Total Tayangan Halaman

Kamis, 29 Januari 2015

MENGENAL ALLOH SWT ( bagian 3 )


Apakah Maksud dari Petunjuk dan Kesesatan dari Tuhan?

Hidâyah secara leksikal berarti petunjuk disertai dengan perhatian. Hidâyah ini terbagi kepada dua; menunjukkan jalan dan menyampaikan sesuatu ke tujuannya secara langsung, atau dengan ungkapan lain; hidâyah tasyrî'î dan hidâyah takwînî.


Penjelasan

Tatkala seseorang menunjukkan jalan kepada orang yang sedang mencari sebuah alamat, terkadang ia menunjukkan alamat tersebut dengan lengkap; disertai dengan seluruh kriterianya. Akan tetapi, untuk menempuh jalan dan menuju ke tempat tujuannya, ia serahkan kepada si pencari alamat tersebut. Namun, terkadang ia mengambil tangannya, dan sambil menunjukkan jalan, ia juga mengantarkannya hingga mencapai tempat tujuannya.
Dengan kata lain, pada cara pertama, yang dijelaskan hanya aturan (qânûn), syarat-syarat untuk menempuh jalan dan mencapai tujuan. Namun, pada cara kedua, selain hal tersebut, segala sarana perjalanan juga dipersiapkan; menyingkirkan segala rintangan, mencarikan solusi atas masalah-masalah yang ada, dan membantu serta menjaga para pencari hingga mencapai tujuan.
Tentu saja, lawan dari hidâyah adalah kesesatan (dhalâlah).
Secara global, permasalahan ini akan menjadi jelas dengan menilik ayat-ayat Al-Qur'an. Al-Qur'an menyatakan bahwa petunjuk dan kesesatan adalah perbuatan Tuhan. Dan keduanya dinisbahkan kepada Tuhan. Dan sekiranya kita ingin membahas seluruh ayat yang menyinggung perkara ini, tentu memeprlukan waktu yang panjang. Kami kira sudah memadai jika kita renungkan dua ayat berikut ini:
Allah memberikan petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki. (QS. Al-Baqarah [2]: 213).
… tetapi, Allah memberikan petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki dan menyesatkan siapa saja yang dikehendaki. (QS. An-Nahl [16]: 93)
Kita juga akan menjumpai ayat-ayat yang mengisyaratkan petunjuk (hidâyah) dan kesesatan (dhalâlah) yang serupa dengan redaksi kedua ayat di atas.
Dan selain itu, sebagian ayat Al-Qur'an dengan gamblang menafikan hidayah dari sisi Nabi saw. dan menisbahkannya hanya kepada Allah Swt. semata.
Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak dapat memberikan petunjuk kepada orang yang engkau cintai, melainkan Allah memberikan petujuk kepada siapa saja yang dikehendaki. (QS. Al-Qashash [28]: 56)
... Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk. Akan tetapi, Allahlah yang memberikan petunjuk [memberi taufik] kepada siapa yang dikehendaki .... (QS. Al-Baqarah [2]: 272)
Menelaah hanya pada permukaan ayat-ayat ini dan tidak menyentuh makna ayat tersebut telah menyebabkan sekelompok orang -dalam menafsirkan ayat-ayat ini- terjerembab ke dalam kesesatan, dan menyimpang dari jalan petunjuk serta terperosok dalam Determinisme (jabr). Bahkan, sebagian mufassir terkenal tidak lepas dari petaka ini dan terjatuh ke dalam kesalahan yang fatal. Ia meyakini bahwa urusan petunjuk dan kesesatan dengan segenap tingkatannya merupakan bentuk Determinisme.
Anehnya, lantaran kontradiksi pekercayaan ini dengan prinsip Keadilan dan Hikmah Ilahi, mereka memberikan preferensi yang mengingkari keadilan secara terang-terangan.
Pada prinsipnya bahwa seandainya kita terima Determinisme, maka makna taklif (tugas-tugas syar'i, -AK), tanggung-jawab, pengutusan para rasul dan penurunan kitab-kitab samawi tidak lagi berarti.
Akan tetapi, pendukung paham kebebasan penuh (ikhtiyâr) percaya bahwa tidak satu pun akal sehat yang dapat menerima asumsi bahwa Allah Swt. memaksa mereka untuk mengambil jalan kesesatan, dan setelah itu -karena keterpaksaan ini- mereka harus menerima hukuman. Atau ada sekelompok manusia yang telah diberi petunjuk dan setelah itu, tanpa alasan mereka diganjar pahala, padahal keistimewaan yang mereka dapatkan ini bukan karena amalan yang mereka lakukan.
Atas dasar paham inilah memilih cara-cara lain dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Penafsiran yang akurat dan relevan dengan seluruh ayat-ayat ihwal petunjuk dan kesesatan adalah penafsiran yang tidak sedikit pun berselisih dengan makna lahiriah ayat-ayat berikut ini:
Hidayâh tasyrî'î bermakna menunjukkan jalan secara umum tanpa adanya syarat dan ikatan. Sebagaimana ayat yang berfirman, "Sesungguhnya Kami telah menunjukkan kepada mereka jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir." (QS. Ad-Dahr: 3) "... dan sesungguhnya engkau benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus." (QS. Asy-Syura [42]: 52) Sangat jelas bahwa ajakan nabi ini adalah kepanjangan ajakan Tuhan, karena apa saja yang dimiliki oleh Nabi berasal dari-Nya.
Tentang kaum musyrikin dan sekelompok orang yang tersesat, Allah Swt. berfirman, "… dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka." (QS. An-Najm [53]: 23)
Adapun hidâyah takwînî bermakna menyampaikan (îshâl) ke tujuan dan menuntun tangan para hamba sehingga mereka dapat menempuh jalan yang berliku, serta menjaga dan menolong mereka hingga sampai di ambang keselamatan.
Hidâyah takwînî ini menjadi topik pembahasan dalam banyak ayat yang lain tanpa adanya kait dan syarat. Hidayah ini khusus bagi orang-orang yang ciri-ciri khas mereka telah dijelaskan di dalam Al-Qur'an. Dan kesesatan yang berarti sebagai lawan dari hidayah, khusus bagi orang-orang yang ciri-ciri khas mereka juga telah dijelaskan di dalam Al-Qur'an.
Kendati sebagian ayat-ayat ini bersifat mutlak, namun banyak pula ayat-ayat yang menjelaskan kait dan syaratnya secara teliti. Dan ketika ayat-ayat yang berkait (muqayyad) dan mutlak ini bersanding satu dengan yang lainnya, permasalahannya akan menjadi sangat jelas dan tidak tersisa lagi sedikit pun keraguan dan ambiguitas. Ayat-ayat ini tidak hanya tidak bertentangan dengan masalah kebebasan manusia, akan tetapi justru menekankannya.
Kini perhatikan baik-baik penjelasan di bawah ini!
Allah Swt berfirman: "...dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu [pula] banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada orang yang disesatkan Allah kecuali orang-orang fasik." (QS. Al-Baqarah [2]: 26)
Ayat ini menyitir sumber kesesatan, kefasikan dan keluarnya mereka dari ketaatan dan perintah Allah Swt.
Pada kesempatan yang lain, Allah Swt. berfirman, "… dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim." (QS. Al-Baqarah [2]: 258)
Ayat ini menerangkan masalah kezaliman (tirani dan despotisme) yang kemudian menjadi lahan tumbuhnya kesesatan.
Pada kesempatan ketiga, kita membaca, "... dan Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang kafir." (QS. al-Baqarah [2]: 264)
Di dalam ayat ini dijelaskan ihwal kekufuran (kufr) yang menjadi ladang berseminya kesesatan.
Di dalam ayat yang lain Allah berfirman: "… sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang pendusta dan sangat ingkar." (QS. az-Zumar [39]: 3)
Di dalam ayat ini juga berdusta dan kekafiran disebutkan sebagai awal kesesatan.
Dan di tempat lain disebutkan, "... sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang berlebih-lebihan lagi pendusta." (QS. al-Ghafir [40]: 28) Maksudnya adalah bahwa perbuatan berlebih-lebihan (isrâf) dan berkata dusta menjadi penyebab kesesatan.
Tentu saja, apa yang telah kami sebutkan di sini hanyalah sebagian dari ayat-ayat Al-Qur'an yang bersangkutan dengan dengan pembahasan ini. Sebagian lainnya dengan redaksi yang sama banyak disebutkan secara berulang-ulang di dalam Al-Qur'an.
Konklusinya, penegasan Al-Qur'an bahwa kesesatan hanya berasal dari Allah Swt. semata, hanya khusus bagi orang-orang yang memiliki kriteria kufur, tirani, fasik, dusta, berlebih-lebihan, dan enggan berterima kasih.
Apakah orang-orang yang memiliki kriteria-kriteria seperti ini tidak pantas mendapatkan kesesatan?
Dengan ungkapan lain, apakah terjeratnya seseorang di dalam kriteria-kriteria ini tidak akan menjadi hijab dan kegelapan di dalam hatinya?
Lebih jelas lagi, perbuatan dan kriteria yang dimiliki orang itu mau atau tidak mau akan menjadi tirai yang menutupi mata, telinga dan akalnya sehingga ia akan masuk ke dalam jurang kesesatan. Mengingat bahwa seluruh benda dan efek seluruh sebab-sebab terjadi atas perintah Allah Swt., kesesatan dalam seluruh perkara ini dapat dinisbahkan kepada Allah Swt. Namun, penisbahan ini bersemayam pada ikhtiyar dan kebebasan berkehendak manusia.
Uraian di atas ini berkenaan dengan masalah kesesatan (dhalâlah). Adapun mengenai masalah petunjuk (hidâyah), Al-Qur'an juga menyebutkan sifat dan syarat-syaratnya. Hal ini menunjukkan bahwa petunjuk juga bukan tanpa sebab, tidak pula bertentangan dengan hikmah Ilahi.
Sebagian dari karakteristik yang menjadikan seseorang berhak mendapatkan petunjuk dan merengkuh kasih sayang Ilahi telah disebutkan pada ayat-ayat di bawah ini:
Dengan kitab itulah Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan [dengan kitab itu pula] Allah mengeluarkan orang-orang dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang dengan izin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (QS.Al-Maidah [5]: 16)
Pada ayat ini, mengikuti perintah Allah Swt. dan merengkuh keridaan-Nya merupakan ladang berseminya petunjuk Ilahi.
... sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki orang-orang yang bertaubat kepada-Nya. (QS. ar-Ra'd [13]: 27)
Di sini ditegaskan bahwa taubat dan inâbah (kembali) merupakan penyebab datangnya petunjuk.
Dan orang yang berjihad [untuk mencari keridhaan] Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami .... (QS.al-Ankabut [29]: 69)
Di sini dijelaskan bahwa jihad (kesungguhan); jihad yang tulus di jalan Allah swt. adalah syarat utama petunjuk.
Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan menambahkan petunjuk dan menganugrahkan ketakwaan kepada mereka. (QS.Muhammad [47]: 17)
Di dalam ayat ini disebutkan, melintasi beberapa jalan petunjuk sebagai syarat keberlanjutan jalan ini menuju kemurahan (lutf) Allah Swt.
Konklusi dari ayat-ayat yang disebutkan di atas adalah, bahwa apabila taubat tidak datang dari para hamba, tidak mengikuti perintah-Nya, tidak berjihad dan berusaha, dan tidak melangkahkan kaki di jalan hak, maka kemurahan (lutf) Ilahi tidak akan mendatangi kehidupan mereka, tidak akan menuntun tangan mereka, dan tidak akan mengantarkan mereka mencapai tujuan.
Apakah mengkhususkan petunjuk untuk orang-orang yang memiliki sifat-sifat ini merupakan hal yang tak berdasar atau termasuk determinisme?
Anda perhatikan bagaimana ayat-ayat Al-Qur'an dalam pembahasan ini sangat jelas dan gamblang. Orang-orang yang tidak mampu atau tidak ingin mengklasifikasikan hal-hal yang benar dari ayat-ayat petunjuk dan kesesatan telah terjebak dalam kesalahan fatal. Karena tidak melihat hakikat, terpaksa memilih jalan fiktif. Harus diakui bahwa lahan kesesatan ini telah dipersiapkan oleh dirinya sendiri.
Bagaimanapun, kehendak (masyiyah) Ilahi pada ayat-ayat hidayah dan kesesatan bersandar kepada kehendak (kebebasan) tersebut. Kehendak Ilahi itu sama sekali tidak akan berlaku tanpa dasar; tanpa hikmah. Tetapi pada setiap perkara, kehendak Ilahi itu memiliki syarat-syarat khusus yang selaras dengan sifat kemahabijaksaan Ilahi.

20. Apakah Maksud dari Bertasbihnya segala sesuatu di alam semesta?

Di dalam beberapa ayat Al-Qur'an disebutkan tasbih dan tahmîd (puja dan puji) seluruh makhluk semesta kepada Allah Swt. Barangkali yang paling gamblang dari ayat-ayat tersebut adalah firman Allah: "... dan tidak suatu pun melainkan bertasbih memuji kepada-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka ...." (QS. Al-Isra' [17]: 44). Dalam ayat ini disebutkan bahwa seluruh makhluk alam memuji dan bertasbih kepada Allah Swt.
Dalam penafsiran hakikat tasbih dan pujian ini, terdapat perbedaan pendapat yang tidak sedikit di antara para ulama, filsuf dan mufassir.
Sebagian mereka beranggapan bahwa tasbih dan pujian seluruh makhluk adalah dengan bahasa wujud masing-masing. Dan sebagian yang lain berkeyakinan bahwa tasbih dan pujian mereka adalah bahasa lisan. Kesimpulan pendapat mereka yang dapat kita terima adalah di bawah ini:
a. Sebagian berkeyakinan bahwa seluruh partikel alam cipta ini, dari yang kita anggap berakal, atau tanpa ruh dan tidak berakal, memiliki satu jenis pengetahuan. Dan pada wujudnya masing-masing, mereka bertasbih dan memuji Allah Swt. Kendati demikian, kita tidak mampu memahami jenis pengetahuan mereka dan mendengarkan alunan tasbih dan pujian mereka. Ayat-ayat seperti, "... di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah ...." (QS.Al-Baqarah [2]: 74), dan, "... Lalu Ia berkata kepadanya dan kepada bumi, 'Datanglah Kamu berkedua menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.' Keduanya menjawab, 'Kami datang dengan suka hati dan taat kepada perintahMu.'" (QS.Fushshilat [33]: 11) atau ayat-ayat senada yang dapat dijadikan sebagai bukti atas akidah ini.
b. Mayoritas mufassirin (pakar dalam bidang tafsir) meyakini bahwa tasbih dan pujian adalah sesuatu yang kita kenal sebagai bahasa wujud, bermakbna hakiki, bukan figuratif; dalam bahasa wujud, bukan bahasa lisan. (Perhatikan baik-baik!).


Penjelasan

Ketika kita melihat seseorang sedang bersedih dan tampak kurang tidur, kita dapat mengatakan kepadanya, "Meskipun engkau tidak menceritakan kesedihanmu, matamu menunjukkan bahwa engkau tidak tidur semalam suntuk, dan raut wajahmu memberikan kesaksian bahwa engkau sakit."
Bahasa wujud ini kerap sedemikian kuat dan energiknya sehingga ia dapat membuat bahasa lisan berada di bawah kekuatannya dan ia tidak dapat didustakan. Seorang pujangga bersyair,
Kuberkata dengan tipu dan kecoh, kututupi rahasia diri,
Tak tertutup darah berlalu dari pandanganku.
Untaian syair ini serupa dengan apa yang disampaikan oleh Imam Ali a.s. dalam ucapannya yang terkenal, "Seseorang tidak dapat menyembunyikan rahasia hatinya kecuali akan tersingkap dari kata-kata yang tersirat dan raut wajahnya."
Dari sisi lain, apakah seseorang dapat mengingkari sebuah papan yang amat indah sebagai tanda nilai seni yang tinggi (artistik) yang menjadi saksi atas kepandaian dan talenta seorang pelukis, lalu memuji dan memujanya? Apakah ia dapat mengingkari diwân (kumpulan bait) syair para pujangga besar dan ternama yang mengisahkan disposisi fitrah tinggi mereka, lalu senantiasa memujinya? Apakah dapat diingkari bahwa gedung-gedung tinggi dan pabrik-pabrik besar serta otak-otak rumit elektronika dan semisalnya adalah ungkapan lisan; tanpa wicara dari seorang pencipta dan perancangnya? tidakkah masing-masing sesuai dengan batas profesi dan karya mereka, pasti akan dipuji oleh orang-orang yang menyaksikannya?
Oleh karena itu, harus diterima bahwa keajaiban alam wujud dengan sistemnya yang menakjubkan, dengan rahasia dan misteri, dengan keagungan yang membawa kebaikan, dan dengan pekerjaan-pekerjaan sempurnanya akan sekalu bertasbih dan memuja Allah swt.
Bukankah tasbih tidak lain adalah penyucian dan pengudusan sesuatu dari segala aib dan noda? Bangunan dan sistem alam semesta yang dibuat oleh Penciptanya ini terbebas dari segala aib dan noda.
Bukankah pujian tidak lain adalah penjelasan atas kesempurnaan? Sistem penciptaan menyingkapkan kesempurnaan Tuhan; sistem yang bersumber dari ilmu dan kemahakuasaan-Nya yang Nir-batas, dari hikmah-Nya yang serba luas dan meliput.
Inilah makna tasbih dan pujian seluruh makhluk alam semesta secara umum, yang secara sempurna dapat kita pahami, dan tanpa kita perlu percaya bahwa seluruh atom-atom alam ini memiliki pengetahuan, lantaran kita tidak memiliki dalil pasti atas hal ini. Dan ayat-ayat yang disitir di atas juga memberikan kemungkinan besar bahwa yang dimaksudkan adalah bahasa wujud.
Akan tetapi, di sini masih tersisa pertanyaan. Yaitu, sekiranya maksud dari tasbih dan pujian itu hanyalah mengisahkan sistem penciptaan yang bersumber dari kesucian, keagungan dan kemahakuasaan Tuhan Yang Mahakuasa, dan menjelaskan sifat Salbiyah dan Tsubutiyah Allah Swt., lalu mengapa Al-Qur'an menyatakan bahwa Kamu tidak memahami tasbih dan pujian mereka? Kalau benar bahwa sebagian orang (awam) tidak memahaminya, setidaknya ulama dapat memahami ihwal tersebut!
Ada tiga jawaban atas pertanyaan ini:
Pertama, mayoritas manusia, khususnya musyrikin tidak mengerti, sementara para ulama tergolong minoritas. Maka, mereka masuk ke dalam pengecualian, karena pada hal yang bersifat umum terdapat pengecualian.
Kedua, apa yang kita ketahui tentang rahasia semesta dibandingkan dengan apa yang tidak kita ketahui ibarat setetes air di samudra dan sebiji atom di gunung raksasa. Sejenak saja benar-benar merenungkannya, kita tidak dapat melekatkan nama ilmu atau pengetahuan atasnya.

Hingga titik aku mengetahui ilmuku,
Kini aku tahu bahwa aku tidak tahu.

Oleh karena itu, sejatinya kita tidak dapat mendengarkan tasbih dan pujian wujud-wujud ini, betapapun kita adalah seorang ulama. Karena apa yang kita dengarkan hanyalah sebuah kalimat dari sebuah buku besar. Maka dari itu, dapat diasumsikan melalui sebuah hukum umum atas seluruh makhluk, bahwa Kamu tidak mampu mengetahui tasbih dan pujian seluruh makhluk yang memiliki bahasa wujud ini. Karena apa yang kita ketahui bukanlah sesuatu sehingga dapat diperhitungkan.
c. Sebagian mufassir juga memberikan kemungkinan bahwa tasbih dan pujian seluruh makhluk secara umum di sini merupakan sintesa dari bahasa wujud dan bahasa lisan. Dengan kata lain, tasbih takwînî dan tasbih tasyrî'î. Kerena, kebanyakan manusia dan seluruh malaikat -berdasarkan pengetahuan- memuji dan memuja-Nya dan seluruh partikel alam semesta juga dengan bahasa wujud memuja kebesaran dan keagungan-Nya.
Meski dua jenis pujian dan tasbih berbeda satu dengan yang lainnya, namun secara umum makna tasbih dan pujian dalam arti luas adalah sinonim.
Meski begitu, tampaknya tafsir yang kedua dengan elaborasi yang kami uraikan di atas lebih melegakan hati dibandingkan yang lain.

21. Bagaimana Menjabarkan Ilmu Tuhan tentang Kejadian-kejadian yang akan Datang?

Kejadian-kejadian di masa datang belum memiliki wujud nyata sehingga ia termasuk dalam kekuasaan ilmu Tuhan. Lalu, apakah gambaran akan kejadian-kejadian itu berada dalam benak Tuhan? Sementara Tuhan tidak memiliki benak. Ilmu yang dimiliki-Nya tidak bersumber dari refleksi atau reaksi. Oleh karena itu, kita harus menerima bahwa Dia tidak memiliki ilmu tentang kejadian-kejadian akan terjadi. Sebab, ilmu presentif ('ilm al-hudhûrî) tidak berkaitan dengan masalah-masalah yang ma'dum (yang tidak ada), juga ilmu representif ('ilm al-hushûlî) tidak ada pada Tuhan (yakni, tidak dapat dikatakan bahwa Tuhan memiliki ilmu hushûlî).
Meskipun pertanyaan ini berkaitan dengan kejadian-kejadian yang akan terjadi, akan tetapi ihwal kejadian-kejadian yang telah berlalu dan sirna juga masih dapat diuraikan di sini. Sebab, kejadian-kejadian masa lalu kini sudah tidak ada lagi. Wujud Fir'aun, Bani Israil, dan sahabat-sahabat Musa misalnya telah sirna, dan sejarah mereka juga telah berlalu. Kita hanya dapat menghadirkan gambaran mereka dalam benak kita sehingga kita dapat menyusuri sejarah kehidupan mereka. Karena ilmu yang kita miliki melalui jalan imajinasi. Maksudnya, kita membayangkannya di dalam benak kita. Akan tetapi, sekaitan dengan Allah Swt., benak dan gambaran-gambarannya tidak lagi berarti, karena ilmu Tuhan hanyalah ilmu hudhûrî. Dengan demikian, bagaimana kita dapat mengerti bahwa Tuhan memiliki pengetahuan tentang kejadian yang telah berlalu?
Pertanyaan ini dapat dituntaskan melalui tiga jawaban berikut ini:

a. Tuhan senantiasa menguasai ilmu tentang Dzat-Nya nan kudus yang senantiasa menjadi sebab atas segala sesuatu. Dan ilmu ini disebut sebagai ilmu ijmâlî (pengetahuan global) terhadap seluruh kejadian dan makhluk alam semesta ini; sesudah dan sebelum penciptaannya.
Dengan kata lain, apabila kita tahu sebab terjadinya sesuatu, kita pasti mengetahui hasil dan akibatnya. Karena, setiap sebab ('illat) memiliki seluruh kesempurnaan akibat (ma'lûl), atau bahkan lebih sempurna.
Lebih jelasnya, kejadian-kejadian masa lalu belumlah sirna dan punah secara keseluruhan. Efek-efeknya masih tersisa di balik kejadian-kejadian masa kini. Demikian juga kejadian-kejadian masa datang tidak terpisah dengan kejadian-kejadian masa kini, dan bertalian erat dengan kejadian masa kini. Dengan demikian, "masa lalu", "masa datang" dan "masa kini" ibarat satu mata rantai yang menghasilkan sebab ('illat) dan akibat (ma'lûl) sehingga apabila kita mengetahui salah satunya, kita akan menemukan runtutan sebelum dan sesudahnya.
Misalnya, apabila aku mengetahui dengan pasti suhu udara seluruh planet bumi dengan seluruh partikular-partikular dan tipologinya, sebab dan akibatnya, gerakan planet bumi, masalah gravitasi dan repulsi, niscaya aku dapat mengetahui secara pasti suhu udara jutaan tahun yang lalu, atau jutaan tahun yang akan datang, lantaran kita memiliki data tentang masa lalu dan masa datang. Bukan data global (ijmali), karena data rincinya terefleksi dalam bagian file yang terkini.
Hari ini-persisnya-merupakan refleksi hari kemarin. Dan besok merupakan refleksi hari ini. Dan pengetahuan tentang seluruh bagian-bagian hari ini yaitu pengetahuan terhadap masa lalu dan masa datang.
Dengan demikian, jika kejadian-kejadian hari ini dengan segala tipologi dan kekhususannya berada di sisi Tuhan, ini berarti bahwa masa lalu dan masa datang juga berada di sisi-Nya.
Hari ini merupakan cermin masa lalu dan masa datang. Dan seluruh kejadian hari kemarin dan hari esok dapat kita saksikan pada cermin hari ini. (Perhatikan baik-baik).

b. Cara lain untuk menjawab pertanyaan itu, yaitu kita harus memperhatikan satu perumpamaan yang nyata. Anggaplah seseorang yang terpenjara dalam biliknya yang hanya memiliki lubang kecil untuk keluar. Sementara ada sederetan unta melintas di hadapan lubang kecil ini. Pertama kali ia melihat kepala dan leher unta tersebut. Lalu punuknya, dan setelah itu kaki-kaki dan ekornya. Demikian juga unta-unta lainnya yang berada di dalam deretan tersebut. Dari lubang kecil ini, ia membuat masa lalu dan masa datangnya. Akan tetapi, bagi seseorang yang berada di luar bilik ini dan berdiri di atas atap terbuka, ia melihat seluruh sahara. Jelas, permasalahanya menjadi lain. Ia melihat seluruh deretan unta tersebut berada pada satu tempat yang sedang bergerak.
Dari sini akan menjadi jelas bahwa membangun sebuah pemahaman dari masa lalu, masa kini dan masa datang merupakan hasil dari keterbatasan pandangan manusia. Masa yang lalu bagi kita adalah masa yang datang bagi orang-orang terdahulu. Dan apa yang menjadi masa datang bagi kita, menjadi masa lalu bagi orang-orang yang akan datang.
Akan tetapi, Dzat yang hadir di setiap tempat, yang meliputi secara azali (tak berawal) dan abadi (tak berakhir), masa lalu, masa datang dan masa kini tidaklah berarti bagi-Nya. Seluruh kejadian yang terjadi sepanjang masa hadir di pada-Nya, (namun masing-masing berada pada kapasitas khasnya) dan Dia Mahatahu akan seluruh kejadian dan wujud yang ada di alam semesta ini; apakah ia berada di masa lalu, masa datang atau masa lalu. Dia menguasainya secara menyeluruh dan satu.
Tentu saja kita akui bahwa permasalahan ini bagi kita yang berada dalam penjara ruang dan waktu indrawi begitu sulit. Permasalahan ini memang memerlukan kajian yang teliti.

c. Cara lain untuk menjawab pertanyaan ini adalah cara yang menjadi landasan kebanyakan filsuf. Yaitu, bahwa Tuhan adalah Mahamengetahui Dzat-Nya, dan Dzat-Nya merupakan sebab ('illat) bagi terwujudnya seluruh makhluk. Ilmu terhadap sebab ('illat) adalah sumber ilmu terhadap akibat (ma'lûl).
Dengan ungkapan lain, Tuhan memiliki segala kesempurnaan seluruh makhluk, bahkan dalam bentuk yang paling sempurna. Tidak secuil pun cacat ada pada Dzat-Nya yang suci sebagaimana cacat yang dimiliki oleh seluruh mahkluk. Oleh karena itu, jika Dia Mahatahu akan Dzat-Nya, niscaya Dia mengetahui seluruh makhluk.
Dibandingkan dengan jawaban pertama, jawaban ini memiliki perbedaan yang amat tipis, sebagaimana akan tampak jelas bila diamati secara seksama dan akurat.

22. Mengapa Taubat Orang yang Murtad secara Fitri tidak Diterima?

Islam dalam urusannya dengan orang-orang yang belum menerimanya (Ahli Kitab) tidak pernah memaksa dan menyusahkan. Malahan Islam mengajak mereka dengan dakwah secara berkesinambungan dan tabligh yang diimplementasikan secara logis. Jika mereka tidak menerima Islam dan bersedia menerima syarat-syarat dzimmah (dilindungi), mereka dapat hidup bersama Muslimin secara damai. Dalam keadaan ini, keamanan mereka tidak hanya dijamin, tetapi Islam juga menanggung penjagaan harta, jiwa dan kepentingan-kepentingan lain mereka.
Akan tetapi, berkenaan dengan orang-orang yang telah memeluk Islam, lalu berpindah ke agama lain, Islam sangat ketat memperlakukan mereka. Sebab, hal ini akan mengakibatkan goncangan di dalam masyarakat Islam, dan termasuk sebuah pembangkangan terhadap sebuah pemerintahan Islam. Dan galibnya, mereka memiliki niat jahat, sehingga rahasia muslimin akan jatuh ke tangan musuh-musuh.
Oleh karena itu, orang-orang yang dilahirkan dari kedua orang tua Muslim lalu berpindah ke agama lain, maka darahnya -berdasarkan ketetapan pengadilan- terhitung mubah/halal, hartanya harus dibagikan kepada pewarisnya dan istrinya harus berpisah darinya, serta taubatnya -secara lahiriah- tidak diterima. Maksudnya ketiga hukum di atas (darahnya terhitung mubah, hartanya harus dibagikan kepada ahli warisnya dan istrinya harus bercerai darinya-pen.) harus diberlakukan ke atas orang-orang seperti ini. Meskipun demikian, jika ia benar-benar menyesal, taubatnya pasti akan diterima di haribaan Tuhan. (Tentu saja, apabila pelaku kesalahan itu adalah seorang wanita, taubatnya secara mutlak akan diterima).
Akan tetapi, apabila seseorang meninggalkan Islam dan ia bukanlah seorang keturunan Muslim, Islam masih memberikan tenggat kepadanya untuk bertaubat. Apabila ia bertaubat, taubatnya akan diterima dan seluruh hukuman tidak lagi berlaku atasnya.
Mungkin sebagian orang akan mengkritik, jika hukum politik murtad fitri ini dikenakan ke atas mereka sedangkan mereka tidak mengetahui hukum ini, barangkali hal ini termasuk salah satu jenis kekerasan, pemaksaan akidah dan menafikan kebebasan.
Akan tetapi, yang harus kita perhatikan adalah, bahwa hukum ini tidak akan dijatuhkan ke atas seseorang yang hanya sekedar memiliki keyakinan dalam hatinya namun tidak berusaha untuk menampakkannya pada level kehidupan sehari-hari. Jika ia telah mengekspresikan dan mengeluarkan statemen terbuka dan menentang pemerintahan yang mengatur sebuah kehidupan sosial, jelas bahwa kekerasan semacam ini bukan tanpa dasar, justru sangat selaras dengan prinsip kebebasan berpikir. Aturan semacam ini juga terdapat pada negara-negara Timur dan Barat dengan perbedaan-perbedaan yang ada.
Poin ini juga perlu mendapatkan perhatian bahwa menerima Islam harus sesuai dengan logika, khususnya bagi mereka yang terlahir dari seorang ibu dan bapak Muslim dan mendapatkan pendidikan di lingkungan keluarga Muslim. Tampaknya sangat kecil kemungkinan bahwa ia tidak mengetahui hukum-hukum Islam. Oleh karena itu, berpindahnya ke agama lain dengan maksud konspirasi dan berkhianat adalah lebih biosa dimengerti ketimbang alasan terjerat dalam kesalahan dan tidak dapat memahami kebenaran. Jelas, orang seperti ini layak untuk mendapatkan hukuman.
Dalam pada itu, sebuah hukum sekali-kali tidak akan pernah mempertimbangkan satu-dua orang, akan tetapi ia lebih mementingkan mayoritas. Oleh karena itu, ia harus dinilai secara kolektif.
Pada hakikatnya, hukum ini memiliki filsafat asasi, yaitu menjaga kekuatan dalam negara Islam, mencegah keterpurukannya, dan penetrasi tangan asing dan munafikin. Karena sejatinya, murtad adalah salah satu jenis pembangkangan terhadap negara Islam. Mayoritas hukum internasional dewasa ini juga menghukumnya dengan eksekusi.
Sekiranya diberikan izin kepada setiap seorang untuk memperkenalkan dirinya sebagai Muslim setiap hari dan pada hari itu juga ia meninggalkan Islam, tentu basis kekuatan Islam lambat laun akan porak-poranda, dan jalan akan terbuka bagi para musuh untuk melakukan penetrasi dan politik busuk mereka. Akibatnya, kondisi anarki menguasai masyarakat Islam. Oleh karena itu, hukum berkenaan dengan murtad yang telah disebutkan di atas, sejatinya adalah hukum politik yang dijatuhkan untuk menjaga kestabilan pemerintahan dan masyarakat Islam. Berjuang melawan kekuatan dan unsur-unsur asing adalah kewajiban.
Terlepas dari masalah ini, seseorang yang telah melakukan penelitian dan menerima ajaran seperti Islam, kemudian meninggalkannya dan berpindah kepada ajaran lain, galibnya tidak memiliki motivasi yang tulus. Oleh karena itu, orang seperti ini dapat dikenakan hukuman berat. Dan jika hukum ini tampak lebih ringan terhadap wanita, hal itu dikarenakan seluruh hukuman yang dikenakan kepada mereka memang mendapat keringanan.

23. Mengapa Kita Menengadahkan Tangan ke Langit Ketika Berdoa?

Umumnya, pertanyaan seperti ini dikemukakan oleh masyarakat umum. Allah Swt. tidak memiliki ruang dan tempat, lalu mengapa ketika memanjatkan doa sambil mengarahkan mata ke langit dan menengadahkan tangan ke atas sana? Memangnya-al'iyâdzubillah-Tuhan bersemayam di langit?
Pertanyaan ini juga pernah bergulir pada masa para Imam Maksum a.s. Hisyam bin Hakam berkata, "Seorang kafir zindiq datang kepada Imam Ash-Shadiq a.s. dan bertanya ihwal ayat 'ar-Rahmân 'ala al-'arsyi-stawa.'
Imam dalam menjelaskan ayat ini berkata, "Allah tidak memerlukan sedikit pun kepada ruang dan makhluk. Justru seluruh makhluk bergantung kepada-Nya."
Si kafir zindiq bertanya kembali, "Lalu apa bedanya ketika berdoa; Anda menengadahkan tangan ke langit atau menurunkan tangan Anda ke bumi?"
Beliau barkata, "Masalah ini dalam ilmu dan kekuasan Tuhan adalah sama saja. Akan tetapi, Allah Swt. memberikan tuntutan kepada para kekasih dan hamba-Nya untuk menengadahkan tangan mereka ke langit, ke arah 'Arsy Ilahi. Sebab, sumber rezeki berada di sana. Kami akan buktikan hal ini dengan apa yang ditegaskan oleh Al-Qur'an dan Nabi saw. Beliau bersabda, 'Tengadahkan tangan-tanganmu kepada Allah.' Dan sabda ini disepakati oleh seluruh umat.'"
Dalam hadis yang lain diriwayatkan dari Imam Amirul Mukminin Ali a.s., dalam kitab Al-Khishâl, "Ketika salah seorang dari Kamu telah menunaikan shalat, tengadahkanlah tanganmu ke langit dan sibukkan dirimu dengan berdoa."
Seseorang berkata, "Wahai Amirul Mukminin! Bukankah Tuhan ada di mana saja?"
Imam bersabda, "Benar! Ia berada di mana saja."
Orang itu berkata lagi, "Lalu mengapa para hamba menengadahkan tangan mereka ke langit?"
Imam berkata, "Apakah engkau tidak membaca (dalam Al-Qur'an), 'Rezeki Kamu berada di langit dan apa saja yang dijanjikan kepadamu?' Dengan demikian, dari manakah manusia mencari rezeki kecuali dari tempatnya. Tempat rezeki dan janji Tuhan bersemayam di langit.
berdasarkan riwayat ini, umumnya rezeki seluruh manusia berasal dari langit; hujan yang memberikan kehidupan bumi yang mati tercurahkan dari langit, cahaya mentari yang menjadi sumber kehidupan bersinar dari langit, dan udara yang menjadi penyebab kehidupan berada di langit. Langit dikenal sebagai sumber berkah dan rezeki Ilahi. Dan ketika berdoa, memohon kepada Sang Pencipta dan Pemilik rezeki, perhatian kita hendaknya tertuju ke langit supaya masalah yang sedang kita hadapi terpecahkan.
Dalam sebagaian riwayat disebutkan falsafah lain di balik berdoa ke arah langit, yaitu untuk menunjukkan kerendahan dan kehinaan di haribaan Tuhan, dimana manusia ketika hendak menunjukkan kerendahan atau penyerahan diri di hadapan seseorang atau sesuatu, mereka mengangkat tangannya ke atas.


CATATAN KAKI:

Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 2, hal. 24.
Abdul Karim adalah nama asli Ibn Abi al-Aujah. Karena ia mengingkari keberadaan Tuhan, Imam ash-Shadiq as secara khusus memanggilnya dengan nama demikian supaya membuatnya malu.
Al-Kâfî, jilid 1, hal. 61, kitab at-Tauhid, bab Hudûts al-'?lam; Tafsir Nemûnehh, jilid 20, hal. 325.
Ghurar al-Hikâm
Idem.
Bihâr al-Anwâr, jilid 77, hal. 421, cetakan Akhundi.
Tuhaf al-Uqûl, hal. 37, bagian hadis-hadis Nabi saw.
Indikasi kepada ayat pertama surat al-Fath yang dapat dijumpai dengan gamblang pada Tafsir Nemûnehh, jilid 22, hal. 18.
Ushûl al-Kâfî, jilid 2, bab Syukr, hadis ke-6.
QS. Hud [11] : 2.
QS. Hud [11] : 26.
QS. Yusuf [12] : 40.
QS. al-Ahqaf [46] : 21.
Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 2 hal. 34.
Jâme'eh Syinâsi (Sosiologi), Samuel Kanik, hal. 207.
Dunyâ-i keh Mibînam, (Dunia Yang Kusaksikan) hal. 57. Begitu aneh apa yang diucapkan oleh August Compte, "Sains telah memisahkan Bapak Semesta dari pekerjaannya dan ia-lah yang menggantikan peran-Nya!" Artinya, dengan menyingkap sebab-sebab natural, tidak ada ruang yang tersisa untuk beriman kepada Tuhan. ('Ilal-e Gerâyesy be Mâddigeri, hal. 76. Anda juga dapat merujuk buku Kritik Islam Terhadap Materialisme, Syahid Mutahhari, hal. 29-30, terbitan Alhuda Jakarta-AK.)
Târikh-e Tamaddun, terjemahan edisi Persia dari History of Civilizations, Will Durant, jilid 1, hal. 89.
Jahân-i keh Man Misyenâsam, hal. 54.
Dunyâ-i keh Mîbînam, hal. 53.
Dunyâ-i keh Mîbînam, hal. 56 dan 61.
Untuk keterangan yang lebih jeluk dan luas, Silakan rujuk "Anggizeh-e Peidâyesy-e Madzâhib" dan Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 2, hal. 44.
Makna "nir-terbatas" ini tidak dapat kita ilustrasikan. Apabila dipertanyakan bahwa bagaimana kalimat "nir-terbatas" ini digunakan, sementara dengan kalimat ini kita sedang memberikan sebuah kabar dan membicarakan hukum-hukumnya? Memangnya tashdiq (penegasan) tanpa tasawwur (gagasan) dapat terwujud? Jawaban atas pertanyaan ini adalah, dalam menggunakan kalimat ini, kita mengambilnya dari dua singular (kalimat tunggal), nâ ('adam) nir yang bermakna tidak, dan mutânâhi yang bermakna terbatas. Maksudnya, kedua kalimat ini dapat kita konsepsikan secara terpisah nir dan terbatas. Setelah itu, kita sintesakan satu dengan yang lainnya dan mengisyaratkannya kepada wujud yang tidak tergagaskan dalam benak. Dari pengetahuan tentang wujud ini kita temukan pengetahuan global. (Perhatikan baik-baik).
Payam-e Qur'an, jilid 4, hal. 33.
Tafsir Ali bin Ibrahim berdasarkan nukilan dari Nur ats-Tsaqalain, jilid 5, hal. 170.
Payâm-e Imâm, Syarah Nahjul Balâghah, jilid 1, hal. 91.
Bertrand Russel, Cherâ Masîhî Nistam?
Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 4, hal. 195.
Di antaranya segala sesuatu yang bersifat nonindrawi. Tidak satu pun dari realitas benda-benda tersebut yang terkuak bagi para ilmuwan. Planet bumi memiliki gerakan-gerakan yang beraneka ragam. Misal, gerakan pasang-surut yang memasuki kortex planet bumi. Dan akibat pengaruh dari gerakan pasang-surut tersebut, sehari dua kali tingkatan permukaan (surface) bumi di bawah kaki kita akan naik seukuran 30 centimeter. Dan tidak satu pun tanda-tanda yang dapat menuntun kita untuk dapat mengetahui gerakan ini. Yang lainnya, udara yang berhembus di seputar kita, yang nota-bene memiliki beban dan berat yang sangat besar, dan badan manusia mampu memikul seukuran 16 ribu kilogram dari berat dan beban udara tersebut. Tentu saja, tekanan ini akan dinetralkan ketika berhadapan dengan tekanan internal badan yang bagi kita bukanlah sesuatu yang merisaukan. Di sini pun, tidak seorang pun yang membayangkan bahwa udara memiliki berat dan beban. Sebelum masa Galileo dan Pascal, masalah ini masih misterius bagi seluruh manusia. Dan kini, meskipun sains memberikan kesaksian atas validitas perkara ini, akan tetapi indra kita tidak dapat merasakannya. Dan kebanyakan dari ilmuwan ilmu alam mengakui keberadaan wujud segala sesuatu yang bersifat nonindrawi. Contohnya, keberadaan ether -sesuai dengan keyakinan para ilmuwan ilmu alam- yang memenuhi segala tempat di alam tabiat ini dan sebagian orang beranggapan bahwa ether ini merupakan sumber seluruh maujud. Mereka menguraikan bahwa ether ini merupakan wujud yang tanpa beban, tanpa warna dan... yang memenuhi seluruh planet dan tempat serta merasuk (infiltrasi) ke dalam seluruh benda, dan tentu saja tidak terlihat oleh kita. (Ether, derivasi dari kata Yunani, aith?r yang berarti upper air (meta udara), di atas udara. Dalam chemistry (industri dan ilmu kimia), ether ini adalah sebuah cairan pelarut yang terbuat dari alkohol, tanpa warna dan tanpa beban. Biasanya digunakan untuk membius (anaestasia), dengan formula C2H5OC2H5. Biasa juga disebut sebagai diethyl ether-AK.).
Untuk menegaskan perkara ini, tidak ada salahnya kita menukil ucapan Flamariun dalam bukunya "Rahasia-rahasia Kematian". Ia berkata, "Manusia hidup dalam ngarai kejahilan dan ketidaktahuan. Dan ia tidak mengetahui bahwa susunan badan manusia ini tidak dapat menuntunnya kepada hakikat-hakikat. Kelima indra manusia ini menipunya dalam segala hal. Dan satu-satunya yang dapat menuntun manusia kepada hakikat dan kebenaran adalah akal, pemikiran dan akurasi ilmiah." Kemudian ia memulai menjelaskan satu persatu perkara yang tidak dapat dicerap oleh panca indra manusia dan membuktikan keterbatasan setiap indra. Ia berkata, "Oleh karena itu, kesimpulannya adalah bahwa akal dan pengetahuan kita hari ini memberikan hukum pasti kepada kita bahwa terdapat sebagian gerakan-gerakan atom, udara dan benda-benda, serta kekuatan-kekuatan yang tidak terlihat oleh indra pengelihatan kita, dan kita tidak dapat merasakan benda non-kasat mata ini melalui panca indra. Dengan demikian, boleh jadi di sekeliling kita terdapat wujud-wujud yang lain selain atom, udara dan sebagainya; wujud-wujud hidup dan memiliki kehidupan yang tidak dapat kita rasakan. Aku tidak berkata bahwa benda-benda tersebut ada, akan tetapi aku berkata barangkali ia ada. Lantaran kesimpulan dari penjelasan-penjelasan sebelumnya adalah bahwa kita tidak dapat berkata segala yang tidak kita lihat berarti tidak ada. Oleh karena itu, ketika dengan argumentasi-argumentasi ilmiah telah terbukti bagi kita bahwa indra lahir yang kita miliki tidak memiliki kelayakan untuk dapat menyingkap seluruh wujud-wujud yang ada dan acap kali indra ini mengelabui kita serta menunjukkan hal-hal yang bertentangan dengan realitas kepada kita, kita tidak boleh mengkonsepsikan bahwa seluruh hakikat wujud terbatas pada apa yang kita rasakan dan saksikan. Akan tetapi, kita harus percaya yang sebaliknya, bahwa barangkali terdapat wujud yang tidak dapat kita rasakan. Sebelum ditemukannya mikroba, seseorang tidak berkhayal bahwa terdapat jutaan mikroba di sekeliling setiap benda dan kehidupan setiap makhluk yang menjadi medan laga bagi mikroba-mikroba tersebut. Kesimpulannya, indra lahir ini tidak memiliki kelayakan untuk menyingkap realitas seluruh wujud. Dan satu-satunya yang dapat memperkenalkan realitas wujud secara paripurna adalah akal dan pikiran kita. Menukil dari 'Alâ Itlan al-Madzhab al-Mâddi, karya Farid Wajdi, hal. 4.
?faridegâr-e Jahân, kumpulan tulisan berharga Ayatullah Makarim Syirazi, hal. 248.
Ma'ânî al-Akbâr, Syaikh Shaduq, hal. 11, hadis ke-1.
Tafsir Nemûneh, jilid 27, hal. 446.
History of Civilization, Edisi Persia, jilid 1, hal. 87 dan 89.
Idem.
Fitrat, Syahid Mutahhari, hal. 153.
Silakan rujuk Makalah Kuantaim, terjemahan Ir. Bayani, dalam buku, Hess-e Mazhabi yâ bo'd-e Chahâr-e Rûh-e Insâni.
Perlu diketahui bahwa agama yang dimaksud di sini adalah agama Kristen. Karena agama yang mendominasi lingkungan mereka kala itu adalah agama Kristen.
Dunyâ-i keh Mîbinam, dengan ringkasan, hal. 53.
Sair-e Hekmat dar Orupa, jilid 2, hal. 14.
Idem, hal. 321.
Idem, hal. 31.
Fitrat, Syahid Mutahhari, hal. 147.
Muqaddameh-ye Niyâyesh, hal. 31.
Jâme'eh-shenâsi, Samuel Kning, hal. 191.
History of Civilizations, Edisi Persia, Tarikh-e Tamaddun, jilid 1, hal. 88; Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 3, hal. 120.
Tauhid Shaduq, sesuai dengan nukilan dari Tafsir Nûr ats-Tsaqalain, jilid 3, hal. 417 dan 418.
Idem.; Tafsir Nemûneh, jilid 13, hal. 373.
Tafsir al-Mîzân, jilid 15, hal. 103 dan jilid 10, hal. 69.
Ringkasan Tauhid Shaduq, hal. 267.
Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 5, hal. 44.
At-Tafsir al-Kabîr, Fakhrurrazi, ayat yang bersangkutan; Tafsir Nemûnehh, jilid 17, hal. 359.
Nahjul Balaghâh, ceramah ke-179.
Tafsir Nemûneh, jilid 1, hal. 217.
Tafsir Nemûneh, jilid 2, hal. 263.
Tafsir Payâm-e Qur'ân, 59/4.
Tafsir Payâm-e Qur'ân, 319/4.
Sebagian filsuf beranggapan bahwa kehendak (irâdah) adalah syauq muakkad (keinginan yang sangat). Sementara, sebagian yang lain beranggapan bahwa selain syauq muakkad, ia juga bermakna perbuatan dan gerakan. Dan ia memandang kehendak (irâdah) itu adalah amalan nafsâni. (Perhatikan baik-baik)
Tafsir Payâm-e Qurân, jilid 4, hal. 153.
Tafsir Nemûneh, jilid 2, hal. 278; Payâm-e Qur'ân, jilid 4, hal. 379.
Tafsir Nemûneh, jilid 18, hal. 284.
Tafsir al-Manâr, jilid 7 hal. 653.
Ma'âni al-Akhbâr sesuai dengan nukilan dari tafsir al-Mizân, jilid 8, hal. 268.
Nûr ats-Tsaqalaîn, jilid 1, hal. 753.
Tafsir Nemûneh, jilid 5, hal. 381.
Bihâr al-Anwâr, jilid57, hal, 28, hadis ke-26-27.
Bihâr al-Anwâr, jilid 58, hal. 39.
Idem.
Idem.
Tafsir Nemûneh, jilid 20, hal. 35.
Tafsir Nemûneh, jilid 7, hal. 6.
Mufradat kalimat hadâ.
Perhatikan baik-baik! Hidâyah takwînî di sini bermakna luas. Termasuk setiap bentuk petunjuk selain jalan penjelasan undang-undang dan penunjukan jalan secara langsung.
Misalnya Fathir: 8, az-Zumar: 23, al-Muddatstsir: 31, al-Baqarah: 272, al-An'am: 88, Yunus: 25, ar-Ra'd: 27, dan Ibrahim: 4.
Nahjul Balâghah, Hikmah-hikmah Pendek, No. 26)
Tafsir Nemûneh, jilid 12, hal. 134.
Tafsir Nemûneh, jilid 11, hal. 426.
Tafsir Nemûneh, jilid 2, hal. 497.
Bihâr al-Anwâr, jilid 3, hal. 330; Tauhid ash-Shaduq, hal. 248, hadis ke-1, bab ke-36; bab ar-Radd 'alâ ats-Tsanawiyah wa az-Zanâdiqah.
Bihâr al-Anwâr, jilid 90, hal. 308, hadis ke-7. Hadis yang dinukil di atas terdapat juga pada Nûr ats-Tsaqalain, jilid 5, hal. 124 dan 125.
Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 4, hal. 270.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar