BAB 7 : FITNAH-FITNAH KEJI
KAUM SALAFI & WAHABI
Pembahasan-pembahasan sebelum ini sebenarnya telah memberi
gambaran yang cukup memadai tentang adanya fitnah-fitnah keji yang dilontarkan
oleh kaum Salafi & Wahabi di dalam fatwa-fatwa mereka terhadap amalan-amalan
kaum muslimin yang sering mereka tuduh sebagai bid'ah. Namun begitu,
perlu kiranya kami menyebutkannya lebih khusus agar setiap orang bisa mengetahui
keburukan ajaran mereka dengan jelas, lalu terhindar dari dakwah sesat mereka.
Secara umum fitnah-fitnah mereka hanya berkisar antara tuduhan
bid'ah, sesat, syirik, atau kufur. Tuduhan
"menambah-nambahi agama", "membuat-buat syari'at", "mengkultuskan Rasulullah
Saw. atau para wali", "amalan sia-sia dan tidak ada pahalanya", "mengikuti
tradisi dan menolak kebenaran", adalah contoh fitnah yang sering mereka
lontarkan di dalam buku-buku mereka.
Di antara fitnah-fitnah yang mereka lontarkan di dalam buku
Ensiklopedia Bid'ah (kumpulan fatwa-fatwa para ulama Salafi &
Wahabi), adalah sebagai berikut:
1. Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: "Lebih dari itu, pada umumnya, di sebagian negara, acara-acara peringatan maulid ini –selain bid'ah- tak lepas dari kemunkaran-kemunkaran. Misalnya, ikhtilath (campur-baur) antara pria dan wanita, pemakaian lagu-lagu dan bunyi-bunyian, minum-minuman yang memabukkan dan membuat tidak sadar, serta kemunkaran lainnya. Kadangkala terjadi juga hal yang lebih besar daripada itu, yaitu perbuatan syirik akbar karena ghuluw (sikap berlebihan) terhadap Rasulullah Saw. atau para wali, berdo'a atau beristighatsah kepada beliau, meminta pertolongannya, mempercayai bahwa beliau mengetahui hal-hal yang ghaib, dan bermacam-macam kekufuran lainnya yang biasa dilakukan orang banyak dalam acara peringatan maulid Nabi Saw. atau selain beliau yang mereka sebut sebagai wali." (Ensiklopedia Bid'ah, hal. 11).Di dalam buku kecil yang dibagi-bagikan kepada jamaah haji setiap tahun, Hirasatu at-Tauhid atau terjemahnya Menjaga Tauhid, karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz, disebutkan: "…kemunkaran-kemunkaran, seperti bercampurnya lelaki dan perempuan (bukan mahram), pemakaian lagu-lagu dan bunyi-bunyian, minum-minuman yang memabukkan, ganja, dan lain sebagainya …" (Menjaga Tauhid/ Hirasatu at-Tauhid, 2004, hal. 12)2. Ia juga berkata: "Semua ini tidak lain karena ia merupakan penambahan terhadap ajaran agama dan pensyari'atan sesuatu yang tidak diizinkan Allah, serta merupakan tasyabbuh (penyerupaan-red) dengan musuh-musuh Allah dari golongan Yahudi dan Nasrani yang menambah-nambahi agama mereka dan mengada-ada apa yang tidak diizinkan Allah." (Ensiklopedia Bid'ah, hal. 8).3. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin berkata: "Sesungguhnya seorang mubtadi' (pelaku amalan yang mereka tuduh sebagai bid'ah-red) meyakini bahwa Islam itu kurang, dan bahwa bid'ahnya itu sebagai penyempurna agama ini." (Ensiklopedia Bid'ah, hal. 41).4. Ia juga berkata: " Sebagian kaum sufi ada yang terjerumus dalam bid'ah yang keji, di antaranya adalah mereka membawa anak-anak lelaki tampan yang masih kecil (belum baligh), dan mereka melakukan sodomi, kemunkaran dan kekejian terhadap mereka, dan setelah itu mereka mengklaim taat beragama, dan istiqamah, padahal perbuatan dan akhlak mereka seperti itu!" (Ensiklopedia Bid'ah, hal. 144).5. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata: "Dalam hadis ini (latattabi'unna sunana man kaana qablakum-red) dijelaskan bahwa tasyabbuh dengan orang kafir adalah suatu hal yang mendorong kaum Bani Israil dan sebagian umat Nabi Muhammad Saw. untuk meminta permintaan buruk, yaitu menuntut Nabi Musa untuk membuatkan bagi mereka tuhan-tuhan berhala yang dapat mereka sembah dan mencari berkah darinya. Dan ini pulalah yang terjadi sekarang ini, di mana sebagian kaum muslimin senang meniru-niru kaum kuffar dalam praktek bid'ah dan kesyirikan, seperti perayaan hari kelahiran dan maulid, menjadikan hari-hari atau minggu-minggu tertentu untuk suatu kegiatan ritual khusus, menyelenggarakan pertemuan dan perayaan keagamaan, perayaan hari-hari peringatan, mendirikan patung-patung dan bermacam berhala kenangan, serta menyelenggarakan pesta makan dan berbagai bid'ah jenazah serta membangun kuburan, dan lain-lainnya." (Ensiklopedia Bid'ah, hal. 85).6. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata: "…maka ketahuilah bahwa siapa pun yang berbuat suatu bid'ah (perkara baru yang mereka tuduh bid'ah-red) di dalam agama, walaupun dengan tujuan baik, maka bid'ahnya itu, selain merupakan kesesatan juga sebagai suatu tindakan menghujat agama dan mendustakan firman Alah Swt., yang artinya, "Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu …" Karena dengan perbuatannya tersebut, dia seakan-akan mengatakan bahwa Islam belum sempurna, sebab ada amalan yang diperbuatnya dengan anggapan dapat mendekatkan diri kepada Allah, belum terdapat di dalamnya." (Ensikopedia Bid'ah, hal. 23).
Tuduhan-tuduhan di atas lebih pantas disebut sebagai
fitnah, karena di samping tidak didukung oleh data yang jelas dan
akurat, juga tidak berdasar pada kenyataan yang sebenarnya. Kaum Salafi &
Wahabi seperti mereka ini selalu memandang amalan orang dari sudut pandang
sendiri, sehingga apa yang mereka pahami sungguh jauh berbeda dari pemahaman
pelaku amalan itu sendiri. Pantas saja kalau orang yang berdo'a menghadap
kuburan bisa mereka cap musyrik (melakukan syirik/menyekutukan
Allah), sebab mereka menganggap orang itu meminta kepada kuburan atau kepada
orang yang ada di dalam kubur tersebut, dan penilaian seperti ini bisa muncul
semata-mata karena zhahirnya orang itu berdo'a menghadap kuburan. Tapi
kenapa para malaikat yang jelas-jelas bersujud kepada Nabi Adam As. tidak mereka
hukumi musyrik, padahal secara zhahir mereka bisa saja dianggap
menyembah Nabi Adam As.? Sungguh bila kaum Salafi & Wahabi bisa
memahami kasus malaikat & Nabi Adam As itu dengan baik, niscaya mereka akan
mampu memandang secara jernih untuk kasus-kasus yang lain, seperti: Mengusap
kuburan, mengusap Ka'bah, berdo'a menghadap kuburan, memanggil nama orang yang
sudah meninggal, dan lain sebagainya, yang secara zhahir bisa saja dianggap
syirik.
Syirik itu letaknya di dalam hati dan erat kaitannya dengan
keyakinan. Apa yang ada di dalam hati tidak mungkin diketahui kecuali bila
diungkapkan dengan pernyataan-pernyataan lisan. Adapun perbuatan, meski juga
dapat merupakan ungkapan hati, namun tidak selalu bisa dihukumi dengan hanya
melihat zhahirnya perbuatan tersebut, kecuali bila maksud perbuatan itu
dijelaskan dengan lisan. Mencium tangan orang 'alim, orang shaleh, atau
orang yang lebih tua usianya saat bersalaman dengan mereka, tidak mungkin bisa
langsung dianggap syirik sebelum diketahui bahwa maksudnya adalah menuhankan
(mengkultuskan) orang tersebut.
Ternyata, sikap mencium tangan itu dilakukan bukan dalam rangka
mengkultuskan seseorang, melainkan hanyalah sebuah ungkapan penghormatan atau
pemuliaan yang sudah lazim dilakukan banyak orang sebagai adat di masyarakat.
Sama halnya dengan perbuatan Rasulullah Saw. mencium hajar aswad yang
tidak mungkin dihukumi syirik semata-mata karena zhahir perbuatannya,
sebagaimana juga orang yang shalat dan bersujud di depan Ka'bah tidak dapat
serta-merta dianggap menyembah Ka'bah hanya karena ia menghadap kepadanya saat
bersujud di dalam shalatnya.
Tentang fitnah-fitnah di atas, kita perlu mengajukan kepada
kaum Salafi & Wahabi beberapa pertanyaan tentangnya, agar mereka dapat
memahami dan memikirkan ulang kenapa mereka tega mengungkapkan
pernyataan-pernyataan berbau fitnah tersebut. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah:
1. Di manakah dan siapakah di antara pelaku peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. yang menghisap ganja atau menghidangkan minuman yang memabukkan pada acara tersebut?2. Benarkah latar belakang diadakannya peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. adalah untuk meniru Yahudi dan Nasrani, kitab tarikh (sejarah) mana yang menyebutkannya? Pantaskah dianggap sama, umat Islam memperingati kelahiran seorang Nabi dan Rasul, sementara Nasrani merayakan kelahiran "anak tuhan"? Bukankah puasa 'Asyura (10 Muharram) dilakukan oleh Rasulullah Saw. karena meniru perbuatan orang-orang Yahudi di Madinah?3. Apakah ikhtilath (berbaur) antara laki-laki dan perempuan di acara Maulid itu sama buruk dengan ikhtilath yang terjadi saat acara konser musik atau dangdutan? Bukankah di Masjidil Haram khususnya di areal thawaf juga terjadi ikhtilath antara laki-laki dan perempuan, dan itu sudah terjadi sejak zaman Rasulullah Saw.? Apakah dengan begitu ibadah thawaf jadi buruk dan terlarang?4. Manakah dari amalan-amalan berikut ini yang dikategorikan sebagai kemunkaran dan kekufuran di dalam acara Maulid: Membaca dan mendengarkan ayat-ayat al-Qur'an, berzikir, bershalawat, bersilaturrahmi, menuntul ilmu, mendengar nasihat, mendengarkan pembacaan riwayat kelahiran Nabi Muhammad Saw., memuliakan dan menyanjung beliau, berkumpul dengan orang-orang shaleh, berdo'a, dan berbagi rezeki?5. Siapakah yang menganggap atau meyakini bahwa agama itu masih kurang dan belum sempurna? Dan siapakah yang berniat menyempurnakannya dengan melakukan amalan yang dituduh bid'ah seperti Maulid atau tahlilan?6. Sufi manakah yang mereka tuduh telah tega melakukan sodomi terhadap anak laki-laki yang tampan, apakah Syaikh Abu Yazid al-Busthomi, Syaikh Jalaluddin Rumi, Syaikh Ahmad at-Tijani, Imam Ghazali, Syaikh Abdul Qadir Jailani, Abul-Hasan asy-Syadzili, ataukah hanya segelintir orang fasik yang berpura-pura menjadi sufi? Pantaskah tindakan bodoh segelintir orang fasik yang menamakan diri mereka sebagai sufi dijadikan dasar untuk menganggap sesat ilmu tasawuf dan seluruh kalangan sufi terutama mereka yang telah disebutkan di atas?7. Siapakah yang berniat menghujat agama dengan melakukan kegiatan Maulid, tahlilan, atau lainnya?
Kiranya pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat mereka
jawab dengan dalil terperinci dan dengan mengajukan data yang akurat tentang
tokoh atau pelaku yang mereka tuduhkan itu. Sebab kalau tidak, tuduhan-tuduhan
mereka bukan cuma fitnah keji, tetapi juga penipuan besar! Dan anehnya,
pernyataan-pernyataan jahat seputar acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw.
seperti di atas, masih terus disebarluaskan, dan buku yang memuatnya dicetak
berulang-ulang dan dibagikan secara cuma-cuma, terutama kepada jama'ah haji
setiap tahunnya. Lebih aneh lagi, kok masih ada saja yang percaya, setuju, lalu
mengikuti ajarannya.
Yang mungkin membuat mereka berpendapat sedemikian, adalah
sikap mereka dalam memahami amalan orang lain yang selalu dinilai dari sudut
pandang sendiri, ditambah lagi objek penilaian mereka seringkali adalah kalangan
awam yang tidak mengerti dalil, atau bahkan "oknum" fasik yang menikmati maksiat
kegemarannya di balik topeng tasawuf atau amalan Maulid. Ketahuilah,
kekeliruan amalan orang awam karena kebodohannya, atau keburukan suatu amalan
karena kefasikan pelakunya, sama sekali tidak dapat dijadikan dasar atau alasan
untuk menggenarilisir (memukul rata) setiap amalan sejenis sebagai amalan yang
buruk dan sesat. Jika kita pernah diberi obat yang keliru oleh seorang
dokter sehingga penyakit kita bertambah parah karenanya, pantaskah pengalaman
itu membuat kita menganggap bahwa seluruh dokter sama buruknya dengan "oknum"
dokter tersebut? Atau jika ada berita tentang seorang "oknum" tukang bakso yang
menggunakan daging tikus dalam membuat baksonya, pantaskah jika kemudian kita
berfatwa bahwa makan bakso yang mana saja haram hukumnya tanpa terkecuali karena
menganggap semua tukang bakso sama-sama menggunakan daging tikus? Jawabnya,
tentu tidak.
Mungkin, peribahasa yang paling pantas untuk menggambarkan cara
pandang kaum Salafi & Wahabi dalam menilai amalan orang lain, adalah:
"Kambing di seberang laut dikira macan, serigala di pelupuk mata dikira
domba".
Akhirnya, setiap orang (termasuk kaum Salafi &
Wahabi) hendaknya bertanya, kebaikan apakah yang terdapat di dalam sebuah ajaran
agama seperti Salafi & Wahabi yang banyak mendasari ajarannya dengan tuduhan
dan fitnah? Pantaskah ajaran seperti itu diikuti atau bahkan dianggap sebagai
yang terbaik, paling lurus, dan paling sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw. dan
para Shahabat beliau? Hanya orang berakal sehatlah yang dapat menjawabnya dengan
benar!
FITNAH TERHADAP ASY'ARIYYAH
DAN MISTERI AHLUSSUNNAH
WAL-JAMA'AH
Asy'ariyyah adalah sebutan bagi sebuah faham atau
ajaran aqidah yang dinisbatkan kepada Syaikh Abul-Hasan Ali
al-Asy'ari (Lahir dan wafat di Basrah tahun 260 H- 324 H.). Para
pengikutnya sering disebut dengan Asy'ariyyuun atau Asyaa'irah
(pengikut mazhab al-Asy'ari). Abul-Hasan Ali Al-Asy'ari, yang kemudian dikenal
sebagai pelopor aqidah Ahlus-Sunnah wal Jama'ah, memiliki garis keturunan (garis
ke-10) dari seorang Sahabat Rasulullah Saw. yang terkenal keindahan suaranya
dalam membaca al-Qur'an, yaitu Abu Musa al-Asy'ari. Beliau lahir 55 tahun
setelah wafatnya al-Imam Syafi'I, dan Abul-Hasan al-Asy'ari adalah pengikut
Mazhab Syafi'i.
Pada mulanya, beliau beraqidah Mu'tazilah karena berguru kepada
seorang ulama Mu'tazilah yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab al-Jubba'i (Wafat
295H.). Setelah menjadi pengikut Mu'tazilah selama + 40 tahun, beliau
bertobat lalu mencetuskan semangat beraqidah berdasarkan Al-Qur'an dan
Hadis sebagaimana yang diyakini oleh Nabi Saw. dan para Sahabat beliau, serta
para ulama salaf (seperti Imam Malik, Imam Syafi'I, Imam Ahmad, dan
lain-lainnya).
Dalam mengusung aqidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah ini, terdapat
pula seorang ulama yang sejalan dengan al-Asy'ari, yaitu Syaikh Abu
Manshur al-Maturidi (wafat di Samarkand Asia Tengah pada tahun 333 H).
Meskipun paham atau ajaran yang mereka sampaikan itu sama atau hampir sama,
namun al-Asy'ari lebih dikenal nama dan karyanya serta lebih banyak pengikutnya,
sehingga para pengikut aqidah Ahlus-Sunnah wal Jama'ah lebih sering disebut
dengan al-Asyaa'irah (pengikut al-Asy'ari) atau
al-Asy'ariyyun.
Ahlus-Sunnah wal-jama'ah lahir sebagai reaksi dari penyebaran
aqidah Mu'tazilah yang cenderung mengedepankan akal ketimbang al-Qur'an atau
Hadis. Banyak keyakinan Mu'tazilah yang dianggap oleh al-Asy'ari menyimpang jauh
dari dasarnya. Lebih buruknya, ketika Mu'tazilah sudah menjadi paham penguasa
(masa Khalifah al-Ma'mun, al-Mu'tashim, & al-Watsiq dari Daulah Bani
Abbasiyah), banyak ulama yang ditangkap dan dipaksa untuk meyakini paham
tersebut. Di antara ulama yang ditangkap dan disiksa karena tidak mau mengakui
paham Mu'tazilah itu adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ajaran al-Asy'ari dan al-Maturidi (Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah) ini kemudian berhasil meruntuhkan paham Mu'tazilah, dan umat Islam kembali mendasari aqidah mereka dengan al-Qur'an dan Hadis serta dalil-dalil 'aqly (akal) sebagaimana dicontohkan oleh para salafush-shaleh.Pada masa berikutnya, aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah ini dianut dan disebarluaskan oleh ulama-ulama besar seperti Abu Bakar al-Qaffal (wafat 365 H.), Abu Ishaq al-Isfarayini (wafat 411 H.), al-Baihaqi (wafat 458 H.), Imam al-Haramain al-Juwaini (wafat 460 H.), al-Qusyairi (wafat 465 H.), al-Baqillani (wafat 403 H.), Imam al-Ghazali (wafat 505 H.), Fakhruddin ar-Razi (wafat 606 H.), 'Izzuddin bin Abdus-Salam (wafat 660 H.), Abdullah asy-Syarqawi ( wafat 1227 H.), Ibrahim al-Bajuri (wafat 1272 H.), Syekh Muhammad Nawawi Banten (wafat 1315 H.), Zainal Abidin al-Fatani (Thailand), dan lain-lainnya.Karya-karya tulis mereka banyak bertebaran dan dijadikan pegangan di seantero dunia Islam, sehingga aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah itu menjadi paham para ulama dan umat Islam mayoritas di berbagai negeri seperti: Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya, Turki, Mesir, sebagian Irak, India, sebagian Pakistan, Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia, Somalia, Sudan, Nigeria, Afghanistan, sebagian Libanon, Hadhramaut, sebagian Hijaz, sebagian Yaman, sebagian besar daerah Sovyet, dan Tiongkok. (Untuk lebih jelasnya, lihat "I'tiqad Ahlussunnah Wal-Jama'ah" karya KH. Siradjuddin Abbas, diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Jakarta).
Para Ulama pengikut empat Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'I, dan
Hanbali) adalah penganut aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah. Ajaran aqidah
Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah inilah yang dijadikan dasar oleh para ulama untuk
membolehkan kebiasaan-kebiasaan baik seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad
Saw., Isra' Mi'raj, tahlilan kematian, ziarah kubur, menghadiahkan pahala kepada
orang meninggal, ziarah ke makam Rasulullah Saw. dan orang-orang shaleh,
tawassul, dan lain sebagainya, yang secara substansial kesemuanya didasari
dengan dalil-dalil yang kuat dari al-Qur'an dan Hadis serta Atsar para Sahabat
Rasulullah Saw.
Belakangan, Asy'ariyyah sering dipisahkan
penyebutannya dari Ahlussunnah Wal-jama'ah, hal seperti ini telah
dilakukan oleh Ibnu Taimiyah di dalam pembahasan fatwa-fatwanya yang kemudian
diikuti oleh para pengikutnya, yaitu kaum Salafi & Wahabi. Akan tetapi,
antara pandangan Ibnu Taimiyah dan kaum Salafi & Wahabi di masa belakangan
tentang Asy'ariyyah terdapat perbedaan. Ibnu Taimiyah berpandangan
bahwa aqidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah aqidah para ulama
salaf (yaitu para Shahabat Rasulullah Saw. dan para ulama yang hidup di
3 generasi pertama masa Islam + 300 H.), bukan monopoli sebuah kelompok saja
seperti Asy'ariyyah. Artinya, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa para
Shahabat Rasulullah Saw., para tabi'in, ulama madzhab yang empat, dan siapa saja
yang berpedoman kepada al-Qur'an, as-Sunnah, serta ijma' ulama salaf, adalah
Ahlussunnah Wal-jama'ah (lihat Majmu' Fatawa Ibni Taimiyah,
Dar 'Alam al-Kutub, juz 3, hal. 157).
Secara tidak langsung Ibnu Taimiyah masih mengakui
Asy'ariyyah termasuk bagian dari Ahlussunnah Wal-Jama'ah
terutama pada pendapat-pendapat yang ia anggap sejalan dengan prinsip al-Qur'an,
as-Sunnah, dan ijma' ulama salaf. Sedangkan kaum Salafi & Wahabi
belakangan lebih cenderung menganggap Asy'ariyyah sebagai aliran sesat
yang bukan termasuk Ahlussunnah Wal-jama'ah.
Pembahasan-pembahasan Kaum Salafi & Wahabi ini kemudian
mengarahkan umat untuk menganggap bahwa Asy'ariyyah hanyalah kelompok
aliran ilmu kalam (ilmu pembicaraan) yang tidak ada hubungannya dengan
nama Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Ilmu kalam mereka anggap sebagai hasil
pembahasan-pembahasan keyakinan agama dengan logika yang didasari oleh pemikiran
filsafat, dan dengan keadaan seperti itu ia banyak dikecam oleh para ulama
salaf. Pertanyaannya, bagaimana mungkin kecaman para ulama salaf terhadap
kelompok-kelompok ahli kalam diarahkan kepada Asy'ariyyah sedangkan
para ulama salaf tersebut tidak pernah menjumpai Asy'ariyyah yang baru
muncul setelah mereka wafat? Jika pun ada kecaman itu, maka sebenarnya yang
mereka kecam adalah aliran-aliran aqidah atau ilmu kalam yang dianggap sesat dan
sudah berkembang di saat itu, seperti: Qadariyyah, Jabbariyyah, Khawarij,
Syi'ah, dan Mu'tazilah.
Pendek kata, Asy'ariyyah menurut kaum Salafi &
Wahabi adalah bukan Ahlussunnah Wal-Jama'ah, melainkan aliran
bid'ah yang harus dijauhi. Perhatikanlah fatwa-fatwa ulama Salafi &
Wahabi berikut ini:
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin berkata:
"Kemudian muncul juga kelompok yang lain, dan
mereka menyebut dirinya Asy'ariyah. Mereka mengingkari sebagian sifat Allah dan
menetapkan sebagian yang lain. Mereka menetapkan sifat-sifat tersebut berdasar
kepada akal. Maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu merupakan bid'ah dan
perkara baru dalam agama Islam" (Ensiklopedia Bid'ah,
hal. 140).
Syaikh Muhammad bin Musa Alu Nashr berkata:
"Tetapi, apakah Asya'irah dan Maturidiyah itu
Ahlussunnah, ataukah mereka termasuk Ahli Kalam? Hakikatnya, mereka ini termasuk
Ahli Kalam. Mereka bukan termasuk Ahlussunnah, walaupun mereka ahlul-millah,
ahli qiblah (umat Islam). Dikarenakan al-Asya'irah dan Maturidiyah itu
menyelisihi Ahlussunnah Wal-Jama'ah" ( lihat Majalah
As-Sunnah, edisi 01/tahun XII, April 208, hal. 35).
Ungkapan di atas adalah sebuah fitnah dan penipuan besar
terhadap Asy'ariyyah, sebab tidak seorang pun dari ulama yang
menyatakan hal seperti itu kecuali kaum Salafi & Wahabi.
Aqidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah memang bukan hanya milik
Asy'ariyyah atau Maturidiyyah saja. Siapa saja yang
berpegang kepada al-Qur'an, Sunnah Rasulullah Saw., dan atsar para Shahabat
beliau adalah termasuk Ahlussunnah Wal-Jama'ah, baik sebelum
Asy'ariyyah muncul atau sesudahnya. Akan tetapi, aqidah
(keyakinan) Ahlussunnah Wal-Jama'ah seperti itu belumlah tersusun secara rapi
dan masih terpencar-pencar di masa ulama salaf, mengingat pada masa itu para
ulama menghadapi cobaan berat dari penguasa yang beraqidah Mu'tazilah
(lihat I'tiqad Ahlussunnah Wal-Jama'ah, KH. Siradjuddin Abbas,
Pustaka Tarbiyah, Jakarta, hal. 16).
Barulah pada masa berikutnya, muncul Abul Hasan Al-Asy'ari yang menyusun aqidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah sebagai sebuah perhatian khusus, dan beliau bekerja keras menyebarluaskannya di kalangan umat sebagai suatu rumusan yang rapi sekaligus sebagai bantahan-bantahan terhadap aliran Mu'tazilah. Dengan sebab itulah maka Abul Hasan al-Asy'ari dianggap sebagai pelopor atau pemimpin Ahlussunnah Wal-Jama'ah, dan para pengikutnya yang disebut Asya'irah secara otomatis termasuk Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Perhatikanlah pernyataan para ulama berikut ini:إِذَا أُطْلِقَ أَهْلُ السُّنَّةِ فَالْمُرَادُ بِهِ اْلأَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِيْدِيَّةُ (إتحاف سادات المتقين، محمد الزبدي، ج. 2، ص. 6)"Apabila disebut nama Ahlussunnah secara umum, maka maksudnya adalah Asya'irah (para pengikut faham Abul Hasan al-Asy'ari) dan Maturidiyah (para pengikut faham Abu Manshur al-Maturidi" (Ithaf Sadat al-Muttaqin, Muhammad Az-Zabidi, juz 2, hal. 6. Lihat I'tiqad Ahlussunnah Wal-Jama'ah, KH. Siradjuddin Abbas, hal. 17).وأما حكمه على الإطلاق وهو الوجوب فمجمع عليه في جميع الملل وواضعه أبو الحسن الأشعري وإليه تنسب أهل السنة حتى لقبوا بالأشاعرة (الفواكه الدواني، أحمد النفراوي المالكي، دار الفكر، بيروت، 1415، ج: 1 ص: 38)"Adapun hukumnya (mempelajari ilmu aqidah) secara umum adalah wajib, maka telah disepakati ulama pada semua ajaran. Dan penyusunnya adalah Abul Hasan Al-Asy'ari, kepadanyalah dinisbatkan (nama) Ahlussunnah sehingga dijuluki dengan Asya'irah (pengikut faham Abul Hasan al-Asy'ari)" (Al-Fawakih ad-Duwani, Ahmad an-Nafrawi al-Maliki, Dar el-Fikr, Beirut, 1415, juz 1, hal. 38).كذلك عند أهل السنة وإمامهم أبي الحسن الأشعري وأبي منصور الماتريدي (الفواكه الدواني ج: 1 ص: 103)"Begitu pula menurut Ahlussunnah dan pemimpin mereka Abul Hasan al-Asy'ari dan Abu Manshur al-Maturidi" (Al-Fawakih ad-Duwani, juz 1 hal. 103)وأهل الحق عبارة عن أهل السنة أشاعرة وماتريدية أو المراد بهم من كان على سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فيشمل من كان قبل ظهور الشيخين أعني أبا الحسن الأشعري وأبا منصور الماتريدي (حاشية العدوي، علي الصعيدي العدوي، دار الفكر، بيروت، 1412 ج. 1، ص. 151)"Dan Ahlul-Haqq (orang-orang yang berjalan di atas kebenaran) adalah gambaran tentang Ahlussunnah Asya'irah dan Maturidiyah, atau maksudnya mereka adalah orang-orang yang berada di atas sunnah Rasulullah Saw., maka mencakup orang-orang yang hidup sebelum munculnya dua orang syaikh tersebut, yaitu Abul Hasan al-Asy'ari dan Abu Manshur al-Maturidi" (Hasyiyah Al-'Adwi, Ali Ash-Sha'idi Al-'Adwi, Dar El-Fikr, Beirut, 1412, juz 1, hal. 105).والمراد بالعلماء هم أهل السنة والجماعة وهم أتباع أبي الحسن الأشعري وأبي منصور الماتريدي رضي الله عنهما (حاشية الطحطاوي على مراقي الفلاح، أحمد الطحطاوي الحنفي، مكتبة البابي الحلبي، مصر، 1318، ج. 1، ص. 4)"Dan yang dimaksud dengan ulama adalah Ahlussunnah Wal-Jama'ah, dan mereka adalah para pengikut Abul Hasan al-Asy'ari dan Abu Manshur al-Maturidi radhiyallaahu 'anhumaa (semoga Allah ridha kepada keduanya)" (Hasyiyah At-Thahthawi 'ala Maraqi al-Falah, Ahmad At-Thahthawi al-Hanafi, Maktabah al-Babi al-Halabi, Mesir, 1318, juz 1, hal. 4).
Pernyataan para ulama di atas menunjukkan bahwa tuduhan dan
fitnahan kaum Salafi & Wahabi terhadap Asy'ariyyah adalah tidak
benar dan merupakan kebohongan yang diada-adakan. Di satu sisi mereka
mengeliminasi (meniadakan) Asy'ariyyah dari daftar kumpulan
Ahlussunnah Wal-Jama'ah, di sisi lain mereka malah dengan yakinnya
menyatakan diri sebagai kelompok Ahlussunnah Wal-Jama'ah yang
sebenarnya.
Boleh dibilang bahwa aqidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah di
masa belakangan yang diajarkan oleh para ulama di dalam kitab-kitab mereka tidak
ada yang tidak berhubungan dengan Asy'ariyyah, malah hubungan ini
seperti sudah menjadi mata rantai yang baku dalam mempelajari ilmu
aqidah. Hanya kaum Salafi & Wahabi lah yang menolak adanya hubungan
itu, dan dalam mengajarkan ilmu aqidah mereka langsung berhubungan dengan ajaran
para ulama salaf. Padahal Abul Hasan al-Asy'ari sudah lebih dulu menjelaskan
ajaran para ulama salaf tersebut jauh-jauh hari sebelum kaum Salafi & Wahabi
muncul, apalagi masa hidup beliau sangat dekat dengan masa hidup para ulama
salaf.
Sebutan Ahlussunnah Wal-Jama'ah bagi Asy'ariyyah
dan "pemimpin Ahlussunnah Wal-Jama'ah" bagi Abul Hasan al-Asy'ari, hanyalah
sebagai suatu penghargaan dari para ulama setelah beliau atas jasa-jasa beliau
dalam menyusun aqidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah serta perjuangan beliau dalam
mempopulerkan dan menyebarluaskannya di saat aqidah sesat Mu'tazilah masih
berkuasa. Tentunya, ini tidak berarti bahwa faham Asy'ariyyah atau
Maturidiyyah adalah satu-satunya yang sah disebut sebagai
Ahlussunnah Wal-Jama'ah, sebab baik Abul Hasan al-Asy'ari maupun Abu
Manshur al-Maturidi hanyalah menyusun apa yang sudah diyakini oleh para ulama
salaf yang bersumber kepada al-Qur'an, Sunnah Rasulullah Saw., dan atsar para
Shahabat. Jadi, mereka hanya menyusun apa yang sudah ada, bukan mencipta
keyakinan yang sama sekali baru.
Di saat para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah merasa berbahagia
dengan mengakui diri sebagai pengikut ajaran Asy'ariyyah, kaum Salafi
& Wahabi justeru malah melepaskan diri dari ikatan itu, dan memberlakukan
terminologi umum tentang Ahlussunnah wal-Jama'ah yang tidak ada hubungannya
dengan Asy'ariyyah. Itu memang hak mereka, tetapi masalahnya, bila di
dalam mempelajari aqidah tidak ada format baku yang disepakati atau tidak ada
ikatan yang jelas dengan para ulama terdahulu dalam memahami al-Qur'an dan
Sunnah Rasulullah Saw. serta atsar para Shahabat, maka akan ada banyak orang
yang dapat seenaknya mengaku sebagai Ahlussunnah Wal-Jama'ah dengan
hanya bermodal dalil-dalil yang mereka pahami sendiri. Dan keadaan ini berbahaya
bagi keselamatan aqidah umat Islam.
Sebagai contoh, kaum Salafi & Wahabi boleh saja mengaku
sebagai Ahlussunnah Wal-Jama'ah yang tidak ada hubungan sejarah dengan
Asy'ariyyah, tetapi asal tahu saja, ternyata tidak seorang pun ulama
Ahlussunnah Wal-Jama'ah yang berfatwa atau berpendapat seperti mereka bahwa
memuji dan menyanjung Rasulullah Saw., bertawassul dengan beliau setelah
wafatnya, dan bertawassul dengan para wali atau orang shaleh yang sudah
meninggal adalah sebuah sarana kemusyrikan. Jadi, siapakah yang lebih pantas
disebut Ahlussunnah Wal-Jama'ah, kaum Salafi & Wahabi yang memahami
aqidah para ulama salaf dengan caranya sendiri sehingga berbeda kesimpulan
dengan para ulama salaf itu, ataukah para pengikut Asy'ariyyah yang
menerima ajaran aqidah ulama salaf secara turun temurun dari generasi ke
generasi melalui para guru dan kitab-kitab mereka?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar