BAB 1 : MENYINGKAP TIPU DAYA & FITNAH KEJI
FATWA-FATWA KAUM SALAFI & WAHABI
Bahasan :
|
KERESAHAN TERHADAP ALIRAN SESAT
Belakangan ini, Indonesia sedang dilanda gelombang besar paham
baru keislaman yang beraneka ragam bentuknya dan sangat menyesatkan. Munculnya
sikap-sikap ekslusif dan arogan dari para pengusung atau pengikut masing-masing
paham tersebut telah semakin meresahkan masyarakat. Merasa diri berhak berupaya
mengkaji al-Qur'an atau hadis, merasa diri paling benar dan yang lain salah,
menganggap kesesatan itu hanya Allah yang berhak memvonisnya, dan menganggap
pemahaman umat Islam tentang agama selama ini keliru, semua dalih itu telah
menyebabkan perbedaan pendapat yang memicu perpecahan di kalangan umat Islam.
Para ulama pun tidak tinggal diam, demi menyaksikan
"kekacauan" tersebut. Sebagai wujud tanggung jawab mereka kepada Allah, maka
mereka terus berupaya membentengi umat dari serangan paham-paham sesat tersebut,
baik secara perorangan melalui mimbar-mimbar masjid atau majlis-majlis ta'im,
maupun secara lembaga seperti yang dilakukan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia).
Upaya itu mereka wujudkan dalam bentuk penjelasan-penjelasan atau fatwa-fatwa
yang menyatakan bahwa paham-paham tersebut sesat dan menyesatkan.
Meskipun begitu, fatwa-fatwa para ulama terutama MUI (Majelis
Ulama Indonesia) tersebut seringkali menghadapi kendala, baik dari pihak-pihak
yang tidak senang dengan fatwa-fatwa tersebut, maupun dari pihak pemerintah yang
tidak selalu siap mengakomodir fatwa-fatwa itu dengan fasilitas hukum, sehingga
para ulama terkesan hanyalah sebagai kumpulan orang-orang sok tahu yang gemar
mempermasalahkan orang lain, sedang fatwa-fatwa mereka tak ubahnya bagaikan
gonggongan anjing yang tidak perlu dihiraukan.
Namun begitu, alhamdulillah, berkat para ulama
tersebut, masyarakat banyak yang terselamatkan dari bahaya kesesatan. Mereka
dapat mengenal paham-paham sesat dan menjauhinya dengan bimbingan fatwa-fatwa
mereka. Meski demikian, bukan berarti keresahan dan perpecahan di kalangan
masyarakat Islam dapat hilang dengan mudah. Sistem hukum dan undang-undang yang
sekuler serta pemerintahan yang tidak tegas dalam menindak pelaku kesesatan,
adalah salah satu yang paling mendukung keleluasaan orang-orang berpaham sesat
untuk bertahan dan menyebarluaskan kesesatannya.
Berbeda pendapat adalah hak asasi setiap orang yang dilindungi
undang-undang di negara ini. Sayangnya, karena tidak adanya batasan yang jelas,
perbedaan pendapat itu seringkali memasuki wilayah prinsip dalam agama yang
seharusnya dihindari. Malahan agamalah yang sering menjadi korban empuk
argumentasi perbedaan pendapat itu sambil berlindung di balik payung HAM (Hak
Asasi Manusia) yang sekuler. Sehingga sepanjang perbedaan itu masih ada (bahkan
dilindungi), potensi perpecahan pun akan tetap eksis.
TIDAK DIANGGAP SESAT TAPI MERESAHKAN
Dalam pada itu, ada aliran atau paham yang tidak pernah
difatwakan oleh lembaga formal para ulama Indonesia seperti MUI (Majelis Ulama
Indonesia), namun keberadaannya di tengah-tengah masyarakat Islam Indonesia
bahkan di kalangan umat Islam di dunia terbukti sangat meresahkan. Faham itu
bernama Salafi dan Wahabi. Banyak ulama yang secara pribadi bahkan telah
terang-terangan menyatakan faham ini sebagai "masalah" di kalangan umat Islam.
Tidak difatwakan sebagai aliran sesat, tidak selalu
berarti lurus dan benar. Sebab apa yang hakikatnya lurus dan benar seyogyanya
tidak memunculkan masalah dalam prakteknya pada kehidupan sosial, kecuali hanya
akan menghadapi tantangan dari orang-orang kafir atau munafik yang tidak suka
terhadap Islam.
Pertanyaannya, mengapa kaum Salafi dan Wahabi ini di satu sisi
hampir tidak pernah "bermasalah" dengan orang-orang kafir, di sisi lain malah
gemar sekali "mempermasalahkan" saudaranya sendiri sesama muslim yang mayoritas
tidak sepaham dengan mereka? Bagaimana mungkin pengakuan mereka sebagai pengikut
al-Qur'an & Sunnah Rasulullah Saw. dapat dibenarkan, sementara sikap mereka
bertolak belakang dengan ciri-ciri pengikut Rasulullah Saw. yang difirmankan
oleh Allah Swt., "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang
yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih
sayang sesama mereka…"(QS. al-Fath: 29)? Ayat al-Qur'an atau hadis
Rasulullah Saw. yang manakah yang menyuruh mereka bersikap "keras" terhadap
saudaranya yang muslim?
Berbagai kasus ketidaknyamanan yang disampaikan masyarakat di
berbagai wilayah akibat fatwa-fatwa dan pernyataan kaum Salafi dan Wahabi inilah
yang menjadi motivasi kuat bagi kami untuk membuat buku atau film dakwah ini.
Propaganda paham mereka yang lumayan gencar melalui terbitan buku-buku
terjemahan dan siaran Radio seperti Radio Dakta Bekasi (FM/107 Mhz),
Radio Roja' Cileungsi (AM/756 Mhz), dan Radio Fajri Bogor
(FM/91,4 Mhz) telah semakin meresahkan. Menganggap sesat amalan orang
lain dengan tuduhan bid'ah dan menganggap hanya diri merekalah yang
sejalan dengan al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. serta Sunnah para Shahabat
beliau, menjadi tema utama dakwah mereka. Bahkan dengan alasan itu mereka berani
mengeluarkan fatwa-fatwa atau pernyataan terhadap amalan masyarakat yang "berbau
agama" di mana fatwa-fatwa tersebut tanpa mereka sadari penuh tipu daya dan
fitnah, dan dari sinilah masalahnya dimulai.
Keawaman masyarakat tentang agama telah memberi tempat yang
cukup besar bagi mereka untuk menyebarkan paham Salafi dan Wahabi tersebut,
sehingga semakin banyak pengikutnya, semakin kuat ekslusivisme mereka. Saat
seorang muslim sudah tidak menganggap muslim yang lain sama dengan dirinya, dan
saat ia sudah tidak merasa nyaman berkumpul bersama muslim yang tidak sepaham
dengannya, maka mengasingkan diri dan mencari kumpulan orang-orang yang sepaham
dengannya adalah jalan keluarnya. Itulah ekslusivisme; itulah kesombongan; dan
itulah sumber perpecahan.
Lebih ekstrimnya lagi, ketika sudah merasa kuat, propaganda
mereka jalankan dengan terang-terangan, bahkan tak jarang (dan ini terbukti)
sampai pada perebutan atau penguasaan lahan dakwah seperti masjid, musholla,
ta'lim di kantor-kantor, atau minimal merintis kumpulan pengajian tandingan baik
di tempat-tempat tersebut maupun di rumah-rumah. Akibatnya, tanpa disadari
mereka sudah menguasai sarana kegiatan dakwah di beberapa komplek perumahan, dan
telah merebut anggota "jama'ah" pengajian para ustadz di wilayah setempat yang
berbuntut pada terganggunya hubungan silaturrahmi antar anggota jama'ah
tersebut.
Buku ini dibuat bukan untuk memperbesar jurang perpecahan
tersebut, melainkan untuk memperbaiki keadaan yang tidak nyaman itu dan
meluruskan apa yang seharusnya diluruskan dengan cara menyingkap
kekeliruan-kekeliruan pemahaman kaum Salafi dan Wahabi yang sangat tersembunyi
dan hampir tidak pernah disadari oleh para pengikutnya bahkan tokoh-tokoh
ulamanya.
Di satu sisi, melalui buku ini kami berharap agar masyarakat
awam yang belum terpengaruh dapat membentengi diri dari paham yang merusak
silaturrahmi ini, di sisi lain kami juga sangat berharap agar orang-orang yang
sudah mengikuti paham Salafi dan Wahabi dapat menyadari kekeliruannya lalu
berusaha memperbaikinya, atau bahkan meninggalkannya. Itulah kenapa buku ini
kami beri judul "MENYINGKAP TIPU DAYA & FITNAH KEJI FATWA-FATWA KAUM SALAFI
& WAHABI".
Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq kepada kita untuk
dapat melihat yang benar sebagai kebenaran dan memberikan kita kekuatan untuk
mengikutinya, serta memperlihatkan yang batil sebagai kebatilan dan memberikan
kita kekuatan untuk menjauhkan diri darinya. Kepada-Nya lah kami berserah diri,
dan kepada-Nya lah kami kembali.
SEKILAS TENTANG SALAFI & WAHABI
Salafi atau
Salafiyah adalah sebutan untuk kelompok atau paham
keagamaan yang dinisbatkan kepada Ahmad Taqiyuddin Ibnu Taimiyah ( 661 H-728 H)
atau yang sering dikenal dengan panggilan Ibnu Taimiyah. Salafi atau Salafiyah
itu sering dipahami sebagai gerakan untuk kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah
Rasulullah Saw. beserta para Sahabat beliau.
Wahabi atau
Wahabiyah adalah sebutan untuk kelompok atau paham
keagamaan yang dinisbatkan kepada pelopornya yang bernama Muhammad bin Abdul
Wahab (1702 M-1787 M/ 1115 H-1206 H). sebetulnya, nama Wahabi ini tidak sesuai
dengan nama pendirinya, Muhammad, tetapi begitulah orang-orang menyebutnya.
Sedangkan para pengikut Wahabi menamakan diri mereka dengan
al-Muwahhiduun (orang-orang yang mentauhidkan
Allah), meskipun sebagian mereka juga mengakui sebutan Wahabi.
Kedua paham di atas, Salafi &
Wahabi, sebenarnya memiliki hubungan tidak langsung yang cukup
erat, yaitu bahwa Muhammad bin Abdul Wahab adalah termasuk pengagum Ibnu
Taimiyah dan banyak terpengaruh oleh karya-karya tulis Ibnu Taimiyah. Itulah
mengapa kedua ajaran mereka memiliki kesamaan visi dan misi, yaitu "Kembali
kepada Al-Qur'an & Sunnah Rasulullah Saw. beserta para Sahabat beliau,"
sehingga apa saja yang "mereka anggap" tidak ada perintah atau anjurannya di
dalam Al-Qur'an, Sunnah, atau atsar Sahabat Nabi Saw., langsung mereka anggap
sebagai bid'ah (perkara baru yang diada-adakan) yang
diharamkan dan dikategorikan sebagai kesesatan, betapapun bagusnya bentuk suatu
kegiatan keagamaan tersebut, dengan dasar hadis Nabi Saw. "… kullu
bid'atin dhalalah, wa kullu dhalalatin fin-naar" (setiap bid'ah
adalah kesesatan, dan setiap kesesatan akan dimasukkan ke dalam Neraka). Dengan
visi dan misi inilah maka para pengikut mereka di zaman ini menamai diri mereka
dengan sebutan Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah(penganut
Sunnah Nabi Muhammad Saw. & para Sahabat beliau) yang pada hakikatnya
berbeda dari pengertian Ahlus-sunnah wal-Jama'ah yang
dipahami oleh para ulama Islam di dunia (yaitu yang mempunyai hubungan historis
dengan al-Asy'ari dan al-Maturidi ).
Visi "kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw.
serta para Sahabatnya" tersebut telah mendorong mereka untuk melaksanakan
sebuah misi "memberantas Bid'ah & Khurafat".
Sekilas visi & misi itu terlihat sangat bagus, namun dalam prakteknya
ternyata seringkali menjadi sangat berlebihan. Mengapa? Karena semua
bid'ah & khurafat yang mereka anggap sesat dan wajib diberantas itu
mereka definisikan sendiri tanpa mengkompromikan dengan definisi atau penjelasan
para ulama terdahulu. Terbukti, pada masa hidupnya saja, baik Ibnu
Taimiyah maupun Muhammad bin Abdul Wahab, sudah dianggap "aneh" bahkan cenderung
dianggap sesat ajarannya oleh para ulama pengikut empat Mazhab (Hanafi,
Maliki, Syafi'i, dan Hambali) yang keseluruhannya menganut paham
ahlus-Sunnah wal-jama'ah.
Hal itu terjadi karena Ibnu Taimiyah kerapkali mengeluarkan
fatwa-fatwa ganjil mengenai aqidah atau syari'at yang
menyelisihi ijma' para ulama, sehingga ia sering ditangkap, disidang,
dan dipenjara, sampai-sampai ia wafat di dalam penjara di Damaskus. Dan tercatat
ada 60 ulama besar (baik yang sezaman dengan Ibnu Taimiyah maupun yang
sesudahnya) yang menulis pembahasan khusus untuk mengungkap kejanggalan dan
kekeliruan pada sebagian fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah dalam begitu banyak karyanya
(lihat al-Maqaalaat as-Sunniyyah karya Syaikh Abdullah
al-Harary).
Sedangkan Muhammad bin Abdul Wahab yang datang belakangan jauh
lebih beruntung. Ia didukung oleh seorang Raja yang berhasil menguasai Mekkah
(Hijaz) yang bernama Muhammad bin Sa'ud atau lebih dikenal
dengan Ibnu Sa'ud (penaklukan Hijaz ke-I th. 1803-1813 M, penaklukan ke-II th.
1925 M masa Raja Abdul Aziz bin Sa'ud dengan bantuan Inggris sampai sekarang).
Itulah mengapa Mekkah, Madinah dan sekitarnya sekarang dikenal dengan
"Saudi"/Sa'udi Arabia (dinisbatkan kepada
Ibnu/bin Sa'ud atau Aalu Sa'ud/keluarga
Sa'ud). Dengan dukungan kekuasaan dan dana dari Raja Ibnu Sa'ud
itulah maka ajaran Wahabi menjadi paham wajib di Saudi Arabia, dan menyebar luas
sekaligus membuat resah umat Islam di negeri-negeri yang lain.
Mengapa Wahabi dianggap meresahkan? Karena
fatwa-fatwa ulama Wahabi tentang bid'ah dan khurafat yang disebarluaskan itu
seringkali berbenturan dengan adat istiadat atau tradisi keagamaan umat Islam di
masing-masing negeri, padahal tradisi mereka itu telah berlangsung sejak puluhan
bahkan ratusan tahun yang lalu dan telah dijelaskan kebolehan atau keutamaannya
oleh para ulama ahlus-Sunnah wal-jama'ah. Tradisi keagamaan yang sering dianggap
bid'ah dan sesat itu di antaranya: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw.,
tahlilan kematian, do'a dan zikir berjama'ah, ziarah kubur, tawassul, membaca
al-Qur'an di pekuburan, qunut shubuh, dan lain sebagainya yang masing-masing
memiiki dasar di dalam agama. Jelasnya, keresahan itu muncul karena fatwa-fatwa
para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabi) tersebut bertentangan dengan
fatwa-fatwa mayoritas ulama yang dijadikan pedoman oleh mayoritas umat Islam di
dunia. Akibatnya mereka menjadi seperti orang usil yang selalu
menyalahkan dan mempermasalahkan amalan orang lain, lebih dari itu
bahkan mereka menganggap sesat orang yang tidak sejalan dengan Wahabi.
(Untuk lebih jelas, baca "I'tiqad Ahlussunnah
Wal-Jama'ah" karya KH. Siradjuddin Abbas, diterbitkan oleh Pustaka
Tarbiyah Jakarta. Juga baca "Maqaalaat as-Sunniyyah fii Kasyfi
Dhalaalaati Ibni Taimiyah", karya Syaikh Abdullah al-Harary,
diterbitkan oleh Daarul-Masyaarii' al-Khairiyyah, Libanon).
Ajaran Salafi Ibnu Taimiyah dilanjutkan oleh murid-muridnya, di
antara yang paling dikenal adalah Ibnul Qayyim al-Jauziyah. Sedangkan ajaran
Wahabi disebarluaskan oleh para ulama Wahabi yang diakui di Saudi Arabia, yang
paling dikenal di antaranya adalah: Nashiruddin al-Albani, Abdul Aziz bin Baz,
Shalih al-Utsaimin, Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Abdullah bin Abdurrahman
al-Jibrin, dan lain-lain. Namun begitu, kita berusaha bersikap proporsional
dalam menyikapi ajaran yang mereka sampaikan. Artinya, apa yang baik dan sejalan
dengan pendapat para ulama mayoritas maka tidak kita kategorikan ke dalam
penyimpangan atau kesesatan.
Perlu diketahui , bahwa meskipun dasar
kemunculannya berbeda, namun belakangan Salafi & Wahabi seperti satu tubuh
yang tidak bisa dibedakan, yaitu sama-sama memandang sesat atau bid'ah
terhadap acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., tahlilan kematian,
ziarah kubur, tawassul, menghadiahkan pahala kepada orang meninggal, berdo'a
& berzikir berjama'ah, bersalaman selesai shalat berjama'ah, membaca
al-Qur'an di pekuburan, berdo'a menghadap kuburan, dan lain
sebagainya. Dan boleh dikatakan, bahwa Salafi & Wahabi
sekarang sudah menjadi mazhab tersendiri yang lebih ekstrim dalam
berfatwa ketimbang Ibnu Taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahab sendiri.
Di Indonesia, fatwa-fatwa Salafi & Wahabi banyak
disebarluaskan oleh para mahasiswa atau sarjana yang sebagian besarnya adalah
alumni Perguruan Tinggi di Saudi Arabia atau mereka yang mendapat beasiswa di
lembaga pendidikan Saudi Arabia. Di samping itu, paham Wahabi juga
disebarluaskan melalui buku-buku terjemahan, yang kini menghiasi berbagai toko
buku atau stan-stan pameran buku. Bahkan, buku–buku mereka juga dibagi-bagi
secara gratis, baik melalui Atase Kedubes Saudi Arabia, maupun lembaga
pendidikan Saudi Arabia seperti LIPIA atau yang lainnya. Buku-buku seperti itu
juga dibagikan kepada semua Jama'ah Haji secara gratis setiap tahunnya,
akibatnya sebagian mereka mengalami perang batin dalam menimbang-nimbang
kebenaran.
Di samping melalui buku-buku dan forum-forum kajian
keagamaan, fatwa-fatwa Wahabi & Salafi juga disebarluaskan melalui siaran
radio, seperti: Radio Dakta Bekasi (FM/107 Mhz), Radio Roja' Cileungsi (AM/756
Mhz), dan Radio Fajri Bogor (FM/91,4 Mhz).
Di Indonesia juga terdapat ormas-ormas Islam yang prinsip dasar
atau metodologi ajarannya sama atau hampir sama dengan Salafi & Wahabi
seperti Muhammadiyah, PERSIS, Al-Irsyad, PUI (Persatuan Umat Islam), Paderi,
Sumatra Tawalib, dan lain-lain (lihat Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, Jakarta, jilid 4, hal. 205), hanya saja ada sebagian yang tidak
seekstrim mereka. Tetapi kadang sebagian anggota ormas-ormas itupun memiliki
sikap ekslusivisme yang sama dengan Salafi & Wahabi, sehingga dalam kajian
ini penulis tidak memisahkan mereka sebagai kelompok tersendiri, dan
menganggapnya sejenis dengan kaum Salafi & Wahabi jauh lebih layak untuk
sebuah pemahaman agama dengan ciri yang sama, entah sebagian ciri atau
keseluruhannya.
Dalam kajian ini kami tidak ingin berpanjang kalam tentang Ibnu
Taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahab, menimbang keperluannya yang tidak
terlalu urgen dalam pembahasan ini.. Sebab sepertinya, para pengikut mereka
sekarang sudah lebih independen dalam berijtihad dan berfatwa mengenai
perkara-perkara baru yang mereka anggap bagian dari agama yang tidak pernah ada
di zaman Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau.. Bahkan dalam beberapa hal
mereka tidak sependapat dengan Ibnu Taimiyah & Muhammad bin Abdul Wahab. Hal
ini menunjukkan bahwa kaum Salafi dan Wahabi sekarang ini hanya mengambil motto
utama yang sangat global dari Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab, yaitu
"kembali kepada al-Qur'an, Sunnah Rasulullah Saw., dan Sunnah para Shahabat
beliau", sedang dalam perkara-perkara detailnya mereka cenderung
pilih-piih.
Itulah kenapa konsentrasi pembahasan ini lebih pada fatwa-fatwa
ulama Salafi dan Wahabi, di mana fatwa-fatwa itulah yang sering menjadi sumber
masalah bagi kerukunan hidup beragama antar umat Islam.
APA YANG SALAH, DENGAN "KEMBALI KEPADA AL-QUR'AN
& SUNNAH"?
Telah disebutkan di atas, bahwa kaum Salafi & Wahabi
memiliki motto "Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah". Mereka juga mengajak umat
untuk kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah. Kenapa? Karena, tentunya, al-Qur'an
dan Sunnah merupakan sumber ajaran Islam yang utama yang diwariskan oleh
Rasulullah Saw., sehingga siapa saja yang menjadikan keduanya sebagai pedoman,
maka ia telah berpegang kepada ajaran Islam yang murni dan berarti ia selamat
dari kesesatan. Bukankah Rasulullah Saw. menyuruh yang sedemikian itu kepada
umatnya?
Sampai di sini mungkin banyak orang bertanya, mengapa Ibnu
Taimiyah & Muhammad bin Abdul Wahab yang menyerukan hal se-bagus dan
se-ideal itu dianggap sesat oleh para ulama di zamannya? Mengapa pula paham
Salafi & Wahabi yang merujuk semua ajarannya kepada al-Qur'an dan Sunnah
dianggap menyimpang bahkan divonis sesat??! Rasanya, hanya orang gila yang
berani menyatakan begitu.
Tetapi, mari kita perhatikan permasalahan ini satu demi satu,
agar terlihat "sumber masalah" yang ada pada sikap yang terlihat sangat ideal
tersebut.
1. Prinsip "Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" adalah
benar secara teoritis, dan sangat ideal bagi setiap orang yang mengaku beragama
Islam. Tetapi yang harus diperhatikan adalah, apa yang benar secara
teoritis belum tentu benar secara praktis, menimbang kapasitas dan kapabilitas
(kemampuan) tiap orang dalam memahami al-Qur'an & Sunnah sangat
berbeda-beda. Maka bisa dipastikan, kesimpulan pemahaman terhadap
al-Qur'an atau Sunnah yang dihasilkan oleh seorang 'alim yang menguasai
Bahasa Arab dan segala ilmu yang menyangkut perangkat penafsiran atau ijtihad,
akan jauh berbeda dengan kesimpulan pemahaman yang dihasilkan oleh orang awam
yang mengandalkan buku-buku "terjemah" al-Qur'an atau Sunnah. Itulah kenapa di
zaman ini banyak sekali bermunculan aliran sesat. Jawabnya tentu karena
masing-masing mereka berusaha kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah, dan mereka
berupaya mengkajinya dengan kemampuan dan kapasitasnya sendiri. Bisa dibayangkan
dan telah terbukti hasilnya, kesesatan yang dihasilkan oleh Yusman Roy (mantan
petinju yang merintis sholat dengan bacaan yang diterjemah), Ahmad Mushadeq
(mantan pengurus PBSI yang pernah mengaku nabi), Lia Eden (mantan perangkai
bunga kering yang mengaku mendapat wahyu dari Jibril), Agus Imam Sholihin (orang
awam yang mengaku tuhan), dan banyak lagi yang lainnya. Dan kesesatan mereka itu
lahir dari sebab "Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah", mereka merasa benar
dengan caranya sendiri. Pada kaum Salafi & Wahabi, kesalahpahaman terhadap
al-Qur'an dan Sunnah itu pun banyak terjadi, bahkan di kalangan mereka sendiri
pun terjadi perbedaan pemahaman terhadap dalil. Dan yang terbesar adalah
kesalahpahaman mereka terhadap dalil-dalil tentang bid'ah.
2. Al-Qur'an dan Sunnah sudah dibahas dan dikaji oleh para ulama terdahulu yang memiliki keahlian yang sangat mumpuni untuk melakukan hal itu, sebut saja: Ulama mazhab yang empat, para mufassiriin (ulama tafsir), muhadditsiin (ulama hadis), fuqahaa' (ulama fiqih), ulama aqidah ahus-sunnah wal-Jama'ah, dan mutashawwifiin (ulama tasawuf/akhlaq). Hasilnya, telah ditulis beribu-ribu jilid kitab dalam rangka menjelaskan kandungan al-Qur'an dan Sunnah secara gamblang dan terperinci, sebagai wujud kasih sayang mereka terhadap umat yang hidup dikemudian hari. Karya-karya besar itu merupakan pemahaman para ulama yang disebut di dalam al-Qur'an sebagai "ahludz-dzikr", yang kemudian disampaikan kepada umat Islam secara turun-temurun dari generasi ke generasi secara berantai sampai saat ini. Adalah sebuah keteledoran besar jika upaya orang belakangan dalam memahami Islam dengan cara "kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" dilakukan tanpa merujuk pemahaman para ulama tersebut. Itulah yang dibudayakan oleh sebagian kaum Salafi & Wahabi. Dan yang menjadi pangkal penyimpangan paham Salafi & Wahabi sesungguhnya, adalah karena mereka memutus mata rantai amanah keilmuan mayoritas ulama dengan membatasi keabsahan sumber rujukan agama hanya sampai pada ulama salaf (yang hidup sampai abad ke-3 Hijriah), hal ini seperti yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah (hidup di abad ke-8 H.) dan para pengikutnya. Bayangkan, berapa banyak ulama yang dicampakkan dan berapa banyak kitab-kitab yang dianggap sampah yang ada di antara abad ke-3 hingga abad ke-8 hijriyah. Lebih parahnya lagi, dengan rantai yang terputus jauh, Ibnu Taimiyah dan kaum Salafi & Wahabi pengikutnya seolah memproklamirkan diri sebagai pembawa ajaran ulama salaf yang murni, padahal yang mereka sampaikan hanyalah pemahaman mereka sendiri setelah merujuk langsung pendapat-pendapat ulama salaf. Bukankah yang lebih mengerti tentang pendapat ulama salaf adalah murid-murid mereka? Dan bukankah para murid ulama salaf itu kemudian menyampaikannya kepada murid-murid mereka lagi, dan hal itu terus berlanjut secara turun temurun dari generasi ke generasi baik lisan maupun tulisan? Bijaksanakah Ibnu Taimiyah dan pengikutnya ketika pemahaman agama dari ulama salaf yang sudah terpelihara dari abad ke abad itu tiba di hadapan mereka di abad mana mereka hidup, lalu mereka campakkan sebagai tanda tidak percaya, dan mereka lebih memilih untuk memahaminya langsung dari para ulama salaf tersebut? Sungguh, ini bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga keteledoran besar, bila tidak ingin disebut kebodohan. Jadi kaum Salafi & Wahabi bukan Cuma menggaungkan motto "kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" secara langsung, tetapi juga "kembali kepada pendapat para ulama salaf" secara langsung dengan cara dan pemahaman sendiri. Mereka bagaikan orang yang ingin menghitung buah di atas pohon yang rindang tanpa memanjat, dan bagaikan orang yang mengamati matahari atau bulan dari bayangannya di permukaan air.
3. Para ulama telah menghidangkan penjelasan tentang al-Qur'an dan Sunnah di dalam kitab-kitab mereka kepada umat sebagai sebuah "hasil jadi". Para ulama itu bukan saja telah memberi kemudahan kepada umat untuk dapat memahami agama dengan baik tanpa proses pengkajian atau penelitan yang rumit, tetapi juga telah menyediakan jalan keselamatan bagi umat agar terhindar dari pemahaman yang keliru terhadap al-Qur'an dan Sunnah yang sangat mungkin terjadi jika mereka lakukan pengkajian tanpa bekal yang mumpuni seperti yang dimiliki para ulama tersebut. Boleh dibilang, kemampuan yang dimiliki para ulama itu tak mungkin lagi bisa dicapai oleh orang setelahnya, terlebih di zaman ini, menimbang masa hidup mereka yang masih dekat dengan masa hidup Rasulullah Saw. & para Shahabat yang tidak mungkin terulang, belum lagi keunggulan hafalan, penguasaan berbagai bidang ilmu, lingkungan yang shaleh, wara' (kehati-hatian), keikhlasan, keberkahan, dan lain sebagainya. Pendek kata, para ulama seakan-akan telah menghidangkan "makanan siap saji" yang siap disantap oleh umat tanpa repot-repot meracik atau memasaknya terlebih dahulu, sebab para ulama tahu bahwa kemampuan meracik atau memasak itu tidak dimiliki setiap orang. Saat kaum Salafi & Wahabi mengajak umat untuk tidak menikmati hidangan para ulama, dan mengalihkan mereka untuk langsung merujuk kepada al-Qur'an dan Sunnah dengan dalih pemurnian agama dari pencemaran "pendapat" manusia (ulama) yang tidak memiliki otoritas untuk menetapkan syari'at, berarti sama saja dengan menyuruh orang lapar untuk membuang hidangan yang siap disantapnya, lalu menyuruhnya menanam padi.
2. Al-Qur'an dan Sunnah sudah dibahas dan dikaji oleh para ulama terdahulu yang memiliki keahlian yang sangat mumpuni untuk melakukan hal itu, sebut saja: Ulama mazhab yang empat, para mufassiriin (ulama tafsir), muhadditsiin (ulama hadis), fuqahaa' (ulama fiqih), ulama aqidah ahus-sunnah wal-Jama'ah, dan mutashawwifiin (ulama tasawuf/akhlaq). Hasilnya, telah ditulis beribu-ribu jilid kitab dalam rangka menjelaskan kandungan al-Qur'an dan Sunnah secara gamblang dan terperinci, sebagai wujud kasih sayang mereka terhadap umat yang hidup dikemudian hari. Karya-karya besar itu merupakan pemahaman para ulama yang disebut di dalam al-Qur'an sebagai "ahludz-dzikr", yang kemudian disampaikan kepada umat Islam secara turun-temurun dari generasi ke generasi secara berantai sampai saat ini. Adalah sebuah keteledoran besar jika upaya orang belakangan dalam memahami Islam dengan cara "kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" dilakukan tanpa merujuk pemahaman para ulama tersebut. Itulah yang dibudayakan oleh sebagian kaum Salafi & Wahabi. Dan yang menjadi pangkal penyimpangan paham Salafi & Wahabi sesungguhnya, adalah karena mereka memutus mata rantai amanah keilmuan mayoritas ulama dengan membatasi keabsahan sumber rujukan agama hanya sampai pada ulama salaf (yang hidup sampai abad ke-3 Hijriah), hal ini seperti yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah (hidup di abad ke-8 H.) dan para pengikutnya. Bayangkan, berapa banyak ulama yang dicampakkan dan berapa banyak kitab-kitab yang dianggap sampah yang ada di antara abad ke-3 hingga abad ke-8 hijriyah. Lebih parahnya lagi, dengan rantai yang terputus jauh, Ibnu Taimiyah dan kaum Salafi & Wahabi pengikutnya seolah memproklamirkan diri sebagai pembawa ajaran ulama salaf yang murni, padahal yang mereka sampaikan hanyalah pemahaman mereka sendiri setelah merujuk langsung pendapat-pendapat ulama salaf. Bukankah yang lebih mengerti tentang pendapat ulama salaf adalah murid-murid mereka? Dan bukankah para murid ulama salaf itu kemudian menyampaikannya kepada murid-murid mereka lagi, dan hal itu terus berlanjut secara turun temurun dari generasi ke generasi baik lisan maupun tulisan? Bijaksanakah Ibnu Taimiyah dan pengikutnya ketika pemahaman agama dari ulama salaf yang sudah terpelihara dari abad ke abad itu tiba di hadapan mereka di abad mana mereka hidup, lalu mereka campakkan sebagai tanda tidak percaya, dan mereka lebih memilih untuk memahaminya langsung dari para ulama salaf tersebut? Sungguh, ini bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga keteledoran besar, bila tidak ingin disebut kebodohan. Jadi kaum Salafi & Wahabi bukan Cuma menggaungkan motto "kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" secara langsung, tetapi juga "kembali kepada pendapat para ulama salaf" secara langsung dengan cara dan pemahaman sendiri. Mereka bagaikan orang yang ingin menghitung buah di atas pohon yang rindang tanpa memanjat, dan bagaikan orang yang mengamati matahari atau bulan dari bayangannya di permukaan air.
3. Para ulama telah menghidangkan penjelasan tentang al-Qur'an dan Sunnah di dalam kitab-kitab mereka kepada umat sebagai sebuah "hasil jadi". Para ulama itu bukan saja telah memberi kemudahan kepada umat untuk dapat memahami agama dengan baik tanpa proses pengkajian atau penelitan yang rumit, tetapi juga telah menyediakan jalan keselamatan bagi umat agar terhindar dari pemahaman yang keliru terhadap al-Qur'an dan Sunnah yang sangat mungkin terjadi jika mereka lakukan pengkajian tanpa bekal yang mumpuni seperti yang dimiliki para ulama tersebut. Boleh dibilang, kemampuan yang dimiliki para ulama itu tak mungkin lagi bisa dicapai oleh orang setelahnya, terlebih di zaman ini, menimbang masa hidup mereka yang masih dekat dengan masa hidup Rasulullah Saw. & para Shahabat yang tidak mungkin terulang, belum lagi keunggulan hafalan, penguasaan berbagai bidang ilmu, lingkungan yang shaleh, wara' (kehati-hatian), keikhlasan, keberkahan, dan lain sebagainya. Pendek kata, para ulama seakan-akan telah menghidangkan "makanan siap saji" yang siap disantap oleh umat tanpa repot-repot meracik atau memasaknya terlebih dahulu, sebab para ulama tahu bahwa kemampuan meracik atau memasak itu tidak dimiliki setiap orang. Saat kaum Salafi & Wahabi mengajak umat untuk tidak menikmati hidangan para ulama, dan mengalihkan mereka untuk langsung merujuk kepada al-Qur'an dan Sunnah dengan dalih pemurnian agama dari pencemaran "pendapat" manusia (ulama) yang tidak memiliki otoritas untuk menetapkan syari'at, berarti sama saja dengan menyuruh orang lapar untuk membuang hidangan yang siap disantapnya, lalu menyuruhnya menanam padi.
Seandainya tidak demikian, mereka mengelabui umat dengan cara
menyembunyikan figur ulama mayoritas yang mereka anggap telah "mencemarkan
agama", lalu menampilkan dan mempromosikan segelintir sosok ulama Salafi &
Wahabi beserta karya-karya mereka serta mengarahkan umat agar hanya mengambil
pemahaman al-Qur'an dan Sunnah dari mereka saja dengan slogan "pemurnian agama".
Sesungguhnya, "pencemaran" yang dilakukan para ulama yang
shaleh dan ikhlas itu adalah upaya yang luar biasa untuk melindungi umat dari
kesesatan, sedangkan "pemurnian" yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi
adalah penodaan terhadap ijtihad para ulama dan pencemaran terhadap al-Qur'an
dan Sunnah. Dan pencemaran terbesar yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi
terhadap al-Qur'an dan Sunnah adalah saat mereka mengharamkan begitu banyak
perkara yang tidak diharamkan oleh al-Qur'an dan Sunnah; saat mereka menyebutkan
secara terperinci amalan-amalan yang mereka vonis sebagai bid'ah sesat
atas nama Allah dan Rasulullah Saw., padahal Allah tidak pernah menyebutkannya
di dalam al-Qur'an dan Rasulullah Saw. tidak pernah menyatakannya di dalam
Sunnah (hadis)nya.
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa orang yang "kembali kepada
al-Qur'an dan Sunnah" itu belum tentu dapat dianggap benar, dan bahwa para ulama
yang telah menulis ribuan jilid kitab tidak mengutarakan pendapat menurut hawa
nafsu mereka. Amat ironis bila karya-karya para ulama yang jelas-jelas lebih
mengerti tentang al-Qur'an dan Sunnah itu dituduh oleh kaum Salafi & Wahabi
sebagai kumpulan pendapat manusia yang tidak berdasar pada dalil, sementara kaum
Salafi & Wahabi sendiri yang jelas-jelas hanya memahami dalil secara
harfiyah (tekstual) dengan sombongnya menyatakan diri sebagai orang
yang paling sejalan dengan al-Qur'an dan Sunnah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar