Total Tayangan Halaman

Kamis, 29 Januari 2015

MISTERI RUH

Di dalam surat Al-Isra' [17], ayat 85 kita membaca, "Ketika bereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah, 'Ruh merupakan urusan-Ku.'"
Para penafsir besar, sejak dulu hingga kini, telah membahas makna ruh. Di sisi pertama-tama, kita amati makna ruh secara leksikal, lalu penggunaannya dalam Al-Qur'an, kemudian tafsir ayat dan riwayat yang bertautan dengan masalah ini.


a. Ruh Secara Leksikal

Ruh secara leksikal berarti "nafs" dan "berlari". Sebagian mufassir menjelaskan bahwa ruh dan rîh (angin), keduanya berakar kata satu. Dan apabila ruh manusia yang merupakan substansi mandiri yang abstrak disebut dengan nama ini, lantaran ia bergerak dan membawa kehidupan. Selain itu, keduanya (angin dan ruh) tidak terindra secara kasat mata.


b. Ruh di Dalam Al-Qur'an

Penggunaan kalimat ruh dalam Al-Qur'an sangat beragam. Terkadang bermakna ruh muqaddas yang menguatkan Rasulullah saw. dalam menyampaikan risalah, seperti yang tertuang dalam ayat, "... Dan Kami menganugerahkan kepada Isa bin Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat ia dengan Ruhul Qudus ..." (QS. Al-Baqarah [2]: 253)
Terkadang pula disebut sebagai kekuatan maknawi Ilahi yang menguatkan kaum mukmin, seperti dalam ayat, "Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya ...." (QS. Al-Mujadalah [58]: 22).
Arti lain dari ruh itu adalah "malaikat khusus wahyu" dan disifati sebagai amin, seperti dalam ayat, "... ia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin [Jibril] ke dalam hatimu [Muhammad] agar engkau menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan." (QS. Asy-Syu'ara' [26]: 193-194), dan acapkali bermakna malaikat besar dari malaikat-malaikat khusus Tuhan, atau makhluk agung dari jenis malaikat, seperti dalam ayat, "Dan pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhan-Nya untuk mengatur segala urusan." (QS. Al-Qadr [97]: 4) dan dalam ayat, "Pada hari itu, ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf ...." (QS. An-Naba' [78]: 38).
Terkadang ruh juga bermakna Al-Qur'an dan wahyu samawi, "Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu [Al-Qur'an] dengan perintah Kami ...." (QS. Asy-Syura [42]: 52)
Dan pada akhirnya, ruh terkadang pula bermakna ruh insani, sebagaimana pada ayat penciptaan Nabi Adam a.s., "Kemudian Ia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam [tubuh]nya ruh [ciptaan]-Nya." Demikian juga pada surat Al-Hijr, "Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya ruh [ciptaan-Ku], maka tunduklah engkau kepadanya dengan bersujud." (QS. Al-Hijr [15]: 29)


c. Penafsiran Ruh

Inti persoalan kita kali ini adalah apakah yang dimaksudkan dengan ruh? Ruh manakah yang dimaksudkan sehingga beberapa orang begitu antusias bertanya tentang hakikatnya. Nabi saw. dalam menjawab pertanyaan ini bersabda, "Ruh adalah urusan Tuhan-ku dan Kamu tidak memiliki pengetahuan kecuali sedikit."
Dari beberapa indikasi yang terdapat dalam ayat tersebut dan selainnya, yang ditanyakan oleh beberapa penanya itu adalah hakikat ruh manusia. Ruh agung inilah yang membedakan kita dengan hewan-hewan dan menjadi kemuliaan superlatif kita. Seluruh kekuatan dan aktifitas kita bersumber darinya, dan dengannya kita dapat melakukan aktifitas dan kehidupan dunia ini. Berkatnya kita dapat menyingkap rahasia-rahasia ilmu dan menemukan jalan untuk menyelami kedalaman seluruh wujud. Mereka ingin mengetahui apa hakikat makhluk yang menakjubkan ini.
Ruh memiliki struktur yang berbeda dengan struktur materi. Asas yang berlaku atasnya bukanlah asas yang berlaku atas materi, serta tipologi fisis dan kimawi. Nabi saw. ditugaskan dalam satu kalimat yang ringkas dan padat: "Ruh berasal dari alam amr." Artinya, ruh merupakan ciptaan yang sarat dengan rahasia.
Lalu, supaya tidak terkejut dengan jawaban yang diberikan, ditambahkan bahwa ilmu Anda dan manfaat yang Anda peroleh darinya bukanlah apa-apa (nothing). Oleh karena itu, sangat menakjubkan sekali Anda tidak mengetahui rahasia-rahasia ruh, betapa pun ia lebih dekat kepada Anda dari segala sesuatu.
Dalam Tafsir 'Ayyâs diriwayatkan dari Imam Al-Baqir a.s. dan Imam Ash-Shadiq a.s. pernah ditanya tentang tafsir ayat tersebut. Mereka menjawab, "Sesungguhnya ruh adalah makhluk Tuhan yang memiliki penglihatan, kekuatan, dan kekuasaan. Tuhan meletakkan ruh di dalam hati para nabi dan kaum mukmin."
Dalam hadis yang lain, diriwayatkan dari salah satu dari kedua imam tersebut: "Ruh berasal dari alam malakût dan kekuasaan Tuhan."
Dalam sebuah riwayat yang bersumber dari sumber Syi'ah dan Ahli Sunnah, kita membaca bahwa musyrikin Quraisy menukil pertanyaan dari Ahli Kitab dan hendak menguji Nabi saw. Ahli Kitab berkata kepada mereka bahwa apabila Muhammad memberikan kabar yang banyak tentang ruh kepada Kamu, itu merupakan indikasi ketidakbenarannya. Namun, Nabi saw. menyampaikan ucapan yang singkat dan sarat makna kepada mereka. Sebuah ucapan yang sangat menakjubkan.
Akan tetapi, dalam sebuah riwayat yang bersumber dari Ahlul Bait, ihwal tafsir ayat di atas yang sampai kepada kita, dijumpai bahwa ruh diterangkan sebagai makhluk yang agung; Malaikat Jibril dan Mikail. Ruh ini yang menyertai Nabi saw. dan para imam a.s., dan mencegah mereka dari perbuatan-perbuatan yang menyeleweng.
Riwayat-riwayat ini tidak hanya tidak bertentangan dengan tafsir ayat yang kami utarakan di atas, bahkan selaras satu dengan yang lainnya. Hal itu lantaran ruh manusia memiliki derajat. Derajat ruh yang melekat pada diri Nabi saw. dan para imam a.s. adalah derajat paling tinggi. Dan berkat ruh itu, mereka terjaga dari segala bentuk dosa dan kesalahan, serta memberikan pengetahuan dan ilmu yang luar biasa. Tentu saja derajat ruh mereka ini lebih tinggi dari seluruh malaikat, termasuk Jibril dan Mikail. (Perhatikan baik-baik)


Primordialitas dan Kemandirian Ruh

Sejarah ilmu dan pengetahuan manusia menunjukkan, permasalahan ruh, struktrur, tipologi, dan rahasia-rahasianya senantiasa menjadi perhatian para ilmuwan. Setiap ilmuwan berupaya untuk mendekati hakikatnya.
Dengan alasan ini, ulama dan kaum cendekiawan banyak melontarkan pendapat mereka tentang ruh. Barangkali ilmu dan pengetahuan kita hari ini, bahkan ilmu dan pengetahuan orang-orang di masa mendatang, tidaklah akan memadai untuk dapat menyingkap seluruh rahasia ruh. Dan meskipun ruh lebih dekat kepada kita dari segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, tetapi bagaimana substansi ruh dan apa yang ada di alam materi dengan kedekatan kita dengannya, dapat berbeda secara total. Kita tidak perlu terlalu kaget! Kita tidak dapat memahami rahasia dan kerumitan ciptaan yang menakjubkan dan makhluk metafisis ini.
Akan tetapi, secara umum, kendala ini tidak berasal dari ruh. Dengan pandangan akal yang tajam, kita dapat melihat lanskap ruh. Kita dapat mengetahui asas dan sistem universal yang belaku atas ruh.
Asas yang paling penting yang harus kita ketahui di sini adalah masalah primordialitas dan kemandirian ruh. Para penganut aliran-aliran materialis beranggapan bahwa ruh itu adalah materi dan bersumber dari tipologi materi otak dan sel-sel syaraf, dan segala sesuatu yang berada di balik itu adalah nihil. Hanya ini yang dapat kita bahas, tidak lebih. Sebab, persoalan "keabadian ruh" dan masalah "tajarrud sempurna atau tajarrud barzakhi" bersandar kepadanya.
Akan tetapi, sebelum memasuki pembahasan ini, kami memandang perlu untuk menjelaskan satu poin. Yaitu, melekatnya ruh pada badan manusia -sebagaimana sebagian orang beranggapan demikian- tidak sebagaimana hulul (menitis) sebagaimana angin merasuk ke dalam kesturi. Akan tetapi, hal itu adalah sebuah bentuk hubungan sebentuk hegemoni, kepemilikan, dan pengaturan ruh atas tubuh; yang diibaratkan oleh sebagian orang dengan melekatnya makna pada sebuah kata.
Tentu saja masalah ini akan menjadi jelas di sela-sela pembahasan kemandirian ruh. Kini kita kembali kepada pembicaraan utama kita.
Tak syak lagi bahwa ada perbedaan antara manusia dan batu dan kayu yang tidak memiliki ruh. Karena, kita merasakannya dengan jelas bahwa antara kita, manusia dengan wujud-wujud yang lain yang tanpa ruh, bahkan tumbuh-tumbuhan yang tanpa jiwa terdapat perbedaan. Kita, manusia memahami, mengkonsepsi, mengambil keputusan, berkehendak, mencinta, membenci dan .... Akan tetapi, tumbuh-tumbuhan dan bebatuan tidak satu pun memiliki kualitas perasaan (sense) ini. Oleh karena itu, antara kita, manusia dengan mereka terdapat satu perbedaan prinsipal, yaitu kepemilikan ruh insani.
Baik kaum materialis juga mazhab lain tidak mengingkari orisinilitas keberadaan ruh dan jiwa. Dan atas alasan keduanya (jiwa dan ruh), mereka menyebut psikologi dan psikoanalisis sebagai ilmu positif. Kedua ilmu ini, meskipun kira-kira keduanya telah melalui masa infant (balita), akan tetapi keduanya merupakan ilmu yang digunakan oleh para dosen dan peneliti di pusat-pusat pendidikan besar dunia. Dan sebagaimana yang akan kita lihat, jiwa dan ruh merupakan dua realitas yang tidak terpisah, melainkan merupakan tingkatan-tingkatan yang berbeda satu realitas.
Pada pembicaraan hubungan antara ruh dan raga dan efek mutual (saling mempengaruhi) di antara keduanya, akan menggunakan istilah "jiwa" untuknya. Dan pada pembahasan fenomena-fenomena ruh yang terpisah dari raga, kita menggunakan istilah ruh.
Kesimpulannya adalah tidak seorang pun yang mengingkari realitas yang bernama ruh dan jiwa yang berada dalam relung diri kita.
Kini harus kita lihat di manakah letak pertikaian yang melelahkan antara kaum materialis dan filsuf metafisika itu terjadi?
Jawabannya adalah, para cendekiawan Ilahi dan filsuf metafisika berkeyakinan bahwa selain materi-materi yang membentuk jasad manusia itu, terdapat sebuah realitas dan substansi yang tidak berasal dari dimensi materi, melainkan jasad manusia berada di bawah pengaruh langsungnya.
Dengan kata lain, ruh merupakan sebuah realitas metafisis. Struktur dan aktifitasnya bukan struktur dan aktifitas materi (fisik). Benar bahwa ruh ini senantiasa bertaut dengan materi, akan tetapi ia bukan materi dan tidak bercirikan materi.
Sebaliknya, para filsuf materialis berpendapat bahwa kita adalah suatu wujud yang mandiri dari materi yang bernama ruh, atau kita tidak memiliki nama lain selain materi. Apa pun yang ada merupakan materi benda dan atau efek fisik dan kimia darinya.
Organ-organ yang kita miliki yang bernama syaraf (nerve) dan otak (brain) yang memberikan aktifitas-aktifitas hidup adalah seperti organ-organ tubuh materi lainnya dan bekerja berada di bawah hukum-hukum materi.
Kelenjar yang berada di bawah lisan kita yang bernama "kelenjar saliva" (air liur) di samping melakukan aktifitas fisika, ia juga melakukan aktifitas kimia. Ketika makanan masuk ke dalam mulut, lubang-lubang artaziyan (lubang yang di dalamnya air meluap-luap) secara otomatis akan bekerja. Sedemikian lembabnya sehingga dengan ukuran itu, air itu digunakan untuk mengunyah dan menghaluskan makanan. Makanan-makanan berkuah, berkuah sedikit, dan kering, masing-masing -sesuai dengan kebutuhannya- mendapatkan bagian dari air liur (saliva) ini.
Bahan acid (asam) khususnya ketika terlalu tebal, acid ini menambahkan aktifitas terhadap saliva-saliva ini. Hingga saliva ini mendapatkan jatah yang lebih banyak dari air dengan ukuran yang cukup berair dan tidak akan mencederai dinding -dinding perut.Dan bila kita menelan makanan, aktifitas lubang-lubang ini akan menjadi diam.
Singkatnya, sistem yang berlaku atas mata-mata air yang meluap-luap ini sangat menakjubkan, sehingga sekiranya sesaat saja keseimbangan atau hitungannya saling berbenturan, air liur di mulut kita yang curam, dan atau seukuran lisan dan tenggorakan akan menjadi kering dan butiran-butiran makanan akan mengganjal di tenggorokan kita.
Pekerjaan fisik ini merupakan pekerjaan saliva. Akan tetapi, kita ketahui pekerjaan utama saliva (air liur) adalah pekerjaan kimiawi. Bahan-bahan yang beragam akan bergantung bersamanya dan akan tersintesakan dengan makanan, serta akan mengurangi pekerjaan perut.
Kaum materialis berkata, "rangkaian syaraf dan otak kita mirip dengan rangkaian kelenjar air liur (saliva), dan memiliki aktifitas-aktifitas fisis dan kimiawi (yang secara keseluruhan disebut sebagai fisis-kimiawi) dan kegiatan-kegiatan ini kita sebut dengan nama fenomena-fenomena ruh atau ruh."
Mereka berkata, "Manakala kita tenggelam dalam kegiatan berpikir, akan muncul satu rangkaian gelombang elektrik, khususnya dari otak kita. Hari ini, gelombang dengan intrumen-instrumennya diambil dan direkam di atas kertas, khususnya pada rumah-rumah sakit jiwa. Dengan menelaah gelombang ini, mereka menemukan terapi-terapi untuk mendiagnosa dan mengobati orang-orang yang menderita penyakit kejiwaan. Kegiatan ini adalah kegiatan fisis otak kita.
Di samping itu, sel-sel ketika berpikir atau melakukan kegiatan-kegiatan kejiwaan lainnya memiliki satu fakultas perbuatan dan infialat kimiawi.
Oleh karena itu, ruh dan fenomena-fenomena ruh tidak lain adalah bagian tipikal fisik dan perbuatan, serta reaksi kimiawi sel-sel otak dan syaraf kita.
Dari uraian ini, mereka mengambil kesimpulan sebagai berikut:
a. Kegiatan kelenjar-kelenjar air liur dan efek-efeknya yang beragam tidak terdapat pada badan, sebelum atau pun setelahnya. Kegiatan-kegiatan ruh kita juga akan lahir seiring dengan dijumpainya otak dan instrument-instrumen syaraf, dan akan hilang seiring dengan datangnya kematian.
b. Ruh merupakan ciri benda. Maka ia adalah materi dan tidak memiliki dimensi metafisis.
c. Ruh termasuk seluruh hukum-hukum yang berkuasa atas badan kita.
d. Tanpa raga, ruh tidak memiliki wujud yang mandiri. Ruh tidak dapat lepas dari raga.


Argumentasi Kaum Materialis atas Ketakmandirian Ruh

Untuk membuktikan bahwa ruh dan seluruh fenomena-fenomenanya adalah materi; dan bahwa ruh berasal dari ciri-ciri fisis dan kimiawi sel-sel otak dan syaraf, aliran-aliran materialis membawakan beberapa bukti yang kita catat di bawah ini:
1. Dapat dibuktikan dengan mudah bahwa dengan non-aktifnya satu fungsi sentral syaraf, satu bagian efek ruh akan tidak bekerja dengan aktif. Misalnya, burung kakatua yang telah diobservasi. Bila kita ambil bagian-bagian khusus dari otaknya, ia tidak akan mati. Namun, kebanyakan pengetahuan yang dimilikinya akan hilang. Apabila ia disuap, ia akan memakan dan mengunyahnya. Dan apabila ia tidak disuap dan makanan itu hanya ditumpahkan di hadapannya, ia tidak akan menyetuhnya dan ia akan mati karena kelaparan.
Demikian juga, serangan-serangan otak yang menyerang manusia. Atau karena faktor sebagian penyakit, otaknya tidak akan bekerja. Survei telah membuktikan bahwa bagian pengetahuannya akan hilang dari ingatannya.
Beberapa waktu yang lalu, kita membaca dalam surat kabar, seorang pemuda yang menuntut ilmu. Lantaran serangan otak yang menimpanya pada sebuah kecelakaan di daerah sekitar Ahwaz (nama sebuah provinsi di bagian selatan Iran-AK.), pemuda ini lupa segalanya setelah beberapa waktu kejadian ini berlalu. Bahkan, ia tidak mengenal ibu dan saudara perempuannya. Ketika ia dibawa ke kampung halamannya; tempat ia dibesarkan, ia merasa asing di tempat itu.
Kejadian ini dan semisalnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan dekat antara "kegiatan-kegiatan sel-sel otak" dan "fenomena-fenomena ruh".
2. Tatkala manusia berpikir, perubahan-perubahan fisis pada tataran otak akan semakin banyak. Otak lebih banyak mengkonsumsi makanan dan mengeluarkan bahan fosfor. Ketika kita tidur, lantaran otak tidak menjalankan aktifitas berpikir, ia hanya menkonsumsi sedikit makanan. Dan hal ini sendiri adalah dalil atas kematerian efek-efek berpikir.
3. Sekian banyak observasi menunjukkan bahwa beban otak setiap pemikir galibnya lebih dari ukuran medium. (Ukuran medium otak pria kira-kira 1400 gram dan ukuran medium otak wanita sedikit kurang dari ukuran medium otak pria).
4. Apabila kekuatan berpikir dan pengetahuan adalah dalil atas keberadaan ruh yang independen, maka hal ini juga harus kita terima pada binatang. Lantaran mereka pada kadar tertentu juga memiliki pengetahuan.
Kesimpulannya, kami merasa bahwa ruh kita bukanlah wujud yang mandiri dan independen. kemajuan-kemajuan pengetahuan yang bertalian dengan hakikat manusia juga memberikan penegasan atas realitas ini.
Dari rangkaian di atas ini, kaum materialis mengambil kesimpulan bahwa kemajuan dan perkembangan fisiologi manusia dan hewan -hari demi hari- semakin mengukuhkan realitas ini. Mereka berpandangan bahwa antara fenomena-fenomena ruh dan sel-sel otak terdapat hubungan yang erat.


Poin-poin Lemah Penalaran ini

Kesalahan besar yang menjadi petaka bagi kaum materialis dalam penalaran seperti ini adalah kesalahan mereka dalam menempatkan antara "instrumen kerja" dan "pelaku kerja". Untuk mengetahui kesalahan ini, kami akan bawakan sebuah perumpamaan ke hadapan Anda. (Perhatikan baik-baik)
Semenjak masa Galileo, telah muncul pendukung gagasan perubahan pada penelitian ruang angkasa. Galileo yang berkebangsaan Italia bersama pembuat kaca mata, berhasil menciptakan teropong kecil. Namun, tentu saja Galileo sangat gembira. Di malam hari, ia mengamati bintang-bintang di langit dengan menggunakan teropong. Ia menemukan panggung yang menakjubkan di hadapan matanya, yang hingga saat itu, tidak seorang pun yang pernah melihatnya. Ia sadar bahwa ia telah menemukan sesuatu yang penting. Dan sejak hari itu, seluruh penelitian atas rahasia-rahasia dunia atas (baca: tata surya) jatuh ke tangan manusia.
Hingga hari itu, seluruh manusia serupa dengan seekor kupu-kupu yang hanya dapat melihat di sekelilingnya. Akan tetapi, tatkala menggunakan teropong, mereka juga dapat menyaksikan pepohonan di sekeliling hutan besar penciptaan ini.
Masalah ini mengalami modifikasi hingga teropong-teropong raksasa dibuat. Ukuran lensanya lima meter atau lebih. Mereka memasang teropong-teropong ini di dataran-dataran tinggi atau gunung-gunung yang sesuai dan memiliki udara segar. Teropong yang menjadi peralatan mereka ini, terkadang seukuran satu bangunan beberapa lantai. Dengan media teropong tersebut, manusia dapat melihat alam-alam yang terdapat di dunia atas yang selama itu -meskipun seperseribu alam atas tersebut- tidak pernah disaksikan oleh mata biasa.
Kini Anda pikirkan, apabila suatu hari teknologi manusia memungkinkan untuk membuat teropong-teropong seukuran seratus meter dengan perlatan-peralatan yang mampu meliput satu kota, betapa dunia yang akan kita jumpai.
Sekarang, pertanyaan yang muncul adalah, jika Anda ambil apabila teropong-teropong ini, niscaya bagian atau bagian-bagian pengetahuan dan penyaksian kita akan benda-benda langit itu akan tidak lagi aktif. Yakni, apakah kita yang menyaksikan benda langit itu atau teropong? Apakah teropong dan teleskop sekedar media kerja pengamatan kita yang dengannya kita melihat atau pelaku kerja dan yang dengan sendirinya melihat dan mengamati?
Pada kaitannya dengan otak, juga tidak seorang pun yang mengingkari bahwa tanpa sel-sel otak, proses berpikir menjadi mustahil. Akan tetapi, apakah otak adalah media kerja bagi ruh atau ruh itu sendiri?
Singkatnya, seluruh dalil-dalil kaum materialis yang telah diketengahkan di sini hanya dapat membuktikan bahwa di antara sel-sel otak dan kerja pencerapan kita, terdapat hubungan. Akan tetapi, tidak satu pun dari dalil-dalil itu yang membuktikan bahwa otak adalah pelaku, bukan sekedar media pencerapan. (Perhatikan baik-baik).
Berangkat dari sini, jelas bahwa orang-orang mati tidak dapat memahami sesuatu, karena hubungan ruh mereka telah terputus dengan badan mereka, bukan lantaran ruh telah binasa. Seumpama bahtera atau pesawat yang seluruh instrumen nir-kabelnya tidak lagi berfungsi. Di sini bahtera, para pemandu, dan nakhoda tetap ada. Namun, orang-orang yang tinggal di tepi pantai tidak dapat mengadakan hubungan dengan mereka, lantaran media komunikasi di antara mereka telah terputus.


Argumentasi Kemandirian Ruh

Dalam masalah ruh, kaum materialis bersiteguh bahwa fenomena-fenomena ruh merupakan ciri dan gejala sel-sel otak. Pikiran, hafalan, inovasi, cinta, kebencian, dan amarah, serta ilmu dan pengetahuan, seluruhnya berada dalam jajaran masalah laboratorium dan di bawah hukum-hukum materi. Akan tetapi, filsuf yang mendukung kemandirian ruh memiliki bukti-bukti kuat dalam menolak pandangan kaum materialis. Kami akan uraikan bukti-bukti tersebut dalam beberapa poin di bawah ini:


a. Gejala Realistik (Pengetahuan tentang Inner World)

Pertanyaan pertama yang dapat diajukan kepada kaum materialis adalah, sekiranya pikiran-pikiran dan fenomena-fenomena ruh adalah gejala "fisis-kimiawi" otak, pasti tidak akan ada perbedaan mendasar antara aktifitas otak dan aktifitas perut, ginjal, atau hati. Hal itu lantaran aktifitas perut, misalnya, adalah mensintesakan antara aktifitas-aktifitas fisik dan kimia dengan prosedur khasnya melalui mengunyah dan mempersiapkan badan untuk mengeluarkan acid-acid makanan. Demikian juga aktifitas saliva (air liur) -sebagaimana yang telah disebutkan di atas- merupakan sintesa antara aktifitas fisik dan aktifitas kimia. Sementara kita melihat aktifitas ruh berbeda dengan semua itu.
Seluruh aktifitas anggota badan masing-masing -kurang-lebih- serupa dengan yang lainnya, kecuali otak. Semua ini bersangkutan dengan dimensi-dimensi internal. Sementara fenomena-fenomena ruh memiliki dimensi eksternal dan menerangkan kepada kita ihwal keadaan eksternal keberadaan kita.
Untuk lebih jelasnya, kita renungkan beberapa poin di bawah ini:
Pertama, apakah dunia luar (diri kita) ada atau tidak? Tentu saja, ada. Kaum idealis yang mengingkari keberadaan dunia luar berpendapat, apa pun yang ada hanyalah kita dan konsep kita. Dunia luar ibarat panggung yang kita lihat dalam dunia mimpi; hanyalah sebuah khayalan. Mereka cukup getol dengan kesalahannya. Dan kesalahan mereka telah kami telah buktikan di tempat yang lain. Pembuktian ini berkisar tentang bagaimana kaum idealis pada tataran praktis menjadi kaum realis. Dan apa yang dipikirkan pada lingkungan perpustakaan, tatkala melangkahkan kaki ke lorong, jalan dan kehidupan umum, mereka melupakan semua idenya.
Kedua, apakah kita mengetahui kehidupan dunia luar atau tidak? Tentu saja jawaban pertanyaan ini adalah afirmatif (iya). Karena kita memiliki data yang melimpah tentang dunia luar. Dan kita memiliki informasi yang banyak tentang makhluk-makhluk yang berada di seputar kita atau bahkan, makhluk-makhluk yang mendiami tempat yang jauh dari kita namun berada di luar jangkuan kita. Pertanyaannya, apakah dunia luar dapat masuk ke dalam ruang internal wujud kita? Tentu saja tidak. Akan tetapi, kita dapat memahami keberadaan dunia luar dengan menggunakan gejala yang nyata dan riel. Gambaran dunia luar berada dalam benak kita.
Gejala nyata ini bukan gejala fisis-kimia otak. Lantaran gejala fisis-kimia otak ini merupakan reaksi efek-efek kita atas dunia luar. Istilahnya, merupakan akibat dari aktifitas fisis-kimia otak. Persis dengan efek-efek yang disisakan oleh makanan pada perut kita; hanya efek makanan atas perut, aksi dan reaksi fisis dan kimia tersebut yang membuat perut mengetahui makanan-makanan yang disodorkan kepadanya. Lalu bagaimana otak kita dapat mengetahui dunia luar?
Dengan kata lain, untuk mengetahui wujud-wujud eksternal, ia memerlukan satu jenis pengetahuan tentangnya. Dan lingkungan kerja ini bukanlah pekerjaan sel-sel otak. Sel-sel otak hanya dapat menerima efek dari luar. Dan efek ini seperti efek-efek anggota badan lainnya dari keadaan dunia luar. Kita dapat memahami perkara ini dengan baik.
Apabila efek dari dunia luar adalah dalil atas pengetahuan kita terhadap dunia luar, mestinya kita dapat memahaminya dengan perut dan lisan kita, sementara tidaklah demikian adanya.
Kesimpulannya, keadaan unik perangkat pengetahuan kita merupakan dalil bahwa terdapat suatu hakikat lain di sana, yang hukum-hukumnya sama sekali berbeda dengan hukum-hukum fisik dan materi. (Perhatikan baik-baik).


b. Kesatuan Pribadi


Argumentasi lain tentang kemandirian ruh yang dapat disebutkan di sini adalah kesatuan pribadi sepanjang usia seorang manusia.


Penjelasan

Apabila kita dalam segala hal dapat sangsi dan ragu, dalam perkara ini kita tidak akan merasa ragu bahwa kita ini ada.
Tentang "Aku ada dan dalam keberadaanku", aku tidak memiliki keraguan. Pengetahuanku tentang keberadaanku disebut sebagai ilmu hudhûrî (pengetahuan dengan kehadiran), bukan ilmu hushûlî (pengetahuan dengan perolehan). Maksudnya adalah bahwa aku hadir dalam diriku dan tidak terpisah dariku.
Bagaimanapun, pengetahuan kita tentang diri kita merupakan pengetahuan yang paling jelas. Pengetahuan ini tidak memerlukan penalaran. Penalaran yang terkenal adalah penalaran yang dilakukan oleh Descartes, seorang filsuf besar Prancis, yaitu "Aku berpikir, maka aku ada". Tampaknya penalaran ini bukan penalaran yang benar dan hanya bersifat lateral. Lantaran sebelum ia membuktikan wujudnya, ia sudah mengakui wujudnya sendiri! (Sekali ia berkata "aku", kembali ia berkata "aku berpikir"). Ini dari satu sisi.
Dari sisi lain, "aku" ini sejak awal hingga akhir usia hanya memiliki satu kesatuan (pribadi), tidak lebih. "Aku hari ini" adalah "aku kemarin" dan "aku dua puluh tahun yang lalu". Sejak kecil sampai sekarang ini, Aku adalah seorang, tidak lebih. Aku adalah orang yang dulu dan hingga akhir usia juga aku tetap orang yang sama, bukan orang lain. Tentu saja, aku belajar, aku telah memiliki ilmu, aku telah mencapai kesempurnaan, dan aku akan tetap mencapainya, akan tetapi aku tidak menjadi orang lain.
Dengan demikian, seluruh manusia sepanjang hidupnya dikenal sebagai seorang manusia; aku memiliki satu nama, aku memiliki satu tanda pengenal, dan sebagainya.
Kini kita lihat, apakah wujud satu yang telah memenuhi segenap usia kita ini? Apakah ini merupakan partikel atom, sel-sel badan, atau kumpulan sel-sel otak, serta aksi dan reaksi otak? Di sepanjang usia kita, semua ini berulang kali akan berganti. Kira-kira dalam setiap tujuh tahun, seluruh sel-sel akan mengalami pergantian (shift). Lantaran kita ketahui bahwa jutaan sel dalam badan kita setiap hari akan mati, dan jutaan sel baru akan tumbuh menggantikannya. Sebagaimana sebuah bangunan yang batu batanya secara gradual keluar, dan batu-batu bata yang baru akan datang menggantikan pekerjaan batu-batu bata yang lama. Setelah beberapa waktu, bangunan ini secara keseluruhan akan berganti meskipun orang-orang awam tidak mengetahuinya. Tak ubahnya seperti kolam renang besar. Dari satu sisi, air baru secara perlahan akan masuk ke dalam kolam renang, dan dari sisi lainnya, air yang lama akan keluar. Jelas bahwa setelah beberapa lama, seluruh air yang ada dalam kolam tersebut akan berganti, meskipun orang-orang yang melihatnya secara lahiriah tidak mengetahui perubahan ini, bahkan mereka melihat bahwa kolam renang tersebut tetap pada keadaaanya semula.
Secara umum, setiap wujud yang menerima makanan dan dari sisi lainnya menkonsumsi makanan tersebut, secara perlahan-lahan akan mengalami pembaruan dan pergantian.
Oleh karena itu, seorang anak manusia yang berusia tujuh puluh tahun, perubahan yang terjadi pada anggota badannya kira-kira sebanyak sepuluh kali (mengingat setiap tujuh tahun mengalami perubahan-AK.). Atas perhitungan ini, apabila kita -sebagaimana kaum materialis- harus memandang manusia sebagai jasad dan kumpulan organisme otak dan syaraf, serta akumulasi ciri-ciri fisis-kimiawi, maka "aku" ini dalam masa tujuh puluh tahun mengalami sepuluh kali pergantian dan bukan lagi orang yang sebelumnya, padahal tidak satu pun fitrah (wijdân) yang akan menerima asumsi ini.
Berangkat dari sini, jelas bahwa selain bagian-bagian material, terdapat satu hakikat tunggal yang permanen pada segenap usia kita, dan ia tidak akan pernah berubah sebagaimana bergantinya bagian-bagian materi. Ia adalah bentuk dasar wujudnya, maka standar kesatuan pribadi kita adalah hakikat tunggal tersebut.


Menghindari Sebuah Kekeliruan

Sebagian orang beranggapan bahwa sel-sel otak tidak akan berganti. Mereka berkata, "Dalam buku fisiologi, kami membaca bahwa jumlah sel-sel otak sejak semula hingga akhir usia adalah satu jenis saja. Maksudnya, sel-sel ini tidak akan bertambah dan juga tidak akan berkurang selamanya. Sel-sel ini hanya akan menjadi besar. Akan tetapi, sel-sel ini tidak akan melahirkan sel baru untuk meneruskan keturunannya. Dari sudut pandang ini, tidak dapat diilustrasikan kerusakan pada sel-sel ini. Oleh karena itu, kita percaya bahwa dalam keseluruhan badan kita terdapat satu kesatuan yang permanen yang merupakan sel-sel otak itu sendiri. Dan sel-sel inilah yang menjadi standar kesatuan pribadi kita.
Namun, pandangan ini merupakan sebuah kesalahan besar, karena mereka telah mencampur-adukkan dua masalah. Yang telah dibuktikan oleh sains dewasa ini ialah bahwa dari sisi jumlah, sel-sel otak semenjak semula hingga akhir usia bersifat permanen; tidak bertambah, tidak pula berkurang, bukan atom yang menjadi pembentuk sel-sel ini yang tidak akan berubah. Sebab, bagaimana yang telah kami sebutkan, sel-sel badan menerima makanan secara terus-menerus dan atom-atom (dzarrât) yang telah tua akan hilang secara bertahap. Persis seperti seorang yang senantiasa dari satu sisi menerima dan dari sisi lain memberi. Tentu saja modal orang seperti ini akan berganti secara perlahan, betapa pun banyaknya. Sebagaimana kolam renang, yang dari satu sisi air yang baru dialirkan ke dalamnya dan dari sisi lain, air yang lama dialirkan keluar. Dengan demikian, dalam beberapa waktu, muatan-muatan kolam akan berganti secara keseluruhan, meskipun ukuran air tetap dan tidak berubah.
Begitu pula, sel-sel otak itu tidak permanen. Sebagaimana sel-sel yang lain, sel-sel ini akan mengalami pergantian dan perubahan.


c. Ketidaksesuaian antara Kecil dan Besar

Anggaplah, Anda duduk di tepi pantai yang indah. Beberapa perahu kecil dan sebuah kapal besar bergerak di atas ombak. Dari satu sisi, kita melihat matahari terbenam di sebelah barat dan dari sisi lain, kita melihat bulan berada dalam keadaan bersinar (terbit). Burung-burung menawan di pantai selalu bermain di atas air dan berdiri, dan gunung menjulang tinggi, puncaknya mencapai langit.
Kini, untuk beberapa detik, kita pejamkan mata kita. Lalu, kita ilustrasikan apa yang telah kita saksikan itu di dalam benak kita. Gunung dengan segala ketinggiannya, laut dengan segala keluasannya, dan kapal raksasa dengan segala kebesarannya kini menjelma dalam benak kita. Artinya layar pemandangan yang luar biasa besarnya itu berhadapan dengan ruh kita, atau papan gambar itu kini berada dalam ruh kita.
Pertanyaannya di sini adalah, di manakah tempat gambar raksasa ini? Apakah sel-sel maha mikro otak dapat menerima peta yang maha makro seperti ini? Tentu saja tidak. Oleh karena itu, kita harus memiliki bagian lain dari diri kita di balik badan fisis ini; bagian yang sedemikian luasnya sehingga meliput seluruh pemandangan itu di dalamnya.
Apakah gambaran satu bangunan yang tingginya 500 meter dapat dilukiskan pada satu tanah yang berukuran beberapa millimeter? Tentu saja, tidak. Sebab, satu wujud yang lebih besar dengan tetap menjaga kebesarannya tidak akan sesuai dengan wujud yang lebih kecil. Kelaziman persesuaian ini, baik sama dengannya atau lebih kecil darinya, dapat diterapkan di sini.
Kini, bagaimana kita dapat memberikan ruang bagi gambaran-gambaran mental yang luar biasa besarnya di dalam sel-sel mikro otak?
Kita dapat mengilustrasikan planet bumi yang berukuran 40.000.000 meter dalam benak kita. Kita dapat menjelmakan planet matahari yang berukuran 1.200.000 lebih besar daripada planet bumi. Demikian juga, galaksi-galaksi yang ukurannya jutaan lebih luas dari matahari kita. Seluruhnya ada dalam pikiran kita., apabila mereka ingin menggambarkan ilustrasi-ilustrasi ini dalam sel-sel kecil otak, sesuai dengan hukum ketidaksesuaian besar dan kecil, tidak akan mungkin dapat terjadi. Maka, kita harus mengakui suatu wujud yang lebih unggul di atas otak fisis ini yang merupakan sentral penerimaan gambaran-gambaran raksasa ini.
Sebuah Pertanyaan Penting
Barangkali disebutkan bahwa gambaran-gambaran benak kita adalah mikrofilm-mikrofilm atau peta-peta geografis, dan di dalam peta-peta ini telah ditulis satu angka fraksional seperti berikut: 1 per 1.000.000 atau 1 per 100.000.000 yang menunjukkan skala mikronya. Hal itu memberikan pemahaman kepada kita bahwa gambar ini harus kita besarkan sesuai dengan rasio di atas hingga peta yang real dapat kita peroleh. Dan juga banyak kita lihat potret-potret kapal raksasa yang telah diambil yang tidak dapat menunjukkan kebesaran kapal tersebut. Oleh karena itu, untuk menunjukkan kebesaran kapal itu, maka sebelum mengambil foto tersebut, kita menempatkan manusia di atas kapal tersebut, dan foto keduanya dapat diambil, sehingga berdasarkan perbandingan, kebesaran kapal tersebut semakin jelas.
Melalui gambaran-gambaran mental, kita juga dapat memperoleh gambaran-gambaran mikro yang dengan skala-skala tertentu telah dimikrokan dengan rasio yang sama. Dengan memakrokan gambaran tersebut, gambaran yang sebenarnya dapat diperoleh. Dan tentu saja, peta-peta mikro ini dapat memiliki ruang pada sel-sel otak kita. (Perhatikan baik-baik).


Jawaban

Masalah penting di sini ihwal mikrofilm-mikrofilm yang biasanya mereka besarkan dengan media projector dan memberikan reaksi di atas layar atau pada peta-peta geografi angka yang ditulis di bawahnya membantu kita mengalikan peta tersebut dengan angka yang telah ditentukan itu. Dan gambaran besar yang sebenarnya kita refleksikan dalam benak kita. Kini pertanyaan yang muncul adalah di manakah layar besar yang digunakan oleh mikrofilm-mikrofilm mental untuk merefleksikan gambar raksasa tersebut? Apakah layar besar ini adalah sel-sel otak itu sendiri? Tentu saja, tidak. Dan peta mikro geografi yang kita kalikan dengan angka besar itu dan kita merubahnya menjadi gambaran raksasa, tentu saja memerlukan tempat. Apakah tempat ini adalah sel-sel mikro otak itu sendiri?
Dengan kata lain, dalam perumpamaan mikrofilm dan peta geografi yang berada pada dunia luar, tempat film dan gambar-gambar yang berbentuk mikro itu adalah layar yang telah menerima gambar tersebut. Akan tetapi, pada gambaran mental kita, gambaran-gambaran ini persis seperti ukuran wujud luarnya. Dan tentu saja gambaran-gambaran ini memerlukan tempat seukuran dirinya, dan kita ketahui bahwa sel-sel otak lebih kecil dari gambaran dan mikrofim tersebut untuk dapat merefleksikan gambaran dan mikrofilim itu dengan segala kebesarannya.
Ringkasnya, kita mengilustrasikan gambaran-gambaran benak ini sebesar ukurannya yang terdapat di dunia luar. Dan gambar raksasa ini tidak dapat terefleksikan dalam sel-sel mikro. Dengan demikian, ia memerlukan tempat dan dari sini kita dapat memahami adanya suatu wujud hakiki di balik sel-sel ini.


d. Gejala-gejala Ruh bukan Kualitas materi

Dalil lain yang dapat menuntun kita kepada kemandirian dan kenonmaterian ruh adalah bahwa pada gejala-gejala ruh, kita melihat kualitas-kualitas yang tidak serupa dengan kualitas-kualitas materi. Karena:
Pertama, makhluk-makhluk memerlukan (waktu) dan berdimensi gradual (berproses).
Kedua, dengan berlalunya waktu, makhluk-makhluk tersebut akan menjadi usang (out of date).
Ketiga, materi dapat dianalisa atau dipecah kepada bagian-bagian wujud lainnya.
Akan tetapi, gejala-gejala mental tidak memiliki ciri-ciri dan efek-efek yang tersebut di atas. Kita dapat menggambarkan semesta persis dengan semesta yang kita huni sekarang ini dalam benak kita, tanpa melewati lintasan waktu dan tidak perlu berproses gradual.
Terlepas dari masalah ini, potret-potret masa lalu yang kita gambarkan dalam benak kita semasa kita kecil, dengan berlalunya waktu tidak mengalami antiquasi (kekunoan), tidak usang, dan tetap seperti ukuran aslinya. Boleh jadi otak manusia mengalami keusangan. Akan tetapi, dengan usangnya otak, rumah yang merupakan gambaran dua puluh tahun sebelumnya dalam benak kita terekam dengan baik dan tidak usang, dan memiliki konstansi yang merupakan ciri khas dunia metafisis.
Ruh kita dalam hubungannya dengan gambaran dan potret-potret, memiliki ciptaan yang menakjubkan dan pada detik itu kita dapat menggambarkan segala jenis peta dalam benak kita tanpa memerlukan sedikit pun pendahuluan. Gambaran benda-benda langit, galaksi-galaksi dan makhluk-makhluk bumi, laut, pegunungan, dan semisalnya bukanlah ciri khas satu wujud materi, akan tetapi ciri khas wujud metafisis.
Di samping itu, kita ketahui misalnya, 2+2=4, dan kita dapat menganalisa salah satu dari dua ekuivalen ini; angka dua atau angka empat. Akan tetapi, kita tidak dapat menganalisa equivalensi seraya mengatakan ada equivalensi seperdua dan setiap setengah bukan setengah yang lainnya. Equivalensi merupakan satu pemahaman yang tidak dapat dianalisis; ada atau tiada. Sekali-kali tidak dapat dibagi menjadi dua. (Antara ada dan tiada tidak dapat dibagi, setengah ada atau setengah tidak. Proposisi ini mustahil adanya-AK.)
Oleh karena itu, pemahaman mental ini tidak dapat dianalisa. Atas dasar ini, ia tidak dapat bersifat materi, sebab apabila ia materi, ia tersusun. Begitu pula,ruh kita yang merupakan pusat pemahaman ini bukanlah materi dan tidak dapat bersifat materi. Maka, ruh adalah wujud nonmateri. (Perhatikan baik-baik).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar