Dari
Abdullah ibn Mas’ud radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di zamanku, kemudian
orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya”. HR. Bukhari, no.
2652, Muslim, no. 6635.
Berdasarkan
hadits nabi yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim di atas, ada tiga
kelompok yang merupakan sebaik-baik manusia, yang hidup sezaman dengan Nabi
saww yakni para sahabat, zaman setelahnya yakni tabi’in dan zaman setelahnya
lagi, yakni generasi tabi’ut tabi’in. Inilah di antara hadits yang biasa
digunakan kaum salafiyun dalam mendakwahkan pemahaman dan keyakinan Islam
mereka. Dengan berlandaskan hadits ini pula dibuatlah teori baru mengenai
bid’ah, bahwa bid’ah adalah apa-apa yang tidak ada pada tiga kurun setelah
wafatnya Nabiullah Muhammad saww. Mereka senantiasa berargumentasi, bahwa
apapun yang dianggap baik bagi agama ini, maka tiga generasi tersebut niscaya
akan lebih dahulu melakukannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia,
mereka memiliki pemahaman agama yang hanif, bersih dan lebih mendalam dibanding
generas-generasi Islam setelahnya. Karenanya suatu kewajiban, pemahaman dan
pendapat apapun mengenai agama ini harus merujuk kepada pemahaman ketiga
generasi terbaik tersebut.
Sebagai
bentuk kecintaan kepada agama ini yang telah disampaikan dan didakwahkan oleh
Nabiullah Muhammad saww, adalah suatu keharusan sejarah untuk senantiasa kritis
dan tak berhenti melakukan tahqiq (penelitian) yang serius dan mendalam
terhadap apapun yang dianggap bagian dari agama ini, termasuk terhadap
hadits-hadits yang dikatakan dari Nabi yang merupakan diantara rujukan umat
Islam dalam beraqidah dan beramal. Menelusuri keshahihan sebuah hadits melalui
penelusuran sanad dan kejujuran para perawi adalah salah satu di antara metode
yang digunakan untuk menjaga kemurnian ajaran Islam dari anasir-anasir yang
ingin mencemarinya. Namun tidak pula bisa diabaikan kenyataan sejarah menjadi
salah satu tolok ukur keshahihan dan kebenaran sebuah hadits, bahwa Nabiullah
saww tidak berbicara dan bersabda berdasarkan hawa nafsu belaka, apa yang
beliau sabdakan berasal dari petunjuk Allah swt yang Maha Mengetahui keadaan.
Karenanya bisa ditetapkan, bahwa apapun yang disampaikan dan dinubuatkan oleh
Nabi akan terbukti dan dipersembahkan oleh kenyataan sejarah. Dengan metode ini
kita akan melakukan peninjauan kembali terhadap hadits di atas, benarkah tiga
kurun generasi yang katanya disebutkan oleh Nabi saww tersebut adalah generasi
terbaik?.
Kriteria
Generasi Terbaik
Permasalahan
mendasar yang mesti kita ajukan sebagai pertanyaan, adalah apa yang dijadikan
standar dan kriteria sebuah generasi dikatakan terbaik atau terburuk?. Ada tiga
tolok ukur asumtif yang biasa diajukan kaum salaf dalam memberikan atribut baik
buruknya sebuah generasi.
Pertama,
sebuah generasi disebut terbaik karena tidak adanya perselisihan di antara
mereka dalam masalah ushuluddin dan aqidah. Kedua, karena mereka hidup dalam
kondisi yang aman, tentram, sejahtera dan penuh dengan rasa persaudaraan.
Ketiga, karena mereka menunjukkan loyalitas terbaik terhadap cita-cita agama
dan merealisasikannya dalam tataran implementasi. Mereka gigih menuntut ilmu,
berdakwah dan berjihad demi bertumbuh dan tersebarnya ajaran agama ini.
Namun ketika
ketiga kriteria asumtif tersebut kita gunakan untuk membuktikan terbaiknya tiga
generasi pasca wafatnya Rasulullah saww, sayangnya tidak satupun dari ketiganya
yang membenarkan hadits tersebut, bahkan oleh Al-Qur’an sendiri dan
kontradiktif dengan hadits Nabi lainnya.
Jika tolok
ukurnya adalah akidah yang shahih dan bersih, maka sebuah keniscayaan ketiga
generasi yang dikatakan terbaik, orang-orang muslim semuanya akan berpegang
teguh pada satu akidah yang benar sebagaimana yang disampaikan Rasulullah saww,
dan akidah yang batil dan menyimpang baru akan muncul dan lahir setelah tiga
generasi terbaik tersebut. Namun sejarah lahirnya beragam sekte, firqah dan
mazhab dalam masyarakat Islam menyangkal klaim tersebut. Khawarij muncul
dipenghujung tahun ke-30 H, mereka memiliki akidah yang batil mengenai
keimanan, mereka membunuhi kaum muslimin yang berselisih paham dengan keyakinan
mereka, dengan mudah mereka menyematkan kekafiran kepada banyak kaum muslimin,
sehingga hamparan bumi bersimbah darah karenanya. Belum berakhir satu abad
pertama, kembali muncul Murjiah, mereka mengajak umat Islam untuk berlepas dari
tatanan dan komitmen syariat dengan slogan yang terkesan humanis dan elegan,
“Selama seseorang masih beriman, maksiat apapun yang dilakukan tidak tercatat
sebagai dosa”. Iman bagi paham ini cukup dengan ucapan, sehingga berbagai
kewajiban agama, moralitas dan berbagai kode etik diremehkan dan ditinggalkan.
Tidak lama berselang setelah itu, muncul kembali Mu’tazilah pada tahun 105 H
dengan jarak yang singkat sebelum wafatnya Hasan al Bashri. Kehadiran paham
baru ini semakin membuat jurang perselisihan dan perpecahan kaum muslimin
semakin menganga dan melebar dan bahkan terkadang perselisihan yang ada mesti
diselesaikan dengan pertumpahan darah.
Jika
ukurannya adalah terpeliharanya keamanan, ketentraman dan seluruh kaum muslimin
menyatu dan bersaudara dalam ikatan ukhuwah islamiyah yang erat dan mapan maka
fakta sejarahpun secara tegas menampiknya. Sketsa politik generasi awal Islam
menjadi lembaran sejarah paling hitam dalam sejarah perjalanan umat Islam.
Kurun generasi awal disertai serangkaian peristiwa tragik yang menorehkan tinta
hitam di kening umat Islam. Khalifah kedua sampai keempat mati bersimbah darah
karena fitnah yang dipicu kaum muslimin sendiri. Kecuali khalifah kedua,
khalifah ketiga dan keempat gugur terbunuh di tangan kaum muslimin sendiri.
Meletusnya perang saudara, diantaranya perang Jamal dan Shiffin, pemberontakan
Muawiyah dan kaum Khawarij terhadap khalifah yang dibaiat mayoritas kaum
muslimin jelas merupakan penyimpangan dan kesalahan besar yang mengoyak-ngoyak
persaudaraan dan persatuan kaum muslimin. Tidak bisa dilupakan pula
terbantainya Imam Husain as, cucu kesayangan Rasulullah saww yang disebutkannya
sebagai penghulu pemuda surga dimasa pemerintahan rezim Yazid bin Muawiyah.
Imam Husain as beserta ahlul bait nabi lainnya syahid dibantai secara kejam dan
bengis di padang Karbala, tanpa pembelaan, tanpa pertolongan dari mayoritas kaum
muslimin yang tersebar di semenanjung Arab, Makah, Madinah, Syam, Thaif dan
Kufah serta daerah-daerah Islam lainnya, sementara masih segar dalam ingatan
mereka Rasulullah saww pernah bersabda dan mengingatkan agar Ahlul Bait dan
itrah suci beliau dijaga dan senantiasa berpegang teguh dengan pemahaman mereka
sebagaimana telah menjadikan Al-Qur’an sebagai pegangan dan pedoman hidup.
Tidak cukup puas dengan membantai keluarga Nabi, Yazid bin Muawiyah, atas
perintahnya kehormatan kota Madinah telah tercemari, pembunuhan sejumlah
sahabat Nabi dan Tabi’in, perampasan harta dan pembakaran rumah-rumah penduduk,
bahkan Ka’bahpun dirusak dan diserang. Tragedi ini dikenal dikalangan ulama dan
sejarahwan sebagai tragedi Al-Harrah.
Semua
peristiwa dan tragedi yang memilukan hati ini terjadi sebelum genap abad
pertama Hijriyah, lalu bagaimana mungkin generasi tersebut disebut dan diklaim
sebagai generasi terbaik dan utama?. Sangat sulit melakukan penalaran secara
sehat, bahwa Rasulullah saww telah menetapkan bahwa generasi yang kaum
musliminnya saling bunuh sesamanya disebut sebagai generasi terbaik.
Kalau masa sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in adalah sebaik-baik masa
tentu tidak akan terjadi fitnah dan perpecahan umat. Kalau mereka semuanya
adalah orang-orang terbaik dan pilihan tentu tidak akan terjadi pertumpahan
darah di antara mereka, tentu tidak akan ada sahabat yang membunuh sahabat
lainnya. Sebab orang adil tidak akan membunuh orang lain yang diharamkan Allah
SWT untuk dibunuh. Seandainya seluruh sahabat adil dan masa mereka adalah masa
terbaik tentu tidak akan terjadi pembunuhan kepada Imam Ali as dan kedua
putranya yang merupakan buah kecintaan Rasulullah, dan juga pembantaian atas
ratusan sahabat pada tragedi Al-Harrah. Kalau masa mereka adalah masa terbaik
tentu kekhalifaan diserahkan kepada yang terbaik diantara mereka, bukan
diserahkan kepada orang yang menyalahgunahkan kekhalifaan dan merubahnya
menjadi kerajaan untuk kepentingan keluarganya.
Jika tolok
ukur yang digunakan adalah sikap konsisten dan berpegang teguh terhadap
nilai-nilai luhur yang dibawa Rasulullah saww maka sulit bagi kita membenarkan
hadits yang diriwayatkan Syaikhain (Bukhari dan Muslim) tersebut mengenai
khairu ummah. Bagaimana kita dapat mengimani keshahihan hadits tersebut sementara
Al-Qur’an lebih banyak menyematkan atribut dan sifat-sifat negatif terhadap
kebanyakan kaum muslimin yang sezaman dengan Nabiullah Muhammad saww?.
Al-Qur’an menginformasikan kepada kita kebanyakan dari mereka yang sezaman
dengan Nabi sebagai orang-orang munafik, yang keterlaluan dalam kemunafikannya
(Qs. At-Taubah: 101), masih berpenyakit dalam hatinya, tidak memiliki keteguhan
iman, dan berprsangka jahiliyah terhadap Allah swt (Qs. Ali-Imran: 154), sangat
enggan berjihad (Qs. An-Nisa': 71-72 dan At-Taubah ayat 38), melakukan
kekacauan dalam barisan (Qs. At-Taubah: 47), lari tunggang langgang ketika
berhadapan dengan musuh (Qs. Ali-Imran: 153 dan At-Taubah :
25), bahkan kebanyakan mereka lebih memilih perdagangan dan permainan
daripada mendengarkan Nabiullah Muhammad saww berkhutbah, “Dan apabila mereka
melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan
mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: “Apa yang di
sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik
Pemberi rezki.” (Qs. Al-Jumu’ah: 11).
Tolok ukur
kebenaran hadits adalah tidak mungkin hadits yang disampaikan Rasulullah saww
bertentangan dengan realita yang terjadi. Karenanya secara pribadi, saya
menyangsikan keshahihan hadits ‘khairuh ummah’ ini, hatta diriwayatkan
dan ditulis oleh yang diklaim sebagai Amirul Mu’minin fil hadith sekalipun..
Kalau disuruh memilih saya lebih memilih hadits yang menyatakan, “Sebaik-baik
manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia yang lain.” Ataupun
firman Allah SWT, “Sungguh sebaik-baiknya diantara kamu di sisi Allah ialah
yang paling bertakwa.” (Qs. Al-Hujurat: 13).
Akh, maafkan
saya, kalau lebih memilih firman Allah SWT yang suci dari pada ucapan yang
belum terjamin kemutlakannya pernah disabdakan oleh Nabi-Nya. Allah SWT
berfirman, “Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk
kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran.” (Qs. Al-‘Asr: 1-3).
Ayat ini menegaskan manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka
beriman, mengerjakan kebajikan, saling menasehati untuk kebenaran dan saling
menasehati dalam kesabaran. Allah SWT tidak mempersyaratkan masa dan zaman di
mana seorang hambanya hidup dan bermukim. Seorang manusia tidak pernah memilih
dan tidak punya ikhtiar mengenai kapan dan dimana ia dilahirkan, sebab telah
menjadi hak mutlak Allah swt untuk menetapkannya. Karenanya berdasarkan
falsafah keadilan Ilahi adalah keniscayaan tidak menjadikan semata-mata masa
dan tempat lahir sebagai persyaratan seseorang disebut memiliki kebaikan dan
kemuliaan, melainkan berdasarkan kekuatan iman, kedalaman ilmu dan keikhlasan
amal.
Saya
menemukan sebuah hadits dalam kitab Shahih Muslim no. 578 Jilid I pada Bab
Jenazah (Mayyit), dari Abbad bin Abdullah bin Zubair ra, katanya, bahwa Aisyah
memerintahkan supaya jenazah Sa’ad bin Abi Waqqash dimasukkan ke dalam masjid
untuk dishalatkan. Perintah itu diingkari oleh banyak orang. Berkata Aisyah,
“Alangkah lekasnya orang-orang telah lupa, bahwa Rasulullah saw telah
menyembahyangkan jenazah Suhail bin Albaidha’ di dalam Masjid”. Kita bisa
mengambil kesimpulan sendiri mengenai inti dari riwayat ini, dari sisi mana
generasi mereka dikatakan terbaik di antara generasi Islam jika mereka
sebagaimana kesaksian Ummul Mukminin Aisyah Radiallahu anha begitu lekas lupa
dengan sunnah Nabi-Nya yang mereka menyaksikan sendiri Rasulullah saww
mempraktikannya?.
Sebagai
penutup, saya menyertakan sebuah hadits lainnya yang justru menafikan hadits
‘khairu ummah’ yang diriwayatkan Bukhari-Muslim yang kita bicarakan.
Diriwayatkan dari Abu Jum’ah ra yang berkata “Suatu saat kami pernah makan
siang bersama Rasulullah saww dan ketika itu ada Abu Ubaidah bin Jarrah ra yang
berkata “Wahai Rasulullah saww adakah orang yang lebih baik dari kami? Kami
memeluk Islam dan berjihad bersama Engkau”. Beliau saww menjawab “Ya ada, yaitu
kaum yang akan datang setelah kalian, yang beriman kepadaku padahal mereka
tidak melihatku”. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad
Ahmad juz 4 hal 106 hadis no 17017 tahqiq Syaikh Syu’aib Al Arnauth dimana
beliau berkata hadis ini shahih.
Hadis ini
juga diriwayatkan oleh Ad Darimi dalam Sunan Ad Darimi juz 2 hal 398 hadis no
2744 dengan sanad yang shahih. Dan diriwayatkan pula oleh Al Hakim dalam
kitabnya Mustadrak Ash Shahihain juz 4 hal 85 hadis no 6992 dimana Beliau
berkata hadis tersebut shahih dan disepakati oleh Adz Dzahabi dalam Talkhis Al
Mustadrak .
Saya tidak
akan banyak bercerita soal hadis tersebut karena kata demi kata dalam hadis
tersebut sudah sangat jelas. Kata-kata Abu Ubaidah bin Jarrah ra adakah orang
yang lebih baik dari kami? Itu merujuk pada para Sahabat Nabi . Rasulullah saww
menjawab bahwa ada yang lebih baik yaitu kaum setelah Sahabat, yang beriman
kepada Rasulullah saww walaupun mereka tidak melihat Beliau saww. Lantas ketika
ada riwayat lain menyatakan bahwa sahabat-sahabat nabi adalah generasi terbaik
tidakkah ini kontradiktif dan memancing kita untuk tidak begitu saja menerima?.
Islam adalah perjuangan mencari, bukan kepasrahan menerima.
“Dan mereka
membuat tipu daya, maka Allah pun membalas tipu daya. Dan Allah sebaik-baik
pembalas tipu daya.” (Qs. Ali-Imran: 54).
Wallahu
‘alam bishshawaab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar