Hadis ini
termasuk salah satu hadis yang dijadikan hujjah oleh sebagian ulama untuk
mengharamkan musik. Kedudukan hadis ini berdasarkan pendapat yang rajih [sesuai
dengan kaidah ilmu hadis] adalah dhaif. Berikut pembahasan rinci tentangnya.
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ ثنا أَبُو
عَاصِمٍ ثنا شَبِيبُ بْنُ بِشْرٍ الْبَجَلِيُّ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ
بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ صَوْتَانِ مَلْعُونَانِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ مِزْمَارٌ
عِنْدَ نِعْمَةٍ، وَرَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيبَة
Telah
menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Aliy yang berkata telah menceritakan kepada
kami Abu ‘Aashim yang berkata telah menceritakan kepada kami Syabiib bin Bisyr
Al Bajalliy yang berkata aku mendengar Anas bin Malik mengatakan Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “dua suara yang dilaknat di dunia dan
akhirat, yaitu suara seruling ketika mendapat nikmat dan suara jeritan ketika
mendapat musibah” [Musnad Al Bazzar 14/62 no 7513]
Riwayat ini
juga disebutkan dalam Kasyf Al Astaar 1/377 no 795, Al Ahaadiits Al Mukhtaarah
Dhiyaa’ Al Maqdisiy no 2200 dan 2201, At Targhiib Wat Tarhiib Abul Qaasim Al
Ashbahaniy 3/238-239 no 2433. Semuanya dengan jalan sanad dari Syabiib bin
Bisyr dari Anas bin Malik secara marfu’.
Riwayat ini
sanadny dhaif karena Syabiib bin Bisyr Al Bajalliy, pendapat yang rajih ia
seorang yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar hadisnya. Yahya bin Ma’in
berkata “tsiqat” [Tarikh Ibnu Ma’in riwayat Ad Duuriy no 3265]. Al Bukhariy
berkata “munkar al hadiits” [Tartib Ilal Tirmidzi no 106]. Abu Hatim berkata
“[layyin] lemah hadisnya dan hadisnya adalah hadis syuyukh [Al Jarh Wat Ta’dil
Ibnu Abi Hatim 4/357 no 1564]. Ibnu Hibban berkata
شَبيب بْن بشر البَجلِيّ يَرْوِي عَن أنس بن مَالك يخطىء
كثيرا رَوَى عَنْهُ أَبُو عَاصِم النَّبِيل وَإِسْرَائِيل
Syabiib bin
Bisyr Al Bajalliy meriwayatkan dari Anas bin Maalik, banyak melakukan
kesalahan, telah meriwayatkan darinya Abu ‘Aashim An Nabiil dan Israiil [Ats
Tsiqat Ibnu Hibban 4/359 no 3343]
Ibnu Syahiin
memasukkan namanya dalam perawi tsiqat dengan mengutip tautsiq Yahya bin Ma’in
[Tarikh Asmaa’ Ats Tsiqat no 540]. Ibnu Khalfuun memasukkannya dalam Ats Tsiqat
[Ikmal Tahdzib Al Kamal Al Mughlathay 6/211 no 2342]. Ibnu Jauziy memasukkannya
ke dalam perawi dhaif dengan mengutip jarh Abu Hatim [Adh Dhu’afa Ibnu Jauziy
no 1610]. Adz Dzahabiy memasukkannya dalam kitabnya Diiwaan Adh Dhu’afa Wal
Matruukin dengan mengutip jarh Abu Hatim [Diiwan Adh Dhu’afa Wal Matruukin no
1861].
Ibnu Hajar
berkata dalam At Taqrib bahwa ia shaduq sering keliru tetapi dikoreksi dalam
Tahrir At Taqrib bahwa Syabiib bin Bisyr dhaif, tidak ada yang menyatakan
tsiqat selain Ibnu Ma’in. Kemudian penulis menyebutkan jarh Bukhariy, Abu Hatim
dan Ibnu Hibban [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 2738].
.
.
Syaikh
Abdullah Al Judai’ dalam kitabnya Al Muusiiq Wal Ghinaa’ Fii Mizan Al Islam hal
407-409 menyatakan hadis di atas dhaif karena Syabiib bin Bisyr perawi yang
dhaif jika tafarrud. Apa yang dikatakan Syaikh tersebut benar dan sesuai dengan
pembahasan di atas.
Syaikh
Abdullah Ramadhan bin Muusa membantah Syaikh Al Judai’ dalam kitabnya
Ar Radd Ala Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 329-333 dimana Syaikh berhujjah
dengan tautsiq Yahya bin Ma’in, Ibnu Syahiin dan Ibnu Khalfun kemudian
menyatakan bahwa Abu Hatim dan Ibnu Hibban termasuk ulama yang terlalu ketat
dalam jarh. Sehingga Syaikh menyimpulkan sanad Al Bazzaar di atas hasan.
Bantahan
Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa tersebut keliru. Ulama yang menyatakan jarh
[celaan] terhadap Syabiib bin Bisyr tidak hanya Abu Hatim dan Ibnu Hibban [yang
keduanya dikenal ketat dalam jarh] tetapi juga Al Bukhariy dengan lafaz jarh
“munkar al hadiits”. Ibnu Hajar menjelaskan soal lafaz jarh Bukhariy ini dalam
biografi Aban bin Jabalah Al Kuufiy
وقال البخاري منكر الحديث ونقل بن القطان ان البخاري قال
كل من قلت فيه منكر الحديث فلا تحل الرواية عنه انتهى وهذا القول مروي بإسناد صحيح
عن عبد السلام بن أحمد الخفاف عن البخاري
Dan Bukhariy
berkata “munkar al hadiits” dan Ibnu Qaththan menukil bahwa Bukhariy berkata
“semua yang aku katakan tentangnya munkar al hadiits maka tidak halal
meriwayatkan darinya”. [Ibnu Hajar berkata] Perkataan ini diriwayatkan dengan
sanad yang shahih dari ‘Abdus Salaam bin Ahmad Al Khaffaaf dari Bukhariy [Lisan
Al Mizan Ibnu Hajar juz 1 no 6]
Imam
Bukhariy termasuk ulama yang tergolong mu’tadil [pertengahan] dalam jarh tidak
terlalu mudah menjarh dan tidak pula tasahul. Hal ini sebagaimana yang dikatakan
oleh Adz Dzahabiy
و المعتدل فيهم أحمد بن حنبل و البخاري و أبو زرعة
Dan golongan
mu’tadil diantara mereka adalah Ahmad bin Hanbal, Bukhariy dan Abu Zur’ah [Al
Muuqidzhah Fi Musthalah Al Hadiits Adz Dzahabiy hal 63]
Selain itu
apa yang dikatakan Abu Hatim terhadap Syabiib bin Bisyr adalah jarh atau
kelemahan pada dhabit-nya yaitu dengan lafaz jarh “layyin al hadiits”.
Dan hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Ibnu Hibban bahwa Syabiib banyak
melakukan kesalahan. Jika kita menggabungkan fakta ini dengan jarh Al Bukhariy
dan tautsiq Ibnu Ma’in maka pendapat yang rajih adalah Syabiib bin Bisyr perawi
yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar.
Syaikh
‘Abdullah Ramadhan bin Muusa juga mengutip tautsiq dari Ibnu Syahiin dan Ibnu
Khalfun terhadap Syabiib tetapi hal ini tidak berpengaruh untuk mengangkat
derajat Syabiib. Tautsiq Ibnu Syahiin pada dasarnya adalah berpegang pada
tautsiq Yahya bin Ma’in sebagaimana dengan jelas disebutkan Ibnu Syahiin dalam
kitabnya Tarikh Asmaa’ Ats Tsiqat.
Sedangkan
Ibnu Khalfun dan kitabnya Ats Tsiqat tidak lagi ditemukan di masa sekarang dan
biasanya tautsiq Ibnu Khalfun dikutip oleh Al Hafizh Al Mughlathay dan Ibnu
Hajar dalam kitab mereka. Ibnu Khalfun termasuk ulama muta’akhirin dan ia
sering menukil tautsiq dari ulama terdahulu maka kemungkinan tautsiqnya disini
berdasarkan ulama terdahulu yang mentautsiq Syabiib [dalam hal ini adalah Yahya
bin Ma’in].
Kalau kita
juga mengandalkan ulama muta’akhirin maka ternukil pula ulama muta’akhirin yang
melemahkan Syabiib bin Bisyr seperti Ibnu Jauziy dan Adz Dzahabiy, dimana
keduanya juga berpegang pada jarh ulama mutaqaddimin yaitu jarh Abu Hatim. Maka
dengan mengumpulkan perkataan ulama mutaqaddimin dan muta’akhirin tentang
Syabiib bin Bisyr tetap akan menghasilkan kesimpulan bahwa ia perawi dhaif jika
tafarrud.
.
.
.
Hadis Anas
di atas dengan matan yang sama memiliki syahid dari hadis Ibnu ‘Abbaas. Hanya
saja sanad hadis Ibnu ‘Abbaas ini maudhu’
حدثنا بن ياسين ثنا محمد بن معاوية ثنا محمد بن زياد ثنا
ميمون عن بن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال صوتان ملعونان في الدنيا
والاخره صوت مزمار عند نعمه وصوت رنة عند مصيبة
Telah
menceritakan kepada kami Ibnu Yasiin yang berkata telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin Mu’awiyah yang berkata telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Ziyaad yang berkata telah menceritakan kepada kami Maimun dari
Ibnu ‘Abbaas dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang berkata dua suara
yang dilaknat di dunia dan akhirat adalah suara seruling ketika mendapat nikmat
dan suara jeritan ketika mendapat musibah [Al Kamil Ibnu Adiy 7/298-299]
Riwayat ini
maudhu’ [palsu] karena Muhammad bin Ziyaad Ath Thahhaan Al Yasykuriy. Yahya bin
Ma’in mengatakan ia pendusta. Ahmad bin Hanbal mengatakan ia pendusta pemalsu
hadis. Al Bukhariy berkata “matruk al hadiits”. ‘Amru bin ‘Aliy berkata “matruk
al hadiits munkar al hadiits” [Al Kamil Ibnu Adiy 7/296-298 no 1632]
.
.
.
Ada hadis
lain yang dijadikan hujjah untuk menguatkan hadis Anas bin Malik di atas yaitu
hadis berikut
حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ قَالَ حَّدَثَنَا الحُسَيْنُ قَالَ
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ
الْعِجْلِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا
ابْنُ أَبَى لَيْلَى , عَنْ عَطَاءٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ إِنِّي نَهَيْتُ عَنْ صَوْتَيْنِ أَحْمَقَيْنِ فَاجِرَيْنِ صَوْتٌ عِنْدَ
نِعْمَةٍ لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَمَزَامِيرُ شَيْطَانٍ وَصَوْتٌ عِنْدَ مُصِيبَةٍ
خَمْشُ وُجُوهٍ وَشَقُّ جُيُوبٍ وَرَنَّةُ شَيْطَانٍ
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami
Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah
menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Utsman Al Ijliy yang berkata telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Numair yang berkata telah menceritakan
kepada kami Ibnu Abi Laila dari ‘Atha’ dari Jabir bin ‘Abdullah dari
‘Abdurrahman bin ‘Auf bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda
“aku melarang dua suara yang bodoh lagi fajir yaitu suara ketika mendapat
nikmat hiburan permainan seruling-seruling syaithan dan suara ketika mendapat
musibah, mencakar wajah, merobek pakaian dan jeritan syaithan [Dzammul Malaahiy
Ibnu Abi Dunyaa hal 59-60 no 64]
Riwayat
‘Abdullah bin Numair Al Hamdaaniy dari Ibnu Abi Laila di atas juga disebutkan
oleh Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat 1/114-115, dan Al Ajurriy dalam Tahrim An
Nardu hal 201 hadis 63. Abdullah bin Numair memiliki mutaba’ah dari
- Nadhr bin Ismaiil sebagaimana disebutkan Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat 1/114-115, Al Bazzar dalam Musnad-nya 3/214 no 1001, Al Ajurriy dalam Tahrim An Nardu hal 201 hadis 63, Ahmad bin Mani’ dalam Musnad-nya sebagaimana dinukil Ibnu Hajar dalam Mathalib Al ‘Aliyyah hal 359 no 844
- Isra’iil bin Yunuus sebagaimana disebutkan Ath Thahawiy dalam Syarh Ma’aaniy Al Atsaar 4/293 no 6975, Abu Ya’la dalam Al Maqshad Al ‘Aliy Fii Zawaid Abu Ya’la Al Haitsamiy no 441 dan Al Hakim dalam Al Mustadrak 4/43 no 6825
- Yunuss bin Bukair sebagaimana disebutkan Al Baihaqiy dalam Syu’aab Al Iimaan 7/241 no 10163 dan Al Ajurriy dalam Tahrim An Nardu hal 201 hadis 63
- Aliy bin Mushir sebagaimana disebutkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At Tamhiid 24/442-443
- ‘Imraan bin Muhammad bin ‘Abi Laila sebagaimana disebutkan Al Baghawiy dalam Syarh As Sunnah 5/437-438 no 1535 dengan matan ringkas tanpa menyebutkan lafaz “dua suara yang bodoh lagi fajir”.
Mereka semua
meriwayatkan dengan jalan sanad dari Ibnu ‘Abi Laila dari Atha’ bin Abi Rabah
dari Jabir dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf secara marfu’. Dan mereka diselisihi oleh
sebagian perawi lain yang meriwayatkan dari Ibnu Abi Laila dari Atha’ dari
Jabir [tanpa menyebutkan dalam sanadnya ‘Abdurrahman bin ‘Auf] yaitu
- Abu ‘Awanah Al Yasykuriy sebagaimana disebutkan Abu Dawud Ath Thayalisiy dalam Musnad-nya 3/262-263 no 1788, Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 4/69 no 6943, Syu’ab Al Iimaan 7/242 no 10164, dan Al ‘Adaab hal 472 no 1068, Al Baghawiy dalam Syarh As Sunnah 5/430-431 no 1530.
- Ubaidillah bin Muusa sebagaimana disebutkan Abdu bin Humaid dalam Al Muntakhab Min Musnad ‘Abdu bin Humaid 2/129-130 no 1004
- ‘Aliy bin Haasyim sebagaimana disebutkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 4/569 no 12243
- Iisa bin Yunus sebagaimana disebutkan At Tirmidzi dalam Sunan-nya 3/328 no 1005 hanya saja matannya tidak menyebutkan lafaz “suara ketika mendapat nikmat hiburan permainan seruling-seruling syaithan”. Tetapi lafaz ini disebutkan dalam riwayat lain Iisa bin Yunus oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin 2/253
Maka nampak
bahwa terjadi idhthirab pada sanad tersebut yaitu pada Muhammad bin
‘Abdurrahman bin Abi Laila dimana terkadang ia menjadikan hadis ini sebagai
hadis Jabir dan terkadang ia menjadikan hadis ini sebagai hadis’Abdurrahman bin
‘Auf.
Muhammad bin
‘Abdurrahman bin Abi Laila berdasarkan pendapat yang rajih adalah perawi dhaif
tetapi bisa dijadikan i’tibar hadisnya, sebagian ulama khususnya telah
melemahkan hadisnya dari Atha’ bin Abi Rabah.
Ahmad bin
Hanbal berkata “buruk hafalannya”. Ahmad mengatakan bahwa Yahya bin Sa’id
menyerupakannya dengan Mathar Al Warraaq yaitu dalam buruk hafalannya. Ahmad
bin Hanbal berkata “mudhtharib al hadiits”. Ahmad bin Hanbal juga berkata
“fiqih Ibnu Abi Laila lebih aku sukai daripada hadisnya, di dalam hadisnya
terdapat idhthirab”. Terkadang Ahmad menyatakan ia dhaif dan terkadang berkata
“tidak bisa berhujjah dengannya”. Ahmad bin Hanbal juga pernah berkata “Ibnu
Abi Laila dhaif dan dalam riwayat Atha’ ia banyak melakukan kesalahan”. Ahmad
bin Hanbal juga mengatakan Yahya telah mendhaifkan Ibnu Abi Laila dan Mathar
dalam riwayatnya dari Atha’ [Mausu’ah Aqwaal Ahmad hal 285-287 no 2373]
Yahya bin
Ma’in berkata “bukan seorang yang tsabit dalam hadis”. Yahya bin Ma’in juga
pernah berkata “Ibnu Abi Laila dhaif”. Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa Yahya
bin Sa’id tidak meriwayatkan hadis dari Ibnu Abi Laila yaitu apa yang
diriwayatkannya dari Atha’. [Mausu’ah Aqwaal Yahya bin Ma’in hal 218-219 no
3501].
Daruquthniy
berkata “buruk hafalannya” terkadang berkata “ia tsiqat terdapat sesuatu dalam
hafalannya” terkadang berkata “ia banyak melakukan kesalahan” dan terkadang
berkata “bukan seorang hafizh” [Mausu’ah Aqwaal Daruquthniy hal 596 no 3198]
Al Ijliy
berkata “orang kufah shaduq tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat hal 243 no 1618].
Syu’bah berkata “aku tidak pernah melihat orang yang lebih jelek hafalannya
dari Ibnu Abi Laila”. Abu Hatim mengatakan bahwa Ibnu Abi Laila tempat
kejujuran jelek hafalannya tetapi tidak dituduh dengan dusta, ia diingkari
karena banyak melakukan kesalahan, ditulis hadisnya tetapi tidak bisa dijadikan
hujjah. Abu Zur’ah berkata “shalih tidak kuat” [Al Jarh Wat Ta’dil 7/322-323 no
1739]. Nasa’iy berkata “tidak kuat dalam hadis” [Adh Dhu’afa An Nasa’iy hal 214
no 550]. Ibnu Hibban mengatakan bahwa Ibnu Abi Laila buruk hafalannya banyak
melakukan kesalahan dan banyak hal-hal mungkar dalam riwayatnya sehingga
selayaknya ditinggalkan, Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in meninggalkannya
[Al Majruhin Ibnu Hibban 2/251 no 918]
Ibnu Jarir
Ath Thabariy berkata “tidak berhujjah dengannya”. Yaqub bin Sufyan menyatakan
tsiqat terdapat pembicaraan pada sebagian hadisnya dan ia layyin al hadiits di
sisi para ulama. Ibnu Madiniy berkata “buruk hafalannya dan lemah hadisnya”.
Abu Ahmad Al Hakim berkata “sebagian besar hadis-hadisnya terbalik”. As Sajiy
mengatakan bahwa ia jelek hafalannya tetapi bukan pendusta, ia terpuji dalam
keputusannya, adapun dalam hadis maka tidak menjadi hujjah. Ibnu Khuzaimah
mengatakan ia bukan seorang yang hafizh tetapi faqih lagi alim [Tahdzib At
Tahdzib Ibnu Hajar juz 9 no 503]
Dengan
mengumpulkan semua perkataan ulama tentangnya maka Muhammad bin ‘Abdurrahman
bin Abi Laila adalah perawi yang dhaif tidak bisa dijadikan hujjah karena
hafalannya yang sangat buruk dan banyaknya kesalahan serta riwayat-riwayat
mungkarnya. Tetapi ia bisa dijadikan i’tibar hadisnya dengan dasar pernyataan
sebagian ulama bahwa ia tsiqat atau shaduq. Khusus untuk riwayatnya dari Atha’
bin Abi Rabah maka kedudukannya dhaif sebagaimana dinyatakan oleh Yahya bin
Sa’id dan ditegaskan oleh Ahmad bin Hanbal bahwa riwayatnya dari Athaa’ banyak
terdapat kesalahan. Ibnu Hibbaan dalam Al Majruuhin memasukkan hadis Ibnu Abi
Laila dari Atha’ di atas sebagai bagian dari riwayat mungkarnya.
Hadis Ibnu
Abi Laila di atas dhaif dan tidak bisa dijadikan i’tibar karena termasuk bagian
dari kemungkaran atau kesalahan Ibnu Abi Laila. Hadis Ibnu Abi Laila tidak bisa
dikuatkan dengan hadis Syabib bin Bisyr sebelumnya, begitu pula sebaliknya
hadis Syabib bin Bisyr tidak pula dikuatkan oleh hadis Ibnu Abi Laila. Apalagi tidak
ada bukti atau qarinah yang menunjukkan bahwa hadis Syabib bin Bisyr tersebut
adalah hadis yang sama dengan hadis Ibnu Abi Laila atau ringkasan dari hadis
Ibnu Abi Laila karena dari segi matan lafaz kedua hadis tersebut tidak sama.
.
.
.
Hadis riwayat
Anas bin Malik yang matannya lebih tepat sebagai syahid bagi hadis Ibnu Abi
Laila adalah hadis yang disebutkan oleh Syaikh Al Albaniy dan Syaikh Al Judai’.
Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ahadiits Ash Shahihah hal 190 no 2157
mengatakan
“Aku
menemukan jalan lain tentangnya, Ibnu As Sammaak berkata dalam Al ‘Awwal Min
Hadiits-nya 2/87 telah menceritakan kepada kami Husain yang berkata telah
menceritakan kepada kami Ubaid bin ‘Abdurrahman At Tamiimiy yang berkata telah
menceritakan kepadaku Iisa bin Thahmaan dari Anas seperti hadis Ibnu Abi Laila
di atas”
Syaikh Al
Judai’ dalam Al Muusiiq Wal Ghinaa’ Fii Mizan Al Islam hal 410 juga
menyebutkan hadis Anas ini dan menyebutkan sebagian matannya
“Aku
menyebutkan mutaba’ah yaitu apa yang diriwayatkan oleh Abu ‘Amru Utsman bin
Ahmad Ibnu As Sammaak dalam Al ‘Awwaal Min Hadiits-nya 2/87 dari Jalan Ubaid
bin ‘Abdurrahman At Taimmiy yang berkata telah menceritakan kepadaku Iisa bin
Thahmaan dari Anas yang berkata [maka ia menyebutkan kisah wafatnya Ibrahim
putra Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam] dan di dalamnya terdapat lafaz “maka
meneteslah air matanya, sahabatnya berkata kepadanya “wahai Nabi Allah bukankah
engkau telah melarannangis?. Maka Beliau berkata “aku tidak melarangnya,
sesungguhnya aku hanya melarang dua suara bodoh lagi fajir yaitu suara ketika
mendapat musibah ratapan dan nyanyian, kami sangat bersedih atasmu wahai
Ibrahim”
Perkataan
Syaikh Al Judai’ bahwa hadis ini mutaba’ah bagi hadis Syabiib bin Bisyr keliru
karena matannya tidak sama, yang benar adalah ia menjadi syahid bagi hadis Ibnu
Abi Laila sebelumnya. Dan hadis ini tidaklah tsabit sebagai syahid karena
sanadnya dhaif [Syaikh Al Judai’ juga melemahkan hadis ini dan menyatakan tidak
baik sebagai mutaba’ah]. Ubaid bin ‘Abdurrahman yang meriwayatkan dari Iisa bin
Thahmaan adalah perawi majhul. Abu Hatim berkata “aku tidak mengenalnya dan
hadis riwayatnya dusta” [Al Jarh Wat Ta’dil 5/410 no 1905]
.
.
Syaikh Al
Judai’ dalam kitabnya Al Muusiiq Wal Ghinaa’ Fii Mizan Al Islam hal
402-407 menjelaskan secara detail takhrij hadis Ibnu Abi Laila di atas dan
penjelasan akan kelemahannya. Hal ini sesuai dengan pembahasan kami di atas
bahwa hadis Ibnu Abi Laila dhaif dan tidak bisa dijadikan mutaba’ah bagi hadis
Anas bin Malik.
Syaikh
‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam Ar Radd Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 333-335
ketika membantah Syaikh Al Judai’, ia menyatakan bahwa idhthirab Ibnu Abi Laila
di atas tidak bersifat menjatuhkan karena perselisihan sanad itu hanya seputar
sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut yaitu dari Jabir yang menyebutkan
kisah ‘Abdurrahman bin ‘Auf atau Jabir dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf yang
menceritakan kisahnya sendiri. Kesimpulannya menurut Syaikh Abdullah Ramadhan
bin Muusa kedua sanad tersebut benar.
Apa yang
dikatakan Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa soal idhthirab tersebut memang
benar dengan catatan idhthirab tersebut bukanlah menjadi sebab yang melemahkan
sanad tersebut. Kelemahan riwayat Ibnu Abi Laila di atas bukan terletak pada
sebab sanadnya yang terbukti idhthirab tetapi pada kelemahan hafalan atau
dhabit Ibnu Abi Laila.
Adapun
idhthirab sanad tersebut hanya menjadi qarinah yang menunjukkan bahwa dhabit
[hafalan] Ibnu Abi Laila dalam hadis ini bermasalah. Sehingga dengan statusnya
yang buruk hafalannya dan mudhtharib hadisnya serta ia banyak melakukan
kesalahan [khususnya riwayat dari Atha’] maka menjadi lengkaplah bahwa hadis
Ibnu Abi Laila disini dhaif dan bagian dari kesalahan atau kemungkarannya.
Seandainya Ibnu Abi Laila ini seorang yang tsiqat tsabit maka tidak ada celah
untuk mengatakan bahwa idhthirab tersebut adalah kelemahan dalam dhabitnya
tetapi faktnya Ibnu Abi Laila memang seorang yang buruk hafalannya maka
idhthirab tersebut menjadi qarinah kuat akan kelemahan dhabitnya.
Syaikh
‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam kitabnya Ar Radd ‘Ala Al Qaradhawi Wal
Judai’ hal 339-340 mengutip pernyataan Tirmidzi dan Al Baghawiy yang menyatakan
hadis ini hasan kemudian Beliau mengatakan sekelompok ulama hadis menyebutkan
hadis ini tanpa menyatakan mungkar.
Bantahan
Syaikh tersebut tidak memiliki hujjah yang kuat. Ulama hadis mengutip suatu
hadis dalam kitabnya tanpa menyebutkan kelemahan atau kemungkaran hadis
tersebut adalah fenomena yang wajar, tidak ada hujjah yang bisa diambil dari
sini. Hujjah hanya bisa diambil dari pernyataan sharih [jelas] ulama terhadap
hadis yang dikutipnya, apakah hadis tersebut shahih, dhaif atau mungkar. Adapun
penghasanan Tirmidzi dan Al Baghawiy telah diselisihi oleh Ibnu Hibban dan Ibnu
Thahir [sebagaimana dikutip Syaikh Al Judai’ dalam Al Muusiiq Wal Ghinaa’ Fii
Mizan Al Islam hal 407].
Anehnya
Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam kitabnya Ar Radd ‘Ala Al Qaradhawi
Wal Judai’ hal 346 seolah ingin membantah Ibnu Hibban dengan menyatakan bahwa
ia termasuk ulama yang terlalu mudah dalam menjarh perawi. Pernyataan ini benar
tetapi keliru jika menjadikan seolah-olah semua perkataan jarh Ibnu Hibban terhadap
perawi tertolak karena ia dikenal mudah dalam menjarh. Harus ada qarinah yang
menunjukkan bahwa Ibnu Hibban memang berlebihan dalam mencela perawi tertentu.
Misalkan
jika perawi yang bersangkutan adalah perawi kitab Shahih yang dikenal tsiqat
kemudian Ibnu Hibban mencela dengan mengatakan ia meriwayatkan hadis palsu.
Maka sudah jelas jarh Ibnu Hibban bertentangan dengan para ulama hadis lain
yang lebih mu’tabar darinya.
Dalam kasus
hadis Ibnu Abi Laila di atas apa yang dikatakan Ibnu Hibban sudah sesuai dengan
pendapat para ulama hadis bahwa Ibnu Abi Laila termasuk perawi yang lemah dalam
dhabitnya [buruk hafalannya] dan banyak melakukan kesalahan bahkan Yahya bin
Sa’id dan Ahmad bin Hanbal secara khusus melemahkan hadis Ibnu Abi Laila dari
Atha’. Jadi tidak ada alasan menuduh Ibnu Hibban disini terlalu mudah menjarh.
Justru yang
nampak adalah At Tirmidzi yang menghasankan hadis Ibnu Abi Laila di atas
menunjukkan sikap tasahul-nya dalam menguatkan hadis. Dan At Tirmidzi memang
dikenal ulama yang tasahul dalam tashih dan tahsin hadis dalam kitab Sunan-nya.
Bagaimana mungkin dikatakan hasan jika Ibnu Abi Laila adalah perawi yang buruk
hafalannya dan banyak melakukan kesalahan. Jika yang dimaksudkan Tirmidzi
dengan hasan dalam hadis Ibnu Abi Laila itu adalah hasan lighairihi maka
mengapa ia tidak menyebutkan syahid bagi hadis Ibnu Abi Laila yang ia kutip.
Bukankah At Tirmidzi seringkali menyebutkan syahid pada sebagian hadis yang ia
sebutkan dalam kitab Sunan-nya.
Kesimpulannya disini adalah apa yang dikatakan
Syaikh Al Judai’ bahwa hadis ini dhaif adalah pendapat yang benar, adapun
pembelaan dan bantahan Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa tersebut keliru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar