Total Tayangan Halaman

Kamis, 29 Januari 2015

APAKAH PARA PENEMU MENDAPATKAN GANJARAN ILAHI ?

Dengan menelaah sejarah ilmu pengetahuan, inovasi-inovasi dan penemuan, kita melihat bahwa sekelompok ilmuwan, bertahun-tahun lamanya menanggung jerih payah hingga dapat melakukan invensi dan inovasi demi mengurangi beban yang dipikul oleh sesamanya.
Sebagai contoh, Thomas Alfa Edison, penemu listrik. Betapa ia bersusah payah melakukan invensi yang sarat beban ini. Dan barangkali jiwanya menjadi tebusan untuk pekerjaan ini. Akan tetapi, ia telah berhasil menerangi dunia, mengaktifkan pabrik-pabrik. Berkat invensinya, susia-susia yang dalam, pepohonan yang hijau, dan ladang-ladang garapan bermunculan. Singkatnya, ia telah menggoncang wajah dunia.
Bagaimana dapat diyakini ia atau yang lainnya, seperti Louis Pasteur yang menemukan mikroba, yang telah menyelamatkan jutaan manusia dari kematian, serta puluhan orang sepertinya, akan dikirim ke jurang neraka dengan alasan mereka tidak beriman? Tetapi orang-orang yang pada masa hidupnya tidak satu pun pekerjaan yang dibaktikan untuk kemanusiaan, akan menghuni Firdaus sebagai kediaman abadinya?
Berdasarkan pandangan dunia Islam, hanya mengkaji dan menelaah suatu pekerjaan tidaklah memadai. Akan tetapi, pekerjaan yang bermuatan iman yang membentuk sebagai motovasi dan pendorong perbuatannya. Telah banyak terlihat orang-orang yang membangun rumah sakit, sekolah-sekolah atau bangunan-bangunan sosial lainnya dan mereka memiliki pretensi terhadap bantuan-bantuan kemanusiaan ini, bahwa tujuan mereka hanyalah pelayanan kemanusiaan terhadap masyarakat sehingga mereka merasa berhutang kepadanya. Sementara di balik semua kebajikan itu, terselubung tujuan lain, yaitu menjaga kedudukan, kekayaan, atau popularitas, dan mengokohkan kepentingan-kepentingan materinya. Bahkan, mereka melakukan perbuatan-perbuatan khianat yang jauh dari pandangan orang-orang.
Namun sebaliknya, terdapat seseorang yang melakukan pekerjaan kecil, dengan ketulusan yang sempurna dan motivasi murni insani dan ruhani.
Kini dokumen-dokumen orang-orang besar ini, baik dari sudut pandang perbuatan maupun dari sudut pandang motivasi, harus dikaji kembali. Tentu saja, motivasi tidak keluar dari beberapa hal di bawah ini:
Pertama, acapkali tujuan utama dari invensi atau penemuan tersebut adalah sebuah perbuatan destruktif, (seperti penemuan energi atom yang pertama kalinya dimaksudkan untuk merakit bom atom), sementara kemasalahatan manusiawinya ditempatkan pada prioritas kedua. Tujuan asli dari para penemu dan inventor ini bukanlah untuk hal ini (mendatangkan kemaslahatan) atau hal ini ditempatkan pada sasaran kedua. Kondisi sekelompok penemu ini sangat jelas.
Kedua, terkadang tujuan penemu adalah eksploitasi dan popularitas. Sejatinya, mereka tak ubahnya dengan peniaga. Untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar, mereka mendirikan fasilitas umum, menciptakan lapangan kerja bagi sekelompok orang, dan memberikan penghasilan bagi pemerintah. Mereka tidak memiliki tujuan selain mendapatkan keuntungan dan pendapatan. Dan apabila ada pekerjaan yang lebih menghasilkan, mereka akan segera menggarapnya.
Tentu saja, sekiranya perniagaan semacam ini dilakukan berdasarkan standar hukum syar'i, tidak termasuk pekerjaan haram dan pelanggaran, akan tetapi tidak termasuk sebagai perbuatan suci.
Para penemu ini di sepanjang sejarah tidaklah sedikit. Ciri-ciri khas pemikiran mereka yaitu apabila ada keuntungan yang lebih besar, misalnya antara industri farmasi yang memberikan keuntungan dua puluh persen dan industri heroin yangmenghasilkan lima puluh persen, tentu mereka akan memberikan mengusahakannya meskipun melalui jalan-jalan yang berbahaya bagi keadaan masyarakat sekalipun.
Keadaan kelompok ini juga jelas. Mereka tidak menuntut apa-apa dari Tuhan, dan tidak juga dari sesamanya. Dan ganjaran mereka hanyalah keuntungan dan popularitas yang ingin dicapai.
Ketiga, kelompok ini memiliki motivasi humanis, atau mereka memiliki motivasi Ilahi, karena mereka percaya kepada Tuhan. Terkadang bertahun-tahun lamanya mereka lalui hidup dengan segala kesusahan di sudut laboratorium-laboratorium dengan harapan; mereka dapat memberikan pelayanan terhadap sesamanya. Dan ia dapat memberikan persembahan kepada dunia kemanusiaan, memecah rantai yang mengekang kakinya yang luka, dan menyapu deru dan debu yang memenuhi wajah-wajah lelah.
Apabila orang-orang semacam ini memiliki iman dan motivasi Ilahi, yang sebagian dari mereka tidak demikian, dan apabila tidak memiliki iman dan motivasinya adalah manusia atau masyarakat, tanpa syak lagi mereka akan mendapatkan ganjaran yang sesuai dari Allah Swt. Ganjaran ini boleh jadi mereka dapatkan di dunia, dan mungkin juga di dunia yang lain. Tentu saja Tuhan semesta alam tidak akan memasung keadilan mereka. Namun, bagiamana? Uraian persoalan ini tidak terang bagi kita.
Sebatas ini dapat kita katakan bahwa Tuhan tidak akan mengabaikan ganjaran orang-orang yang melakukan kebaikan ini begitu saja. (Namun, jika mereka menolak iman karena kekurangan yang tak disengaja (jâhil qâshir) , masalahnya akan menjadi sangat jelas).
Dalil atas masalah ini, di samping hukum akal, juga disinggung oleh ayat dan riwayat.
Sejauh pengetahuan kita, tidak satu pun dalil yang menyatakan bahwa redaksi "Allah tidak akan mengabaikan ganjaran orang-orang yang melakukan kebaikan" tidak meliputi orang-orang seperti ini. Lantaran orang-orang yang melakukan kebaikan (muhsinîn) yang disebutkan dalam Al-Qur'an tidak hanya ditujukan kepada orang-orang mukmin. Oleh karena itu, kita melihat saudara-saudara Yusuf tatkala mereka datang kepadanya tanpa mereka kenali, sementara mereka beranggapan bahwa Yusuf adalah 'Aziz Mesir (panggilan terhormat untuk seorang penguasa di Mesir-pen.), mereka berkata kepada Yusuf, "Kami melihat engkau adalah bagian dari orang-orang yang baik."
Terlepas dari itu, ayat "Barangsiapa yang mengamalkan kebaikan walaupun sebiji atom ia akan mendapatkan ganjaran, dan barangsiapa yang mengamalkan keburukan walaupun sebiji atom, ia akan mendapatkan keburukannya" dengan jelas juga menyinggung orang-orang seperti ini.
Dalam hadis dari Ali bin Yaqtin yang menukil dari Imam Al-Kazhim a.s. disebutkan, "Di antara kaum Bani Israil terdapat seorang beriman yang memiliki tetangga seorang kafir. Orang yang tidak beriman ini selalu berbuat kebaikan terhadap jirannya yang kumin itu. Ketika orang kafir itu meninggal dunia, Tuhan membangunkan baginya rumah yang menjadi perisai dari api neraka …. Disebutkan bahwa ia mendapatkan ini lantaran perbuatan baiknya terhadap tetangganya yang mukmin."
Diriwayatkan dari Nabi saw. tentang Abdullah bin Jadz'an, seorang musyrik jahiliyah dan juga sesepuh suku Quraisy, "Serendah-rendahnya azab Jahannam adalah yang menimpa Jadz'an." Rasulullah saw. ditanya, "Mengapa?" Beliau bersabda, "Ia memberikan makanan kepada orang-orang yang lapar."
Dalam riwayat yang lain, kita membaca bahwa Nabi saw., bersabda kepada 'Adi bin Hatim, putra Hatim ath-Thai, "Tuhan mengangkat azab yang menimpa ayahmu lantaran kebaikan dan sikap pemurah yang dimilikinya."
Kita juga menjumpai hadis dari Imam Ash-Shadiq a.s. yang menyebutkan, "Sekelompok orang dari Yaman hendak menjumpai Rasulullah saw. dengan maksud untuk berdebat ilmiah dengan beliau. Di antara mereka, ada seorang yang paling tua. Ia berbicara dan menunjukkan sikap permusuhan dan keras kepala di hadapan Nabi saw. Beliau sedemikian kesalnya sehingga nampak kesan pada wajah beliau. Pada saat-saat seperti ini, Jibril turun dan menyampaikan pesan Ilahi, 'Allah Swt. berfirman bahwa orang ini adalah orang pemurah.' Ketika mendengar pesan Jibril itu, kekesalan beliau mereda. Beliau menoleh kepada orang itu dan bersabda, 'Tuhanku mengirimkan pesan seperti ini, dan sekiranya bukan karena itu, aku akan bersikap keras kepadamu, sehingga engkau menjadi pelajaran bagi yang lain.'
Orang itu berkata, 'Apakah Tuhanmu menyukai orang-orang pemurah?' 'Iya', jawab beliau. Orang itu berkata, 'Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan engkau adalah utusan-Nya. Aku bersumpah kepada Tuhan yang mengutusmu, hingga kini tidak seorang pun yang berpisah dariku dengan tangan kosong.'"
Pertanyaannya adalah, di sebagian ayat dan riwayat disebutkan bahwa iman, bahkan wilâyah (imamah) merupakan syarat dikabulkannya amal dan perbuatan atau masuknya ke dalam surga. Dengan demikian, sebaik-baik amal yang dilakukan oleh seseorang yang tidak beriman tidak akan diterima di sisi Allah.
Jawabannya, masalah dikabulkannya amal kebaikan adalah satu persoalan, dan ganjaran yang sesuai adalah persoalan lain. Berangkat dari sini, disebutkan di dalam hukum Islam bahwa shalat tanpa kehadiran hati (khusyu'), atau pelakunya jatuh dalam dosa seperti ghibah, tidak akan diterima oleh Allah Swt. Padahal kita ketahui bahwa secara syar'i, shalatnya sahih dan ia dianggap telah mengerjakan perintah Allah serta menunaikan tugasnya. Tentu saja, tidak mungkin seseorang menaati perintah Allah tanpa mendapatkan ganjaran yang sesuai.
Oleh karena itu, dikabulkannya amal perbuatan adalah peringkat amal yang tertinggi. Dalam pembahasan kita ini, apabila ia berkhidmat kepada manusia dan masyarakat disertai dengan iman, ia akan memiliki ganjaran yang paling tinggi. Akan tetapi, selain dari itu, secara umum ia akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Baginya, berada di ambang pintu surga pun sudah cukup. Ganjaran amal tidak terbatas pada ganjaran Firdaus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar