Total Tayangan Halaman

Kamis, 29 Januari 2015

MENGENAL ALLOH SWT (bagian 2)


Apakah Tauhid Dzat, Tuhid Sifat, Tauhid Fi'il, dan Tauhid Ibadah itu?


Tauhid Dzat

Banyak orang berpendapat bahwa makna Tauhid Dzat (Pengesaan Tuhan dalam Dzat) adalah, bahwa Tuhan adalah Esa dan bukan dua. Ungkapan ini bukanlah sebuah ungkapan yang cermat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali a.s. Karena arti dari ungkapan ini adalah satu numerik. Artinya, dua bagi Tuhan dapat dikonsepsikan (tashawwur), akan tetapi tidak ada wujudnya di luar. Dan tentu saja ungkapan ini adalah ungkapan yang salah.
Ungkapan yang benar yaitu bahwa Tauhid Dzat berarti bahwa Tuhan itu satu dan dua bagi-Nya tidak dapat dikonsepsikan. Dengan kata lain, tidak ada yang serupa dan semisal dengan-Nya. Sesuatu tidak serupa dengan-Nya, dan juga Ia tidak serupa dengan sesuatu, sebab Dia adalah Satu Wujud Nir-Batas Nan Sempurna memiliki sifat seperti ini.
Dengan argumentasi yang sama, kita jumpai dalam hadis. Imam Ash-Shadiq a.s. pernah ditanya oleh salah seorang sahabat, "Apakah arti dari Allâhu Akbar?"
Beliau menjawab, "Allah adalah lebih Besar dari segala sesuatu." Dan beliau melanjutkan, "Apakah ada sesuatu yang lebih besar dari-Nya?"
Lalu sahabat itu bertanya lagi, "Lalu apa tafsir Allâhu Akbar itu?"
Beliau menjawab, "Allah adalah lebih Besar dari penyifatan."


Tauhid Sifat

Ketika kita mengatakan bahwa satu cabang tauhid adalah Tauhid Sifat (pengesaan Tuhan dalam sifat), maksudnya ialah; sebagaimana Dzat-Nya adalah azali (tidak bermula) dan abadi (tidak berakhir), pun sifat-Nya,seperti ilmu, kuasa, dan lain sebagainya azali dan abadi. Ini dari satu sisi.
Dari sisi lain, sifat ini bukanlah tambahan (zâ'id) dari luar Dzat-Nya, tidak memiliki sisi aksidental ('âridh) dan teraksiden (ma'rûdh), melainkan sifat ini adalah Dzat-Nya sendiri.
Dan dari sisi ketiga, sifat-Nya tidak terpisah dengan sifat yang lainnya. Maksudnya, ilmu dan kuasa-Nya adalah satu, dan keduanya adalah Dzat-Nya itu sendiri.


Penjelasan

Bilamana kita merujuk kepada diri kita sendiri, kita melihat pada mulanya kita tidak memiliki satu pun sifat-sifat yang melekat pada diri kita. Tatkala kita terlahir ke dunia ini, kita tidak memilki ilmu, juga tidak memiliki kekuasaan. Secara gradual, sifat-sifat ini terbina dalam diri kita. Dengan dasar ini, sifat-sifat yang kemudian muncul ini adalah perkara-perkara "lain" dari luar diri (dzat) kita. Oleh karena itu, mungkin saja suatu hari kekuatan, ilmu dan pengetahuan yang kita miliki akan sirna. Dan juga dengan jelas kita melihat, antara ilmu dan kekuasaan yang kita miliki terpisah satu dengan yang lainnya. Kekuasaan berada pada raga kita dan ilmu berada pada ruh kita.
Akan tetapi, Tuhan sama sekali tidak dapat dikonsepsikan seperti di atas tadi. Seluruh Dzat-Nya adalah ilmu, dan seluruh Dzat-Nya merupakan kuasa. Dan segala sesuatu yang ada pada-Nya adalah satu. Tentu saja kita memastikan bahwa makna-makna ini tidak berada pada diri kita. Sifat-sifat dengan makna seperti ini tidak akrab dan tampak ruwet. Mak tidak ada jalan bagi kita selain menggunakan kekuatan logika dan filsafat, serta penalaran cermat.


Tauhid Fi'il

Artinya, setiap wujud, setiap gerak, setiap perbuatan di alam semesta ini kembali kepada Dzat Kudus Ilahi. Tauhid Fi'il berarti pengesaan Tuhan dalam perbuatan. Dzat Kudus-Nya adalah sebab-musabab, sebab seluruh akibat. Bahkan, perbuatan yang kita kerjakan -dalam satu makna- berasal dari-Nya. Ia yang memberikan kekuatan (qudrah), kebebasan (ikhtiyâr), dan kehendak (irâdah) kepada kita. Padahal -dengan demikian- kita adalah pelaku dari perbuatan-perbuatan kita sendiri. Dan kita bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan yang kita lakukan.
Dari satu perspektif, Tuhan adalah pelaku perbuatan kita sendiri. Lantaran segala sesuatu yang kita miliki berasal dari-Nya. Tiada yang dapat memberikan pengaruh di dalam alam wujud ini kecuali Allah!


Tauhid Ibadah

Maksudnya adalah Allah swt. satu-satunya Dzat yang harus disembah, dan selain-Nya tidak pantas disembah. Karena ibadah khusus bagi seseorang yang sempurna mutlak (kamâl mutlaq) dan mutlak sempurna (mutlaq kamâl). Dzat yang tidak memerlukan segala sesuatu, pemberi seluruh anugerah, pencipta seluruh wujud. Dan sifat ini tidak akan dijumpai selain pada Dzat Nan Kudus.
Tujuan utama ibadah adalah menemukan jalan untuk mendekatkan diri kepada derajat kesempurnaan mutlak dan mutlak sempurna, Wujud Nir-Batas itu. Dan refleksi pancaran dari sifat sempurna dan indah-Nya bertakhta dalam relung jiwa yang merupakan hasil penjagaan jarak dari hawa nafsu, serta menggayutkan diri kepada membina dan menghias diri (tahdzib nafs).
Tujuan ini hanya dapat tercapai dengan beribadah kepada Allah swt. yang merupakan Pemilik kesempurnaan mutlak.

7. Mengapa Agama itu Perkara Fitri?

Arti dari kata fitrah adalah manusia dapat menemukan hakikat tanpa memerlukan penalaran atau argumentasi, (yang sederhana ataupun yang rumit). Manusia dengan gamblang mendapatkan hakikat tersebut. Umpamanya, jika manusia melihat sekuntum bunga yang indah dan semerbak baunya, ia mengakui pesona bunga tersebut. Dalam pencerapan ini, ia tidak melihat adanya penalaran. Dengan serta-merta berkata, "Bunga ini elok rupanya", tanpa memerlukan argumentasi.
Pengenalan terhadap Tuhan (ma'rifatullâh) juga merupakan bagian dari jenis pengetahuan fitri. Ketika seseorang menengok ke lubuk hatinya, ia akan melihat cahaya kebenaran. Ia akan mendengar seruan dari sudut sanubarinya. Seruan yang mengajaknya ke arah Sumber Awal, menghampiri ilmu dan kemahakuasaan-Nya di jagad raya ini yang tanpa tandingan; Sumber Awal yang merupakan kesempurnaan mutlak dan mutlak sempurna. Dalam pengetahuan fitri ini, ia persis seperti melihat keelokan bunga yang tidak memerlukan argumentasi.


Bukti-bukti Hidup atas Kefitrahan Iman kepada Kebenaran

Barangkali seseorang mengatakan bahwa semua ini hanyalah klaim-klaim belaka, dan metode-metode untuk membuktikan kefitrahan ma'rifatullâh tidak tersedia. Kita mungkin dapat mengklaim bahwa kita temukan perasaan seperti ini dalam lubuk hati kita, namun sekiranya ada seseorang yang enggan untuk menerima ungkapan semacam ini, bagaimana kita dapat memberikan jawaban kepadanya sehingga ia dapat menerima dengan puas?
Dalam menjawab ungkapan tersebut, sebenarnya kita memiliki pelbagai bukti yang tak terbilang jumlahnya dan dapat dijadikan sebagai dalil yang kuat atas kefitrahan tauhid. Begitu gamblangnya bukti-bukti tersebut sehingga mulut pengingkarnya dapat dibungkam.
Bukti-bukti ini dapat disimpulkan ke dalam enam bagian:


a. Fakta Sejarah

Fakta-fakta sejarah yang didasari oleh pernyataan para sejarawan klasik dunia menunjukkan bahwa agama tidak ada di tengah masyarakat. Namun, mereka percaya pada satu Sumber Awal, Ilmu dan Kuasa di jagad yang mereka sembah. Apabila kita menerima aksioma ini, sejarah ini memiliki kaidah universal yang mengatakan bahwa komunitas manusia sepanjang perjalanan sejarah senantiasa berada pada penyembahan akan kebenaran yang tidak mendatangkan kerugian bagi mereka. (Pada setiap kaidah universal, terdapat pengecualian).
Will Durant, sejarawan Barat dalam History of Civilization, setelah menyebutkan hal-hal berkenaan dengan kondisi tanpa-agama (dalam banyak masyarakat), mengakui suatu kebenaran, bahwa "Dengan adanya asumsi-asumsi yang telah kami sebutkan, kondisi tanpa-agama adalah sesuatu yang langka. Dan keyakinan kuno ini menyatakan bahwa agama adalah teladan yang diyakini oleh masyarakat secara umum dan sesuai dengan kebenaran, dan ini -menurut pandangan seorang filsuf-merupakan salah satu hukum dasar sejarah dan psikologi. Ia tidak merasa puas dengan satu teori yang mennyatakan bahwa seluruh agama berasal dari hal-hal sia-sia dan batil. Sebaliknya, ia tahu bahwa agama senantiasa bersama sejarah sejak dahulu".
Masih pada pembahasan yang sama, Durant menambahkan, "Di manakah letak sumber keutamaan yang sama sekali tidak akan pernah hilang dari sanubari manusia ini?"
Dalam Pelajaran-pelajaran Sejarah, berangkat dari rasa sedih dan geram, Durant berkata lebih tegas lagi, "Agama memiliki seribu jiwa. Setiap kali Anda membunuhnya, ia akan hidup kembali."
Apabila keyakinan kepada Allah Swt. atau agama memiliki dimensi adat, taklid, dikte atau propaganda orang lain, niscaya ia tidak bersifat sedemikian umum dan serempak, serta terus berlanjut sepanjang perjalanan sejarah. Hal ini merupakan sebaik-baik bukti atas kefitrahan agama.


b. Argumentasi Para Arkeolog

Tanda-tanda forensik yang masih tersisa (yaitu, kondisi seluruh manusia sebelum adanya invensi tulisan dan penulisan), menunjukkan bahwa masyarakat pra-sejarah memiliki agama. Mereka percaya kepada Tuhan, dan bahkan Hari Kiamat atau kehidupan pasca kematian. Hal itu didasari oleh banyaknya benda-benda kesukaan mereka yang masih tertimbun, dan dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang hidup setelah mereka seperti; me-mummi-kan jasad orang-orang mati, dan membangun kuburan-kuburan berbentuk piramida yang dapat bertahan dalam waktu yang sangat lama untuk mengantisipasi mayat-mayat tersebut supaya tidak terkubur dan tertimbun. Semua ini adalah bukti atas kepercayaan masyarakat silam pada Sumber Awal (Tuhan) dan Hari Akhir (Kebangkitan).
Benar bahwa perilaku-perilaku yang menunjukkan kepercayaan religius mereka ini banyak tercemari oleh khurafat dan takhayul. Akan tetapi, karena pembahasan utama kita kali ini adalah pembuktian adanya kepercayaan religius pada masa-masa pra-sejarah, hal ini dapat dijadikan sebagai bukti yang tak terbantahkan.


c. Kajian-kajian Psikis dan Temuan-temuan Para Psikoanalis

Dimensi spiritual manusia dan kecenderungan-kecenderungan dasarnya adalah sebuah bukti yang gamblang atas kefitrahan kepercayaan religius. Empat perasaan yang popular (atau empat kecenderungan transendental) dan mendasar yang akhir-akhir ini diintroduksi oleh sebagian psikolog dan psikoanalis sebagai empat dimensi spiritual manusia. Empat perasaan tersebut adalah perasaan kognitif, perasaan estetik, perasaan etik dan perasaan religius.
Di antara empat dimensi spritual manusia yang terkadang juga disebut sebagai kecenderungan kepada kesempurnaan mutlak, kecendrungan terakhir itu mengajak manusia kepada agama. Meyakini adanya Sumber Awal Yang Agung ini tidak memerlukan dalil terpisah. Barangkali, kepercayaan religius ini terkontaminasi dengan khurafat-khurafat, dan membuat seseorang menjadi penyembah berhala, matahari dan bulan. Akan tetapi, pembahasan kita terfokus pada dasar masalah; ( yakni adanya kecenderungan terhadap Tuhan, Sumber Awal, dan Hari Akhir-pen.).


d. Kekecewaan Terhadap Propaganda Penentang Agama

Kita menyaksikan propaganda intensif anti-agama dalam lintasan akhir-akhir kurun ini, khususnya yang merebak di belahan bumi Eropa dan berlangsung gencar. Ditinjau dari sisi penyebaran dan penggunaan pelbagai sarana, propaganda ini tidak tertandingi.
Tatkala gerakan sains Eropa (Renaissance) yang diusung oleh kaum cendikia dan politisi memberikan kekuatan kepada mereka untuk melepaskan diri dari hegemoni dan dominasi gereja, gelombang anti-agama ini sedemikian hebat bangkit di Eropa sampai pesan-pesan ateisme muncul ke permukaan. Khususnya penetrasi yang dilakukan oleh para filsuf dan ilmuwan alam membantu mereka untuk mengoncang seluruh fondasi agama, sehingga keberadaan gereja menjadi terpuruk, figur-figur religius Eropa mengasingkan diri, keyakinan kepada wujud Tuhan, mukjizat, Hari Kebangkitan, kitab-kitab suci dipandang sebagai bagian dari khurafat. Akhirnya, mereka membagi perkembangan umat manusia ke dalam empat periode: periode legenda dan mitos, periode agama, periode filsafat, dan periode sains. Berdasarkan klasifikasi ini, masa agama telah lewat dan berlalu dari hadapan kita.
Dan sebagai konsekuensinya, dalam literatur-literatur Sosiologi yang telah mengalami kemajuan pesat pada masa kini, disebutkan bahwa pada masa tersebut, masalah ini telah dianggap sebagai sebuah hukum pasti bahwa agama memiliki faktor natural. Kini faktor-faktor tersebut adalah kebodohan, rasa takut, hajat terhadap kehidupan sosial, dan atau masalah-masalah ekonomi. Tentunya, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di antara para sosiolog.
Benar bahwa agama yang berkuasa pada masa itu adalah gereja Abad Pertengahan. Karena arbitari (penghakiman) yang tanpa belas kasihan dan perlakuan-perlakuan buruk mereka terhadap masyarakat secara umum dan para ahli ilmu alam secara khusus, ketenggelaman dalam gaya hidup aristokrat dan glamor, melupakan tekanan-tekanan yang sedang menimpa orang-orang tertindas. Merekalah yang harus bertanggung jawab atas segala perbuatan tersebut. Akan tetapi, anehnya masalah ini tidak hanya tertuju kepada paus dan gereja, tetapi malah merasuki seluruh agama dunia.
Kaum komunis juga -dengan tujuan melenyapkan agama- turun ke kancah dengan segenap kekuatan. Seluruh sarana propaganda dan pemikiran filsafat mereka dikerahkan untuk mewujudkan sasaran-sasaran propaganda. Mereka berupaya semaksimal mungkin memperkenalkan kepada masyarakat dunia bahwa agama adalah candu bagi masyarakat.
Namun, kita melihat gelombang raksasa anti-agama ini tidak mampu memadamkan bara dan semangat agama yang mengakar pada lubuk hati manusia. Kecenderungan religius tumbuh bersemi, dan bahkan di negara-negara komunis sendiri. Informasi terakhir menunjukkan adanya peningkatan kecenderungan para penguasa di daerah-daerah ini kepada agama, khususnya kepada Islam. Bahkan di negara-negara komunis yang kendati masih berupaya untuk melenyapkan agama, justru menunjukkan hasil yang sebaliknya, bahwa yang menggejala adalah gerakan penyebaran agama.
Masalah ini mengindikasikan dengan baik bahwa agama memiliki akar di dalam fitrah setiap manusia. Oleh karena itu, agama dapat menjaga dirinya dalam menghadapi gelombang propaganda yang menentang keberadaanya. Kalau bukan karena mengakarnya agama ini pada diri manusia, niscaya agama hingga kini sudah dilupakan orang.


e. Pengalaman Pribadi dalam Getirnya Kehidupan

Alangkah banyaknya orang yang belajar tentang kebenaran dalam kehidupan mereka ketika ia menghadapi kesulitan-kesulitan yang menyita energi mereka, seperti badai cobaan hidup yang keras dan keterperangkapan dalam petaka. Dalam menghadapi semua ini, seluruh gerbang penyelamat lahiriah tertutup di hadapannya. Ketika itulah ia merasakan sisa-sisa harapan yang hangat dari kedalaman jiwa dan perhatiannya tertuju kepada Sumber Awal (Tuhan) yang mampu memecahkan seluruh kesulitan yang sedang dihadapinya. Hati bergantung kepadanya dan berupaya mencari pertolongan dari-Nya.
Bahkan kondisi ini pun dapat dirasakan oleh orang-orang yang berada dalam keadaan normal dan tidak memiliki kecenderungan religius. Mereka juga mengambil manfaat dari reaksi-reaksi ruh ini tatkala penyakit-penyakit akut dan kekalahan-kekalahan getir menerpa kehidupan mereka.
Semua ini adalah bukti nyata atas realitas yang ditegaskan oleh Al-Qur'an tentang kefitrahan ma'rifatullâh dan keorisinilan kecenderungan religius pada diri manusia. Dari sudut hati dan lubuk jiwa yang paling dalam ia mendengarkan dengan kuat dan ekspresif seruan lembut dan penuh kasih, yang menuntunnya ke arah Realitas Agung Yang Mahatahu, Mahaperkasa, dan Mahatinggi, yang bernama Allah atau Tuhan. Boleh jadi seseorang memberikan nama lain atas-Nya. Persoalannya tidak terletak pada pemberian nama, tetapi terfokus pada iman kepada realitas tersebut.
Para pujangga merefleksikan inti persoalan ini dalam lirik-lirik syair mereka yang indah:
Gejolak cinta kepada-Mu tiada yang mengingkari,
Menatap keindahan-Mu pelipur mata hati,
Gundah dan nestapa tatkala berpisah dari-Mu,
Bara cinta karena-Mu memerah dalam jiwaku terpatri.

Atau dalam syair yang lain:

Dalam relung diriku, aku tak mengenal lelah jiwa siapa?
Aku redup dan Dia dalam kebisingan dan kegaduhan.


f. Kesaksian Para Ilmuan atas Kefitrahan Kecenderungan Religius

Masalah kefitrahan ma'rifatullâh bukanlah masalah yang terbatas hanya pada ayat dan riwayat saja. Ucapan-ucapan para ilmuwan, filsuf non-Muslim dan para pujangga dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam masalah ini.
Sebagai contoh, Einstein, ketika memberikan penjelasan detail seputar pembahasan ini berkata, "Satu keyakinan dan agama -tanpa kecuali- ada pada setiap orang. Aku menamakannya 'Perasaan Religius Penciptaan'. Dalam agama ini, manusia merasakan dirinya begitu kecil-tak berharga, menemukan tujuan-tujuan umat manusia dan keagungan yang bersemayam di balik (agama) dan fenomena semesta. Ia melihat dirinya sebagai satu jenis penjara. Terkadang ia ingin terbang meninggalkan sarang, dan seluruh keberadaan ditemukannya dalam bentuk satu realitas."
Pascal, seorang ilmuwan ternama, berkata, "Hati memiliki argumen-argumen yang tidak dapat dicapai oleh akal."
William James berkata, "Aku menerima dengan baik bahwa sumber kehidupan adalah religius (hati). Aku juga menerima bahwa formula dan tuntunan-tuntunan praktis filsafat tak ubahnya seperti subjek yang telah diterjemahkan dan teks aslinya diterjemahkan ke dalam bahasa yang lain."
Max Muller berkata, "Para pendahulu kita, sejak pertama kali menundukkan kepala ke haribaan Tuhan, mereka bahkan tidak mampu memberikan nama untuk Tuhan."
Di tempat lain, Muller menyampaikan keyakinannya yang bertentangan dengan pendapat main-stream. Ia berkata, "Agama dimulai dengan penyembahan terhadap alam, benda-benda, dan berhala. Setelah itu, penyembahan kepada Tuhan yang satu. Paleontologi (ilmu yang mengkaji tentang kehidupan masa pra-sejarah dengan menggunakan bukti-bukti forensik, -AK.) membuktikan bahwa menyembah Tuhan yang satu telah berlangsung semenjak zaman dahulu."
Seorang ahli sejarah bernama Palutark berkata, "Sekiranya Anda memandang pelataran semesta ini, Anda akan jumpai banyak tempat yang di situ tidak ada data mengenai rekonstruksi, pembangunan, ilmu, industri, politik, dan negara. Akan tetapi, Anda tidak akan menjumpai tempat yang di situ tidak ada Tuhan."
Samuel Kning dalam bukunya Jâme'eh-shinâsi (Sosiologi) berkata, "Seluruh umat manusia memiliki jenis agama. Meskipun para etnolog (ahli yang mengkaji tentang etnis, -AK.), petualang dan muballig pertama Masehi menyebutkan adanya kaum yang tidak memiliki agama dan kepercayaan. Akan tetapi, setelah itu diketahui bahwa laporan-laporan mereka tidak memiliki landasan. Penilaian mereka hanya berdasarkan pada indikasi yang beranggapan bahwa agama kaum ini serupa dengan agama mereka."
Pembahasan ini kami akhiri dengan meminjam ucapan Will Durant, sejarawan terkemuka kontemporer. Ia berkata, "Sekiranya kita tidak berpendapat bahwa agama memiliki akar-akar pada masa pra-sejarah, maka kita tidak akan mengenal sejarah dengan baik seperti yang kita kenal sekarang ini."

8. Kerusakan apakah yang akan Terjadi bilamana Tuhan yang Berkuasa itu Banyak?

Pada ayat 22, surat Al-Anbiya' [21], kita membaca: "Sekiranya ada Tuhan selain Allah, maka akan terjadi kerusakan dan sistem-semesta akan saling bertabrakan."
Soal yang mengedepan di sini adalah banyaknya Tuhan akan menjadi sumber kerusakan di alam semesta, lantaran tiap-tiap mereka akan bangkit untuk memerangi satu sama lainnya. Akan tetapi, jika kita menerima mereka sebagai orang-orang bijak dan berpengetahuan, tentu saja dalam mengelola alam semesta ini mereka akan saling bahu-membahu.
Jawaban atas soal ini cukup sederhana. Kebijakan mereka tidak akan menafikan keberbilangan mereka. Ketika kita berasumsi mereka berjumlah banyak, berarti tidak adanya satu pendapat di antara mereka. Karena, apabila mereka adalah satu dari segala sisi, maka konsekuensinya adalah satu Tuhan. Oleh karena itu, jika ada jumlah banyak, pasti terdapat perbedaan-perbedaan dalam perbuatan, kehendak dan efek. Keadaan inilah yang akan menggiring semesta kepada kerusakan. (Perhatikan baik-baik!)
Argumentasi ini menjelaskan argumentasi Tamânu' dalam rumusannya yang berbeda-beda. Namun, mengupas seluruh argumentasi yang ada bukanlah tujuan pembahasan kita kali ini. Apa yang kami sebutkan di atas merupakan rumusan argumentasi (tamânu') yang terbaik.
Pada rumusan lain, argumentasi ini bersandar pada proposisi bahwa apabila ada dua kehendak yang berlaku dalam penciptaan, alam semesta tidak akan pernah tercipta. Sementara ayat yang dinukil di atas, berbicara tentang kerusakan jagad dan terjadinya kekacauan dalam sistem semesta, bukan tidak terciptanya atau wujudnya alam semesta. (Perhatikan baik-baik!).
Menariknya, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Hisyam bin Hakam dari Imam Ash-Shadiq a.s., ketika menjawab seorang kafir yang meyakini banyaknya Tuhan, beliau bersabda: "Dua Tuhan yang engkau katakan ini, apakah mereka itu qadim atau azali dan kuat, ataukah lemah dan tidak berdaya, atau satunya kuat dan lainnya lemah?
Apabila keduanya kuat, mengapa salah satunya tidak menyingkirkan yang lain dan memikul tanggungjawab mengatur alam semesta? Apabila anggapanmu seperti ini bahwa yang satu kuat dan yang lain lemah, engkau telah menerima Tauhid, karena yang kedua adalah lemah dan tidak berdaya. Dengan demikian, ia bukanlah Tuhan.
Dan apabila engkau berkata bahwa ada dua Tuhan (yang sama-sama kuat), maka asumsi ini tidak akan keluar dari dua kondisi; entah mereka bersepakat dari seluruh sisi atau berbeda. Akan tetapi, ketika kita melihat penciptaan yang sistemik; bintang-gemintang di langit masing-masing bergerak pada orbitnya, silih bergantinya siang dan malam secara teratur, bulan dan matahari bergerak sesuai dengan garis lintasnya masing-masing, koordinasi pengaturan jagad raya dan sistematika hukum-hukumnya adalah dalil bahwa pengaturnya adalah satu.
Terlepas dari masalah ini, sekiranya engkau mengklaim Tuhan ada dua, maka di antara mereka pasti ada jarak (keunggulan) sehingga dualitas itu terwujud. Di sini, jarak tersebut sendiri adalah wujud yang ketiga yang harus azali juga. Dan dengan demikian, Tuhan menjadi tiga. Dan apabila engkau meyakini Tuhan adalah tiga, maka harus ada jarak (keunggulan) juga di antara mereka. Dengan demikian, engkau harus percaya pada lima wujud qadim dan azali. Dan dengan ini, bilangan Tuhan akan semakin banyak, dan masalah ini tidak berakhir dan tak tertuntaskan."
Permulaan hadis ini mengindikasikan burhan tamânu', dan di bagian akhirnya terdapat argumentasi lain yang dikenal sebagai argumentasi farjah (berbedanya poin persamaan dan poin perbedaan).
Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa Hisyam bin Hakam bertanya kepada Imam Ash-Shadiq a.s.: "Dalil apa yang dapat membuktikan keesaan Tuhan?" Beliau bersabda, "Sistemika dan koordinasi pengaturan alam semesta dan sempurnanya penciptaan. Demikian Allah swt. berfirman, 'Sekiranya langit dan bumi terdapat Tuhan-Tuhan selain Allah, niscaya alam semesta ini akan mengalami kerusakan."

9. Apakah Maksud dari liqâ'ullâh?

Dalam beberapa ayat-ayat Al-Qur'an yang membahas Hari Kebangkitan dan Hari Kiamat, terdapat redaksi liqâ' Allah (perjumpaan dengan Tuhan) atau liqâ' ar-Rabb (perjumpaan dengan Rabb). Redaksi ayat ini sarat makna dan memiliki kedalaman arti, betapa pun sebagian mufassir telah menafsirkan ayat-ayat ini secara sambil lalu.
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa maksud dari liqâ' Allah adalah pertemuan para malaikat Allah Swt. pada Hari Kiamat. Sebagian yang lain berkeyakinan bahwa maksudnya adalah perjumpaan setiap makhluk dengan perhitungan (hisâb), ganjaran (jazâ'), dan pahala (tsawâb). Dan kelompok ketiga berpendapat bahwa maknanya adalah perjumpaan hukum dan perintah-Nya.
Semua pendapat tersebut mengambil arti redaksi Al-Qur'an tersebut secara implisit. Sementara kita mengetahui bahwa apabila penafsiran implisit bertentangan dengan dzahir sebuah ungkapan (eksplisit), sepanjang tidak ada dalil atasnya, harus kita tinggalkan.
Tak syak lagi bahwa maksud dari redaksi perjumpaan (liqâ') bukanlah melihat Tuhan. Lantaran perjumpaan indrawi (hissi) hanya berlaku pada benda-benda material yang terbatas di dalam ruang dan waktu, berwarna, dan kualitas-kualitas lain sehingga ia mampu untuk dilihat dengan mata kepala.
Dengan demikian, maksud dari perjumpaan di sini adalah syuhûd bâtini, perjumpaan dan pertemuan maknawi dan ruhani dengan Allah Swt. Karena pada Hari Kiamat, seluruh hijab akan tersingkap dan tanda-tanda kekuasaan-Nya sedemikian nampak pada hari Mahsyar dan seluruh tempat persinggahan Kiamat, bahkan orang-orang kafir akan berjumpa dengan Allah Swt. melalui mata batin mereka (meskipun perjumpaan ini pasti berbeda).
Allamah Thabathabai dalam Tafsir Al-Mîzân berkata: "Hamba-hamba Allah Swt. berada dalam keadaan tanpa hijab antara mereka dengan-Nya. Lantaran ciri khas Hari Kiamat adalah penampakan seluruh hakikat. Demikian pada surat An-Nur (24), ayat 25, Allah Swt. berfirman, 'Pada hari itu mereka mengetahui bahwa sesungguhnya Allah, Ia-lah Hak Yang Nyata.'"
Menariknya, dalam hadis sahih disebutkan bahwa seorang datang kepada Amirul Mukminin Ali a.s. dan berkata: "Aku terjatuh dalam kesangsian terhadap Al-Qur'an."
Beliau kembali bertanya: "Mengapa"?
Orang itu berkata: "Kita melihat banyak ayat Al-Qur'an yang menegaskan perjumpaan dengan Allah Swt. pada Hari Kiamat, dan di sisi lain Dia berfirman, 'Mata-mata tidak mampu menjangkaunya, dan Ia menjangkau seluruh mata.' Bagaimana ayat ini bisa dipertemukan dengan yang lainnya?"
Beliau menjawab: "Perjumpaan di sini bukan penyaksian dengan mat, akan tetapi perjumpaan pada Hari Kiamat dan bangkitnya orang-orang dari kuburan. Oleh karena itu, pahamilah bahwa seluruh liqâ' (perjumpaan) yang disebutkan dalam Al-Qur'an berarti kebangkitan."
Sebenarnya, Imam Ali a.s. memberikan tafsir ihwal perjumpaan dengan Allah swt. bahwa penyaksian (syuhûd) Allah swt. merupakan inherensi-inherensi dari syuhûd tersebut. Benar bahwa Hari Kiamat merupakan hari tersingkapnya pelbagai hijab dan tirai, tampaknya tanda-tanda Yang Maha Hak, dan tajallî (theophani) Allah kepada seluruh hati. Dan setiap orang -sesuai dengan tingkat pikirnya- dapat memahami ucapan beliau ini. Dan seperti yang telah kita katakan, bahwa syuhûd batini para kekasih Allah Swt. pada Hari Kiamat berbeda dengan perjumpaan orang-orang biasa.
Dalam masalah ini, Fakhrurrazi dalam At-Tafsir Al-Kabîr-nya memberikan penjelasan yang menarik. Ia menulis, "Manusia di dunia ini, lantaran hanyut dalam urusan-urusan duniawi dan berupaya untuk mengejar kehidupan dunia, kerap melalaikan Allah. Akan tetapi pada Hari Kiamat, seluruh perhatian duniawi ini akan hilang. Manusia dengan seluruh wujudnya akan tercurah kepada Tuhan semesta alam. Dan inilah arti dari perjumpaan dengan Allah Swt."
Hal ini boleh jadi berdasarkan pengaruh takwa, ibadah, dan penyucian jiwa (tahdzibun nafs) dalam kehidupan dunia ini yang dapat dijumpai pada sekelompok umat manusia. Sebagaimana dalam Nahjul Balaghâh ditegaskan, bahwa salah seorang sahabat alim Imam Ali, Dza'lab al-Yamani, bertanya kepada beliau, "Apakah Anda melihat Tuhan Anda?"
Imam a.s. menjawab, "Apakah mungkin aku menyembah Tuhan yang tidak kulihat?"
Dan ketika ingin memberikan penjelasan lebih lanjut, beliau menambahkan, "Seluruh mata kepala sekali-kali tidak akan pernah menyaksikan-Nya, namun mata hatilah -dengan cahaya iman- dapat menyaksikan-Nya."
Namun, syuhûd batini ini pada Hari Kiamat berlaku untuk semua orang. Karena, tanda keagungan dan kekuasaan Allah SWT pada hari itu sedemikian jelasnya sehingga setiap hati yang buta juga akan beriman penuh.

10. Apakah Maksud dari wajhullah?

Di dalam surat Al-Baqarah [2], ayat 272 disebutkan, "Dan janganlah Kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah (wajhillâh)." Berangkat dari ayat ini, sebuah soal mengemuka; apakah maksud dari ungkapan wajhullâh tersebut?
Wajh secara leksikal bermakna wajah, dan terkadang bermakna dzat (substansi). Oleh karena itu, wajhullah bermakna Dzat Allah. Niat para pemberi infak harus ditujukan kepada dzat kudus Allah Swt. Oleh karena itu, kata wajh pada ayat ini dan yang semisalnya bermuatan satu jenis penegasan. Karena, ketika wajh disebutkan (untuk dzat Ilahi), merupakan penegasan terhadap untuk Allah swt. semata, bukan untuk yang lain.
Selain itu, galibnya, wajah manusia -secara lahiriah- adalah bagian termulia di dalam struktur tubuhnya. Lantaran organ-organ yang penting pada tubuh manusia terletak di wajahnya, seperti penglihatan, pendengaran, dan mulut. Atas dasar ini, ketika ungkapan wajhullah digunakan pada ayat ini, itu memberikan arti kemuliaan dan nilai penting. Di sini, wajh secara figuratif (majâzî) digunakan dalam kaitannya dengan Allah Swt, yang sejatinya merupakan satu bentuk penghormatan dan signifikansi dari ayat ini. Begitu jelas bahwa Allah Swt. tidak memiliki jasad dan wajah.

11. Apakah maksud dari sifat Jalâl dan Jamâl itu?

Galibnya, sifat-sifat Allah swt. diklasifikasikan menjadi dua: sifat Dzatiyah (sifat yang berhubungan dengan Dzat-Nya) dan sifat Fi'iliyah (sifat yang berhubungan dengan tindakan-Nya). Sifat Dzatiyah terbagi lagi menjadi dua: sifat Jamâl dan sifat Jalâl.
Maksud dari sifat Jamâl adalah sifat yang tetap bagi Allah swt. seperti, ilmu, kuasa, kekal, dan abadi. Oleh karena itu, sifat ini juga disebut dengan sifat tsubutiyah. Sementara, sifat Jalâl bermakna segala sifat yang ternafikan dari Allah Swt. (tidak ada pada wujud-Nya), seperti kebodohan, kelemahan, keberagaan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sifat ini juga disebut dengan sifat salbiyah. Kedua sifat ini merupakan sifat yang berhubungan dengan Dzat Ilahi, dan tidak diperoleh akal dari perbuatan-perbuatan-Nya.
Sedangkan maksud dari sifat fi'iliyah adalah sifat yang bergantung kepada perbuatan-perbuatan Allah Swt. Maksudnya, sebelum Dia melakukan perbuatan, sifat itu tidak tersandang oleh diri-Nya. Dan setelah Dia melakukannya, sifat ini diatributkan kepada Allah Swt, seperti Mahapencipta (Khâliq), Maha Pemberi rezeki (Râziq), Maha Menghidupkan (Muhyi), dan Maha Mematikan (Mumit).
Dan sekali lagi kami tekankan bahwa sifat Dzatiyah dan sifat Fi'iliyah Allah swt. ini adalah berkarakter Nir-batas, sebab kesempurnaan yang dimiliki-Nya tak terhingga, juga demikian perbuatan-Nya. Akan tetapi,dalam pengertian ini, sebagian sifat-sifat utama sudah termasuk di dalamnya, dan sifat-sifat tersebut merupakan cabang dari sifat-sifat (sebagaimana di bawah) ini.
Dengan memperhatikan poin ini, dapat disimpulkan bahwa lima sifat Ilahi merupakan sifat asli yang membentuk nama-nama dan sifat-sifat kudus Ilahi, yaitu; wahdâniyah (kemahaesaan), 'ilm (mahamengetahui), qudrah (kemahakuasaan), azaliyah (kemahakekalan) dan abadiyah (kemahaabadian). Sedangkan sifat-sifat yang lain merupakan cabang dari sifat-sifat ini.

12. Apakah Maksud dari Cinta dalam kaitannya dengan Tuhan?

Di dalam surat Al-Buruj [85], ayat 14 ditegaskan, "Allah Yang Mahapengampun lagi Mahapengasih." Dengan memperhatikan ayat suci ini, soal yang mengedepan adalah apakah maksud dari mencintai dan menyukai sehubungan dengan Tuhan?
Terang bahwa makna cinta Tuhan berbeda dengan cinta manusia. Cinta manusia adalah satu bentuk, perhatian hati dan ketertarikan ruh, sementara Tuhan tidak memiliki hati, juga tidak memiliki ruh. Oleh karena itu, cinta Tuhan bermakna melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang menghantarkan kebahagiaan dan kesenangan para hamba, dan merupakan tanda kasih (luthf) dan inayah (kepedulian) -Nya.
Berkenaan dengan Allah Swt., cinta bertaut dengan kesan luarnya. Ini bukanlah satu-satunya penafsiran atas ayat ini. Kita juga dapat menemukan penafsiran semacam ini berkenaan dengan sifat dan perbuatan-perbuatan Ilahi yang lain, seperti ayat yang mengatakan: "Allah memurkai para pendosa." Artinya, murka Allah tidak seperti kondisi seseorang yang sedang murka kepada para pendosa. Kalau tidak demikian, maka kemurkaan Nya bermakna desakan psikologis jiwa manusia, dan masalah ini tidak benar jika dinisbahkan kepada Allah.

13. Apakah Hakikat Kehendak (irâdah) Tuhan itu?

Tidak syak lagi bahwa kehendak dengan makna yang ada pada manusia tidak sama dengan kehendak yang ada pada Allah swt. Karena, manusia terlebih dahulu mengkonsepsikan (tashawwur) sesuatu, meminum air, misalnya, lalu ia menimbang manfaat dari meminum air tersebut. Dan setelah memastikan (tashdiq) manfaat itu, keinginan (syauq) dan antusias untuk melakukan tindakan meminum terwujud dalam dirinya. Dan tatkala keinginan mencapai puncaknya, lahirlah perintah untuk mewujudkannya. Maka ia pun bergerak untuk melakukan pekerjaan tersebut.
Akan tetapi, kita ketahui bahwa tidak satu pun dari konsepsi (tashawwur), afirmasi (tashdiq), syauq (keinginan), perintah, diri (nafs), dan gerakan otot dapat dinisbahkan kepada Allah swt. Karena, semua ini adalah perkara hâdits (sebelumnya tidak ada, kemudian mengada).
Lalu, apakah maksud dari kehendak (irâdah) Tuhan itu?
Dalam hal ini para ulama Kalam dan filsafat Islam mengkaji makna yang sesuai dengan wujud Tuhan yang sederhana; tak tersusun (basîth) dan bebas dari segala macam perubahan ini. Mereka menyimpulkan bahwa kehendak (irâdah) Allah swt. terdiri dari dua bagian:
a. Iradah Dzatiyah (kehendak dalam tahap dzat).
b. Iradah Fi'liyah (kehendak dalam tahap tindakan).


a. Kehendak Dzatiyah

Kehendak dzatiyah Tuhan adalah ilmu terhadap sistem terbaik pada alam penciptaan, dan kebaikan para hambanya terdapat pada hukum syariat.
Ia mengetahui sebaik-baiknya sistem untuk alam semesta. Dan setiap wujud pada setiap tingkatan harus bersifat baru. Ilmu ini merupakan sumber wujud bagi seluruh wujud. Dan kebaruan fenomena-fenomena yang terdapat pada setiap zaman adalah berbeda-beda.
Demikian juga dari sudut pandang hukum, Dia mengetahui letak maslahat seluruh hamba, dan ruh seluruh hukum adalah ilmu-Nya terhadap maslahat dan mafsadat.


b. Kehendak Fi'liyah

Kehendak Fi'liyah (perbuatan) Allah Swt. adalah pengadaan (îjâd) itu sendiri dan termasuk dalam sifat fi'liyah. Oleh karena itu, kehendak Allah Swt. atas penciptaan bumi dan langit adalah pengadaan bumi dan langit itu sendiri. Dan kehendak-Nya atas kewajiban shalat dan keharaman dusta adalah pewajiban dan pengharaman kedua perkejaan itu sendiri.
Pendeknya, kehendak Dzatiyah Allah Swt adalah ilmu-Nya itu sendiri, dan kehendak Fi'liyah Allah Swt. adalah pengadaan itu sendiri.

14. Apakah Maksud dari Kalam Tuhan itu?

Pada surat An-Nisa' [4], ayat 164 disebutkan, "Allah berfirman kepada Musa dengan langsung." Soal yang mengemuka dari ayat ini adalah apakah maksud dari Allah berfirman itu?
Maksud dari Allah swt. berfirman bukanlah berucap dengan lisan. Sebab, berucap dengan lisan dan dengan suara merupakan aksiden-aksiden ('awâridh) bentuk (benda). Dan Allah Swt. yang suci dari bentuk dan kebendaan tidak dapat disifati dengan sifat demikian.
Jadi, maksud dari berfirman adalah dengan perantara ilham hati atau pengadaan gelombang suara pada ruang. Dan hal itu tidak mustahil lantaran Allah swt. mampu mencipatkan gelombang suara pada ruang. Dan gelombang suara ini sampai ke telinga para nabi dan rasul-Nya, dan Tuhan menyampaikan pesannya melalui jalan ini. Firman Allah kepada Musa bin 'Imran di lembah Wadi Aiman -sebagaimana disebukan di dalam Al-Qur'an- memberikan kesaksian bahwa gelombang suara tercipta di sebuah pohon, dan Musa dipanggil ke arah pohon tersebut.

15. Apakah Maksud dari Marah dan Murka Allah Swt.?

Di dalam surat Fathir [35], ayat 39 disebutkan, "… dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan di sisi Tuhan mereka …." Berangkat dari ayat ini, soal yang mengedepan adalah apakah makna dari kemarahan dan kemurkaan Tuhan?
Kemarahan dan kemurkaan Allah swt. tidak bermakna sebagaimana kemarahan dan kemurkaan manusia. Karena, kemarahan pada diri manusia merupakan salah satu jenis emosi batin yang menjadi sumber reaksi cepat, kuat dan keras, dan memobilisasi kekuatan jiwa untuk membela diri dan menuntut balas.
Dalam kaitannya dengan Tuhan, tidak satu pun dari seluruh makna yang merupakan kelaziman wujud yang mungkin dan berubah-ubah itu layak disandangkan kepada-Nya. Kemarahan Tuhan berarti jauhnya rahmat dan kasih dari seseorang yang terjerumus dalam perbuatan-perbuatan buruk.

16. Apakah Mungkin Allah Swt. Diindra?

Dalil-dalil rasional memberikan kesaksian bahwa Tuhan tidak akan pernah dapat dilihat oleh indra penglihatan. Karena, mata kepala hanya dapat melihat benda-benda atau -lebih tepatnya- sebagian kualitas dari benda-benda tersebut. Dan mata tidak akan pernah dapat melihat sesuatu yang bukan benda atau tidak memiliki kualitas kebendaan. Dengan kata lain, sekiranya sesuatu dapat dilihat dengan mata kepala, niscaya ia memiliki ruang, sisi dan materi. Sementara Dia lebih unggul dari semua ini. Ia adalah wujud Nir-batas. Atas dasar ini, Dia berada di luar alam materi, sebab materi segala sesuatu itu terbatas.
Banyak ayat dalam Al-Qur'an yang menceritakan -misalnya- Bani Israel dan permintaan mereka untuk melihat (ru'yah) Allah Swt. Dengan tegas, Al-Qur'an menafikan kemungkinan untuk dapat melihat Allah Swt.
Anehnya, mayoritas pemeluk mazhab Ahli Sunnah berkeyakinan bahwa sekiranya Tuhan tidak dapat dilihat di dunia ini, Dia akan dapat dilihat pada Hari Kiamat kelak. Penyusun tafsir Al-Manâr menegaskan, "Ini adalah akidah Ahlusunah dan ulama hadis."
Lebih aneh lagi, para pemikir kontemporer (baca: para cendekiawan) juga cenderung kepada penafsiran seperti ini, bahkan, dengan getol membela pendapat ini. Sementara kerapuhan pandangan ini sangat jelas sehingga tidak memerlukan pembahasan. Karena, relasi dunia dan akhirat (dengan memperhatikan prinsip Kebangkitan [ma'âd] Jasmani) tidak berbeda dalam masalah ini. Yakni, apakah Allah swt yang memiliki wujud nonmateri pada Hari Kiamat akan berubah menjadi wujud materiel dan dari derajat "Nir-batas" akan merosot ke derajat "terbatas"? Apakah Dia pada Hari Kiamat akan berubah menjadi benda dan subjek sifat-sifat benda? Dan apakah dalil-dalil rasional atas kemustahilan melihat Allah Swt. tidak memberikan perbedaan antara dunia dan akhirat? Sementara dalil rasional dalam ranah pembahasan ini tidak dapat berubah.
Adapun dalih yang dibawakan oleh sebagian mereka, yaitu bahwa boleh jadi di alam lain, manusia dapat melihat dan menangkap dalam pola lain, tidak dapat diterima sepenuhnya. Sebab, sekiranya maksud melihat ini adalah menangkap dengan pola materiel dan fisikal, bukan dengan mata hati dan kekuatan akal yang dapat menyingkap keindahan Tuhan, asumsi ini mustahil berlaku pada Tuhan, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak.
Maka itu, pandangan di atas yang menyatakan bahwa manusia tidak dapat melihat Tuhan di dunia ini, akan tetapi mukminin dapat melihat-Nya pada Hari Kiamat, adalah sebuah kepercayaan yang irasional.
Satu-satunya alasan yang menyebabkan mereka membela kepercayaan ini adalah hadis yang disebutkan di dalam kitab-kitab induk hadis mereka yang menyebutkan bahwa Tuhan bisa dilihat pada Hari Kiamat. Akan tetapi, tidakkah kerapuhan pandangan ini -berdasarkan hukum akal- merupakan dalil atas adanya intervensi terhadap hadis itu dan invaliditas kitab-kitab yang memuat hadis-hadis seperti ini? Jika kita tidak tafsirkan hadis ini sebagai penyaksian mata hati atau sesuai dengan hukum akal, selayaknya kita tinggalkan saja hadis-hadis semacam ini.
Atau, jika dalam sebagian ayat-ayat Al-Qur'an terdapat redaksi -yang secara lahir- menyiratkan bahwa Tuhan dapat dilihat, seperti ayat: "Wajah-wajah ketika itu berseri-seri, sembari melihat kepada Tuhannya" (QS. al-Qiyamah [75]: 23-24) dan ayat: "Tangan Tuhan berada di atas tangan mereka" (QS. al-Fath [48]: 10), semua itu mengandung arti figuratif (majâzi), lantaran tidak satu pun ayat Al-Qur'an yang bertentangan dengan hukum akal.
Menariknya, hadis-hadis Ahlul Bait menafikan dengan tegas kepercayaan keliru seperti ini, dan dengan redaksi yang telak mengkritisi orang-orang yang memegangnya. Misalnya, salah seorang sahabat Imam Ash-Shadiq a.s., Hisyam berkata, "Aku berada di sisi Imam Ash-Shadiq a.s. ketika Muawiyah bin Wahab (salah seorang sahabat Imam, -AK.) datang dan berkata, 'Wahai putra Rasulullah! Apa pendapat Anda tentang riwayat yang datang dari Nabi saw. yang menyebutkan bahwa beliau melihat Allah Swt.? Bagaiamana Nabi saw. dapat melihat-Nya? Demikian pula dalam riwayat lain yang dinukil dari beliau saw., bahwa orang-orang mukmin dapat melihat Allah Swt. di Surga. Bagaimana mereka akan melihat-Nya?'
Imam Ash-Shadiq a.s. tersenyum dan berkata, "Wahai Mu'awiyah bin Wahab! Alangkah buruknya manusia yang telah berusia tujuh puluh -(atau delapan puluh)- tinggal dan hidup di kerajaan Tuhan dan menikmati karunia-Nya, tetapi belum juga mengenal-Nya dengan baik.
"Wahai Muawiyah bin Wahab! Nabi saw. sekali-kali tidak pernah melihat Allah Swt. dengan indra penglihatan ini. Ada dua macam penyaksikan; penyaksian dengan mata hati (batin) dan penyaksian dengan mata kepala. Setiap orang yang berkata bahwa Nabi saw. menyaksikan Tuhan dengan mata hati, ia telah berkata benar. Namun, bila ia mengatakan bahwa Nabi saw. menyaksikan-Nya dengan mata kepala, ia telah berdusta dan ia telah mengingkari Tuhan dan ayat-ayat Al-Qur'an. Karena, Nabi saw. bersabda, 'Barangsiapa menyerupakan Allah dengan hamba-Nya, sungguh ia telah kafir.'"
Dalam riwayat yang lain sebagaimana diriwayatkan dalam kitab Tauhid Ash-Shaduq yang dinukil dari Ismail bin Fadhl yang berkata, "Aku bertanya kepada Imam Ash-Shadiq a.s., 'Apakah Allah dapat dilihat pada Hari Kiamat?' Beliau menjawab, 'Allah Swt. suci dari semua ini …. Mata tidak dapat melihat selain segala sesuatu yang memiliki warna dan kualitas, sementara Allah adalah pencipta warna-warna dan kualitas-kualitas.'"
Menariknya, di dalam hadis ini khususnya disebutkan kalimat warna. Dewasa ini, terbukti bahwa benda itu sendiri tidak dapat dilihat; ia akan terlihat beserta warnanya. Maka, jika suatu benda tidak memiliki warna, ia tidak akan pernah terlihat.

17. Apakah Maksud dari 'Arsy Tuhan?

Dalam ayat Al-Qur'an terdapat kira-kira dua puluh ayat yang mengisyaratkan 'Arsy Tuhan. Kini soal yang mengemuka adalah apakah maksud dari 'arsy Tuhan itu?
Berulang kali telah kami katakan bahwa dengan kata-kata yang sering digunakan untuk menjelaskan tipologi kehidupan materi yang serba terbatas ini, kita tidak dapat menjelaskan keagungan Tuhan, dan bahkan keagungan seluruh makhluk-Nya. Atas alasan ini, dengan menggunakan arti figuratif, kata ini kita gunakan untuk menggambarkan seluruh keagungan Tuhan.
Dan di antara kata-kata yang memiliki karakter seperti ini adalah 'Arsy yang secara leksikal berarti atap atau singgasana yang berkaki panjang, sebagai lawan dari "Kursî" yang bermakna singgasana berkaki pendek. Lalu, kalimat ini digunakan dalam singgasana kekuasaan Ilahi sebagai 'Arsy Ilahi.
Apa maksud dari 'Arsy Ilahi itu dan apakah arti dari kalimat ini metaforik? Para penafsir, ahli hadis dan filsuf telah banyak menjabarkan masalah ini.
Terkadang 'Arsy ditafsirkan sebagai ilmu Nir-batas Allah Swt., terkadang ditafsirkan sebagai kemahamilikan (mâlikiyah) dan kemahaberkuasaan (hâkimiyah) Allah Swt., dan terkadang diartikan sebagai keserbasempurnaan (kamâliyah) dan kebesaran (jalâliyah) Tuhan. Sebab, setiap sifat-sifat ini menunjukkan betapa agung kedudukan-Nya. Sebagaimana singgasana para sultan sebagai lambang keagungan mereka.
Benar bahwa Allah Swt. memiliki 'Arsy ilmu, 'Arsy kekuasaan, 'Arsy kemahapengasihan dan 'Arsy kemahapenyayangan.
Sesuai dengan tiga penafsiran di atas, arti 'Arsy kembali kepada sifat-sifat Dzat kudus Ilahi, bukan kepada wujud yang lain. Sebagian hadis Ahlul Bait a.s. yang sampai kepada kita juga menguatkan makna ini. Seperti sebuah hadis yang memuat pertanyaan Hafsh bin Giyats kepada Imam Ash-Shadiq tentang tafsir ayat "wasi'a kursiyyuhus samâwâti wal ardh". Imam berkata, "Maksud ayat ini adalah Ilmu Allah."
Dan dalam hadis yang lain, masih dari Imam Ash-Shadiq a.s., 'Arsy bermakna ilmu yang diwarisi oleh para nabi, dan Kursî berarti ilmu yang tidak dimiliki oleh siapa pun.
Dengan berinsprasi dari riwayat-riwayat yang lain, sebagian mufassir menafsirkan 'Arsy dan Kursî sebagai dua wujud yang agung dari makhluk-makhluk Allah Swt. Misalnya, sebagian orang berkata, "Maksud dari 'Arsy adalah kumpulan alam semesta." Dan terkadang disebutkan kumpulan langit dan bumi ini berada dalam Kursî, akan tetapi langit dan bumi di hadapan Kursî adalah laksana lingkaran cincin yang berada di jalan yang sangat luas, dan Kursî yang berada di hadapan 'Arsy, laksana lingkaran cincin di jalan yang amat luas.
Selain itu, 'Arsy acapkali dipredikasikan sebagai hati para nabi, para washi, dan mukminin yang kamil, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis, "Sesungguhnya hati seorang mukmin adalah 'Arsy Allah." Juga dalam hadis yang lain disebutkan, "Langit dan bumi tidak mampu memuat-Ku, akan tetapi Aku termuat dalam diri hamba-Ku yang mukmin."
Namun, jalan yang terbaik untuk memahami makna sejati dari 'Arsy -tentu saja sesuai dengan kadar kemampuan manusia- adalah menelaah secara teliti penggunaan kalimat ini dalam Al-Qur'an.
Pada banyak ayat Al-Qur'an, kita jumpai redaksi kalimat ini misalnya: "Allah [setelah berakhirnya penciptaan semesta] berkuasa atas 'Arsy." (QS. al-A'raf: 54, Yunus: 3, ar.Ra'd: 2, al-Furqan: 59, as-Sajdah:4, dan al-Hadid: 4). Dalam ayat-ayat yang lain, kita jumpai adanya penyifatan 'Arsy, seperti penyifatannya dengan al-'azhim pada ayat: "Ia-lah Tuhan 'Arsy yang agung." (QS. at-Taubah [9]: 129).
Dalam beberapa ayat Al-Qur'an, ada juga pembahasan mengenai pembawa 'Arsy. Terkadang disebutkan bahwa "'Arsy Allah berada di atas air."
Dari semua redaksi itu dan redaksi lain yang dinukil dari hadis-hadis, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa 'Arsy telah digunakan pada beberapa makna yang beragam, yang kendati demikian memiliki akar kata yang umum.
Salah satu makna 'Arsy adalah kedudukan pemerintahan, kepemilikan dan pengaturan alam semesta. Karena secara umum dan luas, kalimat 'Arsy digunakan sebagai ungkapan metaforik yang berarti kekuasaan seorang negarawan atas urusan suatu negara. Kita sering berkata, "Fulan tsalla 'arsyahu." Artinya adalah kiasan bahwa kekuasaannya telah tumbang. Dalam bahasa Persia juga kita berkata, "Pâyeha-ye takht-e u dar ham syekast (sendi kekuasaannya telah hancur)."
Arti lain dari 'Arsy adalah totalitas alam keberadaan. Karena, seluruh jagad ini menunjukkan keagungan-Nya. Dan acap kali 'Arsy diartikan sebagai alam atas ('ulyâ), dan Kursî bermakna alam bawah (suflâ).
Terkadang 'Arsy bermakna alam nonmateri dan Kursî berarti alam materi, dan digunakan lebih umum dari bumi dan langit. Sebagaimana dalam ayat Kursi disebutkan, "wasi'a kursiyyuhus samâwâti wal ardh".
Dan karena antara makhluk dan pengetahuan Allah Swt. tidak terpisah dari Dzat kudus-Nya, terkadang 'Arsy berarti sebagai ilmu Tuhan.
Dan apabila hati para hamba beriman disebut sebagai ('arsy ar-Rahman), karena hati merupakan tempat persemayaman makrifat terhadap Dzat kudus Ilahi dan tanda keagungan serta kekuasan Allah Swt.
Oleh karena itu, dari indikasi-indikasi (qarâ'in) yang ada, kita dapat memahami makna 'Arsy yang dimaksudkan. Akan tetapi, bagaimanapun, makna umum yang terdapat kata itu adalah kebesaran dan keagungan Allah Swt.
Pada ayat yang menjadi topik pembahasan disebutkan ungkapan "pembawa 'Arsy Ilahi". Barangkali maksud dari 'Arsy dalam ayat ini adalah pemerintahan (hukûmah) Allah Swt. dan pengaturan (tadbîr) alam semesta. Dan pembawa 'Arsy Ilahi adalah pelaksana pemerintahan dan pengaturan alam semesta. Juga boleh jadi bermakna kumpulan alam penciptaan atau alam metafisik, dan pembawanya adalah para malaikat yang memikul 'Arsy ini atas perintah Allah Swt. yang merupakan landasan pengaturan semesta ini.

18. Apakah Perjanjian di Alam dzar itu?

Dalam surat Al-A'raf (7), ayat 172 disebutkan, "Dan [ingatlah] tatkala Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab, 'Benar (Engkau adalah Tuhan kami), kami menjadi saksi.' (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, 'Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lalai terhadap hal ini (keesaan Tuhan).'"
Di dalam ayat ini, disebutkan pengambilan janji dari Bani Adam secara umum. Lalu, bagaimanakah bentuk perjanjian ini?
Maksud dari alam dan perjanjian ini adalah "alam potensi" dan perjanjian fitrah dan penciptaan. Urutannya adalah ketika Bani Adan keluar dalam bentuk sperma dari tulang sulbi seorang ayah memasuki rahim seorang ibu di mana ketika itu bentuk Bani Adam tidak lebih dari sebesar biji atom (dzarrah). Allah Swt. menganugerahkan potensi untuk mendapatkan tauhid sejati. Rahasia Ilahi ini diberikan dalam bentuk perasaan jiwa yang bersifat esensial (dzâtî) dan diletakkan sebagai karakter dan fitrahnya. Bani Adam itu dapat menyadari rahasia ini melalui akal dan nalarnya.
Oleh karena itu, seluruh manusia memiliki ruh tauhid, dan pertanyaan yang diajukan Tuhan kepadanya hanyalah berupa proses penciptaan. Jawaban yang mereka berikan juga melalui proses ini.
Redaksi-redaksi seperti ini dalam dialog-dialog keseharian juga tidak sedikit kita jumpai. Misalnya kita berkata, "Warna dan raut wajah seseorang menunjukkan rahasia batinnya" dan "Matanya yang sayu menandakan bahwa ia tidak tidur semalam."
Para pakar sastra (udabâ`) dan orator (khuthabâ`) Arab berkata, "Tanyakanlah kepada bumi ini siapakah yang membuka ruas sungai-sungaimu? Dan pepohonan yang ditanam dan menghasilkan buah-buahan? Apabila bumi tidak menjawab dengan lisan biasa, ia akan menjawabnya dengan penciptaannya."
Di dalam ayat Al-Qur'an, ungkapan dalam bahasa umum ini telah disebutkan, seperti, "... Lalu Ia berkata kepadanya dan kepada bumi, 'Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.' Keduanya menjawab, 'Kami datang dengan suka hati dan taat kepada perintah-Mu.'" (QS. Fushshilat [33]: 11)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar