Syi’ah Benar karena Hadis
Tsaqalain, Wahabi dusta karena menolak tsaqalain
Wahabi Ketahuan Berdusta ! Syiah Tidak Berdusta
“Kutinggalkan
sepeninggalku Kitab Allah (Al-Quran) dan itrahku (Ahlulbait). Keduanya tidak
akan terpisah sampai hari kiamat.”
Hadis
Tsaqalain (حدیث ثقلین) adalah sebuah hadis yang sangat masyhur dan mutawatir
dari Nabi Muhammad Saw yang bersabda, “Kutinggalkan sepeninggalku Kitab Allah
(Al-Quran) dan itrahku (Ahlulbait). Keduanya tidak akan terpisah sampai hari
kiamat.”
Hadis ini
diterima oleh seluruh kaum Muslimin baik Syiah maupun Sunni, dan termaktub
dalam kitab-kitab hadis dari kedua mazhab besar tersebut.
Bagi muslim
Syiah, hadis ini merupakan pegangan utama untuk menguatkan doktrin pentingnya
keimamahan, menguatkan dalil kemaksuman para Imam As dan juga sebagai dalil
yang menetapkan keharusan adanya imam di setiap zaman.
Matan Hadis
Hadis ini
meski diriwayatkan dengan jalur yang berbeda, dan dengan bunyi teks yang
beragam namun tetap mengandung muatan pesan yang sama. Dalam Ushul Kāfi, yang
merupakan salah satu dari empat kitab utama mazhab Syiah menyebutkan:
«…إِنِّی
تَارِک فِیکمْ أَمْرَینِ إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوا- کتَابَ اللَّهِ
عَزَّ وَ جَلَّ وَ أَهْلَ بَیتِی عِتْرَتِی أَیهَا النَّاسُ اسْمَعُوا وَ قَدْ
بَلَّغْتُ إِنَّکمْ سَتَرِدُونَ عَلَی الْحَوْضَ فَأَسْأَلُکمْ عَمَّا فَعَلْتُمْ
فِی الثَّقَلَینِ وَ الثَّقَلَانِ کتَابُ اللَّهِ جَلَّ ذِکرُهُ وَ أَهْلُ
بَیتِی…».
“Aku
tinggalkan di tengah-tengah kalian dua pusaka yang jika kalian mengikuti
keduanya maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, (yaitu) Kitab Allah
dan Itrahku dari Ahlulbaitku. Wahai manusia, dengarkanlah, aku sampaikan kepada
kalian, kalian akan menemuiku di tepi telaga al-Haudh. Aku akan mempertanyakan
kepada kalian, apa yang telah kalian perbuat terhadap dua pusaka berharga ini,
yaitu Kitab Allah dan Ahlulbaitku.” [1]
Sunan Nasai,
salah satu dari enam kitab sahih Ahlusunnah, meriwayatkan”
«… کأنی قد
دعیت فاجبت، انی قد ترکت فیکم الثقلین احدهما اکبر من الآخر، کتاب الله و عترتی
اهل بیتی، فانظروا کیف تخلفونی فیهما، فانهما لن یفترقا حتی یردا علی الحوض…».
“Ajalku
sudah mendekat. Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua sesuatu yang sangat
berharga, yang salah satu dari yang lainnya lebih besar, (yaitu) Kitab Allah
dan Itrah Ahlulbaitku. Karenanya perhatikan bagaimana kalian memperlakukan
keduanya. Keduanya tidak akan terpisah sampai kalian menemuiku di tepi telaga
al-Haudh.” [2]
Sumber
dan Sanad Hadis
Hadis ini
termasuk dalam riwayat yang diterima oleh semua ulama Islam baik dari kalangan
Syiah maupun Sunni, yang dari sisi sanad tidak seorangpun yang mampu melemahkan
dan mengkritiknya.
Sumber dari
Literatur Ahlusunnah
Menurut
kitab Hadits al-Tsaqalain wa Maqāmāt Ahl al-Bait [3], hadis Tsaqalain ini
diriwayatkan lebih dari 25 orang perawi dari kalangan sahabat yang mendengarkan
langsung dari Nabi Muhammad Saw.
Berikut di
antara nama-nama sahabat yang meriwayatkan hadis Tsaqalain:
*Zaid bin
Arqam. Darinya terdapat 6 jalur periwayatan sebagaimana yang tertulis dalam
kitab Sunan Nasai [4], al-Mu’jam al-Kabir Thabrani [5], Sunan Tirmidzi [6],
Mustadrak Hākim [7], Musnad Ahmad [8] dan sejumlah kitab yang lain.
*Zaid bin
Tsabit. Dimuat dalam Musnad Ahmad [9] dan al-Mu’jam al-Kabir Thabrani. [10]
*Jabir bin
Abdullah. Dimuat dalam kitab Sunan Tirmidzi [11], al-Mu’jam al-Kabir [12], dan
al-Mu’jam al-Ausath [13] Thabrani.
*Huzaifah
bin Asid. Dalam kitab al-Mu’jam al Kabir Thabrani. [14].
*Abu Sa’id
Khudri. Dalam empat bab dari Musnad Ahmad [15] dan Dhua’fa al-Kabir al-Aqili.
[16].
*Imam Ali
As, dengan dua jalur periwayatan yang terdapat dalam Dar al-Bahr al-Zakhār atau
juga dikenal dengan kitab Musnad al-Bazāz [17] dan Kanz al-‘Ummāl. [18]
*Abudzar
Ghifari. Dalam kitab al-Mu’talaf wa al-Mukhtalaf Dāruqutni. [19]
*Abu
Huraira. Dalam kitab Kasyf al-Atsār ‘an Zawaid al-Bazār. [20]
*Abdullah
bin Hanthab. Dalam Usd al-Ghabah. [21]
*Jubair bin
Math’am. Dalam Dhalāl al-Jannah. [22]
Dan sejumlah
dari sahabat Anshar, di antaranya: Khuzaimah bin Tsabit, Sahl bin Sa’ad, ‘Adi
bin Hatim, Uqbah bin ‘Amir, Abu Ayyub Anshari, Abu Sa’id al-Khudri, Abu Syarih
al-Khaza’i, Abu Qadamah Anshari, Abu Laila, Abu al-Haitam bin al-Taihan, dan
sebagian lagi dari Bani Qurays yang menghendaki Amirul Mukminin Ali bin Abi
Thalib As untuk bangkit dengan menukilkan hadis Tsaqalain tersebut. [23]
Bahrani,
penulis kitab Ghāyah al-Marām wa Hujjat al-Khishām juga menyebutkan bahwa
hadis ini diriwayatkan melalui 39 jalur yang terdapat dalam banyak kitab
Ahlusunnah.
Jadi
sebagaimana yang telah disebutkan, hadis ini terdapat setidaknya dalam kitab
Musnad Ahmad, Sahih Muslim, Manāqib ibn al-Maghāzali, Sunan Tirmidzi, al-‘Umdah
Tsa’labi, Musnad Abi Ya’la, al-Mu’jam al-Ausath Thabrani, al-‘Umdah ibn
al-Bathriq, Yanābih al-Mawaddah Qunduzi, al-Tharaif ibn al-Maghāzali, Faraid
al-Simthain dan Syarah Nahj al-Balāgah Ibn Abi al-Hadid. [24]
Sumber dari
Literatur Syiah
Bahrani,
penulis kitab Ghāyah al-Marām wa Hujjat al-Khishām menyebutkan dalam sumber
periwayatan Syiah terdapat 82 hadis yang mengandung muatan sebagaimana hadis
Tsaqalain, diantaranya terdapat dalam kitab al-Kāfi, Kamāl al-Din, Amāli
Shaduq, Amāli Mufid, Amāli Thusi, ‘Uyun Akhbar al-Ridha, al-Ghaibat Nu’māni,
Bashāir al-Darajāt dan banyak lagi dari kitab yang lain. [25]
Ulama-ulama
Syiah yang secara khusus membahas hadis Tsaqalain dalam karyanya diantaranya
terdapat dalam kitab-kitab berikut:
Kitab
berbahasa Persia: Hadits Tsaqalain, karya Qawam al-Din Muhammad Wasynawi Qumi,
Sa’ādat al-Dārin fi Syarah Hadits Tsaqalain buah karya Abdul Aziz Dahlawi.
Kitab
berbahasa Arab: Hadits Tsaqalain karya Najm al-Din Askari, Hadits Tsaqalain
karya Sayyid Ali Milani dan Hadits Tsaqalain wa Maqāmāt Ahl al-Bait karya Ahmad
al-Mahuzi.
Waktu dan
Tempat Keluarnya Hadis
Mengenai
kapan dan dimana hadis Tsaqalain disampaikan oleh Rasulullah Saw, terdapat
perbedaan pendapat. Misalnya, Ibnu Hajar Haitami [26] menyebutkan bahwa hadis
Tsaqalain disebutkan Nabi Muhammad Saw sekembalinya dari Fathu Mekah di Thaif,
namun yang lain menyebutkan waktu dan tempat yang berbeda dari pendapat
tersebut.
Perbedaan
pendapat yang terjadi tidak bisa ditinggalkan begitu saja, namun setidaknya
bisa diambil kesimpulan bahwa terjadinya perbedaan pendapat tersebut disebabkan
karena memang Nabi Muhammad Saw telah menyampaikan hadis tersebut diberbagai
tempat dan waktu yang berbeda-beda. Terutama di waktu-waktu terakhir dari
kehidupannya, ia sering mengingatkan kaum muslimin akan keutamaan Tsaqalain
(dua pusaka berharga) yang ditinggalkannya, yaitu Al-Quran dan Ahlulbait. [27]
Berikut
riwayat-riwayat yang menyebutkan tempat dan waktu keluarnya hadis ini:
*Pada hari
Arafah, disaat menunggangi unta [28], pada saat penyelenggaran haji wada’ [29]
*Di
persimpangan jalan, di sekitar wilayah Ghadir Khum, sebelum para jemaah haji
terpisah satu sama lain. [30].
*Disampaikan
saat khutbah di hari Jum’at bersamaan dengan disampaikannya hadis Ghadir. [32]
*Sehabis
shalat berjama’ah di masjid Khaif, dihari terakhir hari Tasyrik. [33]
*Di atas
mimbar. [34]
*Di
penghujung khutbah yang dibacakan untuk seluruh jama’ah. [35]
*Di dalam
khubah setiap selesai shalat berjamaah. [36]
*Di ranjang,
saat Nabi Saw terbujur sakit, sementara para sahabat berdiri mengelilinginya.
[37]
Sunnah atau
Itrah?
Sebagian
literatur Ahlusunnah menyebutkan “sunnati” sebagai pengganti “itrahti” dalam
hadis Tsaqalain. [38] Namun teks tersebut jarang ditemukan, bahkan tidak
terdapat sama sekali dalam kitab-kitab muktabar Ahlusunnah. Para ulama
Ahlusunnah sendiri tidak memberikan perhatian yang cukup besar terhadap hadis
yang memuat teks “sunnati” termasuk dari kalangan ahli kalam khususnya dalam
pembahasan ikhtilaf antar mazhab.
Siapakah yang
Dimaksud Itrah?
Dalam banyak
periwayatan, kata ‘Ahlulbait’ mucul sebagai penjelas dari ‘Itrahti’, namun
sebagian riwayat hanya menyebutkan ‘Itrat’ [39] dan sebagian lainnya hanya
menyebut ‘Ahlulbait’ [40] yang kemudian terulang lagi ketika Nabi Saw menyampaikan
pesannya. [41]
Pada
sebagian periwayatan-periwayatan Syiah dari hadis Tsaqalain, mengenai
penjelasan Ahlulbait Nabi Saw mengisyaratkan keberadaan 12 Imam maksum. [42]
Keutamaan
Hadis
Para ulama
Syiah meriwayatkan hadis ini dalam banyak kitab-kitab mereka. Yang dengan
keberadaan hadis tersebut, mereka menggunakannya sebagai dalil yang menguatkan
aqidah Syiah mereka. Mirhamad Husain Kunturi Hindi (w. 1306 H) dalam kitab
‘Abaqāt al-Anwar, jilid 1 sampai 3 menukilkan hadis ini dengan menyandarkan
pada periwayatan Ahlusunnah, dan menyebutkan betapa penting dan tingginya
posisi hadis ini di sisi mereka. Dalam pembahasan mengenai imamah, hadis ini ia
dahulukan sebagai hujjah dibandingkan hadis yang lain.
Dari hadis
ini, dapat diambil beberapa poin penting yang dapat menetapkan dan membuktikan
kesahihan ajaran Syiah:
Kewajiban
Mengikuti Ahlulbait
Dalam
riwayat ini, Ahlulbait diposisikan berdampingan dengan Al-Quran. Sebagaimana
kaum muslimin diwajibkan untuk menataati Al-Quran, maka menaati Ahlulbait juga
wajib hukumnya.
Kemaksuman
Ahlulbait
Ada dua poin
yang terdapat dalam hadis Tsaqalain yang menguatkan bukti kemaksuman Ahlulbait:
*Menegaskan
jika Al-Quran dan Ahlulbait dijadikan pedoman dan petunjuk, maka tidak akan
terjadi penyimpangan dan penyelewengan. Hal ini menunjukkan dalam bimbingan dan
ajaran Ahlulbait tidak terdapat kesalahan sedikitpun.
*Ketidakterpisahan
Al-Quran dan Ahlulbait, Posisi keduanya sama sebagai pusaka Nabi Saw yang
sangat berharga dan menjadi pedoman bagi umat manusia. Sebagimana telah menjadi
kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwa dalam kitab Al-Quran tidak terdapat
kesalahan, maka tsaqal lainnya yaitu Ahlulbait, sudah tentu juga tidak terdapat
kesalahan padanya.
Sebagian
dari muhakik/peneliti Ahlusunnah juga menjadikan hadis Tsaqalain sebagai dalil
yang menunjukkan keutamaan besar yang dimiliki Ahlulbait dan hujjah atas
kesucian mereka dari kotoran dan kesalahan. [43]
Keharusan
Adanya Imam
Pada matan
hadis, juga terdapat poin penting yang menguatkan dalil akan keharusan adanya
imam sampai akhir zaman.
*Ketidakterpisahan
Ahlulbait dengan Al-Quran menunjukan bukti akan keniscayaan imam dari kalangan
Ahlulbait Nabi Saw yang akan terus bersama Al-Quran. Sebagaimana diyakini,
al-Quran adalah sumber abadi pedoman dalam berislam, maka meniscayakan akan
selalu ada dari kalangan Ahlulbait yang akan mendampingi Al-Quran untuk
memberikan penjelasan dan sebagai sumber rujukan.
*Nabi Saw
menegaskan bahwa kedua pusaka berharga yang diwariskannya, tidak akan terpisah
sampai Nabi Muhammad Saw ditemui di tepi telaga Kautsar.
*Nabi Saw
menjamin, barangsiapa mengikuti keduanya, tanpa memisahkannya, maka tidak akan
tersesat selama-lamanya.
Imam Zarqani
Maliki, salah seorang ulama Ahlusunnah, dalam kitab Syarah a-Mawāhib [44]
menukil Allamah Samhudi yang menyatakan, “Dari hadis ini dapat dipahami bahwa,
sampai kiamat akan tetap ada dari kalangan Itrah Nabi Saw yang ia layak untuk
dijadikan pegangan. Jadi sebagaimana yang tersurat, maka hadis ini menjadi
dalil akan keberadaannya. Sebagaimana kitab (yaitu Al-Quran) tetap ada, maka
mereka (yaitu Itrah) juga tetap ada di muka bumi.” [45]
Ilmu
Ahlulbait Sebagai Narasumber
Sebagaimana
diketahui bahwa Al-Quran adalah rujukan utama aqidah dan ahkam amali semua kaum
muslimin, sementara hadis ini menyebutkan bahwa Ahlulbait tidak akan pernah
terpisah dengan Al-Quran, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Ahlulbait
adalah juga sumber rujukan keilmuan Islam yang tidak terdapat di dalamnya
kesalahan.
Sayid Abdul
-Husain Syaraf al-Din dalam dialognya dengan Syaikh Sulaim Busyra –sebagaimana
dimuat dalam kitab al-Murāja’āt- menjelaskan dengan sangat baik mengenai
kemarjaan ilmu para Aimmah As dan wajibnya untuk mengikuti petunjuk dan
ajaran-ajaran mereka. [46]
Hadis
Tsaqalain dan Pendekatan antar Mazhab
Sebagaimana
telah disebutkan bahwa hadis Tsaqalain adalah hadis mutawatir yang diakui
kesahihannya oleh Syiah dan Sunni, maka sepatutnya keberadaan hadis ini menjadi
penyebab dan pendorong upaya persatuan Islam dan upaya pendekatan antar mazhab.
Sebagaimana misalnya, yang pernah diupayakan oleh Sayid Abdul Husain
Syarafuddin, salah seorang ulama Syiah dengan Syaikh Sulaim Busyra dari ulama
Ahlusunnah. Dialog keduanya yang penuh semangat ukhuwah dan persaudaraan Islami
dapat dirujuk dalam kitab al-Murājā’at. Atau sebagaimana upaya keras dan
konsisten dari Ayatullah Burujerdi untuk menggalakkan aktivitas pendekatan
antar mazhab yang tersinpirasi dari pesan hadis Tsaqalain ini. [47]
Sumber: http://id.wikishia.net
Catatan Kaki
[1] Kulaini,
Kāfi, jld. 1, hlm. 294.
[2] Nasai,
al-Sunan al-Kubra, hadis 8148.
[3] Atsar
Ahmad Mahauzi.
[4] Nasai,
al-Sunan al-Kubra, hadis 8148.
[5]
Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 5, hlm. 186.
[6]
Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, hadis 3876.
[7] Hakim
Naisyaburi, al-Mustadrak, jld. 3, hlm. 110.
[8] Ahmad
bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 4, hlm. 371.
[9] Ahmad
bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 5, hlm. 183, 189.
[10]
Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 5, hlm. 166.
[11]
Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, jld. 5, hlm. 328.
[12]
Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 3, hlm. 66.
[13]
Thabrani, al-Mu’jam al-Ausath, jld. 5, hlm. 89.
[14]
Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 3, hlm. 180.
[15] Ahmad
bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 3, hlm. 13, 17, 26, 59.
[16]
Al-‘Aqili, Dhu’afa al-Kabir, jld. 4, hlm. 362.
[17]
Al-Bazzar, al-Bahr al-Zakhār, hlm. 88, hadis 864.
[18] Mutqi
Hindi, Kanz al-‘Ummāl, jld. 14, hlm. 77, hadis 37981.
[19]
Daruquthni, al-Mutalaf wal Mukhtalaf, jld. 2, hlm. 1046.
[20]
Al-Haitami, Kasyf al-Astār, jld. 3, hlm. 223, hadis 2617.
[21] Ibnu
Atsir, Usd al-Ghabah, jld. 3, hlm. 219, no. 2907.
[22]
Al-Bani, Dzhalāl al-Jannah, hadis 1465.
[23] Teks
lengkap hadis ini terdapat dalam Istijlāb Irtiqā al-Ghraf karya Syams al-Din
Sakhawi hlm. 23. Juga terdapat dalam kitab Yanābi’ al-Mawaddah Qunduzi, jld. 1,
hlm. 106-107 dan al-Ashābah Ibnu Hajar ‘Asqalani, jld. 7, hlm. 284-245.
[24]
Bahrani, Ghāyat al-Marām wa Hujat al-Khishām, jld. 2, hlm. 304-320.
[25]
Bahrani, Ghāyat al-Marām wa Hujat al-Khishām, jld. 2, hlm. 320-367.
[26]
Al-Haitami, al-Shawāiq al-Muhriqah, hlm. 150.
[27] Mufid,
al-Irsyād, jld. 1, hlm. 180; Haitami, al-Shawāiq al-Muhriqah, hlm. 150; Syaraf
al-Din, al-Murājā’at, hlm. 74.
[28]
Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, jld. 5, hlm. 662, hadis 3786.
[29] Ahmad
bin Ali Tabarsi, al-Ihtijāj, jld. 1, hlm. 391.
[30] Ahmad
bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 4, hlm. 371; Naisyaburi, Shahih Muslim, jld. 2,
hlm. 1873.
[31] Shaduq,
Kamāl al-Din wa Tamām al-Ni’mah, jld. 1, hlm. 234, hadis 45 dan hlm. 268, hadis
55; Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak, jld. 3, hlm. 109; Syamhudi, Jawāhir
al-‘Aqidain, hlm. 236.
[32]
Ayyasyi, Kitāb al-Tafsir, jld. 1, hlm. 4, hadis 3.
[33] Shafar
Qumi, Bashāir al-Darajāt, hlm. 412-414.
[34] Shaduq
al-Amāli, hlm. 62; Juwaini Khurasani, Faraid al-Simthain, jld. 2, hlm. 268.
[35]
Ayyasyi, Kitāb al-Tafsir, jld. 1, hlm. 5, hadis 9; Ahmad bin Ali Thabarsi,
al-Ihtijāj, jld. 1, hlm. 216.
[36]
Dailami, Irsyād al-Qulub, jld. 2, hlm. 340.
[37]
Al-Haitami, al-Shawāiq al-Muhriqah, hlm. 150.
[38] Rujuk
ke: Muttaqi Hindi, Kanz al-‘Ummāl, jld. 1, hlm. 187, hadis 948.
[39] Rujuk
ke: Shaduq, ‘Uyun Akhbār al-Ridhā, jld. 2, hlm. 92, hadis 259; Hakim
Naisyaburi, al-Mustadrak, jld. 3, hlm. 109.[40] Rujuk ke: Juwaini
Khurasani, Faraid al-Simthain, jld. 2, hlm. 268; Majlisi, Bihār al-Anwār, jld.
23, hlm. 131, hadis 64.
[41] Rujuk
ke: Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 4, hlm. 367; Darami, Sunan al-Darami,
hlm. 828; Naisyaburi, Shahih Muslim, jld. 2, hlm. 1873, hadis 36; Jauni
Khurasani, Faraid al-Simthain, jld. 2, hlm. 250, 268.
[42] Rujuk
ke: Shaduq, Kamāl al-Din, jld. 1, hlm. 278, hadis 25; Majlisi, Bihār al-Anwār,
jld. 36, hlm. 317.
[43] Manawi,
Faidh al-Qadir, jld. 3, hlm. 18-19; Zarqani, Syarah al-Mawāhib al-Diniyah, jld.
8, hlm. 2; Sanadi, Dirāsāt al-Labaib, hlm. 233, sebagaimana dinukil oleh
Husaini Milani dalam Nafahāt al-Azhār, jld. 2, hlm. 266-269.
[44] Jilid
8, hlm. 7.
[45]
Sebagaimana yang dinukil oleh Amini dalam kitabnya al-Ghadir, jld. 3, hlm. 118.
[46]
Silahkan merujuk ke kitab al-Murājāt oleh Syaraf al-Din, hlm. 71-76.
[47] Rujuk
ke: Wa’idzhazadeh Khurasani, Hadits Tsaqalain, hlm. 39-40.
Saya jadi
teringat sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam berikut :
سَيَخْرُجُ فِي آخِرِ الزَّمانِ قَومٌ أَحْدَاثُ
اْلأَسْنَانِ سُفَهَاءُ اْلأَحْلاَمِ يَقُوْلُوْنَ قَوْلَ خَيْرِ الْبَرِيَّةِ
يَقْرَؤُونَ اْلقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنَ
كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ ، فَإذَا لَقِيْتُمُوْهُمْ فَاقْتُلُوْهُمْ
، فَإِنَّ قَتْلَهُمْ أَجْراً لِمَنْ قَتَلَهُمْ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ اْلقِيَامَة
“ Akan
keluar di akhir zaman, suatu kaum yang masih muda lagi lemah akalnya,
berucap dengan ucapan sbeaik-baik manusia (Hadits Nabi), membaca Al-Quran
tetapi tidak melewati kerongkongan mereka, mereka keluar dari agama Islam
sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya, maka jika kalian berjumpa dengan
mereka, perangilah mereka, karena memerangi mereka menuai pahala di sisi Allah
kelak di hari kiamat “.(HR. Imam Bukhari : 3342)
Nabi
mensifati mereka pada umumnya masih berusia muda tetapi lemah
akalnya, atau itu adalah sebuah kalimat majaz yang bermakna orang-orang yang
kurang berpengalaman atau kurang berkompetensi dalam memahami Al
Qur’an dan As Sunnah bahkan kalam ulama.Subyektivitas dengan daya dukung
pemahaman yang lemah dalam memahaminya, bahkan menafsiri ayat-ayat
Al-Qur`an dan nash hadits dengan mengedepankan fanatik dan emosional golongan
mereka sendiri
Secara
formal kelompok ini pertama kali dipimpin oleh Abdullah ibnu Wahab al-Rasibi
sebagai hasil pemilihan di rumah Zaid ibnu Husein oleh Abdullah ibnu Kawwa’,
Urwah Ibnu Djarir, dan Yazid ibnu ‘Ashim. Kepemimpinan ini menandai awal
gerakan militer Khawarij yang kemudian melahirkan Perang Nahrawan (daerah yang
terletak antara kota Wasith dan Baghdad), yaitu perang antara Khawarij dan
Khalifah Ali. Perang ini melahirkan implikasi penyebaran pengikut Khawarij di
berbagai tempat di luar Irak sebagai konsekuensi logis dari pelarian sejumlah
kader Khawarij dari kekalahan Perang Nahrawan. (Muhammad bin Abdul Karim
al-Syahrastani –w. 548 H-, al-Milal wa al-Nihal. Cet. 3, Beirut:
Dar al-Ma’arif, 1993).
Sebagai
sebuah entitas Khawarij memiliki sejumlah karakter. Pertama,
memiliki sifat zuhud, wara’,gemar dan berlebih-lebihan dalam beribadah.
Ibn Abbas ketika datang pada Khawarij saat diutus Ali berkata: “kening mereka
luka-luka karena terlalu lama sujud, dan tangan mereka seperti kaki unta
lantaran terlalu banyak sujud.” (Ibn Abd Rabbih –w. 328 H.-, al-‘Iqdul
Farid, Jilid 2, hal. 389).
Kedua, suka berperang dan menggunakan
cara kekerasan, yaitu seperti memaklumkan perang terhadap setiap orang di luar
golongan mereka, mengkafirkan orang: “kalau imam telah kafir, maka kafir
pulalah rakyat seluruhnya.” (A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid
II, terj. Muchtar Yahya, dan Sanusi Latief. Jakarta: Jayamurni, 1971, hal. 115).
Ketiga, memiliki kesetiaan yang tinggi.
Misalnya dalam kasus perang di Asak antara Ubaidillah ibn Ziyad dengan tentara
2000 orang dari pihak Umayyah versus Mirdaz Abu Bila dengan tentara 40 orang
dari pihak Khawarij. Ubaidillah ibn Ziyad tidak jadi membunuh Mirdaz, sebagai
gantinya diserahkan pada petugas penjara, tetapi petugas penjara memberi
kesempatan tinggal di rumahnya pada siang hari, sedangkan pada malam hari
kembali ke penjara. (Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari –w. 310 H-, Tarikh
al-Tabari, Juz. V, hal. 232).
Keempat, kesederhanaan dan kedangkalan
kognitif. Al-Qur’an dijadikan dasar halalnya membunuh. Mereka selalu
mengeluarkan dalil surat al-An’am: 57, bahwa tidak ada hukum selain kepunyaan
Allah, dan surat al-Maidah: 33, bahwa barang siapa tidak menghukum menurut
hukum Allah, maka mereka adalah kafir. Dan bagi siapa saja yang dianggap kafir
maka boleh dibunuh, bahkan wanita dan anak-anak boleh dibunuh. Lebih-lebih
ketika menyangkut wilayah kepentingan politik. Pembunuhan terhadap Abdullah
Ibnu Khabbab karena mengakui kekhalifahan Ali adalah contoh paling awal dari
sketsa sejarah kekerasan Khawarij. (Ibn Abd Rabbih –w. 328 H.-, al-‘Iqdul
Farid, Jilid 2, hal. 390). Bukti lainnya adalah keluar dari koalisi
Ibnu Zubair karena dia tidak mau mengakui kekafiran Utsman, Ali, Zubair, dan
kepemimpinan Aisyah ketika berseteru dengan Ali. (Abu Ja’far
Muhammad Ibn Jarir al-Thabari –w. , Tarikh al-Thabari, juz. IV, hal.
437).
Khawarij
kemudian berkembang menjadi beberapa kelompok seperti al-Zariqah, al-Ibadiyah,
al-Najdat, dan al-Shufriyah. Lalu apa hubungannya dengan berdirinya dinasti
Saud di Arab Saudi dan juga kelompok yang terkenal dengan sebutan Salafi
Wahabi? Buku ini tidak terlalu banyak mengeksplor benang merah antara keduanya.
Sebenarnya banyak penelitian lainnya yang menjelaskan hal tersebut, seperti
David Commins, The Wahabi Mission and Saudi Arabia, London: I.B.
Tauris, 2006. Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a New Ummah.
Sa’id Ramadhan al-Buthi, al-Salafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarakah La
Mazhab Islami, Damaskus: Dar al-Fikr, 1996.
Sebenarnya
istilah Salafi sudah dikenal dalam literatur kitab-kitab klasik. Kata Salafi
adalah sebuah bentuk penisbatan kepada generasi awal pada tiga abad pertama
sepeninggal Rasulullah. Namun demikian, saat ini penggunaan istilah Salafi
tercemar oleh propaganda kelompok yang gencar melakukan klaim sebagai
satu-satunya kelompok pewaris kaum Salaf. Karena itu Olivier Roy menyebut
kelompok-kelompok yang mengusung tema atau mengenakan istilah Salaf belakangan
ini, disebut sebagai neo-Salafisme. Hasan Ibn Ali al-Segaf dalam bukunya al-Tandid
bi Man ‘Addad at-Tauhid menyebut gerakan-gerakan tersebut
sebagai Mutamaslif (Meniru-niru seolah Salaf). Lalu
keterkaitan antara Salafi dengan Wahabi, terletak pada tataran praksis di mana
kelompok Wahabi merasa tersudutkan oleh penisbatan Barat dan kalangan muslim
lainnya yang melekatkan gerakan dakwah mereka kepada Muhammad Ibn Abdul Wahab.
Oleh karena itu mereka menggunakan istilah Salaf dalam berdakwah, maka kemudian
terkenal istilah dakwah Salaf yang kini kian menjamur di Indonesia sebagai tren
baru.
Dalam
pandangan penulis buku ini, Salafi Wahabi bukanlah khawarij, namun memiliki
karakteristik yang tidak jauh berbeda, alias mempunyai sisi kesamaan. Seperti
sikap tanpa tedeng aling yang kerap ditunjukkan dalam memerangi hal-hal yang
mereka anggap sesat, syirik, dan sebagainya. Propaganda mereka tidak hanya
melalui buku, dan radio, tapi juga secara aktif di masyarakat, seperti
masjid-masjid dan sarana pendidikan. Demikian pula dengan mengeluarkan
fatwa-fatwa atau pernyataan sesat terhadap sesama muslim yang bertentangan dan
berbeda dengan pemahaman mereka. Di antara fatwa-fatwa mereka adalah;
1. Haram
memotong jenggot apalagi mencukurnya.
2. Haram
wanita mengendarai mobil.
3. Haram
wanita berbicara di sisi lelaki.
4. Zikir La
ilaaha illallah seribu kali sesat dan musyrik.
5. Shalawat
setelah azan dosanya sama dengan perzinaan.
6. Kalimat
Shadaqallahu al-Azhim Bid’ah dan sesat.
7. Lelaki
haram mengajar anak perempuan, dan perempuan haram mengajar anak lelaki.
8. Orang
yang meninggalkan shalat berjama’ah tak boleh dinikahi.
9. Haram
membangun menara masjid.
10. Ucapan
selamat pagi, selamat siang, dan seterusnya berdosa.
11. Ucapan
selamat hari raya Idul Fitri atau Idul Adha seperti Kullu ‘Amin wa
Antum Bi Khair(semoga setiap tahun anda berada dalam kebaikan) adalah
sesat.
12. Haram
wanita berpergian sendiri walaupun dalam kondisi aman.
13. Haram
menggunakan Tasbih.
Selain itu
masih banyak fatwa lainnya yang berada pada tataran mu’amalat dan
tidak dicantumkan dalam buku tersebut, seperti fatwa dua orang ulama
Saudi, Sheikh Othman Al-Khamees dan Sa’adal-Ghamidi yang melarang kaum
perempuan memakai internet atau mendatangi tempat-tempat penyewaan jasa
internet kecuali disertai mahramnya. Kemudian fatwa yang
dikeluarkanGeneral Association of Saudi Senior Ulama tentang
keharaman memberikan bunga saat menjenguk orang yang terbaring sakit karena
perilaku itu menyerupai tradisi dan budaya umat non-muslim.
Ada pula
fatwa bernuansa kepentingan dan motif ekonomi dari ulama Saudi Arabia yang
mengharamkan penggunaan bahan bakar bio fuel dikarenakan dalam bio fuel
tersebut terdapat zat ethanol yang dijumpai pada minum beralkohol, oleh karena
itu mereka mengharamkan penggunaan bio fuel meskipun industri otomotif mulai
beralih untuk memproduksi kendaraan-kendaraan berbahan bakar bio fuel dalam
rangka mendukung gerakan ramah lingkungan dan mengantisipasi pemanasan global.
Fatwa ini dikeluarkan oleh Sheikh Muhammad al-Najimi, seorang anggota dari Islamic
Jurisprudence Academy, berdasarkan dalil ayat tentang keharaman arak atau
minuman beralkohol, dan hadis Nabi yang melarang segala jenis transaksi yang
mengandung alkohol tersebut. Akan tetapi fatwa ini dikatakan sebagai pendapat
pribadi, bukan merupakan fatwa resmi (Official Fatwa) lembaga fatwa
negara.
Di Indonesia
sendiri, fenomena gerakan dakwah ormas-ormas Islam banyak yang memiliki
karakteristik serupa, mereka sering dilabeli berbagai macam sebutan, dari
konservatif, skriptural, tekstual, literal, fundamentalisme, revivalisme, dan
sebagainya. Melimpahnya kategorisasi ini setimpal dengan penolakan-penolakan
atas labelisasi tersebut. Tetapi secara empirik, keberadaan tipikal dakwah
puritanisme ala Salafi Wahabi, benar-benar ada di Indonesia. Oleh karena itu
penulis buku ini turut melansir beberapa nama, baik tokoh maupun lembaga yang
menaungi propaganda atau seide dengan paham Salafi Wahabi tersebut.
Fatwa – fatwa aneh, nyeleneh,
dan tidak masuk akal
Para ulama
Wahabi memiliki ajaran dan pendapat yang bertentangan dengan ajaran
Rasulullah Saw, para sahabat, dan para ulama Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Misalnya;
1. Dalam kitab karangan Abdullah Ibnu
Zaid, ulama Wahabi, yang berjudul al-Iman bi al-Anbiya’i Jumlatan (Beriman
Kepada Semua Kitab) disebutkan kalau Adam a,s. bukanlah nabi dan juga bukan
rasul Allah.
2. Dalam buku al-Qaulu al-Mukhtar li
Fana’i an-Nar karangan Abdul Karim al-Humaid, ulama Wahabi, disebutkan bahwa
neraka tidak kekal dan orang-orang kafir tidak diazab selamanya di neraka
karena akan dipindahkan ke surga.
3. Dalam buku kaum Wahabi yang
berjudul Fatawa al-Mar’ah disebutkan bahwa menceraikan istri ketika haid tidak
menyebabkan jatuhnya talak (padahal ‘ijma ulama mengatakan, seorang suami yang
menceraikan istrinya ketika sang istri sedang haid, maka talaknya tetap sah dan
si istri menjadi haram bagi suaminya).
4. Dalam buku berjudul Fatawa al-Mar’ah
juga disebutkan bahwa perempuan tidak boleh menyetir mobil (‘Ijma ulama
mengatakan, perempuan boleh mengendarai mobil selagi tidak ada fitnah dan tetap
terjaga aurat serta kehormatannya).
5. Dalam buku berjudul Fatawa
al-Mar’ah juga disebutkan bahwa suara wanita di sisi lelaki ajnabi (bukan
mahram atau orang yang boleh dinikahi) adalah aurat yang haram untuk didengar
suaranya. Dengan kata lain, wanita haram berbicara di sisi laki-laki (di zaman
Rasulullah Saw, perempuan dapat bertanya langsung kepada beliau tentang urusan
agama. Ini berarti, dalam Islam, tak apa-apa perempuan berbicara di sisi
laki-laki).
6. Dalam buku Halaqat Mamnu’ah
karangan Hisyam al-Aqqad, ulama Wahabi, disebutkan bahwa mengucap zikir la
illaha ilallah sebanyak seribu kali adalah sesat dan musyrik (padahal dalam Al
Qur’an surah al-Azhab ayat 41 Allah berfirman; “Wahai orang-orang yang beriman
berzikirlah dengan menyebut nama Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.”)
7. Ibnu Utsaimin, ulama Wahabi,
berkata; “Ziarah kubur bagi wanita adalah haram, termasuk dosa besar, meskipun
ziarah ke makam Rasulullah.” (padahal dalam ajaran Islam tak ada larangan
wanita melakukan ziarah kubur, termasuk menziarahi makam Rasulullah Saw).
8. Dalam buku at-Tahqiq wa al-Idhah
li Katsirin min Masa’il al-Haj wa al-Umrah karangan Abdul Aziz ibnu Abdullah
ibnu Baz disebutkan bahwa memotong jenggot, apalagi mencukurnya, hukumnya haram
(padahal Islam tidak melarang memendekkan jenggot agar kelihatan rapih, bahkan
dianjurkan, karena Allah SWT mencintai keindahan)
9. Ibnu Baz dalam majalah ad-Dakwah
edisi 1493 Hijriyah (1995 Masehi) yang diterbitkan Saudi Arabiah menyatakan,
haram bagi perempuan muslim mengenakan celana panjang, meskipun di depan suami
dan celana panjang itu lebar serta tidak ketat (Islam tidak melarang wanita
memakai celana panjang. Apalagi di hadapan suami).
10. Dalam kitab al-Ishabah,
al-Juwaijati, imam Masjid Jami’ ar-Raudhah, Damaskus, Syiria, disebutkan,
ketika berada di Masjid ad-Daqqaq, Damaskus, salah seorang ulama Wahabi
mengatakan, shalawat kepada Rasulullah Saw dengan suara nyaring setelah adzan
hukumnya sama seperti seorang anak yang menikahi ibu kandungnya (Islam tidak
melarang umatnya bershalawat setelah adzan).
11. Ibnu Baz mengatakan, mengucapkan
kalimat shadaqallahu al-adzim (maha Benar Allah dengan segala
firman-Nya) setelah selesai membaca Al Qur’an adalah bid’ah sesat
dan haram hukumnya (Islam justru menganggap baik mengucapkan kalimat itu karena
mengandung pujian kepada Allah, dan sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al
Qur’an surah Ali-Imran ayat 95 yang bunyinya; “Katakanlah shadaqallahu (Maha
Benar Allah (dengan segala firman-Nya).”)
Dari
beberapa contoh di atas jelas sekali terlihat kalau ajaran Wahabi telah
keluar dari Islam karena terlalu banyak fatwa para ulama dan ajarannya yang
tidak sejalan, bahkan bertolak belakang, dengan ajaran Islam. Maka benar pula
lah sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab Az-Zakah bab
al-Qismah yang penggalan sabdanya berbunyi; “ … Mereka keluar dari
agama Islam seperti anak panah tembus keluar dari (badan) binatang buruannya …”
Subhanallah.Tak ada yang abadi di dunia ini. Begitu pula dengan kejayaan Wahabi.
Karena menganggap umat Islam selain pengikut ajarannya
adalah kafir dan selalu memerangi, bahkan membunuhi umat Islam
dengan dalih jihad fisabilillah, lambat laun antipati terhadap
sekte ini meluas di seluruh wilayah Jazirah Arab, sehingga pada akhir abad 19
dakwah para ulama Wahabi tak laku lagi. Bahkan selalu dicerca dan dikecam.
Sadar kalau
sektenya dalam bahaya, dengan didukung pemerintah Arab Saudi dan Inggris tentu
saja, para ulama penerus Muhammad bin Abdul Wahab menggunakan jurus baru untuk
tetap mengeksiskan sekte ini di muka bumi. Apalagi karena sejarah Wahabi yang
kelam dan kotor membuat tak sedikit pengikutnya yang menjadi risih setiap kali
berhadapan dengan pengikut sekte Islam yang lain, terutama jika berhadapan
dengan pengikut Ahlus Sunnah wal Jama’ah.Dalam bukunya yang
berjudul as-Syalafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarokah La Madzhab Islami, Prof.
Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi mengungkapkan, Wahabi mengubah strategi dakwahnya
dengan mengganti nama menjadi Salafi karena mengalami banyak
kegagalan dan merasa tersudut dengan panggilan Wahabi yang dinisbatkan kepada pendirinya, Muhammad
bin Abdul Wahab. Oleh karena itu, sebagian muslimin menyebut mereka sebagai
Salafi Palsu ataumutamaslif.
Menurut buku
Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, penggunaan nama Salafi untuk Wahabi,
sehingga sekte ini sekarang dikenal dengan nama Salafi Wahabi,
pertama kali dipopulerkan oleh salah seorang ulama Wahabi yang bernama
Nashiruddin al-Albani, seorang ulama yang dikenal sangat lihai dalam
mengacak-acak hadist, dan juga seorang ahli strategi. Hal ini diketahui
berdasarkan dialog Albani dengan salah seorang pengikutnya, Abdul Halim Abu
Syuqqah, pada Juli 1999 atau pada Rabiul Akhir 1420 Hijriyah.
Selain
mengganti nama, sekte ini juga mengubah strategi dakwahnya dengan mengusung
platform dakwah yang sekilas, jika tidak dipahami benar maksud dan tujuannya,
terkesan sangat indah, terpuji dan agung, yakni “kembali kepada Al Qur’an
dan Sunnah”. Apa yang salah dengan platform ini? Gampang dijawab.
Wahabi
adalah sekte dengan ajaran yang bahkan oleh para ulama pengikut mazhab
yang empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali dianggap
sebagai AJARAN SESAT. Pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab, adalah
seorang pria arogan, kasar, dan telah dicuci otak oleh Kementerian
Persemakmuran melalui salah seorang agen mata-matanya, Hempher, sehingga telah
menyimpang jauh dari ajaran Islam. Ulama-ulamanya pun, termasuk Ibnu Taimiyah,
mengeluarkan fatwa-fatwa yang ganjil, nyeleneh dan juga tidak
sesuai dengan ajaran Islam. Lalu, bagaimana mereka dapat mengajak setiap Mukmin
kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw yang
dijabarkan dan dijelaskan para ulama dalam hadist? Al Qur’an dan Sunnah yang
mana yang mereka maksud? Ibnu Taimiyah sendiri, karena fatwa-fatwanya yang
nyeleneh dan menyimpang dari Islam, ditangkap, disidang, di penjara di
Damaskus, dan meninggal di penjara itu. Sejarah mencatat, sedikitnya ada 60
ulama, baik yang hidup di zaman Ibnu Taimiyah maupun yang sesudahnya, yang
mengungkap kejanggalan dan kekeliruan fatwa-fatwa ulama Wahabi
itu dan juga ajaran Wahabi.
Penggunaan
nama salafi, sehingga kini Wahabi menjadi Salafi Wahabi pun wajib
dipertanyakan, karena salafi merupakan sebuah bentuk
penisbatan kepada as-salaf yang jika ditinjau dari segi bahasa
bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita. Sedang dari
segi terminologi, as-salaf adalah generasi yang dibatasi oleh
sebuah penjelasan Rasulullah Saw dalam hadistnya; “Sebaik-baik manusia
adalah (yang hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka (tabi’in),
kemudian yang mengikuti mereka (tabi at-tabi’in).” (HR. Bukhari dan
Muslim). Jadi, berdasarkan hadist ini, as-salaf adalah para
sahabat Rasulullah Saw, tabi’in(pengikut Nabi setelah masa sahabat)
dan tabi at-tabi’in (pengukut Nabi setelah masa tabi’in,
termasuk di dalamnya para imam mazhab karena mereka hidup di tiga abad pertama
setelah Nabi saw. wafat). Maka jangan heran jika dalam bukunya as-Syalafiyah
Marhalah Zamaniyah Mubarokah La Madzhab Islami, Prof. Dr. Sa’id Ramadhan
al-Buthi menyebut kalau sebagian muslimin menyebut Salafi Wahabi sebagai Salafi
Palsu atau mutamaslif.
Yang juga
perlu diwaspadai, kadangkala penganut ajaran Wahabi juga menyebut diri merekaAhlus
Sunnah, namun biasanya tidak diikuti dengan wal Jama’ah untuk
mengkamuflasekan diri agar umat Islam yang awam tentang
aliran-aliran/sekte-sekte/golongan-golongan dalam Islam, masuk ke dalam
golongannya tanpa tahu sekte ini menyimpang, dan mengamini ajarannya sebagai
ajaran yang benar. Karena itu penting bagi setiap Muslim untuk mempelajari
sejarah agamanya, dan sekte-sekte yang berada di dalamnya.Faham Salafi
Wahabi masuk Indonesia pada awal abad 19 Masehi. Menurut buku Sejarah
Berdarah Sekte Salafi Wahabi, faham sesat ini dibawa oleh segelintir ulama dari
Sumatera Barat yang bersinggungan dengan sekte ini ketika sedang
menunaikan ibadah haji di Mekah.
Namun demikian,
para ulama ini tidak menelan mentah-mentah ajaran Wahabi, melainkan hanya
mengambil spirit pembaharuannya saja. Buku karya Syaikh Idahram itu bahkan
menyebut, spirit yang diambil ulama Sumatera Barat dari faham Wahabi kemudian
menjelma menjadi gerakan untuk melawan penjajah Belanda yang
berlangsung pada 1803 hingga sekitar 1832 yang kita kenal dengan nama gerakan
Kaum Padri dimana salah satu tokohnya adalah Tuanku Imam Bonjol.
Gerakan ini tidak sekeras dan sekaku Wahabi karena dikulturisasi dengan budaya
lokal, sehingga mudah diterima masyarakat.Keberadaan Wahabi di Indonesia
semakin nyata ketika pada awal 1980-an berdatangan elemen-elemen pergerakan
dakwah Islam dari luar negeri, sehingga muncul kelompok-kelompok
dakwah seperti Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin), Hizbut Tahrir, dan Jama’ah
Islamiyah (JI). BahkanJI, menurut Polri, adalah pelaku
serangkaian aksi teror bom di Tanah Air, termasuk Bom Bali I dan II,
dimana Noor Din M Top, DR. Azahari, dan Imam
Samudera cs berada di dalamnya. Pemimpin JI, menurut Polri, salah
satunya adalah Abu Bakar Ba’asyir.
Masih
menurut buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, pada 1995 Wahabi mulai
memiliki media cetak di Indonesia dengan terbitnya Majalah Salafi yang dibidani
Ja’far Umar Thalib dan kawan-kawan. Ja’far Umar Thalib juga kita ketahui
sebagai Panglima Laskar Jihad.
Saat ini
Wahabi telah terpecah menjadi dua faksi, yakni Salafi Yamani dan Salafi
Haraki. Selain berjenggot dan mengenakan celana yang menggantung di
atas tumit, para pengikut Wahabi dapat dikenali dari ciri-ciri sebagai
berikut.
1. Selalu menggerak-gerakkan telunjuk
naik turun saat tasyahhud awal maupun akhir (padahal
Rasulullah Saw tidak pernah melakukan hal ini, karena seperti dijelaskan para
ahli fikih, yang dimaksud menggerakkan telunjuk saat tasyahhud adalah dari
kondisi tanggan menggenggam, telunjuk digerakkan hingga menunjuk ke depan
(isyarah). Hanya itu, dan tidak digerak-gerakkan. Apa yang dilakukan pengikut
Wahabi adalah bid’ah)
2. Sesuai doktrin sekte ini,
pengikutnya diberikan penggambaran bahwa seperti halnya manusia, Allah SWT juga
memiliki wajah, dua mata, mulut, gigi, dua tangan lengkap dengan telapak tangan
dan jari-jemari, dada, bahu, dan dua kaki yang lengkap dengan telapak kaki dan
betis. Allah berupa seorang pemuda berambut gelombang dan berpakaian merah.
Allah duduk di atasArasy seperti layaknya manusia duduk di kursi.
Dia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dan turun dari langit
yang satu ke langit yang lain. Jika Allah duduk di Arasy, maka akan
terdengar suara mengiuk seperti bunyi pelana kursi unta yang baru diduduki
(doktrin ini mirip doktrin dalam Kristen, dimana Isa a.s yang dianggap sebagai
anak Tuhan merupakan seorang pemuda dengan rambut bergelombang dan berselendang
merah).
3. Pengikut sekte ini memiliki
doktrin bahwa tauhid dibagi tiga, yakni tauhid rububiyah, uluhiyahdan
asma was sifat, sehingga diyakini bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab lebih baik,
lebih bertauhid, dan lebih ikhlas dalam beriman kepada Allah SWT daripada umat Islam
(padahal dalam Al Qur’an kedua tokoh ini justru dilaknat Allah SWT).
4. Selalu berbeda dalam menentukan
hari-hari penting. Misalnya, berpuasa hanya 28 hari di bulan
Ramadhan (Ahlus Sunnah wal Jama’ah 29 atau 30 hari), dan pada 1419 Hijriyah
(1999 Masehi) menetapkan bahwa waktu wukuf di Arafah bagi jemaah haji pada 17
Maret, padahal para ahli falak berdasarkan hilal menetapkan bahwa waktu wikuf
pada 18 Maret.
5. Sangat kaku dan sangat letterlijk (terlalu
harfiah) dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an dan hadist (padahal Islam sangat
fleksibel. Apalagi karena Islam diturunkan Allah sebagai rahmatan lil
alamin).
6. Mengkafirkan umat Islam yang tidak
sepaham, dan mudah menuding apa yang dilakukan umat Islam sebagai bid’ah dan
musyrik, seperti misalnya melakukan ziarah kubur dan mengucapkan “shadaqallahu
al-adzim” setelah membaca Al Qur’an
Wahabi
Memalsukan Kitab Para Ulama Salaf
Buku ini
bagus sekali untuk membentengi aqidah ASWAJA dari virus-virus wahabi, merupakan
kelanjutan dari jilid pertamanya yang berjudul “Sejarah Berdarah
Sekte Salafi Wahabi“. Mungkin
ada yang beranggapan bahwa isu wahabi merupakan isu jadul yang
sengaja dihembuskan kembali. Tetapi kesimpulan seperti itu tidak berhenti di
situ saja jika melihat perkembangan dan fenomena-fenomena yang terjadi di
masyarakat. Artinya wahabi bukan cuma sekedar isu, tetapi juga fenomena sosial
yang berkaitan dengan politik, ekonomi dan akademik. Sama seperti jika kita
membicarakan ideologi, agama, dan sebagainya. Ada berbagai macam isu yang terus
berkembang dan tidak pernah stagnan.
Menguatnya
pembicaraan tentang Wahabi tidak urung lagi berkaitan erat dengan kian
banyaknya pemberitaan dan literatur penelitian yang membahas hal ini. Seperti
yang dikatakan Azyumardi Azra dalam pengantar buku jilid ke-2, mengenai
penelitian terbaru seputar Wahabi, yakni buku karya Natana J. Delong-Bas, Wahabi
Islam: From Revival and Reform to Global Jihad (Oxford-Cairo: Oxford
University Press, 2005). Wahabi merupakan aliran pemikiran dan gerakan politik
yang paling tidak toleran dalam Islam, yang berusaha dengan cara apapun
–termasuk jalan kekerasan- untuk menerapkan apa yang dianggap oleh mereka
sebagai “Islam Murni”. Ini bisa terlihat dari pemikiran dan kiprah Muhammad Ibn
Abd al-Wahab di tanah Hijaz sejak abad ke-18, yang menguasai lanskap keagamaan
di Saudi Arabia setelah menduduki Mekkah dan Madinah bersama dengan trah Saud.
Semua
golongan yang dianggap telah melakukan Bid’ah atau kesesatan dibasmi dengan
menggunakan segala cara termasuk dengan kekerasan. Sampai kini Wahabi tetap
dianut dan diterapkan dalam sistem pemerintah Saudi Arabia, demikian pula
dengan penyebaran atau mengimpor ajaran itu ke seluruh dunia Islam juga terus digencarkan,
seperti melalui pemberian dana dan bantuan lainnya kepada institusi,
organisasi, dan kelompok-kelompok dalam komunitas muslim. Dalam bidang
akademis, salah satu caranya dengan membagikan literatur karangan Muhammad Ibn
Abd al-Wahab agar proses transmisi keilmuan, pola pikir, dan gerakan mereka
terealisasi dengan baik.
Pada buku
kedua ini, sang penulis buku membeberkan bagaimana kelompok Wahabi berupaya
memalsukan buku-buku karya ulama klasik dan sejumlah ajaran-ajaran yang menjadi
pondasi dasar keyakinan mereka. Misalkan pemalsuan kitab Diwan Imam
al-Syafi’i. Kelompok Wahabi sangat membenci kaum sufi yang mereka tuding
sesat, karena itu mereka menghilangkan beberapa bagian nasihat Imam Syafi’I
tentang sufistik dalam buku versi terbitan mereka. Padahal di buku-buku lainnya
versi penerbit lain yang berasal dari Beirut, Damaskus, dan Kairo.
Imam Syafi’I
berujar: “Jadilah ahli Fikih dan Sufi Sekaligus, jangan hanya salah satunya.
Sungguh demi Allah, saya benar-benar ingin memberi nasihat kepadamu. Orang yang
hanya memelajari ilmu fikih tetapi tidak memelajari ilmu tasawuf, maka hatinya
keras dan tidak dapat merasakan nikmatnya takwa, sebaliknya orang yang hanya
memelajari tasawuf saja akan menjadi bodoh, tidak tahu yang benar.”
Bait ini
kemudian dihilangkan oleh penerbit-penerbit buku di Saudi. Selanjutnya demikian
pula dengan kitab hadis Shahih Bukhari, seperti penghilangan
pasal al-Ma’rifah pada Bab al-Mazhalim, padahal
dalam kitabFath al-bari karya Ibn Hajar al-Asqalani yang
menjadi Syarh atau berfungsi untuk menjelaskan kitab Shahih
Bukhari, di situ ditulis jelas mengenai komentar Ibn Hajar mengenai
hadis-hadis yang terdapat di dalam pasalal-Ma’rifah. Kemudian pada
kitab Shahih Muslim ada sebuah hadis tentang keutamaan empat
perempuan terbaik di dunia yakni; Siti Maryam (Ibunda Nabi Isa), Siti Asiah
(Istri Firaun, ibunda angkat Nabi Musa), Siti Khadijah, dan Siti Fatimah.
Tetapi dalam cetakan penerbit Saudi, Masykul, justru hadis yang tercantum dalam
bab Fadhail Khadijah (keutamaan Khadijah) itu dihilangkan.
Malah yang dicantumkan adalah hadis tentang keutamaan istri Nabi yang bernama
Aisyah. Mengapa hal ini terjadi, disinyalir hadis tersebut jika dicantumkan
maka kaum Syi’ah dapat menemukan justifikasi tentang keutamaan Khadijah yang
melahirkan Fatimah sebagai keluarga (Ahl Bait) Nabi, sebaliknya Aisyah
dalam Perang Unta pernah berperang melawan Ali yang menantu Nabi serta suami
Fatimah. Oleh karena itu mereka menghapus hadis itu dan mengganti dengan hadis
tentang Aisyah namun malah memasukkannya di bab Fadhail Khadijah.
Padahal hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibn Katsir dan
diriwayatkan dalam kitab Ibn Katsir yang notabene dibilang termasuk dari
kalangan Sunni.
Selain
membeberkan beberapa penghilangan teks tulisan dari naskah-naskah klasik.
Kelompok Wahabi juga mempunyai beberapa ajaran lain yang menjadi pondasi dasar.
Salah satunya yaitu membenci ilmu sains yang dikatakan sebagai ilmu orang-orang
kafir. Makanya ketika kita menghadiri pengajian kaum Salafi Wahabi, biasanya
apa yang disebut ilmu hanya dalam kerangka ilmu ketuhanan yang meliputi tauhid,
al-Qur’an dan Sunnah, dan cara-cara beribadah ritual belaka. Sementara ilmu
lainnya tidak dapat disejajarkan dengan hal itu apalagi digunakan sebagai
pendekatan untuk meneliti teks-teks utama Islam seperti al-Qur’an dan Sunnah.
Semisal
dalam karangan salah satu ulama Saudi Abd al-Karim Ibn Shalih al-Humaid yang
mengarang bukuHidayah al-Hairan fi Mas’alati al-Dauran, dikatakan bahwa
keyakinan tentang bumi berputar merusak akidah mereka. Mereka keberatan jika
bumi dikatakan berputar dan mengelilingi matahari. Karena menurut akidah
mereka, Allah turun ke langit bumi ini setiap sepertiga malam yang terakhir
sebagaimana dikatakan oleh teks utama. Namun mereka memahami secara
literal-tekstual benar-benar turun ke bumi dari kursi Arasy. Maka
jika bumi berputar berarti Allah tidak akan naik ke Arasy, sebab
dengan adanya perputaran bumi setiap bagian bumi mengalami siang dan malam
secara bergantian. Lantas kalau Allah tidak bisa naik kembali keArasy,
kursi Arasy pun akan menjadi kosong. Dengan
demikian mereka menolak pengetahuan yang mengajarkan tentang bumi yang berputar
ini.
Dalam buku
itu dikatakan: “Sesungguhnya di antara musibah yang merata terjadi di zaman
sekarang ini adalah masuknya ilmu-ilmu kontemporer kepada umat Islam dari yang
sesungguhnya menjadi musuh-musuh mereka, yaitu golongan Dahriyah dan Mu’aththalah (golongan
orang yang tidak mengartikan teks agama secara tekstual), dan adanya dominasi
ilmu-ilmu tersebut atas ilmu-ilmu agama. Ilmu kontemporer ini ada dua
macam: pertama, ilmu mafdhulah yang mendominasi
syariat Islam dan melemahkannya, maka ilmu itu diharamkan. Kedua,
ilmu yang merusak akidah, seperti ilmu yang mengatakan bumi itu berputar dan
yang lainnya dari ilmu-ilmu kafir.”
Dalam halaman
lain Ibn Shalih al-Humaid juga menyatakan: “keyakinan bumi berputar jauh lebih
berbahaya dari keyakinan manusia berasal dari kera… Semua dalil dari al-Qur’an
dan Sunnah tentang bumi itu berputar adalah takwilan yang sesat.”
Syaikh Ibn
Baz juga mengatakan hal yang sama tentang sesatnya keyakinan bumi berputar.
Bahkan dia menyatakan bahwa orang yang bersikeras mengatakan bumi itu berputar
maka orang itu murtad, halal nyawanya dan hartanya. Pendapat Ibn Baz ini
terekam dalam kitab karangannya, al-Adillah al-Naqliyah wa al-Hissiyyah
‘ala Jaryan al-Syams wa Sukun al-Ardh (Dalil-Dalil Naqli dan Inderawi
tentang Berputarnya Matahari dan Diamnya Bumi). Pada tahun 1976 melalui Dewan
Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, fatwa serupa juga dikeluarkan bahwa, “Sesungguhnya
keyakinan yang mengatakan bahwa matahari tetap dan bumi berputar adalah
perkataan yang sangat keji dan munkar. Siapa saja yang mengatakan bumi berputar
dan matahari tidak berjalan, maka dia telah kafir dan sesat. Dia wajib diminta
bertaubat. Itu jika dia mau bertaubat, jika tidak maka dia dibunuh sebagai
kafir murtad, dan harta yang ditinggalkannya menjadi milikBaitul Mal kaum
muslimin.” (Fatwa ini dikeluarkan oleh lembaga fatwa Saudi Arabia, Idarat
al-Buhuts al-Amah wa al-Ifta’ wa al-Da’wah wa al-Irsyad dengan nomor
fatwa 1/2925 tertanggal 7/22/1397 H).
Membaca
beberapa fatwa lain dari para ulama Saudi dalam buku ini, menandakan bahwa
fenomena-fenomena yang terjadi dalam kondisi keragaman komunitas muslim dewasa
ini, termasuk isu mengenai Wahabi yang tentunya tidak mungkin direduksi pada
tataran isu semata. Maka perlu kiranya dalam penelusuran mengenai Wahabi
tidak berhenti dengan mencantumkan aspek normatif, tetapi juga tidak kalah
penting menelusuri bagaimana fenomena penyebaran ajaran Wahabi di Indonesia, semisal
melalui media televisi berupa sinetron dan film bertema-tema keagamaan, serta
beberapa media cetak dan radio. Mungkin hal itu dapat diteliti oleh si penulis
pada buku jilid selanjutnya yang katanya akan segera terbit dalam waktu
dekat. Hal tersebut dimaksudkan agar dinamika pergolakan di tengah umat
akan terpetakan semakin jelas dan kentara, sehingga tidak bisa dengan gampang
dimatikan begitu saja dengan atas nama kesatuan dan keseragaman, karena dalam
melihat fenomena pasti ada perdebatan dan beragam cara baca untuk menelaahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar