Allahumma shalli ‘ala muhammad
wa aali muhammad
PENDAHULUAN
Perbedaan
adalah rahmat Allah swt dan dinamika yang berkembang di dalam tradisi
intelektual Islam dari zaman klasik hingga abad modern saat ini. Tapi terkadang
perbedaan menjadi bencana di tangan manusia-manusia yang tidak
bertanggungjawab. Padahal islam mengajarkan untuk menebarkan kedamaian baik
dengan lisan maupun tulisan, dan tentu saja dengan tindakan. Bahkan Tuhan
berpesan, “Janganlah kebencianmu pada suatu kaum membuat kamu berlaku tidak
adil”…dan juga “janganlah kamu menghina suatu kaum karena boleh jadi mereka
lebih baik dari kamu”.
Namun,
Falsafah Islam yang berkeadilan dan falsafah Indonesia yang menghargai
kebhinekaan telah tercemari dengan berbagai tindakan atas nama agama. Gerakan
islam yang mengandung kekerasan, Konflik keagamaan yang berujung peperangan,
terorisme, dan saling menyesatkan telah menjadi konsumsi publik yang
membahayakan. Setiap insan berinovatif bukan untuk membangun hal-hal yang
positif, tetapi cenderung negatif dan destruktif.
Teman saya
yang memiliki semangat keislaman yang tidak diragukan lagi berteriak, “Tugas
kita adalah menegakkan izzah Islam, agar semua orang tunduk kepada Tuhan, dan
orang2 yang menyimpang harus diluruskan”. Tapi teman saya yang satu lagi dengan
lemah berkomentar, “mengapa agama yang diturunkan untuk menebar kasih sayang, tetapi
malah menyebar kebencian? Saya berkata pula menimpali, “pendapat kamu berdua
disatukan dengan terbitnya buku ini, “Mengapa Saya Keluar dari Syiah?” kok bisa
begitu?, tanya mereka. Dengan singkat saya menjawab, karena si penulis ingin
meluruskan orang2 sesat seperti keinginanmu (teman pertama), tetapi sekaligus
menebar kebencian seperti pendapatmu (kpd teman yg kedua).
Kehadiran
buku ini memberikan beberapa hal penting. Pertama, Pada tahap tertentu buku ini
menjelaskan pemikiran-pemikiran mazhab syiah, hanya saja —daripada membahas
secara ilmiah—, buku ini secara sengaja mengumpulkan sisi-sisi negatif mazhab
syiah.
Kedua, Buku
ini pada tahap tertentu telah menciptakan sentimen kemazhaban dari kedua belah
pihak (sunni dan syiah) yang dapat merusak persatuan kaum muslimin dalam
bingkai berbeda-beda tetapi tetap satu juga.
Ketiga,
terkait dengan hal yang kedua, buku ini meningkatkan ketegangan hubungan antar
umat seagama yang seharusnya dipupuk terlebih disaat Islam dipojokkan dengan
beragam isu konflik yang berdampak internasional seperti isu terorisme.
Meskipun
begitu, pertama, buku ini juga telah menjadi iklan gratis bagi mazhab syiah,
sehingga bagi pengkaji yang objektif terpancing untuk memahami mazhab syiah
dari sumber-sumber yang kredibel. selain itu, kedua, buku ini mengingatkan
orang syiah –dan pada tahap tertentu juga orang-orang sunni— untuk lebih
waspada karena masih ada sisa-sisa penghalang bagi pendekatan antar mazhab dan
persatuan kekuatan kaum muslimin. dan ketiga, Buku ini menjadi contoh bahwa
terkadang penerbit buku tidak mengindahkan keilmiahan dan dampak sosial
religius dalam penerbitan buku, tetapi lebih pada keuntungan.
Tetapi
sebagai sebuah sikap ilmiah saya berusaha untuk sabar dalam membaca dan
tentunya menganalisis setiap katanya, utuk mendapatkan misi dan visi
pengarangnya. Untuk itu, saya akan tuliskan beberapa hal penting untuk kita
dapat mengenal isi buku dan pengarangnya. (Catt. Karena takut tulisannya
kepanjangan, maka akan dibuat secara bersambung)
SEKILAS
SOSOK BUKU DAN PENGARANG
Buku ini
berjudul asli “Lillahi Tsumma Littarikh”, yang kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan judul yang cukup propokatif, “Mengapa Saya Keluar dari
Syiah?” yang diterbitkan oleh penerbit Pustaka al-Kaustsar edisi pertama tahun
2002 dan kini telah dicetak edisi kelimanya tahun 2008.
Buku ini
ditulis oleh seorang yang mengaku bernama Sayid Husain al-Musawi. Dari namanya,
ia mengaku keturunan Nabi saaw dan telah menjadi mujtahid dengan menyelesaikan
pendidikannya di haujah Najaf Irak dibawah asuhan Sayid (?) Muhamamd Husain Ali
Kasyf al-Ghita (lihat hal.4). Ia mengaku lahir di Karbala dari keluarga syiah
yang taat beragama, serta mengawali pendidikannya hingga remaja di kota tempat
Imam Husain as syahid tersebut (lihat hal. 2).
Buku ini terdiri
dari 153 halaman yang dimulai dengan kata pengantar oleh Syaikh Mamduh Farhan
al-Buhairi yang mengaku pakar aliran syiah. Dengan pengantar tersebut, buku ini
semakin kelihatan “prestisiusnya”. Membahas banyak persoalan yang selain
pendahuluan dan penutup, buku ini dibagi dalam tujuh pembahasan, sbb :
1. Tentang Abdullah bin Saba’
2. Hakikat Penisbatan Syiah Kepada Ahlul Bait
3. Nikah Mut’ah dan Hal-Hal yang Berhubungan Dengannya
4. Khumus
5. Kitab-kitab Samawi
6. Pandangan Syiah terhadap Ahlussunnah
7. Pengaruh Kekuatan Asing Dalam Pembentukan Ajaran Syiah.
1. Tentang Abdullah bin Saba’
2. Hakikat Penisbatan Syiah Kepada Ahlul Bait
3. Nikah Mut’ah dan Hal-Hal yang Berhubungan Dengannya
4. Khumus
5. Kitab-kitab Samawi
6. Pandangan Syiah terhadap Ahlussunnah
7. Pengaruh Kekuatan Asing Dalam Pembentukan Ajaran Syiah.
Pada halaman
terakhir dilampirkan fatwa yang dikeluarkan oleh Husain Bahrul Ulum, tentang
kesesatan buku tersebut.
KEJANGGALAN
SOSOK PENGARANG
Ada pepatah
yang terkenal “Sepandai-pandai tupai melompat, sekali-kali jatuh juga” dan
“sepandai-pandai menyembunyikan bangkai akhirnya akan tercium juga”. Pepatah
ini kelihatannya sesuai untuk penulis buku ini, bahkan bukan hanya sekali-kali
saja dia jatuh tetapi seringkali dia jatuh pada berbagai kesalahan dalam
tulisannya. Kita akan lihat bahwa buku ini tidak lebih merupakan dongeng
imajiner seorang penulis untuk menciptakan propokasi kepada umat Islam. Tapi
al-hamdulillah, Allah masih menjaga kaum muslimin dari berbagai perpecahan dan
tipu daya setan baik setan yang berbentuk jin maupun setan manusia.
Buku ini
tidak menuliskan secara jelas siapa sebenarnya Sayid Husain al-Musawi. Tidak
diketahui kapan lahir dan silsilah keluarganya, pendidikan dan guru-gurunya
baik di Karbala’ maupun di Najaf (Irak). Juga tidak diketahui karya-karya yang
ditulisnya selain buku ini. Dari sini kita meragukan keadaan dan kualitas
keilmuannya yang mengaku mujtahid syiah.
Terlebih
setelah kita mendapatkan beberapa kejanggalan yang sangat mencolok dari buku
yang ditulisnya ini. Kejanggalan sosok pengarang terlihat saat kita melanjutkan
bacaan menelusuri buku ini kata-kata demi kata, paragraf demi paragraf, dan
halaman demi halaman. Diantara kejanggalannya adalah sbb:
(Catt :
Untuk memepermudah, tulisan asli Husain al-Musawi saya beri tanda >;
sedangkan tanggapan saya menggunakan tanda #
1. Husain
al-Musawi menulis pada halaman 128 :
> “Disaat
sedang memandikan saya menemukan bahwa sang mayit tidak di khitan. Saya tiak
bisa menyebutkan siapa nama mayat tersebut, karena anak-anaknya mengetahui
siapa yang memandikan bapaknya. Jika saya menyebutkan, pasti mereka akan
mengetahui siapa saya, selanjutnya akan mengetahui penulis buku ini, sehingga
terbukalah segala urusan saya dan akan terjadi suatu tindakan yang tidak
terpuji.”
#
Perhatikanlah, bahwa dia mengakui dirinya tidak ingin dikenali. Dia tidak
menyebutkan siapa nama mayit yang memandikannya, karena takut dikenali dan
dampaknya….. Tetapi dia berani menyebutkan Nama Ayatullah Sayid Khui, Syeikh
Kasyf al-Ghita, bahkan Ayatullah Khumaini dengan hinaan dan cercaan yang lebih
buruk lagi padahal mereka menurut pengakuannya adalah guru dan marja’nya.
2. Husain
musawi menulis pada halaman 94 :
>
“Diakhir pembahasan tentang khumus ini saya tidak melewatkan perkataan temanku
yang mulia, seorang penyair jempolan dan brilian, Ahmad Ash-Shafi an-Najafi
Rahimahullah. Saya mengenalnya setelah saya meraih gelar mujtahid. Kami menjadi
teman yang sangat kental walaupun terdapat perbedaan umur yang sangat mencolok,
dimana dia tiga puluh lima tahun lebih tua dari umurku.” (Mengapa Saya Keluar
dari Syiah, 2008, hal. 94)
# Perlu
diketahui bahwa Ahmad Ash-Shafi an-Najafi dilahirkan pada tahun 1895 M/ 1313-14
H dan wafat pada tahun 1397 H. Jika kita bandingkan dengan umur yang disebutkan
oleh Husain al-Musawi bahwa Ahmad Ash-Shafi an-Najafi itu lebih tua 35 tahun
dari dirinya, maka kita menemukan tahun kelahirn Husain al-Musawi adalah tahun
1930 M atau 1349 H, dengan perhitungan sbb :
- 1895 M + 35 = 1930 M
- 1314 H + 35 = 1349 H
- 1895 M + 35 = 1930 M
- 1314 H + 35 = 1349 H
Kemudian,
bandingkan dengan halaman 68 Husain Musawi menyebutkan bahwa ia bertemu dengan
Sayid Syarafudin al-Musawi (Pengarang Kitab al-Muraja’at atau Dialog Sunnah
Syiah) di Najaf, Irak.
Husain Musawi menulis pada halaman 68 :
Husain Musawi menulis pada halaman 68 :
> “Suatu
hari di kota Najaf datang berita kepada saya bahwa yang mulia Sayid Abdul
Husain Syarafuddin al-Musawi sampai ke Baghdad, dan sampai ke Hauzah (kota
ilmu) untuk bertemu dengan yang mulia Imam Ali Kasyif al-Ghita. Sayid
Syarafuddin adalah orang yang sangat dihormati dikalangan orang-orang syiah,
baik dari kalangan awam maupun orang-orang khusus. Terutama setelah terbitnya
kitab-kitab yang dia karang yaitu kitab Muraja’at dan kitab Nash wal Ijtihad.”
(lihat hal. 68)
# Perlu
diketahui bahwa Sayid Syarafuddin al-Musawi datang ke Najaf pada tahun 1355 H
(buku al-Muraja’at diterbitkan pertama kali juga tahun 1355 H). Jika kita
bandingkan tahun kelahiran Husain al-Musawi dengan kedatangan Sayid syarafuddin
al-Musawi maka usianya pada saat itu masih 6 tahun (1349 H – 1355 H = 6
tahun)….sementara pada Bab PENDAHULUAN (halaman 2), Husain al-Musawi
menyebutkan bahwa ia datang ke Najaf pada usia remaja setelah menyelesaikan
pendidikannya di Karbala….bagaimana mungkin ia ada di Najaf pada saat itu dan
menjadi pelajar tingkat tinggi (kelas bahtsul kharij) pada usia 6 tahun…????
Sungguh kebohongan yang nyata
Kemudian
pada halaman 4 dia menulis :
> “Yang
penting, saya menyelesaikan studiku dengan sangat memuaskan, hingga saya
mendapat ijazah (sertifikat) ilmiah dengan meendapat derajat ijtihad dari salah
seorang tokoh yang paling tinggi kedudukannya, yaitu Sayid (?) Muhammad Husain
Ali Kasyf al-Ghita.”
# Dengan
jelas ia menyebutkan bahwa dia mendapat ijazah mujtahid dari Sayid (?) Kasyf
al-Ghita’ tapi tidak disebutkan tahun berapa ijazahnya dikeluarkan. Perlu
diketahui bahwa Kasyif Ghita’ bukanlah Sayid (bukan keturunan ahlul bait),
tetapi Syeikh. Syeikh Kasyif al-Ghita meninggal pada tahun 1373 H. Jika kita
bandingkan tahun kelahiran Husain al-Musawi dengan tahun wafatnya Syeikh Kasyf
al-Ghita, maka kita menemukan usia Husain al-Musawi tamat dari belajar dan
menjadi mujtahid maksimal adalah 24 tahun (1349 – 1373 H = 24 tahun). Jika kita
kurangi bahwa ia mendapat gelar 5 tahun sebelum meninggalnya Syeikh Ali Kasyf
al-Ghita, yakni tahun 1368 H, maka berarti usianya menjadi mujtahid adalah 19
tahun (1349 – 1368 H = 19 tahun). Suatu prestasi yang membanggakan dan luar
biasa. Tetapi anehnya, selain tidak ada datanya, tidak ada pula satupun ulama
dan pelajar serta masyarakat mengetahui ada seorang yang mencapai gelar
mujtahid pada usia tersebut dan berasal dari Karbala yang bernama Husain
al-Musawi.
Dan lebih
mengherankan lagi, sehingga kedok si penulis semakin terbuka, adalah bahwa
Husain al-Musawi menulis pada halaman 131-132, sbb :
> “Ketika saya berkunjung ke India saya bertemu dengan Sayid Daldar Ali. Dia memperlihatkan kepada saya kitabnya yang berjudul Asas al-ushul.”
> “Ketika saya berkunjung ke India saya bertemu dengan Sayid Daldar Ali. Dia memperlihatkan kepada saya kitabnya yang berjudul Asas al-ushul.”
# Ini adalah
kebohongan nyata yang tidak bisa disembunyikan lagi oleh Husain al-Musawi.
Ketahuilah bahwa Sayid Daldar Ali adalah ulama abad ke 19 yang wafat pada tahun
1820 M/ 1235 H (lihat kitab ‘Adz-Dzari’ah Ila Tasanif al-Syiah’). Ini berarti,
sayid Daldar Ali telah meninggal selama 110-114 tahun sebelum lahirnya Husain
al-Musawi yang lahir pada tahun 1930 M (1820 M – 1930 M = 110 tahun) atau (1235
– 1349 H = 114 tahun). Bagaimana mungkin Husain al-Musawi bertemu dengan sayid
Daldar Ali padahal ia sendiri belum lahir bahkan ayah dan kakeknya pun mungkin
belum lahir…????
Jika dia
memang bertemu dengan Sayid Daldar Ali, berarti setidaknya Husain al-Musawi
lahir pada tahun 1800 M. Jika dia lahir tahun 1800 M, bagaimana mungkin usianya
lebih muda dari Ahmad Ash-Shafi an-Najafi yang lahir pada tahun 1895 M..??? dan
bagaimana mungkin dia belajar kepada Syeikh Kasyf Ghita yang lahir pada tahun
1877 M..?? bagaimana dia bertemu dengan Sayid Khui di tahun 1992 (berarti
usianya 192 tahun)? bagaimana mungkin dia mengikuti Revolusi Iran pada tahun
1979 (berarti usianya 179 tahun) ..??? dan banyak lagi kisah aneh yang
diimajinasikan oleh si penulis buku ini.
Dengan
beberapa bukti di atas (dan masih banyak lagi lainnya) kita dapat menyimpulkan
bahwa pengarang buku ini bukanlah seorang mujtahid syiah, bahkan mungkin bukan
pula penganut mazhab syiah. Namanya juga diragukan apakah benar Sayid Husain
al-Musawi atau sekedar mencatut nama agar lebih meyakinkan. Bagi saya, penulis
buku ini adalah sosok imajiner yang membuat kisah imajinasi dengan berusaha
menjadi tokoh utama dalam sandiwara fiktif ini. Buku ini bisa kita anggap
sebagai novel dongeng untuk mendiskriditkan Islam seperti The Satanic Verses
yang ditulis oleh Salman Rusydi…..mungkin saja, Husain al-Musawi ingin menjadi
pelanjut Salman Rusydi. Wallahu a’lam
HUSAIN
AL-MUSAWI TIDAK MENGENAL ULAMA-ULAMA DAN IMAM-IMAM SYIAH
“Husain
al-Musawi yang mengaku mujtahid syiah ini, ternyata tidak mengenal tokoh-tokoh
dan ulama-ulama syiah, bahkan ia tidak mengenal imam syiah.”
Sebagai buku
yang ditulis untuk propokatif, karya Husain al-Musawi, “Mengapa Saya Keluar
Dari Syiah?” memang sudah sewajarnya tidak memiliki bobot akademis dan ilmiah.
Selain kerancuan dan kejanggalan sosok Husain al-Musawi yang mengaku mujtahid
syiah, dia juga tidak mengenal tokoh-tokoh syiah bahkan gurunya sendiri. Selain
itu bahkan dia tidak mengetahui tradisi keilmuan syiah dalam ushul maupun
furu’.
Seperti
telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Husain al-Musawi adalah sosok fiktif yang
mengarang buku dengan khayalan dan imajinasinya. Dia ingin membuat sandiwara
dan berusaha menjadi pemain utamanya dan menjadikan yang lain sebagai
“bandit-banditnya”. Tapi sayang, ternyata pemeran utama ini tidak tahu naskah
skenarionya, dan tidak mengenal dengan baik lawan bermainnya. Pada edisi ketiga
ini, kita akan mengungkap lanjutan kepalsuannya dan kebodohannya tentang
ulama-ulama dan imam
-imam syiah. Untuk tidak berpanjang mari kita cermati beberapa isi buku tersebut.
-imam syiah. Untuk tidak berpanjang mari kita cermati beberapa isi buku tersebut.
1). Pada
halaman 4 (dan berlanjut dihalaman2 berikutnya), ia menulis :
> “Yang
penting, saya menyelesaikan studiku dengan sangat memuaskan, hingga saya
mendapat ijazah (sertifikat) ilmiah dengan mendapat derajat ijtihad dari salah
seorang tokoh yang paling tinggi kedudukannya, yaitu SAYID MUHAMMAD HUSAIN ALI
KASYIF AL-GHITA”….
#
Perhatikanlah, Husain Musawi menyebut “Sayid Muhammad Husain Ali Kasyf
al-Ghita, padahal Allamah Kasyif al-Ghita bukanlah “SAYID”, karena beliau
bukanlah keturunan dari Rasulullah saaw dan Ahlul bait nabi saaw. Sehingga
Allamah Kasyf al-Ghita tidak pernah dipanggil dengan Sayid melainkan dengan
“SYEIKH”. Kita bisa baca semua buku-buku ulama syiah yang besar maupun yang
kecil, semua menyebut dengan “SYEIKH KASYF AL-GHITA”. Bahkan kita bisa lihat
sendiri di dalam karya-karyanya misalnya “Ashl Syiah wa Ushuluha” disana
disebutkan nama SYEIKH MUHAMMAD HUSAIN ALI KASYF AL-GHITA.
Bagaimana
mungkin Husain al-Musawi yang mengaku mujtahid dan menjadi murid Syeikh Kasyif
al-Ghita, tidak tahu tentang silsilah gurunya ini…??? Padahal orang awam syiah
sekalipun tahu perbedaan antara Sayid dengan Syeikh.
2). Pada
halman 12, ia menulis :
>
“…sebagaimana SAYID MUHAMMAD JAWAD pun mengingkari keberadaannya ketika memberi
pengantar buku tersebut”,
#
Perhatikanlah, dia menyebut Sayid Muhammad Jawad, padahal yang benar adalah
“SYEIKH MUHAMMAD JAWAD (MUGHNIYAH)” karena beliau juga bukan keturunan ahlul
bait as.
# Masih
banyak lagi kesalahannya seperti menyebut Sayid Ali Gharwi (lihat halaman 26),
padahal seharausnya Mirza Ali Ghuruwi. Begitu juga pada halaman 111 dia menulis
“SAYID MUHAMMAD BAQIR ASH-SHADUQ”..??? Siapa orang ini….??? Apakah maksudnya
Syeikh Shaduq yang bernama asli Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain bin
Babawaih al-Qummi (gelarnya Syeikh Shaduq)…???? Atau apakah maksudnya adalah
Allamah Sayid Muhammad Baqir Ash-Shadr, salah seorang marja’ syiah di Najaf…??
… ini mungkin hanya salah tulis
3. Tidak
hanya disitu ia juga tidak bisa membedakan antara ulama sunni dan syiah. Bahkan
keliru menyebut buku syiah. Misalnya : Pada halaman 28 dan 29 dia mengutip dari
buku “Maqatil ath-Thalibin” padahal buku tersebut bukan buku syiah. “Maqatil
ath-Thalibin” adalah buku karya Ulama ahlus sunnah Abul Faraj al-Isfahani
al-Umawi.
Itu diantara
kekeliruan2 nya menyebut ulama-ulama syiah. Tapi hal itu masih lumayan. Sebab,
tidak hanya sampai disitu, bahkan Husain al-Musawi yang mengaku mujtahid syiah
ini, tidak bisa membedakan imam2 syiah. Dia kesulitan membedakan Imam-imam
syiah karena terkadang memiliki panggilan yang sama. Perhatikan pernyataanya
berikut ini :
4. Pada
halaman 18, ia menulis :
> Amirul mukminin as berkata, “Kalaulah aku bisa membedakan pengikutku, maka tidak akan aku dapatkan kecuali orang-orang yang memisahkan diri. Kalaulah akau menguji mereka, maka tidak akan aku dapatkan kecuali orang-orang murtad. Kalaulah aku menyeleksi mereka, maka tidak ada yang akan lolos seorang pun dari seribu orang.” (Al-Kafi/Ar-Raudhah, 8/338)
> Amirul mukminin as berkata, “Kalaulah aku bisa membedakan pengikutku, maka tidak akan aku dapatkan kecuali orang-orang yang memisahkan diri. Kalaulah akau menguji mereka, maka tidak akan aku dapatkan kecuali orang-orang murtad. Kalaulah aku menyeleksi mereka, maka tidak ada yang akan lolos seorang pun dari seribu orang.” (Al-Kafi/Ar-Raudhah, 8/338)
# Ternyata
Husain al-Musawi tidak mengenal Imam-imam Syiah. Diatas ia menulis “AMIRUL
MUKMININ as berkata”. Perlu diketahui, gelar AMIRUL MUKMININ itu diperuntukkan
kepada Imam Ali bin Abi Thalib as (imam pertama syiah). Setelah kita periksa ke
kitab ar-Raudhah al-Kafi, ternyata tidak terdapat kata “Amirul Mukminin”,
tetapi yang ada adalah “ABUL HASAN”. Di bawah ini saya tuliskan riwayatnya sbb
:
وَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
سُلَيْمَانَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الصُّوفِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي
مُوسَى بْنُ بَكْرٍ الْوَاسِطِيُّ قَالَ قَالَ لِي أَبُو الْحَسَنِ ( عليه
السلام ) لَوْ مَيَّزْتُ شِيعَتِي لَمْ
أَجِدْهُمْ إِلَّا وَاصِفَةً وَ لَوِ امْتَحَنْتُهُمْ لَمَا وَجَدْتُهُمْ إِلَّا
مُرْتَدِّينَ وَ لَوْ تَمَحَّصْتُهُمْ لَمَا خَلَصَ مِنَ الْأَلْفِ وَاحِدٌ وَ
لَوْ غَرْبَلْتُهُمْ غَرْبَلَةً لَمْ يَبْقَ مِنْهُمْ إِلَّا مَا كَانَ لِي
إِنَّهُمْ طَالَ مَا اتَّكَوْا عَلَى الْأَرَائِكِ فَقَالُوا نَحْنُ شِيعَةُ
عَلِيٍّ إِنَّمَا شِيعَةُ عَلِيٍّ مَنْ صَدَّقَ قَوْلَهُ فِعْلُهُ .
“Dengan
sanad-sanad ini, dari Muhammad bin Sulaiman, dari Ibrahim bin Abdillah al-Sufi
berkata: meyampaikan kepadaku Musa bin Bakr al-Wasiti berkata : “Abu al-Hasan
a.s berkata kepadaku (Qala li Abul Hasan) : ‘Jika aku menilai syi‘ahku, aku
tidak mendapati mereka melainkan pada namanya/sifatnya saja. Jika aku menguji
mereka, nescaya aku tidak mendapati mereka kecuali orang-orang yang murtad
(murtaddiin). Jika aku periksa mereka dengan cermat, maka tidak seorangpun yang
lulus dari seribu orang. Jika aku seleksi mereka, maka tidak ada seorangpun
yang tersisisa dari mereka selain dari apa yang ada padaku, sesungguhnya mereka
masih duduk di atas bangku-bangku, mereka berkata : Kami adalah Syi‘ah Ali.
Sesungguhnya Syi‘ah Ali adalah orang yang amalannya membenarkan kata-katanya.
(ar-Raudhat al-Kafi hadis no 290)
# Perhatikan,
hadits di atas menyebutkan ABUL HASAN as, bukan Amirul Mukminin. Ketahuilah
Abul Hasan as adalah panggilan utk beberapa imam syiah diantaranya adalah Imam
Ali bin Abi Thalib as (imam pertama), Imam Ali Zainal Abidin as (imam keempat),
Imam Musa al-Kadzhim (imam ketujuh), Imam Ali ar-Ridha (imam kedelapan), dan
Imam Ali al-Hadi (imam kesepuluh).
Sekarang
siapakah Abul Hasan yang dimaksud oleh hadits di atas..???
Jawabnya
adalah bahwa hadits diatas berasal dari Imam Musa al-Kadzhim bukan dari Amirul
mukminin Imam Ali bin Abi Thalib as. Sebab, hadits tersebut diriwayatkan oleh
Musa bin Bakr al-Wasithi, dan beliau adalah sahabat Imam Musa al-Kadzhim as
(imam ketujuh syiah).
Bagaimana
mungkin, Husain al-Musawi yang mengaku mujtahid ini, tidak mengenal imamnya
sendiri..???? Ini mujtahid yag salah kaprah….
# Selain
itu, perhatikan bagaimana ia memotong bagian akhir dari riwayat tersebut yang
menegaskan, “Kami adalah Syi‘ah Ali. Sesungguhnya Syi‘ah Ali adalah orang yang
amalannya membenarkan kata-katanya”.
Jika kita
perhatikan akhir dari riwayat tersebut, maka jelaslah bagaimana Imam Musa
al-Kadzim menyipati orang2 syiah yg sejati…..
Dimanakah posisi Husain al-Musawi…??? mungkin termasuk yag bagian pertama dari hadits di atas….yaitu ngaku syiah dan murtaddin yang tidak lolos seleksi para imam….Wallahu a’lam.
Dimanakah posisi Husain al-Musawi…??? mungkin termasuk yag bagian pertama dari hadits di atas….yaitu ngaku syiah dan murtaddin yang tidak lolos seleksi para imam….Wallahu a’lam.
KESALAHAN
KESIMPULAN TENTANG ABDULLAH BIN SABA’
Salah satu
sebab terjadinya kesalahan berpikir adalah terlalu cepat mengambil kesimpulan
saat belum memahami sebuah persoalan secara utuh. Banyak orang bisa membaca
berita, tetapi sedikit yang bisa menafsirkan dan menganalisis berita.
Pembahasan
tentang Abdullah bin saba’ bisa dinilai dari dua hal yaitu keberadaan Abdullah
bin Saba’ dan pendapat para ulama syiah tentang sosok Abdullah bin Saba’.
1.
Keberadaan Abdullah bin Saba’
Para ulama
dan ilmuwan muslim baik dari sunni maupun syiah berbeda pendapat tentang
keberadaan sosok Abdullah bin Saba’. Sebagian menganggapnya ada dan sebagian
lagi menganggapnya sosok dongeng dan fiktif.
Keberadaan
Abdullah bin Saba’ disebutkan baik oleh buku2 syiah maupun buku2 sunni. Jika
ditelusuri sumber buku2 syiah ttg Abdulah bin Saba’ terdapat pada karya
An-Naubakhti, Firaq al-Syiah dan al-Asyari al-Qumi, al-Maqqalat wal Firaq. Dan
setelah kita periksa maka ternyata karya an-Naubakhti dan al-Qummi ini tidak
menyebutkan sanadnya dan sumber pengambilannya…shg dianggap bahwa mereka hanya
menuliskan cerita populer tersebut yg beredar dikalangan sunni.
Adapun yg
pertama melakukan studi ilmiah dan istematis ttg Abdullah bin Saba’ adalah
Sayid Murtadha al-Askari. Dan dari hasil penelususrannya tersebut, ia
menganggap bahwa cerita ttg Abdullah bin Saba’ adalah fiktif. Sehingga, ia
menolak keberadaan Abdullah bin saba’.
Adapun dari
sunni yang menegaskan bahwa Ibnu Saba’ adalah fiktif dan dongeng adalah Thaha
Husain dalam bukunya Fitnah al-Kubra dan Ali wa Banuhu, Dr. Hamid Hafna Daud
dalam kitabnya Nadzharat fi al-Kitab al-Khalidah, Muhammad Imarah dalam kitab
Tiyarat al-Fikr al-Islami, Hasan Farhan al-Maliki dalam Nahu Inqadzu al-Tarikh
al-Islami, Abdul Aziz al-Halabi dlm kitabnya Abdullah bin Saba’, Ahmad Abbas
Shalih dalam kitabnya al-Yamin wa al-Yasar fil Islami.
2. Pendapat
para ulama Syiah tentang Abdullah bin Saba’
Para ulama
syiah dari dulu hingga sekarang tidak menganggap Abdullah bin Saba’ sebagai
tokoh syiah dan sahabat Imam Ali dan Imam-imam lainnya. Bahkan seluruh ulama
syiah mengecam dan melaknat serta berlepas diri (tabarri) dari pendapat dan
diri Abdullah bin Saba’. Bahkan buku-buku dan pendapat-pendapat yang dikutip
oleh Husain al-Musawi dalam bukunya ini sudah cukup memnunjukkan sikap para
Imam syiah dan ulama syiah tentang Abdullah bin saba’.
Dengan dua
catatan di atas, maka jelaslah persoalan Ibnu Saba’ yang tidak kaitannya dengan
mazhab syiah. Mungkinkah org ditolak keberadaanya atau yang dihina dan
dikafirkan oleh seluruh imam2 syiah dan ulama-ulama syiah dijadikan tokoh
panutan dalam syiah..??? sungguh kesimpulan yang gegabah dan tentu saja salah
kaprah. …
Pada halaman
12, Husain al-Musawi menulis :
> “Abdullah bin Saba’adalah salah satu sebab, bahkan sebab yang paling utama kebencian sebagian besar orang syiah kepada ahlus sunnah.
> “Abdullah bin Saba’adalah salah satu sebab, bahkan sebab yang paling utama kebencian sebagian besar orang syiah kepada ahlus sunnah.
# Darimana
sumber kesimpulan Husain al-Musawi ini muncul..??? Sumber satu2nya adalah
imajinasinya yang tak pernah kering. Coba perhatikan, Husain al-Musawi berusaha
mempropokasi pembacanya. Pertanyaan kita apa hubungan antara Abdullah bin Saba’
dan kebencian kepada ahlu sunnah. Padahal kalau kita perhatikan seluruh buku2
syiah dan juga buku2 sunni dari yang besar sampai yang kecil tidak ada satupun
yang memuji Abdulah bin Saba’. Semua buku itu mencela dan menyatakan kesesatan
dan kekafiran Abdulah bin Saba’. Jadi sunni dan syiah sepakat akan kekafiran
Abdulah bin Saba’. Seharusnya kesimpulan yang rasional dari hal itu adalah
bahwa ahlussunnah dan syiah sama2 membenci Abdullah bin Saba’. Coba perhatikan
enam kutipan kitab syiah yang ditulisnya dari mulai halaman 12 sampai halaman
15, bukankah semua isinya menghujat Abdullah bin Saba’..???
Seharusnya,
jika dia menyatakan bahwa syiah adalah pengikut Ibnu Saba’, maka dia harus
menyebutkan hadits2 syiah yg memuji Ibnu Saba’..??? tapi sayang dia takkan
menemukannya….wallahu a’lam
SYIAH DAN
PENAMAAN RAFIDHAH
Seperti kita
lihat dalam bukunya yg saya bedah di froum diskusi ini, salah satu kebiasaan
Husain al-Musawi adalah menciptakan riwayat palsu atau riwayat lemah dan juga
memotong2 riwayat hadits2 syiah sesuka hatinya utk menciptakan citra buruk
syiah. Tapi propagandanya memang sudah bisa ditebak bagi org2 yg mau
menggunakan sedikit tenaga dan pikirannya.
Diantara yg
dipotongnya adalah riwayat ttg penamaan Rafidhah kepada syiah….
- Pada
halaman 22 poin 4, Husain al-Musawi menuliskan sbb :
>
Sesunguhnya Ahlu Bait menyebut dan menyifati para pengikut mereka sebagai
thagut umat ini, kelompok sempalan dan pelempar kitab. Kemudian mereka
menambahkan atas hal itu dengan ucapannya, ‘Ingat sesungguhnya laknat Allah
atas orang2 yg zahalim’. Oleh karena itu mereka datang kepada Abu Abdillah as,
lalu berkata kepadanya : ‘Sesungguhnya kami telah dicela dengan celaan yang
sangat berat di atas punggung-punggung kami, matilah terhadapnya hati-hati
kami, para pemimpin menghalalkan darah-darah kami dalam hadits yang
diriwayatkan oleh para ahli fikih mereka. Maka Abu Abdullah berkata,
“Rafidhah”? Mereka menjawab “Ya”. Maka dia berkata, “tidak! demi Allah bukanlah
mereka yang menamai kamu sekalian dengan nama tersebut, tetapi Allah lah yg
menamai kamu sekalian dengan nama tersebut.” (Al-Kafi, 3/34)
Husain
al-Musawi kemudian mengomentari riwayat tersebut dgn mengatakan, “Abu Abdullah
menjelaskan bahwa yg menamai mereka dengan sebutan rafidhah adalah Allah dan
bukan ahlus sunnah.
——————-
——————-
#
Perhatikanlah bagaimana ia memgutip sebagian riwayat dan menyembunyikan riwayat
lanjutannya. Setelah saya periksa teks aslinya ternyata sangat panjang (sampai
dua halaman) dan Husain al-Musawi memotong teksnya sesuka hatinya untuk
menunjukkan sisi negatifnya saja. Padahal hadits ini merupakan pujian bagi
orang-orang syiah. Hadits tersebut terdapat dalam Kitab Raudhat al-Kafi bab
Khutbah Thalutiyah yg merupakan pujian2 dan kelebihan2 org2 syiah.
Perhatikan
teks lengkap berikut ini dari“Kitab Raudhat al-Kafi Bab Khutbah Thalutiyyah
hdits no 6 sbb :
عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ سَهْلِ بْنِ زِيَادٍ
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سُلَيْمَانَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ أَبِي عَبْدِ
اللَّهِ (
عليه السلام ) إِذْ دَخَلَ
عَلَيْهِ أَبُو بَصِيرٍ وَ قَدْ خَفَرَهُ النَّفَسُ فَلَمَّا أَخَذَ مَجْلِسَهُ
قَالَ لَهُ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام )
يَا أَبَا مُحَمَّدٍ مَا هَذَا النَّفَسُ الْعَالِي
فَقَالَ جُعِلْتُ فِدَاكَ يَا ابْنَ رَسُولِ اللَّهِ كَبِرَ سِنِّي وَ دَقَّ
عَظْمِي وَ اقْتَرَبَ أَجَلِي مَعَ أَنَّنِي لَسْتُ أَدْرِي مَا أَرِدُ عَلَيْهِ
مِنْ أَمْرِ آخِرَتِي فَقَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) يَا أَبَا
مُحَمَّدٍ وَ إِنَّكَ لَتَقُولُ هَذَا قَالَ جُعِلْتُ فِدَاكَ وَ كَيْفَ لَا
أَقُولُ هَذَا فَقَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ أَ مَا عَلِمْتَ أَنَّ اللَّهَ
تَعَالَى يُكْرِمُ الشَّبَابَ مِنْكُمْ
وَ يَسْتَحْيِي مِنَ الْكُهُولِ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ فَكَيْفَ يُكْرِمُ الشَّبَابَ وَ يَسْتَحْيِي مِنَ الْكُهُولِ فَقَالَ يُكْرِمُ اللَّهُ الشَّبَابَ أَنْ يُعَذِّبَهُمْ وَ يَسْتَحْيِي مِنَ الْكُهُولِ أَنْ يُحَاسِبَهُمْ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ هَذَا لَنَا خَاصَّةً أَمْ لِأَهْلِ التَّوْحِيدِ قَالَ فَقَالَ لَا وَ اللَّهِ إِلَّا لَكُمْ خَاصَّةً دُونَ الْعَالَمِ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ فَإِنَّا قَدْ نُبِزْنَا نَبْزاً انْكَسَرَتْ لَهُ ظُهُورُنَا وَ مَاتَتْ لَهُ أَفْئِدَتُنَا وَ اسْتَحَلَّتْ لَهُ الْوُلَاةُ دِمَاءَنَا فِي حَدِيثٍ رَوَاهُ لَهُمْ فُقَهَاؤُهُمْ قَالَ فَقَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) الرَّافِضَةُ قَالَ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ لَا وَ اللَّهِ مَا هُمْ سَمَّوْكُمْ وَ لَكِنَّ اللَّهَ سَمَّاكُمْ بِهِ أَ مَا عَلِمْتَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ أَنَّ سَبْعِينَ رَجُلًا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ رَفَضُوا فِرْعَوْنَ وَ قَوْمَهُ لَمَّا اسْتَبَانَ لَهُمْ ضَلَالُهُمْ فَلَحِقُوا بِمُوسَى ( عليه السلام ) لَمَّا اسْتَبَانَ لَهُمْ هُدَاهُ فَسُمُّوا فِي عَسْكَرِ مُوسَى الرَّافِضَةَ لِأَنَّهُمْ رَفَضُوا فِرْعَوْنَ وَ كَانُوا أَشَدَّ أَهْلِ ذَلِكَ الْعَسْكَرِ عِبَادَةً وَ أَشَدَّهُمْ حُبّاً لِمُوسَى وَ هَارُونَ وَ ذُرِّيَّتِهِمَا ( عليهما السلام ) فَأَوْحَى اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ إِلَى مُوسَى ( عليه السلام ) أَنْ أَثْبِتْ لَهُمْ هَذَا الِاسْمَ فِي التَّوْرَاةِ فَإِنِّي قَدْ سَمَّيْتُهُمْ بِهِ وَ نَحَلْتُهُمْ إِيَّاهُ فَأَثْبَتَ مُوسَى ( عليه السلام ) الِاسْمَ لَهُمْ ثُمَّ ذَخَرَ اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ لَكُمْ هَذَا الِاسْمَ حَتَّى نَحَلَكُمُوهُ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ رَفَضُوا الْخَيْرَ وَ رَفَضْتُمُ الشَّرَّ افْتَرَقَ النَّاسُ كُلَّ فِرْقَةٍ وَ تَشَعَّبُوا كُلَّ شُعْبَةٍ فَانْشَعَبْتُمْ مَعَ أَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّكُمْ ( صلى الله عليه وآله ) وَ ذَهَبْتُمْ حَيْثُ ذَهَبُوا وَ اخْتَرْتُمْ مَنِ اخْتَارَ اللَّهُ لَكُمْ وَ أَرَدْتُمْ مَنْ أَرَادَ اللَّهُ فَأَبْشِرُوا ثُمَّ أَبْشِرُوا فَأَنْتُمْ وَ اللَّهِ الْمَرْحُومُونَ الْمُتَقَبَّلُ مِنْ مُحْسِنِكُمْ وَ الْمُتَجَاوَزُ عَنْ مُسِيئِكُمْ مَنْ لَمْ يَأْتِ اللَّهَ عَزَّ وَ جَلَّ بِمَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَمْ يُتَقَبَّلْ مِنْهُ حَسَنَةٌ وَ لَمْ يُتَجَاوَزْ لَهُ عَنْ سَيِّئَةٍ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي فَقَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ إِنَّ لِلَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ مَلَائِكَةً يُسْقِطُونَ الذُّنُوبَ عَنْ ظُهُورِ شِيعَتِنَا كَمَا يُسْقِطُ الرِّيحُ الْوَرَقَ فِي أَوَانِ سُقُوطِهِ وَ ذَلِكَ قَوْلُهُ عَزَّ وَ جَلَّ الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَ مَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَ يَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا اسْتِغْفَارُهُمْ وَ اللَّهِ لَكُمْ دُونَ هَذَا الْخَلْقِ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي قَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ لَقَدْ ذَكَرَكُمُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ فَقَالَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجالٌ صَدَقُوا ما عاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضى نَحْبَهُ وَ مِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَ ما بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
إِنَّكُمْ وَفَيْتُمْ بِمَا أَخَذَ اللَّهُ عَلَيْهِ مِيثَاقَكُمْ مِنْ وَلَايَتِنَا وَ إِنَّكُمْ لَمْ تُبَدِّلُوا بِنَا غَيْرَنَا وَ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَعَيَّرَكُمُ اللَّهُ كَمَا عَيَّرَهُمْ حَيْثُ يَقُولُ جَلَّ ذِكْرُهُ وَ ما وَجَدْنا لِأَكْثَرِهِمْ مِنْ عَهْدٍ وَ إِنْ وَجَدْنا أَكْثَرَهُمْ لَفاسِقِينَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي فَقَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ لَقَدْ ذَكَرَكُمُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ فَقَالَ إِخْواناً عَلى سُرُرٍ مُتَقابِلِينَ وَ اللَّهِ مَا أَرَادَ بِهَذَا غَيْرَكُمْ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي فَقَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ وَ اللَّهِ مَا أَرَادَ بِهَذَا غَيْرَكُمْ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي فَقَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ لَقَدْ ذَكَرَنَا اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ وَ شِيعَتَنَا وَ عَدُوَّنَا فِي آيَةٍ مِنْ كِتَابِهِ فَقَالَ عَزَّ وَ جَلَّ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّما يَتَذَكَّرُ أُولُوا الْأَلْبابِ فَنَحْنُ الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَ عَدُوُّنَا الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ وَ شِيعَتُنَا هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي فَقَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ وَ اللَّهِ مَا اسْتَثْنَى اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ بِأَحَدٍ مِنْ أَوْصِيَاءِ الْأَنْبِيَاءِ وَ لَا أَتْبَاعِهِمْ مَا خَلَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ ( عليه السلام ) وَ شِيعَتَهُ فَقَالَ فِي كِتَابِهِ وَ قَوْلُهُ الْحَقُّ يَوْمَ لا يُغْنِي مَوْلًى عَنْ مَوْلًى شَيْئاً وَ لا هُمْ يُنْصَرُونَ إِلَّا مَنْ رَحِمَ اللَّهُ يَعْنِي بِذَلِكَ عَلِيّاً ( عليه السلام ) وَ شِيعَتَهُ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي قَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ لَقَدْ ذَكَرَكُمُ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ إِذْ يَقُولُ يا عِبادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ وَ اللَّهِ مَا أَرَادَ بِهَذَا غَيْرَكُمْ فَهَلْ سَرَرْتُكَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي فَقَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ لَقَدْ ذَكَرَكُمُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ فَقَالَ إِنَّ عِبادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطانٌ وَ اللَّهِ مَا أَرَادَ بِهَذَا إِلَّا الْأَئِمَّةَ ( عليهم السلام ) وَ شِيعَتَهُمْ فَهَلْ سَرَرْتُكَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي فَقَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ لَقَدْ ذَكَرَكُمُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ فَقَالَ فَأُولئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَ الصِّدِّيقِينَ وَ الشُّهَداءِ وَ الصَّالِحِينَ وَ حَسُنَ
أُولئِكَ رَفِيقاً فَرَسُولُ اللَّهِ ( صلى الله عليه وآله ) فِي الْآيَةِ النَّبِيُّونَ وَ نَحْنُ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ الصِّدِّيقُونَ وَ الشُّهَدَاءُ وَ أَنْتُمُ الصَّالِحُونَ فَتَسَمَّوْا بِالصَّلَاحِ كَمَا سَمَّاكُمُ اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي قَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ لَقَدْ ذَكَرَكُمُ اللَّهُ إِذْ حَكَى عَنْ عَدُوِّكُمْ فِي النَّارِ بِقَوْلِهِ وَ قالُوا ما لَنا لا نَرى رِجالًا كُنَّا نَعُدُّهُمْ مِنَ الْأَشْرارِ أَتَّخَذْناهُمْ سِخْرِيًّا أَمْ زاغَتْ عَنْهُمُ الْأَبْصارُ وَ اللَّهِ مَا عَنَى وَ لَا أَرَادَ بِهَذَا غَيْرَكُمْ صِرْتُمْ عِنْدَ أَهْلِ هَذَا الْعَالَمِ شِرَارَ النَّاسِ وَ أَنْتُمْ وَ اللَّهِ فِي الْجَنَّةِ تُحْبَرُونَ وَ فِي النَّارِ تُطْلَبُونَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي قَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ مَا مِنْ آيَةٍ نَزَلَتْ تَقُودُ إِلَى الْجَنَّةِ وَ لَا تَذْكُرُ أَهْلَهَا بِخَيْرٍ إِلَّا وَ هِيَ فِينَا وَ فِي شِيعَتِنَا وَ مَا مِنْ آيَةٍ نَزَلَتْ تَذْكُرُ أَهْلَهَا بِشَرٍّ وَ لَا تَسُوقُ إِلَى النَّارِ إِلَّا وَ هِيَ فِي عَدُوِّنَا وَ مَنْ خَالَفَنَا فَهَلْ سَرَرْتُكَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي فَقَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ لَيْسَ عَلَى مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلَّا نَحْنُ وَ شِيعَتُنَا وَ سَائِرُ النَّاسِ مِنْ ذَلِكَ بُرَآءُ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ وَ فِي رِوَايَةٍ أُخْرَى فَقَالَ حَسْبِي .
وَ يَسْتَحْيِي مِنَ الْكُهُولِ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ فَكَيْفَ يُكْرِمُ الشَّبَابَ وَ يَسْتَحْيِي مِنَ الْكُهُولِ فَقَالَ يُكْرِمُ اللَّهُ الشَّبَابَ أَنْ يُعَذِّبَهُمْ وَ يَسْتَحْيِي مِنَ الْكُهُولِ أَنْ يُحَاسِبَهُمْ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ هَذَا لَنَا خَاصَّةً أَمْ لِأَهْلِ التَّوْحِيدِ قَالَ فَقَالَ لَا وَ اللَّهِ إِلَّا لَكُمْ خَاصَّةً دُونَ الْعَالَمِ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ فَإِنَّا قَدْ نُبِزْنَا نَبْزاً انْكَسَرَتْ لَهُ ظُهُورُنَا وَ مَاتَتْ لَهُ أَفْئِدَتُنَا وَ اسْتَحَلَّتْ لَهُ الْوُلَاةُ دِمَاءَنَا فِي حَدِيثٍ رَوَاهُ لَهُمْ فُقَهَاؤُهُمْ قَالَ فَقَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) الرَّافِضَةُ قَالَ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ لَا وَ اللَّهِ مَا هُمْ سَمَّوْكُمْ وَ لَكِنَّ اللَّهَ سَمَّاكُمْ بِهِ أَ مَا عَلِمْتَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ أَنَّ سَبْعِينَ رَجُلًا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ رَفَضُوا فِرْعَوْنَ وَ قَوْمَهُ لَمَّا اسْتَبَانَ لَهُمْ ضَلَالُهُمْ فَلَحِقُوا بِمُوسَى ( عليه السلام ) لَمَّا اسْتَبَانَ لَهُمْ هُدَاهُ فَسُمُّوا فِي عَسْكَرِ مُوسَى الرَّافِضَةَ لِأَنَّهُمْ رَفَضُوا فِرْعَوْنَ وَ كَانُوا أَشَدَّ أَهْلِ ذَلِكَ الْعَسْكَرِ عِبَادَةً وَ أَشَدَّهُمْ حُبّاً لِمُوسَى وَ هَارُونَ وَ ذُرِّيَّتِهِمَا ( عليهما السلام ) فَأَوْحَى اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ إِلَى مُوسَى ( عليه السلام ) أَنْ أَثْبِتْ لَهُمْ هَذَا الِاسْمَ فِي التَّوْرَاةِ فَإِنِّي قَدْ سَمَّيْتُهُمْ بِهِ وَ نَحَلْتُهُمْ إِيَّاهُ فَأَثْبَتَ مُوسَى ( عليه السلام ) الِاسْمَ لَهُمْ ثُمَّ ذَخَرَ اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ لَكُمْ هَذَا الِاسْمَ حَتَّى نَحَلَكُمُوهُ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ رَفَضُوا الْخَيْرَ وَ رَفَضْتُمُ الشَّرَّ افْتَرَقَ النَّاسُ كُلَّ فِرْقَةٍ وَ تَشَعَّبُوا كُلَّ شُعْبَةٍ فَانْشَعَبْتُمْ مَعَ أَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّكُمْ ( صلى الله عليه وآله ) وَ ذَهَبْتُمْ حَيْثُ ذَهَبُوا وَ اخْتَرْتُمْ مَنِ اخْتَارَ اللَّهُ لَكُمْ وَ أَرَدْتُمْ مَنْ أَرَادَ اللَّهُ فَأَبْشِرُوا ثُمَّ أَبْشِرُوا فَأَنْتُمْ وَ اللَّهِ الْمَرْحُومُونَ الْمُتَقَبَّلُ مِنْ مُحْسِنِكُمْ وَ الْمُتَجَاوَزُ عَنْ مُسِيئِكُمْ مَنْ لَمْ يَأْتِ اللَّهَ عَزَّ وَ جَلَّ بِمَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَمْ يُتَقَبَّلْ مِنْهُ حَسَنَةٌ وَ لَمْ يُتَجَاوَزْ لَهُ عَنْ سَيِّئَةٍ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي فَقَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ إِنَّ لِلَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ مَلَائِكَةً يُسْقِطُونَ الذُّنُوبَ عَنْ ظُهُورِ شِيعَتِنَا كَمَا يُسْقِطُ الرِّيحُ الْوَرَقَ فِي أَوَانِ سُقُوطِهِ وَ ذَلِكَ قَوْلُهُ عَزَّ وَ جَلَّ الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَ مَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَ يَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا اسْتِغْفَارُهُمْ وَ اللَّهِ لَكُمْ دُونَ هَذَا الْخَلْقِ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي قَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ لَقَدْ ذَكَرَكُمُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ فَقَالَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجالٌ صَدَقُوا ما عاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضى نَحْبَهُ وَ مِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَ ما بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
إِنَّكُمْ وَفَيْتُمْ بِمَا أَخَذَ اللَّهُ عَلَيْهِ مِيثَاقَكُمْ مِنْ وَلَايَتِنَا وَ إِنَّكُمْ لَمْ تُبَدِّلُوا بِنَا غَيْرَنَا وَ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَعَيَّرَكُمُ اللَّهُ كَمَا عَيَّرَهُمْ حَيْثُ يَقُولُ جَلَّ ذِكْرُهُ وَ ما وَجَدْنا لِأَكْثَرِهِمْ مِنْ عَهْدٍ وَ إِنْ وَجَدْنا أَكْثَرَهُمْ لَفاسِقِينَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي فَقَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ لَقَدْ ذَكَرَكُمُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ فَقَالَ إِخْواناً عَلى سُرُرٍ مُتَقابِلِينَ وَ اللَّهِ مَا أَرَادَ بِهَذَا غَيْرَكُمْ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي فَقَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ وَ اللَّهِ مَا أَرَادَ بِهَذَا غَيْرَكُمْ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي فَقَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ لَقَدْ ذَكَرَنَا اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ وَ شِيعَتَنَا وَ عَدُوَّنَا فِي آيَةٍ مِنْ كِتَابِهِ فَقَالَ عَزَّ وَ جَلَّ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّما يَتَذَكَّرُ أُولُوا الْأَلْبابِ فَنَحْنُ الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَ عَدُوُّنَا الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ وَ شِيعَتُنَا هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي فَقَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ وَ اللَّهِ مَا اسْتَثْنَى اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ بِأَحَدٍ مِنْ أَوْصِيَاءِ الْأَنْبِيَاءِ وَ لَا أَتْبَاعِهِمْ مَا خَلَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ ( عليه السلام ) وَ شِيعَتَهُ فَقَالَ فِي كِتَابِهِ وَ قَوْلُهُ الْحَقُّ يَوْمَ لا يُغْنِي مَوْلًى عَنْ مَوْلًى شَيْئاً وَ لا هُمْ يُنْصَرُونَ إِلَّا مَنْ رَحِمَ اللَّهُ يَعْنِي بِذَلِكَ عَلِيّاً ( عليه السلام ) وَ شِيعَتَهُ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي قَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ لَقَدْ ذَكَرَكُمُ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ إِذْ يَقُولُ يا عِبادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ وَ اللَّهِ مَا أَرَادَ بِهَذَا غَيْرَكُمْ فَهَلْ سَرَرْتُكَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي فَقَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ لَقَدْ ذَكَرَكُمُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ فَقَالَ إِنَّ عِبادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطانٌ وَ اللَّهِ مَا أَرَادَ بِهَذَا إِلَّا الْأَئِمَّةَ ( عليهم السلام ) وَ شِيعَتَهُمْ فَهَلْ سَرَرْتُكَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي فَقَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ لَقَدْ ذَكَرَكُمُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ فَقَالَ فَأُولئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَ الصِّدِّيقِينَ وَ الشُّهَداءِ وَ الصَّالِحِينَ وَ حَسُنَ
أُولئِكَ رَفِيقاً فَرَسُولُ اللَّهِ ( صلى الله عليه وآله ) فِي الْآيَةِ النَّبِيُّونَ وَ نَحْنُ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ الصِّدِّيقُونَ وَ الشُّهَدَاءُ وَ أَنْتُمُ الصَّالِحُونَ فَتَسَمَّوْا بِالصَّلَاحِ كَمَا سَمَّاكُمُ اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي قَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ لَقَدْ ذَكَرَكُمُ اللَّهُ إِذْ حَكَى عَنْ عَدُوِّكُمْ فِي النَّارِ بِقَوْلِهِ وَ قالُوا ما لَنا لا نَرى رِجالًا كُنَّا نَعُدُّهُمْ مِنَ الْأَشْرارِ أَتَّخَذْناهُمْ سِخْرِيًّا أَمْ زاغَتْ عَنْهُمُ الْأَبْصارُ وَ اللَّهِ مَا عَنَى وَ لَا أَرَادَ بِهَذَا غَيْرَكُمْ صِرْتُمْ عِنْدَ أَهْلِ هَذَا الْعَالَمِ شِرَارَ النَّاسِ وَ أَنْتُمْ وَ اللَّهِ فِي الْجَنَّةِ تُحْبَرُونَ وَ فِي النَّارِ تُطْلَبُونَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي قَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ مَا مِنْ آيَةٍ نَزَلَتْ تَقُودُ إِلَى الْجَنَّةِ وَ لَا تَذْكُرُ أَهْلَهَا بِخَيْرٍ إِلَّا وَ هِيَ فِينَا وَ فِي شِيعَتِنَا وَ مَا مِنْ آيَةٍ نَزَلَتْ تَذْكُرُ أَهْلَهَا بِشَرٍّ وَ لَا تَسُوقُ إِلَى النَّارِ إِلَّا وَ هِيَ فِي عَدُوِّنَا وَ مَنْ خَالَفَنَا فَهَلْ سَرَرْتُكَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي فَقَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ لَيْسَ عَلَى مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلَّا نَحْنُ وَ شِيعَتُنَا وَ سَائِرُ النَّاسِ مِنْ ذَلِكَ بُرَآءُ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ وَ فِي رِوَايَةٍ أُخْرَى فَقَالَ حَسْبِي .
“Sejumlah
sahabat kami, dari Sahal bin Ziad, dari Muhammad bin Sulaiman, dari ayahnya
berkata: Aku berada di sisi Abu Abdillah as, mendadak Abu Basir datang. Beliau
kelihatan gelisah dengan nafasnya yg sesak. Setelah dia duduk, maka Abu
Abdillah as berkata kepadanya: Wahai Abu Muhammad, mengapa engkau resah seperti
ini? Maka dia menjawab : Aku jadikan diriku sbg tebusan utkmu, wahai putra
Rasulullah, umurku telah tua, tulangku lemah dan ajalku semkain dekat, tetapi aku
belum tahu bagaimana keadaanku di akhirat kelak.?
Abu Abdillah
as berkata: Wahai Abu Muhammad, mengapa engkau berkata seperti itu? Abu Basir
berkata: Aku jadikan diriku sbg tebusan utkmu, mengapa aku tidak boleh berkata
demikian? Maka Imam as berkata: Tidakkah engkau tahu bahwa sesungguhnya Allah
memuliakan para pemuda dan malu kepada golongan tua diantara kamu? Abu Basir
berkata: Aku jadikan diriku sebagai tebusan utkmu, bagaimana Dia memuliakan
para pemuda di kalangan kita dan malu kepada yang tua?
Abu Abdilah
as. berkata: “Dia memuliakan para pemuda diantara kamu supaya Dia tidak
menyiksa mereka dan Dia malu kepada kelompok tua diantara kamu supaya Dia tidak
menghisab mereka. Abu Basir berkata: Aku jadikan diriku sbg tebusanmu, adakah
hal ini hanya khusus untuk kita atau untuk semua ahli tauhid? Abu Abdillah as
berkata: “Tidak, demi Allah hal ini khusus untuk kamu dan tidak untuk yg lain.
Abu Basir berkata: “Aku jadikan diriku sbg tebusan utkmu, kami telah buruk,
punggung kami patah, hati kami mati, penguasa menghalalkan darah kami dengan
hadis2 yang diriwayatkan oleh para fukaha mereka.
Abu Abdillah
as. berkata : Rafidhah? Abu Basir berkata: Ya!. Beliau as. berkata : “Bukan
mereka yang menamai kamu demikain, tetapi Allah swt yang telah menamai kamu
dengan nama tersebut. TIDAKKAH ENGKAU TAHU WAHAI ABU MUHAMMAD, BAHWA ADA 70
LAKI-LAKI BANI ISRAEL BERSAMA FIRA’UN YANG MENGIKUTINYA. KETIKA MEREKA MELIHAT
KESESATAN FIR’AUN DAN PETUNJUK DARI MUSA AS, MAKA MEREKA MENOLAK (RAFADHU)
FIR’AUN.
KEMUDIAN
MEREKA MENGIKUTI MUSA DAN BERADA DALAM NAUNGAN MUSA AS, DAN MEEKA DIKENAL
SEBAGAI ORG2 YANG RAJIN BERIBADAH. MEREKA MENOLAK FIRA’UN. MAKA ALLAH
MEWAHYUKAN KEPADA MUSA AS AGAR MENJADIKAN NAMA ITU UNTUK MEREKA DI DALAM
TAURAT.
SESUNGGUHNYA
AKU MENJADIKAN NAMA MEREKA, KEMUDIAN ALLAH MENYIMPAN NAMA TERSEBUT SEHINGGA
MEMBERIKAN NAMA TERSEBUT KEPADA KAMU SEKALIAN. WAHAI ABU MUHAMMAD, MEREKA TELAH
MENOLAK KEBAIKAN SEDANGKAN KAMU SEDANG MENOLAK KEJAHATAN. MANUSIA TERPECAH
MENJADI BEBERAPA GOLONGAN DAN SYIAH, TETAPI KAMU TELAH MENJADI SYIAH AHLUL BAIT
NABIMU. KARENA ITU, KAMU TELAH BERPEGANG DENGAN APA YANG TELAH DIPERINTAHKAN
ALLAH DAN KAMU TELAH MEMILIH APA2 YANG TELAH DIPILIH ALLAH. MAKA BERGEMBIRALAH
KAMU DAN BERITAKAN KABAR GEMBIRA INI KEPADA MEREKA.
Kemudian,
selanjutnya Abu Abdilah as memberikan kabar gembira dan keutamaan serta
kelebihan2 syiah mereka……silahkan anda baca riwayat di atas…maaf sy gak
terjemahkan seluruhnya… takut kepanjangan..
#
Perhatikanlah…bahwa dengan membaca keseluruhan hadits ini, maka akan dengan
jelas terlihat bahwa Husain al-Musawi berusaha membalikkan fakta yg sebenarnya
dengan memotong2 riwayat sesuka hatinya…
Apakah
Husain al-Musawi ingin mengatakan bahwa org2 yg menolak (rafadhu) Firuan adalah
org2 sesat dan yg mengikuti Fira’aun adalah org2 soleh yg selamat….???
Begitulah
org2 syiah menolak pemerintahan2 zalim yg meniru pemerintahan Fira’un. Jika
Fir’aun dahulu kala memeriksa semua rumah utk mencari dan membunuh anak lelaki
yg akan meruntuhkan kekuasaanya… maka penguasa2 masa itu…membunuh para ahlul
bait Rasul saaw. Mereka meracun Hasan as dan membunuh Husain as dan keluarganya
serta sahabat2nya di Karbala…Tidak hanya sampai disitu, mereka mengawasi setiap
Keturunan Rasulullah saaw berikutnya dan mengawasi para pengiktunya. Mencaci maki
ahlul bait dan pengikutnya…membunuh org2 yg tidak mau mencaci keluarga Nabi
saaw.
Sampai2..seperti
Firaun di zaman Musa as, mereka juga mengawasi rumah Imam Hasan al-Askari (Imam
kesebelas syiah) utk mencari tahu kelahiran bayinya al-Imam Muhammad al-Mahdi
afs dan membunuhnya, karena mereka tahu Imam Mahdi dan para pengikutnya akan
meruntuhkan kekuasaan mereka…..org2 syiah inilah yg disebut hadits tersebut sbg
yg menolak (rafadhu) penguasa zalim….apakah org yg menolak pemimpin2 zalim
seperti Firaun itu sesat..??? silahkan anda jawab sendiri….karena sy rasa tidak
perlu diajari lagi.
HUSEIN
AL-MUSAWI MEMANIPULASI AYAT AL-QURAN TENTANG SIKAP KEBENCIAN FATIMAH ZAHRA as
ATAS KELAHIRAN IMAM HUSAIN as.
Tuhan
berfirman di dalam al-Quran menginagtkan kita untuk tidak berdusta,
“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak
beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka Itulah orang-orang pendusta. (Q.S.
an-Nahl : 105)
Ayat di atas
memberikan ancaman keras bagi para pendusta, terutama berdusta atas nama Tuhan.
Dan Husein al-Musawi ternyata telah membuat dirinya dilumuri kedustaan melalui
bukunya tersebut. Telah kita perhatikan bersama, bagaimana hebatnya taktik
Husein al-Musawi utk mengelabui pembaca dengan memotong-motong riwayat2 dari
kitab2 ahlul bait sehingga riwayat tersebut menjadi tidak sesuai dengan teks
asli dan maksud periwayatan. Tetapi tidak hanya sampai disitu, Husein al-Musawi
bahkan rela memotong-motong ayat al-Quran (yang terselip di dalam sebuah
hadits) utk mengelabui pembacanya, sehingga merubah maknanya dan menjadikan
ayat itu sebagai hadits. Mari kita buktikan kedustaan yang dilakukan oleh
Husein al-Musawi al-Kadzab.
Memang bagi
pembaca yg tidak jeli, akan melihat bahwa riwayat itu mengindikasikan
penghinaan pada Sayidah Fatimah az-Zahra as, tetapi jika kita lihat teks asli
dan membacanya dengan teliti, maka akan jelaslah kebohongan yg diciptakan
Husein al-Musawi. Dimana Husein al-Musawi memotong ayat al-Quran yg terletak di
tengah-tengah hadits. Mari kita perhatikan riwayat dibawah ini yg ditulis oleh
Husein al-Musawi al-Kadzab sbb :
> Pada
halaman 30-31 Husein al-Musawi menulis :
“Al-Kulaini
meriwayatkan dalam al-Ushul min al-Kitab al-Kafi : “Sesungguhnya Jibril turun
kepada Nabi Muhammad s.a.w seraya berkata : Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah
memberi kabar gembira dengan seorang anak yang akan lahir dari Fatimah, dia
akan oleh umatmu setelahmu.’ Maka Nabi bersabda : Wahai Jibril dan keselamatan
atas Tuhanku, saya tidak butuh kepada anak yang lahir dari Fatimah yang akan dibunuh
oleh umatku setelahku.’ Maka Jibril naik lalu turun kembali dan mengatakan
seperti di atas.
“Wahai
Jibril dan keselamatan atas Tuhanku, saya tidak butuh kepada seorang bayi yang
akan dibunuh oleh umatku setelahku.” Maka Jibril naik kelangit lalu turun
kembali dan berkata : “Wahai Muhammad, sesungguhnya Tuhanmu menyampaikan salam
kepadamu dan memberi kabar gembira kepadamu bahwa Dia akan menjadikan dalam
keturunanmu keimaman, kepemimpinan dan wasiat.” Maka Nabi berkata :
“sesungguhnya saya ridha”. Kemudian dia mengutus seseorang kepada Fatimah untuk
menyampaikan bahwa Allah memberi kabar kepadaku dengan seorang anak yang akan
lahir darimu yang akan di bunuh oleh umatku setelahku. Maka Fatimah mengutus
seseorang kepada nabi untuk menyampaikan bahwa dia tidak butuh kepada seorang
anak yg akan dibunuh oleh umatmu setelahmu. Lalu nabi mengutus kepadanya bahwa
Allah azza wa Jalla akan menjadikan dalam keturunannnya keimaman, kepemimpinan
dan wasiat. Maka Fatimah mengirim utusan kepadanya bahwa ia ridha. MAKA DIA
MENGANDUNGNYA DENGAN PERASAAN TIDAK SUKA DAN MELAHIRKANNYA JUGA DENGAN PERASAAN
TIDAK SUKA. Dan Husain tidak menyusu kepada Fatimah, juga kepada wanita yang
lain. Nabi saw datang kepadanya, lalu meletakkan ibu jarinya ke dalam mulutnya,
maka Husain mengisapnya hingga cukup untuk dua sampai tiga hari.”
Setelah
menulis riwayat di atas Husein al-Musawi berkomentar dengan melakukan
tuduhan-tuduhan yang disengaja utnutk memjelekkan citra mazhab syiah :
“SAYA TIDAK
MENGETAHUI APAKAH MUNGKIN RASULULLAH MENOLAK KABAR GEMBIRA YANG DIBERIKAN ALLAH
KEPADANYA? DAN APAKAH MUNGKIN JUGA FATIMAH AZ-ZAHRA MENOLAK KEPUTUSAN YANG
TELAH DITETAPKAN ALLAH DAN ALLAH HENDAK MEMBERI KABAR GEMBIRA DENGANYA,
SEHINGGA DIA BERKATA, SAYA TIDAK BUTUH DENGANNYA.? APAKAH DIA MENGANDUNG HUSAIN
DALAM KEADAAN TIDAK SENANG, DAN MELAHIRKANNYA DALAM KEADAAN TIDAK SENANG?
APAKAH DIA JUGA MENOLAK UNTUK MENYUSUI HUSAIN SEHINGGA NABI DATANG UNTUK
MENYUSUINYA DENGAN MEMASUKKAN IBU JARINYA UNTUK MENGENYANGKANNYA UNTUK DUA
SAMPAI TIGA HARI.?”
# Saya Jawab
:
Dari kutipan
Husein al-Musawi al-Kadzab diatas, yang ingin saya permasalhkan adlah
kutipannya yang menyebutkan : “MAKA DIA MENGANDUNGNYA DENGAN PERASAAN TIDAK
SUKA DAN MELAHIRKANNYA JUGA DENGAN PERASAAN TIDAK SUKA.”
Dengan
kutipan itu, Husein al-Musawi al-Kadzab ingin menujukkan bahwa Fatimah az-Zahra
as tidak suka mengandung dan melahirkan Imam Husein as.
Setelah
memeperhatikan riwayat yg dikutip oleh Husein al-Musawi, saya merasa ada
sesuatu yg tidak beres dalam periwayatn di atas. Saya lagi-lagi mencurigai
bahwa seperti kebiasaanya yg telah kita saksikan bersama bahwa Husein al-Musawi
al-Kadzab sering mengutip hadits dhaif dan memelintir suatu riwayat demi
mencapai keinginannya untuk menfitnah mazhab syiah. Dan ternyata, dugaan saya
tidak keliru, saya menemukan bahwa Husein al-Musawi memanipulasi ayat al-Quran
yg terdapat di pertengahan riwayat tersebut. Mari kita perhatikan teks asli
berikut ini yang saya kutip dari Kitab Ushul al-Kafi jilid 1 Bab Maulid Husain
as :
- مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ عَلِيِّ بْنِ إِسْمَاعِيلَ عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو الزَّيَّاتِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ أَبِي
عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ إِنَّ جَبْرَئِيلَ ( عليه السلام )
نَزَلَ عَلَى مُحَمَّدٍ ( صلى الله عليه وآله ) فَقَالَ لَهُ يَا
مُحَمَّدُ إِنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِمَوْلُودٍ يُولَدُ مِنْ فَاطِمَةَ
تَقْتُلُهُ أُمَّتُكَ مِنْ بَعْدِكَ فَقَالَ يَا جَبْرَئِيلُ وَ عَلَى رَبِّيَ
السَّلَامُ لَا حَاجَةَ لِي فِي مَوْلُودٍ يُولَدُ مِنْ فَاطِمَةَ تَقْتُلُهُ
أُمَّتِي مِنْ بَعْدِي فَعَرَجَ ثُمَّ هَبَطَ ( عليه السلام ) فَقَالَ لَهُ
مِثْلَ ذَلِكَ فَقَالَ يَا جَبْرَئِيلُ وَ عَلَى رَبِّيَ السَّلَامُ لَا حَاجَةَ
لِي فِي مَوْلُودٍ تَقْتُلُهُ أُمَّتِي مِنْ بَعْدِي فَعَرَجَ جَبْرَئِيلُ (
عليه السلام ) إِلَى السَّمَاءِ
ثُمَّ هَبَطَ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنَّ رَبَّكَ يُقْرِئُكَ السَّلَامَ وَ
يُبَشِّرُكَ بِأَنَّهُ جَاعِلٌ فِي ذُرِّيَّتِهِ الْإِمَامَةَ وَ الْوَلَايَةَ وَ
الْوَصِيَّةَ فَقَالَ قَدْ رَضِيتُ ثُمَّ أَرْسَلَ إِلَى فَاطِمَةَ أَنَّ اللَّهَ
يُبَشِّرُنِي بِمَوْلُودٍ يُولَدُ لَكِ تَقْتُلُهُ أُمَّتِي مِنْ بَعْدِي فَأَرْسَلَتْ
إِلَيْهِ لَا حَاجَةَ لِي فِي مَوْلُودٍ مِنِّي تَقْتُلُهُ أُمَّتُكَ مِنْ
بَعْدِكَ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا أَنَّ اللَّهَ قَدْ جَعَلَ فِي ذُرِّيَّتِهِ
الْإِمَامَةَ وَ الْوَلَايَةَ وَ الْوَصِيَّةَ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ أَنِّي قَدْ
رَضِيتُ فَ
حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَ وَضَعَتْهُ كُرْهاً وَ
حَمْلُهُ وَ فِصالُهُ ثَلاثُونَ شَهْراً حَتَّى إِذا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَ بَلَغَ
أَرْبَعِينَ سَنَةً قالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي
أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَ عَلى والِدَيَّ وَ أَنْ أَعْمَلَ صالِحاً تَرْضاهُ وَ
أَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي
فَلَوْ لَا أَنَّهُ قَالَ أَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي
لَكَانَتْ ذُرِّيَّتُهُ كُلُّهُمْ أَئِمَّة وَ لَمْ يَرْضَعِ الْحُسَيْنُ مِنْ
فَاطِمَةَ (
عليها السلام ) وَ لَا مِنْ أُنْثَى كَانَ يُؤْتَى بِهِ النَّبِيَّ فَيَضَعُ إِبْهَامَهُ
فِي فِيهِ فَيَمُصُّ مِنْهَا مَا يَكْفِيهَا الْيَوْمَيْنِ وَ الثَّلَاثَ فَنَبَتَ
لَحْمُ الْحُسَيْنِ ( عليه السلام )
مِنْ لَحْمِ رَسُولِ اللَّهِ وَ دَمِهِ وَ لَمْ يُولَدْ
لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ إِلَّا عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ ( عليه السلام ) وَ الْحُسَيْنُ
بْنُ عَلِيٍّ ( عليه السلام ) . وَ فِي رِوَايَةٍ أُخْرَى عَنْ أَبِي الْحَسَنِ الرِّضَا (
عليه السلام ) أَنَّ النَّبِيَّ
( صلى الله عليه وآله )
كَانَ يُؤْتَى بِهِ الْحُسَيْنُ فَيُلْقِمُهُ لِسَانَهُ
فَيَمُصُّهُ فَيَجْتَزِئُ بِهِ وَ لَمْ يَرْتَضِعْ مِنْ أُنْثَى .
“Muhammad
bin Yahya, dari Ali bin Ismail, dari Muhammad bin Amru al-Zayyat, dari seorang
laki-laki sahabat kami, dari Abu Abdillah as yang berkata: “Sesungguhnya Jibril
turun kpd Nabi Muhammad saaw dan berkata : ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah
memberi kabar gembira kepada engkau dengan seorang bayi yang kelak dilahirkan
oleh Fatimah as, tetapi umatmu akan membunuhnya setelahmu. Maka berkatalah
Rasul saaw : ‘Wahai Jibrail, salam atas Tuhanku, aku tidak berhajat pada anak
yang akan dibunuh oleh umatku setelahku, lalu Jibril as telah naik ke langit.
Kemudian turun dan mengatakan hal yang sama…..dst…. Kemudian Jibril turun
kembali dan berkata : “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah menyampaikan salam
dan memberi kabar gembira kepada engkau bahwa Dia menjadikan pada keturunanmu
imamah, wilayah dan wasiat. Maka Rasul saaw bersabda: “Sungguh aku ridha”.
Kemudian
Rasul saaw mengabarkan kepada Fatimah as : “Sesungguhnya Allah telah memberi
kabar gembira kepadaku dengan seorang bayi yang kelak dilahirkan oleh engkau,
umatku akan membunuhnya setelahku, lalu Fatimah as memberikan jawaban : “Aku
tidak berhajat kepada bayi yang dilahirkan olehku, yang akan dibunuh oleh
umatmu setelahmu”….
Kemudian
Rasul saaw memberitahukan kepadanya bahwa Allah swt telah menjadikan pada
keturunanya imamah, wilayah dan wasiat. Lalu Fatimah berkata : “Sesungguhnya
aku ridha.
(Allah
berfirman) : “IBUNYA MENGANDUNGNYA DENGAN SUSAH PAYAH, DAN MELAHIRKANNYA DENGAN
SUSAH PAYAH PULA. MENGANDUNGNYA SAMPAI MENYAPIHNYA ADALAH TIGA PULUH BULAN
SEHINGGA APABILA DIA TELAH DEWASA DAN UMURNYA SAMPAI EMPAT PULUH TAHUN DIA
BERDOA: YA, TUHANKU, TUNJUKILAH AKU UNTUK MENSYUKURI NIKMAT ENGKAU YANG TELAH
ENGKAU BERIKAN KEPADAKU DAN KEPADA IBU BAPAKU DAN SUPAYA AKU DAPAT BERBUAT AMAL
YANG SOLEH YANG ENGKAU RIDHAI; BERILAH KEBAIKAN KEPADAKU DENGAN (MEMBERI)
KEBAIKAN KEPADA ANAK CUCUKU. (lihat Q.S Al-Ahqaf : 15).
Seandainya
Rasul saaw tidak berkata: “berilah kepadaku kebakan dengan kebaikan bagi anak
cucuku” maka, keturunnay telah menjadi para imam semuanya.
Imam Husein
as tidak menyusu kepada Fatimah as dan lainnya. Rasul saaw datang dan
meletakkan jarinya dimulut Husein as, lalu Husein as menghisapnya sehinga cukup
untuknya sampai dua atau tiga hari. Maka daging Husain as tumbuh dari daging
Rasul saaw dan darahnya. Tidak pernah dilahirkan (seorg bayi berumur) enam
bulan melainkan Isa bin Maryam a.s dan Husain bin Ali as.
Di dalam
riwayat lain, dari Abul Hasan al-Ridha as bahwa Husain a.s dibawa kepada Nabi
saaw, beliau telah mengulurkan lidahnya, lalu Husein telah menghisapnya, dan
cukuplah hal itu dan Husein as tidak menyusu pada wanita manapun. (lihat kitab
Ushul al-Kafi jilid 1 bab Maulid Husain as, hadits no. 4)
# Al-Majlisi
di dalam kitab Mir’at al-Uqul menegaskan bahwa hadits ini mursal (lihat Mir’at
al-Uqul, juz. 5 hal. 364). Dalam kesempatan ini saya tidak ingin mengomentari
kualitas hadits tersebut, tetapi lebih pada manipulasi yang dilakukan oleh
Husein a-Musawi. Manipulasi itu adalah sebagai berikut.
# Husein
al-Musawi memotong dan mengubah teks ayat al-Quran surat al-Ahqaf : 15 yang ada
di dalam hadits tersebut sehingga di dalam buku “MENGAPA SAYA KELUAR DARI
SYIAH?” diterjemahkan sbb :
“MAKA DIA
MENGANDUNGNYA DENGAN PERASAAN TIDAK SUKA (Hamalathu kurhan).. DAN MELAHIRKANNYA
JUGA DENGAN PERASAAN TIDAK SUKA (wa wadha’athu kurhan).
Kalimat yang
dimanipulasi oleh Husein al-Musawi al-Kadzab di atas jelas mengindikasikan
bahwa Sayidah fatimah az-Zahra tidak menyukai (benci) kehamilannya dan tidak
suka atas kelahiran Imam Husein as. seperti dikomentari oleh Husein al-Musawi
al-Kadzab.
# Coba kita
perhatikan bagaimna Husein al-Musawi mengubah ayat “HAMALATHU UMMUHU KURHAN” (حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً ) yang berarti “IBUNYA
MENGANDUNGNYA DENGAN SUSAH PAYAH/KESULITAN” menjadi kalimat “HAMALATHU KURHAN” حَمَلَتْهُ كُرْهاً ً (dengan menghapus
kalimat “UMMUHU”) YANG diartikan “MAKA DIA MENGANDUNGNYA DENGAN PERASAAN TIDAK
SUKA.”
Dan kalimat
“WA WADHA’ATHU KURHAN” (وَ وَضَعَتْهُ كُرْهاً )
diartikan “DAN MELAHIRKANNYA DENGAN PERASAAN TIDAK SUKA”, padahal semestinya diartikan
“DAN MELAHIRKANNYA DENGAN SUSAH PAYAH/KESULITAN”.
# Ketahuliah
wahai saudaraku sekalian, Husein al-Musawi al-Kadzab telah memanipulasi dengan
memotong ayat al-Quran yang terdapat pada hadits tersebut. Lengkapnya hadits
tersebut adalah memuat Q.S. al-Ahqaf : 15 sbb :
حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَ وَضَعَتْهُ كُرْهاً وَ
حَمْلُهُ وَ فِصالُهُ ثَلاثُونَ شَهْراً حَتَّى إِذا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَ بَلَغَ
أَرْبَعِينَ سَنَةً قالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي
أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَ عَلى والِدَيَّ وَ أَنْ أَعْمَلَ صالِحاً تَرْضاهُ وَ
أَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي
“(firman
Allah): “IBUNYA MENGANDUNGNYA DENGAN SUSAH PAYAH, DAN MELAHIRKANNYA DENGAN
SUSAH PAYAH PULA. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan
sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun dia
berdoa : ya, tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat engkau yang telah
engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapaku dan supaya aku dapat berbuat amal
yang soleh yang engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi)
kebaikan kepada anak cucuku. (Q.S. Al-Ahqaf : 15).
Jadi,
Kesimpulannya : “TIDAK ADA DISEBUTKAN DI DALAM HADITS ITU BAHWA FATIMAH as
MENGANDUNG DAN MELAHIRKAN HUSEIN as DALAM KEADAAN TIDAK SUKA”. HANYA SAJA AYAT
AL-QURAN SURAT AL-AHQAF : 15 ITU YANG DIMANIPULASI OLEH HUSEIN AL-MUSAWI
AL-KADZAB.”
Kemudian
bukannya Fatimah yang tidak mau menyusui Husain as, melainkan Husain as memang
tidak menyusu kepada siapapun sampai Rasulullah saaw datang dan memasukkan
jarinya untuk memnuhi kebutuhan Husain as. Tentang hal ini, banyak terdapat
hadits dan riwayat-riwayat sejarah mengenainya. Apakah Husein al-Musawi tidak
tahu, atau hanya kura-kura dalam perahu, alias pura-pura tidak tahu? Ambillah
pelajaran wahai orang-orang yang berpikir…! Wallahu a’lam.
HUSAIN
AL-MUSAWI AL-KADZAB MEMALSUKAN HADITS TENTANG MUT’AH
Oleh :
Candiki Repantu
Artinya :
“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak
beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka Itulah orang-orang pendusta. (Q.S.
an-Nahl : 105)
Rasulullah
saaw memerintahkan al-Walid bin Uqbah untuk mengambil zakat kepada kaum
al-Harts bin Dlirar al-Khuzai yang telah memeluk Islam. Tetapi ditengah jalan,
al-Walid merasa gentar dan kembali kepada Nabi saaw dengan membuat laporan
palsu bahwa al-Harts dan kaumnya tidak mau membayar zakat bahkan ingin
membunuhnya. Mendengar laporan ini Rasulullah saaw mengutus utusan lagi untuk
memperjelas persoalannya sebelum mengambil tindakan tegas. Hasilnya, ternyata
al-Walid berdusta kepada Rasulullah saaw tentang al-Harts dan kaumnya.
Peristiwa ini diabadikan Allah dengan menurunkan Q.S. al-Hujurat : 6, “Hai
orang-orang yg beriman, apabila datang kepadamu orang fasik membawa berita,
maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada
suatu kaum tanpa mengetahui keadaanya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu.” (Q.S. al-Hujurat : 6)
Husain
al-Musawi al-Kadzab dengan bukunya, “Mengapa Saya Keluar dari Syiah?”,
kelihatannya melanjutkan tradisi al-Walid bin Uqbah yang digelar fasik oleh
Allah swt. Jika, pada bukti sebelumnya, saya telah menunjukkan kedustaan Husein
al-Musawi al-Kadzab karena dia memanipulasi hadits atau ayat dengan cara
memotong kalimatnya, maka pada kesempatan ini, saya akan menunjukkan bagaimana
kedustaan yang lebih nyata yang dilakukan oleh Husein al-Musawi al-Kadzab,
yaitu bahwa “HUSEIN AL-MUSAWI AL-KADZAB MEMBUAT HADITS PALSU MELALUI
IMAJINASINYA DAN KEMUDIAN MENISBAHKAN HAL ITU KEPADA RASUL SAAW DAN PARA IMAM
AHLUL BAIT AS.”
Mari kita
telusuri kedustaan yang di buat oleh Husein al-Musawi al-Kadzab saat membahas
tentang mut’ah berikut ini.
> Husein
al-Musawi menulis pada halaman 44, empat hadits tentang Mut’ah sbb :
1. Nabi saaw
bersabda, “Barangsiapa yg melakukan mut’ah kpd seorang wanita mukminah, maka
seolah2 dia berkunjung ke Ka’bah sebanyak tujuh puluh kali.”
Kemudian
Husain al-Musawi berkomentar : “Apakah org yg melakukan mut’ah sama dengan org
yg mengunjungi ka’bah sebanyak tujuh puluh kali? Dengan siapa? Dengan wanita
mukminah?
# Saya Jawab
:
Perhatikanlah
Husain al-Musawi al-Kadzab menulis hadits di atas tanpa menunjukkan sumbernya
shg kita kesulitan melacak pengutipannya dan memeriksa hadits tersebut. Saya
sendiri berusaha mencari dibeberapa kitab hadits syiah yang berbicara tentang
mut’ah, tetapi tak menemukan hadits tersebut. Jadi, bisa dihipotesakan bahwa
Husein al-Musawi al-Kadzab tidak bisa menunjukkan sumbernya, karena hadits itu
hanya buatannya sendiri yg dihasilkan dari khayalannya. Silahkan, jika ada para
pendukung Husein al-Musawi al-Kadzab yang bisa menunjukkan secara lengkap
hadits tersebut dengan sanadnya di dalam kitab hadits standar syiah untuk kita
periksa kualitasnya.
——–
> Husein al-Musawi al-Kadzab menulis pd halaman 44 hadits ke-2 :
——–
> Husein al-Musawi al-Kadzab menulis pd halaman 44 hadits ke-2 :
2.
Ash-Shaduq meriwayatkan dari Ash-Shadiq as, dia berkata, “sesungguhnya mut’ah
adalah agamaku dan agama bapakku. Brangsiapa yg mengerjakannya, maka dia telah
mengamalkan agamanya. Barangsiapa yg mengingkarinya, maka berarti dia
mengingkari agama kami dan berakidah dengan selain agama kami.” (Man la
Yahdhuruhu al-Faqih, 3/366)…Husain al-Musawi melanjutkan, “Ini adalah
pengkafiran terhadap org yg menolak mut’ah”.
# Saya Jawab
:
Setelah
membaca dan melacak hadits tersebut di dalam kitab Man Layahdhuruh al-Faqih,
saya tidak menemukan riwayat tersebut di atas. Jadi, lagi-lagi Husein al-Musawi
membuat hadits palsu melalui imajinasinya sendiri. Sungguh inilah mujtahid yg
salah kaprah. Yang ada dan masyhur dikalangan Syiah adalah sebuah riwayat
dengan berbunyi “TAQIYAH ADALAH AGAMAKU DAN AGAMA BAPAKKU”… bukan kalimat
“Mut’ah adalah agamaku dan agama bapakku”. Dengan demikian, maka Husein
al-Musawi telah merubah lafal hadits sesuka hatinya. Sungguh ini merupakan
kedustaan yang sangat nyata. Meskipun begitu, (mungkin saja saya kurang jeli
memeriksa kitab Man Layahdhuruh al-Faqih), saya persilahkan bagi pendukung
Husein al-Musawi al-Kadzab utk menunjukkan hadits tersebut secara lengkap
dengan sanadnya dan sumbernya di dalam kitab Man Layahdhuruhul Faqih bab dan
nomor haditsnya.
————-
————-
>
Selanjutnya Husein al-Musawi al-kadzab menuliskan hadits ke-3 pd hal 44 :
3. Dikatakan
kepada Abu Abdulah as, “Apakah dalam mut’ah terdapat pahala? Dia berkata, “Jika
dengannya dia mengharap ridha Allah swt, tidak ada satu kata pun yg dia katakan
kecuali Allah menuliskannya sebagi suatu kebaikan. Jika dia mendekatinya, maka
Allah akan mengampuni dosanya berkat mut’ah yg dia lakukan. Jika dia mandi,
maka Allah akan mengampuni dosanya sebanyak air yg membasahi rambutnya.” (Man
La Yahdhuruhu al-Faqih, 3/366)
# Saya jawab
:
Hadits
tersebut memang ada di dalam kitab Man La yahdhuruh al-Faqih juz 3, Kitab
al-Nikah bab al-Mut’ah, hadits no. 4602. Tetapi, ktahuilah bahwa hadits ini
dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah dengan sanad dari Shalih bin Uqbah bin
Sam’an, yang mana Sholih bin Uqbah adalah sanad yang dinilai dhaif dan
pembohong oleh para ulama rijal (lihat Kitab Rijal karya al-Hilli juz 2, rijal
no 237; Kitab Naqd al-Rijal karya Sayid Mushtafa juz 2, hal. 411 rijal no.
2592). Dengan demikian hadits ini gugur
———–
———–
> Huseein
al-Musawi al-Kadzab menulis hadits ke-4 sbb :
4. Nabi saaw
bersabda, “Barangsiapa yg melakukan mut’ah dengan seorang wanita, maka dia akan
aman dari murka Allah yg Maha Memaksa. Barangsiapa yg melakukan mut’ah dua
kali, maka dia akan dikumpulkan bersama org2 baik. Barangsiapa yg melakukan
mut’ah tiga kali, maka dia akan berdampingan denganku di surga. (Man La
Yahdhuruhu al-Faqih, 3/366)
# Saya Jawab
:
Lagi-lagi
Husein al-Musawi memalsukan hadits melalui imajinasinya. Setelah berusaha
melacaknya pada sumber yang disebutkan Husein al-Musawi, saya tidak menemukan
riwayat tersebut. Hadits ini tidak saya temukan di dalam kitab Man La
Yahdhuruhu al-Faqih dan kemungkinan besar juga tidak terdapat di dalam kitab
hadits syiah lainnya. Silahkan, bagi para pendukung Husein al-Musawi jika ada
yang mau menunjukkan secara jelas dimana terdapat hadits tersebut, sehingga
kita bisa memeriksanya.
————
————
>
Kemudian Husein al-Musawi al-Kadzab menuliskan hadits yang katanya dikutip dari
Tafsir Fathullah Kasyani sbb :
5. Sayid Fathullah
Kasyani meriwayatkan dalam tafisr Manhaj ash-Shadiqin dari Nabi saaw
sesungguhnya dia bersabda, “Barangsiapa yg melakukan mut’ah satu kali, maka dia
seperti derajat Husain as. Barangsiapa melakukan muta’ah dua kali, maka dia
seperti derajat Hasan as. Barangsiapa yg melakukan Mut’ah tiga kali, maka
derajatnya seperti derajat Ali bin Abi Thalib, dan barangsiapa ygmelakukan
mut’ah empat kali, maka derajatnya seperti derajatku.”
# Saya Jawab
:
Hadits ini
juga tidak ada sumbernya, dan tidak ada di dalam kitab Tafsir Fathulah Kasyani
saat menafsirkan Q.S. an-Nisa : 24. Perhatikan, Husain al-Musawi tidak menyebut
halaman berapa dari kitab Tafsir Minhaj ash-shadiqin. Lagi-lagi Husein
al-Musawi al-Kadzab menunjukkan kedurhakaannya pada Nabi saaw dan ahlul bait
dengan membat hadits palsu atas nama mereka.
Demikianlah
kedustaan nyata yang di buat oleh Husein al-Musawi terhadap Rasulullah saaw dan
ahul baitnya. Ambillah pelajaran wahai orang-orang yang berakal. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar