“Tradisi
mauludan memiliki peran yang sangat signifikan dalam menjaga umat dari berbagai
musibah yang mengancam. Tradisi ini bukan hanya akan membangkitkan atau menyuburkan
kembali kecintaan mereka kepada nabinya, namun ia berpotensi mengantar mereka
kepada pintu kejayaan dan kebahagiaan yang abadi.”
Bulan Rabiul
Awwal salah satu bulan Hijriah yang memiliki khas tersendiri bagi kaum muslimin
di seluruh dunia. Hal ini tidak lain dikarenakan pada bulan ini telah
dilahirkan nabi mereka, manusia teragung sepanjang sejarah manusia, manusia
yang kelahirannya telah diberitakan puluhan abad sebelumnya dan menjadi kabar
gembira yang bersumber dari lisan suci para pembawa risalah Ilahi.
Kecintaan
dan kesetiaan umat Islam terhadap nabi mereka telah menjadikan mereka
beratusias untuk selalu mengenang dan mengabadikan sejarah kehidupannya, mengingat
perjuangan dan jasa yang telah diberikannya. Salah satu manifestasi dari tujuan
ini, ialah dengan memperingati hari kelahiran manusia pilihan ini.
Dengan
memperingati kelahiran nabi yang biasa disebut dengan Mauludan, kaum muslimin
berupaya menjaga dan menghidupkan misi serta ajaran yang dibawa nabi mereka,
sehingga ajaran ini tetap eksis di tengah masyarakat dan hidup di kalbu umat
dari generasi ke generasi.
Bayangkan,
andai saja umat Islam enggan mengenang sejarah nabi mereka, maka lambat laun sirah
dan ajarannya akan terlupakan. Generasi yang akan datang tidak lagi akan
mengenal kepribadian agung nabi terakhir, yang tentunya hal ini akan menjauhkan
mereka dari hidayah yang dibawanya.
Saat kaum
muslimin tidak mengenal pribadi dan sirah nabi mereka, maka berbagai musibah
besar akan datang menimpa. Beragam bid’ah dan inovasi dalam agama akan
bermunculan secara ekstrim tanpa ada yang mampu membendungnya, kejahilan umat
akan ajaran nabi mereka menjadikan mereka kehilangan barometer yang dapat
membedakan antara ajaran sebenarnya dan yang telah terdistorsi, antara ajaran
asli Ilahi dan ajaran baru syaitani.
Pesan-pesan
suci qur’ani akan kehilangan fungsinya, karena umat tidak lagi memahami dan
mengamalkannya. Pilar-pilar kekuatan umat Islam akan runtuh, sehingga bukan
hanya dalam ideologi dan iman, namun dalam berbagai ranah baik politik, sosial,
ekonomi, budaya, mereka akan mengalami keterpurukan. Agama Ilahi yang sempurna
pun akan menjadi bahan cemoohan sebagai imbas dari kondisi memprihatinkan para
pemeluknya. Tradisi mauludan memiliki peran yang sangat signifikan dalam
menjaga umat dari berbagai musibah yang mengancam.
Tradisi ini
bukan hanya akan membangkitkan atau menyuburkan kembali kecintaan mereka kepada
nabinya, namun ia berpotensi mengantar mereka kepada pintu kejayaan dan
kebahagiaan yang abadi. Bagaimana tidak, dengan memperingati hari kelahiran
Nabi tercinta Saw, kita akan mengenal kepribadian agungnya dan misi suci yang
diperjuangkannya, tentunya pengenalan ini akan melahirkan tekad pada diri kita
untuk mengimplementasikan misi tersebut dalam diri dan masyarakat sekitar kita.
Dengan
mengamalkan ajaran suci Nabi Saw, umat akan mampu melewati berbagai rintangan
sehingga mereka berhasil mencapai kejayaan dan kebahagian hakiki yang menjadi
tujuan penciptaan manusia itu sendiri. Memperingati kelahiran Rasulullah Saw
bukan hanya selaras dengan fitrah dan naluri manusia sebagai umat yang
mencintainya, namun ia juga sejalan dengan tujuan pengutusan para nabi,
penurunan kitab suci dan pensyariatan hukum-hukum Ilahi. Tidak diragukan,
kecintaan yang tertanam pada diri seseorang akan memotifasinya untuk
mengagungkan dan mengenang pribadi yang dicintainya.
Di saat yang
sama, misi Ilahi dalam membawa manusia kepada hidayah dan jalan menuju
cahaya-Nya, juga tersirat dalam tradisi mulia ini. Para nabi adalah penyampai
risalah Ilahi kepada manusia, dengan mengenalkan masyarakat kepada pengemban
misi suci ini, berati kita telah mendekatkan mereka kepada hidayah yang
terkandung di dalamnya. Dengan demikian, tradisi maulid adalah salah satu
bentuk dari upaya menyampaikan misi Ilahi yang menjadi tanggung jawab para
nabi. Perkara agung yang untuk merealisasikannya, Allah Swt rela mengorbankan
para kekasih-Nya dilecehkan bahkan dianiaya oleh para musuh-Nya.
Betapa
banyak utusan Allah yang mati syahid ditangan umatnya sendiri dikarenakan
mereka tidak bersedia meninggalkan misi yang diembannya itu. Semua ini
menunjukkan betapa besarnya urgensitas perkara tersebut, sehingga Allah Swt pun
menjanjikan imbalan yang sangat besar bagi mereka yang menjalankannya. “Dan
barangsiapa menghidupkan satu jiwa, ia bagaikan menghidupkan seluruh jiwa
manusia.” (QS. Al-Maa’idah [5] : 32)
Ulama dan
kaum mukmin dengan mencontoh nabi mereka dan berharap ridha Ilahi, sepanjang
masa selalu berupaya mengisi peran Rasul Saw sebagai perantara hidayah Ilahi
kepada umat manusia. Berbagai bentuk upaya telah dikerahkan demi terealisasinya
tujuan ini, yang salah satunya adalah dengan merayakan hari kelahiran nabi
terakhir utusan termulia Tuhan. Oleh karenanya, tradisi maulid tidak bisa
dikatagorikan sebagai bid’ah atau inovasi baru dalam agama, karena ia merupakan
variasi dari upaya penyebaran risalah Ilahi yang telah diperintahkan sejak
diturunkannya Adam as ke muka bumi, bahkan merupakan tujuan utama penciptaannya.
Tidak bisa
dibayangkan, bagaimana jika seluruh kaum muslimin meyakini bahwa memperingati
kelahiran nabi mereka adalah perbuatan bid’ah dan ritual yang meyimpang, maka
cepat atau lambat berbagai musibah besar akan menimpa mereka. Mereka akan merasa
asing dan terjauhkan dari simbol terbesar hidayah Ilahi, tidak lagi mengenal
serta menyadari akan ajaran suci nan sempurna yang dibawa oleh Nabi Saw, dan
pada akhirnya mereka akan terjerumus kepada propaganda besar musuh-musuh Islam
sehingga mereka pun akan mengalami keterpurukan yang fatal. Mengapa perayaan
maulid dianggap bid’ah oleh sebagian kolompok umat Islam?
Apakah
mereka tidak mengetahui maksud dari bid’ah yang sebenarnya? Mungkinkah mereka
tidak mencintai pribadi yang mereka anggap sebagai nabi pembawa hidayah dan
kebahagiaan hakiki bagi diri mereka? Ataukah ada niat tersembunyi di balik
pandangan yang sangat kontrafersial ini? Jika perayaan besar ini dianggap
bid’ah hanya lantaran tidak pernah dilakukan oleh para salaf, maka akan banyak
sekali tradisi umat Islam yang tergolong bid’ah. Bukan hanya tahlilan dan doa
bersama, tetapi menggunakan pakaian yang kita miliki saat ini untuk
melaksanakan shalat juga termaksud bid’ah. Karena kaum salaf tidak pernah
menggunakan pakaian model seperti ini saat melakukan shalat. Dakwah via
internet pun termaksud bid’ah, karena tidak ada satu sejarawan pun yang
mengatakan bahwa ada dari salaf yang pernah berdakwah melalui internet. Seorang
yang berakal dan bijak, tidak akan melakukan sesuatu yang berdapak besar sebelum
ia meneliti dan mengkaji terlebih dahulu.
Oleh
karenanya, alangkah baiknya jika kelompok yang membid’ahkan maulid itu terlebih
dahulu mempelajari pengertian dari bid’ah sebelum mereka mengutarakan dan
menyakini pandangan berbahaya tersebut. Bulan Rabuil Awwal adalah bulan yang
mulia, bulan ini adalah momentum yang sangat tepat bagi kaum muslimin untuk
kembali merapatkan barisan mereka. Karena pada bulan inilah telah dilahirkan
pribadi mulia yang menjadi panutan seluruh umat Islam di mana pun mereka berada
dan apa pun aliran serta mazhab yang dianutnya. Saat ini musuh-musuh Islam
dengan segala daya dan dengan berbagai fasilitas yang mereka miliki, semangkin
gencar dan agresif dalam memerangi Islam dan kaum muslimin.
Di mata
mereka tidak ada Sunni dan Syiah, Syafii dan hanafi, Jakfari atau Zaydi, yang
ada di benak mereka, umat Islam adalah satu yang mereka anggap sebagai kaum
yang tidak berguna, yang hanya layak diperbudak atau dimusnahkan.
Hukum
Maulid
Meskipun di
negeri ini secara resmi hari Maulid Nabi ditetapkan sebagai hari besar
keagamaan, kita tidak bisa memungkiri keberadaan kelompok Islam yang enggan
untuk turut memperingatinya. Keengganan itu patut kita apresiasi sebagai bentuk
kecintaan juga.
Sebab
keengganan mereka dikhawatirkan bahwa perbuatan tersebut terkategorikan bid’ah
yang dilarang Islam. Atau minimal menyerupai perayaan kelompok Nashrani yang
memperingati kelahiran Yesus Kristus. Sebab Nabi Saw telah mewanti-wanti,
“Siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dalam golongan kaum itu”
(Sunan abu Dawud Juz 4/78).
Tentu
pendapat tersebut patut dihargai, bukan dijadikan dalih untuk saling bermusuhan
dan berpecah belah. Namun tetap patut diketahui, setidaknya oleh dua
ulama besar Islam, Syaikh Ibnu Hajar al Atsqalani dan Imam Jalaluddin as-Suyuti
meskipun tetap menyebut peringatan Maulid Nabi sebagai amalan bid’ah namun
tidak mengkategorikannya sebagai bid’ah yang terlarang melainkan bid’ah hasanah
(inovasi yang baik). Keduanya mengatakan bahwa status hukum maulid Nabi adalah
bid’ah mahmudah (bid’ah terpuji).
Karenanya
bisa dikatakan, bahwa tidak semua yang tidak dilakukan Nabi itu tertolak dan
dipastikan sebagai bid’ah sesat. Untuk menguatkan pendapatnya, Ibnu Hajar
menukil hadits Nabi Saw, “Siapa saja yang membuat suatu tradisi yang baik
(tidak bertentangan dengan syariat) maka dia mendapatkan pahala dan pahala
orang yang mengerjakannya” (Shahih Bukhari).
Penghayatan
dan Kesemarakan
Tidak ada
seorang Muslimpun yang mengingkari wajibnya memberikan kecintaan kepada Nabi
bahkan diharuskan melebihi dari kecintaan terhadap diri sendiri. Para sahabat
mengapresiasikan kecintaannya kepada Nabi dengan mencintai apa saja yang datang
dari beliau, hatta ludah sekalipun.
Karena
kecintaan kepada Nabi Saw, para sahabat berebutan mengambil lembaran rambut,
tetesan air wudhu, keringat, atau apa saja yang ditinggalkan Rasul. Salah satu
ungkapan cinta ialah mengenang dan memuliakan atsar, yakni apa saja –waktu,
peristiwa, tempat- yang berkaitan dengan yang kita cintai.
Lihatlah,
dinegara manapun selalu ada monumen-monumen besar untuk mengenang peristiwa
besar, tempat-tempat bersejarah dan momen-momen penting dari pemimpin negara
yang mereka cintai, setiap Negara bahkan termasuk Kerajaan Arab Saudi sekalipun
setiap tahunnya memperingati ulang tahun negaranya. Karena itulah, sangat
sulit orang untuk melarang kaum muslimin untuk memperingati maulid nabi,
peristiwa Hijrah, Isra’ Miraj, Nuzulul Quran dan momen-momen penting lainnya
yang berkaitan dengan sang kekasih Muhammad Saw meskipun peringatan tersebut
dikatakan bid’ah.
Selama kaum
muslimin mencintai Nabi, selama itu pula peringatan dan ziarah ke makam, gua
Hira dan sebagainya akan terus berlangsung. Imam As-Suyuti mengapresiasi
peringatan maulid sebagai ungkapan syukur atas diutusnya Nabi Muhammad Saw ke
muka bumi. Penuturan ini dapat dilihat dalam Kitab Al-Ni’mah Al-Kubra Ala
Al-Alam fi Maulid Sayyid Wuld Adam.
Memperingati
maulid Nabi adalah ungkapan kecintaan sekaligus kesyukuran atas kehadiran
beliau di muka bumi menghidayai ummat manusia dan menyelematkannya dari lembah
kesesatan. Karenanya, peringatan ceremonial semacam maulid sangatlah
dibutuhkan umat akhir-akhir ini, sebagai momentum untuk membincangkan keagungan
dan kemuliaan nabi Muhammad Saw, untuk menyiarkan banyak dari sunnah-sunnah
nabi yang terabaikan, untuk lebih memperkenalkan kemulian akhlak Rasulullah
kepada mereka yang memendam dendam dan kebencian karena ketidak tahuan.
Saya rasa
kita punya kaidah penetapan hukum untuk itu, bahwa setiap yang menjadi perantara
pelaksanaan amalan yang wajib maka wajib pula pelaksanaannya. Membeli baju
hukumnya mubah, namun menjadi wajib jika kita tidak memiliki baju untuk menutup
aurat dalam pelaksanaan shalat.
Mengenang
apapun yang berkenaan dengan Rasulullah menjadi wajib hukumnya karena menjadi
syarat untuk menimbulkan kecintaan kepada Rasulullah Saw yang merupakan
kewajiban bagi kaum muslimin. Hari kelahiran Nabi sesungguhnya termasuk
hari-hari Allah tentangnya Allah berfirman, “Keluarkanlah kaummu dari kegelapan
kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.”
(Qs. Ibrahim: 5).
Mari kita
jadikan Rabiul Awal (yang masyhur dikenal sebagai bulan lahir dan wafatnya
Rasulullah Muhammad Saw) sebagai momentum untuk memperingatinya, sebagai ungkapan
kecintaan kita kepada Rasulullah Saw, untuk menghidupkan ghirah keislaman kita,
membina semangat profetis agar bulan-bulan selanjutnya sampai ke bulan Rabiul
Awal selanjutnya yang kita lakukan adalah kerja-kerja kenabian.
Secara
sosiologis, dengan asumsi kehidupan manusia di abad ini, dengan kecenderungan
bergaya hidup konsumeristik, hedonistik, dan materialistik, punya andil cukup
besar terhadap terkikisnya tingkat kesadaran seseorang termasuk
kecenderungannya dalam beragama, maka peringatan maulid Nabi menjadi tuntutan
religius yang penting. Kita berupaya menumbuhkan kecintaan kepada
Rasulullah agar membuat takjub kaum muslimin dan pada saat yang sama membuat
murka musuh-musuh Islam.
Kesemarakan
yang terjadi dalam setiap peringatan Maulid bukanlah untuk dilarang, tetapi
untuk diluruskan penyimpangan yang terjadi di dalamnya, untuk diarahkan kepada
penghayatan makna peringatan perjalanan nabi sesungguhnya. Kesemarakan adalah
bagian dari syiar agama, sementara syiar sendiri bagian dari pendalaman agama.
Dengan syiar
para ulama atau tokoh agama bisa berperan dalam membina masyarakat.
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu
bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Adz Dzazariyat : 55)***
Suatu hari,
disebuah masjid kampung, dipingggiran kota, sehabis shalat Ashar berjama’ah,
seorang anak muda, yang tampak begitu saleh dengan bekas sujud yang tampak
jelas di dahinya dan penampilannya yang sedemikian islami dengan baju koko dan
kopiah yang serba putih, mendekati imam masjid yang sudah sedemikian berumur.
Keriput diwajah imam masjid itu sedemikian jelas disertai tubuh yang mulai
membungkuk. Dia sedang membereskan sajadahnya, memasukkan mic kedalam kotaknya
dan menutup lemari yang berisikan deretan kitab Al-Qur’an dan beberapa majalah
bulanan Islam. Sementara jama’ah sudah meninggalkan masjid satu-satu dan
menyisakan mereka berdua.
Singkat
cerita terjadilah dialog sebagai berikut:
Anak Muda
[AM]: Pak ustad,
mau tanya. Boleh?
Imam Masjid
[IM]: Silahkan
nak..
Keduanya
kemudian duduk bersilah di sisi mimbar masjid. Pak Imam menyandarkan tubuh
tuanya di dinding.
AM: Begini pak, benar di masjid
ini akan diadakan peringatan maulid Nabi?
IM: Benar. Memang kenapa, bukannya
kamu juga penduduk kampung ini, dan sudah tahu bahwa peringatan maulid di
kampung ini telah menjadi tradisi tahunan dan warga kampung menyambutnya dengan
gembira?
AM: Iya pak. Tapi bukankah itu
amalan bid’ah?
IM: Bid’ah? Maksudnya?
AM: Iya bid’ah. Tidak ada
contohnya dalam Islam. Tidak pernah dianjurkan Nabi, dan juga tidak pernah
diamalkan para sahabat.
IM: Apa semua yang tidak
dianjurkan Nabi dan tidak diamalkan sahabat sudah berarti bid’ah?
AM: Iya. Mengadakan hal-hal yang
baru yang tidak ada contohnya dari Nabi itu semuanya bid’ah, semua yang bid’ah itu
sesat dan kesesatan itu di neraka.
IM: Kamu tahu dari mana semua itu
nak?
AM: Dari pengajian di kampusku di
kota. Saya diajari ustad alumni Arab Saudi.
IM: Terus, apakah mengenakan
kopiah dan sarung itu juga bid’ah? mengenakan mic di masjid saat azan itu juga
bid’ah karena tidak ada contohnya dari Nabi?
AM: Kalau itu termasuk bid’ah dari
segi bahasa, dan tidak masalah.
IM: Jadi yang bermasalah, bid’ah
dari segi mana?
AM: Bid’ah secara istilah. Yaitu
melakukan amalan ibadah yang tidak ada contohnya dalam syariat. Menggunakan
kopiah dan sarung itu, masalah duniawi, bahkan implementasi dari perintah untuk
menutup aurat, jadi apa saja yang akan dikenakan itu diserahkan pada ummat.
IM: Bukankah, mengadakan maulid
nabi juga dari perintah Nabi untuk mengagungkan, memuliakan dan selalu
mengingatnya?
AM: Memang dalam agama kita, kita
diperintahkan memuliakan Nabi, tapi ya tentu sesuai dengan tuntunan Nabi. Nabi
misalnya telah menganjurkan untuk bershalawat dan mematuhi perintahnya.
Sahabat-sahabat sedemikian besarnya cintanya pada Nabi, tapi tidak ada
seorangpun dari mereka yang menganjurkan memperingati hari kelahiran Nabi
apalagi melakukannya.
IM: Nabi juga tidak pernah meminta
kita mendirikan pesantren, tapi mengapa dilakukan?
AM: Pesantren hanya wasilah pak.
Mendirikan pesantren bagian dari perintah Nabi untuk ummat ini menuntut ilmu
dan belajar.
IM: Apa Nabi pernah memerintahkan
mendirikan pesantren?
AM: Ya tidak pernah.
IM: Apa sahabat-sahabat melakukannya?
AM: Ya tidak. Tapi waktu itu memang
tidak begitu penting mendirikan pesantren.
IM: Sekarang mengapa mendirikan
pesantren? Apa karena dirasa penting, meskipun itu tidak pernah dilakukan Nabi
dan sahabat-sahabatnya?
AM: Tapi pak. Mendirikan pesantren
itu ada dasarnya. Pertama, adanya perintah untuk menuntut ilmu. Bentuk
bagaimana menuntut ilmu itu diserahkan kepada ummat. Mau dipesantren, kajian di
masjid, dengar ceramah, nonton program TV Islami, baca buku dan sebagainya,
terserah.
Kedua,
dimasa Nabipun dilakukan majelis-majelis ilmu, yang sesungguhnya itu adalah
cikal bakal berdirinya pesantren. Hanya saja di masa Nabi masih dalam bentuk
yang sangat sederhana.
IM: Bukankah memperingati maulid
juga begitu?. Pertama, dasarnya adalah adanya perintah untuk mencintai dan
mengagungkan Nabi. Bentuk amalannya diserahkan kepada ummat. Memperingati
maulid Nabi adalah perwujudan dari kecintaan dan bentuk pengagungan pada Nabi.
Sama halnya perintah mencintai dan menghormati orang tua. Nabi tidak memberi
batasan dan pengkhususan mengenai bentuk amalannya. Ada yang mencintai
orangtuanya dengan membiayai keduanya naik haji. Ada yang mencintai kedua
orangtuanya dengan membangunkan rumah, membayarkan hutang-hutangnya atau dalam
bentuk menjadi anak yang saleh dan berbakti. Ada pula yang sampai bertekad
menjadi sarjana dengan niat, itu yang menjadi bentuk pengabdian dan
kecintaannya pada orangtua. Jadi apa alasannya menghalangi mereka yang hendak
mengekspresikan kecintaannya pada Nabi dengan memperingati hari kelahirannya dan
bersuka cita didalamnya, sementara Nabi tidak pernah memberi batasan dan
pengkhususan bagaimana amalan dari perintah mencintainya?.
Kedua, cikal
bakalnya di masa Nabi sudah ada. Sahabat-sahabat sangat mengagungkan apa saja
yang berkaitan dengan Nabi. Mereka berebutan untuk mengambil berkah dari sisa
air wudhu Nabi. Mereka menyimpan rambut Nabi, mengambil keringat dan peluh
Nabi. Mereka mendahulukan Nabi dari diri-diri mereka sendiri. Nah, dimasa kita
yang tidak bisa bertemu Nabi, tentu tidak bisa mengagungkan Nabi sebagaimana
yang dilakukan para sahabat. Kalau kita di Madinah, tentu kita akan setiap hari
berziarah ke makam Nabi, dan mengambil berkah dengan menyentuh pusaranya.
Sayang, kita menetap di tempat yang jauh dari itu. [Mata imam tua itu mulai berkaca-kaca]
Karenanya,
cukuplah memperingati kelahiran Nabi dan memuliakan bulan kelahirannya, sebagai
bentuk yang paling sederhana yang bisa kita lakukan untuk meluapkan kecintaan
dan kerinduan kepada baginda Nabi. Selain itu, tentu saja dalam keseharian adalah
meneladani Nabi. [Tidak tahan, imam masjid itu untuk menyeka matanya yang
sembab]
Kalau kita
tidak bisa mengambil berkah dari fisik ataupun makam Nabi dan semua tempat
bersejarah yang pernah dipijaknya, setidaknya kita mengambil berkah dari
waktu-waktu mulia yang pernah dilalui Nabi. Bukankah kita sendiri tetap
menganggap istimewa, hari saat kita dilahirkan, hari pertama masuk sekolah,
hari saat diwisuda, hari pernikahan, hari lahirnya anak pertama dan sebagainya,
dan ketika mengenang semua hari-hari menggembirakan itu kita lantas bersyukur
dan bersuka cita atas rahmat Allah. Karena itu kita mengistimewakan hari
lahirnya Nabi, saat beliau hijrah, saat isra mi’raj, dengan mengenang,
memperingati dan membicarakannya, sebagai bentuk cinta kita pada beliau.
AM: Tapi pak, bagaimanapun itu sama saja
menambah-nambahkan syariat dalam agama. Tidak ada contohnya, dan tidak pernah
diamalkan. Kalau memang itu penting, pasti Nabi dan sahabatnya pasti yang lebih
dulu melakukan dan menyemarakkannya.
IM: Lho, kalau pesantren itu
penting. Pasti Nabi dan sahabatnya yang lebih dulu mendirikannya.
AM: Pesantren hanya wasilah pak.
Bukan ibadah.
IM: Bukan ibadah? Maksudnya?
AM: Ya, hanya wasilah untuk lebih
mudah menuntut ilmu, dan lebih tersistematis dengan adanya kurikulum. Intinya
itu adalah pengamalan dari perintah Nabi untuk menuntut ilmu.
IM: Lho, kalau begitu, maulid
adalah juga wasilah untuk menunjukkan kecintaan kepada Nabi. Maulid, jalan
untuk bisa mengumpulkan warga, sehingga mereka mau mendengarkan ceramah tentang
Nabi, mereka jadi tahu akhlak dan keindahan perangai Nabi, mereka jadi tahu
sunnah-sunnah Nabi apa saja. Dan dibuat tersistematis, agar ummat bisa lebih
mudah untuk mengingatnya. Setiap Muharram yang diingat, peristiwa hijrahnya
Nabi. Setiap Zulhijjah, yang diingat peristiwa haji terakhir Nabi dan
lengkapnya syariat Islam. Setiap Rajab yang diingat adalah peristiwa isra
mi’raj. Setiap Ramadhan, disaat Nabi menerima wahyu dan turunnya Al Qur’an
pertama kali. Setiap Safar bulan wafatnya Nabi dan setiap Rabiul Awal adalah
bulan kelahiran Nabi. Dengan adanya tradisi memperingati semua hal yang penting
dari peristiwa yang pernah dialami Nabi tersebut menjadi wasilah bagi para
ulama, da’i dan muballigh untuk lebih mudah menyampaikan ajaran-ajaran Islam
kepada ummat.
Bapak tanya.
Pembacaan proklamasi itu kapan? Hari ibu kapan diperingati? Kalau hari Kartini
kapan?
AM: Hari proklamasi 17 Agustus.
Hari Ibu 22 Desember dan Hari Kartini 21 April.
IM: Kok kamu bisa ingat?
AM: Ya, karena diperingati tiap
tahun.
IM: Kalau tidak diperingati secara
nasional, bagaimana? Apa kamu masih bisa ingat?
AM: Ya bisa jadi saya lupa. Tapi
apa pentingnya mengetahui itu pak?
IM: Ya, apa pentingnya bagimu kamu
tahu kapan kamu lahir, tanggal, bulan dan tahunnya?.
AM: [Diam]
IM: Sejarah itu penting nak. Dan adanya
peringatan-peringatan itu diadakan sebagai bentuk penghargaan terhadap sejarah.
Bukankah dalam Al-Qur’an sendiri banyak perintah untuk mengingat
peristiwa-peristiwa ummat-ummat terdahulu, yang dengan itu kita bisa banyak mengambil
ibrah?
AM: Tapi bukankah tanggal
kelahiran Nabi itu diperselisihkan ulama pak?
IM: Tapi tidak ada yang
menyelisihi bahwa baginda Nabi lahir dibulan Rabiul Awwal, iya kan?. Karena
itu, kita juga tidak pernah mempersoalkan kapan acara maulid Nabi diadakan. Apa
tepat 12 Rabiul Awal, lebih cepat atau lebih lambat. Ditiap kampung, masjid,
kantor dan sekolah, beda-beda hari dimana mereka mengadakan Maulid. Dan itu
tidak mesti dipersoalkan. Dan kami juga tidak pernah menyebut mereka yang tidak
mau ikut maulidan sebagai orang yang tidak mencintai Nabi. Maulidan itu tidak
wajib. Kalau ada yang menyatakan, yang tidak ikut acara maulidan itu berdosa,
itu yang bid’ah.
AM: Tidak ada amalan yang kalau itu
dianggap baik dan dapat mendekatkan pada Allah kecuali pernah dianjurkan Nabi
dan diamalkan para sahabat. Maulid tidak dianjurkan dan tidak diamalkan,
artinya tidak dianggap baik oleh Nabi.
IM: Nak, ceramah taraweh itu
pernah tidak dilakukan Nabi? Pernah diamalkan sahabat?
AM: Setahu saya tidak.
IM: Lantas mengapa umat Islam saat
ini menggalakkannya?. Di masjid-mesjid dibuatkan jadwal ceramah taraweh,
ditentukan penceramahnya, temanya apa dan seterusnya. Kalau itu baik, pasti
Nabi dan para sahabat yang lebih dulu mengamalkannya.
AM: Ya itu hanya karena memanfaatkan momentum
Ramadhan saja pak. Ruhiyah umat Islam lebih siap mendengarkan siraman rohani
dibanding bulan lain.
IM: Lho kalau itu alasannya. Kami
mengadakan maulid juga sekedar memanfaatkan momentum Rabiul Awal saja. Ruhiyah
umat Islam dibulan ini lebih siap untuk mendengarkan ceramah-ceramah mengenai
keagungan Nabi dan keteladanannya. Jadi kalau memanfaatkan momentum Ramadhan
bukan bid’ah, sementara memanfaatkan momentum Rabiul Awal menjadi bid’ah,
begitu?.
AM: Tidak begitu juga sih pak.
Tapi pak, memperingati Maulid itu menambah-nambah hari raya dalam Islam,
sementara hari raya dalam Islam itu hanya tiga. Jum’at, Idul Fitri dan Idul
Adha. Tidak perlu ditambah lagi. Menambahhya sama halnya meragukan kesempurnaan
ajaran Islam yang telah dijamin kesempurnannya oleh Allah Swt. Atau menuduh
Nabi tidak amanah dalam menyampaikan syariat ini.
IM: Yang bilang Maulid itu hari
raya siapa?. Kami menyebutnya peringatan. Bukan perayaan. Karena bentuknya
peringatan, ya bisa dilakukan kapan saja. Bahkan diluar Rabiul Awal pun sah-sah
saja. Kalau perayaan, ya harus di hari Hnya. Kalaupun ada yang menyebutkan
merayakan maulid Nabi, itu bukan maksudnya menjadikan hari maulid sebagai hari
raya dan menyikapinya sebagaimana hari raya Jum’at, Idul Fitri atau Idul Adha.
Ketiga hari raya itu memiliki rukun yang tidak bisa dibolak balik, ditambah
ataupun dikurangi. Sementara Maulid, ya terserah pada penyelenggaranya. Ada
yang melengkapinya dengan barazanji, ada pula yang tidak. Ada yang menyertainya
dengan lomba-lomba ada pula sekedar mendengar ceramah, shalawatan dan makan
bersama sudah cukup. Ada yang melakukannya dipagi hari. Ada sore hari, ada pula
yang malam hari setelah shalat Isya. Kalau idul Fitri ya sudah ditentukan kapan
dan batasannya.
AM: Tetap saja bid’ah pak.
Bukankah bapak mengharapkan pahala dari mengadakan Maulid itu? Nah karena
mengharap pahala, berarti itu dianggap ibadah. Sementara dalam ibadah Islam,
tidak ada yang namanya maulidan. Kalau bapak ngotot menyebutnya bukan ibadah,
berarti bapak harus menyebut itu perbuatan sia-sia karena tidak mengharap
pahala.
IM: Apa mereka yang mendirikan
pesantren itu tidak mengharap pahala? Apakah yang menyumbang untuk pembangunan
pesantren tidak mengharap pahala? Sementara dalam hadits Nabi sama sekali tidak
ada perintah untuk membangun pesantren, mendirikan ormas Islam, membuat
yayasan-yayasan, membangun rumah sakit, puskesmas dan sekolah-sekolah?.
AM: [Diam]
IM: Apa yang lepas dari masalah
ibadah nak? Mana yang kamu sebut tadi masalah duniawi?
AM: Mengenakan sarung dan kopiah.
[Menjawab dengan nada lemah]
IM: Saya tanya, kalau itu hanya
masalah duniawi. Mana yang lebih afdhal yang shalat dengan mengenakan sarung,
kopiah dan baju koko, dengan yang shalat mengenakan kaos oblong, celana jeans
dan topi koboy?
AM: Tentu yang pertama.
IM: Kok bisa? Bukankah itu hanya
masalah duniawi? Berpakaian pun bisa menjadi ibadah, jika itu diniatkan untuk
mendapatkan keridhaan Allah dan menjalankan tuntunan Nabi untuk mengenakan
pakaian yang layak dan bersih. Bukankah tidurpun termasuk ibadah?. Apa Nabi pernah
mencontohkan tidur di kasur yang empuk dan mahal?.
Jadi
sekarang saya bertanya lagi. Mana yang lebih afdhal yang bergembira di bulan
Maulid dengan niat kegembiraannya itu karena tahu bahwa bulan itu adalah bulan
lahirnya Nabi yang mulia, yang dijunjung dan diagungkan oleh semua umat Islam.
Yang kegembiraannya itu diluapkan dengan berbondong-bondong ke masjid,
mendengar ceramah, bersilaturahmi dan makan bersama, atau yang lebih sibuk dan
ribut-ribut menyebut mereka yang memperingati maulid itu sebagai ahli bid’ah,
sesat dan tempatnya kelak di neraka?.
Mana yang
lebih meneladani Nabi, mereka yang menyerukan persatuan dan persaudaraan Islam
dengan memanfaatkan momentum bulan kelahiran Nabi atau mereka yang ngotot dan
memaksakan pendapat mereka sendiri, dan menyebut mereka yang menyelisihnya
sebagai golongan sesat dan jahil?.
AM: Lebih afdhal yang pertama,
pak. [Sedikit tersipu]
Tapi pak,
bukankah memperingati maulid Nabi sama halnya tasyabbuh dengan budaya kuffar
yang juga memperingati hari kelahiran orang-orang yang mereka agungkan?
Sementara Nabi melarang kita meniru-niru adat-adat dan kebiasaan mereka.
IM: Apa dalam semua hal? Kaum
jahiliah Arab dulu dikenal sangat menghormati dan mengagungkan tamu, mereka
juga punya ikatan yang kuat dengan keluarga dan kabilah mereka. Apa itu jelek
dan harus diselisihi karena bakal menyerupai kebiasaan mereka? Kegigihan
orang-orang Barat dalam menuntut ilmu, dalam menemukan hal-hal yang canggih dan
baru dalam bidang tekhnologi, apa itu harus diselisihi karena telah menjadi
tradisi keilmuan mereka?
Mengagungkan
Nabi-nabi Allah, memuliakan orang-orang yang saleh dan mengistimewakan mereka
diatas yang lainnya bukanlah kebiasaan jelek yang harus dihindari. Selama
bentuk pengagungan dan pemuliaan kita tidak sampai menyamakan derajat mereka
dengan Tuhan atau menyematkan sifat Rububiyah kepada orang-orang saleh itu.
Perintah
agama kita jelas. Menyuruh kita melakukan hal-hal yang bisa menjengkelkan
orang-orang kafir dan menyenangkan hati orang-orang beriman. Keras pada orang kafir
dan berlembah lembut pada orang beriman. Nah, apa iya, melarang-larang umat
Islam memperingat kelahiran Nabi itu menjengkelkan orang-orang kafir?. Apa iya
mengharamkan makanan maulid itu membuat geram mereka? Apa iya sengaja menyulut
perselisihan di bulan kelahiran Nabi itu membuat muak orang-orang kafir?
Dalam
keyakinan bapak, semakin semarak umat Islam memperingati kelahiran Nabinya,
akan semakin menjengkelkan orang-orang kafir. Semakin ummat Islam mengagungkan
Nabi di kantor-kantor, sekolah-sekolah, di jalan-jalan, di tanah lapang, dan
memuliakan bulan kelahirannya akan semakin menggeramkan orang-orang kafir.
Semakin anak-anak bergembira dan bersorak sorai, bershalawatan dan menyanyikan
syair-syair rindu pada Nabi di bulan maulid, akan semakin membuat mereka putus
asa untuk menjauhkan generasi muda Islam dengan Nabinya.
Menyemarakkan
maulid itu menyenangkan orang-orang beriman. Hari dimana kita berbagi
kebahagiaan, keceriaan, kebersamaan, dengan makan bersama, duduk bersama,
mendengarkan ceramah bersama, shalawatan bersama, melihat keceriaan anak-anak
yang riang gembira, dan saling mematri janji untuk selalu saling memuliakan dan
menjaga ukhuwah. Bukan begitu?.
AM: Iya pak. [Pemuda itu
menganggukkan kepalanya]
[Senyap
sesaat, yang terdengar hanya suara gesekan tubuh imam masjid yang mengubah
letak duduknya.]
AM: Tapi Pak. Yang patut
disayangkan. Mereka yang getol memperingati maulid, justru hanya masuk masjid
saat peringatan maulid, dan dihari selainnya tidak menampakkan lagi batang
hidungnya di masjid. Bahkan pada saat shalat lima waktu sekalipun.
IM: Justru, dengan adanya
peringatan maulid itu setidaknya mereka tercatat pernah ke masjid. Coba kalau
tidak ada maulid. Mungkin seumur-umur mereka tidak pernah ke masjid padahal
mereka mengaku muslim juga.
AM: [Mengangguk]
IM: Nak, yang dimaksud bid’ah itu
adalah jika mengubah-ubah syariat yang telah ditetapkan secara pasti. Misalnya
menambah rakaat shalat. Naik haji bukan diwaktu yang telah ditentukan.
Mengurangi rukun puasa. Dan sebagainya.
Kita tidak
mewajibkan maulid. Yang mau ikut silahkan, yang tidakpun tidak kita paksa.
Apalagi sampai mencemoohnya tidak mencintai Nabi dan telah berdosa. Semua orang
punya cara untuk meluapkan kecintaannya pada Nabi. Kita percaya, yang tidak
memperingati maulid juga tetap tidak kurang cintanya pada Nabi. Hanya saja,
kecintaan pada Nabi itu akan ternodai kalau sampai menyakiti hati sesama muslim
dengan menggelari mereka yang memperingati maulid sebagai ahli bid’ah, sesat
dan ahli neraka, padahal ini pun masih diperselisihkan para ulama.
Betapa keras
usaha dan upaya Nabi untuk menjaga agar umat Islam bersatu. Janganlah dirusak
hanya karena berbeda dalam memahami anjuran Nabi. Bid’ahnya maulid masih
diperselisihkan, tapi mencela, melecehkan dan merendahkan sesama muslim tidak
diperdebatkan keharamannya. Orang Islam itu, kesibukannya melakukan
amalan-amalan yang akan memasukkannya ke surga, bukan sibuk membuktikan orang
lain pasti ke neraka.
AM: Iya pak. Terimakasih.
IM: Sama-sama.
Imam Masjid
itu kemudian berdiri. Menyalakan tape masjid, yang seketika itu juga
memperdengarkan alunan Qari yang melantunkan ayat suci Al-Qur’an. Pak tua
itu, keluar masjid, masuk WC dan memperbaharui wudhunya. Tidak lama lagi,
matahari akan tenggelam, dan waktu maghrib akan masuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar