Total Tayangan Halaman

Kamis, 29 Januari 2015

KEADILAN ILAHI


24. Apakah Perbedaan Natural Manusia Sesuai dengan Prinsip Keadilan?

Pada ayat 32, surat An-Nisa' [4] kita membaca, "Janganlah Kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain."
Dengan memperhatikan ayat suci ini, banyak di antara kita bertanya, mengapa sebagian orang memiliki bakat lebih dan bakat sebagian lainnya kurang, sebagaian rupawan dan sebagian lagi tidak demikian. Ada sebagian orang yang kuat tubuhnya,ada pula yang tubuhnya biasa-biasa saja. Apakah perbedaan natural ini sejalan dengan prinsip keadilan?
Dalam menjawab pertanyaan ini, kita harus memperhatikan dua poin di bawah ini.

1. Bagian pertama dari perbedaan antara raga dan ruh manusia merupakan akibat dari perbedaan strata dan kezaliman kehidupan sosial, atau sikap menganggap remeh setiap orang, dan sama sekali tidak berhubungan dengan dunia penciptaan. Umpamanya, kebanyakan putra-putri kaum hartawan dibandingkan dengan putra-putri kaum miskin, baik dari sudut pandang jasmani, lebih indah dan lebih kuat, juga dari sisi potensi dan talenta lebih besar. Semua ini dikarenakan mereka mendapatkan makanan dan kesehatan yang memadai, sementara putra-putri orang miskin berada dalam keserbakurangan. Atau sebagian orang karena sikap malas dan acuh tak acuhnya, kekuatan jasmani dan ruhnya sirna begitu saja. Perbedaan-perbedaan ini harus diyakini sebagai "perbedaan-perbedaan rekaan (diciptakan) dan tanpa dalil". Dengan hilangnya sistem strata yang korup, pengadaan keadilan sosial juga akan sirna, dan Islam dan Al-Qur'an tidak menyetujui perbedaan-perbedaan semacam ini.

2. Bagian lain dari perbedaan itu bersifat natural dan suatu kelaziman penciptaan manusia. Maksudnya, sekiranya sebuah masyarakat bersinggungan dengan keadilan sosial secara sempurna, setiap anggotanya ibarat sebuah pabrik; produknya tidak akan berbentuk dan bercorak sama. Tentu saja masing-masing akan memiliki kperbedaan dan keunikan yang khas. Namun, harus diketahui bahwa galibnya, anugerah-anugerah Ilahi, potensi jasmani dan ruhani manusia sedemikian sudah dibagikan kepada mereka sehingga masing-masing memiliki bagian-bagian tertentu dari potensi ruh dan jasmani tersebut. Maksudnya, sangat jarang dijumpai anugerah-anugerah Ilahi ini terdapat pada satu tempat atau satu orang. Sebagian memiliki kekuatan badan yang kuat, sebagian memiliki potensi dan talenta matematika yang baik, sebagian memiliki bakat bersyair, dan sebagian lainnya menyukai bidang perniagaan, sebagian peduli pada bidang agrikultur. Alhasil, setiap orang memiliki potensi dan talenta yang khas. Yang penting adalah masyarakat atau individu harus menemukan potensi dan talentanya tersebut serta membinanya dalam lingkungan yang sehat, sehingga setiap orang dapat menunjukkan dan mengeksplorasi kekuatannya.
Subjek ini juga harus diingat bahwa sebuah masyarakat ibarat sebuah raga manusia yang memerlukan tekstur-tekstur, urat dan sel-sel yang beraneka ragam. Maksudnya, sekiranya satu badan, seluruh sel-sel subtil dibuat seperti sel-sel mata dan otak, maka keberadaannya tidak akan berlangsung lama. Atau apabila seluruh sel-sel itu keras dan tidak fleksibel sebagaimana sel-sel tulang, dia tidak dapat melakukan pekerjaan yang memikul tanggungjawab yang beragam. Akan tetapi, seluruh sel-sel yang ada pada diri manusia harus dibentuk dari sel-sel yang beragam. Setiap sel memiliki tugas khusus; ada yang memiliki tugas berpikir, yang lainnya memiliki tugas melihat, tugas mendengarkan, tugas berkata-kata.
Demikian juga untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang sempurna diperlukan potensi-potensi, talenta-talenta dan struktur raga dan pikiran yang beragam. Namun, hal ini tidak berarti bahwa sebagian anggota masyarakat harus menjalani hidupnya di bawah garis kemiskinan, atau pelayanan mereka tidak dianggap khidmat yang besar atau malah dihina. Sebagaimana sel-sel yang ada pada tubuh dengan perbedaan-perbedaan yang dimilikinya, semuanya mendapatkan manfaat dari makanan dan udara serta kebutuhan-kebutuhan lainnya sesuai dengan kapasitasnya.
Dengan kata lain, perbedaan struktur ruh dan jasmani pada bagian-bagian yang bersifat natural (bukan karena kekuatan paksa) menuntut kemahabijaksanaan (hikmah) Sang Pencipta, dan keadilan Ilahi tidak dapat dipisahkan dari kemahabijaksanaan Ilahi tersebut. Seperti contoh, sekiranya seluruh sel-sel badan manusia diciptakan dalam satu bentuk, hal itu tidak sesuai dengan kemahabijaksanaan Ilahi, begitu pula keadilan -yang bermakna menempatkan segala sesuatu pada tempat yang selayaknya- tidak akan pernah terwujud. Demikian juga apabila suatu hari, seluruh masyarakat berpikiran yang sama dan memiliki potensi yang sama, pada hari itu juga kondisi mereka akan mengalami kekacauan.

25. Apakah Perbedaan Rezeki di Tengah Masyarakat Sesuai dengan Prinsip Keadilan?

Pada surat An-Naml [16], ayat 71 kita membaca, "Allah melebihkan sebagian atas yang sebagian lainnya di antara Kamu dalam urusan rezeki".
Pertanyaan yang muncul adalah apakah adanya perbedaan rezeki di antara masyarakat sejalan dengan asas keadilan Ilahi dan kesetaraan yang harus berlaku terhadap sistem kemasyarakatan manusia?
Dalam menjawab pertanyaan ini kita harus memperhatikan dua poin di bawah ini secara cermat.

1. Tidak diragukan bahwa bagian penting perbedaan yang ada di antara masyarakat dari sisi keuntungan materi dan pendapatan, bertalian dengan perbedaan potensi yang ada pada diri mereka. Perbedaan potensi dan talenta jasmani dan ruhani yang menjadi sumber perbedaan pada kuantitas dan kualitas kegiatan ekonomi menyebabkan berbedanya pendapatan yang mereka peroleh; sebagian meraup keuntungan yang banyak dan yang lainnya memperoleh keuntungan yang sedikit. Tentu saja, acap kali kejadian yang hanya menurut kita bersifat aksidental, malah membuat sebagian orang mendapatkan rezeki yang lebih banyak. Akan tetapi, hal ini dapat dihitung sebagai pengecualian. Yang menjadi dasar dan parameter asli pada kebanyakan urusan hidup ialah perbedaan kuantitas dan kualitas usaha. (Tentu saja tema pembahasan kita adalah sebuah masyarakat yang sehat dan bebas dari eksploitasi kaum tiran, bukan masyarakat yang menyimpang jauh dari aturan-aturan penciptaan dan nilai kemanusiaan).
Bahkan orang-orang yang kita jumpai cacat tangan dan kaki, kerapkali mendapatkan pendapatan banyak yang membuat kita takjub. Sekiranya kita merenungkan moralitas, ruh dan jasmani mereka dengan seksama dan melepaskan diri dari penilaian dangkal, kita akan melihat bahwa mereka -galibnya- memiliki kekuatan yang membuat mereka memperoleh apa yang sepatutnya. (Kembali kami tekankan, tema pembahasan kita adalah masyarakat sehat dan tidak korup).
Secara umum, perbedaan pendapatan bersumber dari perbedaan potensi dan talenta. Potensi dan talenta ini juga merupakan anugerah Ilahi. Boleh jadi dalam sebagian masalah bersifat perolehan (iktisâbi, dapat dicapai) namun dalam sebagian lainnya tidak. Bahkan dalam sebuah masyarakat sehat dari aspek ekonomi, perbedaan pendapatan juga sebuah realita yang tidak dapat diingkari. Kecuali jika kita mampu menciptakan manusia-manusia yang sejenis; satu warna dan satu potensi yang tidak memiliki satu pun perbedaan, justru masalah lain yang akan muncul.

2. Tidak diragukan juga bahwa ketika kita merenungkan nasib seseorang, batang sebuah pohon, dan sekuntum bunga, apakah mungkin struktur yang setimbang di antara anggota dan tubuh, dapat dijumpai persamaannya dari aspek apapun? Apakah kekuatan resistensi dan potensi akar pohon dari aspek apapun dapat disatukan dengan dedaunan bunga mawar yang lembut dan sedang bersemi, dan juga tulang tumit kaki dengan kelopak mata? Sekiranya Anda mampu menyatukan mereka, apakah Anda berpikir Anda telah melakukan pekerjaan yang benar?
Jika kita kesampingkan terlebih dahulu slogan-slogan yang mengecoh nalar (yang selalu menuntut persamaan di semua bidang), dan anggaplah suatu hari kita dapatkan manusia-manusia rekaan, dapat kita buat imaginer dari berbagai sudut pandang, dan menjejali planet bumi dengan manusia sebanyak lima miliar dalam satu bentuk, satu figur, satu talenta, satu pikiran, dan satu rupa dari setiap sisi, persis seperti kretek-kretek yang ditawarkan dari satu pabrik, apakah pada hari itu manusia memiliki kehidupan yang lebih baik? Tentu saja tidak. Alih-alih menjadi lebih baik, kehidupan manusia akan menjadi neraka yang di dalamnya setiap orang akan merasakan kejemuan. Semuanya akan bergerak kepada satu titik dan menghendaki sesuatu yang sama. Semuanya menghendaki satu kedudukan, menyukai satu jenis makanan, dan ingin mengerjakan satu pekerjaan.
Sangat jelas, usia kehidupan seperti ini segera akan berakhir. Dan seandainya kehidupan ini harus tetap berlangsung, kehidupan yang mereka alami adalah kehidupan kehilangan ruh; menjemukan, monoton, tidak ada bedanya dengan kematian.
Oleh karena itu, perbedaan potensi adalah demi memelihara keutuhan sistem masyarakat, bahkan membina potensi-potensi yang beragam adalah suatu kelaziman. Adapaun slogan-slogan kosong itu tidak dapat mengantisipasi kenyataan ini.
Namun, jangan sampai uraian ini ditafsirkan bahwa kami menerima masyarakat strata dan sistem eksploitasi. Tidak! Sama sekali tidak demikian! Maksud dari strata ini adalah strata alami, bukan rekayasa (baca : palsu). Perbedaan tidak hanya berfungsi sebagai penyempurna satu potensi dengan yang lainnya, akan tetapi juga berperan sebagai pendukung, bukan penghalang bagi kemajuan dan melanggar serta menganiaya yang lain.
Perbedaan strata (harap diperhatikan makna strata di sini adalah makna teknis; strata pengeksploitasi dan tereksploitasi) sekali-kali tidak sesuai dengan sistem penciptaan. Sistem yang sejalan dengan sistem penciptaan adalah perbedaan potensi dan usaha. Perbedaan antara sistem yang sejalan dengan penciptaan dan sistem yang tidak sejalan dengannya ibarat perbedaan antara bumi dan langit. (Perhatikan baik-baik!)
Dengan ungkapan lain, perbedaan pelbagai potensi harus digunakan pada rangka membangun, persis seperti perbedaan struktur anggota tubuh, atau sekuntum bunga. Dalam perbedaannya, ia saling membantu; tidak saling menggangu.
Singkatnya, perbedaan pelbagai potensi yang ada tidak seyogyanya disalahgunakan sehingga menjadi sebab terciptanya masyarakat strata.
Pada akhir ayat yang menjadi tema pembahasan kita kali ini Ia menegaskan, "Afabini'matillâhi yajhadûn."
Ayat ini menyiratkan bahwa perbedaan pada bentuk naturalnya, (bukan bentuk rekayasa dan cara-cara paksa) adalah limpahan anugerah Ilahi untuk menjaga sistem kehidupan masyarakat manusia.

26. Apakah Falsafah dari Musibah yang Kerap Menimpa Kehidupan Manusia?

Dalam surat Asy-Syura [42], ayat 30, kita membaca, "Dan musibah apa saja yang menimpa Kamu, maka semua itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri."
Dengan memperhatikan ayat ini, pertanyaan yang kemudian muncul adalah: dari manakah asal pelbagai musibah yang menghampiri kehidupan kita?
Pada ayat ini terdapat beberapa poin yang layak mendapat perhatian:

1. Ayat ini dengan baik mengindikasikan bahwa musibah-musibah yang menimpa manusia adalah salah satu jenis hukuman dan peringatan Ilahi (betapapun memiliki eksepsi, sebagaimana akan kami singgung pada kesempatan mendatang). Dengan demikian, salah satu falsafah terjadinya peristiwa yang mengerikan itu akan menjadi jelas.
Menariknya, dalam hadis yang diriwayatkan dari Amirul Mukminin a.s., yang menukil dari Nabi saw., beliau bersabda, "Wahai Ali, ayat ini (Tidaklah menimpa Kamu musibah…) merupakan ayat yang terbaik dalam Al-Qur'an Al-Karim. Setiap goresan kayu yang menghujam ke dalam raga manusia dan setiap lalai dalam langkah terjadi akibat dosa yang dia perbuat. Dan apa yang dimaafkan oleh Tuhan di dunia ini lebih santun dari apa yang dimaafkan oleh-Nya di akhirat. Di akhirat sana terjadi peninjauan kembali, dan apa yang ditimpakan kepada manusia di dunia ini lebih adil ketimbang di akhirat, di mana Tuhan sekali lagi memberikan hukuman kepadanya.
Dengan demikian, musibah semacam ini selain meringankan beban manusia dalam kaitannya dengan masa mendatang, dia juga akan terkendali.

2. Meski ayat ini secara lahiriah bersifat umum, dan seluruh musibah termasuk di dalamnya, akan tetapi pada kebanyakan urusan yang bersifat umum terdapat pengecualian. Umpamanya, musibah-musibah dan kesulitan-kesulitan yang menimpa para nabi dan imam a.s. yang berfungsi untuk meninggikan derajat atau menguji mereka. Demikian juga musibah berupa ujian yang menimpa selain para ma'shum a.s.
Dengan ungkapan lain, seluruh ayat Al-Qur'an dan riwayat menjawab bahwa ayat ini secara umum merupakan masalah yang mendapatkan takhshîsh (pengecualian), dan tema ini bukanlah sesuatu yang baru di kalangan para mufassir.
Ringkasnya, berbagai musibah dan kesulitan memiliki falsafah yang khas, sebagaimana yang telah disiratkan dalam pembahasan tauhid dan keadilan Ilahi. Berseminya potensi-potensi di bawah tekanan musibah, peringatan akan masa mendatang, ujian Ilahi, sadar dari kelalaian dan arogansi, dan penebus dosa adalah salah satu corak dari falsafah tersebut.
Akan tetapi, kebanyakan musibah yang harus diterima oleh kebanyakan orang -seperti telah terurai pada ayat di atas- secara umum memiliki sisi pembalasan dan tebusan.
Oleh karena itu, kita membaca dalam hadis, tatkala Imam Ali bin Husain a.s. telah memasuki istana Yazid, Yazid menoleh kepadanya dan berucap, "Wahai Ali! Musibah yang menimpamu berasal dari apa yang telah engkau lakukan." (Isyarat bahwa tragedi Karbala adalah hasil dari perbuatanmu sendiri).
Akan tetapi, Imam Ali bin Husain dengan segera menukas, "Tidaklah demikian! Turunnya ayat ini tidak berkenaan dengan kami. Ayat yang turun berkenaan dengan kami adalah ayat yang menegaskan bahwa, 'Setiap musibah di atas bumi, entah terjadi pada badan atau ruh Kamu, telah tercatat pada kitab Lauh Mahfuzh sebelum engkau diciptakan. Dan pengetahuan tentang urusan ini bagi Tuhan adalah mudah.' Ayat ini diturunkan untuk menjelaskan bahwa apa yang telah hilang dari tanganmu, jangan engkau tangisi, dan apa yang datang kepadamu, jangan membuatmu terlalu bergembira. (Tujuan dari musibah-musibah ini adalah supaya hatimu tidak hanyut dalam kesenangan dunia yang sementara, dan ini merupakan satu jenis pendidikan untukmu)."
Lalu, Imam menambahkan, "Kami adalah orang yang apabila sesuatu hilang dari tangan kami, kami tidak bersedih, dan apabila sesuatu datang ke tangan kami, kami tidak bergembira (Kami menganggap semua ini bersifat sementara dan kami hanya menambatkan hati kami kepada kasih (luthf) dan pertolongan (inayah) Tuhan)."

3. Terkadang musibah-musibah memiliki dimensi kolektif. Hal ini merupakan hasil dari dosa kolektif. Sebagaimana yang tertuang dalam ayat 41, surat Ar-Rum (30), "Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan manusia ...."
jelas bahwa ayat ini berkenaan dengan sekelompok anak manusia yang -lantaran perbuatan-perbuatan mereka sendiri- terjerembab ke dalam musibah.
Dan pada ayat 11, surat Ar-Ra'd (13) disebutkan, "Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka sendiri yang mengubahnya."
Ayat-ayat yang senada ini memberikan kesaksian bahwa antara perbuatan-perbuatan manusia dan sistem penciptaan dan kehidupannya memiliki hubungan yang berjalin erat, sehingga sekiranya ia menjejakkan kaki berdasarkan kaidah fitrah dan hukum-hukum penciptaan, keberkahan Ilahi akan meliputi kehidupannya. Dan apabila ia berbuat kerusakan, niscaya kehidupannya juga akan mengalami kerusakan.
Barangkali keterangan ini benar dalam hubungannya dengan setiap individu manusia; barangsiapa melakukan dosa, ia sendiri akan terpuruk ke dalam musibah dan petaka, baik jiwa, raga maupun harta dan segala sesuatu yang menjadi miliknya. Demikianlah kisah ayat di atas.
Dalam kaitannya dengan pembahasan ini, terdapat banyak riwayat di dalam sumber-sumber Islam. Kami sebutkan sebagiannya di sini sebagai pelengkap.

a. Dalam salah satu khutbah Nahjul Balaghah disebutkan, "… Demi Allah! Tidak ada satu kaum yang tercampakkan dari kehidupan mewah, setelah mereka nikmati, kecuali sebagai hasil dari dosa-dosa yang mereka lakukan. Karena sesungguhnya Allah swt. tidak akan berbuat aniaya terhadap para hamba-Nya. Meskipun, tatkala musibah datang menimpa mereka dan kesenangan menjauh dari kehidupan mereka, mereka berpaling kepada Allah swt. dengan niat yang tulus dan hati berharap semoga Ia mengembalikan segala yang telah sirna dari mereka dan mengobati segala sakit yang mereka derita."
b. Dalam Jâmi' al-Akhbâr, hadis yang dinukil dari Amirul Mukminin a.s., beliau berkata, "Musibah yang menimpa kaum penindas adalah untuk memberi pelajaran kepada mereka. Musibah yang menimpa kaum mukmin adalah ujian. Musibah yang menimpa para nabi adalah untuk peningkatan derajat. Dan musibah yang menimpa para wali adalah untuk karamah dan maqam (kedudukan maknawi)." Hadis ini adalah saksi nyata untuk hal-hal pengecualian yang telah kami jelaskan sebelumnya.
c. Dalam Ushûl al-Kâfî, hadis yang diriwayatkan dari Imam Ash-Shadiq a.s., beliau berkata, "Tatkala manusia bertambah dosa-dosanya dan tidak memiliki perbuatan yang bisa menebus dosa-dosa itu, Allah swt. akan mengazabnya sehingga azab itu menjadi tebusan atas dosa-dosanya itu."
d. Dalam kitab al-Kâfî terdapat bab tentang tema ini yang telah diringkas, dan ia memuat 12 hadis mengenai pembahasan yang sama.
Lagi pula, semua dosa ini adalah selain dosa-dosa yang -berdasarkan ayat yang jelas di atas- Allah akan meliputinya dengan maaf dan rahmat-Nya, dosa-dosa itu sendiri sangatlah banyak.


Mengoreksi Sebuah Kesalahan

Barangkali ada orang-orang yang menyalahgunakan ajaran Qur'anik ini; lalu setiap jenis musibah yang menimpanya, dia sambut dengan lapang dada seraya berkata, "Pasrahlah dalam menghadapi setiap kejadian yang tidak menyenangkan", dan mengambil kesimpulan reaktif, yaitu kesimpulan yang menakutkan dari kaidah edukatif dan semangat kreatif Al-Qur'an. Perbuatan ini adalah perbuatan yang sangat berbahaya.
Tidak ada satu ayat pun di dalam Al-Qur'an yang memerintahkan kita pasrah diri dalam menghadapi setiap musibah dan melarang kita untuk berusaha memecahkan segala kesulitan. Atau ia memerintahkan kita untuk menyerahkan raga kita kepada para tiran, despot dan setiap peyakit. Akan tetapi, yang ditegaskan oleh Al-Qur'an adalah sekiranya segenap upaya engkau lakukan, namun kesulitan-kesuitan tetap menemanimu, ketahuilah bahwa engkau telah melakukan dosa. Dan hasil kesulitan-kesulitan yang menimpamu itu merupakan tebusan dan hasil dari perbuatanmu sendiri. Tengoklah kembali perbuatan-perbuatan yang telah kau lakukan pada masa-masa lalu, dan bertaubatlah atas dosa-dosamu, bangunlah dirimu dan perbaikilah kelemahanmu.
Dan apabila kita melihat di sebagian riwayat bahwa ayat ini diperkenalkan sebagai ayat yang terbaik, hal itu disebabkan oleh aspek pendidikan yang ditanamkan oleh musibah-musibah ini. Dari satu sisi, musibah itu dapat meringankan beban manusia dari pundaknya dan dari sisi lain, ia dapat menghidupkan pelita harapan dan cinta kepada Tuhan di sanubari dan jiwanya.

27. Mengapa Tuhan Menciptakan Setan?

Banyak yang bertanya bahwa sekiranya manusia diciptakan untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan melalui jalan penyembahan (ibadah), keberadaan setan sebagai makhluk pembinasa adalah oposisi kesempurnaan. Apakah alasannya sehingga setan mesti ada? Ia adalah makhluk yang licik, penuh dendam, makar, penuh tipu-daya, dan beracun!
Apabila kita sedikit merenung, kita akan ketahui bahwa kehadiran musuh ini adalah untuk mendukung pencapaian manusia ke tingkat kesempurnaan.
Kita tak perlu pergi jauh. Kekuatan resistensi dalam menghadapi musuh-musuh senantiasa ada pada jiwa manusia dan ia dapat mengantarkannya ke jalan kesempurnaan.
Para komandan dan prajurit-prajurit tangguh dan terlatih adalah orang-orang yang berjibaku dengan musuh-musuh berat pada pertempuran-pertempuran besar.
Para politikus yang berpengalaman dan berpengaruh adalah mereka yang bertarung dengan musuh-musuh yang kuat dalam dunia politik yang kritis dan pelik.
Para jawara besar gulat adalah pegulat-pegulat yang berjajal dengan rival-rival tangguh dan berat.
Oleh karena itu, tidak perlu takjub bila kita menyaksikan para hamba Tuhan setiap hari semakin kuat dan gairah dalam bertempur secara berkesinambungan dengan setan.
Dewasa ini, para ilmuwan berkomentar tentang filsafat adanya mikroba-mikroba penggangu, "Sekiranya mikroba-mikroba tidak ada, maka sel-sel badan manusia pada suatu keadaan akan lemah dan kebas (karena kedinginan), dan kemungkinan tingginya postur manusia tidak akan melewati 80 sentimeter; semuanya dalam bentuk manusia-manusia cebol. Dengan demikian, manusia hari ini memperoleh kekuatan dan tinggi tubuh yang lebih karena mereka selalu dalam kontraksi dengan mikroba-mikroba pengganggu itu.
Demikian juga ruh manusia dalam berkonfrontasi dengan setan dan hawa nafsu.
Namun, hal ini tidak berarti bahwa setan memiliki tugas untuk menyelewengkan para hamba Tuhan. Setan sejak awal penciptaannya memiliki kekudusan sebagaimana makhluk-makhluk lainnya. Setan dengan ikhtiar penuhnya jatuh, menyimpang dan memilih sendiri untuk celaka. Oleh karena itu, Tuhan tidak menciptakan iblis sebagai setan. Ia sendiri yang menghendaki dirinya menjadi setan. Namun, tindakan setaninya itu tidak sekedar mencelakakan para hamba Tuhan, tetapi juga merupakan tangga kesempurnaan mereka. (Perhatikan baik-baik)
Kendati demikian, pertanyaan yang tersisa adalah mengapa Tuhan mengabulkan permohonannya untuk tetap hidup? Mengapa Tuhan tidak melenyapkannya sejak dahulu?
Jawaban pertanyaan ini sama dengan jawaban yang telah kami sebutkan di atas. Dengan ungkapan lain, alam semesta adalah arena ujian dan cobaan. (Ujian ini adalah wasilah pembinaan dan penyempurnaan manusia). Dan kita ketahui, ujian hanya berarti bila berhadapan dengan musuh-musuh besar, krisis-krisis kehidupan yang datang menekan.
Tentu saja, sekiranya setan tidak ada, hawa nafsu dan sifat was-was manusia akan ditempatkan menjadi medan ujian baginya. Namun, dengan kehadiran setan, tanur ujian ini semakin membara, lantaran setan adalah pelaku eksoteris (lahir), sementara hawa nafsu adalah pelaku esoteris (batin).


Jawaban atas Sebuah Pertanyaan

Satu pertanyaan lain yang muncul adalah bagaimana mungkin Tuhan membiarkan kita sendiri berkonfrontasi dengan musuh tanpa welas asih dan kuat ini?
Jawaban pertanyaan ini dapat diperoleh dengan menaruh perhatian terhadap satu poin, yaitu -sebagaimana yang telah disebutkan dalam Al-Qur'an- bahwa Allah swt. mempersenjatai mukminin dengan para malaikat sebagai lasykar mereka untuk membangun dunia bersama kekuatan-kekuatan gaib dan maknawi yang mereka miliki dalam rangka memerangi diri sendiri (jihâd an-nafs) dan bertempur melawan musuh.
Sesungguhnya orang-orang yang berkata, "Tuhan kami adalah Allah", kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka [dengan mengatakan], 'Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; gembirakanlah mereka dengan [memperoleh] surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat ....'" (QS. Fushshilat [33]: 30-31)
Poin penting lainnya adalah setan sekali-kali tidak akan masuk ke relung hati kita. Dan ia tidak akan dibiarkan melewati batas negara ruh tanpa memegang pasport. Serangannya tidak pernah membuat manusia lalai. Ia masuk ke dalam kediaman hati kita dengan ijin kita. Ya! Ia masuk melalui pintu, tidak melalui celah-celah rumah hati kita. Dan kitalah yang membuka pintu baginya untuk masuk. Demikianlah di dalam Al-Qur'an ditegaskan, "Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya [setan] hanyalah atas orang-orang yang menjadikannya pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah." (QS.An-Nahl [16]: 99-100)
Secara asasi, perbuatan-perbuatan manusialah yang menyediakan lapangan bagi setan untuk melakukan infiltrasi. Sebagaimana disinggung dalam Al-Qur'an, "Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya." (QS. Al-Isra' [17]: 27)
Namun di atas segalanya, untuk meraih keselamatan dari jerat-jerat setan dan prajuritnya dalam bentuk yang beraneka ragam, seperti syahwat, pusat-pusat kerusakan, politik-politik busuk, sekte-sekte yang menyimpang, budaya-budaya rusak (fâsid) dan merusak (mufsid), jalan untuk selamat hanyalah berlindung kepada iman dan takwa, serta sinar kasih Tuhan Yang Mahakasih, dan menyerahkan diri kepada Dzat Yang Mahakudus. Al-Qur'an berfirman, "... kalau tidaklah karena rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja [di antaramu]." (QS. An-Nisa [4]: 83)

28. Apakah Keabadian di dalam Neraka Selaras dengan Keadilah Ilahi?

Di dalam surat Hud [11], ayat 106 kita membaca, "Adapun orang-orang yang celaka, maka [tempatnya] di dalam neraka. Di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas [dengan merintih]. Mereka kekal di dalamnya ...."
Dengan menyimak ayat suci di atas, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kita dapat menerima manusia yang selama hidupnya -maksimal usianya seratus tahun, misalnya-melakukan pekerjaan buruk, dan lenyap dalam kekufuran dan dosa, namun usia seratus tahun ini harus dibayar dengan siksa seribu tahun?
Mereka yang mengajukan pertanyaan ini lalai akan satu poin penting, yaitu perbedaan antara hukuman konvensional dan hukuman penciptaan yang merupakan hasil dari rangkaian realitas perbuatan dan kehidupan.


Penjelasan

Terkadang pembuat hukum merumuskan sebuah hukum sehingga setiap orang yang melanggarnya harus membayar tebusan uang dalam jumlah tertentu, atau harus berdiam di dalam penjara selama beberapa waktu. Tentu, dalam asumsi seperti ini kesesuaian antara pelanggaran dan hukuman harus diperhatikan. Hanya lantaran pelanggaran kecil, ia tidak akan dieksekusi atau mendapatkan hukuman abadi. Dan sebaliknya, karena perbuatan seperti membunuh, lalu ia dikenakan hukuman sehari penjara saja, hukuman seperti ini tidaklah memiliki arti baginya. Hikmah dan keadilan menjawab bahwa kedua hukuman ini harus setimpal.
Akan tetapi, hukuman yang pada hakikatnya adalah efek natural sebuah perbuatan dan termasuk tipologi penciptaan, atau hasil langsung perbuatan tersebut di hadapan manusia, ia tidak menerima asumsi tersebut di atas, baik dalam kaitannya dengan efek-efek perbuatan di alam dunia ini ataupun di alam yang lain.
Contoh, seseorang melanggar aturan lalu-lintas; melaju melebihi batas kecepatan yang telah ditentukan, berlomba tanpa sebab, dan melintas zona terlarang. Barangkali karena beberapa kali melanggar aturan, ia mengalami tabrakan dan patah tangan serta kakinya, atau akan menderita kelumpuhan seusia hidupnya. Resiko buruk akibat sebuah kesalahan kecil ini jelas tidak mencerminkan keadilan (jika ditinjau dari sisi hukuman konvensional). Tapi, hal ini tidak berasal dari sisi hukuman-hukuman konvensional lalu-lintas jalan raya yang di dalamnya keseimbangan antara pelanggaran dan hukuman harus mendapatkan perhatian. Kondisi ini merupakan dampak alami dari perbuatan yang secara sadar dilakukan oleh manusia. Dan ia sendirilah yang membuat dirinya terpuruk ke dalam kondisi tersebut.
Demikian juga ketika dianjurkan kepada Anda agar jangan mengkonsumsi minuman-minuman beralkohol atau bahan-bahan psikotropika lainnya. Lantaran dalam waktu yang singkat, semua jenis minuman itu akan mengoyak hati, perut, otak dan syaraf Anda. Kini sekiranya Anda mengkonsumsinya, niscaya Anda akan menderita syaraf lemah, penyakit-penyakit hati, perut luka dan kerusakan pembuluh darah. Hanya beberapa hari menuruti hawa nafsu, Anda terpaksa menjalani sisa hidup Anda di dalam siksa yang pedih. Di sini tak seorang pun akan keberatan dengan ketaksetimbangan antara pelanggaran dan hukuman tersebut.
Kini anggaplah orang seperti ini -alih-alih seratus tahun usianya- seribu tahun atau sejuta tahun sekalipun ia bermukim di dunia ini, tentu saja ia harus menahan derita dan azab selama waktu yang panjang ini lantaran beberapa hari saja menuruti hawa nafsunya.
Tentang banyaknya azab dan hukuman kehidupan ukhrawi adalah masalah yang melebihi masalah duniawi. Dampak-dampak riel sebuah perbuatan dan hasil-hasil pembawa mautnya barangkali senantiasa bersandar kepada manusia. Perbuatan-perbuatan itu sendirilah nanti yang akan menjelma di hadapan manusia (tajassum al-a'mâl). Dan lantaran kehidupan alam sana adalah kehidupan abadi, perbuatan baik dan buruk juga abadi.
Sebelumnya telah kami singgung bahwa hukuman dan siksa pada Hari Kiamat memiliki dampak riel yang lebih kuat. Al-Qur'an berfirman, "Dan nyatalah bagi mereka keburukan-keburukan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka diliputi oleh [azab] yang mereka selalu memperolok-olokkannya." (QS. al-Jatsiyah [45]: 33)
Al-Qur'an juga berfirman, "... dan kamu tidak dibalas kecuali dengan apa yang telah Kamu kerjakan." (QS. Yasin [36]: 54)
Muatan ayat ini, kendati terdapat sedikit perbedaan, juga terkandung dalam ayat-ayat yang lain.
Dengan demikian, ruang untuk pertanyaan ini tidak tersisa lagi, bahwa mengapa kesetimbangan antara hukuman dan pelanggaran tidak diperhatikan?
Manusia harus terbang dengan dua sayap iman dan amal saleh demi mendapatkan kenikmatan surgawi dan kebahagiaan berada di hadirat Tuhan Yang Mahakuasa. Kini, dengan menuruti hawa nafsu barang sedetik atau seratus tahun lamanya, ia telah mematahkan kedua sayapnya sendiri dan untuk selamanya ia harus menderita dalam kehinaan. Di sini, aspek ruang dan waktu, serta ukuran pelanggaran tidak menjadi pokok persoalan. Yang menjadi tolok ukur adalah sebab dan akibat serta dampak lama dan singkatnya. Sebuah korek kecil boleh jadi dapat membakar seisi kota. Dan dengan menanam satu gram duri, barangkali setelah beberapa waktu, sahara yang luas penuh dengan duri dan dapat menggangu manusia selamanya. Demikian juga dengan menanam satu gram bunga, barangkali dengan berlalunya sang waktu, akan tercipta sahara yang dihiasi bunga-bunga yang begitu indah mewangi sehingga semerbak baunya menggairahkan jiwa dan memuaskan hati.
Kini sekiranya seseorang bertanya apa keseimbangan antara sebatang korek dengan terbakarnya sebuah kota, dan antara beberapa tanaman kecil dengan sebuah sahara duri. Maka, perbuatan-perbuatan baik dan buruk juga demikian adanya. Dan barangkali dampak keabadian yang teramat panjang menjadi kenangan dan memori baginya. (Perhatikan baik-baik)
Masalah yang penting di sini adalah, para nabi besar dan washi Ilahi telah memberikan peringatan kepada kita bahwa dampak maksiat dan dosa ini adalah azab yang abadi, dan dampak ketaatan dan kebajikan adalah kenikmatan abadi. Persis seperti peringatan para penjaga taman yang telah menjelaskan kepada kita dampak keluasan tanaman berduri dan bunga tersebut. Dan kita sendiri dengan sadar yang memilih jalan ini.
Di sini kepada siapa kita harus ajukan keberatan, dan kesalahan siapa yang harus kita cari, serta hukum mana yang kita harus protes, selain pada diri kita sendiri?


CATATAN KAKI:

Tafsir-e Nemuneh, jilid 3, hal. 365.
Tafsir-e Nemuneh, jilid 11, hal. 312.
Majma' al-Bayân, jilid 9, hal. 31. Hadis yang serupa juga terdapat dalam ad-Durr al-Mantsûr dan Tafsir Rûh al-Ma'ânî dengan sedikit perbedaan. Hadis tentang masalah ini banyak jumlahnya.
Tafsir Ali bin Ibrahim, menukil dari Nûr ats-Tsaqalain, jilid 4, hal. 580.
Al-Mîzân, jilid 18, hal. 61.
Nahjul Balâghahh, khutbah 178.
Tafsir-e Nemuneh, jilid 20, hal. 440.
Tafsir-e Payâm-e Qur'ân, jilid 1, hal. 423.
Tafsir-e Payâm-e Qur'ân, jilid 6, hal. 501.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar