Antara hati dan amal.
Sebagian orang ada yang apabila
ditegur karena suatu kesalahan maka ia menjawab “ah, yang penting hatinya!”, ia
katakan seolah-olah ia merasa tak bersalah karena tidak berniat durhaka pada
Allah SWT dengan amal yang disalahkan itu. Ucapan itu sebenarnya hanyalah
sebuah silat lidah saja, ia hanya tidak terima untuk disalahkan, atau ia merasa
memiliki hati yang baik sehingga sebuah kesalahan ia anggap tidak akan
berpengaruh pada statusnya sebagai orang baik. Ucapan seperti itu sebenarnya
sangatlah buruk, karena ucapan seperti itu menunjukkan bahwa si pengucap sama
sekali tidak merasa perlu untuk merubah merubah kesalahannya.
Mengakui sebuah kesalahan adalah
sisa-sisa amal yang sangat penting untuk dijaga oleh seorang yang melakukan
suatu dosa, pengakuan itulah satu-satunya yang masih bisa ia lakukan, dan
apabila pengakuan itu juga telah hilang dari hatinya maka kehidupan beragamanya
ibarat api kecil yang tinggal menunggu hembusan angin, kemudian mati. Suatu
contoh didalam menutup aurat, apabila seorang wanita belum bias menutup rambut
karena terpengaruh lingkungan, maka setidaknya ia masih sadar bahwa ia telah
melakukan suatu kesalahan, akui itu dalam hatinya, akui pula pada orang-orang
di sekitarnya. Saya yakin bahwa mereka bukan sengaja mendurhakai Allah, mereka
tidak menutup rambut karena lingkungan dan pergaulan, seandainya lingkungan
mereka adalah pesantren maka saya yakin mereka pasti juga menutup rapat aurat
mereka. Dan seandainya yang di Pesantren itu sejak dulu hidup di lingkungan
membuka aurat maka belum tentu mereka tahan dari pengaruh lingkungannnya. Jadi,
yang di Pesantren harus bersyukur karena ia ditempatkan pada lingkungan yang
mendukungnya mengamalkan perintah jilbab, sementara yang di lingkungan buka
aurat dan belum bisa menutup aurat harus tetap mengakui kesalahan membuka
aurat, serta tetap berpikir agar suatu saat dapat menutup aurat. Bila ia tulus
dengan pikiran dan keinginan itu insyaallah ia lebih punya harapan untuk
dimaafkan oleh Allah SWT atas kesalahannya selama ini, dan akan mendapatkan
kemudahan untuk berubah pada yang lebih baik.
Selain keadaan hati dapat
berpengaruh pada amal lahiriah, amal lahiriah juga dapat berpengaruh pada hati.
Pada awalnya mungkin hati merasa berontak ketika pertama kali kita berbuat
dosa, dan pada saat itu berarti iman kita masih ada. Namun apabila perbuatan
itu kemudian sering kita lakukan maka “pemberontakan” itu lambat laun
menghilang, sehingga yang semua berbuat dengan hari berat akhirnya menjadi
berbuat dengan hati senang, dan pada saat itu berarti iman kita telah
berkeping-keping. Demikian pula dengan perbuatan orang lain. Ketika pertama
kali kita berkenalan dengan pemabuk, hati kita merasa berat, inkar dan risih
melihat teman kita mabuk, dan pada saat itu berarti iman kita masih bagus.
Namun setelah kita sering kumpul dengan si pemabuk itu maka lama-lama hati kita
tidak lagi merasa berat, tidak lagi merasa inkar dan risih, dan pada saat itu
berarti iman kita telah hancur. Benarlah firman Allah SWT;
كلا
بل ران على قلوبهم ما كانوا يكسبون
“Janganlah sekali-kali demikian,
justru apa yang mereka lakukan itu dapat menutup hati mereka.” (Al-Qur’an, surat Al-Muthaffifiin : 14)
Maka hendaknya kita ingat, bahwa
selain kita harus memelihara hati agar berpengaruh baik pada amal lahiriah,
kita juga harus menjaga dan memperhatikan amal lahiriah agar tidak berpengaruh
buruk terhadap hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar