Beredarnya
buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” dari MUI dan
buku “Kesesatan Syiah di Indonesia” terbitan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
(DDII) membuat kyai NU tak tinggal diam. Salah satunya adalah KH. Alawi Nurul
Alam Al Bantani, ulama muda sekaligus penulis buku dari Tim Aswaja Center
Lembaga Takmir Masjid Pimpinan Besar Nahdlatul Ulama (LTM) PBNU. Dia mencoba
meluruskan isi buku yang ditulis oknum MUI dan DDII tersebut dengan menulis
sebuah buku berjudul “Kyai NU Meluruskan Fatwa-fatwa Merah MUI & DDII.”
KH. Alawi
menilai, buku oknum MUI dan DDII berisi pengkafiran terhadap Syiah itu tidak
menggunakan referensi lengkap. Akibatnya orang-orang yang awam terhadap agama
sangat terancam ikut-ikutan mengkafirkan tanpa pengetahuan jelas dan dapat
dipertanggung jawabkan. “Ini sangat potensial menjadi sumber perpecahan di
antara umat Islam,” ungkapnya kepada ABI Press.
KH. Alawi
sangat menyayangkan, orang-orang MUI yang menulis buku itu dan menyandang gelar
begitu banyak; Professor, Doktor, Lc, MH, ternyata tidak paham soal ilmu fikih
secara mendalam.
“Silakan cek
dalam kitab-kitab fikih apapun, ketika seorang ‘tersangka’ dinyatakan oleh
pengadilan bersalah, Islam memberikan kepadanya hak jawab,” ujarnya. Tapi
menurut KH. Alawi, oknum-oknum MUI dan DDII itu belum pernah memberikan hak jawab
dan tak pernah mengundang Ulama Syiah untuk duduk bersama dalam membahas
beberapa permasalahan agama yang mereka hujat dan mereka persoalkan.
Sebab itulah
KH. Alawi merasa terpanggil untuk meluruskan isi buku yang dianggapnya tidak
lurus itu demi meredam dampak negatif perpecahan di tengah umat.
Buku MUI dan DDII Picu Konflik
dan Pembodohan
Tak henti
menyerang Syiah melalui penyebaran buku hasil tulisan oknum MUI, kini Dewan
Dakwah Islam Indonesia (DDII) menambah daftar gerakan anti Syiah melalui
bukunya yang berjudul “Kesesatan Syiah di Indonesia.”
Tidak hanya
memicu konflik, menurut tokoh NU, KH. Alawi Nurul Alam Al Bantani, buku-buku
itu juga dapat menjadi sumber pembodohan bagi umat.
Berbagai
cara dilakukan oleh kelompok anti Syiah ini untuk memberangus Syiah di
Indonesia. Terakhir, tersiar kabar akan diadakannya Deklarasi Nasional Anti Syiah
di Bandung Jawa Barat. Entah apa yang membuat mereka begitu benci terhadap
Syiah, sehingga Syiah harus diberangus.
Apakah Syiah
boleh berkembang di Indonesia?“Jelas boleh! Tidak hanya di Indonesia, di
seluruh dunia pun juga boleh,” ungkap KH. Alawi.
Pernyataan
KH. Alawi bukan tanpa alasan, mengingat Syiah merupakan salah satu mazhab Islam
yang diakui di seluruh dunia.
Ketidaktahuan
orang banyak tentang sejarah Syiah lah yang sebenarnya menjadi masalah.
Akibatnya menurut KH. Alawi mereka yang minim pengetahuan itu dapat dengan
mudah diadu domba oleh kelompok-kelompok yang membenci Syiah.
“Misalnya
begini, kalau ada 100 orang Sunni sebelum shalat minum arak, apa yang akan anda
katakan? Sunni sesat atau oknum Sunni sesat? Pasti oknum Sunni yang sesat. Nah,
ketika ada saudara kita Syiah yang berbuat salah, yang jadi masalah adalah jika
kita menghukumi semua Syiah juga salah. Nah, orang-orang yang tidak tahu kaidah
inilah yang biasanya akan terseret menjadi korban fitnah dan pada akhirnya
secara serampangan menganggap semua Syiah salah,” terang KH. Alawi memberi
contoh.
Nah, buku
keluaran MUI dan DDII ini pun menurut KH. Alawi juga memicu kaum Muslim masuk
dalam kubangan fitnah yang sangat berbahaya. Apalagi bila ditelisik dan
dipelajari lebih jauh, kedua buku itu tak lebih hanya berisi penghakiman
sepihak sekelompok orang yang dialamatkan ke kelompok lain, tanpa menerapkan
prinsip keadilan dalam Islam, yaitu terkait perlunya pemberian hak jawab
terhadap pihak yang dituduh, dalam hal ini pihak Syiah.
Kyai NU: Konflik Sunni-Syiah
Kerjaan Musuh Islam
Untuk
mempererat jalinan ukhuwah, KH. Alawi Nurul Alam Albantani, tokoh NU datang
bersilaturahmi ke Yayasan Syiah, Husainiyah Azzahra, Gerlong Girang, Bandung
pada hari Selasa (20/5).
Dalam
kunjungan singkatnya, Kyai kharismatik ini bermaksud mengikuti pembacaan
Tawassul yang diadakan rutin setiap malam Rabu di tempat itu, namun akibat
terjebak macet, beliau akhirnya datang terlambat. Sekitar 50-an jamaah Syiah
ikut hadir menyambut kedatangannya. Tepat pukul 19.00 acara dibuka pembina
Husainiyah, Ustad Husain Alkaff.
Selesai
Tawassul, seperti lazimnya di setiap majelis taklim, Kyai Alawi memberikan
tausiyah.
Dalam
sambutannya, penulis buku Kyai NU Meluruskan Fatwa-Fatwa “Merah” MUI & DDII
ini mengatakan bahwa konflik sektarian dalam tubuh umat sengaja disulut
musuh-musuh dari luar Islam.
“Sampai
kapanpun kaum Nasoro dan Yahudi tidak akan senang dengan kemajuan Islam.
Makanya mereka masukkan antek-anteknya agar sesama Muslim selalu bertengkar.
Dan yang paling mudah dijadikan pemicu adalah isu sektarian antara Sunni dengan
Syiah.”
“Kalo ada
Sunni yang ikut-ikutan, berarti tidak mengerti Sunni. Kalo ada Syiah yang
ikutan, berarti gak mengerti Syiah,” tambahnya.
“Coba kalo
Sunni dan Syiah mampu bersatu, kemudian kita pikirkan langkah-langkah untuk
menghadapi takfiri, yakinlah mereka bakal takut setakut-takutnya. Bohong kalo
ada yang bilang takfiri di Indonesia itu berani. Sudah 125 masjid kami ambil
kembali dari tangan mereka, gak ada perlawanan,” kisahnya.
“Perbedaan
tata cara ibadah adalah soal furu’ (cabang) dalam Islam. Bapak-bapak, Ibu-ibu
pernah gak lihat cabang pohon yang sama persis? Tidak kan? Nah, kaum takfiri
itu tidak mengerti soal ini. Kenapa? Karena otak mereka dangkal. Kedangkalan
ini yang menyebabkan mereka berperilaku radikal, dan perilaku radikal inilah
yang berbahaya bagi bangsa Indonesia,” lanjut Kyai Alawi.
Dia juga
meragukan pengikut Syiah mencaci sahabat lantaran mengikuti titah Imamnya.
“Saya gak percaya kalo orang-orang seperti Imam Ja’far Sadiq, Imam Muhammad Al
Baqir, Kakeknya Imam Husain, memerintahkan penghinaan. Apalagi menjatuhkan
kemuliaanya dengan mengeluarkan fatwa untuk menghina,” tegasnya.
Tanpa
pakaian kebesaran khas Kyai pada umumnya, Kyai Alawi bertutur dengan gaya khas
Sunda. Tausiyah diwarnai plesetan itu pun sesekali disambut gelak tawa jamaah.
“Makanya
Ibu-ibu, mau gak liat anak setan? Liat tuh takfiri. Mereka mah gabakal marah,
da bener-bener ngarasa,” selorohnya, yang disambut tawa jamaah.
KH. Alawi
Albantani adalah anggota Tim Aswaja Center Lembaga Takmir Masjid (LTM) Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ia telah menulis sekitar 55 judul buku, di
antaranya Allah pun Bershalawat Mengapa Kita Tidak (40 Keajaiban
Shalawat), Ustad Salafi Wahabi (Persis) Bertanya Al Bantani Menjawab, dan
Kyai NU Meluruskan Fatwa-Fatwa “Merah” MUI & DDII.
“Acara-acara
solidaritas seperti ini harus lebih sering diadakan, agar masyarakat tahu,
Sunni-Syiah teh balad geuningan (ternyata Sunni-Syiah temenan),” anjur Kyai
Alawi di akhir tausiyahnya.
Resensi Buku: Syiah Menurut
Syiah
Judul Buku
: Syiah Menurut Syiah
Penulis : Tim Ahlulbait Indonesia (ABI)
Penerbit : Dewan Pengurus Pusat Ahlulbait Indonesia
Ukuran Buku: 23×15 cm, 411 halaman
Harga : Rp. 75.000,-
Cetakan : Cetakan 1, Agustus 2014
Penulis : Tim Ahlulbait Indonesia (ABI)
Penerbit : Dewan Pengurus Pusat Ahlulbait Indonesia
Ukuran Buku: 23×15 cm, 411 halaman
Harga : Rp. 75.000,-
Cetakan : Cetakan 1, Agustus 2014
Buku Syiah
Menurut Syiah (SMS) ini diterbitkan oleh Ahlulbait Indonesia (ABI) sebagai
salah satu ormas Islam di Indonesia. Berbeda dengan ormas Islam NU dan
Muhammadiyah yang berpaham Islam Ahlusunnah (Sunni), ABI merupakan ormas Islam
bermazhab Syiah. Walau hakikatnya, sama-sama lahir dari tubuh utama Islam,
perbedaan-perbedaan penafsiran dalam beragama di kalangan Sunni dan Syiah ini
kerap dimanfaatkan sebagian orang untuk mengadu-domba keduanya.
Berbagai
fitnah pun bermunculan; mulai dari media sosial yang gencar mengkafirkan dan
mensesatkan Muslim Syiah, membenturkan keyakinannya dengan Muslim Sunni, bahkan
buku-buku tentang kesesatan Syiah banyak beredar, dari yang dijual, hingga
disebar gratis. Tak hanya individu, bahkan lembaga sekelas MUI pun dicatut
namanya sebagi legitimasi atas usaha menyingkirkan Muslim Syiah dari Nusantara
ini. Mulai dari fatwa sesat terhadap Muslim Syiah di Jawa Timur, hingga
terbitnya buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” yang
diedarkan secara luas oleh beberapa oknum intoleran dengan mengatas namakan
MUI.
Di tengah
maraknya aksi pengkafiran dan penyesatan yang dialamatkan kepada Muslim Syiah
tersebut, ABI merumuskan dan menerbitkan buku ini, sebagai upaya mengenalkan
kepada masyarakat bahwa Muslim Syiah yang telah hadir sejak Islam pertama kali
masuk ke Indonesia ini, tak seperti apa yang mereka tuduhkan secara sepihak,
dengan beragam informasi yang tidak berimbang. Buku ini tidak serta merta
ditujukan untuk membantah buku berlogo MUI yang telah disebar ke penjuru
Nusantara dengan jumlah yang tidak sedikit tentunya. Sebab, di dalam prolog
buku SMS ini disebutkan beberapa hal yang menerangkan bahwa buku berlogo MUI
itu terlalu lemah bobotnya untuk ditanggapi.
Upaya ABI
menerbitkan buku ini disambut baik oleh Menteri Agama Republik Indonesia,
Lukman Hakim Saifuddin. Bahkan, Lukman Hakim bersedia menyempatkan diri untuk
memberikan pandangannya mengenai buku ini, yang kemudian tertuang menjadi
sambutan atau pengantar dalam buku SMS tersebut. Menag menilai, perbedaan
pandangan di kalangan umat Islam adalah suatu hal yang wajar dan harus disikapi
secara adil, bukan saling menyalahkan namun justru saling melengkapi khazanah
pengetahuan tentang Islam dan keindonesiaan yang mengusung Bhinneka Tunggal
Ika, sekaligus menguatkan tali persatuan dan persaudaraan melalui
perbedaan-perbedaan itu.
Buku ini
menjelaskan beragam jawaban atas isu-isu yang ditujukan kepada Muslim Syiah
secara lengkap, mulai dari yang bersifat pokok, hingga cabang-cabangnya. Selain
menampilkan sumber-sumber dalil dari kalangan Syiah, buku ini juga menampilkan
berbagai sumber dalil yang ada di kalangan Sunni.
Di bagian
tertentu, pada sub judul “Budaya Syiah di Indonesia” (hal: 333), juga
dijelaskan beberapa sumber fakta yang menyebutkan Syiah sebagai salah satu
mazhab Islam yang pertama kali masuk ke Indonesia. Selain itu, kesamaan tradisi
Islam Syiah dan NU seperti tahlilan, peringatan meninggalnya seseorang, haul,
serta maulid dan sebagainya, juga dijelaskan di bab ini.
Buku ini
ditulis dengan gaya bahasa yang mudah dipahami, dengan berbagai analogi dan
contoh, untuk memudahkan pembaca memahaminya. Di Bab Pertama (hal: 7) misalnya,
sebelum masuk ke pembahasan inti, buku ini mengajak pembaca untuk menata konsep
berfikir secara logis dan rasional sebelum menilai sesuatu.
Buku ini
menarik dibaca, tidak hanya bagi kalangan Muslim Syiah saja, melainkan umat
Islam seluruhnya. Sebab, penting memahami satu sama lain untuk dapat menemukan
kesepahaman demi tercipta perdamaian. Terlebih bagi anda yang getol membenci
Syiah hanya karena mendapat informasi sepihak tentang Syiah. Buku ini hadir
untuk mengimbangi cara berfikir anda dalam menilai Muslim Syiah di Indonesia
bahkan di dunia. Selain itu, buku ini juga menampilkan sudut pandang lain
dalam memahami lebih dalam tentang Islam, yang mungkin dapat memuaskan anda
yang haus akan pengetahuan.
Bedah Buku SMS di P3M
Klaim Sunni dan Syiah
selalu saling bertikai ternyata tidak terbukti di Cililitan, Jakarta Timur.
Hari itu, tepatnya Kamis (16/10) bertempat di Perhimpunan Pengembangan
Pesantren dan Masyarakat (P3M), Muslim Sunni dan Syiah duduk bersama dalam
sebuah diskusi bedah buku Syiah Menurut Syiah (SMS) yang ditulis oleh Tim
Ahlulbait Indonesia.
Musa Kazhim,
selaku perwakilan dari tim penulis buku SMS menjelaskan bahwa tuduhan terhadap
Syiah selama ini pembuktiannya tidak pernah ada sebab, selalu saja ketika
tuduhan-tuduhan tanpa bukti yang ditujukan kepada Muslim Syiah dibantah, mereka
kemudian akan menghakimi bahwa Muslim Syiah itu sedang bertaqiyyah.
Hal ini,
menurut Musa disebabkan karena konsep taqiyyah telah disalahpahami oleh mereka
yang tidak menyukai Syiah. Konsep Taqiyyah di dalam Syiah menurut Musa adalah
tidak mengutarakan kebenaran demi kemaslahatan yang lebih besar. Dalam prinsip
beragama pun juga diajarkan almaslaha al ammah, menjadi sendi paling utama.
“Tetapi
sayangnya kemudian taqiyyah ini disalahtafsirkan oleh para penuduh sebagai cara
berbohong dan berkelit,” ujar Musa.
Selain itu,
dalam buku Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia ada juga
tuduhan bahwa Syiah menuhankan Ali bin Abi Thalib. Terkait hal ini, Musa
menegaskan bahwa tidak satu pun dari Muslim Syiah yang menyakini hal itu. Kalau
ada yang mengaku Muslim Syiah dan menyatakan bahwa Syiah menuhankan Ali, maka
otomatis dia menjadi kafir.
Sebab semua
umat Islam tahu siapa Tuhannya, dan yang mengikat kita selama ini adalah La ila
ha illallah. Tidak ada perbedaan terkait ketuhanan itu dan tidak boleh berbeda
pendapat tentang hal itu. Dan itu, hal yang tidak mungkin akan dilakukan oleh
Muslim Syiah.
“Lha ini kok
ada orang yang mengatakan bahwa ada Syiah yang menyatakan Ali bin Abi Thalib
sebagai Tuhan,” kata Musa.
Dalam acara
di P3M sore itu, masih banyak tuduhan yang diklarifikasi langsung oleh Musa
berdasarkan sumber primer pihak Syiah sendiri, sebagaimana yang ada dalam buku
Syiah Menurut Syiah. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi mis-informasi dan
kesalah pahaman di kalangan masyarakat, sebab tulisan yang ada selama ini dan
berisi tuduhan miring tentang Syiah selalu saja ditulis oleh orang-orang yang
berada di luar Syiah.
Sementara
itu dalam kesempatan yang sama, KH. Masdar F Mas’udi, Khatib
Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), mencoba memberikan analisa
tentang kondisi agama saat ini dengan membaginya menjadi 3 bagian besar dari
agama Islam yang ada.
Pertama,
adalah kelompok yang lebih mengedepankan teks yaitu kelompok Wahabi atau
Khawarij. Kedua, adalah kelompok yang berpegang kepada Ahlulbait Nabi yaitu
kelompok Syiah. Ketiga, adalah Sunni yang menempatkan posisi berada di
tengah-tengah antara Wahabi dan Syiah untuk menjaga keseimbangan keberagamaan.
“Tentu saja
masing-masing pihak boleh saja mengklaim benar. Tapi jika sekaligus pada saat
yang sama mengklaim yang lain sepenuhnya salah, saya kira itulah yang akan
menjadi masalah,” terang Masdar. “Namun ketika ketiganya itu bisa berkembang
secara seimbang dan dewasa saya kira akan memberikan output yang hebat bagi
kehidupan semua agama dan keyakinan itu,” tambahnya.
“Kita boleh
mengaku benar tapi menuduh yang lain salah itu ya nanti dulu,” tegas Masdar.
Bagi Masdar,
adanya dialektika ini akan menjadikan masing-masing pihak lebih dewasa apabila
yang di tengah itu cukup kokoh. Kalau yang di tengah ini lembek, maka yang akan
terjadi adalah konflik, bukan lagi dialog karena tidak ada yang menjadi penjaga
keseimbangan itu.
“Ini soal
kedewasaan, dan kedewasan ini akan lebih dipacu kalau yang di posisi tengah
cukup solid,” kata Masdar terkait posisi Sunni yang dikatakannya sebagai pihak
penengah atau penyeimbang.
Sebelum
menutup pembicaraan, Masdar mengatakan bahwa politik dakwah itu penting, supaya
tidak merusak tatanan, supaya tidak merusak keseimbangan.
“Yang paling
penting dakwahnya harus mendewasakan,“ pungkas Masdar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar