Total Tayangan Halaman

Rabu, 22 Januari 2014

RIWAYAT HIDUP PARA IMAM SUCI AHLUL BAIT NABI SAW ( KE SATU )


Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
(keluarga RASULULLOH SAW )

PENGANTAR PENERBIT

Peninggalan berharga Ahlul Bait as. yang sampai sekarang tetap tersimpan rapi dalam khazanah mereka merupakan universitas lengkap yang mengajarkan berbagai cAbâng ilmu Islam. Universitas ini telah mampu mendidik jiwa-jiwa yang berpotensi untuk menguasai pengetahuan dari sumber tersebut. Mereka mempersembahkan kepada umat Islam ulama-ulama besar yang membawa risalah Ahlul Bait as., di mana mereka mampu menjawab secara ilmiah segala keraguan dan persoalan yang dikemukakan oleh berbagai mazhab dan aliran pemikiran, baik dari dalam maupun luar Islam.
Berangkat dari tugas-tugas yang diembannya, Majma' Jahani Ahlul Bait (Lembaga Internasional Ahlul Bait) berusaha membela kemuliaan risalah dan hakikatnya dari serangan tokoh-tokoh firqah (kelompok), mazhab, dan berbagai aliran yang memusuhi Islam. Dalam hal ini, kami berusaha mengikuti jejak Ahlul Bait as. dan penerus mereka yang sepanjang masa senantiasa tegar dalam menghadapi tantangan dan tetap kokoh di garis depan perlawanan.
Khazanah intelektual yang terdapat dalam buku-buku ulama Ahlul Bait as. tidak ada tandingannya. Karena buku-buku tersebut berpijak pada landasan ilmiah dan didukung oleh logika dan argumentasi yang kokoh, serta jauh dari pengaruh hawa nafsu dan fanatik buta. Karya-karya ilmiah yang dapat diterima oleh akal dan fitrah yang sehat tersebut juga mereka peruntukkan kepada para ulama dan pemikir.
Dengan berbagai pengalaman yang melimpah, Lembaga Internasional Ahlul Bait berupaya mengetengahkan metode baru kepada para pencari kebenaran melalui berbagai tulisan dan karya ilmiah yang disusun oleh para penulis kontemporer yang mengikuti dan mengamalkan ajaran mulia Ahlul Bait as. Di samping itu, Lembaga ini berupaya meneliti dan menyebarkan berbagai tulisan bermanfaat dari hasil karya ulama Syi'ah terdahulu. Tujuannya adalah agar kekayaan ilmiah ini menjadi sumber mata air bagi setiap pencari kebenaran di seluruh penjuru dunia. Perlu dicatat bahwa era kemajuan intelektual telah mencapai kematangannya dan relasi antar individu semakin terjalin demikian cepatnya. Sehingga pintu hati terbuka untuk menerima kebenaran ajaran Ahlul Bait as.
Akhirnya, kami mengharap kepada para pembaca yang mulia agar sudi kiranya menyampaikan berbagai pandangan berharga dan kritik konstruktifnya demi kemajuan Lembaga ini di masa mendatang. Kami juga mengajak kepada berbagai lembaga ilmiah, ulama, penulis, dan penerjemah untuk bekerja sama dengan kami dalam upaya menyebarluaskan ajaran dan budaya Islam yang murni.
Semoga Allah swt. berkenan menerima usaha sederhana ini dan melimpahkan taufik-Nya serta senantiasa menjaga Khalifah-Nya (Imam Al-Mahdi as.) di muka bumi ini.
Kami ucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Syaikh Baqir Syarif Al-Qurasyi yang telah berupaya menulis dan menyusun buku ini. Demikian juga, kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Ustadz Ahmad Marzuqi Amîn yang telah bekerja keras menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Indonesia. Tak lupa, kami sampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penerbitan buku ini.
Lembaga Internasional Ahlul Bait

Divisi Budaya

KATA PENGANTAR

Allah swt. telah memilih Ahlul Bait as. sebagai penjaga rahasia-Nya, gudang ilmu pengetahuan-Nya, pelita wahyu-Nya, dan petunjuk menuju jalan-Nya. Dia memelihara mereka dari kesalahan, menyucikan mereka dari segala kotoran, dan menghilangkan dari diri mereka segala bentuk kenistaan. Allah swt. berfirman: "Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan segala kenistaan darimu Ahlul Bait dan menyucikan kamu sesuci-sucinya." (QS. Al-Ahzâb [33]:33)
Al-Qur'an menekankan supaya umat manusia menaati, ber-wilâyah, dan mencintai Ahlul Bait as. Allah swt. berfirman: "Taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya dan ulil amri [para pemimpin] dari kalangan kamu." (QS. An-Nisâ' [4]:59)
Dalam ayat yang lain, Allah berfirman: "Katakanlah [hai Muhammad], 'Aku tidak meminta upah kepadamu atas dakwahku [ini] selain kecintaan kepada keluarga[ku]." (QS. Asy-Syûrâ [42]:23)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang mengIsya'ratkan tentang Ahlul Bait as. Lebih dari itu, Rasulullah saw. juga sangat menekankan hal ini dalam hadis-hadis yang mutawâtir. Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya kutinggalkan untukmu dua pusaka yang sangat berharga. Apabila kamu berpegang teguh pada keduanya, kamu tidak akan tersesat sepeninggalku nanti. Salah satunya adalah lebih agung dari yang lain. Yang pertama adalah kitab Allah sebagai tali yang menjulur dari langit ke bumi, dan yang kedua adalah 'Itrahku, Ahlul Baitku. Kedua pusaka ini tidak akan pernah berpisah hingga menjumpaiku di telaga surga. Maka perhatikanlah bagaimana kamu memperlakukan kedua pusaka itu sepeninggalku."
Itu semua karena mereka adalah hujah Allah atas para hamba-Nya, khalifah penutup para nabi, pembawa bendera Islam, dan gudang ilmu dan cahaya. Mereka adalah suri teladan yang baik dan figur yang benar dalam penghambaan mutlak kepada Allah swt., baik dari sisi ucapan maupun perilaku. Riwayat hidup mereka penuh berkah, sarat dengan nilai yang tinggi dan berharga, dan contoh yang luhur. Semua itu adalah sumber ilmu pengetahuan Islam dan manifestasi pengorbanan, semangat mengutamakan orang lain (îtsâr), kezuhudan, kerendahan hati, membantu fakir miskin dan kaum tertindas, dan lain sebagainya. Seluruh manifestasi akhlak dan budi perkerti yang mulia ini akan dipaparkan dalam buku ini.
Akhirnya, kami bersyukur dan menghaturkan puji kepada Allah swt. yang telah menganugerahkan taufik kepada kami sehingga kami dapat melakukan perujukan ulang kepada nas dan buku-buku referensi-referensi yang ada demi (penyempurnaan) buku tersebut. Tak lupa, kami sampaikan ribuan terima kasih kepada Yayasan Islam Penelitian dan Ilmu Pengetahuan (Al-Mu'assassah Al-Islamiyah li Al-Buhûts wa Al-Ma'lumât) yang telah bersedia menyebarkan harta peninggalan Ahlul Bait as. yang sangat berharga.
Segala puji bagi Allah swt., salawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan atas Nabi Muhammad saw. dan keluarganya yang mulia dan suci.
13 Muharram 1324 H.

Mahdi Baqir Al-Qurasyi

PROLOG

(1)


Salah satu esensi jiwa manusia adalah pengetahuan yang kuat dan mendalam terhadap keyakinan yang dimilikinya dalam menempuh kehidupan sehari-hari. Di bawah naungan keyakinan ini, ia merasa tenang menanti berbagai peristiwa mendatang yang belum ia ketahui, terutama setelah ia meninggal dunia. Dan pada waktu yang sama, ia akan berusaha memuaskan jiwanya yang haus untuk mengenal dan mengetahui jati diri Dzat yang telah menciptakannya dalam kehidupan dunia yang penuh teka-teki ini.
Perbedaan pandangan yang terjadi dalam dunia pemikiran tentang Pencipta Agung alam semesta ini telah merambak begitu jauh. Satu perbedaan pendapat yang sangat mustahil muncul secara spontanitas, spontanitas yang tak berperasaan dan tak berakal.
Sebagian orang meyakini bahwa pencipta alam semesta ini adalah matahari sebagai sumber energi dan kekuatan panas. Sebagian yang lain meyakini bahwa pencipta alam semesta ini adalah rembulan. Karena rembulan memiliki aneka ragam faedah dan keajaiban. Semua faedah dan keajaiban itu nampak ketika rembulan itu muncul membesar dan membulat sempurna, kemudian sirna dan menghilang. Sementara itu, sekelompok orang bodoh melakukan penyembahan terhadap patung dan berhala yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri. Mereka menjadikan patung dan berhala itu sebagai tuhan yang layak disembah selain Allah swt.
Pada era jahiliah, di sekitar tembok-tembok Ka'bah yang suci terdapat sebanyak 360 buah patung. Salah satunya bernama Hubal. Patung Hubal ini adalah tuhan Abu Sufyân, ayah Mu'âwiyah dan kakek Yazîd. Patung-patung yang lain adalah milik seluruh bangsa Qurais yang hidup di dalam dan di luar Mekah.
(2)


Para nabi yang agung diutus oleh Allah swt. kepada umat manusia sebagai hujah atas mereka. Para nabi ini telah berusaha meluruskan pemikiran dan membersihkan cara pandang mereka dari berbagai kotoran, penyimpangan jahiliah, dan keyakinan-keyakinan yang menyimpang. Di samping itu, para nabi agung ini juga mengajak umat manusia meraih kemerdekaan yang sempurna demi memerdekakan kehendak, tingkah laku, dan keyakinan.
Salah satu tujuan penting dari pengutusan para nabi itu adalah mengajak umat manusia menyembah dan mengesakan Allah swt. Karena Dia-lah pencipta alam semesta dan sumber kehidupan. Mengenal dan mengetahui-Nya adalah sumber segala kebaikan dan keselamatan di muka bumi ini. Selain itu, tugas penting mereka yang lain adalah membangun sebuah masyarakat yang bebas dan bersih dari aneka ragam khurafat, sebuah fenomena yang dapat menjerumuskan umat manusia ke dalam lembah kesesatan dan kehinaan.
Salah seorang reformer yang pernah muncul di dataran Arab adalah Syaikhul Anbiyâ', Ibrahim as. Ia telah berusaha keras untuk mengangkat dan meninggikan kalimat Allah di muka bumi ini. Ia telah melakukan perlawanan terhadap para propagandis kemusyrikan dan paham ateisme (anti Tuhan) dengan gigih. Ia juga memiliki peran aktif dalam menghancurkan berhala-berhala sesembahan kaumnya. Setelah berhala-berhala itu dihancurkan, umat Nabi Ibrahim as. murka dan menyimpan rasa dendam terhadapnya. Raja Namrud, sang tagut, menjatuhkan aneka ragam sanksi dan penyiksaan yang berat atasnya. Ia menyalakan api panas yang menggunung dan melemparkan Nabi Ibrahim as. ke tengah-tengah api yang sedang mengamuk itu dengan menggunakan manjanik. Tetapi Allah menjadikan api itu dingin dan sumber keselamatan bagi Nabi Ibrahim.
Demikianlah, nabi Allah ini telah berjuang dan berusaha keras demi menyebarkan kalimat Allah di muka bumi. Tujuannya adalah agar umat manusia terlepas bebas dari jerat-jerat penyembahan selain Allah, baik dari sisi pemikiran maupun perbuatan.
(3)


Mubalig terbesar dan juru penyelamat teragung, Nabi Muhammad saw., lahir dan muncul di atas medan tauhid dan pembebasan. Ia datang membawa pancaran sinar, dan kemudian menciptakan goncangan yang meruntuhkan sendi-sendi keyakinan khurafat jahiliah yang telah mendarah daging di dalam tubuh masyarakat. Pancaran cahaya Ilahi ini bermula dari kota Mekah, kota pusat patung dan berhala. Tidak ada satu kabilah pun melainkan mempunyai patung, dan tidak ada sebuah rumah pun melainkan memiliki berhala. Mereka menyembahnya selain Allah swt. Dengan tekad yang kokoh dan semangat membaja yang tidak dapat dihalangi oleh apapun, Muhammad saw. bekerja keras menyebarkan risalah tauhid dan membentuk bangunan penghambaan kepada Allah swt. Ia telah berhasil mengubah arah perjalanan sejarah dan menyelamatkan umat manusia dari kehinaan.
Patut disebutkan di sini bahwa sebagian besar surah dan ayat Al-Qur'an diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw. di kota Mekah. Ayat dan surah-surah tersebut didominasi oleh dalil dan argumentasi yang kuat nan kokoh atas keberadaan Pencipta Yang Maha Agung. Argumentasi yang tidak mungkin dapat diingkari oleh siapa pun, betapa pun ia bodoh dan memiliki taraf pemikiran yang rendah.
(4)


Akhirnya, Nabi Muhammad saw. terpaksa melakukan hijrah dari kota Mekah ke kota Yastrib (Madinah). Allah swt. menganugerahkan kepadanya kemenangan yang nyata, dan menundukkan serta menghinakan musuh-musuhnya, termasuk para tagut bangsa Quraisy dan pembesar-pembesar Arab. Di Yatsrib, Rasulullah saw. mendirikan sebuah negara yang agung berdaulat dan memberlakukan undang-undang yang luhur dan maju untuk masyarakat. Dengan undang-undang itu, ia telah berhasil menciptakan pondasi sebuah kultur dan kebudayaan yang sangat maju. Undang-undang tersebut berhasil menjamin seluruh hak masyarakat dengan adil dan mengatasi berbagai problema kehidupan sosial. Tidak ada satu dimensi kehidupan manusia pun melainkan termaktub di dalam undang-undang yang luhur tersebut. Bahkan sangsi menggores kulit seseorang sekalipun.
Syariat Islam mencakup aneka ragam hukum yang sejalan dengan tabiat alam. Syariat ini penuh dengan kebaikan dan keberkahan, serta sejalan dengan fitrah manusia. Undang-undang ini sedikit pun tidak menyimpang dari garis jalan hidup manusia.
Sepeninggal Nabi Muhammad saw., syariat dan undang-undang tersebut diemban oleh para khalifah dan washînya untuk disampaikan kepada umat manusia. Para khalifah dan washî ini adalah para imam pemberi petunjuk dan pelita Islam.
(5)


Satu hal penting yang mendapat perhatian Rasulullah saw. secara serius pada waktunya masih hidup adalah masalah kepemimpinan umat manusia sepeninggalnya, dan penentuan figur-figur yang berhak menggantikan posisinya. Semua itu agar seluruh nilai, prinsip, dan petunjuk yang telah ia bawa dapat disebarkan kepada seluruh lapisan umat manusia. Dari sejak permulaan missi dan dakwahnya, Nabi Muhammad saw. senantiasa menyertakan iman kepada missi Ilahi dengan keyakinan terhadap khalifah sepeninggal dirinya. Para ahli sejarah sepakat bahwa di antara keluarganya yang siap memenuhi seruan tersebut hanyalah Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Padahal, pada saat itu Amirul Mukminin masih berusia sangat muda. Rasulullah saw. mengangkat Amirul Mukminin as. sebagai washî dan khalifah sepeninggalnya. Rasulullah saw. senantiasa memperhatikan dan menilai keluarga dan para sahabatnya. Tetapi, ia tidak menemukan seorang pun di antara mereka yang bisa menandingi anak paman, saudara, dan ayah kedua cucunya itu, yaitu Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Hal ini karena Amirul Mukminin as. memiliki keimanan yang tinggi dan tulus kepada Allah swt. Lebih dari itu, ia kokoh dalam menjalankan agama dan memiliki potensi ilmiah yang sangat tinggi. Seluruh ilmu pengetahuan itu adalah hasil ajaran Rasulullah saw. Dengan ini, pantas jika Amirul Mukminin as. menjadi cermin kebenaran Rasulullah saw. Oleh karena itu, Rasulullah saw. menetapkan Amirul Mukminin as. sebagai pemimpin umat sepeninggalannya demi menegakkan syariat, memperbaiki kondisi hidup umat, dan membimbing mereka menuju jalan yang benar.
Rasulullah saw. telah menetapkan imâmah dan kepemimpinan Amirul Mukminin Ali as. dalam berbagai peristiwa dan kesempatan. Banyak sekali hadis yang menegaskan bahwa Rasulullah saw. mengangkat Ali as. sebagaimana anak didik. Dalam beberapa hadis yang lain juga disebutkan bahwa Ali as. memiliki kedudukan di sisi Rasulullah saw. seperti kedudukan Nabi Hârûn di sisi Nabi Mûsâ; Ali selalu bersama kebenaran dan kebenaran senantiasa bersama Ali; Ali adalah pintu kota ilmu Rasulullah saw. Kemudian, Rasulullah saw. mengokohkan kepemimpinan Ali dengan mengambil baiat dari umat Islam di Ghadir Khum. Pada peristiwa ini, Rasulullah saw. betul-betiul menobatkan Ali sebagai pemimpin seluruh muslimin. Rasulullah saw. mewajibkan setiap muslim dan muslimah untuk ber-wilâyah kepada Ali. Rasulullah saw. memerintahkan setiap orang yang ikut serta dalam kafilah haji yang akan kembali ke negeri mereka masing-masing itu untuk membaiat kepemimpinan dan kekhalifahan Ali. Bahkan, Rasulullah saw. juga memerintahkan istri-istrinya sendiri untuk berbaiat kepada Ali. Hari itu adalah hari yang sangat agung dan abadi bagi dunia Islam. Oleh karena itu, hari itu dinamakan "Hari Keimanan" dan "Hari Anugerah Besar".
(6)


Apabila kita merenungkan riwayat hidup para imam suci Ahlul Bait as., kita akan menemukan nilai yang luhur dan teladan yang agung di dalamnya. Sungguh mereka adalah mata air kenabian dan pusat wahyu.
Alhamdulillah, saya merasa bangga dan besar hati. Lantaran lebih dari empat puluh tahun saya telah mengadakan kajian dan penelitian tentang hadis-hadis Ahlul Bait as. Kemudian saya telah berhasil menyebarkan riwayat hidup dan sirah mereka di tengah-tengah kehidupan umat manuisa.
Allah swt. menjadi saksiku! Tak selembar pun dari kehidupan imam suci yang kubuka untuk kutulis melainkan kudapati cahaya petunjuk dan kemuliaan di dalamnya. Semua ini adalah refleksi seluruh aspek kehidupan mereka dan pancaran cahaya Ilahi yang dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang sesat dan bimbingan bagi orang-orang yang diterpa kebingungan.
Sirah dan riwayat hidup para imam suci as. terjauhkan dari kegemerlapan dunia, dan terhiasi oleh konsentrasi dan penghambaan kepada Allah swt. yang mutlak. Mereka menghabiskan malam-malam mereka dengan ibadah, mendekatkan diri kepada Allah swt., dan membaca kalam Ilahi. Sementara itu, para musuh mereka melalui malam-malamnya yang gemerlap dalam pangkuan wanita jalang sembari bermabuk-mabukan dan berbuat aneka ragam kemaksiatan.
Dalam sebuah syairnya, Abu Firâs pernah membandingkan kehidupan para raja dinasti Bani Abbâsiah dengan kehidupan dan keluarga Rasulullah saw. Ia berkata,
Al-Qur'an senatiasa menghias rumah keluarga suci Nabi.
Tapi, rumahmu, hai Bani Abbâs, didendang lagu dan kecapi.
Demikianlah, para imam suci Ahlul Bait as. menjadi tonggak ketakwaan dan teladan keimanan. Sementara musuh-musuh mereka menjadi lambang kebejatan dan pelecehan atas seluruh nilai etika dan kemanusiaa.
(7)


Dari sejak kemunculannya hingga hari ini, mazhab Syi'ah Imamiah mempunyai sebuah keyakinan yang sangat kokoh. Yaitu, para pemimpin dan imam yang suci itu adalah pemelihara Islam dan washî Rasulullah saw., sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur'an. Keyakinan mereka ini tidak terbangun tanpa alasan atau terbentuk atas dasar fanatisme dan taklid buta. Tetapi, keyakinan ini terbentuk atas dasar dalil-dalil dan argumentasi yang kokoh. Semua dalil dan argumentasi itu termaktub dalam Al-Qur'an dan hadis-hadis nabi yang sangat gamblang, sehingga tak seorang muslim pun berhak mengabaikannya. Lantaran hadis-hadis tersebut memiliki indikasi yang jelas dan maksud yang gamblang, serta mewajibkan seluruh muslimin untuk mencintai Ahlul Bait as. Salah satu dalil tersebut adalah firman Allah swt. yang berbunyi: "Katakanlah [hai Muhammad], 'Aku tidak meminta upah apapun atas tabligku selain kecintaan kepada keluargaku.'" (QS. Asy-Syûrâ [42]:23)
Ayat ini mewajibkan umat manusia untuk ber-wilâyah dan mencintai Ahlul Bait Rasulullah saw. Salah satu bentuk kecintaan yang paling nyata adalah mengikuti ajaran-ajaran mereka yang terjelma dalam syariat Islam.
(8)


Perlu ditegaskan di sini bahwa Ahlul Bait as. tidak memiliki metode khusus yang berbeda dengan metode kakek mereka, Rasulullah saw., dalam mensyariatkan ajaran Islam. Seluruh ajaran yang mereka sampaikan, baik yang berhubungan dengan masalah ibadah, transaksi, akad maupun îqâ'ât, bersumber dari Rasulullah saw., sebuah sumber yang penuh dengan hikmah dan cahaya yang gemilang. Pelopor fiqih Islam, Imam Ja'far Ash-Shâdiq as., menegaskan tentang hal ini. Ia menekankan bahwa seluruh hukum syariat Islam, ajaran akhlak yang mulia, sopan santun Islami, dan lain sebagainya, itu semua diterima dari Rasulullah saw. melalui perantara nenek moyangnya yang mulia. Oleh karena itu, hadis-hadis mereka mencerminkan mutiara Islam, berikut hakikatnya yang turun dari Allah swt. Dengan statemen ini, kami sama sekali tidak bermaksud menikam mazhab-mazhab Islam yang lain. Yang jelas, mazhab-mazhab ini juga memiliki jalur-jalur ilmiah yang dapat dijadikan sebagai sumber legitimasinya.
(9)


Seluruh ajaran Islam yang ditinggalkan oleh para imam Ahlul Bait as. yang suci telah dibangun atas dasar kebenaran yang murni dan keadilan yang suci. Karena itu, tidak terdapat kesalahan dan kekaburan di dalamnya.
Salah satu prinsip yang digunakan sebagai sandaran oleh para fuqaha Syi'ah adalah prinsip raf' Al-'usr wa Al-haraj. Prinsip ini menegaskan bahwa kesulitan (al-'usr wa Al-haraj) dapat menjadi legitimasi pembatalan sebuah hukum. Dalil-dalil prinsip ini dapat dimenangkan atas dalil-dalil primer (Al-Adillah Al-Awwaliyah), apabila pelaksanaan dalil-dalil primer tersebut menimbulkan kesulitan. Prinsip yang lain adalah prinsip raf' adh-dharar. Prinsip ini menegaskan bahwa kemudaratan (dharar) dapat menjadi legitimasi pembatalan sebuah hukum. Dan dalil-dalil prinsip ini juga dimenangkan atas dalil-dalil primer, apabila pelaksanaan dalil-dalil primer ini menimbulkan kemudaratan. Dari uraian ini dapat dipahami bahwa mazhab Ahlul Bait as-pada seluruh aspek syariatnya-sesuai dengan tabiat alam dan sejalan dengan perkembangan masa. Lebih dari itu, mazhab ini juga senapas dengan kemajuan yang dicita-citakan oleh umat manusia dalam meniti sebuah peradAbân.
(10)


Banyak sahabat Rasulullah saw. yang setia mengikuti mazhab Ahlul Bait as., seperti Ammar bin Yâsir, Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, dan mayoritas suku Aus dan Khazraj. Mereka membela dan menegakkan Islam dengan penuh kesungguhan dan keseriusan. Karena mereka meyakini bahwa Nabi Muhammad saw. telah menobatkan 'Itrah sebagai bahtera penyelamat, mandataris Al-Qur'an, dan pintu Hiththah (pengampunan). Lebih dari itu, penghulu mereka, Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as., senantiasa bersama kebenaran dan kebenaran juga senantiasa bersama beliau; kedudukannya di sisi Nabi Muhammad saw. seperti kedudukan Nabi Hârûn as. di sisi Nabi Mûsâ as. Dengan demikian, mazhab Ahlul Bait as. dikenal sebagai mazhab yang benar.
Al-Kumait, seorang penyair muslim, berkata,
Tiada bagiku selain Syi'ah keluarga Ahmad yang kuikuti,
dan tiada pula selain mazhab hak yang kutaati.
(11)


Seandainya politik jahat Mu'âwiyah dan Bani Abbâsiyah tidak pernah menguasai dunia Islam, niscaya mazhab Ahlul Bait as. diikuti oleh mayoritas muslimin. Karena mazhab ini adalah satu-satunya mazhab yang bersambung langsung dan bersumber dari Rasulullah saw. Tetapi, para khalifah dinasti Bani Umayyah dan Bani Abbâsiyah senantiasa memusuhi mazhab Ahlul Bait as. dengan tujuan untuk memusnahkannya. Karena menurut hemat mereka, Ahlul Bait yang suci as. itu adalah bahaya serius yang selalu mengancam kekuasaan dan pemerintahan yang ditegakkan atas dasar kezaliman dan kediktatoran itu. Oleh karena itu, para khalifah zalim itu mencurahkan seluruh perhatian dan sarana politik dan ekonominya untuk melawan Ahlul Bait as. dan pengikut setia mereka. Melihat realita ini, para imam Syi'ah terpaksa menekankan kepada para pengikutnya untuk melakukan taqiyah dan menyembunyikan mazhab mereka, karena takut pada ancaman dan permusuhan para khalifah yang senanitasa mengintai dan mengancam keselamatan mereka. Tidak sampai di sini saja. Para khalifah itu juga melecehkan hak-hak wajar mereka dan tidak menerima kesaksian mereka di mahkamah syar'î.
(12)


Pada masa kekuasaan dinasti Bani Umayyah dan Bani Abbâsiyah, para pengikut mazhab Syi'ah mengalami penyiksaan dan penganiayaan yang sangat berat. Sebagian dari mereka ada yang dipotong tangannya, sebagian yang lain dicongkel matanya, dan ada juga yang dibunuh hanya atas dasar dugaan dan tuduhan belaka.
Syaikh Thusi berkata: "Tidak ada satu golongan pun dari kaum muslimin yang mengalami tekanan, ancaman, dan siksaan seperti yang dialami oleh pengikut Ahlul Bait as. Hal itu tiada lain karena keyakinan mereka terhadap konsep imâmah dengan ketentuan bahwa seorang imam harus memiliki karakteristik mulia. Dan karakteristik ini sama sekali tidak dimiliki oleh para khalifah dan raja mereka yang telah berkuasa atas kaum muslimin dengan kekuatan pedang, bukan dengan semangat keadilan. Oleh karena itu, kaum muslimin menganggap para khalifah dan raja tersebut sebagai pencuri dan perampok. Dengan demikian, kaum muslimin mengadakan perlawanan bersenjata untuk menggulingan takhta kerajaan mereka. Syi'ah layak berbangga diri, karena mazhab ini telah dibangun di atas pondasi keadilan politik dan sosial. Ajaran Syi'ah menuntut supaya harta kekayaan negara dibagi-bagikan kepada kaum muslimin secara adil, bukan berdasarkan kehendak dan nafsu para penguasa. Atas dasar ini, para khalifah dinasti Bani Umayyah dan Bani Abbâsiyah memberantas kebangkitan para pengikut Ahlul Bait as. dengan segenap sarana dan prasarana yang mereka miliki untuk menekan, menyiksa, dan mengancam mereka dengan kekekerasan."
(13)


Mazhab Syi'ah senantiasa mendapat berbagai macam tuduhan dan fitnah murahan yang tidak berdasar sama sekali. Hal ini membuktikan betapa para penuduh itu sangat berpikiran dangkal. Salah satu tuduhan dan fitnah itu adalah, bahwa Syi'ah melakukan sujud kepada patung berupa Turbah Husainiyah atau tanah Karbala. Tuduhan ini telah kami jawab secara tematis dan mendetail dalam buku kami yang berjudul Sujud Di Atas Turbah Husainiyah Dalam Ajaran Syi'ah. Buku ini telah dicetak ulang beberapa kali, bahkan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan bahasa-bahasa dunia yang lain. Dalam buku ini kami jelaskan bahwa Syi'ah meyakini Turbah Husainiyah itu sebagai tanah yang suci, dan sujud di atasnya pada saat mengerjakan salat karena semata tetesan darah seorang putra Islam termulia dan cucu Rasulullah saw., Imam Husain as., yang telah gugur sebagai syahid di situ. Lebih dari itu, menurut beberapa riwayat, malaikat Jibril as. mengambil segenggam tanah dari sebuah lembah yang suci dan mulia. Lalu ia memberikannya kepada Rasulullah saw. sembari memberitahukan bahwa Imam Husain as. akan meneguk cawan syahadah di tempat itu. Mendengar berita ini, Rasulullah saw. menerima segenggam tanah pemberian Jibril as. itu seraya mencium dan mengecupnya. Dengan uraian ini, para pengikut Syi'ah Imamiah bersujud kepada Allah Yang Maha Kuasa di atas tanah yang pernah dicium oleh Rasulullah saw. Dan masih banyak lagi fitnah murahan lainnya yang dituduhkan kepada mazhab Syi'ah. Tuduhan-tuduhan semacam ini hanya dilontarkan oleh orang-orang yang tidak mempunyai dasar agama dan keislaman yang kokoh.
(14)


Kami telah menyusun riwayat hidup para imam suci Ahlul Bait as. dalam buku ini secara ringkas. Kami akui dengan terus terang, ini semua adalah sebuah usaha dakwah dan ajakan untuk tunduk kepada kebenaran dan realita sejarah. Melalui buku ringkas ini, kami berusaha mengajak seluruh umat manusia untuk mencintai dan mengikuti Ahlul Bait as. Seluruh kandungan buku ini bertujuan untuk menghimpun dan mempersatukan umat, bukan untuk memecah belah barisan mereka. Kami sedikit pun tidak bermaksud untuk menipu, apalagi menyesatkan. Kami telah merangkum seluruh isi buku ini dari ilham-ilham Al-Qur'an sebagai sumber utama dan dari hadis-hadis Rasulullah saw. sebagai tonggak dakwah. Kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk membersihkannya dari setiap dorongan hawa nafsu dan perasaan subyektif. Karena hal ini dapat merusak hakikat dan realita, serta menyembunyikan fakta sejarah.
(15)


Kami memiliki pengalaman dan aneka ragam riset dan penemuan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Berdasarkan pengalaman ini, kami tegaskan dengan jujur, tak seorang pun dapat menguak penemuan atau menggapai kemajuan yang telah dicapai oleh mazhab Syi'ah, baik dalam bidang hukum maupun politik. Alasannya, seorang pemimpin dan imam suatu umat harus memiliki kesempurnaan dan karakteristik mulia, serta sepenuhnya menguasai hukum dan prinsip-prinsip kepemimpinan. Lebih dari itu, secara kontinyu, serius, dan sungguh-sungguh, ia juga harus berusaha memajukan umatnya dalam segala bidang dan aspek kehidupan, baik ekonomi maupun pendidikan, serta menebarkan keamanan dan ketentraman di seluruh penjuru negeri. Dan jelas, seluruh persyaratan dan karakteristik ini tidak mungkin terpenuhi melainkan dalam diri para imam Ahlul Bait as. Hal ini lantaran mereka adalah pelita petunjuk yang tersucikan dari noda-noda kecintaan kepada materi dan tulus memegang tongkat estafet kebenaran. Contoh gamblangnya adalah kehidupan dunia Islam pada masa kekhalifahan Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. sebagai pemimpin tertinggi umat Islam kala itu.
Imam Ali bin Abi Thalib as. mendeklarasikan persamaan hak terhadap seluruh penduduk, baik mereka yang muslim maupun yang non-muslim. Ia membagi-bagikan harta Baitul Mal kepada mereka secara sama rata dan adil. Ia tidak pernah memberikan bagian lebih kepada keluarga dekatnya atau mengutamakan mereka atas orang lain. Peristiwa yang pernah terjadi pada saudaranya, Aqil dan pada kemenakan sekaligus menantu Aqil, Abdullah bin Ja'far, adalah sebuah contoh yang sangat nyata. Kedua orang ini adalah kerabat dekat Amirul Mukminin Ali as. Tapi, kekerabatan ini tidak mempengaruhi Amirul Mukminin as. untuk memberikan bagian lebih kepada mereka. Bahkan, ia sendiri sangat ketat dalam menggunakan harta Baitul Mal, sekalipun untuk keperluannya sendiri. Oleh karena itu, ia sangat berhati-hati dalam mengawasi dan mengurusi harta amanat tersebut.
Imam Ali as. telah mengajarkan aspek hukum ajaran Islam dalam bobot yang tinggi. Hal itunya tuangkan dalam surat-surat instruksi dan perjanjian yang dikirimkan kepada para gubernurnya. Dalam surat-surat tersebut, ia menorehkan aneka ragam ajaran dan prinsip. Ajaran dan prinsip yang dapat meninggikan harga diri umat Islam dan menjayakan mereka dalam seluruh aspek kehidupan, baik dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya. Surat-surat instruksi dan perjanjian ini harus dikaji dan dipelajari secara serius, dan dijadikan sebagai bagian dari ajaran mazhab Ahlul Bait as. Karena menurut pandangan mazhab Syi'ah, hal ini adalah tanggung jawab bagi setiap pemimpin umat.
(16)


Sebelum mengakhiri pengantar ini, kami ingin menyampaikan satu hal kepada pembaca budiman. Sebenarnya kami menulis pengantar ini untuk sebuah kajian tentang mazhab Ahlul Bait as. Dalam kajian ini, kami uraikan prinsip-prinsip pendidikan, etika, undang-undang, dan nilai-nilai luhur yang datang dari Ahlul Bait as. Tidak lupa juga kami mengadakan studi kritis atas tulisan-tulisan Ibn Khaldun, Ahmad Amîn Al-Mishrî, dan beberapa penulis yang lain. Mereka menulis tentang riwayat hidup para imam suci Ahlul Bait as. dan Syi'ah secara tidak jujur dan tanpa kajian yang mendalam. Mereka menulis semua itu atas dasar semangat fanatisme dan taklid buta. Hasilnya, mereka hanya melemparkan fitnah dan tuduhan murahan yang tidak memiliki realita terhadap Syi'ah.
Setelah memasuki pembahasan asli, kami menjadikan riwayat hidup Ahlul Bait as. sebagai satu kajian khusus. Tapi, setelah itu kami mengambil sebuah inisiatif, alangkah baiknya kalau kami menulis sebuah buku khusus tentang riwayat hidup mereka. Akhirnya, terwujudlah buku ini, dan kami memberinya judul Nafahât min Sîrah A'immah Ahlil Bait as. (Semerbak Wangi Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.). Dalam pengantar ini, pembaca yang budiman dapat melihat sebuah kajian ringkas tentang mazhab Ahlul Bait as. (secara global).
Sebagai penutup, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada yang mulia, Sayid Abdullah dan Sayid Hâsyim Al-Mûsâw.i yang telah banyak membantu kami menyusun dan menerbitkan buku ini. Semoga Allah swt. senantiasa menambah pahala dan membalas jerih payah mereka berdua. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Najaf Asyraf, 28 Rabî'ul Akhir 1421 H.

Baqir Syarif Al-Qurasyi

PARA IMAM SUCI AHLUL BAIT

Kini kita berada di haribaan Ahlul Bait as. Mereka adalah pelopor islah (perbaikan) dan keadilan sosial, dan pelita benderang menuju kesadaran dan perombakan ideologi di dunia Arab dan Islam. Mereka telah berhasil membangun pondasi kebebasan berpikir, berkehendak, dan berperilaku bagi umat manusia secara sempurna. Dengan itu, para imam Ahlul Bait as. telah berhasil menyelamatkan mereka dari penghambaan kepada selain Allah menuju penghambaan kepada Allah swt. secara murni.
Para Imam suci Ahlul Bait as. adalah kepanjangan tangan kenabian dan cahaya cemerlang yang memancar darinya. Mereka berasal dari sebuah pohon yang penuh berkah. Akar-akar pohon ini menghujam kokoh ke dalam tanah dan ranting-rantingnya menjulang tinggi ke langit. Pohon yang penuh berkah ini senantiasa menghasilkan buah pada setiap masa dengan izin Tuhannya.
Para imam Ahlul Bait as. adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan Rasulullah saw., seorang figur yang telah berhasil mengentas umat manusia dari kehidupan yang hina menuju kehidupan yang penuh dengan cahaya dan kesadaran. Marilah kita mulai pembahasan ini dengan memaparkan riwayat hidup penghulu para imam Ahlul Bait as., Imam Ali bin Abi Thalib as.
Catatan Kaki:

1. Sebuah kuburan ditemukan di sebuah daerah yang terletak di dekat 'Ain At-Tamr, Irak. Di tembok yang mengelilingi kuburan tersebut terpampang lukisan matahari, bulan, dan sebagian planet yang lain. hal. ini mengindikasikan adanya penyembahan terhadap benda-benda tersebut.
2. Silakan Anda rujuk surah Al-Anbiyâ', ayat 51-67.
1. Allah telah mengganti unsur api yang panas dan bersifat membakar itu menjadi dingin. Ini adalah sebuah penafsiran atas hakikat mukjizat yang Allah anugerahkan kepada para nabi-Nya.
1. Muqadimah Ibn Khaldûn, hal. 196-202

IMAM ALI BIN ABI THALIB

Imam Ali bin Abi Thalib as. adalah seorang figur dan pribadi agung di kalangan umat manusia. Ia dikenal dengan kedermawanan, kecerdasan, keadilan, kezuhudan, dan jihad. Dalam dunia Islam, tak seorang dari sahabat Rasulullah saw. yang dapat menandingi sebagian karakteristiknya ini, apalagi seluruh karakteristik tersebut. Karakteristik dan sikap-sikapnya mengungguli seluruh bangsa dunia, baik dari kalangan muslimin maupun selain muslimin. Mereka seluruhnya sepakat bahwa di sepanjang sejarah dunia Arab maupun non-Arab, tak ada seorang pun yang dapat menandinginya kecuali saudara dan putra pamannya, Nabi Muhammad saw.
Berikut ini akan kami paparkan sebagian dimensi kehidupan dan karakteristik Imam Ali bin Abi Thalib as. secara ringkas.
Putra Ka'bah

Sejarawan sepakat bahwa Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. lahir di dalam Ka'bah yang suci. Tak seorang pun di dunia ini yang lahir di dalam Ka'bah. Hal ini adalah pertanda keagungan dan ketinggian kedudukannya di sisi Allah swt. Sehubungan dengan itu, Abdul Bâqî Al-'Amrî, seorang penyair berkata,
Engkaulah sang agung dijunjung tinggi,
lebih agung darimu di kota Mekah tiada lagi,
engkau dilahirkan di Baitullah yang suci.
Saudara Rasulullah saw. dan pintu kota ilmunya ini lahir di dalam rumah Allah yang paling suci. Tujuannya, supaya Imam Ali as. dapat menerangi jalan penduduk sekitarnya, menegakkan bendera tauhid, dan menyucikan Baitullah itu dari setiap berhala dan patung. Pengayom orang-orang asing, saudara orang-orang fakir, dan tempat berlindung orang-orang yang ditimpa kesusahan ini lahir di dalam rumah yang agung dan suci. Tujuannya, supaya ia dapat menebarkan keamanan, ketentraman, dan kebahagiaan dalam kehidupan mereka, serta memusnahkan kemiskinan dari dunia mereka. Ayahnya, sang mukmin Quraisy dan singa padang pasir, menamainya Ali. Sebuah nama yang paling bagus dan indah. Sebuah nama yang tinggi dalam kedermawanan dan kejeniusan, dan tinggi pula dalam kekuatan dan potensi cemerlang di bidang ilmu pengetahuan, adab, dan keutamaan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Penegak keadilan Islam ini dilahirkan pada hari Jumat, 13 bulan Rajab 30 tahun setelah tahun Gajah dan 12 tahun sebelum pengangkatan Rasulullah saw. menadi nabi.
Gelar Imam Ali bin Abi Thalib

Imam Ali bin Abi Thalib as. memiliki banyak gelar. Semua itu merefleksikan ketinggian karakteristiknya. Di antara gelar-gelar itu adalah berikut ini:

1. Ash-Shiddîq (Orang yang Jujur)

Imam Ali bin Abi Thalib as. memiliki delar Ash-Shiddîq (orang yang jujur), karenanya adalah orang pertama yang membenarkan Rasulullah saw. dan yang beriman kepada seluruh ajaran yang dibawanya dari sisi Allah swt.
Imam Ali as. pernah berkata: "Aku adalah Ash-Shiddîq Al-Akbar (orang jujur yang teragung). Aku telah beriman sebelum Abu Bakar beriman dan aku masuk Islam sebelum ia masuk Islam."

2. Al-Washî (Penerima Wasiat)

Imam Ali as. juga memiliki gelar Al-Washî (penerima wasiat), karenanya adalah washî Rasulullah saw. Gelar ini diberikan langsung oleh Rasulullah saw. kepadanya. Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya washî-ku, tempat rahasiaku, orang yang terbaik dan terutama yang kutinggalkan setelahku, pelaksana janjiku, dan yang melunasi utang-utangku adalah Ali bin Abi Thalib as."

3. Al-Fârûq (Pembeda Hak dan Batil)

Imam Ali as. diberi gelar Al-Faruq, karena beliaulah pembeda antara yang hak dan yang batil. Gelar ini disimpulkan dari beberapa hadis Rasulullah saw. yang menekankan masalah ini.
Abu Dzar dan Salman Al-Farisi meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw. menggandeng tangan Ali seraya bersabda: "Sesunguhnya orang ini-yaitu Ali bin Abi Thalib-adalah orang pertama yang beriman kepadaku. Ia adalah orang pertama yang akan bersalaman denganku di Hari Kiamat nanti. Ia adalah Ash-Shiddîq Al-Akbar, dan ia adalah Al-Faruq umat ini yang membedakan antara yang hak dan yang batil."

4. Ya'sûbuddin (Tonggak Agama)

Secara etimologis, Al-ya'sûb berarti pemimpin lebah. Kemudian nama ini diberikan kepada seseorang yang menjadi pemimpin sebuah kaum. Ya'sûb adalah sebuah gelar yang diberikan oleh Rasulullah saw. kepada Imam Ali bin Abi Thalib as. Rasulullah saw. pernah bersabda: "Orang ini-sembari menunjuk Ali bin Abi Thalib-adalah tonggak dan pemimpin (ya'sûb) orang-orang yang beriman, sedang harta adalah tonggak dan pemimpin orang-orang yang zalim."

5. Amirul Mukminin (Pemimpin Orang-Orang Beriman)

Salah satu gelar Ali bin Abi Thalib as. yang terkenal adalah Amirul Mukminin. Gelar ini diberikan oleh Rasulullah saw. kepadanya.
Abu Nu'aim meriwayatkan sebuah hadis dari Anas bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Hai Anas, tuangkanlah air wudu untukku." Setelah berwudu, Rasulullah saw. mengerjakan salat dua rakaat. Setelah usai salat, ia bersabda: "Hai Anas, orang yang pertama kali masuk menjumpaimu melalui pintu ini adalah Amirul Mukminin, Sayidul Muslimin, pemimpin orang-orang yang putih bercahaya, dan penutup para washî."
Anas berkata: "Aku memanjatkan doa, 'Ya Allah, pilihlah ia dari salah seorang kaum Anshar.' Aku menyembunyikan keinginanku itu. Tidak lama berselang, datanglah Ali bin Abi Thalib as. Rasulullah saw. bertanya, 'Siapakah orang itu, hai Anas?' 'Ali bin Abi Thalib, ya Rasulullah', jawabku pendek. Mendengar jawAbânku itu, Rasulullah saw. segera bangkit untuk menyambut dan memeluk Ali bin Abi Thalib. Lantasnya mengusap seluruh keringat yang mengalir di wajahnya dan juga mengusap seluruh keringat yang mengucur di wajah Ali bin Abi Thalib. Ali as. bertanya (terheran-heran), 'Hai Rasulullah, kali ini aku melihat Anda melakukan suatu perbuatan terhadapku yang belum pernah kulihat sebelumnya?' Rasulullah saw. Menjawab, 'Apakah yang menghalangiku untuk melakukan itu? Engkau adalah orang yang akan memenuhi seluruh amanatku, menyampaikan seruanku kepada masyarakat, dan menjelaskan segala pertikaian yang mereka lakukan sepeninggalku.'"

6. Hujjatullah (Hujah Allah)

Salah satu gelar agung Ali bin Abi Thalib as. yang lain adalah Hujatullah (hujah Allah). Ia adalah hujah Allah swt. untuk seluruh umat manusia yang bertugas memberi petunjuk mereka ke jalan yang lurus. Gelar ini pun juga diberikan langsung oleh Rasulullah saw. kepadanya. Rasulullah bersabda: "Aku dan Ali adalah hujah Allah swt. untuk seluruh hamba-Nya."
Itu adalah sebagian gelar mulia yang dimiliki oleh Imam Ali bin Abi Thalib as. Kami telah menyebutkan enam gelarnya yang lain dalam kitab kami yang berjudul Mawsû'ah Al-Imam Amiril Mukminin (Ensiklopedia Imam Ali bin Abi Thalib as.), jilid 1. Dalam buku ini, kami juga memaparkan julukan dan karakteristiknya secara mendetail.
Perkembangan Hidup Imam Ali bin Abi Thalib

Pada masa kanak-kanak, Imam Ali bin Abi Thalib as. diasuh oleh ayahnya, Abu Thalib, sang singa padang pasir dan mukmin Quraisy itu. Sang ayah adalah seorang figur dalam setiap kemuliaan, keutamaan, dan keagungan. Di samping itu, Imam Ali as. juga mengenyam pendidikan dari Ibunda tercinta, Fathimah binti Asad. Pada masa hidupnya, Fathimah binti Asad adalah teladan kaum wanita dalam kehormatan, kesucian, dan keluhuran budi pekerti. Sang ibunda telah mendidik anaknya dengan akhlak yang mulia, adat istiadat yang terpuji, dan tata krama yang luhur.
a. Di Bawah Asuhan Rasulullah saw.

Nabi Muhammad saw. mengasuh Imam Ali as. darinya masih kanak-kanak. Ketika Abu Thalib, paman Rasulullah saw., tengah mengalami kesulitan ekonomi, Rasulullah pergi menjumpai dua pamannya yang lain, Hamzah dan Abbâs. Rasulullah saw. menjelaskan kondisi ekonomi Abu Thalib kepada kedua paman itu. Ia meminta agar mereka dapat membantu menanggung beban hidup yang sedang diderita oleh Abu Thalib. Kedua paman memenuhi permintaan Rasulullah. Abbâs mengambil Thalib dan Hamzah mengambil Ja'far. Sedangkan Rasulullah saw. sendiri mengambil Ali untuk diasuh. Sejak saat itu, Ali berada di bawah asuhan dan kasih sayang Rasulullah saw. Rasulullah saw. menanamkan dasar-dasar keyakinan, nilai-nilai yang luhur, dan suri teladan yang terpuji dalam jiwa Ali as. Dengan demikian, Ali as. telah mengenal Islam dengan baik dan beriman kepadanya dari sejak usia muda.
Ali as. adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah saw. Karena itu, ia memiliki akhlak yang dimiliki oleh Rasulullah saw. dan paling mengerti tentang risalah yang ia emban. Ali as. pernah menceritakan bagaimana Rasulullah merawat dirinya dan betapa dekat hubungannya dengannya. Ali as. berkata: "Sesungguhnya kamu telah mengetahui kedudukanku di sisi Rasululah. Aku memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dan kedudukan yang istimewa di sisinya. Ia meletakkanku di pangkuannya ketika aku masih kecil. Ia mendekapku ke dadanya, menidurkanku di tempat tidurnya, menempelkanku ke badannya, dan mencium keningku. Ia mengunyah makanan untukku kemudian menyuapkannya ke mulutku. Aku sama sekali tidak pernah mendapati ia berdusta dan melakukan kesalahan dalam tingkah lakunya. Aku senantiasa mengikutinya seperti seekor anak unta mengikuti induknya. Setiap hari, ia menunjukkan kepadaku akhlak-akhlaknya yang mulia dan menyuruhku untuk mengikutinya."
Betapa erat hubungan Rasulullah saw. dengan Imam Ali as. Nabi Muhammad saw. telah mengasuh Imam Ali as. dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, dan dengan pendidikan yang luhur.
b. Pembelaan Imam Ali Terhadap Rasulullah saw.

Ketika Rasulullah saw. menciptakan sebuah revolusi spektakuler yang memporak-porandakan dan menghancurkan kultur dan adat istiadat jahiliah, bangsa Quraisy bangkit untuk menentangnya. Mereka berusaha untuk memadamkan revolusi ini dengan berbagai sarana dan prasarana yang mereka miliki. Bahkan, mereka pun menggerakkan anak-anak kecil untuk melempari Rasulullah saw. dengan batu. Ketika itu, Imam Ali as-yang masih kanak-kanak-berada di sisi Rasulullah saw. Ia berusaha menjaga Rasulullah dari serangan mereka sembari menghalau mereka dengan pukulan dan tangkisan. Begitu anak-anak kecil itu melihat Imam Ali berada di sisi Rasulullah sedang membelanya, mereka kabur menjumpai ayah mereka dengan perasaan takut dan malu.
c. Ali, Pemeluk Islam Pertama

Para sejarawan dan perawi hadis sepakat bahwa Imam Ali as. adalah orang pertama yang beriman kepada Rasulullah saw. dan memenuhi panggilannya dengan suara lantang. Ali as. mendeklarasikan kepada masyarakat bahwa ia adalah orang pertama yang menyembah Allah swt. kala itu. Ia berkata: "Sungguh aku menyembah Allah swt. sebelum seorang pun dari umat ini menyembah Allah."
Para sejarawan dan perawi hadis juga sepakat bahwa Imam Ali sama sekali tidak pernah disentuh oleh kotoran jahiliah. Ia juga sama sekali tidak pernah sujud kepada berhala, sedangkan selainnya pernah sujud kepada berhala.
Al-Muqrizî berkata: "Ali bin Abi Thalib Al-Hâsyimî sama sekali tidak pernah menyekutukan Allah swt. Hal itu karena Allah swt. menghendaki kebaikan atasnya. Karena itu, Dia menentukan supaya Ali diasuh oleh putra pamannya, junjungan para nabi, Rasulullah saw."
Perlu ditegaskan di sini bahwa Ummul Mukminin Sayidah Khadijah memeluk Islam bersamaan dengan Imam Ali bin Abi Thalib as. menganut Islam. Ali as. bercerita tentang keimanan dirinya dan keimanan Khadijah kepada Islam seraya berkata, "Ketika itu, tidak ada satu rumah pun yang menghimpun penghuninya untuk memeluk Islam selain Rasulullah dan Khadijah, dan aku adalah orang yang ketiga."
Ibn Ishâq berkata: "Ali as. adalah orang pertama yang beriman kepada Allah swt. dan kepada Muhammad Rasulullah saw."
Ketika memeluk agama Islam, Ali as. masih berusia tujuh tahun. Menurut sebagian pendapat, ia sudah berusia sembilan tahun.
Dengan uraian ini jelas bahwa Imam Ali as. adalah orang pertama yang memeluk Islam, dan hal ini disepakati oleh kaum muslimin. Ini adalah sebuah kemuliaan dan kebanggaan tersendiri baginya.
d. Kecintaan Ali as. kepada Nabi Muhammad saw.

Imam Ali bin Abi Thalib as. sangat mencintai Rasulullah saw. Seseorang pernah bertanya kepada Ali as. tentang sejauh mana kecintaannya kepada Rasulullah saw. Ali as. menjawab: "Demi Allah, Rasulullah saw. adalah orang yang lebih kami cintai daripada harta, anak, dan ibu kami. Bahkan, daripada air yang sejuk kami miliki ketika kehausan."
Salah satu manifestasi kecintaan Imam Ali as. kepada Nabi Muhammad saw. adalah peristiwa berikit ini:
Pada suatu hari, Imam Ali as. memasuki sebuah kebun kurma. Pemilik kebun kurma berkata kepadanya: "Maukah kamu menyirami pohon-pohon kurma ini, dan untuk setiap satu ember air, kamu akan mendapatkan upah satu biji kurma?" Imam Ali as. bergegas menyirami pohon-pohon kurma itu. Pemilik pohon kurma memberikan upahnya, dan upah itu terkumpul sebanyak segenggam kurma. Lantas, Imam Ali as. bergegas menghadap Rasulullah saw. dan memberikan segenggam kurma itu kepadanya.
Bukti kecintaan Imam Ali as. kepada Rasulullah saw. yang lain adalah Imam Ali as. senantiasa berkhidmat dan berusaha untuk memenuhi seluruh hajat Rasulullah saw. Kami telah memaparkan sebagian bukti ini dalam buku kami yang berjudul Mawsû'ah Al-Imam Amiril Mukminin (Ensklopedia Imam Amirul Mukminin as.).
e. Yawm Ad-Dâr (Hari Pembelaan)

Imam Ali as. senantiasa mengikuti Rasulullah saw. hingga ia dewasa. Pada suatu hari, Rasulullah saw. mendeklarasikan dakwah Islam dan mendapat perintah dari Allah swt. untuk memyampaikan risalah Ilahi kepada sanak keluarganya. Rasulullah saw. memanggil Ali as. dan menyuruhnya untuk mengundang mereka. Di antara para undangan itu terdapat paman-pamannya. Yaitu Abu Thalib, Hamzah, Abbâs, dan Abu Lahab. Ketika mereka telah hadir dan berkumpul, Ali as. menyajikan hidangan. Para undangan menikmati hidangan, dan hidangan itu tak sedikit pun berkurang. Setelah usai menikmati hidangan, Rasulullah saw. bangkit dan mengajak mereka untuk memeluk agama Islam dan meninggalkan penyembahan berhala. Ucapan Rasulullah diputus oleh Abu Lahab. Ia berkata kepada hadirin: "Sesungguhnya kamu semua telah disihir oleh Muhammad."
Pertemuan ini berakhir tanpa membuahkan suatu hasil apapun. Pada hari berikutnya, Rasulullah saw. mengadakan pertemuan untuk yang kedua kalinya. Ketika para undangan telah hadir dan berkumpul, mereka menikmati hidangan yang disuguhkan. Setelah usai menikmati hidangan itu, Rasulullah saw. berdiri untuk menyampaikan pidato. Ia berkata: "Hai Bani Abdul Muthalib, demi Allah, sungguh aku belum pernah mengenal seorang pemuda Arab yang datang kepada kaumnya dengan membawa missi yang lebih baik daripada missi yang telah kubawa untuk kamu semua. Aku datang membawa kebaikan dunia dan akhirat untukmu. Allah swt. telah memerintahkan kepadaku untuk mengajakmu menggapai kebaikan itu. Siapakah di antara kamu yang siap membantuku atas urusan ini dan ia akan menjadi saudara, washî, dan khalifahku untuk kamu semua?"
Para hadirin diam seribu bahasa seolah-olah di atas kepala mereka terdapat seekor burung. Imam Ali as. bergegas memberikan jawAbân, sekalipun usianya pada saat itu masih sangat muda. Ia berkata dengan penuh semangat: "Aku, wahai nabi Allah. Aku siap menjadi pembelamu."
Lantas Rasulullah saw. memegang pundak Ali seraya berkata kepada hadirin: "Sesungguhnya orang ini adalah saudara, washî, dan khalifahku untuk kamu semua. Karena itu, dengarkan dan taatilah segala perintahnya."
Mendengar ucapan itu, seluruh hadirin serentak berteriak sembari mengejek Abu Thalib seraya berkata: "Muhammad telah menyuruhmu untuk mendengar dan menaati anakmu."
Para perawi hadis sepakat atas kesahihan peristiwa ini. Peristiwa ini adalah dalil yang gamblang atas kepemimpinan (imâmah) Imam Ali bin Abi Thalib as. Hadis Rasulullah saw. dalam peristiwa ini menegaskan bahwa Imam Ali as. adalah wazir dan pembantu, washî dan khalifah Rasulullah saw. Kami telah memaparkan penjelasan hadis ini secara mendetail dalam buku kami yang berjudul Mawsû'ah Al-Imam Amiril Mukminin (Ensklopedia Imam Amirul Mukminin as.), jilid 1.
f. Di Syi'ib (Lembah) Abu Thalib

Bangsa Quraisy yang kafir sepakat untuk memboikot Nabi Muhammad saw. di Syi'ib Abu Thalib. Mereka memaksanya untuk tinggal di sana agar tidak dapat melakukan interaksi dengan masyarakat. Tujuannya, agarnya tidak memiliki kesempatan untuk merubah keyakinan dan membersihkan otak masyarakat Arab dari kotoran jahiliah. Untuk melancarkan permusuhan terhadap Bani Hâsyim, bangsa Quraisy telah mengambil beberapa keputusan berikut ini:

a. Tidak menikahkan anak-anak perempuan mereka dengan laki-laki yang berasal dari kalangan Bani Hâsyim.
b. Orang laki-laki dari kalangan mereka tidak boleh menikah dengan wanita yang berasal dari kalangan Bani Hâsyim.
c. Mereka tidak boleh melakukan transaksi jual beli dengan Bani Hâsyim.

Bangsa Quraisy menggantungkan surat keputusan tersebut di tembok Ka'bah.

Rasulullah saw. terpaksa tinggal di Syi'ib Abu Thalib dengan disertai orang-orang mukmin dari kalangan Bani Hâsyim, termasuk di antaranya adalah Imam Ali as. Mereka mengalami berbagai tekanan dan siksaan di Syi'ib tersebut. Ummul Mukminin Khadijah senantiasa memberikan bantuan yang mereka butuhkan, hingga harta kekayaannya yang melimpah habis. Rasulullah saw. tinggal di Syi'ib Abu Thalib bersama para pengikut setianya selama dua tahun lebih. Akhirnya, Allah swt. mengutus rayap untuk melahap surat keputusan yang telah digantung di tembok Ka'bah itu. Rasulullah saw. memberitahukan peristiwa ini kepada Abu Thalib. Mendengar informasi itu, Abu Thalib bergegas menjumpai orang-orang kafir Quraisy dan memberitahukan peristiwa tersebut. Mereka tersentak kaget dan segera pergi untuk melihat surat keputusan itu. Ternyata peristiwa itu benar sesuai informasi yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Akhirnya, masyarakat menuntut agar Rasulullah saw. berserta para pengikutnya dibebaskan dari pemboikotan itu. Bangsa kafir Quraisy pun terpaksa memenuhinya. Dengan kondisi fisik yang sangat lemah, Rasulullah saw. dan para pengikutnya keluar dari tempat pemboikotan itu.
Setelah bebas dari pemboikotan ini, Rasulullah saw. mulai mengajak umat manusia kepada tauhid dan menyingkirkan seluruh tradisi jahiliah. Di jalan ini, ia tidak merasa gentar sedikit pun terhadap ancaman dan kesepakatan orang-orang kafir Quraisy untuk menghabisi dirinya. Hal ini karenanya mendapat perlindungan dari pamannya, Abu Thalib, Imam Ali as., dan putra-putra Abu Thalib yang lain. Abu Thalib dan keluarganya adalah benteng dan tempat berlindung Rasulullah saw. yang kokoh. Bahkan, Abu Thalib senantiasa mendorong Rasulullah saw. untuk meneruskan perjuangannya menyebarkan risalah Islam. Dalam sebuah syair yang indah, Abu Thalib berkata kepada beliau:
Pergilah, anakku, dan sedikit pun jangan gusar, pergilah dengan gembira dan senang hati.
Demi Allah, mereka tak akan berani menyentuhmu, hingga aku terkubur dalam tanah nanti.
Kau mengajakku dan kutahu engkau penasihatku, kau benar dan sebelum itu engkaulah sang Amîn.
Aku tahu bahwa agama Muhammad adalah sebaik-baik agama, untuk manusia di dunia ini.
Laksanakanlah urusanmu dan sedikit pun jangan gusar, bergembira dan senang hatilah atas hal ini.
Syair ini mengungkapkan kedalaman imam Abu Thalib. Ia adalah pengayom Islam dan pejuang muslim pertama. Sungguh celaka orang yang berpendapat bahwa ia bukan muslim dan berada dalam siksa neraka. Padahal jelas bahwa putranya adalah pembagi (qâsim) surga dan nereka. Abu Thalib adalah tonggak akidah Islam. Seandainya bukan karena sikap dan pembelaannya yang sangat berani, niscaya Islam tidak berwujud lagi, melainkan namanya saja, dan orang-orang kafir Quraisy sudah dapat memberangus Islam sejak awal kemunculannya.
g. Bermalam di Atas Ranjang Nabi saw.

Salah satu kemuliaan Imam Ali as. yang paling menonjol adalah pengorbanannya untuk Nabi Muhammad saw. dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri. Di dunia Islam, Imam Ali as. adalah orang pertama yang mempertaruhkan jiwanya (demi kepentingan dakwah Islam). Saat itu orang-orang kafir Quraisy bertekad untuk membunuh dan mencabik-cabik tubuh Rasulullah saw. dengan tombak dan pedang. Di tengah malam yang gulita, mereka mengepung rumah Rasulullah saw. dengan tombak dan pedang yang terhunus. Rasulullah saw. telah mengetahui makar mereka sebelumnya. Untuk itunya memanggil putra pamannya dan memberitahu tentang rencana jahat bangsa Quraisy. Ia menyuruh Ali untuk tidur di atas ranjangnya. Ali as. menggunakan selimut berwarna hijau yang biasa dipakai Rasulullah saw. agar mereka menduga bahwa yang sedang tidur di atas ranjang itu adalah Rasulullah saw. Dengan senang hati, Ali as. menerima dan mematuhi perintah Rasulullah yang belum pernah terbersit di benaknya itu. Hal itu karena ia akan menjadi tebusan jiwa Rasulullah saw. Sementara itu, Rasulullah saw. keluar tanpa sepengetahuan para pengepung sedikit pun. Ia melemparkan segenggam debu ke wajah mereka yang keji sembari berkata: "Terhinalah wajah mereka itu." Setelah berkata demikian, ia membaca ayat Al-Qur'an yang berbunyi: "Dan Kami jadikan di hadapan dan di belakang mereka dinding, kemudian Kami tutupi mereka sehingga mereka tidak dapat melihat." (QS. Yâsîn [36]:9)
Tindakan Ali as. bermalam di tempat tidur Rasulullah saw. ini adalah sebuah jihad dan perjuangan cemerlang yang tidak ada tandingannya. Sehubungan dengan ini Allah swt. menurunkan ayat Al-Qur'an yang berbunyi: "Di antara manusia ada yang menjual jiwanya demi meraih keridaan Allah." (QS. Al-Baqarah [2]:207)
Peristiwa ini adalah babak penting dalam dakwah Islam yang belum pernah dilakukan oleh seorang muslim pun.
Seorang penyair besar dan tenar, Syaikh Hâsyim Al-Ka'bî pernah melantunkan beberapa bait syair yang ditujukan kepada Imam Ali as. Ia berkata:
Sungguh pembelaanmu terhadap Ahmad tak mungkin terlukis dengan kata.
Engkau tidur malam di ranjangnya sementara musuh mengintai dan mengancam.
Engkau tidur dengan hati yang tenang seakan asyik mendengar kicauan burung.
Engkau bak gunung kokoh dan penunggang kuda pemberani, telah kau lengkapi malamnya dengan tegar.
Menjelang pagi mereka menyerang bendera hidayah, mereka tak tahu bendera hidayah terjaga.
Imam Ali as. tidak tidur malam sembari berdoa kepada Allah swt. demi keselamatan saudaranya dari bencana yang dahsyat dan kejahatan para musuh. Ketika cahaya pagi muncul, mereka segera menyerang tempat tidur Rasulullah saw. sambil menghunuskan pedang. Ali as. segera bangkit dari tidurnya bak harimau yang geram dengan menggenggam pedang terhunus. Melihat Ali as., mereka gemetar ketakutan seraya berteriak: "Mana Muhammad?" Ali as. menjawab dengan suara lantang: "Kamu telah menjadikanku penjaganya."
Akhirnya, mereka mundur dengan penuh rasa malu dan kekesalan. Rasulullah saw. yang lahir untuk membebaskan mereka dan membangun kemuliaan yang agung itu telah terlepas dari incaran kejahatan mereka. Bangsa Quraisy betul-betul menaruh kedengkian yang dalam terhadap Ali as. Mereka memandangnya dengan mata yang tajam, tetapi Ali as. tidak menggubris dan berjalan di hadapan mereka dengan tenang sambil menghina dan mengejek mereka.
h. Hijrah ke Yatsrib

Ketika Rasulullah saw. berangkat meninggalkan kota Mekah menuju kota Madinah, Ali as. menyampaikan semua amanatnya saw. kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan membayar seluruh utangnya, seperti diperintahkan oleh Nabi saw. Tidak lama kemudian, Ali as. menyusul saudara dan putra pamannya berhijrah ke Madinah. Bersama Ali as. turut serta beberapa orang wanita mulia yang bernama Fathimah. Di tengah perjalanan, ia dihadang oleh tujuh orang kafir Quraisy. Ali mengadakan perlawanan terhadap mereka dengan penuh keberanian. Ketika ia berhasil membunuh salah seorang dari mereka, tak ayal lagi para penghadang yang masih hidup itu lari tunggang langgang. Ali as. melanjutkan perjalanan bersama rombongannya, sementara kalbunya dipenuhi oleh rasa rindu kepada Rasulullah saw. Setibanya di Madinah, ia berjumpa dengan Rasulullah saw. Menurut sebuah riwayat, ia berjumpa Rasulullah saw. di kota Quba sebelum memasuki kota Madinah. Nabi saw. sangat gembira dengan kedatangan saudara dan pembela setianya di setiap kesulitan dan peristiwa itu.
Ali as. dalam Kaca Mata Al-Qur'an

Tidak sedikit ayat-ayat Al-Qur'an yang menegaskan keutamaan Amirul Mukminin Ali as. dan memperkenalkannya sebagai peribadi Islami yang tinggi dan mulia setelah Rasulullah saw. Ini menunjukkan bahwa ia mendapat perhatian yang tinggi di sisi Allah swt. Banyak sekali buku-buku literatur Islam yang menegaskan bahwa terdapat tiga ratus ayat Al-Qur'an yang turun berkenaan dengan keutamaan dan ketinggian pribadi Iman Ali as.
Perlu ditegaskan di sini bahwa jumlah ayat yang sangat banyak seperti itu tidak pernah turun berkenaan dengan seorang tokoh Islam manapun.
Ayat-ayat tersebut dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori berikut ini:
Kategori pertama: Ayat yang turun khusus berkenaan dengan Imam Ali secara pribadi.
Kategori kedua: Ayat yang turun berkenaan dengan Imam Ali as. dan keluarganya.
Kategori ketiga: Ayat yang turun berkenaan dengan Imam Ali dan para sahabat pilihan Rasulullah saw.
Kategori keempat: Ayat yang turun berkenaan dengan Imam Ali as. dan mengecam orang-orang yang memusuhinya.
Berikut ini adalah sebagian dari ayat-ayat tersebut.
a. Kategori Ayat Pertama

Ayat-ayat yang turun menjelaskan keutamaan, ketinggian, dan keagungan pribadi Imam Ali as. adalah sebagai berikut:

1. Allah swt. berfirman: "Sesungguhnya engkau hanyalah seorang pemberi peringatan . Dan bagi setiap kaum ada orang yang memberi petunjuk." (QS. Ar-Ra'd [13]:7)
Ath-Thabarî meriwayatkan sebuah hadis dengan sanad dari Ibn Abas. Ibn Abbâs berkata: "Ketika ayat ini turun, nabi saw. meletakkan tangannya di atas dadanya seraya bersabda, 'Aku adalah pemberi peringatan. Dan bagi setiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.' Lalunya memegang pundak Ali as. sembari bersabda: 'Engkau adalah pemberi petunjuk itu. Dengan perantara tanganmu, banyak orang yang akan mendapat petunjuk setelahku nanti.'"

2. Allah swt. berfirman:.".. dan (peringatan itu) diperhatikan oleh telinga yang mendengar." (QS. Al-Hâqqah [69]:12)
Dalam menafsirkan ayat tersebut, Amirul Mukminin Ali as. berkata: "Rasulullah saw. berkata kepadaku, 'Hai Ali, aku memohon kepada Tuhanku agar menjadikan telingamu yang menerima peringatan.' Lantaran itu, aku tidak pernah lupa apa saja yang pernah kudengar dari Rasulullah saw."

3. Allah swt. berfirman: "Orang-orang yang menginfakkan hartanya pada malam dan siang hari, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut bagi mereka dan mereka tidak pula bersedih hati." (QS. Al-Baqarah [2]:274)
Pada saat itu, Imam Ali as. hanya memiliki empat dirham. Satu dirham ia infakkan di malam hari, satu dirham ia infakkan di siang hari, satu dirham ia infakkan secara rahasia, dan satu dirham sisanya ia infakkan secara terang-terangan. Rasulullah saw. bertanya kepadanya: "Apakah yang menyebabkan kamu berbuat demikian?" Ali as. menjawab: "Aku ingin memperoleh apa yang dijanjikan Allah kepadaku." Kemudian ayat tersebut turun.

4. Allah swt. berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, mereka itu adalah sebaik-sebaik makhluk." (QS. Al-Bayyinah [98]:7)
Ibn 'Asâkir meriwayatkan sebuah hadis dengan sanad dari Jâbir bin Abdillah. Jâbir bin Abdillah berkata: "Ketika kami bersama nabi saw., tiba-tiba Ali as. datang. Seketika itu itu Rasulullah saw. bersabda, 'Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya Ali as. dan Syi'ah (para pengikut)nya adalah orang-orang yang beruntung pada Hari Kiamat.' Kemudian turunlah ayat itu. Sejak saat itu, setiap kali Ali as. datang, para sahabat Nabi saw. mengatakan, 'Telah datang sebaik-baik makhluk.'"

5. Allah swt. berfirman:.".. maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan [Ahl Adz-Dzikr] jika kamu tidak mengetahui." (QS. An-Nahl [16]:43)
Ath-Thabarî meriwayatkan sebuah hadis dengan sanad dari Jâbir Al-Ju'fî. Jâbir Al-Ju'fî berkata: "Ketika ayat ini turun, Ali as. berkata: "Kami adalah Ahl Adz-Dzikr."

6.Allah swt. berfirman: "Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika hal itu tidak engkau lakukan, maka berarti engkau tidak menyampaikan risalahmu. Sesungguhnya Allah menjagamu dari kejahatan manusia." (QS. Al-Mâ'idah [5]: 67)
Ayat ini turun kepada Rasulullah saw. Ketika ia berada di Ghadir Khum dalam perjalanan pulang dari haji Wadâ'. Rasulullah saw. diperintahkan oleh Allah untuk mengangkat Ali as. sebagai khalifah sepeninggalnya. Nabi saw. melaksanakan perintah tersebut. Ia menobatkan Ali as. sebagai khalifah dan pemimpin bagi umat sepeninggalnya. Rasulullah saw. mengumandangkan sabda yang masyhur di hadapan khalayak: "Barang siapa yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali as. adalah pemimpinnya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya, musuhilah orang yang memusuhinya, tolonglah orang yang menolongnya, dan hinakanlah orang yang menghinakannya."
Setelah itu, Umar bangkit dan berkata kepada Ali as.: "Selamat, hai Ali bin Abi Thalib, engkau telah menjadi pemimpinku dan pemimpin setiap mukmin dan mukminah."

7. Allah swt. berfirman: "Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu dan telah Aku lengkapi nikmat-Ku atasmu dan Aku pun rela Islam sebagai agamamu." (QS. Al-Mâ'idah [5]: 3)
Ayat yang mulia ini turun pada tanggal 18 Dzulhijjah setelah nabi saw. mengangkat Ali as. sebagai khalifah sepeninggalnya. Setelah ayat tersebut turun, nabi saw. bersabda: "Allah Maha Besar lantaran penyempurnaan agama, pelengkapan nikmat, dan keridaan Tuhan dengan risalahku dan wilâyah Ali bin Abi Thalib as."

8. Allah swt. berfirman: "Sesungguhnya pemimpinmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman yang mendirikan salat dan mengeluarkan zakat ketika sedang rukuk." (QS. Al-Mâ'idah [5]: 55)
Seorang sahabat nabi terkemuka, Abu Dzar berkata: "Aku mengerjakan salat Zhuhur bersama Rasulullah saw. Tiba-tiba datang seorang pengemis ke masjid, dan tak seorang pun yang memberikan sedekah kepadanya. Pengemis tersebut mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdoa, 'Ya Allah, saksikanlah bahwa aku meminta di masjid Rasul saw., tetapi tak seorang pun yang memberikan sesuatu kepadaku.' Pada saat itu Ali as. sedang mengerjakan rukuk. Kemudian ia memberikan Isya'rat kepadanya dengan kelingking kanan yang sedang memakai cincin. Pengemis itu datang menghampirinya dan segera mengambil cincin tersebut di hadapan Nabi saw. Lalunya saw. berdoa, 'Ya Allah, sesungguhnya saudaraku, Mûsâ as. memohon kepadamu sembari berkata, 'Wahai Tuhanku, lapangkanlah untukku hatiku, mudahkanlah urusanku, dan bukalah ikatan lisanku agar mereka dapat memahami ucapanku. Dan jadikanlah untukku seorang wazîr dari keluargaku; yaitu saudaraku, Hârûn. Kokohkanlah aku dengannya dan sertakanlah dia dalam urusanku.' (QS. Thaha [20]:25-32) Ketika itu Engkau turunkan ayat yang berbunyi, 'Kami akan kokohkan kekuatanmu dengan saudaramu dan Kami jadikan engkau berdua sebagai pemimpin.' (QS. Al-Qashash [28]:35) Ya Allah, aku ini adalah Muhammad nabi dan pilihan-Mu. Maka lapangkanlah hatiku, mudahkanlah urusanku, dan jadikanlah untukku seorang wazîr dari keluargaku, yaitu Ali. Dan kokohkanlah punggungku dengannya.'"
Abu Dzar melanjutkan: "Demi Allah, Jibril turun kepadanya sebelumnya sempat menyelesaikan doanya itu. Jibril berkata, 'Hai Muhammad, bacalah, 'Sesungguhnya walimu adalah Allah, Rasul-Nya dan ....'"
Ayat ini membatasi wilâyah universal (Al-Wilâyah Al-'?mmah) hanya untuk Allah swt., Rasul-Nya yang mulia, dan Ali as. Ayat ini menggunakan bentuk jamak lantaran untuk mengagungkan kemuliaan Imam Ali as. dan menghormati kedudukannya. Di samping itu, ayat ini berbentuk jumlah ismiyyah dan menggunakan kata pembatas (hashr) 'innamâ' (yang berarti hanya). Dengan demikian, ayat ini telah mengukuhkan wilâyah tersebut untuk Imam Ali as.
Seorang penyair tersohor, Hassân bin Tsâbit, telah menyusun sebuah bait syair sehubungan dengan turunnya ayat tersebut. Ia berkata:
Siapakah gerangan yang ketika rukuk menyedekahkan cincin,
sementara ia merahasiakannya untuk dirinya sendiri.
b. Kategori Ayat Kedua

Al-Qur'an Al-Karim dihiasi dengan banyak ayat yang turun berkenaan dengan Ahlul Bait as. Ayat-ayat ini secara otomatis juga ditujukan kepada junjungan mereka, Amirul Mukminin Ali as. Berikut ini sebagian dari ayat-ayat tersebut:

1. Allah swt. berfirman: "Katakanlah, 'Aku tidak meminta kepadamu upah apapun atas dakwahku itu selain mencintai Al-Qurbâ. Dan barang siapa yang mengerjakan kebajikan akan Kami tambahkan kepadanya kebajikan itu. Sesungguhnya Allah Maha Penghampun lagi Maha Mensyukuri.'" (QS. Asy-Syûrâ [42]:23)
Mayoritas ahli tafsir dan perawi hadis berpendapat bahwa maksud dari "Al-Qurbâ" yang telah diwajibkan oleh Allah swt. kepada segenap hamba-Nya untuk mencintai mereka adalah Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain as., dan maksud dari "iqtirâf Al-hasanah" (mengerjakan kebaikan) dalam ayat ini ialah mencintai dan menjadikan mereka sebagai pemimpin. Berikut ini beberapa riwayat yang menegaskan hal ini.
Dalam sebuah riwayat, Ibn Abas berkata: "Ketika ayat ini turun, para sahabat bertanya, 'Ya Rasulallah, siapakah sanak kerabatmu yang kami telah diwajibkan untuk mencintai mereka?' Rasulullah saw. menjawab, 'Mereka adalah Ali, Fathimah, dan kedua putranya.'"
Dalam sebuah hadis, Jâbir bin Abdillah berkata: "Seorang Arab Badui pernah datang menjumpai Nabi saw. seraya berkata, 'Jelaskan kepadaku tentang Islam.' Rasulullah saw. menjawab, 'Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan Muhammad itu adalah hamba dan rasul-Nya.' Arab Badui itu segera menimpali, 'Apakah engkau meminta upah dariku?' Rasul menjawab: "Tidak, selain mencintai Al-Qurbâ'. Orang Arab Badui itu bertanya lagi, 'Keluargaku ataukah keluargamu?' Nabi saw. menjawab, 'Tentu keluargaku.' Kemudian orang Arab Badui itu berkata lagi: "Jika begitu, aku membaiatmu bahwa barang siapa yang tidak mencintaimu dan tidak juga mencintai keluargamu, maka Allah akan mengutuknya.' Nabi segera menimpali, 'Amîn.'"

2. Allah swt. berfirman: "Barang siapa yang menghujatmu tentang hal itu setelah jelas datang kepadanya pengetahuan, maka katakanlah, 'Mari kami panggil putra-putra kami dan putra-putra kamu, putri-putri kami dan putri-putri kamu, dan diri kami dan diri kamu, kemudain kita ber-mubâhalah agar kita jadikan kutukan Allah atas orang-orang yang dusta.'" (QS. Ali 'Imrân [3]:61)
Para ahli tafsir dan perawi hadis sepakat bahwa ayat yang mulia ini turun berkenaan dengan Ahlul Bait Nabi saw. Ayat tersebut menggunakan kata abnâ' (anak-anak) dan maksudnya adalah Hasan dan Husain as., kedua cucu Nabi yang dirahmati dan kedua imam pemberi hidayah. Ungkapkan kata an-nisâ' (wanita) mengindikasikan Sayidah Az-Zahrâ' as., penghulu seluruh wanita dunia dan akhirat. Dan tentang pemuka dan junjungan Ahlul Bait, Imam Amirul Mukminin as., diungkapkan dengan kata anfusanâ (diri kami).

3. Allah swt. berfirman: "Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum menjadi sesuatu yang dapat disebut ...." (QS. Ad-Dahr [76])
Mayoritas ahli tafsir dan para perawi hadis berpendapat bahwa surat ini diturunkan untuk Ahlul Bait nabi saw.

4. Allah swt. berfirman: "Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan segala kotoran hanya dari kamu, hai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya." (QS. Al-Ahzâb [33]:33)
Para ahli tafsir dan perawi hadis sepakat bahwa ayat yang penuh berkah ini turun berkenaan dengan lima orang penghuni Kisâ'. Mereka adalah Rasulullah saw.; junjungan para makhluk, Ali as.; jiwa dan dirinya, Sayyidah Fathimah; buah hatinya yang suci dan penghulu para wanita di dunia dan akhirat yang Allah rida dengan keridaannya dan murka dengan kemurkaannya, dan Hasan dan Husain as.; kedua permata hatinya dan penghulu para pemuda ahli surga. Tak seorang pun dari keluarga Rasulullah saw. yang lain dan tidak pula para pemuka sahabatnya yang ikut serta dalam keutamaan ini. Hal ini dikuatkan oleh beberapa hadis berikut ini:
Pertama, Ummul Mukminin Ummu Salamah berkata: "Ayat ini turun di rumahku. Pada saat itu ada Fathimah, Hasan, Husain, dan Ali as. di rumahku. Kemudian Rasulullah saw. menutupi mereka dengan Kisâ' (kain panjang dan lebar), seraya berdoa: "Ya Allah, mereka adalah Ahlul Baitku. Hilangkanlah dari mereka segala kotoran dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.'" Ia mengulang-ulang doa tersebut dan Ummu Salamah mendengar dan melihatnya. Lantas dia berkata: "Apakah aku masuk bersama Anda, ya Rasulullah?" Lalu dia mengangkat Kisâ' tersebut untuk masuk bersama mereka. Tetapinya menarik Kisâ' itu sembari bersabda: "Sesungguhnya engkau berada dalam kebaikan."
Kedua, dalam sebuah riwayat Ibn Abbâs berkata: "Aku menyaksikan Rasulullah saw. setiap hari mendatangi pintu rumah Ali bin Abi Thalib as. setiap kali masuk waktu salat selama tujuh bulan berturut-turut. Ia mendatangi pintu rumah itu sebanyak lima kali dalam sehari sembari berkata, 'Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh, hai Ahlul Bait. Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan segala kotoran hanya dari kamu, hai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Mari kita kerjakan salat,semoga Allah merahmati kalian."
Ketiga, dalam sebuah riwayat Abu Barazah berkata: "Aku mengerjakan salat bersama Rasulullah saw. selama tujuh bulan. Setiap kali keluar dari rumah, ia mendatangi pintu rumah Fathimah as. seraya bersabda, 'Salam sejahtera atas kalian. Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan segala kotoran hanya dari kamu, hai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.'"
Sesungguhnya tindakan-tindakan Rasulullah saw. ini merupakan sebuah pemberitahuan kepada umat dan seruan kepada mereka untuk mengikuti Ahlul Bait as. Lantaran Ahlul Bait as. adalah pembimbing bagi mereka untuk meniti jalan kemajuan di kehidupan duniawi maupun ukhrawi.
c. Kategori Ayat Ketiga

Terdapat beberapa ayat yang turun berkenaan dengan Amirul Mukminin Ali as. dan juga berkenaan dengan para sahabat Nabi pilihan dan terkemuka. Berikut ini ayat-ayat tersebut:

1. Allah swt. berfirman: "Dan di atas Al-A'râf tersebut ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka." (QS. Al-A'raf [7]:46)
Ibn Abbâs berkata: "Al-A'râf adalah sebuah tempat yang tinggi dari Shirât. Di atas tempat itu terdapat Abbâs, Hamzah, Ali bin Abi Thalib as., dan Ja'far pemilik dua sayap. Mereka mengenal para pecinta mereka dengan wajah mereka bersinar dan juga mengenal para musuh mereka dengan wajah mereka yang hitam pekat."

2. Allah swt. berfirman: "Di antara orang-orang yang beriman itu ada orang-orang yang menepati apa telah yang mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada [pula] yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah janjinya." (QS. Al-Ahzâb [33]:23)
Ali as. pernah ditanya tentang ayat ini, sementara ia sedang berada di atas mimbar. Dia berkata: "Ya Allah, aku mohon ampunanmu. Ayat ini turun berkenaan denganku, pamanku Hamzah, dan pamanku 'Ubaidah bin Hârist. Adapun 'Ubaidah, ia telah gugur sebagai syahid di medan Badar dan Hamzah juga telah gugur di medan perang Uhud. Sementara aku masih menunggu orang paling celaka yang akan mengucurkan darahku dari sini sampai ke sini-sembari ia menunjuk jenggot dan kepalanya."
d. Kategori Ayat Keempat

Berikut ini kami paparkan beberapa ayat yang turun memuji Imam Ali as. dan mengecam para musuhnya yang senantiasa berusaha untuk menghapus segala keutamaannya.

1. Allah swt. berfirman: "Apakah kamu menyamakan pekerjaan memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram dengan (amal) orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim." (QS. At-Taubah [9]:19)
Ayat ini turun berkenaan dengan Imam Ali as., Abbâs, dan Thalhah bin Syaibah ketika mereka saling menunjukkan keutamaan masing-masing. Thalhah berkata: "Aku adalah pengurus Ka'bah. Kunci dan urusan tabirnya berada di tanganku." Abbâs berkata: "Aku adalah pemberi minum orang-orang yang beribadah haji." Ali as. berkata: "Aku tidak tahu kalian ini berkata apa? Sungguh aku telah mengerjakan salat menghadap ke arah Kiblat selama enam bulan sebelum ada seorang pun yang mengerjakan salat dan akulah orang yang selalu berjihad." Kemudian turunlah ayat tersebut.

2. Allah swt. berfirman: "Maka apakah orang yang telah beriman seperti orang yang fasik? Tentu tidak sama." (QS. As-Sajdah [32]:18)
Ayat ini turun memuji Imam Ali as. dan mengecam Walîd bin 'Uqbah bin Abi Mu'îth. Walîd berbangga diri di hadapan Ali as. seraya berkata: "Lisanku lebih fasih daripada lisanmu, gigiku lebih tajan daripada gigimu, dan aku juga lebih pandai menulis." Ali as. berkata: "Diamlah. Sesungguhnya engkau adalah orang fasik". Kemudian turunlah ayat tersebut.

Ali as. dalam Kaca Mata Sunah

Buku-buku literatur hadis, baik Shihâh maupun Sunan, dipenuhi oleh hadis-hadis Nabi saw. yang bagaikan bintang-gumintang gemilang menegaskan keutamaan pelopor keadilan Islam, Imam Ali as., dan mengangkatnya tinggi di tengah-tengah masyarakat Islam.
Setiap orang yang mau merenungkan hadis-hadis yang masyhur dan telah tersebar di kalangan para perawi hadis itu pasti memahami tujuan utama Nabi saw. di balik hadis-hadis tersebut. yaitu ia ingin mengangkat Ali as. sebagai khalifah sepeninggalnya sehingga ia menjadi penerus tongkat estafet kenabian dan tempat rujukan umat yang bertugas menegakkan tonggak kehidupan mereka, memperbaiki kondisi mereka, dan menuntun mereka menapak jalan kehidupannya sehingga umat Islam menjadi pelopor bagi bangsa-bangsa dunia yang lain.
Bila kita mencermati hadis-hadis Nabi saw. mengenai keutamaan Imam Ali as. itu, niscaya kita temukan sekelompok hadis dikhususkan untuk dia secara khusus dan sekelompok hadis yang lain dikhususkan untuk Ahlul Bait Nabi as., yang secara otomatis kelompok hadis kedua ini juga meliputi Imam Ali as. Hal itu lantaran ia adalah junjungan 'Itrah.

Berikut ini kami nukilkan beberapa hadis tersebut.
1. Kelompok Hadis Pertama

Hadis-hadis kelompok ini memuat berbagai macam bentuk pemuliaan dan pengagungan terhadap Imam Ali as. dan penegasan atas keutamaannya. Hadis-hadis tersebut adalah berikut ini:

a. Kedudukan Ali as. di Sisi Nabi saw.

Amirul Mukminin Ali as. adalah satu-satunya orang yang paling dekat dengan Rasulullah saw. Ali as. adalah ayah untuk kedua cucunya dan pintu kota ilmunya. Nabi saw. sangat menghormati dan mencintai Ali as. Beberapa hadis Nabi saw. menegaskan betapa kecintaannya saw. kepada Ali as. sangat besar. Mari kita simak bersama beberapa hadis berikut ini.

Ali as., Diri Nabi saw.

Ayat Mubâhalah menegaskan kepada kita bahwa Imam Ali as. adalah diri dan jiwa Nabi saw. Kami telah memaparkan hal ini pada pembahasan yang lalu. Nabi saw. sendiri telah menjelaskan dalam berbagai hadis bahwa Ali as. adalah diri dan jiwanya.
Pada suatu hari, Walîd bin 'Uqbah memberikan informasi kepda Nabi saw. bahwa Bani Walî'ah telah murtad dari Islam. Mendengar informasi tersebut, Nabi saw. sangat murka seraya bersabda: "Apakah Bani Walî'ah menghentikan perbuatan mereka itu atau aku akan utus kepada mereka seorang laki-laki yang merupakan diri dan jiwaku; ia akan memerangi mereka dan menyandera kaum wanita mereka. Laki-laki itu adalah orang ini." Setelah bersabda demikian, Nabi saw. menepuk pundak Imam Ali as.
Dalam sebuah hadis, 'Amr bin 'Ash berkata: "Ketika aku kembali dari perang Dzâtus Salâsil, aku mengira bahwa tidak seorang pun yang lebih dicintai oleh Rasulullah saw. daripada aku. Aku bertanya kepadanya, 'Ya Rasulallah, siapakah yang paling Anda cintai?' Rasulullah saw. menyebutkan nama beberapa orang. Aku bertanya lagi, 'Ya Rasulallah, di manakah Ali?' Nabi saw. menoleh kepada para sahabat seraya bersabda, 'Sesungguhnya ia bertanya kepadaku tentang jiwaku.'"

Ali as., Saudara Nabi saw.

Nabi saw. pernah mengumumkan di hadapan para sahabat bahwa Ali as. adalah saudaranya. Masalah ini telah direkam oleh banyak hadis. Antara lain ialah:
At-Turmudzî meriwayatkan dengan sanad dari Ibn Umar. Ibn Umar berkata: "Rasulullah saw. telah mempersaudarakan para sahabatnya. Kemudain datanglah Ali as. dengan air mata yang berlinang seraya berkata, 'Ya Rasulallah, engkau telah mempersaudarakan para sahabatmu. Tetapi mengapa Anda tidak mempersaudarakanku dengan siapa pun?' Rasulullah saw. bersabda, 'Engkau adalah saudaraku di dunia dan di akhirat.'"
Nabi saw. mempersaudarakan Ali dengan dirinya bukan hanya di dunia ini saja. Tetapi persaudaraan antaranya Imam Ali as. ini berlanjut hingga hari akhirat yang tak berbatas.
Anas bin Malik berkata: "Rasulullah saw. naik ke atas mimbar. Setelah usai berpidato, ia bertanya, 'Di manakah Ali bin Abi Thalib?' Ali as. segera bangkit dan berkata: "Aku di sini, ya Rasulullah.' Tak lama kemudian Nabi saw. memeluk Ali as. dan mencium keningnya seraya bersabda dengan suara yang lantang: "Wahai kaum Muslimin, Ali adalah saudaraku dan putra pamanku. Dia adalah darah dagingku dan rambutku. Dia adalah ayah kedua cucuku Hasan dan Husain, penghulu para pemuda penghuni surga.'"
Dalam sebuah riwayat, Ibn Umar berkata: "Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda pada saat melaksanakan haji Wadâ' sementaranya menunggangi unta sembari menepuk pundak Ali as.: "Ya Allah, saksikanlah. Ya allah, aku telah menyampaikan seruan-Mu bahwa orang ini adalah saudaraku, putra pamanku, menantuku, dan ayah kedua cucuku. Ya Allah, sungkurkanlah orang yang memusuhinya ke dalam api neraka.'"

Nabi saw. dan Ali as. Berasal dari Satu Pohon

Nabi saw. pernah menegaskan bahwa ia saw. dan Ali as. berasal dari satu pohon yang sama. Hal ini telah disebutkan dalam beberapa hadis. Berikut ini adalah contoh dari hadis-hadis tersebut:
Dalam sebuah hadis, Jâbir bin Abdillah berkata: "Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda kepada Ali as., 'Hai Ali, sesungguhnya umat manusia berasal dari berbagai pohon yang berbeda. Sementara engkau dan aku berasal dari satu pohon yang sama.' Kemudannya membacakan ayat yang berbunyi: "Dan di atas bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan (tapi berbeda-beda), dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman, dan pohon kurma yang bercAbâng dan yang tidak bercAbâng, disirami dengan air yang sama ..." (QS. Ar-Ra'd [13]:4)
Rasulullah saw. bersabda: "Aku dan Ali as. berasal dari satu pohon, sedang umat manusia berasal dari pohon yang berbeda-beda."
Sungguh betapa agung dan mulia pohon tersebut yang telah melahirkan junjungan alam semesta, Rasulullah saw., dan pintu kota ilmunya, Amirul Mukminin Ali as. Pohon ini adalah pohon yang penuh berkah; pohon yang akarnya menghujam ke dalam bumi dan ranting-rantingnya menjulang ke langit, dan membuahkan hasil bagi umat manusia pada setiap generasi.

Ali as., Wazîr Nabi saw.

Dalam beberapa hadis, Nabi saw. sangat menekankan bahwa Ali as. adalah wazîrnya. Di antara hadis-hadis tersebut ialah berikut ini:
Dalam sebuah hadis, Asmâ' binti 'Umais berkata: "Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Ya Allah, sesungguhnya aku berkata sebagaimana saudaraku, Mûsâ berkata, 'Ya Allah, jadikanlah untukku seorang wazîr dari keluargaku, yaitu saudaraku Ali. Kokohkanlah aku dengannya, sertakanlah dia dalam urusanku agar kami banyak bertasbih kepada-Mu dan senantiasa mengingat-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui kondisi kami".

Ali as., Khalifah Nabi saw.

Nabi saw. memproklamasikan bahwa Ali as. adalah khilafah sepeninggalnya dari sejaknya memulai dakwah. Hal itu terjadi Ketika ia mengundang kaum Quraisy agar memeluk Islam. Di akhir pertemuan tersebut, ia saw. berkata kepada mereka: "Dengan demikian, orang ini-yaitu Ali as.-adalah saudaraku, washî-ku, dan khalifahku setelahku untuk kalian. Dengarkan dan taatilah dia."
Rasulullah saw. telah menggandengkan kekhalifahan Ali as. sepeninggalannya dengan permulaan dakwah Islam. Ia juga telah menyingkirkan kemusyrikan dan penyembahan terhadap berhala. Banyak sekali riwayat yang telah menegaskan kekhalifahan Ali as. ini. Berikut ini sebagian darinya:
Rasululllah saw. bersabda: "Hai Ali, engkau adalah khalifahku untuk umatku."
Beliau saw. juga bersabda: "Di antara mereka, Ali bin Abi Thalib paling dahulu memeluk Islam, paling banyak ilmu pengetahuannya, dan dia adalah imam dan khalifah setelahku."

Ali as. di Sisi Nabi saw. Seperti Hârûn di Sisi Mûsâ

Banyak sekali hadis dan riwayat telah diriwayatkan dari Nabi saw. yang memiliki kandungan yang sama. yaitu ia bersabda kepda Ali as.: "Engkau di sisiku seperti kedudukan Harus di sisi Mûsâ as. ...."
Berikut ini kami nukilkan sebagian hadis tersebut:
Nabi saw. bersabda kepada Ali as.: "Tidakkah engkau rela bahwa engkau di sisiku sebagaimana kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as., hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku?"
Sa'îd bin Mûsâyyib meriwayatkan hadis dari '?mir bin Sa'd bin Abi Waqqâsh, dari ayahnya, Sa'd. Sa'd berkata: "Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Ali as.: "Engkau di sisiku seperti kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as., hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku.'"
Sa'îd berkata: "Aku ingin menyampaikan informasi tersebut kepada Sa'd. Aku menjumpainya dan kuceritakan apa yang diceritakan oleh '?mir. Sa'd berkata: "Aku pun telah mendengarnya.' Aku bertanya: "Sungguh engkau telah mendengarnya?" Ia meletakkan jarinya di kedua telinganya seraya berkata: "Ya, aku telah mendengarnya. Jika tidak, berarti aku tuli.'"

Ali as., Pintu Kota Ilmu Nabi saw.

Satu hal lagi tentang ketinggian dan keagungan kedudukan Ali as. yang ditegaskan oleh Nabi saw. adalah bahwa ia telah menjadikannya sebagai pintu kota ilmunya. Hadis-hadis mengenai hal ini telah diriwayatkan melalui beberapa jalur sehingga mencapai peringkat qath'î (meyakinkan). Hadis-hadis ini telah diriwayatkan dari Rasulullah saw. pada beberapa kesempatan. Di antaranya adalah berikut ini:
Jâbir bin Abdillah berkata: "Pada peristiwa Hudaibiyah, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda sambil memegang tangan Ali as.: "Orang ini adalah pemimpin orang-orang saleh, pembasmi orang-orang zalim, akan ditolong siapa yang membelanya, dan akan terhina siapa yang menghinanya.' Lalunya mengeraskan suaranya: "Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya. Barang siapa yang ingin memasuki rumah, hendaklah ia masuk melalui pintunya.'"
Ibn Abbâs berkata: "Rasulullah saw. bersabda: "Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Barang siapa yang ingin memasuki kota, maka hendaklah ia mendatangi pintunya."
Rasulullah saw. bersabda: "Ali adalah pintu ilmuku dan penjelas risalahku kepada umatku sepeninggalku nanti. Mencintainya adalah iman, memurkainya adalah kemunafikan, dan memandangnya adalah kasih sayang."
Amirul Mukminin Ali as. adalah pintu kota ilmu Nabi saw. Setiap ajaran agama, hukum syariat, akhlak yang mulia, dan tata krama luhur yang datang darinya, semua itu bersumber dari Nabi saw. Konsekuensinya, kita harus mematuhi dan mengikutinya.
Sesungguhnya Nabi saw. telah meninggalkan sumber ilmu pengetahuan untuk memenuhi kehidupan ini dengan hikmah dan kesejahteraan. Sumber itunya titipkan kepada Ali as. agar umat ini dapat menimba darinya. Tetapi sangat sekali, kekuatan zalim yang dengki kepada Imam Ali as. telah menutup jendela cahaya tersebut, mencegah umat untuk mengambil manfat darinya, dan membiarkan mereka terperosok ke dalam kebodohan hidup ini.

Ali as., Serupa dengan Para Nabi

Suatu ketika Nabi saw. berada di tengah-tengah para sahabat. Ia berkata kepada mereka: "Jika kalian ingin melihat ilmu pengetahuan Adam as., kesedihan Nuh as., ketinggian akhlak Ibrahim as., munajat Mûsâ as., usia Isa as., dan petunjuk serta kelembutan Muhammad saw., maka hendaklah kalian melihat orang yang akan datang sebentar lagi." Setelah agak lama mereka menanti-nanti siapa yang akan datang, tiba-tiba Amirul Mukmini Ali as. muncul."
Seorang penyair terkenal, Abu Abdillah Al-Mufajji', telah banyak menyusun bait- bait syair tentang keagungan dan kemuliaan Imam Ali as. Ketika mengungkapkan realita tersebut di atas, ia menulis:
Wahai pendengki kekasihku Ali, masuklah ke dalam neraka Jahim dengan terhina.
Masihkah engkau menyindir manusia terbaik, sedang engkau tersingkirkan dari petunjuk dan cahaya?
Dialah yang mirip para nabi di kala kanak dan muda, di kala menyusu, disapih dan di kala makan.
Ilmunya bagai Adam di kala ia menjelaskan nama-nama dan alam semesta.
Bagai Nuh di kala selamat dari maut ketika ia turun di bukit Jûdî.

Mencintai Ali as., Keimanan; Membencinnya, Kemunafikan

Nabi Muhammad saw. menegaskan kepada umat bahwa mencintai Ali as. adalah tanda keimanan dan ketakwaam. Sementara membencinya adalah kemunafikan dan maksiat. Beriktu ini sebagian riwayat yang telah diriwayatkan darinya tentang hal ini:
Ali as. berkata: "Demi Dzat yang membelah biji-bijian dan menciptakan manusia, sesungguhnya janji Nabi yang ummî kepadaku adalah bahwa tidak ada yang mencintaiku kecuali orang mukmin dan tidak membenciku melainkan orang munafik."
Al-Musâwir Al-Humairî meriwayatkan hadis dari ibunya. Ibunya berkata: "Ummu Salamah datang menjumpaiku dan aku mendengar ia mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Orang munafik tidak akan mencintai Ali dan orang mukmin tidak akan membencinya.'"
Ibn Abbâs pernah meriwayatkan sebuah hadis. Ia berkata: "Rasulullah saw. memandang kepada Ali as. seraya bersabda: "Tidak mencintaimu melainkan orang mukmin dan tidak membencimu kecuali orang munafik. Barang siapa yang mencintaimu, berarti ia mencintaiku. Barang siapa yang membencimu, berarti ia membenciku. Kekasihku adalah kekasih Allah dan pendengkiku adalah pendengki Allah. Sungguh celaka orang yang mendengkimu setelahku nanti.'"
Dalam sebuah riwayat, Abu Sa'îd Al-Khudrî berkata: "Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Ali as., 'Mencintaimu adalah keimanan dan membencimu adalah kemunafikan. Orang yang pertama masuk surga adalah pecintamu dan orang pertama yang masuk neraka adalah pendengkimu.'"
Hadis-hadis di atas telah tersebar luas di kalangan para sahabat nabi saw. Mereka menerapkan hadis-hadis tersebut kepada orang yang mencintai Ali as. dan menyebutnya sebagai orang mukmin. Sementara orang yang mendengkinya mereka sebut sebagai orang munafik.
Seorang sahabat terkemuka yang bernama Abu Dzar Al-Gifârî pernah berkata: "Kami tidak mengenal orang-orang munafik, kecuali ketika mereka berdusta kepada Allah dan Rasul-Nya, meninggalkan salat, dan mendengki Ali bin Abi Thalib as."
Seorang sahabat Nabi terkemuka lainnya yang bernama Jâbir bin Abdillah Al-Anshârî juga pernah berkata: "Kami tidak pernah mengenal orang-orang munafik kecuali ketika mereka mendengki Ali bin Abi Thalib as."

b. Kedudukan Ali as. di Sisi Allah swt.

Selanjutnya kita beralih menjelaskan sebagian hadis yang telah diriwayatkan dari Nabi saw. berhubungan dengan keagungan Imam Ali as. di sisi Allah swt. dan kemuliaan-kemuliaan yang ia miliki.
Sejumlah hadis yang telah diriwayatkan dari Rasulullah saw. berhubungan dengan kemuliaan Imam Ali as. di sisi Allah di akhirat kelak. Sebagian hadis tersebut adalah berikut ini:

Imam Ali as., Pembawa Bendera Pujian

Banyak sekali hadis sahih dari Nabi saw. yang menjelaskan bahwa Imam Ali as. pada Hari Kiamat kelak akan diberikan kemuliaan oleh Allah swt. untuk membawa bendera pujian. Hal ini adalah anugerah khusus yang tidak diberikan kepada siapa pun selainnya. Di antara hadis-hadis tersebut adalah hadis berikut ini:
Rasulullah saw. bersabda kepada Imam Ali as.: "Pada Hari Kiamat kelak, engkau akan berada di hadapanku. Ketika itu aku diberi bendera pujian, lalu bendera tersebut kuserahkan kepadamu. Sementara engkau sedang mengusir orang-orang (yang tidak berhak) dari telagaku."

Imam Ali as., Pemilik Telaga Haudh Nabi saw.

Banyak sekali hadis Nabi saw. yang menjelaskan bahwa Imam Ali as. adalah pemilik telaga Haudh Nabi saw., sungai di surga yang paling sejuk, paling manis, dan sangat indah dipandang mata itu. Tak seorang pun dapat meneguk airnya kecuali orang yang ber-wilâyah dan mencintai Imam Ali as. Berikut ini kami paparkan sebagian hadis tersebut:
Rasulullah saw. bersabda: "Ali bin Abi Thalib as. adalah pemilik telaga Haudh-ku kelak di Hari Kiamat. Di sekelilingnya berjejer gelas-gelas sebanyak bilangan bintang di langit. Luas telaga Haudh-ku itu sejauh antara Jâbiyah dan Shan'a."

Imam Ali as., Pemilah Surga dan Neraka

Di antara posisi agung dan mulia yang diberikan oleh Rasulullah saw. kepada pintu kota ilmunya ini adalah bahwa ia adalah pemilah surga dan nereka. Ibn Hajar pernah meriwayatkan sebuah hadis bahwa Imam Ali as. pernah berkata kepada anggota Dewan Syura yang telah dipilih oleh Umar: "Demi Allah, apakah di antara kalian ada seseorang yang pernah disebut oleh Rasulullah saw. dengan sabda, 'Wahai Ali, engkau adalah pemilah surga dan neraka pada Hari Kiamat kelak', selainku?"
"Tak seorang pun", jawab mereka pendek.
Ibn Hajar memberikan catatan atas hadis ini. Ia menulis: "Maksudnya ialah ucapan yang pernah diriwayatkan dari Imam Ar-Ridhâ as. Sabda Nabi saw. kepada Ali as., 'Engkau adalah pemilah surga dan neraka pada Hari Kiamat kelak', berarti engkau, hai Ali, berkata kepada neraka, 'Ini adalah bagianku dan yang ini adalah bagianmu.'"
Dapat dipastikan bahwa tak seorang wali Allah pun, baik sebelum maupun setelah Islam, yang pernah memperoleh kemuliaan tak berbatas ini seperti yang pernah diperoleh oleh Imam Ali as. Allah swt. telah menganugerahkan kemulian itu kepadanya sebagai penghargaan atas jerih payah dan jihadnya di jalan Islam, dan atas usahanya dalam mengikis habis egoisme dan kerelaannya berkhidmat kepada kebenaran.
2. Kelompok Hadis Kedua

Tidak sedikit hadis yang telah diriwayatkan dari Nabi saw. tentang keutamaan Ahlul Bait Nabi saw. yang suci, keharusan mencintai dan berpegang teguh kepada mereka. Berikut ini adalah sebagian dari hadis-hadis tersebut:

Hadis Tsaqalain

Hadis Tsaqalain termasuk hadis Nabi saw. yang paling indah, paling sahih, dan paling tersebar luas di kalangan muslimin. Hadis ini telah diabadikan oleh Enam Kitab Sahih (Al-Kutub As-Sittah), dan para ulama juga menerimanya.
Perlu diingatkan di sini bahwa Nabi saw. telah menyampaikan hadis tersebut di beberapa tempat dan kesempatan. Di antaranya ialah berikut ini:
Zaid bin Arqam meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda: "Sesungguhnya aku tinggalkan dua pusaka berharga untuk kalian. Jika kalian berpegang teguh kepada keduanya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya sepeninggalku nanti. Salah satunya lebih agung daripada yang lainnya. Yaitu Kitab Allah, tali yang membentang dari langit ke bumi, dan yang kedua adalah 'Itrahku, Ahlul Baitku. Keduanya itu tidak akan pernah berpisah sampai menjumpaiku di telaga Haudh kelak. Perhatikanlah bagaimana kalian memperlakukan keduanya itu sepeninggalku kelak."
Nabi saw. juga pernah menyampaikan hadis ini ketika sedang melaksanakan haji Wada' pada hari Arafah. Jâbir bin Abdillah Al-Anshârî meriwayatkan hadis seraya berkata: "Aku melihat Rasulullah saw. pada haji Wada' pada hari Arafah. Ketika itunya berpidato sedangnya berdiri di atas punggung untanya yang bernama Al-Qashwâ'. Aku mendengarnya berkata, 'Wahai manusia, sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian sesuatu yang jika kalian mengikutinya, niscaya kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitab Allah dan 'Itrahku, Ahlul Baitku.'"
Rasulullah saw. juga pernah berpidato di hadapan para sahabat Ketika ia berada di atas ranjang pada saat mendekati wafat. Ia saw. bersabda: "Wahai manusia, sebentar lagi nyawaku akan diambil dengan cepat, lalu aku pergi. Dan sebelum ini aku pernah menyampaikan suatu ucapan kepada kalian. Yaitu aku tinggalkan untuk kalian Kitab Tuhanku Yang Mulia nan Agung dan 'Itrahku, Ahlul Baitku." Kemudian ia saw. memegang tangan Ali as. seraya berkata: "Inilah Ali yang selalu bersama Al-Qur'an dan Al-Qur'an pun senantiasa bersamanya. Keduanya tidak akan pernah berpisah hingga mendatangiku di telaga Haudh."

Hadis Bahtera Nuh as.

Dalam sebuah riwayat, Abu Sa'îd Al-Khudrî berkata: "Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Sesungguhnya perumpamaan Ahlul Baitku di tengah-tengah kalian adalah bagaikan bahtera Nuh as. Barang siapa yang menaikinya, niscaya ia akan selamat. Dan barang siapa yang meninggalkannya, maka ia akan tenggelam. Dan perumpamaan Ahlul Baitku di tengah-tengah kalian bagaikan pintu Hiththah (pengampunan) bagi Bani Isra'il. Barang siapa yang memasukinya, maka dosanya akan diampuni."
Hadis tersebut menegaskan agar umat manusia berpegang teguh kepada 'Itrah suci. Karena mereka adalah kunci keselamatan mereka dari tenggelam dan kebinggungan hidup ini. Ahlul Bait adalah bahtera penyelamat dan pengaman bagi umat manusia.
Imam Syarafuddin menulis: "Anda ketahui bahwa maksud dari penyerupaan mereka dengan bahtera Nuh as. adalah bahwa barang siapa yang bersandar kepada mereka di dunia dan akhirat; yaitu mengambil ajaran agama, baik pondasi maupun cAbângnya, dari para imam suci, maka ia akan selamat dari azab api neraka. Dan barang siapa membelakangi mereka, maka ia seperti orang yang berlindung kepada bukit ketika topan bergemuruh kencang agar selamat dari ketentuan Allah. Perbedaannya, ia hanya tenggelam di air. Sedangkan orang yang meninggalkan para imam suci akan terjerumus ke dalam neraka Jahanam. Semoga Allah melindungi kita.
Adapun sisi penyerupaan mereka dengan pintu pengampunan, artinya adalah Allah swt. menjadikan pintu tersebut sebagai salah satu lambang kerendahan diri terhadap keagungan-Nya dan ketundukan kepada ketentuan-Nya. Dengan demikian pintu itu menjadi faktor pengampunan dosa. Ini adalah rahasia penyerupaan tersebut. Tetapi Ibn Hajar berupaya mengutarakan rahasia yang lain di balik penyerupaan itu setelah ia memaparkan hadis tersebut dan hadis-hadis lainnya yang serupa. Ia menulis, 'Sisi penyerupaan mereka dengan bahtera Nuh as. adalah bahwa barang siapa yang mencintai dan menghormati mereka karena mensyukuri nikmat kemuliaan mereka dan mengikuti petunjuk ulama mereka, maka ia akan selamat dari kegelapan pertentangan. Dan barang siapa yang meninggalkan mereka, maka ia akan tenggelam di lautan pengingkaran nikmat dan terjerumus ke dalam lembah kesesatan ... Adapun faktor penyerupaan mereka dengan pintu Hiththah adalah bahwa sesungguhnya Allah swt. telah menjadikan masuk ke pintu Araiha atau Baitul Maqdis dengan rasa rendah hati dan beristrigfar sebagai faktor pengampunan dosa, dan juga menjadikan kecintaan kepada Ahlul Bait sebagai sebab pengampunan dosa bagi umat ini, (tidak lebih dari itu).'"

Ahlul Bait Pengaman Umat

Nabi saw. mewajibkan kecintaan kepada Ahlul Bait atas umat ini. Ia menegaskan bahwa berpegang teguh kepada mereka adalah faktor pengaman dari kehancuran. Ia saw. bersabda: "Bintang-bintang adalah pengaman bagi penduduk bumi dari tenggelam. Dan Ahlul Baitku adalah pengaman bagi umatku dari pertentangan dan pertikaian. Apabila salah satu kabilah Arab menentang mereka, ini berarti mereka telah bertikai. Akibatnya, mereka menjadi pengikut Iblis."
Jihad Ali as. Bersama Nabi saw.

Secara positif, landasan dakwah Nabi saw. adalah mengajak umat manusia kepada perdamaian dan membebaskan mereka dari setiap ancaman kehancuran dan kerugian perang. Ia memulai dakwah dari kota Mekah, kota sentral kekuatan jahiliah yang dikuasai oleh orang-orang kafir Quraisy. Dasar gerakan dan pemikiran mereka adalah kebodohan, kecongkakan, dan egoisme. Mereka adalah kaum yang keras kepala, sombong, dan bersikeras untuk mengadakan perlawanan terhadap Rasulullah saw. Di samping itu, mereka melakukan penyiksaan terhadap orang-orang yang beriman kepada missi Nabi saw. Kondisi ini menyebabkan mereka harus berhijrah ke Habasyah demi menyelamatkan diri mereka dari kekerasan dan tekanan kaum kafir Quraisy. Pada saat itu, Rasulullah saw. dilindungi oleh Singa Padang Pasir, Abu Thalib, dan putranya, Imam Ali as. Setelah Sang Singa ini kembali ke haribaan Ilahi untuk selamanya, ia tidak memiliki lagi pendukung untuk berlindung diri. Kesempatan tersebut digunakan oleh kaum kafir Quraisy untuk bersekongkol membunuhnya. Mengetahui rencana dan makar jahat ini, ia segera berhijrah ke Yatsrib (Madinah). Di Madinahnya memperoleh sambutan yang hangat dan perlindungan dari penduduknya. Mengetahui peristiwa ini, kaum kafir Quraisy bertambah berang dan marah seperti orang kebakaran jenggot. Mereka sepakat untuk menyulut api peperangan dengan penduduk Yatsrib dan berupaya mengerahkan seluruh sarana dan kekuatan ekonomi untuk menyerang dan melumpuhkan mereka.
Ali as. senantiasa siap siaga di samping Rasulullah saw. untuk melindunginya dan melakukan serangan balik dalam seluruh peperangan yang disulut oleh kaum kafir Quraisy itu. Rasulullah saw. menjadikan Ali as. sebagai komandan perang yang bertugas di garis depan.
Sebagian peperangan yang pernah diikuti Imam Ali as. adalah berikut ini:
1. Perang Badr

Dalam sejarah, peristiwa Badr telah mencatat kemenangan yang gemilang bagi Islam dan muslimin. Perang ini adalah pukulan yang telak bagi musyrikin. Dalam perang ini, Allah swt. telah memuliakan hamba dan Rasul-Nya, Muhammad saw., menghinakan dan menaklukan para musuhnya. Pahlawan ksatria pada perang ini adalah Imam Amirul mukminin Ali as. Pedang Ali menghantarkan mereka ke ambang kematian. Kepala musyrikin dan para penentang Tuhan tertebas habis oleh pedang tersebut. Ketangkasan dan kegigihan Ali dalam perang tidak diragukan lagi sehingga Jibril turun dan menyampaikan pujian untuknya dengan ungkapan: "Tidak ada pedang selain Dzul Fiqâr dan tidak ada pemuda selain Ali."
Kami telah menjelaskan perang Badr ini dan peran positif Imam Ali as. secara rinci pada Mawsû'ah Al-Imam Amirul Mukminin Ali as., jilid ke-2.
2. Perang Uhud

Dengan penuh duka yang mendalam, kaum kafir Quraisy menerima informasi kekalahan pasukannya dan kerugian yang berlipat ganda di front pertempuran Badar. Hindun, ibu Mu'âwiyah, termasuk salah seorang yang begitu merasa terpukul dan berduka dengan kekalahan itu. Ia melarang orang-orang Quraisy, baik kaum laki-laki maupun kaum wanita, untuk menangisi para perajurit yang terbunuh di medan Badar. Duka dan kesedihan itu tidak akan pernah padam di dalam lubuk hati mereka sebelum mereka dapat melakukan balas dendam.
Abu Sufyân bertindak sebagai panglima tertinggi pasukan pada perang Uhud. Dialah yang memberikan semangat kepada masyarakat jahiliah Quraisy untuk memerangi Rasulullah saw. Mereka mengumpulkan harta benda dan dana untuk membeli peralatan dan perbekalan perang. Himbauan Abu Sufyân itu disambut baik oleh masyarakat demi memerangi Rasulullah saw.
Pasukan Abu Sufyân keluar menuju medan Uhud dengan penuh semangat dan hati yang menggelora disertai oleh kaum wanita mereka sampai peperangan berakhir. Hindun memimpin pasukan wanita. Kaum wanita ini bergerak sembari menabuh genderang dan mendendangkan syair:

Bangkitlah wahai putra-putra Abdi Dar.
Bangkitlah wahai para penjaga negeri tak gentar.
Pukulkan pedang kalian dengan bak halilintar.

Sementara itu, Hindun sendiri menyanyikan dendang khusus yang ia tujukan kepada pasukan Quraisy dengan suara yang lantang:

Jika kalian maju berperang, kami akan peluk kalian dan gelar permadani.
Jika kalian mundur, kami akan berpisah dengan kalian sampai mati.

Pasukan kaum musyrikin Quraisy ketika itu berjumlah tiga ribu orang. Sementara pasukan muslimin hanya berjumlah tujuh ratus orang.
Seorang prajurit musyrikin yang bernama Thalhah bin Abi Thalhah maju ke depan dengan bendera komando di tangannya. Ia mengangkat suranya tinggi-tinggi: "Hai para sahabat Muhammad, apakah kalian yakin bahwa Allah akan mempercepat kami pergi ke neraka dengan pedang-pedang kalian, dan mempercepat kalian menuju ke surga dengan pedang-pedang kami? Siapakah yang berani duel denganku?"
Pejuang Islam, Imam Ali as., segera menimpali dan menyerangnya. Dengan sabetan pedangnya, lelaki itu jatuh ke tanah dengan berlumuran darah. Ali as. membiarkannya jatuh dan tidak meneruskan perlawanannya. Tidak lama kemudian, darahnya tumpah dan ia binasa. Kaum muslimin menyambut kemenangan Ali as. itu dengan penuh gembira, sementara kaum musyrikin menjadi hina dan nyali mereka surut. Bendera komando pasukan musyrikin Quraisy diambil alih oleh yang lain. Imam Ali as. menyambut dan melakukan serangan kepada beberapa orang Quraisy seraya menebas kepala-kepala mereka dengan pedangnya yang tajam. Hindun selalu membangkitkan semangat jiwa prajurit kaum musyrikin dan mendorong mereka agar menyerang kaum muslimin. Setiap kali seorang dari mereka gugur, ia menawarkan celak sembari berseloroh: "Kamu ini hanyalah seorang wanita pengecut. Pakailah celak mata ini ini."
Sangat disayangkan, dalam peperangan ini kaum muslimin mengalami kekalahan yang pahit dan kerugian yang memalukan. Hampir saja bendera Islam jatuh karena itu. Hal itu terjadi karena kecerobohan sekelompok pasukan Islam yang berani menyalahi pesan Rasulullah saw. Ketika itu Rasulullah saw. memerintahkan sekelompok pemanah yang dipimpin oleh Abdullah bin Jubair agar tetap diam di atas bubkit demi menjaga kaum muslimin dari arah belakang. Ia sangat menekankan agar mereka tidak bergeser sedikitpun dari tempat tersebut. Ketika pertempuran sedang terjadi, para pemanah itu berhasil membidikkan panah-panah mereka ke arah pasukan kafir Quraisy dan banyak membunuh mereka. Pasukan Quraisy mengalami kekalahan telak dan mereka kabur tunggang-langgang dengan meninggalkan berbagai senjata dan barang-barang berharga. Kaum muslimin mulai mengumpulkan harta rampasan perang. Melihat harta kekayaan yang melimpah itu, sebagian besar pasukan pemanah meninggalkan pos mereka untuk turut serta berebut harta rampasan perang. Mereka telah lupa akan pesan Nabi saw. untuk tetap tinggal di pos tersebut. Khalid bin Walid, pimpinan pasukan kafir Quraisy, melihat kondisi para pemanah tersebut dan merasa memiliki kesempatan emas. Ia segera melakukan serangan terhadap para pemanah yang masih tersisa di atas bukit itu sehingga banyak pasukan muslimin yang terbunuh. Setelah itu, Khalid dan pasukannya menyerang para sahabat Nabi saw. dari arah belakang dan berhasil memporak-porandakan dan membunuh prajurit muslimin. Dalam serangan ini, prajurit musyrikin banyak membunuh tokok-tokoh pasukan muslimin.

Pembelaan Ali as. Terhadap Nabi saw.

Kekalahan yang sangat menyakitkan menimpa kaum muslimin. Sebagian pasukan mereka kabur. Hal ini membuat mereka takut dan gentar menghadapi kaum musyrikin. Akhirnya sebagian besar mereka meninggalkan Nabi saw. yang telah dikepung oleh musuh-musuh Islam. Nabi saw. mengalami luka-luka parah dan jatuh terjerembab ke dalam lubang yang dibuat oleh Abu Amir dan sengaja ia sembunyikan agar kaum muslimin jatuh ke dalamnya. Ketika itu, Ali as. berada di samping Rasulullah saw. Ia segera memegang tangan Nabi saw., sementara Thalhah bin Abdullah mengangkatnya sehingga ia dapat berdiri. Pada saat itu, Nabi saw. menoleh kepada Ali as. seraya bertanya: "Hai Ali, apa yang telah mereka lakukan?" Ali as. menjawab dengan hati yang tersayat: "Ya Rasulallah, mereka menyalahi janji dan kabur tunggang langgang."
Sekelompok orang Quraisy berusaha melakukan serangan terhadap Nabi saw. sehingga ia terpojok. Ia berkata kepada Ali: "Halaulah mereka, hai Ali." Ali as. menyerang mereka tanpa menunggangi kuda, dan berhasil membunuh empat orang anak Abu Sufyân bin 'Auf dan enam orang dari kelompok penyerang tersebut. Setelah berusaha dengan susah payah, akhirnya Imam Ali as. berhasil menghalau dan mempermalukan mereka. Kemudian datang lagi kelompok yang lain untuk menyerang Nabi saw. Di antara mereka terlihat Hisyâm bin Umayyah. Ali as. pun berhasil membunuhnya, dan mereka yang masih tersisa kabur. Setelah itu, kelompok ketiga datang menyerang Rasulullah saw. Di tengah-tengah mereka terlihat Busyr bin Mâlik. Ali as. juga berhasil membunuhnya, dan sisa kelompok itu pun kabur dengan kekalahan yang memalukan.
Melihat keberanian dan ketangkasan Ali as., Jibril memohon izin kepada Allah untuk turun. Ia berkata kepada Nabi saw.: "Perlawanannya sungguh membuat kagum para malaikat." Rasulullah saw. bersabda kepadanya: "Kenapa tidak, karena Ali dariku dan aku darinya." Jibril menimpali: "Dan aku dari kalian berdua."
Dengan penuh keperkasaan dan ketangkasan, Ali as. senantiasa teguh membela Nabi saw. Selama pembelaan ini, ia tertebas pedang sebanyak enam belas tebasan. Setiap tebasan tersebut telah berhasil membuat Ali as. jatuh tersungkur ke atas tanah. Tetapi tak seorang pun yang membangunkannya selain Jibril.
Seluruh musibah dan bencana gala yang dialami oleh pejuang Islam dan penghulu orang-orang yang bertakwa ini hanyalah demi membela Islam semata.
Dalam perang Uhud ini, pejuang Islam abadi yang bernama Hamzah, paman Nabi saw. meneguk cawan syahadah. Ketika mengetahui kesyahidannya, Hindun sangat gembira dan berusaha mencari jenazahnya. Tatkala berhasil menemukan jenazahnya, bagaikan anjing hutan ia merobek perut Hamzah dan mengeluarkan hatinya, kemudian mengunyahnya dan memuntahkannya kembali. Ia juga mengiris hidung dan kedua telinga Hamzah, dan kedua anggota tubuh mulia itu ia jadikan kalung. Hal itu menggambarkan betapa kedengkian dan kebuasan Hindun yang sangat mendalam serta fanatismenya yang sangat tinggi. SuAmînya, Abu Sufyân, juga tidak mau ketinggalan. Ia bergegas menuju jenazah Hamzah dan berbicara kepadanya dengan penuh caci maki dan kedengkian seraya berkata: "Hai Abu Amârah, masa telah berganti. Kini telah tiba saatnya, dan dendam nafsuku menjadi reda." Kemudian Abu Sufyân mengangkat tombaknya dan menancapkannya ke badan Hamzah yang sudah tak bernyawa lagi itu sembari berkata: "Rasakanlah, rasakanlah!" ... Setelah berbuat demikian, ia berpaling dengan hati gembira dan suka ria. Hatinya yang penuh dengan kemusyrikan, kedengkian, dan sifat-sifat buruk itu merasa puas dengan terbunuhnya Hamzah.
Setelah peperangan usai, Nabi saw. menghampiri jenazah pamannya, Hamzah, yang telah dirobek-robek perutnya oleh Hindun. Dengan hati yang sangat sedih dan pilu, ia memandang jasad pamannya itu seraya berkata: "Hai Hamzah, aku belum pernah ditimpa musibah seperti musibah yang kualami lantaran kepergianmu ini. Aku tidak pernah merasa murka sebagaimana kemurkaanku atas tragedi ini. Sekiranya Shafiyyah tidak berduka dan setelah wafatku nanti tidak dijadikan tradisi, niscaya sudah aku tinggalkan tubuhmu sehingga menjadi mangsa binatang-binatang buas dan burung-burung ganas. Jika sekiranya Allah memenangkanku atas orang-orang kafir Quraisy dalam sebuah peperangan nanti, maka aku akan mencacah-cacah tiga puluh orang dari mereka."
Muslimin yang lain pun bangkit menuju jasad Hamzah. Mereka berkata: "Jika kami dapat mengalahkan orang-orang kafir itu pada suatu hari nanti, pasti kami akan mencacah-cacah badan mereka dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang Arab pun."
Melihat hal ini, Jibril turun menyampaikan ayat yang berbunyi: "Jika engkau menyiksa mereka, maka siksalah sesuai dengan apa yang mereka lakukan terhadapmu. Tetapi jika kamu bersabar, maka hal itu lebih baik bagi orang-orang yang sabar. Bersabarlah, kesabaranmu tiada lain kecuali hanya karena Allah. Janganlah bersedih atas mereka dan janganlah merasa sempit hati terhadap tipu daya mereka." (QS. An-Nahl [16]:129-127)
Mendengar ayat ini, Nabi saw. memaafkan para musuh dan bersabar, dan juga melarang muslimin untuk melakukan pencacahan terhadap tubuh-tubuh musuh. Ia bersabda: "Sesungguhnya mencacah tubuh itu haram sekalipun tubuh anjing galak."
Satu-satunya peperangan yang membawa kekalahan telah bagi kaum muslimin adalah perang Uhud. Ibn Ishâq berkata: "Sesungguhnya Uhud merupakan hari duka, bencana, ujian berat. Allah menguji orang yang beriman dengannya dan menampakkan orang munafik yang melahirkan keimanan pada lisannya, sementara ia menyimpan kekufuran dalam hatinya. Lebih dari itu, Uhud adalah hari kehormatan bagi orang-orang yang dimuliakan dengan mati syahid."
Seusai peperangan, Rasulullah saw. memberitahukan kepada Ali as. bahwa selepas peperangan Uhud ini, kaum musyrikin tidak akan dapat mengalahkan kaum muslimin hingga Allah memberikan kemenagan bagi muslimin.
Demikianlah perang Uhud ini berakhir. Sebagian kisah perang Uhud ini telah kami jelaskan dalam buku kami, Mawsû'ah Al-Imam Amiril Mukminin, jilid ke-2.
3. Perang Khandak

Nama lain perang Khandak adalah perang Ahzab. Hal itu lantaran beberapa kelompok kaum musyrikin bergabung membentuk satu kekuatan tunggal untuk menyerang pasukan Rasulullah saw. Pada peristiwa perang ini, kaum muslimin betul-betul merasa khawatir dan diliputi rasa takut yang dahsyat. Faktor utamanya adalah karena pasukan musyrikin yang sangat kuat dan orang-orang Yahudi juga turut bergabung dengan mereka. Seluruh pasukan mereka berjumlah sepuluh ribu prajurit. Sementara pasukan muslimin hanya berjumlah tiga ribu prajurit saja.
Ketika melukiskan sejauh mana rasa takut yang dialami oleh kaum muslimin dalam peperangan ini, Al-Qur'an berfirman: "Ketika mereka mendatangimu dari bagian atas dan bagian bawah kalian dan ketika mata-matamu terbelalak dan rasa takutmu sampai menembus hati." (QS. Al-Ahzâb [33]:10)
Pada perang ini, Allah telah memberikan kemenangan bagi Islam melalui tangan Ali bin Abi Thalib as. Dialah orang yang telah berhasil menghancurkan dan memporak-porandakan barisan kaum musyrikin.

Menggali Parit

Ketika Nabi saw. mengetahui pasukan Quraisy dan Bani Ghathafân ingin melakukan serangan terhadap muslimin, ia saw. mengumpulkan para sahabat dan memberitahukan kepada mereka rencana musuh tersebut. Ia saw. meminta pendapat mereka masing-masing demi menghalau musuh Islam itu. Salman Al-Fârisî, salah seorang sahabat terkemuka, mengusulkan untuk menggali parit di sekitar kota Madinah. Nabi saw. menyetujui pandangannya itu dan memerintahkan para sahabat untuk menggali parit. Ide tersebut merupakan taktik perang yang jitu untuk menyelamatkan pasukan muslimin dari serangan musuh Islam. Melihat parit digali di sekitar kota itu, pasukan musuh bingung dan tidak memiliki jalan lain untuk melancarkan serangan terhadap muslimin. Dengan terpaksa, mereka hanya dapat menggunakan anak panah. Kaum muslimin pun menjawab serangan mereka dengan serangan yang sama. Saling-melempar anak panah pun terjadi antara kedua pasukan tersebut tanpa terjadi perangan terbuka di antara mereka.

Imam Ali as. Bertanding dengan 'Amr

Orang-orang kafir Quraisy merasa jengkel dengan kondisi perang semacam ini. Karena hal itu tidak memberi kemenangan kepada mereka. Mereka berusaha mencari ukuran lebar parit yang agak sempit agar kuda-kuda mereka dapat melompati dan menyeberangi parit. Di tengah-tengah mereka terlihat 'Amr bin Abdi Wud. Dia adalah ksatria Quraisy dan penunggang kuda Kinânah yang tangguh pada masa jahiliah.
'Amr menggenggam pedang. Ia laksana benteng kokoh. Ia menaiki kudanya dengan penuh bangga dan congkak. Dengan segenap kekuatan ia dapat melompati parit. Kaum muslimin yang menyaksikan hal itu merasa ciut, kerdil, dan gemetar. 'Amr maju menghadap mereka dengan perlahan tapi pasti. Dengan suara yang lantang dan penuh penghinaan ia berkata: Hai perajurit Muhammad, adakah yang berani melawanku?"
Hati kaum muslimin bak tercabut dari tempatnya. Mereka diliputi rasa takut. Untuk kedua kalinya 'Amr angkat suara: "Adakah yang berani melawanku?"
Tak seorang pun berani menjawab. Tetapi pejuang Islam, Imam Amirul Mukminin as. menjawab: "Aku yang melawannya, ya Rasulullah."
Rasulullah saw. merasa khawatir atas keselamatan putra pamannya itu. Ia berkata: "Ketahuilah, dia adalah 'Amr!"
Imam Ali as. menaati perintah Rasulullah saw. dan segera duduk kembali. Kembali 'Amr mengejek kaum muslimin dan berkata: "Hai para sahabat Muhammad, mana surga yang kalian duga akan memasukinya jika kalian terbunuh? Siapakah di antara kalian yang menginginkannya?"
Pasukan muslimin membisu seribu bahasa. Imam Ali as. tetap memaksa Nabi saw. agar memberi izin untuk melawannya. Tak ada lagi alasan bagi Nabi untuk menolak desakan Ali as. Nabi saw. menetapkan sebuah predikat bagi Ali as. sebagai tanda keagungan dan kehormatan. Ia saw. bersabda: "Seluruh iman telah keluar untuk menentang seluruh kekufuran."
Sungguh betapa predikat kehormatan yang kekal abadi dan bersinar bak matahari. Rasulullah saw. telah memberikan predikat "seluruh imam dan Islam" bagi Abul Husain dan predikat "seluruh kekufuran" bagi 'Amr. Setelah itu Nabi saw. mengangkat kedua tangan seraya memanjatkan doa dan harapan kepada Allah swt. agar menjaga putra pamannya itu. Ia saw. berkata: "Ya Allah, Engkau telah mengambil Hamzah dariku di perang Uhud dan mengambil 'Ubaidah di perang Badar. Maka jagalah Ali pada hari ini. Wahai tuhanku, janganlah Engkau biarkan aku sendirian. Sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pewaris."
Ali as. maju menyerang dengan penuh semangat. Ia tidak merasa takut dan gentar sedikitpun terhadap 'Amr bin Abdi Wud. Ia bangkit dengan tekad yang kokoh membaja bak ksatria yang tak ada bandingannya. 'Amr terkejut dengan pemuda yang berani maju untuk melawan dan tak gentar.
'Amr bertanya: "Siapa kamu?"
Imam Ali menjawab dengan meremehkannya: "Aku adalah Ali bin Abi Thalib."
'Amr menampakkan rasa kasihan kepadanya seraya berkata: "Dahulu, ayahmu adalah teman baikku."
Imam Ali as. tidak bergeming sedikit pun dengan celotehan 'Amr itu. Ia malah menjawab: "Hai 'Amr, engkau telah berjanji kepada kaummu bahwa tidak seorang pun dari Quraisy yang mengajakmu kepada tiga karakter melainkan engkau pasti menerimanya?"
'Amr menjawab: "Ya, itulah janjiku."
Ali as. berkata: "Aku mengajakmu kepada Islam."
'Amr tertawa seraya berkata kepada Imam Ali sembari menghina: "Jadi, aku harus meninggalkan agama nenek moyangku? Jangan usik masalah ini!"
Ali as. berkata: "Aku akan menahan tanganku untuk membunuhmu, dan engkau bebas kembali."
Mendengar ucapan lancang itu, 'Amr marah dan berkata: "Jika begitu, bangsa Arab pasti membincangkan kepengecutanku."
Imam Ali as. melontarkan tawaran ketiga yang 'Amr sendiri telah berjanji untuk menerimanya. Imam Ali berkata: "Kalau begitu, aku mengajakmu duel."
'Amr sangat terkejut dengan keberanian pemuda yang telah berani menantang dan menginjak-injak kehormatannya. 'Amr turun dari kudanya dan dengan cepat melayangkan pedangnya ke arah leher Imam Ali as. Imam menangkis serangannya dengan prisai. Tetapi pedang 'Amr dapat menembus ke bagian kepala Imam Ali as. dan menciderainya. Muslimin yakin bahwa Imam Ali as. telah menjumpai ajal. Tetapi Allah swt. menolong dan menjaganya. Imam Ali as. kembali menyerang 'Amr dengan pedang hingga ia roboh. Ksatria Quraisy dan simbol kemusyrikan itu jatuh tersungkur di atas tanah dengan berlumuran darah seperti seekor sapi yang disembelih berlumuran darah.
Imam Ali as. mengucapkan takbir yang diikuti oleh pasukan muslimin. Tulang punggung kemusyrikan telah runtuh dan kekuatannya telah lumpuh. Sementara Islam telah menggapai kemenangan yang gemilang melalui kegagahan Imam Al-Muttaqîn as. Sekali lagi Nabi saw. menghadiahkan predikat agung kepada Imam Ali as. di sepanjang sejarah. Ia bersabda: "Sesungguhnya pertempuran Ali bin Abi Thalib atas 'Amr bin Abdi Wud pada perang Khandak adalah lebih utama daripada amal umatku hingga Hari Kiamat."
Salah seorang sahabat Nabi saw. yang bernama Hudzaifah bin Al-Yaman berkata: "Seandainya keutamaan Ali as. dengan membunuh 'Amr pada perang Khandak itu dibagi-bagikan kepada seluruh kaum muslimin, niscaya keutamaan itu akan mencukupi mereka."
Kemudian turun ayat kepada Rasulullah saw.:.".. dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan (dengan memberikan kemenangan kepada mereka) ...." (QS. Al-Ahzâb [33]:25)
Tentang tafsir ayat ini Ibn Abbâs berkata: "Sesungguhnya Allah mencukupkan kaum mukminin dengan pertempuran Ali as."
Di samping itu, Imam Ali as. juga berhasil membunuh seorang prajurit Quraisy lainnya yang bernama Naufal bin Abdullah. Dengan demikian, Quraisy mengalami kekalahan yang telak. Ketika itu Rasulullah saw. bersabda: "Kini kita telah mengalahkan mereka, dan mereka tidak akan mampu mengalahkan kita."
Akhirnya, pasukan kafir Quraisy mengalami kerugian dan kegagalan yang fatal. Sebaliknya, muslimin tidak mengalami kekalahan sedikit pun dalam peperangan ini.
4. Penaklukan Benteng Khaibar

Setelah Allah swt. memuliakan Nabi-Nya dan menghinakan kaum kafir Quraisy, ia berpikir bahwa program kaum muslimin tidak akan berjalan lancar, negara Islam tidak akan damai, dan slogan muslimin tidak akan terangkat tinggi di muka bumi ini selama kekuatan Yahudi sebagai musuh bebuyutan Islam dari sejak dulu hingga saat itu masih bercokol. Pusat kekuatan dan eksistensi mereka terletak di benteng Khaibar. Benteng ini adalah pusat produksi senjata modern pada masa itu. Di antara senjata yang mereka produksi adalah manjanik yang mampu menembakkan peluru-peluru api. Ketika itu Yahudi adalah sebuah kekuatan yang siap membantu setiap golongan yang ingin memerangi Islam dengan berbagai senjata dari pedang, panah, hingga prisai.
Nabi saw. memerintah pasukan muslimin agar melakukan serangan terhadap benteng Khaibar. Ia menyerahkan komando pasukan kepada Abu Bakar. Ketika Abu Bakar tiba di benteng Khaibar dengan pasukannya, orang-orang Yahudi melemparinya dengan manjanik sehingga Abu Bakar merasa kalah dan kembali dengan ketakutan dan gemetar. Pada hari kedua, Rasulullah saw. menyerahkan komando pasukan kepada Umar bin Khattab. Ternyata Umar tidak berbeda dengan sahabatnya itu. Ia kembali dengan membawa kegagalan. Selama benteng Khaibar tetap tegar dan tertutup rapat, tak seorang pun yang akan berhasil menguasai benteng tersebut.
Setelah muslimin tidak mampu menumbangkan benteng Khaibar dan kepemimpinan Abu Bakar dan Umar dianggap gagal, Nabi saw. mengumumkan bahwa ia akan mengangkat seorang komandan perang yang Allah swt. akan memberikan kemenangan di tangannya. Ia bersabda: "Besok aku akan berikan bendera komando perang kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah swt. dan Rasul-Nya. Allah dan Rasul-Nya juga mencintainya. Dia tidak akan mundur sampai Allah memberikan kemenangan kepadanya."
Mendengar maklumat tersebut, muslimin tidak sabar lagi ingin mengetahui siapakah komandan pasukan yang Allah akan menganugerahkan kemenangan kepadanya itu. Mereka tidak menduga bahwa ia adalah Imam Ali as. Karena pada saat itu ia sedang menderita sakit mata. Ketika sinar matahari pagi mulai menyingsing, Nabi saw. memanggil Ali as. Ketika itu kedua matanya dibalut dengan kain. Setelah berada di hadapan Nabi saw., ia melepaskan kain pembalut itu dari kedua mata Ali as. Lalu Nabi saw. memoleskan ludahnya kepada kedua matanya. Seketika itu juga sakit mata Ali as. sembuh. Rasulullah saw. berkata: "Hai Ali, ambillah bendera ini sehingga Allah memberikan kemenangan kepadamu!"
Pejuang Islam itu menerima bendera komando tersebut dari Nabi saw. dengan tekad yang kuat membaja dan gagah perkasa. Imam Ali as. bertanya kepada Rasulullah saw.: "Apakah aku perangi mereka sampai mereka memeluk Islam?"
Nabi saw. menjawab: "Laksanakanlah tugas ini sampai engkau dapat menundukkan mereka. Lalu ajaklah mereka kepada Islam. Beritahukan kepada kewajiban-kewajiban mereka. Demi Allah, jika Allah memberikan petunjuk kepada seorang saja dari mereka melalui tanganmu, niscaya hal itu lebih baik bagimu daripada memiliki unta merah."
Sang panglima perang, Ali as., segera melakukan serangan dengan gagah berani. Tak sebersit pun rasa takut dan gentar tergores di dalam hatinya. Ia mengangkat bendera komando itu tinggi-tinggi menuju benteng Khaibar. Ia berhasil mencabut pintu benteng Khaibar dan menjadikannya sebagai prisai untuk menangkal serangan orang-orang Yahudi. Pasukan Yahudi pun merasa gentar ketakutan dan pucat pasi. Gerangan ksatria apakah ini?! Ia mampu mencopot pintu benteng Khaibar dan menjadikannya sebagai perisai! Padahal pintu itu tidak dapat dicopot kecuali oleh empat puluh orang kuat. Bagaimana mungkin pintu itu dapat dicopot oleh satu orang saja?! Sungguh hal itu merupakan keajaiban yang sangat menakjubkan.

Imam Ali as. Melawan Marhab

Marhab adalah seorang ksatria Yahudi yang gagah berani. Ia menantang Imam Ali as. untuk bertanding. Marhab maju dengan mengenakan penutup wajah pelindung buatan Yaman dan batu berlobang yang ia letakkan di kepalanya seraya bersyair:

Khaibar tahu aku adalah Marhab.
Penghunus pedang pahlawan tangguh.
Bagai singa kekar menyerang musuh.

Imam Ali as. menyambutnya. Ia mengenakan jubah berwarna merah. Sebagai jawAbân syair Marhab, ia bersyair:

Akulah yang dinamai oleh ibuku Haidar.
Sang pemberani dan singa tak gentar.
Singa penerkam musuh bak halilintar.
Kedua lenganku terbuka lebar kekar.
Kekar dan tangguh bak singa hutan keluar.
'Kan kutebas setiap batang leher pengingkar.
'Kan kuperangi mereka untuk yang benar.
'Kan kuperangi mereka dengan pedangku yang tegar.

Tidak seorang perawi pun yang berbeda pendapat bahwa syair tersebut adalah syair Imam Ali as. Dalam bait-bait syairnya itu, Imam Ali as. menjelaskan kegagahan, kekuatan, ketangkasan, keberanian, dan ketegarannya dalam menghadapi orang-orng kafir dan para pembangkang.
Imam Ali as. maju menghadapi Marhab dengan keberaniannya yang luar biasa. Dengan cepatnya menyabetkan pedangnya ke arah kepala Marhab hingga menembus penutup kepalanya. Marhab pun terhuyung jatuh ke atas tanah dengan darah yang bersimbah. Kemudian ia menyeret mayat Marhab dan membiarkannya terkapar menjadi mangsa binatang-binatang buas dan burung-burung pemakan bangkai. Dengan itu, Allah swt. telah menetapkan kemenangan yang gemilang bagi Islam. Benteng Khaibar telah ditaklukkan dan Allah telah menghinakan kaum Yahudi. Peperangan berakhir dan Imam Ali as. memberikan pelajaran keberanian yang senantiasa dikenang di sepanjang sejarah.
5. Penaklukan Kota Mekah

Allah swt. telah menetapkan kemenangan yang nyata atas hamba dan rasul-Nya, Muhammad saw. dan menghinakan kekuatan syirik dan tiran. Kekuatan musuh-musuh Islam telah mengalami kegagalan dan kerugian yang besar. Sementara kekuasaan Islam terbentang di semanjung jazirah Arabia dan bendera tauhid berkibar megah.
Rasulullah saw. melihat bahwa kemenangan yang gemilang bagi Islam tidak akan terealisasi sepenuhnya, kecuali dengan penaklukan kota Mekah sebagai benteng kemusyrikan dan kekufuran kala itu yang senantiasa memeranginya selama masih berada di sana. Nabi saw. meninggalkan kota Mekah dan telah memiliki kekuatan. Ia bergerak menuju kota itu dengan bala tentara yang terlatih sebanyak sepuluh ribu atau lebih prajurit bersenjata lengkap. Tetapinya menyembunyikan tujuan keberangkatan itu kepada para prajuritnya. Karenanya khawatir jika orang-orang kafir Quraisy tahu, mereka akan mengadakan perlawanan dan terjadi pertumpahan darah di tanah Haram. Oleh karena itu, ia merahasiakan tujuan perjalanan tersebut sehingga kedatangan pasukan muslimin yang secara tiba-tiba tersebut dapat mengejutkan penduduk Mekah.
Pasukan muslimin bergerak dengan cepat dan tanpa menyia-nyiakan kesempatan sedikitpun hingga mereka memasuki daerah pinggiran kota Mekah, sementara penduduknya tengah lelap dan lalai. Rasulullah saw. segera memerintahkan para sahabat agar mengumpulkan kayu bakar. Seketika itu juga, setumpuk besar kayu bakar telah terkumpul menggunung.
Pada malam gelap gulita itu, Nabi saw. memerintahkan agar para sahabat menyulut kayu bakar-kayu bakar itu, sehingga jilatan-jilatan api terlihat dari dalam kota Mekah. Melihat kejadian itu, Abu Sufyân betul-betul terkejut dan khawatir atas jiwa raganya. Ia berkata kepada Badîl bin Warqâ' yang tengah berada di sampingnya: "Aku belum pernah melihat sinar api seterang malam ini sama sekali." Badîl segera menimpali: "Demi Allah, ini adalah kobaran api peperangan."
Abu Sufyân mencemooh Badîl sembari berkata: "Kobaran api peperangan! Cahaya api dan bala tentaranya tidak mungkin sesedikit ini."
Rasa takut menyelimuti Abu Sufyân. Abbâs segera mendatanginya. Ia mengetahui kedatangan pasukan Islam untuk menguasai kota Mekah. Ia berkata kepada Abu Sufyân: "Hai Abu Hanzhalah!"
Abu sufyân yang mengenalnya segera berkata: "Apa ini Abul Fadhl?"
"Ya", jawab Abbâs pendek.
"Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu", tegas Abu Sufyân.
Abbâs menimpali: "Celaka engkau, hai Abu Sufyân. Itu adalah Rasulullah di tengah-tengah khalayak. Esok paginya akan menaklukkan Quraisy."
Darah Abu Sufyân seketika itu membeku. Ia sangat khawatir terhadap diri dan kaumnya. Dia berkata dengan nada gemetar: "Apa yang harus kita lakukan?"
Abbâs segera memberikan solusi sehingga darahnya terjaga. Ia berkta: "Demi Allah, jika Rasulullah berhasil menangkapmu, ia pasti akan menebas batang lehermu. Naikilah ke punggung keledai tua ini. Aku akan mendatangi Rasulullah untuk mohon perlindungan untukmu."
Abbâs membonceng Abu Sufyân yang sedang gemetar ketakutan. Abu Sufyân tidak bisa tidur semalam suntuk. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi atas dirinya karena berat dan banyaknya kejahatan yang telah ia lakukan atas kaum muslimin. Setibanya di hadapan Rasulullah saw., ia berkata kepadanya: "Celaka engkau, hai Abu Sufyân! Apakah hingga kini belum tiba waktunya untuk kamu mengakui bahwa tidak ada tuhan selain Allah?"
Nabi saw. tidak menampakkan dendam atas berbagai kejahatan yang telah dilakukan oleh Abu Sufyân terhadapnya. Ia telah mengulurkan tirai atas kejadian-kejadian tersebut demi menyebarkan ajaran Islam yang tidak menaruh dendam terhadap kejahatan musuh-musuhnya. Abu Sufyân merengek di hadapan Nabi saw. untuk memohon maaf seraya berkata: "Demi ayah dan ibuku, betapa engkau pemaaf, berkepribadian mulia, dan penyambung persaudaraan. Demi Allah, sungguh aku mengira bahwa sekiranya ada tuhan lain selain Allah, pasti ia tidak akan membutuhkanku."
Nabi saw. menoleh ke arah Abu Sufyân seraya berkata dengan lemah lembut: "Celaka engkau, hai Abu Sufyân! Belumkah tiba waktunya untuk kamu mengenal bahwa aku adalah utusan Allah?"
Ketika itu Abu Sufyân tidak mampu lagi menyembunyikan kemusyrikan dan kekufuran yang sudah terukir dalam relung hatinya. Dia berkata kepada Rasulullah saw.: "Demi ayah dan ibuku, betapa lembutnya engkau dan betapa mulia dan penyambung persaudaraan engkau. Adapun masalah ini, hingga saat ini di dalam hatiku masih terdapat sesuatu."
Abbâs yang mendengar hal itu segera memberikan peringatan kepadanya bila ia tidak bersaksi atas kenabian dan tidak masuk Islam. Abbâs berkata: "Celakalah engkau. Masuklah Islam! Bersaksilah bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhamamd adalah Rasulullah sebelum lehermu ditebas!
Lelaki kotor dan keji itu tidak memiliki jalan lain. Ia terpaksa masuk Islam dengan lisannya. Sementara kekufuran dan kemusyrikan masih tetap terpendam di dalam relung hatinya.
Nabi saw. memerintahkan pamannya, Abbâs, agar menahan Abu Sufyân di sebuah lembah yang sempit sehingga prajurit Islam melewatinya dan ia menyaksikan mereka. Hal itu agar Quraisy merasa takut untuk mengadakan perlawanan. Abbâs melaksanakan perintah Nabi saw. Para prajurit Islam melaluinya dengan membawa aneka ragam senjata.
Abu Sufyân bertanya kepada Abbâs: "Siapakah ini?"
"Sulaim", jawab Abbâs pendek.
"Aku tidak ada urusan dengan Sulaim", tukas Abu Sufyân.
Tidak lama kemudian sekelompok pasukan berkuda lainnya lewat. Abu Sufyân bertanya lagi: "Siapakah ini?"
"Mazînah", jawab Abbâs singkat.
"Aku tiak ada urusan dengan Mazînah", tukas Abu Sufyân.
Kemudian Nabi saw. lewat dengan membawa pasukan berkuda yang berpakain hijau dengan pedang terhunus. Ia dikelilingi para sahabatnya yang pemberani. Melihat itu, Abu Sufyân merasa gentar. Ia bertanya: "Siapakan pasukan berkuda itu?"
"Itu adalah Rasulullah bersama Muhajirin dan Anshar", jawab Abbâs pendek.
"Sungguh kerajaan kemenakanmu telah hebat", tukas Abu Sufyân.
Abbâs menimpali: "Hai Abu Sufyân, itulah kenabian."
Abu Sufyân menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berkata dengan menghina: "Ya, kalau begitu."
Lelaki jahiliah ini tidak beriman kepada Islam. Ia hanya mengerti tentang kerajaan dan kekuasaan. Setelah itu Abbâs membebaskannya. Abbâs segera masuk ke dalam kota Mekah dan berteriak dengan keras: "Hai kaum Quraisy, Muhammad telah datang kepada kalian dengan pasukan yang kalian tidak mungkin dapat melawannya. Barang siapa yang memasuki rumah Abu Sufyân, maka ia akan aman."
Orang-orang Quraisy berkata kepada Abbâs: "Rumahmu tidak dapat menjamin kemanan kami?"
"Barang siapa yang menutup pintunya, maka ia akan aman. Dan barang siapa yang masuk ke dalam masjid, maka ia akan aman", teriak Abbâs lagi.
Hati kaum Quraisy menjadi tenang. Mereka segera masuk ke dalam rumah mereka dan masjid. Sementara itu, Hindun menentang Abu Sufyân. Hatinya dipenuhi kekecewaan. Ia berteriak dengan keras untuk membangkitkan amarah kaum Quraisy terhadap Abu Sufyân: "Bunuhlah lelaki keji dan kotor ini! Tindakannya tidak sesuai dengan tindakan seorang pemimpin suatu kaum."
Abu Sufyân memperingatkan kaum Quraisy agar tidak melawan dan mengajak mereka untuk menyerah. Nabi saw. memasuki kota Mekah bersama bala tentara Islam. Allah swt. telah menghinakan Quraisy dan membahagiakan muslimin yang tertindas selama ini. Nabi saw. segera menuju ke Ka'bah untuk menghancurkan patung-patung sembahan orang-orang kafir Quraisy. Ia saw. menikamkan tombak di bagian mata Hubal sambil berkata: "Telah datang kebenaran dan telah sirna kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu pasti sirna."
Kemudiannya saw. memerintahkan Ali as. agar menaiki pundaknya untuk menghancurkan patung-patung dan membersihkan Baitullah yang suci itu darinya. Ali as. mengangkat patung-patung itu dan melemparkannya ke atas tanah hingga hancur. Dengan itu, patung-patung itu telah hancur di tangan pahlawan Islam, sebagaimana patung-patung pernah dihancurkan oleh kakeknya, Ibrahim Khalîlullâh.
Haji Wadâ'

Nabi saw. merasa bahwa ia tidak lama lagi akan berangkat menghadap ke haribaan suci Ilahi. Karena itu, ia merasa perlu untuk melakukan haji ke Baitullah untuk menetapkan jalan-jalan keselamatan buat umat manusia. Pada tahun ke-10 Hijriah, ia berangkat menunaikan ibadah haji. Ia mengumumkan kepada segenap penduduk bahwa tidak lama laginya akan berangkat menuju ke alam akhirat dan meninggalkan dunia fana ini untuk selamanya. Ia bersabda: "Aku tidak tahu, barangkali setelah tahun ini aku tidak dapat berjumpa lagi dengan kalian untuk selamanya dalam kondisi seperti ini."
Dengan informasi itu, jamaah haji merasa takut dan khawatir. Mereka melakukan tawaf dengan perasaan sedih sembari berguman: "Nabi saw. telah memberitahukan kematian dirinya."
Nabi saw. menetapkan jalan-jalan keselamatan yang dapat menjaga umat dari segala fitnah dan menjamin kehidupan mereka yang mulia. Ia saw. bersabda: "Hai manusia, aku tinggalkan buat kalian dua pusaka yang sangat berharga, yaitu kitab Allah dan 'Itrahku, keluargaku."
Ya, berpegang teguh kepada kitab Allah, mengamalkan isinya, dan ber-wilâyah kepada Ahlul Bait as. adalah sebuah jaminan bagi umat dari penyimpangan dalam kehidupan dunia ini. Setelah selesai melakukan ibadah haji, Rasulullah saw. menyampaikan sebuah ceramah yang sangat indah. Dalam ceramah ini ia telah menjelaskan poin-poin yang sangat penting dan ajaran-ajaran Islam yang sangat benderang. Ia mengakhiri ceramah itu dengan pesan: "Sepeninggalku nanti, jangan sampai kalian kembali kepada kekufuran dan kesesatan sehingga segolongan dari kalian membunuh segolongan yang lain. Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian dua buah pusaka yang kalian pasti tidak akan tersesat untuk selamanya bila berpegang teguh kepadanya. Yaitu kitab Allah dan 'Itrahku, keluargaku. Apakah aku telah menyampaikan hal ini kepada kalian?"
"Ya", jawab mereka serentak.
Kemudian Nabi saw. bersabda lagi: "Ya Allah, saksikanlah! Sesungguhnya kalian akan dimintai tanggung jawab. Hendaknya kalian yang hadir di sini menyampaikan kepada yang gaib."
Kami telah memaparkan teks ceramahnya saw. ini dalam Mawsû'ah Al-Imam Amiril Mukminin as., jilid 2.
Muktamar Ghadir Khum

Setelah Nabi saw. menunaikan ibadah haji, ia kembali ke kota Madinah bersama rombongan jamaah haji. Ketika ia sampai di Ghadir Khum, malaikat Jibril turun kepadanya dengan membawa perintah Allah swt. yang maha penting. Allah swt. memerintahkan agarnya menghentikan rombongan di tempat tersebut guna mengangkat Ali as. sebagai khalifah dan imam atas umat setelahnya wafat. Juga ditekankan bahwa ia tidak boleh menunda-nunda pelaksanaan perintah itu. Ketika itu turun ayat: "Hai Rasulullah, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika engkau tidak melakukannya, maka berarti engkau belum menyapaikan semua risalah-Nya. Dan Allah menjagamu dari kejahatan manusia." (QS. Al-Mâ'idah [5]:67)
Rasulullah saw. menerima perintah tersebut dengan penuh perhatian. Dengan tekad yang kuat membaja dan kehendak yang bulat, ia menghentikan perjalanan di tengah-tengah terik matahari padang pasir. Ia memerintahkan agar kafilah jamaah haji berhenti untuk mendengarkan ceramah yang akannya sampaikan kepada mereka. Nabi saw. mengerjakan salat. Setelah usai salat, ia memerintahkan supaya pelana-pelana unta disusun menjadi mimbar. Setelah itu, ia saw. menyampaikan ceramah dengan penuh semangat. Ia menyampaikan berbagai kesulitan dan rintangan yang melitang jalan dakwah Islam yang pada saat itu umat manusia beada dalam kesesatan. Kemudian ia menyelamatkan mereka. Ia telah menanamkan pondasi kultur (Islam) dan kemajuan umat manusia. Kemudian ia saw. menoleh kepada mereka seraya berkata: "Lihatlah bagaimana kalian memperlakukan dua puaka berharga ini."
Ketika itu sebagian orang bertanya: "Apakah dua pusaka itu, ya Rasulullah?"
Rasulullah saw. menjawab: "Pusaka yang lebih besar adalah kitab Allah; satu bagian jungnya berada di tangan Allah dan satu ujungnya yang lain berada di tangan kalian. Maka berpegang teguhlah kepadanya dan janganlah kalian tersesat. Pusaka lainnya adalah lebih kecil, yaitu keluargaku. Sesungguhnya Allah Yang Maha Lembut dan Mengetahui memberitahukan kepadaku bahwa kedua pusaka itu tidak akan berpisah hingga keduanya menjumpaiku di telaga Haudh. Kemudian aku mohon hal itu kepada Tuhanku. Maka janganlah kalian mendahului keduanya, karena kalian pasti akan binasa, dan janganlah kalian lalai dari keduanya, niscaya kalian akan hancur …."
Kemudian Nabi saw. mengangkat tangan washî dan pintu kota ilmunya, Ali as. dan mewajibkan muslimin untuk ber-wilâyah kepadanya. Ia telah menobatkan dia sebagai pemimpin umat untuk menunjukkan mereka kepada jalan yang lurus.
Beliau saw. bersabda: "Hai manusia, siapakah yang lebih utama terhadap orang-orang beriman daripada diri mereka sendiri?"
Mereka menjawab: "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui."
Nabi saw. bersabda: "Sesungguhnya Allah adalah pemimpinku dan aku adalah pemimpin kaum mukminin. Maka aku lebih utama terhadap mereka daripada diri mereka sendiri. Barang siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka Ali ini adalah pemimpinnya." Ia mengulangi ucapan ini sampai tiga kali.
Setelah itunya melanjutkan: "Ya Allah, bimbinglah orang yang ber-wilâyah kepada Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya. Cintailah orang yang mencintainya dan murkailah orang yang memurkainya. Tolonglah orang yang menolongnya dan hinakanlah orang yang menghinakannya. Dan sertakanlah hak bersamanya di mana saja dia berada. Hendaknya yang hadir menyampaikan hal ini kepada yang gaib …."
Dengan ucapan tersebut, Nabi Muhammad saw. mengakhiri pidatonya, sebuah pidato yang menentukan Ali as. sebagai rujukan seluruh umat manusia sepeninggalnya saw. Ia telah menentukan seorang pemimpin yang mengatur seluruh urusan kamu muslimin setelahnya.
Kaum muslimin menyambut hal itu dengan membaiat Imam Ali as. dan menyampaikan ucapan selamat atas jabatannya sebagai pemimpin muslimin. Nabi saw. memerintahkan para Ummul Mukminin agar membaiatnya. Umar bin Khaththab pun maju menghadap Ali as. untuk mengucapkan selamat dan menyalAmînya. Ketika itu Umar mengucapkan ucapannya yang masyhur: "Selamat, hai putra Abi Thalib, engkau telah menjadi pemimpinku dan pemimpin setiap mukmin laki-laki dan perempuan."
Hassân bin Tsâbit pun bangkit untuk membacakan bait-bait syairnya:
Nabi memanggil mereka pada hari Ghadir Khum, dengarkanlah Rasul memanggil.
Dia berkata: "Siapaklah maula dan nabi kalian?" Mereka menjawab dan tidak seorang pun buta: "Tuhanmu adalah maula kami, dan engkau adalah nabi kami. Tak seorang pun di antara kami yang menentang."
Dia bekata: "Bangkitlah, hai Ali. Aku rela engkau sebagai imam dan penunjuk jalan setelahku.
Barang siapa aku adalah walinya, maka Ali adalah walinya. Hendaklah kalian menjadi pengikutnya yang jujur."
Dia berdoa: "Ya Allah, cintailah orang yang membantunya dan musuhilah orang yang mendengkinya."
Sesungguhnya membaiat Imam Ali as. pada peristiwa Ghadir Khum adalah bagian dari missi Islam. Barang siapa yang mengingkarinya, berarti ia telah mengingkari Islam, seperti ditegaskan Allamah Al-'Alâ'ilî.
Duka Abadi

Setelah Nabi saw. menyampaikan risalah Tuhan dan menjadikan Ali as. sebagai pemimpin umat, kesehatannya mulai menurun hari demi hari. Ia terjangkit penyakit demam berat seperti panas yang membakar. Ia mengenakan sehelai selimut. Jika istri-istrinya dan para penjenguk meletakkan tangan mereka di atas selimut tersebut, mereka pasti merasakan panasnya.
Kaum muslimin berbondong-bondong menjenguknya. Ia memberitahukan kepada mereka tentang ajalnya dan menyampaikan wasiatnya yang abadi. Ia berkata: "Hai manusia, sebentar lagi nyawaku segera akan diambil, lalu aku akan dibawa. Aku sampaikan kepada kalian sebuah amanat demi menyempurnakan hujah bagi kalian. Aku tinggalkan untuk kalian kitab Allah dan 'Itrahku, Ahlul Baitku."
Ajal begitu cepat mendekat kepadanya. Pada waktu itu, ia membaca ada glagat-glagat fanatisme golongan di dalam diri para sahabat untuk berusaha keras mengalihkan kekhalifahan dari Ahlul Baitnya as. Ia berpikir bahwa jalan yang paling tepat adalah mengosongkan kota Madinah dari mereka dengan cara mengutus mereka untuk memerangi bangsa Romawi. Ia menyiapkkan satu pasukan perang di bawah komando Usâmah bin Zaid yang masih berusia muda. Ia saw. tidak menyerahkan kepemimpinan pasukan kepada sahabat yang sudah berumur. Bahkan ia malah memerintahkan mereka menjadi prajurit Usâmah. Mereka merasa keberatan untuk bergabung dalam pasukan perang Usâmah itu.
Mengetahui hal itu, Rasulullah saw. segera naik ke atas mimbar dan menyampaikan pidato. Ia berkata: "Laksanakanlah perintah Usâmah! Semoga Allah melaknat orang-orang yang membelot dari pasukan Usâmah."
Perintahnya yang tegas ini tidak menyenangkan hati mereka. Mereka malah memasukkan ucapannya itu ke telinga kanan dan mengeluarkannya dari telinga kiri. Mereka tidak menaati perintahnya. Ada beberapa pembahasan penting lain dari bagian sejarah Islam ini, dan kami telah memaparkannya dalam kitab Hayâh Al-Imam Hasan as.

Tragedi Hari Kamis

Sebelum meninggal dunia, Rasulullah saw. melihat pentingnya memperkokoh baiat terhadap washî dan pintu kota ilmunya yang telah terlaksana di Ghadir Khum untuk menutup kesempatan bagi para pengkhianat. Ia saw. berkata: "Ambilkan secarik kertas dan pena untukku. Aku akan menulis untuk kalian sebuah wasiat agar kalian tidak tersesat untuk selamanya."
Betapa besar nikmat tersebut bagi kaum muslimin. Karena hal itu adalah sebuah jaminan dari penghulu alam, Rasulullah saw. bahwa umat manusia tidak akan tersesat sepeninggalannya. Mereka senantiasa dapat berjalan di atas jalan lurus yang tidak tercerabuti oleh penyimpangan sedikit pun. Wasiat apakah yang dapat menjamin petunjuk dan kebaikan bagi umat Islam itu? Wasiat itu tidak lain adalah kepemimpinan Ali as. atas umat manusia sepeninggalnya.
Sebagian sahabat mengetahui bahwa Nabi Muhammad saw. bermaksud ingin menulis wasiat mengenai kekhalifahan Ali as. sepeninggalnya. Oleh karena itu, mereka menolak permintaannya itu sembari berteriak: "Cukup bagi kita kitab Allah!"
Setiap orang yang merenungkan penolakan tersebut pasti mengetahui apa maksud ucapan itu. Sahabat yang menolak itu merasa yakin bahwa Nabi saw. akan mengangkat Imam Ali as. sebagai khalifah sepeninggalnya melalui wasiat tersebut. Seandainya sahabat itu tahu bahwa ia hanya ingin berwasiat supaya perbatasan-perbatasan wilayah negara Islam dijaga atau ajaran-ajaran agama Islam diperhatikan, pasti ia tidak akan menolak permintaannya seberani itu.
Yang jelas, ketika itu terjadi keributan di antara orang-orang yang hadir di rumah Rasulullah saw. Sekelompok dari mereka berusaha agar permintaannya itu segera dilaksanakan. Sementara sekelompok yang lain berusaha menghalanginya menulis wasiat tersebut. Beberapa Ummul Mukminin dan para wanita yang lain melawan sikap para penentang yang telah berani menghalang-halanginya di saat-saat terakhir Hayâhnya itu. Mereka berkata dengan nada protes: "Tidakkah kalian mendengar ucapan Rasulullah saw.? Tidakkah kalian ingin melaksanakan keinginan Rasulullah saw.?"
Khalifah Umar, dalang dan otak penentangan itu, bangkit dan berteriak kepada para wanita itu. Ia berkata: "Sungguh kalian adalah wanita-wanita yusuf. Apabila ia sakit, kalian hanya bisa menangis. Dan Jika ia sehat, kalian senantiasa membebaninya".
Mendengar teriakan itu, Rasulullah saw. berkata seraya membidikkan pandangan matanya yang tajam ke arah Umar: "Biarkan para wanita itu. Sungguh mereka lebih baik dibandingkan dengan kalian semua!"
Pertikaian di antara orang-orang yang hadir pun bertambah sengit. Hampir saja kelompok yang mendukung Nabi saw. untuk menulis wasiat itu memenangkan pertikaian. Tetapi seorang penentang segera bangkit dan membidikkan panahnya untuk menghancurkan taktiknya. Orang itu berkata: "Sesungguhnyanya sedang mengigau."
Betapa lancangnya orang itu berkata demikian kepada Rasulullah saw. dan sungguh berani ia menentang poros kenabian. Dia berani mengatakan bahwa Rasulullah saw. sedang mengigau, padahal Al-Qur'an berfirman: "Sahabat kalian itu tidak tersesat dan juga tidak menyimpang. Dia tidak berbicara atas dasar hawa nafsu, melainkan atas dasar wahyu yang diturunkan kepadanya. Dia dididik oleh Dzat Yang Maha Perkasa." (QS. An-Najm [53]:2-5)
Nabi Muhammad saw. mengigau? Padahal Allah swt. berfirman: "Sesungguhnya itu adalah ucapan seorang rasul yang mulia, yang memiliki kekuatan di sisi 'Arsy yang tersembunyi." (QS. At-Takwîr [81]:19-20)
Kita harus melihat peristiwa tersebut secara obyektif dan dengan kesadaran yang bukan penuh, bukan dengan perasaan dan emosi. Karena hal itu berkaitan erat dengan realitas agama kita dan dapat mengungkap bagi kita suatu realitas yang menunjukkan tipu daya musuh terhadap Islam.
Ala kulli hal, taktkala Ibn Abbâs, panutan umat yang alim itu, menyebutkan peristiwa yang mengenaskan itu, hatinya pilu bak tersayat sembilu dan melinangkan air mata bagaikan butiran-butiran permata. Dia berkata: "Hari Kamis! Oh betapa memilukan tragedi hari Kamis. Pada hari Kamis itu Rasulullah saw. bersabda: 'Ambilkan kertas dan pena untukku. Aku ingin menulis sebuah wasiat untuk kalian, agar kalian tidak akan tersesat selama-lamanya.' Tetapi mereka berkata: 'Sesungguhnya Rasulullah sedang mengigau.'"
Satu-satunya kemungkinan yang bisa kita ungkapkan berkenaan dengan masalah ini adalah sekiranya Rasulullah saw. sempat menulis wasiat berkenaan dengan hak Imam Ali as. itu, wasiat itu tidak akan bermanfaat sama sekali. Mereka akan menuduhnya saw. sedang mengigau dan tidak sadarkan diri. Padahal tuduhan semacam ini adalah sebuah tikaman yang sangat telak atas kesucian kenabian.
Rasulullah saw. Menghadap ke Haribaan Ilahi

Kini tiba saatnya manifestasi kelembutan Ilahi itu harus berangkat ke langit yang tinggi. Kini tiba saatnya cahaya yang menerangi alam semesta ini harus pindah ke haribaan suci Ilahi. Malaikat maut telah mendekat menghampirinya saw. untuk menerima roh yang agung itu. Pada saat itu, ia saw. menoleh ke washî dan pintu kota ilmunya. Ia saw. bersabda: "Letakkanlah kepalaku di atas pangkuanmu. Utusan Allah telah tiba. Apabila rohku telah keluar, maka raih roh itu dan usaplah wajahmu dengannya. Kemudian hadapkanlah aku ke arah kiblat, uruslah jenazahku, dan salatilah aku. Engkaulah orang pertama yang menyalatiku. Janganlah engkau tinggalkan aku hingga engkau kuburkan aku di dalam tanah, dan mintalah bantuan kepada Allah swt."
Imam Ali as. segera meraih kepala Rasulullah saw. dan meletakkan kepala suci itu di atas pangkuannya, lalu ia meletakkan tangan kanannya di bawah dagunya. Tidak lama kemudian, roh Rasulullah saw. yang agung pun berangkat. Imam Ali mengusap wajahnya dengan rohnya itu.
Bumi bergoncang dan cahaya keadilan pun lenyap. Oh, betapa hari-hari yang panjang ini penuh dengan kesedihan, hari yang gelap gulita tidak ada tandingannya. Telah sirna mimpi-mimpi kaum muslimin. Kaum wanita Madinah pun keluar sambil menampar-nampar pipi mereka. Suara duka dan kesedihan mereka terdengar nyaring. Para Ummul Mukminin menghempaskan jilbab-jilbab dari atas kepala sembari memukul-mukul dada. Sementara tenggorokan kaum wanita Anshar parau karena berteriak histris.
Di antara keluarga Rasulullah saw. yang paling terpukul dan sedih adalah buah hati dan putri semata wayangnya, Sayyidah Az-Zahrâ' as. Ia merebahkan diri ke atas jenazah ayahanda tercinta sembari berkata dengan suara yang pilu: "Oh, ayahku! Oh, nabi rahmatku! Kini wahyu tak 'kan datang lagi. Kini terputuslah hubungan kami dengan Jibril. Ya Allah, susulkanlah rohku dengan rohnya. Berikanlah aku syafaat untuk dapat melihat wajahnya. Janganlah Engkau halangi aku untuk memperoleh pahala dan syafaatnya pada Hari Kiamat kelak."
Az-Zahrâ' as. berjalan mondar-mandir di seputar jenazah ayahandanya yang agung itu dengan duka yang mendalam. Peristiwa itu telah membungkam lidahnya. Ia hanya dapat berkata: "Oh, ayahku! Kepada Jibril aku menyampaikan bela sungkawa ini. Oh, ayahku! Surga Firdaus tempat ia berteduh. Oh, ayahku! Ia telah memenuhi panggilan Tuhan yang telah memanggilnya."
Kewafatan ayahanda tercinta telah membuat Sayyidah Az-Zahrâ' bisu bagaikan mayat yang tak bernyawa lagi. Betapa sedihnya Az-Zahra as., buah hati Rasulullah saw. itu.
Menangani Proses Pemakaman Jenazah yang Agung

Imam Ali as. menangani proses pemakaman jenazah saudara dan putra pamannya itu sambil mencucurkan air mata yang deras. Ali as. memandikan jasad yang suci itu sambil berkata dengan suara yang lirih: "Demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah, dengan kepergianmu ini telah terputus kenabian dan berita langit yang tidak pernah terputus dengan kematian orang lain selainmu. Engkau dikhususkan (dengan kenabian) sehingga engkau senantiasa menjadi pelipur lara bagi orang lain, dan missimu bersifat umum sehingga seluruh manusia sama di hadapanmu. Sekiranya engkau tidak menyuruhku untuk bersabar dan tidak melarangku untuk berkeluh-kesah, niscaya telah kutumpahkan seluruh kesedihanku, problem pun berkepanjangan, dan kesedihan pun berkelanjutan."
Setelah selesai memandikan jasad Rasulullah saw., Ali as. mengkafaninya dan meletakkan jazad mulia itu di atas keranda untuk dimakamkan.
Menyalati Jenazah Rasulullah saw.

Orang pertama yang menyalati jenazah Rasulullah saw. yang suci adalah Allah swt. di atas 'Arsy-Nya, kemudian Jibril as., kemudian Israfil as., dan kemudian para malaikat serombongan demi serombongan. Setelah itu, kaum muslimin berbondong-bondong menyalati jenazah nabi mereka. Imam Ali as. berkata: "Tak seorang pun yang menjadi imam dalam salat ini. Ia adalah imam kalian, baik ketika hidup maupun setelah wafat."
Mereka masuk ke dalam ruangan sekelompok demi sekelompok dan menyalati jenazahnya dengan berbaris tanpa imam. Salat tersebut dilakukan secara khusus. Imam Ali as. membacakan bacaan-bacaan salat, sementara mereka mengikuti bacaan terebut. Bacaan itu adalah
?لسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَشْهَدُ أَنَّهُ قَدْ بَلَّغَ مَا

أُنْزِلَ إِلَيْهِ، وَ نَصَحَ لِأُمَّتِهِ، وَ جَاهَدَ فِي سَبِيْلِ اللهِ حَتىَّ أَعَزَّ اللهُ دِيْنَهُ وَ تَمَّتْ كَلِمَتُهُ،

اللَّهُمَّ فَاجْعَلْنَا مِمَّنْ يَتَّبِعُ مَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ، وَ ثَبِّتْنَا بَعْدَهُ وَ اجْمَعْ بَيْنَنَا وَ بَيْنَهُ

Salam sejahtera, juga rahmat, dan seluruh berkah Allah untukmu, wahai nabi Allah. Ya Allah, kami bersaksi bahwa ia telah menyampaikan apa yang telah diturunkan kepadanya, telah menasihati umatnya, dan telah berjuang di jalan Allah sehingga Allah memuliakan agama-Nya dan menyempurnakan kalimat-Nya. Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang mengikuti apa yang telah diturunkan kepadanya. Teguhkanlah kami sepeninggalnya dan himpunlah kami dengannya.

Sementara seluruh masyarakat yang menyalatinya itu mengucapkan: "Amîn."
Kaum muslimin berjalan melalui jenazah nabi yang agung itu sembari menatapnya dengan kesedihan dan rasa duka yang sangat dalam. Mereka kini telah kehilangan penyelamat dan pembimbing. Pembangun negara dan peradAbân yang tinggi itu telah wafat meninggalkan mereka.
Menguburkan Jenazah Rasulullah saw.

Seusai kaum muslimin menyalati jenazah Rasulullah saw., Imam Ali as. menggali kuburan untuknya. Setelah itu, ia menguburkan jenazah saudaranya itu.
Kekuatan Ali telah melemah. Ia berdiri di pinggiran kubur sembari menutupi kuburan itu dengan tanah dengan disertai linangan air mata. Ia mengeluh: "Sesungguhnya sabar itu indah, kecuali terhadapmu. Sesungguhnya berkeluh-kesah itu buruk, kecuali atas dirimu. Sesungguhnya musibah atasmu sangat besar. Dan sesungguhnya sebelum dan sesudahmu terdapat peristiwa besar."
Pada hari bersejarah itu, bendera keadilan telah terlipat di alam kesedihan, tonggak-tonggak kebenaran telah roboh, dan cahaya yang telah menyinari alam telah lenyap. Beliaulah yang telah berhasil mengubah perjalanan hidup umat manusia dari kezaliman yang gelap gulita kepada kehidupan sejahtera yang penuh dengan peradAbân dan keadilan. Dalam kehidupan ini, suara para tiran musnah dan jeritan orang-orang jelata mendapat perhatian. Seluruh karunia Allah terhampar luas untuk hamba-hamba-Nya dan tak seorang pun memiliki kesempatan untuk menimbun harta untuk kepentingannya sendiri.
Muktamar Tsaqîfah

Dalam sejarah dunia Islam, muslimin tidak pernah menghadapi tragedi yang sangat berat sebagai cobaan dalam kehidupan mereka seberat peristiwa Tsaqîfah yang telah menyulut api fitnah di antara mereka dan membuka pintu kehancuran bagi kehidupan mereka.
Kaum Anshar telah melangsungkan muktamar di Tsaqîfah Bani Sâ'idah pada hari Rasulullah saw. wafat. Muktamar itu dihadiri oleh dua kubu, suku Aus dan Khazraj. Mereka berusaha mengatur siasat supaya kekhalifahan tidak keluar dari kalangan mereka. Mereka tidak ingin muktamar tersebut diikuti oleh kaum Muhajirin yang secara terus terang telah menolak untuk membaiat Imam Ali as. yang telah dikukuhkan oleh Rasulullah saw. sebagai khalifah dan pemimpin umat pada peristiwa Ghadir Khum. Mereka tidak ingin bila kenabian dan kekhalifahan berkumpul di satu rumah, sebagaimana sebagian pembesar mereka juga pernah menentang Rasulullah saw. untuk menulis wasiat berkenaan dengan hak Ali as. Ketika itu mereka melontarkan tuduhan bahwa Rasulullah saw. sedang mengigau sehingga mereka pun berhasil melakukan makar tersebut.
Ala kulli hal, kaum Anshar merupakan tulang punggung bagi kekuatan bersenjata pasukan Rasulullah saw. dan mereka pernah menebarkan kesedihan dan duka di rumah-rumah kaum Quraisy yang kala itu hendak melakukan perlawanan terhadap Rasulullah saw. Ketika itu orang-orang Quraisy betul-betul merasa dengki terhadap kaum Anshar. Oleh karena itu, kaum Anshar segera mengadakan muktamar, karena khawatir terhadap kaum Muhajirin.
Hubâb bin Munzdir berkata: "Kami betul-betul merasa khawatir bila kalian diperintah oleh orang-orang yang anak-anak, nenek moyang, dan saudara-saudara mereka telah kita bunuh."
Kekhawatiran Hubbâb itu ternyata menjadi kenyataan. Setelah usia pemerintahan para khalifah usai, dinasti Bani kaum Umayyah berkuasa. Mereka berusaha untuk merendahkan dan menghinakan mereka. Mu'âwiyah telah berbuat zalim dan kejam. Ketika Yazîd bin Mu'âwiyah memerintah, ia juga bertindak sewenang-wenang dan menghancurkan kehormatan mereka dengan berbagai macam siksa dan kejahatan. Yazîd menghalalkan harta, darah, dan kehormatan mereka pada tragedi Harrah. Sejarah tidak pernah menyaksikan kekejian dan kekezaman semacam itu.
Ala kulli hal, pada muktamar Tsaqîfah tersebut, kaum Anshar mencalonkan Sa'd sebagai khalifah, kecuali Khudhair bin Usaid, pemimpin suku Aus. Ia enggan berbaiat kepada Sa'd karena kedengkian yang telah tertanam antara sukunya dan suku Sa'd, Khazraj. Sudah sejak lama, memang hubungan antara kedua suku ini tegang.
'Uwaim bin Sâ'idah bangkit bersama Ma'n bin 'Adî, sekutu Anshar, untuk menjumpai Abu Bakar dan Umar. Mereka ingin memberitahukan kepada Abu Bakar dan Umar peristiwa yang sedang berlangsung di Tsaqîfah. Abu Bakar dan Umar terkejut. Mereka segera pergi menuju ke Tsaqîfah secara tiba-tiba. Musnahlah seluruh cita-cita yang telah dirajut oleh kaum Anshar. Wajah Sa'd berubah. Setelah terjadi pertikaian yang tajam antara Abu Bakar dan kaum Anshar, kelompok Abu Bakar segera bangkit untuk membaiatnya. Umar yang bertindak sebagai pahlawan dalam baiat itu telah memainkan peranannya yang aktif dalam ajang pertikaian kekuasaan itu. Dia menggiring masyarakat untuk membaiat sahabatnya, Abu Bakar. Abu Bakar keluar dari Tsaqîfah diikuti oleh para pendukungnya menuju ke masjid Rasulullah saw. dengan diiringi oleh teriakan suara takbir dan tahlil. Dalam baiat ini, pendapat keluarga Nabi saw. tidak dihiraukan. Begitu pula pendapat para pemuka sahabatnya, seperti Ammâr bin Yâsir, Abu Dzar, Miqdâd, dan sahabat-sahabat yang lain.
Sikap Imam Ali as. Terhadap Pembaiatan Abu Bakar

Para sejarawan dan perawi hadis bersepakat bahwa Imam Ali as. menolak dan tidak menerima pembaiatan atas Abu Bakar. Ia lebih berhak untuk menjadi khalifah. Karena beliaulah orang yang paling dekat dengan Rasulullah saw. Kedudukan Ali as. di sisi Rasulullah saw. adalah seperti kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as. Islam tegak karena perjuangan dan keberaniannya. Dia mengalami berbagai macam bencana dalam menegakkan Islam. Nabi saw. menjadikan Ali as. sebagai saudaranya. Rasulullah saw. pernah bersabda kepada kaum muslimin: "Barang siapa yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali adalah juga pemimpinnya."
Atas dasar ini, Ali as. menolak untuk membaiat Abu Bakar. Abu Bakar dan Umar telah bersepakat untuk menyeret Ali as. dan memaksanya berbaiat. Umar bin Khaththab bersama sekelompok pengikutnya mengepung rumah Ali as. Umar menakut-nakuti, mengancam, dan menggertak Ali as. dengan menggenggam api untuk membakar rumah wahyu itu. Buah hati Rasulullah saw. dan penghulu para wanita semesta alam keluar dan bertanya dengan suara lantang: "Hai anak Khaththab, apa yang kamu bawa itu?" Umar menjawab dengan keras: "Yang aku bawa ini lebih hebat daripada yang telah dibawa oleh ayahmu."
Sangat disayangkan dan menggoncang kalbu setiap muslim! Mereka telah berani bertindak keras seperti itu terhadap Az-Zahrâ' as., buah hati Rasulullah saw. Padahal Allah rida karena keridaan Az-Zahrâ' dan murka karena kemurkaannya. Melihat kelancangan ini, tidak ada yang layak kita ucapkan selain innâ lillâh wa innâ ilaihi râji'ûn.
Akhirnya, mereka memaksa Imam Ali as. keluar dari rumahnya dengan paksa. Para pendukung Khalifah Abu Bakar menyeret Imam Ali as. untuk menghadap dengan pedang terhunus. Mereka berkata dengan lantang: "Baiatlah Abu Bakar! Baiatlah Abu Bakar!"
Imam Ali as. membela diri dengan hujah yang kokoh dan tanpa rasa takut sedikit pun terhadap kekerasan dan kekezaman mereka. Ia berkata: "Aku lebih berhak atas masalah ini daripada kalian. Aku tidak akan membaiat kalian, tetapi kalian sebenarnya yang harus membaiatku. Kalian telah merampas urusan ini dari kaum Anshar dengan alasan bahwa kalian memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi saw. Tetapi kalian telah menggasab kekhalifahan itu dari kami Ahlul Bait secara paksa. Bukankah kamu telah mengaku di hadapan kaum Anshar bahwa kamu lebih utama dalam urusan ini daripada mereka karena Nabi Muhammad saw. berasal dari kalangan kalian, sehingga mereka rela memberikan dan menyerahkan kepemimpinan itu kepadamu? Kini aku juga ingin berdalih kepadamu seperti kamu berdalih kepada kaum Anshar. Sesungguhnya aku adalah orang yang lebih utama dan lebih dekat dengan Rasulullah saw., baik Ketika ia masih hidup maupun setelah wafat. Camkanlah ucapanku ini, jika kamu beriman. Jika tidak, maka kamu telah berbuat zalim sedang kamu mengetahuinya."
Betapa indah hujah dan dalil tersebut. Kaum Muhajirin dapat mengalahkan kaum Anshar lantaran hujah itu, karena mereka merasa memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan Nabi saw. Argumentasi Imam Ali as. lebih tepat, lantaran suku Quraisy yang terdiri dari banyak kabilah dan memiliki hubungan kekeluargaan dengan Nabi saw. itu bukan anak-anak paman atau bibinya. Sementara hubungan kekerabatan antara Nabi saw. dengan Imam Ali as. terjelma dalam bentuk yang paling sempurna. Karena Ali as. adalah sepupu Nabi saw., ayah dua orang cucunya, dan suami untuk putri semata wayangnya.
Walau demikian, Umar tetap memaksa Imam Ali as. Umar berkata: "Berbaiatlah!"
"Jika aku tidak melakukannya?", tanya Imam Ali pendek.
"Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, jika engkau tidak membaiat, aku akan penggal lehermu", jawab Umar pendek.
Imam Ali as. diam sejenak. Ia memandang ke arah kaum yang telah disesatkan oleh hawa nafsu dan dibutakan oleh cinta kekuasaan itu. Imam Ali as. melihat tidak ada orang yang akan menolong dan membelanya dari kejahatan mereka. Akhirnya ia menjawab dengan nada sedih: "Jika demikian, kamu telah membunuh hamba Allah dan saudara Rasulullah."
Umar segera menimpali dengan berang: "Membunuh hamba Allah, ya. Tetapi saudara Rasulullah, tidak."
Umar telah lupa dengan sabda Rasulullah saw. bahwa Imam Ali as. adalah saudaranya, pintu kota ilmunya, dan kedudukannya di sisinya adalah sama dengan kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as. Ali as. adalah pejuang pertama Islam. Semua realita dan keutamaan itu telah dilupakan dan diingkari oleh Umar.
Kemudian Umar menoleh ke arah Abu Bakar seraya menyuruhnya untuk mengingkari hal itu. Umar berkata kepada Abu Bakar: "Mengapa engkau tidak menggunakan kekuasaanmu untuk memaksanya?"
Abu Bakar takut fitnah dan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Dia akhirnya menentukan sikap: "Aku tidak akan memaksanya, selama Fathimah berada di sisinya."
Akhirnya mereka membebaskan Imam Ali as. Ia berlari-lari menuju ke makam saudaranya, Rasulullah saw. untuk mengadukan cobaan dan aral yang sedang menimpanya. Ia menangis tersedu-sedu seraya berkata: "Wahai putra ibuku, sesungguhnya kaum ini telah meremehkanku dan hampir saja mereka membunuhku."
Mereka telah meremehkan Imam Ali as. dan mengingkari wasiat-wasiat Nabi saw. berkenaan dengan dirinya. Setelah itu ia kembali ke rumah dengan hati yang hancur luluh dan sedih. Benar telah terjadi apa yang telah diberitakan oleh Allah swt. akan terjadi pada umat Islam setelah Rasulullah saw. wafat. Mereka kembali kepada kekufuran. Allah swt. berfirman: "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul; sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun ...." (QS. ?li 'Imrân [3]:144)
Sungguh mereka telah kembali kepada kekufuran, kekufuran yang dapat menghancurkan iman dan harapan-harapan mereka. Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji'ûn.
Kita tutup lembaran peristiwa-peristiwa yang mengenaskan dan segala kebijakan pemerintah Abu Bakar yang tiran terhadap keluarga Nabi saw. ini, seperti merampas tanah Fadak, menghapus khumus, dan kebijakan-kebijakan yang lain. Seluruh peristiwa ini telah kami jelaskan secara rinci dalam Mawsû'ah Al-Imam Amiril Mukminin as.
Az-Zahrâ' Menuju ke Alam Baka

Salah satu peristiwa yang sangat menyedihkan Imam Ali as. adalah kepergian buah hati Rasulullah saw., Az-Zahrâ' as. Ia jatuh sakit, sementara hatinya yang lembut tengah merasakan kesedihan yang mendalam. Rasa sakit telah menyerangnya. Dan kematian begitu cepat menghampirinya, sementara usianya masih begitu muda. Oh, betapa beratnya duka yang menimpa buah hati dan putri semata wayang Rasulullah saw. itu. Ia telah mengalami berbagai kekezaman dan kezaliman dalam masa yang sangat singkat setelah ayahandanya wafat. Mereka telah mengingkari kedudukannya yang mulia di sisi Rasulullah, merampas hak warisannya, dan menyerang rumahnya.
Az-Zahrâ' telah menyampaikan wasiat terakhir yang maha penting kepada putra pamannya. Dalam wasiat itu ditegaskan agar orang-orang yang telah ikut serta merampas haknya tidak boleh menghadiri pemakaman, jenazahnya dikuburkan pada malam hari yang gelap gulita, dan kuburannya disembunyikan agar menjadi bukti betapa ia murka kepada mereka.
Imam Ali as. melaksanakan wasiat istrinya yang setia itu di pusaranya yang terakhir. Ia berdiri di pinggir makamnya sambil menyiramnya dengan tetesan-tetesan air mata. Ia menyampaikan ucapan takziah, bela sungkawa, dan pengaduan kepada Rasulullah saw. setelah menyampaikan salam kepada beliau:
Salam sejahtera untukmu dariku, ya Rasulullah, dan dari putrimu yang telah tiba di haribaanmu dan yang begitu cepatnya menyusulmu. Ya Rasulullah, betapa sedikitnya kesabaranku dengan kemangkatanmu dan betapa beratnya hati ini. Hanya saja, dalam perpisahan denganmu dan besarnya musibahmu ada tempat untuk berduka. Aku telah membaringkanmu di liang kuburmu. Dan jiwamu telah pergi meninggalkanku ketika kepalamu berada di antara leher dan dadaku. Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji'ûn. Titipan telah dikembalikan dan gadai pun telah diambil kembali. Tetapi kesedihanku tetap abadi. Malam-malamku pun menjadi panjang, hingga Allah memilihkan untukku tempatmu yang kini engkau singgahi. Putrimu akan bercerita kepadamu tentang persekongkolan umatmu untuk berbuat kejahatan. Tanyakanlah dan mintalah berita mengenai keadan mereka! Padahal perjanjian itu masih hangat dan namamu masih disebut-sebut. Salam sejahtera atasmu berdua, salam selamat tinggal, tanpa lalai dan jenuh. Jika aku berpaling, maka bukan karena bosan. Jika aku diam, maka bukan karena aku berburuk sangka terhadap apa yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang sabar.
Ungkapan-ungkapan Imam Ali as. di atas menunjukkan betapa ia mengalami kesedihan yang mendalam atas kepergian titipan Rasulullah saw. itu. Ungkapan-ungkapan itu juga menunjukkan betapa dalamnya sakit hati dan duka yang dialAmînya akibat perlakuan umat Islam. Imam Ali as. juga minta kepada Rasulullah saw. agar memaksa putrinya bercerita dan memberikan informasi tentang seluruh kejahatan dan kezaliman yang telah dilakukan oleh umatnya itu.
Seusai menguburkan jenazah buah hati Rasulullah saw., Imam Ali as. kembali ke rumah dengan rasa duka dan kesedihan yang datang silih berganti. Para sahabat telah mengasingkannya. Imam Ali as. berpaling sebagaimana mereka juga berpaling darinya. Ia bertekad untuk menjauhi seluruh urusan politik dan tidak ikut campur tangan tentang hal ini.
Pemerintahan Umar

Masa kekuasaan Abu Bakar tidak berlangsung lama. Setelah dua tahun berkuasa, ia mengalami sakit parah. Pada saat-saat menjelang kematiannya, ia menyerahkan kekhalifahan kepada sahabatnya, Umar. Keputusan ini mendapat kritikan dan kecaman keras dari para sahabat besar. Tetapi ia tidak bergeming. Ia tetap menjalankan tekadnya itu melalui sebuah surat wasiat. Wasiat ini ditulis oleh 'Utsmân bin 'Affân. Dia juga yang mengumumkan di hadapan khalayak ramai dan mengajak mereka untuk membaiat Umar.
Ala kulli hal, Umar telah menerima jabatan kekhalifahan dengan mudah dan tanpa bersusah payah. Dia menjalankan pemerintahan dengan tangan besi dan mengatur urusan Negara dengan kekerasan dan kekezaman. Tindakannya menuai kritikan pedas dari para sahabat besar. Para sejarawan menulis, sebenarnya perlakuan Umar (selama menjadi khalifah) itu lebih kejam dan keras daripada pedang Hajjâj bin Yusuf. Setiap orang yang beroposisi dengannya, ia hadapi dengan kejam dan bengis. Umar telah menguasai negara sepenuhnya. Dan ia memiliki cara tersendiri dalam menjalankan roda pemerintahan. Sepak terjang Umar dalam bidang politik, baik dalam maupun luar negeri, dan bidang ekonomi telah kami paparkan secara rinci dalam buku kami, Mawsû'ah Al-Imam Amirul Mukminin as., jilid 2.
Umar Terbunuh

Umar memiliki politik tersendiri untuk imperium Persia. Dia begitu dengki terhadap imperium ini, sebagaimana juga bangsa Persia membencinya. Abu Lu'lu'ah adalah seseorang berkebangsaan Persia yang sangat membenci Umar. Tetapi ia menyembunyikan isi hatinya itu. Pada suatu hari, ia pernah berlalu di hadapan Umar. Umar berkata kepadanya sembari mengejek: "Aku dengar engkau mampu membuat gilingan tepung yang digerakkan dengan tenaga angin?"
Abu Lu'lu'ah merasa tersengat oleh ucapan Umar yang bernada ejekan itu. Ia emosi seraya berkata: "Aku akan membuat gilingan tepung yang dapat berbicara dengan manusia."
Pada hari kedua, Abu Lu'lu'ah behasil membunuh Umar. Ia menikamnya dengan tiga kali tikaman. Salah satu tikaman itu mengenai bagian bawah perutnya hingga kulitnya robek. Setelah itu, Abu Lu'lu'ah menyerang orang-orang yang berada di dalam masjid. Ia berhasil menikam sebanyak sebelas orang. Kemudian ia melakukan bunuh diri. Umar segera dibawa ke rumahnya, sementara lukanya banyak mengeluarkan darah. Ia bertanya kepada orang-orang yang ada di sekitarnya: "Siapakah yang menikamku?"
"Budak Mughîrah", jawab mereka singkat.
Umar menimpali: "Bukankah aku telah berkata kepada kalian, 'Jangan bawa aku ke hadapan orang dungu sehingga kalian melengahkanku?'"
Kemudian keluarga Umar memanggil seorang tabib. Tabib bertanya kepada Umar: "Minuman apa yang paling kamu sukai?
"Nabîdz (anggur)", jawab Umar pendek.
Umar diberi minum anggur. Cairan anggur itu keluar dari salah satu tikamannya. Orang-orang yang hadir berkata: "Telah keluar nanah." Lalu ia diberi minum susu. Keluar lagi nanah dari salah satu tikaman yang lain. Tabib pun merasa putus asa. Tabib berkata: "Aku menduga engkau tidak dapat hidup lagi sampai sore hari."
Konsep Syûrâ

Penyakit Umar semakin parah. Ia lama berpikir kepada siapakah kekhalifahan ini harus diserahkan. Ia teringat kepada para pendukungnya yang pernah membantunya mengeluarkan kekhalifahan dari keluarga Rasulullah saw. Ia naik ke atas mimbar dan menampakkan kesedihan kepada masyarakat. Ia berkata: "Sekiranya Abu 'Ubaidah masih hidup, pasti aku berikan kekhalifahan ini kepadanya. Karena ia orang jujur di antara umat ini. Sekiranya Sâlim budak Abi Hudzaifah masih hidup, pasti aku serahkan kekhalifahan ini kepadanya. Karena ia sangat mencintai Allah swt."
Padahal, jika kita membuka kembali lembaran sejarah Islam, kita tidak akan menemukan sedikitpun peran Abu 'Ubaidah di medan jihad atau khidmatnya kepada dunia Islam. Sâlim budak Abi Hudzaifah adalah rakyat biasa yang tidak dikenal. Ia hanya memiliki peran ketika menyerang rumah Imam Ali as. Peristiwa tersebut harus dikaji secara seksama dan tanpa ada unsur semangat golongan dan fanatisme suku sehingga muslimin dapat mengetahuinya secara obyektif.
Ala kulli hal, Umar telah menetapkan konsep Syûrâ, sebuah konsep yang sangat goyah dan lemah. Tujuan Umar adalah untuk menyingkirkan Imam Ali as. dari kekhalifahan dan menyerahkannya kepada 'Utsmân bin Affân, pemuka Bani Umwiyah. Sikap ini menyenangkan hati orang-orang Quraisy yang memiliki kedengkian dan kebencian yang mendalam kepada Imam Ali as.
Akhirnya, 'Utsmân bin 'Affân memperoleh jabatan kepemimpinan umat Islam sesuai dengan ketetapan Syûrâ, Syûrâ yang telah menimpakan musibah dan berbagai fitnah atas kaum muslimin dan menjerumuskan mereka ke lembah kehancuran. Kami telah menjelaskan konsep Syûrâ yang telah ditetapkan oleh Umar ini dalam buku kami, Mawsû'ah Al-Imam Amiril Mukminin as. Pada kesempatan ini, kami hanya menyinggung masalah ini secara sekilas.
Pemerintahan 'Utsmân

Mayoritas kaum muslimin menerima kekhalifahan 'Utsmân dengan penuh kerisauan dan keraguan. Mereka menilai bahwa naiknya 'Utsmân ke takhta kekuasaan adalah kemenangan bagi keluarganya yang tidak pernah ikut andil dalam peperangan melawan musuh-musuh Islam. Dawzî melihat bahwa kemenangan keluarga Umayyah sebenarnya adalah kemenangan sekelompok orang yang menyimpan permusuhan terhadap Islam.
Kenyataannya, 'Utsmân mengangkat Bani Umayyah sebagai aparat negara. Mereka menguasai perekonomian umum demi kepentingan mereka sendiri dan untuk membangun kembali keluarga mereka yang telah dihancurkan oleh Islam. Mereka telah membelenggu kepribadian 'Utsmân yang lemah dan memanfaatkan kecintaannya kepada mereka. Dengan jalan ini, mereka mengeruk harta negara, sebagaimana unta melahap tumbuh-tumbuhan di musim bunga. Menurut perspektif Imam Ali as: "Dengan itu, mereka menyebarkan kefakiran dan kesengsaraan di tengah-tengah masyarakat Islam. Hal itu menyebabkan kemarahan umat tersebar dan negara hancur luluh."
Faktor penting lain yang membuat pemerintahan 'Utsmân runtuh adalah ia memberikan wewenang kepada Bani Umayyah dan Abi Mu'îth atas daerah-daerah kekuasaan Islam, padahal mereka tidak memiliki kelayakan dan kepandaian sama sekali dalam mengatur negara. Sebagian dari mereka malah diangkat untuk menangani masalah-masalah besar negara. Misalnya Walîd bin 'Uqbah diangkat menjadi gubernur Kufah. Ia menghabiskan kekayaan negara untuk bermabuk-mabukan setiap malam bersama para wanita penyanyi hingga pagi hari. Ia pernah mengerjakan salat Shubuh sebagai imam sambil mabuk sebanyak empat rakaat. Ketika rukuk dan sujud, ia berkata: "Aku ingin menenggak arak. Berikanlah!" Kemudian ia memuntahkan arak di mihrab salat dan mengucapkan salam. Setelah itu ia menoleh ke arah orang-orang yang salat di belakangnya seraya berkata: "Apakah aku perbanyak rakaat salat ini untuk kalian?" Ibn Mas'ûd menjawab: "Semoga Allah tidak menambahkan kebaikan padamu dan juga kepada orang yang mengutusmu." Ibn Mas'ûd mengambil sandal dan memukul wajah Walîd dengan pangkal sandal itu. Kemudian orang-orang berkumpul. Walîd memasuki istana sambil mabuk yang diikuti oleh jamaah. Walîd betul-betul bejad dan telah keluar dari agama.
Para wakil kota Kufah segera pergi ke Yatsrib untuk mengadukan kelakuan Walîd kepada 'Utsmân. Mereka membawa cincin yang mereka copot ketika Walid sedang mabuk untuk diperlihatkan kepada 'Utsmân. Sesampainya di sana, mereka mengadukan perbuatan Walîd yang suka minum arak. Tetapi mereka tidak mendapatkan jawAbân apa-apa. Bahkan 'Utsmân menghadapi mereka dengan ketus dan kejam seraya berkata: "Dari mana kalian tahu bahwa yang ia minum itu adalah arak?"
"Yang ia minum itu adalah arak yang biasa kita minum pada masa jahiliah", tukas mereka pendek.
'Utsmân naik pitam. Dia mendorong mereka sambil mengeluarkan kata-kata yang pedas. Akhirnya mereka keluar meniggalkan 'Utsmân setelah menerima murkanya. Mereka segera menjumpai Imam Ali as. dan menceritakan peristiwa yang terjadi antara mereka dengan 'Utsmân. Imam Ali as. segera bangkit menuju 'Utsmân dan berkata kepadanya: "Engkau telah menolak para saksi dan membatalkan sanksi."
'Utsmân merasa takut atas akibat yang akan terjadi. Ia berkata kepada Imam Ali as.: "Lalu, apa pendapatmu?"
Imam Ali as. menjawab: "Pendapatku adalah utuslah seseorang menemui sahabatmu itu. Jika ada dua orang yang siap bersaksi atas perbuatannya itu dan ia tidak memiliki dalih, maka perlakukanlah sanksi atasnya."
'Utsmân menerima pendapat Imam Ali as. Ia segera mengutus seseorang menjumpai Walîd. Ketika utusan itu tiba di hadapannya, ia memanggil para saksi. Para saksi bersaksi atas perbuatan Walîd itu. Walîd diam dan tidak mampu beralasan untuk membela diri. Iapun pasrah untuk menerima sanksi. Tetapi ia menolak hadir untuk dicambuk karena takut kepada 'Utsmân. Akhirnya Imam Ali as. melakukan sanksi atasnya. Walîd mencerca Imam Ali as. seraya berkata: "Hai si zalim." 'Aqîl bangkit dan menjawab cercaannya itu. Mulailah Imam Ali as. mengangkat cambuk tinggi-tinggi dan memukulnya. 'Utsmân nampak murka dan tidak tega melihat itu. Ia berteriak kepada Imam Ali as.: "Tidak seharusnya engkau berbuat begitu!" Imam Ali as. menjawab sesuai dengan hukum syariat yang menegaskan: "Bahkan lebih keras dari ini bila ia telah berbuat fasik dan melarang hak Allah dituntut darinya."
Sikap 'Utsmân seperti itu menunjukkan betapa ia meremehkan pelaksanaan hukum Allah, dan betapa ia menaruh kasihan terhadap keluarganya yang congkak dan dimurkai Allah.
Kelompok Penentang 'Utsmân

Kaum muslimin pilihan dan yang saleh sangat murka terhadap 'Utsmân dan para gubernurnya. Mereka mengecam dan melontarkan kritikan-kritikan yang pedas kepadanya.
Perlu disebutkan di sini, bahwa para penentang 'Utsmân memiliki haluan pemikiran yang berbeda-beda. Mereka terbagi dalam kelompok kanan dan kelompok kiri. Thalhah, Zubair, 'AIsya'h, dan 'Amr bin 'Ash berdiri di kelompok yang berambisi ingin mencapai kepentingan pribadi yang sangat sempit. Sedangkan kelompok lainnya terdiri dari para pembesar Islam seperti 'Ammâr bin Yâsir (anak keturunan orang-orang yang baik), Abu Dzar Al-Ghifârî sang mujahid agung, Abdullah bin Mas'ûd sang qârî, dan sahabat-sahabat lainnya yang telah mendapatkan ujian di jalan dan berhasil lulus dengan rapor yang memuaskan. Mereka melihat bahwa Sunah Rasulullah saw.telah dibunuh dan bidah telah dihidupkan kembali, kebenaran telah didustakan dan pengutamaan telah dilimpahkan kepada orang-orang yang tidak berhak. Mereka berdiri di hadapan 'Utsmân untuk menentang politiknya dan menuntut agar ia mengubah perilakunya dan menjauhkan keluarga Umayyah dari kekuasaan. Mereka tidak mempunyai kepentingan apapun dalam penentangan tersebut, selain berkhidmat kepada Islam. Tetapi 'Utsmân tidak mengindahkan keinginan mereka.
Penyerbuan atas 'Utsmân

Setelah berbagai macam cara yang diusulkan kepada 'Utsmân untuk melakukan perbaikan dalam tubuh sistem pemerintahan tidak berhasil, api pemberontakan berkobar untuk menentangnya. Para pemberontak mengepung rumahnya. Mereka menuntut agar ia mengundurkan diri. Tetapi ia menolak. Mereka menuntut agar ia menjatuhkan hukuman kepada Marwân dan Bani Umayyah. Tapi 'Utsmân pun tetap acuh tak acuh. Bani Umayyah telah meninggalkan 'Utsmân sendirian. Sekelompok orang yang dipimpin oleh Muhammad bin Abu Bakar melakukan penyerbuan terhadap 'Utsmân. Ia menjambak jenggot 'Utsmân seraya berkata kepadanya: "Allah telah menghinakanmu, hai Na'tsal."
'Utsmân menjawab: "Aku bukan Na'tsal. Tetapi aku adalah hamba Allah dan Amirul Mukminin."
Muhammad bin Abu Bakar menimpali: "Mu'âwiyah tidak lagi membutuhkanmu." Muhammad pun menyebutkan beberapa orang dari Bani Umayyah yang turut mengepung rumahnya.
'Utsmân merengek kepadanya seraya berkata: "Hai putra saudaraku, lepaskan jenggotku. Ayahmu tidak pernah melakukan seperti ini."
Muhammad menjawab: "Aku tidak menginginkan atasmu lebih keras dari pegangan tanganku terhadap jenggotmu ini."
Setelah berkata begitu, Muhammad menikamnya dengan belati yang digenggamnya. Tak ayal lagi, tubuh 'Utsmân menjadi sasaran para pemberontak dan tubuh tak bernyawa itu dicampakkan ke atas tanah. Tak seorang pun dari Bani Umayyah dan keluarga Abi Mu'îth yang berani menolongnya. Para pemberontak telah bertindak keterlaluan dalam menghinakannya. Mereka mencampakkan tubuh 'Utsmân itu di tempat yang terhina dan tidak mengizinkan untuk dikuburkan. Hal ini berlanjut hingga Imam Ali as. menyuruh agar 'Utsmân dikuburkan. Mereka pun mengizinkan untuk dikuburkan.
Kehidupan 'Utsmân telah berakhir dengan cara yang sangat mengenaskan. Dengan membunuh 'Utsmân ini, muslimin telah memperoleh ujian yang sangat berat. Berbagai musibah dan fitnah telah mengintai dan akan menjerumuskan mereka ke dalam jurang keburukan yang sangat besar. Karena Bani Umayyah merasa beruntung dengan terbunuhnya 'Utsmân. Mereka memperoleh celah untuk menuntut darahnya, sebagaimana kekuatan oposisi seperti Thalhah, Zubair, dan 'AIsya'h juga memperoleh kesempatan untuk menuntut darahnya. Mereka menjadikan pertikaian ini sebagai kartu kemenangan bagi diri mereka, padahal mereka sendirilah yang telah ikut bersekongkol untuk mengepung rumah 'Utsmân.
Kekhalifahan Imam Ali as.

Imam Ali as. merasa sangat gelisah menghadapi peristiwa pembunuhan 'Utsmân. Hal itu lantaran ia tahu tentang peristiwa-peristiwa yang bakal terjadi. Bani Umayyah dan orang-orang yang rakus kekuasaan pasti akan menuntut darah 'Utsmân sebagai alasan atas penolakan dan pembangkangan mereka, bila Imam Ali as. bersedia memegang tampuk kekuasaan.
Ada hal lain yang membuat Imam Ali as. tidak tenang dan gelisah. Yaitu ia adalah satu-satunya figur yang dicalonkan sebagai pemimpin umat. Tentunya ketika ia menduduki jabatan kekhalifahan, ia akan menjalankan politik atas umat Islam berdasarkan hak, kebenaran, dan keadilan yang murni, dan menjauhkan para koruptor dan orang-orang yang tamak dunia dari kursi kekuasaan. Sudah pasti, kelompok oposisi akan menjadi penghalang bagi strategi politiknya dan akan melakukan perlawanan bersenjata.
Pada mulanya, Imam Ali as. menolak untuk menjadi khalifah. Tetapi mayoritas muslimin memaksanya. Mereka menuntut agar ia memimpin umat Islam. Imam Ali as. menjawab: "Aku tidak memerlukan kekuasaan. Siapa saja yang kalian pilih, aku akan merestuinya."
Mereka tidak mau mengerti ucapan Imam Ali as. dan tetap memilihnya sebagai khalifah. Mereka berkata: "Kami tidak memiliki pemimpin selain dirimu."
Mereka memohon lagi untuk kedua kalinya: "Kami tidak akan memilih selain dirimu."
Imam Ali as. tetap pada pendiriannya. Ia tidak mau menerima permohonan mereka. Karena ia tahu bencana dan aral yang akan melintang. Sementara itu, sekelompok pasukan bersenjata mengadakan sebuah pertemuan setelah mereka tahu bahwa Imam Ali as. tetap pada pendiriannya; tidak mau menerima kekhalifahan. Mereka sepakat untuk menghadirkan para tokoh Madinah dan orang-orang yang memiliki pengaruh, dan mengancam untuk membunuh Imam Ali as., Zubair dan Thalhah, bila mereka tidak berhasil mengangkat seorang pemimpin untuk kaum muslimin.
Para pemuka Madinah segera mendatangi Imam Ali as. Dengan penuh cemas mereka memohon kepadanya: "Terimalah baiat kami! Terimalah baiat kami! Apakah Anda tidak melihat apa yang akan terjadi atas Islam dan ancaman para penduduk terhadap kami?"
Imam Ali as. tetap menolak seraya berkata: "Biarkanlah aku dan carilah orang selainku." Imam berusaha memberikan pengertian kepada mereka atas berbagai bencana yang akan ia hadapi. Ia berkata: "Wahai hadirin, kita akan menghadapi problema yang beraneka agam sehingga hati ini tidak akan tentram dan akal pikiran tidak akan tegak."
Mereka tetap tidak memahami ucapan Imam Ali as. Malah mereka memohon dengan menggunakan gelarnya. Mereka berkata: "Amirul Mukminin adalah Anda! Amirul Mukminin adalah Anda!"
Akhirnya, Imam Ali as. menjelaskan kepada mereka sistem pemerintahan yang akan ia jalankan. Ia menegaskan: "Ketahuilah, jika aku menerima permohonan kalian, aku akan memperlakukan kalian sesuai dengan ilmuku. Aku tidak akan menggubris ucapan siapa pun dan tidak menerima kecaman siapa pun. Jika kalian meninggalkanku, maka aku adalah sama dengan kalian. Barangkali aku akan mendengarkan kalian dan menaati orang yang kalian serahi urusan ini. Aku menjadi pembantu kalian adalah lebih baik bagi kalian daripada aku sebagai pemimpin kalian."
Imam Ali as. telah menjelaskan kepada mereka sistem pemerintahan yang akan ia jalankan. Yaitu hak, kebenaran, dan keadilan. Mereka menerima seluruh penjelasan yang telah diberikan oleh Imam Ali as. Mereka berkata: "Kami tidak akan meninggalkanmu sebelum kami membaiatmu."
Mereka mengerumuni Imam Ali as. dari seluruh arah dan menuntut agar ia menerima kekhalifahan. Ketika menjelaskan pemandangan yang ada pada saat pembaiatan itu, Imam Ali as. berkata: "Dengan serentak, mereka berdesak-desakan bagai rambut tebal anjing hutan yang ada di lehernya. Mereka mengerumuniku dari semua arah hingga Hasan dan Husain terinjak-injak dan bajuku sobek. Mereka berkumpul di sekelilingku bagaikan kerumunan domba."
Imam Ali as. Menerima Kekhalifahan

Tidak ada alasan lagi bagi Imam Ali as. untuk tidak menerima kekhalifahan. Ia terpaksa menerima kedudukan ini. Hal itu karena ia khawatir kepemimpinan umat Islam akan dipegang oleh Bani Umayyah yang fasik. Ia berkata: "Demi Allah, aku tidak menerima kekhalifahan ini, melainkan karena aku takut umat Islam ini akan dipermainkan oleh seorang durjana dari Bani Umayyah yang akan mempermainkan kitab Allah swt."
Masyarakat muslim beramai-ramai menuju ke masjid. Imam Ali as. maju ke depan sembari diiringi dengan gemuruh takbir dan tahlil. Thalhah maju ke depan dan membaiat Imam Ali as. dengan tangannya yang lumpuh, tangan yang cepat sekali akan melanggar janji Allah itu. Imam Ali as. telah membaca sikapnya itu. Ia berkata: "Betapa cepatnya ia akan melanggar baiatnya."
Setelah itu, kaum muslimin beramai-ramai membaiat Imam Ali as. Hal itu berarti mereka telah membaiat Allah dan Rasul-nya. Pembaiatan umum terhadap Imam Ali as. telah selesai, sebuah pembaiatan yang tidak pernah terjadi pada masa khalifah-khalifah lainnya. Kaum muslimin merasa senang dan bahagia dengan itu. Imam Ali as. berkata: "Begitu gembiranya kaum muslimin dengan pembaiatan terhadapku, sehingga anak kecil pun merasa gembira. Orang-orang tua tertatih-tatih datang membaiat, orang-orang yang sakit turut untuk membaiat sambil menahan derita sakitnya, dan kaki mereka pun lemah lunglai karena ingin membaiat."
Pada hari bersejarah itu, bendera keadilan dan kebenaran di dunia Islam telah berkibar. Islam telah kembali kepada kegemilangan dan kejayaannya.
Keputusan yang Tegas

Setelah Imam Ali as. menduduki kursi kekhalifahan, ia langsung mengeluarkan beberapa keputusan penting sebagai berikut:
1. Mengambil alih tanah-tanah yang pernah diberikan 'Utsmân kepada Bani Umayyah.
2. Mengembalikan alih harta kekayaan negara melimpah yang pernah diberikan 'Utsmân kepada Bani Umayyah dan Bani Abi Mu'îth.
3.Mengambil alih harta kekayaan 'Utsmân, termasuk juga pedang dan perisainya.
4.Memecat seluruh gubernur, karena mereka telah berbuat kezaliman dan kerusakan di muka bumi ini secara terang-terangan.
5.Menyamakan hak antara muslimin dan non-muslim yang tinggal di negara Islam tapi tidak belum memeluk agama Islam. Persamaan hak ini mencakup:
o Persamaan dalam pemberian tunjangan.
o Persamaan di hadapan undang-undang.
o Persamaan dalam hak dan tugas.
Orang-orang Quraisy merasa sangat jengkel dan kecewa dengan keputusan-keputusan tersebut. Mereka merasa khawatir terhadap harta kekayaan yang selama ini telah mereka tunai dari hasil korupsi. Karena itu, mereka melakukan penentangan dan berusaha menghalangi dan membendung setiap strategi politik Imam Ali as. yang bertujuan menegakkan keadilan sosial dan politik di dalam masyarakat Islam.
Akhirnya, berbagai kekuatan oposisi berusaha menyulut api peperangan melawan Imam Ali as. untuk menjatuhkan pemerintahannya. Secara ringkas, kami akan menjelaskan beberapa peperangan yang telah berhasil disulut oleh mereka untuk menentang pemimpin keadilan Islam dan sahabat kaum tertindas ini.
1. Perang Jamal

Perang Jamal ini lahir akibat ketamakan politik dan kekuasaan. Mu'âwiyah telah menipu Zubair dan Thalhah dengan mengiming-imingi kekhalifahan dan pembaiatan kepada mereka setelah kekuasaan Imam Ali as. berhasil diruntuhkan. Adapun 'AIsya'h, hatinya telah dikuasai oleh kedengkian dan kebencian terhadap Imam Ali as. Akhirnya, terbentuklah sebuah fron oposisi penentang Imam Ali as. yang dikepalai oleh ketiga orang tersebut di Mekah. Orang-orang yang memiliki sifat tamak, congkak, dan pikiran dangkal turut mendukung fron ini. 'AIsya'h segera membentuk pasukan, sementara Bani Umayyah melengkapi mereka dengan senjata dan sarana perang. Mereka telah mengeluarkan harta melimpah. Harta ini telah berhasil mereka korupsi dari Baitul Mâl muslimin pada saat mereka menjadi gubernur selama 'Utsmân memegang tampuk kepemimpinan.
Pasukan yang dipimpin oleh 'AIsya'h, Thalhah, dan Zubair itu berangkat menuju ke Bashrah. Mereka berhasil menguasai kota Bashrah setelah melakukan pertempuran sengit dengan pasukan Bashrah. Mengetahui serangan para pembangkang ini, Imam Ali as. keluar dengan bala tentaranya untuk menumbangkan mereka. Kedua pasukan tersebut bertempur dengan sengit. Imam Ali as. berhasil membunuh Thalhah dan Zubair. Komando perang diambil alih oleh 'AIsya'h. Unta yang ditungganginya dikelilingi oleh bala tentara yang tak terhitung. Mereka dapat menebas tangan-tangan dan menghabiskan nyawa-nyawa yang ada di sekelilingnya. Setelah pertempuran sengit terjadi, unta 'AIsya'h tersungkur jatuh ke atas tanah dan pasukannya kalah.
Missi peperangan ini pun mengalami kegagalan dan kerugian yang besar. Peperangan ini telah menimbulkan kerugian yang memalukan di barisan muslimin dan menebarkan perpecahan dan permusuhan di antara mereka. Sementara rumah-rumah penduduk Bashrah dipenuhi oleh duka, kesedihan, dan nestapa.
2. Perang Shiffin

Belum lagi sempat beristirahat untuk menghilangkan kepenatan akibat perang Jamal, Imam Ali as. telah mendapat ujian berat dari musuh pemakar yang tidak pernah memiliki satu pun nilai-nilai insani. Dia menggunakan taktik kemunafikan, tipu daya, dan khianat. Dia mahir dan terbiasa dengan karakrer buruk ini. Dia adalah Mu'âwiyah bin Abu Sufyan yang dijuluki oleh para pendukungnya dengan sebutan Kisra Arab. Mereka menyerahkan kekuasaan Syam kepadanya, sedang mereka tidak memperhatikan lembaran-lembaran tingkah lakunya yang hitam. Mereka juga tidak memperhatikan bahwa ia berasal dari pohon yang terkutuk seperti ditegaskan oleh Al-Qur'an. Apakah mereka tidak pernah mendengar tentang berbagai peperangan destruktif yang telah disulut oleh Abu Sufyân dan Bani Umayyah untuk menentang Rasulullah saw., padahal realita itu belum berlalu terlalu lama? Kemaslahatan apa yang diperoleh kaum muslimin dengan mengangkat srigala bodoh itu sebagai penguasa Syam sebagai daerah terpenting bagi negara Islam? Mengapa mereka tidak menyerahkan kedudukan yang berharga itu kepada putra-putra Rasulullah saw. atau kepada orang-orang pilihan dan terdidik dari putra-putra suku Aus dan Khazraj yang telah rela berjuang dengan baik untuk menegakkan ajaran Islam?
Ringkasnya, Mu'âwiyah telah mengerahkan pasukannya menuju ke Shiffin untuk memerangi saudara dan pintu kota ilmu Rasulullah saw. Pasukan Mu'âwiyah berhasil menguasai sungai Furat dan mencegah pasukan Imam Ali as. untuk mengambil sir minum. Pasukan Mu'âwiyah menganggap hal ini sebagai sebuah prolog kemenangan.
Imam Ali as. mengerahkan pasukannya untuk membasmi musuh penipu yang telah mencabut ketaatan dan bergegas kepada fitnah itu. Pasukan Imam Ali as. percaya dan yakin betul bahwa mereka sedang memerangi musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya.
Pasukan Imam Ali as. tiba di Shiffin. Mereka melihat sungai Furat telah dikelilingi dan dikuasai oleh pasukan Mu'âwiyah. Pasukan Islam tidak memiliki jalan lain untuk memperoleh air minum. Sementara pasukan Mu'âwiyah tetap menghalangi mereka untuk mengambil air minum. Seorang komandan pasukan Imam Ali bertekad untuk menyerang dan memporak-porandakan barisan pasukan Mu'âwiyah. Sekelompok pasukan Imam Ali menyerang pasukan Mu'âwiyah dengan ksatria. Pasukan Imam Ali berhasil menyingkirkan mereka dari sungai Furat dan menimpakan kerugian yang memalukan kepada mereka. Sebagian pasukan Imam Ali meminta supaya Imam Ali as. memperlakukan pasukan Mu'âwiyah seperti itu pula. Imam Ali as. menolak permohonan pasukannya itu. Karena syariat Islam tidak membenarkan tindakan semacam itu. Sesungguhnya air itu diperbolehkan untuk diminum sekalipun kepada anjing dan babi.
Imam Ali as. mengutus beberapa orang kepada Mu'âwiyah untuk melakukan perdamaian dan menghindari pertumpahan darah. Tetapi Mu'âwiyah menolak usulan itu. Dia tetap membangkang dan menentang. Api peperangan pun berkobar antara kedua pasukan dan berlangsung hingga dua tahun lamanya. Pertempuran yang paling dahsyat terjadi adalah pertempuran yang terjadi pada malam Al-Harîr. Pertempuran ini telah menelan korban sebanyak 70.000 prajurit dari kedua belah pihak. Dalam peperangan ini pasukan Mu'âwiyah mengalami kekalahan telak. Pasukannya porak poranda dan ia hendak melarikan diri. Tetapi ia mengurungkan niatnya itu setelah ingat syair Ibn Ithnâbah.
Mempermainkan Mushhaf

Pasukan Imam Ali as. melakukan penyerangan di bawah komando Malik Al-Asytar. Ia hampir saja meraih kemenangan. Jarak antara mereka dengan kemenangan atas Mu'âwiyah hanyalah seukuran memerah susu kambing. Tetapi 'Amr bin 'Ash, sang penipu ulung, telah mengatur siasat untuk memporak-porandakan pasukan Imam Ali as. dan menggulingkan kepemimpinannya. Ibn 'Ash telah menjalin hubungan dengan Asy'ats bin Qais dan beberapa komandan pasukan Imam Ali as. secara rahasia.Dia telah berhasil menipu, mengiming-imingi, dan memberikan uang sogok kepada mereka. Mereka sepakat untuk mengangkat mushhaf Al-Qur'an dan mengajak muslimin untuk tunduk kepada hukum Al-Qur'an berkenaan dengan perkara yang sedang mereka perselisihkan itu. Pengangkatan mushhaf dimulai dan seruan pasukan Mu'âwiyah untuk bertahkim kepada Al-Qur'an terdengar nyaring. Tipu daya ini laksana halilintar bagi pasukan Imam Ali as. Sebanyak lebih dari dua puluh ribu prajurit yang berteriak mengajak untuk bertahkim kepada Al-Qur'an. Imam Ali as. memperingatkan dan menasihati mereka bahwa semua itu hanyalah sebuah tipu daya belaka. Mu'âwiyah terpaksa melakukan siasat ini karena pasukannya telah lemah dan tidak dapat berdiri tegak lagi. Tetapi pasukan Imam Ali as. tidak mau mengerti. Bahkan mereka mengancam bila Imam Ali as. tidak mengabulkan permohonan mereka itu. Akhirnya Imam Ali as. terpaksa mengabulkan permintaan mereka. Pada saat-saat yang genting dan mengkhawatirkan itulah kekhalifahan Imam Ali as. berakhir dan tenggelam cahayanya.
Penentuan Abu Mûsâ Al-Asy'arî

Setelah peristiwa itu, berbagai peristiwa besar berturut-turut menimpa Imam Ali as. Di antaranya adalah penentuan Abu Mûsâ Al-Asy'arî sebagai wakil pasukan Irak (untuk menghadiri proses tahkim). Imam Ali as. menolak penentuan tersebut. Tetapi mereka memaksa Imam Ali as. untuk memilihnya sebagai wakil mereka. Pasukan Syam memilih 'Amr bin 'Ash sebagai wakil mereka. Ia berhasil menipu Al-Asy'arî. Sebelumnya, 'Amr dan Al-Asy'arî telah sepakat untuk mencopot kekhalifahan Imam Ali as. dan Mu'âwiyah, dan memilih Abudullah bin Umar sebagai pemimpin kaum muslimin. Al-Asy'arî merasa gembira dengan keputusan ini. Ketika tiba waktu bertahkim, Al-Asy'arî mencopot kekhalifahan Imam Ali as., tetapi 'Amr bin 'Ash menetapkan kekhalifahan Mu'âwiyah.
3. Melawan Khawârij

Setelah peristiwa tahkim itu, fitnah terjadi di kalangan pasukan Imam Ali as. Sekelompok orang melakukan pembangkangan. Mereka mengumumkan akan mengangkat senjata dan menilai bahwa Imam as. telah kafir, karena ia mau menerima ajakan bertahkim. Padahal sebenarnya, merekalah yang memaksa Imam Ali as. untuk menerima tahkim. Yel-yel yang mereka teriakkan adalah lâ hukma illa lillâh (tiada hukum selain hukum Allah). Tetapi, begitu cepatnya syiar ini berubah menjadi sarana penumpahan darah dan angkat senjata. Imam Ali as. menghujat dan menyadarkan mereka atas kekeliruan pandangan mereka itu. Sekelompok dari mereka menerima pandangannya. Tetapi sekelompok yang lain tetap bersikeras atas kesesatan dan kebodohan mereka dan menebarkan kerusakan di muka bumi. Mereka banyak membunuh orang-orang yang tidak berdosa dan menyebarkan rasa takut di tengah-tengah masyarakat Islam. Akhirnya Imam Ali as. terpaksa mengadakan perlawanan terhadap mereka. Meletuslah perang Nahrawan. Dalam peperangan ini, sebagian besar mereka telah tewas.
Peperangan tersebut belum berakhir sampai di situ. Tampak lagi pembangkangan yang lebih buruk di dalam tubuh pasukan Imam Ali as. Mereka mengajak untuk memerangi Mu'âwiyah. Tetapi tidak seorang pun yang mengikuti ajakan mereka itu.
Kekuatan Mu'âwiyah mulai nampak di panggung politik sebagai kekuatan yang besar. Mulailah mereka menguasai daerah-daerah Islam dan memerangi daerah-daerah yang taat kepada kepemimpinan Imam Ali as. Hal itu mereka lakukan untuk menunjukkan bahwa Imam Ali as. tidak mampu melindungi mereka. Akhirnya sinar kewibawaan Imam Ali as. mulai pudar dan bencana pun datang menghantuinya silih berganti. Imam Ali melihat kebejatan Mu'âwiyah semakin kokoh dan sinar harapan dan angan-angannya pun telah sempurna, sedangkan ia tidak memiliki satu kekuatan pun yang mampu menegakkan kebenaran dan menumbangkan kebatilan.
Syahadah Imam Ali as.

Imam Ali as. mulai berdoa, bersimpuh, dan bermunajat kepada Allah swt. agar Dia segera memnyelamatkan dirinya dari masyarakat yang sesat itu dan memindahkannya ke alam baka. Di sana ia akan mengadukan kepada putra pamannya segala bencana dan musibah yang telah menimpanya. Allah swt. mengabulkan doanya itu. Seorang durjana dan pendurhaka yang bernama Abdurrahman bin Muljam telah menebas kepala Imam Ali as., seperti pembunuh unta Nabi Saleh membunuh untanya. Pada waktu itu Imam Ali as. sedang berdiri di hadapan Allah swt. di mihrabnya mengerjakan salat di dalam sebuah rumah Allah. Si durjana itu menghunus dan menebaskan pedangnya. Ketika merasakan pedihnya tebasan pedang itu, ia berteriak: "Demi Tuhan Ka'bah, sungguh aku telah beruntung."
Penghulu orang-orang yang bertakwa telah beruntung. Hayâhnya telah berakhir dengan jihad di jalan Allah dan meninggikan kalimat hak.
Salam sejahtera Allah atasnya pada hari ia dilahirkan di dalam Ka'bah dan pada hari ia meneguk cawan syahadah di dalam rumah Allah.
Dengan syahadahnya itu, bendera hak, kebenaran, dan keadilan terlipat, sinar hidayah dan cahaya petunjuk yang selama ini telah menyinari dunia Islam telah padam.
Catatan Kaki:

Murûj Adz-Dzahab, jilid 2, hal. 3; Al-Fushûl Al-Muhimmah, karya Ibn Shabbâgh, hal. 24; Mathâlib As-Sa'ûl, hal. 22; Tadzkirah Al-Khawwash, hal. 7; Kifâyah Ath-Thâlib, hal. 37; Nûr Al-Abshâr, hal. 76; Nuzhah Al-Majâlis, jilid 2, hal. 204; Syarh asy-Syifâ', jilid 2, hal. 15; Ghâyah Al-Ikhtishâr, hal. 97; 'Abqariyyah Al-Imam, oleh Al-'Aqqâd, hal. 38; Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 483. Dalam Al-Mustadrak, Al-Hakim menegaskan: "Terdapat hadis-hadis mutawâtir yang manyatakan bahwa Fathimah binti Asad melahirkan Ali bin Abi Thalib di dalam Ka'bah."
Hayâh Al-Imam Amiril Mukminin as., jilid 1, hal. 32, menukil dari Manâqib Ali bin Abi Thalib, jilid 3, hal. 90.
Târîkh Al-Khamîs, jilid 2, hal. 275.
Al-Ma'ârîf, hal. 73; Adz-Dzakhâ'ir, hal. 58; Ar-Rriyâdh An-Nâdhirah, jilid 2, hal. 257.
Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 154.
Majma' Az-Zawâ'id, jilid 9, hal. 102; Faidh Al-Qadîr, jilid 4, hal. 358; Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 156; Fadhâ'il Ash-Shahâbah, jilid 1, hal. 296.
Majma' Az-Zawâ'id, jilid 9, hal. 102.
Hilyah Al-Awliyâ', jilid 1, hal. 63.
Kunûz Al-Haqâ'iq, karya Al-Manâwî, hal. 43.
Shifah Ash-Shafwah, jilid 1, hal. 162.
Imtâ' Al-Asmâ', jilid 1, hal. 16.
Hayâh Al-Imam Amiril Mukminin as., jilid 1, hal. 54.
Syarh Nahjul Balaghah, karya Ibn Abil Hadid, jilid 4, hal. 116.
Shahîh At-Turmudzî, jilid 2, hal. 301; Thabaqât Ibn Sa'd, jilid 3, hal. 21; Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 400; Târîkh At-Thabarî, jilid 2, hal. 55.
Khazânah Al-Adab, jilid 3, hal. 213.
Târîkh At-Thabarî, jilid 2, hal. 63; Târîkh Ibn Al-Atsîr, jilid 2, hal. 24; Musnad Ahmad bin Hanbal, hal. 263. Peristiwa ini diriwayatkan oleh banyak perawi hadis.
Târîkh At-Thabarî, jilid 2, hal. 63; Târîkh Ibn Al-Atsîr, jilid 2 hal. 24; Musnad Ahmad, hal. 263.
Târîkh Bagdad, jilid 6, hal. 221; Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 76; Nûr Al-Abshâr, hal. 76.
Tafsir At-Thabarî, jilid 13, hal. 72; Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 157; Tafsir Al-Haqâ'iq, hal. 42; Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 129.
Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 108; Asbâb An-Nuzûl, karya Al-Wâhidî, hal. 329; Tafsir At-Thabarî, jilid 4, hal. 600; Ad-Durr Al-Mantsûr, jilid 8, hal. 267.
Usud Al-Ghâbah, jilid 4, hal. 25; Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 78; Asbâb An-Nuzûl, karya Al-Wâhidî, hal. 64.
Ad-Durr Al-Mantsûr, jilid 8, hal. 589; Tafsir At-Thabarî, jilid 30, hal. 17; Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 96.
Tafsir At-Thabarî, jilid 8, hal. 145.
Asbâb An-Nuzûl, hal. 150.
Târîkh Baghdad, jilid 8, hal. 19; Ad-Durr Al-Mantsûr, jilid 6, hal. 19.
Dalâ'il Ash-Shidq, jilid 2, hal. 152.
Tafsir Ar-Râzî, jilid 12, hal. 26; Nûr Al-Abshâr, hal. 170; Tafsir Ath-Thabarî, jilid 6, hal. 186.
Ad-Durr Al-Mantsûr, jilid 3, hal. 106; Tafsir Al-Kasysyâf, jilid 1, hal. 692; Dzakhâ'ir Al-'Uqbâ, hal. 102; Majma'Az-Zawâ'id, jilid 7, hal. 17; Kanz Al-'Ummâl, jilid 7, hal. 305.
Majma' Az-Zawâ'id, jilid 7, hal. 103; Dzakhâ'ir Al-'Uqbâ, hal., 25; Nûr Al-Abshâr, hal. 101; Ad-Durr Al-Mantsûr, jilid 7, hal. 348.
Hilyah Al-Awliyâ', jilid 3, hal. 102.
Tafsir Ar-Râzî, jilid 2, hal. 699; Tafsir Al-Baidhâwî, hal. 76; Tafsir Al-Kasysyâf, jilid 1, hal. 49; Tafsir Rûh Al-Bayân, jilid 1, hal. 457; Tafsir Al-Jalâlain, jilid 1, hal. 35; Shahîh Muslim, jilid 2, hal. 47; Shahîh At-Turmuzî, jilid 2, hal. 166; Sunan Al-Baihaqî, jilid 7, hal. 63; Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1, hal. 185; Mashâbîh As-Sunnah, karya Al-Baghawî, jilid 2, hal. 201; Siyar A'lâm An-Nubalâ', jilid 3, hal. 193.
Tafsir Ar-Râzî, jilid 10, hal. 243; Asbâb An-Nuzûl, karya Al-Wâhidî, hal. 133, Rûh Al-Bayân, jilid 6, hal. 546; Yanâbî' Al-Mawaddah, jilid 1, hal. 93; Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, jilid 2, hal. 227; Imtâ' Al-Asmâ', hal. 502.
Tafsir Ar-Râzî, jilid 6, hal. 783; Shahîh Muslim, jilid 2, hal. 331; Al-Khashâ'ish Al-Kubrâ, jilid 2, hal. 264; Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, jilid 2, hal. 188; Tafsir Ibn Jarîr, jilid 22, hal. 5; Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 4, hal. 107; Sunan Al-Baihaqî, jilid 2, hal. 150; Musykil Al-Atsar, jilid 1, hal. 334; Khashâ'ish An-Nisa'î, hal. 33.
Mustadrak Al-Hâkim, jilid 2, hal. 416; Usud Al-Ghâbah, jilid 5, hal. 521.
Ad-Durr Al-Mantsâr, jilid 5, hal. 199.
Dzakhâ'ir Al-'Uqbâ, hal. 24.
Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 101.
Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 80; Nûr Al-Abshar, hal. . 80.
Tafsir Ath-Thabarî, jilid 10, hal. 68; Tafsir Ar-Râzî, jilid 16, hal. 11; Ad-Durrul Mantsur, jilid 4, hal. 146; Asbâb An-Nuzûl, karya Al-Wâhidî, hal. 182.
Tafsir Ath-Thabarî, jilid 21, hal. 68; Asbâb An-Nuzûl, hal. 263; Târîkh Bagdad, jilid 13, hal. 321; Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, jilid 2, hal. 206.
Majma'Az-Zawâ'id, jilid 7, hal. 110.
Tetapi ternyata Walîd berdusta. Kemudian turunlah ayat: "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan ...." (QS. Al-Hujurât [49]:6)
Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 400.
Shahîh At-Turmudzî, jilid 2, hal. 299; Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 14.
Dzakhâ'ir Al-'Uqbâ, hal. 92.
Kanz Al-'Ummâl, jilid 3, hal. 61.
Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 154.
Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, jilid 2, 163.
Târîkh At-Thabarî, jilid 2, hal. 127; Târîkh Ibn Atsîr, jilid 2, hal. 22; Târîkh Abi Al-Fidâ', jilid 1, hal. 116; Musnad Ahmad, jilid 1, hal. 331; Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 399.
Al-Murâja'ât, hal. 208.
Musnad Abu Daud, jilid 1, hal. 29; Hilyah Al-Awliyâ', jilid 7, hal. 195; Musykil Al-?tsâr, jilid 2, hal. 309; Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1, hal. 182; Târîkh Bagdad, jilid 11, 432; Khashâ'ish An-Nasa'î, hal. 16.
Usud Al-Ghâbah, jilid 4, hal. 26; Khashâ'ish An-Nisa'î, hal. 15; Shahîh Muslim, kitab Fadhâ'il Al-Ashhâb, jilid 7, hal. 120.
Târîkh Bagdad, jilid 2, hal. 377.
Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 401.
Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 156; As-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 73.
Mu'jam Al-Udabâ', jilid 17, hal. 200.
Shahîh At-Turmudzî, jilid 1, hal. 301; Shahîh Ibn Mâjah, jilid 12; Târîkh Baghdad, jilid 1, hal. 255; Hilyah Al-Awliyâ', jilid 4, hal. 185.
Shahîh At-Turmudzî, jilid 1, hal. 299.
Majma' Az-Zawâ'id, jilid 9, hal. 133.
Nûr Al-Abshâr, hal. 72.
Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 129.
Al-Istî'âb, jilid 2, hal. 464.
Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 400.
Majma' Az-Zawâ'id, jilid 1, hal. 367.
Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 75.
Shahîh At-Turmudzî, jilid 2, 308.
Shahîh At-Turmudzî, jilid 2, hal. 308; Kanz Al-'Ummâl, jilid 1, hal. 84.
Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 75.
Majma' Az-Zawâ'id, jilid 9, 168; Al-Mustadrak, jilid 2, hal. 43; Târîkh Baghdad, jilid 2, hal. 120; Al-Hilyah, jilid 4, hal. 306; Adz-Dzakâ'ir, hal. 20.
Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 149; Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 116. Dalam kitab Faidh Al-Qadîr dan Majma' Az-Zawâ'id, Nabi saw. bersabda: "Bintang-bintang adalah pengaman bagi penduduk bumi dan Ahlu Baitku adalah pengaman bagi umatku."
Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, jilid 2, hal. 252. Serupa dengan hadis itu, hadis yang terdapat dalam Shahîh At-Turmudzî, jilid 2, hal. 319 dan Sunan Ibn Mâjah, jilid 1, hal. 52.
Kanz Al-'Ummâl, jilid 3, hal. 154.
Al-Mîzân, jilid 14, hal. 12.
As-Sîrah An-Nabawiyah, hal. 74.
Hayâh Al-Imâm Amirul Mukminin, jilid 2, hal. 20.
Usud Al-Ghâbah, jilid 4, hal. 93.
Al-Imam Ali bin Abi Thalib, jilid 1, hal. 82.
As-Sîrah An-Nabawiyah, jilid 2, hal. 105.
Târîkh Ibn Katsîr, jilid 4, hal. 47.
Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 32.
Târîkh Baghdad, jilid 13, hal. 19; Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 32.
Rasâ'il Al-Jâhizh, hal. 60.
Hayâh Al-Imam Amirul Mukminin as., jilid 2, hal. 27.
A'yân Asy-Syi'ah, jilid 3, hal. 113.
Hilyah Al-Awliyâ', jilid 1, hal. 62; Shifah Ash-Shafwah, jilid 1, hal. 163; Musnad Ahmad, Hadits ke-778.
Shifah Ash-Shafwah, jilid 1, hal. 164; Shahîh Al-Bukhârî, jilid 7, hal. 121.
Hayâh Al-Imam Amirul Mukminin as., jilid 2, hal. 30.
Târîkh Baghdad, jilid 1, hal. 324; Mîzân Al-I'tidâl, jilid 2, hal. 218; Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 368. Dalam kitab Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, jilid 2, hal. 188 disebutkan bahwa tujuh puluh orang lelaki telah bergotong royong untuk mengembalikan pintu benteng tersebut ke tempatnya semula dengan susah payah.
Khazânah Al-Adab, jilid 6, hal. 56.
Hayâh Al-Imam Amirul Mukminin as., jilid 2, hal. 30.
Hayâh Al-Imam Husain as., jilid 1, hal. 195, menukil dari Târîkh Al-Ya'qûbî, jilid 2, 90.
Al-Ghadîr, jilid 2, hal. 34.
Nusnad Ahmad, jilid 4, hal. 281.
Al-Ghadîr, jilid 1, hal. 271.
Al-Bidâyah wa An-Nihâyah, jlid 5, hal. 226.
Semua sejarahwan mencatat peristiwa yang menyedihkan ini. Al-Bukhârî sendiri menyebutkannya beberapa kali pada jilid 4, hal. 68 dan 69, dan juga pada jilid 6, hal. 8. Dia menyembunyikan nama penentang itu. Sementara dalam kitab An-Nihâyah, karya Ibn Atsîr, Syarah Nahjul Balagah, karya Ibn Abil Hadîd, jilid 3, hal. 114, dan juga dalam kitab-kitab yang lain, nama orang itu disebutkan.
Musnad Ahmad, jilid 1, hal. 355.
Al-Manâqib, jilid 1, hal. 29. Terdapat banyak hadis mutawatir yang menegaskan bahwa Nabi saw. wafat sementara kepala beliau berada di pangkuan Imam Ali as. Silakan Anda rujuk Thabaqât Ibn Sa'd, jilid 2, hal. 51, Majma' Az-Zawâ'id, jilid 1, hal. 293, Kanz Al-'Ummâl, jilid 4, hal. 55, Dzakhâ'ir Al-'Uqbâ, hal. 94, dan Ar-Riyâdh An-nâdhirah, jilid 2, hal. 219.
Ansâb Al -Asyrâf, jilid 1, hal. 574.
Târîkh Al-Khamîs, jilid 2, hal. 192.
Nahjul Balâghah, jilid 2, hal. 255.
Hilyah Al-Awliyâ', jilid 4, hal. 77.
Kanz Al-'Ummâl, jilid 4, hal. 54.
Nahjul Balaghah, khotbah ke-409.
Hayâh Al-Imam Husain as., jilid 1, hal. 235.
Ansâb Al-Asyrâf, karya Al-Balâdzurî. Para sejarahwan sepakat tentang adanya ancaman Umar kepada Ali as. untuk membakar rumahnya itu. Silahkan Anda rujuk Târîkh Ath-Thabarî, jilid 3, hal. 202, Târikh Abi Al-Fidâ', jilid 1, hal. 156, Târîkh Al-Ya'qûbî, jilid 2, hal. 105, Murûj Adz-Dzahab, jilid 1, hal. 414, Al-Imâmah wa As-Siyâsah, jilid 1, hal. 12, Syarah Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadîd, jilid 1, hal. 34, Al-Amwâl, karya Abu 'Ubaidah, hal. 131, A'lâm An-Nisâ', jilid 3, hal. 205, dan Al-Imam Ali, karya Abul Fattâh Maqshûd, jilid 1, hal. 213.
Al-Imâmah wa As-Siyâsah, hal. 28-31.
Nahjul Balâghah, jilid 2, hal. 182.
Di antara sahabat besar yang mengkritik penyerahan kekhalifahan dari Abu Bakar kepada Umar adalah Thalhah dan para sahabat yang lain. Silakan Anda rujuk Syarah Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadîd, jilid 9, hal. 343.
Murûj Adz-Dzahab, jilid 2, hal. 262.
Syarah Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadîd, jilid 2, hal. 185.
Al-Istî'âb, catatan atas Al-Ishâbah, jilid 2, hal. 461; Al-Imâmah wa As-Siyâsah, jilid 1, hal. 21.
Târîkh Asy-Syi'r Al-Arabî, hal. 26.
As-Sîrah Al-Halabiyah, jilid 2, hal. 314.
Hayâh Al-Imam Amiril Mukminin as., jilid 2, hal. 215.
Târîkh Ibn Al-Atsîr, jilid 3, hal. 80.
Al-'Iqd Al-Farîd, jilid 2, hal. 92.

IMAM HASAN BIN ALI BIN ABI THALIB

Imam Hasan as. adalah cucu kesayangan Rasulullah saw. Dia menyerupai Rasulullah saw. dalam kelembutan hati, kesabaran, kepribadian, dan kedermawanan. Rasulullah saw. telah mencurahkan kecintaan dan kasih sayang kepadanya di tengah-tengah kaum muslimin. Banyak hadis yang telah diriwayatkan darinya mengenai kedudukan dan ketinggian kedudukan Imam Hasan as. ini. Antara lain:

1. Diriwayatkan bahwa 'AIsya'h berkata: "Sesungguhnya Nabi saw. pernah mengambil Hasan dan memeluknya seraya berkata, 'Ya Allah, sesungguhnya ini adalah anakku dan aku mencintainya dan mencintai orang yang mencintainya.'"
2. Menurut sebuah riwayat, Al-Barâ' bin '?zib pernah berkata: "Aku pernah melihat Rasulullah saw., sedang Hasan berada di atas pundaknya sambil berkata, 'Ya Allah, sesungguhnya aku mencintainya, maka cintailah orang yang mencintainya.'"
3. Diriwayatkan bahwa Ibn Abbâs berkata: "Rasulullah saw. datang sambil memanggul Hasan di pundaknya. Seorang laki-laki yang menjumpainya berkata, 'Hai anak, kamu telah menunggangi tunggangan yang paling baik.' Rasulullah pun menimpali, 'Dan penunggang yang paling baik penunggang adalah dia (Hasan).'"
4. Rasulullah saw. bersabda: "Barang siapa yang ingin melihat penghulu pemuda ahli surga, maka lihatlah Hasan."
5. Rasulullah saw. bersabda: "Hasan adalah buah hatiku di dunia ini."
6. Menurut sebuah riwayat, Anas bin Malik pernah berkata: "Hasan datang menemui Rasulullah saw. Aku menahannya. Rasulullah saw. lantas berkata, 'Celaka engkau hai Anas, lepaskanlah anak dan buah hatiku itu. Barang siapa yang menyakitinya, maka ia telah menyakitiku, dan barang siapa yang menyakitiku, berarti ia telah menyakiti Allah.'"
7. Ketika Rasulullah saw. sedang mengerjakan salah satu salat Maghrib atau Isya'', ia saw. memperpanjang sujud. Setelah selesai salam, orang-orang bertanya mengapa ia melakukan hal itu. Ia menjawab: "Ini (Hasan) adalah anakku. Ia menaikiku. Maka aku tidak ingin mengusiknya."
8. Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Abdurahman bin Zubair berkata: "Di antara keluarga Nabi saw. yang paling mirip dengannya dan yang palingnya cintai adalah Hasan. Aku melihat Rasulullah saw. sujud dan Hasan naik ke atas punggungnya. Ia tidak mau menurunkannya hingga ia sendiri yang turun. Dan aku melihat Rasulullah saw. sedang rukuk, dan Rasulullah merenggangkan celah-celah kedua kakinya, sehingga Hasan dapat keluar dari arah lain."

Banyak sekali hadis seperti itu yang telah disabdakan oleh Rasulullah saw. tentang keutamaan cucu kesayangan dan buah hatinya itu. Para perawi menukil sekelompok hadis lain yang menjelaskan keutamaannya, keutamaan saudaranya; Imam Husain as. penghulu para syahid, dan keutamaan Ahlul Bait as. Dan Imam Hasan termasuk salah seorang dari mereka. Hal itu telah kami jelaskan dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Hasan as., jilid 2.
Perkembangan Hidup Imam Hasan as.

Rasulullah saw. mengasuh dan memberikan teladan yang baik kepada Imam Hasan as. Ia mencurahkan seluruh perhatian kepada cucunya yang satu ini. Ayahnya, Amirul Mukminin as. sebagai pendidik terbaik dalam dunia Islam juga telah mendidiknya dengan baik. Ia telah menanamkan suri teladan yang mulia dan karakter yang agung di dalam lubuk hatinya sehingga Hasan menjadi manifestasi yang sempurna untuk seluruh karakter tersebut. Hasan juga dididik oleh penghulu semesta alam, Sayyidah Az-Zahrâ' as. Ibunya ini telah menanamkan jiwa keimanan yang murni dan kecintaan yang mendalam kepada Allah swt.
Imam Hasan as. tumbuh di dalam rumah kenabian, curahan wahyu, dan pusat kontrol imâmah. Oleh karena itu, ia pantas menjadi teladan terbaik untuk pendidikan Islam dalam tingkah laku dan kepribadiannya yang agung.
Teladan Yang Agung

Dalam diri Imam Hasan as., tercermin sifat yang luhur dan teladan yang agung. Dalam dirinya terjelma karakteristik kakek dan ayahnya yang telah berhasil menegakkan simbol-simbol kesadaran dan kemuliaan di muka bumi ini.
Imam Hasan as. telah mencapai puncak kemuliaan, kehormatan, pandangan yang dalam, pemikiran yang tinggi, kewarakan, kesabaran yang luas, dan budi pekerti yang luhur. Semua itu adalah butir-butir mutiara kemuliaannya.
Imâmah

Sifat utama Imam Hasan as. yang paling menonjol adalah imâmah (kepemimpinan). Hal itu, karena ia memiliki keutamaan dan potensi yang tidak dimiliki kecuali oleh orang yang telah dipilih oleh Allah swt. di antara hamba-hamba-Nya. Dan Allah swt. telah menganugerahkan hal itu kepadanya. Rasulullah saw. pernah menegaskan kepemimpinan Imam Hasan as. dan Imam Husain as. seraya bersabda: "Hasan dan Husain adalah pemimpin, baik ketika mereka berkuasa maupun ketika diam."
Hendaknya kita merenung sejenak untuk memikirkan arti imâmah dan seluruh partikel yang bertalian dengannya. Semua itu akan mengungkap bagi kita kemuliaan kedudukan dan keagungan Imam Hasan as.
a. Arti Imâmah

Definisi imâmah menurut persepsi para teolog adalah kepemimpinan umum seseorang yang menyangkut urusan agama dan dunia. Menurut definisi ini, imam adalah pemimpin umum yang wajib ditaati. Ia memiliki kekuasaan mutlak atas umat manusia dalam semua urusan agama dan dunia.
b. Perlu Kepada Imâmah

Kepemimpinan adalah salah satu kebutuhan utama dalam kehidupan umat manusia. Dan kebutuhan ini tidak dapat diabaikan dalam kondisi apapun. Dengan imâmah, tatanan dunia dan agama yang bengkok dapat diluruskan. Dengan imâmah, keadilan yang telah dicanangkan oleh Allah akan terealisai di muka bumi ini, stabilitas umum dan ketentraman di kalangan umat manusia akan terwujud, berbagai kesulitan dan bencana akan dapat diatasi, dan kesewenang-wenangan orang yang kuat atas orang yang lemah dapat dicegah.
Faktor paling urgen yang menuntut kehadiran seorang imam adalah menuntun umat manusia kepada penghambaan kepada Allah swt., menyebarkan hukum-hukum dan ajaran-Nya, dan menanamkan roh iman dan takwa di dalam diri masyarakat, agar mereka dapat menepis kejahatan dan merangkul kebaikan. Seluruh umat manusia wajib mengikutinya dan menjalankan perintahnya agar ia dapat menegakkan pondasi kehidupan mereka dan memberikan petunjuk kepada jalan yang benar.
c. Tugas-Tugas Seorang Imam

Tugas-tugas seorang pemimpin dan wali kaum muslimin adalah sebagai berikut:
1. Menjaga dan memelihara agama Islam dari orang-orang yang ingin merongrong nilai-nilai akhlak.
2. Menjalankan hukum, menyelesaikan pertikaian masyarakat, dan membela orang yang teraniaya.
3. Menjaga negara Islam dari serangan musuh, baik berupa serangan militer maupun pemikiran.
4. Melaksanakan sanksi dan hukuman atas seluruh tindak kejahatan yang menyebabkan umat menjadi sengsara.
5. Membentengi daerah-daerah perbatasan negara Islam.
6. Jihad.
7. Mengumpulkan dan menyalurkan harta negara, seperti zakat, pajak, dan lain sebagainya, sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
8. Menggunakan orang-orang yang jujur sebagai aparatur negara dan tidak mengangkat seorang pegawai hanya karena ia mencintai atau mengutamakannya.
9. Mengontrol urusan rakyat secara langsung dan tidak menyerahkannya kepada orang lain. Karena hal itu merupakan hak rakyat atasnya.
10. Mengikis pengangguran, meratakan kesejahteraan sosial sehingga meliputi seluruh lapisan masyarakat, dan membebaskan mereka dari kefakiran dan kepapaan.
Ini semua adalah sebagian tugas yang wajib dijalankan oleh seorang imam untuk umatnya. Pembahasan ini telah kami paparkan dalam buku, Nizhâm Al-Hukm wa Al-Idârah fi Al-Islam.
d. Karakteristik Imam

Seorang imam harus memiliki syarat-syarat berikut ini:
1. Adil dengan seluruh syaratnya; yakni menghindari dosa-dosa besar dan tidak melakukan dosa-dosa kecil secara terus menerus.
2. Memiliki ilmu yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam seluruh bidang dan mengetahui sebab-sebab turun dan hukum Al-Qur'an.
3. Panca indera yang sehat, seperti pendengaran, penglihatan, dan lisan, agar ia dapat melakukan sesuatu yang ia ketahui secara langsung. Begitu pula dIsya'ratkan supaya anggota badannya yang lain sehat.
4. Memiliki wawasan yang luas untuk mengatur rakyat dan kemaslahatan umum.
5. Berani, tegar, mampu menjaga negara Islam, dan berjuang melawan musuh.
6. Seorang imam harus berasal dari keturunan Quraisy.
Syarat-syarat dan karakteristik di atas telah dijelaskan oleh Al-Mâwardî dan Ibn Khaldûn.
7. 'Ishmah (keterjagaan dari dosa). Menurut para ahli teologi, defini 'ishmah adalah anugerah Ilahi (luthf) yang Dia berikan kepada hamba pilihan-Nya. Dengan itu, ia tercegah dari perbuatan dosa dan kesalahan, baik dosa yang dilakukan dengan sengaja maupun lupa.
Syi'ah sepakat bahwa seorang imam harus memiliki karakter 'ishmah. Dalil mereka adalah hadis Tsaqalain. Dalam hadis ini, Rasulullah saw. telah menggandengkan Al-Qur'an dan 'Itrah. Sebagaimana Al-Qur'an terjaga dari kesalahan dan kekeliruan, begitu pula dengan 'Itrah yang suci. Jika tidak demikian, maka penggandengan dan penyamaan antara kedua pusaka itu tidak berarti, seperti penjelasan yang sudah dipaparkan.
Seluruh karakter itu tidak dapat terpenuhi kecuali pada diri para imam Ahlul Bait as. sebagai pengayom dan pemelihara Islam serta penunjuk jalan kepada keridaan dan ketaatan kepada Allah swt.
Sejarah dan perilaku para imam Ahlul Bait as. sendiri membuktikan bahwa mereka terjaga dari setiap kesalahan dan penyimpangan. Berbagai peristiwa telah membuktikan realita ini. Lebih dari itu, seluruh peristiwa itu juga menegaskan bahwa mereka adalah pribadi-pribadi agung yang tidak ada tandingannya dalam sejarah umat manusia. Hal itu lantaran mereka memiliki kemuliaan yang agung, ketakwaan, dan kepedulian yang tinggi terhadap agama.
e. Penentuan Imam

Syi'ah berpendapat bahwa penentuan seorang imam tidak berada di tangan umat manusia dan tidak pula di tangan Ahl Al-Hall wa Al-'Aqd (Badan Penentu Kemaslahatan dan Kesepakatan Bersama). Teori pemilihan dalam mengangkat seorang imam tidak dapat dibenarkan. Kita mustahil dapat memilihnya. Imâmah tak ubahnya seperti kenabian. Sebagaimana kenabian tidak dapat ditentukan oleh umat manusia, demikian pula halnya dengan imâmah. Hal itu lantaran 'ishmah sebagai syarat utama dalam imâmah tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah swt. yang mengetahui rahasia setiap jiwa insan.
Hujah keluarga Muhammad dan Mahdî umat ini afs. telah menjelaskan konsep ini dengan sebuah argumentasi ketika ia berdialog dengan Sa'd bin Abdillah. Sa'd pernah bertanya kepadanya tentang sebab mengapa umat manusia tidak boleh memilih imam mereka sendiri. Imam Mahdî afs. menjawab: "Mereka memilih seorang penegak kebaikan ataukah keburukan?"
"Tentu memilih penegak kebaikan", jawab Sa'd singkat.
"Mungkinkah pemilihan mereka itu jatuh kepada seorang pelaku keburukan, lantaran tidak seorang pun dari mereka yang mengetahui apa yang tersirat di dalam hati orang lain; kebaikan ataukah keburukan?", tukas Imam Mahdî afs.
"Ya, bisa saja terjadi", jawab Sa'd pendek.
Imam Mahdî afs. menimpali: "Itulah penyebabnya. Aku akan menjelaskan kepadamu dengan dalil yang dapat dipercaya oleh akalmu. Jawablah pertanyaanku ini. Terdapat para rasul yang telah dipilih oleh Allah dan diturunkan kitab kepada mereka, lalu mereka diperkuat dengan wahyu dan 'ishmah. Karena itu mereka menjadi penuntun umat dan lebih jitu dalam menentukan pilihan, seperti Mûsâ dan Isa. Sekarang dengan kesempurnaan akal dan ilmu mereka berdua, apakah mungkin pilihan mereka jatuh kepada seorang munafik, sementara mereka meyakini bahwa dia adalah seorang mukmin?"
"Jelas tidak mungkin", jawab Sa'd.
Imam Mahdî afs. menimpali: "Lihatlah Mûsâ. Ia adalah Kalîmullâh. Dengan akalnya yang tinggi, ilmunya yang sempurna, dan wahyu pun turun kepadanya, ia telah memilih orang-orang terkemuka di antara kaumnya dan para pembesar bala tentaranya untuk menjumpai Tuhannya sebanyak 70 orang. Keimanan dan keikhlsan para pembesar pilihan itu tidak diragukan lagi. Tetapi ternyata pilihannya itu jatuh kepada orang-orang munafik. Allah swt. berfirman, 'Dan Mûsâ memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan.' Dalam ayat lain Allah swt. berfirman, 'Mereka berkata, 'Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata.' Maka mereka disambar petir karena kezaliman mereka.' Jika kita melihat bahwa pilihan orang yang telah dipilih Allah swt. untuk tugas kenabian ternyata jatuh kepada orang yang rusak, bukan kepada orang yang baik, tetapi ia menduga bahwa orang itu adalah orang baik, maka kita tahu bahwa pemilihan itu harus berada di tangan Dzat yang mengetahui segala yang tersembunyi di dalam dada dan jiwa."
Sesungguhnya kemampuan manusia tidak mampu untuk mengetahui kemaslahatan yang dapat membawa umat kepada kebahagiaan. Oleh karena itu, pemilihan imam itu tidak mungkin berada di tangan manusia, tetapi di tangan Allah yang mengetahui segala rahasia.
Inilah gambaran global mengenai imâmah. Untuk lebih detailnya, Anda dapat membaca buku-buku teologi.
Ketinggian Akhlak Imam Hasan as.

Imam Hasan as. mewarisi kakeknya yang memiliki kelebihan atas seluruh nabi dengan ketinggian akhlaknya. Para perawi hadis banyak meriwayatkan berbagai macam keutamaan akhlaknya. Di antaranya ialah kisah berikut ini:

a. Pada suatu hari, seseorang yang berasal dari Syam melewati Imam Hasan as. Orang itu mencela dan menghina Imam Hasan as. Imam Hasan diam dan tidak membalasnya. Setelah orang itu selesai lampiaskan celaannya, Imam Hasan mendatanginya dengan kelembutan dan senyum yang lebar. Imam Hasan as. berkata kepadanya: "Hai Syaikh, aku yakin Anda adalah orang asing. Jika Anda meminta sesuatu dari kami, pasti kami akan berikan. Jika Anda memerlukan petunjuk, niscaya kami akan beri petunjuk. Jika Anda meminta untuk memikul suatu barang, pasti kami akan pikul. Jika Anda lapar, kami pasti beri makan. Jika Anda memerlukan hajat, kami akan penuhi. Jika Anda terusir, kami siap melindungi."
Imam Hasan selalu bersikap lemah lembut terhadap orang Syam itu sehingga membuatnya tercengang. Orang itu tidak mampu menjawab sepatah kata pun. Ia merasa bingung bagaimana harus meminta maaf kepada Imam Hasan untuk menghapus kesalahan yuang telah dilakukannya. Akhirnya ia berkata: "Allah lebih mengetahui di manakah Dia meletakkan risalah-Nya."

b. Pada suatu ketika, Imam Hasan as. duduk di suatu tempat. Ketika ia ingin meninggalkan tempat itu, tiba-tiba seorang fakir datang kepadanya. Imam Hasan menyambutnya dengan lemah lembut sembari berkata: "Kamu datang ketika kami hendak berdiri. Apakah kamu izinkan saya meninggalkan tempat ini?"
Laki-laki fakir itu merasa kagum dengan ketinggian akhlak Imam Hasan as. Akhirnya, ia mengizinkan Imam Hasan untuk meninggalkan tempat tersebut.

c. Ketika Imam Hasan as. melewati sekelompok orang-orang fakir yang telah meletakkan sobekan-sobekan roti di atas tanah dan lantas melahapnya. Mereka mengajak Imam Hasan untuk makan bersama. Imam Hasan turut serta duduk di tengah-tengah mereka dan makan bersama mereka. Imam Hasan berkata: "Sesungguhnya Allah swt. tidak menyukai orang-orang sombong." Kemudian ia mengajak mereka untuk memenuhi undangannya. Maka mereka bergegas pergi bersama Imam Hasan, dan ia memberi makan dan pakaian kepada mereka hingga mereka puas.
Kesabaran Imam Hasan as. yang Luas

Salah satu karakter Imam Hasan as. yang menonjol adalah kesabarannya yang luas. Ia senantiasa membalas setiap orang yang berbuat buruk dan dengki kepadanya dengan kebaikan. Para ahli sejarah telah meriwayatkan banyak kisah mengenai kesabaran Imam Hasan yang maha luas ini. Di antaranya adalah kisah berikut ini:

a. Suatu hari Imam Hasan as. ia melihat kaki kambing miliknya patah. Ia bertanya kepada budaknya: "Siapakah yang melakukan hal itu?"
"Saya", jawab budak itu pendek.
"Mengapa kamu lakukan itu?", tanya Imam Hasan.
"Agar Anda merasa sedih", jawab budak itu.
Imam tersenyum seraya berkata: "Aku akan membahagiakanmu."
Setelah berkata begitu, Imam Hasan as. memberi hadiah kepadanya dan membebaskannya.

b. Seorang musuh bebuyutan Imam Hasan as. adalah Marwân bin Hakam. Marwân telah mengakui luasnya kesabaran Imam Hasan. Pengakuan ini Marwân tegaskan ketika Imam Hasan as. pulang ke haribaan Ilahi. Ketika itu Marwân segera memikul jenazah Imam Hasan. Imam Husain terkejut dengan sikap Warwân tersebut seraya bertanya: "Sekarang engkau memikul jenazahnya, padahal kemarin engkau membuatnya murka?"
Marwân menjawab: "Aku lakukan ini kepada orang yang kesabarannya menyerupai gunung."
Imam Hasan as. adalah seseorang yang berkesabaran tinggi, berakhlak luhur, dan berbudi pekerti agung. Ia dapat menarik hati orang lain dengan sifat-sifat mulia seperti ini.
Kedermawanan Imam Hasan as.

Imam Hasan as. adalah orang yang paling murah tangannya dan paling banyak berbuat baik kepada fakir miskin. Ia tidak pernah menolak pengemis. Ada seseorang yang bertanya kepadanya: "Mengapa Anda tidak pernah menolak pengemis?"
Imam Hasan as. menjawab: "Aku mengemis kepada Allah dan mencintai-Nya. Aku malu menjadi pengemis kepada Allah, sementara aku menolak seorang pengemis. Sesungguhnya Allah senantiasa melimpahkan nikmat-Nya kepadaku. Dan aku berusaha untuk senantiasa melimpahkan nikmat-Nya kepada manusia. Aku takut, jika aku memutuskan kebiasaan ini, Allah akan memutuskan kebiasaan-Nya."
Kemudian Imam Hasan menyenandungkan syair:
Apabila datang kepadaku seorang pengemis, kusambut dia dengan ucapan: "Selamat datang, wahai yang karunianya segera dianugerahkan kepadaku dengan pasti."
Dan karunianya adalah karunia bagi setiap pengutama, sebaik-baik hari bagi seseorang adalah ketika ia diminta.
Para utusan orang-orang kelaparan dan fakir miskin senantiasa datang mengantri di depan pintu rumah Imam Hasan as. Dengan tangan terbuka dan penuh anugerah, ia memberi santunan kepada mereka, dan memperbanyak santunan itu.
Para ahli sejarah telah menulis berbagai kisah mengenai kedermawanan Imam Hasan as. sebagai berikut ini:

1. Seorang Arab Badui datang kepada Imam Hasan as. untuk meminta sesuatu. Imam Hasan berkata: "Berikanlah kepadanya apa yang ada di dalam lemari itu." Ketika itu, terdapat 10.000 dirham di dalam lemari tersebut. Orang Badui berkata: "Bolehkah aku mengutarakan hajatku dan menebarkan pujianku?"
Imam Hasan as. menjawabnya dengan ucapan:

Kamilah pemilik ladang yang subur, harapan dan cita datang untuk menggembala di sana.
Kamilah pemilik jiwa derma sebelum kau minta, menjaga kehormatan orang yang meminta.
Sekiranya laut tahu keutamaan orang yang meminta pada kami, pasti ia melimpahkan karunianya karena malu.

2. Suatu hari, Imam Hasan as. berlalu melewati seorang budak hitam legam yang sedang menggengga sepotong roti. Satu suap ia makan dan satu suap lainnya ia berikan kepada anjing. Imam Hasan bertanya kepadanya: "Mengapa kamu berbuat seperti itu?" Budak itu menjawab: "Aku malu memakannya bila aku tidak memberinya."
Imam Hasan as. melihat bahwa pada diri budak itu terdapat sifat terpuji. Karena itu ia ingin membalas perbuatan baiknya itu dengan kebaikan pula demi menebarkan keutamaan di tengah-tengah masyarakat. Imam Hasan berkata kepadanya: "Jangan beranjak dari tempat dudukmu."
Setelah berkata begitu, Imam Hasan as. pergi dan membeli budak itu dari majikannya. Lebih dari itu, ia juga membeli kebun yang budak itu duduk di situ. Kemudian Imam Hasan membebaskan budak tersebut dan memberikan kebun itu kepadanya.

3. Suatu hari, Imam Hasan as. melewati sebuah gang di kota Madinah. Tiba-tiba ia mendengar seorang lelaki tengah memohon kepada Allah agar diberikan uang sebanyak 10.000 dirham. Imam segera pulang ke rumahnya dan mengirim uang itu kepadanya.
Inilah sebagian contoh dari kedermawanan Imam Hasan as. Kami telah menjelaskan berbagai contoh dan kisah dari kedermawanannya dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Hasan as., jilid 1.
Kezuhudan Imam Hasan as.

Buah hati dan cucu Rasulullah saw. yang pertama ini memiliki kezuhudan dalam semua sisi kehidupan. Ia memfokuskan diri kepada Allah swt. dengan segenap jiwa raga dan merasa cukup dengan harta dunia yang sedikit. Ia pernah berkata:
Secuil roti kering dapat mengenyangkan perutku, dan seteguk air putih dapat menghilangkan dahagaku.
Sehelai baju dapat menutupi badanku kala aku hidup, dan kain kafan pun cukup bagiku bila aku mati.
Imam Hasan as. mengukir dua bait syair pada cincinnya yang melukiskan ia adalah seorang yang zuhud. Dua bait itu adalah:
Hidangkanlah takwa untuk dirimu sebisamu, sungguh kematian akan datang padamu, hai pemuda.
Di pagi hari engkau bergembira seakan tak melihat para kekasih hatimu hancur luluh di dalam kubur dan hancur.
Muhammad bin Babawaeh telah menulis sebuah kitab tentang kezuhudan Imam Hasan as. Buku itu ia beri judul Zuhd Al-Imam Hasan as. Para penulis biografi juga sepakat bahwa Imam Hasan as. adalah figur manusia terzuhud pada masanya, sebagaimana ayah dan kakeknya.
Ilmu Pengetahuan Imam Hasan as.

Imam Hasan as. adalah sumber ilmu pengetahuan dan hikmah dalam Islam. Ketinggian ilmunya dan juga ilmu saudaranya, Imam Husain as., telah dijelaskan dalam banyak riwayat. Imam Hasan dan Imam Husain as. adalah penuang ilmu pengetahuan. Dan Imam Hasan as. menjadi tempat rujukan kaum muslimin dalam fatwa. Para sahabat Rasulullah saw. datang berduyun-duyun untuk menimba ilmu darinya. Banyak sahabatnya yang meriwayatkan hadis dari Imam Hasan.
Perlu kami ingatkan di sini bahwa Muhammad bin Ahmad ad-Dawlâbî (wafat 32 H.) pernah menulis sebuah musnad yang ia masukkan dalam kitab Adz-Dzurriyyah Ath-Thâhirah. Dalam kitab ini ia menghimpun riwayat-riwayat yang telah diriwayatkannya dari Imam Hasan as. dari kakeknya, Rasululah saw.
Kata Mutiara Imam Hasan as.

1. Imam Hasan as. berkata: "Tinggallah di dunia ini dengan badanmu dan di akhirat dengan hatimu."
2. Imam Hasan as. berkata: "Anggaplah apa yang kamu inginkan tentang dunia ini, tetapi kamu tidak memperolehnya, seakan-akan keinginan itu tidak pernah terbersit di hatimu."
3. Imam Hasan as. berkata: "Yang lebih besar daripada sebuah musibah adalah akhlak yang buruk."
4. Imam Hasan as. berpesan: "Barang siapa yang memulai pembicaraan tanpa salam, maka janganlah kamu jawab."
5. Imam Hasan as. berkata kepada seorang laki-laki yang telah sembuh dari sakitnya: "Sesungguhnya Allah swt. telah mengingatmu, maka ingatlah Dia. Dan Dia telah memaafkanmu, maka bersyukurlah kepada-Nya."
6. Imam Hasan as. berpesan: "Nikmat adalah sebuah ujian. Jika kamu bersyukur, maka nikmat itu laksana harta karun. Jika engkau tidak mensyukurinya, maka nikmat tersebut akan menjadi bencana."
Ceramah Imam Hasan as.

Imam Hasan as. adalah seorang orator ulung yang mampu berceramah secara spontanitas dan pandai menyusun rangkaian kata yang indah. Berikut ini sebagian dari ceramahnya:

1. Pernah Imam Ali as. menyuruh Imam Hasan as. untuk menyampaikan ceramah di hadapan khalayak. Ia segera naik mimbar dan menyampaikan ceramah berikut ini:
Wahai manusia, pahamilah ketetapan Tuhan kalian. Sesungguhnya Allah swt. telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga 'Imrân atas semesta alam ini. Mereka adalah keturunan dari sebagian yang lain. Dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Kami adalah anak cucu Adam, keluarga Nuh, pilihan dari keluarga Ibrahim, keturunan dari Isma'il, dan keluarga Muhamamd saw. Kami di tengah-tengah kalian bagaikan langit yang tinggi, bumi yang terhampar, matahari yang bersinar, dan laksana pohon zaitun (tidak ke barat dan tidak ke timur) yang minyaknya diberkahi. Nabi adalah pokoknya, Ali adalah cAbângnya, dan kami adalah buahnya. Barang siapa yang berpegangan kepada salah satu cAbângnya, niscaya ia akan selamat. Dan barang siapa yang meningalkannya, maka ia akan terjerumus ke dalam neraka ...."

2. Salah satu ceramah Imam Hasan as. yang sangat indah adalah ceramah berikut ini. Dalam ceramah ini, ia memaparkan masalah akhlak dan budi pekerti yang mulia:
Ketahuilah bahwa akal adalah benteng, kesabaran adalah hiasan, menepati janji adalah kehormatan, ketergesa-gesaan adalah kebodohan, kebodohan itu adalah kelemahan, berteman dengan ahli dunia adalah kehinaan, dan bergaul dengan orang-orang fasik adalah kebinasaan. Barang siapa yang meremehkan saudaranya, maka rusaklah harga dirinya. Tidak ada yang rusak kecuali orang-orang ragu. Sementara orang-orang yang mendapat petunjuk akan selamat. Yaitu mereka yang sedikit pun tidak pernah memprotes Allah tentang ajal mereka dan tidak pula tentang rezeki mereka. Oleh karena itu, kesucian mereka sempurna dan rasa malu mereka juga sempurna. Mereka bersabar diri sehingga rezeki mereka datang sendiri. Mereka sama sekali tidak menjual agama dan kehormatan mereka sedikit pun dengan harta dunia. Mereka pun tidak mencari sedikit pun dari dunia itu dengan jalan bermaksiat kepada Allah. Termasuk kesempurnaan akal dan kehormatan seseorang adalah ia bersegera memenuhi hajat saudara-saudaranya sekalipun mereka tidak mengutarakannya. Akal adalah pemberian Allah yang paling baik kepada hamba-Nya. Karena dengan akal, ia akan selamat di dunia dari mara bahayanya dan akan selamat dari siksa akhirat.
Dikisahkan bahwa para sahabat Rasulullah saw. pernah menceritakan seseorang di hadapan Rasulullah saw. dengan ibadahnya yang bagus. Rasulullah saw. bersabda: "Lihatlah akalnya. Karena sesungguhnya seorang hamba akan diberi pahala pada hari kiamat kelak sesuai dengan kadar akalnya. Berbudi luhur adalah tanda bahwa akalnya sehat ...."
Ibadah Imam Hasan as.

Imam Hasan as. figur yang paling abid pada masanya. Para perawi hadis berkata tentang hal ini: "Kami tidak pernah melihat Imam Hasan pada setiap waktu melainkan ia senantiasa berzikir kepada Allah swt."
Apabila disebutkan tentang surga dan neraka, Imam Hasan as. tampak gemetar bagai disengat kalajengking. Kemudian ia memohon surga dan berlindung dari api neraka. Apabila disebutkan tentang kematian dan hal-hal yang mengiringinya seperti kebangkitan dan hari mahsyar, ia menangis seperti orang yang takut dan bertobat. Dan apabila disebutkan mengenai realita penampakkan amal di hadapan Allah, ia pingsan sejenak saking takutnya.
Kisah-kisan ini melukiskan betapa ketaatan Imam Hasan as. sangat tinggi dan betapa ia takut kepada Allah swt.
Wudu dan Salat Imam Hasan as.

Apabila Imam Hasan as. ingin berwudu, kondisi fisik dan batinnya berubah karena takut kepada Allah swt. sehingga wajahnya tampak pucat pasi dan persendiannya gemetar. Ia pernah ditanya tentang hal itu. Ia menjawab: "Sudah pasti persendian orang yang berdiri di hadapan Tuhan 'Arsy merasa gemetar dan wajahnya pucat pasi."
Apabila usai berwudu dan hendak memasuki masjid, Imam Hasan as. berkata dengan suara keras: "Ya Tuhanku, tamu-Mu berada di ambang pintu-Mu. Wahai Dzat yang berbuat baik, telah datang orang yang berbuat buruk. Maka maafkanlah segala keburukan yang ada pada diri kami dengan keindahan anugerah yang ada di sisi-Mu, wahai Yang Maha Mulia."
Ketika Imam Hasan as. mulai mengerjakan salat, ia tampak merrasa takut dan gemetar sehingga seluruh persendian dan anggota tubuhnya tampak bergetar.
Manakala usai mengerjakan salat Shubuh, Imam Hasan as. tidak berbicara sedikit pun kecuali zikir kepada Allah hingga matahari terbit.
Ibadah Haji Imam Hasan as.

Salah satu manifestasi ibadah dan ketaatan Imam Hasan as. kepda Allah swt. adalah ibadah haji ke Baitullah sebanyak dua puluh lima kali dengan berjalan kaki. Sementara unta-unta dituntun di hadapannya.
Imam Hasan as. pernah ditanya mengapa ia sering pergi haji dengan berjalan kaki. Ia menjawab: "Aku merasa malu kepada Tuhanku, jika mendatangi rumah-Nya tidak dengan berjalan kaki."
Imam Hasan as. Bersedekah

Imam Hasan as. menyedekahkan harta bendanya yang sangat berharga di jalan Allah demi mencapai rida dan ketaatan kepada-Nya. Ia pernah menyedekahkan seluruh harta kekayaan yang dimilikinya sebanyak dua kali. Malah ia pernah menyedekahkan seluruh hartanya karena Allah sebanyak tiga kali, sehingga ia tidak memiliki cara lain untuk bersedekah kecuali dengan menyedekahkan satu sandalnya dan menahan sandal yang lain untuk dirinya.
Ini adalah sebagian contoh dari ketaatan Imam Hasan as. kepada Allah swt. Dan ibadahnya ini adalah sebuah gambaran tentang ibadah kakek dan ayahnya, Sayyidul Muttaqîn wal Muwahhidîn.
Imam Hasan as. Menghadapi Tuduhan

Imam Hasan as. dituduh banyak kawin. Menurut sebuah riwayat, ia pernah kawin dengan tiga ratus orang wanita. Semua itu adalah merupakan fitnah belaka yang tidak memiliki kenyataan. Tuduhan itu adalah rekayasa yang dibuat oleh Manshûr Ad-Dawâniqî pada saat keturunan Imam Hasan as. mengadakan perlawanan terhadapnya, dan hampir saja gerakan perlawanan ini menggoyahkan dan meruntuhkan bangunan kerajaannya. Manshûr telah berbuat dusta atas Imam Amirul Mukminin as. dan keturunannya dengan tuduhan-tuduhan palsu.
Seandainya semua riwayat buatan itu benar, tentunya Imam Hasan as. mempunyai anak yang sangat banyak sesuai dengan bilangan istrinya itu. Namun kenyataannya, para ahli nasab berasumsi bahwa putra-putri Imam Hasan as. hanya berjumlah dua puluh dua orang. Hal ini sama sekali tidak sesuai dengan jumlah wanita yang mereka duga telah dikawini oleh Imam Hasan.
Selain itu, mereka juga menuduh Imam Hasan as. dengan banyak melakukan perceraian. Seandainya tuduhan itu benar, pasti ia telah mencerai istrinya yang bernama Ja'dah binti Asy'ast. Kami telah membuktikan kepalsuan semua tuduhan itu dengan argumentasi yang gamblang dalam kitab kami, Hayâh Al-Imam Hasan as., jilid 2.
Kekhalifahan Imam Hasan as.

Ketika dunia Islam ditimpa musibah dan duka yang mendalam dengan syahadah Imam Amirul Mukminin as., pelopor keadilan itu, Imam Hasan as. menduduki kursi kekhalifahan Islam pada kondisi yang sangat genting dan kritis itu. Bala tentara Imam Hasan as. dikenal sebagai prajurit pembangkang dan tidak patuh. Mereka ingin hidup santai dan telah jenuh menghadapi peperangan. Sikap seperti itu pernah dilakukan oleh kaum Khawârij yang telah menjatuhkan hukum kafir dan keluar dari agama atas Imam Amirul Mukminin Ali as. Mereka itu bagaikan ulat-ulat dan serangga yang menggerogoti pasukan Imam Hasan as. dan menyeru untuk membelot dan keluar dari wilayah ketaatan dan kepemimpinannya.
Peristiwa yang paling menyakitkan dan menyedihkan Imam Hasan as. adalah pembelotan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh komandan pasukannya, yaitu 'Ubaidillah bin Abbâs. 'Ubaidillah adalah komandan pasukan bersenjata. 'Ubaidillah bin Abbâs bersama rekan-rekannya telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta kaum muslimin. Mereka mengirim surat kepada Mu'âwiyah dan menyatakan kesetiaan dan ketaatan untuk menjalankan segala perintah. Bila Mu'âwiyah menginginkan, mereka siap untuk membunuh Imam Hasan as. atau menyerahkannya kepada Mu'âwiyah sebagai tawanan.
'Ubaidillah bin Abbâs, anak paman Imam Hasan as. itu, telah menerima uang suap dari Mu'âwiyah. Pada suatu malam hari yang gelap gulita, 'Ubaidillah menyelundup untuk menjumpai Mu'âwiyah. Secara diam-diam, ia meninggalkan bala tentara Imam Hasan, padahal kondisi mental mereka tengah goncang akibat berbagai fitnah. 'Ubaidillah telah membuka jalan pengkhianatan bagi orang-orang yang berjiwa lemah dan beriman rapuh, sehingga dengan mudah mereka menyeberang dan bergabung dengan pasukan tiran Mu'âwiyah. Dengan terjadinya bencana dan musibah itu, bumi menjadi sempit bagi Imam Hasan as. Ketika Imam Hasan tengah mengerjakan salat dan berdiri di hadapan Allah swt., seorang pembelot dari pasukannya menikam bagian pahanya.
Imam Hasan as. menghadapi berbagai ujian dan fitnah yang berat ini dengan penuh kesabaran dan ketabahan. Pada saat itu, ia dihadapkan pada salah satu dari dua pilihan yang tidak ada ketiganya, yaitu:
Pertama, mengadakan perlawanan terhadap Mu'âwiyah dengan bala tentara yang sudah lemah dan tidak ada harapan untuk menang. Dengan perlawanan ini, Imam Hasan as. tentunya harus rela mengorbankan dirinya, seluruh Bani Hâsyim, dan para pengikut setianya yang selalu siap membela agama dan memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Dan yang jelas, apabila Imam Hasan as. diserahkan kepada Mu'âwiyah sebagai tawanan, Mu'âwiyah pasti akan membebaskannya. Dengan perlakuan semacam itu, Mu'âwiyah dapat membumihanguskan diri Imam Hasan dan keluarganya seperti perlakuan Rasulullah saw. terhadap orang-orang yang telah ia bebaskan pada hari pembebasan kota Mekah. Dengan demikian, Bani Umaiyyah dapat memperoleh kemenangan yang gemilang. Sementara pengorbanan Imam Hasan as. di mata masyarakat umum menjadi sia-sia dan tidak berarti sama sekali.
Kedua, berdamai dengan Mu'âwiyah, walaupun hal itu bagaikan kotoran yang mengganjal di mata dan segumpal makanan yang tersendat di tenggorokan, dan membiarkan Mu'âwiyah dengan segala kedurjanaannya, lalu menyingkap segala kedurjanaan itu di hadapan masyarakat Islam. Sebagai akibatnya, kejahatan Mu'âwiyah terhadap Islam akan terungkap, pakaian penutup aibnya akan tersingkap, dan kebusukan dan segala tipu dayanya akan terbukti.
Kenyataanya memang demikian. Semua itu terbukti dengan jelas dan tidak terdapat kesamaran sedikit pun. Setelah menandatangani perdamaian, Mu'âwiyah naik ke atas mimbar dan berpidato di hadapan masyarakat Irak. Ia menegaskan: "Hai penduduk Irak! Demi Allah, sesungguhnya aku tidak memerangi kalian agar kalian mengerjakan salat atau menunaikan zakat, tidak juga agar kalian berpuasa atau menunaikan ibadah haji. Aku memerangi kalian hanya agar aku dapat berkuasa dan memerintah kalian. Allah telah menganugerahkan kekuasaan kepadaku, tetapi kalian tidak menyukainya. Ketahuilah sesungguhnya setiap kesepakatan yang telah kuberikan kepada Hasan bin Ali, kini aku letakkan di bawah kedua tapak kakiku ini."
Perhatikanlah Mu'âwiyah yang busuk ini. Ia telah menyingkap kejahiliahannya sendiri dan menelanjangi nilai-nilai Islam. Perdamaian dengan Imam Hasan as. tidak memiliki manfaat kecuali kejahiliahan dan kebusukan hati Mu'âwiyah terungkap; roh Islam dan hidayah tidak berbekas di dalam hatinya sama sekali. Mu'âwiyah tak ubahnya seperti ayahnya, Abu Sufyân, musuh pertama Rasulullah saw., dan juga ibunya, Hindun yang telah mencongkel hati penghulu para syahid, Hamzah, dan mencacahnya dengan keji dan kejam. Permusuhan terhadap Islam dan kedengkiannya kepada Rasulullah saw. telah ia warisi dari kedua orang tuanya itu.
Yang jelas, Imam Hasan as. telah memilih jalan damai yang merupakan ketentuan syariat. Sekiranya tidak demikian, maka umat Islam telah mengalami berbagai bencana dan petaka yang hanya diketahui oleh Allah swt.
Dalam perdamaian tersebut, Imam Hasan as. mensyaratkan kepada Mu'âwiyah beberapa syarat yang telah berhasil menegaskan bahwa ia tidak berhak memiliki kekuasaan syar'î. Di antara syarat-syarat itu adalah hendaknya ia tidak menyebut dirinya sebagai Amirul Mukminin. Ini berarti bahwa ia bukan penguasa yang telah mendapatkan legitimasi syar'î dan bukan pemimpin bagi orang-orang yang beriman. Ia hanyalah penguasa yang zalim dan tiran.
Syarat yang lain adalah ia tidak boleh melangkahi Al-Qur'an dan Sunah sedikit pun, baik dalam urusan politik maupun tingkah lakunya sehari-hari.
Seandainya Imam Hasan as. yakin dengan keislamannya, tentu ia tidak akan memberikan syarat-syarat seperti itu. Imam Hasan as. juga memberikan syarat-syarat lainnya yang bertentangan dengan hawa nafsu Mu'âwiyah. Mu'âwiyah tidak menepati satu pun dari syarat-syarat yang telah diajukan oleh Imam Hasan itu. Ia telah menginjak-injak semua syarat itu. Hal ini telah kami uraikan dalam kitab kami,
Hayâh Al-Imam Hasan as.
Akhirnya, setelah peristiwa perdamaian tersebut terjadi, terbongkarlah kedok politik Mu'âwiyah yang dengan terang-terangan menentang Al-Qur'an dan Sunah Rasulullah saw. Ia membunuh orang-orang yang tidak berdosa dan orang-orang saleh, seperti Hujr bin 'Adî, 'Amr bin Al-Hamaq Al-Khuzâ'î, dan para sahabat yang lain dengan sewenang-wenang. Dia juga merusak kehormatan kaum muslimin, menawan kaum wanita, merampas harta benda, dan mengangkat orang-orang bejad sebagai aparat pemerintahan, seperti Ibn 'Ash, Ibn Syu'bah, Ibn Arthah, Ibn Hakam, Ibn Marjânah, dan Ibn Sumayyah. Orang terakhir ini telah dipisahkan oleh Mu'âwiyah dari ayahnya yang sah, yaitu 'Ubaid Ar-Rûmî, kemudian menisbahkan kepada ayahnya sendiri yang durjana, Abu Sufyân. Mu'âwiyah telah memberikan kekuasaan untuk memerintah penduduk Syi'ah Irak kepada anak durjana ini. Dengan kekuasaannya itu, ia telah menimpakan berbagai kesengsaraan kepada mereka, menyembelih anak-anak mereka, mempermalukan kaum wanita mereka, membakar rumah-rumah mereka, dan merampas harta benda mereka ....
Salah satu kejahatan dan kezaliman Mu'âwiyah yang terbesar adalah usahanya untuk membunuh cucu Rasulullah saw., Imam Hasan as. Mu'âwiyah telah menyisipkan racun untuk Imam Hasan as. melalui tangan istrinya yang bernama Ja'dah bin Asy'ats. Mu'âwiyah telah merayu Ja'dah dan berjanji untuk menikahkannya dengan Yazîd. Ja'dah terkutuk itu menyisipkan racun, sementara Imam Hasan as. sedang puasa. Racun itu merobek-robek usus Imam Hasan as. dengan cepat. Tidak lama serelah itu, rohnya yang suci segera kembali ke haribaan Tuhannya dengan membawa berbagai musibah, duka, dan kesedihan yang ditimpakan oleh Mu'âwiyah. Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji'ûn!
Mu'âwiyah mengakhiri kejahatan dan kedurjanaannya dengan mengangkat anaknya yang terkutuk, Yazîd, sebagai khalifah kaum muslimin. Yazîd telah merusak dan menghancurkan agama dan dunia umat Islam. Tidak ada kejahatan pun melainkan ia telah lakukan. Di antara kejahatan-kejahatan itu adalah tragedi Thuff di Mekah dan tragedi Harrah, serta berbagai kejahatan lainnya yang telah mengubah kehidupan muslimin menjadi neraka Jahanam yang sulit dibayangkan.
Catatan Kaki:

Kanz Al-'Ummâl, jilid 7, hal. 104; Majma' Az-Zawâ'id, jilid 9, hal. 176.
Shahîh Al-Bukhâri, bab Manâqib Al-Hasan wa Al-Husain, jilid 3, hal. 1370; Shahih At-Tirmidzî, jilid 2, hal. 207; Al-Bidâyah wa An-Nihâyah, jilid 8, hal. 34.
Ash-Shawâ'iq Al-Muhariqah, hal. 82; Hilyah Al-Awliyâ', jilid 2, hal. 35
Al-Istî'âb, jilid 2, hal. 369.
Al-Bidâyah wa An-Nihâyah, jilid 8, hal. 35; Fadhâ'il Al-Ashhâb, hal. 165.
Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 222.
Al-Bidâyah wa An-Nihâyah, jilid 8, hal. 33.
Al-Ishâbah, jilid 2, hal. 12.
As-Siyâsah Asy-Syar'iyah, hal. 7.
Al-Ahkâm As-Sulthâniyyah, hal. 4, mukadimah ke-135.
QS. Al-A'râf [7]:155.
QS. An-Nisâ' [4]:153.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 13, hal. 127.
Manâqib Ibn Syahri ?syûb, jilid 2, hal.149; Al-Kâmil, karya Al-Mubarrad, jilid 1 hal. 190.
Târîkh Al-Khulafâ', karya As-Suyûthî, hal. 73.
A'yân Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 24.
Maqtal Al-Husain, karya Al-Khârazmî, jilid 1, 147.
Syarah Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadîd, jilid 4, hal. 5.
Nûr Al-Abshâr, hal. 111.
A'yân Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 89-90.
Al-Bidâyah wa An-Nihâyah, jilid 8, hal. 38.
Ath-Thabaqât Al-Kubrâ, karya Asy-Sya'rânî, jilid 1, hal. 23; Ash-Shabbân, hal. 117.
Târîkh Ibn 'Asâkir, jilid 4, hal. 219.
Hayâh Al-Imam Hasan as., jilid 1, hal. 330.
An-Nihâyah, karya Ibn Atsîr, jilid 3, hal. 321.
Hayâh Al-Imam Hasan as., jilid 2, hal. 333.
hal. ini telah kami paparkan pada jilid ke-2 buku kami, Hayâh Al-Imam Hasan as.
Syarah Nahjul Balûghah, jilid 18, hal. 89.
Idem.
Nahj As-Sa'âdah, jilid 8, hal. 280.
Kasyf Al-Ghummah, jilid 2, hal. 197.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 75, hal. 106.
At-Tadzkirah, karya Ibn Hamdûn, hal. 25.
Jalâ' Al-'Uyûn, jilid 1, hal. 328.
Irsyâd Al-Qulûb, hal. 239.
Amâlî Ash-Shadûq, hal. 108.
A'yân Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 11.
Amâlî Ash-Shadûq, hal. 108.
Amâlî Ash-Shadûq, hal. 108.
Hayâh Al-Imam Hasan as., jilid 1, hal. 327.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 10, hal. 93.
Al-Lum'ah, kitab Al-Hajj, jilid 2, hal. 170.
A'yân asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 11.
Usud Al-Ghâbah, jilid 2, hal. 12.
Hayâh Al-Imam Hasan as., jilid 2, hal. 453.

IMAM HUSAIN BIN ALI

Imam Husain as. adalah perintis Islam dan penyelamat agung syariat Islam yang telah menjadi mangsa para penguasa Bani Umayyah. Mereka telah melakukan berbagai siksaan terhadap Imam Husain, menyembelih keturunannya, mempermalukan para wanita, menjadikan harta negara untuk kepentingan pribadi, memperbudak rakyat, membantai orang-orang yang baik dan saleh, menyebarkan rasa takut di tengah-tengah masyarakat, dan menebarkan berbagai bentuk kejahatan, kefakiran, dan kepapaan di seluruh pelosok negeri.
Menyaksikan kondisi seperti itu, Imam Husain as. bangkit dengan tekad yang membaja demi mewujudkan harapan Rasulullah saw. Ia meletuskan sebuah revolusi besar yang secara tidak langsung telah disinggung oleh Al-Qur'an dan menjadikannya sebagai pelajaran bagi orang-orang yang berakal. Revolusi tersebut telah berhasil memporak-porandakan benteng kekuasaan Bani Umayyah, mengikis habis kesombongan dan kecongkakan mereka, menebarkan kesadaran politik dan agama di kalangan kaum muslimin dan menghilangkan rasa takut, perbudakan, dan kehinaan dari dunia Islam. Berkat revolusi ini, mereka terbebas dari seluruh keburukan yang menimpa mereka, kemudian bangkit bagai seorang perkasa yang terbangun setelah sekian lama dimabukkan. Mereka menyerukan hak-hak mereka dalam revolusi-revolusi berikutnya sehingga mampu menumbangkan pemerintahan dinasti Bani Umayyah yang telah menghinakan dan memaksa mereka untuk menerima segala kondisi yang tidak mereka inginkan.
Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sekelumit riwayat hidup seorang imam agung ini yang telah menjadi buah bibir di sepanjang sejarah karena pengorbanan, ketabahan, kesabaran, dan kemuliaannya.
Kecintaan Rasulullah saw. kepada Husain as.

Rasulullah saw. sangat mencintai cucunya yang satu ini. Kecintaannya kepadanya tidak bisa digambarkan denga kata-kata. Banyak sekali hadis yang menjelaskan ketinggian kedudukan Husain di sisinya saw. Sebagian dari hadis-hadis tersebut ialah berikut ini:

1. Jâbir bin Abdillah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Barang siapa yang ingin melihat penghulu ahli surga, maka hendaknya ia melihat Husain bin Ali."
2. Abu Hurairah meriwayatkan: "Aku pernah melihat Rasulullah saw. sedang menggendong Husain as., sembari berkata, 'Ya Allah, sungguh aku mencintainya, maka cintailah dia.'"
3. Ya'lâ bin Murrah meriwayatkan: "Kami pergi bersama Rasulullah untuk menghadiri undangan makan. Di suatu gang, kami melihat Husain as. sedang bermain-main. Ia mendekatinya seraya membentangkan kedua tangannya. Husain as. berlari kesana kemari hingga membuatnya tertawa, sampainya berhasil menangkapnya. Kemudian Rasulullah meletakkan satu tangannya di bawah dagu Husain dan tangan yang lain di atas kepalanya. Rasulullah mencium-ciumnya. Ia bersabda, 'Husain dariku dan aku darinya. Allah mencintai orang yang mencintai Husain.
Husain adalah salah satu cucuku.'"
Hadis tersebut melukiskan betapa Rasulullah saw. memiliki hubungan yang sangat mendalam dengan Husain as. Maksud ungkapan hadis "Husain adalah dariku" bukan hubungan nasab antaranya dan Husain as. Karena hal ini sudah jelas, dan tidak ada gunanya diungkapkan lagi. Tetapi maksudnya adalah lebih dalam dari itu. Yaitu Husain as. mengemban risalah dan missi Rasulullah saw. untuk memperbaiki dan membangun sebuah masyarakat insani dan mengangkat martabat mereka.
Maksud sabda Rasulullah saw. "dan aku dari Husain" adalah, bahwa segala pengorbanan yang akan dihaturkan oleh Husain as. pada masa mendatang di jalan Islam ketika musibah dan keterasingan menimpanya sehingga pengorbanan itu menjadi urat nadi kehidupan di sepanjang sejarah betul-betul merefleksikan bahwa Rasulullah saw. dari Husain. Hal itu lantaran Husain as. adalah pembaharu dan penyelamat agamanya dari kejahatan penguasa zalim yang selalu bertindak untuk menghancurkan Islam dan berusaha menghidupkan kembali tradisi jahiliah. Melaui pengorbanan itu, Imam Husain as. telah berhasil menghancurkan taktik Bani Umayyah dan menyelamatkan kaum muslimin dari kejahatan dan kezaliman mereka.
4. Salmân Al-Fârisî meriwayatkan: "Aku pernah menjumpai Rasulullas saw., sedangkan Husain bin Ali berada di atas pahanya. Ia mengecup bibirnya seraya bersabda, 'Engkau adalah penghulu putra penghulu, imam putra seorang imam, saudara seorang imam, dan ayah para imam. Engkau adalah hujah Allah putra seorang hujah Allah dan ayah sembilan hujah dari keturunanmu. Yang kesembilan adalah Imam Mahdî as.'"
5. Ibn Abbâs meriwayatkan: "Ketika Rasulullah saw. memanggul Husain di atas pundaknya, seorang laki-laki berkata kepada Husain, 'Paling baik tunggangan yang kau tunggangi, wahai anak.' Rasulullah saw. pun menimpali, 'Paling baik penunggang adalah dia (Husain).'"
6. Rasulullah saw. bersabda: "Anak ini (yakni Husain as.) adalah putra seorang imam dan ayah sembilan imam."
7. Yazîd bin Abi Ziyâd meriwayatkan: "Rasulullah saw. keluar dari rumah 'AIsya'h dan melewati rumah Fathimah. Ketika itu Rasulullah saw. mendengar tangisan Husain. Rasulullah merasa gusar. Lalunya berkata kepada Fathimah as., 'Tidakkah kau tahu bahwa tangisannya itu menyayat hatiku?'"
Ini adalah sebagian hadis yang melukiskan kecintaan Rasulullah saw. kepada cucunya, Imam Husain as. Hadis-hadis tersebut menunjukkan kemuliaan dan kehormatan Husain as., pembela prinsip dan nilai-nilai Islam dari kejahatan Bani Umayyah.
Rasulullah saw. Memberitakan Syahadah Husain as.

Rasulullah saw. telah menyampaikan berita tentang syahadah cucu kesayangannya ini pada saat ia masih hidup, agar muslimin yakin dengan syahadahnya itu. Ibn Abbâs berkata: "Kami tidak merasa ragu, sedang Ahlul Bait masih hidup, bahwa Husain bin Ali akan dibunuh di daerah Thuff."
Nabi saw. telah memperoleh berita dari langit bahwa cucunya itu akan ditimpa berbagai musibah dan bencana yang dapat meruntuhkan gunung. Mendengar berita itu, Nabi saw. menangis tersedu-sedu. Berikut ini beberapa hadis yang dapat kami sampaikan:

1. Ummul Fadhl binti Hârits meriwayatkan: "Husain as. berada di pangkuanku. Kemudian aku masuk menjumpai Rasulullah saw. Sejenak aku menoleh kepadanya. Aku lihat kedua matanya mencucurkan air mata. Aku bertanya, 'Wahai nabi Allah, demi ayah dan ibuku, apa yang telah menimpa Anda?' Ia menjawab, 'Jibril telah datang menemuiku dan mengabarkan kepadaku bahwa umatku akan membunuh anakku ini.' Ia memberi Isya'rat kepada Husain as. Aku terkejut seraya bertanya heran, 'Anak ini akan dibunuh? Yakni Husain?' Rasulullah saw. menjawab: 'Ya. Jibril datang kepadaku dengan membawa tanah merah ini.'"
Ummul Fadhl pun tenggelam dalam tangisan mengikuti kesedihan Rasulullah.

2. Ummul Mukminin Ummu Salamah meriwayatkan: "Pada suatu malam, Rasulullah tengah berbaring. Kemudian ia bangun dengan perasaan gusar. Kemudian berbaring lagi dan bangun kembali dengan perasaan gusar, berbeda dengan kondisi pertama. Setelah itu berbaring lagi dan bangun kembali, sementara tangannya memegang tanah merah dan menciumnya. Aku bertanya kepadanya, 'Tanah apa ini, ya Rasulullah?' Ia menjawab, 'Jibril datang kepadaku dan berkata bahwa anak ini-yakni Husain-akan dibunuh di bumi Irak. Aku berkata kepada Jibril, 'Tunjukkan kepadaku tanah tempat ia akan dibunuh.' Dan inilah tanahnya.'"

3. Ummu Salamah meriwayatkan: "Suatu hari Rasulullah saw. duduk di rumahku. Ia berkata, 'Jangan ada seorang pun yang menemuiku.' Aku pun menunggu. Kemudian tiba-tiba Husain as. masuk, dan kudengar tangisannya saw. Aku lihat Husain as. berada di pangkuan atau di sampingnya. Sementaranya mengelus-ngelus kepalanya sambil menangis. Aku berkata kepadanya, 'Demi Allah, aku tidak mengetahui bahwa Husain masuk.' Ia berkata kepadaku, 'Barusan Jibril bersamaku. Ia berkata kepadaku, 'Apakah engkau mencintainya?' 'Ya', jawabku pendek. Dia melanjutkan, 'Ketahuilah, umatmu akan membunuhnya di suatu daerah yang bernama Karbala.' Lalu Jibril memberikan tanah itu.' dan ia pun memperlihatkan tanah itu kepadaku."

4. 'AIsya'h meriwayatkan: "Husain bin Ali pernah menjumpai Rasulullah saw. Ketika itu wahyu sedang turun kepadanya. Kemudian Husain as. melompat kepada Rasulullah, sementaranya nampak penuh duka. Jibril berkata, 'Apakah engkau mencintainya, hai Muhammad?' Nabi saw. menjawab, 'Bagaimana mungkin aku tidak mencintai anakku?' Jibril berkata, 'Umatmu akan membunuhnya sepeninggalmu.' Kemudian Jibril menyerahkan tanah berwarna putih seraya berkata, 'Di tanah inilah anakmu ini akan dibunuh. Daerah itu bernama Thuff. Setelah Jibril pergi dan tanah itu berada di tangan Rasulullah saw., ia menangis dan berkata kepada 'AIsya'h, 'Hai 'AIsya'h, sesungguhnya Jibril telah memberitahukan kepadaku bahwa anakku Husain akan dibunuh di daerah Thuff, dan umatku akan mendapat bencana besar setelah ku.'
Setelah berkata begitu, Rasulullah saw. keluar menemui sahabatnya sambil menangis. Di antara mereka tampak Ali, Abu Bakar, Umar, Hudzaifah, Ammâr, dan Abu Dzar. Mereka bertanya, 'Apa yang Anda tangisi, ya Rasulullah?' Rasulullah saw. menjawab, 'Jibril telah memberitahukan kepadaku bahwa anakku, Husain akan dibunuh sepeninggalku di daerah Thuff, dan dia memberiku tanah ini. Jibril juga memberitahukan kepadaku bahwa Husain akan dikuburkan di tempat itu juga.'"

5. Zainab binti Jahsy, salah seorang istri Rasulullah saw., meriwayatkan: "Ketika Rasulullah saw. tidur di rumahku, Husain merangkak di dalam rumah. Aku lengah hingga Husain mendekatinya dan naik ke atas perutnya. Kemudian ia bangun untuk mengerjakan salat sembari menggendongnya. Ketika ia rukuk dan sujud, ia meletakkannya. Dan ketika berdiri, ia menggendongnya kembali. Ketika duduk, ia mengangkat kedua tangan untuk berdoa. Setelah selesai salat, aku bertanya kepadanya, 'Ya Rasulullah, aku telah melihat Anda melakukan sesuatu pada hari ini yang belum pernah Anda lakukan sebelum ini?' Ia menjawab, 'Sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan memberitahukan kepadaku bahwa anakku itu akan dibunuh.' Selanjutnya aku berkata, 'Jika begitu, perlihatkanlah kepadaku sesuatu?' Kemudian ia memperlihatkan kepadaku tanah berwarna merah."

6. Ibn Abbâs meriwayatkan: "Ketika Husain berada di kamar Rasulullah saw., Jibril berkata, 'Apakah engkau mencintainya?' Ia menjawab, 'Bagaimana aku tidak mencintainya? Dia adalah buah hatiku.' Jibril menimpali, 'Sesungguhnya umatmu akan membunuhnya. Maukah engkau aku perlihatkan kuburannya?' Dia menggenggam sesuatu. Aku lihat, ia menggenggam tanah merah."

7. Abu Umâmah meriwayatkan: "Rasulullah saw. berkata kepada para istrinya, 'Janganlah kalian menangiskan anak ini-yaitu Husain.'"
Abu Umâmah melanjutkan: "Pada suatu hari, tibalah giliran Ummu Salamah. Kemudian Jibril turun dan Rasulullah masuk ke dalam rumah. Ia berkata kepada Ummu Salamah, 'Jangan engkau biarkan seseorang menemuiku.' Tidak lama kemudian, Husain datang. Ketika melihat Rasulullah saw. berada di dalam rumah, Husain hendak masuk. Ummu Salamah menggendong dan menimangnya sambil mendiamkan tangisnya. Ketika tangisannya semakin keras, Ummu Salamah melepaskannya. Kemudian Husain as. masuk ke dalam rumah dan duduk di pangkuan Rasulullah saw. Jibril berkata kepadanya, 'Sesungguhnya umatmu akan membunuh anakmu ini.' Nabi berkata: 'Mereka akan membunuhnya padahal mereka beriman kepadaku?' 'Ya, mereka akan membunuhnya', jawab Jibril pendek.
Lalu Jibril menyerahkan segumpal tanah kepada Rasulullah saw. seraya berkata, 'Dia akan dibunuh di tempat itu.' Setelah itu Rasulullah saw. keluar sambil menggendong Husain dan dalam keadaan muram dan duka. Ummu Salamah menyangka Rasulullah marah karena anak itu telah masuk. Ummu Salamah berkata kepadanya, 'Ya nabi Allah, aku jadikan diriku sebagai tebusanmu, sesungguhnya Anda telah berkata, 'Janganlah menangiskan anak ini. Dan Anda juga menyuruhku untuk tidak membiarkan seorang pun masuk menemui Anda. Tetapi Husain datang dan terpaksa aku membiarkannya.'
Rasulullah saw. tidak menjawab sepatah kata pun dan ia keluar menemui para sahabat, sementaranya tenggelam dalam kesedihan dan kedukaan. Kemudian ia berkata kepada mereka, 'Sesungguhnya umatku akan membunuh anak ini', sambil menunjuk Husain. Abu Bakar dan Umar segera bangkit dan bertanya kepadanya, 'Ya nabi Allah, mereka akan melakukan hal itu sedang mereka adalah orang-orang beriman?'
'Ya, inilah tanahnya', jawab Rasulullah saw. pendek."

8. Anas bin Hârist meriwayatkan: "Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, 'Sesungguhnya anakku ini-yakni Husain-akan dibunuh di tempat yang bernama Karbala. Barang siapa yang mengalami peristiwa itu nanti, maka hendaklah ia menolongnya.'" Ketika Husain berangkat menuju ke Karbala, Anas menyertainya dan ia meneguk cawan syahadah di haribaan Imam Husain.

9. Ummu Salamah meriwayatkan: "Suatu Hasan dan Husain bermain-main di hadapan Nabi di rumahku. Ketika itu Jibril turun. Ia berkata, 'Ya Muhammad, sesungguhnya umatmu akan membunuh anakmu ini sepeninggalmu.' Jibril memberi Isya'rat kepada Husain. Rasulullah saw. menangis dan langsung mendekap Husain, lalunya mencium tanah yang berada di tangannya. Ia berkata: "Aduhai Derita dan nestapa!'" Lalu Rasulullah saw. menyerahkan tanah itu kepada Ummu Salamah seraya berpesan kepadanya: "Jika tanah ini telah berubah menjadi darah, maka ketahuilah sesungguhnya anakku ini telah terbunuh." Ummu Salamah menyimpan tanah itu di dalam botol dan setiap hari menunggu-nunggu peristiwa itu terjadi. Ia berkata: "Sungguh hari di mana tanah ini berubah menjadi darah adalah hari yang agung."

10. Rasulullah saw. pernah bermimpi melihat seekor anjing yang berbercak bulunya tengah menjilat-jilat darahnya sendiri. Ia menakwilkan mimpi itu bahwa seorang laki-laki yang menderita penyakit kusta akan membunuh anaknya, Husain as. Dan terbukti bahwa yang membunuh Husain as. adalah seorang yang keji dan kotor bernama Syimr bin Dzil Jausyan. Ia memang menderita penyakit kusta.
Ini adalah sebagian hadis yang pernah disampaikan oleh Rasulullah saw. berkenaan dengan syahadah cucu kesayangannya, Imam Husain as. Dari hadis-hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa betapa sedih dan duka Rasulullah saw. atas musibah yang menyayat hati itu.
Husain as. Bersama Sang Ayah

Imam Husain as. pernah menikmati kasih sayang ayahnya. Sangat besar sekali kecintaan dan kasih sayang sang ayah itu kepadanya, sehingga ia tidak mengizinkan Husain dan saudaranya, Hasan as., untuk turut serta dalam penyerangan-penyerangan militer pada saat perang Shiffîn bergejolak supaya keturunan Rasulullah saw. tidak terputus. Imam Ali as. telah membangun keutamaan Husain dan kemuliaan saudaranya, Hasan as. Ia telah memberikan warisan pengetahuan dan kejeniusan kepada kedua putranya itu, dan membekali mereka dengan adab dan hikmah sehingga mereka menjadi manifestasi dirinya.
Imam Husain as. menyerupai ayahnya dalam keberanian, kemuliaan, dan seluruh karakteristik yang agung. Ia telah memilih mati syahid dengan cara dibantai oleh Bani Umayyah daripada menyerah kepada mereka. Ia telah mengorbankan hidupnya dan pasrah mati di jalan kemuliaan. Berikut ini beberapa hadis tentang perjuangannya ini:
Imam Ali as. Memberitakan Syahadah Putranya

Imam Amirul Mukminin Ali as.-sebagaimana Rasulullah saw.-pernah memberitakan tentang syahadah putranya, Imam Husain as. Berikuti ini beberapa hadis yang pernah diriwayatkan darinya:

1. Abdullah bin Yahyâ meriwayatkan dari ayahnya yang pernah ikut serta bersama Imam Ali as. dalam perang Shiffîn. Ayahnya adalah sahabat dekat Imam Ali as. Ketika sampai di Nainawâ, Imam Ali as. berteriak: "Sabarlah, hai Abu Abdillah! Sabarlah, hai Abu Abdillah! (Sabarlah) mengingat tepi sungai Furat!"
Yahyâ bangkit dan bertanya: "Apa gerangan yang akan terjadi pada Abu Abdillah?" Imam Ali menjawab: "Suatu hari aku menjumpai Rasulullah saw. sementara kedua matanya berlinang air mata. Aku bertanya kepadanya: "Ya nabi Allah, apakah seseorang telah membuat Anda marah? Apa yang membuat mata Anda berlinang?' Ia menjawab, 'Jibril telah datang kepadaku dengan membawa berita bahwa Husain akan dibunuh di tepi sungai Furat. Apakah kamu ingin mencium tanahnya?' 'Ya', jawabku pendek. Lalunya mengambil segumpal tanah dan memberikannya kepadaku. Melihat tanah itu, aku tidak kuasa menahan linangan air mataku."

2. Hartsamah bin Salîm meriwayatkan: "Kami ikut serta berperang bersama Ali bin Abi Thalib pada perang Shiffîn. Ketika sampai di wilayah Karbala, kami menunaikan salat. Setelah usai salam, Imam Ali mengambil segumpal tanah Karbala dan menciumnya seraya berkata, 'Sungguh mulia engkau, hai tanah Karbala. Sungguh ada sekelompok orang yang akan dibangkitkan darimu dan masuk surga tanpa dihisab.'"
Hartsamah terkejut dengan ucapan Imam Ali itu, dan ucapan itu senantiasa mengiang di telinganya. Setelah tiba di rumah, Hartsamah menceritakan kejadian itu kepada istrinya yang bernama Jardâ' binti Samîr, dan ia adalah seorang pengikut setia Amirul Mukminin as. Hartsamah menceritakan ucapan yang telah ia dengar dari Imam Ali. Istrinya berkata: "Biarkan aku, hai suamiku. Sesungguhnya Amirul Mukminin tidak mengatakan sesuatu kecuali benar."
Selang beberapa tahun, Ibn Ziyâd mengutus bala tentaranya untuk memerangi buah hati Rasulullah saw., Imam Husain as. Hartsamah berada di barisan bala tentara itu. Ketika sampai di Karbala, ia teringat akan ucapan Imam Ali as. Seketika itu juga ia enggan untuk memerangi Imam Husain as.
Hartsamah datang menghadap Imam Husain as. dan menceritakan apa yang pernah ia dengar dari Imam Ali as. Imam Husain as. bertanya kepadanya: "Kamu bersama kami atau ingin memerangi kami?" Hartsamah berkata: "Aku tidak ingin bersama Anda dan juga tidak ingin memerangi Anda. Aku telah meninggalkan istri dan anakku. Aku takut Ibn Ziyâd akan menganiaya mereka."
Imam Husain as. menasihatinya sembari berkata: "Jika begitu, lekaslah kabur sehingga kamu tidak menyaksikan kami terbunuh. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, pada hari ini tak seorang pun yang menyaksikan kami dibunuh lalu ia tidak menolong kami, melainkan Allah pasti akan memasukannya ke dalam neraka." Hartsamah pun kabur dan tidak menyaksikan Imam Husain as. dibantai.

3. Tsâbit bin Suwaid meriwayatkan dari Ghaflah: "Suatu ketika Ali as. berpidato. Seorang laki-laki berdiri di bawah mimbar seraya berkata, 'Wahai Amirul Mukminin, aku telah melewati Wâdil Qurâ dan aku temukan Khâlid bin 'Urfathah telah meninggal dunia. Maka mintakanlah ampunan untuknya.'
Imam Ali as. berkata, 'Demi Allah, ia tidak mati, dan ia tidak akan mati sehingga ia memimpin sebuah bala tentara yang sesat. Pembawa benderanya adalah Habîb bin Himâr.'
Tiba-tiba seorang laki-laki berdiri seraya mengangkat suaranya: 'Wahai Amirul Mukminin, aku adalah Habîb bin Himâr, dan aku adalah pengikut dan pecintamu.'
Imam Ali as. berkata kepadanya: 'Kamukah Habîb bin Himâr itu?'
'Ya', jawabnya pendek.
Imam mengulangi pertanyaannya, dan Habîb kembali menjawab, 'Ya'.
Imam Ali as. berkata, 'Demi Allah, kamu adalah pembawa bendera itu dan kamu pasti akan membawanya. Engkau pasti akan masuk melalui pintu ini.' Imam Ali menunjuk pintu Al-Fîl di masjid Kufah."
Tsâbit melanjutkan: "Demi Allah, aku tidak meninggal dunia hingga aku melihat Ibn Ziyâd. Ia telah mengutus Umar bin Sa'd untuk memerangi Husain dan mengangkat Khâlid bin 'Urfathah sebagai komandan pasukan dan Habîb bin Himâr sebagai pembawa benderanya. Habîb masuk lewat pintu Al-Fîl dengan membawa bendera itu."

4. Imam Amirul Mukminin Ali as. berkata kepada Barrâ' bin '?zib: "Hai Barrâ', apakah Husain akan dibunuh sementara kamu masih hidup, tetapi kamu tidak menolongnya?" Barrâ' berkata: "Tidak seperti itu, ya Amirul Mukminin."
Ketika Imam Husain as. terbunuh, Barrâ' merasa menyesal. Dia teringat akan ucapan Imam Amirul Mukminin as. Barrâ' berkata: "Alangkah besarnya penyesalanku, karena aku tidak sempat membantu Husain as. dan alangkah baiknya bila aku terbunuh demi membelanya."
Banyak sekali hadis seperti ini yang telah dijelaskan oleh Imam Amirul Mukminin as. tentang syahadah buah hati Rasulullah saw. di Karbala itu. Kami telah memaparkan sebagian besar darinya dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Husain as.
Kepribadian Imam Husain as.

Karakteristik yang menonjol pada diri pemimpin orang-orang bebas, Imam Husain as., ini dan yang telah menjadi bagian dari jati dirinya adalah berikut ini:
1. Tekad yang Kuat

Salah satu karakter Imam Husain as. adalah tekad yang kuat dan kemauan yang membaja. Ia mewarisi karakter mulia ini dari kakeknya, Rasulullah saw. yang telah berhasil mengubah perjalanan sejarah hidup umat manusia. Nabi saw. teguh berdiri di hadapan kekuatan besar yang selalu merintanginya untuk menegakkan kalimat Allah seorang diri. Ia saw. tidak peduli dengan super power itu. Bahkan ia berkata kepada pamannya, Abu Thalib: "Demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan perkara ini, niscaya aku tidak akan meninggalkannya sehingga aku mati atau Allah akan memenangkannya."
Dengan tekad dan kehendak yang membaja inilahnya menghadapi kekuatan syirik, dan ternyata mampu mengalahkannya dalam berbagai peristiwa. Begitu pulalah sikap cucunya yang agung ini di hadapan kekuatan Bani Umayyah. Imam Husain as. secara terang-terangan menolak untuk membaiat Yazîd. Dengan jumlah pembela yang sedikit, ia berangkat ke medan jihad untuk menegakkan kalimat Allah (kebenaran) dan menumpas kalimat batil. Pemerintahan Bani Umayyah telah mengerahkan bala tentara yang banyak untuk membantainya. Tetapi ia tidak peduli dengan jumlah pasukan itu. Ia mendeklarasikan tekad dan kehendaknya yang kuat dengan slogannya yang abadi: "Sesungguhnya aku tidak melihat kematian melainkan kebahagiaan dan tidak hidup bersama orang-orang yang zalim melainkan kehancuran."
Imam Husain as. berangkat bersama keluarganya yang mulia dan para sahabatnya ke medan perang demi mengibarkan bendera Islam dan merealisasikan kemenangan yang paling agung bagi umat Islam hingga ia meneguk cawan syahadah. Ia adalah orang yang memiliki kehendak paling kuat dan keputusan paling kokoh yang tidak goyah dalam menghadapi berbagai bencana yang membuat akal terkesima dan naluri takjub.
2. Menolak Kezaliman

Karakter lain yang menonjol pada diri Imam Husain as. adalah menolak kezaliman sehingga ia diberi gelar Pelopor Penentang Kezaliman. Ini adalah gelar Imam Husain as. yang paling agung dan banyak tersebar di masyarakat. Ia adalah teladan utama dalam karakter ini. Ia telah berhasil yang mengangkat syiar kemuliaan insani dan telah membentangkan jalan kemuliaan dan kehormatan. Ia tidak pernah tunduk menyerah kepada kera-kera Bani Umayyah. Bahkan ia memilih mati di bawah pedang dan tombak.
Abdul Azîz bin Nabâtah As-Sa'dî pernah bekata:
Al-Husain melihat kematian dalam kemuliaan merupakan kehidupan, dan melihat kehidupan dalam kehinaan merupakan kematian.
Sejarawan masyhur, Al-Ya'qûbî, menjuluki Imam Husain as. dengan sebutan orang yang sangat mulia.
Ibn Abil Hadîd berkata: "Abu Abdillah Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib adalah seorang pelopor penolakan atas kezaliman. Ia mengajarkan kepada umat manusia kehormatan jiwa dan memilih kematian di bawah pedang daripada hidup terhina. Ia dan para sahabatnya pernah ditawari jaminan keamanan, dan ia menolak. Karena jika tidak, mereka akan tertimpa kehinaan. Ibn Ziyâd sendiri merasa takut menimpakan kehinaan kepadanya dan tidak akan membunuhnya. Tetapi Husain sendiri lebih memilih kematian atas kehinaan tersebut ...."
Sungguh ungkapan Imam Husain as. pada peristiwa Thuff adalah ungkapan paling indah dalam menggambarkan kemuliaan dan kehormatan diri. Ia berkata: "Ketahuilah, sesungguhnya pejuang putra pejuang telah dihadapkan kepada dua pilihan antara mengangkat pedang atau kehinaan. Enyahlah kehinaan dari kami. Allah swt., Rasul-Nya, dan orang-orang beriman menolaknya ...."
Pada peristiwa Thuff, Imam Husain as. berdiri tegar bagaikan gunung yang tidak goyah menghadapi serangan buas bala tentara Mu'âwiyah yang murtad. Ia telah memberikan pelajaran tentang kehormatan dan kemuliaan diri kepada generasi mendatang. Ia berkata: "Demi Allah, aku tidak akan menyerah kepada kalian dengan kehinaan dan aku tidak akan lari seperti para budak. Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhan kalian dari serangan kalian."
Imam Husain as. melontarkan ucapan yang gemilang itu untuk menggambarkan sejauh mana kehormatan dan kemuliaan yang diembannya. Dan tindakan ini adalah sebuah adegan kepahlawanan terindah yang pernah dicatat oleh sejarah Islam di sepanjang masa.
Para penyair Ahlul Bait as. berlomba-lomba untuk melukiskan kemulian Imam Husain as. Bait-bait syair yang mereka susun itu merupakan sumber sastra Arab yang paling berharga. Sayyid Haidar Al-Hillî menaruh perhatian penuh untuk memberi gambaran tentang kemuliaan Imam Husain as. dalam bait-bait syairnya. Bait-bait syair itu dapat Anda rujuk dalam buku Dîwân As-Sayyid Haidar. Dalam syair itu, ia memaparkan tekad busuk dinasti Bani Umayyah yang ingin mencampakkan Imam Husain as. kepada kehinaan dan membuatnya tunduk kepada kezaliman. Tetapi Allah swt. menolaknya dan Imam Husain as. yang mewarisi kemuliaan kenabian itu menolak pula untuk tunduk kepada kezaliman. Imam Husain as. tidak akan tunduk menyerah kepada siapa pun selain kepada Allah swt. Bagaimana mungkin ia akan tunduk kepada kezaliman Bani Umayyah?
3. Keberanian

Di sepanjang sejarah, umat manusia belum pernah menyaksikan seseorang yang paling gagah, pemberani, dan bertekad kuat seperti Imam Husain as. Ia berdiri kokoh pada peristiwa Thuff yang membuat akal setiap orang takjub dan terkesima. Generasi demi generasi senantiasa menceritakan keteguhan, keberanian, dan tekadnya yang kokoh. Keberaniannya yang luar biasa merupakan warisan ayahandanya yang selalu menguasai medan pertempuran dengan baik. Para musuhnya yang penakut bertekuk lutut karena ketangkasannya yang tangguh. Imam Husain as. tidak pernah menyerah menghadapi berbagai rintangan dan cobaan yang menimpanya. Bahkan semakin bertambah besar cobaan yang ia hadapi, semakin kokoh dan tegar pendiriannya. Setelah para sahabat dan keluarganya syahid di medan Karbala, Imam Husain as. diserang oleh tentara musuh yang berjumlah 30.000 orang. Ia membalas menyerang mereka seorang diri, dan mereka merasa takut dan gentar menghadapinya. Dengan serangan yang bertubi-tubi dari berbagai arah, ia tetap tegar menghadapinya bagaikan gunung menerima tikaman dari setiap arah. Ia tidak tunduk menyerah, tetapi ia tetap bertahan dan menganggap kematian sebagai suatu yang ringan. Setelah ia jatuh tersungkur ke atas tanah dengan luka parah yang mengucurkan darah dan membuat fisiknya lemah, pasukan musuh tidak berani menyerangnya karena merasa takut dan gentar memandangnya.
Para sahabat dan keluarga Imam Husain as. telah memperoleh injeksi spiritual yang agung darinya. Karena itu mereka berlomba-lomba menjemput kematian dengan penuh kerinduan dan keikhlasan tanpa diliputi oleh rasa takut dan gentar sedikit pun. Para musuh menyaksikan mereka sebagai figur-figur pemberani dan ksatria.
Seorang lelaki yang turut serta pada peristiwa Thuff bersama Umar bin Sa'd pernah ditanya: "Celaka engkau! Apakah kalian memerangi cucu Rasulullah saw.?"
Orang itu menjawab: "Aku telah menghadapi peperangan yang dahsyat. Sekiranya engkau menyaksikan apa yang aku saksikan, pasti engkau melakukan apa yang aku lakukan. Sekelompok orang menyerbu kami. Tangan mereka menggenggam pedang bagaikan singa-singa buas menyerang. Mereka menebaskan pedangnya ke kiri dan ke kanan dan melemparkan diri-diri mereka ke pangkuan kematian. Mereka enggan menerima jaminan keamanan, tidak tergiur dengan harta kekayaan, dan tidak ada satu tembok pun penghalang antara mereka untuk memasuki telaga kematian. Apabila kami menahan mereka sejenak saja, pasti mereka akan mampu menembus seluruh pertahanan tentara kami. Karena itu, kami tidak membiarkan mereka."
Pelopor orang-orang bebas ini telah menantang musuh-musuhnya dengan penuh keberanian yang sulit ditemukan tandingannya di kalangan umat manusia. Ia telah menundukkan kematian dan menghinakan kehidupan. Ia berkata kepada para sahabatnya ketika dihujani oleh panah-panah musuh: "Bangkitlah kalian-semoga Allah merahmati kalian-menuju kematian yang sudah pasti. Sesungguhnya panah-panah itu merupakan delegasi mereka kepada kalian."
Imam Husain as. telah mengajak para sahabatnya kepada kematian, seakan ia mengajak mereka kepada hidangan yang lezat. Sungguh kematian adalah sebuah hidangan lezat baginya. Karena ia menumpas kebatilan dan tergambar baginya bukti Tuhannya yang merupakan sumber wujud dirinya.
4. Sikap Terus Terang

Salah satu karakter mulia pelopor orang-orang bebas, Imam Husain as., ini adalah sikap terus terang dalam setiap perkataan dan perbuatan. Di sepanjang hidupnya, ia tidak pernah berbohong dan menipu, serta tidak pernah menempuh jalan penyelewengan. Ia senantiasa menempuh jalan yang jelas yang sesuai dengan hati nuraninya, dan menjauhkan diri dari setiap pembelotan yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan akhlaknya.
Salah satu contoh yang menggambarkan ketinggian sikapnya itu adalah kisah berikit ini:
Suatu ketika Walîd, penguasa kota Yatsrib, mengundang Imam Husain as. di tengah malam. Walîd memberitahu Imam Husain as. tentang kematian Mu'âwiyah. Walîd meminta agar Imam Husain membaiat Yazîd di malam yang gelap gulita itu. Imam Husain menolak dengan tegas seraya berkata "Hai Amir, kami adalah Ahlul Bait Nabi dan sumber risalah. Dengan perantara kami, Allah swt. telah membuka risalah ini dan dengan kami pula Dia mengakhirinya. Yazîd adalah pemuda fasik dan durjana, peminum khamar, pembunuh jiwa yang harus dihormati, dan dengan terus terang berbuat fasik dan durjana. Orang sepertiku tidak akan membaiat orang seperti dia."
Ucapan Imam Husain ini mengungkap sejauh mana keterusterangan, ketinggian pribadi, dan kekuatan sikapnya untuk menolak kebatilan dalam rangka membela kebenaran.
Contoh lain dari sikap terus terang yang sudah menjadi jati diri Imam Husain as. adalah ketika ia pergi menuju ke Irak. Di pertengahan jalan, ia memperoleh informasi bahwa delegasinya, Muslim bin 'Aqîl, telah dibunuh dan penduduk Kufah menghinakannya. Imam Husain as. berkata kepada para peserta rombongannya yang ikut hanya demi mengharapkan keselamatan dan tidak menginginkan kebenaran: "Syi'ah kami telah merendahkan kami. Barang siapa yang ingin keluar dari barisan kami, maka keluarlah dan ia tidak memiliki tanggung jawab apapun."
Mendengar ucapan Imam Husain as. itu, orang-orang yang tamak dan rakus dunia keluar dan hengkang dari barisannya. Yang tinggal hanyalah orang-orang pilihan dari para sahabat dan keluarganya.
Pada kondisi yang sulit seperti itu di mana ia membutuhkan penolong, Imam Husain as. enggan membujuk dan merayu mereka untuk mengikuti jalannya. Karena seorang yang beriman kepada Tuhan dan keadilan-Nya dan memiliki jiwa yang agung tidak mungkin memiliki sifat demikian.
Contoh lain dari sikap terus terang Imam Husain as. adalah ketika ia mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya pada malam sepuluh Muharam. Ia memberitahukan kepada mereka bahwa besok hari ia akan terbunuh bersama seluruh orang yang mengikutinya. Ia memberitahukan hal itu kepada mereka dengan terus terang agar mereka dapat mengetahui dan memahami persoalan yang mereka hadapi. Ia menyuruh mereka agar pergi di pertengahan malam yang gulita. Tetapi mereka menolak untuk berpisah dengannya dan siap menyongsong syahadah di haribaannya.
Masa silih berganti dan kerajaan-kerajaan telah musnah. Tetapi akhlak Imam Husain as. yang luhur itu tetap kekal abadi di sepanjang masa. Karena hal itu mencerminkan nilai-nilai yang tinggi. Tanpa akhlak itu, seluruh kemuliaan insani tidak akan tersisa lagi.
5. Teguh dalam Mengemban Kebenaran

Teguh dalam mengemban kebenaran adalah salah satu karakter dan jati diri Imam Husain as. yang paling menonjol. Ia telah menaklukkan jalan yang penuh dengan rintangan, meruntuhkan benteng-benteng kebatilan, dan menghancurkan sarang-sarang kezaliman demi untuk menegakkan kebenaran.
Imam Husain as. telah membangun kebenaran dengan berbagai sisi dan dimensinya. Ia terjun ke medan perjuangan demi menegakkan kebenaran di seluruh penjuru negara Islam dan menyelamatkan umat manusia dari ancaman aliran pemikiran garis keras yang bertujuan menciptakan pondasi-pondasi kebatilan, sarang kezaliman dan pusat kejahatan, yang menjerumuskan umat manusia ke dalam lembah kebodohan di kehidupan ini.
Imam Husain as. melihat bahwa umat Islam telah ditenggelamkan oleh berbagai kebatilan dan kesesatan. Sementara itu, tak sedikit pun kebenaran yang teraktualisasi dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, ia segera bangkit menuju ke medan perjuangan dan pengorbanan demi untuk mengibarkan bendera kebenaran. Dalam sebuah pidato yang ia sampaikan di hadapan para sahabatnya, Imam Husain telah menjelaskan tujuan mulianya itu. Ia berkata: "Tidakkah kalian melihat bahwa kebenaran tidak lagi diamalkan dan kebatilan tidak lagi dapat dihalang-halangi, agar orang mukmin rindu untuk berjumpa dengan Allah."
Kebenaran adalah unsur yang terjelma gamblang dalam pribadi pelopor orang-orang bebas ini. Rasulullah saw. telah mengungkapkan karakter luhur ini pada diri cucunya itu. Ia saw.-seperti dinukil oleh para ahli sejarah-sering mengecup mulut cucundanya yang mulia itu; mulut yang telah berhasil menegakkan kalimat Allah dan memancarkan mata air keadilan dan kebenaran di muka bumi ini.
6. Kesabaran

Salah satu karakter luhur yang menonjol dan telah menjadi jati diri penghulu syuhada ini adalah kesabaran dalam menghadapi berbagai kesulitan dunia dan ujian. Imam Husain as. telah merasakan pahitnya kesabaran dari sejak masa kanak-kanak. Ia menyaksikan tragedi yang menimpa kakek dan ibunya, menyaksikan berbagai peristiwa mengerikan yang menimpa ayahandanya, dan berbagai macam bencana dan cobaan lain yang menimpa dirinya. Ia juga merasakan pahitnya kesabaran pada masa saudaranya masih hidup. Bahkan ia menyaksikan sendiri bagaimana pasukan saudaranya menghina dan menipunya sehingga ia terpaksa melakukan damai (dengan Mu'âwiyah). Ketika itu Imam Husain as. tetap bersama saudaranya menghadapi berbagai cobaan dan kepedihan, sehingga saudaranya itu dibunuh oleh Mu'âwiyah dengan cara diracun. Ketika Imam Husain as. ingin menguburkan jenazah saudaranya itu di sisi kakeknya, Bani Umayyah mencegahnya. Dan hal itu adalah bencana lain yang paling menyakitkan hatinya.
Bencana besar yang pernah dihadapi oleh Imam Husain as. dengan penuh kesabaran adalah ketika ia melihat syariat Islam diinjak-injak; banyak hadis mungkar diriwayatkan atas nama kakeknya yang dapat mengubah ajaran Islam. Dan di antara kemungkaran yang pernah ia saksikan sendiri adalah ia senantiasa mendengar caci maki dan penghinaan terhadap ayahandanya di atas mimbar-mimbar, dan kediktatoran Ziyâd dalam membantai para pengikut Syi'ah dan para pencinta Ahlul Bait as. Ia menghadapi semua ujian dan bencana itu dengan penuh kesabaran.
Musibah berat lainnya yang pernah menimpa Imam Husain as. dan betul-betul menuntut kesabaran yang tinggi adalah peristiwa Asyura di bulan Muharam. Bencana-bencana itu belum berakhir sehingga berbagai bencana dan kepedihan berkumpul menimpa dirinya. Ia pun menyaksikan bintang-bintang kejora gemerlap, sanak keluarganya, dihujani sabetan pedang dan anak panah-anak panah. Menyakiskan semua itu, ia hanya mengeluarkan kata-kata lembut kepada mereka dengan penuh ketenangan dan ketegaran: "Sabarlah, hai keluargaku! Sabarlah, hai putra-putra pamanku! Sesungguhnya kalian tidak lagi akan melihat kehinaan setelah hari ini."
Imam Husain as. melihat saudara perempuan kandungnya, 'Aqîlah Bani Hâsyim, yang mengalami bencana berat dan menyayat-nyayat hatinya. Ia segera menghampiri dan menyuruhnya untuk tetap bersabar dan rela dengan ketentuan Ilahi.
Di antara bencana yang dihadapi oleh Imam Husain as. dengan penuh kesabaran adalah Ketika ia menyaksikan anak-anak kecil dan keluarganya yang berteriak-teriak lantaran kepedihan rasa haus yang mencekik leher mereka. Mereka mohon pertolongan kepadanya demi mengusir kepedihan rasa haus itu. Ia hanya dapat menyuruh mereka tetap bersabar dan tegap berdiri. Ia memberikan kabar gembira kepada mereka dengan kesenangan abadi yang merupakan titik akhir perjalanan mereka setelah ujian dan cobaan yang berat ini.
Dengan penuh kesabaran, Imam Husain as. menghadapi musuh-musuhnya yang secara serentak mengepungnya di tanah Karbala. Ia menerima sabetan pedang dan tikaman tombak dari berbagai penjuru sementara lehernya tercekik menahan dahaga. Ia tidak peduli dengan hal itu semua.
Kesabaran dan sikapnya yang tegar pada peristiwa Thuff sulit ditemukan tandingannya dalam sejarah umat manusia. Al-Irbilî berkata: "Kesabaran Husain telah menjadi pribahasa. Kesabarannya dalam peperangan tak dapat dilukiskan oleh orang-orang terdahulu dan kemudian."
Sekiranya satu bencana saja dari berbagai bencana yang telah menimpa Imam Husain as. itu ditimpakan kepada seseorang dari kita, pasti ia akan tunduk menyerah dan tidak mampu menghadapinya meskipun ia berperisai kesabaran dan tekad yang kuat. Tetapi Imam Husain as. tidak peduli dengan segala bencana yang menimpanya demi mewujudkan tujuannya yang mulia. Jiwanya tetap tegar, tidak menyerah terhadap segala bencana, dan tidak juga mengeluh karenanya.
Para ahli sejarah mengatakan bahwa hanya Imam Husain as. yang memiliki karakter ini. Tekadnya tidak menjadi lemah dengan berbagai peristiwa tersebut walau sebesar apapun. Seorang putra kesayangannya telah meninggal dunia pada masa ia masih hidup. Tetapi kesedihan tidak tampak di wajahnya. Ada orang yang bertanya: "Apa sebabnya?" Ia menjawab: "Sesungguhnya kami adalah Ahlul Bait yang jika kami memohon kepada Allah, Dia pasti memberi kami. Apabila Dia menghendaki menimpakan sesuatu yang kami tidak sukai atas apa yang kami cintai, maka kami rela."
Imam Husain as. rela dengan segala ketentuan Allah dan pasrah kepada setiap urusan-Nya. Hal ini merupakan hakikat Islam dan puncak keimanan.
7. Kemurahan Hati

Kemurahan hati adalah salah satu karakter dan jati diri Imam Husain as. yang paling menonjol. Para perawi hadis sepakat bahwa Imam Husain as. tidak pernah membalas orang yang berbuat buruk dengan keburukan pula dan tidak membalas orang yang salah dengan sanksi. Tetapi sebaliknya, ia malah memperlakukan mereka dengan penuh santun dan kebaikan. Karakter luhurnya ini adalah sama seperti karakter kakeknya, Rasulullah saw.; sebuah karakter yang telah berhasil membuat hati seluruh orang menjadi tertarik kepadanya. Ia begitu dikenal dengan karakter mulia ini sehingga sebagian budak pernah mengkhianatinya, dan mereka sengaja berbuat buruk terhadapnya hanya agar dibalas dengan kebaikan dan kemurahan.
Para ahli sejarah menulis: "Seorang budak Imam Husain as. telah melakukan keburukan kepadanya dan berhak untuk diberikan pelajaran. Ia menyuruh supaya budak itu diberi pelajaran. Budak itu segera bangkit dan berkata, 'Wahai tuanku, sesungguhnya Allah berfirman, 'Wal kâzhimîn(al) ghaizh (Dan orang-orang yang menahan amarah).' Kemudian Imam menghadapinya dengan penuh kemurahan seraya berkata, 'Biarkanlah dia. Aku telah menahan amarahku.' Budak itu segera menimpali, 'Wal 'âfîna 'aninnâs (Dan orang-orang yang memaafkan kesalahan manusia).' Imam Husain berkata: 'Aku telah memafkanmu.' Budak itu segera menambahkan untuk memperoleh kebaikannya, 'Wallâhu yuhibbul muhsinîn (Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan).' Imam Husain as. berkata, 'Engkau bebas karena Allah.' Kemudian Imam Husain as. menyuruh agar budak itu diberi hadiah yang banyak supaya mencukupi biaya hidupnya sehingga ia tidak terpaksa meminta-minta kepada orang lain."
Budi pekerti dan akhlak luhur ini adalah jati diri Imam Husain as. yang tidak mungkin dapat dipisahkan dari dirinya sepanjang masa.
8. Kerendahan Hati

Dalam diri Imam Husain as. telah tertanam karakter kerendahan hati sehingga ia terjauhkan dari sifat egoisme dan sombong. Ia telah mewarisi budi pekerti yang luhur ini dari kekeknya, Rasulullah saw., yang telah berhasil menegakkan dasar-dasar keutamaan dan budi pekerti yang agung di muka bumi ini. Para perawi hadis telah menukil banyak riwayat mengenai ketinggian akhlak dan kerendahan hati Imam Husain as. Berikut ini kami nukil sebagian riwayat itu:

1. Suatu hari, Imam Husain as. lewat di hadapan orang-orang miskin yang sedang makan di shuffah (pinggiran masjid). Mereka memanggilnya untuk makan bersama. Ia segera turun dari kudanya dan makan bersama mereka. Setelah makan, ia berkata: "Aku telah memenuhi undangan kalian. Maka sekarang penuhilah undanganku." Mereka pun memenuhi undangannya dan pergi ke rumahnya. Sesampainya di rumah, ia berkata kepada istrinya yang bernama Rabâb: "Keluarkanlah apa yang engkau simpan." Istrinya mengeluarkan uang yang dimiliki. Imam Husain as. mengambil uang itu dan membagi-bagikannya kepada mereka.

2. Suatu ketika, Imam Husain as. melewati orang-orang fakir yang sedang makan roti kering hasil sedekah yang sudah dihancurkan. Ia mengucapkan salam kepada mereka. Mereka mengajaknya untuk makan bersama. Ia pun duduk bersama mereka dan berkata: "Sekiranya roti ini tidak berasal dari sedekah, pasti aku ikut makan bersama mereka." Kemudian ia mengundang mereka ke rumahnya dan memberi mereka makan, pakaian, dan juga membagi-bagikan uang kepada mereka.
Imam Husain as. telah meneladani dan mengikuti jejak langkah kakeknya, Rasulullah saw. Para ahli sejarah menulis bahwa Imam Husain biasa bergaul dan duduk bersama orang-orang miskin dan berbuat baik kepada mereka, sehingga orang fakir tidak menjauh karena kefakirannya dan orang kaya tidak congkak dengan kekayaannya.
Nasihat dan Petunjuk

Imam Husain as. sangat memberikan perhatian penuh untuk menasihati dan memberi petunjuk kepada umat manusia. Tindakan ini juga pernah dilakukan oleh ayahandanya sebelum itu. Tujuan utamanya adalah untuk mengembangkan potensi kebaikan yang tersimpan di dalam jiwa mereka dan mengarahkan mereka kepada kebenaran dan kebaikan serta menghindarikan mereka dari berbagai sifat buruk seperti permusuhan, congkak, gegabah, dan lain sebagainya.
Berikut ini kami paparkan sebagain riwayat yang telah diriwayatkah dari Imam Husain as:
Imam as. berkata:
Hai Bani Adam, berpikir dan katakanlah: "Manakah raja-raja dunia dan orang-orang kaya yang telah membangun, menjaga, menanam pepohonan dan meramaikan kota? Semua itu terpaksa mereka tinggalkan meskipun mereka enggan, sementara kaum yang lain mewarisi mereka. Dan kita pun tidak lama lagi akan menyusul meraka."
Hai Bani Adam, ingatlah kematianmu, kuburan tempat berbaringmu, dan ingatlah tempatmu di sisi Allah. Seluruh anggota tubuhmu akan bersaksi atas segala perbuatanmu pada hari kaki tergelincir, rasa takut mencapai tenggorokan, sebagian wajah bersinar dan sebagain lainnya hitam terbakar, rahasia menjadi terungkap, dan timbangan pun diletakkan dengan penuh keadilan.
Hai Bani Adam, ingatlah kematian nenek moyang dan keturunanmu, bagaimanakah keadaan mereka ketika hal itu menimpa mereka. Tidak lama lagi kalian pun akan menempati tempat mereka pula. Dan akhirnya kalian pun akan menjadi pelajaran bagi orang yang ingin mengambil pelajaran.
Kemudian Imam Husain as. membawakan syair berikut ini:
Mana raja-raja yang lalai karena menjaganya, sehingga mereka meneguk cawan kematian?
Kota-kota yang mereka bangun telah kosong dan kembali hancur, pembangunnya telah direnggut kematian.
Harta-harta yang kita kumpulkan hanyalah sebagai warisan, dan rumah-rumah yang kita bangun hanyalah untuk kehancuran masa.
Mutiara Hikmah

Allah swt. telah menganugerahkan kepada Imam Husain as. hikmah yang mendalam dan mutiara ucapan yang berharga. Dari lisan sucinya itu memancar berbagai nasihat, budi pekerti, dan kata-kata mutiara. Berikut ini sebagian dari hikmah-hikmahnya yang pendek:
1. Imam Husain as. berkata: "Hindarilah perbuatan yang menyebabkan engkau memohon maaf. Sesungguhnya orang mukmin itu tidak berbuat buruk dan tidak juga terpaksa harus meminta maaf. Sedang orang munafik setiap hari berbuat buruk dan terpaksa meminta maaf."
2. Imam Husain as. berkata: "Orang yang berakal tidak akan berbicara dengan orang yang ia khawatir mendustakannya, tidak memohon kepada orang yang ia khawatir mencegahnya, tidak percaya kepada orang yang ia khawatir menipunya, dan tidak menaruh harapan kepada seseorang yang tidak bisa ia harapkan."
3. Imam Husain as. berkata: "Lima perkara yang bila tidak dimiliki oleh seseorang, maka ia tidak memiliki apa-apa: akal, agama, adab, rasa malu, dan akhlak yang mulia."
4. Imam Husain as. berkata: "Orang kikir adalah orang yang kikir dalam memberikan salam."
5. Imam Husain as. berkata: "Mati dalam kemuliaan lebih baik daripada hidup dalam kehinaan."
6. Imam Husain as. berkata kepada orang yang menggunjing orang lain: "Hai kamu, berhentilah menggunjing, karena perbuatan menggunjing itu adalah lauk makanan anjing neraka."
Imam Husain as. bersama Umar

Sejak usia dini, Imam Husain as. telah mengalami kesedihan dan duka yang mendalam lantaran perlakukan Umar yang telah menduduki kursi kekhalifahan ayahandanya. Ketika Umar menyampaikan ceramah di atas mimbar, ia tidak menyadari bahwa Husain kecil telah naik ke atas mimbar seraya berteriak: "Turunlah! Turunlah engkau dari mimbar ayahku. Naiklah ke atas mimbar ayahmu sendiri."
Umar terbungkam dan merasa bingung karena kebenaran ucapan Husain as. Umar pun membenarkannya dan berkata kepadanya: "Engkau benar. Ayahku tidak mempunyai mimbar." Kemudian Umar mengambil Husain dan mendudukkannya di sampingnya. Ia bertanya kepadanya engenai siapa yang menyuruhnya berkata demikian. Umar bertanya: "siapakah yang mengajarimu?"
Husain menjawab: "Demi Allah, tak seorang pun yang mengajariku."
Rasa sakit hati tersebut timbul lantaran kejeniusan Imam Husain as., padahal ia masih kanak-kanak. Ia melihat bahwa mimbar kakeknya tidak layak bagi siapa pun selain ayahandanya sendiri; sang ayah pelopor hikmah dan pintu kota ilmu Rasulullah saw.
Imam Husain bersama Mu'âwiyah

Umat Islam menjadi mangsa taring-taring kebuasan Mu'âwiyah dan pasrah menyerah di bawah kekuasaannya yang tiran. Hari demi hari kebencian dan kedengkiannya terhadap nilai-nilai luhur dan pondasi-pondasi pemikiran dan sosial umat semakin tampak. Penguasa tiran itu juga berusaha mengikis semua sisi pendidikan dan akhlak yang telah berhasil direalisasikan oleh Islam.
Mu'âwiyah telah menetapkan beberapa jurus politiknya berikut ini:
1. Melakukan teror terhadap tokoh-tokoh Islam seperti Hujr bin 'Adî, Maitsam At-Tammâr, Rasyîd Al-Hijrî, 'Amr bin Al-Hamaq Al-Khuzâ'î dan tokoh-tokoh besar lainnya. Para tokoh Islam ini telah dibantai, karena mereka adalah manifestasi kekuatan yang menentang kekuasaannya dan menghalang-halangi alur politiknya yang telah ia tegakkan atas dasar kezaliman dan diktatoris.
2. Menghapus kemuliaan Ahlul Bait yang merupakan poros kesadaran sosial dalam Islam dan urat nadi yang penting di dalam tubuh umat yang senantiasa membantu mereka untuk bangkit dan malakukan perlawanan. Oleh karena itu, Mu'âwiyah mewajibkan umat Islam untuk mencerca mereka dan menjadikan kebencian kepada mereka sebagai bagian dari kehidupan Islam. Dalam hal ini, Mu'âwiyah telah menggunakan sarana pendidikan dan pengajaran, juga sarana ceramah dan bimbingan demi menghapus kemuliaan Ahlul Bait as. Bahkan Mu'âwiyah mewajibkan masyarakat Islam untuk mengutuk Ahlul Bait di atas mimbar-mimbar pada salat Jumat, salat hari raya Idul Fitri, Idul Adha, dan pada kesempatan-kesempatan lainnya.
3. Mengadakan perubahan atas realita Islam dan seluruh ajaran dan pondasinya. Mu'âwiyah telah membentuk lembaga untuk membuat hadis-hadis palsu atas nama Rasulullah saw. Para pembuat hadis-hadis palsu itu telah berbuat dusta yang bertentangan dengan akal dan jalur kehidupan. Dan sangat disayangkan bahwa hadis-hadis palsu tersebut tercantum pula di dalam sebagian kitab-kitab sahih dan lainnya sehingga para ulama yang memiliki kepedulian terhadap ajaran Islam terpaksa menulis kitab yang menjelaskan hadis-hadis palsu tersebut. Menurut anggapan saya, kejahatan ini merupakan tragedi yang paling besar bagi umat Islam. Karena hingga saat ini, sebagian umat Islam masih banyak yang berpegang teguh kepada hadis-hadis palsu tersebut dan mereka meyakini bahwa hal itu merupakan bagian dari agama mereka. Padahal agama berlepas tangan dari semua itu.
Peringatan Imam Husain as. kepada Mu'âwiyah

Imam Husain as. memberikan peringatan keras terhadap Mu'âwiyah. Dalam peringatan itu, ia menolak politik kotor Mu'âwiyah yang menentang kitab Allah dan sunah Nabi-Nya. Ia juga menegur pembunuhan yang dilakukannya terhadap para pemuka Islam. Peringatan Imam Husain as. tersebut merupakan dokumentasi politik penting yang menebarkan berbagai kejahatan dan kezaliman Mu'âwiyah. Hal ini telah kami jelaskan dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Husain as.
Seminar Politik di Mekah

Imam Husain as. pernah mengadakan seminar politik umum tahunan di Mekah. Dalam seminar itu, ia mengundang para jamaah haji, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, dan jamaah haji lainnya. Ia menyampaikan ceramah mengenai berbagai bencana dan cobaan yang menimpa keluarga Rasulullah saw. pada masa pemerintahan Mu'âwiyah sang tiran.
Berikut ini adalah cuplikan pidato Imam Husain as. dalam seminar tersebut.
Imam Husain as. berkata: "Sesungguhnya si penguasa tiran ini-yakni Mu'âwiyah-telah memperlakukan kami dan Syi'ah kami dengan kejahatan sebagaimana yang kalian lihat, saksikan, dan ketahui. Pada kesempatan ini, aku ingin menanyakan sesuatu kepada kalian. Jika aku benar, maka benarkanlah aku, dan jika aku berdusta, maka dustakanlah aku. Dengarkanlah ucapanku dan tulislah perkataanku, kemudian kembalilah kalian ke tempat tinggal dan kabilah kalian. Ajaklah orang-orang yang kalian percaya dan kalian anggap jujur untuk mengetahui hak-hak kami sebagaimana yang kalian ketahui. Sesungguhnya aku merasa khawatir persoalan ini akan sirna dan terkalahkan. Tetapi Allah swt. akan menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang kafir membencinya."
Seminar itunya akhiri dengan menjelaskan keutamaan-keutamaan Ahlul Bait as. dan upaya Mu'âwiyah untuk menghapuskannya. Muktamar ini adalah muktamar pertama yang pernah diadakan dalam Islam.
Penolakan Imam Husain as. Terhadap Kekhalifahan Yazîd

Mu'âwiyah berusaha keras untuk mengangkat anaknya, Yazîd, untuk menjadi khalifah muslimin. Ia memanfaatkan seluruh sarana negara agar kekhalifahan dan kerajaan tersebut dapat dipegang oleh keturunannya. Imam Husain as. adalah orang yang paling keras menolak dan menentang upaya tersebut. Karena Yazîd sama sekali tidak memiliki kelayakan untuk menjadi khalifah muslimin. Imam Husain as. menjelaskan sifat-sifat Yazîd dengan ucapan: "Sesungguhnya dia (Yazîd) adalah peminum arak dan pemburu binatang. Dia senantaisa menaati setan dan meninggalkan perintah Ar-Rahmân. Dia menampakkan kerusakan, menghapus hukum-hukum Allah, menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah, dan mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah."
Setiap kali Mu'âwiyah berusaha meyakinkan Imam Husain as. untuk membaiat Yazîd, Mu'âwiyah tidak pernah menemukan peluang untuk itu.
Kematian Mu'âwiyah

Ketika penguasa tiran Mu'âwiyah telah mati, Walîd, penguasa kota Madinah, memanggil Imam Husain as. supaya berbaiat kepada Yazîd. Imam Husain as. menolak permintaan tersebut seraya berkata: "Hai Amir, sesungguhnya kami keluarga kenabian adalah sumber risalah dan tempat para malaikat datang silih berganti. Dengan perantara kami Allah membuka risalah kenabian dan dengan kami pula Dia menutup kenabian. Sesungguhnya Yazîd adalah orang fasik, peminum khamar, pembunuh orang-orang tak bersalah, dan berbuat kefasikan secara terang-terangan. Orang sepertiku ini tidak akan membaiat orang seperti dia."
Imam Husain as. menolak untuk membaiat Yazîd, sebagaimana seluruh keluarga kenabian juga menolak untuk membaitnya karena mengikuti pemimpin mereka, Imam Husain as.
Revolusi Imam Husain as

Imam Husain as. meletuskan sebuah revolusi yang besar untuk melawan Yazîd untuk mengembalikan kemuliaan kaum muslimin dan menyelamatkan mereka dari kejahatan dan kezaliman Mu'âwiyah. Imam Husain as. telah menjelaskan tujuannya yang mulia ini dalam ucapannya: "Sesungguhnya aku tidak keluar ke medan perang dengan congkak dan sombong, tidak pula untuk berbuat zalim dan merusak. Tetapi aku keluar ke medan perang untuk memperbaiki kondisi umat kakekku; aku ingin melakukan amar makruf dan nahi mungkar, dan mengikuti langkah kakek dan ayahku."
Imam Husain as. telah melandasi revolusinya dengan tujuan untuk menegakkan tonggak-tonggak islah di atas bumi, merealisasikan keadilan sosial di kalangan masyarakat, dan menghancurkan berbagai kejahatan dan kerusakan yang telah ditebarkan oleh pemerintahan Bani Umayyah di dalam kehidupan masyarakat Islam.
Ketika Imam Husain as. telah memastikan diri untuk berangkat meninggalkan Hijaz menuju ke Irak, ia menyuruh untuk mengumpulkan masyarakat. Kaum muslimin dengan jumlah yang banyak segera berkumpul di Masjidil Haram. Imam Husain as. menyampaikan ceramah legendarisnya sebagai berikut:
Segala puji bagi Allah dan apa yang Dia kehendaki. Tidak ada kekuatan selain bantuan Allah swt. Salawat dan salam semoga selalu tercurahkan atas Rasul-Nya saw. Sesungguhnya kematian itu melingkari anak Adam sebagaimana kalung melingkari leher seorang pemudi. Sungguh, betapa aku telah merasa rindu kepada para pendahuluku, seperti Ya'qûb rindu kepada Yusuf. Aku telah diberi hak memilih tempat kematianku yang pasti kualami. Aku melihat seluruh jasadku dicacah-cacah oleh serigala-serigala padang sahara di antara Nawâwîs dan Karbala. Mereka mengurungku dengan pasukan yang tak terhingga jumlahnya. Tidak ada lagi kesempatan untuk lari dari hari yang telah ditetapkan. Keridaan Allah adalah keridaan kami Ahlul Bait. Kami sabar atas cobaan-Nya dan Dia akan memenuhi balasan kepada kami dengan ganjaran orang-orang yang sabar. Keluarga Rasulullah tidak akan membelot darinya. Mereka adalah sekelompok yang hadir di haribaan suci, sebagai buah hati kesenangannya dan janjinya pun ditepati. Ketahuilah bahwa barang siapa yang menyerahkan nyawanya demi membela kami dan mengorbankan dirinya untuk menjumpai Allah, maka hendaklah ia pergi bersama kami. Karena aku akan berangkat besok pagi, insya Allah.
Saya tidak pernah melihat sebuah ceramah yang lebih indah dan lebih fasih dari ceramah Imam Husain as. ini. Ceramah ini menjelaskan tekadnya untuk meneguk cawan syahadah dan menganggap ringan hidup di atas jalan Allah. Ia telah menyambut kematian dengan gembira dan menganggapnya sebagai hiasan bagi manusia, seperti kalung yang menghiasi leher seorang pemudi. Ia telah menyinggung suatu tempat suci di mana darahnya yang suci ditumpahkan. Tempat itu terletak antara Nawâwîs dan Karbala. Di tempat itulah pedang dan anak panah-anak panah menyayat dan menancap di tubuh Imam Husain as. Ceramah ini telah kami jelaskan sekaligus poin-poin pentingnya dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Husain as.
Setelah pagi hari menampakkan wajahnya, Imam Husain as. pergi menuju ke Irak. Ia segera menaiki kudanya dan melaju menulusuri jalan-jalan hingga tiba di Karbala. Di tempat tersebut, ia mengakhiri perjalanannya demi menjemput kemuliaan syahadah. Dengan cara itu ia telah dapat menghidupkan agama kakeknya, padahal serigala-serigala buas dari binatang-binanga Bani Umayyah dan antek-antek mereka telah berusaha untuk menghapuskannya.
Syahadah

Berbagai ujian dan bencana datang silih berganti menimpa buah hati Rasulullah saw. ini. Bencana-bencana itu tidak berakhir hingga ia menghalami musibah dan bencana yang paling besar dan berat. Pada detik-detik yang mengerikan itu, Imam Husain as. telah ditimpa cobaan berat yang tidak pernah dialami oleh reformer manapun. Di antara bencana itu ialah berikut ini:
1. Imam Husain as. menyaksikan keluarga wanita Rasulullah saw. mengalami ketakutan yang tidak ada yang mengetahuinya selain Allah swt. Setiap saat mereka menunggu seseorang dari keluarga Rasulullah saw. yang suci bermandikan darah suci dan menyampaikan kata-katanya yang terakhir di hadapan mereka. Satu hal yang menambah rasa takut mereka adalah para musuh yang tidak lagi mempunyai rasa belas kasih itu telah mengepung mereka. Mereka tidak tahu bencana apa yang bakal terjadi atas diri mereka setelah kehilangan keluarga dan para pelindung mereka. Imam Husain as. dapat menangkap dan merasakan rasa pedih hati mereka karena ketakutan sehingga ia sendiri merasa sedih dan luluh hatinya. Ia senantiasa menyuruh mereka agar tetap bersabar dan tidak menampakkan kepanikan yang dapat mengurangi kehormatan mereka. Ia memberi tahu kepada mereka bahwa sesungguhnya Allah swt. senantiasa memelihara dan menyelamatkan mereka dari kejahatan musuh-musuh Islam.
2. Anak-anak kecil menjerit karena merasakan kepedihan rasa haus dan dahaga yang sangat mencekik, sementara Imam Husain as. tidak mendapatkan jalan untuk menolong mereka. Hatinya merasa luluh dan hancur karena merasa belas dan kasihan kepada mereka dan keluarganya, karena mereka mengalami ujian yang tidak mampu ditanggung oleh mereka.
3. Ketegaan hari para penumpah darah dan pendurhaka itu untuk membunuh anak-anak kecil dan orang-orang yang tidak berdosa dari kemenakan dan sepupu Imam Husain as. setelah mereka berhasil membantai para sahabat dan keluarganya.
4. Rasa dahaga dan haus yang betul-betul mencekik lehernya. Dalam sebagian riwayat disebutkan, karena haus yang sangat itu, Imam Husain as. tidak dapat lagi melihat langit kecuali bagaikan asap tebal dan hatinya seakan tercabik-cabik karena beratnya menahan rasa haus.
Syaikh At-Tustarî berkata: "Kehausan yang diderita oleh Imam Husain as. telah mempengaruhi empat anggota tubuhnya:
o Bibirnya nampak kering dan layu karena dahaga yang mencekik.
o Jantungnya tercabik-cabik karena tidak tersiram air; ketika ia berdiri dan tidak berharap lagi akan hidup, ia tegaskan hal itu. Karena ia tahu bahwa mereka yakin dirinya tidak akan hidup lagi setelah itu, ia menampakkan rasa hausnya dan berkata kepada mereka, 'Berilah aku minum setetes air. Hatiku telah tercabik-cabik karena menahan rasa haus.'
o Lidahnya telah luka karena sudah mengeras kekeringan, sebagaimana diungkapkan dalam sebuah hadis.
o Matanya gelap karena kehausan."
5. Imam Husain as. telah kehilangan keluarga dan para sahabatnya yang sangat ia cintai. Kala itu ia memandang kemah-kemah mereka telah kosong. Hal itu menambah berat kesedihan dan dukanya.
Setiap jiwa manusia pasti merasa luluh dan sedih menyaksikan bencana yang dialami oleh putra Rasulullah saw. ini. Shafiyyuddîn berkata: "Imam Husain telah mengalami berbagai cobaan dan bencana berat yang tak seorang muslim pun mampu mendengarkannya kecuali hatinya akan hancur luluh."
Permohonan Imam Husain as.

Imam Husain as. memandang keluarga dan para sahabatnya dengan pandangan yang penuh bels kasih dan duka yang mendalam. Ia menyaksikan mereka telah dicacah-cacah bagaikan hewan kurban yang tergeletak di atas padang pasir Karbala dan terjemur oleh sinar matahari. Ketika ia mendengar jeritan dan suara tangisan keluarganya, ia meminta bantuan dan mencari penolong agar menjaga kehormatan keluarga Rasulullah saw. Ia berkata: "Adakah orang yang luluh hatinya untuk mau menjaga kehormatan keluarga Rasulullah saw.? Adakah orang yang meyakini Tuhan Yang Maha Esa yang takut kepada Allah tentang kami? Adakah penolong yang mengharapkan Allah dengan menolong kami itu?"
Teriakan minta tolong tersebut tidak sampai menembus ke relung hati mereka yang telah berkarat dengan kebatilan dan tengelam dalam maksiat dan dosa. Ketika Imam Ali Zainal Abidin as. mendengar teriakan minta tolong ayahandanya itu, ia segera melompat dari tempat tidurnya. Ia mengenakan tongkat karena sakitnya yang parah. Ketika Imam Husain as. mengetahui putra satu-satunya itu keluar, ia berteriak dan memanggil saudara perempuannya, Ummu Kulsum: "Tahanlah dia, agar bumi ini tidak kosong dari keturtunan Muhammad saw." Ummu Kulsum segera berlari dan mengembalikan Imam Zainal Abidin ke tempat istirahatnya.
Pembantaian Seorang Bayi

Kesabaran apakah yang dimiliki oleh Abi Abdillah as.? Bagaimana ia dapat menanggung beban penderitaan ini? Sesungguhnya kesabarannya itu tidak mungkin dapat ditanggung oleh alam semesta dan tidak pula dipikul oleh gunung. Tragedi yang paling menyakitkan hatinya adalah peristiwa yang menimpa bayinya, Abdullah, yang masih menyusu. Bayi itu bagaikan bulan purnama. Ia menggendong dan menciumnya sembari mengucapkan selamat tinggal terakhir kepadanya. Ia melihat putranya itu telah pingsan, matanya telah mendelik, dan kedua bibirnya telah kering karena kehausan yang mencekik. Melihat itu ia membawanya ke arah musuh agar mereka menaruh rasa belas kasihan. Barang kali mereka akan memberikan air minum walau hanya seteguk. Ia memperlihatkannya kepada mereka dan menaunginya dengan selendang dari teriknya matahari. Ia memohon kepada mereka agar memberikan setetes air minum. Tetapi hati mereka yang telah dirubah menjadi hewan-hewan tidak menarus belas kasihan sama sekali. Bahkan Harmalah bin Kâhil sang durhaka dan terkutuk segera bangkit dan mengarahkan anak panahnya. Ia tertawa terbahak-bahak sambil berkata dengan penuh kecongkakan di hadapan para sahabatnya yang terkutuk: "Ambillah ini sebagai air minumnya."
Panah itu tepat menancap di bagian leher sang bayi. Merasakan panasnya anak panah itu, Imam Husain as. mengeluarkan kedua tangannya dari selimut yang menutupinya. Bayi itu telah menggelepar-gelepar di dada ayahandanya bagaikan seekor burung yang disembelih. Bayi itu telah melepaskan nyawanya di tangan ayahandanya dengan kepala menengadah ke langit.
Sungguh ini adalah pemandangan yang menyayat hati dan membukam lidah. Imam Husain as. mengangkat kedua tangannya yang telah dipenuhi oleh darah yang suci. Darah itunya lemparkan ke langit dan tak setetes pun yang jatuh ke bumi, seperti dikatakan oleh Imam Al-Bâqir as. Ketika itu Imam Husain as. bermunajat kepada Tuhannya seraya berkata: "Bencana yang menimpaku itu ringan, karena semua itu terjadi dalam pengawasan Allah swt. Ya Allah, kiranya hal itu di sisi-Mu tidak lebih ringan daripada peristiwa penyembelihan unta Nabi Saleh. Wahai Tuhanku, apabila Engkau menunda kemenangan untuk kami, maka jadikanlah kemenangan itu untuk sesuatu yang lebih baik darinya. Timpakanlah balas dendam kami atas orang-orang yang zalim dan jadikanlah musibah yang menimpa kami di dunia ini sebagai simpanan di hari akhirat. Ya Allah, Engkau adalah saksi atas sekelompok kaum yang telah membantai orang yang paling mirip dengan Rasul-Mu, Muhammad saw."
Selesai bermunajat, Imam Husain as. turun dari kudanya dan menggali lubang kubur dengan ujung pedangnya. Ia menguburkan bayi yang berlepotan dengan darah yang suci itu. Menurut sebuah riwayat, Ia menyatukan bayi itu dengan keluarganya yang terbunuh.
Semoga Allah swt. memberikan ganjaran besar, hai Abu Abdillah, atas cobaan dan bencana yang menimpamu ini. Tak seorang nabi pun pernah mengalami bencana seperti ini dan juga tak seorang reformer manapun di muka bumi ini.
Keteguhan Imam Husain as.

Imam Husain as. bertahan seorang diri di medan pertempuran menghadapi para musuhnya. Tragedi dan berbagai bencana yang menimpanya semakin menambah kuat keimanan dan keyakinannya yang tampak di wajahnya yang berseri-seri dalam meniti perjalanan menuju tangga-tangga surga Firdaus.
Imam Husain as. tetap tegar dan tabah. Tekadnya tidak menjadi lemah dengan terbunuhnya anak, keluarga, dan para sahabatnya. Bahkan tekadnya tetap kuat meskipun rasa dahaga begitu mencekik dan darah bercucuran di tubuhnya. Demikianlah ketegaran para nabi dan Ulul 'Azmi yang telah dipilih oleh Allah di antara para hamba-Nya.
Putranya, Imam Ali Zainal Abidin as., pernah meriwayatkan tentang keteguhan dan kesabaran ayahandanya. Ia berkata: "Setiap kali peperangan semakin dahsyat, wajahnya nampak bersinar dan seluruh anggota tubuhnya nampak tenang. Sebagian sahabat berkata, 'Perhatikanlah, betapa ia tidak takut mati.'"
Abdullah bin 'Ammâr berkata: "Aku melihat Husain ketika mereka mengepungnya. Ia menyerang para musuh yang berada di sebelah kanannya sehingga mereka kabur. Demi Allah, aku tidak pernah melihat seseorang selainnya yang pernah terkena bencana berat. Anak-anak dan para sahabatnya telah terbunuh, tetapi ia tetap tegar dan tenang hatinya. Demi Allah, aku tidak pernah melihat orang seperti dia sebelum dan sesudahnya."
Imam Husain as. menyerang musuh-musuh Allah dengan penyerangan terdahsyat yang pernah disaksikan oleh manusia
Perpisahan dengan Keluarga

Imam Husain as. kembali menjumpai keluarganya untuk mengucapkan selamat tinggal kepada mereka, sedang sekujur tubuhnya berlumuran darah. Ia berwasiat kepada keluarga risalah dan wahyu untuk bersiap-siap menghadapi cobaan dan bencana. Ia memerintahkan mereka supaya tegar, bersabar, dan menerima segala ketentuan Allah swt. Ia berkata: "Bersiaplah kalian untuk menghadapi cobaan dan bencana. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah swt. akan menjaga dan menyelamatkan kalian dari kejahatan musuh, menjadikan akhir urusan kalian dengan kebaikan, menimpakan azab yang pedih pada musuh-musuh kalian, dan menggantikan cobaan atas kalian ini dengan nikmat dan kemuliaan. Jangan kalian mengeluh dan jangan kalian mengatakan sesuatu yang dapat menurunkan kehormatan dan harga diri kalian."
Seluruh pemerintahan telah sirna, seluruh kerajaan telah lenyap, dan seluruh peradAbân telah musnah. Tapi keimanan yang tidak ada batasnya ini lebih berhak untuk lestari dan abadi dalam kehidupan ini. Di manakah jiwa yang bisa merasakan dan menerima seluruh bencana ini dengan keridaan menerima ketentuan Allah swt.? Tidak ada yang lain selain Imam Husain as., titik harapan, buah hati, dan jati diri Rasulullah saw. itu.
Kesedihan para putri Rasulullah saw. bertambah ketika melihat Imam Husain as. dalam kondisi seperti itu. Mereka memegangnya dan mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Hati ini malu melihat mereka, sedangkan rasa takut telah memucatkan warna kulit mereka. Imam Husain as. lemas lunglai ketika melihat mereka, sedangkan sendi-sendi mereka telah luluh.
Imam Kâsyif Al-Ghithâ' berkata: "Siapakah yang mampu untuk menolong Husain as., sedangkan berbagai macam cobaan dan aneka macam musibah telah menyelubunginya? Dalam kondisi seperti, ia berusaha untuk mengucapkan selamat tinggal kepada keluarga dan anak-anaknya yang masih tersisa. Maka ia mendekati kemah-kemah yang telah didirikan untuk keturunan Ali dan Az-Zahrâ' as. itu. Kaum wanita keluar bagaikan segerombolan burung pipit yang lemah lunglai. Mereka mengelilingi Imam Husain as., sedangkan ia bermandikan darah. Apakah Anda mampu menggambarkan kondisi Imam Husain as. dan kondisi mereka pada saat itu, sedangkan hatimu tidak bergetar, nalurimu tidak bergemuruh, dan air matamu tidak berlinang?"
Adegan perpisahan Imam Husain as. dengan keluarganya adalah salah satu cobaan dan bencana paling berat dan pedih yang telah dihadapinya. Putri-putri Rasulullah saw. itu memukul-mukul wajah mereka dan suara tangisan mereka nyaring terdengar sembari mengucapkan belasungkawa kepada Rasulullah saw. Mereka melemparkan diri kepada Imam Husain as. untuk mengucapkan selamat tinggal. Adegan menyayat hati ini menyayat hatinya dan tidak ada yang mengetahui kepedihannya selain Allah swt.
Umar bin Sa'd yang keji itu memberikan komanda kepada pasukan perangnya untuk menyerang Imam Husain as. Ia berteriak: "Seranglah Husain selama ia masih sibuk dengan diri dan keluarganya. Demi Allah, jika ia sempat menyerangmu, maka kalian akan kehilangan arah kanan dan kiri kalian."
Orang-orang berhati busuk itu menyerang Imam Husain as. Mereka melemparkan anak panah kepadanya. Anak panah-anak panah itu mengenai sasaran tandu-tandu kemah. Para kaum wanita melindungi diri mereka dan segera masuk ke dalam kemah. Ketika itu, keluarlah Imam Husain as. laksana seekor singa yang menerkam musuh-musuhnya dan menebas kepala mereka dengan pedangnya, sedangkan anak panah-anak panah menyerang bagian kanan dan kiri tubuhnya. Sementara itu, ia menyongsong anak panah-anak panah itu dengan dada dan lehernya. Dan di antara anak panah-anak panah yang memiliki andil menghabisi nyawanya adalah berikut:
1. Satu anak panah mengenai mulut Imam Husain as. Sarah suci itu pun tersembur keluar. Ia meletakkan tangannya di bawah luka itu. Setelah tangan itu penuh dengan darah, ia mengangkatnya ke langit sembari berseru: "Ya Allah, sesungguhnya semua ini di sisi-Mu adalah sedikit."
2. Satu anak panah mengenai dahi mulia Imam Husain as. yang terpancar cahaya kenabian dan imâmah. Darah segar nan suci pun tersembur dari dahi itu. Ia mengangkat kedua tangannya seraya berdoa demi kecelakaan para pembunuh durhaka itu: "Ya Allah, sesungguhnya Engkau menyaksikan seluruh bencana yang sedang kuhadapi dari para hamba penentang-Mu itu. Ya Allah, hitungkah jumlah mereka, bunuhlah mereka, jangan Kau sisakan satu orang pun dari mereka di muka bumi, dan janganlah Kau beri ampunan kepada mereka selamanya."
Imam Husain as. berteriak ke arah bala tentara Yazîd: "Hai umat yang keji, alangkah kejinya perbuatan yang telah kalian lakukan terhadap keluarga Muhammad sepeninggalnya. Camkanlah baik-baik bahwa kalian tidak akan membunuh seseorang pun setelahku, lalu kalian merasa takut untuk membunuhnya. Bahkan perbuatan membunuh itu akan terasa mudah bagi kalian setelah kalian tega membunuhku. Demi Allah, aku sungguh memohon kepada Allah supaya Dia memuliakanku dengan syahadah, kemudian Dia akan menuntut balasku kepada kalian dari jalan yang tidak kalian sadari."
Balasan terhadap Rasulullah saw. yang telah berhasil menyelamatkan mereka dari kesengsaraan hidup itu adalah mereka memusuhi keturunannya. Mereka tega mengucurkan darah keluarganya itu dan berbuat suatu aniaya terhadap mereka yang kulit bergetar melihatnya dan wajah pun mengkerut karenanya.
Sungguh Allah telah mengabulkan doa Imam Husain as. Dia menuntut balasnya dari para musuh durhaka itu. Tidak lama mereka berkuasa, fitnah dan bencana pun datang mengancam mereka. Seorang revolusioner agung, Al-Mukhtâr, melakukan perlawanan terhadap mereka demi menuntut darah Imam Husain as. Al-Mukhtâr berhasil mengusir mereka dan mereka melarikan diri pada peristiwa Al-Baidâ'. Bala tentara Al-Mukhtâr berhasil memukul mundur mereka dan membunuh mayoritas bala tentara mereka.
Az-Zuhrî menulis: "Tak seorang pun dari para pembunuh Husain yang tersisa kecuali ia telah memperoleh balasan. Ada yang dibunuh, ada yang ditimpa kebutaan, ada yang berubah wajahnya menjadi hitam legam, dan ada juga yang dibalas langsung oleh malaikat dalam tampo yang sekejap."
3. Anak panah ini adalah anak panah paling dahsyat yang menghabisi nyawa Imam Husain as.
Para ahli sejarah menulis: "Imam Husain as. sedang beristirahat setelah terkena pendarahan yang membuat tubuhnya lemah. Seorang durjana melemparkan sebuah batu dan mengenai keningnya yang mulia. Darah bersimbah ke wajahnya. Ia mengambil baju untuk mengusap darah yang menutupi kedua matanya. Seorang durjana yang lain melemparkan sebatang tombak bermata tiga. Tombak itu mengenai jantung mulia yang penuh terisi kasih sayang dan rahmat untuk seluruh umat manusia itu. Ketika itu ia yakin bahwa ajal telah dekat. Ia mengangkat pandangannya ke langit seraya berkata, 'Dengan nama Allah, demi Allah, dan demi agama Rasulullah saw. Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa mereka membunuh seorang laki-laki yang di muka bumi ini tidak ada lagi putra dari putri seorang nabi kecuali dia."
Imam Husain as. mencabut tombak itu. Dan darah pun mengucur keluar laksana sebuah pancuran air. Ia menampung darah itu dengan kedua tangannya. Ketika kedua tangan itu telah penuh dengan darah, ia melemparkannya ke langit seraya berkata: "Sungguh mudah semua penderitaan ini lantaran semua itu terjadi di bawah pengawasan Allah."
Imam Husain as. mengambil darah yang masih tersisa. Ia melumuri wajah dan janggutnya dengan darah itu, sedang ia tetap dalam posisi yang menggambarkan posisi para nabi as. Ia berkata: "Beginilah kondisiku sehingga aku menemui datukku, Rasululah saaw., sedangkan aku berlumuran dengan darahku ...."
4. Hushain bin Namîr juga melemparkan sebuah anak panah yang mengenai mulut Imam Husain as. Darah pun mengucur keluar. Imam Husain as. menampung darah itu dengan tangannya, lalu melemparkannya ke langit. Ia berdoa demi kebinasaan para pembunuh durjana itu: "Ya Allah, hitungkah jumlah mereka, musnahkanlah mereka, dan janganlah Kau sisakan seorang pun dari mereka di muka bumi ini."
Semakin banyak anak panah-anak panah yang menusuk tubuh suci Imam Husain as. Ia tampak lemah karena kekurangan darah dan kehausan yang menyengat. Ia duduk di atas tanah sembari memegang lututnya untuk menahan rasa sakit. Seorang durjana yang bernama Mâlik bin An-Nasîr menyerangnya dalam kondisi seperti itu. Mâlik mencerca Imam Husain sembari menebaskan pedang ke arahnya. Kepala Imam Husain memakai topi perang, dan topi ini pun dipenuhi darah. Imam Husain meliriknya seraya berdoa demi kebinasaannya: "Semoga engkau tidak dapat makan dan minum dengan tangan kananmu dan tidak juga dengan tangan kirimu. Semoga Allah mengumpulkanmu bersama orang-orang yang zalim."
Imam Husain as. melemparkan topi perang itu dan membiarkan serban melengket di kepalanya. Mâlik sang durjana itu bergegas untuk mengambil topi perang Imam Husain itu, tapi tangannya telah lumpuh.
Munajat Imam Husain as.

Pada detik-detik akhir kehidupannya itu, Imam Husain as. berkesempatan untuk bemunajat kepada Allah swt. Dengan hati yang luruh, ia bermunajat, pasrah diri, dan mengadukan kepada-Nya segala bencana yang menimpa dirinya. Ia berkata: "Bersabarlah atas ketentuan-Mu, tidak ada tuhan selain-Mu, hai Penolong orang-orang yang memohon pertolongan. Bersabarlah atas ketentuan-Mu, hai Penolong orang yang tidak memiliki penolong selain-Mu, hai Dzat yang maha abadi dan tak pernah musnah, hai Dzat yang menghidupkan orang-orang yang telah mati, hari Dzat yang menguasai seluruh jiwa, tetapkanlah ketentuan antara aku dan mereka, dan Engkaulah sebaik-baik penentu."
Seluruh tindakan itu adalah manifestasi keimanan yang telah berinteraksi dengan seluruh jati diri Imam Husain as. sehingga keimanan itu menjadi unsur terpenting dalam jiwanya. Ia telah bergantung kepada Allah swt. dan bersabar atas seluruh ketentuan-Nya. Ia telah menyerahkan seluruh bencana dan cobaan yang telah menimpa dirinya hanya kepada Allah. Keimanan itu telah melupakannya dari seluruh bencana yang telah mengelili kehidupannya.
Imam Husain as. Dibantai

Kelompok durjana itu menyrang buah hati Rasulullah saw. dari segala penjuru dengan tusukan pedang dan huzaman tombak. Zar'ah bin Syuraik At-Tamîmî menebas pergelangan tangan kirinya dan durjana yang lain menebas pundaknya.
Musuh Imam Husain as. yang paling dengki adalah Sinân bin Anas. Kadang-kadang Anas menusuknya dengan pedang dan kadang-kadang lagi dengan tombak. Ia merasa bangga dengan perbuatannya itu. Pembantai ini pernah menceritakan perbuatannya itu kepada Hajjâj dengan penuh kebanggaan seraya berkata: "Kutusuk dia dengan tombak dan lalu kucincang-cincang dia dengan pedang." Hajjâj tersentak mendengar ceritanya itu seraya berkata: "Ingatlah, kamu berdua tidak akan dapat berkumpul dalam satu rumah."
Para musuh Allah itu membantai Imam Husain as. dari segala penjuru. Pedang-pedang mereka mengalirkan darahnya yang suci. Sebagian ahli sejarah menulis: "Tidak seorang pun di sepanjang sejarah Islam yang dibunuh seperti Husain dibunuh. Ia mengalami seratus dua puluh luka akibat tebasan pedang, goresan tombak, dan tusukan anak panah."
Imam Husain as. terdiam beberapa saat di atas tanah gersang itu. Seluruh penyerang merasa takut dan mengurungkan niat untuk menyerangnya. Kharismatikanya mempengaruhi seluruh hati sehingga sebagian dari mereka berkomentar: "Ketampanan wajah dan cahaya kharismatikanya mencegah kami untuk membunuhnya." Tak seorang pun dari mereka yang mendekati Imam Husain as. kecuali ia kembali mundur, karena takut tanggung jawab pembunuhannya akan jatuh di atas pundaknya.
Cucu Rasulullah saw., Zainab, keluar dari kemahnya dengan perasaan luruh menangisi saudara dan seluruh keuarganya. Dengan jiwa yang pasrah, ia berkata: "Oh, seandainya langit jatuh ke atas bumi!" Ibn Sa'd menghampirinya. Zainab berteriak kepadanya: "Hai Umar, apakah engkau rela Abu Abdillah dibunuh, sedangkan kamu hanya melihatnya?" Umar bin Sa'd memalingkan wajahnya dari Zainab, sedangkan air matanya bercucuran membasahi jenggotnya yang sial itu. 'Aqîlah Ahlul Bait itu tidak mampu lagi melihat saudaranya dalam kondisi yang membutakan mata seperti itu. Akhirnya ia kembali ke kemah untuk menenangkan kaum wanita dan anak-anak yang sedang dilanda ketakutan itu.
Imam Husain as. terdiam panjang di bawah terik siang yang menyengat itu, sementara luka-luka di tubuhnya telah melemahkannya dan kucuran darah yang keluar telah membuatnya lunglai. Ia menyeru segerombolan pembunuh itu: "Apakah kalian berkumpul untuk membunuhku? Ingatlah! Demi Allah, kalian tidak akan membunuh seorang hamba Allah setelahku. Demi Allah, sesungguhnya aku berharap semoga Allah memuliakanku dengan kehinaan kalian, kemudian Dia membalas kalian untukku dari arah yang kalian tidak menyadarinya."
Orang yang celaka dan pendosa, Sinân bin Anas, telah menghunus pedangnya. Ia tidak mengizinkan orang lain untuk mendekati Imam Husain as. karena takut orang itu mengalahkan dirinya dari menebas kepala Imam Husain. Dengan itu, Sinân akan kehilangan hadiah yang telah dijanjikan oleh tuannya, Ibn Marjânah. Sinân memenggal kepala Imam Husain, sedang di bibirnya teruntai senyuman keridaan, kebanggaan, dan kemenangan yang akan terkenang di sepanjang masa.
Imam Husain as. telah menghadiahkan jiwanya sebagai harga Al-Qur'an dan harga bagi setiap kemuliaan yang mampu mengangkat nilai insani. Alangkah mahalnya harga yang telah ia haturkan itu. Ia telah dibunuh dalam keadaan terzalimi, terusir, dan terasing, setelah keturunan, keluarga, dan para sahabatnya dianiaya. Ia telah dibunuh dalam keadaan menahan dahaga di hadapan keluarganya. Harga manakah yang lebih mahal dari harga yang telah diberikan oleh Imam Husain as. sebagai sebuah pengorbanan yang tulus karena Allah semata itu?
Imam Husain as. telah berniaga dengan Allah swt. dengan persembahan dan pengorbanannya yang agung itu. Perniagaannya adalah sebuah perniagaan yang beruntung. Allah swt. berfirman: "Sesungguhnya Allah swt. telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menempati janjinya (selain) dari Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar." (QS. At-Tawbah [9]:111)
Sesuatu yang pasti, Imam Husain as. sungguh telah memperoleh untung dari perniagaannya itu dan mendapatkan kebanggaan yang tidak akan diperoleh oleh orang selainnya. Tidak ada keluarga syuhada pun yang pernah memperoleh kemuliaan, keagungan, dan keabadian seperti yang telah diperoleh oleh Imam Husain as. Lihatlah dunia selalu menyebut namanya. Lihatlah makamnya menjadi makam yang paling mulia nan megah.
Imam Husain as. telah mengibarkan bendera kemenangan Islam yang berlumuran dengan darahnnya dan darah keluarga dan para sahabatnya tinggi-tinggi. Bendera itu senantiasa menerangi alam semesta ini dan membuka cakrawala bagi masyarakat di seluruh penjuru dunia untuk menyongsong kebebasan dan kemuliaan mereka.
Catatan Kaki:

Siyar A'lâm An-Nubalâ', jilid 3, hal. 190; Târîkh Ibn 'Asâkir, jilid 3, hal. 50.
Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 177; Nûr Al-Abshâr, hal. 129.
Sunan Ibn Mâjah, jilid 1, hal. 56.
Hayâh Al-Imam Husain as., jilid 1, hal. 95.
At-Tâj Al-Jâmi'li Al-Ushûl, jilid 3, hal. 218.
Minhâj As-Sunnah, jilid 4, hal. 210.
Majma' Az-Zawâ'id, jilid 9, hal. 201
Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 179.
Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 176.
Kanz Al-'Ummâl, jilid 7, hal. 106.
Kanz Al-'Ummâl, jilid 7, hal. 106; Al-Mu'jam Al-Kabîr, jilid 3, hal. 106.
Majma' Az-Zawâ'id, jilid 9, hal. 187.
Ibid., hal. 189.
Ibid., hal. 191.
Târîkh Ibn Al-Wardî, jilid 1, hal. 173-174.
Mu'jamul kabir Tabrani jilid 3 hal. 108
Târîkh alkhamis jilid 2 hal. 334
Târîkh Ibn Asakir jilid 13 hal. 57-58
Hayâh Al-Imam Husain as., jilid 1, hal. 426.
Syarah Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadîd, jilid 10, hal. 14.
Al-Ishâbah, jilid 1, hal. 187.
Târîkh Al-Ya'qûbî, jilid 2, hal. 293.
Syarah Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadîd, jilid 3, hal. 249.
Syarah Nahjul Balâghah, jilid 3, hal. 263.
Al-Imam Al-Husain as., hal. 101.
Ansâb Al-Asyrâf, jilid 1, hal. 240
Kasyf Al-Ghummah, jilid 2, hal. 229.
Al-Ishâbah, jilid 2, hal. 222.
QS. Ali Imran [3]:134.
Al-Imam Al-Husain, hal. 117.
Târîkh Ibn 'Asâkir, jilid 13, hal. 54.
A'yân Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 110.
Al-Irsyâd, karya Ad-Dailamî, jilid 1, hal. 28.
Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 246.
Raihânah Ar-Rasul, hal. 55.
Ibid.
Ibid.
Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 246.
Ibid.
Târîkh Ibn Al-Atsîr, jilid 2, hal. 553.
Hayâh Al-Imam Husain as., jilid 2, hal. 255.
Al-Khashâ'ish Al-Husainiyyah, hal. 60.
Hayâh Al-Imam Husain as., jilid 3, hal. 374.
Durar Al-Afkâr fî Washf Ash-Shafwah Al-Akhyâr, karya Abul Fath Ibn Shadaqah, hal. 38.
Manâqib Ibn Syahr ?syûb, jilid 4, hal. 222.
Maqtal Al-Husain, hal. 333.
Al-Khashâ'ish Al-Husainiyyah, hal. 39.
Târîkh Ibn Katsîr, jilid 8, hal. 188.
Maqtal Al-Husain, hal. 337.
Jannah Al-Ma'wâ, hal. 115.
Ad-Darr An-Nzhîm, hal. 168.
Maqtal Al-Husain, hal. 337.
'Uyûn Al-Akhbâr, karya Ibn Qutaibah, jilid 1, hal. 103-104.
Maqtal Al-Khârazmî, jilid 2, hal. 34.
Ansâb Al-Asyrâf, jilid 1, hal. 240.
Maqtal Al-Husain, hal. 345.
Majma' Az-Zawâ'id, jilid 9, hal. 194.
Al-Hada'iq Al-Wardiyah, jilid 1, hal. 126.
Ansâb Al-Asyrâf, jilid 3, hal. 203.
Jawâhir Al-Mathâlib fî Manâqib Al-Imam Ali bin Abi Thalib, hal. 139.
Ash-Shirâth As-Sawî fi Manâqib ?l An-Nabi saw., hal. 192.

IMAM ALI AS-SAJJAD

Imam Ali As-Sajjâd adalah seorang imam yang agung, reformer agama, dan penghidup sunah kakeknya. Ia serupa dengan Nabi Isa as. dalam wara' dan ketakwaan, dan serupa dengan Nabi Ayyûb as. dalam cobaan dan malapetaka (yang dihadapi). Kewibawaannya membuat seluruh wajah tertunduk di hadapannya. Di wajahnya bersinar cahaya para nabi dan terbersit kewibawaan para washî.
Asy-Syaikhânî Al-Qâdirî menegaskan: "Mata orang yang memandang tidak pernah puas untuk melihat cercahan cahaya wajahnya." Kewibawaan Imam Ali As-Sajjâd menghikayatkan kewibawaan kakeknya, Rasulullah yang agung saw. As-Saffâh Muslim bin 'Uqbah, sang kriminalis yang senantiasa meremehkan seluruh nilai insani itu, tercengang lantaran kewibawaan tersebut. Ketika ia melihat Imam As-Sajjâd as., seluruh sendinya gemetar dan menyambutnya dengan penuh penghormatan. Orang-orang yang berada di sekitarnya berkomentar: "Sesungguhnya Ali Zainul Abidin adalah manifestasi para nabi."
Gelar Imam As-Sajjâd

Seluruh gelar yang dimiliki oleh Imam Ali As-Sajjâd menghikayatkan karakter jiwa dan akhlak mulia yang telah disandangnya. Di samping itu, seluruh gelar itu juga menceritakan ketaatan dan ibadahnya yang sangat besar kepada Allah. Sebagian gelar tersebut adalah berikut ini:
1. Zainul Abidin (Hiasan Para 'Abid)

Gelar ini-seperti telah dijelaskan sebelum ini-dihadiahkan oleh kakek Imam Ali As-Sajjâd as., Rasulullah saw. Imam Ali as. diberi gelar tersebut lantaran ibadahnya yang tak terhitung banyaknya. Gelar ini sangat terkenal dan tersebar (di tengah-tengah masyarakat) sehingga gelar tersebut berubah menjadi namanya. Tak ada seorang pun yang pernah mendapatkan gelar semacam ini. Dan sungguh ia adalah hiasan bagi setiap 'abid dan kebanggaan bagi setiap orang yang taat kepada Allah.
2. Sayyidul Abidin (Junjungan Para 'Abid)

Salah satu gelar Imam Ali As-Sajjâd yang menonjol adalah Sayyidul Abidin. Hal itu lantaran ketaatannya kepada Allah. Tidak pernah ada riwayat yang menceritakan ibadah seseorang diriwayatkan seperti riwayat yang menggambarkan ibadah imam yang satu ini, selain kakeknya, Imam Amirul Mukminin as.
3. Dzuts Tsafanât

Imam Ali As-Sajjâd as. diberi gelar tersebut lantaran anggota-anggota sujudnya yang mengeras seperti lutut unta. Imam Abu Ja'far Al-Bâqir as. berkata: "Anggota-anggota sujud ayahku memiliki bekas-bekas yang sangat menonjol. Ia selalu memotongnya sebanyak dua kali dalam setahun. Pada setiap kalinya, ia memotong sebanyak lima potong. Oleh karena itu, ia diberi julukan Dzuts Tsafanât."
Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa Imam Ali As-Sajjâd mengumpulkan bekas-bekas sujud tersebut dalam sebuah kantong dan berwasiat supaya kantong itu dikuburkan bersama dirinya.
4. As-Sajjad

Salah satu lagi gelar Imam Ali yang menonjol dan terkenal adalah As-Sajjâd. Hal itu lantaran ia selalu melakukan sujud. Ia adalah orang yang paling banyak melakukan sujud dan ketaatan kepada Allah swt. Ketika menceritakan sujud sang ayah yang sangat banyak, Imam Abu Ja'far Muhammad Al-Bâqir as. berkata: "Ali bin Husain tidak mengingat sebuah nikmat Allah 'Azza Wajalla kecuali ia melakukan sujud. Ia tidak membaca ayat kitab Allah 'Azza Wajalla yang mengandung ayat sajdah kecuali ia melakukan sujud. Allah tidak menyelamatkannya dari kejelekan yang dikhawatirkannya kecuali ia melakukan sujud. Ketika usai mengerjakan salat wajib, ia melakukan sujud. Bekas-bekas sujud terdapat di seluruh anggota sujudnya. Oleh karena itu, ia diberi gelar As-Sajjâd."
5. Az-Zakî

Imam Ali diberi gelar Az-Zakî lantaran Allah telah menyucikannya dari setiap kotoran, sebagaimana Dia juga telah menyucikan nenek moyangnya dari setiap jenis kotoran.
6. Al-Amîn

Salah satu gelar Imam Ali As-Sajjâd adalah Al-Amîn. Ia adalah teladan yang tinggi untuk karakter yang satu ini. Pada sebuah kesempatan, ia pernah berkata: "Seandainya pembunuh ayahku menitipkan kepadaku pedang yang telah ia gunakan untuk membunuhnya, niscaya aku akan menyampaikan amanat itu kepadanya."
7. Ibn Al-Khairatain

Salah satu gelar Imam Ali As-Sajjâd as. adalah Ibn Al-Khairatain (putra dua orang terbaik). Ia selalu merasa bangga dengan gelar ini. Ia berkata: "Aku adalah Ibn Al-Khairatain." Ucapannya ini menunjuk sabda Rasulullah saw. yang menegaskan: "Allah swt. memiliki dua orang terbaik dari kalangan hamba-hamba-Nya. Hamba-Nya yang terbaik dari kalangan Arab adalah Hâsyim dan dari kalangan bangsa 'Ajam adalah Fâris."
Karakteristik Kejiwaan

Allah tidak menciptakan sebuah keutamaan atau karunia yang dimiliki oleh seseorang kecuali keutamaan atau karunia itu adalah jati diri Imam Zainul Abidin as. Tak ada seorang pun yang dapat menandinginya dalam hal ini. Seluruh karakter pembentuk jiwanya didominasi oleh adab yang tinggi, akhlak yang mulia, dan kepeduliaan yang sangat tinggi terhadap agama. Tak seorang pun yang membaca sejarah kehidupannya kecuali ia bersimpuh di hadapannya dengan penuh penghormatan dan pengagungan. Lebih dari itu, rasa takjub akan menguasainya. Ia akan menganggap seluruh orang agung di dalam dunia Islam kecil di hadapan seluruh keutamaan yang Imam Ali miliki ini.
Sa'îd bin Mûsâyyib, salah seorang ulama besar Madinah berkomentar: "Aku tidak pernah melihat orang yang lebih utama daripada Ali bin Husain. Aku tidak melihatnya kecuali aku membenci diriku ...."
Kepribadian Imam Ali As-Sajjâd as. yang tinggi ini telah mengangkatnya ke atas puncak kemuliaan dan keagungan, suatu kedudukan yang telah digapai oleh nenek moyangnya yang telah dibebani tugas untuk mengadakan perombakan sosial. Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sebagian karakter jiwanya ini.
Kesabaran (Al-Hilm)

Kesabaran adalah salah satu karakter para nabi dan rasul. Karakter ini adalah salah satu karakter manusia yang paling agung dan berbeda. Hal itu lantaran karakter ini dapat membantu seseorang untuk menguasai dirinya dan tidak tunduk kepada setiap faktor yang dapat membangkitkan amarah dan balas dendam. Ketika mendefinisikan kesabaran (al-hilm), Al-Jâhizh menulis: "Kesabaran adalah enggan membalas dendam pada saat amarah memuncak padahal kita mampu untuk melakukan balas dendam itu."
Imam Zainul Abidin as. adalah figur manusia yang paling sabar dan paling dapat menahan amarah. Para perawi hadis dan ahli sejarah telah menyebutkan banyak contoh tentang kesabarannya ini. Di antaranya adalah contoh-contoh berikut ini:

1. Imam Ali Zainul Abidin as. pernah memiliki seorang sahaya wanita. Sahaya ini selalu menuangkan air ke atas tangannya ketika ia hendak berwudu sebelum mengerjakan salat. Pada suatu hari, kendi air jatuh dari tangannya menimpa wajah Imam As-Sajjâd dan wajahnya terluka. Sahaya itu segera berkata: "Sesungguhnya Allah 'Azza Wajalla berfirman, 'Dan orang-orang yang menahan amarah.'"
Imam As-Sajjâd as. bergegas menjawab: "Aku telah menahan amarahku ...."
Sahaya itu mengharapkan kesabaran dan keagungan Imam As-Sajjâd as. Tidak sampai di situ saja, ia meminta tambahan seraya menambahkan: "Dan orang-orang yang memaafkan manusia."
Imam Zainul Abidin as. berkata kepadanya dengan penuh kelembutan: "Semoga Allah memaafkanmu ...."
Sahaya itu pun bergegas menimpali: "Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan."
Imam Zainul Abidin as. menyambutnya dengan kelembutan dan kebajikan yang melimpah seraya berkata: "Pergilah kamu. Kamu sekarang telah merdeka ...."

2. Pada suatu hari, seorang budak yang keji menyambut Imam Zainul Abidin as. dengan cercaan dan celaan tanpa sebab yang jelas. Ia menghadapinya dengan penuh santun seraya berkata: "Wahai pemuda, jalan yang sulit sedang menunggu di hadapan kita. Jika aku berhasil melewatinya, aku tidak akan memperdulikan apa yang telah kamu katakan itu, dan jika aku bingung melewatinya, sungguh aku adalah lebih buruk daripada apa yang kamu katakan itu ...."
Seluruh wujud Imam Zainul Abidin as. telah terfokus kepada Allah dan kedahsyatan dunia akhirat yang tidak akan terselamatkan darinya kecuali orang-orang yang bertakwa. Seluruh celaan dan cercaan yang timbul dari sebuah jiwa yang tidak beretika dan beradab itu tidak membuatnya sakit hati sedikit pun.
Ketabahan (Ash-Shabr)

Salah satu karakter kejiwaan Imam Ali Zainul Abidin as. adalah ketabahan menghadapi segala bentuk malapetaka dan cobaan. Satu hal yang pasti adalah, bahwa tak seorang pun di dunia ini yang pernah mendapatkan cobaan yang telah menimpa imam yang agung ini. Segala macam musibah dan petaka telah menimpanya dari sejak ia menginjakkan kaki di dunia ini hingga meninggal dunia. Ia telah harus berpisah dengan ibunda tercinta pada saat ia masih kecil dan belum sempat mengenyam kasih sayangnya. Pada saat ia masih berusia remaja, ia sudah harus menyaksikan kesedihan yang telah menimpa keluarganya yang kehilangan kakeknya, Imam Amirul Mukminin as. yang telah dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam.
Di samping itu, Imam As-Sajjâd as. juga harus menyaksikan perdamaian paksa yang telah dilakukan oleh pamannya, Imam Hasan as. dengan sang lalim, Mu'âwiyah bin Abi Sufyân-simbol cela dan kehinaan dunia Arab dan Islam itu. Ketika Mu'âwiyah berhasil berkuasa, karakter-karakter jahiliah dan kedengkiannya yang dalam terhadap Islam dan muslimin mulai tampak. Ia mengerahkan seluruh kekuatan negara untuk memusnahkan Islam dari peta wujud. Ia juga mengambil sikap yang sangat keras dalam melawan Ahlul Bait as. Ia mewajibkan supaya mereka dicela di atas mimbar-mimbar dan menara-menara azan. Di samping itu, ia juga membantai para pengikut mereka yang merupakan simbol kesadaran beragama dan berpolitik di dalam agama Islam (kala itu).
Ketika Imam Ali Zainul Abidin as. telah menginjak dewasa, ia harus kehilangan pamannya, Imam Hasan as. Imam Hasan as. telah diracun oleh Kisra Arab, Mu'âwiyah bin Hindun. Peristiwa ini telah meninggalkan kesedihan yang sangat pedih dalam diri Imam Zainul Abidin as. dan seluruh keluarga nabawi saw.
Salah satu musibah dan cobaan besar yang telah dialami oleh Imam Zainul Abidin as. adalah ia melihat pedang-pedang terhunus di padang Karbala sedang memanen kepala keluarga nabawi terpilih dengan cara yang sangat menyakitkan, sebuah cara pembantaian yang belum pernah disaksikan oleh sejarah umat manusia. Setelah peristiwa keji yang menimpa para corong keadilan dan kebenaran itu, para lalim Kufah itu mengurung Imam Zainul Abidin as. sembari membakar kemahnya dan kemah-kemah pahlawan wanita keluarga nabawi saw. Lantas, mereka membawanya menghadap sang lalim yang keji, Ibn Marjânah, dan Ibn Marjânah menyambutnya dengan seribu macam olok dan cemooh. Imam Zainul Abidin as. tabah menghadapi semua itu dan menyerahkan seluruh urusan kepada Allah. Setelah peristiwa itu berlalu, ia dibawa menghadap anak buangan yang lain, yaitu Yazîd bin Mu'âwiyah. Di tangan sang keji yang satu ini, Imam Zainul Abidin menghadapi cobaan dan petaka lagi yang dapat melelehkan relung hati setiap orang. Ia menghadapi seluruh petaka yang menyakitkan itu dengan penuh pasrah terhadap segala ketentuan Allah. Jiwa manakah yang dapat menyerupai jiwanya dan kalbu manakah yang dapat menyamai kalbunya? Jiwanya pasrah kepada Sang Pencipta alam semesta dan Dzat penganugerah kehidupan dalam menghadapi seluruh petaka dan kalbunya adalah sebuah kalbu suci yang lebih kokoh dan lebih kuat dari segala sesuatu.
Ketabahan menghadap musibah adalah jati diri Imam Zainul Abidin as. Ketika memuji sifat tabah ini, ia pernah menegaskan bahwa ketabahan adalah kepala ketaatan (kepada Allah). Salah satu contoh ketabahannya adalah, bahwa pada suatu hari, ia mendengar sebuah jeritan dari dalam rumah. Pada waktu itu, ia sedang duduk bersama para sahabat. Ia bangkit untuk melihat apa yang sedang terjadi. Keluarganya memberitahukan bahwa salah seorang putranya telah meninggal dunia. Setelah mendapatkan berita itu, ia kembali menjumpai para sahabat dan memberitahukan apa yang telah terjadi kepada mereka. Para sahabat takjub dengan ketabahan yang ia miliki. Ia berkata kepada mereka: "Kami adalah sebuah keluarga yang menaati Allah atas apa yang kami sukai dan memuji-Nya atas apa yang kami benci." Ia berpendapat bahwa ketabahan adalah sebuah keuntungan dan mengeluh adalah sebuah kelemahan.
Kepribadian kuat yang dimiliki oleh Imam Zainul Abidin dan tidak terpengaruh oleh peristiwa-peristiwa yang menyakitkan adalah salah satu kepribadian yang paling langka di sepanjang sejarah.
Berbuat Kebajikan kepada Orang Lain

Salah satu karakter Imam Ali Zainul Abidin as. adalah berbuat kebajikan kepada orang lain. Hatinya penuh oleh rahmat dan kasih sayang kepadanya. Para ahli sejarah menegaskan bahwa Imam Zainul Abidin as. tidak melihat seseorang memikul utang, sedangkan ia mencintai orang tersebut, kecuali ia pasti akan melunasi seluruh utangnya.
Imam Zainul Abidin as. selalu bergegas untuk memenuhi hajat orang lain supaya ia tidak didahului oleh orang lain sehingga ia harus kehilangan pahala apabila hal itu terjadi. Ia pernah berkata: "Salah seorang musuhku datang kepadaku untuk memohon sebuah hajat. Maka, aku bergegas untuk memenuhinya supaya aku tidak didahului oleh orang lain atau jangan sampai musuhku itu sudah tidak memerlukannya lagi sehingga dengan itu, aku harus kehilangan keutamaannya."
Kisah berikut ini dapat menggambarkan sampai sejauh mana rasa kasih sayang Imam Zainul Abidin as. kepada orang lain.
Az-Zuhrî meriwayatkan: "Pada suatu hari, aku berada di sisi Ali bin Husain as. Tiba-tiba seorang sahabatnya datang seraya mengadu, 'Aku memiliki utang sebesar empat ratus dinar dan aku tidak dapat melunasinya. Sedangkan aku sendiri memiliki tanggungan keluarga.' Pada waktu itu, Imam Zainul Abidin sendiri tidak memiliki sepeser pun uang untuk dapat melunasi utang sahabat tersebut. Sembari menangis, ia berkata, 'Musibah atau petaka manakah yang lebih besar daripada musibah dan petaka ini? Seorang merdeka mukmin melihat saudaranya terlilit utang, sementara itu ia tidak mampu melunasi utang saudaranya itu, dan ia melihatnya tertimpa kemiskinan, sementara itu ia tidak dapat mengatasi kemiskinan saudaranya itu?'"
Kedermawanan

Kedermawanan adalah salah satu karakter jiwa Imam Zainul Abidin as. yang lain. Para ahli sejarah sepakat bahwa ia adalah figur manusia yang paling dermawan terhadap orang-orang fakir dan miskin. Mereka telah menukil banyak contoh tentang kedermawanannya ini. Di antaranya adalah berikut ini:
Muhammad bin Usâmah pernah menderita penyakit. Imam Zainul Abidin as. menjenguknya. Ketika ia telah duduk, Muhammad bin Usâmah menangis terisak-isak.
Imam Zainul Abidin as. bertanya kepadanya: "Apa yang membuatmu menangis?"
Muhammad bin Usâmah menjawab: "Aku dililit oleh utang."
Ia bertanya lagi: "Berapa?"
"Lima belas ribu dinar", jawab Muhammad pendek.
Imam Zainul Abidin as. menimpali: "Aku yang akan melunasinya."
Sebelum berdiri dari tempat duduknya, Imam Zainul Abidin as. memberikan uang itu kepada Muhammad. Dengan perlakuan ini, Imam Zainul Abidin telah menghilangkan mimpi buruk utang dari tidur Muhammad bin Usâmah.
Undangan Makan Umum
Salah satu manifestasi kedermawanan Imam Ali Zainul Abidin as. adalah ia selalu mengadakan undangan makan umum setiap hari selama masih berada di Yatsrib. Undangan makan umum ini dilaksanakan pada waktu makan siang di rumahnya.
Santunan untuk Seratus Keluarga
Salah satu manifestasi kedermawanan Imam Zainul Abidin as. yang lain adalah ia sering memberikan santunan kepada seratus keluarga di Madinah secara diam-diam. Setiap keluarga itu beranggotakan beberapa orang.
Sesungguhnya kedermawanan menunjukkan kesucian jiwa seseorang dari kekikiran, rasa belas kasih kepada orang lain, dan rasa syukur kepada Allah lantaran anugerah-Nya itu.
Kasih Sayang kepada Fakir Miskin

Salah satu jati diri dan karakter jiwa Imam Ali Zainul Abidin as. adalah rasa kasih sayang kepada fakir miskin dan orang-orang yang tertindas. Berikut ini kami akan memaparkan beberapa contoh dari karakternya ini:

1. Memuliakan Orang-Orang Miskin

Imam Zainul Abidin as. selalu bergaul dengan orang-orang fakir miskin. Ia senantiasa menjaga perasaan dan naluri mereka. Jika ia memberikan sebuah pemberian kepada seorang yang meminta, ia membalikkan wajah supaya peminta itu tidak merasa hina. Jika seorang peminta datang menghampirinya, Imam Zainul Abidin as. menyambutnya sembari berkata: "Selamat datang atas orang yang siap membawa bekalku menuju dunia akhirat."
Menghormati kaum fakir miskin dengan cara seperti ini adalah manifestasi kecintaan yang dapat mempererat hubungan antar anggota sebuah masyarakat dan menyebarkan kasih sayang di kalangan mereka.

2. Kecintaan yang Dalam kepada Orang-Orang Fakir

Imam Zainul Abidin as. sangat mencintai orang-orang fakir. Ia sangat senang jika majelisnya dihadiri oleh anak yatim dan orang-orang fakir miskin yang tidak berdaya lagi melawan kehidupan ini. Ia selalu memberikan makanan kepada mereka dengan tangannya sendiri. Sebagaimana juga ia senantiasa memikul bahan makanan atau kayu bakar di atas pundaknya hingga sampai di setiap pintu rumah mereka dan memberikan semua itu kepada mereka.
Rasa kasih sayang dan kecintaan Imam Zainul Abidin as. kepada kaum fakir miskin ini telah sampai pada puncaknya sehingga ia enggan untuk memetik kurma pada malam hari. Hal itu lantaran mereka sudah berada di rumah masing-masing pada waktu itu, dan karena itu mereka tidak akan memperoleh bagian.
Imam Zainul Abidin as. pernah melarang penjaga kebunnya yang sedang memetik kurma pada malam hari. Ia berkata: "Jangan kamu berbuat demikian. Apakah kamu tidak tahu bahwa Rasulullah saw. melarang kita untuk mamanen di malam hari? ia senantiasa bersabda, 'Buntalan hasil panen itu harus kamu berikan kepada orang yang memintanya. Dan itulah haknya pada saat hasil dipanen.'"

3. Larangan Menolak Peminta

Imam Zainul Abidin as. melarang kita menolak orang yang meminta. Hal itu lantaran tindakan ini dapat menyebabkan akibat-akibat buruk. Di antaranya adalah kemusnahan nikmat dan kedatangan malapetaka. Sa'îd bin Mûsâyyib meriwayatkan: "Pada suatu hari, aku pernah bermalam di rumah Ali bin Husain. Setelah usai mengerjakan salat Shubuh, seorang peminta-minta berdiri di depan pintu rumahnya. Ia berkata, 'Berikanlah permintaannya dan janganlah kamu tolak dia."
Imam Zainul Abidin as. sangat menekankan masalah ini dalam banyak hadis yang pernah diriwayatkan darinya.
Menolak permintaan seorang fakir yang membutuhkan adalah salah satu faktor pemusnah nikmat dan pendatang amarah Allah. Banyak sekali hadis yang telah diriwayatkan dari para imam maksum as. secara mutawâtir tentang masalah ini. Atas dasar ini, barang siapa menghendaki kekekalan nikmat Allah, tidak selayaknya ia menolak permintaan peminta-minta atau mencegah seorang fakir untuk mendapatkan harta yang telah dititipkan kepada dirinya.
Infak dan Sedekah

Perilaku teragung yang sering dilakukan oleh Imam Ali Zainul Abidin as. selama hidup adalah berinfak dan bersedekah kepada orang-orang fakir miskin supaya mereka dapat menjalankan roda kehidupan mereka dan terselamatkan dari kesusahan hidup. Ia juga sering menganjurkan kita untuk bersedekah. Hal itu lantaran sedekah memiliki pahala yang tak terhingga. Ia pernah berkata: "Tak seorang pun yang bersedekah kepada seorang miskin yang lemah, dan lalu orang miskin tersebut berdoa untuknya pada saat itu juga kecuali doanya pasti dikabulkan."
Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan aneka ragam bentuk sedekah Imam Ali Zainul Abidin as.:

1. Menyedekahkan Pakaian

Imam Ali Zainul Abidin as. selalu mengenakan pakaian yang bagus. Pada saat musim dingin, ia mengenakan pakaian yang berbulu. Ketika musim panas tiba, ia menyedekahkan pakaian tersebut atau menjualnya dan menyedekahkan hasil penjualannya. Pada saat musim panas, ia mengenakan dua lapis pakaian yang berasal dari Mesir, dan pada saat musim dingin tiba, ia menyedekahkan kedua pakaian tersebut. Ia selalu berkata: "Sesungguhnya aku merasa malu kepada Tuhanku untuk memakan harga pakaian yang telah kugunakan untuk menyembah-Nya."

2. Menyedekahkan Harta yang Dicintai

Imam Zainul Abidin as. selalu menyedekahkan harta dan barang yang sangat ia cintai. Para perawi hadis menyebutkan bahwa ia selalu menyedahkan buah badam dan gula. Ketika ditanya tentang alasannya, ia membaca ayat Al-Qur'an yang berfirman: "Kamu tidak akan dapat menggapai kebaikan sehingga kamu menginfakkan apa yang kamu cintai." (QS. Ali 'Imrân [3]:92)
Para ahli sejarah menulis bahwa Imam Zainul Abidin as. sangat menyukai buah anggur. Pada suatu hari, ia sedang berpuasa. Ketika waktu berbuka puasa tiba, sahayanya menyuguhkan setangkai anggur. Tiba-tiba seorang pengemis datang, dan ia memerintahkan supaya anggur tersebut diberikan kepada pengemis itu. Sahaya Imam Zainul Abidin as. menyuruh seseorang untuk membeli anggur lagi, dan menyuguhkan anggur itu kepadanya. Tiba-tiba seorang pengemis yang lain mengetuk pintu. Ia pun memerintahkan supaya anggur itu diberikan kepada pengemis itu. Sahaya Imam Zainul Abidin as. menyuruh seseorang untuk membeli anggur lagi, dan menyuguhkan anggur itu kepadanya. Tiba-tiba seorang pengemis ketiga mengetuk pintu. Ia pun memberikan anggur itu kepada pengemis itu.
Dalam hal ini, Imam Zainul Abidin as. mengikuti jejak para nenek moyangnya. Mereka pernah memberikan makanan kepada orang miskin, anak yatim, dan orang tawanan selama tiga hari berturut-turut, sedangkan mereka dalam kondisi berpuasa. Karena hal ini, Allah menurunkan surah Ad-Dahr berkenaan dengan hak mereka, dan surah ini abadi menjadi lambang kemuliaan bagi mereka di sepanjang masa hingga Allah dan para hamba-Nya mewarisi bumi ini.

3. Membagi Harta

Imam Ali Zainul Abidin as. selalu membagi harta yang ia miliki dalam dua bagian; ia mengambil setengahnya dan menyedekahkan sisanya kepada orang-orang fakir miskin. Dalam hal ini, ia mengikuti jejak pamannya, Imam Hasan as. Imam Hasan as. selalu membagi harta yang ia miliki dalam dua atau tiga bagian.

4. Bersedekah Secara Diam-Diam

Satu hal yang sangat disukai oleh Imam Ali Zainul Abidin as. adalah bersedekah secara diam-diam supaya tidak diketahui oleh orang lain. Dengan itu, ia ingin mengadakan hubungan dengan orang-orang miskin atas dasar semangat kecintaan karena Allah dan mempererat hubungan dengan saudara-saudara seiman yang tidak mampu. Ia selalu menganjurkan kita untuk bersedekah secara diam-diam. Ia pernah berpesan: "Sedekah secara diam-diam dapat memadamkan murka Tuhan." Ia selalu keluar di malam hari yang gelap gulita dan memberikan sedekah kepada orang-orang miskin. Ia selalu menutupi wajahnya dengan kain (supaya tidak dikenal orang). Mereka telah terbiasa menerima kunjungan seperti itu pada malam hari. Oleh karena itu, mereka berdiri di depan pintu rumah mereka sembari menunggu kedatangannya. Ketika mereka melihat ia sedang datang, mereka merasa bahagia seraya berkata: "Pemikul karung telah tiba."
Imam Ali Zainul Abidin as. memiliki seorang saudara sepupu laki-laki. Ia datang menjumpainya pada setiap malam dan memberikan beberapa keping dinar kepadanya. Saudara sepupu itu berkata kepadanya: "Ali bin Husain tidak pernah mengunjungiku." Ia berdoa supaya Ali bin Husain celaka. Imam Zainul Abidin mendengar semua itu dan tidak memperkenalkan jati dirinya kepadanya. Ketika ia meninggal dunia, saudara sepupu itu tidak pernah lagi menerima sedekah (di malam hari). Akhirnya, ia tahu bahwa orang yang selalu mengujungi dirinya adalah Imam Zainul Abidin as. Untuk itu, ia senantiasa mengunjungi makamnya sembari menangis dan memohon maaf kepadanya.
Ibn 'AIsya'h berkata: "Aku pernah mendengar penduduk Madinah sering berkata, 'Kami tidak pernah kehilangan sedekah secara diam-diam sehingga Ali bin Husain meninggal dunia.'"
Para ahli sejarah meriwayatkan bahwa penduduk Madinah dapat menjalankan roda kehidupan sedangkan mereka tidak tahu siapa yang telah menjamin kehidupan mereka itu. Ketika Ali bin Husain meninggal dunia, mereka kehilangan pemberian yang selalu mereka terima pada malam hari.
Imam Ali Zainul Abidin as. sangat merahasiakan jati dirinya ketika memberikan sedekah. Jika ia memberikan sebuah sedekah kepada seseorang, ia menutupi wajahnya supaya orang itu tidak mengenalnya.
Adz-Dzahabî berkata: "Ia (Imam Ali Zainul Abidin as) selalu bersedekah secara diam-diam."
Imam Zainul Abidin as. meletekkan makanan yang akan dibagikannya kepada orang-orang fakir miskin di dalam sebuah karung dan lantas memikulnya. Karung itu meninggalkan bekas di pundaknya. Al-Ya'qûbî meriwayatkan bahwa ketika Imam Zainul Abidin as. dimandikan, di pundaknya ditemukan sebuah luka kering yang sudah mengeras seperti kulit lutut unta. Ketika keluarganya ditanya tentang bekas tersebut, mereka menjawab seraya berkata: "Bekas itu diakibatkan ia selalu memikul makanan pada malam hari dan membagi-bagikannya kepada orang-orang miskin."
Ala kulli hal, sedekah-sedekah yang telah ia berikan secara diam-diam adalah anugerah yang teragung dan memiliki pahala yang sangat besar di sisi Allah.
Keberanian

Salah satu karakter kejiwaan Imam Zainul Abidin as. adalah keberanian. Ia adalah figur manusia yang paling berani. Ia adalah putra Husain, sang cucu Adam yang paling pemberani. Di antara manifestasi keberanian Imam Zainul Abidin as. adalah kisah berikut ini:
Ketika Imam Zainul Abidin as. dihadapkan kepada 'Ubaidillah bin Marjânah sebagai tawanan perang, ia menyambutnya dengan ucapan-ucapan yang mengejek dan mengolok-olok. Imam Zainul Abidin as. menjawab ejekan dan olok-olokannya itu dengan ucapan berapi-api yang lebih dahsyat dari goresan pedang dan sabetan cemeti. Ia tidak gentar sedikit pun dengan kekuasaan dan kerajaan yang telah digenggamnya itu. Ibn Marjânah murka dan seluruh urat lehernya tegang. Ia memerintahkan supaya Imam Zainul Abidin dibunuh. Akan tetapi, Imam Zanul Abidin tidak gentar sedikit pun dan berkata dengan tenang: "Kami dibunuh adalah suatu hal yang biasa dan kemuliaan kami di sisi Allah adalah syahadah."
Setelah itu, Ibn Marjânah mengirimnya dengan disertai oleh kaum wanita keluarga wahyu sebagai tawanan kepada Yazîd bin Mu'âwiyah. Imam Zainul Abidin as. menggunakan kesempatan untuk naik ke atas mimbar demi melontarkan sebuah pidato yang memuat kemaslahatan muslimin, padahal ia sedang sakit pada waktu itu. Yazîd menolak permintaannya. Akan tetapi, penduduk Syam memaksa Yazîd (untuk mengizinkannya berpidato). Mereka bertanya kepada Yazîd: "Apa kesitimewaan orang ini?" Yazîd menjawab: "Ia berasal dari sebuah keluarga yang telah mengarungi samudera ilmu pengetahuan." Setelah berkata demikian, Yazîd mengizinkannya berpidato.
Imam Ali Zainul Abidin as. melontarkan sebuah pidato yang membuat mata menangis dan hati gemetar. Yazîd pun kebingungan dan kehilangan jejak. Ia tidak menemukan jalan lain untuk menyelematkan diri dari seluruh cela yang telah dibeberkan oleh Imam Zainul Abidin as. itu kecuali dengan memotong pidatonya. Untuk itu, ia memerintahkan muazin untuk mengumandangkan azan dan memotong pidato Imam Zainul Abidin as.
Aku tidak pernah menemukan sebuah pidato yang lebih indah dan menawan dari pidato yang telah dilontarkan oleh Imam Zainul Abidin itu. Di dalam pidato itu, ia memperkenalkan kepada penduduk Syam jati diri dan kedudukannya di sisi Rasulullah saw. yang selama ini tidak diketahui oleh mereka. Ia meluruskan tuduhan terhadap Ahlul Bait yang telah disebarluaskan oleh penguasa pada waktu itu bahwa mereka adalah kaum Khawarij yang telah membangkang dan berpisah dari jamaah (muslimin). Yazîd sang lalim khawatir akan terjadi fitnah dan perubahan opini masyarakat umum terhadap dirinya. Oleh karena itu, ia bergegas mengusir Imam Zainul Abidin as. beserta kaum wanita keluarga risalah Ilahiah itu dari Syam ke Yatsrib (Madinah).
Imam Zainul Abidin di Madinah

Ketika Imam Zainul Abidin as. telah menetap di Madinah, ia melihat bahwa penguasa dinasti Bani Umayyah berusaha sekuat tenaga untuk memadamkan pelita syariat Islam. Ia tidak memiliki kepedulian sedikit pun terhadap hukum-hukum syariat Islam dan malah mengajak masyarakat untuk menghidupkan kembali slogan-slogan jahiliah dan memalingkan mereka dari (ajaran) kitab Allah 'Azza Wajalla. Melihat itu, Imam Zainul Abidin as. melakukan peran (aktif dan) positifnya untuk menghidupkan kembali ajaran-ajaran Islam. Ia membangun sebuah hawzah ilmiah yang mayoritas dihadiri oleh para budak yang telah ia beli dan ia bebaskan. Ia melontarkan banyak ceramah berkenaan dengan hukum-hukum fiqih Islam, adab-adab syariat, dan lain sebagainya di hadapan mereka. Para ulama juga ikut menghadiri majelis-majelis (ilmiahnya). Mereka mencatat seluruh hukum yang ia fatwakan dan hikmah-hikmah yang ia lontarkan. Layak disebutkan di sini bahwa mayoritas fuqaha yang hidup kala itu adalah alumni hawzahnya itu. Kami telah menyebutkan biografi ringkas mereka dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Zainul Abidin as.
Imam Zainul Abidin as. memiliki sebuah peninggalan yang sangat berharga dalam bidang ilmu pengetahuan dan etika yang tak kalah pentingnya dengan hawzah ilmiah yang telah ia bangun itu. Harta peninggalan itu adalah doa-doanya yang lebih dikenal dengan sebutan Ash-Shahîfah As-Sajjâdiyah. Para ulama kadang-kadang menyebut kitab doa ini dengan nama "Zabur Keluarga Muhammad" dan kadang-kadang juga dengan nama "Injil keluarga Muhammad". Mereka meyakini bahwa kitab doa ini menduduki ranking kedua setelah Al-Qur'an dan Nahjul Balâghah. Kitab doa ini-sungguh-adalah sebuah metode kehidupan Islami yang sangat sempurna, mata air etika, dan harta simpanan dunia pemikiran Islami. Harta warisan ini memiliki tempat yang sangat tinggi di dalam lingkungan kehidupan ilmiah (muslimin). Oleh karena itu, mereka selalu tekun mempelajari dan menulis syarah untuknya. Buku-buku syarah kitab doa ini telah melampaui angka enam puluh. Di samping itu, kitab doa itu juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman. Para ilmuwan Barat telah berhasil mendapatkan harta melimpah dalam kitab ini berkenaan dengan prinsip-prinsip pendidikan, etika yang tinggi, metode-metode sulûk, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan dunia pemikiran Islami.
Ibadah Imam Zainul Abidin

Muslimin sepakat bahwa Imam Zainul Abidin as. adalah figur manusia yang paling 'abid dan paling taat kepada Allah swt. Umat manusia tidak pernah melihat orang seperti dia dalam ibadahnya. Orang-orang bertakwa dan saleh takjub dengan ibadahnya itu. Gelar Zainul Abidin dan Sayyidus Sâjidîn dalam sejarah dunia Islam yang telah diberikan kepadanya sudah cukup untuk membuktikan realita ini.
Ibadah Imam Zainul Abidin as. tidak bersifat mengekor kepada orang lain. Ibadah ini tumbuh dari keimanannya yang dalam kepada Allah swt., sama seperti pengetahuannya kepada-Nya. Ia tidak menyembah-Nya lantaran rakus terhadap surga-Nya dan takut akan api neraka-Nya. Ia menyembah-Nya lantaran Dia berhak untuk disembah. Sikapnya ini tidak berbeda dengan sikap kakeknya, Imam Amirul Mukminin as., junjungan para 'arif dan pemimpin orang-orang yang bertakwa itu. Amirul Mukminin menyembah Allah seperti ibadah orang-orang yang merdeka. Cucunya, Zainul Abidin as., mengikuti jejaknya. Imam Zainul Abidin as. pernah menegaskan ketulusannya dalam beribadah kepada Allah seraya berkata: "Aku tidak suka jika aku menyembah Allah, sedangkan tujuanku hanyalah pahala-Nya. Dengan tujuan ini, aku tidaklah berbeda dengan seorang hamba yang tamak; apabila ia suka, maka ia akan bertindak dan apabila tidak suka, maka ia akan diam. Aku juga tidak suka jika aku menyembah-Nya lantaran takut akan siksa-Nya. Dengan tujuan ini, aku tidaklah berbeda dengan seorang budak yang berhati buruk; ia tidak akan bertindak apabila tidak takut (akan hardikan tuannya)."
Sebagian sahabat yang duduk di situ menghadap kepadanya seraya bertanya: "Atas dasar apakah Anda menyembah-Nya?"
Imam Zainul Abidin as. menjawab: "Aku menyembah-Nya lantaran memang Dia pantas untuk itu sehubungan dengan seluruh nikmat (yang telah dilimpahkan-Nya)."
Ibadah Imam Zainul Abidin as. tumbuh dari sebuah pengetahuan yang tidak dicampuri oleh keraguan sedikit pun. Ibadah itu tidak dilahirkan oleh rasa tamak atau takut. Ibadah itu hanya dilahirkan oleh keimanan yang dalam. Ia pernah membicarakan tentang aneka ragam ibadah seraya berkata: "Ada sebagian kaum yang menyembah Allah lantaran rasa takut, dan inilah ibadah para budak. Ada sebagian kaum yang menyembah Allah lantaran mereka menginginkan sesuatu, dan itulah ibadah kaum pedagang. Sementara itu, ada sebagian kaum yang menyembah Allah lantaran hanya ingin menghaturkan rasa syukur, dan itulah ibadah orang-orang yang merdeka."
Inilah aneka ragam ibadah (dalam kaca mata Imam Zainul Abidin as). Ibadah yang memiliki timbangan yang paling berat dan paling dicintai oleh Allah adalah ibadah orang-orang yang merdeka yang hanya dilakukan hanya untuk menghaturkan rasa syukur kepada Dzat Pemberi Nikmat Yang Maha Agung, bukan lantaran tamak kepada pahala-Nya dan juga bukan karena takut terhadap siksa-Nya.
Imam Zainul Abidin as. telah menekankan hal ini dalam sebuah hadis yang lain. Ia berkata: "Ibadah orang-orang yang merdeka tidak akan terlaksana kecuali hanya untuk menghaturkan rasa syukur, bukan lantaran takut dan juga bukan karena menginginkan sesuatu."
Rasa cinta kepada Allah telah melebur menjadi satu dengan kalbu Imam Zainul Abidin as. sehingga rasa ini menjadi unsur utama pembentuk jiwanya. Para perawi hadis berkata: "Dalam setiap waktu, ia selalu sibuk dalam ibadah kepada Allah dan taat kepada-Nya."
Sahayanya pernah ditanya tentang ibadahnya. Ia malah balik bertanya: "Kuceritakan secara panjang atau kusingkat?"
Penanya menjawab: "Singkat saja."
Sahaya itu menjawab: "Di siang hari, aku tidak pernah menyuguhkan makanan untuknya dan pada malam hari, aku tidak pernah menghamparkan alas tidur untuknya."
Imam Zainul Abidin as. menjalani hidup ini dengan berpuasa di siang hari dan beribadah di malam hari; kadang-kadang ia sibuk mengerjakan salat dan pada kesempatan yang lain, ia sibuk menyebarkan sedekah secara diam-diam.
Satu hal yang pasti adalah, bahwa dalam sejarah orang-orang yang zuhud, tidak pernah ditemukan seorang figur manusia seperti Imam Zainul Abidin as. dalam ketulusan dan ketaatan kepada Allah.
Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sebagian sisi ibadah Imam Zainul Abidin as.:

1. Wudu

Wudu adalah cahaya, kesucian dari segala macam dosa, dan mukadimah pertama sebelum mengerjakan salat. Imam Zainul Abidin as. selalu dalam kondisi suci. Para perawi hadis menceritakan kekhusyukannya dalam berwudu. Mereka berkata: "Jika ia ingin berwudu, tubuhnya pucat. Keluarganya pernah bertanya, 'Apa yang terjadi pada diri Anda ketika Anda hendak berwudu?' Ia menjawab, 'Apakah kamu tahu di hadapan siapakah aku sedang berdiri?'"
Imam Ali Zainul Abidin as. memberikan perhatian yang sangat besar terhadap masalah ini. Ia tidak pernah dibantu oleh siapa pun ketika hendak berwudu. Untuk menyediakan air wudu, ia menimba air sendiri dan kemudian menutupinya sebelum berangkat tidur. Ketika bangun tidur di malam hari, ia menggosok gigi dan kemudian berwudu. Setelah usai berwudu, ia mulai mengerjakan salat.

2. Salat

Salat-seperti ditegaskan dalam beberapa hadis-adalah mikraj seorang mukmin dan korban setiap orang yang bertakwa. Salat adalah sebuah keinginan terbesar yang tersimpan di dalam diri Imam Zainul Abidin as. Ia menjadikan salat ini sebagai mikraj yang dapat mengangkat jiwanya menuju ke haribaan Allah, Pencipta alam semesta. Apabila ia ingin memulai salat, tubuhnya gemetar. Ia pernah ditanya tentang hal ini. Dalam jawAbânnya, ia menegaskan: "Tahukah kamu di hadapan siapakah aku sedang berdiri dan dengan siapakah aku sedang bermunajat?"
Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sebagian tindakan yang dilakukan oleh Imam Zainul Abidin as. ketika hendak mengerjakan salat:

a. Menggunakan Minyak Wangi

Apabila ia ingin mengerjakan salat, ia menggunakan minyak wangi di dalam botol yang telah disediakan di tempat salatnya. Bau semerbak minyak misik tercium dari dalam botol itu.

b. Pakaian Salat

Jika ia ingin mengerjakan salat, ia memakai pakaian berbulu kasar. Hal ini ia lakukan lantaran ingin menunjukkan kehinaan dirinya di hadapan Sang Maha Pencipta.

c. Khusyuk

Salat Imam Zainul Abidin as. adalah sebuah manifestasi kepasrahan yang sempurna terhadap Allah swt. dan keterputusan dari alam materi. Ia tidak merasakan sesuatu yang berada di sekitarnya. Bahkan, ia tidak merasakan keberadaan dirinya sendiri. Seluruh kalbunya terpaut kepada Allah secara sempurna. Ketika ingin menjelaskan kondisi salatnya ini, para perawi hadis berkata: "Ketika ingin mengerjakan salat, kulitnya berubah warna. Seluruh anggota tubuhnya gemetar lantaran takut kepada Allah. Pada saat berdiri, ia berdiri bak seorang budak yang hina di hadapan tuannya. Ia mengerjakan salat seperti orang yang mengerjakan salat perpisahan di mana ia tidak akan pernah mengerjakan salat lagi setelah itu."
Ketika menceritakan kekhusyukan salat ayahnya, Imam Muhammad Al-Bâqir as. berkata: "Ketika Ali bin Husain berdiri mengerjakan salat, ia berdiri bak sepotong batang kayu yang tidak bergerak sama sekali kecuali bagian-bagian kayu yang digerakkan oleh angin."
Salah satu manifestasi lain dari kekhusyukan salat Imam Ali Zainul Abidin as. adalah ketika sujud, ia tidak mengangkat kepalanya sehingga keringatnya mengucur atau seakan-akan ia merendam di dalam air lantaran air matanya yang mengucur deras.
Para perawi hadis meriwayatkan bahwa Abu Hamzah Ats-Tsumâlî pernah melihat Imam Zainul Abidin as. mengerjakan salat. Jubahnya terjatuh dari salah satu bahunya dan ia tidak membenahinya. Abu Hamzah menanyakan hal itu kepadanya, dan ia menjawab: "Celakalah kamu! Tahukah kamu di hadapan siapakah aku tadi berdiri? Sesungguhnya salat seorang hamba tidak akan diterima kecuali sekadar konsentrasi hati yang dimilikinya."
Keterpautan hatinya kepada Allah pada saat mengerjakan salat sangat kuat. Ketika salah seorang putranya jatuh ke dalam sumur, penduduk Madinah merasa khawatir dan lalu mereka menyelamatkannya. Pada waktu itu, Imam Zainul Abidin as. sedang mengerjakan salat di dalam mihrab dan tidak menyadari apa yang telah terjadi. Ketika usai salat, ia diberitahukan tentang hal itu. Ia hanya berkata: "Aku tidak merasakan apa-apa. Karena, aku tadi sedang bermunajat dengan Tuhan Yang Maha Agung."
Pada suatu hari, pernah terjadi kebakaran di rumahnya dan ia sedang mengerjakan salat. Ia tidak merasakan hal itu. Ketika usai mengerjakan salat, ia diberitahukan apa yang telah terjadi. Ia menjawab: "Api neraka yang maha dahsyat telah membuatku lupa akan api tersebut."
Abdul Karim Al-Qusyairî memiliki sebuah interpretasi untuk realita dahsyat yang senantiasa menyertai Imam Zainul Abidil as. pada saat salat ini. Yaitu realita itu terjadi lantaran hati tidak menyadari apa terjadi pada makhluk sekitar. Hal itu karena panca indera sibuk mengamati apa yang sedang dihadapinya. Hati kadang-kadang tidak menyadari perasaan dirinya sendiri dan hal itu lantaran ia mengingat pahala atau memikirkan siksa.

d. Salat Seribu Rakaat

Para penulis biografi Imam Zainul Abidin as. sepakat bahwa ia selalu mengerjakan salat sebanyak seribu rakaat dalam siang dan malam. Ia memiliki lima ratus pohon kurma dan mengerjakan salat sebanyak dua rakaat di bawah setiap pohon kurma itu. Karena banyaknya salat yang ia kerjakan, seluruh anggota sujudnya mengeras seperti kulit lutut unta. Setiap bagian yang sudah mengeras itu jatuh pada setiap tahun dan ia mengumpulkannya dalam sebuah kantong. Ketika meninggal dunia, kantong itu dikuburkan juga bersamanya.

e. Mengqadha Salat Sunah

Selama hidup, Imam Zainul Abidin as. tidak pernah meninggalkan salat sunah. Ia senantiasa mengqadha di malam hari salat sunah siang hari yang tidak sempat ia kerjakan. Ia selalu berwasiat kepada putra-putrinya untuk melakukan hal ini. Ia berpesan kepada mereka: "Hai putra-putriku, hal ini tidak wajib bagimu. Akan tetapi, aku ingin jika kamu telah membiasakan diri dengan sebuah kebiasaan baik, hendaknya kamu melakukannya secara kontinyu."

f. Banyak Bersujud

Kondisi terdekat yang dimiliki oleh seorang hamba kepada Tuhannya-seperti ditegaskan oleh banyak hadis-adalah kondisi sujud. Imam Ali Zainul Abidin as. adalah figur manusia yang banyak melakukan sujud karena tunduk kepada Allah dan merasa hina di hadapan-Nya. Para perawi hadis meriwayatkan bahwa pada suatu harinya pernah keluar menuju ke gurun sahara. Salah seorang budaknya membuntuti ke mana ia pergi. Tiba-tiba ia menemukan Imam Zainul Abidin as. sedang bersujud di atas sebuah batu keras. Budak itu memperhatikan dan menghitung apa yang ia baca dalam sujud itu. Imam Zainul Abidin as. membaca doa berikut ini sebanyak seribu kali:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ حَقًّا حَقًّا، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ تَعَبُّدًا وَ رِقًّا، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ إِيْمَانًا وَ صِدْقًا

Imam Zainul Abidin as. senantiasa melakukan sujud syukur dan membaca bacaan berikut ini sebanyak seratus kali:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ شُكْرًا

Setelah itu, ia membaca doa berikut ini:
يَا ذَا الْمَنِّ الَّذِيْ لاَ يَنْقَطِعُ أَبَدًا، وَلاَ يُحْصِيْهِ غَيْرُهُ عَدَدًا، وَ يَا ذَا الْمَعْرُوْفِ الَّذِيْ لاَ يَنْفَدُ

أَبَدًا، يَا كَرِيْمُ يَا كَرِيْمُ

Setelah itu, ia merendahkan diri dan menyebutkan hajatnya.

g. Banyak Bertasbih

Imam Zainul Abidin as. senantiasa menyibukkan diri dengan berzikir kepada Allah, bertasbih, dan memuji-Nya. Ia selalu membaca tasbih berikut ini:
سُبْحَانَ مَنْ أَشْرَقَ نُوْرُهُ كُلَّ ظُلْمَةٍ، سُبْحَانَ مَنْ قَدَّرَ بِقُدْرَتِهِ كُلَّ قُدْرَةٍ، سُبْحَانَ مَنِ احْتَجَبَ عَنِ

الْعِبَادِ بِطَرَائِقِ نُفُوْسِهِمْ، فَلاَ شَيْءَ يَحْجُبُهُ، سُبْحَانَ اللهِ وَ بِحْمَدِهِ


h. Selalu Mengerjakan Salat Malam

Salah satu salat sunah yang tidak pernah ia tinggalkan adalah salat malam. Ia senantiasa mengerjakannya secara kontinyu, baik ia berada dalam perjalanan atau tidak, hingga ia meninggal dunia.

i. Doa Setelah Salat Malam

Setelah usai mengerjakan salat malam, Imam Zainul Abidin as. selalu membaca doa berikut ini:
اَللَّهُمَّ يَا ذَا الْمُلْكِ الْمُتَأَبِّدِ بِالْخُلُوْدِ وَ السُّلْطَانِ، الْمُمْتَنِعِ بِغَيْرِ جُنُوْدٍ وَلاَ أَعْوَانٍ، وَ

الْعِزِّ الْبَاقِيْ عَلَى مَرِّ الدُّهُوْرِ وَ خَوَالِي الْأَعْوَامِ وَ مَوَاضِي الْأَزْمَانِ وَ الْأَيَّامِ، عَزَّ سُلْطَانُكَ

عِزًّا لاَ حَدَّ لَهُ بِأَوَّلِيَّةٍ، وَلاَ مُنْتَهَى لَهُ بِآخِرِيَّةٍ، وَ اسْتَعْلَى مُلْكُكَ عُلُوًّا، سَقَطَتْ الْأَشْيَاءُ

دُوْنَ بُلُوْغِ أَمَدِهِ، وَلاَ يَبْلُغُ أَدْنَى مَا اسْتَأْثَرْتَ بِهِ مِنْ ذَلِكَ أَقْصَى نَعْتِ النَّاعِتِيْنَ. ضَلَّتْ فِيْكَ

الصِّفَاتُ، وَ تَفَسَّخَتْ دُوْنَكَ النُّعُوْتُ، وَ حَارَتْ فِيْ كِبْرِيَائِكَ لَطَائِفُ الْأَوْهَامِ، كَذَلِكَ أَنْتَ اللهُ

الْأَوَّلُ فِي أَوَّلِيَّتِكَ، وَ عَلَى ذَلِكَ أَنْتَ دَائِمٌ لاَ تَزُوْلُ، وَ أَنَا الْعَبْدُ الضَّعِيْفُ عَمَلاً الْجَسِيْمُ

أَمَلاً، خَرَجَتْ مِنْ يَدَيَّ أَسْبَابُ الْوَصَلاَتِ إِلاَّ مَا وَصَلَهُ رَحْمَتُكَ، وَ تَقَطَّعَتْ عَنِّيْ عِصَمُ الْآمَالِ إِلاَّ

مَا أَنَا مُعْتَصِمٌ بِهِ مِنْ عَفْوِكَ، قَلَّ عِنْدِيْ مَا أَعْتَدُّ بِهِ مِنْ طَاعَتِكَ، وَ كَثُرَ عَلَيَّ مَا أَبُوْءُ بِهِ مِنْ

مَعْصِيَتِكَ، وَلَنْ يَضِيْقَ عَلَيْكَ عَفْوٌ عَنْ عَبْدِكَ وَ إِنْ أَسَاءَ، فَاعْفُ عَنِّيْ ....

Frase doa ini memuat pengagungan dan pengesaan terhadap Allah swt. Ia menyebutkan sebagian sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi. Di antara sifat-sifat itu adalah kekekalan-Nya yang tidak berbatas dan kerajaan-Nya yang maha kuat nan kokoh yang tidak memerlukan dukungan bala tentara dan pendukung. Seluruh sifat (yang kita bayangkan) tidak mampu mengungkapkan satu sifat-Nya. Maha tinggi Allah setinggi-tinggi-Nya.
Imam Ali Zainul Abidin as. mengungkapkan kehinaan, kekhusyukan, dan penghambaannya yang mutlak hanya kepada Allah swt. Seluruh harapan dan cita-citanya hanya terpaut kepada-Nya. Ia sungguh hanya berpegang teguh dan pasrah kepada-Nya. Marilah kita simak bersama frase doa selanjutnya berikut ini:
اَللَّهُمَّ وَقَدْ أَشْرَفَ عَلَى خَفَايَا الْأَعْمَالِ عِلْمُكَ، وَ انْكَشَفَ كُلُّ مَسْتُوْرٍ دُوْنَ خُبْرِكَ، وَلاَ تَنْطَوِيْ

عَنْكَ دَقَائِقُ الْأُمُوْرِ، وَلاَ تَعْزُبُ عَنْكَ غُيَّابُ السَّرَائِرِ، وَقَدِ اسْتَحْوَذَ عَلَيَّ عَدُوُّكَ الَّذِي اسْتَنْظَرَكَ

لِغَوَايَتِيْ فَأَنْظَرْتَهُ، وَاسْتَمْهَلَكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ لإِضِلاَلِيْ فَأَمْهَلْتَهُ، فَأَوْقَعَنِيْ، وَقَدْ هَرَبْتُ

إِلَيْكَ مِنْ صَغَائِرِ ذُنُوْبٍ مُوْبِقَةٍ وَ كَبَائِرِ أَعْمَالٍ مُرْدِيَةٍ، حَتَّى إِذَا قَارَفْتُ مَعْصِيَتَكَ وَ اسْتَوْجَبْتُ

بِسُوْءِ سَعْيِيْ سَخَطَكَ فَتَلَ عَنِّيْ عِذَارَ عُذْرِهِ وَ تَلَقَّانِيْ بِكَلِمَةِ كُفْرِهِ وَ تَوَلَّى الْبَرَاءَةَ مِنِّي وَ

أَدْبَرَ مُوَلِّيًا عَنِّيْ فَأَصْحَرَنِيْ لِغَضَبِكَ فَرِيْدًا وَ أَخْرَجَنِيْ إِلَى فِنَاءِ نَقِمَتِكَ طَرِيْدًا، لاَ شَفِيْعَ

يَشْفَعُ لِيْ إِلَيْكَ وَلاَ خَفِيْرَ يُؤْمِنَنِيْ عَلَيْكَ وَلاَ حِصْنَ يَحْجُبُنِيْ عَنْكَ وَلاَ مَلاَذَ أَلْجَأُ إِلَيْهِ مِنْكَ،

فَهَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ وَ مَحَلُّ الْمُعْتَرِفِ لَكَ، فَلاَ يَضِيْقَنَّ عَنِّيْ فَضْلُكَ وَلاَ يَقْصُرَنَّ دُوْنِيْ عَفْوُكَ

وَلاَ أَكُنْ أَخْيَبَ عِبَادِكَ التَّائِبِيْنَ وَلاَ أَقْنَطَ وُفُوْدِكَ الْآمِلِيْنَ، وَ اغْفِرْ لِيْ إِنَّكَ خَيْرُ الْغَافِرِيْنَ ...

Pada frase ini, Imam Zainul Abidin as. mengungkapkan kelemahan jiwa manusia menghadapi hawa nafsu dan ketidakmampuannya untuk melawan godaan setan terkutuk yang selalu memanfaatkan sifat-sifat buruk yang terdapat di dalam diri manusia itu, seperti rasa tamak, takabur dan lain sebagainya. Setan telah menguasai seluruh perasaan dan naluri manusia. Dengan ini, setan dapat menjerumuskan manusia ke dalam jurang dosa dan menjauhkannya dari setiap jalan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah swt. Imam Zainul Abidin as. memohon perlindungan kepada Allah swt. dari godaan musuh jahat dan pemakar ini. Marilah kita simak frase doa selanjutnya berikut ini:
اَللَّهُمَّ إِنَّكَ أَمَرْتَنِيْ فَتَرَكْتُ، وَ نَهَيْتَنِيْ فَرَكِبْتُ، وَ سَوَّلَ لِيَ الْخَطَأَ خَاطِرُ السُّوْءِ فَفَرَّطْتُ،

وَلاَ أَسْتَشْهِدُ عَلَى صِيَامِيْ نَهَارًا، وَلاَ أَسْتَجِيْرُ بِتَهَجُّدِيْ لَيْلاً، وَلاَ تُثْنِيْ عَلَيَّ بِإِحْيَائِهَا سُنَّةٌ،

حَاشَى فُرُوْضِكَ الَّتِيْ مَنْ ضَيَّعَهَا هَلَكَ، وَلَسْتُ أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِفَضْلِ نَافِلَةٍ مَعَ كَثِيْرِ مَا أَغْفَلْتُ مِنْ

وَظَائِفِ فُرُوْضِكَ، وَتَعَدَّيْتُ عَنْ مَقَامَاتِ حُدُوْدِكَ إِلَى حُرُمَاتٍ انْتَهَكْتُهَا وَكَبَائِرِ ذُنُوْبٍ اجْتَرَحْتُهَا،

كَانَتْ عَافِيُتُكَ لِيْ مِنْ فَضَائِحِهَا سِتْرًا، وَهَذَا مَقَامُ مَنِ اسْتَحْيَى لِنَفْسِهِ مِنْكَ وَسَخِطَ عَلَيْهَا وَرَضِيَ

عَنْكَ، فَتَلَقَّاكَ بِنَفْسٍ خَاشِعَةٍ وَرَقَبَةٍ خَاضِعَةٍ وَظَهْرٍ مُثْقِلٍ مِنَ الْخَطَايَا، وَاقِفًا بَيْنَ الرَّغْبَةِ إِلَيْكَ

وَالرَّهْبَةِ مِنْكَ، وَأَنْتَ أَوْلَى مَنْ رَجَاهُ وَأَحَقُّ مَنْ خَشِيَهُ وَاتَّقَاهُ، فَأَعْطِنِيْ يَا رَبِّ مَا رَجَوْتُ

وَآمِنِّيْ مَا حَذَرْتُ، وَعُدْ عَلَيَّ بِعَائِدَةِ رَحْمَتِكَ، إِنَّكَ أَكْرَمُ الْمَسْؤُوْلِيْنَ

Imam Zainul Abidin as. memaparkan kehinaan dan kekhusyukannya di hadapan Allah swt. Ia melihat bahwa seluruh amal baik yang telah dilaksanakannya, seperti menghidupkan malam dengan ibadah, berpuasa di siang hari, mengerjakan seluruh salat sunah, menghidupkan kembali sunah-sunah Islam, dan lain sebagainya tidak memiliki nilai yang seberapa di sisi Allah swt. Tobat manakah yang serupa dengan tobat ini? Dan kepasrahan manakah yang dapat menandingi kepasrahan ini? Sungguh imam yang satu ini adalah figur yang unggul di dunia orang-orang bertakwa dan saleh. Marilah kita menyimak frase doa selanjutnya berikut ini:
اَللَّهُمَّ وَإِذْ سَتَرْتَنِيْ بِعَفْوِكَ وَتَغَمَّدْتَنِيْ بِفَضْلِكَ فِيْ دَارِ الْفَنَاءِ بِحَضْرَةِ الْأَكْفَاءِ فَأَجِرْنِيْ

مِنْ فَضِيْحَاتِ دَارِ الْبَقَاءِ عِنْدَ مَوَاقِفِ الْأَشْهَادِ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ وَالرُّسُلِ الْمُكَرَّمِيْنَ

وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ، مِنْ جَارٍ كُنْتُ أُكَاتِمُهُ سَيِّئَاتِيْ وَمِنْ ذِيْ رَحِمٍ كُنْتُ أَحْتَشِمُ مِنْهُ فِيْ

سَرِيْرَاتِيْ، لَمْ أَثِقْ بِهِمْ رَبِّ فِي السَّتْرِ عَلَيَّ، وَوَثِقْتُ بِكَ رَبِّ فِي الْمَغْفِرَةِ لِيْ، وَأَنْتَ أَوْلَى مَنِ

وُثِقَ بِهِ وَأَعْطَى مَنْ رُغِبَ إِلَيْهِ وَأَرْأَفُ مَنِ اسْتُرْحِمَ، فَارْحَمْنِيْ


Pada frase doa ini, Imam Zainul Abidin as. mengungkapkan kepercayaan dan harapannya yang besar terhadap ampunan dan karunia Allah. Ia memohon kepada-Nya ampunan dan keridaan di hari akhirat. Ia juga memohon hamparan tirai Allah yang senantiasa dibentangkan bagi para hamba-Nya yang bermaksiat, sebagaimana juga memohon perlindungan dari seluruh cela yang akan terungkap di hari pembalasan di hadapan para saksi yang terdiri dari para malaikat muqarab, rasul, syuhada, dan orang-orang yang saleh. Dengan ungkapan ini, ia telah memberikan pelajaran kepada muslimin yang telah berbuat maksiat untuk bertobat kepada Allah dengan sungguh-sungguh. Marilah kita menyimak kembali frase doanya selanjutnya berikut ini:
اَللَّهُمَّ وَأَنْتَ حَدَرْتَنِيْ مَاءً مَهِيْنًا مِنْ صُلْبٍ مُتَضَائِقِ الْعِظَامِ حَرِجِ الْمَسَالِكِ إِلَى رَحِمٍ ضَيِّقَةٍ،

سَتَرْتَهَا بِالْحُجُبِ، تُصَرِّفُنِيْ حَالاً عَنْ حَالٍ حَتَّى انْتَهَيْتَ بِيْ إِلَى تَمَامِ الصُّوْرَةِ، وَأَثْبَتَّ فِي

الْجَوَارِحِ كَمَا نَعَتَّ فِي كِتَابِكَ ?نُطْفَةً ثُمَّ عَلَقَةً ثُمَّ مُضْغَةً ثُمُّ عِظَامًا ثُمُّ كَسَوْتَ الْعِظَامَ لَحْمًا

ثُمَّ أَنْشَأْتَنِيْ خَلْقًا آخَرَ كَمَا شِئْتَ?، حَتَّى إِذَا احْتَجْتُ إِلَى رِزْقِكَ وَلَمْ أَسْتَغْنِ عَنْ غِيَاثِ فَضْلِكَ

جَعَلْتَ لِيْ قُوْتًا مِنْ فَضْلِ طَعَامٍ وَشَرَابٍ أَجْرَيْتَهُ لِأَمَتِكَ الَّتِيْ أَسْكَنْتَنِيْ جَوْفَهَا وَأَوْدَعْتَنِيْ

قَرَارَ رَحِمِهَا، وَلَوْ تَكِلُنْيْ يَا رَبِّ فِيْ تِلْكَ الْحَالاَتِ إِلَى حَوْلِي أَوْ تَضْطَرُّنِيْ إِلَى قُوَّتِيْ لَكَانَ

الْحَوْلُ عَنِّيْ مُعْتَزِلاً، وَلَكَانَتْ الْقُوَّةُ مِنِّيْ بَعِيْدَةً، فَغَذَوْتَنِيْ بِفَضْلِكَ غِذَاءَ الْبِرِّ اللَّطِيْفِ،

تَفْعَلُ ذَلِكَ بِيْ تَطَوُّلاً عَلَيَّ إِلَى غَايَتِيْ هَذِهِ لاَ أَعْدَمُ بِرَّكَ وَلاَ يُبْطِئُ بِيْ حُسْنُ صَنِيْعِكَ، وَلاَ

تَتَأَكَّدُ مَعَ ذَلِكَ ثِقَتِيْ فَأَتَفَرَّغُ لِمَا هُوَ أَحْظَى لِيْ عِنْدَكَ، قَدْ مَلَكَ الشَّيْطَانُ عِنَانِيْ فِيْ سُوْءِ

الظَّنِّ وَضَعْفِ الْيَقِيْنِ، فَأَنَا أَشْكُوْ سُوْءَ مُجَاوَرَتِهِ لِيْ وَطَاعَةَ نَفْسِيْ لَهُ، وَاَسْتَعْصِمُكَ مِنْ مَلَكَتِهِ،

وَأَتَضَرَّعُ إِلَيْكَ فِيْ صَرْفِ كَيْدِهِ عَنِّيْ، وَأَسْأَلُكَ فِيْ أَنْ تُسَهِّلَ إِلَى رِزْقِيْ سَبِيْلاً، فَلَكَ الْحَمْدُ

عَلَى ابْتِدَائِكَ بِالنِّعَمِ الْجِسَامِ وَإِلْهَامِكَ الشُّكْرَ عَلَى الْإِحْسَانِ وَالْإِنْعَامِ، فَصَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ،

وَسَهِّلْ عَلَيَّ رِزْقِيْ، وَأَنْ تُقَنِّعَنِيْ بِتَقْدِيْرِكَ لِيْ، وَأَنْ تُرْضِيَنِيْ بِحِصَّتِيْ فِيْمَا قَسَمْتَ لِيْ، وَأَنْ

تَجْعَلَ مَا ذَهَبَ مِنْ جِسْمِيْ وَعُمْرِيْ فِيْ سَبِيْلِ طَاعَتِكَ، إِنَّكَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ


Frase-frase doa ini dipenuhi oleh argumentasi yang paling kuat atas keberadaan Sang Pencipta Yang Maha Agung. Argumentasi tersebut adalah, bahwa Allah menciptakan manusia dari setetes air yang hina. Setelah itu, Dia meletakkannya di dalam sebuah rahim seorang wanita yang sangat sempit. Kemudian, Dia mengembangkannya dari satu kondisi ke kondisi yang lain hingga manusia itu sampai pada batas kesempurnaannya. Manusia ini adalah salah satu makhluk Allah yang paling agung. Hal itu lantaran makhluk ini memiliki komponen-komponen yang sangat menakjubkan, seperti komponen berpikir, melihat, mendengar, dan lain sebagainya. Hal itu semua membuktikan keberadaan Sang Pencipta Yang Maha Bijaksana.
Doa Imam Zainul Abidin as. ini sebenarnya terilhami oleh ayat Al-Qur'an. Dalam sebuah ayat, Al-Qur'an memaparkan perkembangan penciptaan manusia. Layak disebutkan di sini adalah Al-Qur'an telah memaparkan tata cara penciptaan janin manusia dengan sangat teliti dan memberitahukan hal itu kepada umat manusia.
Syaid Quthub menulis: "Seseorang pasti takjub menyimak pemaparan Al-Qur'an tentang hakikat penciptaan janin manusia. Hakikat ini tidak pernah tersingkap secara mendetail, kecuali akhir-akhir ini setelah cAbâng ilmu pengetahuan embriologi berkembang pesat. Hal itu lantaran sel-sel tulang berbeda dengan sel-sel daging. Telah terbukti (secara medis) bahwa sel-sel tulang adalah sel-sel pertama yang membentuk seorang janin. Tidak satu pun sel daging yang terbentuk melainkan setelah sel-sel tulang itu terbentuk terlebih dahulu dan seluruh bentuk tulang seorang janin telah terbentuk secara sempurna. Realita ini adalah hakikat yang telah ditetapkan oleh ayat Al-Qur'an ...."
Ala kulli hal, setelah Imam Zainul Abidin as. memaparkan nikmat Allah yang sangat besar itu, ia memohon kepada-Nya supaya menyelamatkan dirinya dari godaan setan. Karena, setan ini adalah musuh pertama manusia. Marilah kita simak frase terakhir doanya berikut ini:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ نَارٍ تَغَلَّظْتَ بِهَا عَلَى مَنْ عَصَاكَ، وَتَوَعَّدْتَ بِهَا مَنْ صَدَفَ عَنْ رِضَاكَ،

وَمِنْ نَارٍ نُوْرُهَا ظُلْمَةٌ وَهَيِّنُهَا أَلِيْمٌ وَبَعِيْدُهَا قَرِيْبٌ، وَمِنْ نَارٍ يَأْكُلُ بَعْضَهَا بَعْضٌ، وَيَصُوْلُ

بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ، وَمِنْ نَارٍ تَذَرُ الْعِظَامَ رَمِيْمًا، وَتَسْقِيْ أَهْلَهَا حَمِيْمًا، وَمِنْ نَارٍ لاَ تُبْقِيْ عَلَى

مَنْ تَضَرَّعَ إِلَيْهَا، وَلاَ تَرْحَمُ مَنِ اسْتَعْطَفُهَا، وَلاَ تَقْدِرُ عَلَى التَّخْفِيْفِ عَمَّنْ خَشَعَ لَهَا وَاسْتَسْلَمَ

إِلَيْهَا، تُلْقِيْ سُكَّانَهَا بِأَحَرِّ مَا لَدَيْهَا مِنْ أَلِيْمِ النَّكَالِ وَشَدِيْدِ الْوَبَالِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ

عَقَارِبِهَا الْفَاغِرَةِ أَفْوَاهَهَا، وَحَيَّاتِهَا الصَّالِقَةِ بِأَنْيَابِهَا، وَشَرَابِهَا الَّذِيْ يَقْطَعُ أَمْعَاءَ

وَأَفْئِدَةَ سُكَّانِهَا، وَيَنْزِعُ قُلُوْبَهُمْ، وَأَسْتَهْدِيْكَ لِمَا بَاعَدَ مِنْهَا وَأَخَّرَ عَنْهَا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى

مُحَمَّدٍ وَآلِهِ، وَأَجِرْنِيْ مِنْهَا بِفَضْلِ رَحْمَتِكِ، وَأَقِلْنِيْ عَثْرَتِيْ بِحُسْنِ إِقَالَتِكَ، وَلاَ تَخْذُلْنِيْ يَا

خَيْرَ الْمُجِيْرِيْنَ، اَللَّهُمَّ إِنَّكَ تَقِي الْكَرِيْهَةَ، وَتُعْطِي الْحَسَنَةِ، وَتَفْعَلُ مَا تُرِيْدُ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ

شَيْئٍ قَدِيْرٌ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ، إِذَا ذُكِرَ الْأَبْرَارُ، وَصَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ مَا اخْتَلَفَ

اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ، صَلاَةً لاَ يَنْقَطِعُ مَدَدُهَا، وَلاَ يُحْصَى عَدَدُهَا، صَلاَةً تَشْحَنُ الْهَوَاءَ، وَتَمْلَأُ الْأَرْضَ

وَالسَّمَاءَ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ حَتَّى يَرْضَى، وَصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ بَعْدَ الرِّضَى، صَلاَةً لاَ حَدَّ لَهَا وَلاَ

مُنْتَهَى، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ


Frase-frase doa ini menggambarkan kondisi neraka Jahanam yang sangat menakutkan, neraka Jahanam yang telah disediakan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya yang durjana dan zalim. Yaitu, mereka yang menebarkan kelaliman dan kerusakan di muka bumi ini. Mereka akan merasakan berbagai ragam azab dan siksa yang sangat mengerikan. Semoga Allah menghindarkan kita darinya.
Dengan ini, usailah pemaparan doa mulia yang selalu dilantunkan oleh Imam Zainul Abidin as. setiap usai mengerjakan salat malam. Doa ini adalah salah satu doa andalan Ahlul Bait as.
Keluarga Imam Zainul Abidin as. merasa khawatir dan takut atas diri dan kehidupannya lantaran terlalu banyak ibadah yang selalu ia lakukan dengan melampaui batas. Oleh karena itu, mereka bergegas menjumpai Jâbir bin Abdillah Al-Anshârî, lantaran Jâbir memiliki kedudukan yang istimewa di sisinya. Fathimah, salah seorang putri Imam Zainul Abidin as., berkata kepada Jâbir: "Hai sahabat Rasulullah, sesungguhnya kami memiliki hak-hak atasmu. Di antara hak-hak tersebut adalah jika salah seorang di antara kami sedang memusnahkan dirinya, hendaknya kamu mengingatkannya supaya ia ingat kepada Allah dan mengajaknya untuk memperhatikan dirinya. Kamu lihat Ali bin Husain, putra semata wayang Al-Husain. Hidungnya telah bengkak dan dahi, kedua lutut, dan kedua telapak tangannya telah mengeras. Hal itu lantaran ia selalu melakukan ibadah."
Jâbir pun bergegas pergi untuk menjumpai Imam Zainul Abidin as. Ia menemukannya sedang berada di dalam mihrab sedang disibukkan oleh ibadah. Ketika Imam Zainul Abidin as. melihat ia datang, ia menyambutnya dengan hangat dan penuh penghormatan. Ia mendudukkan Jâbir di sampingnya sembari menanyakan kondisinya. Jâbir menolah ke arahnya seraya berkata dengan penuh sopan: "Wahai putra Rasulullah, bukankah Anda tahu bahwa surga telah diciptakan untuk Anda dan untuk orang-orang yang mencintai Anda, serta menciptakan neraka untuk orang-orang yang membenci dan memusuhi Anda. Jika demikian, mengapa Anda masih melakukan ibadah mati-matian?"
Imam Zainul Abidin as. menjawab: "Hai sahabat Rasulullah, bukankah kamu tahu bahwa Rasulullah saw. telah diampuni dosa-dosanya, baik yang lalu maupun yang akan datang, tetapi ia tidak pernah meninggalkan seluruh usaha untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan melakukan ibadah-demi ayah dan ibuku-sehingga betis dan telapak kaki ia bengkak? Pada suatu hari, ia pernah ditanya, 'Apakah Anda masih melakukan ini semua, sedangkan Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda, baik yang telah lalu maupun yang akan datang?' ia menjawab, 'Tidakkah aku layak menjadi seorang hamba yang bersyukur?'
Ketika Jâbir merasa ucapannya itu tidak dapat mempengaruhi pendirian Imam Zainul Abidin as. tersebut, ia berkata lagi: "Wahai putra Rasulullah, paling tidak Anda perhatikan diri Anda sendiri. Karena, Anda berasal dari sebuah keluarga yang dengan mereka malapetaka ditangguhkan, seluruh obat penawar tersingkap, dan langit mengucurkan air hujan."
Imam Zainul Abidin as. menjawab dengan suara lirih dan menyedihkan: "Aku akan senantiasa mengikuti jejak kedua ayahku sehingga aku menjumpai mereka."
Jâbir takjub (dengan pendiriannya itu). Ia menoleh kepada orang-orang yang hadir di sekitarnya seraya berkata: "Di antara keturunan para nabi, tidak ada orang yang seperti Ali bin Husain, kecuali Yusuf bin Ya'qûb. Demi Allah, keturunan Husain adalah lebih utama daripada keturunan Yusuf bin Ya'qûb. Dari keturunan Husain ini, akan muncul seseorang yang akan memenuhi bumi ini dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi oleh kezaliman."
Ya! Demi Allah, di antara keturunan para nabi, tidak ada seorang pun yang menyamai Imam Ali bin Husain dalam wara', ketakwaan, dan karakter-karakter mulia yang lain. Seperti diberitahukan oleh Jâbir, salah seorang keturunan Husain as. akan muncul untuk memenuhi bumi ini dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi oleh kezaliman. Dia adalah Imam Mahdî afs., sebagaimana pernah diberitahukan oleh Rasulullah saw.
Salah seorang putra Imam Zainul Abidin as. merasa khawatir terhadap ibadah yang selalu ia lakukan secara berlebih-lebihan. Ia bertanya: "Wahai ayahku, mengapa Anda selalu mengerjakan salat?"
Imam Zainul Abidin as. menjawab dengan penuh kasih sayang: "Aku ingin menghaturkan kecintaanku kepada Tuhanku."
Abdul Malik bin Marwân pernah merasa takjub dengan ibadah Imam Zainul Abidin as. yang banyak tak terhingga itu. Hal itu terjadi ketika Abdul Malik datang menjumpainya untuk membebaskan sekelompok muslimin yang telah ditangkap oleh bala tentaranya. Ketika Abdul Malik melihatnya, ia merasa takjub dengan bekas sujud yang terdapat di antara kedua matanya. Ia berkata: "Sungguh jelas bahwa kamu adalah ahli ibadah dan Allah telah menganugerahkan karunia kepadamu. Kamu adalah penggalan tubuh Rasulullah. Nasabmu dengan ia sangatlah dekat dan hubunganmu dengan ia sangatlah kuat. Sungguh kamu memiliki keutamaan yang sangat agung terhadap keluarga dan masyarakat di masamu. Kamu telah diberi anugerah keutamaan, ilmu, agama, dan wara' yang tidak pernah diberikan kepada orang lain yang hidup semasa denganmu dan tidak juga kepada orang-orang sebelummu, kecuali kepada nenek moyangmu."
Abdul Malik terus menyebutkan keutamaan dan karunia agung yang ia miliki. Ketika ucapannya usai, Imam Zainul Abidin as. hanya berkata: "Seluruh keutamaan yang telah kamu sebutkan itu hanya berasal dari anugerah Allah swt., pengukuhan, dan taufik-Nya. Lalu, manakah syukur atas seluruh nikmat ini? Rasulullah saw. senantiasa mengerjakan salat sehingga kedua telapak kakinya bengkak dan berpuasa sehingga mulutnya kering. Ia pernah ditanya, 'Wahai Rasulullah, bukankah Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda, baik yang telah lalu maupun yang akan datang?' Ia hanya menjawab, 'Tidakkah aku layak menjadi seorang hamba yang bersyukur?' Segala puji bagi Allah atas segala karunia dan malapetaka yang telah ditimpakan-Nya, serta segala puji bagi-Nya di dunia dan akhirat. Demi Allah, seandainya seluruh anggota tubuhku terpotong-potong dan kedua kelopak mataku jatuh keluar (lantaran banyak melakukan ibadah), niscaya aku belum dapat mensyukuri seperdua puluh nikmat dari seluruh nikmat-Nya; nikmat-nikmat yang tidak dapat dihitung oleh para penghitung dan tak seorang pun dapat mensyukuri satu nikmat pun, meskipun ditambah dengan seluruh puji yang telah dihaturkan oleh para pemuji. Tidak, demi Allah! Aku ingin Allah melihatku tidak disibukkan oleh suatu apapun untuk mensyukuri dan mengingat-Nya, baik di siang hari maupun di malam hari, secara rahasia maupun secara terang-terangan. Seandainya bukan karena hak-hak yang harus kulaksanakan atas keluargaku dan seluruh masyarakat sesuai dengan kemampuan yang kumiliki, niscaya telah kulempar mataku ke langit dan hatiku kepada Allah, lalu aku tidak akan pernah mengambilnya kembali hingga Allah memungut jiwaku. Dan Dia adalah sebaik-baik penguasa (langit dan bumi)."
Lantas, Imam Zainul Abidin as. menangis terisak-isak. Ucapan dan kondisi (spiritual)nya itu telah mempengaruhi hati sang lalim, Abdul Malik. Lalu, Abdul Malik berkata: "Sangatlah berbeda seorang hamba yang hanya mengharapkan akhirat dan mengerahkan seluruh usaha yang dimiliki untuk menggapainya dengan hamba yang hanya menginginkan dunia, sedangkan ia tidak memiliki bagian di akhirat."
Abdul Malik tunduk terhadap seluruh titah Imam Zainul Abidin as. dan bersedia membebaskan sekelompok muslimin (yang telah ditangkapnya) tersebut.
Begitulah, ibadah Imam Ali Zainul Abidin as. menjadi simbol spiritualitas para nabi as. yang sangat indah nan menakjubkan. Ibadah ini menghikayatkan ketaatan, ketakwaan, dan keteguhannya berpegang teguh kepada Allah swt. Ia sangat dalam mencintai-Nya dan sangat tulus dalam menghamba kepada-Nya.
Bersama Para Budak

Salah satu tindakan Imam Zainul Abidin as. yang layak mendapatkan pujian adalah pembebasan para budak dan anugerah kehidupan yang merdeka kepada mereka. Padahal, para budak itu hidup bahagia di bawah naungannya dan ia memperlakukan mereka sebagaimana layaknya anak-anaknya sendiri. Ia selalu memaafkan setiap kesalahan yang telah mereka lakukan. Ketika bulan Ramadhan tiba, ia membebaskan seluruh budak yang ia miliki.
Menurut sebuah, Imam Zainul Abidin as. tidak pernah menghukum budak laki-laki maupun budak wanita yang telah melakukan kesalahan. Ia hanya menulis hari di mana mereka berbuat kesalahan. Jika akhir bulan Ramadhan tiba, ia mengumpulkan seluruh budak itu dan menunjukkan buku catatan dosa-dosa mereka itu. Ia berkata kepada mereka: "Ucapkanlah dengan suara lantang, 'Hai Ali bin Husain, sesungguhnya Tuhanmu telah menghitung seluruh tindakan yang pernah kamu lakukan, sebagaimana kamu telah menghitung seluruh tindakan yang pernah kami lakukan. Di sisi-Nya terdapat sebuah kitab yang mencatat segala sesuatu dengan benar. Kitab ini sedikit pun tidak meninggalkan setiap bentuk perbuatan, baik yang kecil maupun yang besar, kecuali kitab itu pasti menghitungnya. Setiap jiwa akan mendapatkan setiap kelakuannya hadir di hadapan-Nya, sebagaimana kami telah mendapatkan setiap kelakuan kami hadir di hadapanmu. Oleh karena itu, maafkan dan berlapang dadalah terhadap kami, sebagaimana kamu mengharapkan ampunan dari Sang Raja Diraja dan kamu menginginkan supaya Dia mengampunimu. Maka, ampunilah kami, niscaya Tuhanmu akan memaafkanmu, mengasihanimu, dan mengampunimu, sedang Tuhanmu tidak akan pernah menzalimi siapa pun. Sebagaimana juga kamu memiliki sebuah kitab yang mencatat segala tindakan yang telah kami lakukan dengan benar. Kitab itu tidak meninggalkan segala apapun yang telah kami lakukan, baik yang kecil maupun yang besar. Oleh karena itu, ingatlah, hai Ali bin Husain, kedudukanmu yang hina di hadapan Tuhanmu Yang Maha Bijaksana nan Adil; Tuhan yang tidak pernah menzalimi sebiji atom pun dan Dia pasti mendatangkannya pada hari kiamat. Cukuplah Allah sebagai penghitung dan saksi. Maka, maafkan dan berlapang dadalah terhadap kami, niscaya Sang Raja Diraja akan mengampunimu. Dia berfirman, 'Hendaknya mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu?'" (QS. An-Nûr [24]:22)
Imam Ali Zainul Abidin as. mendiktekan ucapan-ucapan tersebut kepada mereka; ucapan-ucapan yang menghikayatkan kepasrahan dan keteguhannya memegang tali Allah. Ia mendiktekan semua itu sambil menangis lantaran takut kepada-Nya sembari berseru lirih: "Wahai Tuhan kami, Engkau telah memerintahkan kami untuk memaafkan orang yang telah menzalimi kami. Kami telah menzalimi diri kami sendiri. Kami telah memaafkan orang yang telah menzalimi kami, seperti telah Engkau perintahkan. Oleh karena itu, ampunilah kami, karena Engkau lebih utama untuk itu daripada kami sendiri dan seluruh hamba yang telah mendapatkan perintah itu. Engkau telah memerintahkan supaya kami jangan menolak peminta yang datang mengetuk pintu rumah kami. Sekarang kami datang kepada-Mu dengan membawa penuh permohonan. Kami telah bersimpuh di haribaan-Mu dan di depan pintu-Mu. Kami memohon anugerah dan karunia-Mu. Oleh karena itu, curahkanlah anugerah atas kami dan janganlah Kamu sia-siakan kami, karena Engkau lebih utama untuk itu daripada kami sendiri dan daripada seluruh hamba yang telah mendapatkan perintah itu. Ya Tuhanku, Engkaulah pemilik karunia. Maka, curahkanlah karunia kepadaku ketika aku memohon kepada-Mu. Dan Engkaulah penebar anugerah. Maka, masukkanlah kami ke dalam golongan penerima karunia-Mu, wahai Dzat Pemberi karunia."
Setelah berkata demikian, ia menghadap ke arah mereka dengan wajah yang dibasahi oleh air mata yang meleleh. Ia berkata dengan penuh santun dan lemah lembut: "Aku telah memaafkanmu sekalian. Apakah kamu juga telah memaafkanku? Jika aku pernah berbuat kesalahan, akulah pemilik kesalahan yang zalim dan hamba Sang Raja Diraja Yang Maha Pemurah, Adil, nan Pemberi karunia."
Jiwa malaikat agung apakah yang menghikayatkan spiritualitas dan karakteristik para nabi ini?
Para budak itu pun berkata: "Kami telah memaafkan Anda, wahai junjungan kami."
Lalu, ia berkata kepada mereka: "Ucapkanlah, 'Ya Allah, ampunilah Ali bin Husain, sebagaimana ia telah memaafkan kami dan bebaskanlah ia dari api neraka, sebagaimana ia telah membebaskan kami dari kebudakan.'"
Setelah mereka mengucapkan itu, ia menimpali: "Ya Allah, Tuhan semesta alam, Amîn! Pergilah kamu semua. Aku telah memaafkan dan membebaskanmu dari kebudakan, karena aku berharap Allah mengampuni dan membebaskanku (dari api neraka)." Ketika hari raya Idul Fitri tiba, ia memberikan hadiah yang berlimpah kepada mereka sehingga mereka tidak perlu meminta-minta lagi dan merasa kecukupan.
Di dalam dunia kaum bertakwa dan orang-orang saleh tidak pernah ditemukan seorang manusia pun seperti imam yang agung ini, baik dalam wara', ketakwaan, maupun ketaatan kepada Allah swt. Ia telah memenuhi seluruh relung kalbunya dengan keimanan dan pengetahuan (yang sempurna) terhadap Allah.
Wasiat kepada Anak Keturunan

Imam Ali Zainul Abidin as. telah membekali putra putrinya dengan wasiat-wasiat yang penuh dengan pendidikan. Seluruh wasiat itu adalah hasil pengalamannya menjalani kehidupan ini dan dapat mereka jadikan sebagai konsep dan prinsip hidup. Berikut ini adalah sebagian wasiatnya tersebut:

1. Wasiat ini telah ia berikan kepada sebagian anak-anaknya. Di dalam wasiat tersebut, ia memaparkan masalah sahabat dan teman. Ia menekankan kepada mereka supaya menjauhi seluruh tipe sahabat yang memiliki karakateristik buruk supaya karakteristik ini tidak menular kepada teman-temannya. Ia berkata: "Hai anak-anakku, camkanlah lima jenis manusia ini dan janganlah kamu mengadakan persahabatan dan berbicara dengan mereka di jalan."
Anaknya bertanya: "Siapakah mereka itu?"
Imam Ali Zainul Abidin as. menjawab: "Janganlah kamu bersahabat dengan seorang pembohong, karena ia bak fatamorgana. Ia akan mendekatkan kepadamu sesuatu yang jauh dan menjauhkan darimu sesuatu yang dekat. Janganlah kamu bersahabat dengan orang fasik, karena ia akan rela menjualmu dengan harga sesuap nasi atau lebih sedikit dari itu. Janganlah kamu bersahabat dengan orang kikir, karena ia akan menutupi hartanya pada saat engkau sangat membutuhkannya. Janganlah kamu bersahabat dengan orang yang tolol, karena ia akan mendatangkan mara bahaya bagimu pada saat ia ingin mendatangkan manfaat bagimu. Dan janganlah kamu bersahabat dengan orang yang memutus tali silaturahmi, karena aku mendapatkannya terlaknat di dalam kitab Allah."
Bersahabat dengan mereka dapat mendatangkan kerugian dan kecelakaan, serta bahaya. Alangkah banyaknya tipe orang-orang seperti ini, baik di zaman dahulu maupun pada masa sekarang ini. Sebaliknya, alangkah langkanya orang-orang suci dan bersih yang bersahabat dengan mereka dapat mendatangkan manfaat.

2. Wasiat berharganya yang lain kepada anak-anaknya adalah berikut ini:
"Wahai anak-anakku, bersabarlah menghadapi malapetaka dan janganlah menginjak-injak hak-hak (orang lain), serta janganlah kamu menerima ajakan saudaramu untuk mengerjakan sesuatu yang bahayanya lebih besar terhadap dirimu daripada manfaatnya."
Imam Zainul Abidin as. berwasiat kepada anaknya untuk bersabar menghadapi malapetaka yang sedang dihadapi dan tidak terhanyut oleh arusnya, karena hal ini dapat mengokohkan jiwa dan mental. Di samping itu, ia juga berwasiat kepadanya untuk tidak menginjak-injak hak-hak orang lain, karena hal itu lebih dapat menjamin keselamatan seseorang dari permusuhan dan pembalasan orang itu. Tidak lupa, ia juga berwasiat kepadanya untuk tidak menerima ajakan seorang sahabat untuk melakukan sesuatu yang dapat mendatangkan kerugian dan bahaya.
Doa untuk Anak Keturunan

Doa Imam Ali Zainul Abidin as. untuk anak-anaknya menggambarkan keagungan dan kemuliaan yang tiada tara. Seluruh doa itu menghikayatkan tata caranya menghadapi mereka dan ketinggian adab atau akhlak mulia yang ia harapkan untuk mereka.
Marilah kita simak bersama peninggalan metode pendidikan Islam yang sangat tinggi nan agung ini.
Imam Zainul Abidin as. berkata: "Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah tidak meridaimu untukku. Maka, Dia mewasiatkanmu kepadaku. Dan Dia meridaiku untukmu. Maka, Dia memberikan peringatan kepadaku tentang dirimu. Ketahuilah, sebaik-baik seorang ayah untuk anak-anaknya adalah ayah yang tidak dipengaruhi oleh rasa cinta untuk mencintai anaknya secara berlebihan. Dan sebaik-baik anak untuk seorang ayah adalah anak yang kesalahan orang tuanya tidak membuat ia durhaka terhadap ayahnya."
Frase-frase ucapan Imam Zainul Abidin as. ini menghikayatkan sampai di mana tata caranya dalam mendidik anak-anaknya. Metode pendidikannya berdiri di atas tonggak pembenahan yang universal dan menyeluruh, serta penyucian jiwa secara mutlak. Ia selalu berdoa untuk mereka berikut ini:
a. Supaya Allah menganugerahkan kesehatan tubuh, agama, dan akhlak yang sempurna kepada mereka.
b. Supaya Allah menyehatkan jiwa dan roh mereka, dan hal itu dengan cara menyucikan jiwa tersebut dari segala kehinaan dan dosa.
c. Supaya Allah melapangkan rezeki-Nya dan tidak menimpakan pahitnya kemiskinan kepada mereka, karena kemiskinan adalah sebuah bencana yang sangat menyedihkan.
d. Supaya Allah menganugerahkan petunjuk kepada mereka untuk menggapai keridaan-Nya sehingga mereka bergegas mengerjakan kebaikan dan melaksanakan segala perintah-Nya.
e. Supaya Allah mencintakan para wali-Nya dan membencikan para musuh-Nya kepada mereka.
Semua itu adalah faktor-faktor yang dapat mengokohkan keharmonisan dan keserasian sebuah keluarga. Jika seorang anak telah terdidik dengan prinsip etika yang tinggi semacam ini, pasti ia menjadi buah mata ayahnya.
Hikmah dan Ajaran

Imam Ali Zainul Abidin as. telah memaparkan banyak hikmah berharga dan ajaran-ajaran yang sangat mulia. Semua itu muncul dari pengetahuannya yang sempurna dan dalam terhadap realita kehidupan, unsur-unsur sosialnya, dan kondisi masyarakat manusia. Berikut ini sebagian hadisnya berkenaan dengan hal ini:

Karakteristik yang Tinggi

Imam Zainul Abidin as. pernah memaparkan sebagian karakter tinggi yang harus dimiliki oleh seorang muslim dan dapat menyempurnakan keislamannya. Ia berkata: "Barang siapa yang memiliki empat hal ini, niscaya Islamnya telah sempurna, dosa-dosanya akan dihapus, dan ia akan berjumpa dengan Tuhannya sedangkan Dia rida terhadapnya: orang yang menepati janjinya kepada orang lain karena Allah, orang yang lidahnya jujur terhadap orang lain, orang yang merasa malu terhadap segala keburukan, baik di hadapan Allah maupun di hadapan manusia, dan orang yang beretika baik terhadap keluarganya."
Orang yang telah memiliki karakter-karakter ini adalah mukmin sejati; imannya telah sempurna dan ia akan berjumpa dengan Allah, sedangkan Dia rida terhadapnya.

Tanda-Tanda Orang Mukmin

Imam Ali Zainul Abidin as. pernah berkata: "Tanda-tanda seorang mukmin adalah lima hal."
Thâwûs Al-Yamânî bertanya: "Wahai putra Rasulullah, apakah tanda-tanda itu?"
Imam Zainul Abidin as. menjawab: "Wara' ketika sendirian, bersedekah pada saat kekurangan, sabar menghadapi musibah, tabah pada saat marah, dan bersedekah pada saat takut."
Kelima karakter ini menunjukkan bahwa penyandangnya adalah orang mukmin dan termasuk hamba Allah yang hatinya dipenuhi oleh ketakwaan.

Tutur Kata yang Baik

Imam Ali Zainul Abidin as. senantiasa mengajak para sahabatnya untuk bertutur kata yang baik terhadap orang lain, dan ia menjelaskan manfaat-manfaat tutur kata yang baik itu. Ia berkata: "Tutur kata yang baik dapat menumbuhkan harta, melapangkan rezeki, menunda ajal, membawa kecintaan kepada keluarga, dan memasukkan (kita) ke dalam surga ...."
Pesannya di atas menjelaskan manfaat-manfaat tutur kata yang baik. Di antaranya adalah berikut ini:
a. Tutur kata yang baik dapat menyebabkan harta mengalir dan rezeki lapang. Hal itu nampak jelas bagi para ahli bisnis dan pedagang. Masyarakat hanya akan melakukan transaksi jual beli dengan pedagang yang menghadapi mereka dengan tutur kata dan ucapan yang baik. Dan sangat lumrah sekali bahwa tutur kata yang baik ini pasti dapat mendatangkan in-come yang melimpah bagi pedagang itu. Sebaliknya, naluri masyarakat sangat membenci orang yang bertutur kata buruk dan berakhlak jelek, suatu tindakan yang dapat menyebabkan barang dagangannya tidak laku dan rezekinya macet.
b. Tutur kata yang baik dapat menunda ajal. Hal ini terjadi pada saat ia menyingkirkan sebuah kezaliman dari wajah seorang mukmin atau mendatangkan manfaat baginya. Oleh karena itu, Allah pasti membalas pemilik tutur kata yang baik itu dengan menambah usianya di dunia dan menganugerahkan pahala yang besar di akhirat.
c. Tutur kata yang baik dapat menjadikan penuturnya dimuliakan dan dicintai oleh keluarga dan masyarakat. Hal itu lantaran setiap naluri akan memihak kepada orang yang memiliki tutur kata yang baik.
d. Tutur kata yang baik dapat menyebabkan kita masuk surga. Hal ini ketika tutur kata yang baik itu dapat mendamaikan dua saudara yang sedang bertengkar dan melakukan amar makruh dan nahi mungkar.

Penyelamat Mukmin

Ketika menuturkan hal-hal yang dapat menyelamatkan seorang mukmin, Imam Ali Zainul Abidin as. berkata: "Ada tiga hal yang dapat menyelamatkan seorang mukmin: menahan lisan dari membicarakan dan menggunjing orang lain, menyibukkan diri dengan sesuatu yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya, dan menangis panjang (menyesali) kesalahannya."
Syahadah

Begitulah Imam Ali Zainul Abidin as. adalah seorang figur yang tak ada duanya dalam sulûk, ibadah, dan seluruh perbuatan baik. Ia telah berhasil menempati lubuk hati dan naluri masyarakat luas. Mereka sangat mengagungkannya. Realita ini sangat pahit bagi Bani Umayyah yang hati mereka telah dipenuhi oleh rasa iri dengki terhadap Ahlul Bait as. Salah seorang yang sangat dengki terhadapnya adalah Walîd bin Abdul Malik. Az-Zuhrî meriwayatkan bahwa Walîd pernah berkata: "Aku tidak pernah tenang selama Ali bin Husain masih hidup di dunia ini." Ketika berhasil memegang tampuk kekuasaan, ia mengambil keputusan untuk membunuhnya. Oleh karena itu, ia membubuhkan racun membunuh ke dalam makanannya melalui perantara gubernurnya untuk Yatsrib. Ketika Imam Zainul Abidin as. memakan makanan tersebut, tidak lama ia bertahan dan ajal pun datang menjemputnya. Hal itu lantaran tubuhnya sudah lemah karena banyak beribadah. Ucapan terakhir yang ia ucapkan adalah: "Segala puji bagi Allah yang telah membenarkan janji-Nya untuk kita dan mewariskan surga kepada kita. Kita bertempat tinggal di dalamnya di manapun kita kehendaki. Semua itu adalah sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang bertindak."
Roh Imam Zainul Abidin as. yang agung terbang menuju surga yang abadi setelah berhasil menerangi cakrawala dunia ini.
Salam atasnya pada hari ia dilahirkan, pada hari ia meneguk cawan syahadah, dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.
Catatan Kaki:

Ash-Shirâth As-Sawî fi Manâqib ?l An-Nabi saw., hal. 192.
Tahdzîb At-Tahdzîb, jilid 7, hal. 306; Syadzarât Adz-Dzahab, jilid 1, hal. 104. Di dalam buku ini ditegaskan: "Imam Ali disebut Zainul Abidin lantaran ibadahnya yang sangat banyak."
Shubh Al-A'syâ, jilid 1, hal. 452; Bahr Al-Ansâb, lembaran ke-25; Tuhfah Ar-Râghib, hal. 13; Al-Adhdâd fi Kalâm Al-'Arab, jilid 1, hal. 129; Tsimâr Al-Qulûb, hal. 291. Di dalam buku ini ditegaskan: "Ali bin Husain dan Ali bin Abdillah bin Abbas masing-masing mendapatkan julukan Dzuts Tsafanât. Hal itu lantaran anggota-anggota sujud mereka mengeras seperti lutut unta. Dan itu dikarenakan salat mereka yang tak terhingga."
'Ilal Asy-Syarâ'i', hal. 88; Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 6; Wasâ'il Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 977.
'Ilal Asy-Syarâ'i', hal. 88.
Wasâ'il Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 977; 'Ilal Asy-Syarâ'i', hal. 88.
Al-Fushûl Al-Muhimmah, karya Ibn Ash-Shabbagh, hal. 187; Bahr Al-Ansâb, lembaran ke-25; Nûr Al-Abshâr, hal. 137.
Al-Kâmil, karya Al-Mubarrad, jilid 1, hal. 222; Wafayât Al-A'yân, jilid 2, hal. 429.
Târîkh Al-Ya'qûbî, jilid 3, hal. 46.
Tahdzîb Al-Akhlâq, hal. 19.
Târîkh Dimasyq, jilid 36, hal. 155; Nihâyah Al-Arab, jilid 21, hal. 326. Ayat tersebut terdapat di dalam surah Ali 'Imran, ayat 134.
( ) Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 96.
Gelar ini diberikan oleh Khalifah Kedua kepada Mu'âwiyah.
Al-Imam Zainul Abidin, karya Al-Muqarram, hal. 19.
Hilyah Al-Awliyâ', jilid 3, hal. 138.
Ad-Durr An-Nazhîm, hal. 173.
Al-Imam Zaid, karya Abu Zuhrah, hal. 34.
Nâsikh At-Tawârîkh, jilid 1, hal. 13.
Amâlî Ash-Shadûq, hal. 453.
Al-Bidâyah wa An-Nihâyah, jilid 9, hal. 105; Siyar A'lâm An-Nubalâ', jilid 4, hal. 239; Târîkh Al-Islam, jilid 2, hal. 266; Al-Hilyah, jilid 3, hal. 141.
Târîkh Al-Ya'qûbî, jilid 3, hal. 6.
Tahdzîb Al-Lughât wa Al-Asmâ', hal. 343.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 88.
Al-Hilyah, jilid 3, hal. 137.
Shafwah Ah-Shafwah, jilid 2, hal. 53.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 62.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 62. Mirip dengan kandungan riwayat tersebut, riwayat yang terdapat dalam buku Dâ'irah Al-Ma'ârif, karya Al-Bustânî, jilid 9, hal. 355.
Wasâ'il Asy-Syi'ah, jilid 6, hal. 138.
Al-Kâfî, jilid 4, hal. 15.
Wasâ'il Asy-Syi'ah, jilid 6, hal. 296.
Târîkh Dimasyq, jilid 36, hal. 161.
Nâsikh At-Tawârîkh, jilid 1, hal. 67.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 89.
Al-Mahâsin, karya Al-Barqi, hal. 547; Furû' Al-Kâfî, jilid 6, hal. 350.
Khulâshah Tahdzîb Al-Kamâl, hal. 231; Al-Hilyah, jilid 3, hal. 140; Jamharah Al-Awliyâ', jilid 2, hal. 71; Al-Bidâyah wa An-Nihâyah, jilid 9, hal. 105; Ath-Thabaqât, karya Ibn Sa'd, jilid 5, hal. 19.
Tadzkirah Al-Huffâzh, jilid 1, hal. 75; Akhbâr Ad-Duwal, hal. 110; Nihâyah Al-Arab fi Funûn Al-Adab, jilid 21, hal. 326.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 89.
Ibid., hal. 100.
Shifah Ash-Shafwah, jilid 2, hal. 54; Al-Ithâf bi Hubb Al-Asyrâf, hal. 49.
Al-Aghânî, jilid 15, hal. 326.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 62.
Ibid.
Târîkh Al-Ya'qûbî, jilid 3, hal. 45.
Adz-Dzarî'ah fi Tashânîf Asy-Syi'ah, jilid 15, hal. 18.
Tafsir Al-'Askarî, hal. 132.
Shifah Ash-Shafwah, jilid 2, hal. 53; Syadzarât Adz-Dzahab, jilid 1, hal. 105; Al-Hilyah, jilid 3, hal. 134; Al-Bidâyah wa An-Nihâyah, jilid 9, hal. 105; Durar Al-Abkâr, lembaran ke-70.
Al-Kawâkib Ad-Durriyah, jilid 2, hal. 139.
Al-Khishâl, hal. 488.
Durar Al-Abkâr, lembaran ke-70; Nihâyah Al-Arab, jilid 21, hal. 326; Siyar A'lâm An-Nubalâ', jilid 4, hal. 238; Al-Ithâf bi Hubb Al-Asyrâf, hal. 49; Akhbâr Ad-Duwal, hal. 109.
Shifah Ash-Shafwah, jilid 2, hal. 53.
Wasîlah Al-Ma'âl, lembaran ke-207; Siyar A'lâm An-Nubalâ', jilid 4, hal. 38; Shifah Ash-Shafwah, jilid 2, hal. 52; Hilyah Al-Awliyâ', jilid 3, hal. 132; Al-'Iqd Al-Farîd, jilid 3, hal. 103.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 58.
Ibid., hal. 108.
Wasâ'il Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 685.
Tahdzîb Al-Ahkâm, jilid 2, hal. 286; Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 79.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 108.
'Ilal Asy-Syarâ'i', hal. 88; Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 61; Wasâ'il Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 688.
Akhbâr Ad-Duwal, hal. 110; Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 99.
Shifah Ash-Shafwah, jilid 2, hal. 52; Al-Muntazhim 6, lembaran ke-141; Nihâyah Al-Arab, jilid 21, hal. 325; Siyar A'lâm An-Nubalâ', jilid 4, hal. 238.
Ar-Risâlah Al-Qusyairiyah, jilid 1, hal. 214.
Tahdzîb At-Tahdzîb, jilid 7, hal. 307; Nûr Al-Abshâr, hal. 136; Al-Ithâf bi Hubb Al-Asyrâf, hal. 49; Tadzkirah Al-Huffâzh, jilid 1, hal. 71; Syadzarât Adz-Dzahab, jilid 1, hal. 104; Al-Fushûl Al-Muhimmah, hal. 188; Akhbâr Ad-Duwal, hal. 110; Târîkh Dimasyq, jilid 36, hal. 151; Ash-Shirâth As-Sawi, lembaran ke-193; Iqâmah Al-Hujjah, hal. 171; Al-'Ibar fi Khabar Man Ghabar, jilid 1, hal. 111; Dâ'irah Al-Ma'ârif, karya Al-Bustani, jilid 9, hal. 355; Târîkh Al-Ya'qûbî, jilid 3, hal. 45; Al-Muntazhim 6, lembaran ke-143; Târîkh Al-Islam, karya Adz-Dzahabî; Al-Kawâkib Ad-Durriyah, jilid 2, hal. 131; Al-Bidâyah wa An-Nihâyah, jilid 9, hal. 105.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 61; Al-Khishâl, hal. 487.
Al-Khishâl, hal. 488.
Shifah Ash-Shafwah, jilid 2, hal. 53.
Wasâ'il Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 981.
Ibid., hal. 1079.
Ad-Da'awât, karya Quthb Ar-Râwandi, hal. 34.
Shifah Ash-Shafwah, jilid 2, hal. 53; Kasyf Al-Ghummah, jilid 2, hal. 263.
Ash-Shahîfah As-Sajjâdiyah, doa ke-32.
Fî Zhilâl Al-Qur'an, jilid 17, hal. 16.
Hayâh Al-Imam Ali bin Al-Husain as., jilid 1, hal. 200-201.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 91.
Hayâh Al-Imam Ali Zainul Abidin as., jilid 1, hal. 201-202.
Ibid., hal. 209-211.
Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 279; Al-Bidâyah wa An-Nihâyah, jilid 9, hal. 106.
Al-Bayân wa At-Tibyân, jilid 2, hal. 76; Al-'Iqd Al-Farîd, jilid 3, hal. 88.
Al-'Iqd Al-Farîd, jilid 3, hal. 89.
Al-Khishâl, hal. 203.
Ibid., hal. 245.
Wasâ'il Asy-Syi'ah, jilid 5, hal. 531; Al-Khishâl, hal. 289.
Ad-Durr An-Nazhîm, hal. 174.
Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Baqir as., jilid 1, hal. 51.
Nûr Al-Abshâr, hal. 129; Al-Fushûl Al-Muhimmah, karya Ibn Al-Bustânî, hal. 233; Al-Ithâf bi Hubb Al-Asyrâf, hal. 52; Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 53; Jadwal Al-Mishbâh, karya Al-Kaf'amî, hal. 276.
Al-Khishâl, hal. 185; Al-Amâlî, hal. 161.

IMAM MUHAMMAD Al-BAQIR

Imam Muhammad Al-Bâqir as. adalah salah satu tonggak para imam Ahlul Bait as. yang telah dipilih oleh Allah swt. untuk merealisasikan risalah-Nya dan mengistimewakan mereka dengan menjadi washî Nabi-Nya.
Imam yang satu ini telah melakukan peran positif dan isitimewa dalam mewujudkan kultur Islam dan membangun gebrakan ilmiah di seantero dunia Islam. Dan hal ini terwujud pada saat stagnansi intelektual telah mendominasi seluruh penjuru negara Islam dan tidak pernah terjadi sebuah revolusi ilmiah pada periode itu. Ya, pada masa itu umat (Islam) telah menyaksikan banyak revolusi yang terjadi silih berganti dan pemberontakan-pemberontakan massa yang sumber utama penyulutnya-pada satu kesempatan-adalah keinginan untuk membebaskan diri dari kezaliman dan kelaliman para penguasa dinasti Bani Umayyah dan-pada kesempatan yang lain-rasa tamak untuk berkuasa dan menguasai kekayaan negara. Dalam pada itu, semangat revolusi ilmiah telah dilupakan secara total dan tidak pernah mendapatkan perhatian sedikit pun dalam gemercik kehidupan masyarakat umum.
Imam Muhammad Al-Bâqir as. menjadikan gebrakan ilmiah sebagai tujuan langkahnya. Ia mengangkat menaranya, menegakkan pilar-pilarnya, dan membentuk pondasi-pondasinya. Dengan demikian, ia adalah pemimpin dan pengajar umat ini dalam meniti perjalanan kebudayaannya. Ia telah berhasil membuka langkah-langkah yang luas dalam bidang ilmu pengetahuan. Di antara bidang-bidang ilmu pengetahuan yang telah berhasil ia buka pada masa itu adalah ilmu ruang angkasa dan astronomi-yang pada masa itu masih merupakan ilmu pengetahuan yang masih misterius. Ia adalah founder bidang ilmu pengetahuan ini.
Di antara ilmu-ilmu pengetahuan terpenting yang telah mendapatkan perhatian (khusus) Imam Muhammad Al-Bâqir as. adalah penyebaran ilmu Fiqih Islam yang bermuara dari (ajaran) Ahlul Bait as. dan memuat ruh dan substansi agama Islam. Ia telah berusaha sekuat tenaga untuk menghidupkan ilmu yang satu ini dan menegakkan tonggak dan pondasi-pondasinya. Para fuqaha tersohor dan kenamaan berkumpul di sekeliling (lilin)nya, seperti Abân bin Taghlib, Muhammad bin Muslim, Buraid, Abu Bashîr, Fadhl bin Yasâr, Ma'rûf bin Khurbuz, Zurârah bin A'yun, dan lain-lainnya-yang para perawi hadis sepakat untuk membenarkan mereka dan mengakui kejeniusan mereka, serta keutamaan menulis hadis-hadis Ahlul Bait as. telah dimiliki oleh para fuqaha tersebut. Seandainya mereka tidak ada, niscaya harta peninggalan ilmu Fiqih-yang menjadi kebanggaan dunia Islam-tersebut akan musnah tak berbekas.
Sesuatu yang menjadi kebanggaan dan kemuliaan dalam sejarah hidup imam yang satu ini adalah, bahwa ia telah berhasil mendidik para fuqaha tersebut seperti putra-putranya sendiri. Ia menyiarkan keutamaan mereka secara terang-terangan, memperkuat pusat kegiatan mereka, dan menyuruh seluruh umat untuk mengikuti pendapat dan fatwa-fatwa mereka. Ia pernah berkata kepada Abân bin Taghlib: "Duduklah di masjid Madinah dan berikanlah fatwa kepada masyarakat. Karena, aku ingin ada salah seorang sepertimu di kalangan Syi'ahku yang dikenal ...."
Imam Muhammad Al-Bâqir as. menjamin nafkah kehidupan para fuqaha tersebut dan mencukupi segala kebutuhan ekonomi mereka supaya mereka dapat meMûsâtkan konsentrasi untuk menimba ilmu, menegakkan tonggak-tonggaknya, dan menyusun pondasi-pondasinya. Ketika ia harus meninggalkan dunia ini, ia berwasiat kepada putranya, Imam Ja'far Ash-Shâdiq as. untuk memperhatikan dan menjamin nafkah kehidupan mereka supaya mereka tidak disibukkan oleh kebutuhan ekonomi sehingga mereka tidak terhambat untuk meneruskan menimba ilmu dan menyebarkannya di tengah-tengah masyarakat.
Para fuqaha ini telah melaksanakan peran mereka dengan membukukan segala hadis yang telah mereka dengarkan dari Imam as. dan mengajarkannya kepada delegasi-delegasi ilmiah (yang datang ke kota mereka). Salah seorang murid ia yang bernama Jâbir bin Yazîd Al-Ju'fî telah meriwayatkan tujuh puluh ribu hadis darinya. Mayoritas hadis yang telah diriwayatkannya itu berkisar pada bidang ilmu Fiqih. Sebagaimana murid lain ia yang bernama Abân bin Taghlib telah meriwayatkan banyak hadis yang tak terkira jumlahnya. Buku-buku referensi Hadis dan Fiqih telah memuat banyak hukum yang berhubungan dengan masalah ibadah, akad, dan îqâ' yang telah diriwayatkan darinya. Atas dasar ini, sudah selayaknya apabila ia disebut sebagai pendiri dan penyebar Fiqih Ahlul Bait as.
Berkenaan dengan bidang ilmu Tafsir Al-Qur'an, Imam Muhammad Al-Bâqir as. telah memberikan perhatian yang sangat serius. Ia mengkhususkan waktu khusus untuk itu. Para mufasir telah banyak belajar darinya. Mereka telah membukukan hadis-hadis yang telah diriwayatkan dari nenek moyangnya tentang tafsir sebagian ayat-ayat kitab yang mulia ini. Ia pernah menulis sebuah buku khusus tentang tafsir Al-Qur'an. Buku ini diriwayatkan oleh Ziyâd bin Mundzir, tokoh utama aliran Al-Jârudiyyah. Dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Bâqir as. (Biografi Imam Muhammad Al-Bâqir), kami telah memaparkan beberapa ayat telah ditafsirkan olehnya sendiri.
Dalam sebagian hadis-hadisnya, Imam Muhammad Al-Bâqir as. memaparkan sejarah hidup para nabi as. dan tekanan-tekanan yang telah menimpa mereka dari para Fir'aun pada masa mereka, serta hikmah, nasihat, dan adab sopan santun yang pernah diriwayatkan dari mereka. Sebagaimana juga ia menjelaskan secara sempurna sejarah kehidupan Nabi saw. seperti telah diriwayatkan oleh Ibn Hisyâm, Al-Wâqidî, Al-Halabî, dan para penulis sejarah dan kisah-kisah peperangannya yang lain. Di samping itu, banyak juga hadis dan riwayat yang telah diriwayatkan darinya tentang etika, akhlak, dan amal-amal yang bajik.
Layak disebutkan di sini bahwa Imam Muhammad Al-Bâqir as. pernah mengadakan dialog dengan beberapa tokoh dan ulama dari kalangan pengikut agama Kristen, Azâriqah, kaum Ateis, dan para Ghulat. Ia keluar sebagai pemenang dalam dialog tersebut. Para lawan mengakui kemampuan ilmiah dan keunggulannya atas diri mereka. Kami telah menyebutkan kisah ini dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Bâqir as.
Ala kulli hal, sejarah tidak pernah mengenal seorang imam dan pemimpin seperti Muhammad Al-Bâqir as. Ia telah mewakafkan seluruh hidupnya untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dan menebarkannya di tengah-tengah masyarakat. Ia-seperti diakui oleh para perawi hadis-telah mendirikan sekolahnya yang agung di Yatsrib (Madinah Al-Munawarah sekarang-pen.). Sekolah ini telah berhasil membekali para ilmuwan dengan ilmu Fiqih, Hadis, Filsafat, Teologi, dan Tafsir Al-Qur'an.
Suatu tindakan yang sangat penting dalam sejarah kehidupan Imam Abu Ja'far as. ini adalah ia telah berhasil membebaskan mata uang Islam dari dominasi Imperium Romawi. Mata uang Islam ini sebelumnya dicetak di dalam negara Imperium Romawi dan memuat syiar-syiarnya. Faktor yang memaksa Imam Al-Bâqir untuk bertindak demikian-seperti diceritakan oleh para perawi hadis-adalah sebagai berikut:
Abdul Malik melihat secarik mata uang kertas yang telah dicetak di Mesir. Ia memerintahkan supaya (tulisan yang terdapat di atas) mata uang itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Terjemahan tulisan itu memuat syiar agama Kristen "Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Ruhul Kudus". Ia menolak sikap ini. Lantas, ia menulis sepucuk surat kepada gubernurnya di Mesir, Abdul Aziz bin Marwan supaya menon-aktifkan seluruh mata uang itu. Sebagai gantinya, mata uang yang ada hendaknya dibubuhi syiar Tauhid "Tiada tuhan selain Dia". Ia juga menulis surat keputusan resmi kepada seluruh gubernur wilayah kekuasaannya untuk membatalkan setiap mata uang kertas yang telah dibubuhi stempel Imperium Romawi dan menyiksa setiap orang yang ditemukan memiliki mata uang tersebut. Para juru tulis negara menulis surat keputusan resmi negara tersebut dan surat-surat resmi itu tersebar di seantero negara Islam.
Raja Imperium Romawi bak kebakaran jenggot ketika mengetahui hal itu. Ia menulis surat kepada Abdul Malik memohon supaya mata uang yang telah dicetak itu difungsikan kembali. Ia menyertakan hadiah (yang berlimpah) dengan suratnya itu. Ketika surat itu sampai di tangan Abdul Malik, ia memerintahkan supaya hadiah itu dikembalikan dan ia juga tidak menjawab suratnya. Raja Romawi melipatgandakan hadiahnya, dan menulis surat kepadanya untuk yang kedua kali seraya memohon supaya mata uang-mata uang kertas itu difungsikan kembali. Abdul Malik tidak menjawab suratnya dan mengembalikan hadiah tersebut. Kali ini, Raja Romawi menulis surat kepadanya seraya mengancam untuk membubuhkan celaan terhadap Rasulullah saw. di atas mata uang dinar dan dirham. Abdul Malik pun merasa ketakutan. Ia mengumpulkan seluruh orang-orang dekatnya dan menceritakan ancaman Raja Romawi tersebut.
Ruh bin Zanba' berkata: "Sesungguhnya engkau mengetahui jalan keluar dari problema ini. Akan tetapi, engkau sengaja tidak menghiraukannya."
Abdul Malik bertanya: "Celaka engkau! Apakah itu?"
Ia menjawab: "Hendaknya engkau meminta pendapat Al-Bâqir dari Ahlul Bait Nabi saw."
Abdul Malik menerima usulannya. Ia menulis surat kepada gubernurnya untuk Yatsrib supaya menghadirkan Imam Al-Bâqir as. ke istananya dan memperlakukannya dengan segala hormat. Ia juga memerintahkan supaya gubernur Yatsrib menyiapkan perlengkapan dan keperluan perjalanan ia dengan biaya sebesar seratus ribu dirham dan membekali ia dengan nafkah sebesar tiga ratus ribu dirham. Gubernur Yatsrib melaksanakan segala titak Abdul Malik.
Imam Muhammad Al-Bâqir as. keluar dari Madinah menuju Damaskus. Ketika sampai di Damaskus, ia disambut oleh Abdul Malik dengan penyambutan resmi negara dan memperlakukannya dengan penuh hormat. Setelah itu, ia menceritakan problema negara yang sedang dihadapinya.
Imam Al-Bâqir as. berkata kepadanya: "Jangan sampai problema ini memberatkanmu. Karena problema ini tidak seberapa beratnya dari dua sisi: pertama, sesungguhnya Allah 'Azza Wajalla tidak akan membiarkan ancaman yang telah dilontarkan oleh Raja Romawi itu, dan kedua, karena masih ada jalan keluar dan solusi untuk itu."
Abdul Malik bergegas bertanya: "Apakah jalan keluar dan solusi itu?"
Imam Muhammad Al-Bâqir as. menjawab: "Pada saat ini juga, panggilah ahli-ahli pencetak uangmu. Perintahkanlah mereka untuk mencetak mata uang dinar dan dirham di hadapanmu. Bubuhkanlah surah Tauhid di satu sisi mata uang itu dan nama Rasulullah saw. di sisi mata uang yang lain. Tuliskanlah negara tempat mata uang itu dicetak dan tahun pencetakannya di pinggiran mata uang dirham dan dinar tersebut."
Imam Muhammad Al-Bâqir as. mengajarkan kepadanya bagaimana mata uang itu harus dicetak. Setelah itu usai, ia memerintahkan supaya seluruh transaksi di seluruh antero negara Islam dilakukan dengan menggunakan mata uang tersebut. Di samping itu, ia juga memerintahkan supaya mata uang pertama yang pernah berlaku supaya dibatalkan dan orang-orang yang masih menggunakan dalam suatu transaksi supaya dihukum sekeras-kerasnya. Abdul Malik menyetujui keputusan Imam Al-Bâqir tersebut.
Ketika Raja Romawi mengetahui hal itu, ia menjadi lemah lunglai dan segala usahanya sia-sia bak diterpa angin topan. Mata uang pertama yang pernah berlaku pun dibatalkan dan seluruh transaksi dilakukan dengan menggunakan mata uang yang telah ditentukan oleh Imam Al-Bâqir as. itu. Mata uang ini terus berlaku aktif hingga masa kekuasaan dinasti Bani Abbâsiyah.
Dunia Islam telah berutang budi kepada Imam Abu Ja'far as. lantaran tindakannya telah menyelamatkannya dari mengekor kepada mata uang Imperium Romawi dan menjadikan negara ini independen berdiri sendiri. Akhirnya, mata uangnya bisa dicetak di dalam negeri muslimin dan memuat syiar-syiar Islami.
Sebelum kami menutup lembaran halaman sejarah kehidupan Imam Abu Ja'far Al-Bâqir as., kami ingin memaparkan sebagian karakter dan etikanya yang telah menjadikan kebanggaan dan kemuliaan tersendiri bagi dunia Islam.
Kesabaran (Al-Hilm)

Kesabaran adalah karakter dan akhlak Imam Abu Ja'far as. yang paling nyata. Para penulis biografinya sepakat bahwa ia tidak pernah berbuat jelek terhadap orang yang telah menzalimi dan melaliminya. Tetapi, sebaliknya ia malah memperlakukannya dengan penuh maaf dan kebajikan. Para ahli sejarah telah meriwayatkan gambaran yang beraneka ragam tentang kesabarannya ini.
Di antara manifestasi kesabaran Imam Muhammad Al-Bâqir as. adalah kisah berikut ini:
Ada seorang penduduk Syam yang sering menghadiri majelis pertemuan Imam Al-Bâqir dan mendengarkan ceramah-ceramahnya dengan seksama. Ia merasa tertarik dengan seluruh ucapan Imam Al-Bâqir. Pada suatu hari, ia menghadap kepada Imam Al-Bâqir dengan wajah yang masam seraya berkata: "Hai Muhammad, aku selalu menghadiri majelismu bukan lantaran aku mencintaimu dan juga bukan karena keyakinanku bahwa ada orang lain yang lebih kubenci dari kamu sekalian, Ahlul Bait. Aku meyakini bahwa ketaatan kepada Allah dan Amirul Mukminin tersembunyi di dalam kebencian kepadamu. Akan tetapi, aku (selalu mendatangi majelismu) lantaran aku melihat engkau adalah seorang yang fasih berbicara. Engkau memiliki adab sopan santun dan ucapan-ucapan yang indah menawan. Aku sering mengunjungimu hanya karena sopan santunmu."
Imam Al-Bâqir as. menoleh kepadanya dengan penuh kasih sayang dan kelemah-lembutan. Ia menghadap kepadanya dengan penuh kecintaan dan kebajikan. Ia mencurahkan segala kebajikan dan kebaikan kepadanya sehingga orang Syam itu menjadi berpikiran lurus dan kebenaran menjadi nyata baginya. Kebenciannya kepada Imam Al-Bâqir as. telah berubah menjadi kecintaan yang kokoh kepadanya. Orang Syam itu senantiasa berpegang teguh kepada kecintaan tersebut sehingga ajal menjemputnya. Ia berwasiat supaya Imam Al-Bâqir as. menyalati jenazah dirinya.
Imam Muhammad Al-Bâqir as. telah mewarisi kakeknya, Rasulullah saw., untuk karakter ini. Dengan ketinggian akhlaknya, Rasulullah saw. telah berhasil mempersatukan hati-hati yang berbeda, menyatukan berbagai naluri yang beraneka ragam, dan mengumpulkan umat manusia dalam kalimat Tauhid.
Ketabahan (Ash-Shabr)

Ketabahan atas seluruh cobaan dan musibah dunia adalah salah satu unsur kepribadian dan substansi diri Imam Al-Bâqir as. Ia tabah menghadapi musibah yang lebih pedih dari sayatan pedang. Ia tabah menghadapi pelecehan penguasa terhadap nenek moyangnya dan cercaan atas mereka di atas mimbar-mimbar masjid, sedangkan ia mendengar semua itu dan tidak memungkinkan baginya untuk angkat bicara. Ia pun tabah menghadapinya dan memendam amarah, serta menyerahkan seluruh urusannya kepada Allah swt., karena Dia-lah yang akan menghukumi seluruh hamba-Nya dengan benar.
Di antara ujian-ujian berat yang telah dilalui oleh Imam Al-Bâqir as. dengan penuh ketabahan adalah pembantaian mengerikan yang telah dilakukan oleh penguasa terhadap para pengikut Ahlul Bait as. Ada sebagian mereka yang dicongkel matanya, ada yang dipotong tangannya, dan ada juga yang dibunuh hanya dengan sekedar tuduhan belaka. Sementara itu, ia tidak memiliki kemampuan untuk menolong dan menyelamatkan mereka dari seluruh musibah dan cobaan yang sedang mereka hadapi itu.
Di antara contoh-contoh ketabahan Imam Al-Bâqir as. adalah dua kisah berikut ini:
(Pertama), pada suatu hari ia sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya. Tiba-tiba ia mendengar suara jeritan dari dalam rumah. Sebagian sahabat bergegas menuju ke dalam rumah. Lalu, ia membisikkan kepadanya bahwa seorang sahayanya sedang menggendong seorang bayi dan bayi itu jatuh dari gendongannya. Bayi itu meninggal dunia seketika itu juga.
Imam Al-Bâqir as. berseru: "Segala puji bagi Allah atas segala pemberian-Nya, dan hanya bagi-Nyalah apa yang telah diambil oleh-Nya. Cegahlah mereka dari menangis, siapkanlah acara pemakamannya, dan mintalah kepada mereka untuk tenang. Katakanlah kepada sahaya itu, 'Engkau telah bebas karena Allah, lantaran wara' yang ada dalam dirimu.'"
Setelah berkata demikian, Imam Al-Bâqir as. melanjutkan pembicaraan dengan para sahabatnya. Seorang budaknya menghadap seraya berkata: "Kami telah selesai mempersiapkan acara pemakamannya." Imam Al-Bâqir memberitahukan kepada para sahabat tentang hal itu dan memerintahkan mereka supaya menyalati, lalu menguburkannya.
(Kedua), Imam Al-Bâqir pernah memiliki seorang anak yang sangat ia cintai. Anak itu jatuh sakit. Ia sangat sedih atas penyakit yang telah menimpanya. Akhirnya, anak itu pun meninggal dunia. Ia menghadapi semua itu dengan tenang dan tabah. Para sahabat berkata: "Wahai putra Rasulullah, kami khawatir terhadap diri Anda."
Imam Al-Bâqir as. menjawab mereka dengan segala ketenangan dan keridaan atas ketentuan Ilahi sembari berkata: "Sesungguhnya kami memohon kepada Allah atas segala sesuatu yang Dia cintai. Jika ternyata terjadi apa yang kami tidak kami sukai, kami tidak akan pernah menentang Allah atas segala sesuatu yang Dia cintai."
Imam Al-Bâqir as. telah mempersenjatai diri dengan ketabahan dan menghadapi seluruh musibah dunia ini dengan keimanan yang kokoh tanpa rasa penyesalan dan kebosanan hanya dengan mengharap pahala dari Allah swt. semata.
Kasih Sayang kepada Fakir Miskin

Di antara akhlak Imam Al-Bâqir as. yang tinggi adalah ia senantiasa berbuat kasih sayang terhadap golongan fakir miskin. Ia selalu menghadapi mereka dengan penghormatan dan pemuliaan yang lebih. Ia selalu berpesan kepada keluarganya, apabila seorang peminta mendatangi mereka, jangan sampai mereka berkata kepadanya: "Hai peminta, ambillah ini." Akan tetapi, hendaknya mereka berkata kepadanya: "Wahai hamba Allah, semoga Allah senantiasa memberkatimu." Sebagaimana juga, ia memerintahkan kepada mereka untuk memanggil para peminta itu dengan nama mereka yang terbaik. Sungguh akhlak dan etika ini terilhami oleh akhlak dan etika kakeknya, Rasulullah saw. sebagai seorang nabi yang memiliki kelebihan atas seluruh nabi yang lain karena ketinggian akhlaknya.
Suatu perilaku yang lebih dicintai oleh Imam Abu Ja'far as. ini adalah menyambung tali hubungan dengan saudara-saudaranya, menanggapi orang-orang yang ingin bermaksud berjumpa dengannya, dan menjawab harapan orang-orang yang menaruh harapan kepadanya.( ) Ia telah diciptakan secara fitrah untuk mencintai segala kebajikan, menjalin hubungan silaturahmi dengan masyarakat, dan memasukkan kebahagiaan ke dalam kalbu mereka.
Ibn Ash-Shabbâgh pernah berkata: "Muhammad bin Ali bin Al-Husain-dengan segala ilmu, keutamaan, figur kepemimpinan, dan imâmah yang dimilikinya-tetap murah anugerahnya di kalangan orang-orang khusus dan umum, masyhur dengan kedermawanan, dan dikenal dengan berbuat keutamaan dan kebajikan, meskipun ia memiliki keluarga besar dan dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan."
Imam Al-Bâqir as. sendiri pernah menegaskan: "Segala yang ada di dunia tidak memiliki nilai kebaikan kecuali mengadakan hubungan silaturahmi dengan saudara-saudara seiman yang lain dan ilmu pengetahuan."
Ibadah

Imam Abu Ja'far Al-Bâqir as. adalah salah seorang imam dan pemimpin orang-orang yang bertakwa dan junjungan para 'abid. Ia telah menumpahkan penyembahannya kepada Allah swt. dengan bentuk keikhlasan yang paling sempurna. Ketika ia sedang berdiri untuk mengerjakan salat, warna tubuhnya berubah menjadi pucat lantaran takut kepada Allah swt. Ia mengerjakan salat sebanyak seratus lima puluh rakaat dalam sehari dan semalam, dan posisinya sebagai tempat rujukan umat dalam bidang keilmuan dan kepemimpinan tidak menyita waktu dan kesempatannya untuk mengerjakan salat sebanyak mungkin. Dalam sujud, ia selalu membaca doa berikut ini:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ حَقًّا حَقًّا، سَجَدْتُ لَكَ يَا رَبِّ تَعَبُّدًا وَ رِقًّا. اَللَّهُمَّ إِنَّ عَمَلِيْ

ضَعِيْفٌ فَضَاعِفْهُ لِي. اَللَّهُمَّ قِنِيْ عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ عِبَادَكَ وَ تُبْ عَلَيَّ، إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ

الرَّحِيْمُ

"Maha Suci Engkau! Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku yang sejati. Aku bersujud kepada-Mu dengan penuh arti penyembahan dan penghambaan. Ya Allah, sesungguhnya amalku adalah sedikit. Maka, berlipat gandakanlah untukku. Ya Allah, jagalah aku dari siksa-Mu pada hari Engkau membangkitkan seluruh hamba-Mu dan ampunilah aku. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Imam Muhammad Al-Bâqir as. juga memiliki doa-doa lain ketika membaca qunut dan sujud, dan kami telah memaparkannya dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Bâqir as.
Kezuhudan

Imam Muhammad Al-Bâqir as. adalah termasuk figur-figur yang zuhud di dunia. Ia selalu menghindarkan diri dari kegemerlapan dunia. Ia tidak pernah menghampar permadani di rumahnya. Di majelis-majelis (pertemuannya), ia selalu menghampar alas yang terbuat dari pelepah kurma.
Imam Muhammad Al-Bâqir as. memandang dunia ini dengan prinsip yang dalam dan menyeluruh. Oleh karena itu, ia menghindarkan diri dari segala kelezatan dan kegemerlapannnya-kecuali segala sesuatu yang berhubungan dengan kebenaran, serta menghadap kepada Allah dengan kalbu yang khusyuk.
Jâbir bin Yazîd Al-Ju'fî berkata: "Muhammad bin Ali pernah berkata kepadaku, 'Sesungguhnya aku sangat sedih dan sesungguhnya hatiku tersibukkan ...'
Aku bertanya, 'Apakah kesedihan Anda dan apa yang telah menyibukkan hati Anda?'
Ia menjawab, 'Hai Jâbir, jika tanggung jawab terhadap Allah 'Azza Wajalla telah mengusik ketenangan hati seseorang, tanggung jawab itu akan menyibukkannya sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk memikirkan tanggung jawab yang lain ... Hai Jâbir, Apakah gerangan dunia ini? Akan menjadi apakah dunia ini? Bukankah dunia hanyalah sekadar tunggangan yang kau tunggangi, pakaian yang kau kenakan, atau wanita yang kau gunakan ...?'"
Banyak sekali ucapan dan pesan-pesan yang telah diriwayatkan dari Imam Abu Ja'far as. berkenaan dengan konsep zuhud dan peringatan terhadap masalah dunia dan tipu dayanya.
Mutiara Hikmah

Banyak sekali mutiara hikmah yang pendek telah diriwayatkan dari Imam Abu Ja'far as. Mutiara-mutiara hikmah itu sungguh memuat nilai-nilai yang tinggi, hikmah-hikmah yang benar, dan pengalaman-pengalaman yang bermanfaat. Di antara mutiara-mutiara hikmah tersebut adalah sebagai berikut ini:
a. Imam Al-Bâqir as. berkata: "Barang siapa tidak menjadikan Allah sebagai penasihat dirinya, sungguh nasihat-nasihat orang lain tidak akan bermanfaat sedikit pun baginya."
b. Imam Al-Bâqir as. berkata: "Tidak akan bermaksiat kepada Allah orang yang mengenal-Nya." Selanjutnya, ia melantunkan bait syair berikut:
Jika engkau jujur mencintai, niscaya engkau pasti menaati-Nya; lantaran pecinta selalu menaati titah kekasihnya.
c. Imam Al-Bâqir as. berkata: "Kenalilah kecintaan yang ada dalam kalbu saudaramu dengan kecintaan yang terdapat di dalam kalbumu."
d. Imam Al-Bâqir as. berkata: "Sesungguhnya seorang mukmin adalah saudara mukmin yang lain; ia tidak akan pernah mencercanya, tidak akan pernah memboikotnya, dan tidak akan pernah juga berburuk sangka terhadapnya."
e. Imam Al-Bâqir as. berkata: "Allah pernah berfirman, 'Wahai Adam, jauhilah apa yang telah Kuharamkan atasmu, niscaya engkau akan menjadi hamba yang paling wara'.'"
f. Imam Al-Bâqir as. berkata: "Tiada musibah apapun yang menimpa seorang hamba kecuali lantaran dosa (yang pernah dilakukannya)."
Nasihat Imam Al-Bâqir as. kepada Para Pengikut Syi'ah

Imam Abu Ja'far as. pernah mengutus sebagian sahabat kepada sekelompok pengikut Syi'ah dan memerintahkan mereka untuk menyampaikan pesan-pesan berikut ini kepada mereka.
Imam Al-Bâqir as. berpesan: "Sampaikanlah salamku kepada para pengikut kami dan berwasiatlah kepada mereka supaya mereka bertakwa kepada Allah Yang Maha Agung, supaya orang kaya mereka menjenguk orang-orang fakir, supaya orang yang sehat menjenguk orang yang sakit, supaya orang yang masih hidup menghadiri acara ritual pemakaman jenazah orang sudah meninggal dunia, dan supaya mereka mengadakan pertemuan-pertemuan di rumah-rumah mereka; karena kunjungan dan pertemuan antara sesama mereka dapat menghidupkan missi kami. Semoga Allah merahmati orang yang menghidupkan missi kami dan mengamalkan segala perintah kami sebaik mungkin. Katakanlah kepada mereka, 'Sesungguhnya kami tidak akan dapat menanggung tanggung jawab mereka di hadapan Allah kecuali dengan amal saleh. Mereka tidak akan pernah menggapai wilâyah kami kecuali dengan wara' dan usaha keras. Sesungguhnya orang yang paling menyesal pada hari kiamat adalah orang yang memuji sebuah amal, dan kemudian ia tidak mengerjakannya, lalu mengerjakan amal yang lain.'"
Syahadah

Imam Abu Ja'far as. tidak meninggalkan dunia ini secara alamiah. Akan tetapi, tangan-tangan berdosa yang tidak memiliki keyakinan terhadap Allah dan konsep hari akhir telah membunuhnya dengan perantara racun mematikan. Orang yang telah melakukan kejahatan ini adalah Hisyâm-menurut sebuah pendapat-dan Ibrahim-menurut pendapat yang lain. Menurut kemungkinan besar, pembunuhnya adalah Hisyâm. Lantaran, ia memiliki rasa iri dengki yang dalam terhadap keluarga kenabian, dan dialah yang memaksa syahid abadi, Zaid bin Ali, untuk mengadakan perlawanan terhadap dirinya; Hisyâm memperlakukannya dengan segala kezaliman dan penghinaan sehingga syahid abadi ini terpaksa mengadakan perlawanan terhadap pemerintahannya hingga meneguk cawan syhahadah pada masa ia masih berkuasa.
Adapun faktor mengapa Hisyâm membunuh Imam Abu Ja'far as., hal itu karena keutamaan dan kekuatan ilmiah ia yang telah tersebar di seantero jagad. Begitu juga, lantaran muslimin selalu membicarakan tentang kejeniusan dan karunia-karunianya (yang tak pernah habis).
Ketika Imam Al-Bâqir as. meminum racun tersebut, racun itu bereaksi dalam tubuhnya dengan dahsyat. Maut pun mendekat kepadanya dengan cepat, dan ia menghadap kepada Allah swt. dengan hati dan seluruh perasaannya, sedangkan ia masih dalam keadaan membaca beberapa ayat Al-Qur'an. Ketika ia sedang sibuk dengan zikir kepada Allah swt., ajal yang pasti telah menjemput kedatangannya. Rohnya yang agung naik ke haribaan Allah swt. dengan diiringi oleh para malaikat muqarrab. Dengan kepergiannya ini, sebuah lembaran dari lembaran-lembaran sejarah risalah Islam-yang telah berhasil menganugerahkan kesadaran dan kemajuan dalam segala bidang ilmu pengetahuan kepada masyarakat Islam-telah tertutup.
Tubuh suci Imam Al-Bâqir as. dikebumikan di pemakaman Baqi' di samping ayahnya, Imam Zainal Abidin as. dan Imam Hasan as. Dengan ini pula, ilmu, kesantunan, dan kebajikan terhadap masyarakat telah terkuburkan pula.
Catatan Kaki:

Al-Imam Ash-Shâdiq Kama 'Arafahu Ulama' Al-Gharb. Di dalam buku ini, dipaparkan penjelasan yang sempurna tentang ilmu-ilmu pengetahuan yang telah berhasil dicetuskan oleh Imam Al-Bâqir as. dan beliau ajarkan kepada murid-murid beliau.
An-Najâsyi, hal. 28; Jâmi' Ar-Ruwât, jilid 1, hal. 6.
Al-Fihrist, karya Syaikh Thusi, hal. 298.
Azâriqah adalah sebuah sekte sempalan dari sekte Khawarij. Sekte ini dipimpin oleh Nâfi' bin Azraq. Menurut keyakinan mereka, setiap penentang sekte Azâriqah layak dibunuh dan kaum wanita boleh untuk dijadikan tawanan. Silakan Anda rujuk Al-Munjid, kosa kata [رزق]-pen.
Hayâh Al-Hayawan, karya Ad-Dumairi, jilid 1, hal. 63-64; Al-Muthâla'ah Al-'Arabiyah, jilid 1, hal. 31.
Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Bâqir as., jilid 1, hal. 131.
Ibid. hal. 122.
Târîkh Dimasyq (tulisan tangan), jilid 51, hal. 52; 'Uyûn Al-Akhbâr, karya Ibn Qutaibah, jilid 3, hal. 57.
'Uyûn Al-Akhbâr, karya Ibn Qutaibah, jilid 3, hal. 208.
Al-Bayân wa At-Tabyîn, hal. 158.
Al-Fushûl Al-Muhimmah, karya Ibn Ash-Shabbagh, hal. 277.
Syarah Syafiyah Abi Firas, jilid 2, hal. 176.
Shifah Ash-Shafwah, jilid 2, hal. 63; A'yân Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 506, bagian pertama.
Târîkh Ibn 'Asâkir, (tulisan tangan), jilid 51, hal. 44.
Furû' Al-Kafi, jilid 3, hal. 323.
Ibid.
Da'âim Al-Islam, jilid 2, hal. 158.
Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 292-300.
Ushûl Al-Kafi, jilid 2, hal. 269.
Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Bâqir as., jilid 1, hal. 253.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar