Total Tayangan Halaman

Rabu, 22 Januari 2014

RIWAYAT HIDUP PARA IMAM SUCI AHLUL BAIT NABI SAW ( KE DUA )


IMAM JA'FAR ASH-SHADIQ

Imam Ash-Shâdiq adalah pemimpin figur umat ini dan pelopor kebangkitan pemikiran dan ilmiah mereka. Ia-seperti diungkapkan oleh Al-Jâhizh-telah memenuhi dunia ini dengan ilmu-ilmu pengetahuannya. Dari limpahan ilmunya ini, para imam mazhab-mazhab Islam menyimpulkan hukum-hukum syariat, baik yang berkenaan dengan masalah ibadah, transaksi, akad, maupun îqâ'. Kekayaan-kekayaan dan warisan fiqihnya masih selalu hijau dan senantiasa memberikan buah. Para fuqaha mazhab Imamiah merujuk kepada kekayaan-kekayaan fiqih tersebut dalam menyimpulkan hukum-hukum syariat, sebagaimana para ahli hukum juga memetik kekayaan-kekayaan fiqih tersebut dalam mencetuskan kaidah-kaidah hukum baru.
Ilmu pengetahuan Imam Ash-Shâdiq as. tidak hanya terbatas pada bidang ilmu Fiqih, Hadis, dan Kalam (Teologi). Ilmu pengetahuannya meliputi ilmu Fisika, Kimia, Kedokteran, dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang telah berhasil ia cetuskan. Di antara ilmu pengetahuan yang telah berhasil ia cetuskan adalah oksigen. Ia telah memaparkan segala unsur utama pembentuk oksigen ini. Sebagaimana juga ia telah mengungkap bahwa hawa bukanlah sebuah unsur yang sederhana (basîth). Akan tetapi, hawa tersusun dari beberapa unsur yang beraneka ragam. Begitu juga, ia telah mengungkap rahasia alam semesta, orbit-orbit planet dunia, dan lain sebagainya. Hal ini telah diIsya'ratkan oleh para ilmuwan Barat yang sudah mempelajari pandangan-pandangannya melalui telaah atas hasil-hasil karya tulis muridnya, Jâbir bin Hayyân, seorang ilmuwan kebanggaan bangsa Timur. Menurut pengakuan Jâbir, semua karya tulisnya itu telah ia terima dari Imam Ash-Shâdiq as. Para ilmuwan Barat mengakui bahwa Imam Ash-Shâdiq as. adalah figur akal yang tidak memiliki tara di dunia insani ini.
Suatu hal yang aneh sekali ketika sebagian Orientalis berpendapat bahwa Imam Ash-Shâdiq as. tidak berasal dari bangsa Arab. Ia berasal dari bangsa Barat yang telah mengungsi ke dunia Timur. Hal itu lantaran bangsa Timur tidak pernah memiliki kemampuan ilmiah seperti yang dimiliki olehnya.
Mereka sepertinya lalai bahwa Imam Ash-Shâdiq as. berasal dari keluarga kenabian yang telah berhasil menaburkan cahaya dan kesadaran di muka bumi ini.
Imam Ash-Shâdiq as. adalah satu-satunya figur yang memiliki seluruh karunia dan ilmu pengetahuan itu di dunia ini. Ilmu pengetahuannya telah berhasil menerangi seluruh akal umat manusia dan mendorongnya menuju kemajuan dan perkembangan.
Kemampuan-kemampuan ilmiah dahsyat yang dimiliki oleh Imam Ash-Shâdiq as. itu membuktikan kebenaran pendapat mazhab Syi'ah tentang para imam Ahlul Bait as. bahwa Allah swt. telah menganugerahkan hikmah dan puncak segala ilmu kepada mereka, serta Dia telah mengilhamkan banyak ilmu pengetahuan kepada mereka, sebagaimana Dia telah menganugerahkan hal itu kepada para nabi dan rasul-Nya. Secara alamiah, pendapat dan persepsi ini tidak sedikit pun memuat unsur berlebih-lebihan dan keterlaluan (ghuluw) atau penyimpangan dari tolok ukur-tolok ukur ilmiah setelah ada argumentasi dan dalil-dalil terpercaya yang membuktikan hal itu.
Ala kulli hal, pada kesempatan ini, kami akan memaparkan-secara ringkas-biografi Imam Ash-Shâdiq as. dan sebagian karakteristik kejiwaannya, serta hal-hal lain yang masih berhubungan dengan tema pembahasan ini.
Biografi Kehidupan

Imam Abu Abdillah Ash-Shâdiq as. tumbuh berkembang di dalam sebuah rumah-dari sekian rumah-rumah Allah-yang paling agung. Itulah rumah yang telah memancarkan risalah Islam yang telah menjadikan umat manusia sebagai umat yang berkultur, menganugerahkan kemuliaan kepadanya, dan mangagungkan pemikiran (baca: akal).
Di dalam rumah yang agung itulah, Imam Ash-Shâdiq, pemimpin figur umat dan pelopor kebangkitan pemikiran dan kultur mereka ini, tumbuh berkembang. Kakeknya, Imam Zainul Abidin as. menangani pendidikannya. Ia menurunkan anugerah, keimanan, dan ketakwaan yang dimilikinya kepada cucunya itu. Imam Ash-Shâdiq as. menjalani masa hidupnya di bawah asuhan kakeknya ini selama dua belas belas tahun. Selama dua belas tahun itu, ia menyaksikan sirah sang kakek yang semerbak mewangi yang menghikayatkan sirah dan perjalanan hidup para nabi dan rasul Allah. Tidak ada satu amal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah swt. kecuali ia telah melakukannya dan tiada kemuliaan atau keutamaan yang dapat mengangkat jati diri seorang manusia kecuali semua karakter itu menjadi substansi jiwanya.
Imam Ash-Shâdiq as. senantiasa menyertai kakeknya, Imam Zainul Abidin as. ketika ia sibuk dengan ibadah kepada Allah swt. dan berpuasa siang dan malam. Karena terlalu banyak mengerjakan salat dan sujud, anggota-anggota sujudnya mengeras seperti kulit lutut unta.
Imam Ash-Shâdiq as. melihat kakeknya, Imam Zainul Abidin as. pada saat ia sedang memikul kantong yang berisi penuh makanan dan uang di pertengahan malam yang gelap-gulita untuk diinfakkan kepada para fakir miskin dan orang-orang lemah, sedangkan mereka tidak mengenalnya, sebagaimana ia selalu menimba air dan memikulnya untuk diberikan kepada orang-orang yang lemah.
Imam Ash-Shâdiq as. melihat kakeknya, Imam Zainul Abidin as. pada saat ia sedang menyebarkan ilmu pengetahuan di tengah-tengah masyarakat, sedangkan para pencari ilmu pengetahuan tengah berkumpul mengelilinginya untuk menimba ilmu pengetahuan darinya dan para qari senantiasa mengikuti jejaknya untuk mencatat hikmah, doa-doa, dan fatwa-fatwanya.
Ala kulli hal, Imam Zainul Abidin as. telah melaksanakan tugasnya untuk mendidik cucunya itu. Ia telah mencurahkan seluruh karakteristik jiwanya atas cucunya itu dan mempersiapkannya untuk mengemban kepemimpinan umat ini dalam menempuh jalur agama dan ilmu pengetahuan.
Sepeninggal kakeknya, Imam Zainul Abidin as. ini, Imam Muhammad Al-Bâqir as. melaksanakan tugas untuk memelihara sang putra dan memamahnya dengan segala ilmu pengetahuan. Imam Ash-Shâdiq senantiasa menghadiri majelis-majelis pelajaran ayahnya yang selalu diadakan di dalam rumahnya atau di masjid Nabi saw., sedangkan ia masih kecil yang sedang tumbuh berkembang. Kecerdasan dan kejeniusan Imam Ash-Shâdiq as. mengungguli seluruh murid ayahnya, padahal mereka adalah para ulama kaliber dan telah berusia lanjut. Realita ini diakui oleh Umar bin Abdul Aziz di hadapan Walîd bin Abdul Malik ketika ia berziarah ke Madinah. Walîd juga pernah berkata kepada Imam Abu Ja'far as: "Sesungguhnya putramu, Ash-Shâdiq, itu adalah allamah masa kini, padahal ia masih berusia belia."
Imam Ash-Shâdiq as. menjadi perumpamaan (matsal) dalam berbuat kebajikan kepada ayahnya. Menurutnya, amal yang paling utama adalah berbuat kebajikan kepada kedua orang tua. Ia selalu berkata: "Sesungguhnya Allah akan meringankan sekarat kematian untuk orang yang berbuat kebajikan kepada kedua orang tuanya ...."
Imam Ash-Shâdiq as. hidup bersama sang ayah selama sepuluh tahun. Selama itu, ia telah banyak terpengaruh oleh kriteria hidup ayahnya sehingga ia menjadi gambaran yang cerlang dari ayahandanya. Setelah sang ayah meninggal dunia, ia menerima beban untuk memimpin umat dan membimbing mereka secara spiritual. Para fuqaha pun berdatangan mengelilinginya dan para perawi hadis menimba berbagai ragam ilmu dan pengetahuan, serta mutiara hikmah dan adab sopan santun darinya.
Keluasan Ilmu Pengetahuan

Imam Ash-Shâdiq as. adalah satu-satunya figur yang memiliki keluasan ilmu pengetahuan pada masanya hidup. Ia adalah sang jenius dunia dalam seluruh cetusan ilmu pengetahuan yang ia miliki.
Syaikh Abu Zuhrah menulis: "Ia (Imam Ash-Shâdiq as.) adalah power pemikiran pada masa hidupnya. Ia tidak mencukupkan diri hanya dengan mengajar pengetahuan-pengetahuan Islam, ilmu-ilmu Al-Qur'an, Sunah dan Akidah. Tetapi, ia juga mengajarkan jagad raya ini beserta rahasia-rahasianya. Kemudian, dengan otaknya yang luar biasa itu, ia mengarungi angkasa raya dan orbit-orbit matahari, bulan, dan bintang-gumintang. Begitu juga, ia memberikan perhatian yang sangat luar biasa terhadap pengajaran jiwa manusia. Apabila ilmu Sejarah Filsafat menetapkan bahwa Socrates telah berhasil menurunkan ilmu Filsafat dari langit untuk umat manusia, sungguh Imam Ash-Shâdiq as. telah mengajarkan (rahasia) langit, bumi, manusia, dan syariat-syariat seluruh agama (samawi)."
Begitulah Imam Ash-Shâdiq as. Ia adalah sebuah muara yang dipenuhi oleh segala ilmu pengetahuan yang telah berhasil membekali dunia Islam dengan seluruh pindasi kebangkitan dan kemajuan. Ilmu pengetahuannya tidak berbatas. Ilmu pengetahuan ini telah menciptakan sesuatu yang baru dalam (sejarah) peradaban Islam dan mendorong kehidupan ilmiah ini untuk maju selangkah, tidak hanya di dalam dunia Islam saja, bahkan di seluruh dunia.
Univertas Imam Ash-Shâdiq as.

Universitas Imam Ash-Shâdiq as. adalah sebuah yayasan Islam yang paling menonjol pada masa kekuasaan dinasti Abbâsiyah. Universitas ini beraktifitas untuk memajukan kehidupan ilmiah dan telah berhasil mencetuskan berbagai jenis ilmu pengetahuan yang belum pernah dikenal oleh masyarakat sebelumnya. Universitas telah berhasil menelurkan para pemikir kenamaan terbaik, para filosof kaliber, dan para ulama handal.
Sebagian peneliti berkomentar: "Jika terdapat sebuah hakikat yang harus diungkapkan, hakikat itu adalah, bahwa peradaban Islam dan pemikiran Arab berutang budi kepada yayasan pemikiran ini dalam perkembangan dan kemajuannya, dan juga kepada tonggaknya, Ash-Shâdiq, dalam keagungan ilmiah dan warisannya yang sangat berharga."
Seorang 'arif tersohor berkata: "Termasuk sebuah kewajiban ilmiah adalah hendaknya kita berbicara tentang Imam Ash-Shâdiq as. sebagai seorang tonggak sebuah madrasah pemikiran pertama, sebagai seorang pemimpin sebuah pusat pengajaran Filsafat spiritual pertama, sebagai seorang penemu ilmu Kimia seperti ditegaskan oleh Jâbir bin Hayyân Ash-Shûfî Ath-Thursûsî, dan sebagai seorang figur yang telah mampu mengeluarkan akal pemikiran Islam dari ruang lingkup yang terbatas menuju ke sebuah ruang lingkup yang sangat luas yang didominasi oleh kebebasan berpikir secara ilmiah yang sehat dan bertumpu pada konsep hakikat, logika, dan realita."
Kami telah membahas tentang yayasan ilmiah ini di dalam buku yang berjudul Mawsû'ah Al-Imam Ash-Shâdiq as. (Ensiklopedia Imam Ash-Shâdiq as.) secara panjang lebar dan luas. Pada kesempatan ini, kami hanya akan mengIsya'ratkan sekelumit pembahasan tentang yayasan ilmiah ini sebagai berikut:

a. Pusat Universitas

Pusat universitas besar yang telah didirikan oleh Imam Ash-Shâdiq as. ini adalah Yatsrib (Madinah), tepatnya di dalam masjid Nabi saw. yang agung itu. Di dalam masjid inilah, ia melontarkan seluruh kuliah dan pidatonya. Dan pada kesempatan yang lain, ia juga pernah melontarkan kuliah dan pelajarannya di dalam rumahnya sendiri.

b. Delegasi-Delegasi Ilmiah

Para ilmuwan dan ahli ilmu pengetahuan dari berbagai penjuru dunia Islam dengan cepat bergabung dengan yayasan besar ini.
Sayid Abdul Aziz Al-Ahl menulis: "Kota Kufah, Bashrah, Wasith, dan Hijaz mengirim para ilmuwan handalnya yang berasal dari berbagai kabilah, seperti kabilah Bani Asad, Ghina, Mukhariq, Thayy, Sulaim, Ghathafan, Ghifar, Al-Azd, Khuza'ah, Khasy'am, Makhzum, Bani Dhabbah, Quraisy, dan-khususnya-Bani Harist bin Abdul Muthalib dan Bani Hasan bin Ali untuk menimba ilmu pengetahuan kepada Ja'far bin Muhammad. Banyak juga orang-orang merdeka dan putra-putra para tuan dari pemuka-pemuka kabilah-kabilah Arab tersebut, serta negara Persia, khususnya kota Qom yang telah pergi ke haribaannya (untuk menimba ilmu pengetahuan)."
Seluruh negeri Islam telah mengirimkan putra-putra terbaiknya untuk menimba ilmu pengetahuan dari muara ilmunya dan mempelajari hukum-hukum syariat Islam dari keturunan Nabi saw. ini.

c. Jumlah Murid

Jumlah murid yang pernah menimba ilmu pengetahuan dari universitas Imam Ash-Shâdiq as. ini adalah empat ribu orang. Jumlah ini adalah sebuah jumlah yang sangat besar yang tidak pernah dimiliki oleh yayasan ilmiah mana pun pada masa itu. Al-Hâfizh Abul Abbâs bin 'Uqdah Al-Hamadânî Al-Kûfî telah menulis sebuah buku yang memuat nama-nama para perawi yang pernah meriwayatkan hadis-hadis Imam Ash-Shâdiq as. Ia menegaskan bahwa jumlah mereka adalah empat ribu orang.
Dr. Mahmûd Al-Khâlidî berkomentar: "Para perawi tsiqah yang berasal dari para sahabatnya-yaitu, sahabat Imam Ash-Shâdiq as-berjumlah empat ribu orang. Dan kami tidak merasa heran dengan jumlah ini. Kami akan merasa heran jika malah yang terjadi adalah sebaliknya, seandainya hal itu terjadi dan dinukil (oleh sejarah)."
Dalam kitab Al-Mu'tabar, Al-Muhaqqiq menulis: "Pada masanya-yaitu, masa Imam Ash-Shâdiq as., berbagai jenis dan ragam ilmu pengetahuan yang membuat akal kita terperana tersebar darinya dan banyak sekali perawi-yang berjumlah sekitar empat ribu orang-meriwayatkan (hadis) darinya."
Sayid Muhammad Shâdiq Nasy'at berkomentar: "Rumah Ja'far Ash-Shâdiq berfungsi seperti universitas yang senantiasa dipenuhi oleh ulama kaliber dalam bidang ilmu Hadis, Tafsir, Hikmah, dan Teologi. Sering kali, majelis pelajarannya dihadiri oleh dua ribu orang, dan kadang-kadang dihadiri oleh empat ribu ulama kaliber dan tersohor. Hadis dan pelajaran-pelajaran yang telah diterima oleh para muridnya di majelis pelajarannya itu telah dibukukan oleh mereka dalam sekumpulan buku. Kumpulan buku ini memiliki fungsi sebagai ensiklopedia ilmiah bagi mazhab Syi'ah atau mazhab Ja'farî."
Kami telah menulis biografi tiga ribu enam ratus enam puluh dua (3662) perawi hadis Imam Ash-Shâdiq dalam buku Mawsû'ah Al-Imam Ash-Shâdiq as.

d. Cabang-cabang Universitas Imam Ash-Shâdiq as.

Mayoritas ulama yang telah keluar dari universitas Imam Ash-Shâdiq as. tersebut dan pulang kembali ke negeri mereka masing-masing telah mendirikan berbagai ragam pusat ilmiah dan sekolah agama ... Cabang terbesar yang pernah didirikan (dalam sejarah) adalah universitas yang didirikan di masjid jami' Kufah.
Hasan bin Ali Al-Wasysyâ' berkata: "Aku pernah berguru di masjid ini-yaitu, masjid jami' Kufah-kepada sembilan ratus syaikh. Setiap orang dari mereka senantiasa berkata, 'Haddatsani Ja'far bin Muhammad (Ja'far bin Muhammad telah meriwayatkan hadis ini kepadaku).'"
Gerakan ilmiah di kota Kufah telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, sebagaimana kebangkitan ilmiah juga mengalami perkembangan yang sama di daerah-daerah lain.
Sayid Mir Ali Al-Hindi berkomentar: "Tidak berlebihan jika kita katakan bahwa tersebarnya ilmu pengetahuan pada masa itu telah berhasil membantu pembebasan akal dari jeratan-jeratannya. Dengan demikian, dialog-dialog filosofis menjadi mendominasi setiap pertemuan ilmiah yang ada di seluruh penjuru negeri Islam. Perlu kami tambahkan lagi bahwa orang yang memimpin gerakan (dahsyat ini) adalah seorang cucu Ali bin Abi Thalib yang bernama Imam Ja'far dan bergelar Ash-Shâdiq. Ia adalah seorang figur yang memiliki ufuk pemikiran yang luas, yang memiliki kedalaman akal yang menakjubkan, dan yang menguasai seluruh bidang ilmu pengetahuan yang berkembang pada masanya. Pada hakikatnya, ia adalah figur pertama yang telah berhasil mendirikan sekolah-sekolah filfasat yang masyhur di dunia Islam. Orang-orang yang menghadiri majelis ilmunya tidak hanya terbatas pada mereka yang telah berhasil menjadi imam-Imam mazhab. Tetapi, majelis ilmunya dihadiri oleh para pencari filsafat yang berasal dari berbagai penjuru dunia yang sangat jauh dan terpencil."
Ala kulli hal, sebagian keluarga ilmiah yang terdapat di kota Kufah telah mendapatkan kebanggan besar dengan menjadi murid Imam Ash-Shâdiq as., dan mereka dikenal memiliki spesialisasi dalam bidang ilmu Fiqih dan Hadis, seperti keluarga ?l Hayyân At-Taghlibî, ?l A'yun, Bani 'Athiyah, Bani Darrâj, dan keluarga-keluarga ilmiah lainnya.
Imam Ash-Shâdiq as. pernah tinggal di kota Kufah selama dua tahun. Ia berdomisili di daerah Bani Abdul Qais. Para pengikut Syi'ah berbondong-bondong menjumpainya untuk memohon fatwa dan bertanya masalah hukum syariat kepadanya. Tentang banyaknya manusia yang berbondong-bondong menemuinya tersebut, Muhammad bin Ma'rûf Al-Hilâlî bercerita: "Aku pernah pergi ke Hirah untuk menjumpai Ja'far bin Muhammad. Aku tidak memiliki daya untuk menjumpainya lantaran banyaknya masyarakat (yang ingin berjumpa dengannya). Pada hari keempat, ia melihatku dan mendekat ke arahku. Gerombolan manusia itu pun berpencar. Pada waktu itu, ia ingin pergi untuk berziarah ke makam kakeknya, Amirul Mukminin as. Aku membuntutinya. Aku mendengar ucapannya, sedangkan aku berjalan bersamanya."
Metode Ilmiah

Pelajaran dan kuliah-kuliah Imam Ash-Shâdiq as. meliputi seluruh jenis ilmu pengetahuan dan ragam peradaban yang sangat tinggi. Ilmu-ilmu pengetahuan berikut ini adalah di antara cabang ilmu pengetahuan yang pernah diajarkan oleh beliau:
- Ilmu Fiqih.
- Ilmu Hadis.
- Ilmu Al-Qur'an.
- Ilmu Medis.
- Ilmu Kimia.
- Ilmu Fisika.
- Ilmu tentang tetumbuhan.
Dan begitu juga cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya yang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan masyarakat dan kemajuan teknologi.
Di antara ilmu pengetahuan yang mendapatkan perhatian penuh Imam Ash-Shâdiq as. adalah ilmu Fiqih Islam dalam semua bidangnya; ibadah, transaksi, akad, dan îqâ'. Para fuqaha mazhab Imamiah merujuk kepada hadis-hadis mulianya dalam menyimpulkan hukum-hukum syariat.
Pembukuan Ilmu

Imam Ash-Shâdiq as. menekankan kepada para sahabatnya untuk membukukan seluruh pelajaran dan kuliah (yang telah ia berikan) lantaran ia khawatir seluruh pelajaran berharga itu akan musnah. Abu Bashir pernah bercerita: "Aku pernah bertamu ke rumah Abu Abdillah. Ia berkata, 'Apa yang mencegah kamu semua untuk menulis? Kamu tidak akan dapat menghafal dan menjaga (ilmu pengetahuan) sebelum kamu menulisnya. Aku pernah memiliki sekelompok tamu dari penduduk Bashrah. Mereka menanyakan banyak hal kepadaku, dan menulisnya.'"
Sebagai manifestasi atas kepedulian Imam Ash-Shâdiq as. terhadap pembukuan ilmu pengetahuan, ia memerintahkan muridnya, Jâbir bin Hayyân untuk menciptakan sebuah kertas yang anti bakar. Jâbir memenuhi permintaannya tersebut. Setelah kertas itu siap digunakan, Imam Ash-Shâdiq as. menulis sebuah kitab dengan tangannya sendiri dan melemparkannya ke dalam api. Kitab itu tidak rusak sedikit pun. Para perawi tidak menyebutkan nama kitab tersebut dan tidak juga nama ilmu yang telah ia torehkan di atas kertas itu.
Para ulama dari kalangan murid-murid Imam Ash-Shâdiq as. bergegas memenuhi perintahnya tersebut. Jâbir bin Hayyân menulis pelajaran ilmu Kimia yang telah ia dapatkan darinya. Karya-karya tulisnya mencapai lima ratus risalah. Risalah-risalah tersebut menjadi muara yang jernih dalam bidang ilmu Kimia yang dimanfaatkan oleh para ilmuwan sebaik mungkin.
Masih banyak lagi bintang-bintang kejora dari sekian murid Imam Ash-Shâdiq as. yan memiliki karya tulis dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Peneliti agung, Syaikh Aqa Bozorg Tehrani-semoga Allah mencerlangkan persemayaman abadinya-telah menulis biografi para penulis dari murid-muridnya sebanyak dua ratus orang.
Dengan penjelasan singkat dan ringkas ini, kita telah menuntaskan pembahasan tentang universitas Imam Ash-Shâdiq as.
Kriteria dan Karakteristik

Tidak ada karakter yang mulia dan juga tidak ada akhlak yang utama kecuali semua itu menjadi karakteristik substansial dan jati diri Imam Ash-Shâdiq as. Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sebagian dari karakter-karakter mulia tersebut.

a. Ketinggian Akhlak

Imam Ash-Shâdiq as. memiliki ketinggian akhlak yang sangat lapang. Di antara manifestasi ketinggian akhlaknya adalah berbuat baik kepada orang yang telah bertindak kurang ajar terhadapnya. Para ahli sejarah telah menyebutkan contoh-contoh yang tidak terhitung tentang ketinggian akhlaknya ini. Di antaranya adalah (kisah berikut ini):
Salah seorang jamaah haji menyangka bahwa sabuk uangnya telah hilang. Ia mengadakan pencarian ke sana dan ke mari. Ia memasuki masjid Nabi saw. Tiba-tiba ia melihat Imam Ash-Shâdiq as. sedang mengerjakan salat. Ia memegangnya, sedangkan ia tidak mengenalnya. Ia bertanya: "Engkaukah yang telah mencuri sabuk uangku?"
Imam Ash-Shâdiq as/ menghadapinya dengan penuh ramah sembari bertanya: "Berapakah isi sabuk uang tersebut?"
Ia menjawab: "1.000 dinar."
Imam Ash-Shâdiq memberikan uang sebanyak 1.000 dinar kepada orang tersebut. Setelah menerima uang tersebut, ia pergi kembali ke tempat penginapannya. Tiba-tiba ia menemukan sabuk uang tersebut (tergeletak di tempat penginapan itu). Akhirnya, ia bergegas kembali untuk menemui Imam Ash-Shâdiq as. dengan membawa uang tersebut dengan bermaksud untuk memohon maaf. Imam Ash-Shâdiq enggan untuk menerima uang itu kembali sembari berkata: "Ini adalah sesuatu yang telah keluar dari tanganku, dan tidak mungkin akan kembali lagi kepadaku." Orang itu pun terperangah dan mulai terusik untuk menanyakan siapakah sebenarnyanya itu. Salah seorang penduduk menjawabnya: "Orang ini adalah Ja'far Ash-Shâdiq." Setelah mendengar jawaban itu, ia berkata dengan penuh rasa takjub: "Tidak heran jika tindakan ini adalah perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang-orang (agung) seperti dia."
Yang mendorong Imam Ash-Shâdiq as. untuk membenarkan ucapan orang tersebut dan memberikan uang kepadanya adalah ketinggian dan kemuliaan akhlaknya.

b. Rendah Hati

Salah satu karakter Imam Ash-Shâdiq as. yang sangat menonjol adalah rendah hati dan tawadhu'. Sebagai manifestasi dari karakter rendah hatinya, ia selalu duduk di atas hamparan pelepah daun kurma, menolak untuk duduk di atas permadani-permadani yang mewah, dan menolak setiap sikap orang-orang yang sombong. Ia pernah bertanya kepada seorang yang berasal dari sebuah kabilah: "Siapakah pembesar kabilah ini?"
Orang itu menjawab: "Saya."
Imam Ash-Shâdiq menimpali: "Jika engkau adalah pembesar mereka, niscaya engkau tidak akan mengatakan 'saya'."
Salah satu manifestasi kerendahan hati Imam Ash-Shâdiq as. adalah (peristiwa berikut ini):
Salah seorang dari penduduk Kufah pernah bepergian bersama Imam Ash-Shâdiq. Imam Ash-Shâdiq kehilangan orang tersebut. Ia bertanya tentang keberadaannya kepada seseorang. Orang tersebut menjawab dengan nada mengejek: "Ia adalah seseorang yang berasal dari kabilah Nabathi ."
Imam Ash-Shâdiq as. menjawab sembari berkata: "Yang pokok bagi seseorang adalah akalnya, dan nilai kemuliaannya adalah agama, kemurahan, dan ketakwaannya. Seluruh manusia adalah sama-sama (berasal) dari Adam."
Sesunggunya rendah hati dan tawadhu' adalah salah satu karakter jiwa tertinggi yang dapat mengungkapkan kemuliaan dan kesempurnaan seseorang.

c. Tabah

Salah satu manifestasi ketinggian akhlak Imam Ash-Shâdiq as. yang lain adalah ketabahan atas segala musibah masa dan petaka. Pada suatu hari, ia dikejutkan oleh kewafatan putanya yang bernama Ismail. Ismail adalah salah seorang tonggak Bani Ali as. dari sisi keilmuan dan akhlak. Ia memanggil beberapa orang sahabat kenamaannya dan menyuguhkan hidangan makanan kepadanya. Sebagian sahabatnya merasa heran dan menghadap kepadanya seraya bertanya: "Aku tidak melihat secercah pun tanda-tanda kesedihan atas kewafatan putra Anda?"
Imam Ash-Shâdiq as. menjawab: "Mengapa aku tidak boleh bersikap seperti yang kamu sekalian lihat, sedangkan orang yang paling jujur-yaitu, Rasulullah saw-pernah bersabda kepada para sahabatnya, 'Sesungguhnya aku dan kamu semua akan meninggal dunia.'"

d. Kedermawanan

Imam Ash-Shâdiq as. adalah orang yang paling dermawan dan orang yang paling banyak berbuat kebajikan kepada orang lain. Para perawi hadis telah menukil contoh-contoh yang sangat banyak sekali tentang manifestasi kedermawanannya. Di antara kedermawanannya adalah (kisah berikut ini):
Asyja' As-Sullamî pernah menjumpai Imam Ash-Shâdiq as. di rumahnya. Ia menemukannya dalam kondisi sedang sakit. Asyja'menanyakan tentang faktor penyakitnya itu. Imam Ash-Shâdiq menjawab: "Biarkanlah faktor penyakitku. Katakanlah keperluanmu."
Asyja'menyenandungkan bati-bati syair berikut ini:
Semoga Allah menganugerahkan 'afiat kepadamu dalam lelap tidurmu.
Dengan mengeluarkan penyakit dari tubuhmu seperti Dia mengeluarkan kehinaan meminta-minta dari pundakmu.
Dari bait terakhir ini, Imam Ash-Shâdiq as. memahami keperluannya. Ia bertanya kepada budaknya: "Berapa engkau memiliki uang?"
Budak itu menjawab: "Empat ratus."
Imam Ash-Shâdiq as. memerintahkan supaya ia memberikan uang itu kepadanya.
Tentang kebajikannya kepada orang-orang fakir miskin, para perawi hadis meriwayatkan bahwa ia senantiasa memberikan makanan dan pakaian kepada mereka sehingga tidak tersisa sedikit pun makanan dan pakaian bagi keluarganya sendiri.
Dan di antara manifestasi kedermawanan Imam Ash-Shâdiq as. yang lain adalah (kisah berikut ini):
Pada suatu hari seseorang melalui Imam Ash-Shâdiq yang ketika itu sedang menyantap makan siang. Orang itu tidak mengucapkan salam kepadanya. Imam Ash-Shâdiq mengajaknya untuk makan bersama. Sebagian hadirin memprotes tindakannya itu seraya berkata: "Yang sunah adalah hendaknya ia mengucapkan salam terlebih dahulu, lalu diundang (untuk makan bersama). Dia 'kan tidak mengucapkan salam!"
Imam Ash-Shâdiq as. menjawab: "Ia adalah salah seorang penduduk Irak yang memiliki sedikit sifat kikir."

e. Bersedekah Secara Rahasia

Sebagaimana kakeknya, Imam Ali Zainul Abidin as., Imam Ash-Shâdiq senantiasa mengunjungi orang-orang fakir miskin di pertengahan malam yang gulita, sedangkan mereka tidak mengenal siapanya. Sang cucu mengikuti jejak kakeknya. Di malam hari, ia memikul kantong kain yang penuh berisi roti, daging, dan uang. Ia pergi menjumpai masyarakat yang membutuhkan, lalu menginfakkan seluruh barang bawaannya itu kepada mereka, sedangkan tidak mengenal siapanya. Dan mereka tidak mengetahui realita yang sebenarnya sehingga ia meninggal dunia. Dengan kepergiannya itu, mereka merasa kehilangan kunjungan dan sedekah-sedekah (yang sering mereka dapatkan) di malam hari tersebut, dan dengan demikian, mereka baru mengetahui bahwa seluruh sedekah itu adalah berasal darinya.
Di antara sekian contoh sedekah yang telah ia lakukan secara rahasia adalah hadis yang diriwayatkann oleh Ismail bin Jâbir (berikut ini):
Ismail bin Jâbir bercerita: "Abu Abdillah as. pernah memberikan uang kepadaku sebanyak lima puluh dinar yang dibungkus sebuah kantong uang. Ia berpesan kepadaku sembari berkata, 'Berikanlah uang tersebut kepada salah seorang dari Bani Hâsyim, dan janganlah kau beritahukan kepadanya bahwa aku yang telah memberikan uang ini kepadamu.' Aku berangkat menjumpai orang tersebut dan menyerahkan uang itu kepadanya. Ia bertanya kepadaku, 'Dari manakah uang ini?' Aku memberitahukan kepadanya bahwa uang itu berasal dari seseorang yang tidak ingin kau ketahui jati dirinya. Orang keturunan Bani Ali as. itu menimpali, 'Orang ini senantiasa mengirimkan uang kepadaku setiap waktu sehingga kami bisa menjalankan roda kehidupan hingga tahun mendatang. Akan tetapi, Ja'far tidak pernah memberikan sepeser dirham pun kepadaku, padahal ia memiliki banyak harta.'"
Imam Ash-Shâdiq as. menyembunyikan sedekah hanya lantaran mengharapkan keridaan Allah dan kebahagiaan di akhirat.

f. Bergegas Memenuhi Hajat Orang Lain

Jika seseorang meminta tolong kepada Imam Ash-Shâdiq as. untuk menyelesaikan sebuah hajat, ia bergegas untuk memenuhi dan menyelesaikannya. Ia pernah ditanya oleh seorang sahabat: "Mengapa Anda secepat ini menyelesaikan hajat seseorang?" Ia menjawab: "Aku khawatir ada orang lain yang lebih cepat menyelesaikannya. Dan dengan ini, aku tidak akan mendapatkan pahala sedikit pun."
Begitulah Imam Ash-Shâdiq as. menjadi figur yang cerlang dalam setiap karunia dan keutamaan.

g. Ibadah

Imam Ash-Shâdiq as. tidak berbeda dengan nenek moyangnya yang agung dalam menjalankan ibadah dan ketaatan kepada Allah swt. Ia adalah orang yang paling 'abid pada masanya hidup. Ia senantiasa menginfakkan waktu senggangnya untuk mengerjakan salat karena Allah swt. Ia tidak pernah meninggalkan satu salat sunah pun, dan ia selalu mengerjakannya dengan penuh khusyuk dan kehadiran hati terhadap Allah swt. Ia sering berpuasa di siang hari. Jika bulan Ramadhan yang penuh berkah tiba, ia menyambutnya dengan penuh rasa kerinduan yang dalam. Terdapat beberapa doa yang ia baca di siang dan malam hari selama bulan Ramadhan. Kami telah menyebutkan doa-doa tersebut di dalam buku yang berjudul Ash-Shahîfah Ash-Shâdiqiyah.
Dalam menjalankan ibadah haji, ia melaksanakannya dengan kerendahan hati dan kekhusyukan yang dalam terhadap Allah swt. Sufyân Ats-Tsawrî pernah bercerita: "Demi Allah, aku pernah melihat Ja'far bin Muhammad (sedang menjalankan ibadah haji), dan aku tidak pernah melihat seorang jamaah haji berada di tempat-tempat suci dan mengerahkan seluruh dayanya untuk khusyuk (di haribaan Ilahi) yang melebihi dia. Ketika sampai di Arafah, ia menjauh dari para jamaah haji yang lain dan menyibukkan dirinya dengan membaca doa di situ."
Bakr bin Muhammad Al-Azdî bercerita: "Aku pernah melakukan tawaf dan di sisiku Imam Abu Abdillah as. (juga sedang melakukan tawaf). Ketika ia usai melakukan tawaf, ia minggir dan mengerjakan salat di tempat yang berada di antara Rukun Baitullah dan Hajarul Aswad. ketika ia melakukan sujud, aku mendengarnya membaca (doa berikut ini):
سَجَدَ وَجْهِيْ لَكَ تَعَبُّدًا وَ رِقًّا، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ حَقًّا حَقًّا، اَلْأَوَّلُ قَبْلَ كُلِّ شَيْءٍ وَ الْآخِرُ بَعْدَ

كُلِّ شَيْءٍ، وَ هَا أَنَا ذَا بَيْنَ يَدَيْكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، فَاغْفِرْ لِيْ، إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذَّنْبَ الْعَظِيْمَ

غَيْرُكَ، فَاغْفِرْ لِيْ

"Wajahku telah bersujud kepada-Mu dengan penuh rasa penghambaan dan kehinaan, tiada tuhan selain Engkau yang sebenarnya, Tuhan Yang Maha Awal sebelum segala sesuatu dan Yang Maha Akhir setelah segala sesuatu. Kini aku berada di haribaan-Mu, ubun-ubunku berada di genggaman tangan-Mu. Maka, ampunilah aku, karena tiada yang mampu mengampuni dosa yang besar kecuali Engkau seorang. Maka, ampunilah aku."
Begitulah Imam Ash-Shâdiq as. menjadi figur dan tauladan dalam bidang ibadah bagi orang yang ingin bertobat dan bertakwa. Kami telah memaparkan ibadahnya secara panjang lebar dalam buku kami yang berjudul Mawsû'ah A-Imam Ash-Shâdiq as. (Ensiklopedia Imam Ash-Shâdiq as).
Mutiara Hikmah

Para perawi hadis telah meriawayatkan banyak mutiara hikmah Imam Ash-Shâdiq as. yang bertalian dengan berbagai dimensi manusia dan kehidupannya. Seluruh mutiara hikmah itu mengandung nilai-nilai yang mulia dan karakter-krakter yang tinggi. Di antara mutiara-mutiara hikmahnya adalah berikut ini:
1. Imam Ash-Shâdiq as. berkata: "Jika kamu mendengar sebuah ucapan dari (mulut) seorang muslim, maka tafsirkanlah dengan penafsiran terbaik yang ada dalam benakmu. Jika kamu tidak dapat menemukan penafsiran (yang terbaik) untuk itu, maka salahkanlah dirimu sendiri."
2. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Barang siapa telah dipindahkan oleh Allah dari kehinaan maksiat kepada kemuliaan taat, maka Dia telah menganugerahkan kekayaan kepadanya tanpa harta, telah menentramkan (hatinya) tanpa seorang sahabat karib, dan telah memuliakannya tanpa (bantuan) famili dan kerabat."
3. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Posisi terdekat yang dapat mejerumuskan salah seorang dari kamu ke dalam jurang kekufuran adalah apabila ia memegang cela saudara (seiman)-nya dengan tujuan untuk mencelakannya pada suatu hari kelak."
4. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Sesungguhnya dosa dapat menghambat rezeki."
5. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Dosa besar yang paling besar adalah mengingkari apa yang telah diturunkan oleh Allah di tengah-tengah kita."
6. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Setiap penyakit pasti memiliki obat, dan obat dosa adalah memohon ampunan (istighfar)."
7. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Memindahkan gunung adalah lebih ringan daripada memindahkan sebuah hati dari tempatnya."
8. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Jika urusan duniamu makmur, maka hati-hatilah terhadap agamamu."
9. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Dua orang mukmin tidak berjumpa kecuali mukmin yang lebih utama dari mereka berdua adalah siapa di antara mereka yang lebih mencintai yang lain."
10. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Seorang hamba tidak akan menjadi seorang mukmin kecuali jika ia merasa takut dan berharap, dan ia tidak akan merasa takut dan berharap kecuali apabila ia mengamalkan apa yang ia takuti dan harapkan."
11. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Saudaraku yang paling kucintai adalah orang yang menghadiahkan cela-celaku kepada diriku sendiri."
12. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Bukanlah termasuk pengikut kami orang yang mengaku hal itu dengan lisannya saja, sementara ia menyeleweng dari perilaku dan tindakan yang kami lakukan. Akan tetapi, pengikut kami adalah orang yang sejalan dengan kami dalam lisan dan hatinya, mengikuti jejak perilaku kami, dan mengamalkan amal-amal kami. Mereka itulah pengikut kami yang sebenarnya."( )
13. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Pemilik niat yang benar dan jujur adalah pemilik hati yang bersih."
14. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Janganlah kamu menampakkan kegembiraan lantaran kedukaan yang telah menimpa saudara seimanmu, lantaran (bisa jadi) Allah akan merahmatinya dan menimpakan kedukaan itu kepadamu."
15. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Rahasiamu terdapat dalam darahmu. Maka, janganlah kau teteskan di selain urat-urat lehermu."
16. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Harta yang haram akan tampak akibatnya pada anak keturunan."
17. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Apabila niat seseorang adalah baik, maka Allah akan menambahkan rezekinya."
18. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Jangan kamu berbicara dengan orang yang engkau hawatir akan membohongkanmu, jangan engkau meminta kepada orang yang engkau khawatir akan mencegahmu (baca: menolakmu), dan jangan kamu merasa aman terhadap orang yang engkau khawatir akan menerormu."
19. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Mengamalkan kebajikan dapat mencegah kematian yang jelek, sedekah dapat memadamkan api amarah Tuhan, silaturahmi dapat menambah umur dan menghilangkan kemiskinan, dan zikir lâ ilâha illalalâh adalah sebuah harta simpanan di antara sekian harta simpanan surga."
Menuju Surga Abadi

Imam Ash-Shâdiq as. senantiasa melakukan perlawanan terhadap Khalifah Al-Manshûr sang durjana. Al-Manshûr merasa terpojok dan tertekan lantaran perlawanan-perlawanannya tersebut. Akhirnya, ia meminumkan racun kepada Imam Ash-Shâdiq melalui tangan gubernurnya untuk daerah Yatsrib (Madinah). Imam Ash-Shâdiq mengalami rasa sakit yang sangat menyakitkan, dan maut pun menghampirinya dengan cepat. Selang beberapa masa, ruhnya yang suci itu menghadap Sang Pencipta sebagai ruh tersuci yang naik ke atas langit.
Tonggak Islam dan pemimpin kebangkitan pemikiran dan ilmiah-yang tidak tertandingi oleh siapa pun dalam kejeniusan dan keluasan ilmu pengetahuannya kecuali oleh nenek moyangnya itu-telah meninggal dunia. Putra dan washî-nya, Imam Al-Kâzhim as. melaksanakan ritual pemakamannya. Imam Al-Kâzhim memandikan jenazahnya, mengafani, menyalati, dan lalu menguburkannya di pemakaman Baqi' di samping kakeknya, Imam Zainul Abidin as. dan ayahnya, Imam Muhammad Al-Bâqir as. Dengan kepergiannya itu, ilmu pengetahuan dan segala sesuatu yang menjadi faktor keagungan umat manusia pun ikut terkuburkan pula.
Catatan Kaki:

Al-Imam As-Shâdiq as. Kama 'Arafahu 'Ulamâ' Al-Gharb, hal. 120-130.
Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 34.
Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Bâqir as., jilid 1, hal. 38.
Al-Imam As-Shâdiq as. Kama 'Arafahu 'Ulamâ' Al-Gharb, hal. 112.
Wasîlah Al-Ma'âl fi Manâqib Al-?l, hal. 208.
( ) Al-Imam Ash-Shâdiq as., hal. 101-102.
( ) Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 131.
( ) Ja'far Ash-Shâdiq Mulhim Al-Kimiya', hal. 32.
Ja'far bin Muhammad as., hal. 59.
Al-Irsyâd, jilid 2, hal. 179; I'lam Al-Wara, jilid 1, hal. 535; Al-Mu'tabar, jilid 1, hal. 26.
Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 120.
Al-Ushûl Al-Fikriyah li Ats-Tsaqâfah Al-Islamiyah, jilid 1, hal. 203.
Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 134.
Al-Imam Ash-Shâdiq wa Al-Madzâhib Al-Arba'ah, jilid 1, hal. 62.
Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 135.
Ja'far bin Muhammad as., hal. 59.
Târîkh Al-Kufah, hal. 408.
( ) Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 136.
( ) Mustadrak Al-Wasa'il, jilid 17, hal. 292, hadis ke-292.
( ) Al-Imam Ash-Shâdiq Kama 'Arafahu Ulama' Al-Gharb, hal. 54; Jabir bin Hayyan wa Khulafa'uh, hal. 57.
( ) Mir'ah Al-Jinan, jilid 1, hal. 304; Al-A'lam, jilid 1, hal. 186.
( ) Adz-Dzari'ah, jilid 6, hal. 301-374.
Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 66.
Ath-Thabaqât Al-Kubrâ, jilid 1, hal. 32.
Nabâthi adalah sebuah kabilah Arab yang hidup di daerah pertengahan antara Kufah dan Bashrah-pen.
Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 66.
Manâqib Ali Abi Thalib, jilid 4, hal. 345; Amali Ath-Thusi, jilid 1, hal. 287.
Târîkh Al-Islam, jilid 6, hal. 45; Mir'âh Az-Zamân, jilid 6, hal. 160; Tahdzîb Al-Kamâl, jilid 5, hal. 87.
Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 64.
Ibid.
Majmû'ah Warram, jilid 2, hal. 82.
Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 71.
Qurb Al-Isnâd, hal. 28.
Jamharah Al-Awliyâ', jilid 2, hal. 79.
Bahjah Al-Majâlis, jilid 1, hal. 394.
Da'âim Al-Islam, jilid 2, hal. 12.
Al-Ghâyât, hal. 100.
Ibid. hal. 85.
Jâmi' Al-Akhbâr, hal. 22.
Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 357.
Al-Hikam Al-Ja'fariyah, hal. 46.
Al-Mahâsin, hal. 209.
Majmû'ah Warram, jilid 2, hal. 185.
Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 366.
Ushûl Al-Kâfî, jilid 2, hal. 196.
Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 4, hal. 481.
Al-Imam Ash-Shâdiq as. wa Al-Madzâhib Al-Arba'ah, jilid 4, hal. 354.
Ibid. hal. 351.
Ibid. hal. 357.
Al-Mahâsin, hal. 207.
Tadzkirah Abi Hamdûn, hal. 85.
Târîkh Al-Ya'qûbî, jilid 3, hal. 116.

IMAM MUSA Al-KAZHIM

Kehidupan Imam Mûsâ bin Ja'far as. dipenuhi dengan pancaran cahaya, kemuliaan, dan perilaku cemerlang yang merefleksikan sepiritual, perjuangan, pengabdian, dan konsistensi Rasulullah saw. terhadap Islam. Berikut ini, kami paparkan sebagian dari sisi-sisi kehidupan imam yang satu ini.
Keluasan Ilmu

Para perawi hadis dan penulis biografi sepakat bahwa Imam Mûsâ as. adalah orang yang paling alim pada zamannya. Ia memiliki keluasan ilmu dan makrifat yang luar biasa. Banyak ulama dan perawi hadis yang meneguk ilmu pengetahuan darinya. Mereka berbondong-bondong menulis fatwa, mutiara hikmah, dan adab yang ia sampaikan. Imam Mûsâ as. di kalangan para imam Ahlul Bait as. adalah imam pertama yang mencetuskan bab halal dan haram dalam syariat Islam.
Pada masa itu, banyak ulama besar dan fuqaha yang menamatkan pelajaran dari madrasah Imam Mûsâ as. Kami telah menulis biografi para sahabat dan perawinya sebanyak 331 orang dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as. Sebagian dari mereka memiliki peran penting dalam dunia ilmu pengetahuan pada masa itu. Dan sebagian yang lain terjun dalam dunia diskusi dan dialog dengan para ulama yang mengingkari imâmah, dan dengan ulama-ulama lain dari golongan dan mazhab yang berbeda-beda. Di antara sahabat Imam Mûsâ yang menonjol dalam dunia diskusi dan dialog adalah Hisyâm bin Hakam. Dia banyak melakukan diskusi dan dialog yang mengagumkan dengan para pengikut aliran Barâmikah.
Dalam sebuah dialog di pendopo kerajaan Bani Abbâsiyah, Hisyâm berhasil membuktikan keyakinan Syi'ah tentang konsep imâmah dengan argumentasi dan dalil yang kuat. Kami telah memaparkan kisah ini dalam biografi Hisyâm bin Hakam yang terdapat dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 2.
Dialog Imam Mûsâ as.

Imam Mûsâ as. sering melakukan dialog yang mengagumkan dan tangguh dengan para musuhnya dan sebagian ulama Yahudi dan Nasrani. Hal itu menunjukkan sejauh mana keluasan dan kekuatan ilmu pengetahuannya. Setiap orang yang pernah berdebat dengannya mengakui kelemahan dan kekalahan dirinya. Mereka bertekuk lutut di hadapan hujah-hujahnya dan mengakui keunggulan ilmunya atas ilmu mereka.
Berikut ini kami bawakan sebagian dialog Imam Mûsâ as. tersebut.
1. Dialog Imam Mûsâ as. dengan Nafî' Al-Anshârî

Nafî' Al-Anshârî adalah salah seorang yang membenci Imam Mûsâ as. Dia sangat marah ketika melihat Imam Mûsâ as. begitu dihormati di pendopo kerajaan Bani Abbâsiyah.
Dalam suatu pertemuan, ketika hendak masuk menemui Hârûn, Imam Mûsâ as. disambut oleh penjaga pintu dengan penuh penghormatan. Nafî' bergegas berjalan. Pada waktu itu, ia disertai oleh Abdul Aziz. Nafî' bertanya kepadanya: "Siapakah orang ini?" Abdul Aziz menjawab: "Dia adalah pemuka keluarga Abu Thalib, Mûsâ bin Ja'far as."
Mendengar jawaban itu, Nafî' berkata: "Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih lemah dari kaum ini (Banni Abbâsiyah). Mereka menghormati seseorang yang bisa menggulingkan mereka dari takhta kerajaan. Jika dia keluar, aku akan mengganggunya."
Abdul Aziz melarang Nafî' untuk mengganggu Imam Mûsâ as. seraya berkata: "Jangan kau lakukan itu. Sesungguhnya mereka adalah Ahlul Bait. Tidak ada seorang pun yang mengganggunya dengan ucapan, kecuali orang itu pasti dipecundangi dengan suatu jawaban yang akan tetap menjadi tanda kehinaannya untuk selama-lamannya."
Ketika Imam Mûsâ as. keluar dari ruang pertemuan Hârûn, Nafî' menghampirinya dan memegang kendali kudanya. Nafî' berkata: "Siapakah engkau?"
Imam Mûsâ manjawab: "Hai Fulan, jika kamu menginginkan nasabku, aku adalah putra Muhammad Habîbullâh, putra Ismail Dzabîhullâh, dan putra Ibrahim Khalîlullâh. Jika kamu menginginkan kota, maka aku berasal dari kota yang Allah swt. mewajibkan kaum muslimin dan kamu-bila kamu termasuk dari kalangan mereka-untuk melakukan ibadah haji kepadanya. Jika kamu menginginkan kebanggaan, demi Allah orang-orang musyrik kaumku tidak senang muslimin kaummu sebagai padanan mereka, sehingga mereka berkata, 'Hai Muhammad, keluarkanlah orang-orang yang sepadan dengan kami dari kalangan kaum Quraisy saja.' Hai fulan, lepaskanlah kendali kudaku!"
Nafî' pun mengaku kalah dan tampak marah sekali karena ia telah dipecundangi oleh Imam Mûsâ as.
2. Dialog Imam Mûsâ as. dengan Abu Yusuf

Suatu hari Hârûn memerintahkan Abu Yusuf untuk bertanya kepada Imam Mûsâ as. tentang masalah fiqh. Hârûn berharapan Imam Mûsâ as. tidak mampu untuk menjawab sehingga kelemahan ini bisa dimanfaatkan untuk menghina dan memojokan Imam Mûsâ as. Hârûn pun mempertemukan Imam Mûsâ dengan Abu Yusuf. Abu Yusuf mulai bertanya kepada Imam Mûsâ as.: "Apa pendapatmu tentang bernaung bagi orang yang sedang melakukan ihram?"
"Tidak boleh", jawab Imam Mûsâ pendek.
Abu Yusuf bertanya lagi: "Bagaimana jika membangun kemah dan masuk ke dalam rumah?"
"Tidak masalah", jawab Imam Mûsâ.
Abu Yusuf menimpali: "Apa perbedaan antara keduanya?"
"Apakah wanita yang sedang haid wajib mengqadha salat?", Imam Mûsâ balik bertanya.
"Tidak", jawab Abu Yusuf.
Imam Mûsâ as. bertanya: "Apakah ia wajib mengqadha puasanya?"
"Ya", jawab Abu Yusuf.
"Mengapa?", tanya Imam Mûsâ lagi.
"Seperti itulah ketentuannya", jawab Abu Yusuf pendek.
Imam Mûsâ as. menimpali: "Begitu juga ketentuannya dalam masalah ini."
Abu Yusuf terdiam seribu bahasa. Ia tampak tidak berdaya di hadapan Imam Mûsâ as. Hârûn bertanya kepadanya: "Mengapa kamu tidak menjawab?"
Abu Yusuf berkata: "Dia telah membungkam mulutku dengan batu yang tajam."
Imam Mûsâ as. keluar dari pertemuan itu, sedangkan Hârûn Ar-Rasyîd kelihatan marah karena telah gagal menjatuhkan Imam Mûsâ as.
3. Bersama Hârûn Ar-Rasyîd

Hârûn menahan Imam Mûsâ as. dan memasukkannya ke dalam penjara selama beberapa tahun. Suatu hari, ia memeritahkan supaya Imam Mûsâ as. menghadap. Ketika Imam Mûsâ as. sudah menghadap, Hârûn berkata dengan suara keras karena marah: "Hai Mûsâ bin Ja'far, ada dua khalifah yang uang pajak diberikan kepada mereka."
Imam as. berpaling kepadanya dengan bersahabat dan lemah lembut seraya berkata: "Hai Amirul Mukminin, aku memperlindungkan kamu kepada Allah swt. dari menanggung dosaku dan dosamu dan dari menerima kebatilan dari musuh-musuh kami atas kami. Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa kami didustakan dari semenjak kematian Rasulullah saw. dengan sesuatu yang beliau ketahui ada di sisimu. Jika kamu meyakini tali kekerabatan antara kamu dengan Rasulullah saw., izinkan aku untuk menyampaikan satu hadis yang telah disampaikan oleh ayahku dari ayah-ayahnya dan berasal dari kakekku, Rasulullah saw."
Hârûn berkata: "Aku telah izinkan."
Imam Mûsâ as. berkata: "Ayahku memberitahukan kepadaku suatu hadis yang ia riwayatkan dari dari ayah-ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah saw. bahwa Rasulullah saw. bersabda, 'Sesungguhnya jika rahim menyentuh rahim, maka ia akan bergerak dan bergoncang. Maka ulurkanlah tanganmu kepadaku.'"
Hârûn pasrah dan menjulurkan tangannya kepada Imam Mûsâ as. Lalu Hârûn menarik Imam Mûsâ ke arah dirinya dan memeluknya erat-erat sedang matanya berlinang air mata. Hârûn berkata kepada Imam Mûsâ as.: "Engkau benar dan benar juga kakekmu. Sesungguhnya darahku terasa bergerak dan nadiku bergetar sehingga aku pun pasrah dan air mataku bercucuran. Ada masalah yang hendak kutanyakan kepadamu. Masalah ini selalu bergejolak dalam hatiku dari dulu dan aku belum pernah menanyakannya kepada siapa pun. Jika kamu menjawab pertanyaanku ini, maka aku akan membebaskanmu dan aku tidak akan mempercayai ucapan siapa pun tentang dirimu. Sungguh aku mendengar bahwa kamu tidak pernah berbohong dan aku mempercayai hal itu. Maka jawablah pertanyaan yang ada dalam hatiku ini dengan sejujurnya."
Imam Mûsâ as. berkata: "Ilmu tentang hal itu tidak ada di sisiku. Tapi aku akan memberitahukan kepadamu tentang hal itu bila kamu menjamin keselamatanku."
Hârûn menjawab: "Kamu aman, jika kamu menjawab pertanyaanku dengan jujur dan meninggalkan taqiyah yang kamu yakini itu, hai keturunan Fathimah."
Imam Mûsâ as. berkata: "Tanyakanlah apa yang ingin kau inginkan."
Hârûn berkata: "Mengapa kalian diutamakan atas kami, padahal kalian dan kami berasal dari satu pohon? Bani Abdul Muthalib, ayah kami, dan ayah kalian adalah satu. Bani Abbâs dan kalian adalah keturunan Abu Thalib. Mereka berdua (Abu Thalib dan Abbâs) adalah paman Rasulullah saw. dan hubungan kekerabatan mereka berdua adalah sama?"
Imam Mûsâ as. menjawab: "Kami lebih dekat (kepada Rasulullah saw.)."
"Bagaimana bisa?", tukas Hârûn.
Imam Mûsâ as. menjawab: "Karena Abdullah dan Abu Thalib adalah saudara sekandung, sedangkan ayah kalian, Abbâs, tidak dilahirkan dari ibu Abdullah dan Abu Thalib."
Hârûn lebih lanjut bertanya: "Mengapa kalian mengaku dapat mewarisi Rasulullah, sedangkan seorang paman dapat menghalangi anak seorang paman yang lain (dari warisan)? Rasulullah saw. wafat dan Abu Thalib telah meninggal sebelum itu, sedangkan Abbâs, paman Rasulullah, masih hidup kala itu."
Imam Mûsâ as. menjawab: "Saya mohon Amirul Mukminin memaafkanku dari pertanyaan ini, dan silakan bertanya tentang masalah-masalah yang lain."
"Tidak! Kamu harus menjawabnya", jawab Hârûn bersikeras.
Imam Mûsâ as. menimpali: "JAmînlah keamanan bagiku!"
Hârûn menjawab: "Sudah aku jAmîn sebelum kita memulai dialog."
Imam Mûsâ as. menjawab: "Menurut pendapat Ali, jika anak kandung masih ada, baik laki-laki maupun perempuan, maka pewaris yang lain tidak berhak memperoleh harta warisan, kecuali kedua orang tua, suami, dan istri. Paman tidak berhak memperoleh harta warisan selama anak kandung masih hidup. Hanya saja, menurut pendapat Bani Taim, Bani 'Adî, dan Bani Umayyah, paman adalah seperti ayah. Pendapat mereka itu masing-masing tidak memiliki realita dan bukti dari Nabi saw."
Kemudian Imam Mûsâ as. menyebutkan pendapat para fuqaha pada zaman itu yang memiliki fatwa sama dengan fatwa kakeknya, Amirul Mukminin as., dalam masalah ini. Ia menambahkan: "Para fuqaha terdahulu Ahlusunah telah meriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda, 'Ali adalah paling alim di antara kalian (aqdhâkum).' Umar bin Khaththab juga berkata, 'Ali adalah orang yang paling alim di antara kita (aqdhânâ).' Dan kosa kata qadhâ' adalah kata benda yang meliputi segala sesuatu. Karena semua yang dipuji pada diri Nabi saw., seperti keahlian membaca, pengetahuan tentang kewajiban, dan ilmu pengetahuan termasuk dalam kategori qadhâ'."
Hârûn meminta supaya Imam Mûsâ as. menjelaskan masalah itu lebih rinci lagi. Imam Mûsâ as. berkata: "Sesungguhnya Nabi saw. tidak mewariskan kepada orang yang tidak berhijrah dan tidak pula menetapkan wilâyah untuknya sehingga dia berhijrah."
"Apa dalilmu", tanya Hârûn pendek.
Imam Mûsâ as. berkata: "Firman Allah swt., 'Dan orang-orang yang beriman akan tetapi tidak berhijrah, maka tidak ada sedikit pun wilâyah bagi kalian atas mereka sehingga mereka berhijrah.' Sesungguhnya pamanku, Abbâs, tidak berhijrah."
Hârûn pun marah seraya berkata kepada Imam Mûsâ as.: "Apakah engkau telah berfatwa kepada salah seorang dari musuh kami, ataukah engkau telah memberi tahu tentang hal ini kepada salah seorang di antara para fuqaha?"
Imam Mûsâ as. menjawab: "Tidak. Belum ada seorang pun yang bertanya tentang hal ini selain engkau."
Kemarahan Hârûn pun reda. Ia melanjutkan pertanyaannya: "Mengapa engkau izinkan orang-orang khusus dan umum untuk menisbahkan kalian kepada Rasulullah saw. dan memanggil kalian, 'Wahai putra Rasulullah.' Padahal kalian adalah keturunan Ali. Nasab keturunan seseorang hanya menyambung kepada ayahnya, sementara Fathimah hanyalah sebagai wadah, dan Rasulullah adalah kakekmu dari pihak ibu kalian?"
Imam Mûsâ as. menjawab pertanyaan Hârûn ini dengan hujah yang tegas. Ia berkata: "Jika seandainya Nabi saw. dihidupkan kembali dan melamar anak perempuanmu, apakah kamu akan menerima lamaran beliau?"
Hârûn menjawab: "Maha suci Allah! Mengapa aku tidak menerimanya? Bahkan aku akan berbangga diri dengan lamaran itu terhadap bangsa Arab, 'Ajam, dan suku Quraisy."
Imam Mûsâ menjawab as.: "Akan tetapi, beliau tidak akan melamar anakku dan aku juga tidak akan menikahkan anakku dengannya."
"Mengapa tidak?", tanya Hârûn pendek.
Imam Mûsâ as. menjawab: "Karena beliau telah melahirkanku dan tidak melahirkanmu."
Hârûn: "Bagus, hai Mûsâ. Tetapi bagaimana kalian mendakwa bahwa kalian adalah keturunan Nabi saw., padahal beliau tidak memiliki keturunan? Sesungguhnya nasab keturunan itu diukur melalui jalur pihak laki-laki, bukan melalui jalur pihak perempuan. Dan kalian adalah keturunan putrinya."
Imam Mûsâ as. menjawab: "Aku mohon kepadamu-berkat hubungan kekerabatan kita-agar kamu memaafkanku (dari pertanyaan ini)."
Hârûn menjawab: "Tidak, atau kamu mengajukan hujahmu tentang masalah ini, hai putra Ali as. Dan engkau, hai Mûsâ, adalah pemimpin dan imam zaman mereka. Aku tidak akan memaafkanmu."
Imam Mûsâ as. balik bertanya: "Apakah kamu mengizinkan aku menjawab?"
"Silakan", jawab Hârûn pendek.
Imam Mûsâ as. menjawab: "Allah swt. berfirman, '... dan dari keturunannya adalah Dâwûd, Sulaimân, Ayyûb, Yûsuf, Mûsâ, dan Hârûn. Begitulah kami membalas orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan (begitu juga) Zakariâ, Yahyâ, Isa, dan Ilyâs. Semuanya termasuk orang-orang yang saleh.' Hai Amirul Mukminin, siapakah ayah Isa?"
Hârûn menjawab: "Isa tidak memiliki ayah."
Imam Mûsâ as. menjawab: "Allah memasukkannya ke dalam keturunan para nabi melalui jalur Maryam. Begitu juga Allah swt. memasukkan kami kepada keturunan Rasulullah saw. melalui ibu kami, Fathimah as."
Hârûn meminta hujah yang lebih rinci tentang masalah itu.
Maka Imam Mûsâ as. menambahkan: "Allah swt. berfirman, 'Barang siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), 'Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anakmu, istri-istri kami dan istri-istrimu, diri kami dan dirimu; kemudian marilah kita ber-mubâhalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.' Tak seorang pun yang berpendapat bahwa Nabi saw. memasukkan seseorang ke dalam Kisâ' ketika beliau ber-mubâhalah dengan kaum Nasrani, kecuali Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan, dan Husain."
Hujah Hârûn pun musnah dan Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. telah menutup seluruh celah yang dapat digunakan oleh Hârûn untuk melarikan diri.
Dengan dialog itu, kami tutup seri dialog Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. Kami telah mengumpulkan dialog-dialog Imam Mûsâ as. dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 1.
Karakter dan Jati Diri Imam Mûsâ Al-Kâzhim as.

Sesungguhnya karakter yang agung dan perilaku yang mulia adalah jati diri, ciri khas, dan bagian yang tak terpisahkan dari diri Imam Mûsâ as. Kami akan memaparkan sebagian karakter dan jati dirinya berikut ini:
1. Kehebatan Ilmu

Semua perawi hadis sepakat bahwa Imam Al-Kâzhim as. merupakan orang yang paling 'alim pada zamannya. Ilmunya tergolong kategori ilham seperti halnya ilmu para nabi dan washî. Para teolog Syi'ah telah membuktikan hal ini dengan beberapa dalil dan argumentasi. Ayahnya, Imam Ash-Shâdiq as. telah bersaksi akan kemampuan ilmu yang dimiliki oleh putranya itu. Imam Ash-Shâdiq as. pernah berkata kepada Isa: "Jika engkau bertanya kepada anakku ini tentang apa yang ada dalam mushaf ini, maka ia akan mampu menjawabnya."
Imam Ash-Shâdiq as. juga berkata: "Dia (Imam Mûsâ as.) memiliki hikmah, pemahaman, kedermawanan, dan makrifah atas segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia tentang masalah agama yang mereka perselisihkan."
Syaikh Mufid berkata: "Orang-orang telah meriwayatkan banyak sekali riwayat dari Abul Hasan Mûsâ as. Dan ia adalah orang yang paling faqih pada zamannya." Para ulama telah meriwayatkan dari Imam Mûsâ as. aneka ragam ilmu pengetahuan tekstual dan rasional sehingga ia terkenal di kalangan para perawi sebagai orang yang alim.
2. Zuhud Terhadap Dunia

Imam Mûsâ as. telah berpaling dengan sepenuh hati dari kegemerlapan dan perhiasan kehidupan. Ia hanya menfokuskan diri kepada Allah swt. dan senantiasa melakukan segala sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada-Nya. Ibrahim bin Abdul Hamid pernah bercerita tentang kezuhudan Imam Mûsâ as. Ia berkata: "Suatu hari aku masuk ke rumah Imam Mûsâ as. Pada waktu itu, ia sedang mengerjakan salat, dan tidak ada sesuatu apapun di dalam rumahnya kecuali sehelai kain kasar, pedang yang tergantung, dan mushaf."
Sungguh kehidupan Imam Mûsâ as. sangat zuhud. Rumahnya sangat sederhana, padahal ia menerima harta yang banyak dan hak-hak syar'î dari masyarakat Syi'ah. Ia menginfakkan semua harta itu untuk fakir miskin, orang-orang yang membutuhkan, dan untuk kepentingan di jalan dan keridaan Allah swt. Imam Mûsâ as. merasa kagum dengan kezuhudan sahabat Nabi, Abu Dzar. Ia pernah bercerita kepada para sahabatnya mengenai kehidupan Abu Dzar seraya berkata: "Semoga Allah memberikan rahmat kepada Abu Dzar. Ia pernah berkata, 'Allah telah mencukupkan dunia bagiku sebagai sebuah kehinaan dengan dua adonan gandum; aku makan siang dengan satu adonan dan makan malam dengan adonan yang lain, dan dengan dua helai pakaian bulu yang kasar; satu helai kukenakan dan satu helai yang lain kugunakan sebagai penutup tubuhku."
Begitulah keturunan Nabi saw. yang satu ini hidup zuhud di dunia, berpaling dari keindahan, dan kegemerlapannya. Ia telah berhasil memaksa dirinya hidup renta hanya demi mengharap pahala Allah swt.
3. Kedermawanan

Salah satu karakter Imam Mûsâ as. yang luhur adalah ia telah menjadi buah bibir masyarakat luas dalam kedermawanan. Kaum fakir dan miskin berbondang-bondang mendatanginya untuk mendapatkan kebaikan dan kemurahannya. Keluarga Imam Mûsâ berkata: "Sangat aneh sekali curahan pemberian yang telah diberikan oleh Mûsâ, sementara ia dalam kekuarangan dan kefakiran."
Imam as. sering keluar di malam yang gelap gulita untuk memberikan santunan kepada orang-orang fakir dan miskin. Santunan yang ia selalu berikan mencapai dua ratus sampai empat ratus dinar. Orang-orang fakir di Madinah menikmati kebaikan, pemberian, dan santunannya. Pada jilid 1 buku Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., kami telah sebutkan segolongan orang fakir yang telah banyak dibantu oleh Imam Mûsâ Al-Kâzhim as.
4. Memenuhi Kebutuhan Orang Lain

Salah satu karakter Imam Kâzhim as. yang lain adalah keinginan untuk memenuhi kebetuhan orang lain. Ia tidak menunda-nunda untuk membantu orang yang membutuhkan. Ia dikenal dengan sifat mulia ini. Kaum lemah selalu mendatanginya demi meminta pertolongan darinya, dan Imam Al-Kâzhim as. senantiasa memenuhi kebutuhan mereka. Di antara mereka adalah seorang penduduk kota Rei. Ia memiliki utang yang menumpuk kepada negara. Ia menanyakan tentang penguasa daerah itu. Ia diberitahu bahwa penguasa itu adalah seorang Syi'ah Ahlul Bait as. Maka penghuni Rei itu berangkat ke Madinah untuk memohon petunjuk kepada Imam Mûsâ as. Imam Mûsâ as. mengutusnya kembali untuk menjumpai penguasa daerah tersebut dengan membawa sepucuk surat. Isi surat itu adalah berikut ini:
Camkanlah bahwa di bawah 'Arsy Allah swt. terdapat sebuah naungan yang tidak akan didiami kecuali oleh orang yang berbuat baik kepada saudara seimannya, meringankan kesusahanya, atau memasukkan kebahagiaan ke dalam hatinya. Dan orang ini adalah saudaramu. Wassalaam.
Penghuni Rei itu mengambil surat tersebut dan berangkat menjumpai penguasa daerah itu dengan membawa surat dari Imam Al-Kâzhim as. itu. Ketika sampai di istana, ia mengetuk pintu. Budah penguasa daerah itu keluar seraya bertanya: "Siapa kamu?"
Penghuni Rei itu menjawab: "Aku adalah utusan Ash-Shâbir (orang yang sabar), Mûsâ."
Dengan serta-merta budak itu masuk ke dalam istana untuk memberitahukan hal itu kepada tuannya. Sang tuan keluar dengan telanjang kaki dan segeral menanyakan keadaan Imam Al-Kâzhim as. Ia menyambut penghuni Rei itu dengan hangat dan penuh penghormatan. Penghuni Rei menyerahkan surat dari Imam Al-Kâzhim as. kepadanya. Penguasa daerah itu langsung menciumnya. Setelah membaca surat itu, ia menyuruh budaknya untuk membawakan semua harta (yang telah disita negara) dan memberikannya kepada penghuni Rei itu. Untuk harta yang tidak bisa diserahkan, penguasa daerah itu menyerahkan harganya. Dengan lembut lembut, ia bertanya: "Hai saudaraku, apakah aku telah membuatmu bahagia dengan ini?"
Penghuni Rei itu menjawab: "Ya, demi Allah. Bahkan lebih dari itu."
Kemudian penguasa daerah itu meminta buku yang berisi catatan seluruh utang penghuni Rei itu. Ia memerintahkan supaya semua utang itu dihapus dan penghuni Rei itu dinyatakan bebas. Penghuni Rei itu keluar dari istana dengan penuh gembira dan kembali ke kotanya. Tak lama kemudian, ia pergi ke Madinah dan memberitahukan seluruh kebaikan penguasa daerah itu kepada Imam Al-Kâzhim as. Imam Al-Kâzhim as. pun sangat bahagia. Penghuni Rei itu bertanya kepada Imam Al-Kâzhim as.: "Wahai tuanku, apakah Anda senang mendengar ini?"
Imam Al-Kâzhim as. menjawab: "Ya, demi Allah. Sungguh ia telah membuat aku dan Amirul Mukminin bahagia. Demi Allah, ia telah membuat Rasulullah saw. bahagia. Sungguh ia juga telah membuat Allah swt. bahagia."
Imam Al-Kâzhim as. terkenal dengan karakter ini. Fatwanya yang menyatakan bahwa kafarah seorang penguasa adalah berbuat baik kepada saudara-saudaranya telah tersebar luas di antara kaum Syi'ah.
5. Ibadah dan Ketaatan kepada Allah swt.

Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. adalah orang yang paling 'abid pada zamannya sehingga ia diberi gelar Al-'Abd Ash-shâlih (hamba yang saleh) dan Zain Al-Mujtahidîn (hiasan para 'abid). Umat manusia tedak pernah terlihat orang seperti Imam Al-Kâzhim as. dalam ibadah kepada Allah swt. Menurut riwayat para perawi hadis, ketika Imam Al-Kâzhim as. berdiri di hadapan Allah swt. untuk mengerjakan salat, matanya basah dengan air mata dan hatinya berdebar serta menggigil karena takut kepada Allah swt.
Di antara manifestasi dan bukti-bukti penghambaan Imam Al-Kâzhim as. adalah ia pernah masuk ke dalam masjid Nabi saw. di permulaan awal malam. Ia lantas bersujud sekali sembari merintih seraya berkata: "Sungguh dosaku sangatlah banyak. Maka baguskanlah pengampunan dari sisi-Mu, wahai ahli ketakwaan dan ahli pengampunan." Imam Al-Kâzhim as. selalu mengulang-ulangi ucapan ini dengan khusyuk dan bersimpuh di haribaan Allah swt. hingga pagi tiba.
Imam Al-Kâzhim as. selalu mengerjakan salat sunah malam dan menyambungnya dengan salat Shubuh. Kemudian ia membaca ta'qîb (wirid) salat hingga matahari terbit. Lalu ia bersimpuh bersujud di haribaab Allah swt. dan tidak mengangkat kepalanya dari doa hingga mendekati matahari tergelincir.
Asy-Syaibânî meriwayatkan: "Setiap hari, Abul Hasan Mûsâ as. selalu melakukan sujud dari terbit matahari hingga menjelang matahari tergelincir selama sepuluh tahun. Ketika Hârûn memasukannya ke dalam penjara yang dikepalai oleh Ar-Rabî', Hârûn memperhatikan gerak-gerik Imam Al-Kâzhim as. dari atas istananya. Harun tidak melihat seorang pun dalam penjara yang tampak. Yang tampak hanyalah setumpuk baju yang tergeletak dan tidak bergerak sedikit pun. Hârûn bertanya kepada Ar-Rabî', 'Baju apa yang sering aku lihat di tempat itu?'
Ar-Rabî' pun segera menjawab: 'Ya Amirul Mukminin, itu bukanlah baju. Itu adalah Mûsâ bin Ja'far yang selalu melakukan sujud setiap hari dari terbit matahari hingga menjelang matahari tergelincir.'
Hârûn pun berkata dengan nada keheranan, 'Sungguh dia adalah rahib Bani Hasyim.'
Ar-Rabî' berpaling kepada Hârûn seraya berkata, 'Ya Amirul Mukminin, mengapa Anda mengurungnya dalam penjara?'
Hârûn menjawab, 'Celaka kamu! Sesungguhnya ini harus aku lakukan.'
Saudara perempuan As-Sindî bin Syâhik pernah memasuki penjara ketika Imam Al-Kâzhim as. berada di dalam tahanan saudaranya. Ia berkata, 'Jika dia (Imam Al-Kâzhim as.) mengerjakan salat Isya', ia bertahmid, memuji, dan berdoa kepada Allah swt. hingga pertengahan malam sirna. Kemudian ia berdiri dan mengerjakan salat hingga waktu salat Shubuh tiba, dan ia pun mengerjakan salat Shubuh. Setelah itu ia berzikir kepada Allah swt. hingga matahari terbit. Kemudian ia duduk dan lalu bersujud hingga menjelang matahari tergelincir. Setelah itu, ia berwudu dan mengerjakan salat hingga mengerjakan salat Ashar. Lalu ia berzikir hingga salat Maghrib. Setelah itu, ia mengerjakan salat sunah antara salat Maghrib dan Isya'. Begitulah kebiasaanya hingga ia wafat.'"
Karena banyaknya bersujud, seluruh anggota sujud Imam Al-Kâzhim as. mengeras seperti kulit lutut unta. Ia memiliki seorang budak yang selalu memotong kulit keras bekas sujud di dahi dan ujung hidungnya. Tentang hal ini seorang penyair berkata:
Kulitnya mengeras karena sujud panjang, yang telah melukai dahi kepalanya.
Dia melihat kesempatan di penjara, sebagai sebuah nikmat yang layak disyukuri.
Inilah sebagian manifestasi ibadah Imam Al-Kâzhim as. yang menghikayatkan ibadah nenek moyangnya yang yang telah menyerahkan seluruh hidup mereka kepada Allah swt. dengan tulus. Tentang ibadah Imam Al-Kâzhim as. ini, kami telah memaparkannya dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as.
6. Kesabaran dan Menahan Amarah

Di antara karakter dan jati diri Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. yang paling menonjol adalah kesabaran dan mengekang amarah. Ia selalu memaafkan orang yang berbuat jahat kepadanya dan lapang dada terhadap orang yang menyakitinya. Bahkan ia selalu berbuat baik kepada orang yang berbuat tidak baik kepada dirinya. Reaksi semacam ini membuat sifat egoisme dan keburukan seseorang menjadi hilang.
Para ahli sejarah banyak menceritakan manifestasi kemurahan hati Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. Menurut sebuah riwayat, seseorang dari keturunan Umar bin Khaththab pernah berbuat buruk terhadap Imam Al-Kâzhim as. dan mencaci-maki nenek moyangnya. Sebagian sahabat geram dan hendak memberi pelajaran kepada orang tersebut. Imam Al-Kâzhim as. melarang sahabat itu untuk melakukan hal itu, karena ia ingin menyelesaikanya dengan jalan yang lain.
Imam Al-Kâzhim as. menanyakan tempat tinggal orang itu. Sahabat yang ditanya menjawab bahwa ia tinggal di sebuah sawah di sekitar kota Madinah. Imam Al-Kâzhim as. langsung menunggangi keledainya dan pergi menemuinya dengan menyamar. Imam Al-Kâzhim menemukan keturunan Umar itu. Ketika Imam Al-Kâzhim tiba di sisinya, orang itu mengenali Imam Al-Kâzhim. Orang itu langsung marah karena melihat tunggangan keledai Imam Al-Kâzhim as. telah merusak tanamannya. Imam Al-Kâzhim as. menghadapinya dengan lemah lembut seraya bertanya: "Berapakah ganti rugi yang kamu inginkan untuk kebun ini?"
"Seratus dinar", jawabnya pendek.
Imam Al-Kâzhim as. kembali bertanya: "Berapakah keuntungan yang dapat kamu peroleh dari hasil sawah ini?"
"Aku tidak mengetahui ilmu gaib", jawab orang itu pendek.
Imam Al-Kâzhim as. bertanya lagi: "Yang kumaksud, berapakah keuntungan yang kamu harapkan dari hasil sawah ini?"
Ia menjawab: "Aku berharap keuntungan sebanyak dua ratus dinar."
Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. memberikan tiga ratus dinar kepadanya seraya berkata: "Ini untukmu, tanamanmu juga tetap menjadi milikmu."
Keturunan Khalifah Umar itu merasa malu atas kekurangajaran yang telah diperbuatnya terhadap Imam Al-Kâzhim as. Ia pun bergegas pergi ke masjid Nabawi. Ketika Imam Al-Kâzhim as. menyambutnya, orang itu pun berdiri dan menghampiri Imam Al-Kâzhim as. seraya berkata dengan suara yang keras: "Allah adalah lebih tahu di mana Dia harus meletakkan risalah-Nya."
Para sahabat orang itu berdatangan menghampirinya seraya menanyakan tentang perubahan menakjubkan itu. Ia menjawab dengan menjelaskan kemurahan Imam Al-Kâzhim as. Imam Al-Kâzhim as. menoleh kepada para sahabat seraya mengajukan pertanyaan: "Manakah yang lebih baik, cara yang kalian inginkan itu ataukah cara yang kugunakan untuk memperbaiki sikapya itu?"
Salah satu manifestasi kesabaran Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. yang lain adalah kisah berikut ini:
Imam Kâzhim as. melewati sekelompok musuhnya. Di antara mereka terdapat Ibn Hayyâj. Ibn Hayyâj mengisyaratkan kepada salah seorang temannya untuk memegang kendali keledai Imam Al-Kâzhim as. Ibn Hayyâj mengklaim bahwa keledai itu miliknya. Temannya itu segera memegang tali kendali keledai Imam Al-Kâzhim as. seraya mengklaim bahwa keledai itu adalah milik Ibn Hayyâj. Imam Al-Kâzhim as. pun segera turun dan memberikan keledai itu kepadanya.
Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. selalu berwasiat kepada putra putrinya agar selalu bersabar dan bermurah hati. Ia berkata kepada mereka: "Hai anak-anakku, aku nasihati kalian dengan sebuah nasihat. Barang siapa yang menjaganya, maka ia akan memperoleh manfaat darinya. Jika seseorang datang kepada kalian dan mengucapkan kata-kata yang buruk di telinga kanan kalian, lalu pindah ke telinga yang kiri, kemudian ia meminta maaf kepada kalian seraya berkata, 'Aku tidak pernah mengatakan apa-apa', maka terimalah permohonan maafnya."
Nasihat ini menandakan betapa besar kesabaran Imam Mûsâ Al-Kâzhim as., dan menunjukkan keluasan akhlak dan ketinggian jati dirinya.
7. Kemuliaan Akhlak

Islam datang dengan membawa kemuliaan akhlak dan menganggap akhlak sebagai kaidah fundamental dalam risalah mulianya. Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak." Akhlak Rasulullah saw. adalah jelmaan dari kemuliaan manusiawi tertinggi. Setalahnya, para imam maksum as. mengikuti jejak beliau dalam membina akhlak yang mulia dan amal yang baik. Semua itu dapat dibuktikan dengan melihat perbuatan dan seluruh nasihat dan bimbingan yang telah mereka berikan kepada para sahabat mereka.
Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. sangat memperhatikan masalah ini. Ia selalu berwasiat kepada para sahabatnya untuk menghiasi diri mereka dengan akhlak yang mulia supaya perilaku dan tindakan mereka menjadi suri teladan yang saleh bagi masyarakat. Berikut ini kami paparkan sebagian manifestasi kemuliaan akhlak yang pernah diriwayatkan tentang imam yang satu ini:

a. Kedermawanan dan Keluhuran Perilaku

Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. selalu menekankan kepada para sahabatnya untuk selalu dermawan dan berperilaku yang luhur. Ia berkata: "Orang yang dermawan dan berakhlak yang mulia berada di bawah pengawasan Allah. Dia tidak akan membiarkanya sehingga Dia akan memasukannya ke dalam surga. Allah tidak mengutus seorang nabi, kecuali ia adalah seorang yang dermawan. Ayahku selalu mewasiatkan kepadaku untuk selalu dermawan dan berperilaku yang luhur sampai ia wafat."

b. Ketabahan

Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. juga selalu berwasiat kepada para sahabatnya untuk selalu tabah, walaupun bencana atau kesulitan menimpa mereka. Karena kegelisahan dan tindakan mengeluh dapat menghilangkan pahala yang telah Allah swt. janjikan kepada orang yang sabar.
Imam Al-Kâzhim as. berkata: "Satu musibah itu tidak dapat mendatangkan pahala bagi seseorang, kecuali bila ia menghadapinya dengan tabah dan mengembalikan semua itu kepada Allah swt."
Dan ia juga berpesan: "Sesungguhnya kesabaran atas bencana lebih baik daripada kesehatan ketika senang."

c. Diam

Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. senantiasa mewasiatkan kepada sahabatnya untuk lebih banyak diam dan menjelaskan kepada mereka manfaat diam. Ia pernah berkata: "Sesungguhnya diam adalah satu pintu dari sekian pintu hikmah. Sesungguhnya diam dapat menimbulkan rasa cinta, dan diam adalah bukti untuk semua kebaikan."

d. Memberikan Maaf dan Mendamaikan Orang Lain

Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. selalu menganjurkan para sahabatnya untuk selalu memaafkan dan berbuat baik pada orang yang berlaku buruk terhadap mereka, sebagaimana ia juga menganjurkan kepada mereka untuk mendamaikan orang lain. Ia juga menjelaskan akibat orang-orang berbuat baik dan beramal saleh serta pahala yang besar di sisi Allah swt. Ia pernah berkata: "Seorang penyeru akan berseru pada hari kiamat akan berseru, 'Barang siapa yang memiliki pahala di sisi Allah swt., hendaknya ia berdiri.' Tak seorang pun yang berani berdiri kecuali orang yang suka memaafkan dan yang suka mendamaikan antara manusia."

e. Berucap yang Baik

Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. juga selalu berwasiat kepada para sahabatnya untuk berkata dan berperilaku baik kepada manusia. Ia pernah berkata kepada Fadhl bin Yunus: "Berperilakulah yang baik dan berkatalah yang baik. Janganlah kamu memiliki sikap imma'ah!"
Fadhl bertanya: "Apakah imma'ah itu?"
Imam Al-Kâzhim as. menjawab: "Janganlah kamu selalu berkata, 'Aku selalu mengikuti orang lain dan aku seperti salah seorang dari mereka.' Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah bersabda, 'Wahai manusia, sesungguhnya di sini ada dua jalan: jalan kebaikan dan jalan keburukan. Jangan sampai jalan keburukan itu lebih kalian sukai daripada jalan kebaikan.'"

f. Mensyukuri Nikmat

Salah satu wasiat Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. kepada para sahabatnya adalah agar mereka selalu menampakkan dan mensyukuri nikmat Allah swt. Ia berkata: "Menyebut-nyebut (tahadduts) nikmat Allah swt. adalah sebuah cara bersyukur, dan meninggalkannya adalah kekufuran. Maka ikatlah nikmat Tuhan kalian itu dengan syukur, bersihkanlah harta kalian dengan zakat, dan tolaklah bencana itu dengan doa. Sesungguhnya doa adalah benteng yang dapat menghalau bencana, meskipun bencana itu sungguh-sungguh telah ditetapkan …."
Mutiara Hikmah

Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. memiliki banyak mutiara hikmah. Dalam sebagian mutiara hikmah itu, ia memaparkan ajaran akhlak dan cara bermasyarakat (yang ideal). Berikut ini kami sebutkan beberapa mutiara hikmah tersebut:
1. Imam Al-Kâzhim as. berkata: "Pertolonganmu terhadap orang yang lemah adalah sedekah yang paling utama."
2. Imam Al-Kâzhim as. berkata: "Seorang mukmin adalah lebih kokoh daripada gunung. Gunung bisa dihancurkan dengan cangkul, tetapi agama seorang mukmin tidak akan hancur dengan apapun."
3. Imam Al-Kâzhim as. pernah berkata kepada Muhammad bin Al-Fadhl: "Hai Muhammmad, bohongkanlah pendengaran dan penglihatanmu tentang saudaramu. Seandainya lima puluh sumpah memberikan kesaksian kapadamu, sedangkan saudaramu itu mengucapkan satu ucapan kepadamu, maka percayalailah dia dan jangan kamu percayai seluruh sumpah itu. Dan janganlah kamu sebarkan sesuatu yang menjadi aib baginya."
4. Imam Al-Kâzhim as. berkata: "Sebaik-baik ibadah setelah makrifah adalah intizhâr al-faraj (menunggu kemunculan Imam Mahdî as.)."
5. Imam Al-Kâzhim as. berkata: "Seorang mukmin seperti dua sisi timbangan. Semakin bertambah imannya, maka semakin banyak juga cobaannya."
6. Imam Al-Kâzhim as. berkata: "Menyampaikan amanat dan jujur dapat mendatangkan rezeki. Tetapi khianat dan bohong dapat mendatangkan kefakiran dan kemunafikan."
7. Imam Al-Kâzhim as. berkata: "Setiap kali seseorang berbuat dosa yang belum pernah ia lakukan, maka Allah swt. akan menimpakan kepadanya bencana yang belum pernah ia perkirakan."
Di Dalam Penjara Hârûn

Keutamaan, ilmu, dan kemuliaan akhlak Imam Mûsâ as. telah tersebar dan menjadi bahan pembicaraan masyarakat. Realita ini menjadi beban berat bagi Hârûn sebagai sosol yang paling dengki terhadap keturunan Ali as. Hârûn merasa resah dengan keberadaan seorang imam di antara keturunan Ali as. seperti Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. yang kaum muslimin sepakat untuk mengagungkan dan mengakui keutamaanya. Ketika Hârûn berada di Madinah, ia pergi ke kuburan Nabi saw. Ia menyampaikan salam seraya berkata: "Demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah, aku minta maaf kepadamu lantaran perkara yang telah kuniatkan. Sesungguhnya aku berniat menangkap Mûsâ bin Ja'far dan memenjarakannya, karena aku takut ia akan menyulut peperangan di antara umatmu yang dapat menumpahkan darah mereka."
Hârûn mengutus bala tentaranya untuk menangkap Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. Ketika mereka sampai, Imam Al-Kâzhim as. sedang mengerjakan salat di samping makam kakeknya, Rasulullah saw. Mereka memotong salatnya. Ia mengadukan perbuatan mereka itu kepada Rasulullah saw. sembari berkata: "Aku hanya mengadu kepadamu, ya Rasulullah ...."
Mereka membawa Imam Al-Kâzhim as. ke hadapan Hârûn dalam keadaan terbelenggu. Ketika Imam Al-Kâzhim as. berada di depannya, Hârûn bertindak zalim dan berbicara kasar kepadanya. Hârûn menangkap dan memenjarakan Imam Al-Kâzhim as. pada tanggal 20 Syawal 179 H.
Di Penjara Bashrah

Sang tagut, Hârûn, mengeluarkan perintah agar Imam Al-Kâzhim as. dibawa ke Bashrah. Ia menyuruh Isa bin Abi Ja'far, gubernurnya atas Bashrah, untuk memenjarakan Imam Al-Kâzhim as. di salah satu rumah tahanan. Isa mengunci seluruh pintu penjara dan tidak membukanya kecuali untuk dua hal: pertama, ketika Imam Al-Kâzhim as. ingin bersuci, dan kedua, ketika ingin mengantarkan makanan kepada Imam Al-Kâzhim as.
Terfokus untuk Beribadah

Imam Mûsâ as. selalu beribadah kepada Allah swt. Ia selalu berpuasa di siang hari dan salat pada malam hari. Ia tidak mengeluh karena dipenjarakan. Ia menganggap kesempatan untuk beribadah ini sebagai sebuah nikmat dari Allah swt. Imam as. selalu bersyukur atas ini dan berkata: "Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku selalu memohon untuk memberikan kepadaku kesempatan untuk beribadah. Ya Allah, sungguh Engkau telah lakukan itu. Maka segala puji hanya untuk-Mu …."
Perintah kepada Isa untuk Membunuh Imam Al-Kâzhim as.

Sang tiran, Hârûn, memerintahkan Isa, gubernur Bashrah, untuk membunuh Imam Al-Kâzhim as. Tetapi Isa merasa keberatan untuk melakukan hal itu. Akhirnya ia meminta pendapat para penasihatnya. Mereka menyarankan agar tidak melakukan perbuatan jahat tersebut. Isa menerima pendapat itu, dan menulis sepucuk surat kepada Hârûn. Di dalam surat itu, Isa memohon supaya dimaafkan dari keputusan membunuh itu. Isi surat itu adalah sebagai berikut:
Telah lama Mûsâ bin Ja'far berada dalam penjaraku. Aku telah mengawasi seluruh gerak-geriknya dengan mengutus mata-mata selama tempo ini. Aku tidak mendapati ia merasa lelah dari beribadah. Aku juga menyuruh seseorang untuk mendengarkan seluruh doa yang selalu dibacanya. Dia tidak pernah berdoa keburukan sama sekali atasmu dan juga tidak atasku. Tidak pernah juga ia menyebut-nyebut keburukan kita. Dia hanya mendoakan ampunan dan rahmat untuk dirinya. Jika memang engkau ingin melakukan hal itu, aku serahkan urusan ini kepada orang lain. Dan jika tidak, bebaskanlah dia. Karena aku merasa berat memenjarakannya.
Penawanan Imam Al-Kâzhim as. di Rumah Fadhl

Hârûn Ar-Rasyîd mengabulkan permohonan Isa. Ia memerintahkan agar Imam Al-Kâzhim as. dibawa ke Baghdad dan diserahkan kepada Fadhl bin Rabî'. Setelah menerima Imam Al-Kâzhim as., Fadhl menahannya di rumahnya. Imam Al-Kâzhim as. hanya menyibukkan diri dengan ibadah; berpuasa di siang hari dan salat di malam hari. Fadhl sangat kagum dengan ibadah Imam Al-Kâzhim as. Fadhl berbicara kepada sebagian sahabatnya betapa agungnya ketaatan Imam Al-Kâzhim as. kepada Allah swt.
Abdullah Al-Qazwînî, salah seorang pengikut Syi'ah, meriwayatkan berkata: "Aku pernah menjumpai Fadhl bin Rabî'. Ketika itu ia sedang duduk di halaman rumahnya. Ia berkata kepadaku: 'Mendekatlah kemari.'
Aku pun mendekat hingga berdiri sejajar dengannya. Ia berkata: 'Tengoklah ke dalam rumah.'
Aku pun menengok ke dalam rumah. Setelah itu Fadhl bertanya: 'Apa yang kau lihat di dalam rumah itu?'
'Aku hanya melihat pakaian terhampar', jawabku.
'Lihatlah baik-baik', pinta Fadhl lagi
'Aku melihat seseorang sedang sujud', jawabku.
'Apakah engkau mengenalnya?', tanya Fadhl.
'Tidak', jawabku pendek.
'Ia adalah pemimpinmu', sela Fadhl.
'Siapa pemimpinku', tanyaku keheranan.
'Engkau berpura-pura tidak tahu di depanku', sergah Fadhl.
'Aku tidak berpura-pura. Aku tidak merasa memiliki seorang pemimpin', jawabku.
'Ia adalah Abul Hasan Mûsâ bin Ja'far', tegas Fadhl."
Fadhl mulai bercerita kepada Abdullah tentang ibadah Imam Al-Kâzhim as. Ia berkata: "Aku senantiasa mengawasinya siang dan malam. Aku tidak mendapatinya pada setiap waktu dan kesempatan melainkan ia berada dalam keadaan yang telah kukabarkan kepadamu. Ia melakukan salat Shubuh. Seusai salat, ia membaca berbagai zikir sampai matahari terbit. Kemudian ia sujud sangat panjang hingga matahari tergelincir. Ia meminta kepada seorang pembantunya agar melihat kapan matahari tergelincir. Aku tidak tahu kapan pembantu itu memberitahukan kepadanya bahwa matahari telah tergelincir. Karena ia segera bangkit untuk melakukan salat lagi tanpa memperbaharui wudu ... Ketika itu aku tahu bahwa ia tidak tidur ketika melakukan sujud panjang. Ia juga tidak mengantuk dan ia senantiasa berada dalam kondisi seperti itu hingga usai mengerjakan salat Ashar. Setelah mengerjakan salat Ashar, ia sujud panjang hingga matahari terbenam. Apabila matahari telah terbenam, ia bangkit dari sujudnya untuk mengerjakan salat Maghrib tanpa memperbaharui wudu. Ia senantiasa mengerjakan salat dan berzikir hingga salat Isya'. Setelah usai mengerjakan salat Isya', ia berbuka puasa dengan makanan yang telah disediakan untuknya. Setelah itu, ia memperbaharui wudu, kemudian ia sujud kembali. Setelah itu ia bangkit dari sujud dan tidur sejenak. Kemudian ia bangun lagi untuk memperbaharui wudu dan mengerjakan salat hingga fajar terbit. Kemudian mengerjakan salat Shubuh. Dan begitulah kebiasaannya semenjak ia diserahkan kepadaku."
Tatkala Abdullah melihat bahwa Fadhl betul-betul mengagungkan Imam Al-Kâzhim as., ia memperingatkannya agar jangan sampai menyakitinya sedikit pun. Abdullah berkata kepadanya: "Takutlah kepada Allah. Jangan sampai engkau ceritakan hal ini kepada siapa pun. Karena hal itu akan menyebabkan kemusnahan seluruh nikmatmu. Engkau sendiri tahu bahwa jika seseorang berbuat buruk kepada orang lain, pasti nikmatnya akan hilang."
Fadhl menimpali: "Mereka telah mengirimkan utusan kepadaku berkali-kali dan menyuruhku untuk membunuhnya. Tetapi aku tidak melaksanakan perintah itu. Aku tegaskan kepada mereka bahwa aku tidak akan melakukan hal itu. Sekalipun mereka membunuhnku, niscaya aku tidak akan mengabulkan apa yang mereka inginkan dariku itu."
Kejenuhan Imam Al-Kâzhim as.

Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. merasa jenuh dan lelah karena telah terlalu lama diam di penjara Hârûn. Akhirnya ia mohon kepada Allah swt. agar dibebaskan dari penjara Hârûn. Pada suatu malam yang gulita, ia mengerjakan salat empat rakaat dan berdoa kepada Allah: "Wahai Junjunganku, bebaskanlah aku dari penjara Hârûn. Bebaskanlah aku dari cengkeramannya. Wahai Dzat yang memisahkan pohon di antara pasir dan tanah, wahai Dzat yang memisahkan api di antara besi dan batu, wahai Dzat yang memisahkan susu di antara kotoran dan darah, wahai Dzat yang memisahkan anak di antara kandungan dan rahim, wahai Dzat yang memisahkan ruh di antara isi perut dan usus, bebaskanlah aku dari cengkeraman Hârûn …."
Allah swt. mengabulkan doa wali-Nya itu dan membebaskannya dari penjara sang tiran, Hârûn. Hârûn membebaskan Imam Al-Kâzhim as. karena mimpi yang pernah ia lihat dalam tidurnya. Kisah mimpi ini telah kami paparkan dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as.
Penawanan Imam Al-Kâzhim as. di dalam Penjara Fadhl bin Yahyâ

Tidak lama setelah Imam Al-Kâzhim as. keluar dari penjara itu, Hârûn menangkapnya kembali dan memenjarakannya di penjara Fadhl bin Yahyâ. Fadhl bin Yahyâ melayani dan memperlakukan kepada Imam Al-Kâzhim as. dengan baik dan penuh penghormata, suatu perlakuan yang tidak pernah ia alami di penjara-penjara lainnya. Seorang pengkhianat yang mengetahui perlakukan Fadhl terhadap Imam Al-Kâzhim as. segera melaporkan kepada Hârûn. Hârûn naik pitam dan menyuruh beberapa orang algojo agar mencambuk Fadhl sebanyak seratus kali. Mereka segera melaksanakan perintah itu. Hârûn memanggil para menteri, komandan pasukan, dan para pemuka masyarakat untuk hadir ke istana. Ia berkata dengan geram: "Hai manusia, sesungguhnya Fadhl bin Yahyâ telah berkhianat kepadaku dan menentang perintahku. Aku akan mengutuknya, maka kutuklah dia."
Suara gemuruh terdengar di ruang istana mengutuk dan mencerca Fadhl. Yahyâ bin Khâlid yang turut hadir di pertemuan itu segera mendekati Hârûn seraya berbisik kepadanya: "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Fadhl masih seumur jagung. Aku akan memenuhi apa yang Anda inginkan."
Mendengar ucapan Yahyâ itu, Hârûn merasa terhibur dan murkanya segera sirna. Ia menampakkan kerelaannya kepada Fadhl seraya berkata: "Fadhl memang telah menentang perintahku, dan aku telah melaknatnya. Sekarang ia telah bertobat dan kembali menaatiku. Maka kalian cintailah dia."
Suara gemuruh kembali terdengar dari setiap sudut ruang pertemuan itu mendeklarasikan ketaatan dan pengokohan terhadap politik yang kontradiksi ini. Mereka berkata: "Wahai Amirul Mukminin, kami mencintai orang yang Anda cintai dan memusuhi orang yang Anda musuhi. Dan kini kami mencintai Fadhl."
Di Penjara As-Sindî

Hârûn Ar-Rasyîd mengeluarkan perintah agar Imam Al-Kâzhim as. dipindahkan dari penjara Fadhl bin Yahyâ ke penjara As-Sindî bin Syâhik. As-Sindî adalah seorang majusi, algojo yang keji, dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhirat. Ia memperlakukan Imam Al-Kâzhim as. dengan betul-betul keji. Pada akhirnya, ia meracun Imam Al-Kâzhim as. Racun itu merembet ke seluruh tubuh Imam Al-Kâzhim as. dengan cepat sehingga ia betul-betul merasakan sakit yang luar biasa. Akhirnya Imam Al-Kâzhim as. menjumpai Allah swt. Dunia pun menjadi gelap dengan kepergiannya. Sementara akhirat bersinar dengan kedatangannya. Berbagai macam penyiksaan dan duka telah ditimpakan kepada Imam Al-Kâzhim as. oleh Hârûn Ar-Rasyîd, tiran masa itu, yang hatinya telah dipenuhi dengan kedengkian dan permusuhan terhadap keluarga Rasulullah saw. Semua itu dihadapi oleh Imam Al-Kâzhim as. dengan ikhlas karena Allah swt.
Bala tentara Hârûn segera melakukan penelitian untuk mencari faktor kematian Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. Hal ini mereka lakukan untuk membebaskan Hârûn dari segala tuduhan. 'Amr bin Wâqid bercerita: "Pada suatu malam, As-Sindî bin Syâhik mengutus seseorang kepadaku. Ketika itu aku berada di Baghdad. Aku merasa khawatir ia hendak berbuat jahat terhadapku. Kemudian aku meminta isteriku agar menyiapkan seluruh bekal yang kuperlukan. Aku berseru, 'Innâ lillâh wa innâ ilahi râji'ûn.' Lalu aku menaiki kudaku untuk menemui As-Sindî. Ketika ia melihatku sedang datang, dia berkata kepadaku, 'Hai Abu Hafsh, nampaknya engkau merasa khawatir?'
'Ya', jawabku pendek.
'Tidak ada apa-apa. Urusan baik', jawab As-Sindî menghibur.
'Utuslah seseorang kepada keluargaku untuk memberitahukan kepada mereka bahwa aku tidak apa-apa', pintaku.
'Baiklah', jawab As-Sindî singkat.
Setelah aku merasa lega dan tenang hati, As-Sindî berkata kepadaku: 'Hai Abu Hafsh, tahukah engkau, mengapa aku mengutus seseorang memanggilmu?'
'Tidak tahu', jawabku singkat.
'Apakah kamu kenal Mûsâ bin Ja'far?', tanyanya lagi.
'Aku kenal dia. Aku bersahabat dengannya sejak bertahun-tahun', jawabku.
'Apakah di Baghdad ada orang yang kamu kenal dan dapat dipercayai ucapannya bahwa ia mengenal Mûsâ bin Ja'far?', tanyanya lagi.
'Ya, ada', jawabku pendek.
Lalu aku menyebutkan beberapa orang yang mengenal Imam Al-Kâzhim as. Mereka semua dipanggil. Ketika mereka telah berkumpul, As-Sindî berkata kepada mereka, 'Apakah kalian mengenal orang yang mengenal Mûsâ bin Ja'far?'
Mereka pun menyebutkan beberapa orang yang mengenal Imam Al-Kâzhim as. Mereka pun diminta datang pada malam itu juga. Ketika fajar mulai nampak, orang-orang yang mengenal Imam Al-Kâzhim as. dan dihadirkan sebagai saksi telah berkumpul sejumlah lebih dari 50 orang. As-Sindî menyuruh sekretarisnya agar menulis nama, karakter, alamat rumah, dan pekerjaan mereka. Setelah itu, ia keluar bersama orang-orang trersebut.
As-Sindî berkata kepadaku, 'Hai Abu Hafsh, bangkitlah dan bukalah kain yang menutupi wajah Mûsâ bin Ja'far itu.' Aku pun berdiri dan membuka kain yang menutupi wajah Imam Al-Kâzhim as. Ternyata ia telah meninggal dunia. As-Sindî menoleh kepada orang-orang yang hadir dan berkata kepada mereka, 'Lihatlah dia.'
As-Sindî menyuruh mereka untuk melihat jenazah Imam Al-Kâzhim as. lebih dekat. Lalu ia berkata kepada mereka, 'Apakah kalian bersaksi bahwa jenazah ini adalah Mûsâ bin Ja'far?'
'Ya', jawab mereka.
Kemudian As-Sindî menyuruh pembantunya agar membuka baju Imam Al-Kâzhim as. Pembantu itu segera melaksanakan perintahnya. As-Sindî berkata kepada mereka, 'Apakah kalian melihat bekas-bekas di tubuhnya yang aneh?'
'Tidak', jawab mereka pendek.
Kemudain As-Sindî mencatat kesaksian mereka dan mereka pun segera bubar. Setelah itu, As-Sindî memanggil para fuqaha, para pembesar, dan pemuka masyarakat. Ia meminta kesaksian mereka untuk tujuan membebaskan Hârûn dari berbagai tuduhan dan menghilangkan keraguan atas kematian Imam Al-Kâzhim as.
Jenazah Imam Al-Kâzhim as. Dicampakkan di Atas Jembatan

Setelah ritual persaksian itu usai, As-Sindî meletakkan jenazah Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. yang mulia di atas jembatan Rashâfah sehingga orang-orang yang berlalu-lalang di situ, baik yang berasal dari daerah dekat maupun jauh, menyaksikan jenazah itu. Wajah Imam Al-Kâzhim as. yang mulia tidak ditutupi sehelai kain pun. Tujuan penguasa zalim dengan itu semua adalah untuk mempermalukan dan merusak kehormatan Imam Al-Kâzhim as., menghinakan Syi'ah, dan merendahkan kehormatan mereka.
Tapi usaha Hârûn Ar-Rasyîd pasti gagal. Ia adalah imam yang dikenang masa dan makamnya adalah makam yang terindah dari sekian makam para wali Allah yang saleh. Makam ini senantiasa diliputi curahan rahmat Ilahi. Kaum muslimin tak henti-henti menziarahinya.
Kini, lihatlah Hârûn. Ia tidak memiliki bekas sedikit pun untuk diingat dan juga tidak mempunyai kuburan untuk diziarahi. Ia dikuburkan bersama keluarganya di dalam kegelapan abadi. Kelak Allah swt. akan mengadakan perhitungan atas segala kezaliman dan kedurjanaannya dengan perhitungan yang sangat sulit.
Penguasa tiran ini tidak cukup memperlakukan Imam Al-Kâzhim as. sampai di situ. Ia semakin jauh dalam jurang kesesatan dan kejahatan. Ia menyuruh budak-budaknya agar menggiring jenazah Imam Al-Kâzhim as. di jalan-jalan raya Baghdad sambil berteriak: "Inilah Mûsâ bin Ja'far yangdiakui oleh para pengikutnya tidak akan mati. Lihatlah, kini ia telah menjadi mayat." Di samping itu, mereka juga meneriakkan yel-yel yang sangat keji. Sebagai ganti dari slogan "Imam Mûsâ as. adalah orang baik putra orang baik", mereka malah mengatakan sebaliknya. Sulaiman bin Abu Ja'far Al-Manshûr segera bangkit untuk mengurus jenazah Imam Al-Kâzhim as. Para pembantunya segera merampas jenazah Imam Al-Kâzhim as. dari tangan bala tentara Hârûn seraya berteriak dengan suara lantang: "Barang siapa yang ingin menghadiri tasyyî' jenazah orang baik putra orang baik, Mûsâ bin Ja'far ini, maka segera hadilah."
Mendengar seruan itu, masyarakat dari berbagai tingkatan keluar untuk mengiringi jenazah Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. sehingga kota Baghdad tidak pernah menyaksikan acara tasyyî' jenazah seagung itu. Jalan-jalan raya dipenuhi dengan arak-arakan yang mengulang-ulang ungkapan kesedihan dan duka nestapa yang mendalam atas syahadah imam yang agung ini. Sulaiman bin Abu Ja'far berada di bagian depan barisan bersama seluruh aparat yang berkuasa.
Jenazah Imam Al-Kâzhim as. dibawa ke pemakaman Quraisy. Di sana mereka menggali kuburan untuk Imam Al-Kâzhim as. Sulaiman menurunkan jenazahnya di tempat persinggahannya yang terakhir. Kemudian Sulaiman menguburnya bersama seluruh karakteristik terpuji, kelembutan, ilmu pengetahuan, kemuliaan, dan teladan yang luhur.
Salam sejatera untuknya ketika ia dilahirkan, ketika ia meneguk cawan syahadah, dan ketika ia dibangkitkan hidup kembali.
Catatan Kaki:

Al-Fiqh Al-Islami, Madkhal li Dirâsah Nizhâm Al-Mu'âmalah, hal. 160.
Nuzhah An-Nâzhir fî Tanbîh Al-Khâthir, hal. 45.
Al-Manâqib, jilid 3, hal. 429.
QS. Al-Anfâl [8]:72.
QS. Al-An'âm [6]:85-85.
QS. Ali 'Imrân [3]:61.
Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 1, hal. 261-265.
Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 1, hal. 138.
Al-Irsyâd, hal. 272.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 11, hal. 265.
UshûlAl-Kâfî, jilid 2, hal. 134.
'Umdah Ath-Thâlib, hal. 185.
Târîkh Baghdad, jilid 13, hal. 28; Kanz Al-Lughah, hal. 766.
Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 1, hal 161-162.
Wafayât Al-A'yân, jilid 4, hal. 93; Kanz Al-Lughah : 766
Târîkh Abil Fidâ', jilid 2, hal. 12
Al-Anwâr Al-Bahiyyah, hal. 93.
Târîkh Baghdad, jilid 13, hal. 28-29; Kasyf Al-Ghummah, hal. 247.
Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 1, hal. 157.
Al-Fushûl Al-Muhimmah, hal. 22.
Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 1, hal. 275-259.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 17, 196.
Al-Manâqib, jilid 2, hal. 395.
Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 2, hal. 465.
Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 2, hal. 466.
Al-Manâqib, jilid 2, hal. 279.
Kasyf Al-Gummah fî Ma'rifah Al-A'immah, jilid 3, hal. 25.
'Uyûn Akhbâr Ar-Ridhâ, jilid 1, hal. 98-99.
Al-Manâqib, jilid 2, hal. 370.
Maqâtil At-Thâlibiyyîn, hal. 503-504.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 11, hal. 30.
Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 2, hal. 522.

IMAM ALI AR-RIDHA

Imam Ar-Ridhâ as. adalah secercah nur Ilahi dan sebersit rahmat Allah (yang maha luas). Ia adalah imam kedelapan dari para imam maksum as. yang telah dibersihkan oleh Allah swt. dari segala jenis kekotoran dan menyucikan mereka sesuci-sucinya.
Khalifah Ma'mûn pernah bertanya kepada Abdullah bin Mathar, salah seorang tokoh pemikiran dan sastra kala itu, tentang mereka sembari berkata: "Apa pendapatmu tentang Ahlul Bait?"
Abdullah menjawab dengan ungkapan: "Apa yang dapat kukatakan tentang sebuah keluarga yang telah dicetak dengan air risalah dan disirami dengan mata air wahyu! Apakah terhembus dari tubuh mereka selain minyak misik petunjuk dan wanginya ketakwaan?"
Ucapan ini dapat mempengaruhi naluri dan hati kecil Ma'mûn, sedangkan Imam Ar-Ridhâ as. sedang berada di situ pada waktu itu. Akhirnya, Ma'mûn memerintahkan supaya mulut Abdullah dihiasai dengan mutiara.
Sesungguhnya seluruh nilai yang agung dan karakter yang tinggi telah terjelmakan dalam diri imam yang agung ini. Ia adalah salah satu kekayaan agama Islam dalam setiap tingkah laku, kerendahan hati, dan ketidakpeduliannya terhadap kegermelapan dunia, kecuali yang berhubungan dengan masalah kebenaran dan hak.
Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sebagian sisi sejarah hidup Imam Ar-Ridhâ as. secara ringkas.
Pertumbuhan

Imam Ar-Ridhâ as. tumbuh berkembang di dalam sebuah rumah Islam yang paling mulia. Rumah ini adalah pusat turunnya wahyu; sebuah rumah yang Allah mengizinkan nama-Nya disebut di dalamnya. Rumah itu adalah rumah Imam Mûsâ bin Ja'far as., sosok figur yang memiliki keserupaan dengan Isa bin Maryam as. dalam ketakwaan dan wara'. Dengan demikian, rumah ini adalah salah satu pusat ibadah dan ketaatan kepada Allah swt., sebagaimana rumah ini juga adalah sebuah tempat penyebaran ilmu pengetahuan di tengah-tengah masyarakat. Di dalam rumah ini juga, ribuan ulama, fuqaha, dan sastrawan berhasil menamatkan pelajaran mereka.
Di dalam rumah yang agung itulah Imam Ar-Ridhâ as. tumbuh berkembang dan mempelajari etika ayah dan keluarganya yang telah diciptakan untuk mengemban keutamaan, ketakwaan, dan keimanan kepada Allah swt.
Perangai dan Perilaku

Perangai dan perilaku Imam Ar-Ridhâ as. memiliki keistimewaan khusus. Ia tegar dalam memegang kebenaran dan menentang kezaliman. Ia sering memerintah Khalifah Ma'mûn Al-Abbâsî untuk bertakwa kepada Allah dan mengkritik seluruh tindakannya yang tidak sesuai dengan agama. Dengan tindakannya ini, Ma'mûn marah besar dan bertindak untuk membunuh Imam Ar-Ridhâ as. Seandainya Imam Ar-Ridhâ mau bertoleransi dengan Ma'mûn dan tidak menentang seluruh politiknya, sebagaimana orang-orang dekat Ma'mûn lainnya yang mengiakan setiap dosa dan kejahatan yang dilakukan oleh Ma'mûn, niscaya Imam Ar-Ridhâ akan memiliki posisi yang paling dekat dengannya. Alangkah cepatnya Ma'mûn meminumkan racun kepadanya sehingga ia cepat meninggalkan kita.
Akhlak yang Tinggi

Imam Ar-Ridhâ as. adalah figur terindah untuk akhlak yang mulia dan tata krama yang tinggi. Di antara manifestasi ketinggian akhlaknya ini adalah ketika ia duduk di samping sebuah hidangan makanan, ia juga mendudukkan seluruh budak-sampai-sampai pemelihara kuda dan penjaga pintu-di samping hidangan makanan itu.
Ibrahim bin Al-Abbâs berkata: "Aku pernah mendengar Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ berkata, 'Aku bersumpah untuk membebaskan budak, dan aku tidak pernah bersumpah untuk membebaskan budak kecuali aku pasti membebaskan seorang budak. Sungguh aku akan membebaskan seluruh budakku jika aku merasa diriku lebih baik dari budak ini-beliau menunjuk salah seorang budaknya yang hitam legam. Aku tidak memiliki kemuliaan lantaran hanya kekerabatanku dengan Rasulullah saw. kecuali jika aku berbuat sebuah amal saleh. Dengan amal saleh tersebut aku merasa memiliki keutamaan.'
Salah seorang yang hadir lantas berkata, 'Demi Allah, Anda adalah sebaik-baik manusia ....'
Ia menimpali ucapannya sembari berkata, 'Jangan engkau merasa khawatir, hai sahabatku. Orang yang lebih baik dariku adalah orang yang paling bertakwa dan lebih taat kepada Allah 'Azza Wajalla. Demi Allah, ayat ini belum dinasakh, 'Dan Kami jadikan kamu bersuku-suku dan berkabilah-kabilah supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.' (QS. Al-Hujurât [49]:13)"
Dalam ketinggian akhlak dan etika ini, Imam Ar-Ridhâ as. telah mewarisi kakeknya, rasul teragung saw., yang memiliki keutamaan atas seluruh nabi yang lain dengan akhlaknya yang tinggi.
Kezuhudan

Tidak berbeda dengan nenek moyangnya yang senantiasa zuhud terhadap harta dunia ini, Imam Ar-Ridhâ as. juga selalu memalingkan diri dari segala kemewahan dan kegemerlapan dunia ini. Kakeknya, Amirul Mukminin as., telah menceraikan dunia ini sebanyak tiga kali sehingga ia tidak berhak merujuknya lagi.
Muhammad bin 'Abbâd pernah meriwayatkan tentang kezuhudan Imam Ar-Ridhâ as. Ia berkata: "Pada saat musim panas, Ar-Ridhâ duduk di atas pelepah kurma dan pada saat musim dingin, ia duduk di atas kain kasar. Pakaiannya terbuat dari kain yang kasar dan ia menghias diri dengan pakaian tersebut jika ia keluar untuk menjumpai masyarakat."
Kezuhudan terhadap harta dunia adalah salah satu sifat dan karakter jiwa Imam Ar-Ridhâ as. yang paling menonjol. Para perawi hadis dan ahli sejarah sepakat bahwa ketika menduduki posisi sebagai putra mahkota kerajaan, ia tidak pernah mengenakan satu pun kemegahan kerajaan yang ada. Tidak hanya itu, ia tidak pernah memberi nilai sedikit pun terhadap kemegahan tersebut dan juga tidak pernah memiliki keinginan terhadap protokol resmi kerajaan. Ia sangat membenci pengagungan yang biasa dilakukan oleh masyarakat terhadap raja-raja mereka. Pernah diriwayatkan bahwa ia berkata: "Para pengawal yang berjalan di belakang seseorang adalah fitnah baginya dan kehinaan bagi mereka."
Keluasan Ilmu Pengetahuan

Imam Ar-Ridhâ as. adalah figur yang paling 'alim pada masa ia hidup, paling utama, dan paling tahu terhadap seluruh jenis ilmu pengetahuan, seperti ilmu Fiqih, Filsafat, Ulumul Qur'an, Medis, dan lain sebagainya. Al-Hirawî bercerita tentang keluasan ilmu pengetahuannya seraya berkata: "Aku tidak pernah melihat orang yang lebih 'alim daripada Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ, dan tidak ada orang 'alim pun yang pernah melihatnya kecuali ia akan bersaksi seperti kesaksianku. Khalifah Ma'mûn pernah mengundang beberapa ulama agama-agama lain (selain Islam), para fuqaha, dan ahli ilmu Kalam dalam beberapa majelis pertemuannya. Ia berhasil mengungguli mereka semua sehingga tidak tersisa seorang pun dari mereka kecuali mengakui keutamaannya, sedangkan ia sendiri mengakui kelemahan dirinya. Aku pernah mendengar ia berkata, 'Pada suatu hari, aku sedang duduk di Rawdhah, dan juga banyak ulama Madinah yang duduk di situ. Jika salah seorang dari mereka diminta untuk memecahkan sebuah masalah, mereka semua menunjuk ke arahku. Akhirnya, mereka mengirimkan masalah tersebut kepadaku dan aku memecahkannya.'"
Ibrahim bin Abbâs pernah berkata: "Aku tidak pernah melihat Ar-Ridhâ ditanya tentang suatu masalah kecuali ia pasti bisa menjawab. Dan aku tidak pernah melihat orang yang lebih 'alim daripadanya dari sejak zaman awal hingga pada masa ia hidup. Khalifah Ma'mûn selalu mengujinya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang segala sesuatu, dan ia menjawabnya."
Ma'mûn pernah berkata: "Aku tidak pernah mengetahui ada seseorang di atas bumi ini yang lebih utama dari orang ini-yaitu Imam Ar-Ridha."
Perdebatan dan dialog Imam Ar-Ridhâ as. dengan para ulama di Bashrah, Khurasan, dan Madinah membuktikan keluasan ilmu pengetahunnya. Para ulama dunia yang telah diundang oleh Ma'mûn untuk mengujinya juga mengakui keutamaan itu. Tidak pernah ada utusan ilmiah yang mengadakan pertemuan dengannya kecuali mereka mengakui keutamaannya. Realita ini memaksa Ma'mûn untuk mengurungnya dari mata masyarakat supaya mereka tidak terfitnah.
Mutiara Wejangan

Banyak sekali mutiara hikmah, tata krama, wasiat, dan nasihat yang telah diriwayatkan dari Imam Ar-Ridhâ as. dan sangat bermanfaat bagi umat manusia. Semua itu membuktikan bahwa ia adalah seorang guru besar untuk dunia Islam pada masa ia hidup. Ia telah mengerahkan segala upayanya untuk menyucikan dan mendidik muslimin dengan mutiara-mutiara hikmah yang ia miliki. Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sebagian dari mutiara-mutiara hikmah berharga ini.

Keutamaan Akal

Akal adalah kenikmatan paling utama yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada umat manusia. Dengan akal ini, Dia telah membedakannya dari binatang. Dalam sebagian hadis, Imam Ar-Ridhâ as. pernah mengisyaratkan masalah akal ini:
1. Ia berkata: "Sahabat setiap orang adalah akalnya, dan musuhnya adalah kebodohannya."
Alangkah indahnya mutiara hikmah ini. Akal adalah sahabat terbesar yang dapat menjaga, memelihara, dan menyelematkannya dari seluruh ujian dunia. Musuh manusia yang paling besar adalah kebodohan yang akan menjerumuskannya ke dalam jurang kesengsaraan dunia yang sangat dalam.
2. Ia berkata: "Akal yang paling utama adalah pengenalan manusia terhadap dirinya."
Jika manusia mengetahui bagaimana dirinya dibentuk dan juga bagaimana akan berakhir, niscaya ia telah mendapatkan kebaikan yang banyak. Pengetahuan ini akan menjauhkannya dari keinginan-keinginan yang jahat dan mendorongnya untuk memiliki keinginan-keinginan yang baik. Begitu juga, pengetahuan ini akan menunjukkan jalan baginya untuk mengenal Penciptanya Yang Maha Agung. Dalam sebuah hadis ditegaskan: "Barang siapa mengenal dirinya, niscaya ia telah mengenal Tuhannya."

Koreksi Diri

Imam Ar-Ridhâ as. berkata: "Barang siapa mengoreksi diri, niscaya ia pasti beruntung, dan barang siapa lalai terhadap dirinya, pasti ia telah merugi."
Jika seseorang bersedia mengoreksi dirinya tentang kebaikan dan keburukan yang telah dilakukannya, maka tindakan ini menunjukkan ketinggian jiwa dan kemenangan yang dapat membuahkan keuntungan dan kebaikan. Hal ini karena ia dapat mencegah dirinya untuk melakukan keburukan dan menumbuhkan kebaikan. Sedangkan orang yang lalai untuk mengoreksi dirinya, maka jiwa yang terlalaikan ini akan menjerumuskannya ke dalam jurang keburukan yang sangat dalam.

Kemuliaan Sebuah Usaha

Imam Ar-Ridhâ as. berkata: "Sesungguhnya pahala orang yang mencari rezeki untuk menjamin kebutuhan hidup keluarganya adalah lebih agung daripada pahala mujahid di jalan Allah."
Berusaha dan bekerja untuk menghidupi keluarga adalah sebuah jihad di jalan Allah, sebuah kemuliaan yang dapat diperoleh oleh orang yang sedang bekerja, dan keagungan yang menjadi kebanggaannya.

Manusia Terbaik

Imam Ar-Ridhâ as. pernah ditanya tentang hamba terbaik. Ia menjawab: "Mereka adalah orang-orang yang berbahagia apabila berbuat kebaikan, memohon ampunan apabila berbuat keburukan, bersyukur jika diberi, bersabar apabila ditimpa musibah, dan memaafkan apabila sedang dilanda amarah."
Sungguh, orang yang memiliki sifat dan karakter-karakter tersebut adalah orang yang paling utama dan paling mulia yang telah berhasil menggapai puncak kesempurnaan dan keutamaan.
Wasiat dan Nasihat

1. Imam Ar-Ridhâ as. pernah berwasiat kepada Ibrahim bin Abi Mahmûd seraya berkata: "Ayahku pernah memberitahukan kepadaku dari nenek moyangnya bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, 'Barang siapa mendengarkan ucapan seorang pembicara, sungguh ia telah menyembahnya. Jika pembicara itu berasal dari sisi Allah, maka ia telah menyembah Allah, dan apabila ia berasal dari sisi Iblis, sungguh ia telah menyembah Iblis ... Hai putra Abi Mahmûd, jika masyarakat menempuh jalan kanan dan jalan kiri, maka tetaplah kamu berpegang teguh kepada agama kami. Karena, barang siapa tetap berpegang teguh kepada kami, niscaya kami akan selalu bersamanya, dan barang siapa berpisah dari kami, maka kami juga akan berpisah darinya. Sesungguhnya tindakan paling sepele yang dapat mengeluarkan seseorang dari lingkaran keimanan adalah ia mengatakan bahwa kerikil ini adalah sebutir biji kurma, lalu ia meyakini ucapannya itu dan membebaskan diri dari orang yang menentang pendapatnya. Hai putra Abi Mahmûd, jagalah apa yang telah kukatakan kepadamu ini, karena aku telah mengumpulkan kebaikan dunia dan akhirat untukmu dalam ucapan ini."
Wasiat ini dipenuhi oleh perintah untuk mengikuti jejak Ahlul Bait as. dan menempuh jalan sirah mereka. Karena, hal ini adalah keselamatan dan keamanan dari segala kebinasaan, serta kemenangan dengan menggapai rida Allah swt.

2. Persamaan antara orang kaya dan orang miskin.
Imam Ar-Ridhâ as. berwasiat kepada para sahabatnya untuk menyamaratakan antara orang kaya dan orang miskin dalam mengucapkan salam kepada mereka. Ia pernah berkata: "Barang siapa berjumpa dengan seorang fakir yang muslim, lalu ia mengucapkan salam kepadanya dengan cara yang berbeda dengan salamnya kepada orang kaya, maka ia akan berjumpa dengan Allah 'Azza Wajalla sedangkan Dia dalam keadaan murka terhadapnya."

3. Tersenyum ketika berjumpa dengan seorang mukmin.
Imam Ar-Ridhâ as. berwasiat kepada para sahabat untuk menemui seorang mukmin dengan wajah yang penuh senyum dan tidak menghadapinya dengan raut wajah mengkerut. Ia berkata: "Barang siapa menemui saudara seimannya dengan wajah tersenyum, Allah akan menulis satu kebaikan baginya, dan barang siapa telah ditulis sebuah kebaikan oleh Allah baginya, maka Dia tidak akan menyiksanya."
Ini semua adalah akhlak dan budi pekerti tinggi yang selalu diwasiatkan oleh para imam maksum as. kepada para sahabat mereka sehingga mereka menjadi panutan yang baik bagi seluruh masyarakat.

4. Wasiat umum.
Imam Ar-Ridhâ as. pernah berwasiat kepada para sahabat dan masyarakat secara umum dengan wasiat berikut ini:
Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah berkenaan dengan seluruh nikmat-Nya yang telah dicurahkan atas kalian. Janganlah kamu menyingkirkan kenikmatan itu dari diri kalian dengan bermaksiat kepada-Nya. Ketahuilah, kalian semua tidak akan pernah bersyukur kepada Allah dengan sesuatu-setelah iman kepada Allah dan Rasul-Nya dan pengakuan atas hak-hak para wali Allah dari kalangan keluarga Muhammad saw.-yang lebih dicintai daripada menolong saudara-saudaramu seiman dalam urusan dunia mereka. Semua ini adalah jembatan bagi kalian untuk menuju surga-surga Tuhan mereka. Sesungguhnya orang yang telah melakukan demikian, niscaya ia termasuk hamba-hamba Allah yang istimewa."
Wasiat ini dipenuhi oleh anjuran kepada kita untuk bertakwa kepada Allah swt., membantu saudara-saudara seiman, dan mencurahkan segala kebajikan kepada mereka.
Mutiara Hikmah

Banyak sekali ucapan-ucapan pendek yang telah diriwayatkan dari Imam Ar-Ridhâ as. dan dipenuhi oleh mutiara-mutiara hikmah yang sangat berharga. Antara lain:
a. Ia berkata: "Barang siapa mempersiapkan dirinya untuk berkhidmat kepada seorang penguasa yang zalim, lalu ia ditimpa malapetaka, maka ia tidak akan diberi pahala karena itu dan juga tidak akan dianugerahi kesabaran untuk memikulnya."
b. Ia berkata: "Mencintai sesama manusia adalah setengah akal."
c. Ia berkata: "Akan datang sebuah masa di mana keselamatan pada masa itu tersembunyi dalam sepuluh bagian: sembilan bagian terdapat dalam menjauhi masyarakat dan satu bagian lagi terdapat dalam berdiam diri tidak berbicara."
d. Ia berkata: "Orang yang kikir tidak pernah memiliki ketenangan, orang yang iri hati tidak akan pernah merasakan kenyamanan, orang yang selalu bosan tidak pernah memiliki kesetiaan, dan pembohong tidak pernah memiliki harga diri."
e. Ia berkata: "Barang siapa membereskan urusan seorang mukmin, Allah akan membereskan urusannya pada hari kiamat kelak."
f. Ia berkata: "Seorang mukmin adalah saudara sekandung mukmin yang lain. Terlaknat, terlaknat orang yang menuduh saudaranya! Terlaknat, terlaknat orang yang menipu saudaranya! Terlaknat, terlaknat orang yang tidak menasihati saudaranya! Terlaknat, terlaknat orang yang menutup diri dari saudaranya! Terlaknat, terlaknat orang menggunjing sudaranya!"
Pengetahuan Imam Ar-Ridhâ atas Semua Bahasa

Imam Ar-Ridhâ as. mengetahui semua bahasa. Abu Ismail As-Sindî bercerita: "Di India, aku pernah mendengar bahwa Allah memiliki seorang hujah di negeri Arab. Aku melakukan perjalanan untuk mencarinya. Masyarakat setempat menyuruhku untuk menjumpai Imam Ar-Ridhâ as. Aku pun pergi menjumpainya. Aku mengucapkan salam kepadanya dengan menggunakan bahasa Sind, dan ia menjawab salamku dengan bahasa yang sama. Aku berkata kepadanya, 'Aku pernah mendengar bahwa Allah memiliki seorang hujah di negeri Arab. Aku mengadakan perjalanan ini untuk mencarinya.' Ia menjawab, 'Hujah itu adalah saya.' Kemudian ia berkata kepadaku, 'Tanyakanlah apa yang kau inginkan.' Aku pun bertanya banyak masalah kepadanya dan ia menjawab seluruh pertanyaanku dengan menggunakan bahasaku."
Abu Shalt Al-Hirawî pernah berkata: "Imam Ar-Ridhâ as. berbicara dengan masyarakat dunia dengan menggunakan bahasa mereka masing-masing. Aku pernah menanyakan hal ini kepadanya. Ia menjawab, 'Hai Abu Shalt, saya adalah hujah Allah untuk seluruh makhluk-Nya, dan Dia tidak pernah mengutus seorang hujah atas sebuah kaum, sedangkan ia tidak mengetahui bahasa mereka. Apakah kamu tidak pernah mendengar Amirul Mukminin as. berkata, 'Kami diberi anugerah Fashl Al-Khithâb? Bukankah Fashl Al-Khithâb itu adalah pengetahuan atas seluruh bahasa?'"
Yâsir Al-Khâdim pernah bercerita: "Di rumahnya, Abul Hasan Ar-Ridhâ as. memiliki (budak-budak) yang berasal dari daerah Shaqâlibah dan Romawi. Ia memiliki hubungan yang akrab sekali dengan mereka. Ia pernah mendengar mereka berbicara dengan bahasa kaum Shaqâlibah dan Romawi untuk meminta sesuatu, dan ia memberikannya kepada mereka."
Syaikh Muhammad bin Hasan Al-Hurr pernah melantunkan realita ini dalam sebuah bait syairnya berikut ini:
Pengetahuannya terhadap seluruh bahasa, adalah mukjizat dan kekuasaan Ilahi yang paling cerlang.
Fitnah dan Peristiwa

Imam Ar-Ridhâ as. sering memberitahukan kejadian sebuah fitnah dan peristiwa sebelum semua itu terjadi. Dan setelah itu, semua peristiwa dan fitnah itu sungguh terjadi. Realita ini menguatkan keyakinan mazhab Syi'ah bahwa Allah swt. telah menganugerahkan kelebihan ilmu kepada para imam Ahlul Bait as. sebagaimana Dia pernah menganugerahkan hal itu kepada para nabi dan rasul-Nya. Di antara berita tersebut adalah, bahwa Ma'mûn akan membunuh saudaranya sendiri, Amîn bin Zubaidah. Ia mengutarakan hal ini dengan melantunkan syair berikut ini:
Sungguh kedengkian setelah kedengkian akan menguasai dirimu dan mengeluarkan penyakit yang selama ini terpendam.
Dan tidak lama masa berselang, Ma'mûn pun membunuh saudaranya, Amîn.
Di antara peristiwa-peristiwa yang telah diberitahukan oleh Imam Ar-Ridhâ as. sebelum terjadi adalah peristiwa pemberontakan Muhammad bin Imam Ash-Shâdiq as. Ketika Muhammad mengadakan pemberontakan terhadap Ma'mûn, ia mencercanya seraya berkata: "Hai pamanku, janganlah engkau membohongkan ayah dan saudaramu-yaitu Imam Al-Kâzhim. Sesungguhnya tindakanmu ini tidak akan berlangsung sempurna."
Muhammad tidak menggubris nasihat Imam Ar-Ridhâ dan keluar dengan memproklamirkan pemberontakannya terhadap Ma'mûn. Tidak lama berselang, bala tentara Ma'mûn yang dipimpin oleh Al-Jalûdî berhasil mengalahkan mereka. Muhammad memohon suaka politik dan Al-Jalûdî pun memberikan jaminan keamanan kepadanya. Al-Jalûdî naik ke atas mimbar seraya berseru: "Urusan ini akan diserahkan kepada Ma'mûn sepenuhnya."
Juga di antara peristiwa-peristiwa yang telah diberitahukan oleh Imam Ar-Ridhâ as. sebelum terjadi adalah musibah besar yang akan menimpa kaum Barâmikah. Pada suatu hari, Yahyâ Al-Barmakî pernah melewati Imam Ar-Ridhâ sedangkan Imam Ar-Ridhâ menutupi wajahnya dengan sehelai sapu tangan supaya tidak terkena debu. Imam Ar-Ridhâ berkata: "Miskin mereka itu. Mereka tidak tahu apa yang akan menimpa mereka pada tahun ini ...." Kemudian, ia melanjutkan ucapannya: "Dan ada satu hal lagi yang lebih mengherankan dari hal ini. Aku dan Hârûn adalah seperti dua jari ini." Ia merapatkan jari telunjuk kepada jari tengahnya.
Peristiwa yang telah diprediksikan oleh Imam Ar-Ridhâ as. itu pun terjadi. Tidak lama berselang, Hârûn Ar-Rasyîd menimpakan musibah dan bencana yang besar atas kaum Barâmikah. Begitu juga, Hârûn Ar-Rasyîd mati di Khurasan dan Imam Ar-Ridhâ as. dikuburkan berdekatan dengannya.
Ini adalah sebagian peristiwa yang telah diberitakan oleh Imam Ar-Ridhâ as. sebelum terjadi. Kami telah menyebutkan banyak contoh tentang masalah ini dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as.
Kedermawanan dan Kemurahan Hati

Kemurahan hati adalah salah satu unsur yang membentuk jati diri Imam Ar-Ridhâ as. Ia senantiasa berbuat kebajikan kepada orang-orang fakir dan miskin. Para ahli sejarah telah menyebutkan contoh yang banyak sekali tentang kemurahan hati dan kedermawanannya ini. Di antaranya adalah berikut ini:

a. Pada suatu hari Arafah, ia menginfakkan seluruh harta yang dimiliki kepada orang-orang fakir dan miskin ketika ia berada di Khurasan, dan dengan itu, ia tidak memiliki harta sepeser pun. Melihat tindakan ini, Fadhl bin Sahl memprotesnya seraya berkata: "Sungguh ini adalah sebuah kerugian besar ...."
Imam Ar-Ridhâ as. menjawab: "Bahkan sebaliknya, ini adalah sebuah keuntungan besar. Jangan kamu menganggap sebuah tindakan yang engkau pasti mendapatkan pahala dan karunia sebagai sebuah kerugian ...."
Bukanlah sebuah kerugian besar harta yang diinfakkan oleh seseorang kepada orang-orang fakir dan miskin dengan mengharapkan pahala di sisi Allah swt. Kerugian yang sangat besar adalah harta berlimpah-ruah yang diinfakkan oleh para raja dan menteri-menteri mereka untuk kepentingan tujuan-tujuan politik dan pribadi mereka.

b. Pada suatu hari, datang seorang laki-laki kepada Imam Ar-Ridhâ as. seraya berkata: "Aku adalah salah seorang pecinta Anda dan pecinta nenek moyang Anda. Aku sudah usai malaksanakan ibadah haji dan biaya perjalananku telah habis. Aku tidak memiliki sepeser harta pun yang dapat kugunakan untuk kembali ke tempat tinggalku. Jika Anda berkehendak, kembalikanlah aku ke daerahku. Jika aku telah sampai di daerahku, aku akan menyedekahkan seluruh harta yang Anda berikan kepadaku itu atas nama Anda."
Imam Ar-Ridhâ as. memerintahkannya untuk duduk. Ia menghadapkan diri kepada hadirin dan berbicara dengan mereka hingga (usai) dan mereka semua pergi. Yang tersisa hanyalah Sulaiman Al-Ja'farî dan budaknya. Ia meminta izin kepada mereka berdua dan masuk ke dalam rumah. Lalu, ia keluar melalui pintu atas seraya berkata: "Manakah orang yang berasal dari Khurasan itu?" Orang itu berdiri dan menghampirinya. Imam Ar-Ridhâ as. berkata kepadanya: "Ambillah dua ratus dinar ini dan gunakanlah untuk nafkah dan keperluanmu di jalan, serta tidak perlu engkau bersedekah atas namaku."
Orang Khurasan itu mohon pamit dan pergi dengan senang hati lantaran nikmat yang telah dianugerahkan olehnya.
Sulaiman menoleh ke arah Imam Ar-Ridhâ as. seraya bertanya: "Semoga aku dijadikan tebusan Anda! Anda telah memberikan uang banyak dan karunia kepadanya. Lalu, mengapa Anda menutupi wajah Anda sehingga tidak terlihat oleh orang tersebut?"
Imam Ar-Ridhâ as. menjawab: "Aku bertindak demikian lantaran aku khawatir akan melihat kehinaan meminta-minta di wajahnya karena aku telah memenuhi hajatnya. Bukankah kamu mendengar Rasulullah saw. pernah bersabda, 'Orang yang menutupi perbuatan baiknya, hal itu menyamai tujuh puluh ibadah haji, dan orang yang melakukan keburukan secara terang-terangan adalah terhina? Apakah kamu tidak pernah mendengar seorang penyair berkata,
Kapan pun aku mendatanginya untuk memohon sebuah hajat, aku pasti kembali kepada keuargaku dengan membawa karunianya?"
Anda lihat bagaimana kebajikan yang telah dilakukan oleh Imam Ar-Ridhâ as. tersebut? Ia sungguh tulus hanya karena Allah swt. tidak mengharapkan pahala dan pujian dari siapa pun.

c. Pernah seorang miskin menjumpai Imam Ar-Ridhâ as. seraya berkata: "Berikanlah harta kepadaku sesuai dengan kadar kebaikan dan kemurahan Anda ...."
Imam Ar-Ridhâ as. menjawab: "Aku tidak mampu untuk itu ...."
Kebaikan Imam Ar-Ridhâ as. tidak terbatas, dan ia tidak memiliki harta sebanyak itu untuk menginfakkannya sekadar kebaikannya tersebut. Orang miskin itu memahami kekeliruan ucapannya. Akhirnya ia merubah ucapannya sembari berkata: "Bantulah aku sesuai dengan kadar kebaikan dan kemurahanku."
Imam Ar-Ridhâ as. menatapnya dengan senyuman penuh kebahagiaan yang terurai di wajahnya seraya menjawab: "Jika demikian, aku akan mengabulkan permintaanmu ...." Kemudian, ia memerintahkan supaya ia diberi uang sebanyak dua ratus dinar.
Ini adalah sebagian contoh dari kedermawanan dan kemurahan hati Imam Ar-Ridhâ as. Kami telah menyebutkan banyak contoh tentang hal ini di dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Ar-Ridhâ as.
Ibadah

Imam Ar-Ridhâ as. telah meMûsâtkan seluruh jiwa dan raganya hanya untuk Allah swt. dan mengerjakan segala sesuatu yang dapat mendekatkan dirinya kepada-Nya. Ibadah telah mendominasi bagian terbesar dari kehidupan spiritualnya yang terjelmakan dalam bentuk cahaya, ketakwaan, dan wara'. Sebagian sahabatnya pernah mengaku sembari berkata: "Aku tidak pernah melihatnya kecuali selalu kulantunkan firman Allah swt. yang berbunyi, 'Mereka sedikit sekali merebahkan diri pada malam hari.'" (QS. Adz-Dzâriyât [51]:17)
Asy-Syabrâwî pernah menceritakan ibadah Imam Ar-Ridhâ seraya berkata: "Beliau selalu berwudu dan mengerjakan salat. Pada seluruh malam, ia senantiasa berwudu, mengerjakan salat, tidur (sejenak), dan begitu seterusnya hingga fajar menyingsing."
Kami telah memaparkan ibadah, salat, dan doa-doanya pada saat membaca qunut dan sujud secara terperinci dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as.
Menjadi Putra Mahkota

Salah satu peristiwa historis paling penting yang pernah terjadi pada masa kekuasaan dinasti Bani Abbâsiyah adalah penyerahan posisi putra mahkota kepada Imam Ar-Ridhâ as. yang dilakukan oleh Khalifah Ma'mûn, satu tindakan yang mengindikasikan perpindahan tangan dinasti kekhalifahan dari Bani Abbâsiyah kepada musuh-musuh mereka dari kalangan Bani Ali as. Masyarakat merasa heran dengan keputusan ini dan seluruh majelis pertemuan umum dan khusus membicarakan peristiwa yang sangat penting ini. Hal itu lantaran garis politik yang telah ditentukan oleh Bani Abbâsiyah adalah membasmikan Bani Ali as. Mereka telah membantai kalangan pemuda mereka dan melemparkan anak-anak kecil mereka ke dalam sungai Dajlah. Tidak hanya itu, mereka juga mencari setiap pengikut mereka meskipun mereka bersembunyi di balik bebatuan dan tanah. Dengan demikian, permusuhan Bani Abbâsiyah terhadap Bani Ali sudah menjadi rahasia umum. Dengan itu semua, bagaimana mungkin permusuhan yang sangat keras tersebut bisa berubah menjadi rasa cinta kasih, pengakuan terhadap hak-hak mereka, dan penyerahan pucuk kepemimpinan pemerintah terpenting kepada mereka? Inilah yang selalu dipertanyakan oleh khalayak ramai saat itu.
Satu hal yang pasti, Ma'mûn melakukan tindakan ini bukan lantaran ia meyakini hak-hak Bani Ali dan bahwa mereka adalah figur-figur yang lebih berhak atas kekhalifahan daripada dirinya sendiri. Ia mengangkat Imam Ar-Ridhâ as. menjadi putra mahkota karena dorongan faktor-faktor tertentu, di antaranya adalah sebagai berikut ini:

a. Ia merasa tidak memiliki posisi penting di dalam dinasti Bani Abbâsiyah. Hal itu lantaran ibunya, Murâjil, hanyalah seorang sahaya dan pembantu istana. Atas dasar ini, mereka memperlakukannya sebagai orang biasa, dan lebih memperlakukan saudaranya, Amîn, dengan penuh penghormatan yang istimewa. Hal itu karena ibunya, Zubaidah, berasal dari keluarga ningrat asli Bani Abbâsiyah. Atas dasar ini, Ma'mûn ingin menutup mulut keluarganya dengan mengangkat Imam Ar-Ridhâ as. sebagai putra mahkota.

b. Di antara tujuan yang telah disusun oleh Ma'mûn ketika mengangkat Imam Ar-Ridhâ as. sebagai putra mahkota adalah ia ingin menampakkan kepada masyarakat ramai bahwa Imam Ar-Ridhâ bukanlah sosok figur yang zuhud terhadap kegemerlapan dunia. Malah, ia adalah salah seorang pecinta kerajaan dan kekuasaan. Dan hal ini dibuktikan dengan penerimaannya untuk menjadi putra mahkota.
Politik licik ini tidak tersembunyi bagi Imam Ar-Ridhâ as. Oleh karena itu, ia mengajukan beberapa syarat kepada Ma'mûn, yaitu ia tidak mau mengangkat siapa pun menjadi pejabat ngara, tidak menurunkan seorang pejabat negara pun, dan supaya ia berada jauh dari hiruk-pikuk urusan pemerintahan. Syarat-syarat ini mengindikasikan kezuhudannya terhadap kekuasaan.

c. Mayoritas pasukan militer Ma'mûn, baik dalam jajaran komandan maupun prajurit biasa, didominasi oleh para pengikut Syi'ah. Dengan mengangkat Imam Ar-Ridhâ as. menjadi putra mahkota ini, ia ingin menarik kecintaan dan kesetiaan mereka.

d. Revolusi dan pemberontakan-pemberontakan dengan motivasi menentang kekhalifahan dinasti Bani Abbâsiyah telah meledak di seluruh penjuru negeri Islam. Semua ini mengindikasikan keruntuhan dinasti dan ketamatan riwayat dirinya. Syiar dan slogan para pemberontak adalah mengajak masyarakat untuk berpihak kepada Ar-Ridhâ dari keluarga Muhammad saw. Ketika Imam Ar-Ridhâ as. dibaiat menjadi putra mahkota, para pemberontak mengaminkan baiat tersebut dan mereka rela membaiat Ma'mûn. Dengan ini semua, ia telah terbebaskan dari bahaya yang selama itu mengancam kedaulatan negaranya. Tindakan dan keputusan yang telah diambil oleh Ma'mûn ini tergolong keputusan kelas utama dalam dunia diplomatik. Dengan itu semua, ia telah berhasil menguasai seluruh peristiwa yang selalu mengancam negaranya.
Ini adalah sebagian tujuan yang memaksa Ma'mûn untuk mengangkat Imam Ar-Ridhâ as. menjadi putra mahkota.
Surat Fadhl kepada Imam Ar-Ridha

Ma'mûn memerintahkan Perdana Menterinya, Fadhl bin Sahl, untuk menulis sepucuk surat kepada Imam Ar-Ridhâ as. dengan harapan supaya ia bersedia menerima kekhalifahan dari Ma'mûn. Isi suratnya adalah sebagai berikut:
Untuk Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ dan putra Rasulullah saw. Al-Mushthafâ, yang petunjuknya layak untuk diikuti, yang seluruh tindakan dan perilakunya layak dijejaki, penjaga agama Allah, dan penyimpan wahyu Allah. Dari hambanya, Fadhl bin Sahl, yang telah berusaha untuk mengembalikan hak kepada jantungnya dengan tak mengenal siang dan malam. Salam atasmu, wahai figur yang telah mendapatkan petunjuk, juga rahmat dan berkah Allah. Aku bersyukur untuk Anda kepada Allah yang tiada tuhan selain Dia dan aku memohon kepada-Nya supaya mencurahkan salawat atas Muhammad, hamba-Nya. Amma ba'du:
Aku berharap semoga Allah telah menepati untuk Anda dan mengizinkan bagi Anda untuk mengembalikan hak Anda (kepada Anda) dari orang yang telah meremehkan Anda. Begitu juga semoga Dia memperagung anugerah-Nya kepada Anda dan menjadikan Anda sebagai pemimpin pewaris dan memperlihatkan kepada musuh-musuh Anda dan orang-orang yang membenci Anda apa yang selama ini mereka khawatirkan.
Sesungguhnya suratku ini kutulis atas harapan dari Amirul Mukminin Abdullah Imam Al-Ma'mûn dan dariku juga supaya aku mengembalikan hak Anda yang telah terzalimi itu kepada Anda, menetapkan hak-hak Anda di dalam kedua tangan Anda, dan menyerahkan semua hak itu sepenuhnya kepada Anda dengan harapan semoga Allah-yang mengetahui semua itu-menjadikanku-dengan itu semua-sebagai manusia yang paling berbahagia di dunia ini, termasuk dalam golongan orang-orang yang menang di sisi-Nya, termasuk dalam golongan orang-orang yang melaksanakan hak Rasulullah saw., dan juga termasuk dalam golongan orang-orang yang menolong Anda sehingga-di bawah wilâyah dan kekuasaan negara Anda-aku dapat menggapai dua kebahagiaan itu.
Apabila suratku ini telah sampai di tangan Anda dan memungkinkan bagi Anda untuk tidak menyia-nyiakannya sehingga Anda pergi berjumpa dengan Amirul Mukminin-yang memandang Anda sebagai partnernya dalam setiap urusan, memiliki kesamaan nasab keturunan, dan orang yang paling berhak atas segala sesuatu yang berada di bawah kekuasannya ..., niscaya Anda telah melakukan tindakan yang tentang itu aku telah dikelilingi oleh kehendak Allah, telah dijaga oleh para malaikat-Nya, dan telah dipelihara oleh penjagaan-Nya. Sesungguhnya Allah menanggung seluruh kebaikan yang akan kembali kepada diri Anda dan kemalsahatan umat ini lantaran tindakan Anda. Cukuplah Allah bagi kita dan Dia adalah sebaik-baik wakil.
Wassalamu'alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Surat ini dipenuhi oleh curahan gelar-gelar yang mulia dan sifat-sifat yang agung bagi Imam Ar-Ridhâ as., sebagaimana juga berisi permohonan untuk mengembalikan kekhalifahan kepadanya. Semua itu tertuang atas usaha Fadhl dan Ma'mûn. Ia memohon kepada Imam Ar-Ridhâ as. untuk bergegas pergi ke Khurasan demi memegang tampuk kekhalifahan. Kami tidak menemukan jawaban Imam Ar-Ridhâ atas surat yang telah dikirim oleh pejabat tertinggi kerajaan dinasti Bani Abbâsiyah ini. Menurut sangkaan yang kuat, ia tidak menjawab surat tersebut lantaran ia mengetahui seluruh kebohongan yang telah tertuang di dalamnya.
Para Delegasi Ma'mûn kepada Imam Ar-Ridhâ as.

Ma'mûn mengutus delegasi resmi untuk menghadirkan Imam Ar-Ridhâ as. dari Yatsrib (Madinah) ke Khurasan. Ia memerintahkan kepada kepala delegasi untuk membawanya melalui daerah Bashrah dan Ahwaz, lalu ke Fars. Ia memerintahkannya supaya tidak membawa Imam Ar-Ridhâ as. melalui Kufah dan Qom, seperti yang telah dijanjikan kepada Imam Ar-Ridhâ as. sebelumnya.
Sangat gamblang sekali alasan mengapa Ma'mûn memerintahkan supaya Imam Ar-Ridhâ as. dibawa melalui jalan Bashrah, bukan Kufah dan Qom. Hal itu lantaran kedua kota tersebut adalah pusat para pengikut mazhab Syi'ah. Jika ia dibawa melalui kedua kota tersebut, Ma'mûn khawatir ia akan disambut oleh masyarakat setempat dengan segala penghormatan dan pengagungan, satu realita yang dapat melemahkan pusat kekuasaannya dan seluruh Bani Abbâsiyah.
Delegasi Ma'mûn bergegas berangkat hingga tiba di Yatsrib. Mereka menghadap kepada Imam Ar-Ridhâ as. dan mengutarakan perintah-perintah Ma'mûn kepadanya. Ia tidak memiliki jalan lain kecuali harus menerima perintah itu, sedangkan ia yakin bahwa permintaan Ma'mûn supaya ia menjadi putra mahkota dan khalifah itu hanyalah sebuah sandiwara politik. Tujuan aslinya adalah memusnahkan dirinya secara fisik.
Dengan seluruh kesedihan dan keputusasaan atas kehidupan dunia ini, Imam Ar-Ridhâ as. pergi menghadap makam suci kakeknya, Rasulullah saw., dengan air mata hangat berkucuran. Ia mengucapkan salam perpisahan terakhir kepada sang kakek tercinta itu.
Muhawwil As-Sijistânî meriwayatkan tata cara perpisahan Imam Ar-Ridhâ as. dengan kakeknya ini. Ia berkata: "Ketika delegasi datang untuk membawa Imam Ar-Ridhâ ke Khurasan, aku pada waktu itu berada di Madinah. Ia masuk ke dalam masjid untuk mengucapkan salam perpisahan dengan kakeknya, Rasulullah saw. Ia mengucapkan salam perpisahan itu berkali-kali, sedangkan suaranya melengking dengan tangisan dan isakan. Aku maju ke depan dan mengucapkan salam kepadanya. Ia menjawab salamku. Aku mengucapkan selamat kepadanya atas kedudukan yang akan diserahkan kepadanya itu. Ia menjawab, 'Biarkanlah aku. Aku akan keluar dari sisi kakekku saw. dan aku akan meninggal dunia dalam kesendirian dan dikuburkan di samping Hârûn.'
Aku pun pergi mengikuti jalan Imam Ar-Ridhâ sehingga ia meninggal dunia di Thûs dan dimakamkan di samping Hârûn."
Menuju ke Baitullah Al-Haram

Sebelum beranjak berangkat menuju ke Khurasan, Imam Ar-Ridhâ as. singgah terlebih dahulu di Baitullah Al-Haram untuk melakukan umrah. Sebagian besar keluarganya juga ikut serta dalam perjalanan ini. Di antara mereka adalah putranya, Imam Muhammad Al-Jawâd as. Ketika sampai di Baitullah yang agung itu, ia lantas melakukan tawaf dan lalu mengerjakan salat di belakang Maqam Ibrahim as. Setelah itu, ia melakukan sa'i dan selanjutnya mencukur rambut.
Imam Al-Jawâd as. juga melakukan ibadah umrah bersama ayahandanya. Ketika sampai di Hijir Ismail, ia duduk di situ, sedangkan kesedihan dan kesusahan menguasai raut wajahnya. Muwaffaq Al-Khâdim menemuinya dan memohon kepadanya supaya berdiri. Ia menolak untuk berdiri. Muwaffaq bergegas menemui Imam Ar-Ridhâ as. untuk memberitahukan kondisi putranya itu. Imam Ar-Ridhâ as. pun bergegas menemuinya seraya meminta supaya Imam Al-Jawâd as. berdiri. Imam Al-Jawâd as. menerima permintaan sang ayah sembari melantunkan keluhan-keluhan yang melukiskan kesedihan dan kesusahan seraya berkata: "Bagaimana mungkin aku berdiri dan pergi, sedangkan aku telah mengucapkan selamat tinggal kepada Baitullah, ucapan selamat tinggal yang tidak mungkin berjumpa lagi setelah itu?"
Imam Al-Jawâd as. telah melihat kesedihan dan petaka yang akan menimpa sang ayah. Ia memprediksikan dari peristiwa ini bahwa hal ini adalah akhir dari kehidupan ayahnya.
Menuju ke Khurasan

Imam Ar-Ridhâ as. meninggalkan Baitullah Al-Haram untuk menuju ke Khurasan. Ia tidak singgah di sebuah kota dan daerah kecuali penduduk kota dan daerah tersebut menyambutnya dengan penuh pemuliaan dan pengagungan. Mereka memohon kepadanya untuk bertamu di rumah mereka masing-masing demi mempersembahkan khidmat kepadanya. Atas sambutan yang hangat tersebut, ia sangat berterima kasih kepada mereka.
Di Nisyabur

Kafilah Imam Ar-Ridhâ as. bergerak cepat tak memperdulikan padang pasir yang gersang. Akhirnya, kafilah agung ini sampai di Nisyabur. Ia disambut secara resmi oleh penduduk setempat dengan penyambutan yang tak ada tandingannya. Para ulama dan fuqaha yang dipelopori oleh Yahyâ bin Yahyâ, Ishâq bin Râhawaeh, Muhammad bin Râfi', Ahmad bin Harb, dan selain mereka mengerumuninya. Ketika masyarakat melihatnya, mereka melantunkan takbir dan pujian kepada Allah. Tangisan pun mendominasi situasi. Para ulama dan orator berseru dengan suara yang lantang: "Wahai manusia, diam dan sadarlah. Janganlah kamu sakiti putra Rasulullah saw. ini."
Masyarakat pun diam tak bersuara. Para ulama memohon kepada Imam Ar-Ridhâ as. untuk meriwayatkan sebuah hadis yang memiliki sanad bersambung kepada kakeknya, Rasulullah saw. Ia (memenuhi permohonan mereka itu seraya) berkata: "Aku mendengar Mûsâ bin Ja'far pernah berkata, 'Aku mendengar ayahku, Ja'far bin Muhammad pernah berkata, 'Aku mendengar ayahku, Muhammad bin Ali pernah berkata, 'Aku mendengar ayahku, Ali bin Al-Husain pernah berkata, 'Aku mendengar ayahku, Al-Husain bin Ali pernah berkata, 'Aku mendengar ayahku, Ali bin Abi Thalib pernah berkata, 'Aku mendengar Nabi saw. pernah bersabda, 'Allah swt. berfirman, 'Lâ ilâha illallâh adalah benteng-Ku. Maka barang siapa yang masuk ke dalam benteng-Ku, niscaya ia akan aman dari siksa-Ku dan barang siapa masuk ke dalam benteng-Ku, niscaya ia akan aman dari siksa-Ku.' Akan tetapi, dengan syarat-syaratnya, dan aku adalah salah satu dari syarat-syarat tersebut."
Hadis ini ditulis oleh para perawi hadis yang berjumlah sekitar dua puluh ribu perawi. Hadis ini dinamakan Hadis Emas, lantaran hadis ini ditulis dengan tinta-tinta emas. Sanad hadis tersebut termasuk sanad hadis yang paling agung dan bernilai.
Ahmad bin Hambal berkata: "Seandainya sanad hadis ini dibacakan kepada orang yang gila, niscaya ia akan sembuh dari penyakit gilanya itu." Sebagian raja dinasti Sâmâniyah berwasiat supaya hadis ini ditulis dengan tinta emas dan dikuburkan bersama dirinya.
Ma'mûn Menyambut Imam Ar-Ridha

Ma'mûn mengeluarkan perintah untuk menyambut Imam Ar-Ridhâ as. dengan penyambutan resmi kerajaan. Seluruh angkatan bersenjata dan rakyat keluar untuk menyambutnya. Ma'mûn berdiri di barisan paling depan dengan disertai oleh para menteri dan anggota Dewan Musyawarah Kerajaan. Ia bergegas maju ke depan untuk menyambut dan menjabat tangan Imam Ar-Ridhâ, serta memeluknya. Ia menyambutnya dengan sambutan yang sangat hangat. Para menterinya juga melakukan hal yang sama. Ma'mûn menyediakan satu rumah khusus untuknya. Rumah itu dihampari permadani-permadani yang paling mewah dan dilengkapi dengan pembantu-pembantu (yang selalu siap melaksanakan segala titah).
Ma'mûn Menawarkan Kekhalifahan kepada Imam Ar-Ridhâ as.

Ma'mûn mengutarakan masalah kekhalifahan kepada Imam Ar-Ridhâ as. Ia berkeinginan untuk mengundurkan diri secara resmi dan menyerahkan kedudukan ini kepada Imam Ar-Ridhâ sepenuhnya. Ia berkata: "Wahai putra Rasulullah, aku telah mengetahui keutamaan, ilmu pemgetahuan, kezuhudan, wara', dan ibadah Anda. Oleh karena itu, menurut pendapatku, Anda adalah lebih pantas daripada aku untuk memegang tampuk kekhalifahan ini."
Imam Ar-Ridhâ as. menjawab: "Dengan zuhud terhadap kegemerlapan dunia aku mengharapkan keselamatan dari kejahatan dunia. Dengan menahan diri dari hal-hal yang haram aku mengharapkan dapat menggapai segala keuntungan (akhirat). Dan dengan kerendahan hati di dunia ini aku mengharapkan ketinggian kedudukan di sisi Allah ...."
Ma'mûn bergegas menimpali: "Sesungguhnya aku ingin mencabut diriku dari kekhalifahan ini dan menyerahkannya kepada Anda."
Seluruh niat licik Ma'mûn tidak tersembunyi bagi Imam Ar-Ridhâ as. Ia mengusulkan kekhalifahan itu kepadanya hanya untuk menggapai tujuan-tujuan politiknya. Bagaimana mungkin ia akan mengundurkan diri dari kursi kekhalifahan, sedangkan ia telah tega membunuh saudaranya, Amîn untuk merebutnya? Lalu, bagaimana mungkin ia menyerahkannya kepada Imam Ar-Ridhâ as.?
Imam Ar-Ridhâ as. menepis segala usaha Ma'mûn dan memberikan jawaban yang tegas kepadanya sembari berkata: "Jika kekhalifahan ini adalah hakmu, maka tidak boleh engkau melepas pakaian yang telah dipakaikan oleh Allah kepadamu dan memberikannya kepada orang lain. Dan jika kekhalifahan ini bukan hakmu, maka engkau tidak boleh memberikan kepadaku sesuatu yang bukan milikmu."
Mendengar jawaban ini, Ma'mûn marah besar dan mengancam Imam Ar-Ridhâ as. seraya berkata: "Engkau harus menerima kekhalifahan ini ...."
Imam Ar-Ridhâ as. menjawab: "Aku tidak akan menerima kekhalifahan lantaran aku taat kepadamu ...."
Imam Ar-Ridhâ yakin seratus persen bahwa penyerahan kekhalifahan itu adalah suatu usaha yang bohong dan tidak serius. Ma'mûn berasal dari keluarga Bani Abbâsiyah yang selalu merasa iri hati dan benci kepada Ahlul Bait as. Mereka telah melakukan tindakan-tindakan zalim kepada Ahlul Bait as. yang tidak pernah dilakukan oleh dinasti Bani Umayyah. Dengan ini semua, bagaimana mungkin ia bisa mempercayainya?
Kedudukan Putra Mahkota Ditawarkan kepada Imam Ar-Ridha

Ketika Ma'mûn sudah merasa putus asa memaksa Imam Ar-Ridhâ as. untuk menerima kekhalifahan, untuk kali kedua ia menawarkan kepadanya untuk menerima kedudukan sebagai putra mahkota kerajaan. Imam Ar-Ridhâ as. pun menolak tawaran tersebut dengan keras. Seluruh usaha Ma'mûn untuk mewujudkan cita-citanya itu berlangsung selama dua bulan, dan tidak mendapatkan hasil sedikit pun. Imam Ar-Ridhâ as. selalu menghela untuk menerima kedudukan pemerintahan apapun yang ditawarkan kepadanya.
Imam Ar-Ridhâ Dipaksa untuk Bersedia Menjadi Putra Mahkota

Seluruh cara diplomatik yang telah dicoba oleh Ma'mûn untuk merelakan Imam Ar-Ridhâ as. menjadi putra mahkota kerajaan menemui jalan buntu. Oleh karena itu, ia berinisiatif untuk menempuh jalan pemaksaan. Akhirnya, ia mengutus pesuruh kerajaan untuk memanggil Imam Ar-Ridhâ as. menghadap. Imam Ar-Ridhâ as. berkata kepadanya: "Demi Allah, aku tidak pernah berbohong dari sejak Tuhanku 'Azza Wajalla menciptakanku ... Sesungguhnya aku tahu apa yang engkau inginkan."
Ma'mûn bergegas bertanya: "Apa yang kuinginkan?"
Imam Ar-Ridhâ as. menimpali: "Apakah engkau menjamin keamananku?"
"Kujamin keamananmu," jawabnya pendek.
Imam Ar-Ridhâ as. berkata: "Engkau ingin supaya masyarakat berpendapat, 'Ali bin Mûsâ telah mengabaikan kezuhudan terhadap dunia. Malah, dunia yang enggan menempel dengannya (dan ia mengejar-ngejarnya). Jika tidak demikian, bagaimana mungkin ia menerima kedudukan sebagai putra mahkota jika bukan karena tamak terhadap kekhalifahan?'"
Ma'mûn marah besar. Ia berteriak atas Imam Ar-Ridhâ as. sembari berkata: "Engkau senantiasa melontarkan ucapan-ucapan yang tidak kusenangi. Aku telah menjaminmu dari amarahku. Demi Allah, jika engkau menerima kedudukan sebagai putra mahkota, maka itulah yang kuharapkan, dan jika engkau enggan menerimanya, aku akan memaksamu. Jika engkau menurut, maka itulah harapanku, dan jika engkau tidak menurut, maka aku akan memenggal lehermu."
Imam Ar-Ridhâ as. menghadapkan diri kepada Allah seraya berdoa: "Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah melarangku untuk menjerumuskan diriku ke dalam jurang kebinasaan. Aku telah dipaksa dan terpaksa lantaran aku mendapatkan ancaman untuk dibunuh oleh Abdullah Ma'mûn apabila aku tidak menerima kedudukan sebagai putra mahkota. Aku telah dipaksa dan terpaksa sebagaimana Yusuf dan Daniyal terpaksa menerima kepemimpinan dari tangan penguasa zalim pada masa mereka."
Dengan segala keterpaksaan, Imam Ar-Ridhâ as. menerima kedudukan sebagai putra mahkota, sedangkan ia menangis dan sedih.
Syarat-syarat yang Diajukan oleh Imam Ar-Ridhâ as.

Imam Ar-Ridhâ as. memberikan beberapa syarat kepada Ma'mûn untuk menerima kedudukan itu. Seluruh syarat itu menunjukkan bahwa ia dipaksa harus menerima kedudukan tersebut. Syarat-syarat tersebut adalah:
a. Tidak mengangkat seseorang untuk menjadi pejabat negara.
b. Tidak memberhentikan seseorang dari kedudukannya sebagai pejabat negara.
c. Tidak bersedia membatalkan satu pun dari ritual-ritual resmi negara.
d. Menjadi penasihat negara dari jauh (baca: secara tidak resmi).
Ma'mûn terpaksa menyetujui syarat-syarat yang sangat bertentangan dengan tujuan-tujuan (politik)nya itu. Kami telah memaparkan teks surat pengangkatannya sebagai putra mahkota dan butir-butir yang telah ditentukan oleh kerajaan dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as.
Pembaiatan Imam Ar-Ridhâ as.

Ma'mûn mengadakan sebuah acara resmi istimewa yang dihadiri oleh para menteri, petinggi militer, para pembesar kerajaan, dan tokoh-tokoh penting masyarakat. Acara resmi ini ditujukan untuk membaiat Imam Ar-Ridhâ as. sebagai putra mahkota kerajaan. Orang pertama yang melakukan baiat adalah Abbâs bin Ma'mûn yang langsung diikuti oleh Bani Abbâsiyah dan Bani Ali as.
Tata cara pembaiatan ini sangat berbeda dan tidak pernah dialami oleh Bani Abbâsiyah selama itu. Imam Ar-Ridhâ as. mengangkat tangannya. Bagian belakang telapak tangannya menghadap ke wajahnya sendiri dan telapak tangannya menghadap ke wajah para pembaiat. Ma'mûn terkejut dengan cara pembaiatan semacam ini seraya berkata: "Julurkanlan tanganmu untuk dibaiat."
Imam Ar-Ridhâ as. menjawab: "Sesungguhnya dengan cara beginilah Rasulullah saw. dibaiat."
Mungkin tindakannya ini bersandarkan kepada firman Allah swt. yang berbunyi: "Tangan Allah berada di atas tangan mereka." (QS. Al-Fath [48]:10) Dengan demikian, tangan pembaiat tidak layak berada di atas tangan Rasulullah saw. dan Imam Ar-Ridhâ as.
Keputusan-Keputusan Penting

Ma'mûn mengeluarkan surat keputusan-surat keputusan penting dalam rangka pengangkatan Imam Ar-Ridhâ as. sebagai putra mahkota. Surat keputusan-surat keputusan tersebut adalah:
a. Gaji seluruh anggota militer dan tentara diberikan untuk setahun penuh.
b. Larangan untuk mengenakan pakaian berwarna hitam yang merupakan pakaian simbol Bani Abbâsiyah dan perintah untuk mengenakan pakaian berwarna hijau, lantaran pakaian berwarna hijau adalah pakaian para penduduk surga. Allah swt. berfirman: "Dan mereka mengenakan pakaian berwarna hijau yang terbuat dari sutra." (QS. Al-Kahf [18]:31)
c. Mencetak dinar dan dirham kerajaan dengan dibubuhi nama Imam Ar-Ridhâ as.
Ketakutan Ma'mûn Terhadap Imam Ar-Ridha

Tidak lama berlalu dari penobatan Imam Ar-Ridhâ as. sebagai putra mahkota, Ma'mûn mulai gelisah. Ia merasa takut dan khawatir atas masyarakat banyak yang selalu berkumpul mengerumuninya. Seluruh pertemuan dan majelis selalu membicarakan keutamaan dan ketinggian pribadinya, serta bahwa ia sangatlah layak untuk menduduki kursi kekhalifahan dan Bani Abbâsiyah tidak lain adalah keluarga pencuri dan pembikin keonaran. Ma'mûn marah besar. Oleh karena itu, ia mengambil keputusan-keputusan berikut ini:
a. Melakukan penjagaan ketat atas Imam Ar-Ridhâ as. dengan meletakkan kekuatan-kekuatan keamanan yang selalu siap menghitung keluar masuk napasnya. Kepemimpinan penjagaan ketat ini diserahkan kepada Hisyâm bin Ibrahim Ar-Râsyidî. Ia selalu melaporkan setiap ucapan yang keluar dari mulut Imam Ar-Ridhâ as.
b. Melarang para pengikut Syi'ah untuk menghadiri majelis pertemuan Imam Ar-Ridhâ as. dan mendengarkan ucapan-ucapannya. Ma'mûn menyerahkan urusan ini kepada penjaga pintu istana yang bernama Muhammad bin 'Amr Ath-Thûsî. Ia selalu mengusir para Syi'ah dan memperlakukan mereka dengan penuh kekerasan.
c. Melarang para ulama untuk mengadakan hubungan dengan Imam Ar-Ridhâ as. dan menimba ilmu pengetahuan darinya.
Imam Ar-Ridhâ Dibunuh

Ma'mûn sendiri yang telah membunuh Imam Ar-Ridhâ as. Ia memasukkan racun yang membinasakan ke dalam buah anggur atau delima. Ketika Imam Ar-Ridhâ as. memakan buah tersebut, racun merayap ke sekujur tubuh sucinya. Tidak lama berselang, jiwanya harus menghadap ke haribaan Ilahi dengan diiringi oleh para malaikat Rahman dan dijemput oleh roh para nabi as. di surga keabadian.
Imam Ar-Ridhâ as. pergi menghadap Tuhan Yang Kudus setelah ia melaksanakan tugas menyebarkan risalah Allah kepada para hamba-Nya. Ia tidak pernah ikut campur tangan dalam akfititas kerajaan Ma'mûn, dan sebagai gantinya, ia telah menerima segala macam kezaliman dan panganiayaan darinya.
Acara Ritual Pemakaman Tubuh Imam Ar-Ridha

Tubuh Imam Ar-Ridhâ as. diantarkan ke liang lahat dengan acara ritual pemakaman yang sangat agung yang tidak pernah disaksikan oleh kota Khurasan di sepanjang sejarahnya. Kantor-kantor resmi kerajaan, pusat-pusat perdagangan, dan seluruh kegiatan masyarakat libur total. Seluruh lapisan masyarakat keluar dari rumah-rumah mereka untuk mengantarkan tubuh suci Imam Ar-Ridhâ as. Tampak di barisan paling depan adalah Ma'mûn, para menterinya, para pembesar kerajaan, dan petinggi angkatan militer kerajaan. Ma'mûn keluar dengan kepala dan kaki telanjang. Ia berkata dengan suara yang nyaring: "Aku tidak tahu musibah manakah yang paling besar di antara dua musibah yang telah menimpaku ini: aku kehilanganmu dan harus berpisah denganmu atau tuduhan masyarakat bahwa aku telah membunuhmu?"
Ma'mûn menampakkan kesedihan dan kesusahan yang sangat dalam atas kepergian Imam Ar-Ridhâ as. demi membebaskan dirinya dari tuduhan membunuhnya tersebut. Akan tetapi, tidak lama berselang seluruh kelicikan dan riya' hatinya tersingkap di mata khalayak ramai. Mereka akhirnya tahu bahwa orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan Imam Ar-Ridhâ as. itu adalah Ma'mûn sendiri.
Tubuh suci Imam Ar-Ridhâ as. dikeluarkan dengan disertai takbir dan tahlil yang menggema. Ma'mûn menguburkan tubuh suci itu di persemayamannya yang terakhir di dekat kuburan Hârûn. Dengan kepergiannya itu, seluruh kemuliaan umat manusia dan karakter-karakter tinggi insani pun terkubur juga.
Imam Ar-Ridhâ as. telah dimakamkan di tanah yang suci tersebut, dan makam sucinya di Khurasan menjadi lambang kemuliaan insani. Makamnya ini adalah makam termulia di dalam agama Islam. Umat manusia tidak pernah mengenal makam seorang wali Allah yang dipenuhi oleh kemuliaan dan keagungan seperti makam Imam Ar-Ridhâ as. ini.
Ma'mûn pernah ditanya mengapa Imam Ar-Ridhâ as. dimakamkan di dekat kubur Hârûn. Ia menjawab: "Supaya Allah mengampuni ayahku lantaran berdekatan dengan Ar-Ridhâ."
Penyair dunia pemikiran Islam, Di'bil Al-Khuzâ'î mengolok-olok logika murahan ini seraya menyenandungkan bait-bait syair berikut:
Ada dua kuburan di Thûs: satu kuburan manusia terbaik, dan satu lagi kuburan manusia terburuk. Alangkah ini adalah sebuah palajaran.
Kotoran tak akan bersih dengan berada dekat orang yang suci, dan orang suci pun tak 'kan ternodai dengan berada dekat kotoran.
Tidaklah demikian! Setiap orang menanggung segala perbuatannya, baginyalah kedua tangannya, maka ambillah yang kau sukai atau tinggalkan.
Ala kulli hal, dengan kepergian Imam Ar-Ridhâ as., satu lembaran (sejarah) dunia Islam yang cerlang dengan petunjuk dan keimanan telah sirna. Muslimin pun telah kehilangan pemimpin dan imam teragung mereka. Innâ lillâh wa innâ ilaih râji'ûn.
Catatan Kaki:

Hayâh Al-Imam Ar-Ridhâ as., jilid 1, hal. 10.
Nûr Al-Abshâr, hal. 138.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 12, hal. 28.
'Uyûn Akhbâr Ar-Ridhâ, jilid 2, hal. 178; Al-Manâqib, jilid 4, hal. 361.
Kasyf Al-Ghummah, jilid 3, hal. 107.
Dalam sebuah naskah yang lain terdapat ungkapan"kecuali ia mengetahui".
Hayâh Al-Imam Al-Jawâd as., hal. 42.
A'yân Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 200.
Ushûl Al-Kâfî, jilid 1, hal. 11; Wasa'il sy-Syi'ah, jilid 11, hal. 161.
A'yân Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 196, bagian kedua.
Ushûl Al-Kâfî, jilid 2, hal. 111.
Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 445.
Ibid.
Wasâ'il Asy-Syi'ah, jilid 18, hal. 92.
Ibid., jilid 8, hal. 442.
Ibid., hal. 483.
Ad-Durr An-Nazhîm, hal. 215.
Târîkh Al-Ya'qûbî, jilid 3, hal. 181.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 78, hal. 335.
Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 446.
Ibid.
Wasâ'il Asy-Syi'ah, jilid 12, hal. 587.
Ibid., jilid 8, hal. 563.
Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as., jilid 1, hal. 38.
Al-Manâqib, jilid 4, hal. 333.
Ibid.
Nuzhah Al-Mâjalis, jilid 2, hal. 107.
Jawharah Al-Kalâm, hal. 146.
Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as., jilid 1, hal. 39.
Al-Ithâf bi Hubb Al-Asyrâf, hal. 59.
Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Jawâd as., hal. 40.
Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as., jilid 1, hal. 35.
Al-Manâqib, jilid 4, hal. 361.
Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as., jilid 2, hal. 284.
'Uyûn Akhbâr Ar-Ridhâ as., jilid 2, hal. 149; Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as., jilid 2, hal. 285.
Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as., jilid 2, hal. 285; A'yân As-Syi'ah, jilid 2, hal. 18.
A'yân As-Syi'ah, jilid 4, hal. 122, bagian kedua.
Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as., jilid 2, hal. 287.
'Uyûn Akhbâr Ar-Ridhâ as., jilid 2, hal. 135. Hadis ini memiliki kedudukan yang sangat penting di kalangan para ulama. Oleh karena itu, mereka memasukkannya ke dalam kategori hadis-hadis yang mutawâtir.
Akhbâr Ad-Duwal, hal. 115.
Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 95.
Akhbâr Ad-Duwal, hal. 115.
Maqâtil Ath-Thâlibiyyîn, hal. 455.
Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as., jilid 2, hal. 306.
Kami telah memaparkan kisah pembunuhan terhadap Imam Ar-Ridhâ as ini di dalam buku kami yang berjudul Hayâh Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as.

IMAM MUHAMMAD AL-JAWAD

Imam Muhammad Al-Jawâd as. memiliki seluruh keutamaan yang ada di alam semesta ini. Ia adalah figur ajaib di kalangan umat manusia dengan perbedaan agama dan naluri yang mereka miliki. Ia telah memegang tampuk imâmah pada usia tujuh tahun beberapa bulan. Banyak sekali ilmu pengetahuan telah nampak darinya yang membuat setiap akal takjub dan terheran-heran. Umat manusia senantiasa membicarakan karunia dan kejeniusan-kejeniusannya di sepanjang masa.
Para fuqaha dan ulama telah mengelilinginya (untuk menimba ilmu pengetahuan) sedangkan ia masih berusia semuda itu. Mereka bertanya kepadanya tentang masalah-masalah yang paling sulit dan ruwet, dan ia menjawab semua masalah itu bak seorang 'alim yang sangat mumpuni. Para perawi hadis meriwayatkan bahwa ia pernah ditanya tentang tiga puluh ribu masalah dalam kesempatan dan majelis yang berbeda-beda, dan ia menjawab seluruh masalah tersebut.
Sangat gamblang sekali bahwa tidak ada sebab dan faktor lain atas seluruh keajaiban tersebut kecuali keyakinan yang dimiliki oleh mazhab Syi'ah bahwa Allah swt. telah menganugerahkan ilmu pengetahuan, hikmah, dan Fashl Al-Khithâb kepada para imam Ahlul Bait as. Dia telah memberikan keutamaan kepada mereka yang tidak pernah diberikan-Nya kepada siapa pun di dunia ini.
Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sebagian sisi pribadi dan kehidupan imam dan pemimpin yang agung ini.
Di Bawah Asuhan Sang Ayah

Imam Al-Jawâd as. hidup di bawah naungan dan lindungan sang ayah dengan penuh kasih sayang dan kecintaan. Imam Ar-Ridhâ as. tidak pernah memanggilnya dengan menyebut namanya. Imam Ar-Ridhâ as. selalu memanggilnya dengan menyebut gelarnya, Abu Ja'far. Selama Imam Ar-Ridhâ as. berdomisili di Khurasan, Imam Al-Jawâd as. senantiasa menulis surat kepada sang ayah. Surat-surat ini ditulis dengan kefasihan yang sangat tinggi.
Di antara manifestasi keagungan pendidikan Imam Ar-Ridhâ as. terhadap putranya adalah ia senantiasa memberi semangat kepada sang putra untuk berbuat kebajikan dan kebaikan kepada orang-orang fakir miskin. Ketika ia berada di Khurasan, ia menulis surat kepada Imam Al-Jawâd as. yang di antara isinya adalah sebagai berikut:
Semoga jiwaku menjadi tebusanmu! Aku mendengar berita bahwa jika engkau menunggangi kuda (untuk keluar rumah), para budak mengeluarkanmu melalui pintu kebun yang kecil itu. Tindakan mereka ini menunjukkan sifat kekikiran mereka supaya tak seorang pun berhasil mendapatkan kebaikanmu. Aku memohon kepadamu demi hak yang kumiliki atasmu, hendaknya keluar masukmu terlaksana melalui pintu rumah yang besar itu. Jika engkau menunggangi kuda (untuk keluar rumah)-insya Allah, hendaknya engkau membawa serta kepingan emas dan perak sehingga apabila seseorang memohon bantuan kepadamu, engkau dapat memberikan bantuan kepadanya. Jika salah seorang dari paman-pamanmu memohon kebaikanmu, janganlah kamu berikan kepadanya uang lebih sedikit dari lima puluh dinar, dan jika engkau ingin memberi uang lebih banyak, itu semua terserah kepadamu. Jika salah seorang dari bibi-bibimu memohon kebaikanmu, janganlah kamu berikan kepadanya uang kurang dari lima puluh dinar, dan jika engkah ingin memberi uang lebih banyak, itu semua terserah kepadamu. Jika salah seorang dari bangsa Quraisy memohon kebikanmu, janganlah kamu berikan kepadanya uang kurang dari dua puluh lima dinar, dan jika engkau ingin memberi uang lebih banyak, itu semua terserah kepadamu. Aku ingin supaya Allah menganugerahkan taufik kepadamu, Maka, infakkanlah hartamu dan janganlah kamu khawatirkan kemiskinan dari Dzat Pemilik 'Arsy.
Anda perhatikan pendidikan agung nan tinggi yang penuh dengan kemuliaan dan keagungan ini? Imam Ar-Ridhâ as. telah menanamkan akhlak yang mulia dan karakter yang agung di dalam lubuk hati putranya supaya ia layak untuk menjadi panutan bagi umat kakek ia saw.
Perhatian Keluarga Nabawi

Keluarga nabawi memberikan perhatian yang khusus kepada Imam Al-Jawâd as. dan memperlakukannya dengan penuh pengagungan dan pemuliaan, sedangkan ia masih berusia belia pada waktu itu. Coba kita lihat Ali bin Ja'far, seorang faqih agung dan saudara kandung Imam Mûsâ bin Ja'far as. Ia adalah salah seorang tonggak Bani Ali as. dalam keutamaan dan ketakwaan. Ia sangat menyucikan dan mengagungkan Imam Al-Jawâd as. Ia juga mengakui keutamaan dan kedudukan imâmah-nya, meskipun ia masih berusia belia.
Muhammad bin Hasan bin 'Imârah bercerita: "Aku pernah duduk-duduk di rumah Ali bin Ja'far di Madinah. Aku diam di rumahnya selama dua tahun untuk mencatat seluruh hadis yang telah ia riwayatkan dari saudaranya, yaitu Imam Mûsâ as. Tiba-tiba Abu Ja'far Muhammad bin Ali Ar-Ridhâ as. masuk ke dalam masjid Rasulullah saw. Seketika itu juga Ali bin Ja'far melompat tanpa alas kaki dan jubah, lantas mencium tangannya dan mengagungkannya. Imam Al-Jawâd as. menoleh ke arahnya seraya berkata, 'Duduklah hai pamanku. Semoga Allah merahmatimu ....'
Ali bin Ja'far membungkuk dengan penuh rasa hormat dan takzim seraya berkata, 'Wahai junjunganku, bagaimana mungkin aku duduk, sedangkan Anda masih berdiri?'
Imam Al-Jawâd pun lalu pergi dan Ali bin Ja'far kembali menemui para sahabatnya. Mereka bertanya-tanya kepadanya, 'Engkau adalah paman ayahnya, dan engkau memperlakukannya demikian?'
Ali menjawab pertanyaan mereka dengan logika keimanan seraya berkata, 'Duduklah kamu semua. Jika Allah-sambil memegang jenggotnya-tidak memberikan kelayakan kepada jenggot ini-untuk memegang imâmah-dan memilih pemuda ini (untuk itu), serta meletakannya di tempat yang Dia kehendaki, kita harus berlindung kepada Allah dari apa yang telah kamu ucapkan itu. Bahkan, aku adalah hamba baginya ....'"
Riwayat ini mengindikasikan kedalaman imam Ali bin Ja'far. Ia menegaskan kepada para sahabatnya bahwa imâmah tidak tunduk kepada kehendak manusia. Urusan imâmah ini berada di tangan Allah swt. Dia-lah yang menganugerahkan kedudukan ini kepada hamba yang dikehendaki-Nya tanpa ada perbedaan antara orang yang sudah berusia dewasa dan belia.
Kezuhudan

Imam Al-Jawâd as. zuhud terhadap seluruh harta dunia dan kegermelapannya. Ia tak ubahnya seperti nenek moyangnya yang selalu zuhud terhadap dunia dan meMûsâtkan seluruh konsentrasi hanya kepada Allah swt. dengan sepenuh hati dan wujud mereka.
Pada waktu itu, Imam Al-Jawâd as. masih berusia muda. Al-Ma'mûn selalu mengucurkan harta yang berlimpah kepadanya, di samping hak-hak syar'î yang senantiasa datang kepadanya dan harta-harta wakaf yang terdapat di kota Qom. Hanya saja, ia tidak pernah menginfakkan seluruh harta tersebut untuk kepentingan-kepentingan pribadinya. Ia selalu menginfakkannya-dengan segala kemurahan hati-kepada orang-orang fakir-miskin dan tertindas.
Husain Al-Mukârî menceritakan kepada kita pengagungan dan pemuliaan yang didapatkan oleh Imam Al-Jawâd as. di Baghdad. Ia berbisik dalam hatinya untuk tidak kembali pulang ke negerinya. Sebagai gantinya, ia akan berdomisili di Baghdad untuk memanfaatkan seluruh kenikmatan dunia yang sudah tersedia. Imam Al-Jawâd as. mengetahui apa yang terbersit di dalam hatinya. Ia menghadap kepadanya sembari berkata: "Hai Husain, roti gandum dan garam kasar di samping haram kakekku, Rasulullah saw. adalah lebih kucintai daripada seluruh harta yang kau lihat ini ...."
Imam Al-Jawâd as. bukanlah sosok orang pecinta kerajaan dan kekuasaan. Ia tidak pernah berbahagia dengan seluruh harta yang dikucurkan oleh kerajaan kepadanya. Ia meneruskan kehidupannya dengan berzuhud dan berpaling dari harta dunia.
Kedermawanan

Imam Al-Jawâd as. adalah figur yang paling murah tangan dan selalu berbuat kebajikan kepada orang-orang fakir-miskin melebihi orang lain. Ia diberi gelar Al-Jawâd lantaran kedermawanannya ini. Di antara contoh-contoh menifestasi kedermawanannya ini, kita bisa bisa memperhatikan riwayat-riwayat berikut ini:

a. Para ahli sejarah meriwayatkan bahwa Ahmad bin Hadîd pernah melakukan ibadah haji bersama beberapa orang sahabatnya. Di pertengahan jalan, mereka diserang oleh segerombolan perampok. Gerombolan pencuri itu merampas seluruh harta yang mereka miliki. Ketika tiba di Madinah, Ahmad pergi menemui Imam Al-Jawâd as. dan menceritakan peristiwa yang telah dialami oleh rombongannya. Ia memerintahkan supaya mereka diberi pakaian dan uang, serta dibagikan kepada rombongannya. Seluruh pakaian dan harta yang telah diberikan oleh Imam Al-Jawâd tersebut adalah senilai dengan harta mereka yang telah dirampas oleh gerombolam perampok tersebut.

b. Al-'Atbî meriwayatkan bahwa salah seorang keturunan Bani Ali as. mencintai seorang sahaya di Madinah, dan ia tidak memiliki harta untuk membelinya. Ia mengadukan hal itu kepada Imam Al-Jawâd as. Imam Al-Jawâd bertanya tentang tuan sahaya tersebut kepadanya, dan ia memberitahukan siapa tuannya. Imam Al-Jawâd bangkit dan membeli seluruh tanah, banguna, kebun, dan sahaya tersebut dari tuannya.
Pada suatu hari, 'Alawi tersebut keluar rumah untuk menanyakan tentang sahaya itu. Ia diberi tahu bahwa sahaya itu telah dijual dan mereka tidak tahu siapa yang telah membelinya secara diam-diam. Ia bergegas menemui Imam Al-Jawâd seraya menjerit: "Sahaya itu telah dijual."

Imam Al-Jawâd as. menyambutnya dengan senyuman penuh bahagia seraya bertanya: "Tahukah kamu siapa yang telah membelinya?"
"Tidak," jawabnya pendek.
Imam Al-Jawâd as. pergi membawanya menuju kebun dan bangunan mewah yang ditempati oleh sahaya itu. Ia menyuruhnya untuk masuk ke dalam. Ia menolak karena tidak tahu siapa pemiliknya. Ia memaksanya dan akhirnya ia bersedia masuk. Ketika memasuki rumah tersebut, ia mendapatkan sahaya itu terdapat di dalamnya. Imam Al-Jawâd as. bertanya kepadanya: "Apakah kamu kenal dia?"
Ia menjawab: "Ya." Ia akhirnya tahu bahwa Imam Al-Jawâd adalah orang yang telah membelinya. Imam Al-Jawâd as. berkata kepadanya: "Sahaya, rumah, tanah, kebun, dan seluruh harta yang terdapat di dalamnya adalah untukmu." 'Alawi itu terbang lantaran bahagia dan sangat berterima kasih kepadanya.
Dua kisah ini adalah salah satu contoh dari kedermawanan Imam Al-Jawâd as.
Keluasan Ilmu Pengetahuan

Meskipun masih berusia masih muda, Imam Al-Jawâd as. adalah figur yang paling 'alim pada masanya. Ia sering melakukan perdebatan-perdebatan filosofis, teologis, dan fiqih dengan para ulama kenamaan, dan ia selalu keluar sebagai pemenang. Mereka mengakui keutamaan dan keunggulan ia atas diri mereka.
Para fuqaha dan ulama berkumpul mengelilingi Imam Al-Jawâd as. (untuk menimba ilmu pengetahuan), sedangkan ia masih berusia tujuh tahun. Mereka menimba banyak ilmu pengetahuan darinya sehingga keutamaannya dikenal oleh masyarakat umum dan majelis-majelis ilmiah senantiasa membicarakan hal itu.
Imam Al-Jawâd as. adalah keajaiban dunia dalam kejeniusannya. Ketika Al-Ma'mûn ingin menikahkan Imam Al-Jawâd dengan anak perempuannya, Bani Abbâsiyah khawatir dan memohon kepadanya untuk diizinkan menguji keilmuannya. Al-Ma'mûn memberi izin. Mereka memilih Yahyâ bin Aktsam, Hakim Agung Baghdad, untuk melakukan ujian atas Imam Al-Jawâd. Mereka menjanjikan harta melimpah kepadanya jika ia mampu menguji Imam Al-Jawâd as. dan ia tidak mampu menjawab.
Dalam sebuah pertemuan yang dipenuhi oleh para menteri kerajaan, komandan militer, dan tokoh masyarakat, Yahyâ maju ke depan untuk mendekat kepada Imam Al-Jawâd as. seraya bertanya: "Semoga aku dijadikan tebusan Anda! Apakah Anda mengizinkan kepadaku untuk bertanya tentang suatu masalah?"
Imam Al-Jawâd as. menyambutnya dengan senyuman yang merekah seraya berkata: "Tanyakanlah apa yang kau kehendaki."
Ia bertanya: "Bagaimana pendapat Anda-semoga Allah menjadikanku sebagai tebusan Anda-tentang seseorang yang sedang melakukan ihram dan membunuh seekor binatang buruan?"
Imam Al-Jawâd as. menjabarkan pertanyaan itu ke dalam beberapa masalah lagi dan memecahnya menjadi beberapa masalah cabang. Ia bertanya kepada Yahyâ cabang masalah manakah yang ingin ia tanyakan. Ia berkata: "Ia membunuh binatang tersebut di daerah halal (baca: di luar daerah Mekah dan Madinah) atau di daerah haram? Ia mengetahui hukum atau tidak? Ia sengaja atau tidak? Ia adalah seorang budak atau merdeka? Ia masih kecil atau sudah besar? Ia membunuh untuk pertama kalinya atau sudah yang ke berapa kali? Binatang buruan tersebut berasal dari bangsa burung atau selainnya? Bangsa burung yang kecil atau yang besar? Ia menyesal atas tindakannya itu atau tidak? Ia membunuhnya pada malam hari di sarangnya atau di siang hari dan di khalayak ramai? Apakah ia melakukan ihram untuk ibadah haji atau umrah?"
Yahyâ tercengang dan nampak tak berkutik, lantaran ia tidak membayangkan seluruh masalah cabang yang dapat dijabarkan dari pertanyaannya itu. Ruangan pertemuan itu dipenuhi dengan gemuruh gema takbir dan tahlil. Gamblang bagi seluruh hadirin bahwa Allah swt. telah menganugerahkan hikmah dan ilmu pengetahuan kepada para imam Ahlul Bait as., sebagaimana Dia telah menganugerahkannya kepada para nabi dan rasul-Nya.
Imam Al-Jawâd as. telah memecah masalah tersebut menjadi beberapa masalah cabang, meskipun sebagian masalah itu tidak memiliki perbedaan hukum dengan yang lainnya. Seperti, membunuh binatang buruan di siang atau malam hari. Hukum tentang masalah ini adalah satu. Akan tetapi, ia menyebutkan keduanya demi membungkam mulut lawan bicara dan membuktikan kelemahannya. Hal itu lantaran ia datang hanya untuk menguji.
Akhirnya, Al-Ma'mûn menoleh kepada seluruh Bani Abbâsiyah yang hadir seraya berkata kepada mereka: "Segala puji bagi Allah atas nikmat ini. Dan terbukti bahwa pendapatku adalah benar. Apakah kamu semua sudah tahu sekarang apa yang selama ini kamu ingkari?"
Setelah terbukti bagi seluruh keluarga Bani Abbâsiyah tentang keutamaan dan keluasan ilmu pengetahuan Imam Al-Jawâd as., padahal ia masih berusia muda belia, Al-Ma'mûn berdiri dan menikahkannya dengan anak perempuannya.
Dari Kedalaman Iman

Imam Al-Jawâd as. memiliki banyak nasihat yang sangat bermutu dan mengajak kita untuk beriman kepada Allah dan pasrah diri kepada-Nya. Di antara nasihat-nasihat itu adalah sebagai berikut:

a. Percaya Penuh kepada Allah

Imam Al-Jawâd as. berkata: "Barang siapa percaya penuh kepada Allah, niscaya Dia akan menampakkan kepadanya kebahagiaan dan barang siapa berpasrah diri kepada Allah, niscaya Dia akan mencukupkan baginya segala urusan. Percaya penuh kepada Allah adalah sebuah benteng yang tidak bertahan di dalamnya kecuali seorang mukmin, dan pasrah diri (tawakal) kepada Allah adalah keselamatan dari segala keburukan dan tameng terhadap setiap musuh ...."
Kalimat-kalimat emas ini terisi penuh wejangan indah yang diperlukan oleh seluruh umat manusia dalam kehidupan mereka. Yaitu, percaya penuh kepada Allah, Pencipta alam semesta dan Penganugerah kehidupan. Barang siapa percaya penuh kepada-Nya, niscaya Dia akan menampakkan kepadanya kebahagiaan dan barang siapa berpasrah diri kepada-Nya, niscaya Dia akan mencukupkan baginya segala urusan.

b. Merasa Kaya dan Cukup Hanya dengan Berpegang Teguh kepada Allah

Imam Al-Jawâd as. mengajak umat manusia untuk merasa kaya hanya dengan berpegang teguh kepada Allah swt. dan menaruh harapan hanya kepada-Nya, bukan kepada selain-Nya.
Imam Al-Jawâd as. pernah berpesan: "Barang siapa merasa kaya dan cukup hanya dengan berpegang teguh kepada Allah, niscaya masyarakat akan membutuhkannya dan barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya masyarakat akan mencintainya."
Sesungguhnya barang siapa telah merasa kaya dan cukup dengan berpegang teguh kepada Allah, ia tidak akan merasa membutuhkan orang lain dan-sebaliknya-orang lainlah yang akan merasa butuh kepadanya. Karena, ia akan menjadi sumber anugerah baginya.

c. Memfokuskan Seluruh Wujud dan Perhatian Hanya kepada Allah

Imam Al-Jawâd as. mendorong umat manusia untuk memfokuskan seluruh wujud dan perhatian mereka hanya kepada Allah swt. yang anugerah dan kasih sayang-Nya tak pernah terputus. Orang yang memfokuskan seluruh wujud dan perhatiannya kepada selain Allah, ia telah mengalami kerugian besar. Ia berpesan: "Barang siapa yang menfokuskan seluruh wujudnya (inqitha') kepada selain Allah, niscaya Dia akan menyerahkannya kepada orang tersebut ...."
Akhlak yang Mulia

Imam Al-Jawâd as. mengajak kita semua untuk memiliki akhlak yang mulia dan karakter yang bagus. Di antara wasiat-wasiat ia adalah berikut ini:
Imam Al-Jawâd as. berkata: "Termasuk salah satu akhlak seseorang yang mulia adalah mencegah diri untuk mengganggu orang lain, termasuk salah satu kedermawanannya adalah berbuat kebaikan kepada orang yang dicintai, termasuk salah satu kesabarannya adalah sedikit mengadu, termasuk salah satu nasihatnya adalah mencegah apa yang tidak diridai oleh dirinya, termasuk salah satu kelembutan hatinya terhadap saudaranya adalah tidak mencelanya di hadapan orang yang membencinya, termasuk salah satu kejujurannya dalam menjalin persahabatan adalah menanggung biaya hidup sahabatnya, dan termasuk alamat kecintaan dalam dirinya adalah banyak sepakat dan sedikit menentang."
Dengan ungkapan-ungkapan yang menawan itu, Imam Al-Jawâd as. telah meletakkan pondasi akhlak yang mulia dan tindakan yang terpuji, serta mengajak kita untuk menjalin suatu persahabatan berdasarkan logika dan kelemah-lembutan.
Tata Krama Berperilaku

Imam Al-Jawâd as. telah mencetuskan program-program yang jitu untuk membangun tata krama dan sopan santun yang terpuji dalam berperilaku di hadapan masyarakat luas. Di antara wejangan-wejangannya berkenaan dengan masalah ini adalah berikut ini:
a. Ia berkata: "Ada tiga hal yang dapat mendatangkan kecintaan: tahu diri dalam bergaul, tenggang rasa dalam kesulitan, dan memiliki kalbu yang suci."
b. Ia berkata: "Jika seseorang memiliki tiga hal, maka ia tidak akan menyesal: meninggalkan keterburu-buruan, bermusyawarah, dan pasrah diri (tawakal) kepada Allah swt. ketika telah mengambil sebuah keputusan. Barang siapa menasihati saudaranya secara sembunyi-sembunyi, ia telah menghiasinya dan barang siapa menasihatinya secara terang-terangan (baca: di hadapan khalayak), ia telah mencoreng mukanya ...."
c. Ia berkata: "Tanda buku catatan amal seorang mukmin adalah kemuliaan akhlaknya dan tanda buku catatan amal seorang yang berbahagia adalah pujian yang baik untuknya. Bersyukur adalah hiasan sebuah penjelasan, kerendahan hati adalah hiasan ilmu, tata krama yang mulia adalah hiasan akal, keindahan terbersit di mulut, dan kesempurnaan tersembunyi di dalam akal ...."
Ucapan-ucapan ini mengandung prinsip dasar hikmah, kaidah akhlak, dan tata krama. Jika tidak ada suatu hal lain selain ucapan-ucapan ini, niscaya seluruh ucapan ini sudah cukup untuk membuktikan bahwa ia adalah seorang imam. Hal itu lantaran bagaimana mungkin ia dalam usianya yang masih belia itu dapat mencetuskan hikmah-hikmah kekal abadi yang tidak dapat dicetuskan oleh para ulama kenamaan seperti ini?
Nasihat

Banyak nasihat yang telah diriwayatkan dari Imam Al-Jawâd as. Di antaranya adalah berikut ini:
a. Ia berkata: "Menunda-nunda tobat adalah sebuah kesombongan, memperpanjang penangguhan adalah sebuah kebingungan, mencari-cari alasan terhadap Allah adalah sebuah kebinasaan, dan mengulangi perbuatan dosa adalah merasa aman diri dari makar Allah. 'Tidak merasa aman dari makar Allah kecuali kaum yang merugi.'" (QS. Al-A'râf [7]:99)
b. Seseorang pernah berkata kepadanya: "Berwasiatlah kepadaku." Imam Al-Jawâd as. berwasiat kepadanya dengan wasiat yang berharga seraya berkata: "Milikilah kesabaran, rangkullah kefakiran, enyahkanlah syahwat, tentanglah hawa nafsu, dan ketahuilah bahwa engkau tidak akan pernah luput dari pengawasan Allah. Maka, lihatlah mau jadi apa engkau ...."
c. Imam Al-Jawâd as. pernah menulis sepucuk surat yang berisi nasihat dan wejangan-wejangan yang sangat berharga kepada sebagian pengikut setianya. Di antara isi surat tersebut adalah "Kita semua hanya akan mengambil secedok air dari dunia ini. Akan tetapi, barang siapa yang kehendaknya mengikuti kehendak sahabatnya dan meniti jalan yang dititi olehnya, ia akan selalu bersamanya di mana pun ia berada. Dan akhirat adalah rumah keabadian."
Ini adalah sebagian nasihat Imam Al-Jawâd as. yang memuat ajakan untuk mengamalkan segala sesuatu yang dapat mendekatkan seseorang kepada Tuhannya dan menjauhkannya dari siksa-Nya. Nasihat-nasihat itu juga berisi larangan untuk mengikuti karakter-karakter buruk yang terpendam dalam diri manusia. Lantaran karakter-karakter buruk ini dapat mendorong kita terjungkal ke dalam jurang kebinasaan dan menjerumuskan kita ke dalam jurang kehinaan dan perbuatan dosa.
Imam Al-Jawâd as. telah memberikan perhatian yang besar dalam menasihati dan memberikan petunjuk kepada masyarakat, sebagaimana hal ini juga pernah dilakukan oleh nenek moyangnya. Realita ini adalah salah satu realita paling cerlang yang dapat kita baca dalam sirah dan sejarah hidup mereka.
Al-Ma'mûn Memohon kepada Imam Al-Jawâd

Al-Ma'mûn pernah memohon kepada Imam Al-Jawâd as. untuk menjelaskan masalah yang telah ditanyakan oleh Yahyâ bin Aktsam di atas. Ia mengabulkan permohonan tersebut seraya menjelaskan: "Jika orang yang sedang melakukan ihram membunuh seekor bintang buruan di daerah halal dan binatang buruan itu termasuk bangsa burung yang besar, maka ia harus membayar satu kambing. Jika ia membunuhnya di daerah haram, maka ia harus membayar kafarah dua kali lipat. Jika ia membunuh anak burung di daerah halal, maka ia harus membayar kibasy yang sudah disapih, dan ia tidak harus membayar harga anak burung itu juga, karena pembunuhan itu tidak terjadi di daerah haram. Jika ia membunuhnya di daerah haram, maka ia harus membayar kibasy dan harga anak burung itu. Jika binatang buruan itu termasuk bangsa binatang liar, maka ia harus membayar sapi apabila binatang yang telah dibunuh itu adalah keledai liar, dan jika binatang yang telah dibunuhnya itu adalah burung unta, maka ia harus membayar unta yang gemuk (badanah). Jika ia tidak mampu (untuk itu), maka ia harus memberi makan enam puluh orang miskin, dan jika ia tidak mampu juga, maka ia harus berpuasa selama delapan belas hari. Jika binatang yang dibunuh itu adalah seekor sapi, maka ia harus membayar seekor sapi. Jika ia tidak mampu, maka ia harus memberi makan tiga puluh orang miskin, dan jika ia tidak mampu juga, maka ia harus berpuasa selama sembilan hari. Jika binatang yang dibunuh itu adalah kijang, maka ia haru membayar seekor kambing. Jika ia tidak mampu, maka ia harus memberi makan sepuluh orang miskin, dan jika ia tidak mampu juga, maka ia harua berpuasa selama tiga hari. Jika ia membunuh binatang liar itu di daerah haram, maka ia harus membayar kafarah sebanyak dua kali lipat. 'Sebagai hadya yang dibawa sampai ke Ka'bah.' Ia harus menyembelih binatang kafarah itu di Mina-di mana para jamaah yang lain menyembelih binatang kurban-jika ia membunuhnya ketika sedang melaksanakan ibadah haji, dan jika ia membunuhnya pada saat melaksanakan ibadah umrah, maka ia harus menyembelihnya di Mekah di halaman Ka'bah dan bersedekah seharga satu kambing.
Jika ia membunuh seekor burung dara yang hidup di daerah haram, maka ia harus membayar 1 dirham, lalu menyedekahkannya dan 1 dirham lagi untuk dibelikan makanan burung-burung dara haram tersebut. Jika ia membunuh anak burung dara, maka ia harus membayar setengah dirham, dan jika ia memecahkan telurnya, maka ia harus membayar seperempat dirham.
Setiap tindakan (baca: kesalahan) yang dilakukan oleh orang yang sedang melaksanakan ihram karena ia tidak tahu hukum atau keliru, maka ia tidak wajib membayar kafarah apapun, kecuali memburu binatang. Memburu binatang mewajibkan kafarah, baik hal itu dilakukan karena ia tidak tahu hukum atau tahu, karena keliru atau sengaja.
Setiap kesalahan yang dilakukan oleh seorang budak, kafarahnya ditanggung oleh tuannya dan kafarahnya adalah sama seperti kafarah yang harus dibayar oleh tuannya.
Jika seseorang menunjukkan keberadaan seekor binatang buruan, sedangkan ia sedang melaksanakan ihram dan binatang buruan itu dibunuh, maka ia harus membayar kafarah.
Orang yang mengulangi membunuh binatang buruan, ia akan mendapatkan siksa di akhirat di samping kafarah yang harus ia bayar. Orang yang menyesali perbuatannya, ia tidak akan memiliki tanggung jawab apapun di akhirat setelah membayar kafarahnya.
Jika ia membunuh binatang di malam hari karena keliru ketika binatang itu berada di sarangnya, maka ia tidak memiliki kewajiban apapun, kecuali ia memburunya. Jika ia memburunya, baik di siang hari maupun di malam hari, maka ia harus membayar kafarah. Orang yang melakukan ihram untuk ibadah haji harus menyembelih binatang kafarahnya di Mekah ...."
Al-Ma'mûn mengeluarkan perintah supaya masalah ini ditulis. Setelah itu, ia menoleh ke arah Bani Abbâsiyah yang hadir seraya berkata: "Apakah ada di antara kalian semua yang bisa memberikan jawaban seperti ini?"
Mereka menjawab: "Tidak, demi Allah. Dan tidak juga sang hakim."
Sebagian yang lain menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, Anda lebih tahu tentang masalah ini daripada kami."
Al-Ma'mûn menimpali: "Apakah kamu semua tidak tahu bahwa penghuni rumah ini bukanlah makhluk seperti makhluk yang lain? Sesungguhnya Rasulullah saw. telah membaiat Hasan dan Husain, sedangkan mereka berdua masih kecil, dan ia tidak pernah membaiat selain mereka ketika ia masih kecil. Apakah kamu semua tidak tahu bahwa ayah mereka, Ali telah beriman kepada Rasulullah saw. sedangkan ia baru berusia sembilan tahun, lalu Allah dan Rasul-Nya menerima imannya, sedangkan ia tidak pernah menerima keimanan anak kecil selainnya dan tidak juga pernah memanggil anak kecil selainnya? Apakah kamu semua tidak tahu bahwa mereka adalah sebuah keturunan yang sebagian mereka berasal dari sebagian yang lain, dan akan mengalir kepada orang terakhir dari mereka apa yang pernah mengalir kepada orang pertama mereka?"
Al-Ma'mûn mempercayai bahwa para imam Ahlul Bait as. memiliki posisi dan kedudukan tertinggi di dalam agama Islam, serta yang masih kecil dan yang sudah besar dari mereka mempunyai keutamaan yang sama.
Perlu kita ingat bersama bahwa ketika Imam Al-Jawâd as. berada di Baghdad, para ulama dan perawi selalu mengitarinya. Ia melontarkan kuliah-kuliah yang sangat berharga kepada mereka dalam bidang ilmu Fiqih, Teologi, Filsafat, Tafsir Al-Qur'an, Ushul Fiqih, dan lain sebagainya.
Pertemuan dan majelis-majelis ilmiah selalu heboh untuk membicarakan kedalaman ilmu pengetahuan Imam Al-Jawâd as. pada saat ia masih berusia muda itu. Para pengikut mazhab Syi'ah meyakini bahwa Allah swt. telah menganugerahkan ilmu pengetahuan, hikmah, dan Fashl Al-Khithâb kepada para imam Ahlul Bait as., serta juga memberikan keutamaan kepada mereka yang belum pernah diberikan kepada orang lain di dunia ini.
Kami telah memaparkan keluasan ilmu pengetahuan, hikmah, dan tata krama Imam Al-Jawâd as. yang sampai kepada kita dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Jawâd as.
Imam Al-Jawâd as. Dibunuh

Imam Muhammad Al-Jawâd as. tidak meninggal dunia secara alamiah. Ia dibunuh dengan racun oleh Mu'tashim Al-Abbâsî yang hatinya telah dipenuhi oleh kebencian dan iri hati kepadanya. Mu'tashim marah besar ketika mendengar keutamaan dan ketinggian derajat Imam Al-Jawâd as. di dalam kalbu muslimin. Keirihatian ini telah mendorong dia melakukan dosa besar itu.
Ada faktor lain yang mendorong Mu'tashim untuk membunuh Imam Al-Jawâd as. Yaitu fitnah dan hasudan yang dilontarkan oleh Abu Dâwûd As-Sijistânî lantaran Mu'tashim menyetujui pendapat Imam Al-Jawâd as. dan tidak menggubris pendapat para fuqaha yang lain dalam memecahkan sebuah masalah fiqih. Persitiwanya adalah sebagai berikut:
Ada seorang pencuri yang mengaku telah mencuri sebuah barang. Mu'tashim memerintahkan supaya ia disucikan dengan menjalankan had atasnya. Ia mengumpulkan seluruh fuqaha dan juga menghadirkan Imam Al-Jawâd as. Ia memaparkan masalah pencurian tersebut kepada mereka. Abu Dâwûd As-Sijistânî mengajukan pendapat seraya berkata: "Tangannya harus dipotong dari bagian pergelangan tangan. Allah swt. berfirman, 'Maka, usaplah sebagian wajah dan tanganmu.'" (QS. An-Nisâ' [4]:43)
Sementara itu, sebagian fuqaha yang lain melontarkan pendapat seraya berkata: "Tangannya harus dipotong dari bagian siku-siku. Dalilnya adalah firman Allah swt., '... dan tanganmu hingga siku-siku.'" (QS. Al-Mâ'idah [5]:6)
Mu'tashim menoleh ke arah Imam Al-Jawâd as. seraya bertanya: "Hai Abu Ja'far, bagaimana pendapatmu dalam masalah ini?"
Imam Al-Jawâd as. menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, mereka telah melontarkan pendapat masing-masing tentang masalah ini."
Mu'tashim menimpali: "Janganlah kau hiraukan pendapat mereka dalam masalah ini. Aku sumpah kamu demi Allah, katakanlah pendapatmu tentang masalah ini."
Imam Al-Jawâd as. menjawab: "Karena engkau telah menyumpahku demi Allah, maka harus kukatakan bahwa mereka semua telah menentang sunah. Pemotongan tangan harus dimulai dari sendi-sendi jari-jemari dan telapak tangan harus disisakan."
"Mengapa harus demikian?" tanya Mu'tashim pendek.
Imam Al-Jawâd as. menjawab: "Karena sabda Rasulullah saw. yang menegaskan, 'Sujud harus terlaksana dengan tujuh anggota: wajah, dua telapak tangan, dua lutut, dan dua kaki.' Oleh karena itu, jika tangan pencuri harus dipotong dari bagian pergelangan tangan atau siku-siku, maka ia tidak memiliki tangan yang dapat digunakan untuk bersujud. Dan Allah swt. berfirman, 'Sesungguhnya tempat-tempat sujud itu adalah milik Allah.' (QS. Al-Jinn [72]:18) Yaitu, ketujuh anggota sujud yang harus digunakan untuk melaksanakan sujud. Dan segala sesuatu yang hanya dimiliki oleh Allah tidak boleh dipotong."
Mu'tashim terheran-heran takjub atas fatwa dan argumentasi Imam Al-Jawâd as. ini. Lantas ia memerintahkan supaya tangan pencuri itu dipotong dari sendi-sendi jari-jemarinya, bukan pergelangan tangannya, dan tidak menggubris fatwa para fuqaha tersebut.
Abu Dâwûd marah besar. Setelah tiga hari berlalu, ia beranjak untuk menjumpai Mu'tashim. Ia berkata kepada Mu'tashim: "Amirul Mukminin wajib memberikan nasihat kepadaku, sedangkan aku melontarkan sebuah ucapan yang dapat menjerumuskanku ke dalam api neraka ...."
Mu'tashim dengan sigap bertanya: "Ada apa ini?"
Ia menjawab: "Amirul Mukminin telah mengumpulkan fuqaha rakyat dan ulama mereka untuk memutuskan sebuah perkara agama yang telah terjadi, dan menanyakan hukum perkara tersebut kepada mereka. Mereka pun telah mengeluarkan hukum perkara tersebut, sedangkan majelis pertemuan itu dihadiri oleh keluarga Amirul Mukminin, para petinggi negara, para menteri, dan para sekretaris Anda, serta rakyat juga mendengarkan itu semua dari balik pintu rumah Anda. Setelah itu, Anda tidak menggubris fatwa mereka gara-gara fatwa satu orang yang diyakini oleh segelintir masyarakat sebagai imam dan pemimpin, serta mereka mendakwa bahwa ia adalah orang yang lebih utama berkenaan dengan masalah ini. Kemudian, Amirul Mukminin menjalankan hukumnya dan meninggalkan hukum yang telah ditentukan oleh para fuqaha."
Warna kulit Mu'tashim berubah seketika dan memahami ucapannya. Ia berkata kepadanya: "Semoga Allah membalas kebaikan bagimu atas nasihat ini."
Sang faqih yang merupakan salah seorang orator penasihat kerajaan ini mendorong Mu'tashim untuk membunuh Imam Al-Jawâd as. Celakalah ia karena dosa besar yang telah dilakukannya ini. Dengan tindakannya itu, ia telah memiliki andil dalam membunuh salah seorang imam Ahlul Bait as. yang ketaatan kepada mereka telah diwajibkan oleh Allah swt. atas setiap muslim dan muslimah.
Para ahli sejarah berbeda pendapat berkenaan dengan orang yang diserahi tugas oleh Mu'tashim untuk membunuh Imam Al-Jawâd as. Sebagian mereka berpendapat bahwa Mu'tashim menyuruh sebagian sekretaris menterinya untuk melakukan tindakan ini. Sekretaris itu mengundang Imam Al-Jawâd as. untuk datang ke rumahnya demi memohon berkah atas kedatangannya ini. Imam Al-Jawâd menolak untuk datang. Akan tetapi, sang sekretaris tidak putus asa. Ia memohon sambil memelas-melas seraya berkata: "Salah seorang menteri ingin berjumpa dengan Anda di rumahnya." Imam Al-Jawâd as. tidak memiliki alasan lagi untuk menolak permohonannya. Ia datang ke rumahnya. Ketika menyantap hidangan, ia merasakan dirinya teracuni. Ia meminta binatang tunggangannya dan keluar dari rumah menteri itu.
Akan tetapi, ahli sejarah yang lain menegaskan bahwa Mu'tashim mengiming-imingi uang melimpah kepada kemenakan perempuannya, istri Imam Al-Jawâd as. yang bernama Ummul Fadhl untuk membunuhnya, dan ia pun rela meracuninya.
Ala kulli hal, racun itu bereaksi dalam tubuh Imam Al-Jawâd as. sehingga ia mengalami rasa sakit yang luar biasa. Racun itu memutus usus dan lambungnya. Penguasa dinasti Bani Abbâsiyah memerintahkan Ahmad bin Isa untuk menjenguknya di waktu sahar demi mencari tahu tentang berita sakitnya itu. Kematian telah mendekati Imam Al-Jawâd dengan cepat, sedangkan ia masih berusia muda belia. Ketika merasa ajal telah dekat, ia mulai membaca beberapa surah Al-Qur'an hingga ia menghembuskan napas terakhir. Dengan kepergiannya ini, sebuah pelita imâmah dan kepemimpinan spiritual dunia Islam juga padam. Dengan kepergiannya ini, sebuah lembaran risalah Islami yang telah berhasil menerangi alam pemikiran dan mengangkat bendera ilmu pengetahun dan keutamaan di atas bumi pun sirna.
Ritual Pemakaman

Tubuh suci Imam Al-Jawâd as. telah dipersiapkan untuk dimakamkan. Imam Ali Al-Hâdî as. memandikan, mengafani, dan menyalatinya. Setelah itu, tubuh agung itu dipikul dengan arakan yang maha dahsyat untuk dibawa menuju pekuburan kaum Quraisy. Masyarakat luas ikut mengantarkan jenazahnya dan di barisan depan berjalan para menteri, sekretaris kerajaan, dan seluruh keluarga besar Bani Abbâsiyah, serta tak ketinggalan pula Bani Ali as. dengan mengenang kerugian besar yang telah menimpa dunia Islam dengan penuh kesedihan.
Tubuh suci Imam Al-Jawâd as. itu dibawa ke pekuburan kaum Quraisy dan dimakamkan di dekat makam kakeknya, Imam Mûsâ bin Ja'far as. Dengan ini pula, mereka telah menguburkan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi dan suri teladan yang agung.
Usia Imam Al-Jawâd

Imam Al-Jawâd as. hanya berusia dua puluh lima tahun. Ia adalah imam Ahlul Bait as. yang paling muda. Dalam usianya yang pendek ini, ia telah berhasil menyebarkan ilmu pengetahuan, keutamaan, dan keimanan di tengah-tengah masyarakat luas.
Catatan Kaki:

Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Jawâd as, hal. 30.
Ad-Durr An-Nazhîm, hal. 315.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 12, hal. 117; Ushûl Al-Kâfî, jilid 1, hal. 379.
Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Jawâd, hal. 75.
Al-Wâfî bi Al-Wafayât, jilid 4, hal. 105.
Mir'âh Az-Zamân, jilid 6, hal. 105.
Al-Irsyâd, hal. 261; Al-Wasâ'il, jilid 9, hal. 187. Dan buku-buku referensi lainnya.
Al-Fushûl Al-Muhimmah, karya Ibn Ash-Shabbagh, hal. 373.
Jawharah Al-Kalâm, hal. 150.
Hayâh Al-Imam Al-Jawâd as., hal. 105.
Ad-Durr An-Nazhîm, hal. 223; Al-Ithâf bi Hubb Al-Asyrâf, hal. 77.
Jawharah Al-Kalâm, hal. 150.
Al-Ithâf bi Hubb Al-Asyrâf, hal. 78.
Ibid.
Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 456.
Ibid.
Ibid.
Di dalam tafsir hadis ini disebutkan: "Jika binatang yang dibunuh itu adalah keledai liar, maka ia harus membayar badanah. Begitu juga jika binatang yang dibunuh itu adalah burung unta."
Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 452; Wasâ'il As-Syi'ah, jilid 9, hal. 188. Syaikh Mufid menyebutkan dialog ini secara ringkas dalam bukunya, Al-Irsyâd, hal. 312.
Hal ini bisa dirujuk kepada buku 'Aqîdah Asy-Syi'ah, hal. 200 dan Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Jawâd as, hal. 257.
Had adalah sebuah hukuman yang telah ditentukan bentuk dan jenisnya oleh Allah swt. sebagai pemilik syariat. Had untuk pencuri adalah potong tangan-pen.
Tafsir Al-'Ayâsyî, jilid 1, hal. 319; Tafsir Al-Burhân, jilid 1, hal. 471; Bihâr Al-Anwâr, jilid 12, hal. 99; Wasâ'il As-Syi'ah, jilid 18, hal. 490; Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Jawâd as, hal. 270.
Tafsir Al-'Ayâsyî, jilid 1, hal. 320; Bihâr Al-Anwâr, jilid 12, hal. 99; Tafsir Al-Burhân, jilid 1, hal. 471.
Nuzhah Al-Jalîs, jilid 2, hal. 111; Al-Manâqib, jilid 4, hal. 391.
Al-Irsyâd, hal. 369.
Nûr Al-Abshâr, karya Al-Mazandarani, hal. 276; Muntahâ Al-?mâl, karya Al-Qomi, jilid 2, hal. 452. Di dalam Mir'âh Al-Jinân, jilid 2, hal. 81 ditegaskan bahwa Al-Wâtsiq bin Mu'tashim menyalati Imam Al-Jawâd as.. Di dalam Nuzhah Al-Jalîs, jilid 2, hal. 111 juga disebutkan bahwa Al-Wâtsiq dan Mu'tashim bergegas untuk menyalatinya.

IMAM ALI AL-HADI

Imam Ali Al-Hâdî as. adalah imam kesepuluh dari para imam maksum pembawa petunjuk as. Ia adalah salah seorang harta berharga Islam dan manifestasi ketakwaan dan keimanan. Ia adalah suara kebenaran yang menentang kezaliman para penguasa dinasti Bani Abbâsiyah dan tidak pernah tergiur oleh kegemerlapan dunia di sepanjang sejarah hidupnya selama hal ini tidak memiliki kaitan erat dengan kebenaran. Ia lebih mengutamakan ketaatan kepada Allah swt. atas segala sesuatu. Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sebagian sisi kehidupannya.
Kelahiran

Dengan kelahiran bayi yang penuh berkah ini, dunia menjadi terang benderang. Imam Ali Al-Hâdî as. dilahirkan di BashrYa. Imam Al-Jawâd as., sang ayah, bergegas menjenguk sang putra suci dan mengadakan acara ritual Islam untuk putranya yang penuh berkah ini. Ia membacakan azan di telinga kananya dan iqamah di telinga kirinya. Di samping itu, ia juga melaksanakan akikah untuknya dengan menyembelih seekor kambing, sebagai sebuah sunah yang biasa dilakukan oleh para imam maksum as. itu.
Imam Ali Al-Hâdî as. dilahirkan pada tanggal 27 Dzulhijjah 212 Hijriah.
Nama

Sang ayah, Imam Al-Jawâd as., memberi nama Ali kepada putranya sebagai upaya untuk mengharap berkah dari nama kakeknya, Amirul Mukminin Ali as. Ia sangat menyerupai sang kakek dari segi kefasihan berbicara, jihad, dan ujian dalam menempuh jalan Allah. Sang ayah memberi julukan Abul Hasan untuknya dan memberi gelar Al-Murtadhâ, Al-'?lim, Al-Faqîh, dan gelar-gelar mulia yang lainnya.
Pertumbuhan

Imam Ali Al-Hâdî as. tumbuh berkembang di dalam sebuah keluarga yang berbeda dengan seluruh kalangan masyarakat dengan sopan santun yang cerlang dan tata krama yang tinggi. Anak yang masih kecil di kalangan mereka menghormati orang yang sudah besar dan orang yang sudah besar menyayangi anak yang masih kecil. Di antara contoh manifestasi sopan santun dan tata krama mereka adalah pengakuan para ahli sejarah ini. Mereka menyatakan bahwa Imam Husain as. tidak pernah berbicara di hadapan saudaranya, Imam Hasan as. karena menghormati dan mengagungkannya. Begitu juga mereka meriwayatkan bahwa Imam Zainul Abidin as. tidak pernah mau makan bersama wanita pengasuhnya, padahal ia selalu memohon supaya makan bersama. Hal itu lantaran ia takut mengambil makanan yang telah diinginkan oleh wanita pengasuh tersebut terlebih dahulu, dan dengan tindakan ini, ia telah dianggap sebagai orang yang durhaka kepadanya.
Tata krama dunia manakah yang dapat menyerupai tata krama yang menghikayatkan tata krama dan sopan santun para nabi as. ini?
Imam Ali Al-Hâdî as. telah tumbuh berkembang di bawah asuhan sang ayah, Imam Muhammad Al-Jawâd as. di mana ia sendiri adalah sebuah dunia keutamaan dan sopan santun. Imam Al-Jawâd as. telah menumpahkan seluruh cahaya spiritual, akhlak, dan sopan santun yang dimilikinya kepada sang putra, Imam Ali Al-Hâdî as. ini.
Anak Kecil yang Jenius

Pada saat masih kanak-kanak, Imam Ali Al-Hâdî as. memiliki kejeniusan dan kecerdasan luar biasa yang membuat seluruh pemikir takjub. Di antara manifestasi kejeniusan dan kecerdasannya adalah kisah berikut ini:
Setelah membunuh ayahnya, Mu'tashim Al-Abbâsî memerintah Umar bin Faraj untuk pergi ke Yatsrib (Madinah) demi mencari sorang guru bagi Imam Al-Hâdî as. Pada saat itu, Imam Al-Hâdî as. masih berusia enam tahun dan beberapa bulan. Mu'tashim juga berpesan supaya guru itu memiliki karakter permusuhan dan kebencian kepada Ahlul Bait as. yang luar biasa. Mu'tashim berharap supaya ia bisa menanamkan permusuhan dan kebencian di dalam diri Imam Al-Hâdî as. kepada mereka. Mu'tashim sepertinya tidak tahu bahwa para imam yang suci itu adalah anugerah Allah swt. untuk para hamba-Nya, dan Dia telah menyucikan mereka dari segala bentuk dan jenis kotoran.
Ketika Umar bin Faraj tiba di Madinah, ia berjumpa dengan gubernur Madinah dan menjelaskan tugas tersebut kepadanya. Gubernur Madinah memberikan petunjuk kepadanya untuk menjumpai Al-Junaidî. Ia sangat membenci dan memusuhi keturunan Bani Ali as.
Umar bin Faraj mengutus seseorang untuk membawa Al-Junaidî ke rumahnya. Setelah tiba, Umar membeberkan perintah Mu'tashim kepadanya dan Al-Junaidî pun menerima tugas itu. Umar pun menentukan imbalan bulanan kepadanya dan memerintahkannya supaya melarang para pengikut Syi'ah untuk berjumpa dengan Imam Ali Al-Hâdî as.
Al-Junaidî pun memulai tugasnya mengajar Imam Al-Hâdî as., dan ia sangat takjub dan terheran-heran dengan kejeniusannya. Pada suatu hari, Muhammad bin Ja'far pernah bertanya kepada Al-Junaidî seraya berkata: "Bagaimana kondisi anak kecil yang sedang kau didik itu?"
Al-Junaidî mengingkari cara bertanya semacam itu. Ia mengekspresikan ketakjuban dan pengagungannya terhadap Imam Al-Hâdî as. Ia menjawab: "Apakah engkau mengatakan bahwa dia adalah anak kecil, bukan orang yang sudah dewasa?! Aku sumpah kamu demi Allah, apakah engkau mengenal seseorang yang lebih tahu tentang adab dan ilmu pengetahuan di Madinah daripada aku?"
Muhammad menjawab: "Tidak."
Al-Junaidî menimpali: "Demi Allah, aku menjelaskan satu huruf tentang adab dan aku menyangka bahwa aku telah menjelaskan hal itu berlebihan. Kemudian, ia membuka pintu-pintu (adab dan ilmu pengetahuan) untukku dan aku banyak mengambil manfaat darinya. Lalu, masyarakat menyangka bahwa aku telah mengajarinya. Tidak! Demi Allah, akulah sebenarnya yang telah belajar darinya ...."
Hari-hari pun berlalu. Pada suatu hari, Muhammad bin Ja'far berjumpa dengan Al-Junaidî seraya bertanya kepadanya: "Bagaimana kondisi anak kecil itu?"
Al-Junaidî pun tidak menyetujui ungkapannya itu seraya berkata: "Tinggalkanlah ucapanmu ini. Demi Allah Yang Maha Tinggi, ia adalah penghuni bumi yang terbaik dan makhluk paling utama yang pernah diciptakan oleh Allah swt. Pada suatu hari, ia pernah meminta izin kepadaku untuk masuk kamarku. Kukatakan kepadanya, 'Kamu boleh masuk asalkan telah membaca surah Al-Qur'an.' Ia bertanya lagi, 'Surah apakah yang kau inginkan kubaca?'
Aku menyebutkan surah-surah yang sangat panjang yang tidak mungkin ia dapat membacanya. Tiba-tiba ia bergegas membacanya dengan suara fasih yang aku sendiri belum pernah mendengar suara sefasih itu. Ia membacanya dengan lantunan suara yang lebih indah daripada lantunan kidung Dâwûd. Ia hafal Al-Qur'an dari awal hingga akhir, dan mengetahui takwil dan sebab-sebab turunnya."
Al-Junaidî menambahkan: "Ia adalah anak kecil yang tumbuh berkembang di Madinah di dalam tembok-tembok kota yang hitam kelam. Lalu, siapakah yang mengajari ilmu pengetahuan yang maha luas itu kepadanya? Maha Suci Allah!"
Dengan pengalaman itu, Al-Junaidî mencabut seluruh rasa kebencian dan permusuhan kepada Ahlul Bait as. itu dari dalam dadanya dan menjadi orang yang sangat mencintai mereka.
Tidak ada alasan dan justifikasi lain bagi realita ini kecuali keyakinan yang dimiliki oleh mazhab Syi'ah bahwa Allah swt. telah menganugerahkan ilmu pengetahuan, hikmah, dan Fashl Al-Khithâb kepada para imam suci itu yang tidak pernah diberikannya kepada siapa pun di alam semesta ini.
Pengagungan Bani Ali

Imam Ali Al-Hâdî as. mendapatkan pengagungan dan penghormatan khusus dari kalangan Bani Ali as. Mereka telah mengenal kedudukan spiritualnya yang tinggi dan bahwa ia adalah imam dan pemimpin yang harus ditaati.
Para perawi hadis menceritakan sikap Zaid bin Imam Mûsâ bin Ja'far (terhadap Imam Ali Al-Hâdî as.), sedangkan ia telah berusia lanjut. Pada suatu hari, Zaid meminta izin kepada penjaga pintu rumah Imam Al-Jawâd as., Umar bin Faraj, untuk berjumpa dengannya. Umar mempersilahkannya masuk. Setelah masuk, ia duduk di hadapan Imam Al-Hâdî as. dengan penuh takzim dan penghormatan.
Pada kali yang lain, Zaid pernah bertamu ke rumah Imam Al-Hâdî as. dan secara kebetulan tidak ada di tempat pada waktu itu. Akhirnya, Zaid duduk di depan (sebagai orang tertua). Ketika Imam Al-Hâdî as. datang, ia melompat dari tempat duduknya dan mendudukkannya di tempat itu. Lalu, ia duduk di hadapannya dengan penuh sopan santun, padahal Imam Al-Hâdî masih berusia muda. Hal ini adalah sebuah pengakuan dari Zaid atas keagungan pribadi Imam Al-Hâdî as. dan kelaziman untuk menaatinya.
Penghormatan dan pengagungan terhadap Imam Ali Al-Hâdî ini tidak hanya terbatas dilakukan oleh kaum Bani Ali as. Tindakan ini telah mendominasi seluruh lapisan masyarakat.
Muhammad bin Hasan Al-Asytar pernah meriwayatkan seraya berkata: "Aku pernah menemani ayahku di depan pintu istana Mutawakkil. Masyarakat yang berasal dari berbagai marga seperti Thâlibî, Abbâssî, dan Ja'farî juga ikut hadir berkumpul di situ. Ketika kami sedang berdiri, tiba-tiba Abul Hasan (Al-Hâdî) as. datang. Seluruh masyarakat yang hadir langsung turun dari tunggangan mereka demi mengagungkan dan menghormatinya hingga ia masuk ke dalam istana. Sebagian orang yang merasa iri hati terhadap Imam Al-Hâdî as. mengingkari keutamaannya ini seraya berseloroh dengan penuh kedengkian, 'Mengapa kita harus turun dari tunggangan kita untuk anak kecil ini? Dia bukanlah orang termulia di antara kita dan juga bukan orang yang lebih tua dari kita. Demi Allah, jika ia keluar, kami tidak akan turun ....'
Seorang mukmin yang bernama Abu Hâsyim Al-Ja'farî menjawab kekurangajarannya itu seraya berkata, 'Demi Allah, engkau pasti akan turun dari tunggangan kalian demi dia dengan perasaan hina dina.'
Imam Ali Al-Hâdî as. keluar dari dalam istana. Suara masyarakat bergemuruh dengan lantunan takbir dan tahlil, dan mereka berdiri demi mengagungkan dan menghormatinya. Abu Hâsyim menoleh kepada kelompok tersebut seraya bertanya, 'Bukankah kalian semua telah berjanji untuk tidak turun dari tunggangan kalian demi menghormatinya?'
Mereka tidak dapat menahan rasa takjub seraya menjawab, 'Demi Allah, kami telah kehilangan kontrol diri sehingga kami harus turun dari tunggangan kami demi menghormatinya.'"
Begitulah pribadi Imam Ali Al-Hâdî as. telah memenuhi seluruh hati masyarakat dengan pengagungan dan penghormatan (suci) sehingga seluruh jiwa membungkuk di hadapannya dengan penuh kekhusyukan. Karismanya ini tidak berasal dari kerajaan maupun kekuasaan. Hal ini hanya bersumber dari ketaatannya kepada Allah dan kezuhudannya terhadap dunia. Di antara salah satu karismanya yang agung ini adalah ketika ia masuk ke dalam istana Mutawakkil sang lalim, tak seorang pun yang berada di dalam istana itu kecuali berdiri di hadapannya demi mengagungkan dan menghormatinya. Mereka berlomba-lomba untuk menyingkap tirai-tirai istana dan membukakan pintu baginya, serta mereka tidak merasa terpaksa untuk itu semua.
Kedermawanan

Di antara karakter-karakter yang dimiliki oleh Imam Ali Al-Hâdî as. adalah, bahwa ia merupakan figur yang paling dermawan dan paling peduli untuk berbuat kebaikan kepada orang lain. Berikut ini adalah beberapa contoh dari manifestasi kedermawanan imam yang satu ini:

a. Ishâq Al-Jallâb meriwayatkan seraya bercerita: "Aku pernah membeli kambing dalam jumlah sangat banyak untuk Abul Hasan Al-Hâdî as. pada hari Tarwiyah. Lalu, ia membagi-bagikan seluruh kambing itu kepada kerabat-kerabatnya. Beberapa tokoh dan pemuka mazhab Syi'ah pernah berjumpa dengannya. Di antara mereka adalah Abu Umar, 'Utsmân bin Sa'îd, Ahmad bin Ishâq Al-Asy'arî, dan Ali bin Ja'far Al-Hamdânî. Ahmad bin Ishâq mengadukan utangnya yang melilit. Imam Al-Hâdî as. menoleh ke arah wakilnya, 'Amr, seraya berkata kepadanya, 'Berikanlah tiga puluh ribu dinar kepadanya dan kepada Ali bin Ja'far juga tiga puluh ribu dinar.' Di samping itu, ia juga memberikan kadar uang yang sama kepada wakilnya itu."
Ibn Syahr ?syûb memberikan catatan atas kedermawanan ini sembari berkomentar: "Kedermawanan adalah sebuah mukjizat yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh para raja, dan kami tidak pernah mendengar pemberian sebesar itu (selama ini)."
Dengan pemberian yang melimpah ini, Imam Ali Al-Hâdî as. telah mengucurkan kenikmatan dan kehidupan yang lapang kepada para tokoh tersebut. Dan satu hal yang sangat natural sekali bahwa sebaik-baik pemberian adalah pemberian yang dapat mengabadikan sebuah kenikmatan.

b. Abu Hâsyim pernah mengadukan kesempitan rezeki yang sedang dialaminya kepada Imam Ali Al-Hâdî as. Imam Al-Hâdî memahami kemiskinan yang sedang melilitnya itu. Dengan demikian, ia ingin meringankan kesulitan-kesulitan yang sedang menimpanya seraya berkata kepadanya: "Hai Abu Hâsyim, nikmat Allah 'Azza Wajalla manakah yang ingin kau syukuri? Semoga Allah menganugerahkan keimanan kepadamu sehingga Dia mengharamkan tubuhmu atas api neraka, semoga Dia menganugerahkan kesehatan kepadamu sehingga kesehatan ini dapat membantumu menjalankan ketaatan, dan semoga Dia memberikan sikap menerima kepadamu sehingga karakter ini dapat menjagamu dari sikap menghambur-hamburkan harta."
Setelah berkata demikian, Imam Ali Al-Hâdî as. memberikan seratus dinar kepadanya.
Sesungguhnya kenikmatan-kenikmatan yang telah diberikan oleh Imam Ali Al-Hâdî as. adalah termasuk kenikmatan-kenikmatan agung yang dianugerahkan oleh Allah swt. kepada para hamba-Nya.
Bekerja di Kebun

Imam Ali Al-Hâdî as. sering bekerja di kebun untuk menghidupi keluarganya. Ali bin Hamzah meriwayatkan: "Aku pernah melihat Abul Hasan Ketiga sedang bekerja di tanah miliknya, sedangkan kedua telapak kakinya basah oleh keringat yang bercucuran. Aku bertanya kepadanya, 'Manakah orang-orang Anda?'
Imam Ali Al-Hâdî as. menjawab kesombongan dan kritikanku seraya berkata, 'Hai Ali, orang yang lebih baik dariku dan dari ayahku telah bekerja di kebun miliknya dengan menggunakan cangkul.'
Ali bin Hamzah bertanya, 'Siapakah gerangan dia itu?'
Imam Al-Hâdî as. menjawab, 'Rasulullah saw., Amirul Mukminin, dan seluruh nenek moyangku bekerja dengan tangan mereka sendiri. Bekerja adalah aktifitas para nabi, rasul, washî, dan orang-orang yang saleh.'"
Kami telah menyebutkan realita ini dalam buku kami yang berjudul Al-'Amal wa Huqûq Al-'Amal fî Al-Islam, sebagaimana juga telah kami paparkan contoh-contoh lain yang membuktikan urgensi bekerja dan bahwa bekerja adalah sirah para nabi dan rasul as.
Kezuhudan

Imam Ali Al-Hâdî as. zuhud terhadap seluruh kegemerlapan duniawi dan tidak pernah memberikan perhatian sedikit pun terhadap masalah ini kecuali dunia yang memiliki hubungan erat dengan kebenaran dan hak. Ia selalu lebih mementingkan ketaatan kepada Allah swt. atas segala sesuatu.
Para perawi hadis meriwayatkan bahwa rumah Imam Al-Hâdî as. yang terdapat di Madinah dan Samirra' kosong dari setiap perabot rumah tangga. Tentara kerajaan Mutawakkil pernah mengadakan penggeledahan terhadap rumahnya di Samirra' dan memeriksanya dengan sangat jeli dan teliti. Mereka tidak menemukan sedikit pun kegemerlapan dunia di rumah itu. Mereka hanya menemukan Imam Al-Hâdî as. berada di sebuah kamar yang tertutup dengan mengenakan jubah yang terbuat dari bulu. Ia sedang duduk di atas pasir dan kerikil, sedangkan tidak ada secarik karpet pun yang melindunginya dari tanah.
Sibth bin Al-Jawzî berkata: "Ali Al-Hâdî tidak memiliki kecenderungan sedikit pun terhadap harta dunia. Ia selalu berada di dalam masjid. Ketika mereka menggeledah rumahnya, mereka tidak menemukan apapun di dalamnya kecuali mushaf-mushaf, kitab-kitab doa, dan buku-buku ilmu pengetahuan."
Imam Ali Al-Hâdî as. hidup seperti kakeknya, Amirul Mukminin as., hidup. Amirul Mukminin as. adalah figur yang paling zuhud terhadap dunia dan telah menceraikannya sebanyak tiga kali sehingga tidak ada istilah rujuk setelah itu. Pada masa menjadi khalifah, ia tidak pernah mengambil bagian sedikit pun dari harta-harta kekhalifahan itu. Ia malah menempelkan batu-batu di atas perutnya untuk menahan rasa lapar. Sandalnya terbuat dari serabut yang ia jahit dengan tangannya sendiri. Begitu juga halnya berkenaan dengan sabuk pinggangnya. Sabuk pinggang ini juga terbuat dari serabut.
Di atas garis inilah, Imam Ali Al-Hâdî dan para imam maksum as. yang lain menjalani kehidupan. Mereka berlaku tenggang rasa terhadap kaum fakir miskin dalam kesengsaraan hidup dan kekasaran pakaian mereka.
Ilmu Pengetahuan

Imam Ali Al-Hâdî as. adalah satu-satunya ulama dunia yang memiliki kemampuan ilmiah terhebat dan terdahsyat. Kemampuan ilmiahnya ini meliputi seluruh bidang ilmu pengetahuan. Rahasia-rahasia hakikat dan problema-problema ilmiah yang terjelimet terbuka gamblang di hadapannya. Para ulama dan fuqaha selalu sepakat untuk merujuk kepada pendapatnya dalam memecahkan masalah-masalah hukum syariat yang ruwet dan membingungkan. Mutawakkil, salah seorang musuh Imam Al-Hâdî dan nenek moyangnya yang paling getol senantiasa merujuk kepadanya ketika menghadapi perbedaan pendapat para fuqaha dalam menyelesaikan berbagai macam masalah, dan selalu mengunggulkan pendapatnya. Di antara masalah dan problematika yang dipecahkan oleh Imam Al-Hâdî as. ketika Mutawakkil merujuk kepadanya adalah sebagai berikut:

a. Mutawakkil memiliki seorang sekretaris yang beragama Kristen. Sekretaris ini sangat agung dan mulia dalam pandangannya. Ia sangat tulus mencintainya. Oleh karena itu, ia tidak pernah menyebut namanya. Ia selalu memanggil nama julukannya, Abu Nuh. Melihat itu, sebagian fuqaha memprotes seraya berkata: "Seorang muslim tidak boleh memanggil nama julukan seorang kafir." Sementara itu, sebagian fuqaha yang lain membolehkan hal itu. Mutwakil menulis surat kepada Imam Ali Al-Hâdî as. untuk menanyakan fatwa tentang masalah ini. Dalam jawabannya, setelah menulis basmalah, Imam Al-Hâdî as. menyebutkan ayat yang berbunyi: "Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya ia akan binasa." Dengan menyebutkan ayat tersebut, Imam Al-Hâdî menjadikannya sebagai bukti atas kebolehan memanggil nama julukan seorang kafir. Mutawakkil pun menerima fatwanya ini.

b. Mutawakkil pernah menderita sebuah penyakit. Ia bernazar jika Allah menyembuhkan penyakitnya, ia akan menyedekahkan dinar yang sangat banyak sekali. Setelah sembuh dari penyakitnya itu, ia mengumpulkan para fuqaha untuk menanyakan kadar yang harus ia sedekahkan. Mereka berbeda pendapat dalam menentukan hal itu. Akhirnya, ia meminta fatwa kepada Imam Ali Al-Hâdî as. tentang masalah ini. Imam Al-Hâdî as. menjawab supaya ia bersedekah sebanyak delapan puluh tiga dinar. Mereka terheran-terheran dengan fatwa ini. Demi kejelasan masalah, mereka memohon supaya Mutawakkil menanyakan dalil fatwa tersebut kepada Imam Al-Hâdî. Imam Al-Hâdî as. menjawab: "Sesungguhnya Allah swt. berfirman, 'Sesungguhnya Allah telah menolong kamu [hai para mukminin] di medan peperangan yang banyak.' (QS. At-Tawbah [9]:25) Keluarga kami telah meriwayatkan bahwa medan peperangan dalam missi Sariyah hanya berjumlah delapan puluh tiga."
Di akhir jawabannya, Imam Al-Hâdî as. menambahkan: "Ketika Amirul Mukminin berbuat kebajikan lebih banyak lagi, maka hal itu akan lebih bermanfaat baginya di dunia dan akhirat."

c. Seorang pengikut agama Kristen pernah memperkosa seorang wanita muslimah, dan ia dihadapkan kepada Mutawakkil. Mutwakil ingin menjalankan had atas orang Kristen tersebut. Yahyâ bin Aktsam berfatwa: "Keimanannya telah memusnahkan kesyirikan dan tindakannya itu." Sementara itu, sebagian fuqaha berpendapat bahwa ia harus didera sebanyak tiga had, dan fuqaha yang lain memiliki pendapat yang bertentangan dengan pendapat tersebut. Mutawakkil memerintahkan supaya masalah ini diadukan dan diajukan kepada Imam Ali Al-Hâdî as. Imam Al-Hâdî as. menjawab supaya orang Kristen tersebut didera hingga mati.
Yahyâ dan para fuqaha yang lain menentang keputusan itu sembari berkata: "Ketentuan ini tidak pernah ada di dalam Al-Qur'an dan tidak juga di dalam sunah (Nabi)."
Mutawakkil terpaksa menulis surat kepada Imam Al-Hâdî as. yang berbunyi: "Sesungguhnya fuqaha muslimin menentang keputusan tersebut dan menegaskan bahwa hal itu tidak terdapat di dalam sunah (Nabi) dan tidak juga di dalam Al-Qur'an. Oleh karena itu, jelaskanlah kepada kami mengapa Anda berfatwa supaya orang Kristen itu didera hingga mati."
Setelah basmalah, Imam Ali Al-Hâdî as. menjawab surat tersebut dengan menyebutkan ayat yang berbunyi: "Maka tatkala mereka melihat azab Kami, mereka berkata, 'Kami beriman hanya kepada Allah saja dan kami kafir kepada sesembahan-sesembahan yang telah kami persekutukan kepada Allah.' Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat siksa Kami." (QS. Al-Mukmin [40]:84-85)
Mutwakil pun menerima fatwa dan keputusan Imam Al-Hâdî as. tersebut.
Mutiara Hikmah Berharga

Imam Abul Hasan Ali Al-Hâdî as. telah meninggalkan banyak pesan emas yang dapat dijadikan sebagai kekayaan pemikiran Islam yang paling menawan. Dengan pesan-pesan tersebut, ia telah mengobati banyak problematika pendidikan dan spiritual masyarakat. Di antara pesan-pesan tersebut adalah berikut ini:
a. Ia berkata: "Yang lebih baik dari kebaikan adalah orang yang melakukannya, yang lebih indah dari sesuatu yang indah adalah orang yang mengucapkannya, dan yang paling berharga dari ilmu pengetahuan adalah orang yang mengamalkannya ...."
Dengan ucapan ini, Imam Al-Hâdî as. ingin memuji orang-orang yang memiliki karakter-karakter tersebut, yaitu:
o Pelaku kebaikan; dilihat dari sisi nilai-nilai etika, ia adalah adalah lebih baik dari kebaikan itu sendiri.
o Pengucap keindahan; sesuai dengan tolok ukur-tolok ukur kejiwaannya, ia adalah lebih indah dari sebuah keindahan. Hal itu lantaran kebaikan yang dikucurkannya kepada masyarakat.
o Pengamal ilmu; ia adalah lebih berharga dari sekedar ilmu pengetahuan. Hal itu lantaran ilmu pengetahuan mencari sebuah sarana untuk diamalkan dan disucikan. Jika penyandang ilmu telah mengamalkannya, maka ia telah merealisasikan missinya, menjaga ilmu, dan meninggikan kedudukannya. Dengan ini semua, ia adalah lebih baik dari ilmu itu sendiri.
b. Ia berkata: "Kemaslahatan orang yang tidak mengetahui kemuliaan adalah kehinaannya."
Alangkah indahnya ucapan ini! Orang yang tidak mengenal kemuliaan dan nilai-nilai insani, maka ia layak dihina, diremehkan, dan ditinggalkan.
c. Ia berkata: "Musibah yang paling buruk adalah akhlak yang jelek."
Salah satu musibah dan petaka yang paling besar adalah akhlak yang jelek, karena hal ini akan menjerumuskan seseorang ke dalam jurang keburukan yang dalam dan menciptakan banyak kesusahan dan problem baginya.
d. Ia berkata: "Kebodohan dan kekikiran adalah akhlak yang paling tercela ...."
Tidak diragukan lagi bahwa kebodohan dan kekikiran adalah termasuk akhlak dan perangai yang jelek. Kedua karakter ini dapat menjauhkan seseorang dari Tuhannya dan membuat kehidupannya seperti kehidupan binatang liar.
e. Ia berkata: "Mengkufuri nikmat adalah tanda kesombongan dan faktor perubahan (nikmat) ...."
Tidak diragukan lagi bahwa orang yang mengkufuri nikmat dan enggan menyukurinya adalah orang yang sombong dan keluar dari ruang lingkup ketaatan kepada Pemberi nikmat, sebagaimana juga kesombongan adalah salah satu faktor perubahan nikmat dan kesirnaannya.
f. Ia berkata: "Perdebatan dapat merusak persahabatan yang sudah lama terjalin dan menguraikan tali-temali yang sudah erat tertambat. Kadar minimal perdebatan tersebut adalah rasa ingin menang, dan rasa ingin menang adalah pondasi seluruh faktor keterputusan dan perpecahan ...."
Dalam bahasa Arab, perdebatan disebut mirâ'. Perdebatan ini dapat menyebabkan tali-temali persahabatan terurai, kecintaan sirna, dan kebencian tersebar luas.
Mutawakkil Menyuruh Ibn Sikkît untuk Menguji Imam Al-Hâdî

Mutawakkil meminta kepada seorang 'alim kenamaan dan tersohor, Ya'qûb bin Ishâq yang lebih dikenal dengan nama Ibn Sikkît untuk menanyakan suatu masalah yang sangat sulit kepada Imam Al-Hâdî as. dengan harapan ia tidak dapat menyelesaikannya. Dengan ini, Mutawakkil dapat menjadikan ketidakbisaannya ini sebagai bahan untuk mengolok-oloknya di depan khalayak ramai.
Ibn Sikkît mulai mencari sebuah masalah yang sangat pelik untuk dipersiapkan mengujinya. Setelah beberapa waktu berlalu, ia berhasil menemukan masalah tersebut. Mutawakkil pun mengumumkan sebuah seminar ilmiah (resmi) di istananya. Ibn Sikkît maju ke depan. Setelah berdiri di hadapan Imam Ali Al-Hâdî as., ia mengajukan pertanyaanya seraya berkata: "Mengapa Allah mengutus Mûsâ dengan mukjizat tongkat dan telapak tangan yang putih bersinar, mengutus Isa dengan mukjizat penyembuhan orang yang berpenyakit lepra dan menghidupkan orang yang sudah meninggal dunia, dan mengutus Muhammad dengan membawa mukjizat Al-Qur'an dan pedang?"
Imam Al-Hâdî as. menjawab: "Allah mengutus Mûsâ dengan membawa mukjizat tongkat dan tangan putih bersinar pada suatu masa yang didominasi oleh ilmu sihir. Lalu, ia membawa mukjizat dari ilmu sihir itu yang dapat mengalahkan ilmu sihir mereka dan menetapkan hujah atas mereka. Dia mengutus Isa dengan membawa mukjizat penyembuhan orang yang berpenyakit lepra dan menghidupkan kembali orang yang sudah meninggal dunia pada suatu masa yang didominasi oleh ilmu kedokteran. Ia membawa mukjizat dari ilmu kedokteran tersebut yang dapat mengalahkan dan membungkam mulut mereka. Dan Dia mengutus Muhammad dengan membawa mukjizat Al-Qur'an dan pedang pada masa yang dikuasai oleh pedang dan syair. Ia membawa mukjizat dari Al-Qur'an dan pedang yang dapat mengalahkan syair dan pedang mereka, serta menetapkan hujah atas mereka ...."
Dengan jawab tersebut, Imam Al-Hâdî as. memaparkan hikmah di balik pengutusan para rasul-Nya yang agung dengan membawa seluruh mukjizat tersebut di mana seluruh mukjizat itu sesuai dengan kondisi dan situasi yang berlaku pada masa masing-masing.
Allah swt. telah menguatkan Mûsâ dengan mukjizat tongkat yang dapat berubah menjadi ular naga besar yang melahap seluruh tali-temali para penyihir yang disihir oleh mereka menjadi ular-ular itu. Dengan demikian, mereka merasa kalah dan menyerah di hadapan mukjizat tersebut dan mengumumkan keimanan mereka kepada kenabian Mûsâ as. Begitu juga, Allah swt. menguatkannya dengan tangan yang putih bersinar bak matahari bersinar, dan ini adalah sebuah mukjizat atas kebenarannya.
Allah swt. menguatkan Al-Masih Isa bin Maryam dengan mukjizat penyembuhan orang yang berpenyakit lepra dan menghidupkan orang yang sudah meninggal dunia pada masa di mana ilmu medis dan kedokteran telah mencapai puncak kegemilangannya. Di hadapan mukjizat itu, para ahli media menyerah kalah.
Dan Allah swt. juga menguatkan pamungkas para nabi saw. dengan Al-Qur'an, sebuah mukjizat abadi yang bukan hanya dalam segi balaghah dan kefasihannya saja. Tetapi, di dalam kitab ini juga terkandung undang-undang yang sangat maju dan dapat menjamin terwujudnya kemuliaan dan kehidupan umat manusia yang aman. Dengan itu semua, para sastrawan Arab tidak mampu menandingi dan mengungguli kitab ini. Begitu juga, Allah swt. menguatkannya dengan pedang yang senantiasa menang dan unggul. Yaitu, pedang Amirul Mukminin as. yang telah berhasil memanen kepala-kepala kaum musyrikin Arab yang membangkang. Para jawara Arab tidak memiliki nyali untuk menghadapi pedang ini. Mereka selalu bersemboyan: "Melarikan diri dari peperangan adalah sebuah cela kecuali dari pedang Ali." Pedangnya adalah bak halilintar yang dapat meluluh-lantakkan tokoh-tokoh musyrikin dan kaum kafir.
Ala kulli hal, untuk selanjutnya Ibn Sikkît menanyakan dalil yang digunakan oleh Imam Al-Hâdî as. untuk menjelaskan semua itu. Ia menjawab: "Akal. Dengan akal ini, pembohong atas Allah dapat dikenali. Dengan itu, ia layak dibohongkan."
Ibn Sikkît pun bungkam dan tidak mampu untuk menandingi Imam Al-Hâdî as. Yahyâ bin Aktsam menyebarkan kekalahannya kepada khalayak ramai. Ibn Sikkît menjawab: "Ibn Sikkît memang tidak layak untuk berdialog. Ia hanyalah seorang ahli dalam bidang ilmu Nahwu, syair, dan bahasa."
Imam Ali Al-Hâdî as. adalah orang yang paling 'alim pada masanya. Bukan hanya dalam bidang syariat Islam, tetapi dalam seluruh bidang ilmu pengetahuan. Kami telah memaparkan kemampuan ilmiah Imam Ali Al-Hâdî as. ini dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as.
Ibadah

Satu hal yang menonjol dalam sirah dan sejarah hidup para imam maksum as. adalah hubungan mereka yang erat dengan Allah swt. Kecintaan kepada-Nya telah tertancap di dalam hati mereka dan mengalir ke seluruh wujud dan naluri mereka. Mereka selalu menjalani kahidupan sehari-hari dengan berpuasa dan melewati malam-malam mereka dengan mengerjakan salat, bermunajat kepada Allah, dan membaca kitab-Nya. Ketika membandingkan kehidupan para imam suci ini dengan kehidupan Bani Abbâsiyah, penyair handal, Abu Firâs Al-Hamdânî bersenandung:
Tilawah Al-Qur'an bersenandung dalam rumah-rumah mereka, sementara itu kidungan dan petikan kecapi bersenandung di rumah-rumahmu.
Umat manusia tidak pernah melihat seseorang yang seperti Imam Ali Al-Hâdî as. dalam ibadah, ketakwaan, dan kegetolannya dalam menjalankan agama. Para perawi hadis mengatakan bahwa ia tidak pernah meninggalkan satu salat sunah pun. Ketika mengerjakan salat sunah Maghrib, pada rakaat ketiga, ia membaca surah Al-Fâtihah dan surah Al-Hadîd hingga firman Allah yang berbunyi: "Wa huwa 'alîmun bi dzâtish shudûr." (QS. Al-Hadîd [57]:6) Dan pada rakaat keempat, ia membaca surah Al-Fâtihah dan ayat terakhir surah Al-Hujurât. Ia juga memiliki sebuah salat sunah khusus. Salat sunah ini berjumlah dua rakaat. Pada rakaat pertama, ia membaca surah Al-Fâtihah dan sura Yasin, serta pada rakaat kedua ia membaca surah Al-Fâtihah dan surah Ar-Rahmân. Kami telah memaparkan doa-doanya pada saat membaca qunut dan setelah mengerjakan salat Shubuh dan 'Ashar dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as.
Bersama Mutawakkil

Mutawakkil Al-Abbâsî adalah orang yang paling memusuhi keluarga nabawi saw. Ia dikenal dengan kebencian dan permusuhannya terhadap mereka. Ia adalah orang yang telah menghancurkan makam suci Sayidus Syuhada' Imam Husain as. dan melarang masyarakat menziarahinya, serta menyiksa orang yang berziarah kepadanya. Ia-seperti diakui oleh para ahli sejarah-adalah lebih zalim terhadap Bani Ali as. daripada Bani Umayyah yang telah dikenal sebagai keluarga yang memiliki permusuhan besar terhadap Ahlul Bait as.
Faktor kebencian sang zalim ini adalah lantaran ia mendengar Imam Ali Al-Hâdî as. memiliki kedudukan yang tinggi di dalam hati masyarakat luas dan tempat yang kokoh di dalam lubuk hati mereka. Ia pun marah besar karena itu.
Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan kondisi kehidupan Imam Ali Al-Hâdî as. di bawah kekuasaan sang zalim ini secara ringkas.
a. Fitnah terhadap Imam Al-Imam Al-Hâdî

Salah seorang yang tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap agama dan tidak mengharapkan perlindungan Allah swt. memfitnah Imam Al-Hâdî as. Abdullah bin Muhammad, gubernur Mutawakkil untuk Madinah mengadukan Imam Al-Hâdî kepadanya. Pengaduannya ini berisi hal-hal yang sangat berbahaya. Di antaranya adalah berikut ini:
a. Banyak harta berdatangan dari berbagai penjuru negara Islam kepada Imam Al-Hâdî as. Dan tidak jauh kemungkinannya bahwa ia membeli senjata dengan harta tersebut untuk mengadakan perlawanan terhadap pemerintahan Abbâsiyah.
b. Imam Al-Hâdî as. memiliki kecintaan dan keagungan di seluruh penjuru dunia Islam.
c. Ada kemungkinan Imam Al-Hâdî as. akan mengadakan revolusi besar-besaran untuk menumbangkan kedaulatan dinasti Bani Abbâsiyah. Sang Gubernur memohon kepada Mutawakkil supaya ia ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara supaya garis perlawanannya tidak menguat.
b. Imam Al-Hâdî Menggagalkan Tindak Provokasi

Ketika mengetahui fitnah tersebut, Imam Ali Al-Hâdî as. khawatir Mutawakkil mengambil keputusan-keputusan keras yang merugikan dirinya. Ia bergegas mengambil sikap untuk menggagalkan tindak provokasi ini. Ia menulis surat kepada Mutawakkil yang berisi penjelasan tentang kedengkian yang dimiliki oleh sang Gubernur, kejahatan tindakannya, dan kebohongan fitnahnya. Ia juga menegaskan bahwa ia tidak ingin berbuat jahat terhadap Mutawakkil dan mengadakan perlawanan terhadap kekuasaannya. Ketika surat itu sampai di tangan Mutawakkil, ia yakin atas ketidakberdosaan Imam Al-Hâdî as. dan kebohongan tuduhan yang telah dinisbahkan kepadanya.
c. Surat Mutawakkil untuk Imam Al-Hâdî

Sebagai jawaban atas surat Imam Ali Al-Hâdî as. ini, Mutawakkil menulis sepucuk kepadanya. Di dalam surat ini, Mutawakkil menjelaskan bahwa ia telah mengetahui seluruh peristiwa yang sebenarnya dan ingin menurunkan Gubernur Madinah dari jabatannya. Begitu juga, ia mengundangnya untuk datang ke Samirra' dan berdomisili di situ. Berikut ini adalah teks surat Mutawakkil kepada Imam Al-Hâdî as:
Amma ba'du. Amirul Mukminin mengetahui kedudukan Anda, memperhatikan kekerabatan Anda, melaksanakan hak Anda, dan menentukan untuk Anda dan keluarga Anda apa yang Allah akan memperbaiki kondisi Anda dan kondisi mereka, mengokohkan kemuliaan Anda dan kemuliaan mereka, serta menjamin keamanan bagi Anda dan bagi mereka. Ia melakukan semua itu hanya untuk mengharap keridaan Tuhannya dan melaksanakan kewajiban yang telah diwajibkan atasnya terhadap Anda dan mereka.
Amirul Mukminin telah berniat untuk menurunkan Abdullah bin Muhammad dari jabatannya sebagai pemegang pucuk komando perang dan imam salat di Madinah Rasulullah saw. Hal itu apabila apa yang telah Anda paparkan dalam surat itu karena kebodohannya terhadap hak Anda, peremehannya terhadap kedudukan Anda, dan lantaran sekedar tuduhan yang telah ia lakukan atas Anda di mana Amirul Mukminin tahu bahwa Anda terbebaskan dari semua itu dan Anda memiliki niat yang tulus dalam setiap kebaikan dan ucapan Anda, serta Anda tidak mempersiapkan diri untuk mengadakan apa yang telah dituduhkan kepada Anda tersebut.
Sebagai gantinya, Amirul Mukminin telah menentukan Muhammad bin Fadhl dan memerintahkannya untuk menghormati dan mengagungkan Anda, menjadikan keputusan dan pendapat Anda sebagai keputusan terakhir dan penentu, serta mendekatkan diri kepada Allah dan Amirul Mukminin dengan semua itu.
Amirul Mukminin sangat rindu untuk memadu janji dan bersua dengan Anda. Jika Anda tidak berkeberatan, Anda dapat menziarahinya dan berdomisili di sisinya dengan membawa siapa pun di antara keluarga dan pembantu Anda yang Anda sukai, serta dengan penuh ketenangan dan kedamaian; Anda berangkat jika Anda kehendaki, Anda berhenti kapan pun Anda sukai, dan Anda berjalan kapan pun Anda kehendaki. Jika Anda menginginkan supaya Yahyâ bin Hurtsumah, budak Amirul Mukminin dan seluruh bala tentara yang berada di bawah komandonya mengawal Anda, hal itu semua terserah Anda. Dengan itu semua, kami hanya ingin melakukan ketaatan kepada Anda. Beristikharahlah kepada Allah sehingga Anda dapat berjumpa dengan Amirul Mukminin. Tak seorang pun dari keluarga dan orang-orang dekat Amirul Mukminin yang lebih memiliki kedudukan paling mulia, lebih memiliki kedekatan yang layak dipuji, yang lebih layak untuk dipandang, yang lebih dirindukan, yang lebih layak untuk dikucuri kebajikan, dan yang lebih menenangkan hatinya daripada Anda.
Wassalamu'alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.
Surat ini ditulis oleh Ibrahim bin Abbâs pada bulan Jumadits Tsaniyah 243 Hijriah.
d. Imam Ali Al-Hâdî Dihadirkan ke Samirra'

Mutawakkil memerintahkan Yahyâ bin Hurtsumah untuk pergi ke Madinah. Tujuan Mutawakkil adalah supaya menghadirkan Imam Ali Al-Hâdî as. ke Samirra' dan mengadakan sebuah penelitian yang jeli tentang tuduhan yang telah dituduhkan kepada Imam Al-Hâdî bahwa ia ingin menggulingkan kerajaan dan mengadakan perlawanan terhadap penguasa.
Yahyâ pergi ke Madinah dengan tidak memiliki niat apa-apa. Ketika sampai di Madinah, ia berjumpa dengan Imam Ali Al-Hâdî as. dan menyerahkan surat Mutawakkil kepadanya. Para penuduk Madinah merasa khawatir ketika mengetahui apa yang sedang terjadi, lantaran takut atas jiwa Imam Al-Hâdî di bawah pengawasan kezaliman sang lalim tersebut. Mereka sangat mencintai Imam Al-Hâdî lantaran ia senantiasa memberikan masukan kepada para ulama mereka, berbuat kebajikan kepada orang-orang miskin mereka, dan tidak memiliki sedikit pun kecenderungan terhadap harta dunia. Yahyâ menenangkan kekhawatiran mereka itu. Ia bersumpah kepada mereka bahwa ia tidak diperintah untuk menyakiti Imam Al-Hâdî as.
Imam Al-Hâdî as. meninggalkan Madinah bersama keluarganya. Yahyâ berkhidmat kepadanya. Ia merasa takjub terhadap ketakwaan, ibadah, dan kezuhudan Imam Al-Hâdî terhadap dunia. Rombongan itu pun berjalan menempuh padang sahara yang luas sehingga sampai di daerah Yâsiriyah. Rombongan ini disambut oleh Ishâq bin Ibrahim di situ. Ketika berita kedatangan Imam Al-Hâdî di Yâsiriyah tersebar, penduduk kota itu berbondong-bondong keluar untuk menyambutnya. Pihak-pihak yang tidak menginginkan sesuatu terjadi merasa khawatir dengan seluruh penyambutan itu. Akhirnya, ia dimasukkan ke Baghdad pada malam hari supaya ia tidak disambut oleh para pengikut Syi'ah yang selalu haus ingin berjumpa dengannya dengan penyambutan yang semarak.
Yahyâ pergi untuk menjumpai Ishâq bin Ibrahim Azh-Zhâhirî, penguasa Baghdad. Yahyâ menceritakan kedudukan Imam Al-Hâdî as. dan seluruh kezuhudan, ibadah, dan ketakwaannya yang telah ia saksikan sendiri. Ishâq berpesan kepadanya: "Sesungguhnya orang ini-yaitu, Imam Al-Hâdî as-telah dilahirkan oleh Rasulullah saw., dan engkau telah mengetahui kesesatan dan penyelewengan Mutawakkil. Jika Mutawakkil mendengar sebuah kalimat yang mengandung penghinaan terhadapnya, niscaya Mutawakkil akan membunuhnya, dan Nabi saw. akan menjadi musuhmu pada hari kiamat ...."
Ishâq telah memberikan peringatan kepada Yahyâ supaya tidak menukil satu ucapan jelek pun bekenaan dengan hak Imam Al-Hâdî kepada Mutawakkil yang telah dikenal sebagai orang yang memusuhi dan membenci Ahlul Bait as. Yahyâ bergegas menjawab: "Demi Allah, aku tidak mengetahui sesuatu darinya yang dapat kuingkari dan juga tidak menemukan sesuatu darinya kecuali sesuatu yang indah."
Setelah itu, rombongan Imam Ali Al-Hâdî as. meninggalkan Baghdad untuk menuju ke Samirra'. Ketika tiba di Samirra', Yahyâ bergegas menjumpai Washîf At-Turki, salah seorang yang memiliki kedudukan penting di jajaran kerajaan. Yahyâ memberitahukan kedatangan Imam Al-Hâdî as. di Samirra' kepadanya. Washîf pun segera memberikan peringatan kepada Yahyâ untuk tidak menukil sebuah kalimat pun yang dapat merusak nama baik Imam Al-Hâdî as. kepada Mutawakkil seraya berkata: "Hai Yahyâ, demi Allah, jika sehelai rambutnya jatuh, hanya engkau yang akan dimintai pertanggungjawaban."
Yahyâ pun merasa takjub dan terheran-heran dengan kesatuan wasiat Washîf At-Turki dan Ishâq, penguasa Baghdad tentang Imam Al-Hâdî as. dan kelaziman untuk memeliharanya.
e. Di Gubuk Sha'âlîk

Mutawakkil memerintahkan supaya Imam Al-Hâdî as. ditempatkan di gubuk Sha'âlik dengan tujuan untuk menjatuhkan dan meremehkan harga dirinya di mata khalayak ramai. Shâlih bin Sa'îd pernah menemuinya dan merasa sakit hati dengan apa yang dilihatnya seraya berkata: "Semoga aku menjadi tebusan Anda! Dalam setiap hal, mereka ingin memadamkan cahaya Anda dan meremehkan nilai Anda sehingga mereka menempatkan Anda di dalam gubuk yang menjijikkan ini, gubuk Sha'âlik."
Imam Ali Al-Hâdî as. berterima kasih atas kecintaan dan ketulusan hatinya itu. Imam Al-Hâdî meringankan rasa sakit hati yang hinggap di kalbunya. Ia menampakkan mukjizat yang telah digunakan oleh Allah untuk menolong para wali dan nabi-Nya. Ia menenangkan kekhawatiran yang ada dalam hati Shâlih sehingga kesedihan hatinya pun sirna.
f. Imam Al-Hâdî Hidup Bersama Mutawakkil

Yahyâ bergegas menjumpai Mutawakkil dan memberitahukan kebersihan sirah dan kezuhudan Imam Ali Al-Hâdî as. kepadanya. Tak lupa ia juga menyampaikan bahwa ia telah menggeledah rumah Imam Al-Hâdî dan tidak menemukan apa pun di dalamnya kecuali mushaf-mushaf dan kitab-kitab doa. Di samping itu, ia juga memberitahukan bahwa Imam Al-Hâdî terbebaskan dari segala tuduhan ingin menggulingkan kerajaan yang dituduhkan kepadanya itu. Dengan penjelasan ini, amarah sang lalim itu reda. Ia memerintahkan supaya Imam Al-Hâdî as. dihadirkan ke hadapannya. Ketika Imam Al-Hâdî telah hadir di hadapannya, Mutawakkil menyambutnya dengan segala pengagungan dan pemuliaan, serta mempererat hubungan dengannya. Hanya saja, ia memaksanya untuk berdomisili di Samirra' supaya segala gerak-geriknya berada di bawah pengawasan dan pantauannya.
g. Mutawakkil Menanyakan Siapakah Penyair Termahir?

Mutawakkil pernah bertanya kepada Ali bin Jahm tentang penyair termahir. Ali bin Jahm menyebutkan beberapa nama penyair yang pernah hidup pada masa jahiliah. Akan tetapi, Mutawakkil tidak tertarik dengan semua nama itu. Akhirnya, ia menoleh ke arah Imam Ali Al-Hâdî as. dan menanyakan pertanyaan yang sama kepadanya. Imam Al-Hâdî as. menjawab: "Al-Humânî. Dalam sebuah syairnya ia pernah berkata,
Sekelompok kaum Quraisy berbangga-bangga atas kami dengan jidad yang lebar dan jari-jemari yang terbentang.
Jika kami mengadu perang mulut dengan mereka, ia menangkan kami atas mereka dengan seruan syahadatain.
Engkau lihat kami terdiam sedangkan saksi keutamaan kami atas mereka selalu mendengung di setiap perkumpulan.
Sungguh Rasulullah Ahmad adalah kakek kami dan kami anak cucunya bak bintang gumintang yang cerlang."
Mutawakkil menoleh ke arah Imam Al-Hâdî as. seraya bertanya: "Hai Abul Hasan, apa yang dimaksud dengan nidâ' ash-shawâmi' ?"
Imam Al-Hâdî as. menjawab: "Asyhadu an(l) lâ ilâha illallâh wa asyhadu anna Muhammad(an) Rasulullah. Apakah Muhammad itu adalah kakekku atau kakekmu?"
Sang lalim tersulut api amarah dan menjawab pertanyaannya ini dengan suara gemetar sembari berkata: "Ia adalah kakekmu, dan kami tidak mengingkari hal ini."
Sang lalim mengingkari seluruh keutamaan Imam Ali Al-Hâdî as. dan jiwanya terpenuhi oleh kebencian dan permusuhan atasnya. Oleh karena itu, ia melakukan beberapa tindakan berikut ini:

1. Menggeledah Rumah Imam Al-Hâdî as.

Mutawakkil memerintahkan kekuatan militernya untuk menyerang rumah Imam Ali Al-Hâdî as. pada malam hari dan menahannya. Mereka menyerang rumahnya di pertengahan malam dan menemukannya sedang berada di dalam sebuah kamar yang tertutup. Pada saat itu, ia mengenakan jubah yang terbuat dari bulu dan duduk di atas pasir dan kerikil yang terhampar di atas lantai kamar itu dengan menghadap ke arah Kiblat sembari membaca firman Allah swt.: "Apakah orang-orang yang berbuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerajakan amal yang saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu." (QS. Al-Jâtsiyah [45]:21)
Mereka membawa Imam Al-Hâdî as. ke hadapan Mutawakkil, sedangkan ia masih tetap dalam kondisi semula yang menggambarkan nilai spiritualitas para nabi as. itu dan Mutawakkil sedang duduk di depan hidangan khamar dalam kondisi mabuk sempoyongan. Ketika melihat Imam Al-Hâdî as., ia menawarkan segelas khamar kepadanya. Imam Al-Hâdî as. menghardiknya seraya berkata: "Demi Allah, daging dan darahku tidak pernah dikotori oleh khamar untuk selamanya."
Mutawakkil menoleh ke arah Imam Al-Hâdî as. seraya berkata: "Senandungkanlah syair untukku."
Imam Al-Hâdî as. menjawab: "Aku tidak banyak meriwayatkan syair."
Sang lalim itu memaksa sembari berkata: "Engkau harus menyenandungkan syair untukku."
Imam Al-Hâdî as. tidak memiliki pilihan lain kecuali harus mengabulkan permintaannya itu. Lalu, ia membacakan bait-bait syair menyedihkan berikut ini yang dapat merubah sang lalim yang sedang mabuk sempoyongan itu menjadi sedih dan menangis:
Mereka hidup di atas puncak kekuasaan dengan dikawal oleh pengawal-pengawal kuat, tapi puncak kekuasaan tak bermanfaat bagi mereka.
Mereka diturunkan dari kedudukannya setelah beberapa saat merasa mulia, dan diletakkan di liang kuburan. Oh, alangkah jeleknya liang mereka.
Sebuah suara menyeru mereka setelah mereka dikuburkan: "Manakah takhta, manakah pernik perhiasan, dan manakah gemerlap mahkota?
Manakah wajah-wajah yang sebelumnya bergelimangan nikmat, yang seluruh kelambu dan tirai dibentangkan di hadapannya?"
Liang kubur pun berbicara ketika ia mempertanyakan mereka: "Itulah wajah-wajah itu tengah digerayangi ulat-ulat berpesta-pora.
Mereka telah banyak makan dan minum setelah beberapa masa, dan setelah berselang masa yang lama itu, mereka telah jadi mangsa."
Mutawakkil tersentak dan rasa mabuk pun sirna dari kepalanya. Ia kehilangan kontrol dan menangis sesenggukan. Ia memerintahkan supaya gelas-gelas khamar itu disingkirkan dari hadapannya seraya menoleh ke arah Imam Al-Hâdî as. sembari bertanya: "Hai Abul Hasan, apakah engkau memiliki utang?"
Imam Al-Hâdî menjawab: "Ya. Empat puluh ribu dinar."
Mutawakkil memerintahkan supaya uang itu diberikan kepadanya, dan ia dikembalikan ke rumahnya.
Peristiwa ini mengindikasikan jihad dan sikap Imam Ali Al-Hâdî as. yang agung dalam menghadapi sang lalim yang melakukan setiap dosa yang telah dilarang Allah swt. Ia tidak gentar dengan kerajaan dan kekuasaan yang dimilikinya. Ia menasihati dan memperingatkannya atas siksa Allah yang sedang menanti. Ia juga memberitahukan masa depannya setelah ia meninggalkan dunia ini, dan bahwa bala tentara, kerajaan, dan seluruh kekuatan besar yang dimilikinya itu tidak dapat menolak kematian pasti yang telah dijanjikan. Lebih dari itu, ia memberitahukan nasib tubuhnya yang lemah itu setelah meninggal dunia, yaitu tubuh itu akan menjadi santapan ulat-ulat dengan berpesta-pora.
Bisa dipastikan bahwa nasihat semacam ini belum pernah hinggap di telinga Mutawakkil. Karena, telinganya senantiasa dihirukkan oleh suara-suara merdu para penyanyi, dan ia dijemput maut sedangkan ia tersanjung di tengah-tengah para penari gemulai. Ia tidak pernah ingat kepada Allah swt. selama masa ia hidup.

2. Embargo Ekonomi Terhadap Imam Al-Hâdî

Mutawakkil pernah memberlakukan embargo ekonomi yang sangat ketat terhadap Imam Al-Hâdî as. dan menentukan siksaan yang paling keras bagi para pengikutnya yang mengantarkan harta-harta khumus dan zakat kepadanya atau melakukan jenis hubungan apapun dengannya. Dengan demikian, pada masa kekuasaan Mutawakkil ini, ia dan seluruh keturunan Bani Ali as. hidup dalam krisis ekonomi yang sangat parah. Muslimin enggan untuk menunaikan hak-hak mereka karena takut kepada penguasa. Mukminin mengirimkan hak-hak mereka dengan menimbunnya di dalam kaleng minyak goreng dan menjual minyak goreng itu kepada mereka. Pihak penguasa tidak mengetahui strategi ini. Oleh karena itu, sebagian sahabat Imam Al-Hâdî as. dikenal sebagai penjual minyak goreng.

3. Penangkapan dan Penahanan Imam Al-Hâdî

Sang lalim Mutawakkil memerintahkan supaya Imam Al-Hâdî as. ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Ia mendekam di dalam rumah tahanan selama beberapa waktu. Pada suatu hari, Shaqr bin Abi Dilf menjenguknya di dalam penjara. Penjaga penjara menyambutnya dengan sangat hangat, dan ia tahu bahwa Shaqr adalah seorang pengikut Syi'ah. Penjaga penjara bertanya kepadanya: "Untuk keperluan apa kamu datang kemari?"
Shaqr menjawab: "Untuk sebuah kebaikan."
Ia bertanya lagi: "Mungkin kamu datang untuk menanyakan kondisi tuanmu?"
Shaqr menjawab: "Tuanku adalah Amirul Mukminin." Yang ia maksudkan adalah Mutawakkil.
Penjaga penjara itu tersenyum seraya berkata: "Diam kamu. Tuanmu adalah kebenaran-yaitu, Imam Al-Hâdî as-dan janganlah kamu takut kepadaku, karena aku juga mengikuti mazhabmu."
Shaqr berujar lega: "Alhamdulillâh."
Ia bertanya lagi: "Kamu ingin untuk menjumpainya?"
"Ya," jawab Shaqr pendek.
Ia menjawab: "Duduklah hingga tukang pos itu keluar."
Ketika tukang pos itu keluar, penjaga penjara berkata kepada bawahannya: "Antarlah Shaqr ini dan masukkanlah ke dalam bilik yang dihuni oleh 'Alawi yang sedang ditahan itu, serta biarkanlah mereka berdua sendirian."
Bawahan itu mengantarkan Shaqr dan membawanya masuk ke dalam bilik Imam Al-Hâdî as. Ia duduk di atas sebuah pelepah kurma dan di hadapannya telah digali sebuah kuburan atas perintah Mutawakkil untuk menakut-nakutinya. Ia menoleh ke arah Shaqr seraya bertanya: "Hai Shaqr, apa yang menyebabkan kamu datang kemari?"
Shaqr menjawab: "Aku datang hanya untuk mengetahui kondisi Anda."
Shaqr pun menangis tersedu-sedu karena khawatir atas jiwa Imam Al-Hâdî as. Ia berkata kepadanya: "Hai Shaqr, janganlah kamu menangis. Mereka tidak akan dapat berbuat kejahatan terhadap kami ...."
Imam Al-Hâdî as. menenangkan rasa takutnya, dan ia bersyukur kepada Allah atas hal ini. Selanjutnya, ia bertanya tentang beberapa masalah agama, dan setelah Imam Al-Hâdî as. menjawabnya, ia pun mohon pamit.
h. Doa Imam Al-Hâdî Demi Kecelakaan Mutawakkil

Imam Al-Hâdî as. sudah merasa tidak tahan lagi menghadapi Mutawakkil. Mutawakkil selalu memperlakukannya dengan segala jenis kekerasan dan menyiksanya dengan siksa yang paling pedih. Imam Al-Hâdî as. mengadukan hal itu kepada Allah swt. dan berdoa untuk kecelakaannya dengan doa Ahlul Bait as. yang paling agung. Doa ini dikenal dengan nama "doa orang mazlum untuk kecelakaan orang zalim". Doa ini adalah salah satu doa simpanan yang sangat mulia. Kami telah menyebutkan doa ini di dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as., dan tidak perlu lagi kami menyebutkannya lagi dalam biografi ringkas para imam maksum as. ini.
i. Imam Al-Hâdî Memberitahukan Kematian Mutawakkil

Mutawakkil menggunakan segala cara dan sarana untuk menurunkan derajat Imam Al-Hâdî as. dan mengurangi pamornya di hadapan khalayak ramai. Ia memerintahkan seluruh rakyat untuk berjalan di hadapannya. Mereka melaksanakan perintahnya, dan Imam Al-Hâdî as. berada di hadapan mereka sedang berkucuran keringat, karena pada waktu itu hawa memang sangat panas. Zurâqah, penjaga pintu istana Mutawakkil melihat Imam Al-Hâdî sedang berkucuran keringat. Zurâqah bergegas menuju ke arahnya dan mendudukkannya di dalam sebuah ruangan. Ia mengambil sebuah sapu tangan dan lantas menyapu keringat Imam Al-Hâdî yang sedang berkucuran. Ia berusaha meringankan kesedihan yang ada di dalam relung hatinya seraya berkata: "Anak pamanmu itu tidak memiliki tujuan apa-apa terhadapmu dengan tindakan ini ...."
Imam Al-Hâdî as. menjawab: "Diamlah kamu!" Setelah itu, ia membaca firman Allah swt. yang berbunyi: "Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak dapat didustakan." (QS. Hûd [11]:65)
Zurâqah berkata: "Aku memiliki seorang sahabat yang bermazhab Syi'ah. Aku sering bergurau dengannya. Ketika pulang ke rumahku, aku memanggilnya untuk datang ke rumahku. Ketika ia telah datang, aku memberitahukan kepadanya apa yang telah kudengar dari Imam Al-Hâdî. Lantas, wajahnya berubah seraya berkata kepadaku, 'Berhati-hatilah dan kumpulkanlah seluruh harta yang kamu miliki, karena Mutawakkil akan mati atau dibunuh setelah tiga hari.'"
Ia menafsirkan hal itu dari kesaksian Imam Al-Hâdî as. dengan ayat tersebut. Ucapannya berpengaruh kuat pada diri Zurâqah. Ia melanjutkan ceritanya: "Tidak ada jeleknya jika aku mempersiapkan segala sesuatunya. Jika memang hal itu terjadi, aku telah bersiap-siap diri sebelumnya, dan seandainya tidak terjadi sesuatu, semua itu tidak akan membahayakan aku. Akhirnya, aku menunggangi kudaku menuju ke istana Mutawakkil dan kukeluarkan seluruh harta milikku, lalu kutitipkan kepada orang yang kukenal. Tiga hari belum berlalu, Mutawakkil pun mati."
Peristiwa ini menjadi faktor Zurâqah mendapatkan petunjuk dan meyakini mazhab imâmah.
j. Kematian Mutawakkil

Setelah Imam Al-Hâdî as. memberitahukan tentang kematiannya itu, Mutawakkil tidak hidup kecuali selama tiga hari. Anaknya yang bernama Muntashir mengatur rencana untuk membantainya. Beberapa orang berkebangsaan Turki menyerangnya pada malam Rabu yang bertepatan dengan tanggal 4 Syawal 247 Hijriah. Kelompok ini dipimpin oleh seorang berkebangsaan Turki yang bernama Bâghir. Mereka telah menghunus pedang-pedang mereka. Pada waktu itu, Mutawakkil sedang dalam keadaan mabuk sempoyongan. Fath bin Khâqân ketakutan seraya menjerit: "Celaka kamu sekalian. Ini adalah Amirul Mukminin!" Mereka tidak menggubrisnya. Fath melemparkan dirinya di atas tubuh Mutawakkil supaya menjadi kambing korban baginya. Akan tetapi, tindakan Fath itu tidak dapat membela Mutawakkil dan tidak juga dirinya. Pedang-pedang kelompok berkebangsaan Turki itu menyabet tubuh mereka berdua dan memotong-motongnya sehingga tidak dikenali manakah potongan daging tubuh Mutawakkil dan potongan daging tubuh Fath. Sepotong daging mereka jatuh ke dalam gelas-gelas khamar (yang telah dihidangkan). Akhirnya, Mutawakkil dan Fath dikuburkan bersama dalam satu kuburan. Dengan peristiwa mengerikan ini, masa kekuasaan Mutawakkil-sebagai sosok yang paling memusuhi Ahlul Bait as-berakhir.
Mengenang kematian Mutawakkil ini, seorang penyair yang bernama Ibrahim bin Ahmad Al-Asadî melantunkan bait-bait syair berikut ini:
Beginilah kematian orang-orang besar, di dalam pelukan seruling, kecapi, dan tetesan-tetesan khamar.
Di dalam gelimangan dua gelas yang selalu mengenyangkannya, gelas kelezatan dan gelas kematian.
Ia selalu terjaga dalam kebahagiaan hingga datang kematian yang telah ditentukan Allah ketika ia lelap tidur.
Kematian memiliki tingkat-tingkat yang berbeda-beda, dan di ujung pedanglah kematian orang-orang besar.
Ia sendiri tidak tahu malaikat pembawa maut mengirimkan berbagai macam penyakit dan mala petaka.
Ia merasa ketakutan dan di malam yang gelap gulita, pedang-pedang tajam mencabik-cabik tubuhnya.
Penyair itu menangisinya dengan bait-bait syair yang menggambarkan kegilaan dan kekotoran perangainya. Ia dijemput maut pada saat ia bersenda gurau dengan gelas-gelas khamar dan alat-alat musik, dan segala penyakit yang sedang dideritanya tidak mencegah ia melakukan itu semua. Pedang-pedang kelompok berkebangsaan Turki itu telah memanen tubuhnya dan ia tidak meneguk rasa sakit kecuali sedikit. Sebelum ini, para penyair telah mengenang kematian para raja lantaran mereka enggan memperbaiki kondisi kehidupan sosial masyarakat, enggan menebarkan keadilan, keamanan, dan ketentramanan di tengah-tengah mereka.
Ala kulli hal, mimpi buruk itu telah sirna dari tengah-tengah kehidupan Bani Ali dan para pengikut mereka. Sekarang, Muntashir-yang telah memimpin pemberontakan atas ayahnya sendiri-memegang tampuk kekhalifahan. Pemerintahannya ini diterima oleh masyarakat luas dengan kebahagiaan yang meluap. Setelah berhasil memegang tampuk kekuasaan itu, ia melakukan banyak kebaikan kepada Bani Ali. Di antaranya adalah berikut ini:
a. Membatalkan pelarangan berziarah kepada Imam Husain as., pelopor kemuliaan umat manusia itu, dan tindakannya ini mendapatkan pujian dan ucapan terima kasih yang tak terhingga. Ayahnya telah memberlakukan pelarangan untuk menziarahi cucu Rasulullah saw. ini dan menentukan hukuman-hukuman yang sangat berat bagi orang-orang yang berani menziarahinya.
b. Mengembalikan tanah Fadak kepada Bani Ali as.
c. Mengembalikan wakaf-wakaf Bani Ali as. yang telah disita oleh pemerintah kepada mereka.
d. Menurunkan gubernur Madinah, Shâlih bin Ali yang telah berbuat jahat terhadap Bani Ali as. dari kedudukannya. Sebagai gantinya, ia menunjuk Ali bin Hasan sebagai gubernur Madinah dan ia berwasiat kepadanya supaya bertindak baik terhadap Bani Ali as.
Para penyair berterima kasih kepada Muntashir atas segala karunia dan kebaikan yang telah ia lakukan terhadap Bani Ali as. tersebut. Yazid bin Muhammad Al-Mihlabî bersenandung:
Engkau telah berbuat baik kepada Bani Abu Thalib setelah mereka mendapat cercaan dan perlakukan jahat sekian lama.
Engkau kembalikan kecintaan kepada Bani Hâsyim dan kau anggap sebagai saudara setelah dimusuhi sekian lama.
Engkau tentramkan kehidupan mereka dan berbuat derma atas mereka sehingga mereka lupa sakit hati sekian lama.
Seandainya para leluhur melihat engkau telah berbuat derma kepada mereka, mereka yakin timbanganmu terberat di sana.( )
Muntashir telah menyambung tali kekerabatan dengan keluarga nabawi setelah Bani Abbâsiyah, para leluhurnya selalu berusaha untuk memutusnya dan menghinakan mereka. Ia menghentikan segala ancaman, kesengsaraan, penghinaan, dan tekanan-tekanan yang selama itu dialami oleh mereka. Akan tetapi, sangat disayangkan sekali. Masa kekuasaannya tidak berlangsung lama. Seorang dokter kerajaan telah membunuhnya. Ia meracuninya atas dasar perintah dari bangsa Turki. Dan Muntashir pun meninggal dunia pada saat itu juga. Dengan kematiannya itu, masyarakat telah kehilangan kebaikan yang tak terhingga. Ia telah berhasil memberikan kebebasan beragama kepada mereka dan membasmikan mimpi buruk itu dari kehidupan mereka.
Imam Ali Al-Hâdî Dibunuh

Mu'tamid Al-Abbâsî tidak tahan lagi melihat Imam Al-Hâdî as. Hal itu lantaran Imam Al-Hâdî memiliki kedudukan yang agung nan tinggi di tengah-tengah masyarakat Islam. Mu'tamid marah besar ketika keutamaan-keutamaannya tersebar luas, dan seluruh majelis dan pertemuan-pertemuan sosial kemasyarakat selalu membicarakan kehebatan ilmiahnya dan penguasaannya yang luar biasa terhadap masalah-masalah agama.
Mu'tamid meracuni Imam Al-Hâdî as. dengan racun pembunuh. Ketika Imam Al-Hâdî as. meminum racun tersebut, sekujur tubuhnya teracuni dan ia tidak bisa beranjak dari tempat tidur. Para tokoh dan pemuka mazhab Syi'ah senantiasa menjenguknya silih berganti. Di antara para penjenguk tersebut adalah Abu Hâsyim Al-Ja'farî. Ketika ia melihatnya berperang melawan rasa sakit racun tersebut, tangisannya pun tak tertahan lagi. Ia melantunkan beberapa bait syair berikut ini:
Dunia menggoncang hatiku yang sedih pedih dan rentetan musibah mengganyang sekujur tubuhku.
Ketika kudengar berita Sang Imam pucat pasi terbentang sakit; Aku menjerit: "Kujadikan tebusannya jiwaku."
Agama pun sakit lantaran kau sakit, dan bintang gumintang pun turut sakit bersimpuh di hadapanmu.
Heran, pabila engkau mati lantaran sakit dan penyakit, padahal engkaulah imam dan musuh penyakit.
Engkaulah obat termujarab untuk agama dan dunia, serta penghidup orang mati dan yang masih hidup.
Bait-bait syair ini mengungkapkan kepedihan Abu Hâsyim dan kedalaman rasa sedihnya lantaran Imam Al-Hâdî as. sakit, padahal ia adalah musuh penyakit, harapan umat, dan pemimpin mereka.
Menuju Surga Abadi

Racun itu merasuki sekujur tubuh Imam Ali Al-Hâdî as. dan kematian pun mendekat kepadanya dengan begitu cepat. Ketika merasa ajal sudah dekat, ia menghadap ke arah Kiblat dan membaca beberapa ayat kitab Allah yang mulia. Ajal menjemputnya sedangkan mulut sucinya masih membaca zikir.
Ruhnya yang suci telah diangkat menuju Penciptanya dengan diiringi oleh para malaikat Rahman. Dunia akhirat terang benderang menunggu kedatangannya, sementara itu dunia fana menjadi gelap gulita karena kepergiannya. Dengan demikian, ayah, pemimpin, dan pembela hak-hak orang-orang lemah dan tertindas telah meninggal dunia.
Ritual Pemakaman

Putranya, Imam Abu Muhammad Hasan Al-'Askarî as. melaksanakan ritual pemakaman atas sang ayah. Imam Hasan as. memandikan tubuh suci sang ayah dan mengafaninya. Ia menyalati sang ayah dengan bercucuran air mata dan hatinya seakan-akan tersayat sembilu karena kepergian ayah tercinta.
Pengantaran Jenazah

eluruh lapisan penduduk kota Samirra' hiruk-pikuk berebutan untuk mendapatkan kejayaan mengantarkan jenazah Imam Al-Hâdî as. yang suci. Para menteri, ulama, hakim, dan petinggi angkatan militer memimpin penggotongan jenazahnya, sedangkan mereka merasakan musibah yang sangat menyedihkan dan merenungkan kerugian besar tak terganti yang telah menimpa dunia Islam. Kota Samirra' tidak pernah menyaksikan acara ritual pengantaran jenazah sebesar dan seagung itu di mana seluruh lapisan masyarakat mengHâdîrinya, baik orang-orang yang saleh maupun yang taleh. Kantor-kantor resmi pemerintah, pusat-pusat perniagaan, dan lain sebagainya juga libur resmi.
Persemayaman Terakhir

Tubuh suci itu dibawa menuju persemayamannya yang terakhir dengan diiringi oleh takbir dan takzim yang menggemuruh. Ia dimakamkan di rumahnya yang memang sudah dipersiapkan untuk makamnya sendiri dan makam keluarganya. Dengan kepergiannya ini, nilia-nilai insani yang sangat tinggi juga dikuburkan.
Imam Ali Al-Hâdî as. berusia empat puluh tahun dan ia wafat pada hari Senin, 25 Jumadil Akhir 254 Hijriah. Dengan ini, usailah pembahasan tentang sejarah hidup Imam Ali Al-Hâdî as.
Catatan Kaki:

Bashriya adalah sebuah desa yang dibangun oleh Imam Mûsâ bin Ja'far as. Desa ini berjarak sekitar 3 mil dari Madinah.
Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as., hal. 24-26.
Ibid. hal. 26.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 13, hal. 131; A'yân As-Syi'ah, jilid 4, hal. 275, bagian kedua.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 13, hal. 129.
Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as., hal. 243.
Al-Manâqib, jilid 4, hal. 441.
Amâlî Ash-Shadûq, hal. 498.
Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as., hal. 46.
Ibid., hal. 239.
Târîkh Al-Islam, karya Adz-Dzahabî, Rijâl Ath-Thabaqah As-Sâdisah wa Al-'Isyrin; Tadzkirah Al-Khawwâsh, hal. 360.
Al-Muntazhim, jilid 12, hal. 26.
Syarah Syâfiyah Abi Firâs, jilid 2, hal. 168.
Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as., hal. 158-160.
Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as., hal. 242-243.
Wasâ'il Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 750.
Ibid., jilid 5, hal. 298.
Al-Irsyâd, hal. 375-376.
Mir'âh Az-Zamân, jilid 9, hal. 553.
Mir'âh Az-Zamân, jilid 9, hal. 553; Murûj Adz-Dzahab, jilid 4, hal. 114; Tadzkirah Al-Khawwâsh, hal. 359.
Al-Irsyâd, hal. 376.
Mir'âh Az-Zamân, jilid 9, hal. 553.
Al-Humânî adalah Yahyâ bin Abdul Hamid Al-Kûfî. Ia berpindah ke Baghdad dan meriwayatkan hadis di kota ini dari beberapa orang. Di antara mereka adalah Sufyân bin 'Uyainah, Abu Bakar bin 'Ayyâsy, dan Wakî'. Hal ini dipaparkan oleh Al-Khathîb Al-Baghdâdî di dalam bukunya yang berjudul Târîkh Baghdad, dan ia menyebutkan beberapa hadis yang telah ia riwayatkan dari Yahyâ bin Mu'în. Dalam komentarnya, Yahyâ bin Mu'în berkata, "Yahyâ bin Abdul Hamid Al-Humânî adalah orang yang jujur (Shadûq) dan terpercaya (tsiqah)." Diriwayatkan bahwa Al-Humânî pernah berkata, "Mu'âwiyah meninggal dunia bukan atas dasar agama Islam." Ia meninggal dunia di Samirra' pada tahun 228 Hijriah, dan ia adalah ahli hadis pertama yang meninggal dunia di kota ini. Silakan Anda rujuk Al-Kunâ wa Al-Alqâb, jilid 2, hal. 191.
Dalam teks asli syair tersebut disebutkan nidâ' ash-shawâmi' dan kami menerjemahkannya dengan "seruan syahadatain", lantaran mengambil ilham dari jawaban Imam Al-Hâdî as. ketika menjawab pertanyaan Mutawakkil tersebut-pen.
Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as., hal. 241.
Mir'âh Az-Zamân, jilid 2, hal. 960; Tadzkirah Al-Khawwâsh, hal. 361; Al-Ithâf bi Hubb Al-Asyrâf, hal. 67.
Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as., hal. 262-264.
Ibid., hal. 263-264.
Ibid., hal. 265.
Zuhar Al-Adab, jilid 1, hal. 227.
Târîkh Ibn Al-Atsîr, jilid 5, hal. 311.
Murûj Adz-Dzahab, jilid 4, hal. 83.
Târîkh Al-Khulafâ', karya As-Suyûthî, hal. 357.
I'lâm Al-Warâ, hal. 348.
Nûr Al-Abshâr, hal. 150; Kasyf Al-Ghummah, jilid 3, hal. 174.
Ibid.

IMAM HASAN AL-'ASKARI

Imam Abu Muhammad Hasan Al-'Askarî as. adalah imam kesebelas dari para imam Ahlul Bait as. yang telah bertugas mengemban risalah Islam dan menegakkan tujuan dan nilai-nilai luhurnya. Ia adalah sebuah anugerah Allah swt. untuk para hamba-Nya, dan juga salah satu tanda kekuasaan-Nya dalam segala karunia, nilai-nilai luhur, dan jihad yang telah ia lakukan. Ia telah mengadakan penentangan terhadap kekuasaan dinasti Bani Abbâsiyah yang menyeleweng dan berusaha untuk merealisasikan keadilan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sekilas tentang sejarah kehidupan dan biografi imam agung yang satu ini.
Silsilah Keturunan

Silsilah keturunan Imam Hasan Al-'Askarî as. berasal dari garis keturunan keluarga nabawi yang telah dijadikan oleh Allah swt. sebagai mata air kemuliaan muslimin. Keluarga ini telah diserahi tugas untuk menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, serta sekaligus menebarkannya di tengah-tengah kehidupan umat manusia. Saya tidak yakin bahwa ada sebuah keluarga di dunia ini yang telah berkiprah untuk berkhidmat kepada kebenaran dan menebarkan nilai-nilai luhur di tengah-tengah kehidupan umat manusia seperti keluarga nabawi yang satu ini.
Sesungguhnya Imam Hasan Al-'Askarî as. memiliki hubungan nasab dengan Rasulullah saw. dan Kota Ilmunya, Imam Amirul Mukminin as. Ia adalah putra Imam Ali Al-Hâdî bin Imam Muhammad Al-Jawâd bin Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ bin Imam Mûsâ bin Ja'far bin Imam Ja'far Ash-Shâdiq bin Imam Muhammad Al-Bâqir bin Imam Ali bin Husain bin Imam Husain bin Ali bin Ali bin Abi Thalib-semoga salam Allah senantiasa tercurahkan atas mereka. Mereka semua adalah para imam petunjuk, pelita kegelapan, dan bendera ketakwaan yang telah dijauhkan oleh Allah dari segala jenis kekotoran dan disucikan sesuci-sucinya. Di samping itu, Rasulullah saw. telah menjadikan mereka sebagai bahtera-bahtera keselamatan, tempat keamanan para hamba, dan pintu hiththah yang dapat menjamin keamanan bagi setiap orang yang memasukinya.
Kelahiran

Dunia Islam menjadi terang benderang kembali dengan kelahiran salah seorang keuturunan Nabi saw. dan penerus missi imâmah ini. Para perawi hadis dan ahli sejarah berbeda pendapat berkenaan dengan daerah yang telah mendapatkan kemuliaan untuk menerima kelahirannya itu. Sebagian berpendapat bahwa daerah itu adalah Madinah Al-Munawarah dan menurut sebuah pendapat, ia dilahirkan di Samirra'. Tentang tanggal dan tahun kelahirannya, mereka juga tidak memiliki kesepakatan pendapat. Berikut ini adalah pendapat-pendapat mereka dalam masalah ini:
a. Ia dilahirkan pada bulan Rabi'ul Awal 230 Hijriah.
b. Ia dilahirkan pada tahun 231 Hijriah.
c. Ia dilahirkan pada tahun 232 Hijriah.
d. Ia dilahirkan pada tahun 233 Hijriah.
Acara Ritual Kelahiran

Ketika diberitahukan tentang kelahiran sang putra yang penuh berkah itu, Imam Al-Hâdî as. bergegas melaksanakan acara ritual kelahiran atas putranya itu. Ia mengumandangkan azan di telinga kanannya dan membacakan iqamah di telinga kirinya. Imam yang suci ini menyambut alam wujud ini dengan mengumandangkan kalimat-kalimat tauhid sebagai secercah sinar dari nur Allah swt. dan zikir muslimin di setiap tempat dan masa. Yaitu, Allahu Akbar, lâ ilâha illalâh.
Pada hari ketujuh dari kelahiran sang putra, Imam Al-Hâdî as. mencukur rambutnya dan menyedekahkan emas atau perak kepada orang-orang miskin seberat rambut yang telah dicukur itu. Ia juga melaksanakan acara akikah dengan menyembelih seekor kambing untuk sang putra sebagai tindak mengamalkan sunah Islami yang sangat dianjurkan untuk dilakukan. Ia memberi nama Hasan kepada sang putra seperti nama pamannya yang tertinggi. Yaitu, Imam Hasan Al-Mujtabâ, penghulu pemuda surga. Ia juga memberi nama panggilan Abu Muhammad. Muhammad ini adalah nama imam yang sedang ditunggu-tunggu kedatangannya di mana ia adalah harapan orang-orang yang tertindas di muka bumi ini.
Pertumbuhan dan Perkembangan

Imam Abu Muhammad tumbuh berkembang di dalam sebuah rumah Allah yang termulia. Yaitu, rumah imâmah yang telah dijauhkan oleh Allah dari segala kotoran dan disucikan sesuci-sucinya.
Tentang rumah yang agung ini, Asy-Syabrâwî berkomentar: "Alangkah mulianya rumah dan silsilah keturunan yang agung ini. Alangkah kemuliaan yang sangat agung. Cukuplah bagimu ketinggian kedudukan yang dimiliki oleh rumah ini bahwa mereka semua memiliki nasab yang mulia dan pokok yang baik. Mereka sama rata bak gigi-gigi sisir dan sama-sama memiliki saham dalam seluruh kegungan. Aduhai rumah yang sangat agung. Rumah ini terjulang ke langit dan memiliki tempat di sisi bintang-gumintang, dan tenggelam dalam kemuliaan."

Takut kepada Allah swt.

Karakter yang sangat menonjol pada waktu Imam Al-'Askarî as. pada waktu masih kecil adalah rasa takut kepada Allah swt. Para ahli sejarah meriwayatkan bahwa seseorang pernah lewat melaluinya ketika sedang bermain bersama teman-teman sebayanya, sedangkan ia menangis terisak-isak. Orang itu menyangka bahwa ia menangis lantaran merasa iri terhadap mainan yang dimiliki teman-teman sebayanya dan ia tidak memilikinya. Orang itu bertanya kepada Imam Al-'Askarî: "Maukah kubelikan sebuah mainan yang dapat kau gunakan untuk bermain?"
Imam Al-'Askarî menjawab: "Tidak! Kita tidak diciptakan untuk bermain-main."
Orang itu terherean-heran seraya bertanya: "Untuk apa kita diciptakan?"
Imam Al-'Askarî menjawab: "Untuk ilmu pengetahuan dan ibadah."
Orang itu bertanya lagi: "Dari manakah kau dapatkan semua ini?"
Imam Al-'Askarî menjawab lebih lanjut: "Dari firman Allah yang berbunyi, 'Apakah kamu semua menyangka bahwa Kami ciptakan kamu sia-sia?'"
Orang itu diam seribu bahasa dan berdiri kebingungan seraya bertanya: "Apa yang telah terjadi pada dirimu, sedangkan engkau masih kecil begini?"
Imam Al-'Askarî menjawab: "Enyahlah dariku. Aku pernah melihat ibuku sedang menyalakan api dengan menggunakan kayu bakar yang besar, dan api itu tidak mau menyala kecuali dengan kayu bakar yang kecil. Aku takut apabila aku menjadi kayu bakar yang kecil bagi neraka Jahanam."
Anda perhatikan keimanan itu bereaksi aktif dalam diri Imam Hasan Al-'Askarî as. sedangkan ia masih berusia kanak-kanak. Lebih dari itu, keimanan adalah karakter dan subtansi sejati jiwanya.
Bersama Sang Ayah

Imam Abu Muhammad as. pernah mengalami hidup bersama sang ayah beberapa masa lamanya dan tidak pernah berpisah darinya, baik sang ayah berada di kediaman maupun dalam perjalanan. Imam Al-Hâdî as. mengumumkan keutamaan sang putra seraya berkata: "Abu Muhammad adalah salah seorang keturunan keluarga Muhammad saw. yang paling benar nalurinya dan yang paling kuat hujahnya. Ia adalah putraku yang terbesar. Ia adalah penggantiku dan kepadanya tali temali imâmah dan hukum-hukum kami berakhir."
Ucapan ini mengungkapkan karakter dan sifat Imam Abu Muhammad as. yang tertinggi dan teragung. Ia adalah salah seorang keturunan keluarga Muhammad saw. yang paling benar naluri dan tabiatnya, serta yang paling kuat hujah dan dalilnya. Kepadanyalah kekhalifahan dan imâmah berakhir. Dengan karakter-karakter tersebut, telah terkumpul dalam dirinya seluruh sifat keutamaan dan kesempurnaan.
Ibadah

Imam Hasan Al-'Askarî as. adalah figur paling 'abid pada masa ia hidup dan orang yang paling banyak bertobat dan taat kepada Allah swt. Pada siang hari, ia sering berpuasa dan pada malam hari, ia selalu mengerjakan salat, membaca Al-Qur'an, dan berdoa.
Muhammad Asy-Syâkirî berkata: "Imam Abu Muhammad selalu duduk di mihrab dan bersujud. Aku tertidur dan ketika bangun, ia masih dalam kondisi sujud." Rohnya telah terikat dengan Allah swt. dan tidak pernah tergiur oleh gemerlap kehidupan dunia. Telah diriwayatkan banyak doa qunutnya yang mengungkapkan tobat kepada Allah swt., sebagaimana juga banyak doa diriwayatkan yang selalu ia baca setelah usai mengerjakan salat. Kami telah menyebutkan semua doa itu dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as.
Kesabaran

Imam Hasan Al-'Askarî as. adalah figur yang tersabar dan paling mampu menahan amarah. Dinasti Bani Abbâsiyah pernah ingin menahan dan menjebloskannya ke dalam penjara. Tapi, ia menanggapi semua itu dengan pebuh kesabaran dan tak satu pun kata keluhan yang keluar dari mulutnya. Ia tidak pernah mengadukan kepada siapa pun mala petaka dan kepahitan penjara (yang akan menimpa dirinya).
Kedermawanan

Imam Abu Muhammad as. adalah orang yang paling dermawan dan banyak berbuat derma kepada kaum fakir-miskin. Ia memerintahkan para wakilnya yang telah ditunjuk sebagai pemungut zakat dan khumus untuk menginfakkan seluruh harta tersebut kepada kaum fakir-miskin dan tidak mampu, memperbaiki hubungan antara dua orang yang sedang berselisih, dan hal-hal lain yang bermanfaat bagi seluruh masyarakat.
Di antara manifestasi kedermawan Imam Hasan Al-'Askarî as. adalah riwayat berikut ini:
Para ahli sejarah meriwayatkan dari Muhammad bin Ali bin Ibrahim bin Imam Mûsâ bin Ja'far as. Ia bercerita: "Kehidupan kami pernah mengalami kesulitan. Pada suatu hari, ayahku berkata, 'Marilah kita pergi menjumpai orang itu-yaitu, Imam Abu Muhammad. Kami sering mendengar kedermawanannya.'
Aku bertanya kepada ayahku, 'Apakah kamu mengenalnya?'
Ia menjawab, 'Aku tidak mengenalnya dan tidak pernah melihatnya sekejap pun.'
Kami pun berangkat. Di pertengahan jalan, ayahku berguman, 'Kali ini, betapa kita membutuhkan orang yang dapat memberikan lima ratus dirham: dua ratus dirham untuk membeli pakaian, dua ratus dirham untuk membeli tepung, dan seratus sisanya untuk modal.' Aku juga berguman dalam diriku, 'Oh, seandainya ia memberikan tiga ratus dirham: seratus dirham kugunakan untuk membeli keledai, seratus dirham kupergunakan untuk modal, dan seratus sisanya kumanfaatkan untuk membeli pakaian. Lalu, aku pergi ke daerah Jabul (untuk mencari mata pencarian hidup).'
Ketika kami tiba di depan pintu rumah Imam Hasan Al-'Askarî, pembantunya keluar menyongsong kedatangan kami seraya berkata, 'Ali bin Ibrahim dan putranya dipersilakan masuk.'
Ketika kami masuk dan mengucapkan salam, ia berkata kepada ayahku, 'Hai Ali, apa yang menyebabkan kamu terlambat menjumpai kami hingga saat ini?'
Ayahku menjawab, 'Wahai junjunganku, aku malu untuk berjumpa dengan Anda.'"
Ali dan sang putra berada di sisi Imam Abu Muhammad as. beberapa saat. Setelah itu, mereka memohon pamit. Tidak lama kemudian, pembantu Imam Al-'Askarî datang dan memberikan sebuah kantong uang yang berisi lima ratus dirham kepada Ali seraya berkata kepadanya: "Dua ratus dirham untuk membeli pakaian, dua ratus dirham untuk membeli tepung, dan seratus dirham untuk modal." Ia juga memberikan sebuah kantong uang kepada putranya, Muhammad, yang berisi tiga ratus dirham seraya berkata kepadanya: "Seratus dirham untuk membeli keledai, seratus dirham untuk membeli pakaian, dan seratus dirham sisanya untuk modal. Tetapi, jangan kamu pergi ke Jabul. Sebagai gantinya, pergilah ke daerah Sûrâ'( ).'
Muhammad pun pergi ke daerah Sûrâ' sesuai dengan perintah Imam Abu Muhammad as., dan kondisi kehidupannya pun terus membaik sehingga ia menjadi salah seorang Bani Ali yang terkaya.
Para ahli sejarah menyebutkan banyak contoh atas kedermawanan, kebajikan, dan usaha-usaha Imam Hasan Al-'Askarî as. untuk menyelamatkan kehidupan kaum fakir-miskin.
Ilmu Pengetahuan

Para penulis biografi Imam Abu Muhammad as. sepakat bahwa ia adalah figur yang paling 'alim dan paling utama pada masanya. Hal itu bukan hanya dalam bidang ilmu syariat dan hukum-hukum agama, tetapi dalam seluruh bidang ilmu pengetahuan.
Bakhtisyû', seorang dokter yang menganut agama Kristen, pernah berkata kepada salah seorang muridnya: "Dia adalah figur yang paling 'alim pada masa kita dibandingkan dengan seluruh manusia yang hidup di jagad ini ...."
Dari ucapan sang dokter ini dapat dipahami bahwa Imam Hasan Al-'Askarî as. adalah figur yang paling 'alim di seluruh dunia dan ia memiliki kemampuan ilmiah yang luar biasa yang tidak dimiliki oleh selainnya. Dan ini adalah keyakinan mazhab Syi'ah bahwa Allah swt. telah menganugerahi seluruh ilmu pengetahuan kepada para imam Ahlul Bait as.
Ketinggian Akhlak

Imam Abu Muhammad as. adalah salah satu tanda kekuasaan Allah swt. dalam ketinggian akhlak dan adab. Ia selalu menghadapi kawan dan lawan dengan keceriaan wajah. Banyak sekali kisah yang telah diriwayatkan berkenaan dengan ketinggian dan kemuliaan akhlaknya ketika menghadapi para lawan dan orang-orang yang membencinya. Dengan cara seperti ini, mereka berubah total menjadi pecintanya. Di antara orang-orang yang telah terpengaruh karena akhlaknya adalah Ali bin Awtânesy. Ia terkenal dengan permusuhannya yang dahsyat terhadap keluarga Nabi saw. Hanya saja, ketika ia berjumpa dengan Imam Al-'Askarî, sikapnya berubah total. Ia tidak pernah mengangkat kepalanya untuk melihat Imam Al-'Askarî karena menghormati dan takzim kepadanya. Dan ia adalah orang yang paling baik memuji Imam Al-'Askarî.
Dalam ketinggian dan kemuliaan akhlak ini, Imam Abu Muhammad as. adalah salah satu manifestasi hembusan risalah Islami dan buah segar dari sekian buah yang telah dihasilkan oleh Rasulullah saw.
Mutiara Hikmah Pendek

Telah diriwayatkan dari Imam Abu Muhammad Al-'Askarî as. banyak hadis yang memuat nasihat, petunjuk, dan penyucian jiwa menuju nilai-nilai insani yang luhur. Di antara hadis-hadis tersebut adalah sebagai berikut:
a. Ia berkata: "Sesungguhnya kalian berada dalam lingkaran ajal yang selalu berkurang dan dalam lingkup hari-hari yang terbatas. Kematian akan datang secara tiba-tiba. Barang siapa menanam kebaikan, niscaya ia akan memanen kebahagiaan dan barang siapa menanam keburukan, niscaya ia akan memanen penyesalan. Setiap penanam tanaman akan memperoleh apa yang telah ia tanam. Bagian orang yang lambat berjalan tidak akan didahului oleh orang lain dan orang yang tamak tidak akan mendapatkan apa yang tidak ditentukan baginya. Barang siapa diberi sebuah kebaikan, Allah-lah yang telah memberikannya dan barang siapa terjaga dari sebuah keburukan, Allah-lah yang telah menjaganya."
b. Ia berkata: "Orang yang paling wara' adalah orang yang menahan diri ketika menghadapi syubhah (hal-hal yang tidak pasti hukumnya-pen.). Orang yang paling 'abid adalah orang yang kontinyu menjalankan kewajiban. Orang yang paling zuhud adalah orang yang meninggalkan hal-hal yang haram. Orang yang paling banyak berusaha adalah orang yang meninggalkan dosa."
c. Ia berkata: "Sesungguhnya sampai kepada Allah 'Azza Wajalla adalah sebuah perjalanan (panjang) yang tidak akan dapat digapai kecuali dengan bangun malam."
d. Ia berkata: "Menderita kemiskinan bersama kami adalah lebih baik daripada bergelimang kekayaan bersama musuh kami."
e. Ia berkata: "Keberanian seorang anak kepada ayahnya pada saat ia masih kecil dapat menyebabkan ia berbuat durhaka kepadanya pada saat ia sudah besar."
f. Ia berkata: "Ibadah itu bukanlah sekadar memperbanyak puasa dan salat. Ibadah itu adalah merenungkan urusan (baca: ciptaan) Allah."
Bukti-Bukti Imâmah

Allah swt. menganugerahkan mukjizat-mukjizat kepada para nabi dan washî-Nya yang tidak dapat didatangkan oleh umat manusia yang lain supaya mukjizat itu menjadi saksi atas kebenaran missi petunjuk dan kebaikan untuk umat manusia yang telah mereka terima dari Allah swt. Di antara mukjizat-mukjizat tersebut adalah mereka mengetahui segala sesuatu yang terpendam di dalam hati kecil orang lain, sebagaimana mereka juga mengetahui fitnah dan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang.
Allah swt. telah menganugerahkan kemampuan ini kepada para imam Ahlul Bait as. Anda tidak membaca sejarah kehidupan salah seorang dari mereka kecuali Anda pasti menemukan banyak peristiwa dan kejadian yang telah diprediksikan oleh mereka sebelum peristiwa itu terjadi.
Pada kesempatan ini, kami akan menyebutkan sebagian hadis yang telah diriwayatkan dari Imam Abu Muhammad Al-'Askarî as. yang memprediksikan beberapa peristiwa sebelum terjadi. Di antara hadis-hadis tersebut adalah sebagai berikut:

a. Ismail bin Muhammad Al-Abbâsî bercerita: "Aku pernah mengadukan sebuah hajat kepada Abu Muhammad dan aku bersumpah kepadanya bahwa aku tidak memiliki uang sedirham pun (untuk memenuhi itu). Ia berkata kepadaku, 'Apakah engkau bersumpah bohong karena Allah, padahal engkau masih memendam dua ratus dinar? Ucapanku ini bukanlah sebuah usaha penolakan untuk memberikan uang kepadamu. Hai pembantuku, berapakah uang yang kau miliki?'
Usai berkata demikian, ia memberikan dua ratus dinar kepadaku. Setalah itu, ia menoleh kepadaku sembari berkata, 'Sesungguhnya engkau akan kehilangan dinar-dinar yang telah kau pendam itu pada saat engkau lebih membutuhkannya.'
Beberapa saat setelah peristiwa ini, aku merasa membutuhkan uang. Aku mencari-cari uang tersebut dan tidak menemukannya. Tiba-tiba aku mendengar berita bahwa salah seorang anakku telah mengetahui tempat penyembunyiannya. Lalu ia mencurinya dan melarikan diri."

b. Abu Hâsyim bercerita: "Aku pernah dipenjara. Aku mengadukan kesempitan dan kesengsaraan yang kualami selama berada di dalam penjara kepada Abu Muhammad. Ia menulis surat yang berisi, 'Kamu akan mengerjakan salat Zhuhur di rumahmu pada hari ini.' Dan hal itu betul-betul terjadi." Ia keluar dari penjara pada waktu Zhuhur dan mengerjakan salat Zhuhur di rumahnya.

c. Abu Hâsyim meriwayatkan: "Aku pernah mendengar Abu Muhammad as. berkata, 'Surga memiliki sebuah pintu yang bernama pintu Al-Ma'rûf dan pintu ini tidak akan dimasuki kecuali oleh orang-orang yang ahli makruf.' Mendengar ucapannya ini, aku memuji Allah di dalam diriku dan gembira karena dapat membereskan hajat-hajat masyarakat. Ia melanjutkan, 'Kamu telah mengetahui posisimu (di surga). Sesungguhnya mereka yang ahli makruf di dunia ini adalah ahli Al-Ma'rûf di akhirat. Semoga Allah menjadikan kamu termasuk dalam golongan mereka dan merahmatimu.'"

d. Muhammad bin Hamzah Ad-Dawrî meriwayatkan: "Aku pernah menulis sepucuk surat kepada Imam Abu Muhammad as. sembari memohon supaya ia memohon kekayaan kepada Allah untukku. Aku telah ditimpa kemiskinan dan aku khawatir atas kesengsaraan hidup ini. Ia menjawab surat tersebut, 'Berbahagialah, karena Allah swt. telah menganugerahkan kekayaan kepadamu. Kemenakanmu, Yahyâ bin Hamzah telah meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan sebanyak seratus ribu dirham dan ia tidak memilik seorang pewaris pun kecuali kamu. Seluruh harta peninggalannya menjadi hak milikmu. Maka, bersyukurlah kepada Allah, pergunakanlah harta itu secara ekonomis, dan jauhilah penggunaan secara berlebih-lebihan ....' Aku menerima harta tersebut dan sekaligus berita kematian kemenakanku-seperti diberitakan oleh Imam Al-'Askarî-beberapa hari setelah itu. Kemiskinan pun hengkang dariku. Aku penuhi hak Allah dan kujauhi tindakan berhambur-hamburan."

e. Muhammad bin Hasan bin Maimun meriwayatkan: "Aku pernah menulis surat kepada junjunganku, Hasan Al-'Askarî as. mengadukan kemiskinan yang melilit kehidupanku. Setelah itu, aku berguman dalam diriku, 'Bukankah Abu Abdillah as. pernah berpesan, 'Derita kemiskinan bersama kami adalah lebih baik daripada gelimangan kekayaan bersama musuh kami dan terbunuh bersama kami adalah lebih baik daripada hidup bersama musuh kami.'
Tidak lama kemudian surat jawaban Imam Al-'Askarî datang, 'Sesungguhnya Allah 'Azza Wajalla membersihkan dosa-dosa para pengikut kami jika dosa-dosa itu bergesekan dengan kemiskinan, dan kadang-kadang juga Dia mengampuni dosa-dosa yang tak terhingga. Hal ini adalah seperti yang kau bisikkan dalam dirimu. Derita kemiskinan bersama kami adalah lebih baik daripada gelimangan kekayaan bersama musuh kami dan kami adalah goa bagi orang yang berlindung kepada kami, cahaya bagi orang yang mencari cahaya dengan perantara kami, dan perlindungan ('ishmah) bagi orang yang mencari perlindungan dengan perantara kami. Barang siapa mencintai kami, niscaya ia akan hidup bersama kami di dalam tingkat surga yang tertinggi dan barang siapa menyeleweng dari kami, niscaya ia terjerumus ke dalam dalam neraka.'"

f. Abu Hâsyim bercerita: "Aku pernah bertamu ke rumah Abu Abdillah as. dan ingin meminta sebuah mata cincin kepadanya untuk kuletakkan di atas cincinku supaya aku mendapatan berkah darinya. Aku pun duduk dan lupa untuk keperluan apa aku bertamu ke rumahnya itu. Ketika aku memohon pamit dan hendak pergi, ia memberiku sebuah cincin sembari tersenyum. Ia berkata, 'Kamu menginginkan sebuah mata cincin dan kami memberikan sebuah cincin kepadamu. Dengan ini engkau telah untung mata cincin tersebut. Semoga Allah memberkahimu dengan cincin itu.'
Aku terheran-heran dengan peristiwa ini, dan lantas berkata, 'Wahai junjunganku, sesungguhnya Anda adalah wali Allah dan imamku yang aku menyembah Allah dengan karunia dan ketaatan kepadanya.' Ia menimpali, 'Semoga Allah mengampunimu, wahai Abu Hâsyim.'"
Ini adalah sebagian contoh peristiwa yang telah diberitahukan oleh Imam Abu Muhammad as. Semua itu dapat membuktikan kebenaran imâmah-nya.
Layak disebutkan di sini bahwa telah banyak riwayat diriwayatkan dari para imam Ahlul Bait as. yang menceritakan peristiwa dan hal-hal yang disembunyikan oleh masyarakat di dalam hati mereka, (lalu para imam as. menyingkapnya tanpa mereka beritahukan). Allah swt. telah menganugerahkan semua itu kepada mereka untuk membuktikan kebenaran imâmah mereka, sebagaiman Dia juga telah menganugerahkan mukjizat-mukjizat kepada para nabi dan rasul as. yang orang lain tidak dapat mendatangkan mukjizat yang serupa dengannya. Ini adalah akidah dan keyakinan mazhab Syi'ah tentang para imam mereka as., dan hal ini tidak sedikit pun mengandung ghuluw (keyakinan yang berlebih-lebihan) dan keluar dari jalur logika.
Surat Imam Al-'Askarî kepada Ali bin Husain

Imam Hasan Al-'Askarî as. pernah menulis sepucuk surat kepada seorang faqih 'alim dan agung yang bernama Abul Hasan Ali bin Husain bin Mûsâ bin Bâbawaeh Al-Qomî. Ia adalah seorang tokoh kenamaan Syi'ah dan bendera panutan yang selalu tegak berkibar dalam bidang ilmu Hadis, Fiqih, dan bidang-bidang ilmu Islam lainnya. Setelah basmalah, surat itu berisi berikut ini:
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Akibat segala sesuatu adalah untuk orang-orang yang bertakwa. Surga adalah untuk orang-orang yang mengesakan Allah dan neraka adalah nasib orang-orang yang mengingkari. Tiada permusuhan kecuali atas orang-orang yang zalim dan tiada tuhan selain Allah, sebaik-baik Pencipta. Semoga shalawat senantiasa tercurahkan atas sebaik-baik makhluk-Nya, Muhammad dan 'Itrahnya yang suci. Amma ba'du:
Aku berwasiat kepadamu wahai Syaikhku, orang kepercayaanku, dan faqihku, Abul Hasan Ali bin Husain Al-Qomî-semoga Allah memberikan taufik kepadamu untuk menggapai keridaan-Nya dan menjadikan keturunan yang saleh dari sulbimu dengan rahmat-Nya-dengan takwa kepada Allah, mendirikan salat, dan menunaikan zakat. Aku berwasiat kepadamu supaya mengampuni dosa (orang lain), menahan amarah, bersilaturahmi, bertenggang-rasa terhadap saudara-saudara seiman dan berusaha untuk memenuhi hajat-hajat mereka, baik kamu berada dalam kondisi lapang maupun sulit, bersabar ketika (menghadapi) kebodohan (orang lain), memahami dan memperlajari agama, berdiri kokoh dalam segala urusan, berjanji kepada Al-Qur'an, berperangai yang baik, dan melaksanakan amar makruf dan nahi mungkar; Allah 'Azza Wajalla berfirman: "Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh [manusia] memberi sedekah, berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia." (QS. An-Nisâ' [4]:114) (Begitu juga aku wasiatkan kepadamu) untuk meninggalkan seluruh keburukan. Kerjakanlah salat malam. Karena, Nabi saw. pernah mewasiatkan hal ini kepada Ali seraya bersabda: "Wahai Ali, kerjakanlah salat malam-ia besabda demikian sebanyak tiga kali. Barang siapa meremehkan salat malam, maka ia bukan termasuk dalam golongan kami."
Kerjakanlah wasiatku ini dan perintahkanlah kepada Syi'ahku untuk melaksanakannya. Bersabarlah dan selalu bersiagalah untuk menanti faraj. Karena, Nabi saw. pernah bersabda: "Amal umatku yang paling utama adalah menunggu faraj."
Syi'ah kami senantiasa ditimpa kesedihan sehingga anakku yang telah dijanjikan oleh Nabi saw. akan memenuhi bumi ini dengan keadilan setelah bumi itu dipenuhi oleh kezaliman itu muncul. Maka, bersabarlah wahai Syaikhku dan perintahkanlah Syi'ahku untuk bersabar. "Sesungguhnya bumi ini adalah milik Allah. Dia akan mewariskannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari para hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah untuk orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-A'râf [7]:128)
Cukuplah Allah bagi kita semua dan Dia adalah sebaik-baik wakil. Dia adalah sebaik-baik Mawla dan sebaik-baik Penolong.
Surat ini mengindikasikan hal-hal berikut ini:
a. Penegasan atas ketinggian kedudukan yang dimiliki oleh sang faqih, Ali bin Husain. Imam Al-'Askarî as. telah menyematkan julukan-julukan mulia kepadanya yang menunjukkan kedudukannya yang tinggi di sisinya. Para penulis biografi kehidupannya menegaskan bahwa ia adalah salah seorang faqih yang agung, penunjuk jalan untuk mengenal keluarga Muhammad saw., fanatik dalam masalah agama, pembasmi pondasi-pondasi orang-orang pengingkar agama, dan salah seorang pondasi utama syariat. Ke-tsiqah-an dan ketinggian kedudukannya mendorong para fuqaha Imamiah untuk menerima dan bersandar kepada fatwa-fatwanya ketika mereka tidak menemukan dalil, seperti yang dilakukan oleh Syahid di dalam kitab Adz-Dzikrâ.
b. Dalam surat itu, Imam Al-'Askarî as. mendoakan keturunan yang saleh dan penuh berkah untuknya. Allah telah mengabulkan doanya ini dan menganugerahkan Abu Ja'far yang memiliki gelar Ash-Shadûq kepadanya. Ash-Shadûq adalah salah seorang ulama muslimin yang memiliki keutamaan khusus dengan peninggalan karya-karya tulisnya untuk umat ini. Ia telah berhasil menghidupkan syariat dan membukukan hadis-hadis yang telah diriwayatkan dari para imam suci as. Ia memiliki karya tulis yang berjumlah sekitar tiga ratus buku. Di antara karya-karya tulisnya yang paling menonjol adalah kita Man Lâ Yahdhuruh Al-Faqîh. Kitab ini adalah salah satu buku referensi agung yang menjadi sandaran utama para fuqaha Imamiah.
c. Surat ini mengajak seluruh Syi'ah untuk berakhlak mulia, seperti silaturahmi, bertenggang rasa terhadap saudara yang lain, memenuhi hajat-hajat orang lain, mempelajari agama, berdiri kokoh dalam seluruh urusan, dan karakter-karakter positif yang lain.
d. Imam Al-'Askarî as. memerintahkan para pengikutnya untuk menanti faraj dan kemunculan Al-Qâ'im keluarga Muhammad saw. di mananya adalah harapan orang-orang tertindas. Dengan hukum Islam yang akannya jalankan, dunia akan bergemilang dan dengan pemertintahan yang akannya tegakkan sebagai penerus pemerintahan kakeknya, Rasulullah saw., kalimat Ilahi akan tegak berdiri.
Ini adalah sebagian isi dan kandungan surat tersebut. Imam Al-'Askarî as. juga memiliki surat-surat lain yang pernahnya kirimkan kepada para tokoh kenamaan Syi'ah. Kami telah menyebutkan surat-surat tersebut di dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as.
Bersama Para Penguasa

Imam Al-'Askarî as. menjalani kehidupannya yang sangat pendek itu di bawah penindasan dan kelaliman para penguasa yang senantiasa berusaha untuk memerangi para imam Ahlul Bait as. Ia telah menghadapi aneka ragam pelecehan dan kezaliman yang paling pedih dari mereka. Di antara para penguasa tersebut adalah berikut ini:
1. Pemerintahan Mutawakkil

Mutawakkil memegang tampuk kekuasaan dan kerajaan pada tahun 232 Hijriah. Pada tahun ini juga Imam Abu Muhammad as. dilahirkan. Jiwa Mutawakkil dipenuhi oleh kebencian dan permusuhan yang dahsyat terhadap para Bani Ali as. Mereka mengalami berbagai ragam kezaliman dan kelaliman pada masa ia berkuasa yang belum pernah mereka alami sebelumnya.
Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sebagian sisi kehidupan Mutawakkil.

a. Hidup Berfoya-foya

Mutawakkil menjalani hidupnya dengan bergelimang kesia-siaan dan ia tidak sedikit pun pernah memiliki keinginan untuk hidup serius. Seluruh kehidupannya diwarnai oleh foya-foya dan pesta-pora. Para ahli sejarah menegaskan bahwa tak seorang pun dari para raja dinasti Bani Abbâsiyah yang melakukan foya-foya dan pesta pora seperti yang pernah dilakukan oleh Mutawakkil.
Di antara contoh-contoh kehidupannya yang tak berarti itu adalah peristiwa berikut ini:
Pada suatu hari ia pernah berkata kepada Abul 'Anbâs: "Ceritakanlah kepadaku tentang keledaimu dan kematiannya, serta apakah syair yang telah ia senandungkan untukmu di alam mimpi?"
Abul 'Anbâs berkata: "Ya, wahai Amirul Mukminin. Keledai itu adalah lebih berakal dari para hakim negara. Ia tidak pernah melakukan tindak kriminalitas dan tidak juga kesalahan. Pada suatu hari, ia tertimpa penyakit secara tiba-tiba dan mati. Setelah itu, aku melihatnya di alam mimpi, sebagaimana orang-orang lain bermimpi. Aku bertanya kepadanya, 'Aduhai keledai kesayanganku, bukankah aku telah menyediakan air yang sejuk untukmu, bukankah aku telah membersihkan untaian gandum bagimu, dan bukankah aku telah berusaha keras untuk keselamatanmu? Lalu, mengapa engkau mati secara tiba-tiba? Bagaimana kondisimu?'
Keledai itu menjawab, 'Ya. Pada suatu hari, ketika engkau sedang berbicara dengan seorang penjual obat di sebuah toko obat, seekor keledai betina lewat melintasiku. Aku melihatnya dan ia berhasil merenggut seluruh kalbuku. Aku pun mencintainya dan kerinduanku kepadanya tak tertahankan. Karena kerinduan (tak terpenuhi itu), aku mati gigit jari.'
Aku bertanya kepadanya, 'Apakah engkau melantunkan bait syair pada saat itu?'
'Ya,' jawabnya pendek.
Lalu ia membacakan syair berikut ini untukku:
Hatiku terjerat oleh seekor keledai betina di depan pintu toko penjual obat.
Ketika kita keluar, ia jebak kalbuku dengan susunan giginya yang indah.
Dan dengan kedua pahanya yang lembut dan panjang bak Syanqarânî.
Dengan itu aku mati; seandainya aku hidup, niscaya panjanglah hinaku.
Aku bertanya lagi, 'Aduhai keledai kesayanganku, apakah Syanqarânî itu?'
Ia menjawab, 'Syanqarânî adalah keledai yang ajaib.'"
Mendengar ini, Mutawakkil pun terbang melayang. Lantas, ia memerintahkan para penyanyi untuk melantunkan bait-bait syair keledai itu untuk dirinya. Ia sangat berbahagia pada saat itu tiada taranya, dan ia tidak pernah sebahagia hari itu. Ia menambahkan hadiah yang berlipat ganda kepada Abul 'Anbâs.
Celakalah zaman dan berantakanlah masa! Apakah orang yang selalu beroya-foya seperti ini layak menjadi penguasa muslimin, sementara itu Abu Muhammad Hasan Al-'Askarî as. dihengkangkan dari kekuasaan?
Mutawakkil selalu hidup bergelimangan dalam foya-foya dan pesta-pora. Ia memiliki dua orang budak yang memiliki keahlian dalam bidang menyanyi dan bermain musik. Mereka tidak pernah berpisah darinya. Salah seorang dari kedua budak itu memetik kecapi dan yang lain meniup seruling untuknya. Ia tidak memasuki arena minum-minuman keras kecuali dengan mendengar permainan musik mereka berdua.
Mutawakkil memiliki lima ribu orang sahaya. Menurut sebuah riwayat, ia telah menyetubuhi mereka semua. Sebagian orang dekatnya pernah berkata: "Sumpah demi Allah, seandainya Mutawakkil tidak dibunuh, ia tidak akan hidup (lama) lantaran sering melakuan hubungan badan."
Orang-orang dekat Mutawakkil senantiasa berusaha mengadakan pendekatan dengannya dengan memberikan hadiah sahaya-sahaya yang menawan dan khamar-khamar yang murni. Fath bin Khâqân pernah menghadiahkan seorang sahaya yang sangat cantik dan menawan, dua buah periuk yang terbuat dari emas, dan mangkok besar yang terbuat dari kaca blour dan penuh berisi khamar murni yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Fath menghadiahkan semua itu ketika Mutawakkil baru sembuh dari sebuah penyakit yang dideritanya. Bersama hadiah-hadiah itu, Fath juga menulis sebuah bait syair berikut ini:
Jika imam keluar dari renggutan penyakit dan memperoleh keselamatan dan kesembuhan,
tiada obat penyembuh baginya kecuali khamar yang tertuang dalam periuk yang indah menawan,
dan mata cincin yang baginya dihadiahkan. Dan semua itu sangat jitu untuk setelah sakit menahan.
Mutawakkil tertarik dan tertambat hati kepada bait-bait syair itu. Pada waktu itu, Yuhannâ bin Mâsûyeh, dokter pribadinya sedang duduk di sampingnya. Yuhannâ berkata kepadanya: "Demi Allah, Fath lebih mahir dalam ilmu kedokteran daripada aku. Oleh karena itu, jangan paduka tentang sarannya."
Kami telah menyebutkan foya-foya dan pesta fora Mutawakkil dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as. Jika pembaca budiman berkenaan, silakan rujuk.

b. Melakukan Maksiat Secara Terang-Terangan

Mutawakkil selalu melakukan dosa dan maksiat secara terang-terangan, dan ia tidak pernah malu kepada masyarakat. Pada suatu hari, Hakim Ahmad bin Dâwûd pernah meminta izin untuk berjumpa dengannya. Pada waktu itu, Mutawakkil sedang bermain judi. Fath bin Khâqân ingin untuk mengumpulkan alat permainan judi itu dan Mutawakkil melarangnya seraya berkata: "Apakah aku berbuat sesuatu terhadap Allah secara terang-terangan, lalu kututup-tutupi dari mata hamba-hamba-Nya?"
Tindak mengikuti hawa nafsu yang selalu dilakukannya itu telah melampaui batas sehingga para teman minumnya bermain catur di hadapannya dan ia tidak pernah melarang mereka. Di antara tindakan hewaninya ini adalah ia pernah meminta supaya istrinya, Rabthah bin Ghubais melepas kerudung dan menggelung rambutnya layaknya dayang-dayang istana. Sang istri menolak dan Mutawakkil menceraikannya. Ia tidak pernah berharap kewibawaan kepada Allah dan juga tidak pernah mengindahkan syiar-syiar Islam.

c. Tindakan Terhadap Bani Ali

Salah satu karakter yang bersifat substantif dalam diri Mutawakkil adalah kebenciannya yang dahsyat kepada Bani Ali as. Ia telah mengerahkan segala upaya dan usahanya untuk menzalimi dan menumpahkan darah mereka. Ia juga pernah memberlakukan embargo ekonomi atas mereka. Ia melarang segala jenis dan bentuk bantuan ekonomi dan kebajikan kepada mereka. Jika ia mendengar seseorang berbuat kebajikan kepada mereka, ia tidak segan-segan menyiksanya dan mewajibkan ia membayar denda yang sangat berat. Muslimin pun enggan untuk mengadakan segala jenis hubungan dengan mereka lantaran takut terhadap siksa yang telah ditentukan oleh sang lalim ini.
Dunia telah menjadi sempit bagi kaum Bani Ali as. Kesengsaraan dan kemiskinan mereka telah sampai pada suatu batas di mana satu gamis digunakan oleh kaum wanita mereka untuk mengerjakan salat secara bergantian. Setelah itu, mereka menambal pakaian-pakaian mereka yang robek dan duduk di atas alat-alat pemintal kain dalam kondisi telanjang menyedihkan. Padahal sang lalim itu mengeluarkan berjuta-juta dinar emas (untuk berfoya-foya) di malam-malam kelamnya dan memberikan uang yang tak terkira jumlahnya kepada para penyanyi dan penari. Sementara itu, ia mengharamkan sepoton roti untuk keturunan Rasulullah saw.

d. Kebencian Terhadap Amirul Mukminin

Mutawakkil sangat membenci Imam Amirul Mukminin Ali as., sang tokoh kebenaran dan keadilan di dalam dunia Islam itu. Sang lalim ini mengingkari keberadaannya. Pada suatu hari, ia menjadikan kera-kera piaraan dan kaki tangannya sebagai penari yang menari dengan gemulai, dan ia menyerupakan dirinya dengan Imam Amirul Mukminin as. yangnya sendiri adalah diri Rasulullah saw. dan pintu kota ilmunya. Tindakan ini membuat rasa ingin membela Muntashir-yang ia sendiri adalah salah seorang keturunan orang-orang berkemanusiaan-bangkit. Lalu, ia mengambil keputusan untuk membunuhnya.

e. Penghancuran Makan Suci Imam Husain

Salah satu kejahatan paling buruk yang pernah dilakukan oleh Mutawakkil adalah penghancuran makam suci sang junjungan pemuda penduduk, Imam Husain as. Makam suci ini sangat dihormati oleh seluruh muslimin dan selalu dipenuhi oleh para peziarah, meskipun haluan pemikiran mereka berbeda-beda. Sedangkan, kuburan para raja dinasti Bani Abbâsiyah terletak di sampah-sampah bumi dan menjadi tempat anjing dan binatang-binatang buas lainnya berlindung. Realita ini menceritakan kezaliman dan kelaliman yang pernah mereka lakukan.
Ketika muslimin sendiri menolak untuk menghancurkan makam suci itu, Mutawakkil menyuruh beberapa orang Yahudi yang kotor untuk menghancurkannya. Mereka menghancurkan seluruh bangunan yang terdapat di sekeliling makam suci itu. Setelah itu, mereka mengalirkan air ke makam suci tersebut. Hanya saja, air itu tidak melahapnya. Ia hanya tergenang di sekitarnya. Oleh karena itu, makam suci itu dinamakan Al-Hâ'ir. Dari dalam makam suci itu keluar sebuah bau wangi yang masyarakat sekitar belum pernah mencium bebauan seharum itu ... Bau wangi itu adalah semerbak wangi risalah Islam, semerbak wangi kemuliaan dan kedermawanan.
Al-Jawâhirî menyenandungkan syair:
Kucium makam sucimu lalu semerbak mewangi bertebaran, semerbak mewangi kemuliaan dari tanah tak berair.
Muslimin marah besar terhadap Mutawakkil dan mencelanya pada setiap pertemuan dan majelis mereka, serta berdoa demi kebinasaannya setiap kali mereka usai mengerjakan salat. Lebih dari itu, mereka juga menulis plakat-plakat yang berisi celaan atasnya di dinding-dinding bangunan dan rumah. Bait-bait syair berikut ini tersebar luas di kalangan masyarakat kala itu:
Demi Allah, jika Bani Umaiyah telah membantai putra dari putri Nabi secara zalim,
Bani Abbâsiyah telah melakukan hal yang sama. Inilah makamnya dihancurkan,
karena menyesal mengapa tidak andil membantainya. Lalu, mereka mengganyangnya setelah dimakamkan.
Pemerintahan dan raja-raja pun datang silih berganti. Akan tetapi, makam suci Syayidus Syuhada' as. tetap tegar dan kokoh berdiri dan akan tetap menjadi simbol, kebanggaan, dan kemuliaan bagi umat Islam. Makam suci ini telah berhasil memiliki tempat di dalam hati sanubari muslimin dan para peziarahnya melebihi para peziarah Baitullah Al-Haram.

f. Bersama Imam Al-Hâdî

Pada pembahasan yang lalu, kami telah memaparkan peristiwa pemenjaraan dan penangkapan yang telah dialami oleh Imam Al-Hâdî as., serta pelarang harta zakat dan khumus para pengikut Syi'ah untuk sampai ke tangannya. Pada waktu itu, Imam Al-'Askarî as. masih berusia belia. Sanubari dan perasaannya tersiksa dan terluka oleh sikap-sikap keras yang telah diambil Mutawakkil untuk melawan Imam Al-Hâdî as. dan para pengikut Syi'ah. Hal itu berlanjut hingga Allah membebaskan masyarakat dari jeratan penguasa lalim ini, dan pucuk pemerintahan pun berpindah ke tangan Muntashir Al-Abbâsî. Berikut ini penjelasan tentang penguasa yang satu ini.
2. Pemerintahan Muntashir

Muntashir memegang tampuk kekuasaan setelah revolusi yang dipeloporinya untuk melawan ayahnya sendiri. Kegembiraan dan kebahagiaan meliputi seluruh ruang kehidupan para pengikut Syi'ah. Mimpi buruk yang kelam itu telah sirna dari dunia mereka dan Muntashir melakukan tindakan kebajikan kepada Bani Ali dan pengikut mereka. Ia juga membatalkan larang untuk menziarahi makam Sayidus Syuhada' as. dan mengembalikan tanah Fadak kepada Bani Ali as. Dan masih banyak lagi kebajikan-kebajikan yang telah ia perbuat bagi mereka.
Sangat disayangkan sekali masa pemerintahan penegak kebajikan yang mulia ini tidak berlangsung lama. Menurut mayoritas buku referensi sejarah, ia meninggal dunia dengan diracun atas dasar inisiatif orang-orang Turki. Dengan ini, satu lembar cemerlang yang memuat kemuliaan dan kepahlawanan telah ditutup.
3. Pemerintahan Musta'în

Musta'în memegang tampuk kekuasaan pada hari Ahad, tanggal 5 Rabi'ul Akhir 248 Hijriah. Para ahli sejarah menegaskan bahwa ia adalah sosok yang senang berfoya-foya, memusuhi kebenaran, dan membenci para imam pembawa petunjuk as-sebagaimana nenek moyangnya. Ia juga sangat membenci Imam Abu Muhammad as. Hal itu lantaran ia memiliki kedudukan yang tinggi di dalam hati muslimin dan sangat banyak sekali dari kalangan mereka yang meyakini imâmah-nya. Sedangkan ia sendiri dan nenek moyangnya tidak memiliki kedudukan sedikit pun di dalam hati mereka.
Sang lalim ini memerintahkan para kaki tangannya untuk menangkap Imam Abu Muhammad as., dan ia dijebloskan ke dalam penjara Awtâmesy. Isa bin Fath bersamanya di dalam penjara. Imam Al-'Askarî berkata kepadanya: "Hai Isa, kamu sekarang berusia enam puluh lima tahun satu bulan dan dua hari."
Isa terheran-heran dan melihat buku yang dibawanya. Di dalam buku itu tercatat tanggal kelahiran dirinya. Usianya sesuai dengan apa yang telah dikatakan oleh Imam Al-'Askarî itu.
Setelah itu, Imam Al-'Askarî bertanya lagi kepadanya: "Apakah kamu memiliki anak?"
"Tidak," jawab Isa pendek.
Imam Al-'Askarî berdoa untuknya seraya berkata: "Ya Allah, anugerahkanlah seorang anak baginya supaya anak itu menjadi tulang punggungnya. Sebaik-baik tulang punggung adalah seorang anak." Setelah berdoa demikian, ia membaca syair berikut ini:
Siapa memiliki tulang punggung, ia 'kan urusi hartanya yang terlalimi. Sungguh orang hina adalah orang yang tak bertulang punggung.
Isa kembali bertanya: "Wahai junjunganku, apakah Anda memiliki anak?"
Imam Al-'Askarî as. menjawab: "Demi Allah, aku akan memiliki seorang anak yang akan memenuhi bumi ini dengan keadilan. Untuk sekarang ini, saya masih belum memiliki anak ...."
Para pengikut Syi'ah khawatir atas penangkapan Imam Al-'Askarî tersebut dan kekhawatiran mereka ini bertambah ketika mereka mendengar berita bahwa Musta'în ingin membunuhnya. Imam Al-'Askarî as. menenangkan kekhawatiran mereka dan memberikan berita gembira kepada mereka bahwa dirinya akan selamat dan bahwa musuhnya yang lalim ini akan ditumbangkan setelah tiga hari. Berita yang telah diberikan olehnya itu terbukti dan sebelum tiga hari berlalu, Musta'în telah digulingkan oleh orang-orang berkebangsaan Turki.
4. Pemerintahan Mu'taz

Mu'taz adalah Zubair bin Ja'far Al-Mutawakkil. Ia memegang tampuk kekuasaan pada usia yang masih muda, sedangkan ia belum memiliki pengalaman yang cukup, belum ditempa oleh masa, dan belum memiliki keahlian yang mumpuni untuk menjalankan tugas-tugas politik dan manajemen negara. Oleh karena itu, ia menjadi alat permainan di tangan bangsa Turki dan mereka memperalat kekuasaannya sesuai dengan keinginan mereka.
Mu'taz sangat membenci Imam Abu Muhammad as. Ia menangkapnya dan menjebloskannya di balik jeruji-jeruji penjara. Ia sangat tersiksa oleh seluruh perilaku dan tindakan Mu'taz. Karena, Mu'taz sangat berlebih-lebihan dalam berbuat penganiyaan dan permusuhan terhadapnya. Imam Al-'Askarî berdoa kepada Allah supaya Mu'taz hancur. Dan Allah mengabulkan permohonannya dan membalas dendam terhadapnya dengan pembalasan yang sangat perih. Para pembesar bangsa Turki menuntut imbalan mereka. Baitul Mal kosong tak berisi uang sepeser pun. Ia merengek kepada ibunya yang menyimpan jutaan harta. Ia meminta uang itu kepada sang ibu dan ia enggan memberikannya. Kaum Turki itu menyerang Mu'taz dan menyeret kakinya. Mereka memukulnya dengan tongkat-tongkat berkepala dan menjemurnya di bawah terik sinar matahari pada musim panas yang menyengat, sedangkan mereka berseru: "Cabutlah dirimu dari kekuasaan ini." Mereka menghadirkan Hakim Baghdad dan beberapa tokoh, lalu mereka mencabutnya dari kekuasaan. Setelah lima hari berlalu dari masa pencabutan ini, mereka memasukkannya ke dalam sebuah kamar mandi. Ketika mandi, ia merada kehausan yang sangat. Mereka tidak memberikan air kepadanya. Setelah itu, mereka menenggakkan air es kepadanya, dan matilah dia.
Layak disebutkan di sini bahwa orang yang memimpin pmberontakan ini adalah Shâlih bin Washîf. Ia menyerang ibu Mu'taz dan merampas seluruh harta miliknya. Seluruh hartanya berjumlah lima ratus ribu dinar. Di samping itu, ia juga berhasil menemukan harta-harta simpanannya yang sangat banyak berada di bawah. Mereka menemukan sebuah rumah miliknya di bawah tanah yang berisi satu juta tiga ratus ribu dinar. Di dalam sebuah tas perhiasannya ditemukan sebuah batu zamrud yang tak seorang pun pernah melihat batu zamrud semacam itu. Begitu juga dalam sebuah tas perhiasannya yang lain, mereka mendapatkan sebuah batu permata yang sangat besar dan dalam tas perhiasaan ketiga mereka juga menemukan beberapa butir batu yaqut merah yang tiada tandingannya. Seluruh harta itu dibawa ke hadapan Shâlih. Melihat semua itu, ia berkomentar: "Ia rela mengantarkan anaknya terbunuh hanya demi tuntutan harta sebanyak lima puluh ribu dinar, sedangkan dia sendiri memiliki harta sebanyak ini." Ibu Mu'taz meninggalkan Baghdad menuju ke Mekah dan selalu berdoa demi kecelakaan Shâlih. Begitulah, akibat orang-orang zalim adalah kerugian yang nyata.
5. Pemerintahan Mahdi

Mahdi Al-Abbâsî memegang tampuk kekuasaan pemerintahan Islam pada saat ia telah berusia tiga puluh tujuh tahun. Ia memiliki permusuhan yang sangat dahsyat terhadap Ahlul Bait as. Ia telah mewarisi karakter ini dari nenek moyangnya yang telah menumpahkan segala bentuk amarah mereka atas Ahlul Bait as. dan menenggelamkan mereka ke dalam berbagai jenis cobaan dan kesengsaraan.
Sang lalim ini memerintahkan para kaki tangannya untuk menangkap Imam Abu Muhammad as. dan menjebloskannya ke dalam penjara selama beberapa hari. Di dalam penjara itu, seorang pengikut Syi'ah yang terpercaya (tsiqah) dan bersih bernama Abu Hâsyim bersamanya. Ia adalah salah seorang tokoh kenamaan Syi'ah. Imam Al-'Askarî berkata kepadanya: "Hai Abu Hâsyim, sesungguhnya sang lalim ini ingin membunuhku pada malam ini, dan Allah telah memendekkan usianya."
Sebagian pengikut Syi'ah pernah menulis surat kepada Imam Abu Muhammad yang isinya: "Kami mendapat berita bahwa Mahdî (Al-Abbâsî) mengancam Syi'ah Anda sembari berkata, 'Demi Allah, aku akan mengusir mereka ke sebuah tanah yang baru.'"
Imam Hasan Al-'Askarî as. menjawab surat tersebut yang isinya: "Hal itu adalah lebih penek dari usianya. Hitunglah lima hari dari sekarang. Ia akan dibunuh pada hari keenam setelah menderita kehinaan dan pelecehan."
Berita yang telah diprediksikan oleh Imam Abu Muhammad as. tersebut betul terjadi. Bangsa Turki menyerang Mahdî dan menusuknya dengan pisau dan belati. Salah seorang pemimpin pemberontakan yang berkebangsaan Turki itu mengisap darah yang mengucur deras dari lukanya. Pada waktu itu, ia sedang mabuk sempoyongan. Setelah mengisap darah itu, ia berkata kepada para sahabatnya: "Aku telah kenyang dengan darah Mahdî sebagaimana aku telang kenyang dengan khamar pada hari ini."
Dengan ini, berakhirlah kehidupan Mahdî yang selalu memusuhi Imam Al-'Askarî as. itu.
6. Pemerintahan Mu'tamid

Mu'tamid berhasil memegang tampuk kekuasaan pada saat ia sedang berusia dua puluh lima tahun. Ia sangat suka berfoya-foya dan berpesta-pora. Ia selalu memantau dan memonitor seluruh gerak-gerik masyarakat, satu tindakan yang telah membangkitkan kebencian mereka kepadanya.
Pada masa kekuasaannya ini, Imam Al-'Askarî as. mengalami kesengsaraan yang amat mengerikan. Mu'tamid memerintahkan supaya ia ditangkap dan ditawan. Ia memerintahkan kepada kepala penjara untuk melaporkan setiap berita dan informasi baru tentang Imam Al-'Askarî. Kepada penjara ini melaporkan kepadanya bahwa Imam Al-'Askarî tidak pernah melakukan sebuah tindakan pun yang bertentangan dengan politik dinasti Bani Abbâsiyah. Lebih dari itu, ia telah memutuskan diri dari dunia dengan melakukan puasa di siang hari dan menghidupkan malam dengan ibadah. Pada kali yang lain, Mu'tamid pernah menanyakan informasi baru mengenai Imam Al-'Askarî, dan kepala penjara itu melaporkan hal yang sama. Setelah mendengar laporan itu, Mu'tamid membebaskannya dan memohon maaf kepadanya. Kepala penjara bergegas pergi untuk memberitahukan kebebasannya itu, dan ia mendapatkan Imam Al-'Askarî telah bersiap-siap untuk keluar dari penjara. Ia telah mengenakan pakaian dan memakai sepatu khuf-nya. Ia terheran-heran dengan itu seraya menyerahkan surat Mu'tamid kepadanya. Di dalam penjara itu, ia bersama Ja'far, saudaranya. Ia enggan keluar dari penjara sebelum Ja'far dikeluarkan.
Ala kulli hal, Imam Al-'Askarî as. masih saja menghadapi berbagai jenis kesengsaraan dan pelecehan dari sang lalim ini. Ia meletakkan prajurit-prajurit kerajaan yang tak terhitung jumlahnya untuk menghitung setiap tarikan napasnya dan mengusir setiap pengikut Syi'ah yang ingin berjumpa dengannya.
Imam Al-'Askarî Dibunuh

Keberadaan Imam Abu Muhammad as. sudah tidak tertahankan lagi oleh sang lalim Abbasi ini. Hal itu lantaran ia mendengar berita bahwa seluruh masyarakat menyucikan, mengagungkan, dan lebih mengutamakannya atas seluruh Bani Ali dan Bani Abbâsiyah. Akhirnya, Mu'tamid mengambil keputusan untuk membunuhnya, dan ia meracuninya dengan racun yang mematikan. Ketika Imam Al-'Askarî meminum racun tersebut, racun itu meracuni sekujur tubuh sucinya dan ia tidak bisa beranjak dari tempat tidur. Karena kekerasan racun itu, ia menderita rasa sakit yang tak terperikan, sedangkan ia tetap bersabar sembari menyerahkan segala urusan kepada Allah swt.
Mu'tamid memerintahkan lima orang kepercayaannya untuk selalu mengawasi rumah Imam Al-'Askarî as. dan mencari tahu tentang seluruh gerak-beriknya, sebagaimana ia juga memerintahkan tim dokter untuk melakukan pemeriksaan atas tubuhnya siang dan sore. Ia juga memerintahkan mereka untuk tidak meninggalkan rumahnya. Tujuan perintah ini adalah untuk mencari tahu tentang putra Imam Al-'Askarî, sang reformis agung yang telah diberitagembirakan oleh Nabi saw.
Menuju Surga Abadi

Kondisi Imam Hasan Al-'Askarî semakin parah dan para dokter telah putus asa. Ajalnya pun mendekat dengan cepat. Dalam kondisi seperti ini, ia senantiasa membaca zikir dan ayat-ayat Al-Qur'an hingga rohnya yang agung naik menghadap Allah swt. dengan diiringi oleh para malaikat Rahman dan seraya disambut oleh para nabi Allah dan rasul-Nya.
Kepergiannya ini adalah sebuah malapetaka yang telah menimpa muslimin yang hidup kala itu. Mereka telah kehilangan seorang pemimpin, pendidik, penunjuk jalan, dan reformis yang senantiasa memperhatikan kemaslahatan diri mereka.
Persiapan Pemakaman

Jenazah Imam Hasan Al-'Askarî as. dimandikan. Setelah di-tahnîth, tubuh suci itu dimasukkan ke dalam kafan. Jenazah suci itu digotong untuk disalati. Putranya, Hujah Allah di atas bumi ini, Imam Al-Muntazhar as. menyalati jenazah sang ayah. Setelah itu, Abu Isa bin Mutawakkil maju ke depan dan menyingkap wajah Imam Al-'Askarî as. seraya memperlihatannya kepada Bani Hâsyim dari kalangan Bani Ali dan Bani Abbâsiyah, para petinggi militer, para sekretaris kerajaan, para kepala kantor-kantor pemerintah, para hakim, dan lain sebagainya sembari berkata kepada mereka: "Hasan bin Muhammad bin Ar-Ridhâ meninggal dunia secara alamiah di atas tempat tidurnya. Di antara para pembantu Amirul Mukminin yang hadir pada saat itu adalah Polan dan Polan, di antara tim dokter adalah Polan dan Polan, dan di antara para hakim adalah Polan dan Polan." Setelah berkata demikian, ia menutupi kembali wajah Imam Al-'Askarî as. yang suci itu. Ia melakukan tindakan itu dengan tujuan menepis tuduhan yang telah tersebar di kalangan masyarakat bahwa Mu'tamid telah membunuh Imam Al-'Askarî.
Ke Liang Lahat

Seluruh lapisan masyarakat Samirra' keluar untuk mengantarkan jenazah Imam Al-'Askarî as. ke liang lahat. Seluruh kantor pemerintah, pusat-pusat perdagangan, dan pasar tutup. Kota Samirra' mirip dengan kondisi hari kiamat. Di sepanjang sejarahnya, kota ini tidak pernah menyaksikan ritual pengantaran jenazah yang dihadiri oleh seluruh lapisan masyarakat dengan perbedaan kasta dan alur pemikiran yang mereka miliki seperti ini. Mereka mengantarkan jenazahnya sembari menghitung-hitung keutamaannya dan menyebutkan malapetaka dan kerugian yang telah menimpa muslimin.
Di Persemayaman Terakhir

Tubuh suci Imam Hasan Al-'Askarî as. digotong dengan diiringi oleh gemuruh takbir dan takzim menuju persemayamannya yang terakhir. Tubuh suci itu dimakamkan di rumahnya di sisi sang ayah, Imam Al-Hâdî as. Dengan menguburkan sempalan hati Rasulullah saw. ini, mereka telah mengubur juga manifestasi kesabaran, ilmu, dan ketakwaan.
Dengan ini, kami menutup pembahasan tentang sejarah hidup Imam Abu Muhammad as. Jika pembaca budiman ingin mengetahui sejarah kehidupannya ini lebih dalam lagi, silakan Anda rujuk buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as.
Catatan Kaki:

Akhbâr Ad-Duwal, hal. 117; Bahr Al-Ansâb, hal. 2.
Tadzkirah Al-Khawwâsh, hal. 324.
Târîkh Abi Al-Fidâ', jilid 2, hal. 48.
An-Nujûm Az-Zâhirah, jilid 3, hal. 32.
Bahr Al-Ansâb, hal. 2; Akhbâr Ad-Duwal, hal. 167; Al-Ithâf bin Hubb Al-Asyrâf, hal. 86.
Dâ'irah Al-Ma'ârif, karya Al-Bustânî, jilid 7, hal. 45.
Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as., hal. 19.
Al-Ithâf bin Hubb Al-Asyrâf, hal. 86.
Dâ'irah Al-Ma'ârif, karya Al-Bustânî, jilid 7, hal. 45; Jawharah Al-Kalâm fi Mad-h As-Sâdah Al-A'lâm, hal. 155.
A'yân Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 295, bagian kedua.
Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as., hal. 40.
Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as., hal. 40.
Jabul adalah sebuah desa yang terletak di pesisir sungai Dajlah, Irak-pen.
Sûrâ' adalah sebuah daerah di Irak yang terletak di kota Babylion. Daerah ini adalah tempat kediaman bangsa Suryânî-pen.
Kasyf Al-Ghummah, jilid 3, hal. 300.
Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as., hal. 38.
Kasyf Al-Ghummah, jilid 3, hal. 2.
Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as., hal. 42.
Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 519.
Ibid.
Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as., hal. 99.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 5, hal. 299.
Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as., hal. 98.
Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 518.
Nûr Al-Abshâr, hal. 153.
I'lâm Al-Warâ, hal. 372.
Nûr Al-Abshâr, hal. 152.
Ibid.
Manâqib Al Abi Thalib, jilid 4, hal. 435.
I'lâm Al-Warâ, hal. 375; Al-Manâqib, jilid 4, hal. 437.
Rawdhât Al-Jannât, jilid 4, hal. 273-274.
Ibid., hal. 276.
Murûj Adz-Dzahab, jilid 4, hal. 43.
Baina Al-Khulafâ' wa Al-Khula'â' fi Al-'Ashr Al-Abbâsî, hal. 115.
Tsimâr Al-Qulûb, hal. 123.
Mir'âh Az-Zamân, jilid 6, hal. 69.
Dâ'irah Ma'ârif Al-Qarn Al-'Isyrin, jilid 10, hal. 964.
Zuhar Al-Adab, jilid 4, hal. 3.
Baina Al-Khulafâ' wa Al-Khula'â' fi Al-'Ashr Al-Abbâsî, hal. 108.
Mir'âh Az-Zamân, jilid 6, hal. 169.
Maqâtil Ath-Thâlibiyyîn, hal. 579.
Ibid., hal. 599.
Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as., hal. 202.
Jawharah Al-Kalâm, hal. 155.
Muhaj Ad-Da'awât, hal. 273.
Al-Ghaibah, karya Syaikh Thusi, hal. 632.
Târîkh Al-Khulafâ', hal. 36.
Târîkh Ibn Al-Atsîr, jilid 5, hal. 544.
Murûj Adz-Dzahab, jilid 4, hal. 124.
Muhaj Ad-Da'awât, hal. 274.
Murûj Adz-Dzahab, jilid 4, hal. 127.
Ibid., hal. 128.
Ibid.
Muhaj Ad-Da'awât, hal. 274.
Al-Irsyâd, hal. 383.
Ibid.
Ibid.

IMAM MAHDI AL-MUNTAZHAR

Kita sedang berada di hadapan harapan nilai-nilai insani, nilai-nilai nsani yang terkoyak dan dihancurkan oleh kajahatan perang dan dibasmikan oleh ketamakan kaum Imperialis. Kita sedang berada di hadapan keadilan tegar yang akan membasmikan kezaliman, meluluh-lantakkan sistem perbudakan, dan menghancurkan kelaliman, menebar rahmat dan menyebar cinta kasih di tengah-tengah umat manusia, serta memenuhi hati orang-orang tertindas dengan harapan dan rahmat.
Kita sedang berada di hadapan Al-Qâ'im keluarga Muhammad saw. yang telah dipersiapkan oleh Allah swt. untuk memperbaiki dunia dan merombak sistem-sistem pemerintahan bejat yang telah menjerumuskan umat manusia ke dalam jurang dalam yang tidak memiliki kestabilan. Kita sedang berada di hadapan figur yang telah dipilih dan dipersiapkan oleh Allah untuk memenuhi bumi dengan keadilan, setelah bumi ini dipenuhi oleh kezaliman dan kelaliman.
Sesungguhnya Allah swt. telah memilih wali-Nya yang teragung, wali-Nya yang paling pemberani, wali-Nya yang memiliki bashirah yang paling peka, dan wali-Nya yang paling rendah hati untuk merealisasikan perbaikan yang menyeluruh dan universal ini. Cukuplah sebagai bukti kedudukannya yang agung bahwa ia berasal dari Ahlul Bait yang telah dbersihkan oleh Allah dari segala jenis kotoran dan disucikan sesuci-sucinya.
Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sekilas sejarah kehidupan dan biografi manifestasi keadilan dan harapan kaum tertindas ini.
Sang Putra yang Agung

Dunia terang benderang dengan kelahiran sang reformis agung yang akan mengembalikan kejayaan dan nikmat Islam kepada umat manusia dan meyelamatkan mereka dari segala jenis kezaliman dan kelaliman. Termasuk karunia Allah swt. yang agung ketika Dia merahasiakan kehamilan dan kelahirannya, sebagaima Dia juga pernah merahasiakan kehamilan dan kelahiran nabi-Nya, Mûsâ bin 'Imrân as.
Para ahli sejarah meriwayatkan kisah kelahiran Imam Mahdî as. Menurut mereka, Imam Hasan Al-'Askarî as. memanggil bibinya yang bernama Sayyidah Hakîmah, salah seorang putri Imam Muhammad Al-Jawâd as. Sayyidah Hakîmah menyerupai neneknya, Fathimah Az-Zahrâ' as. dalam sisi ibadah, kemuliaan, dan kesucian. Ketika ia sampai, Imam Al-'Askarî as. menyambutnya dengan seluruh penghormatan dan pengagungan. Ia berkata kepadanya: "Hai bibiku, berbuka puasalah malam ini di rumahku. Allah 'Azza Wajalla akan memberikan berita gembira kepada Anda dengan (kelahiran) wali dan hujah-Nya, serta khalifahku sepeninggalku."
Sayyidah Hakîmah sangat gembira dan bahagia. Ia bertanya: "Semoga Allah menjadikanku sebagai tebusan Anda! Wahai junjunganku, dari siapakah khalifah ini akan lahir?"
"Sûsan," jawab Imam Al-'Askarî pendek.
Sayyidah Hakîmah menoleh ke arah Sûsan dan ia tidak melihat tanda-tanda kehamilan. Ia berkata lagi: "Ia tidak hamil."
Imam Al-'Askarî as. tersenyum seraya berkata kepadanya dengan halus: "Jika waktu fajar tiba, kehamilannya akan nampak bagimu. Sûsan adalah sama seperti ibunda Mûsâ. Ibunda Mûsâ juga tidak memiliki tanda-tanda kehamilan dan tak seorang pun tahu tentang hal itu hingga ia melahirkan. Hal itu karena Fir'aun selalu merobek setiap perut wanita yang hamil demi mencari Mûsâ. Anakku ini adalah sama seperti Mûsâ."
Sayyidah Hakîmah bermalam di rumah keponakannya itu. Ketika waktu salat Maghrib tiba, ia mengerjakan salat Maghrib. Lalu, ia berbuka puasa bersama Sayyidah Sûsan, ibunda Imam Al-Muntazhar. Setelah usai berbuka puasa, ia menuju ke tempat tidur. Ketika akhir malam tiba, ia bangun untuk mengerjakan salat malam. Ketika sampai di rakaat terakhir-yaitu, salat Witir, Sayyidah Sûsan melompat (dari tempat tidur) dalam kondisi takut dan gemetar. Ia juga mengerjakan salat sunah malam. Setelah usai mengerjakan salat sunah malam, ia merasakan rasa sakit hendak melahirkan. Sayyidah Hakîmah bergegas menjumpainya seraya berkata kepadanya: "Apakah kamu merasakan sesuatu?"
Sayyidah Sûsan menjawab dengan penuh rasa ketakutan dan kekhawatiran: "Sungguh aku menemukan sesuatu yang sangat dahsyat."
Sayyidah Hakîmah menenangkannya seraya berkata kepadanya dengan penuh kasih sayang: "Kamu tidak takut, insya Allah."
Tidak lama berselang, Sayyidah Sûsan melahirkan putranya yang agung yang akan membersihkan bumi ini dari kotoran orang-orang lalim dan kezaliman orang-orang zalim, serta menegakkan hukum Allah swt. di muka bumi ini.
Ketika Imam Al-'Askarî as. diberitahukan tentang kelahiran sang putra, ia sangat gembira dan bahagia. Ia mulai membohongkan tekad para lalim dari kalangan penguasa Bani Abbâsiyah yang selalu berkehendak ingin membunuhnya dan memutus keturunannya seraya berkata: "Para zalim itu menyangka akan dapat membunuhku untuk memutus keturunan ini. Bagaimana mereka melihat kekuatan Allah ini?"
Acara Ritual Kelahiran

Imam Hasan Al-'Askarî as. menyambut kelahiran sang putra dengan kebahagiaan dan kegembiraan yang luar biasa. Ia melaksanakan acara ritual kelahiran atas putra yang baru lahir ini. Ia mengumandangkan azan di telinga kanannya dan membacakan iqamah di telinga kirinya. Ia telah memperdengarkan dengungan Allahu Akbar, lâ ilâha illallâh di telinganya.
Dengan ritual ini, Imam Al-'Askarî as. telah memberikan makanan spiritual kepadanya dengan kalimat-kalimat yang merupakan rahasia wujud dan missi terpenting para nabi as. itu. Sang putra yang baru lahir itu berbicara (seraya melantunkan) ayat Al-Qur'an yang berfirman: "Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan orang-orang yang mewarisi bumi, serta akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir'aun dan Haman beserta bala tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan." (QS. Al-Qashash [28]:5-6)
Pemimpin teragung ini telah dilahirkan dalam kondisi rahasia dan tersembunyi semacam ini lantaran khawatir atas ancaman dinasti Bani Abbâsiyah yang selalu melakukan monitoring atasnya dengan ketat demi menghabisi jiwanya. Hal itu mereka lakukan karena meyakini bahwa ia adalah figur yang akan membasmi kerajaan dan kekuasaan mereka.
Ala kulli hal, Sayyidah Hakîmah menggendong bayi yang baru lahir itu dan menciuminya seraya berkata: "Aku mencium sebuah bau semerbak mewangi dari tubuhnya yang aku belum pernah mencium bau sewangi itu selama ini." Setelah itu, Imam Al-'Askarî as. menggendongnya seraya berkata: "Aku menitipkanmu kepada Allah sebagaimana Dia pernah menitipkan kepada ibunda Mûsâ. Hiduplah berada di bawah karunia Allah, tabir-Nya, dan haribaan-Nya." Setelah berkata demikian, ia menoleh ke arah bibinya seraya berpesan: "Rahasiakanlah berita kelahiran sang bayi ini dan janganlah kamu beritahukan hal ini kepada siapa pun sehingga kitab sampai kepada masanya."
Undangan Makan Massal

Setelah kelahiran sang putra yang penuh berkah itu, Imam Hasan Al-'Askarî as. menyuruh seseorang untuk membeli daging dan roti dalam jumlah yang banyak demi disedekahkan kepada orang-orang fakir-miskin yang hidup di kota Samirra'. Di samping itu, ia juga melakukan akikah untuknya dengan menyembelih tujuh puluh ekor kambing dan mengirimkan empat ekor di antaranya kepada Ibrahim dengan disertai surat yang berisi: "Kambing-kambing ini berasal dari anakku, Muhammad Al-Mahdî. Makanlah kambing-kambing itu dan ajaklah pengikut kami yang kamu jumpai untuk makan bersama."
Kebahagiaan Para Pengikut Syi'ah

Kebahagiaan dan kegembiraan yang tak terkira mendominasi seluruh masyarakat Syi'ah atas kelahiran pemimpin yang agung ini. Mereka datang silih berganti menjumpai Imam Abu Muhammad as. untuk mengucapkan selamat atas kelahiran sang putra yang penuh berkah itu. Salah seorang di antara mereka adalah Hasan bin Hasan Al-'Alawî. Ia bercerita: "Aku bertamu ke rumah Abu Muhammad Hasan bin Ali dan kuucapkan selamat atas kelahiran putranya Al-Qâ'im di Samirra'."
Seseorang pernah berkata kepada Hamzah bin Fath: "Kabar gembira! Tadi malam putra Abu Muhammad telah lahir." Hamzah bertanya: "Siapakah namanya?" Orang itu menjawab: "Muhammad dan nama panggilannya adalah Abu Ja'far."
Nama Sang Putra

Pemimpin yang agung ini diberi nama seperti nama kakeknya, Rasulullah yang agung saw. yang telah berhasil memancarkan sumber-sumber hikmah dan ilmu pengetahuan di muka bumi ini. Para perawi hadis sepakat bahwa orang yang telah memberi namanya dengan nama tersebut adalah kakeknya, Rasulullah saw. Ia diberi gelar Al-Mahdî lantaran ia memberikan petunjuk jalan kepada agama yang benar. Gelar ini adalah gelarnya yang sangat dikenal oleh masyarakat luas.
Perjumpaan dengan Syi'ah

Imam Hasan Al-'Askarî as. menunjukkan sang putra yang agung itu kepada para pengikut Syi'ah yang tulus dan terpilih sehingga tak seorang pengingkar pun mengingkari keberadaannya dan juga tak seorang peragu pun yang meragukan kelahirannya. Mereka semua berjumlah empat puluh orang. Di antara mereka adalah Muhammad bin Ayyûb, Muhammad bin 'Utsmân, dan Mu'âwiyah bin Hakîm. Ia berpesan kepada mereka: "Anak ini adalah imammu sepeninggalku dan khalifahku atas kamu semua. Taatilah ia dan janganlah kamu berpecah-belah dalam masalah agama sepeninggalku, karena kamu pasti binasa. Ingatlah bahwa kamu sekalian tidak akan pernah melihatnya lagi setelah hari ini."
Imam Al-'Askarî as. telah menyempurnakan hujah kepada para pengikutnya dan memperkenalkan mereka kepada imam mereka supaya mereka dapat menjadi saksi-saksi yang jujur untuk menyampaikan amanat mereka itu kepada selain mereka.
Karakter yang Tinggi

Tidak ada satu karakter sempurna pun kecuali ia menjadi karakter substantif sang reformis agung ini. Allah telah menciptakannya dari cahaya, memberisakannya dari setiap kekurangan, menyucikannya dari segala kotoran, dan menyimpannya untuk memperbaiki hamba-Nya dan menegakkan agaman-Nya. Di antara karakter-karakter agung tersebut adalah berikut ini:
a. Keluasan Ilmu Pengetahuan

Sebuah realita yang pasti adalah, bahwa Imam Mahdî as. adalah figur manusia yang memiliki penguasaan yang paling sempurna dan luas atas seluruh janis dan bidang ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan yang baru maupun yang kuno. Tidak ada satu bidang ilmu pun di dunia ini kecualinya telah menguasainya secara sempurna. Nenek moyangnya telah mengungkapkan ketinggian kedudukan ilmiahnya ini sebelumnya diciptakan. Marilah kita simak ungkapan-ungkapan mereka dalam hal ini:

a. Imam Amirul Mukminin as. berkata: "Dia adalah figur yang memiliki tempat perlindungan yang paling lapang, yang memiliki ilmu
pengetahuan yang paling luas, dan yang lebih menyambung tali silaturahmi."
b. Hârits bin Mughîrah bercerita: "Aku pernah bertanya kepada Abu Abdillah Husain bin Ali as., 'Dengan tanda apakah Al-Mahdî bisa diketahui?' Ia menjawab, 'Dengan pengetahuannya terhadap halal dan haram dan dengan kebutuhan masyarakat kepadanya, sedangkan ia sendiri tidak membutuhkan siapa pun.'"
c. Imam Abu Ja'far Al-Bâqir as. berkata: "Urusan-yakni imâmah-ini akan dipegang oleh seorang keturunan kami yang paling muda dan paling bagus nama baiknya. Allah mewariskan ilmu pengetahuan kepadanya dan Dia tidak akan pernah menyerahkan (urusan)nya kepada dirinya sendiri."
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika muncul kembali, ia akan mengadakan perdebatan dengan orang-orang Yahudi dengan bersandarkan kepada kitab Taurat, dan mayoritas mereka akan memeluk agama Islam.
Pada masa periode Ghaibah Shughra, Imam Mahdî as. menjadi tempat rujukan tertinggi bagi dunia Islam dalam masalah-masalah Fiqih dan lain sebagainya. Empat wakil khususnya senantiasa menghaturkan masalah-masalah yang ditanyakan oleh muslimin kepadanya dan ia menjawab seluruh pertanyaan tersebut. Buku-buku referensi Fiqih mazhab Imamiah penuh dengan jawabannya itu. Para fuqaha menjadikan jawaban itu sebagai sandaran dalam mengeluarkan fatwa berkenaan dengan sebuah hukum syariat. Syaikh Shadûq as. telah menulis dengan tangannya sendiri fatwa-fatwa Imam Mahdî itu dalam jumlah yang sangat banyak.
Suatu realita yang pasti adalah, bahwa ketika Imam Mahdî as. telah muncul kembali, seluruh ilmuwan dunia, baik dalam bidang Medis, Fisika, dan bidang-bidang ilmu pengetahuan yang lain akan berjumpa dengannya untuk menguji tingkat keilmuannya, dan ia pasti akan menjawab mereka dengan jawaban yang paling jitu. Dengan demikian, mereka akan memeluk agama Islam dan tak seorang pun tersisa kecuali meyakini kepemimpinannya.
b. Kezuhudan

Seluruh sejarah kehidupan para imam pembawa petunjuk as. ini memiliki keserupaan dalam segala bidang pemikiran dan ilmiah. Di antara titik-titik kesamaan itu juga adalah kezuhudan terhadap dunia dan kepenolakan terhadap seluruh kelezatan dan kegemerlapannya. Anda tidak membaca sejarah hidup seorang imam dari mereka kecuali Anda pasti menemukan bahwa karakternya yang paling menonjol adalah kezuhudan terhadap harta dunia. Mereka semua mengikuti jejak junjungan mereka, junjungan 'Itrah yang suci, yaitu Imam Amirul Mukminin as. yang telah menceraikan dunia sebanyak tiga kali sehingga tidak ada istilah rujuk setelah itu. Di atas jalan benderang inilah, keturunannya menjalani kehidupan ini.
Telah banyak hadis yang diriwayatkan dari para imam maksum as. yang menegaskan kezuhudan Imam Al-Muntazhar as. sebelumnya sendiri dilahirkan. Di antara hadis-hadis itu adalah sebagai barikut ini:
a. Mu'ammar bin Khallad meriwayatkan dari Imam Abul Hasan Ar-Ridha as. bahwa ia berkata: "Al-Qâ'im tidak memiliki pakaian kecuali pakaian yang kasar dan tidak memiliki makanan kecuali makanan yang kasar pula."( )
b. Ali bin Hamzah dan Wuhaib, masing-masing meriwayatkan dari Imam Ash-Shadiq as. bahwa ia berkata: "Alangkah tergesa-gesanya kamu sekalian menunggu kemunculan Al-Qâ'im. Demi Allah, ia tidak memiliki pakaian kecuali pakaian yang kasar dan tidak memiliki makanan kecuali gandum yang kasar pula."( )
c. Abu Bashir meriwayatkan dari Imam Ash-Shadiq as. bahwa ia berkata: "Ia tidak memiliki pakaian kecuali pakaian yang kasar dan tidak memiliki makanan kecuali (gandum) yang kasar pula."( )
Seandainya sirah kehidupannya tidak sejalan dengan kezuhudan semacam ini, niscaya Allah swt. tidak akan memilihnya untuk melaksanakan tugas reformasi (atas kondisi umat manusia) dari sejak Dia menciptakan bumi ini. Beliaulah figur yang akan memenuhi bumi ini dengan keadilan setelah dienuhi oleh kezaliman dan kelaliman, menyelamatkan umat manusia yang terlalimi dari kezaliman orang-orang zalim dan kesombongan para penguasa, dan menebarkan karunia dan rahmat Allah di kalangan orang-orang tertindas. Dengan itu semua, tidak akan tersisa bayangan kefakiran dan kemiskinan.
c. Kesabaran

Salah satu karakteristik jiwa Imam Al-Muntazhar as. yang lain adalah kesabaran atas segala ujian dan malapetaka. Ia adalah salah sorang imam yang akan menghadapi ujian dan malapetaka yang paling berat. Selama periode yang panjang ini, ia telah menyaksikan peristiwa-peristiwa mengerikan yang telah menyerang dan menghujam dunia Islam. Salah satu peristiwa yang sangat menyakitkan hati itu adalah seluruh lapisan umat Islam menjadi buruan kaum Imperialis kafir. Kaum ini telah menebarkan kemungkaran di dalam kehidupan mereka, menghentikan hukum-hukum Allah, merampas seluruh kekayaan mereka, dan ikut campur tangan dalam seluruh urusan dalam negeri yang sangat menentukan masa depan mereka. Sebagai seorang pemimpin spiritual pada masa kini dan ayah penyayang bagi seluruh muslimin, ia melihat semua malapetaka itu dan ia tetap bersabar seraya menyerahkan seluruh urusan kepada Allah swt. hingga Dia mengizinkan dan memerintahkannya untuk keluar mengomandokan jihad.
d. Keberanian

Imam Mahdî as. adalah figur yang memiliki hati paling pemberani dan tekad yang paling kokoh. Ia tidak berbeda dengan kakeknya, Rasulullah saw. dalam sisi kekokohan jiwa dan kekuatan kehendak. Rasulullah saw. telah menghadapi para srigala kemusyrikan dan singa kekufuran yang senantiasa ingin melipat bendera Islam dan memadamkan cahaya Allah swt. Tapi, dengan kekuatan kehendaknya, beliau berhasil memanen kepala-kepala mereka dan memporak-porandakan barisan bala tentara mereka, serta mengibarkan bendera Allah di muka bumi ini. Dengan mengemban peran yang sama, cucunya, Imam Al-Muntazhar as. akan bangkit dan menenggakkan minuman pahit ke mulut orang-orang zalim dan sombong dan mengembalikan kemuliaan dan kejayaan Islam yang tidak akan pernah mengenal kehinaan lagi. Tak ada satu kekuatan pun di dunia ini yang akan mampu melawannya dan seluruh masyarakat dunia akan tunduk patuh terhadap segala titahnya. Dengan itu, bendera Tauhid akan berkibar di seluruh penjuru dunia.
e. Kedermawanan

Imam Al-Muntazhar as. adalah sosok manusia yang paling dermawan dan murah tangan. Di bawah kekuasannya, tidak akan tersisa satu pun bayangan kefakiran dan kemiskinan. Marilah kita simak hadis-hadis yang telah diriwayatkan dari nenek moyangnya tentang kedermawannya berikut ini:
a. Abu Sa'îd meriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau pernah menceritakan tentang kedermawanan Imam Mahdî as. Beliau bersabda: "Seorang rakyat akan datang menjumpainya seraya berkata kepadanya, 'Wahai Mahdî, tolonglah aku, tolonglah aku!' Ia akan memenuhi pakaian orang itu dengan uang sehingga ia tidak dapat membawanya."
b. Jâbir bercerita: "Seseorang pernah datang menjumpai Imam Abu Ja'far as. sedangkan aku hadir di situ. Orang itu berkata kepadanya, 'Semoga Allah merahmati Anda! Terimalah khumus yang berjumlah seratus dirham ini dan gunakanlah pada tempat-tempat pemakaiannya. Harta ini adalah zakat harta-hartaku.'
Abu Ja'far berkata kepadanya, 'Kamu ambil sendiri dan berikanlah kepada tetangga-tetanggamu, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta saudara-saudaramu dari kalangan muslimin. Cara pembagian semacam ini akan terjadi pada saat Al-Qâ'im kami muncul. Ia akan melakukan pembagian (harta) secara sama rata dan menyamaratakan keadilan terhadap seluruh makhluk Dzat Yang Maha Pengasih, baik makhluk yang baik maupun yang jahat. Barang siapa menaatinya, ia telah menaati Allah dan barang siapa menentangnya, ia telah menentang Allah. Ia dinamai Al-Mahdî karena ia akan memberikan petunjuk kepada sebuah perkara yang samar. Ia akan mengeluarkan Turat dan seluruh kitab (samawi) yang lain dari sebuah goa yang berada di Anthaqiyah dan ia akan menjalankan hukum atas pengikut Taurat dengan bersandarkan kepada kitab Taurat, atas pengikut Injil dengan bersandarkan kepada kitab Injil, atas pengikut Zabur dengan menggunakan kitab Zabur, dan atas pengikut Furqân dengan bersandarkan kepada Al-Furqân. Seluruh harta dunia, baik yang berada di dalam perut bumi maupun yang nampak di atasnya akan terkumpul di tangannya, dan lalu ia berkata kepada seluruh manusia, 'Kemari dan ambillah apa yang telah menyebabkan kamu sekalian memutus tali silaturahmi-ia mengisyaratkan kepada harta-harta itu-dan menumpahkan darah, serta melanggar larangan-larangan Allah.' Setelah berkata demikian, ia akan memberikan harta kepada mereka dalam jumlah yang belum pernah diberikan oleh siapapun sebelum dia."
Dan masih banyak hadis-hadis lain yang menegaskan bahwa ia adalah lautan kedermawan dan kemurahan tangan, serta bahwa ia akan berbuat derma kepada seluruh makhluk Allah swt. demi menyelamatkan mereka dari ketelanjangan dan kelaparan, serta meratakan kekayaan di tengah-tengah mereka.
f. Kokoh dalam Memegang Kebenaran

Imam Al-Muntazhar as. adalah salah seorang figur yang paling kokoh dalam membela kebenaran dan tidak peduli dengan celaan para pencela. Karakternya ini persis seperti karakter nenek moyang sucinya yang telah tegar membela kebenaran dan menghaturkan jiwa-jiwa mereka sebagai korban demi menebarkan keadilan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Jika dunia ini menjadi terang benderang dengan kemunculan Al-Qâ'im keluarga Muhammad saw, ia akan menegakkan kebenaran dengan seluruh arti dan maknanya, sertanya tidak akan meninggalkan bayangan kezaliman dan kelaliman sedikit pun kecualinya akan membasmikan dan memusnahkannya.
Ibadah

Suatu hal yang pasti adalah, bahwa ibadah Imam Al-Muntazhar as. adalah persis seperti ibadah nenek moyang sucinya yang telah menghibahkan seluruh hidup mereka untuk Allah swt. Mereka telah menginfakkan mayortas hidup mereka dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah dan khusyuk di haribaan-Nya dengan berpuasa di siang hari dan beribadah di malam hari. Mereka tekun melakukan salat, membaca doa, dan melantunkan Al-Qur'an. Di atas jalan yang cemerlang ini jualah, Imam Al-Muntazhar as. berjalan. Para perawi hadis telah meriwayatkan banyak doa mulia yang selalu ia baca ketika mengerjakan salat dan membaca qunut. Semua doa itu menegaskan kedalaman hubungannya dengan Allah swt. dan kepasrahannya terhadap segala ketentuan-Nya. Kami telah memaparkan sebagian doa tersebut di dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Muntazhar as.
Periode Ghaibah Shughra

Termasuk salah satu karunia Allah swt. yang agung kepada Imam Al-Muntazhar as. adalah Dia telah menutupinya dari padangan mata para penguasa dinasti Bani Abbâsiyah zalim yang selalu berusaha untuk memusnahkan beliau. Ia keluar dari kepungan mereka, sedangkan mereka tidak mengetahui hal itu. Hal itu sebagaimana Dia pernah menutupi kakeknya, Rasulullah saw. dari pandangan mata orang-orang Quraisy yang telah berkumpul untuk membunuh beliau.
Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sejarah kehidupan Imam Al-Muntazhar as. pada periode Ghaibah Shughra ini secara ringkas.
a. Masa Periode Ghaibah Shughra

Periode Ghaibah Shughra dimulai dari sejak Imam Hasan Al-'Askarî as. wafat pada tahun 260 Hijriah. Dari sejak saat itu, Imam Al-Muntazhar as. tersembunyi dari pandangan mata umat manusia. Hanya saja, ia masih melakukan hubungan dengan orang-orang mukmin yang saleh.
b. Tempat Imam Mahdî as. Gaib

Imam Al-Muntazhar as. gaib dari padangan umat manusia di rumahnya yang terletak di kota Samirra'. Di rumah ini juga terdapat makam suci ayahanda dan kakeknya.
Ada sebuah keyakinan sangat aneh yang diyakini oleh sebagian orang yang menaruh rasa dengki terhadap mazhab Syi'ah. Mereka meyakini bahwa Imam Al-Muntazhar as. gaib di sebuah sirdab (ruang bawah tanah) yang terdapat di Samirra' atau di kota lainnya. Setelah mengerjakan salat Maghrib, mereka berdiri di depan pintu sirdab yang terdapat di Samirra' tersebut setiap malam dengan menyebut-nyebut namanya dan memanggilnya supaya cepat keluar. Mereka melakukan demikian hingga bintang-gumintang tampak. Setelah itu, mereka bubar dan menunggu keputusan hingga malam berikutnya tiba, sedangkan mereka memiliki penantian yang sama.
Ini adalah sebuah keyakinan aneh yang tidak ber-sanad. Keyakinan ini mengindikasikan rasa dengki kepada Ahlul Bait as. Adapun sirdab yang terdapat di kota Samirra' tersebut adalah sebuah mushalla bagi tiga imam Ahlul Bait as. dan hujah Allah atas hamba-Nya. Tak seorang pun dari ulama dan ahli sejarah Syi'ah yang berpendapat bahwa ia gaib di sirdab tersebut atau sirdab-sirdab lain yang telah dipaparkan oleh orang-orang yang tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap agama. Kami telah memaparkan kebohongan mereka ini dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as.
c. Para Duta Khusus

Pada periode ini, Imam Al-Muntazhar as. menentukan beberapa orang ulama yang saleh sebagai dutanya yang berperan sebagai mediator antara dirinya dan para pengikut Syi'ah. Tugas mereka yang terpenting adalah mengantarkan pertanyaan dan problematika syariat kepadanya dan menerima jawabannya atas seluruh pertanyaan tersebut.
Para duta tersebut adalah sebagai berikut:

1. 'Utsmân bin Sa'îd

'Utsmân adalah duta Imam Al-Muntazhar as. yang pertama. Ia adalah seorang yang tsiqah dan terpercaya. Ia telah melakukan perannya yang positif dan istimewa dalam berkhidmat kepada para imam Ahlul Bait as. pada masa Mutawakkil berkuasa dan pda saat ia memberlakukan embargo ekonomi atas Imam Ali Al-Hâdî as. dan melarang penyampaian harta zakat dan khumus kepadanya. Seluruh harta tersebut sampai ke tangan 'Utsmân bin Sa'îd dan ia meletakkannya di bagian bawah kaleng minyak goreng, lalu mengirimkannya kepada Imam Al-Hâdî as. dan setelah Imam Al-Hâdî wafat, kepada Imam Hasan Al-'Askarî as. Dengan cara demikian, ia telah berhasil mengatasi krisis ekonomi yang membelenggu para imam Ahlul Bait as.
'Utsmân adalah titik penghubung antara Imam dan para pengikut Syi'ah. Ia memiliki kedudukan sebagai wakil mutlak Imam Mahdî as. Dengan demikian, ia berhak menghaturkan seluruh harta zakat dan khumus, serta surat-surat mereka kepadanya.

Wafat

Tidak lama setelah itu, 'Utsmân meninggal dunia dan dimakamkan di Baghdad di dekat daerah Ar-Rashâfah. Ia memiliki makam ramai yang selalu diziarahi oleh mukminin.

Belasungkawa Imam Al-Muntazhar

Imam Al-Muntazhar as. mengucapkan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas kepergian 'Utsmân bin Sa'îd yang agung itu dengan mengirim surat kepada putranya yang 'alim dan suci, Muhammad bin 'Utsmân. Surat itu berisi: "Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji'ûn. Kita terima segala titah-Nya dan kita rida atas segala ketentuan-Nya. Ayahmu telah hidup dengan bahagia dan meninggal dunia dengan terpuji. Semoga Allah merahmatinya dan menggabungkannya dengan para wali dan kekasih-Nya. (Selama hidup), ia senantiasa berusaha untuk menyelesaikan masalah mereka (baca: masyarakat) dan berusaha untuk menggapai apa yang Allah 'Azza Wajalla dapat mendekatkannya kepada mereka. Semoga Allah membahagiakannya dan mengampuni ketergelincirannya. Semoga Allah memperagung pahalamu dan turut berduka cita denganmu. Kamu mendapatkan petaka dan kami juga mendapatkan petaka. Kamu telah menderita lantaran berpisah darinya dan kami juga demikian. Semoga Allah menganugerahkan kebahagiaan kepadanya di tempat ia kembali. Salah satu kebahagiaan yang ia miliki sekarang ini adalah Allah telah menganugerahkan kepadanya seorang putra sepertimu yang menggantikannya setelah ia meninggal dunia, menduduki kedudukannya, dan berbelas kasih kepadanya. Kutegaskan bahwa segala puji bagi Allah, karena seluruh jiwa percaya terhadap kedudukanmu dan terhadap segala karunia yang telah dianugerahkan oleh Allah 'Azza Wajalla kepadamu. Begitu pula, Dia menguatkanmu, mendukungmu, dan membarikan taufik kepadamu dengan itu semua. Sedangkan Dia senantiasa menjadi wali dan penjagamu ...."
Surat itu menunjukkan betapa Imam Al-Muntazhar as. sedih atas kepergian dutanya itu di mana ia adalah salah seorang figur dan unsur keimanan. Begitu juga, ia menegaskan kepercayaannya yang dalam kepada putranya, Muhammad yang telah memiliki seluruh unsur karakter kesempurnaan.

2. Muhammad bin 'Utsmân

Muhammad bin 'Utsmân menjadi duta Imam Al-Muntazhar as. (sepeninggal ayahnya). Ia adalah salah seorang figur tsiqah dalam mazhab Syi'ah dan ulamanya yang handal. Sebagaimana sang ayah, ia mendapat kepercayaan di hati seluruh masyarakat Syi'ah. Seluruh surat masyarakat Syi'ah dan harta khumus dan zakat mereka diberikan kepadanya dan selanjutnya, ia menyampaikan seluruh amanat itu kepada Imam Al-Muntazhar as. Setelah itu, ia memberikan jawabannya kepada mereka.
Imam Al-Muntazhar as. pernah menulis sepucuk surat kepada Muhammad bin Ibrahim Al-Ahwâzî tentang kepribadian Muhammad bin 'Utsmân yang isinya: "Ia-yaitu Muhammad bin 'Utsmân-adalah orang kepercayaan kami pada saat ayahnya masih hidup-semoga Allah meridai dan membahagiakannya. Ia menduduki kedudukannya dan menempati posisinya. Sang putra hanya mengeluarkan perintah atas perintah kami dan juga mengamalkannya. Semoga Allah memberikan anugerah kepadanya. Oleh karena itu, ambillah ucapannya."
Muhammad bin 'Utsmân meninggal dunia pada bulan Jumadil Ula 305 Hijriah.

3. Husain bin Ruh

Ia adalah duta ketiga Imam Al-Muntazhar as. Ia memiliki karakter ketakwaan, kesalehan, keluasan ilmu pengetahuan, dan akal yang sangat besar. Ia mendapatkan kemuliaan untuk menjadi duta dan wakilnya setelah Muhammad bin 'Utsmân meninggal dunia. Dan Muhammad bin 'Utsmânlah yang menegaskan hal itu. Ketika para tokoh kenamaan Syi'ah bertanya kepadanya tentang orang yang akan menggantikan posisinya, ia menjawab: "Abul Qasim Husain bin Ruh bin Abi Bahr An-Nawbakhtî ini adalah penggantiku, duta (kepercayaan) antara kamu sekalian dan Shâhidul Amr-semoga Allah mempercepat farajnya, wakil, dan orang kepercayaannya. Oleh karena itu, rujuklah kepadanya berkenaan dengan seluruh urusanmu dan percayakanlah kepadanya setiap problematika yang menimpamu. Aku telah diperintah untuk menyampaikan hal ini dan kini aku telah sampaikan ...."
Husain bin Ruh pernah mengadakan dialog yang sangat menarik dengan seorang penentang kebenaran, dan ia unggul atasnya. Muhammad bin Ibrahim bin Ishâq merasa heran dengan kemenangannya itu seraya bertanya kepadanya: "Apakah semua jawaban itu berasal dari dirimu sendiri atau kamu menerimanya dari para imam pembawa petunjuk itu?"
Husain bin Ruh menjawab: "Hai Muhammad bin Ibrahim, aku terjatuh dari langit menuju ke bumi, lalu aku disantap oleh burung atau aku dihempaskan oleh angin di tempat yang sangat jauh adalah lebih kusukai daripada aku mengatakan sesuatu berkenaan dengan agamaku yang berasal dari pendapatku sendiri. Semua jawaban itu berasal dari sumbernya dan aku telah mendengarnya dari Hujah (baca: Imam Mahdi) as. ...."
Husain bin Ruh menjadi duta Imam Mahdî as. selama dua puluh satu atau dua puluh dua tahun. Selama itu, ia menjadi tempat rujukan para pengikut Syi'ah dan mediator yang terpercaya antara mereka dan Imam. Pada suatu hari, ia tertimpa penyakit hingga meninggal dunia pada tahun 326 Hiriah. Acara ritual pemakaman jenazahnya dilakukan dengan sangat meriah. Ia dimakamkan di Baghdad, tepatnya di pasar Syurjah yang sekarang merupakan sebuah pusat perdagangan ramai di Baghdad.

4. Ali bin Muhammad As-Samurî

Ia menerima kemuliaan sebagai duta dan wakil Imam Mahdî as. dengan penentuannya sendiri secara langsung. Ia adalah dutanya yang terakhir dan telah melaksanakan tugasnya sebagai duta dengan penuh kejujuran dan ketulusan. Para perawi hadis mengatakan bahwa sebelum meninggal dunia, ia pernah menunjukkan sebuah surat yang telah ditandatangani oleh Imam Al-Muntazhar as. kepada para pengikut Syi'ah. Di antara isi surat itu-setelah basmalah-adalah berikut ini:
Hai Ali bin Muhammad As-Samurî, semoga Allah mengagungkan pahala saudara-saudaramu dengan kepergianmu. Kamu akan meninggal dunia dan sisa hari-harimu hanyalah enam hari. Oleh karena itu, bereskanlah seluruh urusanmu dan janganlah berwasiat kepada siapa pun untuk menggantikan posisimu setelah kamu meninggal dunia. Masa kegaiban yang total telah tiba dan tiada kemunculan (bagiku) kecuali dengan perintah dari Allah swt. Dan kemunculan itu akan terjadi setelah masa yang panjang berlalu, setelah hati-hati mengeras, dan setelah bumi dipenuhi oleh kelaliman. Akan datang kepada Syi'ahku orang yang mengaku berjumpa denganku. Ia adalah pembohong dan pembual. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi nan Maha Agung ....
Di dalam surat itu kita dapatkan bahwa ia menolak setiap orang yang mengaku pernah berjumpa dengan Imam Al-Muntazhar as. pada masa priode Ghaibah Kubra dan menegaskan bahwa ia adalah seorang pembohong dan pembual. Padahal, suatu hal yang pasti adalah beberapa orang mukmin yang saleh pernah berjumpa dengannya dan mendengarkan ucapannya.
Oleh karena itu, surat tersebut ditakwilkan dengan berbagai macam takwil, dan mungkin takwil yang paling jitu adalah, bahwa orang yang mengaku pernah berjumpa dengan Imam Al-Muntazhar as. sebagai duta dan wakilnya, seperti empat orang dutanya tersebut, adalah pembohong dan pembual. Mungkin takwil ini lebih mendekati kebenaran.
As-Samurî tertimpa penyakit dan menderita penyakit itu selama beberapa hari. Sebagian pengikut Syi'ah pernah menjenguknya seraya bertanya: "Siapakah washî-mu setelah kamu meninggal dunia?"
Ia menjawab: "Urusan itu hanya milik Allah dan Dia yang akan mengurusnya."
Ia meninggal dunia pada tanggal 15 Sya'ban 329 Hijriah.
d. Wilayah Para Fuqaha

Imam Al-Muntazhar as. telah menetapkan para fuqaha Syi'ah yang agung sebagai wali dan wakilnya seraya memerintahkan para pengikut Syi'ah untuk merujuk kepada mereka dan menyelesaikan seluruh problematika sosial politik sesuai dengan pandangan mereka. Di dalam surat yang telah ia kirim kepada Syaikh Mufid ra, ia menegaskan: "Berkenaan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi, rujuklah kaian kepada para perawi hadis kami, karena mereka adalah hujahku atas kamu dan aku sendiri adalah hujah Allah atas kalian."
Kami telah memaparkan pembahasan tentang hal ini di dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as.
Periode Ghaibah Kubra

Para fuqaha yang agung mendapatkan kemuliaan sebagai wakil Imam Al-Muntazhar as. (pada periode ini). Kepada merekalah para pengikut Syi'ah merujuk untuk menanyakan hukum-hukum syariat.
Layak disebutkan di sini bahwa Imam Al-Munatazhar as. pernah berjumpa dengan tokoh ulama dan orang-orang yang bertakwa. Di antara mereka adalah seorang 'alim agung dan tsiqah yang terpercaya, Syaikh Mufid ra. Imam Al-Mahdî as. pernah mengirimkan beberapa surat kepadanya, dan Syaikh Mufid pernah menerima tiga pucuk surat darinya. Kami telah menyebutkan sebagian surat itu dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as.
Pertanyaan dan Kritikan

Sejarah hidup Imam Al-Muntazhar as. menghadapi berbagai ragam pertanyaan dan kritikan. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Usia yang Panjang

Banyak sekali pertanyaan yang dilontarkan berkenaan dengan usia Imam Al-Muntazhar as. yang sangat panjang. Bagaimana mungkin ia hidup selama seribu seratus lima puluh tahun lebih, sedangkan ia tidak mengalami masa lansia yang merupakan sebuah realita natural kehidupan seorang manusia? Sel-sel tubuh manusia mengalami perkembangan dan penguatan secara bertahap, dan makin panjang usia yang dimilikinya, seluruh sel tubuhnya pasti akan mengalami dis-fungsional. Hal itu lantaran mikroba-mikroba yang selalu menyerangnya atau akibat racun yang merasuk ke dalam tubuhnya melalui makanan yang kotor atau faktor-faktor yang lain, suatu hal yang dapat menyebabkan ia harus meninggalkan dunia ini.

Jawaban atas pertanyaan ini adalah:

Pertama, manusia berusia panjang-secara logis-adalah suatu hal yang mungkin, dan tidak mustahil, seperti sekutu Tuhan atau premis "sesuatu adalah ganjil dan genap dalam waktu yang sama". Masalah ini adalah persis seperti masalah naik ke bulan atau ke planet yang lain. Hal ini adalah suatu yang mungkin secara logis dan sudah terealisasi setelah faktor-faktor alaminya tersedia bagi umat manusia. Dengan demikian, usia panjang bagi Imam Al-Muntazhar as. adalah sesuatu yang mungkin, baik secara praktik maupun teorik. Dan hal itu dengan kehendak Sang Pencipta Yang Maha Agung. Dengan kehendak-Nya, Allah dapat menjaga seluruh sel pembentuk tubuh seorang manusia dari pengaruh segala faktor eksternal yang dapat menyebabkan ketuaan dan kefanaannya. Lebih dari itu, Nabi Nuh as. hidup di tengah-tengah kaumnya mengajak kepada kalimat Tauhid selama sembilan ratus lima puluh tahun-sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur'an yang mulia. Dengan semua bukti ini, mengapa kita meyakini usia panjang yang dimiliki oleh Nabi Nuh as., sementara kita mengingkari usia panjang yang dimiliki oleh Imam Al-Muntazhar as., padahal keduanya sama-sama mendapatkan perintah untuk melakukan perombakan dan reformasi sosial?

Kedua, jika kita terima bahwa usia panjang bagi seseorang selama ratusan atau ribuan tahun-secara logis-tidak mungkin; lantaran hal ini bertentangan dengan undang-undang alamiah yang mengharuskan masa tua dan kefanaannya, hal itu tidak mungkin hanya untuk kita. Adapun berkenaan dengan Allah swt., hal itu adalah suatu hal yang sangat sederhana sekali. Dia telah menjadikan api-yang merupakan faktor pembakar-dingin dan membawa keselamatan bagi Syaikhul Anbiyâ' Ibrahim as. Begitu juga ia telah membelah lautan untuk Nabi Mûsâ dan kaumnya, lalu menyelamatkan mereka dari tenggelam, dan Dia menenggelamkan Fir'aun dan bala tentaranya.
Sesungguhnya jika kehendak Allah swt. telah tertuju kepada sesuatu, kehendak itu dapat merubahnya dari ketiadaan menjadi keberadaan.
2. Rahasia Usia Panjang

Terdapat satu pertanyaan lain yang biasa dilontarkan berkenaan dengan tema ini. Yaitu, apa rahasia di balik usia panjang yang telah dianugerahkan oleh Allah swt. kepada Imam Al-Muntazhar as.? Mengapa usianya tidak dibatasi seperti usia nenek moyang sucinya yang suci itu?

Jawab: Allah swt. memberikan tugas khusus kepada Imam Al-Muntazhar as. untuk memperbaiki dunia ini secara total dan menyerahkan kepadanya urusan penyelamatan masyarakat manusia dari seluruh jenis kesesatan kelam yang dapat memporak-porandakan kehidupan mereka dan menjerumuskannya ke dalam jurang kebodohan hidup yang sangat dalam. Dengan demikian, Imam Al-Muntazhar as. adalah seorang reformis tunggal untuk seluruh umat manusia yang hidup di atas bumi ini. Oleh karena itu, ia harus melihat periode-periode kelam (sejarah dunia) yang dialami dan disaksikan oleh umat manusia selama rentang kehidupan mereka sehingganya menjadi seorang penyelamat terakhir yang akan menebarkan cahaya kesejahteraan dan memenuhi bumi ini dengan suara keadilan.
3. Mengapa Tidak Muncul?

Di antara pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan berkenaan dengan masalah kegaiban Imam Al-Muntazhar as. adalah mengapa ia tidak kunjung muncul dan menegakkan hukum Allah swt. di muka bumi ini?
Jawab: kemunculan Imam Al-Mahdî as. tidak berhubungan dan tunduk terhadap keinginan umat manusia. Semua itu berada di tangan Sang Pencipta Yang Maha Agung. Allah swt. mengutus hamba dan rasul-Nya, Muhammad saw. setelah berlalu lima abad dari periode jahiliah. Dan hal itu terjadi setelah kondisi umum masyarakat mendukung demi perealisasian risalah-Nya. Begitu juga berkenaan dengan kemunculan Imam Mahdî as. Ia akan muncul kembali sesuai dengan ketentuan Allah swt., dan untuk itu Dia "harus" mempersiapkan kondisi yang mendukung di seluruh penjuru dunia sehingga Dia membangkitkannya kembali demi menegakkan keadilan yang murni di tengah-tengah para hamba-Nya.
4. Bagaimana Mungkin Ia Melakukan Perbaikan untuk Seluruh Dunia ini?

Di antara kritikan yang selalu dilontarkan berkenaan dengan tema Imam Al-Muntazhar as. adalah bagaimana mungkin ia melakukan perbaikan atas seluruh dunia ini dan merombak metode kehidupan yang telah dipenuhi oleh kezaliman menjadi sebuah kehidupan yang aman dan sejahtera tak satu pun bayangan kezaliman dan pemerasan serta tidak juga bayang-bayang kemiskinan menghantuinya?

Jawab: hal ini adalah suatu hal yang mungkin sekali. Karena, corak kehidupan dunia dan peristiwa-peristiwa besar yang dapat merubah metode kehidupan (umat manusia) hanya tergantung kepada tokoh-tokoh umat manusia (yang memiliki perang penting). Nabi mulia saw. adalah satu-satunya figur yang telah berhasil mengibarkan bendera Allah tinggi-tinggi, bukan paman-paman beliau. Kabilah-kabilah Quraisy, para singa Arab, dan pengikut ahlulkitab telah menentang beliau. Akan tetapi, dengan kemauan dan tekadnya, beliau mampu menundukkan mereka dan mengumandangkan suara Tauhid. Begitu juga Nabi Mûsâ as. Ia telah berhasil memprak-porandakan Fir'aun dan mengangkat kalimat Allah di muka bumi ini. Tidak berbeda juga dengan Nabi Isa as. dan para nabi dan rasul yang lain. Mereka telah melaksanakan peran mereka secara independen demi merealisasikan missi reformis mereka. Dengan itu semua, peran setiap individu nampak unggul dalam rangka melakukan sebuah reformasi sosial. Berbeda dengan pandangan Marxisme yang menafikan nilai dan peran individu, dan bahwa ia tidak memiliki pengaruh sama sekali dalam usaha merombak sebuah peristiwa (sejarah). Seluruh pengaruh dan peran hanya dimiliki oleh kelompok dan sosial.
Ala kulli hal, Imam Al-Muntazhar as-seperti kakeknya, Rasulullah agung saw.-akan melakukan perombakan atas metode kehidupan yang sudah tegak berdiri di atas pondasi kezaliman dan permusuhan. Dengan itu, ia akan menyelamatkan umat manusia dari seluruh malapetaka dan cobaan yang melilit mereka dan menebarkan keamanan, kesejahteraan, kecintaan, dan kebersamaan di tengah-tengah masyarakat manusia.
Dengan jawaban ini, kita telah usai menjawab sebagian pertanyaan (seputar Imam Al-Muntazhar as). Kami telah menyebutkan banyak pertanyaan beserta jawabannya dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as.
Tanda-tanda Kemunculan Imam Al-Muntazhar

1. Kezaliman Tersebar

Di antara tanda-tanda yang paling menonjol bagi kemunculan Imam Al-Muntazhar as. adalah kezaliman tersebar, keamanan musnah, dan kemiskinan merebak di mana kehidupan dipenuhi oleh segala macam peristiwa dan malapetaka, dan umat manusia hidup dengan segala kekhawatiran lantaran rasa takut dan ancaman yang selalu mereka hadapi. Kehidupan jahiliah-dengan seluruh bentuk kejahatan dan tindak-tindak kriminalnya-akan mendominasi kehidupan masyarakat, seluruh manusia berlomba-lomba untuk berbuat kemungkaran, dan Islam kembali asing seperti sedia kala; kekuatannya padam, seluruh kekuasaan dunia meluluh-lantakkan prinsip-prinsipnya, merampas seluruh kekayaannya, dan menjadikannya berada di bawah telapak kaki kekuasannya.
Marilah kita simak sebagian hadis berikut ini:

a. Abu Sa'îd Al-Khudrî meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Akan menimpa umatku di akhir zaman petaka besar yang tiada petaka lebih besar dari itu yang dilakukan oleh penguasa mereka sehingga bumi yang terhampar luas ini menjadi sempit bagi mereka dan sehingga bumi ini dipenuhi oleh kezaliman dan kelaliman. Seorang mukmin tidak akan menemukan tempat perlindungan untuk berlindung dari kezaliman itu. Setelah itu, Allah 'Azza Wajalla akan membangkitkan salah seorang dari 'Itrahku yang akan memenuhi bumi ini dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi oleh kezaliman. Seluruh penghuni langit dan bumi merasa rida terhadapnya. Bumi tidak menyimpan satu biji pun kecuali ia akan mengeluarkannya dan langit tidak juga menahan satu tetes air pun kecuali Allah akan mencurahkannya atas mereka dengan deras."
Hadis ini mengutarakan malapetaka dan bencana yang akan dialami oleh muslimin dari tangan para penguasa dan raja mereka yang selalu berbuat zalim terhadap mereka. Setelah itu, Allah swt. akan menyelamatkan mereka dengan perantara Imam Mahdî as. Dengan perantara imam ini, Allah memenuhi bumi ini dengan rahmat dan segala jenis kebaikan dan menghabisi seluruh dedengkot kelaliman itu.

b. 'Awf bin Mâlik meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Hai 'Awf, apa yang akan kamu lakukan jika umat ini berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan; satu golongan berada di surga dan selebihnya berada di dalam api neraka?"
'Awf bertanya: "Bagaimana hal itu bisa terjadi?"
Beliau menjawab dengan menceritakan malapetaka besar yang akan dialami oleh umat ini seraya bersabda: "(Hal itu terjadi) apabila bala tentara (kezaliman) bertambah banyak, para budak menjadi penguasa, orang-orang bodoh duduk di atas mimbar, harta Faiy' dijadikan sebagai harta warisan, harta zakat dijadikan harta rampasan dan amanat dijadikan kesempatan untuk mengeruk keuntungan, agama Allah dipelajari bukan karena Allah, seorang laki-laki menaati istrinya, seseorang berbuat durhaka kepada ibunya dan kurang ajar terhadap ayahnya, generasi terakhir umat ini melaknat generasi pertama, orang fasik menjadi penguasa kabilah, orang yang terhina menjadi pemimpin sebuah kaum, dan seseorang dihormati karena takut terhadap kejahatannya."
Selanjutnya beliau menambahkan: "Setelah itu, datanglah sebuah fitnah dahsyat yang kelam, kemudian fitnah-fitnah (yang lain) berdatangan silih berganti sehingga salah seorang dari Ahlul Baitku yang bernama Mahdî keluar."
Riwayat ini menceritakan kebejatan, kerusakan, dan penyelewengan muslimin dari prinsip-prinsip agung agama mereka yang akan menimpa dunia Islam. Dengan itu, kezaliman akan tersebar luas dan malapetaka akan mendominasi (kehidupan masyarakat). Setelah itu, Allah swt. akan menyelamatkan mereka dengan perantara wali-Nya yang agung, Imam Mahdî as. yang akan menghidupkan kembali agama ini dan menegakkan tonggak-tonggaknya.

c. Rasulullah saw. juga bersabda: "Mahdi umat ini berasal dari kami apabila dunia telah menjadi berantakan, fitnah-fitnah bermunculan, jalan-jalan (menuju kebenaran) terputus, dan sebagian manusia menyerang sebagian yang lain. Tiada orang besar yang mengasihi anak yang kecil dan tiada anak kecil yang menghormati orang yang besar. Kemudian, Allah mengutus Mahdî kami. Ia adalah anak kesembilan dari keturunan Husain as. Ia akan membebaskan benteng-benteng kesesatan dan membuka hati-hati yang terkunci. Ia akan menegakkan agama di akhir zaman sebagaimana aku telah menegakkannya di awal zaman. Ia akan memenuhi bumi ini dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi oleh kezaliman."
Hadis ini menegaskan fitnah, kegoncangan, dan tiadanya tolok ukur-tolok ukur yang benar yang akan mendominasi seluruh kehidupan umat manusia. Setelah itu, Allah swt. akan menyelamatkan umat manusia dengan perantara wali-Nya yang agung yang akan membangun sebuah kehidupan sejahtera yang didominasi oleh seluruh jenis kebaikan.
2. Kemunculan Dajjâl

Termasuk salah satu tanda kemunculan Imam Al-Muntazhar as. yang pasti adalah kemunculan Dajjâl di arena kehidupan ini dan usahanya untuk menyesatkan opini masyarakat umum. Di samping itu, orang-orang Yahudi juga akan bergabung dengannya.
Marilah kita simak hadis-hadis berikut ini:

a. Hisyâm bin '?mir berkata: "Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Tiada suatu hal yang lebih dahsyat dari sejak penciptaan Adam hingga hari kiamat terjadi daripada Dajjâl.'"
Arti hadis ini adalah, bahwa (kemunculan) Dajjâl termasuk salah satu peristiwa dunia yang sangat penting. Hal itu lantaran fitnah dan penumpahan darah yang akan terjadi setelah kemunculannya.

b. Anas bin Mâlik meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Tidak ada seorang nabi pun kecuali ia telah memberikan peringatan tentang masalah Dajjâl yang satu matanya buta dan pembohong. Ingatlah bahwa ia buta satu matanya, dan sesungguhnya Tuhan kamu sekalian tidak buta satu mata-Nya."
Para nabi as. telah mengingatkan kita akan fitnah Dajjâl yang selalu menipu umat manusia dan mencegah mereka dari kebenaran, serta menjerumuskan mereka ke dalam jurang kejahatan yang maha besar.
Ini adalah sebagian hadis berkenaan dengan Dajjâl yang buta satu matanya di mana ia adalah perusak sejarah umat manusia yang paling dahsyat. Kami telah menyebutkan kondisi dan karakternya di dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as.
3. Kemunculan Sufyânî

Salah satu tanda kemunculan Imam Al-Muntazhar as. yang pasti adalah kemunculan Sufyânî. Ia adalah salah satu tonggak kejahatan dan kerusakan di atas bumi ini. Silsilah keturunannya berakhir kepada Abu Sufyân, musuh besar Islam itu. Imam Amirul Mukminin as. telah menjelaskan karakter, fitnah, dan petakanya dalam sebuah hadis panjang dan terperinci yang telah kami sebutkan di dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as.
4. Bendera Berwarna Hitam Berkibar

Di antara tanda-tanda kemunculan Imam Al-Muntazhar as. yang pasti adalah pembentukan sebuah laskar Islam yang mengibarkan bendera-bendera berwarna hitam. Menurut perkiraan yang kuat, seluruh bendera itu dibuat dari kain yang berwarna hitam untuk menghaturkan belasungkawa kepada Sayidus Syuhada' as. Banyak sekali hadis yang menegaskan masalah ini. Di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Dengan sanad-nya, Hasan meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. menyebutkan malapetaka dan fitnah yang akan menimpa Ahlul Baitnya as. sehingga Allah mengangkat sebuah bendera berwarna hitam dari arah timur. Beliau bersabda: "Barang siapa menolongnya, niscaya Allah akan menolongnya dan barang siapa menghinakannya, niscaya Allah akan menghinakannya. (Hal itu terus berlanjut) sehingga mereka mendatangi salah seorang yang namanya adalah seperti namaku. Lalu, mereka menyerahkan urusan mereka kepadanya, kemudian Allah menguatkannya dan menolong mereka."

b. Tsawbân meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Jika kamu melihat bendera-bendera berwarna hitam berkibar dari arah Khurasan, maka datangilah, karena di sana terdapat Khalifah Allah Al-Mahdî."

c. Jâbir meriwayatkan bahwa Imam Abu Ja'far as. berkata: "Bendera-bendera yang keluar dari Khurasan akan sampai di Kufah. Jika Mahdî as. muncul di Mekah, bendera-bendera itu akan menuju kepadanya dengan membawa baiat."
Dan masih banyak lagi hadis-hadis yang menegaskan kemunculan bendera-bendera berwarna hitam dari arah Khurasan atau arah timur, dan hal ini adalah salah satu tanda kemunculan Imam Mahdî as.
5. Seruan dari Langit

Di antara tanda-tanda kemunculan Imam Mahdî as. yang pasti adalah seruan seorang malaikat dari langit yang memberitahukan kemunculannya dan mengajak seluruh umat manusia untuk membaiatnya, serta ia berbicara dengan setiap umat dengan bahasa mereka masing-masing.
Banyak hadis yang menegaskan hal ini. Di antaranya adalah hadis-hadis berikut ini:

a. Abdullah bin 'Imrân meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Mahdî akan muncul sedangkan ia memakai serban dan di atas kepalanya terdapat seorang malaikat yang berseru, 'Ini adalah Khalifah Allah Al-Mahdî. Maka, ikutilah dia.'"

b. Imam Ar-Ridhâ as. berkata: "Jika ia-yaitu Imam Al-Muntazhar as-muncul, bumi akan terang benderang dengan cahayanya dan timbangan keadilan akan dipampangkan di hadapan umat menusia. Tak ada satu orang pun yang akan menzalimi yang lain. Ia adalah orang yang bumi dihamparkan untuknya dan ia tidak memiliki bayangan. Ia adalah orang yang seorang penyeru dari langit berseru (untuknya) dan suaranya dapat didengar oleh seluruh penduduk seraya berkata, 'Ingatlah! Sesungguhnya hujah Allah telah muncul di samping Baitullah swt. Maka, ikutilah dia, karena kebenaran selalu bersamanya dan ada dalam dirinya. Ini adalah firman Allah yang berbunyi, 'Jika Kami kehendaki, niscaya Kami menurunkan kepada mereka sebuah tanda dari langit, maka senantias kuduk-kuduk mereka tunduk kepadanya.'" (QS. Asy-Syu'arâ' [26]:4)( )

c. Imam Amirul Mukminin Ali as. berkata: "Jika malaikat penyeru berseru dari langit bahwa kebenaran berada dalam keluarga Muhammad saw., maka pada saat itu Mahdî akan muncul kepada umat manusia. Mereka merasa sangat bahagia dengan itu, dan mereka tidak mengingat apapun selain dia."
Masih banyak lagi riwayat dan hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. dan para imam maksum as. yang memiliki kandungan yang sama. Seluruh hadis itu menegaskan bahwa salah satu tanda kemunculan Imam Al-Muntazhar as. adalah seruan malaikat dari langit. Dan sangat bisa dipastikan bahwa seruan itu ditujukan kepada seluruh umat manusia dengan menggunakan bahasa mereka masing-masing.
6. Al-Masih Turun dari Langit

Termasuk salah satu tanda kemunculan Imam Al-Muntazhar as. yang pasti adalah Nabi Isa as. turun dari langit ke bumi dan membaiatnya, serta mengerjakan salat di belakangnya. Jika umat Kristen melihat ini, mereka akan memeluk Islam.
Marilah kita simak hadis-hadis berikut ini:

a. Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya para khalifah dan washî-ku berjumlah dua belas orang. Yang pertama adalah saudaraku dan yang terakhir adalah anakku."
Salah seorang sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, siapakah saudara Anda itu?"
Beliau menjawab: "Ali bin Abi Thalib."
Salah seorang sahabat bertanya lagi: "Siapakah anak Anda itu?"
Beliau menjawab: "Mahdi yang akan memenuhi bumi dengan keadilan seperti telah dipenuhi oleh kezaliman. Demi Dzat yang telah mengutusku dengan membawa berita gembira kebenaran, seandainya tidak tersisa dari usia dunia ini kecuali satu hari, niscaya Allah akan memanjangkan hari itu sehingga anakku Mahdî muncul. Lalu, Isa bin Maryam turun (dari langit) dan mengerjakan salat di belakangnya, bumi terang benderang dengan cahaya Tuhannya, dan kerajaannya akan mencapai kawasan timur dan barat."

b. Rasulullah saw. bersabda: "Isa bin Maryam akan muncul ketika waktu Shubuh tiba ... Ia berkulit putih, berambut pirang kekuning-kuningan, dan rambutnya dibelah dua seakan-akan kepalanya kerkucuran minyak wangi. Ia akan memecahkan segala jenis salib, membunuh seluruh babi, membinasakah Dajjâl, membawa harta Imam as., dan seluruh pengikut ahlulkitab berjalan di belakangnya. Ia adalah mentri Al-Qâ'im yang terpercaya, penjaga, dan wakilnya. Ia akan membentangkan keamanan di kawasan timur dan barat."
Sangat banyak sekali hadis yang menegaskan bahwa Al-Masih as. akan turun dari langit, membaiat Imam Al-Muntazhar as., mengerjakan salat di belakangnya, dan melaksanakan peran yang sangat positif dalam rangka menolong dan mendukung beliau. Kami telah menyebutkan banyak contoh hadis dalam hal ini di dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as.
Ini adalah sebagian tanda-tanda pasti bagi kemunculan imam kebenaran dan suara keadilan insani. Dalam buku-buku referensi hadis yang lain juga telah disebutkan tanda-tanda kemunculan Imam Mahdî as. yang lain.
Masa Kemunculan

Kemunculan Imam Al-Muntazhar as. akan terjadi pada hari Sabtu, 10 Muharam. Hari ini adalah hari syahadah buah hati Rasulullah saw., Imam Husain as. Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh hadis-hadis berikut ini:

a. Abu Bashîr meriwayatkan bahwa Imam Ash-Shâdiq as. berkata: "Al-Qâ'im akan muncul pada hari Sabtu di hari Asyura. Yaitu, hari Al-Husain dibunuh."

b. Ali bin Mahziyâr meriwayatkan bahwa Imam Abu Ja'far Muhammad Al-Bâqir as. berkata: "Seakan-akan aku melihat Al-Qâ'im di hari Asyura pada hari Sabtu sedang berdiri di antara Rukun Ka'bah dan Maqam (Ibrahim). Di hadapannya berdiri Malaikat Jibril yang menyeru, 'Baiat hanya untuk Allah.' Lalu, ia akan memenuhi bumi ini dengan keadilan sebagaimana bumi itu telah dipenuhi oleh kezaliman."
Dan masih banyak lagi hadis lain yang menentukan dengan pasti masa dan tempat kemunculan Imam Mahdî as. Kami telah memaparkan banyak hal tentang sejarah Imam Al-Muntazhar as. ketika ia muncul dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as.
Dengan pemaparan singkat berkenaan dengan sejarah hidup para imam maksum pembawa petunjuk as. ini, pembahasan kita pun tuntas. Dan kami telah memaparkan sejarah kehidupan mereka-sebagai tongkat estafet kehidupan kakek mereka, Rasulullah saw.-secara tematis dan menyeluruh dalam ensklopedia Ahlul Bait as.
Catatan Kaki:

Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as., jilid 1, hal. 24.
Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as., hal. 24.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 13, hal. 3.
Ibid., hal. 10.
Al-Ghaibah, karya Syaikh Thusi, hal. 38.
Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as., hal. 26.
'Iqd Ad-Durar, hal. 53.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 13, hal. 10.
Yanâbî' Al-Mawaddah, hal. 460.
( ) Al-Ghaibah, karya An-Nu'mani, hal. 214.
( ) 'Iqd Ad-Durar, hal. 69.
( ) Ibid., hal. 109.
( ) Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as., hal. 39.
( ) Ibid.
( ) Bihâr Al-Anwâr, jilid 52, hal. 359.
( ) Al-Ghaibah, karya An-Nu'mani, hal. 234.
( ) Ibid., hal. 233.
Muntakhab Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 29; Yanâbî' Al-Mawaddah, hal. 431; Mashâbîh As-Sunah, jilid 3, hal. 493.
Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as., hal. 45.
Muqadimah Ibn Khaldûn, hal. 359.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 13, hal. 96.
Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as., hal. 124.
Ibid., hal. 126.
Muntakhab Al-Atsar, hal. 397.
Ibid.; Al-Ghaibah, karya Syaikh Thusi, hal. 386.
Muntakhab Al-Atsar, hal. 392.
Mu'jam Rijâl Al-Hadîts, ilid 13, hal. 186.
Al-Ghaibah, karya Syaikh Thusi, hal. 342.
Wasâ'il Asy-Syi'ah, kitab Al-Qadhâ', jilid 18, hal. 101.
'Iqd Ad-Durar, hal. 113.
Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 44. Hampir sama dengan hadis tersebut hadis yang terdapat di dalam Al-'Urf Al-Wardî, jilid 2, hal. 67.
Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as., hal. 251.
'Iqd Ad-Durar, hal. 324.
Ibid., hal. 323; Shahîh Al-Bukhârî, jilid 3, hal. 1214.
Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as., hal. 276.
Kanz Al-'Ummâl, jilid 7, hal. 182.
Al-'Urf Al-Wardî, jilid 2, hal. 68.
Ibid., jilid 2, hal. 11; Nûr Al-Abshâr, hal. 155; Yanâbî' Al-Mawaddah, hal. 447.
Farâ'id As-Simthain, jilid 2, hal. 337.
Al-Malâhim wa Al-Fitan, hal. 36.
Gâyah Al-Marâm, hal. 43; Farâ'id As-Simthain, jilid 2, hal. 312.
Ibid., hal. 697, menukil dari tafsir Ats-Tsa'labî.
( ) Kamâl Ad-Dîn, jilid 2, hal. 254.
( ) Al-Ghaibah, karya Syaikh Thusi, hal. 453.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar