Total Tayangan Halaman

Kamis, 29 Januari 2015

Apakah Falsafah Haramnya Nikah dengan Muhrim?

Dalam surat An-Nisa' [4], ayat 23 difirmankan, "Diharamkan atas kamu [mengawini] ibu-ibumu, anak-anak wanitamu, saudari-saudarimu, saudari-saudari bapakmu, saudari-saudari ibumu, anak-anak wanita dari saudara-saudara priamu, anak-anak wanita dari saudari-saudarimu, ibu-ibu susumu, saudari sepersusuanmu, ibu-ibu istrimu [mertua], anak-anak wanita istri-istrimu yang ada dalam tanggungjawabmu dari istri yang telah Kamu campuri; akan tetapi apabila Kamu belum mencampuri istri-istrimu [dan telah Kamu cerai], maka tidak ada dosa bagi Kamu untuk mengawininya, [dan diharamkan bagi Kamu] istri-istri dari anak kandung Kamu [menantu], demikian juga diharamkan bagi Kamu menghimpunkan [dalam perkawinan] dua orang wanita yang bersaudari, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang."
Dari sini, muncul sebuah pertanyaan, apakah filsafat diharamkannya pernikahan muhrim?
Di ayat di atas, telah diisyaratkan tentang pelarangan menikah dengan para muhrim dan wanita-wanita muhrim berdasarkan prinsip keharaman tersebut bisa dikelompokkan dalam tiga kelompok:
a. Kemuhriman yang disebabkan oleh "kelahiran" yang disebut dengan "hubungan nasabî".
b. Kemuhriman yang disebabkan oleh "pernikahan" yang dinamakan "hubungan sababî".
c. Kemuhriman yang disebabkan oleh "sepersusuan "yang disebut dengan "hubungan radha'î".
Kelompok pertama, muhrim nasabi terdiri dari tujuh orang. Allah berfirman, "Diharamkan atas kamu [mengawini] ibu-ibumu, anak-anak wanitamu, saudari-saudarimu, saudari-saudari bapakmu, saudari-saudari ibumu, anak-anak wanita dari saudara-saudara priamu, anak-anak wanita dari saudari-saudarimu ...."
Harus diperhatikan bahwa maksud dari "ibu" di sini bukan hanya wanita yang telah melahirkannya, tetapi juga ibu-nya ibu (nenek dari pihak ibu), ibu-nya ayah (nenek dari pihak ayah), dan ibu-nya nenek (dari kedua belah pihak) dan yang sestatus mereka. Demikian juga, yang dimaksud dengan "anak-anak wanitamu" bukan hanya anak wanita yang tanpa perantara, tetapi juga anak wanita sendiri, anak wanita dari anak-anak prianya, anak wanita dari anak-anak wanitanya serta anak-anak mereka, dan demikian pula dengan kelima kelompok yang lainnya.
Jelas bahwa semua orang secara kodrat tidak menyukai perkawinan semacam ini. Atas dasar inilah semua kaum dan bangsa (kecuali beberapa individu saja) telah mengetahui keharaman menikah dengan muhrim. Bahkan, kaum Majusi sendiri di buku-buku pegangan mereka memberikan izin terhadap perkawinan sesama muhrim, tetapi saat ini mereka telah menolak hal tersebut.
Meskipun sebagian orang mengupayakan bahwa perkawinan semacam ini bersumber dari sebuah tradisi dan kebiasaan kuno, akan tetapi kita tahu bahwa kemutlakan sebuah hukum yang ada di dalam masyarakat pada kurun dan waktu yang demikian lama biasanya menunjukkan kefitrahan hukum itu sendiri. Karena, tradisi dan budaya tidak akan bisa menjadi suatu hal yang universal dan kekal.
Lebih dari itu, pada saat ini telah terbukti bahwa perkawinan yang dilakukan dengan muhrim akan menimbulkan berbagai macam bahaya pada masing-masing individu yang melakukannya. Dengan perkawinan semacam ini, penyakit-penyakit yang tadinya tersembunyi dan merupakan sebuah penyakit keturunan dalam diri seseorang, akan menjadi tersingkap dan semakin berpotensi (dan bukannya hal itu akan melahirkan penyakit baru). Bahkan, sebagian orang berpendapat, bukan hanya pada perkawinan antar muhrim, bahkan perkawinan dengan keluarga yang nasabnya lebih jauh dari itu, seperti dengan anak-anak paman pun tidak baik bagi mereka, dan mereka berkeyakinan bahwa hal ini akan semakin memperparah penyakit-penyakit keturunan yang telah ada. Akan tetapi, apabila masalah ini di dalam sanak famili yang jauh tidak menimbulkan masalah (dan memang demikian yang biasanya terjadi), tetapi pada perkawinan sesama muhrim pasti menimbulkan problem.
Selain itu, di antara sesama muhrim biasanya tidak terdapat daya tarik dan gairah seksual, karena biasanya mereka tumbuh besar secara bersama-sama dan antara mereka terdapat hubungan keakraban yang sangat dekat sehingga menganggap hubungan mereka sebagai hubungan biasa. Hal-hal yang langka tidak dapat dijadikan sebagai tolok ukur sebuah hukum universal. Dan kita pun tahu bahwa daya tarik seksual merupakan syarat bagi keeratan ikatan perkawinan. Oleh karena itu, apabila terjadi perkawinan antara sesama muhrim, maka yang akan terjadi adalah sebuah perkawinan yang lemah dan tidak abadi.
Kemudian, ayat selanjutnya mengisyaratkan muhrim radha'î (sepersusuan) dan berfirman, "... dan [diharamkan pula bagimu] wanita yang menyusuimu, dan saudari-saudari yang sepersusuan denganmu ...."
Meskipun Al-Qur'an di dalam ayat ini hanya menunjukkan dua kelompok, yaitu wanita-wanita yang menyusui dan saudari-saudari sepersusuan, akan tetapi berdasarkan banyak riwayat yang otentik, muhrim sepersusuan tidak hanya terbatas pada dua kelompok di atas, melainkan berdasarkan hadis Rasulullah saw. bersabda, "Seluruh orang yang dari sisi hubungan nasab diharamkan, maka dari sisi hubungan sepersususan pun diharamkan."
Tentu saja, tolok ukur sepersusuan yang bisa menyebabkan kemuhriman, demikian juga syarat-syarat memerlukan banyak pembahasan yang telah termaktub di dalam buku-buku fiqih.
Filsafat pengharaman menikah dengan muhrim sepersusuan adalah karena pertumbuhan daging dan tulang mereka yang telah tumbuh berkembang dari susu seorang ibu susu sama dengan susu yang telah membesarkan anak-anak dari ibu susu tersebut. Misalnya, seorang anak yang disusui oleh seorang ibu susu sehingga badannya mengalami pertumbuhan yang khas akan mempunyai kemiripan dengan keseluruhan anak-anak wanita tersebut, dan pada hakikatnya, masing-masing mereka berdua merupakan bagian dari badan wanita tersebut sehingga dengan demikian, hubungan mereka persis sama seperti hubungan dua orang saudara yang senasab.
Di akhir ayat itu diisyaratan tentang golongan muhrim yang ketiga. Golongan ini pun memiliki beberapa kelompok, yaitu:

a. "... ibu-ibu dari istri-istrimu ...."
Yaitu, begitu seorang pria menikah dengan seorang wanita dan mengucapkan akad nikah, pada saat itu juga ibu wanita tersebut dan ibu dari ibunya … akan menjadi haram mutlak bagi pria tersebut.

b. "... anak-anak wanita istri-istrimu yang berada di dalam tanggung jawabmu dari istri-istri yang telah kamu campuri ...."
Yaitu, anak-anak wanita dari istri-istri seseorang yang berada di dalam tanggung jawabnya dengan syarat ia telah melakukan hubungan seksual dengan istri-istri itu. Dengan kata lain, hanya melakukan akad secara syar'i dengan seorang wanita tidak bisa menyebabkan anak wanita (yang merupakan buah perkawinan dari suami yang lain) dari wanita tersebut secara otomatis menjadi haram bagi suaminya yang sekarang. Tetapi, selain telah melakukan akad nikah, mereka juga telah tidur bersama (melakukan hubungan seksual). Adanya catatan (qaid) khusus pada persoalan di atas menekankan bahwa hukum "ibunya istri" yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya tidak mempunyai syarat sebagaimana syarat ini, dan secara istilah, hal ini memperkuat kemutlakan hukum tersebut.
Meskipun lahiriah catatan "fî hujûrikum" (yang berada di dalam tanggung jawabmu) memberi pemahaman bahwa apabila anak perempuan istri yang dihasilkan dari suami yang lain tidak berada dalam tanggung jawab suaminya tersebut berarti anak wanita tersebut tidak haram baginya, akan tetapi dengan indikasi (qarînah) yang ada dalam riwayat dan adanya kejelasan hukum tentang masalah ini menyebabkan catatan ini bukanlah sebuah "catatan pengecualian" (qaid ihtirâzî), tetapi menjelaskan poin pengharaman. Hal itu lantaran anak-anak wanita yang ibunya menikah lagi biasanya masih berada dalam usia kanak-kanak dan berada di dalam tanggung jawab suami barunya yang akan membesarkannya sebagaimana anaknya sendiri.
Sebenarnya ayat tersebut mengatakan bahwa pada dasarnya, posisi mereka ini layaknya anak-anak perempuan kamu sendiri. Apakah ada seorang ayah mau menikah dengan anaknya sendiri? Dengan dalil ini pula nama rabâ'ib dipilihkan bagi mereka, bentuk plural dari rabîbah yang berarti; telah terdidik.
Untuk menekankan topik ini, kelanjutan dari ayat di atas menambahkan bahwa apabila mereka belum melakukan hubungan badan dengan istri-istri mereka, maka anak-anak perempuan dari istri-istri mereka tidak akan menjadi haram bagi mereka.
... akan tetapi, apabila kamu belum mencampuri istri-istrimu [dan kamu telah menceraikannya], maka tidak ada dosa bagi kamu untuk mengawininya."

c. "...istri-istri dari anak kandung kamu [menantu] ...."
Pada hakikatnya, ungkapan "min ashlâbikum" (anak-anak dari keturunanmu) didasarkan pada penetapan atas kebatilan salah satu tradisi Jahiliyah, di mana pada zaman tersebut telah menjadi suatu kebiasaan pada seseorang yang memilih seorang anak sebagai anak angkat. Yaitu, mengambil anak yang sebenarnya milik orang lain dan dijadikan sebagai anaknya sendiri. Pada masa itu, anak angkat mempunyai keseluruhan hukum yang dimiliki oleh anak hakiki. Dengan dalil inilah mereka enggan menikah dengan istri-isri dari anak-anak angkat itu. Akan tetapi, dalam norma Islam, anak angkat tidak mempunyai hukum-hukum seperti anak hakiki secara keseluruhan.

d. "... dan [diharamkan bagi Kamu] menghimpunkan [dalam pernikahan] dua wanita yang bersaudara ....
Yaitu, tidak dibenarkan bagi seseorang untuk menikah dengan dua wanita bersaudara dalam satu masa. Oleh karena itu, dibolehkan atas seseorang untuk menikah dengan dua orang atau lebih dari wanita bersaudara pada zaman yang berbeda-beda dan hal ini dilakukan setelah berpisah dari saudara wanita yang sebelumnya.
Di zaman Jahiliyah, menghimpun dua wanita bersaudara dalam satu pernikahan merupakan suatu hal yang biasa terjadi dan juga terdapat banyak individu yang telah melakukan pernikahan semacam ini. Oleh karena itu, ungkapan tersebut, Al-Qur'an melanjutkan "illa mâ qad salaf" (kecuali apa yang berlalu) sehingga orang-orang yang -sebelum turunnya hukum ini- telah melakukan pernikahan semacam itu tidak akan mendapatkan balasan dan siksaan, meskipun sekarang ia harus memilih salah satu dari kedua wanita bersaudara tersebut dan melepaskan yang satunya.
Mungkin rahasia mengapa Islam melarang pernikahan semacam ini adalah, bahwa dua wanita yang bersaudara berdasarkan hukum nasab dan ikatan batin yang alami mempunyai ikatan kasih sayang yang luar biasa antara yang satu dengan yang lainnya. Ketika mereka telah berada dalam satu persaingan, secara praktis mereka tidak akan bisa mempertahankan rasa kasih sayang yang ada sebelumnya. Dengan demikian, akan terjadi kontradiksi antara kasih sayang dan persaingan di dalam diri mereka, yang tentu saja hal ini akan berdampak negatif dan berbahaya bagi mereka. Karena, pasti akan terdapat rasa kasih sayang yang senantiasa berhadapan dengan rasa persaingan di dalam wujud mereka yang -pada gilirannya- akan memicu tejadinya pertikaian di antara mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar