Niat shalat.
Berangkat dari Hadits ini niat
diatas, niat shalat menjadi bahan diskusi diantara Ulama-ulama ahli fiqih.
Al-Imam Asy-Syafi’i menyimpulkan
bahwa semua amal, termasuk shalat, tiada sah tanpa dengan niat. Sementara yang
lain, seperti Al-Imam Malik, menyimpulkan bahwa semua amal tidak sempurna
(bukan tidak sah) tanpa dengan niat.
Bagi pengikut madzhab (pendapat)
Asy-Syafi’i, berangkat dari pendapat bahwa niat adalah rukun, dimana shalat
tidak sah tanpanya, maka ditulislah teks panduan niat dalam kitab-kitab madzhab
tersebut, dengan menyaratkan adanya Ta’yin (penentuan) komplit
dalam niat shalat, yaitu menentukan shalat “apa” dan berapa raka’atnya, fardhu
atau sunnah, melaksanakan kewajiban pada waktunya atau qadha’. Misalnya untuk
shalat zhuhur;
“Aku berniat shalat zhuhur
empat raka’at, menghadap qiblat, untuk melaksanakan kewajiban yang sekarang
(bukan qadha’), karena Allah ta’ala.”
Ke”komplit”an ini tidak lain adalah
merupakan kepedulian ulama fiqih terhadap penjelasan tentang niat. Bahkan untuk
itu mereka kemudian menyusun suatu kalimat untuk dilafalkan ketika berniat,
dengan maksud sebagai usaha untuk memandu hati pada niat tersebut.
Bagi orang yang tidak mengerti
maksud dan tujuannya, talaffuzh (melafalkan niat) ini dianggap sebagai
bid’ah yang dibuat-buat oleh madzhab Asy-Syafi’i.
Namun tidak sedikit pula dari
pengikut madzhab Asy-Syafi’i yang kemudian, ternyata, memang salah faham dengan
panduan niat ini, mereka menganggap bahwa niat itu adalah menghadirkan ungkapan
sebagaimana lafal niat tersebut dan mengejanya kalimat demi kalimat di dalam
hati. Dan karena definisi niat itu dalah..
قَصْدُ شَيْءٍ مُقْتَرِناً بِفِعْلِهِ
“Menyengaja sesuatu
bersamaan dengan melakukannya”
Maka proses penghadiran ungkapan
niat itu di lakukan pada awal takbiratul-ihram. Ironisnya, mereka yang salah
faham (dengan mengeja lafal niat didalam hati) itu kemudian salah faham lagi
dengan kalimat “muqtarinan bi-fi’lihi” (bersamaan dengan perbuatannya)
yang ada dalam konteks definisi niat itu. Mereka menganggap bahwa proses
pengungkapan niat harus rampung pada saat takbiratul-ihram, sehingga
mereka menyelesaikan bacaan takbir dalam waktu yang cukup lama, karena menunggu
selesainya pelafalan niat didalam hati, bahkan tidak sedikit dari mereka yang
kemudian sering was-was semasa takbir, merasa niatnya tidak sah karena belum
sempurna terlafalkan didalam hatinya, dan akibatnya banyak yang sering
menggagalkan takbir dan mengulanginya kembali dengan niat ala mereka.
Sungguh ini merupakan kesalahfahaman
yang ironis, karena selain hal ini dapat menyulitkan si peshalat, maka bagi
pengkeritik madzhab Asy-Syafi’i, hal ini akan dibuat sebagai alasan untuk
menyalahkan Ulama Asy-Syafi’iyah yang telah menyusun lafal niat.
Memang benar, niat itu harus rampung
pada saat takbir, artinya kesadaran dan kesengajaan untuk shalat itu harus
sudah hadir didalam hati sebelum takbir usai. Namun, sekali lagi, bukan
melafalkan niat pada saat takbir.
Niat itu praktis.
Untuk memahami niat yang sebenarnya,
marilah kita simak perumpamaan berikut ini; Ketika si Amin menyerahkan selembar
uang kepada seorang pengemis, si Amin bermaksud bersedekah uang sebesar lima
ratus rupiah. Setelah uang itu diterima oleh si pengemis, si Amin baru sadar
bahwa uang lembaran itu ternyata pecahan lima ribu rupiah. Si Amin merasa
keberatan untuk membiarkan semua uang itu diambil si pengemis, namun untuk
menukarnya atau minta kembalian adalah sesuatu yang tidak mungkin. Maka si Amin
pun mengelus dada seolah hal itu adalah musibah.
Menyikapi ihwal si Amin ini, kita
dapat berdiskusi mengenai hal berhubungan dengan niat. Si Amin bersedekah
dengan maksud lima ratus rupiah, namun yang terjadi adalah ia keliru
menyerahkan uang pecahan lima ribu rupiah. Sebenarnya si Amin tidak ikhlas
dengan yang empat ribu lima ratus rupiah, namun apa boleh buat, karena uang itu
oleh si pengemis telah dimasukkan kedalam kantong bajunya.
Kalau mereka mengatakan bahwa si
Amin hanya mendapatkan pahala dari uang yang lima ratus rupiah, tentu semua
orang akan membenarkan mereka dan si Amin pun tidak akan merasa keberatan. Akan
tetapi kalau mereka bertanya dulu kepada si Amin, apakah sewaktu menyerahkan
uangnya ia berniat dengan mengungkapkan seumpama kalimat “aku berniat
menyerahkan uang lima ratus rupiah ini kepada pengemis ini sebagai shadaqah
sunnah, karena Allah”, maka tentu saja si Amin akan jengkel dan berkata,
“Memangnya siapa yang bilang harus niat begitu?”
Demikian pula dengan niat shalat,
yang dimaksud dengan niat itu adalah bersengaja dan bermaksud, sehingga ada
bedanya dengan orang yang sedang mengigau, atau orang yang lupa waktu, atau
orang yang belum hafal betul tentang jumlah raka’at shalat. Adapun bagi orang
yang sudah rapi menghadap qiblat di masjid, serta sadar dengan waktu shalatnya,
misalnya shalat zhuhur, dan sudah puluhan tahun melakukan shalat sehingga hafal
betul kalau shalat zhuhur itu empat raka’at, maka apa lagi yang ia perlukan
dalam niatnya? Apakah kesiapannya dengan mengangkat tangan untuk bertakbir itu
belum cukup untuk disebut niat?
Satu hal lagi hendaknya mereka
perhatikan, kalau memang niat itu harus seperti faham mereka, maka ingatlah
bahwa niat itu harus “muqtarinan bifi’lihi” (bersamaan dengan
perbuatannya). Nah, lalu kenapa proses talaffuzh di hati itu hanya
mereka pusatkan pada saat takbir? Bukankah perbuatan shalat itu bukan hanya
takbir, melainkan semua amalan mulai takbir sampai salam? Kalau memang niat itu
harus melafalkan panduan niat dihati, maka sepanjang shalat hati kita hanya
akan sibuk dengan kalimat “Aku berniat shalat zhuhur empat raka’at, dengan
menghadap qiblat, untuk melaksanakan kewajiban yang sekarang, karena Allah
Ta’ala.” Sungguh ini adalah suatu kesimpulan dari sebuah faham yang
keliru!
Hendaknya hal ini difahami oleh para
peshalat, terutama pengikut madzhab Asy-Syafi’i yang mengharuskan niat dalam
shalat, terutama lagi oleh orang-orang yang sering was-was semasa bertakbir.
Ketahuilah bahwa syetan telah
memanfaatkan kesalahfaman mereka untuk mengganggu mereka. Karena dengan
kesalahfahaman itu biasanya seseorang melakukan beberapa kekeliruan,
diantaranya;
1. Memanjangkan
bacaan “Allaah” melebihi batas panjangnya, yaitu tiga huruf atau enam harakat
(enam detik).
2.
Mengurungkan takbir dan mengulang dari awal, padahal apabila seseorang telah
membaca takbir shalat maka berarti ia telah masuk dalam shalat, dan tidak boleh
(haram) membatalkan shalat kecuali sangat terdesak.
3.
Meninggalkan konsentrasi terhadap kandungan makna takbir demi untuk talaffuzh
di hati yang tahshilul-hasil (mengusahakan seseuatu yang telah
tercapai), karena sebenarnya niatnya telah tercapai. Padahal, sewaktu takbir,
semestinya kita merasakan kebesaran dan kewibawaan Allah Azza wa-Jalla,
sehingga sewaktu bertakbir hati kita menjadi ciut dan terkesiap karena takut
kepada Allah Azza wa-Jalla.
Kesimpulannya, niat shalat menurut
madzhab Asy-Syafi’i adalah sebagai berikut:
a.
Niat adalah rukun shalat. Niat shalat artinya bersengaja di hati (bukan
melafalkan sengaja di hati) untuk melakukan shalat tertentu, bersengaja fardhu
atau sunnah, bersengaja dengan raka’at tertentu, bersengaja menghadap qiblat,
bersengaja ada’ (sholat pada waktunya) atau qadha’ (shalat mengantikan yang
terlewatkan), bersengaja jadi makmum (kalau bermakmum) dan bersengaja karena Allah.
Niat atau kesengajaan itu harus sudah dilakukan atau terjadi sebelum
takbiratul-ihram usai, dan harus terus berlangsung (tidak putus) sampai salam,
karena fi’lu (kelakuan shalat) itu adalah semua bagian shalat mulai dari
takbiratulihram sampai salam. Perlu diperhatikan bahwa niat dan talaffuzh
bin-niyyah (melafalkan niat) itu adalah dua hal yang berbeda!
b. Talaffuzh
bin-niyyah di mulut dan di hati sebelum takbiratul-ihram adalah “sunnah”
dalam arti mustahabb (disukai atau dianjurkan), apabila talaffuzh
ini memang dapat membantu kesiapan shalat.
c.
Talaffuzh bin-niyyah di mulut pada saat takbiratul-ihram adalah hal yang
tidak mungkin. Karena mulut tidak mungkin dapat mengucapkan takbir dan lafal
niat dalam satu waktu, melainkan mesti harus bergantian; entah lafal niat
terlebih dahulu atau takbir dahulu.
d. talaffuzh
bin-niyyah (bukan niat) di hati pada saat takbiratul-ihram adalah hal yang
tidak semestinya. Karena, apabila peshalat telah sadar bahwa ia sedang atau
mulai melakukan suatu shalat, maka talaffuzh bin-niyyah adalah tahshilul-hashil
(mengusahakan sesuatu yang telah tercapai). Dan bahkan gara-gara talaffuzh yang
tidak semestinya itu, peshalat justru mengorbankan sesuatu yang semestinya dan
penting, yaitu menghadirkan kandungan makna takbiratul-ihram.
Dari itu, bila kita telah siap untuk
shalat, pastikan di hati bahwa kita hendak menghadap Allah ‘Azza wa-Jalla,
pastikan kalau kita sadar hendak shalat, misalnya, zhuhur, pastikan bahwa kita
tidak lupa kalau zhuhur itu empat raka’at, pastikan kalau kita sudah menghadap
ke qiblat, pastikan apakah sedang shalat ada’ atau shalat qadhaa’, pastikan
apakah kita shalat sendirian atau berma’mum, kemudian dengan mantap kita angkat
kedua tangan seraya mengucapkan “Allaahu Akbar”, kita ucapkan dengan fasih dan
tenang, hayati makna takbir dengan penuh khusyu’.
Sungguh niat itu sangat praktis,
kecuali bagi orang yang tidak memahami niat dengan sebenarnya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar