Wasiat Sayyidina Ali KW kepada Sayyidina Hasan dan
Husein
bismillahi, solatullah wa salamuhu
‘ala sayyidina Muhammad wa ali Muhammad.
“Saya nasihati Ananda berdua untuk
bertakwa kepada Allah SWT dan Ananda hendaknya tidakmenjadikan (kesenangan)
dunia sebagai tujuan, sekalipun dunia mengejarmu. Jangan menyesaliapapun yang
tidak dapat kalian gapai dari dunia ini. Berkata dan berbuat benarlah Ananda.
Jadilahmusuh penindas dan penolong yang tertindas.
Saya menasihati ananda berdua, semua
anak saya, anggota keluarga saya dan setiap orang yangbersinggungan dengan
tulisan saya agar bertakwa kepada Allah …..”
(Dikutip dari buku; Wasiat Imam Ali
dengan perubahan seadanya dari penulis catatan ini)
Sayyidina Ali KW dilahirkan di dalam
Ka’bah. Beliau adalah salah seorang sahabat muda Rasulullah SAW yang merupakan
satu-satunya sahabat - menurut catatan sejarah- mewariskan karya tulis. Dan
yang saat ini bertahan -dalam perkiraan sebagai kumpulan khutbah dan surat
surat beliau adalah- kitabNahjul Balaghah. Beliau, sebagai
pemuda muslim pertama yang memeluk Islam merupakan orang terdekat Rasulullah
SAW. Pertalian darah beliau dengan Rasulullah masih terhitung saudara dekat
(sepupu). Lebih dari itu, beliau adalah menantu yang sekaligus anak asuhnya
SAW.
Sayyidina Ali KW tumbuh dewasa di
bawah atap (madrasah) Rasulullah. Maka dengan demikian, Say. Ali adalah sarjana
tertua (baca; seneor) yang pernah dilahirkan oleh Universitas paling bergengsi
sepanjang sejarah kehidupan dunia ini, Baiturrosul SAW.
Wasiat di atas adalah kutipan kecil
yang sangat penting untuk disebarluaskan. Singkat memang. Tapi tidak
sesingkat itu makna yang tersimpan. Lihatlah misalnya, kandungan wasiat yang
berbunyi “Saya nasihati Ananda berdua untuk bertakwa kepada Allah SWT
dan Ananda hendaknya tidak menjadikan (kesenangan) dunia sebagai tujuan,
sekalipun dunia mengejarmu”. Bagi umat Islam yang sudah terbiasa dengan
wasiat, kata takwa adalah hal paling esensial untuk menjadi nasehat antar dua
orang sahabat, antar dua kekasih, antar orangtua dan anak, antar suami dan
istri, antar teman, antar guru dan murid, antar makhtub dan khatib, antar mad’u
dan da’i, dan seterusnya. Pembahasan tentang takwa sangat banyak tersebar di
berbagai pembahasan, mulai dari pembahasan tentang akhlak, akidah atau tasawuf,
bahkan sudah masuk dalam pembahasan tentang psikologi (spesifik: Psikologi
Islam).
Adanya kata takwa dalam wasiat yang
disampaikan oleh Say. Ali di atas menunjukkan perhatian dan kepedulian beliau
yang dalam tentang pentingnya implementasi dan konsistensi seorang mukmin
(muslim) akan takwa. Maka bertakwalah, wahai saudaraku, semoga Allah
mengumpulkan Kita dengan orang-orang yang bertakwa, baik selagi di dunia dan
lebih-lebih ketika kelak di akhirat. Amin.
Terlepas dari wasiat takwa yang
sejatinya pada prosesi mingguan (baca: solat jumat) umat Islam menjadi rukun
(tidak boleh ditinggalkan) yang menarik perhatian saya disini adalah
kalimat Ananda hendaknya tidak menjadikan (kesenangan) dunia sebagai
tujuan, sekalipun dunia mengejarmu.
Dalam renungan saya, wasiat ini
terasa absurd. Absurd tidak dalam pengertian maknanya yang sangat tinggi. Juga
tidak dalam pengertian tujuannya yang sangat mulia. Tapi lebih kepada kondisi
pribadi saya, dan “pribadi-pribadi umat” dalam konteknya saat ini. Untuk Tidak
menjadikan dunai sebagai tujuan.
Pada pernyataan saya terakhir ini,
saya tidak menilai saudara-saudara saya seiman sebagai diri saya. Penilaian
saya pada berbagai hal sebagai sebuah isyarat akan kondisi mereka yang
mencerminkan kondisi dimana dunia menjadi tujuan. Saya bersyukur kepada Allah
jika penilaian saya salah. Penilaian saya sangat sederhana. Sebagai misal,
merebaknya fenomina da’i dan khatib yang menarif adalah salah satu isyarat
bahwa dunialah tujuan (Allahu A’lamu bish Shawab). Pernyataan ini
sepenuhnya saya sadari dan saya membuka diri untuk dikritik dengan berbagai
pilihan cara yang arif.
Isyarat lain yang boleh ditarik
dalam catatan saya ini adalah fakta-fakta para pemimpin bangsa yang -notabenenya-
mereka muslim. Adakah dari mereka didapati mengedepankan kepentingan umat?
Adakah dari mereka yang memilih mendahukan rakyat? Adakah dari mereka yang
tampil menjadi Sultan Al Fatih yang memilih merelakan dirinya tidak
tidur siang malam demi rakyat yang dipimpinnya dan memilih hidup sederhana
lebih sederhana dibandingkan dengan kesederhanaan kehidupan rakyat yang paling
sederhana? Atau memilih menjadi pencitraan Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali?
Mungkin misal - misal itu terlalu jauh. Terlalu suci dan ideal untuk ukuran
masyarakat modern seperti saat ini. Tapi kemudian, pertanyaan saya adalah
dimana martabat kemodernan jika makna modern adalah kehidupan penindasan,
kehidupan yang tidak mengenal keprimanusiaan lebih-lebih nilai-nilai keagamaan?
Saya berdoa kepada Allah agar mereka
tidak terjatuh dalam kesimpulan Nabi SAW bahwa seoarang muslim (baca: Mukmin)
yang kemuslimannya tidak menghalanginya berlaku mungkar, maka dia sejatinya
bukanlah muslim. Saya juga berdoa kepada Allah agar senantiasa membentangkan
pengawasanNya kepada saya, orang-orang yang saya cintai, saudara-saudara saya
seagama untuk tidak terjebak pada tujuan sementara, kenikmatan dunia.
Amin ya robbana, wa antallah
maksuduna…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar