirul Mukminin as., jilid 2, hal. 30.
Hayâh Al-Imam Husain as., jilid 1, hal. 195, menukil dari Târîkh Al-Ya'qûbî, jilid 2, 90.
Al-Ghadîr, jilid 2, hal. 34.
Nusnad Ahmad, jilid 4, hal. 281.
Al-Ghadîr, jilid 1, hal. 271.
Al-Bidâyah wa An-Nihâyah, jlid 5, hal. 226.
Semua sejarahwan mencatat peristiwa yang menyedihkan ini. Al-Bukhârî sendiri menyebutkannya beberapa kali pada jilid 4, hal. 68 dan 69, dan juga pada jilid 6, hal. 8. Dia menyembunyikan nama penentang itu. Sementara dalam kitab An-Nihâyah, karya Ibn Atsîr, Syarah Nahjul Balagah, karya Ibn Abil Hadîd, jilid 3, hal. 114, dan juga dalam kitab-kitab yang lain, nama orang itu disebutkan.
Musnad Ahmad, jilid 1, hal. 355.
Al-Manâqib, jilid 1, hal. 29. Terdapat banyak hadis mutawatir yang menegaskan bahwa Nabi saw. wafat sementara kepala beliau berada di pangkuan Imam Ali as. Silakan Anda rujuk Thabaqât Ibn Sa'd, jilid 2, hal. 51, Majma' Az-Zawâ'id, jilid 1, hal. 293, Kanz Al-'Ummâl, jilid 4, hal. 55, Dzakhâ'ir Al-'Uqbâ, hal. 94, dan Ar-Riyâdh An-nâdhirah, jilid 2, hal. 219.
Ansâb Al -Asyrâf, jilid 1, hal. 574.
Târîkh Al-Khamîs, jilid 2, hal. 192.
Nahjul Balâghah, jilid 2, hal. 255.
Hilyah Al-Awliyâ', jilid 4, hal. 77.
Kanz Al-'Ummâl, jilid 4, hal. 54.
Nahjul Balaghah, khotbah ke-409.
Hayâh Al-Imam Husain as., jilid 1, hal. 235.
Ansâb Al-Asyrâf, karya Al-Balâdzurî. Para sejarahwan sepakat tentang adanya ancaman Umar kepada Ali as. untuk membakar rumahnya itu. Silahkan Anda rujuk Târîkh Ath-Thabarî, jilid 3, hal. 202, Târikh Abi Al-Fidâ', jilid 1, hal. 156, Târîkh Al-Ya'qûbî, jilid 2, hal. 105, Murûj Adz-Dzahab, jilid 1, hal. 414, Al-Imâmah wa As-Siyâsah, jilid 1, hal. 12, Syarah Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadîd, jilid 1, hal. 34, Al-Amwâl, karya Abu 'Ubaidah, hal. 131, A'lâm An-Nisâ', jilid 3, hal. 205, dan Al-Imam Ali, karya Abul Fattâh Maqshûd, jilid 1, hal. 213.
Al-Imâmah wa As-Siyâsah, hal. 28-31.
Nahjul Balâghah, jilid 2, hal. 182.
Di antara sahabat besar yang mengkritik penyerahan kekhalifahan dari Abu Bakar kepada Umar adalah Thalhah dan para sahabat yang lain. Silakan Anda rujuk Syarah Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadîd, jilid 9, hal. 343.
Murûj Adz-Dzahab, jilid 2, hal. 262.
Syarah Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadîd, jilid 2, hal. 185.
Al-Istî'âb, catatan atas Al-Ishâbah, jilid 2, hal. 461; Al-Imâmah wa As-Siyâsah, jilid 1, hal. 21.
Târîkh Asy-Syi'r Al-Arabî, hal. 26.
As-Sîrah Al-Halabiyah, jilid 2, hal. 314.
Hayâh Al-Imam Amiril Mukminin as., jilid 2, hal. 215.
Târîkh Ibn Al-Atsîr, jilid 3, hal. 80.
Al-'Iqd Al-Farîd, jilid 2, hal. 92.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar