BAB 10 : KESIMPULAN
TENTANG SALAFI & WAHABI
Dari pembahasan yang sudah penulis ketengahkan, dapatlah kita
mengambil beberapa kesimpulan tentang kaum Salafi & Wahabi dan fatwa-fatwa
mereka dalam menuduh amalan-amalan bid'ah. Kesimpulan-kesimpulan
berikut ini mencakup aspek aqidah yang mereka yakini dan sikap-sikap ekstrim
mereka yang dilatarbelakangi oleh fatwa-fatwa yang tidak berdasar.
1. Serampangan dalam berdalil. Kaum Salafi
& Wahabi hanya mengandalkan segelintir dalil umum tentang bid'ah
yang mereka paksakan pengertiannya untuk mengharamkan atau menganggap sesat
amalan-amalan khusus dan terperinci. Berdalil dengan cara seperti ini adalah
bathil (tidak benar) dan tidak dikenal di kalangan para ulama. Hal itu
disebabkan oleh cara mereka memahami dalil bid'ah yang sangat tekstual
(harfiyah) dan kasuistik tanpa memenggunakan metodologi para ulama
ushul.Oleh karenanya, fatwa-fatwa mereka yang membid'ahkan
acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., tahlilan, ziarah kubur para wali,
tawassul dengan orang yang sudah meninggal, dan lain sebagainya adalah merupakan
pemerkosaan terhadap dalil dan penipuan terhadap umat, sebab perkara-perkara
tersebut tidak pernah disebutkan larangannya baik di dalam al-Qur'an maupun di
dalam hadis Rasulullah Saw. Adakah kebohongan yang lebih buruk dari
kebohongan dengan mengatasnamakan Rasulullah Saw., saat mereka merincikan
perkara bid'ah yang tidak pernah beliau sebutkan dalam hadis beliau,
lalu mereka berkata Maulid atau tahlilan adalah bid'ah & sesat
berdasarkan hadis "Setiap bid'ah adalah kesesatan"? Harusnya mereka
sadar, bahwa sampai wafatnya, Rasulullah Saw. tidak pernah menyebutkan rincian
hadis "setiap bid'ah adalah kesesatan" bahwa maksudnya adalah Maulid
atau tahlilan.
Bahkan mereka tidak segan-segan menggunakan ayat-ayat
al-Qur'an yang berbicara tentang orang kafir atau musyrik penyembah berhala
sebagai dalil untuk menganggap sesat kaum muslimin yang melakukan peringatan
Maulid, tahlilan, tawassul, dan lain sebagainya. Bagaimana mungkin mereka dengan
tega menyamakan saudaranya yang muslim dan beriman dengan para penyembah
berhala, sedang Allah saja jelas-jelas membedakannya?
2. Terkesan Mendikte Allah . Kaum Salafi &
Wahabi telah memposisikan Allah seperti yang mereka inginkan. Ini terbersit
ketika mereka berkata, bahwa orang yang melakukan tahlilan atau
peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. telah melakukan hal yang sia-sia dan tidak
ada pahalanya, padahal pada acara tersebut orang jelas-jelas melakukan
amal shaleh berupa silaturrahmi, berzikir, membaca al-Qur'an, membaca shalawat,
menuntut ilmu, mendengarkan nasihat, berbagi makanan, berdo'a, mengenang Nabi
Saw. dengan membaca riwayat hidup beliau, dan memuliakan Nabi Saw. serta memupuk
kecintaan kepada beliau, yang masing-masing itu jelas-jelas diperintahkan oleh
Allah secara langsung maupun tidak langsung dan dijamin mendapat pahala. Ini
merupakan kejanggalan besar di dalam aqidah, sebab Allah Maha Pemurah, tidak
pelit seperti mereka. Allah Maha Berkehendak untuk memberi pahala kepada siapa
yang Ia kehendaki, dengan begitu Ia tidak bisa diatur oleh makhluk-Nya.
3. Berpandangan Sekuler , yaitu dengan membagi
pengertian bid'ah menjadi dua: Bid'ah yang terlarang yaitu bid'ah agama
(bid'ah diiniyyah) dan bid'ah yang menyangkut urusan dunia (bid'ah
duniawiyyah) yang mereka anggap wajar atau boleh-boleh saja menurut
kebutuhan. Bukankah semua urusan di dunia ini memiliki dampak dan resiko di
akhirat nanti? Berarti, agama dan dunia tidak bisa dipisahkan, di mana tidak
mungkin menjalankan agama tanpa fasilitas dunia, sebagaimana tidak mungkin
selamat bila orang menjalani hidup di dunia tanpa tuntunan agama. Dalam hal ini,
sebenarnya mereka sudah melakukan bid'ah yang sangat fatal (yang melanggar fatwa
mereka sendiri), yaitu membagi defininisi bid'ah dengan pembagian yang tidak
pernah disebutkan oleh Rasulullah Saw. dan para Sahabat beliau.
4. Menanamkan Kesombongan & Kebencian ,
yaitu dengan mendoktrin para pengikutnya untuk menganggap sesat amalan orang
lain dan menjauhi amalan tersebut, serta menganggap bahwa kebenaran hanya yang
sejalan dengan mereka. Pada kenyataannya di lapangan, Wahabi & Salafi bukan
saja telah mendoktrin untuk menjauhi suatu amalan, tetapi sekaligus menjauhi
para pelakunya, dan ini berbuntut pada rusaknya hubungan silaturrahmi. Lebih
parahnya lagi, sebagian mereka juga menanamkan kebencian terhadap para ulama
yang menulis kitab-kitab agama dengan ikhlas hanya karena tidak sejalan dengan
paham Salafi & Wahabi.
5. Berpandangan Materialisme , yaitu dengan
hanya mengakui manfaat zhahir yang terlihat dari sebuah perbuatan, dan
mengingkari manfaat batin yang justeru lebih berharga dari manfaat zhahir.
Terbukti, mereka lebih memilih memberi makan atau santunan kepada fakir-miskin
atau anak yatim dalam rangkaian aksi sosial yang mereka yakini berpahala,
daripada memberi peluang mendapat rahmat, ampunan, dan hidayah dalam acara
tahlilan atau peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. yang mereka yakini sia-sia.
Padahal di dalam acara tahlilan atau Maulid, orang bukan cuma diberi peluang
mendapat rahmat, ampunan, dan hidayah, tetapi juga diberi makan! Memang,
menurut Wahabi & Salafi, mengenyangkan perut orang lapar berarti
menyelamatkannya dari jurang kekafiran. Sayangnya, setelah selamat dari jurang
kekafiran, orang itu dijerumuskan ke jurang kesombongan, dan kesombongan adalah
jalan lain menuju kekafiran.
6. Menyalahkan & Mendiskreditkan Orang
Lain , yaitu dengan menuduh amalan orang lain sebagai amalan syirik
atau sesat tanpa upaya mencari tahu alasan-alasan mengapa amalan itu dilakukan.
Sebenarnya, Wahabi & Salafi yang tidak kreatif ini sudah kehabisan tempat di
hati masyarakat, sehingga tidak ada cara yang lebih bagus untuk merebutnya
kecuali dengan menjelek-jelekkan atau menebarkan keragu-raguan di hati
orang-orang yang sudah biasa mengikuti ajaran para ulama. Maklumlah,
tidak ada cara yang lebih jitu bagi seorang pedagang yang culas untuk melariskan
dagangannya selain dengan mencela-cela dagangan orang lain di hadapan para
pelanggan!
7. Memberikan Tuduhan Palsu . Peringatan
Maulid Nabi Muhammad Saw., ratiban, dan tahlilan hanyalah merupakan
tradisi atau kebiasaan yang dijalankan oleh
masyarakat sejak masa dahulu yang diyakini mengandung kebaikan. Masyarakat pun
tahu bahwa tradisi itu boleh-boleh saja diadakan atau tidak diadakan menurut
kondisi. Namun kaum Wahabi & Salafi menilai hal tersebut dari sudut pandang
mereka sendiri, dengan mengatakan bahwa masyarakat itu telah menjadikan acara
tersebut sebagai bagian dari pokok ajaran agama atau
syari'at yang diada-adakan tanpa dasar. Lebih buruk lagi, tidak
jarang mereka mengambil dalil dari ayat-ayat al-Qur'an yang konteks sebenarnya
ditujukan untuk orang kafir atau musyrik penyembah berhala, mereka arahkan
tudingan ayat itu untuk pelaku Maulid atau tahlilan yang sudah jelas tidak
menyembah berhala. Aneh memang, mereka yang menuduh, mereka sendiri yang
menyalahkan, dan ini adalah fitnah besar! Ibaratnya, nasi kuning
hanyalah makanan biasa. Kalau tidak doyan, tidak perlu menuduhnya sebagai
peninggalan hindu yang biasa dibuat dalam rangka mengagungkan dan memberi
persembahan pada dewa-dewa! Sungguh terlalu!
8. Mudah Mengharamkan Sesuatu yang Tidak Dijelaskan
Keharamannya di dalam al-Qur'an atau Hadis . Misalnya, tahlilan,
tawassul, dan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw itu mereka anggap haram,
karena termasuk bid'ah sesat. Padahal Rasulullah Saw. sampai wafatnya
tidak pernah menyebutkan bahwa yang beliau maksud "..setiap bid'ah itu
kesesatan…" adalah tahlilan, tawassul, dan peringatan Maulid. Di
sini tampak keculasan mereka; untuk menyalahkan orang lain mereka gunakan dalil
umum (tidak terperinci), sedangkan untuk membenarkan amalan ibadah mereka,
mereka gunakan dalil khusus (kasuistik/berdasarkan kasus-perkasus yang ada di
dalam riwayat hadis). Akibatnya mereka sering berkata, "Tidak ada dalil
yang membenarkan peringatan Maulid". Semestinya mereka juga berpikir, "Tidak ada
dalill yang melarang peringatan Maulid", karena Rasulullah Saw. tidak pernah
menyebutkannya! Yang dilarang itu bid'ah, bukan Maulid, bung!
9. Membatasi Kemampuan & Kemurahan Allah .
Saat mereka menganggap pahala amal orang hidup tidak bisa sampai kepada orang
yang sudah meninggal padahal orang tersebut telah berdo'a kepada Allah untuk
menyampaikannya, seolah mereka menganggap Allah lemah dan tidak mampu
menyampaikan pahala itu kepadanya, dan menganggap Allah pelit sehingga tidak mau
memenuhi permintaan hamba-Nya untuk menyampaikan pahala itu. Padahal, Allah
sudah menjamin dalam firman-Nya, "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya Aku
perkenankan bagimu …" (QS. Al-Mu'min: 60) dan "Aku tergantung sangkaan
hamba-Ku, maka hendaklah ia menyangka kepada-Ku sekehendaknya" (Hadits
Qudsi riwayat Imam Ahmad), diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Ra. ia berkata:
“Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain-Nya, tidaklah seorang hamba
berprasangka baik kepada Allah melainkan Allah akan memberikan apa yang ia
sangkakan. Hal itu karena kebaikan (semuanya) ada pada Allah” (HR.
Thabrani).
10. Menipu dan Membodohi Umat
. Nyata betul bahwa mereka telah banyak berfatwa dan menuduh berbagai
amalan berbau agama sebagai bid'ah sesat dengan fatwa-fatwa yang tidak
berdasar pada dalil, lalu mereka ungkapkan fatwa-fatwa itu atas nama Rasulullah
Saw., padahal beliau tidak pernah menyebutkannya. Keculasan itu semakin
bertambah buruk, dengan upaya mereka membatasi pola pikir umat dengan belenggu
Sunnah & Bid'ah, serta menutup akses pengikutnya dari
mendapatkan penjelasan agama dari selain kaum Salafi & Wahabi. Akibatnya,
para pengikutnya menjadi orang-orang sombong yang merasa benar sendiri, dan
menutup diri dari sumber-sumber informasi agama yang tidak sejalan dengan paham
Salafi & Wahabi.
11. Memecah Belah Ukhuwah Islamiyah.
Sebagaimana telah dibahas di dalam buku ini, bahwa di antara
fatwa-fatwa Kaum Salafi & Wahabi terdapat fatwa yang mengharuskan
pengikutnya untuk menjauhi orang yang mereka tuduh melakukan bid'ah,
tidak mencintainya, tidak mengucapkan salam kepadanya, bahkan tidak
menjenguknya. Fatwa seperti ini bisa dibenarkan, bila pengertian bid'ah
yang dimaksud adalah seperti yang dijelaskan oleh para ulama, yaitu apa saja
yang bertentangan dengan prinsip ajaran al-Qur'an dan Sunnah. Tetapi sayangnya,
karena pengertian bid'ah yang dilansir kaum Salafi & Wahabi tidak
jelas, mencakup segala sesuatu yang baru berbau agama tanpa terkecuali meski
sejalan dengan prinsip agama sekalipun, maka keharusan bersikap antipati
terhadap ahli bid'ah itu jadi tidak jelas sasarannya. Dengan begitu
mereka merasa benar ketika harus membenci dan menjauhi saudaranya yang muslim
yang tidak benar-benar melakukan kesalahan atau bid'ah.
Pada kasus ini, penulis telah menerima laporan-laporan
masyarakat di mana ada jama'ah Mushalla yang sejak terpengaruh ajaran Salafi
& Wahabi, mulai senang mengisolir diri dan tidak mau memberi salam atau
bersamalan dengan jama'ah yang lain, padahal sebelumnya orang tersebut biasa
duduk bersama saat pengajian di Mushalla. Orang-orang seperti ini tetap datang
ke masjid atau mushalla, sebab menurut ajaran mereka, shalat berjama'ah wajib
hukumnya. Sayangnya, dalam melaksanakan yang wajib, ada perkara wajib yang lain
yang mereka tinggalkan, yaitu menjaga hubungan silaturrahmi dan tidak membenci
saudaranya sesama muslim. Jadi bagaimana hukumnya, mengerjakan shalat berjama'ah
sambil melakukan dosa besar, apakah dibenarkan sikap seperti itu di dalam
agama??! Jawabnya, tentu tidak!
12. Menarik Umat Kepada Kemunduran
Berpikir. Ada banyak masalah yang perlu dipikirkan
menyangkut kemaslahatan dan kemajuan bagi umat Islam di berbagai bidang,
sebagaimana juga perlu dipikirkan bagaimana caranya orang-orang Islam yang
kurang taat dan senang bermaksiat, mau bertobat dan kembali kepada ketaatan. Di
samping itu, masih banyak orang-orang kafir yang perlu didakwahi agar mau
memeluk agama Islam. Masalah-masalah itu dan juga banyak lagi yang lainnya,
hampir terbengkalai hanya karena disibukkan oleh perdebatan lama tentang
bid'ah yang sebenarnya sudah selesai dibahas oleh para ulama sejak
berabad-abad silam. Kaum Salafi & Wahabi menyajikan pembahasan
tentang bid'ah itu seolah ia merupakan kebenaran yang baru ditemukan,
dan mereka membuat perhatian kepada ibadah yang sesuai sunnah serta menjauhi
bid'ah seolah lebih penting dari perkara apapun menyangkut
agama. Tidak sadarkah mereka, bahwa sebenarnya mereka telah menyeret
umat untuk berpikir mundur beberapa abad ke belakang, dan melalaikan hal-hal
penting di masa sekarang.
13. Berbeda dari Mayoritas Ulama. Berbeda
pendapat itu biasa, tetapi menganggap sesat setiap orang yang berpendapat beda
adalah perkara yang luar biasa. Terlebih lagi jika berbeda dengan pendapat
mayoritas ulama, lalu menganggap sesat para ulama tersebut hanya karena tidak
sependapat. Kaum Salafi & Wahabi ini bukan saja banyak berbeda paham dalam
hal bid'ah dengan mayoritas ulama, tetapi mereka juga berbeda
metodologi dalam memahami dalil-dalil. Dan jika kaum Salafi & Wahabi yang
minoritas ini merasa benar dengan pendapatnya, maka perasaan benar itu akan
mendorong mereka mengacuhkan para ulama mayoritas yang berbeda dari mereka. Ini
adalah ancaman besar, yaitu bila paham Salafi & Wahabi ini menyebar luas di
kalangan umat Islam, maka akan terjadi kepunahan referensi agama secara halus,
di mana banyak ulama akan dilupakan orang dan banyak kitab-kitab karya mereka
yang tidak dipedulikan.
14. Bukan Pengikut Salaf atau Ahlussunnah
Wal-Jama'ah. Kaum Salafi & Wahabi tidak pantas disebut sebagai
pengikut ulama salaf, karena mereka tidak benar-benar mengikuti seluruh
pandangan ulama salaf, melainkan hanya memilih-milih pendapat ulama salaf yang
sejalan dengan paham mereka. Mereka juga tidak pantas disebut sebagai pengikut
Ahlussunnah Wal-Jama'ah, karena banyak fatwanya yang bertolak belakang
dengan ijma' ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah, seperti dalam
masalah ziarah kubur, tawassul dengan Rasulullah Saw. setelah wafatnya, masalah
qadha' shalat, dan lain sebagainya. Sebenarnya, paham Salafi &
Wahabi ini adalah paham baru yang belum pernah ada di masa para ulama salaf dan
setelahnya. Diduga cikal bakal paham ini baru ada di masa Ibnu Taimiyah (sekitar
abad ke-8 H.). Jadi, amat tidak pantas kalau para ulama salaf atau para
ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah mereka klaim sebagai pelopor paham mereka
yang kemudian dikenal sebagai Salafi & Wahabi, sedangkan munculnya paham ini
saja jauh masanya setelah masa para ulama tersebut.
- Tidak Memiliki Format Ajaran yang Jelas. Akibat tidak menggunakan metodologi ulama ushul (ulama yang ahli mengenai pembahasan dasar-dasar ajaran agama) di dalam membahas dalil-dalil tentang bid'ah, maka kaum Salafi & Wahabi terjebak di dalam pembahasan dan fatwa yang tidak seragam. Apalagi mereka hanya merujuk pendapat ulama salaf tanpa melalui mata-rantai penjelasannya dari para ulama setelah mereka, maka keseragaman paham itu menjadi hal yang kemungkinannya sangat kecil. Oleh karena itu, antara mereka saja banyak terjadi perbedaan pendapat. Hal ini terjadi karena masing-masing mereka selalu berupaya merujuk langsung suatu permasalahan kepada al-Qur'an, hadis, dan pendapat ulama salaf. Tentunya, kapasitas keilmuan dan kemampuan yang berbeda dalam memahami dalil, akan memunculkan perbedaan pandangan dalam menyimpulkan dalil tersebut. Asal tahu saja, proses seperti inilah yang banyak memunculkan aliran-aliran sesat dan nabi-nabi palsu di Indonesia, di mana setiap pelopornya merasa berhak mengkaji dalil secara langsung dan memahaminya menurut kemampuannya sendiri.
Sungguh berbeda dari ajaran mayoritas ulama yang mentradisikan
proses ijazah (pernyataan pemberian ilmu atau wewenang dari seorang
guru kepada murid), serta pembacaan dan pengajaran kitab-kitab para ulama secara
berantai dan turun-temurun dari generasi ke generasi, sehingga apa yang dipahami
oleh seorang guru yang hidup di masa lampau akan sama persis dengan yang
dipahami oleh seorang murid yang hidup belakangan, berapapun jarak antara masa
hidup keduanya. Maka kita dapat melihat perbedaan yang nyata antara pengikut
paham Salafi & Wahabi dengan para pengikut ulama mayoritas dalam
ungkapan-ungkapan penyampaian mereka.
Kaum Salafi & Wahabi akan banyak berkata, "Berdasarkan
firman Allah …" atau "Berdasarkan sunnah/hadis Rasulullah Saw. …".
Sedangkan para pengikut ulama mayoritas akan banyak berkata, "Menurut Imam
Nawawi di dalam kitab beliau …, menurut Imam Ghazali di dalam kitab beliau …,
telah disebutkan oleh Imam as-Subki di dalam kitab beliau …, Syaikh Salim bin
Sumair al-Hadhrami di dalam kitab beliau berkata …," dan lain sebagainya.
Bila ditanyakan, bukankah lebih tinggi al-Qur'an dan
hadis daripada pendapat para ulama? Benar, tetapi masalahnya bukan pada
al-Qur'an atau hadisnya, melainkan pada pemahamannya. Dengan begitu seharusnya
mereka juga bertanya, mana yang lebih bagus dan lebih selamat, menyampaikan ayat
al-Qur'an dan hadis dengan pemahaman sendiri, atau menyampaikan pemahaman para
ulama tentang ayat al-Qur'an atau hadis? Terbukti, ternyata kaum Salafi &
Wahabi banyak keliru menempatkan dalil karena mereka memahami dalil tersebut
secara harfiyah (tekstual).
Penulis memandang, bahwa fatwa-fatwa kaum Salafi & Wahabi
sebagaimana telah dibahas di dalam buku ini, sangat berbahaya bagi persatuan dan
kebersamaan umat Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Bukan Cuma itu, bahkan
paham ini penulis anggap sebagai paham yang mengandung penyimpangan di dalam
aqidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah yang diyakini oleh mayoritas ulama dari
zaman ke zaman.
Bila paham Salafi & Wahabi ini dipegang seseorang secara
pasif (untuk pribadi) dan bijaksana (dalam menyikapi perbedaan), maka bahaya
tadi dapat dihindari dengan sendirinya. Tetapi bila paham ini diyakini sebagai
"yang benar" dan yang tidak sejalan dengannya adalah "sesat", maka paham ini
berarti mengandung ekslusivisme (merasa istimewa sendiri) yang akan memunculkan
sifat sombong pada diri pengikutnya. Dan bila paham ini dipegang secara aktif
(dipromosikan dan didakwahkan), maka akan terbuka peluang-peluang terjadinya
bahaya seperti disebutkan di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar