Total Tayangan Halaman

Minggu, 23 Agustus 2020

TAUHID HAKIKI

TAUHID HAKIKI TANPA HURUF TANPA SUARA Sama tengah hati itu perhimpunan tubuh, hati, nyawa, rahasia. Semua itu berhimpun pada Ruh Qudus. Ini rahasia Yang Mahakuasa. Ini yang berkuasa pada diri manusia. Kalau kita tafakur dan semua berhimpun pada sama tengah hati, berkhidmatlah seluruh zahir-batin. Lenyap pada sama tengah hati. Di sini kita akan mendapat pelajaran. Yang berkata-kata itu wa fi sirri Ana. Pelajaran yang kita dapat ini tanpa huruf-tanpa suara. Kita dapat paham dengan sendirinya. Yang bisa memperoleh ini ahli hakikat dan makrifat. Allah, Dia Awal Dia Akhir, tapi Allah tidak ber-awal dan tidak ber-akhir. Siapa yang dilihat oleh kamu? Jalan ini mesti dipelajari. Tidak dapat jalan ini, konyol segala pendapat di dunia. Karena supaya tetaplah Yang Disembah dengan yang menyembah. Ketahuilah yang ada pada diri kita dan pada sekalian alam sejagat raya ini hanya keadaan Tuhan yang berlaku dan kekal dengan sendiri-Nya. Tetapkan pandangan kita hanya Zat Allah yang Ada dan Sifat Allah yang Ada hingga lenyap karam pada Sifat Allah dan Zat Allah. Jasad dengan ruhani sudah satu; ruhani pun dengan nurani sudah satu; dan nurani pun satu dengan rabbani; rabbani kekal dengan Rabbul Izzati. Dan kita syahadat saja menyaksikan: Islamlah Kamu. Hidup dalam Islam; mati dalam Islam; di akhirat pun dalam Islam. Itulah Islam. Islam ini selamat. Kosong di hadapan kamu menunjukkan adanya zat asam, dan zat asam menunjukkan adanya zat mutlak. Zat mutlak menunjukkan kosong maharuang: zat semata-mata. Zat itu bukan Tuhan, melainkan Sifat bagi Tuhan. Sedangkan Tuhan itu Zatnya zat: Rabbul izzati - Tuhan sekalian zat. Setelah Rabbul izzati, bersyahadatlah kamu. Selesailah Islam kamu. Sudah dipandang, dikenal, ditunjuk. Benarlah penyaksian kamu. -Arifbillah- ZIKIR SAMPAI KE TUHAN Zikir itu bukan sampai banyak, melainkan sampai kelu. "Man arafallaha kalla lisanuhu", siapa mengenal Allah dengan sebenar-benar pengenalan, kelu lidahnya. (hadis). Mulut kita berucap "Laa ilaaha illallah". Dari mana munculnya perkataan ini? Dari hati. "Laa ilaaha illalah" yang dari hati ini dari mana asalnya? Dari sirr hati. Yang dari sirr hati ini dari mana? Tentulah dari dalam sirr. Yang di dalam sirr itu siapa? Rahasia Allah. Jadi kalau kita cermati, siapa yang sebenarnya berzikir itu? Syariatnya > kita berzikir Hakikatnya > kita menzikirkan Yang Punya Nama Makrifatnya > Yang Punya Zikir Berzikir Kalau belum tahu bahwa yang di dalam sirr ini berzikir, bagaimana Anda akan karam dalam zikir? Paling-paling Anda hanya dapat karam dalam sebutan zikir saja. Kalau Anda dapat yang di dalam sirr itu berzikir, tentu berjalanlah Anda dengan yang di dalam sirr itu kepada Allah. Inilah amal yang sampai ke Tuhan. Jadi, tidak akan mudah untuk karam di dalam sirr kalau kita tidak mendapati yang di dalam sirr itu berzikir. Takrif Zikir [Pengenalan Jalan Amal sehingga Tetap pada Tujuan] Kalau kita hendak berzikir, perlu dulu tentang takrif zikir atau tujuan zikir. Yang dikatakan tarikat itu jalan. Jalan menuju ke mana? Tentulah menuju kepada yang dimaksud. Yang dimaksud itulah tujuan zikir, yaitu Allah. Kalau mulut berzikir menyebut laa ilaaha illallah, yang di dalam sirr itulah yang kekal kepada Allah. Karena munajatnya orang yang berzikir itu Ilaa Ilahu Anta maksudi wa makrifataka bi a'tinii mahabbata wa makrifataka, 'tidak ada yang kumaksud hanya Engkau ya Allah'. Kalau sudah Allah yang kita maksud, untuk apa terpengaruh dengan yang terpandang-pandang dalam zikir. Kalau terpengaruh dengan yang terpandang-pandang ketika berzikir, berarti kita sudah menyimpang dari maksud semula karena mestinya munajat kita hanya pada Allah. Allah itu sudah pasti laysa kamitslihi syaiun. Apa pun yang terpandang-pandang itu bukan laysa kamitslihi syaiun. Biar surga sekali pun yang dipandangkan, itu tetap bukan yang laysa kamitlsihi syaiun. Orang yang tidak bermaksud kepada selain Allah tidak akan terpengaruh dengan itu. Jadi dalam beramal ibadah apa saja, takrif (tujuan) itulah yang kita pegang. Bukan zikirnya yang kita pegang, takrifnya itu yang kita pegang. Kalau sudah pada Allah saja takrif zikir, mestinya tidak mungkin ada orang berzikir sampai histeris, mabuk, atau bahkan pingsan karena Allah tidak bersifat zalim. Jangan sampai kamu banyak berzikir lalu malah timbul kelainan jiwa. Munajat Munajat itulah niat ikhlas orang yang berzikir. Tidak ada maksud kepada selain Allah. Kalau tidak paham tentang munajat dan takrif zikir, bisa-bisa dimabukkan oleh zikir. Asyik kepada yang bukan dimaksud semula. Kalau hal yang bukan Allah sudah masuk ke badan, inilah yang jadi penyakit. Musyahadah Zikir itu untuk mendapatkan musyahadah. Musyahadah untuk mendapat fana. Fana fillah itu untuk mendapatkan baqa billah. Kalau sudah baqa billah, mana ada fana lagi karena fana itu awal baqa. Kalau sudah dapat baqa, mana ada fana lagi. Kalau sudah dapat fana, mana ada musyahadah lagi. Kalau sudah dapat musyahadah, mana ada zikir lagi? Inilah yang disampaikan di awal tulisan ini. Bahwa zikir itu bukan sampai banyak, melainkan sampai kelu. Sebetulnya jalan yang sampai kepada Allah itu ada empat, yaitu Syariat ← kenyataan yang di-ada-kan Allah. Berlaku pada anggota zahir, yaitu berupa perintah (amar) dan larangan (nahi); Tarikat ← jalan yang menyempurnakan syariat. Berlaku pada hati. Contoh praktiknya: mulut berkata "merah". Hati harus yakin bahwa barang yang disebut itu benar-benar merah. Inilah disebut menyempurnakan syariat. Hakikat ← keyakinan kita kepada yang wajib dipercaya. Hanya satu, yaitu Allah. Berlaku pada sirr hati (nyawa). Makrifat ← pengenalan yang sempurna tentang Allah. Bagaimana pengenalan yang sempurna pada Allah itu? Yaitu semua yang terpandang, terpikir, terasa, tersentuh, tercium, dan lain-lain itu bukan Allah. Karena orang yang sempurna mengenal Allah itu keyakinannya tetap. Bahwa Allah itu laysa kamitslihi syaiun. Syariatnya, kita berzikir. Makrifatnya, Rahasia Allah itulah yang berzikir atau yang di dalam sirr itulah yang berzikir. Perkataan ini bukan hendak menjadikan kita adalah Allah atau setara dengan Alah, melainkan kita meyakinkan Zat Allah itulah Diri Allah, bukan kita adalah Allah. Kesimpulan kata: Zat Allah itulah yang memuji Tuhannya. Kalau kita sudah dapat jalan pengetahuan ini, dapatlah kita jalan musyahadah, muraqabah, dan jalan ahlul kasyaf. Jalan musyahadah itu hanya kita mengetahui. Amalannya bukan pakai baca-baca lagi karena amalan batin itu pakai pandangan mata hati (syuhud matahati) Jalan muraqabah itu adalah pandangan mata hati tidak lepas dari takrif. Seperti kucing yang mengintai tikus. Fokus tidak berpaling dari target. Jalan ahlul kasyaf. Ini tidak cukup dengan paham saja, melainkan harus dengan bimbingan khusus. Seperti kita membimbing bayi sampai dia baligh. Contoh praktik ahlul kasyaf: Kita melihat tulisan. Sebenarnya yang kita lihat kertas putih, tetapi yang tampak tulisannya. Justru karena melihat kertas putih itulah kita bisa melihat tulisan. Coba andai kertas putih itu terbuka, masuklah ke kertas putih itu. Akan tampak semua tulisan. Ini baru mukadimah soal kasyaf. Tips Praktik Zikir yang Mengesakan Allah: Sampai Kelu Di awal tulisan tadi disebutkan "zikir itu bukan sampai banyak, melainkan sampai kelu". Nah, bagaimana cara praktiknya? Katakanlah kita hendak berzikir dengan pujian "Subhanallah" sebanyak 5000x. Belum sampai 2000x, mulut-lidah sudah letih. Lama-lama zikir pindah ke dalam hati. Belum sampai 3000x, hati pun letih. Zikir pindah ke sirr hati. Belum sampai 4000x, sirr hati terhenti sendiri lalu yang di dalam sirr yang berzikir. Itulah kelu. Itulah zikir berjalan sendiri. Kalau zikir sudah berjalan sendiri, tidak bisa dihitung lagi. Tak terhingga jumlah pujiannya. Kamu berzikir pakai tasbih sampai pecah, tetap kalah jumlah hitungannya dengan zikir kaum arif billah. Tapi, tidak akan bisa zikir berbunyi sendiri kalau Kamu tidak tahu memasang rukun qalbi (diam-tafakur hakekat) yang berlaku dalam segala bentuk ibadah dalam Islam. Berzikir-zikir tanpa "diam", tanpa takrif yang benar itulah yang membuat ahli zikir jadi menyimpang pola-pikir dan tingkah lakunya. Ucapkanlah kalimah-kalimah zikir atau wirid itu tanpa terputus. Ucapkan secara bersambung dalam satu tarikan napas. Begitu napas habis, ulangi lagi ucapkan secara bersambung seperti sebelumnya. contoh zikir yang benar mengesakan Allah: meski jumlah bacaannya banyak, Allah-nya tetap Satu. "AllaaahuAllaaahuAllaahu" contoh zikir yang lalai mengesakan Allah. Jumlah bacaannya banyak karena terputus-putus, jumlah Allah-nya juga ikut banyak. "Allaaah. Allaah. Allaah." Bisa jadi karena banyak yang membaca seperti cara terakhir itulah banyak orang yang setelah banyak berzikir malah jadi "tidak waras", atau malah pingsan, bahkan sampai kesurupan. Zikir itu ibadah. Mustahil ibadah itu merusak zahir-batin kalau teori dan praktiknya sesuai dengan Quran dan sunnah. Itu sebabnya zikir itu bukan sampai banyak, melainkan sampai kelu. Kalau banyak-banyak, banyak juga yang mau masuk ke badan kita lalu mengaku Tuhan. Inilah siasat Iblis-setan agar manusia-manusia saleh ahli zikir tidak lurus sampai ke Allah, melainkan kepada yang terpandang-pandang, terasa-rasa, terpikir-pikir, terbayang-bayang, dan lain-lain. Nauzubillah. -Arifbillah- ALAT MA'RIFAT Perlu diketahui alat-alat untuk berhubungan dengan Tuhan. "Wa khaliqu Adama 'ala surati Muhammad." Dan Ku-jadikan Adam itu atas rupa Muhammad. Jadi jasad kita ini atau tubuh kita ini adalah alat yg zahir atau alat syariah. "Wa khuliqal insana 'ala surati Rahman." Dan Ku-jadikan insan itu atas rupa Rahman. Insan ini atas rupa Rahman. Insan yang rupa Rahman inilah bagian batin. Inilah alat yang di dalam [alat yg bermakrifat]. Alat makrifat inilah yang musti dihubungkan kepada Tuhan dengan mempergunakan Rasa: sampai merasakan betul-betul berhubungan dengan Tuhan. Inilah yang dikatakan zahir-batin shalat. Merasa panas, merasa sejuk, pahit, manis, semua itu nama-nama mahluk. Jangan rasa itu dihubungkan ke makhluk. Hubungan Rasa itu tidak boleh ke makhluk, musti ke Tuhan. Ketuhanan itu hanya Allah dan Rasul. Inilah ketuhanan. Hendaklah kita bisa memelihara jasad dan rasa. Banyak merasa sesuatu dan menyebut sesuatu itu akan menimbulkan cinta pada sesuatu. Bagaimana mau kenal Allah kalau masih ada nafsu. Nafsu yang selalu memperalat kita dengan Tuhan. "Athi'ullah wa athi'urrasul." Di mana letaknya athi'ullah wa athi'urrasul itu? Gunakanlah Ushul Makrifat. Kewalian sudah ada pada diri manusia. Mengapa manusia tidak mau mengambilnya? Karena tidak tahu. Guru-guru yang mengajar pun tidak ada pengalaman tajalli. ulama yang arif billah menyatakan bahwa dalam ibadah itu ada empat perkara muqaranah. Muqaranah ini berlaku di dalam [shalat] dari takbir ihram sampai dengan salam. Keempat muqaranah yang dimaksud adalah muqaranah syahadat; muqaranah takbir ihram; muqaranah sakaratul maut; muqaranah wahdatul zat. 1. Muqaranah Syahadat Yang disebut muqaranah syahadat itu perkataan "Laa af`alun illallah", artinya tiada perbuatan, hanya Perbuatan Allah juga yang Ada. Raib [fana, binasa] perbuatan makhluk. Tidak ada lagi perbuatan makhluk dari takbir sampai ihram. Apabila masih merasa ada perbuatan makhluk, batal muqaranahnya. Itulah sebabnya di dalam takbir ihram, semua yang halal, haram hukumnya. Karena di dalam takbir ihram itu tidak ada lagi untuk merasakan ada perbuatan makhluk, baik berupa yang halal, maupun yang haram. Kalau yang ada sudah Perbuatan Allah, perlu apa lagi mengingat-ingat sesuatu? Itulah sebabny, sebelum takbir ihram semua yang halal dihukumkan haram. Inilah yang dimaksud muqaranah syahadat: "Laa af`alun illallah". Tidak ada satu zarah pun perbuatan makhluk, hanya Perbuatan Allah yang Ada. 2. Muqaranah Takbir Ihram Yakni sempurnanya takbir ihram dalam simpulan kata "Laa asma`un illallah." Tiada yang maujud segala nama, hanya Allah. Raiblah ruhani: segala rasa ruhani termasuk perasaan senang, indah, dan keinginan melihat-mengalami ini-itu, tidak ada lagi. Raib ruhani. 3. Muqaranah Sakaratul Maut Yaitu fana sifat. "Laa maujudun illa shifatun illallah". Tiada yang maujud segala sifat, hanya Allah. Raiblah ruh. Yakni jenis yang mutlak. itulah Ruq Qudus. Kelihatanlah siapa yang raib ke Tuhan dan kekal dengan Tuhan, kalau bukan jenis yang mutlak. Jadi, jasmani, ruhani, nurani, dan rabbani, semua raib bersama jenis yang mutlak. Sempurnalah. Akmallah dengan Tuhan. Selain dari jenis yang mutlak, nafi-lah. Tidak ada bersama-sama [tidak besertaan]. 4. Muqaranah Wahdatul Zat Lihatlah asalnya diri. Melihat asalnya diri. "Laa zatul illallah fil haqiqaati illallah." Asal diri, terdahulu. Dan hendaklah dimatikan dirinya terlebih dahulu. Sabda Nabi Saw., "Mutu qabla Anta mutu." Matikan dirimu sebelum mati. Seperti engkau berdiri di sajadah sebelum takbir ihram: matikanlah diri dulu. "Laa af`alun illallah" "Laa asma`un illallah." "Laa maujudun illa shifatun illallah" "Laa zatul illallah fil haqiqaati illallah." Kemudian masukkanlah hakikat tauhid, "Laa maujudun illallah". Tidak ada wujud, hanya wujud Allah. Pandanglah, wujud siapa yang shalat itu? Kalau masih merasa wujud kamu, artinya belum mati. Kalau kamu sudah tahu Wujud Allah saja Ada, mau apa lagi tahu wujud-wujud baharu? Inilah shalat yang bersih dari syirik. Wujud Allah = Zat Allah = Rahasia Allah = Diri Allah Jadi shalat itu Diri Allah menyembah Allah. Karena yang Ada hanya Wujud Allah, tidak ada baharu. Jadi, yang dikehendaki makrifat dalam tauhid itu: shalat itu kehendak Allah dan yang shalat itu Rahasia Allah. Pandangan orang makrifat: Sudah Diri Allah Memuji Tuhannya. Jadi praktik di dalam ibadah: Matikan dulu diri kamu sebelum shalat. Karena apa? Karena di dalam shalat ini raib semua: mi'raj semua. Yang musti diucapkan dalam berdiri di atas sajadah sebelum takbir, yaitu keempat perkataan muqaranah. Kemudian baru masukkan hakikat tauhid. Setelah itu pandanglah. Mematikan diri dalam shalat itu, bukan meniada-tiadakan diri, bukan mengosong-kosongkan diri, bukan membuang-buang diri, bukan juga merasa-rasakan diri tiada. Mematikan diri itu maksudnya: Kembalikanlah hak-hak Tuhan itu sebelum kamu mati. "Laa af`alun illallah" <=== tiada tubuh "Laa asma`un illallah." <=== tiada nyawa "Laa maujudun illa shifatun illallah" <=== tiada berkelakuan "Laa zatul illallah fil haqiqaati illallah." <=== tiada diri Inilah mematikan diri sebelum mati. Inilah shalat orang muntahi; shalat tingkat penghabisan. Di dalam tasawuf amali ada penggolongan tingkat-tingkat amal seseorang, yaitu tingkat pertama sampai ke empat. Secara tauhid, kita kupas seperti ini. muftadi, orang yang beramal dengan i`tikad lillahi ta'ala [karena atau kepada Allah]. Orang ini masih berkutat dalam masalah kelengkapan syarat dan rukun untuk menghadap Allah. Masih bersifat dari dirinya kepada Allah. mubtadi, orang yang beramal dengan i`tikad minallahi ta`ala [dari Allah]. Orang ini memandang dari Allah-lah sehingga dirinya bisa beramal ibadah. Masih bersifat dari Allah kepada dirinya. mutawasit, orang yang beramal dengan i`tikad billahi ta`ala [dengan Allah]. Orang ini memandang dengan Allah-lah sehingga dirinya bisa beramal ibadah. Masih besertaan dirinya dengan Allah. muntahi, orang yang beramal dengan i`tikad lillahi ta`ala, minallahi ta`ala, dan billahi ta`ala sekaligus. Dipandangnya semua sehingga tidak dipandangnya dirinya ada, yang ada sudah Perbuatan, Kelakuan, Asma, dan Zat Allah semata. Tiada merasa ada diri lagi, sudah semuanya Allah semata. Untuk sempurna mengetahui Allah, ketahuilah asal diri. Bukankah yang dijadikan Allah itu zat, sifat, asma, dan af`al. Ini yang perlu diketahui. Kata Ibnu Abbas r.a., kepada Nabi Saw., dia bertanya: "Yaa junjunganku, apa yang mula-mula dijadikan Allah Ta`ala?" Sabda Nabi Muhammad Saw., "Innallaaha khalawa qablal asya`i nuurun nabiyyika." Sesungguhnya Allah telah menjadikan yang mula-mula dari segala sesuatu ialah Cahaya Nabimu [Nur Muhammad]. Nyatalah, Nur Nabi itulah mula-mula dari sekalian alam. Dan kata Abdul Wahab Syarani r.a. dari Nabi Muhammad Saw.: "Innallaaha khalaqarruuhin nabiy Muhammad Shalallaahu `alaihi wasalam min zaatihi wa khalaqarruuhin alam." Sesungguhnya Allah menjadikan ruh Nabi Muhammad Saw. dari Zat-Nya [Zat Allah] dan menjadikan ruh sekalian alam dari Nur Muhammad. Sadarilah. Segala sesuatu jenis yang zahir [korporeal; jasadi] dari Nur Muhammad, sedangkan ruh-ruhnya dari Zat Allah. Pandanglah diri kita, jasad ini Nur Muhammad; ruh ini dari Zat Allah. Sifat dan zat itu satu [compact]. Contoh: Kalau ketan dengan ragi: satu, dinamailah tapai. Kalau Zat dan Sifat: satu, dinamai diri siapa diri kita ini? Tentulah Diri Allah. Nur itu Sifat, Zat itu Rahasia. Zat itu hayyun se-hayyun-hayyun-nya. Maka yang hiduplah yang berkelakuan, mana mungkin yang mati [fana] yang berkelakuan. Kalau kita sudah tahu bahwa Zat itu Wujud Allah; dan Wujud Allah itu Diri Allah, maka Rahasia, itulah Diri Allah. Kalau sudah paham ini, jangan lagi kamu sebut Diri Allah yang berkelakuan. Sebut dengan sebenar-benarnya: Allah yang berelakuan. Karena dalam hakikat tauhid: sudah tidak ada wujud baharu lagi. Apa pun yang kamu lihat, Wujud Allah yang Ada. Wujud Allah itu Zat Allah; Zat Allah itu Diri Allah. Kalau sudah tahu Allah, tidak perlu lagi kamu mau sama dengan Allah atau mau jadi Allah. Kalau sudah Allah, ya tetap Allah. Allah tetap Allah; baharu tetap baharu. Mana mungkin baharu bisa jadi Allah atau Allah jadi baharu. Jadi, diri manusia ini Diri Allah karena diri manusia ini Zat-Sifat. Jadi yang dikatakan shalat itu, Diri Allah memuji Tuhan-Nya. Kalau kesadaran ini kamu pegang terus, boleh kamu rasakan setiap tidur kamu mendapat hidayah. -Arif billah- TENTANG RASA Rasa di dalam rasa. Yang di dalam rasa itulah yang merasa. Yang di dalam rasa itulah yang dikatakan “perasaannya perasaan”. Sedikit sekali orang yang mau mengetahu tentang rasa. Rasa itu sirr. Yang di dalam sirr itu Rahasia Tuhan yang disematkan pada ruh yang ditiupkan-Nya pada jasad Adam. Rasa-lah yang mengetahui manis, asin, pahit, kesat, dan lain-lain. Bukan lidah yang merasakan manis, asin, pahit atau kesat itu. Karena dihubungi oleh rasa (sirr) itulah maka jasad dapat merasa. Islam itu artinya selamat zahir-batin. Islam itu diturunkan untuk menyempurnakan akhlak manusia. Akhlak yang utama, tentu ber-adab di hadirat Allah, bukan ber-adab di hadapan manusia. Akhlaqul karimah yang utama itu ber-adab di hadirat Allah, bukan ber-adab di hadapan manusia hanya agar tetap dikata orang saleh, orang sabar, orang zuhud, orang tawadhu, orang berakhlak. Maka dalam hubungannya dengan rasa, utamakanlah rasa ini terhubung terus dengan Allah. Bukan dengan akhlak! Islam itu artinya selamat zahir-batin. Apa yang diketahui oleh rasa, kebenarannya jangan dibelokkan oleh mulut. Dengan sirr kamu mengetahui letak kelalaian seorang saleh, jangan lalu kamu membenarkan pikiran dan pendapat orang itu hanya sekadar menjaga akhlak. Itu namanya kamu ber-adab di hadapan manusia, tetapi tidak ber-adab di hadirat Allah. Orang yang tidak sama hati dengan mulutnya itulah dikatakan munafik. Orang yang menerima kebenaran di hatinya, tetapi jasadnya menampik karena gengsi, itulah dikatakan fasik. Islam itu artinya selamat zahir-batin. Kamu bersedekah, di mulut berkata, “Terimalah”, tetapi di hati ada perasaan “setengah hati”. Dapatkah dikatakan selamat zahir-batin? Islam itu artinya selamat zahir-batin. Kamu tahu jasad bergerak mencari nafkah untuk menafkahi itu ibadah, tetapi selama mencari nafkah pikir dan rasamu terarah pada uang dan keuntungan. Dapatkah dikatakan selamat zahir-batin? Islam itu artinya selamat zahir-batin. Dalam beribadah, nafsu itu keinginannya terarah pada surga, pahala, dan fadhilah-fadhilah amal. Lupa dengan Pemilik surga, lupa dengan Pemberi pahala dan fadhilah. Dapatkah dikatakan selamat zahir-batin? Islam itu artinya selamat zahir-batin. Tentulah rasa musti berhubungan terus dengan Allah. Dengan begitu dapatlah kamu merasakan ketuhanan Allah. Kalau merasa terus dengan Allah, mana ada lagi keinginan dengan surga. Maka orang-orang tauhid dalam beribadah tidak ada dengan menginginkan surga. Karena keinginan itu nafsu. Kalau manusia merasa terus dengan Allah. Itulah dikatakan Allah dengan Allah. Oleh sebab itu, rasa musti berhubungan terus dengan Allah. Zahir-batin berhubungan terus dengan Allah, selamatlah. Maka Islam itu selamat. Jika kamu mengalami kesusahan, kekalkan saja rasa itu pada Allah. Nanti ada petunjuk dan pertolongan dari Allah. InsyaAllah. Zahir-batin berhubungan terus dengan Allah, selamatlah. Maka Islam itu selamat. Sedikit orang yang mengetahui bahwa ruh-lah yang mengetahui Tuhan. Sedikit orang yang mengetahui bahwa Allah hubungkan ruh itu dengan jasad. Sebab itulah banyak yang berpikir dan merasa bahwa yang bersifat mati (jasad) ini yang hidup. Lupa bahwa yang bersifat hidup (ruh) itulah yang hidup. Sadarlah hati pada Allah. Siapa yang mengatur berdiri, ruku, dan sujudmu itu? Tentulah Allah. Kalau kita merasa ada kemampuan diri melakukan berdiri, ruku, dan sujud, itulah dikatakan ujub. Rasa ujub ini menghancurkan pahala 80.000 tahun ibadah. Ingat kisah makhluk yang pernah terhormat bernama Azazil. Maka pengetahuan tauhid ini tidak bisa disepelekan. Inilah pertahanan dunia-akhirat. Yanzuru `ala qulubikum, Allah memandang hati; karena hati itulah yang hubungannya ke alam raib. Bukan ke alam gaib [alam jin, setan, Iblis]. Untuk dapat merasakan ketuhanan Allah. Hendaklah rasa berhubungan terus dengan Allah. Sampai baqa billah. Inilah caranya merasakan ketuhanan Allah. Rasa. Di dalam rasa ada rasa. Yang di dalam rasa itulah yang merasa. Kalau sudah yang di dalam rasa itu yang merasa: Tuhan saja ADA. -Arifbillah- TUBUH DIAM Tubuh Diam itu Tubuh asli sebelum ada sesuatu. Di dalam Tubuh inilah segala sesuatu mengambil tempat dan dari Tubuh Diam inilah segala suatu di-ada-kan. Tubuh Diam itulah Tubuh Tuhan [Zahiru Rabbi]. Cobalah dirasakan, bertubuh diamlah kita. Kerahasiaan-kerahasiaan Tuhan itu ada di dalam Tubuh Diam. Cara mendapatkannya dengan mendiamkan perasaanmu. Tubuh Diam itu Tubuh Ahadiyah; Tubuh Husnul Khatimah. Inilah lautan ahadiyah. Diam itu Tubuh-Nya [Af`al-Nya], yang Kosong itu Sifat-Nya, sedangkan "Allah" itu Asma-Nya. Asma bagi Zat-Nya yang meliputi sekalian alam ini. Diri kita sudah esa dengan Zat-Nya, Sifat-Nya, Asma-Nya, dan Af`al-Nya. Pandang kebenaran Tuhan itu [Q.S. Al-An`am:104]. Pergunakan tauhid dzukiyah. Tauhid dzukiyah itu tauhid rasa. Pikiran atau akal tidak dapat merasa. Hanya rasa yang dapat merasa. Di dalam batiniyah, Rasa yang dapat Merasa itulah Allah. Tubuh Diam itu bersifat Kosong. Adapun Kosong itu Sifat, sedangkan "Allah" itu Nama bagi Zat yang Meliputi. Jadi Yang Diam-nya itu Tubuh Tuhan. Kita di dalam Tubuh Diam dan bertubuhkan Diam. Pandang Tubuh Diam dengan rasa, sampai terasa benar bertubuhkan Diam. Hadapi apa saja dengan bertubuh Diam atau dengan bertubuh Tuhan: selamat kamu. Bagaimana kita mengenal Allah? Jauh tidak ada antaranya dan dekat tidak bersentuh. Zat dan Sifat terjadi dari cahaya Tuhan dan Tuhan itu bukan alam dan bukan cahaya. Tuhan Mahasuci lebih daripada cahaya-Nya. Esa Tuhan dan hamba. Dikatakan apalah itu? Kalau dikatakan Tuhah, tidak patut; kalau dikatakan hamba, salah: kafir. Kalau sudah bersatu, Allah namanya. Barulah bersifat ketuhanan. Tuhan itu penghabisan nama. Yang Bisa Menghidupkan dan Mematikan itu siapa Nama-Nya? Karena tidak ada nama lagi yang bisa disebut, maka dinamailah Tuhan. Yang kosong bukan alam, kita di dalamnya. Maka bersama Tuhanlah kita ada berada. Tuhan itu tidak Bergerak dan tidak Diam: Diam sediam-diamnya. Tuhan tidak Bergerak kemudian Diam; tidak pula Diam kemudian Bergerak. Tuhan Diam sediam-diamnya. Yang Diam sediam-diamnya itulah Tuhan. Zat-lah yang merasakan ketuhanan. Bukan kita yang mau merasa ketuhanan, melainkan Zat merasakan ketuhanan. Maka hati kita musti plong: tidak ada keinginan lagi. Bersih dari ananiyah. Tubuh Kosong ini Wujud Allah. Wujud Allah itu Zat-Mutlak, bukan Zat-Sifat. Inilah Rahasia Tuhan. Inilah yang dikatakan "al insanu sirrihi wa Ana sirruhu". "Diri kamu itu Rahasia-Ku dan Rahasia-Ku ini diri kamu juga." Demikianlah makna perkataan itu. Jadi, dari Rahasia Tuhanlah jadi diri kita ini. Semakin jelaslah, dari Zat-Mutlak inilah kejadian diri kita. Kalau kita mengaji Kosong ini, tidak akan tergelincir. Orang yang paham soal Kosong ini, bertubuh batulah dia. Artinya, tiada binasa. Tubuh Kosong inilah Tubuh asli sebelum ada sesuatu. Tubuh Kosong ini Zat-Mutlak. Zat-Mutlak inilah tubuh Ruh Qudus; Tubuh Rahasia Tuhan yang ada di sama-tengah hatimu. [Q.S. Adz-Dzariat:20-21] Tubuh yang di sama-tengah hati inilah yang dapat berhubungan dengan Nur secara "laa bi harfin wa laa shautin". Tidak berhuruf; tidak bersuara. Apabila Nur menyahut, akan terasa berbunyi di tenggorokan. Di situlah semakin nikmat kita tidur. Nikmatnya lebih hebat daripada burung dara [lebih nikmat daripada pertemuan lelaki-perempuan]. Dan sekali lagi, Tubuh Kosong ini Zat-Mutlak. Zat-Mutlak inilah jasad Rasulullah Saw. Apabila kita dipandangkan [bukan memandang], apabila kita dipandangkan Tubuh Kosong atau jasad Rasulullah ini, tidak ada yang mampu menahan tangis. Kita saja ketika belum dipandangkan asyik dengan Tubuh Kosong ini sudah terasa zauqnya. Apalagi bila dipandangkan, baru kita benar-benar merasakan yang disebut "laysa kamitslihi syai`un" itu. "Man lam ya zauq, lam ya`rif." Kalau kamu merasa, tahulah kamu. Rasa itu Rahasia. Rahasia itulah yang melihat. Siapa Rahasia itu? Ruh Qudus. Ruh Qudus inilah jasad Rasulullah. Kalau rindu-rindu terasa, bacalah selawat apa saja. Karena Tubuh Kosong itu Tubuh Allah Ta'ala. Inilah suatu karunia yang penuh rahmat bila seseorang dipandangkan Tubuh ini. Hanya manusia yang diridai Tuhan saja yang dapat dipandangkan Tubuh Allah. [Ingat, bukan kita memandang, melainkan kita dipandangkan] Kalau kita dipandangkan Tubuh Kosong, bacalah: Alhamdulillah `alaa kulli halin wa fii kulli halin wa ni`matin Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. "Mengaji Kosong tidak akan tergelincir." -Arifbillah- Ilmu kasyaf diisyaratkan dalam Quran Surah Al-Kahfi ayat 65-82, yaitu tentang pertemuan Nabi Khidr عليه السلام dan Nabi Musa عليه السلام. Di pengajian Tauhid Hakiki Pusaka Madinah, ilmu kasyaf ini diberi sebutan sesuai dengan pemberi ijazahnya, yaitu ilmu firasatan Nabi Khidr. Memang di luar sana banyak yang mengaku-aku berguru dari Nabi Khidr, tetapi yang benar bertemu bisa membedakan dan bisa mendeteksi pengakuan palsu itu. Kasyaf dalam pengertian tauhid hakiki ialah terbukanya hijab/pembatas antara seorang hamba dengan Tuhannya sehingga ia dipandangkan Allâhﷻ perihal hakikat kenyataan di sekelilingnya. Selain dipandangkan, bahkan si ahlul kasyaf ini pun digerakan-Nya. Perhatikan sandaran dalil berikut: “Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan perang kepadanya, dan hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan, jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan kebaikan, maka Aku mencintai dia, jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-Ku, pasti Ku-lindungi. Dan Aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya.” (H.R. Bukhari 6021) Masih sulit memahaminya? Baiklah. Cermati i`tibar (analogi) berikut ini: Ahlul kasyaf ialah orang² yang hatinya bersih sebening air paling bening karena ia selalu menjaga agar hatinya tidak bersangka-sangka terhadap apapun; kepada siapa pun. Surah Al-Hujurāt [49]:12 يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرً۬ا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٌ۬ۖ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. Qalbun mu’min baitullah, ‘hati orang mukmin itu istana Allāhﷻ’ (H.R. Abu Dawud). Nah, kalau hati kita tidak bersangka-sangka, maka ia laksana air bening yang tembus-menembus. Perhatikan gambar: saking beningnya air dalam gelas, ia tidak menghalangi langit biru, tipisnya awan, bersitan cahaya matahari, bahkan dahan pohon kelapa di belakangnya. Itulah yang disebut pandangan tembus-menembus. Seperti itulah para `arif billāḥ menjadi cermin yang memantulkan keaslian orang² di sekitarnya. Bukan karena `arif billāḥ tersebut mencari² tahu pakai nafsu (seperti cara para dukun ahli terawang dan ahli ngimpleng yang dibodohi informasi palsu dari jin itu), melainkan ia diberitahu Allâhﷻ langsung melalui sirr hatinya. Diberitahu oleh Allâhﷻ secara langsung? Memang bisa? Sangat bisa. Tentu saja bisa. Karena ada 4 jenis bisikan dalam hati. Diberitahu oleh Allâhﷻ secara langsung itu seperti apa hal-keadaannya? Perhatikan gambar berikut sebagai i`tibar (analogi) untuk memudahkan paham. "Diam adalah ibadah tingkat tinggi." (H.R. Ad-Dailami) Air tergenang yang diam ketika tertetesi seperti pada gambar, niscaya si air tersebut akan menerima gelombang ke sekujur jasad airnya. Betul 'kan?! Nah, kalau hati kamu tidak bersangka-sangka, artinya hati kamu diam seperti air tergenang yang diam tadi. Ketika Allâhﷻ memberi petunjuk-Nya, niscaya sekujur jiwa-ragamu akan menerima informasi Ilahiyah tersebut. Logis? Sangat logis! Adīnul aqli. Bagaimana cara mempraktikannya dalam keseharian? Pasang rukun qalbi salat di dalam dan di luar salat. Karena yang disebut `ulil albāb itu orang² yang mengingat Allâhﷻ dalam setiap keadaan (Q.S. Al-`Imrān [3]: 190-191). اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِ ۚ ۖ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ ۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًا ۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (yaitu) orang-orang yang mengingat Allāh sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka. [Q.S. Al-Imran:190-191] Pembuktian Nyata (Mu`anayah) Ilmu Kasyaf di Keseharian Kalau hatimu senantiasa berkekalan pada Allâhﷻ dengan mengamalkan rukun qalbi salat di keseharian, niscaya kamu laksana cermin yang memantulkan keaslian orang² di sekitarmu. Allâhﷻ akan tunjukkan padamu siapa di antara kawan-kawanmu yang benar-benar ikhlas dan mana yang munafik paling culas; mana yang benar-benar amanah dan mana yang pengkhianat paling samar. Allâhﷻ menunjukkannya padamu melalui diri-diri mereka sendiri. Orang² yang gerak-geriknya atas dorongan nafsu akan senantiasa gelisah dan tidak nyaman berada di dekatmu dan cepat atau lambat mereka tidak akan tahan menyembunyikan keaslian dirinya sendiri terhadapmu. Bisa melalui kebohongan dan fitnah yang terbongkar. Bisa juga melalui tindakan² bodohnya yang hina-memalukan terhadapmu. Bisa juga melalui dalih-dalih dalam lisan santun dan gerak-gerik sopan pada bahasa tubuhnya yang palsu. Akhlaqul karimah kelas kosmetik belaka. Bagaimana jika sesama ahlul kasyaf berjumpa? Di situlah nikmat ukhuwwah islamiyyah dengan akhlaqul karimah yang asli terjadi dan dirayakan. Dalam situasi apa pun, seorang `arif billāḥ tidak menderita kerugian sama sekali sebab dirinya sudah tertempa dengan mental alḥamdulillāh `alā kulli hāl alias nothing to lose. Semakin bersyukurlah ia kepada Allâhﷻ dihindarkan dari pergaulan dengan manusia-manusia di bawah standar seperti tadi, yaitu manusia-manusia yang penuh kepalsuan, durhaka, pengkhianat, pendendam, dan pendengki; sebagaimana diisyaratkan sebaliknya dari hadis berikut ini: “Ya Rasulullâh! Siapakah orang yang terbaik itu? Maka beliau menjawab: yaitu orang mukmin yang bersih hatinya. Maka ditanyakan lagi: apakah artinya orang yang bersih hatinya itu wahai Rasulullâh? Beliau lalu menjawab: ialah orang yang takwa, bersih tidak ada kepalsuan padanya, tidak ada kedurhakaan, pengkhianatan, dendam dan kedengkian.” (H.R. Ibnu Majah) Ketika semua itu terbongkar sendiri, di situlah si ahlul kasyaf sangat layak dan berhak merendahkan manusia-manusia receh itu sesuai dengan keperluan situasinya. Kalau Allâhﷻ sudah berkehendak menghinakan seseorang, siapa yang sanggup menahan-Nya? Wali Allâhﷻ...dilawan. Akhirul kalam, Demikianlah uraian singkat ini. Penulis dalam hal ini sama sekali tidak menyatakan dirinya sebagai ahlul kasyaf karena yang disampaikan ini hanya ilmu dasar dan praktik dasar kasyaf. Dengan tulisan ini, penulis hanya menjalankan amanah sebagai penyambung lisan almarhum mursyid. Wasalam. ANTARA PIKIRAN DAN TENANG Yang ini agak ringan, jadi saya menulisnya cukup santai. Begini, mungkin sebagian dari kita menganggap, kalau sudah bisa sadar terus, perasaan kita akan tenang terus? Hehehe. Kita tadi sudah bahas, bahwa kita di dunia sedang bermain peran, ada cerita yang harus kita mainkan. Cerita itu termasuk, cerita tegang, cerita marah, cerita kesal, cerita perasaan yang kacau balau, dan lain-lain. Sehebat apapun praktek kesadaran kita, tetap saja ada tegangnya, ada marahnya, memang tidak besar, tapi tetap ada. Makanya di cerita para orang soleh, cerita para nabi misalnya, tetap saja, ada cerita kalah, ada cerita marah, ada cerita menghadapi masalah dan lain-lain. Tetap punya cerita. Sebab begini, misalnya kita jadi pemain sandiwara, kita disuruh marah, marah yang hebat. Bisa saja ada beberapa orang yang sangat profesional, walau pun terlihat marah sekali, hatinya tetap damai, tidak terbawa peran yang sedang diperagakan. Begitu selesai adegan, langsung bisa senyum-senyum, sambil berkata, bagus kan marah gue? Bagus kan? Hehehe. Apa pun yang terjadi pada diri kita, kita bisa tetap damai, asal kita bisa tetap dalam kesadaran. Kita akan mengalami, marah tapi damai, kita mengalami tertekan tapi damai, kita sakit tapi damai, apapun yang terjadi pada diri kita, kita tetap damai. Jangan menganggap kalau sudah panjang latihan sadar, kita akan bebas stres, tidak. Fungsi latihan sadar, salah satunya adalah agar kita makin bisa mengambil jarak yang cukup antara kita yang menyadari dan mengamati, serta perasaan kita yang terus berganti. Karena kita bukanlah perasaan kita. Kita adalah yang mengamati perasaan kita. Ada hubungan yang sangat kuat antara pikiran dan ketenangan, salah satu prinsip utamanya adalah pikiran tenang maka perasaan kita tenang, pikiran liar perasaan kita pun liar. Salah satu cara menenangkan pikiran adalah jeda. Salah satu ini jeda adalah mendiamkan pikiran. Lebih bagus lagi sambil disadari, maksus disadari bukan direnungkan, tapi mengahdirkan bagian tubuh kita yang bernama kesadaran untuk hadir dalam jeda kita. Jeda itu diam sejenak. Apa yang diam? Yang diam adalah pikiran. Maka dari itu, salah satu kemampuan dasar dalam pelajaran ketenangan adalah bia mengamati kegiatan pikiran. Kita sebaiknya mengetahui, apakah kita sedang berpikir atau tidak. Kalau kita tidak bisa membedakan mana berpikir mana tidak berpikir, agak sulit kita mendiamkan pikiran. Salah satu ciri kita sedang berpikir adalah melamun, atau terbawa lamunan, atau kalau sedang ada masalah, pikiran kita sibuk memikirkan masalah. Apakah kita tidak boleh berpikir? Ya boleh berpikir, tapi berpikir sambil sadar, bahwa kita sedang berpikir. Menulis ini kan juga perlu pikiran, tapi saya sadar, bahwa saya sedang berpikir. Saya mengamati, pikiran saya yang sedang berpikir. Kembali ke jeda. Ketika kita jeda, kita niatkan untuk mengistirahatkan pikiran. Walaupun pikiran istirahat, kita tetap membutuhkan fokus. Kalau fokus hilang, tidurlah kita. Fokus. Pekerjaan kesadaran itu salah satunya mengamati atau menyadari. Sebenarnya bukan pekerjaan juga, memang sifat alaminya mengamati. Seperti halnya matahari, menyinari itu bukan pekerjaan, memang sifat alaminya menyinari. Nah, karena sifat alaminya mengamati, maka harus ada yang diamati, karena pikiran diam, maka kita alihkan fokus kita ke tubuh atau kesadaran. Karena kalau fokus di perasaan kita bisa hanyut, maka alternatifnya kita fokus di tubuh atau di kesadaran. Karena fokus di kesadaran itu tidak mudah, maka yang paling mudah kita fokus di tubuh, maka banyak yang fokus di nafas, di tubuh. Kita fokus di tubuh, yang bagus memang, kita mengamati nafas, karena kalau kita bisa mengamati nafas dengan nyaman, maka kita akan sulit berpikir, coba saja berpikir sambil bernafas. Kalau sulit mengamati nafas, kita amati bagian tubuh yang lain. Kita bisa mengabsen anggota tubuh, dari kepala sampai telapak kaki. Ketika kita menyebut anggota tubuh satu persatu, maka fokus kita akan ada di anggota tubuh tersebut, ketika fokus kita di tubuh, maka pikiran berhenti, ketika pikiran berhenti maka akan mulai hadir ketenangan. Kalau mau cepat pindah fokus, boleh pakai gerakan, boleh loncat-loncat seperti pak Tung Desem Waringin, atau bernyanyi atau menari sambil disadari, seperti tarian sufi. Kalau mau tenang, istirahatkan pikiran, kegiatan menghentikan pikiran ini disebut jeda. Tapi, tidak langsung tenang, seperti air yang keruh, walau pun airnya sudah diam, airnya tidak langsung bening, perlu waktu. Dan jangan mencari tenang, mencari tenang itu menggunakan pikiran, artinya ketika kita mencari ketenangan, kita sedang menggerakan pikiran. Hentikan pikiran. Sisanya, nikmati saja keheningannya. MEMELIHARA SADAR DAN TENANG Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas lagi di-ridhai-Nya! Kemudian masuklah ke dalam (jamaah) hamba-hamba-Ku, Dan masuklah ke dalam surga-Ku! [Al-Fajr/89:27-30] Berbeda dengan tenangnya perasaan, ada satu keadaan batin yang bisa dilakukan setiap saat, yaitu sadar, aware, eling, atau sebutan lainnya. Sebab sumber dari batin yang sadar bukan perasaan, tapi kesadaran. Kesadaran bukan energi, jadi dia tidak bolak-balik, dia diam dalam keadaan positif tak berhingga, dalam keadaan bahagia tak berhingga. Sedikit catatan, saya lebih senang menyebut kesadaran ini dengan jiwa atau soul, tentu jiwa di sini, jiwa yang memenuhi ciri sebagai kesadaran, bukan seperti orang sakit jiwa, itu mah sakit mental atau komponen syarafnya terganggu. Di sisi bahasan kesadaran, jiwanya tidak terganggu, hanya syarafnya saja yang terganggu. Seperti lampu di rumah kita mati, jangan sebut PLN sedang memadamkan aliran listrik, tapi lampu di rumah kita memang rusak. Kembali ke selalu sadar. Kita bisa selalu sadar, setiap saat, apa pun kondisi kita. Kejadian apa pun yang terjadi pada kita, bisa kita sadari, kita sedang takut, marah, depresi, galau berat, senang, bahagia, gembira, dimabuk cinta, tenang, semua bisa kita sadari. Sadar bisa dilakukan setiap saat. Bahkan ketika mimpi dan tidur pun kita bisa sadar. Kalau pun ternyata kita tidak bisa, bukan karena hal itu tidak bisa dilakukan, tapi karena kita tidak mampu melakukannya. Ketika mimpi kita bisa sadar, sadar kalau kita sedang mimpi, jadi kita bisa ngatur mimpi kita, misalnya, ketika mimpi kita sadar, "wuah, saya sedang mimpi nih", karena kita tahu kita sedang mimpi, kita bisa atur mimpi kita, sekehendak kita, dari mulai ingin terbang sampai ingin jalan-jalan ke mana pun. Tentu saja, mimpi kita, kadang bisa disadari kadang tidak, saya membahas ini pun bukan berarti saya pandai, hanya kita perlu pahami bahwa, dalam keadaan apapun kita bisa sadar, kalau mampu. Kalau perasaan tenang, tidak ada seorang pun yang bisa selalu tenang, setiap saat tanpa ada naik turun, tidak ada. Walau pun itu orang tercerahkan sempurna sekalipun, tetep ada sedikit lupa, sedikit marah, sedikit sedih. Walau sedikit-sedikit, tapi tetap ada. Kalau sadar, bisa selalu sadar, kalau tidak bisa, bukan karena kesadaran tidak bisa disadari dalam keadaan tertentu, bukan sebab kesadarannya, tapi sebab batin kitanya yang belum mampu menyadari kesadaran di keadaan tertentu. Selalu tenang itu tidak mungkin, tenang perasaan itu kondisi perasaan, sedangkan perasaan itu energi, timbulnya energi itu akibat dari getaran atau vibrasi. Yang namanya getaran pasti bolak-balik, kalau diam di suatu kondisi ya bukan bergetar namanya, tapi diam. Karena perasaan tenang adalah energi maka pasti kadang tenang kadang tidak. Bolak-balik. Yang bisa dilakukan hanyalan memperpendek ayunan gelombang dan memperlambat getaran. Tetap masih ada bolak-balik rasa, tapi tidak terlalu tajam, tidak terlalu ekstrim. Tetap marah, tapi kecil, sehingga mudah hilang, tetap takut, tapi kecil, sehingga mudah kembali tenang. Jadi, sifat dominannya tetap tenang. Ini seperti samudera, sifat alaminya tenang, tapi kalau ada angin ya tetap beriak, makin besar anginnya, makin besar juga gelombangnya, tapi begitu anginnya reda ya reda juga gelombangnya, tidak terus berlanjut, apalagi sampai mengendap bertahun-tahun. Kebanyakan dari batin kita, malah seperti hutan gambut, tahu lahan gambut ya? Hutan gambut itu, walau pun dipermukaan kebakarannya sudah berhenti, di kedalaman, apinya masih membara. Kita kebanyakan begitu, peristiwanya sudah lewat, tapi batin kita masih membara, masih menyisakan tumpukan emosi negatif yang entah kapan hilangnya. Terus membara. Kadang diwariskan sampai ke anak cucu, hehehe. Mengapa lahan gambut sulit padam? karena api masih liar didalam. Kenapa api masih liar? Sebab terdapat banyak sisa tumbuhan kering yang mengendap dan jadi bahan bakar. Jadi makanan untuk api. Mengapa emosi kita sulit padam? Karena pikiran kita masih liar. Kenapa pikiran kita liar? Karena makanan pikiran berupa persetujuan, kita terus berikan. Harusnya kita dendam, kita bilang iya benar, harusnya kita sakit hati dalam waktu lama kalau begini, kita bilang iya betul, harusnya kita kwahatir terus nih, kita bilang iya betul, ya jadilah kita berkubang dalam penderitaan. Makanya banyak yang mengatakan, kita tidak akan pernah sakit hati, sebelum kita sendiri yang mengizinkan diri kita untuk sakit hati. Ketika ada orang mengusik perasaan kita, sebaiknya kita sadar, nanti dulu, jangan dulu sakit hati, santai dulu, nanti kalau kita sudah tenang, baru kita pertimbangkan, apakah kita layak untuk sakit hati. Kalau sudah tenang malah kita dapat hikmah, bukan dapat sakit hati. Oleh karena itu kita dianjurkan supaya menjaga pikiran agar jangan terlalu banyak bergerak, dengan cara, diantaranya menyadari nafas, dzikir, mindfullness, menyadari setiap aktivitas, melibatkan kesadaran dalam tiap aktivitas batin maupun fisik dan lain-lain. Tujuannya supaya pikiran kita diam, kalau pikiran diam kita akan tenang, kalau kita tenang maka pintu keheningan akan terbuka, kalau pintu keheningan terbuka, kita akan mudah mengenali "ruang kesadaran" yang penuh suka cita tanpa ada derita. Kita bisa selalu sadar apapun kondisi kita, asal kita belajar terus karena 70% praktek 30% ilmu. Barakallah... BELAJAR MENYADARI Kesadaran yang saya bahas ini kata benda, bukan kata kerja. Kesadaran juga bagian dari tubuh kita. Ada tubuh, pikiran, perasaan dan kesadaran. Tubuh fungsinya sesuai yang 5 indera itu, melihat, mendengar dan lain-lain. Pikiran fungsinya berpikir. Perasaan fungsinya merasakan. Kesadaran fungsinya menyadari atau mengamati. Sederhananya begitu. Dan ini alami, jadi tidak perlu bingung-bingung. Misalnya, saya sadar bahwa saya sedang membaca tulisan ini, nah untuk menyadari ini, kita memerlukan bagian tubuh kita yang bernama kesadaran, tanpa adanya kesadaran, kita tidak bisa mengamati. Kalau kita beranggapan, kesadaran adalah bagian dari pikiran, ya tak apa-apa, hanya sekarang kita pisahkan dulu, antara pikiran dan kesadaran. Kalau mau merasakan bagaimana sensasi badan ketika kita sedang menyadari, lakukan dan Katakan dalam hati, kalau sambil bersuara lebih bagus, katakan dengan penuh kesadaran, lakukan hal berikut ini : a. Sambil membaca tulisan ini, katakan, "saya sadar bahwa saya sedang membaca tulisan ini". b. Kalau anda sedang pegang HP, katakan, "saya sadar bahwa saya sedang memegang HP dan mengamati tubuh saya yang sedang memegang HP", c. Sambil membuka mata, "Saya sadar bahwa saya sedang membuka mata saya dan saya mengamati mata saya yang sedang terbuka", d. Sambil bernafas normal, "Saya sadar bahwa saya sedang bernafas, dan kesadaran saya sedang mengamati badan saya yang sedang bernafas. Yang menyadari dan mengamati di atas dilakukan oleh kesadaran, bukan oleh pikiran, bukan oleh perasaan. Sensasi yang dirasakan biasanya tenang, makin banyak yang disadari, makin tenang diri kita. Lalu buat apa belajar ketenangan? Kesadaran ini sumber energi positif, dan tidak punya sifat negatif, jadi hanya ada positif, kalau kita sering menyadari kesadaran, sering sadar, sering present moment, artinya kita sering mengamati kesadaran, sering memperhatikan kesadaran, karena yang kita perhatikan ini sumber dari energi positif, maka ketika kita sering terhubung dengan kesadaran, dengan cara menyadari atau sering jadi pengamat pada peristiwa-peristiwa yang lewat, maka kesadaran akan mengalirkan energi yang positif pada kita yang sedang memperhatikannya. Maka dari itulah kita dianjurkan untuk selalu hadir di sini dan di saat ini, di kesadaran. Saya mengamati perasaan saya yang sedang tenang. Yang sedang mengamati perasaan ini yang saya sebut kesadaran. Menyadari artinya menghubungkan diri dengan kesadaran. Sumber dari ketenangan. Menyadari artinya mengamati, mengetahui, menonton, tanpa melibatkan emosi. Kalau pakai ilsutrasi pemain bola, menyadari itu seperti pelatih yang mengamati permainan tim asuhannya, tanpa ikut bermain. Sedangkan merasakan itu seperti pemain bola yang terlibat langsung dalam permainan. Kita langsung saja pada bahasan, untuk sampai pada menyadari kesadaran, kita sebaiknya melatih dulu sadar dengan lima panca indera kita. Kalau sudah menjadi kebiasaan, baru ditingkatkan ke menyadari yang lebih halus. Lima panca indera itu adalah penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecap (lidah), dan peraba (kulit). Mau mulai dari mana saja bebas, supaya mudah dibahas dari atas saja, dari mata. Sambil pasrah total dan santai total, tapi sadar penuh, sadari mata kita yang sedang melihat, disadari ya bukan dirasakan. saya sadar, bahwa mata saya sedang melihat tulisan, misalnya. Kalau merasakan, saya merasakan, mata saya pegal, cukup nyaman, tapi agak berair, misalnya. Kita menyadari, bukan merasakan. Setelah kita cukup nyaman, mengamati mata kita yang sedang terbuka, kita tambahkan dengan mengamati telinga kita yang sedang mendengar. Kita mengamati mata yang sedang terbuka dan telinga yang sedang mendengar, pada waktu bersamaan, kalau sudah nyaman, terus tambahkan dengan hidung yang merasakan nafas, lidah yang terasa mengecap, dan benda yang tersentuh kulit. Sampai bisa menyadari aktivitas lima indera kita, pada waktu bersamaan, dan rasakan ketenangan yang muncul. Dengan aktivitas menyadari ini, biasanya pikiran berhenti, karena fokus kita ada di panca indera kita. Dengan pikiran berhenti, maka ketenangan mulai muncul. Jika ketenangan bertahan lama, maka energi tenang itu akan menempel di badan kita. Dan kalau dibiasakan akan jadi program bawah sadar yang bekerja secara otomatis. TUGAS HATI Dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. [Q.S. Yunus:100] Diberi Allah dua bola mata, tugasnya satu: untuk melihat. Diberi Allah dua daun telinga , tugasnya satu: untuk mendengar. Diberi Allah satu hati, tugasnya satu. Tugas hati untuk apa? Untuk berkekalan pada Allah. Mengapa ada orang waktu mau mati hatinya bertugas pada anak-istri, harta, kebun, dan lainnya? Mengapa ada orang waktu mati hati bertugas pada yang bukan Tuhan? Susahlah mati orang itu karena asyik dengan makhluk saja. Jangan makhluk itu dijadikan berhala di dalam hati. Jangan dibiasakan hati asyik dengan hal-hal duniawi. Asyikkanlah hati itu kepada Allah. Untuk membiasakan hati kekal dengan Allah, gunakanlah tafakur hakiki. Cara praktiknya: Rasakanlah dengan rasa betapa Maharuang itu diam dan kita merasakan di dalam Tubuh Maharuang. Rasakan kita di dalam Tubuh Yang Diam itu. Maharuang atau Tubuh Yang Diam itu adalah Tubuh Tuhan. Inilah yang disebut Zahiru Rabbi wal bathinu abdi. Kita di dalam-Nya. Kita inilah wal bathinu abdi. Kita inilah di dalam Zahiru Rabbi. Kita bertubuh Kosong Maharuang. Pakailah perasaan. Bawa perasaan tafakur hakiki ini di dalam shalat, bawa perasaan tafakur hakiki ini di dalam keseharian, bawa perasaan tafakur hakiki ini di dalam tidur. Pakailah tafakur hakiki ini. Kalau kita shalat di Tubuh Maharuang: ADA TUHAN. Bukan dengan dicari-cari, dipikir-pikir, hanya diyakini saja: ADA TUHAN. Perasaan kita hendaklah meyakinkan adanya Tuhan itu. Apabila seseorang dalam shalat dapat merasakan bertubuh Tuhan, nikmatlah senikmat-nikmatnya shalat itu. Jangan mau cari khusyuk tawadhu saja, tetapi tidak dapat merasakan nikmat shalat. Lebih baik kita mempelajari cara untuk mendapatkan nikmat shalat. Karena beribadah shalat itu nikmat. Carilah jalan praktik untuk mendapatkan nikmat shalat itu. Carilah jalan praktik untuk dapat merasakan bertubuhkan Tuhan di dalam shalat. Hati-hati dengan ulama dhal madhal; ulama yang sesat-menyesatkan. Yaitu ulama yang hanya pandai menyebut "Allah..Allah" saja, tetapi tidak merasakan Allah. Itulah ucapan palsu. Yaitu ulama yang berkata "Ibadah itu nikmat", tetapi tidak pernah merasakan nikmat ibadah. [Bagaimana bisa menerangkan umat cara praktik meraih nikmat itu?]. Yaitu ulama yang pandai menjelaskan jenis-jenis nafsu, tetapi tidak pernah sampai menerangkan tentang bahaya laten nafsu Firaun [nafsu ananiyah]. Para alim sufi, ke-aku-an mereka itu bukan menyebut "aku", melainkan merasakan "Aku"-nya Tuhan. Nafsu ananiyah itulah yang menghijab kita dengan Tuhan. Tawadhu itu pada Allah saja. Yang selain Allah itu makhluk. Perlu sadar. Sadar itu iman. Kalau kita lihat Af`al-Nya, terasa esanya kita dengan Allah. Yang mana Af'al-Nya itu? Yang Diam. Sementara Sifat-Nya itu Yang Kosong; Asma-Nya itu Allah; Zat-Nya yang Meliputi alam Diri-Nya. Kita sudah Mahaesa dengan Zat-Sifat-Asma-Af`al-Nya. Pergunakan tauhid Dzukiyah. Sebab pikiran/akal tidak bisa merasa. Hanya Rasa yang dapat merasa. Rasa, di dalam rasa ada rasa. Rasa itulah Rahasia. Rahasia yang bisa merasakan Maharuang itulah Tubuh hakiki kita. Praktikkan tauhid dzukiyah agar kita dapat merasakan esanya Tuhan dengan hamba; hamba dengan Tuhan. RUH QUDUS Seluruh umat Islam; setiap muslim wajib tahu bahwa zat-mutlak itu tubuh Muhammad Rasulullah Saw.; Rahasianya Allah. Ada di dalam sama tengah hati. Itulah diri kamu juga. "Wafi anfusakum 'afalaa tubsirun". Yang dimaksud di dalam syir itulah yang di sama tengah hati. Peliharalah intan baiduri itu dengan salat dan banyak-banyak selawat untuk beliau. Dengan izin Allah, Ruh Qudus: diri Rahasia yang pada kita ada di sama tengah hati dapat menyambuhkan orang sakit. Dapat pula mengajar jasad menjadi pandai dengan sendirinya. Dengan izin Allah, Ruh Qudus dapat menolong jasad. Buka al-Maidah:110. Aku datangkan nikmat-Ku menjadi kekuatanmu hingga dalam kandungan pun kamu dapat hidup bergerak. Sampai kamu keluar dari kandungan pun hidup dan bergerak. Nikmat yang Kudatangkan itu menjadi kekuatanmu, kepandaianmu, dan membuat kamu bisa segala-galanya. Nikmat-Ku ini ada pada dirimu juga. Dunia-akhirat, kenalilah yang sedikit ini. Jangan lupa katakan dulu "dengan izin Allah. Begini caranya Allah izinkan Ruh Qudus untuk dapat....memandangkan aku kutub utara. Seluruh umat Islam; setiap muslim wajib tahu bahwa zat-mutlak itu tubuh Muhammad Rasulullah Saw.; Rahasianya Allah. Ada di dalam sama tengah hati. Itulah diri kamu juga. "Wafi anfusakum 'afalaa tubsirun". Yang dimaksud di dalam syir itulah yang di sama tengah hati. Peliharalah intan baiduri itu dengan salat dan banyak-banyak selawat untuk beliau. Dengan izin Allah, Ruh Qudus: diri Rahasia yang pada kita ada di sama tengah hati dapat menyambuhkan orang sakit. Dapat pula mengajar jasad menjadi pandai dengan sendirinya. Dengan izin Allah, Ruh Qudus dapat menolong jasad. Buka al-Maidah:110. Aku datangkan nikmat-Ku menjadi kekuatanmu hingga dalam kandungan pun kamu dapat hidup bergerak. Sampai kamu keluar dari kandungan pun hidup dan bergerak. Nikmat yang Kudatangkan itu menjadi kekuatanmu, kepandaianmu, dan membuat kamu bisa segala-galanya. Nikmat-Ku ini ada pada dirimu juga. Dunia-akhirat, kenalilah yang sedikit ini. Jangan lupa katakan dulu "dengan izin Allah. Begini caranya Allah izinkan Ruh Qudus untuk dapat....memandangkan aku kutub utara. Jadi semakin jelaslah kebodohan manusia-manusia yang mengaku beriman pergi menemui para dukun-dukun, paranormal, dan orang-orang kebatinan. Jadi semakin jelaslah kedustaan ulama-ulama bertanduk yang berkata bisa melancarkan rezeki, mendatangkan jodoh, menjanjikan jabatan, kekayaan, dan ketenaran. Jadi semakin jelaslah kebutaan manusia-manusia yang ingin sakti mandraguna lalu mencari guru-guru kebatinan yang menyebarkan kebatilan itu. Wahai umat Muhammad, keluarbiasaan, kesaktian, bahkan kewalian itu sudah ada pada dirimu sendiri juga. Dirimu sendiri juga. Bukan diri orang lain atau diri tetangga. -Arifbillah- TAJALI "Pelajari ilmu zikir sebelum beramal zikir." Hai santri-santri ahli zikir, mintalah kepada gurumu ilmu zikir yang sedetik pun tidak lalai dengan Allah. Karena nanti kita akan mengalami umur yang tinggal sedetik lagi. "Bacalah. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan." Bacalah saja. Jika akal jasad belum paham, biarkan akal ruhanimu yang membaca. Biarkan Allah yang memahamkanmu, bukan atas semangat dan kecerdasan diri. Sebab setiap ingin adalah nafsu. Tajalli Turunkan. Jangan dinaikkan. Tempat beradanya di tujuh cahaya. Keputusannya: suara. Suara ﻫ tidak bisa ditafsirkan. Jadilah alam dan isi-isinya. ﻫ kalau dimatikan, segala rahasia Allah ada gerakannya dan ada suaranya. Kita berzikir, kita mendengar suara kita berzikir. Tetapi, Yang Punya Zikir berzikir sudah pernah kita dengar belum? Yang Punya Zikirlah yang berzikir (atau Yang Punya Kata-lah yang Berkata). Kalau kita sudah mendengar Yang Punya Zikir berzikir, dapatlah kita karam dalam zikir. Ingatlah, zikir itu beramal. Beramal harus dengan ilmu. Bagaimana kita berzikir kalau tidak memiliki ilmu zikir. Beramal tanpa ilmu: kosong; tidak ada artinya. Berilmu saja tanpa beramal: sesat. Kosong itu lautan qadim. Kalau mau tau, (lautan qadim itu) dari Wujud sampai Wahdaniyah. Di sinilah kita tahu artinya udara. Sifat inilah bagi zat yang Mahasuci. Yang kosong itu sifat Qadim, bukan Nur. Lebih daripada Nur. Itulah zat-sifat. Inilah Tubuhnya Allah Ta'ala. Cari Rasulullah. Kalau dapat beliau, dapatlah. Kalau tahu sifat ini, bukan manusia biasa lagi. Tapi, sudah bertubuh mahasuci. Tubuh mahasuci itu nyawa siapa? Nyawa zat mutlak. Zat-sifat (asam) itu nyawa Muhammad, Adam, dan sekalian alam. Kalau qadim, nur saja. Nur itu nyawa Muhammad. Nyawa Muhammad itu lebih daripada qadim. Bersatu Adam dan Muhammad, tidaklah hancur Adam. Yang menyatakannya, itulah ﻫ. Hakikat sedikit pun tidak ada lagi dan nur nyawanya. Suara itu nyawanya. Suara itu yang bersambung kata dengan Tuhan. Muhammad bersatu dengan Adam, maka padatlah tubuh lebih keras daripada batu. Hidup seperti padat batu, kekal. (Lebih kekal) daripada tanam-tanaman. Muhammad tidak akan mati karena nyawa semata-mata. Adapun ﻫ itu nyawanya nyawa. Inilah perintah Allah kalau kamu mau hidup selamanya. (Ketika nanti) mati, bangun dengan jasmani dan ruhani. Itulah sebabnya ada tafakur. Di dalam, zat asam membungkus. Di luar, zat mutlak menyelimuti. Kloplah. Paslah sudah. Nyata terang-terangan. Zikir ﻫ ini tidak diucapkan dengan huruf, tidak juga dengan suara. Hanya dengan rasa. Zikir dengan huruf dengan suara, (itu) belum (bisa dikata) kelu. Zikir dengan rasa: kelu. Inilah zikir rabbani. Zikir ﻫ inilah kontak pribadi kita dengan Tuhan. Apabila ﻫ ini sudah berjalan (dengan) sendiri(-nya), akhirat pun kelihatan. Inilah inna lillahi wa inna ilayhi raji'un. Ingat, penghabisan suara (itu) dengan perasaan. Bagaimana mempergunakan zikir dengan rasa itu? Bukan (dengan) dirasa-rasa. Tuhan tidak ada rasa. Itulah kalla lisanuhu. Kata Sayyidina Umar r.a., "Satu detik lalai, maka aku murtad." Pelajarilah zikir yang tidak ada lalai sedetik ini. Yang sedetik inilah yang ditakuti ulama-ulama besar. Ingat perkataan Sayyidina Umar r.a. tadi. Apa mau mengakhiri hidup dalam keadaan murtad? Orang yang khusyuk dan karam dalam zikir itu adalah orang yang mendengar Yang Punya Zikir berzikir. Kita ini hanya menzikirkan Yang Punya Zikir. Bukan kita berzikir. Yang Punya Zikir berzikir. Siapa yang berzikir? Zat(-lah) yang berzikir. Suara siapa itu? Tuhan. Rukun Mi'raj Ash-shalaatu mi'rajul mu'min. Takbir itu mi'raj. Sebelum mi'raj (takbir), ihram (suci) dulu. Setelah ihram, mi'raj-lah (takbir). Selesai takbir (pada akhir "Akbar") dinamakan tafaddal (terganti). Setelah terganti, bermunajatlah. Waktu membaca surat (dan bacaan-bacaan salat), itu dinamakan munajat. Pantaslah Nabi Muhammad Saw. bersabda di penghujung hayat beliau: "Ummati, shalli..shalli..shalli..." Karena orang yang salat itu zahiru Rabbi. Yang tafaddal itulah tubuh zahiru Rabbi atau Rahasia Tuhan. Satu dengan jasad (atau esa). Maka orang yang (dalam) salat itu mengaku dirinya Tuhan (maksudnya: mengakui ke-Diri-an Tuhan dan tidak merasa ada diri lagi). Kalau tidak salat, mau mengaku diri siapa?? Yang tidak salat bisa-bisa mengaku diri setan. Inilah golongan sesat. Golongan laknatullah. Orang yang tidak mau salat itu dilaknat Allah dan para malaikat-Nya pun melaknat pula. Maka salat itu adalah perintah Tuhan untuk rasul dan umatnya. Rasulullah saja orang berilmu dan kenal dengan Tuhan masih mau beramal. Beramal-lah yang membuat orang berilmu menjadi lebih sempurna ilmunya. Berilmu, tapi tidak beramal: sesatlah. Jadi, tidak bisa mengatakan yang berilmu itu tidak (perlu) salat. Orang yang ikhlas itu beribadah tidak merasa capek, tidak merasa letih, apalagi jemu. Karena ibadahnya sudah lillahi ta'ala. Kalau masih merasa-rasa segala macam, tidak ikhlas. Karena ibadahnya li nafs, bukan lillahi ta'ala. Inilah ibadah yang dipukulkan pada orang yang beribadah (seperti) itu. -Arifbillah- TAK KENAL MUHAMMAD TAK KENAL ALLAH Allah jadikan sekalian alam karena Muhammad. Kenalilah Muhammad itu. Allah saja dikenal, sedangkan Muhammad disepelekan. Siapa syafa`atul uzma itu di kemudian hari? Mana awal Muhammad, akhir Muhammad, zahir Muhammad, batin Muhammad? Mana kejadian zahir dan mana kejadian ruhani, nurani, dan rabbani? Mana tempat muhaddas dan qadim? Tempat air pada syariat saja bermacam-macam, gelas, ember, drum, dan lain-lain. Kalau kamu orang yang tahu, kamu pasti dapat mengembalikan nyawa pada tempatnya. Lihat Al-Waqiah: 82 dan seterusnya kalau mau tahu soal mati husnul khatimah. "Al insanu sirrihi," pada manusia ada Rahasia-Ku. Di mana Rahasia Tuhan itu? Pada kita di sama-tengah hati. Adanya yakni di dalam pusat, disebut ruh qudus; tubuh Muhammad Rasulullah; zat mutlak; Rahasia Tuhan. Ini tubuh tajalli yang bila meliputi jasad, hiduplah orang itu dari alam barzakh sampai yaumil qiyamah karena ruh qudus dengan jasadnya tidak becerai. Dalam tafakur hendaklah berkhidmat seluruh zahir-batin. Hilang-lenyap satu dengan ruh qudus yang di sama-tengah hatimu. Sah tafakurmu, ruh qudus diam. Bernyawa dengan hakiki, yakni Nur. Hendaklah perasaan sampai pusat diamnya. "Orang yang diam" ini musti dikenal. "Orang" ini tajalli Allah. Bukan Allahnya yang tajalli, melainkan Rahasia Allah itu yang tajalli meliputi jasad. Orang itu tidak bertubuh dunia lagi, sudah bertubuh akhirat: hidup tiada mati-tiada binasa sampai yaumil qiyamah. Diri tajalli itu Rahasia Tuhan Yang Mahakuasa. Jalan tajalli itu ada di dalam diam. Lakukanlah diam sediam-diamnya. Bagaimana mau "lenyap" kepada Allah kalau masih keadaan makhluk saja yang ada. Bahkan ada yang melihat-Nya berupa macam-macam, berupa jirim, jisim, jawhar, dan `aradh. Itu keadaan makhluk! Semua itu bukan Tuhan! Hakikat Muhammad itu tubuh orang Islam. Matilah dalam Islam. Kenalilah hakikat Muhammad agar dunia-akhirat kamu Islam. Muhammad itu tubuh yang selamat. Maka Islam itu maknanya selamat. وَيَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلرُّوحِۖ قُلِ ٱلرُّوحُ مِنۡ أَمۡرِ رَبِّى وَمَآ أُوتِيتُم مِّنَ ٱلۡعِلۡمِ إِلَّا قَلِيلاً۬ Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (Q.S. al-Israa: 85) Perlu Sobat ketahui bahwa sebagian besar isi kitab suci al-Quran itu merupakan contoh kasus atas segala sisi yang terjadi dalam kehidupan. Jadi, ketika Allah Swt. pernah berfirman,"Pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu"(al-Maidah: 3), yakinkan diri Anda bahwa semua sudah ada penjelasannya dalam Quran dan Sunnah. Yakinkan bahwa Quran memiliki penjelasan untuk segala hal; semua contoh kasus yang menyangkut kehidupan insan, termasuk dalam hubungannya dengan yang gaib. {Anda yakin Quran sama sekali tidak memberikan petunjuk untuk menanggapi hal-hal "baru" seperti kloning, UFO, Alien, dan misteri alam lainnya?} Yang membedakan kitab suci dengan selainnya adalah fakta empiris bahwa isi kitab suci itu bisa dipakai untuk menjelaskan segala hal, baik secara terpisah ayat per ayat (secara bertanggung jawab), maupun dikaitkan dengan kasus ketika ayat tersebut diturunkan. Kalau yang bukan kitab suci, paling-paling hanya bisa dipakai menjelaskan satu atau beberapa hal secara parsial. Nah, salah satu contoh kasus itu kita hadapi sekarang. Frasa "contoh kasus" ini kalau kita bawa ke ranah ilmu Quran, disebut sebab turunnya ayat (asbaabun nuzul). Asbaabun Nuzul Surat al-Israa ayat ke-85 Imam Bukhari mengetengahkan sebuah hadis melalui Ibnu Mas'ud r.a. yang menceritakan, bahwa aku berjalan bersama dengan Nabi saw. di Madinah, sedangkan beliau bersandar pada sekedup kendaraannya. Maka kami bersua dengan segolongan orang-orang Yahudi. Lalu sebagian dari mereka berkata, "Bagaimana kalau kalian tanyakan kepadanya?" Maka berkatalah mereka, "Ceritakanlah tentang roh kepada kami." Maka Nabi saw. bangkit sesaat seraya mendongakkan kepalanya, aku mengetahui bahwa saat itu ada wahyu yang turun kepadanya, dan ketika wahyu telah usai kemudian Nabi saw. bersabda membacakan firman-Nya, "Roh itu termasuk urusan Rabbku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit." (Q.S. Al-Isra 85). Imam Tirmizi mengetengahkan sebuah hadis melalui Ibnu Abbas r.a. yang menceritakan, bahwa orang-orang Quraisy berkata kepada orang-orang Yahudi, "Ajarkanlah kepada kami sesuatu yang akan kami tanyakan kepada lelaki ini (Nabi Muhammad saw.)." Maka orang-orang Yahudi itu berkata kepada mereka, "Tanyakanlah kepadanya tentang roh," lalu orang-orang Quraisy itu menanyakannya kepada Nabi saw. Maka Allah menurunkan firman-Nya, "Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah! 'Roh itu termasuk urusan Rabbku.'.." (Q.S. Al-Isra 85). Ibnu Katsir mengatakan, kedua hadis ini dapat dihimpunkan dengan berbagai peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat ini. Demikian pula Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan hal yang sama. Atau dapat diartikan sewaktu Nabi saw. diam setelah ditanya oleh orang-orang Yahudi, bahwa hal itu dimaksud untuk memperoleh tambahan penjelasan mengenainya. Dan jika tidak demikian keadaannya, maka hadis yang tertera dalam kitab sahih adalah hadis yang lebih sahih. Dan pula hadis sahih diperkuat pula dengan suatu kenyataan, bahwa perawinya yaitu Abdullah bin Masud, turut hadir menyaksikan kisah turunnya ayat ini, berbeda dengan Ibnu Abbas r.a. Mari kita iqra lebih dalam data di atas. Hal yang perlu diperhatikan adalah poin penting ini. "Siapa yang bertanya pada Rasulullah saw. soal ruh?" Jawabnya: kaum Yahudi. "Jadi, kepada siapa ayat tersebut Allah tujukan?" Jawabnya: kaum Yahudi. Nah, jadi yang tidak diberi pengetahuan soal Ruh, kecuali hanya sedikit itu, ya bangsa Yahudi, bukan Nabi Muhammad Saw. dan umat beliau! Argumen tersebut bukan tanpa dasar. Saudaraku sekalian, Allah itu Esa, demikian juga dengan ilmu-Nya, segala sesuatu terhubung satu dengan lainnya Demikian juga kandungan al-Quran al-Karim. Jika sudah memahami tauhid meski baru sebatas ilmu, insyaAllah Anda akan terbiasa dengan pengesaan. Anda akan melihat isi Quran itu saling berkaitan. Lalu makna hadis berkaitan dengan ayat Quran, lalu dunia dan segala isinya terpandang sebagai sebuah wujud keesaan. Bukan karena kecerdasan kita, melainkan karena Allah berkehendak menunjuki. "Dan bagi orang-orang bersungguh-sungguh menuju Kami, sungguh Kami akan tunjukkan jalan-jalan Kami" (al-Ankabut: 69). Yahudi Ingkar dan Materialisme Ya, Quran mencatat bangsa ini merupakan bangsa pertama yang mengingkari adanya yang gaib. Berikut ini detail kematerialistisan mereka. BANGSA YANG PERTAMA MENGINGKARI SIFAT GAIB DAN BERPAHAM MATERIALISME Allah berfirman: (QS. Al-Baqarah:.55-56) “Dan ingatlah ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami dapat melihat Allah dengan jelas, maka kamu disambar petir sedang kamu menyaksikannya. Kemudian Kami bangkitkan kamu sesudah kematianmu supaya kamu bersyukur." Bangsa Yahudi yang dipilih oleh Nabi Musa untuk menyertainya 'pergi ke bukit Tursina ketika Musa kembali kepada mereka yang tiba-tiba didapatinya telah menyembah patung anak sapi dengan penuh keingkaran dan kesombongan berkata kepada Musa: "Kami tidak akan sudi mengakui kebenaran ucapanmu, bahwa Kitab Suci yang engkau bawa itu dari Allah, dan engkau telah mendengar firman-Nya serta Allah menyuruh supaya menerima dan mengamalkan Kitab suci-Nya sebelum kami dapat melihat wujud Allah dengan mata kepala sendiri." Ucapan Kaum Yahudi kepada Nabi Musa sebenarnya hanyalah sebagai alasan yang dicari-cari, supaya perbuatannya menyembah patung anak sapi dapat dimaklumi oleh Nabi Musa as. Namun karena kedurhakaan dan kecongkakan mereka yang sangat keterlaluan ini mengakibatkan mereka binasa disambar petir. Orang-orang Yahudi yang masih taat kepada Nabi Musa selamat dari bencana ini. Di dalam Taurat disebutkan, bahwa sebagian dari orang-orang Yahudi yang mengikuti Musa berkata, "Mengapa Allah hanya khusus berbicara ke pada Musa dan Harun saja, tetapi tidak berbicara kepada kita! Maka tersebarlah hal ini kepada Bani Israil seluruhnya, lalu mereka bertanya kepada Musa sesudah kematian Harun, "Sesungguhnya nikmat Allah kepada Bangsa Israil adalah karena Ibrahim dan Ishak. Lalu mencakup seluruh bangsa ini. Sedangkan engkau tidak lebih baik daripada Ibrahim. Karena itu engkau tidak berhak menguasai kami tanpa adanya keistimewaan. Dan kami tidak akan percaya kepadamu sebelum kami dapat melihat wujud Allah dengan nyata." Lalu mereka dibawa Musa ke suatu tempat perkemahan tertentu,. Tiba-tiba bumi terbelah dan menelan sebagian dari mereka dan dari jurusan lain datang api, lalu menyambar sisanya. Bangsa Yahudi yang sama sekali tidak mau menggunakan akal sehatnya, tetapi hanya menurutkan bisikan setan adalah suatu kaum yang sungguh sungguh berwatak materialis. Walaupun mereka telah terpenuhi permintaan-permintaannya kepada Nabi Musa berupa mendapat makanan yang turun dari langit ataupun musibah sebagai bukti yang terjadi di hadapan mereka sendiri akibat kedurhakaan mereka sendiri, tetapi mereka tetap ingkar kepada seruan dan ajakan tauhid. Di bawah pimpinan Nabi Musa, Bangsa Yahudi telah memperlihatkan sikap kejahilan yang tak ada taranya. Karena mereka meminta kepada Musa agar dapat melihat Allah dengan mata dan kepala sendiri. Sungguh tak ada golongan manusia di permukaan bumi ini yang watak materialis dan pandangan materialisnya seperti bangsa Yahudi. Karena itu tidaklah mengherankan kalau bangsa Yahudi merupakan pionir dari semua pandangan sesat seluruh jagat ini. (Sumber: 76 Karakter Yahudi dalam Quran Penyusun: Drs. M. Thalib |Cetakan Pertama: April 1989 Penerbit: CV PUSTAKA MANTIQ) Bagaimana tidak, Allah sudah membelahkan Laut Merah untuk menyelamatkan mereka dari cengkeraman Firaun Amnahotab III (al-Baqarah: 49), "mewakafkan" satu wilayah Bumi khusus untuk mereka, bahkan memerintah awan untuk menaungi mereka selama perjalanan serta memberikan sumber makanan langsung dari sisi Allah (al-Baqarah: 57). Tapi, mereka tetap saja bersikap sebagai makhluk paling kufur nikmat sekolong langit (al-Baqarah: 61). Itulah ketetapan Allah: "pelit" ilmu soal yang gaib (dalam hal ini Ruh) pada mereka. Dengan pemahaman seperti ini, tidak seorang pun bisa menyalahkan jika ada literatur yang memberi anotasi pada terjemahan ayat 85 surat al-Israa. وَيَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلرُّوحِۖ قُلِ ٱلرُّوحُ مِنۡ أَمۡرِ رَبِّى وَمَآ أُوتِيتُم مِّنَ ٱلۡعِلۡمِ إِلَّا قَلِيلاً۬ Dan mereka (orang Yahudi) bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah (kepada mereka): "Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (Q.S. al-Israa: 85) Ruh, Isra Mikraj, dan Teknologi Lalu, apa buktinya Nabi Muhammad Saw. dikaruniai Allah pengetahuan tentang Ruh? Ibadah salat lima waktu adalah salah satu buktinya. Ketahuilah Sobat, perjalanan Isra Mikraj tidak akan pernah terjadi tanpa pengetahuan mengenai Ruh. Teknologi manusia hingga kini belum bisa membuktikan secara ilmiah bagaimana mungkin perjalanan itu bisa terjadi, tetapi sudah banyak arif billah yang membuktikannya langsung secara empiris. Artinya mengalami langsung! Bagaimana mungkin manusia bukan nabi dan rasul bisa melakukan napak tilas Isra Mikraj? Buka al-Kahfi ayat terakhir. Itu dasar hukumnya. Ini juga bukti bahwa teknologi manusia itu masih ketinggalan jauh dibandingkan dengan ilmu al-Quran. Jadi jika ada fenomena yang belum bisa dibuktikan secara ilmiah, bukan Quran-nya yang tidak ilmiah. Pencapaian teknologi manusianyalah yang masih primitif dan terbelakang. -Arifbillah- BERTEMU RASULULLAH Jika kamu sudah paham tentang rahasia hakikat, buka surah Nuur:62. Kamu pahami secara hakikat. Untuk apa bicara dengan "eyang-eyang" bau menyan itu. Lebih hebat bicara dengan Muhammad Saw. Kalau kenal. Tidak kenal mana bisa bicara. Kita musti bisa bicara dengan Nabi Muhammad Saw. Musa a.s. bisa berkata-kata dengan Allah. Mustahil kita umat Rasulullah tidak bisa berkata dengan Muhammad Rasulullah Saw. kapan saja. Muhammad itu sifatullah; kenyataan yang ada ini. Lakon Muhammad-lah dipercaya. Berhubunganlah dengan yang dipercaya-Nya. Apa perlunya berhubungan dengan "eyang jengkol-mbah petai"? Semua sudah diserahkan pada yang dipercaya-Nya, yakni Muhammad Saw. Bukan diserahkan pada makam-makam keramat wali-wali, apalagi makam-makam keramat jin, setan, Iblis yang disebut "eyang jengkol mbah petai". Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mu’min ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan [Rasulullah] sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu [Muhammad] mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Q.S. Nuur:62] Orang sebenar-benar mukmin jualah yang selalu ingat bahwa al-Quran itu rahmat bagi seluruh alam sehingga segala yang terkandung di dalamnya berlaku sampai yaumil qiyamah. Selama alamin masih ada. Maka orang-orang mukmin yang disebutkan dalam surah Nuur:62 di atas, bukanlah orang-orang yang akan menertawakan Perjumpaan Zahir-Batin dengan Nabi Muhammad Rasulullah Saw. -Arifbillah- HAKIKAT MUHAMMAD Zat ini masalah qadim, tidak dapat diketahui dengan panca indera. Sifat itu masalah baharu, dapat diketahui dengan panca indera. Zat artinya diri. Sifat artinya kelakuan. Siapa yang berkelakuan? Tentulah diri (yang berkelakuan), bukan sifat. Itu dikatakan zat dan sifat itu satu (esa). Tidak bisa becerai. Ada zat, ada sifat dan sebaliknya. Karena zat itu tempat beradanya sifat (atau sifat bertempat pada zat). Sifat itu keadaan yang ada pada zat (atau sifat adalah hal keadaan zat). Contoh: Orang yang sedang demam. Mengapa bukan demamnya yang disuntik (dokter), malah bokongnya yang disuntik? Jadi, demam itu hanya sifat. Sifat tidak bisa berada pada sifat. Sifat mesti berada pada zat. Zat dan sifat itu dua perkataan, tetapi satu. Maksud perkataan ini; ada zat - ada sifat; ada sifat - ada zat. Zat ini ada yang bersifat nafsiyah, ada yang bersifat salbiyah, ada yang bersifat ma'ani, dan ada yang bersifat ma'nawiyyah. Khususnya sifat Nafsiyah. Sifat Nafsiyah ini menunjukkan bahwa zat bersifat wujud (ada). Dan adanya zat ini tidak dikarenakan oleh suatu sebab (sedia ada). Zat ini ada selama-lamanya. Tidak akan rusak binasa. Meliputi sekalian alam. Yang meliputi sekalian alam inilah zat mutlak. Zat mutlak inilah energi ketuhanan. Manusia dapat mengubah energi, tapi tidak bisa membersihkannya. Contoh: Hiroshima dan Nagasaki. Berapa lama tidak bisa dibersihkan radiasinya? Ketika sekarang sudah bersih dari radiasi nuklir, siapa yang membersihkannya? Tentulah energi ketuhanan itu yang membersihkannya. Jelaslah, maharuang inilah energi ketuhanan. Satu saja. Tidak ada dua, tiga, dst. Berjuta-bilyun bintang di langit dan benda-benda angkasa lainnya, mengapa tidak berguguran ke bumi? Padahal tidak ada penyangganya. (Bagaimana mungkin) kalau tidak ada satu kekuatan besar yang menahannya. Tubuh maharuang inilah yang dapat menahan berjuta-bilyun ton agar tidak saling bertumbukan. Inilah Qimyatus Sa'adah (Kimianya Agama). Nabi saja menuntut ilmu dari rumah beliau sampai ke Sidratul Muntaha. Manusia, dari rumahnya sampai ke bulan saja belum sampai. Pengetahuan Islam sudah sampai ke fil ufuki a'la (sampai ke ufuk tinggi). Maka ada perkataan al-Islam ya'lu wa laa yu'la alaih. Orang Islam yang hakiki, dia tidak akan mengucap laa ilaaha ila Allah kalau dia belum tau apa itu laa ilaaha ila Allah. Dalam Salat Waktu takbir ihram, siapa Allah itu? Maka pentinglah mengetahui diri. Bukan ruhani saja yang mahasuci, jasmani pun mesti mahasuci juga. Maka jasad ini perlu dimahasucikan juga, bukan ruhani saja. Jasmani bermaksud dengan cara nafsu, ruhani bermaksud dengan cara keimanan, sedangkan nurani dan rabbani bermaksud dengan cara ketuhanan. Kalau jasad tidak dapat mengesakan, tentu ruhani menuntut. Sebab, jasad mengandung nyawa. Bukan ruhani yang mengandung jasad (tubuh). Kalau salat, manusia itu bukan hamba, sudah Allah semata-mata. Kalau salat itu sudah Allah semata (yang ADA), tidak perlu lagi mengaku diri kita ini Tuhan dan mau sama dengan Tuhan. Ingat: Mengaku diri kita Tuhan: KAFIR. Tidak mengakui Diri Tuhan: KUFUR. Dalam salat, setiap manusia mengaku dirinya Tuhan. Cermat-cermat dengan bahasa ini! Makanya dalam salat itu jangan ada lagi i'tikad-i'tikad karena agama bukan i'tikad-i'tikad. Sudah nyata senyata-nyatanya semua orang yang salat itu mengakui Diri Pribadi Tuhan. Bukan mengakui dirinya Tuhan, tapi mengakui Diri Tuhan (atau mengakui ADA-nya Diri Tuhan itu.) Hakikat Muhammad Wajib kita mengetahui hakikat Muhammad. Dalam ilmu, hakikat Muhammad itu Allah. Ini dalam ilmu. Dalam makrifat, pengenalan yang sebenar-benarnya: hakikat Muhammad itu bukan zikir-zikir lagi. Maka dengan hakikat Muhammad ini tidak ada zikir-zikir lagi. Karena hakikat Muhammad inilah bekal yang tidak basi sampai akhirat. Ini yang dibawa mati. Tidak ada zikir lagi. Lihat ketika berdoa, semua minta mati dalam iman, Islam, dan husnul khatimah, tapi hakikat Muhammad tidak mereka ketahui. Hakikat Muhammad inilah mati dalam iman, Islam, dan husnul khatimah. Muhammad saja sudah selamat. Coba perhatikan, siapa yang sampai kepada Allah? Siapa yang bisa menembus zat asam dan zat mutlak kalau bukan Muhammad? Belajarlah. Jangan salah paham. Mintalah pada guru-guru yang hebat bekal-bekal yang tidak basi sampai akhirat. Sebab ini yang dibawa mati. Tidak ada zikir lagi. Bukan seperti kelaziman orang: ada yang mau mati baru dibacakan zikir laa ilaaha ila Allah. Nabi Muhammad Saw. itu bukan mati, melainkan tidur hakiki. Orang tidur hakiki ini orang yang tidak tidur di dunia lagi, tetapi tidur di Mahasuci. Mahasuci inilah tempat husnul khatimah. Tempat yang penuh berkah. Inilah pengajian 80.000 hakikat ke atas. Artinya 80.000 tempat yang penuh rahmat. Inilah pengajian sirri sirrihi, rahasia di dalam rahasia. Tidak ada alam lagi. Rasanya rasalah yang merasa. Inilah rasa di dalam rasa. Artinya, di dalam rasa itu ada rasa. Air yang ada gulanya dapat kita rasakan manis. Air yang ada garamnya, asin. Sedangkan Tuhan tidak ada rasa-rasa. Pecahkan sendiri supaya terbuka rahmat Allah. Jangan kita merasa yang ada rasa saja, coba-cobalah merasa yang tidak ada rasanya. Bagaimana rasanya? Barulah tahu Allah itu surga. Muhammad Saw. tidak ada mengajarkan filsafat dan tidak memiliki filsafat. Akan tetapi, filsafat Muhammad ini wahyu. Bagaimana Tuhan mengajar hamba-Nya? Tanpa huruf; tanpa suara. Laa bi harfin wa laa shautin. Bagaimana kita untuk dapat paham pelajaran tanpa huruf tanpa suara ini? Asah akal dengan pikiran, bukan dengan batu canai. Apa maksudnya? BERPIKIRLAH! Contoh: Para filsuf itu membuat rumus-rumus alam dengan berpikir. Lalu rumus-rumus itu disyariatkan sehingga hari ini kapal berlayar tidak lagi pakai kain layar yang bergantung pada angin. Jangan latah! Mereka bilang manusia itu dari kera. Begitu ilmu wahyu turun, dikata manusia itu dari Tuhan. Runtuhlah ilmu filsafat manusia. Kenal diri Mau kenal diri? Buka Al-Mukminun:17. -Arifbillah- PRAKTIK ILMU LADUNI ILMU LADUNI ITU MUDAH Ilmu laduni itu Allah mengajar hamba-Nya. Bagaimana Allah mengajar hamba-Nya? Asah akal dengan pemikiran. Berpikirlah! Berpikir itu supaya mendapat karunia. Semua Perkataan Allah [Kalamullah] itu perlu dipikirkan. Yang kita cari: bi makna yang tersirat dalam Kalam Allah ini. Berpikirlah sedalam-dalamnya dan tenangkan pikiran, barulah dapat keputusan. Yakinkanlah keputusan itu berdasarkan haq dan dalil. Bukit saja yang jaraknya 1 km bisa kamu lihat. Mengapa Tuhan yang tidak ada antaranya tidak kelihatan? Sedangkan Tuhan itu berada "di tempat" yang terang. Dikatakan demikian, karena Tuhan itu terlindung olah Cahaya-Nya. Cahaya Tuhan lebih terang daripada segala yang terang. Mengapa Tuhan tidak kelihatan? Padahal Tuhan itu sudah NYATA ADA-NYA. Siapa tidak melihat Tuhan tidak nyata ADA-Nya, berarti zahir-batinnya masih terhijab. Orang tauhid ketika berada di mana saja, yang dipandangnya wujud Tuhan saja. Tidak ada wujud selain-Nya. Ingat hakikat tauhid: "Laa maujudun illallah." Inilah praktik orang-orang tauhid. Di mana pun berada tetap Wujud Allah dipandangnya. Sampai akhirat pun demikian. Kalau masih ada wujud makhluk dipandangnya: syirik. Masih bisa dipermainkan setan. Wujud Allah itu wujud siapa? Itulah Wujud Tuhan. Itu sebabnya jika masih ada menyebut baharu saja: syirik. Firman saja mengatakan,Qola fal haqqu wal haqqa aqulu. [Q.S. Shad:84]. Diri Tuhan yang berdoa; barulah dikabulkan. Mengapa takut mengaku diri kita ini diri Tuhan? Yang hidup: Tuhan; yang melihat: Tuhan; yang berkata: Tuhan; yang Mendengar: Tuhan. Tuhan semualah sudah. Banyak orang berkata, bumi Tuhan, langit Tuhan, bukit Tuhan, rumah Tuhan, dan sebagainya. Nah, diri kita ini diri siapa kalau bukan diri Tuhan? Adakah ibu-bapak kita yang membuat kita? Jangankan tangan-kaki, membuat ujung hidung saja ibu-bapak kita tidak bisa. Diri kita ini bukan hasil kelakuan ibu-bapak. Tidak ada yang bisa mengelak dari fakta ini. Tetap kembalinya pada Tuhan. Perbuatan Tuhan. Di sinilah kelemahan manusia: lupa bahwa semuanya itu dari Tuhan. Orang tauhid–dalam segala apa pun–tetap tidak meninggalkan minallahi: tetap Diri Tuhan dulu yang diperhatikannya. Kalau rasa dari Tuhan ini sudah ada pada diri kita, apalagi yang akan ditakuti? Karena segala-galanya sudah dirasakannya TUHAN SAJA ADA. Tidak ada kekhawatiran sedebu pun yang ditakuti dari makhluk. Coba perhatikan, Tubuh Maharuang yang meliputi sekalian alam ini dari mana? Bahkan kita ini hidup di dalam-Nya. Bukan hanya hidup, bahkan mencari makan pun di dalam Tubuh-Nya. Coba Tubuh Maharuang ini bergerak sederajat saja: kiamat sudah. Kaji saja Tubuh Maharuang, tidak akan sesat dan tidak akan tergelincir pada kesesatan maupun pada kezindikan. Coba rasa Maharuang ini, ada rasa bersentuh tidak? Coba cium Maharuang ini, ada baunya tidak? Coba dengar Maharuang ini, ada suaranya tidak? Coba lihat Maharuang ini, ada bentuknya tidak? Coba telaah Maharuang ini, ada kanan-kiri-atas-bawahnya tidak? Coba pikir Maharuang ini, ada tempatnya tidak? Tubuh Maharuang ini meliputi sekalian alam. Alam apa saja [Q.S. Fushilat:54]. Mengapa Tubuh yang sudah disediakan sejak 13,75 ± 0.11 miliar tahun lalu itu tidak ada yang mau memakainya? Al-Halaj mengatakan, "Ana Al-Haq." Lalu dipenggal kepalanya oleh orang-orang bodoh. Berkurun waktu setelah masa hidup Al-Halaj, baru ada orang membenarkannya. Syaik Abdul Qadir al-Jailani mengatakan,"Seandainya al-Halaj hidup sezaman denganku, takkan kubiarkan orang-orang memancungnya." Mengapa Abdul Qadir Jailani membenarkan Halaj? Karena terbukti orang-orang yang hidup sezaman dengan Halaj tidak memperhatikan kaji Kosong | Maharuang ini. Bukti-bukti yang nyata tentang kemahaesaan Tuhan-hamba: kita tidur-bangun-makan-minum-hidup-mati ini sudah di dalam [Tubuh Kosong Maharuang] kemahaesaan Tuhan tidak? Kalau memahami dan mengenal Kemahasucian-Kemahaesaan Tuhan ini, mahasucilah juga kehambaan kita. Kalau sudah mahasuci, mahaesalah hamba dengan Tuhan. Sudah bermilyar tahun di-ada-kan, sedikit sekali manusia yang mau mengkajinya. Padahal cerita ini ada di Quran. Ikan tanpa air tidak bisa berenang. Manusia di mana berenangnya? Tentulah di Mahasuci berenangnya. Bermainlah di lautan Mahasuci ini. Banyak perolehan dari Tuhan. Inilah tempat husnul khatimah: tempat yang penuh rahmat. Apalah susahnya "masuk" di Mahasuci. Bukan pergi dengan pesawat. Tidak perlu mesin jet pula. Cukup dengan kesadaran saja bahwa keberadaan kita ini di Tubuh Mahasuci. Apabila kesadaran ber-ada di Mahasuci ini men-jadi: akan tampak segala-galanya. -Arifbillah- KERAMAT TERBESAR NUR MUHAMMAD Pada tulisan kali ini kami ajak Anda, Saudara Muslim sekalian, menapaki setingkat lebih tinggi kaji agama kita, yaitu ke dalam pembicaraan tauhid. Pembicaraan ini wajib dibaca dengan paham. Jangan dengan tersalah paham. Sebab ini Pengajian 80.000 hakikat ke atas. Kaji yang disampaikan Nabi Muhammad Rasulullah Saw. kepada golongan warisatul anbiya, yaitu kaum khawwasul khawwas: waliyullah, arif bilah, ulama-ulama mutahaqama, dan ulama-ulama al-paham. Yang akan berlaku dalam kajian ini bagi Anda, insyaAllah adalah ayat berikut. Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; maka Barangsiapa melihat [kebenaran itu], maka [manfa’atnya] bagi dirinya sendiri; dan barangsiapa buta [tidak melihat kebenaran itu], maka kemudharatannya kembali kepadanya. Dan aku [Muhammad] sekali-kali bukanlah pemelihara [mu]. [Q.S. Al-An`am: 104] Maksudnya, jika Allah berkenan mengaruniakan paham pada Anda, kemanfaatannya bagi Anda sendiri. Sebaliknya, jika Anda membaca ini dengan tersalah paham, artinya kaji ini bisa jadi kemudharatan bagi Anda. Jadi, berhati-hatilah mengambil paham dari bacaan ini. Bila ada yang perlu ditanyakan, jangan diam lalu Anda berkoar-koar fitnah pada kami. Kami berani menyampaikan ini untuk publik sebab pengetahuan ini adalah hak bagi setiap umat Muhammad Saw. dan kewajiban menyampaikan bagi yang sudah memahami. Berprasangka baik, itu yang utama di sini. Mudah-mudahan Allah memahamkan. InsyaAllah. Aamiin. Untuk diketahui saja, penghabisan perjalanan ilmu yang kami sampaikan di bawah ini, telah terjadi pembuktian nyatanya atas hamba-hamba Allah yang ikhlas dan khusyuk-tawadhu serta sabar menggali pahaman ini dan istiqamah mengamalkan petuntuk praktiknya. Padahal beliau-beliau ini belum pernah berjumpa tatap-muka langsung dengan kami. Beliau-beliau ini hanya bermodalkan yakin akan kebenaran ilmu yang kami sampaikan. Nanti kami sampaikan juga siapa-siapa saja pribadi ikhlas yang meraih karunia besar risalah Nabi Muhammad Rasulullah Saw ini. Ridalah keramat terbesar dari Allah Azaa wa Jalla. Yang di atas itu sama sekali bukan iklan pengajian kami. Ini sekadar petunjuk bagi Anda mengenai apa yang semestinya Anda minta dari guru-guru Anda semua. Ini pun sekadar mengamalkan sunnah Rasulullah Saw. yang tuntutannya nyata kami rasakan sendiri. Sunnah yang dimaksud ada di bawah ini: “Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya”. [H.R. Bukhari-Muslim] MIN NUURIHI NABIYIKA Sebelum Tuhan menciptakan Nur Muhammad, terdahulu ditajallikan dari Diri Tuhan sendiri Cahaya Diri-Nya. Tentulah, Cahaya Diri Tuhan itu menabiri Diri-Nya. Karena Cahaya Tuhan itu berdirikan Tuhan. Bukan Tuhan berdirikan Cahaya dan bukan Tuhan bukan berupa cahaya. Dan Cahaya Diri Tuhan itu bernama Nur. Ingat, Nur itu Nama, bukan berarti Nur itu berupa cahaya atau Nur berarti cahaya. Nama bagi Nur. Oleh ulama mutahaqama dan ulama-ulama al-paham serta para alim sufi, dikatakanlah Nur itu sebagai Nur Ilahi dan dikatakan juga Nur Allah. Jadi, Cahaya Diri Tuhan itu bernama Nur, bernama Ilahi juga, bernama Allah juga. Jadi, yang disebut Nur itulah Cahaya Diri Tuhan. Jadi, yang disebut Ilahi itulah Cahaya Diri Tuhan. Jadi, yang disebut Allah itulah Cahaya Diri Tuhan. Jadi, Cahaya Tuhan itu bernama Nur. Jadi, Cahaya Tuhan itu bernama Ilahi. Jadi, Cahaya Tuhan itu bernama Allah. [Setelah Anda memahami uraian di atas, ketika kini Anda menyebut "Allah", baru Anda sudah benar-benar sekaligus mengacu kepada Diri Tuhan Pribadi. Kini baru Anda sudah bisa disebut mengenal Allah.] Dari Nur Allah [Cahaya Tuhan] ini maka jadilah Nur Muhammad. Jadi, Cahaya Tuhan inilah yang bersifat Jalal [Kebesaran Allah]. Inilah Kebesaran Tuhan. Telah ada meliputi sekalian alam. Dan Nur Muhammad ada juga sekarang ini. Jadi, Cahaya Nur Allah dengan Cahaya Nur Muhammad itu bergaul tapi tidak bersekutu atau bercampur tetapi tidak satu; satu tetapi tidak bercampur. Untuk mendekatkan paham, secara syariat kita umpamakan bergaulnya air tawar dan air asin yang ada di muara sungai. Bercampur tetapi tidak satu; satu tetapi tidak bercampur. Laulaka makhalaqtu aflaka min nuurihi nabiyika. "Aku jadikan segala sesuatu dari Nur Muhammad. Jadi jasad kita ini kejadiannya dari Nur Muhammad. Dan setiap jasad tentu ada ruh. Dan ruh itu kejadiannya dari Zat. Innallaaha ruuuhu Nabi Shalallaahu `alaihi wasalam fii zaatihi. Aku jadikan ruh Nabi Muhammad Saw. dari Zat Allah. Jelaslah sekarang kejadian jasmani kita ini dari Nur Muhammad. Kejadian Ruh dari Zat Allah. Jadi diri kita ini Zat-Sifat. Zat-Sifat itu diri siapa? Diri Allah. Jadi manusia ini Diri Allah Sedangkan Allah itu Qadim. Sudah bisa membedakan qadim dan baharu, itulah makrifat. Makrifat yang sebenarnya ialah dapat membedakan Qadim dari muhaddas. Zat dan Sifat tidak punya warna-warni. Hakikat Zat yang sebenar-benarnya adalah Muhiith: meliputi sampai ke zarah-zarah sekali pun. Tuhan memberi tahu, "Innahu bi kulli syai`in muhiith". Ingatlah, Diri Tuhanmu meliputi segala sesuatu. Dalam ilmu tauhid, yang dikatakan 'segala sesuatu' itu ialah alam. Sedangkan Tubuh Allah ta`ala itu meliputi sekalian alam. Jadi, apa Allah itu? Tubuhnya alam.. Tubuh alam itu wajib Mahasuci. Yang dikatakan Mahasuci itu bersih, tidak berwarna, tidak ada rasa, tidak ada bau, tidak bertempat, meliputi sekalian alam. Supaya jelas dan tidak bingung, yang dikatakan tubuh alam itu Maharuang. Karena hakikat zat itu Muhiith. Jadi Maharuang itu adalah Zat-Mutlak. Zat-Mutlak inilah tubuh sekalian alam. Inilah Tubuhnya Allah Ta`ala. Karena Tubuh Allah Ta`ala itu Mahasuci dan karena Zat-Mutlak, dikatakanlah tubuh Ruh Qudus. Tubuh Ruh Qudus inilah Rahasia Tuhan. Inilah kemuliaan dan keagungan Tuhan. Ruh Qudus inilah yang berkuasa atas setiap diri manusia. Kenalilah Diri Rahasia Tuhan ini, yang ada di dalam diri kamu: di sama-tengah hatimu; di pusatmu! [pusar]. Inilah diri Muhammad Rasulullah Saw. Diri inilah yang bermahkota. Mahkotanya disebut budduhun. Tajalli Ruh Qudus inilah dikatakan tajalli Allah. Bukan Allahnya yang tajalli, melainkan Rahasia Diri Allah itu yang tajalli meliputi jasad. Kalau dia sudah meliputi jasad, satu dengan jasad, maka jasad dan ruh tidak becerai. Mati sekalipun, kalau Ruh Qudus keluar meliputi jasad, satu dengan jasad, inilah yang dikatakan "Orang yang bangun dengan jasmani dan ruhani. Hiduplah dia dari alam barzakh dan alam akhirat. Kalau ruhani saja bangun, sedangkan jasmani tidak, binasalah jasad. Tidak sampai yaumil qiyamah, karena binasa. Kalau tidak bercerai, hiduplah kita sampai yaumil qiyamah. Melihatlah kita yaumil qiyamah. Melihatlah kita bagaimana siksanya orang-orang kafir, bagaimana siksanya para jin, setan, iblis di hari pemhalasan itu. Kalau kita tidak becerai jasad dan ruh, berarti kita bertubuhkan Zahiru Rabbi. Tubuh Zahiru Rabbi inilah yang tidak binasa dari dunia sampai akhirat. Inilah yang dikatakan: "Tuhan tubuhku; Mahasuci nyawaku. Sadarlah setiap saat, setiap detik keberadaan kita ini di dalam Mahasuci. Orang yang sudah paham dengan Tubuh Mahasuci ini, dia bukan bertubuhkan dunia lagi, melainkan sudah bertubuhkan akhirat. Banyak manusia salah paham. Belajar-belajar, mau mencari keputusan mati. Untuk apa? Yang perlu diketahui, bagaimana agar kita hidup di dunia dan hidup pula di akhirat. Sedang hidup saja sekaran ini kalau jasad dan ruh becerai, binasa jasad. Apalagi setelah mati. Kalau jasad dan ruh becerai, binasalah jasad. Carilah ilmu jasad dan ruh tidak bercerai meski mati sekalipun. Kenali baik-baik, Allah itu Tubuh alam. Kalau kita mengaji Kosong/Maharuang ini, tidak akan tergelincir dan tidak akan masuk jurang. Cobalah sadari. Baik kita di darat, di laut, di mana saja, keberadaan kita tetap di dalam Tubuh Mahasuci/Maharuang. Tuhan sudah memberitahu,"fil ardhi aayaatun lil muuqiniin." [Q.S. Adz-Dzariat:20]. Wujud Tuhanmu [Zat Tuhanmu] sudah nyata di dunia ini meliputi sekalian alam dan nyata Berdiri tidak bertempat dan tidak memerlukan tempat, tidak berwarna, dan terlebih nyata lagi ke- laysa kamitslihi syai`un-an -Nya. Masalah ke- laysa kamitslihi syai`un-an -Nya ini tidak dapat dipecahkan oleh para filsuf. Bagaimanalah mau dipecahkan? Apalagi oleh orang-orang tasawwuf yang tanggung-tanggung ilmunya. Dengan pembahasan "min nuurihi nabiyika" ini, mudah-mudahan kita semua mendapat berkah dan keselamatan serta dapat dirasakan kebenarannya oleh orang-orang yang khusyuk dan tawadhu. Kita ini hidup sudah di dalam Tubuh Allah, bukan Allah di dalam tubuh kita. Jangan seperti ikan bodoh, sudah jelas hidup di dalam air. masih juga mencari-cari air. Manusia tidak pernah memikirkan bahwa air itulah tubuh ikan. Artinya, ikan bertubuhkan air. Tubuh Allah itulah Kiblat Maqami. Kiblat pertama dan tertua. Inilah keramat terbesar. Inilah hati kita yang putih. Pandang saja di hati yang putih ini, akan tampak semuanya. Hati saja sudah putih, bagaimana lagi yang di dalam hati yang putih itu? Yang mengetahui bahwa Maharuang ini hati yang putih ialah Ruh Qudus: yang ada di sama-tengah hatimu dan yang berkuasa atas diri manusia serta mengajar diri manusia, menunjuki diri manusia dari tidak tahu menjadi tahu. Itu sebabnya dikatakan, "Nanti kamu pandai dengan sendirinya." Berbahagialah orang yang sudah dapat melihat tubuh Ruh Qudus ini. Sama dengan dia melihat tubuh Nabi Muhammad Rasulullah saw. Bertemulah kita dengan "mutiara yang hilang ditemukan kembali". "Sembah-sujud"-lah kamu kepada gurumu dan ibu-bapakmu, juga jangan tinggalkan lima waktu karena Rasulullah Saw. suka pada orang yang bersyariat. Menangis jasad itu disebabkan ruhani, nurani, dan rabbani kita bersyukur atas jasadnya yang dapat menemukan mutiara yang hilang kini ditemukan kembali. Ingatlah sewaktu kita di dalam rahim ibu. Ruh Qudus itulah yang menghidupkan kita: yang mengurus agar kita hidup. Sewaktu bayi keluar dari rahim, ia tidak memandang Ruh Qudus. Setelah berada di alam fana, ada maharuang, maka menangislah dia. Tangisan itulah puji bayi pada Tuhan. Suara inilah yang dipakai oleh para wali untuk memuji Tuhan. Suara ini berbunyi sendiri. tidak perlu dibunyi-bunyikan. Inilah suara tunggal yang tidak ada tafsirnya. Lihatlah, bayi yang sudah memakai suara ini, dia tidak bernyawa zat-asam lagi, melainkan bernyawa dengan kepala. Coba lihat ubun-ubun bayi yang baru lahir. Ubun-ubunnya bergerak. Inilah nyawa para wali. Jadi para wali itu bernyawa dengan kepala. Apalagi nabi. Setelah sampai waktunya, ubun-ubun bayi tidak bergerak lagi. Menjadi keras. Karena apa? Karena cahaya budduhun ini sudah memancar di dahi. Orang awam dan orang tasawwuf, bernyawa dengan perut. Orang hakikat-makrigat bernyawa dengan dada. Orang-orang qadim, bernyawa dengan leher. Tapi mereka banyak yang tidak tahu bahwa di atas halqum itu, di situlah maqam makrifat. Ada satu gerak yang halus sekali. Gerak ini yang sulit dirasakan karena gerak ini.bagai sehelai rambut, di situ bergetaran. Bagi orang tauhid, di situlah kenikmatan yang luar biasa. Mengapa malah mau cari yang di perut, di dada, di leher, dan di halqum? Carilah yang di maqam qadim. Makanan saja kalau sudah sampai di leher, kita baru dapat merasakan nikmatnya. Apalagi kalau kita dapat merasakan makanan qadim itu. Semua kenikmatan makanan yang ada di dunia ini tidak bisa mengalahkan nikmatnya bergetaran di maqam qadim. Inilah yang diistilahkan oleh orang tasawwuf, "seperti menarik rambut di atas tepung, tidak ada sangkut-sangkutnya". Begitulah nikmatnya di maqam qadim. Nyawa dicabut pun tidak terasa kerluarnya. Karena yang dirasakan nikmat saja terus. Itulah yang dikatakan "Allah itu nikmat senikmat-nikmatnya". Salam dari Guru kami, "Baik-baik mengambil paham mengenai Tubuh alam ini". WA QAALA MUSA TAKLIMAN Telah Berkata-kata Allah dengan Musa. Berarti Allah Berkata-kata dengan manusia. Di mana Allah Berkata-kata dengan manusia itu? Di dalam RAhasia. Rahasia itu di mana? Di dalam sirr hati. Imam Al-Ghazali bilang, "Di dalam relung hati [sirr] yang paling dalam." Allah berfirman, "Wa maa utiitum min ilmihi illaa kalila". Ilmu yang Kuturunkan hanya sedikit. Ilmu yang sedikit ini ada di dalam sirr. Keluarkanlah yang di dalam sirr itu hingga satu dengan jasad dengan jalan praktik! Ilmu yang sedikit ini bukan ilmu ulama-ulama, bukan ilmu ustadz-ustadz, bukan ilmu kyai-kyai. Ini ilmu para wali. Wahai ulama-ustadz-kyai: ajarkanlah. Ini yang dinamakan ilmu illaa kalil Mengapa manusia tidak mau mempelajari ilmu yang sedikit ini? Minta ulama-ustadz-kyaimu itu mengajarkan cara praktiknya kepadamu. Ulama-ustadz-kyai jangan hanya jual kecap saja. Ulama tasawwuf bilang, kita musti melalui takhali, tahalli, dan tajalli. Jangan bicara saja, ajarkanlah praktiknya juga agar umat ini puas. Demikian juga yang belajar, minta cara praktiknya pada ulama-ustadz-kyaimu. Tanpa praktik, takhali, tahalli, tajalli tidak akan ada hasil. Guru kami yang diutamakan adalah praktiknya sehingga banyak yang dapat meraih tajalli. Orang-orang yang jauh dari Pontianak saja bisa dapat. Contohnya, Bang Saudara Seiman dan Bang Arbi dari Batam, Bang Arie dari Palembang, Bang Syamsul dari Makassar, Bang Moerad dari NTB, bahkan Mbak Sally di Taiwan dan Bang Hamba Allah Penang dan Bang Coco dari Malaysia. [Beliau semua ini ada akunnya masing-masing di Google Plus]. Guru bertemu muka saja belum pernah, tapi Alhamdulillah beliau-beliau ini dapat. Apalagi yang dekat sehari-hari. Mengapa sekali dipraktikkan oleh beliau-beliau ini dapat dirasakannya tajalli? Masalah tajalli ini ada tajalli Zat, tajalli Sifat, tajalli Asma, dan tajalli Af`al. Bagaimana cara mempraktikkan tajalli Zat, tajalli Sifat, tajalli Asma, dan tajalli Af`al ini? Kami diajari caranya. Kalau tidak bisa mengajarkan cara praktiknya: tong kosong nyaring bunyinya. Kalau betul praktiknya, biar jauh pun orang bisa dapat tajalli. Kamu yang dekat saja dengan guru-gurumu, mana ada diajarkan praktik tajalli. Wajib kamu tuntut para gurumu itu mengenai masalah praktik tajalli ini. Karena inilah bekal yang tidak basi sampai akhirat dan dapatlah kita menolong ibu-bapak, anak-istri/suami, sanak saudara dan handai taulan kita sampai nenek moyang kita. Kalau tidak dapat, apa yang bisa kita pakai untuk menolong keluarga kita di akhirat kelak? Karena di akhirat nanti kita semua berkumpul lagi dengan keluarga. Mau tidak ambil kesempatan menyelamatkan diri dan keluarga dunia-akhirat? -Arifbillah- Muhammad Muhammad itu namanya, Mursalin itu badannya, Nawi itu satunya dengan Ilahi: barulah dia Nur Ilahi. Nawi itu jasad Allah Ta`ala, Nur Ilahi jasadnya Ilahi. Muhammad Nur itu sewaktu belum naik [ Mi'raj]; waktu sudah naik Mi'raj dan turun kembali ke Bumi, Muhammad Nur hilang di Madinah [ wafat], sampai sekarang yang ada Muhammad Nawi. Muhammad Nawi inilah Tuhan yang ditemui di yaumil qiyamah kelak. Patut kita tidak berjumpa Tuhan, hanya berjumpa dengan Kemahasucian-Nya. Itulah Muhammad Nawi saja yang ada. Tuhan, dari dulu sampai sekarang [sampai kapan pun] tidak akan pernah muncul. Tubuh-Nya saja ada: inilah jasadnya Rasulullah Saw. Muhammad Majati itu meliputi jasad. Muhammad Nur melebam/meliputi ke qadim. Kita ini Muhammad Majati karena ada Ruhul Qudus. Kalau dia bukan Nur, tidak bisa naik sampai ke surga. Ruhul Qudus lebih mulia dan lebih mahasuci daripada malaikat. Nabi Muhammad itu jasadnya Ruhul Qudus, yang dapat sampai ke nawi, hanya Muhammad. Yang sampai itu Muhammad Nawi. Tidak mungkin tidak jumpa Rasul dengan Tuhan. Kita selama ini hanya mengetahui Rasulullah Saw. itu Muhammad Majati (Ruhul Qudus) Kita nyatakan Muhammad Nur itu. Itulah Nur Muhammad atau itulah Muhammad yang wafat di Madinah, sedangkan Nabi Muhammad Rasulullah Saw. sejak pulang Mi'raj mengetahui dirinya Muhammad Nawi dan Muhammad Nawi jasad Ilahi. Inilah Nama tertinggi Ilahi. Muhammad mengetahui dirinya. Laa ya'rifu zaatul ilallah. "Tidak ada mengenal Diri-Nya, melainkan Diri-Nya." Umat berkata Nabi Muhammad [Muhammad Nur] itu naik ke langit sampai ke Nawi, turun dan wafat di Madinah. Sekarang yang ada Muhammad Nawi. Aku adakan dunia-akhirat karena Muhammad.Aku adakan Muhammad karena Aku. Muhammad itu namanya, Nur atau Mur itu badannya. Nawi itu satunya dengan Ilahi, barulah dia Nur Ilahi. Mur itu jasad Muhammad, Nawi itu jasad Allah Ta'ala, Muhammad Nawi itu Jasad Ilahi. Muhammad Nur itu sebelum naik Mi'raj, setelah turun kembali ke Bumi: Muhammad Nawi. Muhammad Nawi itulah yang beri syafaat di yaumil qiyamah. Sebenar-benar Muhammad itu Ruh Qudus dan Ruh Qudus itu tubuhnya hak Allah Ta'ala. Inilah permulaan yang kuat, yaitu Rahasia. Kita inilah bernama Muhammad. Muhammad itu bayang-bayang hak Allah Ta'ala. Tidak akan bercerai bayang-bayang dengan Yang Punya Bayang-Bayang. Pahamilah hakiki ini. Ruhul Qudus bukan Tuhan Ruhul Qudus bukan Tuhan. Ruh Qudus itu Zat Mutlak. Zat Mutlak inilah sumber kehidupan. Zat Mutlak ini Sifat Tuhan, bukan Tuhan. Kalau Tuhan itu Rabbul izzati: Zatnya Zat. Itulah Tuhan. ۞ إِنَّ اللَّهَ فَالِقُ الْحَبِّ وَالنَّوَىٰ ۖ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَمُخْرِجُ الْمَيِّتِ مِنَ الْحَيِّ ۚ ذَٰلِكُمُ اللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ تُؤْفَكُونَ [٦:٩٥] Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (Yang memiliki sifat-sifat) demikian ialah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling? [Q.S. Al-An`am:95] Makna dan rahasia hakiki ayat tersebut di sini: وَالنَّوَىٰ butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Tumbuhan dan buah-buahan itu tumbuh dari biji kering-mati yang kemudian ditanam. Biji yang mati inilah tamsil rahasia tentang suatu tempat tertinggi perjumpaan dengan Allah Rabbul Izzati. "Tempat" perjumpaan Nabi Muhammad Rasulullah Saw. dengan Allah Rabbul Izzati adalah suatu tempat yang bernama Wannawa. Di tempat ini semua yang hidup berasal dari yang mati. Artinya juga, setiap yang bisa sampai ke situ, mati pun bisa hidup kembali. Nawa; Nawi itu sama saja. Yang sampai ke Wannawa hanya Muhammad: Nabi Muhammad Rasulullah Saw. satu-satunya yang sampai ke sana. Itulah disebut Muhammad Nawi. Ini juga sunnah. Buka al-Kahfi:110 قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا [١٨:١١٠] Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". Pengajian hakiki ini bukan pendapat, melainkan sudah dilihat nyata yang sebenar-benarnya. Pahamilah hakiki ini. MENGAPA ALLAH MENCIPTAKAN MAKHLUK Syaikh Abu Yazid al-Bistami ditanya oleh seseorang, “Mengapa Allah menciptakan makhluk?” Ia menjawab, “Allah menciptakan makhluk untuk… menunjukkan kekuasaan-Nya; Dia memberikan rezeki kepada mereka untuk menunjukkan kemurahan-Nya; Dia menghidupkan mereka untuk menunjukkan kebesaran-Nya; Dia mematikan mereka untuk menunjukkan keperkasaan-Nya; Dia menghitung amal mereka untuk menunjukkan keadilan-Nya; Dia memasukkan mereka ke dalam surga untuk menunjukkan karunia dan kasih sayang-Nya; Dia memasukkan orang-orang kafir ke dalam neraka untuk menunjukkan murka dan azab-Nya.” Di samping itu, alasan Allah menciptakan alam semesta karena mereka akan memuji dan membesarkan-Nya. Hal ini kemudian diperjelas dengan sabda Nabi Muhammad Saw. yang menyatakan firman Allah: “Khalaqtu al-khalq liyurbihu li wa la arbaha ‘alayhim“, ‘Aku ciptakan makhluk supaya mereka mengambil manfaat dari-Ku, dan sekali-sekali Aku tidak mengambil manfaat dari mereka’. Firman Allah Swt. tatkala menjawab pertanyaan Nabi Daud a.s. yang datang bersujud kepada-Nya seraya bertanya, “Ya Tuhanku! Apa alasan Engkau menciptakan makhluk?” Allah pun menjawab, “Kuntu kunuzun makhfiyya, fa ahbabtu an u’raf, fakhalaqtu al-khalqa li’uraf” “Aku adalah Perbendaharaan Yang Tersembunyi, padahal Aku sangat ingin dikenal. Oleh karena itu, Aku ciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku.” Seperti Firman Allah dalam Adh-Dhariyat (51) ayat: 56 وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Menurut Ibn Abbas–seorang mufasir Alquran yang hidup sezaman dan diakui ketajamannya oleh Rasulullah Saw.– frasa “beribadah kepada-Ku (ya’ buduuni) bermakna “mengetahui-Ku (ya’rifuuni)” atau lebih tegas lagi “mengenal-Ku.” -Arifbillah- MENGENAL DIRI RUH Yang akan berlaku dalam kajian ini bagi Anda, insyaAllah adalah ayat berikut. Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; maka Barangsiapa melihat [kebenaran itu], maka [manfa’atnya] bagi dirinya sendiri; dan barangsiapa buta [tidak melihat kebenaran itu], maka kemudharatannya kembali kepadanya. Dan aku [Muhammad] sekali-kali bukanlah pemelihara [mu]. [Q.S. Al-An`am: 104] Maksudnya, jika Allah berkenan mengaruniakan paham pada Anda, kemanfaatannya bagi Anda sendiri. Sebaliknya, jika Anda membaca ini dengan tersalah paham, artinya kaji ini bisa jadi kemudharatan bagi Anda. Jadi, berhati-hatilah mengambil paham dari bacaan ini. Bila ada yang perlu ditanyakan, jangan diam lalu Anda berkoar-koar fitnah pada kami. Kami berani menyampaikan ini untuk publik sebab pengetahuan ini adalah hak bagi setiap umat Muhammad Saw. dan kewajiban menyampaikan bagi yang sudah memahami. Berprasangka baik, itu yang utama di sini. Mudah-mudahan Allah memahamkan. InsyaAllah. Aamiin. MENGENAL DIRI Mengenal diri dan beramal. Ini yang diterima Allah. Mengenal diri tidak beramal, inilah orang siksa. Sebab Nabi Muhammad Rasulullah Saw. berilmu dan beramal lagi kedudukannya paling tinggi, bahkan tidak ada Tuhan yang dijumpai di kemudian hari, hanya Muhammad Saw., sebagai syafa`atul uzma. “Ana Abu al-arwah wa Adama Abu al-basyar” Aku adalah bagaikan Bapak sekalian Ruh, sedangkan Adam adalah bagaikan Bapak sekalian Tubuh. Yang namanya Muhammad itu sudah cukup. Awal mula terjadi sebelumnya, Dia Berkata-kata pada hamba-Nya dengan "laa bi harfin wa laa shautin". Ketika itu Adam belum ada karena belum ada sesuatu [baharu alam]. Yang ada Muhammad dan Nur. Kemudian yang satu raib dan yang satu "melompat", bangunlah Adam. Makanya se-Zat, se-Sifat, se-Asma, dan se-Af`al. Adam itulah satu alam semesta dan satu maharuang [Adam sebagai bapak sekalian jasad]. Penghabisan pandangan, satu saja. Inilah pandangan Nabi Muhammad Saw.: pandang Satu kepada yang Satu. Karena dari yang Satu itulah adanya banyak. Karena dari yang Satu itulah kepada yang banyak. Adapun kita ini Rabbul Alamin [khalifah; wakil Allah di muka bumi ]. Menentukan penghabisan ini hanya kepada yang berpengetahuan. Ketinggian ilmu dan ketuaan agama, pandai-pandai dirinya dikatakan Tuhan. Itu juga dihalalkan, itu juga yang diharamkan. Sebab Ruhul Qudus itu diri kamu juga [Q.S. Adz-Dzariat:20-21]. Makanya hendaklah disatukan [baca: diesakan| kalau tidak diesakan, zindik dan atau syirik] Yang Menjadikan dan yang dijadikan itu satu. Diri di dalam sama-tengah hatimu, itu diri kamu juga [Ruhul Qudus]. Hendaklah diesakan dengan jasad, barulah kita bernyawa rabbani. Penghabisan kalam Nabi Muhammad Rasulullah Saw., "Ummati, ...shalli, shalli, shalli." Di dalam shalat kita berjumpa karena di dalam shalat hanya beliau saja [Muhammad] dengan Allah yang disebut. Barangsiapa memandang dirinya bersih [putih mukhalafah]; suka Allah Ta'ala. Itulah umat Muhammad Saw. Oleh sebab itu dalam tafakur, kalau kondisi kita sudah diam sediam-diamnya; pengingatan sadar ke kosong [maharuang], perasaan akan merasa ada di kosong. Kalau kita pakai nyawa hakiki, itu adalah pengingatan. Zat dan Sifat itu bagaimana? Zat [Mutlak] itu Diri-Nya, Sifat itu Asma-Nya. Alif itu menunjukkan adanya Zat. Lam pertama, Asma-Nya. Lam kedua, itu Sifat-Nya. Ha itu Kecukupan-Nya. Pertemuan Lam pertama dan Lam kedua, jadilah sabdu [tasdid]. Sabdu itu Nur. Yang di atas sabdu, itulah Allah. Yang ditunjuk oleh alif di atas sabdu, itulah Allah. Adapun Zat-Sifat itu Kemahaesaan-Nya. Kemahaesaan-Nya inilah Sifat Jalal. Oleh orang tauhid, Sifat Jalal itu dikatakan sebagai Sifat Kebesaran Allah [Adz-Dzariat:20]. Tuhan terlindung oleh Sifat Jalal-Nya. Sifat Jalal itu Sifat Kebesaran Tuhan. Itulah Tubuh Maharuang atau Kosong. Dan Maharuang itu juga Zat Mutlak. Zat Mutlak ini juga disebut Nur Ilahi. Inilah Kemahaesaan Tuhan. Kemahaesaan Tuhan inilah Cahaya Diri Tuhan [Nur Ilahi]. Karena Cahaya Diri Tuhan ini juga adalah Kebesaran Diri Tuhan, dinamailah ALLAH. Jadi, ALLAH itu Nama Kebesaran bagi Zat Mutlak [Zahiru Rabbi].[Q.S. Nur:35] Jadi, Cahaya Diri Tuhan itulah Kebesaran Diri Tuhan yang dinamai ALLAH. Tuhan tidak ber-Nama, Kebesaran-Nya itulah yang bernama ALLAH, maka dikatakan ALLAH itu Ismu Zat [Nama bagi Zat atau Nama Kebesaran Zat Mutlak] Yang pentig setiap tahu nama, mustilah kita kenal pribadinya. Maka dalam ibadah shalat sewaktu kita takbir ihram, jangan ada lagi ber-i`tikad-i`tikad. Karena besarnya Kebesaran Tuhan itu kita tidak tahu: sudah laysa kamitslihi syaiun. TAKBIR IHRAM YANG SEMPURNA Waktu menyebut takbir, jangan ada hati berkata-kata lagi. Jangan ada ingat sesuatu lagi. Batal takbirnya. Ingat, yang dikatakan niat kamaliyah itu niat yang sempurna. Tidak ada lagi berniat ini-itu di dalam takbir ihram. Ucapkan sajalah. Dan sebaik-baik ucapan takbir itu dengan menyempurnakan mad badal-nya [tiga harakat|tiga alif]. Ini artinya, shalat orang tauhid tidak meninggalkan hukum tajwid. Begitulah cara orang tauhid dalam beribadah. Mengapa ketika shalat kita menyebut, "Allaaaahu Akbar!" ? Karena yang betul-betul tidak kitak ketahui itu Besar-Nya. Kalau besarnya sesuatu dapat dikira-kira, diukur-ukur. Kalau besar-Nya Allah, tidak ada yang bisa mengetahuinya dengan alat apa pun juga. TAKBIR IHRAM YANG RUSAK Ketika takbir, jangan ada dimasuk-masukkan i`tikad ini-itu. Takbir itu satu kali saja. Tidak ada takbir dua-tiga kali. Banyak perbuatan yang mengada-ada. Takbir sekali, turun lagi, takbir lagi tidak jadi lagi, barulah takbir diselesaikan. Mengapa terjadi begitu? Karena mereka belum paham tentan yang disebut takbir ihram itu. Allah paling tidak suka perbuatan mengada-ada [bid`ah]. -Arifbillah- TAFAKAUR SESAAT TAFAKUR SESAAT LEBIH BAIK 70 TAHUN IBADAH Praktik Diam [Tafakur] itu menyatukan ingatan dan perasaan. Caranya: Pandang tubuh yang diam itu/tubuh maharuang/Zahiru Rabbi itu. Rasakan diamnya tubuh yang di dalam pusat [pusar]. Bukan merasakan diamnya tubuh kamu yang zahir, melainkan merasakan diamnya tubuh yang di dalam pusat [sama-tengah hati]. Turunkan perasaanmu di pusat dan pusat jangan kamu tarik-tarik ke dalam atau ke luar. Turunkan perasaan ke "pusat diam" di pusat kita. Bukan menahan napas, melainkan mendiamkan perasaan. Coba rasakanlah sendiri. Kalau perasaan sudah diam, bersih pikiran dan perasaan. Orang bodoh mau menenangkan pikiran dengan makan obat penenang. Mendiamkan saja perasaan, sudah bisa tenang. Untuk apa diubah-ubah dengan obat-obatan. Lakukan praktik diam ini. -Arifbillah- ILMU FIRASAT NABI KHIDIR Tuhan mentajallikan Cahaya-Nya. Cahaya Tuhan itu bernama Nur. Jadi, Nur itu Cahaya Tuhan. Itulah Rahasia Tuhan. Rahasia Tuhan itulah juga dinamakan Muhammad yang awal dan Nur Muhammad itu juga dinamani titik Nur yang awal. Nur Muhammad sudah “lahir”, baru bersuara. Inilah suara Allah langsung pada Muhammad. Dari mana awal suara dari mulut dan lidah kita ini? Tentulah dari hati. Dari mana awal suara dari hati ini? Tentulah dari sirr. Dari mana awal suara dari sirr hati ini? Tentulah dari Zat. Dari mana awal suara dari Zat ini? Tentulah dari Allah. Dari Allah ⇒ Zat [Rahasia Allah] ⇒ sirr ⇒ hati ⇒ lisan Renungkanlah perjalanan suara ini. Dengan sirr ini kita dapat membedakan mana suara dari setan, mana suara dari Allah. Tuhan menjadikan kita punya zahir dan punya batin. Yang batin itu ruh dan yang zahir itu tubuh. Ruh ini Zat; tubuh ini sifat. Kelakuan zahir ini kelakuan dari mana? Dari batin. Kelakuan batin itu kelakuan siapa? Kelakuan Zat. Siapa yang berkelakuan pada Zat itu? Tentulah Zat-nya Zat, itulah Tuhan. Maka ketika orang tauhid sudah mengetahui jalan ini, dirasakannya semua dari Allah: minallah. Kalau sudah dirasakan oleh batinnya semua dari Allah, berarti batinnya sudah karam musyahadahnya pada Allah dan ketika melihat zahirnya itu, dirasakannya rasa isbat saja. Pengetahan ushul ini penting diketahui dan dipahami karena ushul itu kesempurnaan. Kalau tidak ada ushul, bagaimana kita akan mendapatkan kesempurnaan? Jadi, belajar itu hendaklah sampai pada pemahaman yang tidak dimakan oleh ushul. [tidak tertolak atau bertentangan dengan ushul] Ketahuilah bahwa Zat itu Diri Makrifat. Diri Makrifat itu menghimpunkan semua Af`al, semua Asma, semua Sifat, dan semua Diri. Sederhananya, Diri Makrifat itu menghimpunkan semua tubuh-hati-nyawa-rahasia. Diri Makrifat itulah yang menggerakkan Zat-Sifat-Asma-Af`al. Diri Makrifat ini Rahasia Tuhan yang ada pada Adam (kita). Kalau sudah paham ini, bagaimana lagi kita mau menyangkal bahwa tiada perbuatan baharu lagi? “Jika bukan karena engkau Muhammad, tiada Ku-ciptakan alam ini.” Apa hikmah perkataan [hadis qudsy] ini dari sisi hakiki? Kalau tidak ada engkau Diri Makrifat, tidak akan ada pergerakan jasad. Inilah isyarat dua kalimah syahadat. Jadi Diri Makrifat itu Sifat Tuhan juga Rahasia Tuhan. Jadi diri Makrifat itu jadi apa pada kita ini? Jadi ruh. Cahaya Diri Makrifat inilah yang menjadi firasatan, sedangkan Nur Muhammad itu menjadi per.ingat.an. Mengapa Nabi Khidr a.s. bisa mengetahui semuanya dan perbuatannya bertentangan dengan syara? Karena Nabi Khidr mengetahui Diri Makrifat itu firasatan. Sedangkan Diri Makrifat itu mustahil berbohong. Maka orang tauhid hakiki tidak bingung dengan kelakuan Nabi Khidr a.s. sebagaimana kisah dalam Q.S. al-Kahfi karena orang tauhid hakiki tahu soal firasatan dan per-ingatan ini. Dari sini diketahui bahwa Nabi Khidr itu Allah karuniai firasatan yang tinggi [ilmu hikmah]. Sebenarnya ilmu firasatan ini menggunakan bahasa Cahaya: Cahaya Ilahi. Timbulnya ingatan itu dari firasatan. Timbulnya firasatan itu dari Tuhan. Ciri bahasa Cahaya Ilahi itu: laa raiba fiihi hudan lil muttaqiin [Q.S. Al-Baqarah:2] alias tidak ada keraguan satu zarah pun! Nabi Khidr a.s. itu ahli bahasa Cahaya ini. Jadi, tidak usah heran kalau para wali Allah itu banyak mengetahui hal-hal yang tidak diketahui orang awam karena para wali Allah itu belajar dan menguasai ilmu firasatan alias bahasa Cahaya Ilahi ini dari Nabi Khidr a.s. Sang Murabbi. Susah mencari guru yang menguasai bahasa firasatan ini. Kalau yang pakai bahasa nujum, banyak. -Arifbillah- HAJI HAKIKAT Orang naik haji, itulah masuk ke Kosong. Yang Kosong itu dari Wujud sampai Wahdaniyah. Itulah yang dinamakan wukuf. Wukuf itu diam. Itulah puncak haji. Jadi dalam wukuf itu tidak ada zikir-zikir, tidak ada baca-baca lagi. Kalau tahu masalah diam ini, haji hakikatlah dia. Bukan sekadar haji syariat lagi. Kalau tidak tahu masalah Kosong ini, bagaimana hajinya? Apa yang dimaksud wukuf itu? Diam. Waktu kita baru sampai di Arafah, apa yang kita pandang? Kosong dulu. Arafah itu berada di mana kalau bukan di dalam Kosong; bertempat di Kosong. Jadi bukan sekadar wukuf di Arafah. Arafah itu sendiri di dalam Tubuh Kosong. Berbeda wukuf di Arafah dengan wukuf di Kosong. Pergi berhaji itu apa maksudnya? wa fii anfusikum afalaa tubsirun. Ka'bah itu bersifat Sulbiyah; Kosong ini penampang; kita ini hanya Nur. Inilah rukun yang enam: rukun haji. Waktu kita baru sampai di Arafah, apa yang kita pandang? Kosong dulu; bukan Arafahnya yang kita pandang, melainkan Kosong tembus-menembus tidak ada hijabnya. Inilah yang dikatakan pandangan Allah: tembus-menembus. Kosong ini Zat yang terdahulu ada. Jadi orang naik haji itu puncaknya masuk ke Kosong. Jadi, Kosong ini rukun haji. Kalau tidak paham ini, hajinya baru haji wukuf Arafah. Arafah ini ada di mana kalau bukan di Tubuh Kosong? Yang benar itu kita wukuf di Arafah atau wukuf di Tubuh Arafah? Masalah wukuf ini jangan disepelekan sebab inilah puncak segala ritual haji. "Siapa memandang dirinya putih: ihramlah dia. Hajilah dia. Usailah perjalanan ilmu dan Islamnya paripurna karena perjalanan Islam itu sampai rukun ke-6, yaitu haji." Waktu kita baru sampai di Arafah, apa yang kita pandang? Kosong dulu; bukan Arafahnya yang kita pandang. Kalau Arafahnya yang kita pandang, tidak ada bedanya dengan kita wukuf di tanah air. Sebab secara bahasa wukuf itu diam; arafah itu mengenal. Jadi wukuf di Arafah itu diam untuk mengenal. Kalau wukuf di arafah tapi tak ada pengenalan, apa bedanya dengan tidak wukuf di tanah air?! Hakikat haji sebenarnya ialah untuk mendapatkan musyahadah tentang Tuhan. Haji itu bukan untuk bisa melihat Ka'bah dari dekat lalu berfoto di depannya, bukan untuk mencium Hajar Aswad, melainkan untuk mendapatkan musyahadah tentang Tuhan. Meskipun kita wukuf di Mekah tapi tidak mendapatkan musyahadah tentang Tuhan, sama saja dengan wukuf di Indonesia. Meskipun kita wukuf di tanah air, kalau mendapatkan musyahadah tentang Tuhan, di tanah sucilah kita. Syaikh Bayazid Al-Busthami suatu saat pergi naik haji ke Mekkah. Pada haji kali pertama, ia menangis. "Aku belum berhaji," isaknya, "karena yang aku lihat cuma batu-batuan Ka'bah saja." Ia pun pergi haji pada kesempatan berikutnya. Sepulang dari Mekkah, Bayazid kembali menangis, "Aku masih belum berhaji," ucapnya masih di sela tangisan, "yang aku lihat hanya rumah Allah danp emiliknya." Pada haji yang ketiga, Bayazid merasa ia telah menyempurnakan hajinya. "Karena kali ini," ucap Bayazid, "Aku tak melihat apa-apa kecuali Allah subhanahu wa ta'ala...." *** Syaikh Al-Junaid Al-Baghdadi q.s. kedatangan seorang tamu. Beliau bertanya, “Dari mana saja anda ?” Tamu itu menjawab, “Aku baru menunaikan ibadah haji”. “Sejak pertama berangkat dari rumah, apakah kamu telah meninggalkan semua dosa ?” Syaikh Al-Junaid q.s. kembali bertanya. “Belum”, tamu itu menjawab. “Berarti engkau tidak sedang dalam perjalanan ruhani. Apakah setiap beristirahat di malam hari, engkau melintasi semua maqam di jalan menuju Allah ?” “Tidak” “Berarti engkau tidak menempuh perjalanan setahap demi setahap. Ketika memakai pakaian ihram, apakah engkau melepaskan sifat-sifat manusiawi seperti engkau melepaskan pakaian sehari-hari ?” “Tidak” “Berarti engkau tidak mengenakan pakaian haji (ihram). Ketika engkau singgah di ‘Arafah, apakah engkau menyaksikan (musyahadah) Allah ?” “Belum” “Berarti engkau tidak singgah di ‘Arafah. Ketika ke Muzdalifah dan mencapai keinginanmu, apakah engkau telah meniadakan hawa nafsumu ?” “Belum” “Berarti engkau tidak pergi ke Muzdalifah. Ketika tawaf mengelilingi Ka’bah, apakah engkau telah menyaksikan keindahan non materil Tuhan ?” “Belum” “Berarti engkau tidak mengelilingi Ka’bah. Ketika sa’i antara sofa dan marwa, apakah engkau telah menggapai kesucian dan kebajikan ?” “Belum“ “Berarti engkau tidak sa’i antara sofa dan marwa. Ketika sampai ke Mina, apakah keinginanmu telah sirna ?” “Tidak” “Berarti engkau belum mengunjungi Mina. Ketika sampai di tempat penyembelihan kurban, apakah engkau mengurbankan segala hawa nafsu ?” “Tidak” “Berarti engkau belum berkurban. Ketika melempar batu jumrah, apakah engkau telah melemparkan pikiran-pikiran hawa nafsu yang menyertaimu ?” “Belum” “Berarti engkau belum melaksanakan jumrah. Engkau belum melaksanakan ibadah haji. Kembalilah ! lakukan ibadah haji seperti yang aku gambarkan agar engkau bisa sampai ke maqam Ibrahim” Jadi haji itu untuk mendapatkan musyahadah tentang Tuhan. Wahai Anda yang sudah bergelar haji, sudah dapat ihram-nya belum? Meskipun kita wukuf di Mekah tapi tidak mendapatkan musyahadah tentang Tuhan, sama saja dengan wukuf di Indonesia. Meskipun kita wukuf di tanah air, kalau mendapatkan musyahadah tentang Tuhan, di tanah sucilah kita. Wahai Saudara-saudaraku yang belum mampu pergi berhaji secara syariat, jangan berputus-asa. Firman Allah, berhaji itu bagi yang mampu. Kalau belum mampu pergi haji secara syariat, berusahalah pergi haji secara hakikat. Guru kami, Syaikh Undang Siradj, menjamin Anda meraih haji. Pasti haji. Bahkan gelar haji yang ini dibawa sampai ke akhirat. Makanya setiap habis shalat itu biasakan wukuf dulu. Setiap habis shalat itu biasakan bertafakur-hakikat dulu: diam dulu. Bagaimana diam yang dimaksud itu? Nanti kami uraikan. Ini bukan olok-olok karena pengetahuannya ada. Wahai kaum awan, janganlah terlalu awam benar. Ketahuilah masalah haji hakikat ini. Wahai kaum yang membangga-banggakan gelar haji. Kalau sekadar haji syariat, buat apa? Ini bukan mau membunuh rukun Islam, bukan mau membunuh syariat pergi berhaji ke tanah suci. Orang yang meraih haji hakikat, kalau dia sudah berkumur dalam wudhu, tidak ada lagi bicara dengan tujuan yang kotor. Orang yang meraih haji hakikat, kalau sudah membasuh kepala dalam wudhu, tidak ada lagi pikiran-pikiran untuk menipu orang dengan gelarnya. Orang yang meraih haji hakikat, kalau sudah lubang hidungnya terbasuh air wudhu, tidak ada lagi hidung melambung waktu orang memulakan panggilan dengan kata haji di depan namanya dan tidak ada lagi kebanggaan dalam hati, " Aku ini haji". Orang yang meraih haji hakikat, kalau tangannya sudah terbilas air wudhu, tidak ada lagi perbuatan yang bersifat merusak meskipun dengan alasan menegakkan yang haq. Orang yang meraih haji hakikat, kalau kakinya sudah diusap air wudhi, tidak ada lagi melangkahkan kaki ke tempat maksiat. Kalau ada haji yang masih berbicara dengan tujuan muslihat-kotor; berpikir untuk menipu orang, berbangga diri, berbuat kerusakan, dan berjalan ke tempat maksiat zahir dan maksiat batin, itu tanda-tanda haji yang batal. Haji syariat dan haji hakikat berbeda bagai siang dan malam; bagai langit dan bumi. Sikap seorang haji hakikat itu, yang jahat dinasihati, bukan dirusak. Baru bisa kelihatan Islam itu kuat karena bersifat menasihati. Haji-haji itu mestinya jadi penasihat orang maksiat, bukan jadi perusak tempat-tempat maksiat. -Arifbillah- PRAKTEK KASYAF Tuhan itu wajib kita sadari saja ADA. Sadari Tuhan beserta kita dan kita dengan Tuhan Maha Esa. Yang Maha Esa itu Tuhan, bukan kita. Yang dimaksud Maha Esa itu tidak bercerai, tidak bersekutu; tidak ada antaranya: tidak jauh, tidak dekat. Satu, tidak mengenal dua [=tunggal]. Sadari maharuang itu Zat-Mutlak. Tentulah kita sadar keberadaan kita ada di dalam Zat-Mutlak. Kalau kesadaran men-"jadi"; kita tidak tidur di dunia lagi, tetapi tidur di tempat husnul khatimah: tempat yang penuh rahmat. Yang namanya ilmu kasyaf itu tidak pakai baca-baca lagi. Cukup dengan sadar saja, bisa jadi segala-galanya. Kalau dengan kesadaran saja men-"jadi", lalu buat apa pakai tapa-tapa, bakar-bakar kemenyan, pakai pesugihan-pesugihan. Semua itu cara-cara jin, setan, Iblis! Kita ini diciptakan Tuhan sebagai manusia. Pakai Tuhanlah, Bodoh! Goblok kalau tidak pakai Tuhan. Hal salah, banyak orang tahu. Tetapi dirinya tersalah, tidak tahu. Makanya kalau kita tahu, lebih baik diam. Selamatlah kita. Jangan mengaku tahu, rupanya tidak tahu. Celakalah kita dan pengikut-pengikut kita. Mengaku sampai, padahal tidak sampai. Bala yang didapat. Kalau sudah duduk di maqam kasyaf, tidak ada menyatu-satukan lagi, tidak ada mengingat-ingat lagi , dan tidak ada tafakur-tafakur lagi. Setiap detik, setiap sekon, mahaesa terus sampai yaumil qiyamah. Belajarlah betul-betul pada ahlinya, jangan pada yang pandai omong saja. Sekolahan formal saja, selesai sekolah dasar lalu ke menengah hingga ke perguruan tinggi. Selesai masa-masa semester dilalui, bawalah kesarjanaanmu. Begitu juga kalau guru sudah mendudukkan kamu di maqam kasyaf, bawalah kesarjanaan ketuhananmu. Berlaku di dunia dan di akhirat. Kadang-kadang aku sedih melihat di luar sana banyak orang yang rajin belajar, tapi tidak ada guru yang dapat mendudukkannya di maqam kasyaf. Di Al-Mukminuun jelas-jelas diberi tahu. Belajar sampai ruhani saja sudah duduk di tingkat kasyaf. Pelajaran akhir selanjutnya untuk mengembangkan keruhanian. Pelajaran pertama: kejasmanian. Pelajaran kedua: keruhanian. Pelajaran ketiga: kenuranian. Pelajaran keempat: kerabbanian. Pelajaran kelima: kerja nyata. Tangan lengkap jarinya ada lima. Satu jari saja tidak ada, disebut tangan berjari buntung. Kalau jari murid cacat, susah buat kerja dong, Tuan Guru. Ilmu kasyaf ini tingkat akhir untuk kemahaesaan. Mukadimah, Babul Awwal: Kasyaf jasmani menghantarkan ke kasyaf ruhani; kasyaf ruhani menghantarkan ke kasyaf nurani; kasyar nurani menghantarkan ke kasyaf rabbani. Kasyaf rabbani menimbulkan mu'ayanah atau pembuktian-pembuktian nyata yang membersihkan keraguan. Muncul kekuatan keyakinan dan kejazaman. Kita bersih dari keragu-raguan lagi ketika menerima ajaran qadim pada diri kita. Kita tahu dan bisa membedakan yang mana dari jin, setan, Iblis dan yang mana dari Yang Haq. Bersih dari tipuan-tipuan laknatullah. -Arifbillah- MERASAKAN KETUHANAN ALLAH La tataharraku zaratin illa bi iznillah "Tidak bergerak satu zarah pun tanpa izin Alah." Musti ada proses, pembersihan dengan Rasul [dengan selawat]. Inilah untuk pembersihan hati. Kedudukan hakikat itu di dalam, bukan di luar. Penting merasakan ketuhanan itu. Bukankah Tuhan Mengetahui rasa asin, manis, tawar, dan lain-lain? Kita tahu asin, manis, tawar, dll., tapi merasa ketuhanan tidak ada. Kita melihat, tapi rasa ketuhanan dapat tidak?! Akhirnya kufur nikmat tidak itu?! Penting merasa ketuhanan itu. Bukan kita tahu asin, manis saja, merasakan ketuhanan Allah itu penting. Itulah pembinaan Tuhan. Tauhid dzukiyah [iman rasa] itulah pembinaan Tuhan karena kita sudah diberi tahu rasa asin, manis, kecut, tawar, pahit, dsb. Hendaklah penuh ridha karena hati merasakan banyak kufur; banyak melakukan kufur nikmat. Yang namanya ridha tidak bisa didapat dengan ilmu. Ridha didapat dengan hidayah Allah, bukan dapat diusahakan. Kalau ridha, hati akan memandang Allah. Mengapa orang melakukan shalat? Karena merasa butuh dengan Tuhan. Sifat itu mawjud, berdiri pada Zat Allah. Islam bukan agama syirik. Islam agama tauhid. Agama tauhid selalu menauhidkan Tuhan. Sabda Nabi Saw., "Kalau kamu mau dicintai Allah, ikuti aku." [Q.S. Al-Imran:31] Orang lihat, kita punya kelebihan, tapi kita tidak merasa punya kelebihan. Bersyukur kita ada dosa. Kita ini memang keturunan berdosa, tidak bisa ditolak. Sesungguhnya Allah cinta pada orang yang menyucikan dirinya zahir-batin [Q.S. Al-Baqarah:222]. Bukan Allah cinta pada orang-orang beramal. Bersuci [Thaharah] itu zahiriyah dan batiniyah. Jangan zahir saja diberi parfum mahal-mahal. Batin juga musti bersih dan wangi. Ujub itu merasa diri ada. Merasa ada diri. Orang banyak yang tidak tahu dalam ibadahnya lebih sering didorong oleh keinginan. Keinginan itu nafsu. Ada keinginan bertakbir, itu nafsu. Ada keinginan ruku, sujud sampai salam juga nafsu. Jadi shalatnya mengikuti perintah nafsu semua. Mau makan-minum pun ikutkan keinginan. Berjalan pun didorong oleh keinginan. Semuanya mengikuti perintah nafsu. Kita tahu Tuhan itu Qidam atau Sedia. Musti dirasakan Tuhan itu. Bicaralah dahulu dengan yang di dalam batiniyah. "Wafii anfusikum `afalaa tubsirun [Q.S. Adz-Dzariyaat:21]," Aku sudah Sedia Ada dalam kamu. Mengapa kamu tidak mau mengenal Aku? Mengapa kamu tidak mau menghubungi Aku? Dalam ibadah, musti dirasakan Tuhan itu Sedia Ada-Nya. Bicaralah dahulu di dalam dengan Tuhan. Nabi Saw. saja diam-diam dahulu, baru lalu berkata pada Abu Bakar r.a., "Wa laa takhafu wa laa tahzan. Innallaaha ma ana." Hendaklah kembali kepada Allah. Tidak bergerak satu zarah pun tanpa izin Allah. Penting sekali berhubungan rasa dengan Allah. Baru berbuatlah karena Allah. Jangan berbuat karena dorongan keinginan atau nafsu. Ingat, kedudukan hakikat itu di dalam, bukan di luar. Kalau shalat, merasa dengan diri sendiri, berarti tidak mentauhidkan Allah. Yang berdiri pada kita ini Sifat [Allah] dan kita berdiri pada Zat [Allah] atau pada Rasa. Rasa itu Zat. Zat-lah yang merasa ketuhanan itu. Rasa tidak dapat diungkapkan: itulah Zat. Perjuangkanlah rasa ketuhanan itu. Karena Zat-lah yang merasakan ketuhanan Allah. Kita tahu rumah teman kita. Begitu sampai di rumahnya, panggil-panggil saja, dia pasti keluar menghampiri. Begitu juga, kita sudah tahu maqam Rasulullah, tahu jugalah maqam Allah. Panggil-panggilah Rasulullah itu dengan selawat. Beliau akan datang lalu berkata, "Maa haajatuka?" Apa hajat kamu? Lalu sebutlah apa hajat kamu itu sebab orang yang datang ini kepercayaan Tuhan, kekasih Tuhan yang siddiq, amanah, tabligh, fathanah. Mustahil Rasul tidak melayani umat yang memanggilnya. Jangan kamu memanggil beliau seperti memanggil kawan kamu [Q.S. . Ber-adablah. Dengan adab yang baik, mustahil tidak dikabulkan karena kita sudah berhubungan dengan ajudan Allah. Mustahil permohonan tidak diperhatikan Allah. Inilah cara-cara orang arif billah dalam beramal. Mereka mempergunakan iman rasa [iman dzuk; tauhid dzukiyah], bukan lagi sekadar dengan iman ilmi. Berikut ini jalan kita mempraktikan tauhid dzukiyah. Jangan teori saja, musti ada praktik juga baru dapat pembuktian nyatanya. Jangan ilmu saja, musti ada amal juga baru dapat muanaiyah-nya. Pandang zahir, di luar jasad kita semua itu makhluk. Jangan pandang ke luar, makhluk semua. Pandang ke dalam. Jangan dari luar dibawa ke dalam. Dari dalamlah bawa ke luar. Di luar itu makhluk, di dalam itu Allah [Q.S. Al-Hijr:29 ]. Kalau ada rasa, itu wahidiyat. Kalau tidak ada rasa, itu ahadiyat. Pandanglah ke ahadiyat. Laa qadirun illallah. Ini perkataan hakikat di dalam batiniyah. Tiada yang Kuasa melainkan Allah. Pandangan zahiriyah, merasakan Qudrat Allah yang berlaku. Allah yang Berqudrat. Siapa merasakan dirinya yang kuasa, syirik. Laa muriidun illallah. Ini perkataan hakikat di dalam batiniyah. Tiada yang Berkehendak melainkan Allah. Pandangan zahiriyah, merasakan kehendak Allah semua. Siapa merasakan dirinya yang berkehendak, syirik. Laa `aliimun illallah. Ini perkataan hakikat di dalam batiniyah. Tiada yang Mengetahui melainkan Allah. Pandangan zahiriyah, merasakan Allah Mengetahui semua. Siapa merasakan dirinya yang berkehendak, syirik. Laa hayyun illallah. Ini perkataan hakikat di dalam batiniyah. Tiada yang Hidup melainkan Allah. Pandangan zahiriyah, merasakan hanya Allah yang Hidup. Siapa merasakan dirinya yang hidup, syirik. Laa sami'un illallah. Ini perkataan hakikat di dalam batiniyah. Tiada yang Mendengar melainkan Allah. Pandangan zahiriyah, merasakan hanya Allah yang Mendengar. Siapa merasakan dirinya yang mendengar, syirik. Laa bashirun illallah. Ini perkataan hakikat di dalam batiniyah. Tiada yang Melihat melainkan Allah. Pandangan zahiriyah, merasakan hanya Allah yang Melihat. Siapa merasakan dirinya yang melihat, syirik. Laa mutakalimun illallah. Ini perkataan hakikat di dalam batiniyah. Tiada yang Berkalam melainkan Allah. Pandangan zahiriyah, merasakan hanya Allah yang Berkata-kata. Siapa merasakan dirinya yang berkata-kata, syirik. Ingat, agama itu mentauhidkan, bukan men-syirikkan [Q.S. Az-Zumar:3]. Maka segala sesuatu itu bicaralah dulu di dalam dengan Allah. Karena keyakinan lahiriyah dengan keyakinan batiniyah itu tidak sama. Nabi bersabda, "Yakinkan Allah memandang kamu!"(*) Keyakinan orang syariat, kalau sudah mata-kepala dia sndiri yang memandang Allah, baru dia yakin dia sudah memandang Allah. Yang begini ini tidak ada beda dengan yahudi pengikut Musa a.s. yang kafir. Sedangkan keyakinan batiniyah yang benar itu: perkataan "aku" itu bukan kembali pada dirinya, melainkan kembali pada "Aku"-nya Tuhan. -Arifbillah- PRAKTIK RASA Dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. [Q.S. Yunus:100] Diberi Allah dua bola mata, tugasnya satu: untuk melihat. Diberi Allah dua daun telinga , tugasnya satu: untuk mendengar. Diberi Allah satu hati, tugasnya satu. Tugas hati untuk apa? Untuk berkekalan pada Allah. Mengapa ada orang waktu mau mati hatinya bertugas pada anak-istri, harta, kebun, dan lainnya? Mengapa ada orang waktu mati hati bertugas pada yang bukan Tuhan? Susahlah mati orang itu karena asyik dengan makhluk saja. Jangan makhluk itu dijadikan berhala di dalam hati. Jangan dibiasakan hati asyik dengan hal-hal duniawi. Asyikkanlah hati itu kepada Allah. Untuk membiasakan hati kekal dengan Allah, gunakanlah tafakur hakiki. Cara praktiknya: Rasakanlah dengan rasa betapa Maharuang itu diam dan kita merasakan di dalam Tubuh Maharuang. Rasakan kita di dalam Tubuh Yang Diam itu. Maharuang atau Tubuh Yang Diam itu adalah Tubuh Tuhan. Inilah yang disebut Zahiru Rabbi wal bathinu abdi. Kita di dalam-Nya. Kita inilah wal bathinu abdi. Kita inilah di dalam Zahiru Rabbi. Kita bertubuh Kosong Maharuang. Pakailah perasaan. Bawa perasaan tafakur hakiki ini di dalam shalat, bawa perasaan tafakur hakiki ini di dalam keseharian, bawa perasaan tafakur hakiki ini di dalam tidur. Pakailah tafakur hakiki ini. Kalau kita shalat di Tubuh Maharuang: ADA TUHAN. Bukan dengan dicari-cari, dipikir-pikir, hanya diyakini saja: ADA TUHAN. Perasaan kita hendaklah meyakinkan adanya Tuhan itu. Apabila seseorang dalam shalat dapat merasakan bertubuh Tuhan, nikmatlah senikmat-nikmatnya shalat itu. Jangan mau cari khusyuk tawadhu saja, tetapi tidak dapat merasakan nikmat shalat. Lebih baik kita mempelajari cara untuk mendapatkan nikmat shalat. Karena beribadah shalat itu nikmat. Carilah jalan praktik untuk mendapatkan nikmat shalat itu. Carilah jalan praktik untuk dapat merasakan bertubuhkan Tuhan di dalam shalat. Hati-hati dengan ulama dhal madhal; ulama yang sesat-menyesatkan. Yaitu ulama yang hanya pandai menyebut "Allah..Allah" saja, tetapi tidak merasakan Allah. Itulah ucapan palsu. Yaitu ulama yang berkata "Ibadah itu nikmat", tetapi tidak pernah merasakan nikmat ibadah. [Bagaimana bisa menerangkan umat cara praktik meraih nikmat itu? -Mux-]. Yaitu ulama yang pandai menjelaskan jenis-jenis nafsu, tetapi tidak pernah sampai menerangkan tentang bahaya laten nafsu Firaun [nafsu ananiyah]. Para alim sufi, ke-aku-an mereka itu bukan menyebut "aku", melainkan merasakan "Aku"-nya Tuhan. Nafsu ananiyah itulah yang menghijab kita dengan Tuhan. Tawadhu itu pada Allah saja. Yang selain Allah itu makhluk. Perlu sadar. Sadar itu iman. Kalau kita lihat Af`al-Nya, terasa esanya kita dengan Allah. Yang mana Af'al-Nya itu? Yang Diam. Sementara Sifat-Nya itu Yang Kosong; Asma-Nya itu Allah; Zat-Nya yang Meliputi alam Diri-Nya. Kita sudah Mahaesa dengan Zat-Sifat-Asma-Af`al-Nya. Pergunakan tauhid Dzukiyah. Sebab pikiran/akal tidak bisa merasa. Hanya Rasa yang dapat merasa. Rasa, di dalam rasa ada rasa. Rasa itulah Rahasia. Rahasia yang bisa merasakan Maharuang itulah Tubuh hakiki kita. Praktikkan tauhid dzukiyah agar kita dapat merasakan esanya Tuhan dengan hamba; hamba dengan Tuhan. -Arifbillah- TAFAKUR MENUJU TAJALI Khidmat adalah menyatukan pikiran dan perasaan sehingga pikiran tidak berfungsi; sehingga nafsu tidak berdaya mengganggu pikiran. Kalau sudah bagus diamnya akan timbul tansal dan ketika yang merenyam-renyam hilang, timbul terang seterang-terangnya. Maka tajalli-lah rahasia Allah ke jasad. Satu dengan jasad; meliputi jasad, bercahaya-cahaya bertubuhkan Roh Qudus: rahasianya Allah Ta'ala. Praktik Diam [Tafakur Hakiki] itu menyatukan ingatan dan perasaan. Caranya: Pandang tubuh yang diam itu/tubuh maharuang/Zahiru Rabbi itu. Rasakan diamnya tubuh yang di dalam pusat [pusar]. Bukan merasakan diamnya tubuh kamu yang zahir, melainkan merasakan diamnya tubuh yang di dalam pusat [sama-tengah hati]. Turunkan perasaanmu di pusat dan pusat jangan kamu tarik-tarik ke dalam atau ke luar. Turunkan perasaan ke "pusat diam" di pusat kita. Bukan menahan napas, melainkan mendiamkan perasaan. Coba rasakanlah sendiri. Kalau perasaan sudah diam, bersih pikiran dan perasaan. Orang bodoh mau menenangkan pikiran dengan makan obat penenang. Mendiamkan saja perasaan, sudah bisa tenang. Untuk apa diubah-ubah dengan obat-obatan. Lakukan praktik diam ini. Sama-tengah hati itu kedudukannya di dalam pusat. Di sinilah perhimpunan tubuh-hatinyawa- rahasia. Semua berhimpun pada Roh Qudus. Jangan lagi dihimpun-himpunkan. Sudah begitu prosesnya. Yang tahu hanyalah orang yang sudah ada pengalaman tajalli. Pengalaman ini guru paling tinggi tidak dapat dibeli dengan uang. Bagaimana mau cerita tajalli kalau tidak ada pengalaman proses tajalli. Dan sama-tengah hati itu Rahasia Yang Mahakuasa dan Berkuasa atas semua diri manusia. Kalau kita tafakur dan semua berhimpun pada samatengah hati, berproses sendiri. Tidak perlu kamu menghimpun-himpunkan lagi. Maka berusahalah dalam tafakur seluruh zahir-batin satu dengan Roh Qudus. Kita akan mendengar zikir memuji Diri-Nya sendiri. Dia yang berkata-kata. Di sini kita dapat pelajaran hakiki: kita bisa dengan sendirinya. Yang Berkata-kata itu "wa fii anfusikum afalaa tubsirun". Sahnya tafakur: Ruh Qudus diam. Sehingga kita bernyawa dengan hakiki/Nur. Untuk dapat tajalli, hendaklah perasaan sampai di pusat. Jangan ditarik-tarik lagi."Orang yang satu ini" hendaklah dikenal karena ini tajalli Allah. Jalannya tajalli ada di dalam diam; diam sediam-diamnya. Satukan ingatan dan perasaan sehingga Rahasia Allah yang ada pada jasad bagus kerjanya. Diamkan suara, tidak ada lagi perkataan pikiran dan perasaan. Dapatlah mendengar Rahasia yang ada pada jasad. Bicara hanya dengan hasil praktik tajalli. Biar dia ulama sekali pun, jangan bicara soal tajalli kalau tidak dapat mengajarkan praktik tajalli. Hasil tajalli dengan bicara saja: tong kosong nyaring bunyinya. Ingat kata Syaikh Junayd: "Inni ru'yatullah sitti namara." Aku melihat Allah 60 kali. Perhimpunan tafakur itu di sama-tengah hati. Jangan kamu himpun-himpunkan lagi. Tafakur itu sa`atan saja. Yang dikatakan sa`atan itu tidak ada apa-apa lagi. Turunkan tali jangkar perahumu sampai ke dasar samudera diam. Turunkan perasaan sampai di tempat diamnya, yakni di pusat. Khidmatkan zahir-batinmu dengan tubuh yang diam itu, yakni tubuh Ruh Qudus. Inilah perasaannya perasaan; Rahasia Tuhan yang ada di sama-tengah hatimu, yakni di pusat tubuh ini. Yang dikata "wa fii anfusikum afalaa tubsirun", Aku ada di dalam diri kamu, mengapa kamu tidak mau kenal pada-Ku. Aku inilah tajalli Rahasia Allah. Banyak-banyak baca Quran. Aku datangkan rahmat- Ku kepadamu. "Wafii anfusikum afalaa tubsirun", Rahasia Tuhanmu ada di sama-tengah hati, yakni di pusatmu. Kenalilah tubuh Rahasia Tuhan yang ada di pusatmu. Ada pada setiap manusia dan berkuasa pada setiap diri manusia. Rahasia Tuhan itulah disebut ruh qudus; ruh yang suci; tubuh Rasulullah; Tubuh Allah Ta`ala. Dalam tafakur, turunkan perasanmu sampai diamnya di pusat rasa diam. Tubuh yang diam itu, sewaktu kamu menarik napas dan sewaktu kamu menurunkan napas, turunnya kamu ikuti beserta perasaan sampai sama-tengah hati (pusat). Tubuh yang di pusat itu bersifat diam. Tidak ada keluar-masuk napas lagi. Itulah sa`atan. Sesaat yang setara dengan 70 tahun ibadah. Yang dikatakan sa`atan itu tidak ada napas turun naik lagi. Jasmani, ruhani, nurani, dan rahasia sudah esa dengan ruh qudus. Dan ruh qudus esa dengan Rabbul Izzati. Selesailah kembali esa. -Arifbillah- KEWAJIBAN MENGENAL ALLAH MENGENAL ALLAH ITU WAJIB کنت کنزاً مخفیاً فأ ﺭﺪ ﺕ أن أعرف فخلقت الخلق لکی أعرف Kuntu kanzan makhfiyyan fa `aradtu an u`rafa fa khalaqtu ‘l-khalq li-kay u’raf. “Aku adalah khazanah tersembunyi. Aku berkehendak untuk dikenal maka Ku-ciptakan makhluk sehingga dengan-Ku mereka mengenal-Ku.” Tujuan penciptaan makhluk ialah agar makhluk mengenal Penciptanya. Jadi, Allâhﷻ utamanya berkehendak untuk dikenali. Allâhﷻ tidak membutuhkan ibadah kita sama sekali, terlebih lagi apabila kita tidak mengenal apa-siapa-bagaimana yang disebut Tuhan itu. Apa sebab? Sebab seisi langit-bumi tidak menyembah-Nya pun Allâhﷻ tetaplah Tuhan. Ad-dīnul aqli! Apalagi jelas, setiap yang bersifat "membutuhkan", pasti bukan Tuhan. Ad-dīnul aqli! Tapi bukannya memikirkan Allâhﷻ itu dilarang? Betul. Tapi mengenal Allâhﷻ itu wajib. Maksudnya? Maksudnya, kita wajib mengenal apa-siapa-bagaimana Allâhﷻ itu sampai kita paham dan sadar bahwa yang disebut Tuhan itu tidak bisa dipikir-pikir, tidak bisa dirasa-rasa, bahkan tidak bisa disebut. Sebab setiap yang bisa dipikir pasti bukan Allâhﷻ, sebab setiap yang bisa dirasa pasti bukan Allâhﷻ, sebab setiap yang bisa disebut pasti bukan Allâhﷻ. لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَىۡءٌ۬ۖ — Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. (Q.S. Asy-Syura [42]:11) Kata "Allâh" <~~ ini Nama-Nya, Diri Yang Punya Nama yang mana? Yang Tidak Bisa Disebut. Yang Tidak Bisa Dipikir, dst. Nah, kalau pemahaman kita sudah sampai pada formula ini:⠀ "Allâhﷻ itu tidak sama dengan segala sesuatu yang bisa disebut-dipikir-dirasa", barulah kita stop perjalanan iqra mengenal Allâhﷻ sampai di situ. Jangan dipikir-pikir lagi soal Allâhﷻ itu beginikah atau begitukah. <~~ inilah yang diharamkan. Sudah tahu tidak bisa dipikirkan, kalau memaksa dipikir-pikirkan juga, bisa gila kamu. Inilah maksud judul status di atas. Mengenal-Nya wajib, memikirkan-Nya haram. Jangan terbalik, kebanyakan kita sebelum ini tidak mau berpikir dan memikirkan perihal ini. Belum apa-apa, sudah apriori terhadap bahasan-bahasan ilmu tauhid. Lupa kalau wahyu pertama-perintah pertama-ayat pertama-syariat pertama itu bunyinya: IQRA! Lupa kalau Nabi Ibrahim a.s. itu digelari Khalilullâh (Kekasih Allâh) dan secara aklamasi dinobatkan sebagai Bapak Tauhid itu karena beliau akhirnya "menemukan Tuhan" melalui perjalanan iqra. Firman Allâhﷻ dalam Q.S. Al-An’am 76-79: 76. "Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam". 77. "Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat". 78. "Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan." 79. "Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan." "Banyak orang tahu Tuhan, sedikit sekali yang mau kenal Tuhan." Inilah yang banyak dilalaikan ulama masa kini dalam dakwahnya: lebih banyak bicara soal hukum dan akhlak, sedangkan pengenalan tentang Allâhﷻ sering diabaikan. Padahal awwaludīn ma`rifatullâh = Padahal kalau pahaman tauhid sudah mantap, pemahaman umat soal hukum dan akhlak pun bisa lebih paripurna. Ulamanya lalai sehingga umat terlebih lalai. Islam itu dibangun dengan uṣuluddin, yaitu uṣul tauḥīd dan uṣul fiqḥ. Mengapa tema-tema dakwah selama ini kadarnya tidak berimbang di antara keduanya (uṣul tauḥīd dan uṣul fiqḥ)? Itulah PR bagi siapa pun Anda yang disebut ulama, kiyai, habaib, ustaż, da`i, gus, dan tuan-tuan guru. -Arifbillah- Allah Qadim Azali Allah itu Qadim Azali, tetapi ADA meliputi sekalian alam. Yang meliputi sekalian alam itu Zat-Nya, Sifat-Nya, Asma-Nya, Af`al-Nya. Semuanya ada di dalam alam. Sekalian baharu alam itu mengambil ruang. Ruang itu adalah Tubuh Yang Kosong. Dalam Kosonglah berbagai-bagai alam itu ada. Tubuh Kosong itu tidak bisa kita sebut alam, melainkan disebut Tubuh-nya alam. Kosong itulah Af`al Allah. Af`al itu di sini artinya Tubuh. Dan Tubuh itu artinya Jasad. Jadi, Tubuh Allah itulah jasadnya Qadim. Jasad Qadim itu jasad siapa? Tentulah Jasadnya Allah Ta`ala. Kehidupan kita seperti kehidupan ikan di dalam air. Ikan dan air tidak bisa bercerai. Begitulah tubuh dengan nyawa. Kalau tidak ada ruang tempat ber-ada, tentulah tidak ada keduanya. Keber-ada-an kita ini memerluakan ruang. Pahamilah betul-betul sampai paham masalah ruang ini. Di bangku sekolahan saja ada pelajaran ilmu ukur ruang. Dalam hati ada cahaya, tentulah ada yang berdiri pada cahaya itu. Cahaya lampu saja terang, mustahil tidak ada yang berdiri di dalam cahaya itu. Yang ada di dalam cahaya hati itu Nur Muhammad. Nur Muhammad inilah diri kita yang batin. Diri ini ada di sama-tengah hati. Biasa disebut Rahasia atau nyawa. Perhimpunan diri itulah Ruh Qudus. Sewaktu kita takbir ihram, semua berhimpun di dalam Rahasia yang di sama-tengah hati. Jangan dihimpun-himpunkan. Sudah begitulah ketentuannya kalau kita takbir ihram. Kalau sudah tahu, hendaklah berkhidmat pada Allah. Jangan terpengaruh dengan yang datang-datang, terpandang-pandang, terlintas-lintas. Bisa menjadi bala` kalau kita terpaku dengan yang datang-datang, terpandang-pandang, terlintas-lintas itu sebab akan merusakkan shalat kita. Terpaku dengan yang datang-datang, terpandang-pandang, terlintas-lintas itu akan mendatangkan bahaya pada diri kita karena jin-setan-Iblis bisa meniru apa saja. Kalau terpaku pada hal-hal itu lalu ia sampai masuk ke badan kita, akan menjadi bala`. Ini banyak terjadi pada orang yang sedang berzikir. Terpaku dengan yang datang-datang, terpandang-pandang, terlintas-lintas ini, lalu orang ini asyik dengan yang datang-datang, terpandang-pandang, terlintas-lintas itu lalu masuklah ke badannya. Tidak tahu dia bahwa itu bukan cahaya Allah, justru setan yang masuk ke badan. Maka perlu dijaga berkhidmat kepada Allah yang laysa kamitslihi syai`un. Orang yang sudah tahu ke-laysa kamitslihi syai`un-an Allah, tidak mungkin akan terpengaruh dengan yang datang-datang, terpandang-pandang, terlintas-lintas karena semua itu bukan Tuhan. Tuhan tetap laysa kamitslihi syai`un. Seperti bola lampu senter: apabila kuat terangnya, tidak kelihatan kawat di dalamnya. Seperti besi yang ditempa: tidak kelihatan lagi besinya, bara saja yang kelihatan. Begitulah semestinya kita dalam ibadah apa saja. Tidak ada pengaruh-pengaruh lagi. Kita akan merasakan Perbuatan Allah saja yang ADA. Di sinilah kita perlu berkhidmat pada Allah dan kita akan mendapat pelajaran dari Allah. Khidmatkan diri kita pada Allah yang laysa kamitslihi syai`un, maka kita akan merasalah ke-laysakamitslihi-an Allah itu. Rahasia Allah itulah Ruh Qudus: Diri Yang Kuasa. Ada pada sama-tengah hati. Itulah tempat husnul khatimah. Shalatlah di tempat husnul khatimah, yakni tempat yang penuh rahmat. Orang menyebut, "Allah." Yang disebutnya itulah kebesaran Diri Yang Maha Esa. Tuhan membuktikan kemahaesaan Diri-Nya: di-ada-kan-Nya Zat, Sifat, Asma, Af`al-Nya menjadi sekalian alam. Itulah sebabnya alam itu Rahasia Tuhan. Rahasia-Nya. Kalau kita sudah tahu yang dinamakan Rahasia Tuhan itu, tahulah kita bahwa Tuhan itu tidak ber-Zat, tidak ber-Sifat, tidak ber-Asma, tidak ber-Af`al. Tuhan menjadikan Zat, Sifat, Asma, Af`al, tentulah Tuhan bukan Zat, bukan Sifat, bukan Asma, bukan Af`al karena tidak ada yang menjadikan [atau menciptakan] Tuhan. Untuk apa yang dijadikan Tuhan mau kita samakan dengan Tuhan. Lebih baik kita khidmatkan saja diri kita pada Tuhan. Akan terbukalah kerahasiaan Tuhan. Mau bertemu dengan barang yang hilang, kita mencari ke sana-ke sini. Kalau mau mencari Tuhan, tidak perlu cari ke sana-ke sini. Sebaik-baiknya diam saja. Karena Tuhan tidak bergerak-tidak diam; tidak datang-pergi, tidak keluar-masuk, tidak naik-turun, yang naik-turun; keluar-masuk itu napas, napas bukan Tuhan. Lebih baik masuk ke tempat husnul khatimah. Orang tahu diam secara syariat saja, seperti melamun ketika susah. Diam yang dikatakan di sini bukan yang seperti itu, melainkan diam yang dikatakan Rasulullah sebagai "diam itu emas". Diam yang bernilai emas ini bagaimana? Inilah diam yang perlu dicari dan dipelajari. Diam emas yang diperintahkan Nabi inilah yang musti kita cari dan kita praktikkan. -Arifbillah- CAHAYA TUHAN BERNAMA ALLAH Ketika belum ada sesuatu, tentu belum ada yang mengatakan Tuhan. Kemudian Tuhan Berkehendak diri-Nya disebut Tuhan dan minta dikenal, maka diciptakanlah makhluk. Makhluk apa yang pertama diciptakan-Nya? Inilah yang perlu dikenal, yaitu Cahaya Diri-Nya Sendiri. Inilah Rahasia Diri-Nya, inilah yang bernama Allah. Jadi, Cahaya Diri Tuhan itulah yang bernama Allah, juga bernama Nur, juga bernama Rahasia. Insan dan semesta alam juga dari Cahaya Diri-Nya. Jika Cahaya itu diri kamu, sampailah kamu dan beserta Tuhanlah kamu. - Arifbillah - ۞ ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ مَثَلُ نُورِهِۦ كَمِشۡكَوٰةٍ۬ فِيہَا مِصۡبَاحٌۖ ٱلۡمِصۡبَاحُ فِى زُجَاجَةٍۖ ٱلزُّجَاجَةُ كَأَنَّہَا كَوۡكَبٌ۬ دُرِّىٌّ۬ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ۬ مُّبَـٰرَڪَةٍ۬ زَيۡتُونَةٍ۬ لَّا شَرۡقِيَّةٍ۬ وَلَا غَرۡبِيَّةٍ۬ يَكَادُ زَيۡتُہَا يُضِىٓءُ وَلَوۡ لَمۡ تَمۡسَسۡهُ نَارٌ۬ۚ نُّورٌ عَلَىٰ نُورٍ۬ۗ يَہۡدِى ٱللَّهُ لِنُورِهِۦ مَن يَشَآءُۚ وَيَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَـٰلَ لِلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيمٌ۬ (٣٥) Allah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca [dan] kaca itu seakan-akan bintang [yang bercahaya] seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, [yaitu] pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur [sesuatu] dan tidak pula di sebelah barat [nya], yang minyaknya [saja] hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya [berlapis-lapis], Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. An-Nur:35) -Arifbillah- KENAL DIRI KENAL ALLAH Man 'arafa nafsahu, faqad 'arafa Rabbahu; man 'arafa Rabbahu, fasadal jasad. Siapa kenal dirinya, kenallah ia akan Tuhannya; siapa kenal Tuhan, binasa jasadnya. Perkataan di atas tampaknya merupakan simpulan dari hadis qudsy berikut: Kuntu kanzan makhfiyyan fa aradtu an u'rafa khalaqtu 'l-khalq li-kay u'raf "Aku ialah khazanah (perbendaharaan) tersembunyi. Aku berkehendak untuk dikenal, maka Ku-ciptakan makhluk sehingga dengan-Ku mereka mengenal-Ku." Klausa dengan-Ku mereka mengenal-Ku ini ada penjelasannya pada Q.S. Hijr:29 فَاِذَا سَوَّيْتُهٗ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِيْ فَقَعُوْا لَهٗ سٰجِدِيْنَ Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan Aku telah meniupkan ruh-Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. Dari ayat ini diketahui bahwa diri manusia itu terdiri atas ruh, jasad, dan (belakangan timbul) nafs. Dari pertemuan ruh dan jasad ini Allah kehendaki timbul nafs pada manusia. Jadi diri kita itu keesaan tiga hal: ruh nafs (nafsu/jiwa/rasa "ada-diri") jasad Ruh berkehendak dengan kehendak Allah, sedangkan jasad berkehendak dengan kehendak nafsu yang juga dikompori bisik setan. وَمَاۤ اُبَرِّئُ نَفْسِيْ ۚ اِنَّ النَّفْسَ لَاَمَّارَةٌۢ بِالسُّوْٓءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيْ ؕ اِنَّ رَبِّيْ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang." [Q.S. Yusuf:53] Maka diri kita yang wajib dikenal itu tentu diri yang merupakan rahmat besar dari Allah, yaitu ruh sebab ruh kita ini Zat Allah alias Nur Ilahi. Hanya manusia (baik muslim maupun nonmuslim) yang ruhnya dari Nur Ilahi.. makanya malaikat dan jin diperintahkan bersujud pada Adam a.s. karena manusia itu dinobatkan sebagai khalifah di muka bumi: makhluk ketuhanan, bukan makhluk kehambaan. [Makanya aneh kalau ada ulama mengajarkan umat pakai jin-jin khadam untuk perlindungan diri atau untuk ini-itu, toh sudah ada ketuhanan pada diri manusia..sudah ada wa fii anfusikum 'afalaa tubsirun pada kita(Az-Zariyat:20-21), kenapa musti pakai-pakai jin pula?! Rusak deh akidah-syariah jadinya] وَفِى الْاَرْضِ اٰيٰتٌ لِّلْمُوْقِنِيْنَ ۙ وَفِيْۤ اَنْفُسِكُمْ ؕ اَفَلَا تُبْصِرُوْنَ Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? [Q.S. Az-Zariyat: 20-21] Kita sudah tahu diri yang wajib dikenal pada kita itu diri ruh. Kita sudah tahu ruh kita ini Zat Allah. Maka ketahuilah ruh kita alias Zat Allah/Nur Ilahi itu 'laysa kamitslihi syai'un', tidak sama dengan segala sesuatu. Ini buktinya: فَاطِرُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ ؕ جَعَلَ لَـكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَّ مِنَ الْاَنْعَامِ اَزْوَاجًا ۚ يَذْرَؤُكُمْ فِيْهِ ؕ لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ ۚ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ (Allah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri, dan dari jenis hewan ternak pasangan-pasangan (juga). Dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat. [Q.S. Asy-Syura: Ayat 11] هَلْ اَتٰى عَلَى الْاِنْسَانِ حِيْنٌ مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًـا مَّذْكُوْرًا Bukankah pernah datang kepada manusia waktu dari masa, yang ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? [Q.S. Al-Insan: Ayat 1] Ketahuilah juga ruh kita = Zat Allah = Nur Ilahi itu esa beserta Allah. Allah dan Zat-Nya itu esa; Pencipta Zat dengan Zat itu esa. Ilahi dan Nur Ilahi itu esa; Pemilik Nur dengan Nur itu esa: seperti Matahari dan cahayanya, tidak ada jarak-antara matahari dengan cahayanya. seperti api dengan panasnya, tidak ada batas-pemisah api dari panasnya. Mari lanjutkan bahasan kita ini, ruh kita Zat Allah Zat Allah esa dengan Allah jadi, ruh kita ini esa beserta Allah (billah) maka ruh kita itu berkehendak dengan Kehendak Allah (Iradat) Tapi jasad kita berkehendak dengan kehendak nafsu, jadi musti bagaimana? Sabar, ikuti uraian selanjutnya. Kembali ke topik, Man 'arafa nafsahu, faqad 'arafa Rabbahu Man 'arafa Rabbahu, fasadal jasad Siapa kenal dirinya, kenallah ia akan Tuhannya Siapa kenal Tuhan, binasa jasadnya Maksud frasa binasa jasad atau fana fillah ini bukan dengan cara memfana-fanakan diri, menafi-nafikan diri, meniada-tiadakan diri, mengosong-kosongkan diri, melenyap-lenyapkan diri, itu sih malah mempermudah jalan masuk jin-setan ke jasad sebagaimana banyak dipraktikkan oleh sebagian besar kalangan tasawuf-lalai dengan konsep huluul-ittihad, wahdatul wujud, maupun manunggaling kawulo-gusti-nya. Allah sudah menetapkan diri nafs kita ini ada. Mustahil kita mau meniada-tiadakan yang sudah Allah tetapkan adanya meskipun nafs kita ini sekadar wujud fana. Semakin kamu meniada-tiadakan diri nafsu, makin ada-lah dia meraja. Semakin kamu meniada-tiadakan diri, semakin zindik, kufur wal kafirlah kamu. Jihad melawan hawa nafsu (jihadunnafs) juga bukan dengan menemui ulama instan yang bisa melakukan pengosongan, pengisian, pembukaan, pengiriman atau transfer, sesuatu pada muridnya sehingga sang murid seketika bisa begini-begitu untuk ini-untuk itu. Ingat, ilmu yang instan-instan itu biasanya dari setan. Jihad melawan hawa nafsu itu jihad melawan diri sendiri. Artinya jihad itu berlangsung sepanjang hayat. Kamu selesai berjihad kalau kamu sudah mati. Namanya juga perjuangan menundukkan diri sendiri, maka pergulatannya berlangsung selama masih ada diri dan perjuangannya bersifat munfarid alias sendiri-sendiri alias dilakukan oleh diri masing-masing. Gunakanlah akalmu. Mana mungkin kamu percaya begitu saja pada ulama yang bisa seketika menyetel diri kamu? Seketika itu juga kamu berubah 180 derajat? Itu namanya cuci otak alias keimanan hipnosis. Hidayah dari Allah memang terjadi seketika, tetapi pada diri kamu tetap berlaku proses alami perubahan. Yang namanya proses itu sunatullah juga dan Allah mengubah kamu tanpa perubahan: artinya orang sekitarmu masih mengenalmu seperti dirimu sebelumnya, tetapi ada tambahan kesan kebaikan padamu. Tidak drastis. Apa bedanya mendadak saleh dengan mendadak sakti atau mendadak gila? Ingat, yang instan-instan itu kalau bukan dari nafsu, biasanya dari setan. Ulama atau mursyid yang sesungguhnya pasti meneladani Sang Nabi, yaitu hanya bersifat membimbing dan menunjukkan cara agar kamu bisa menang menundukkan hawa nafsumu sendiri berdasarkan Quran dan sunnah. Kalau keimanan hipnosis, adakah dalilnya?! Fana fillah itu bukan begitu caranya. Mengesakan diri pada Allah itu ada cara sahihnya. Bagaimana caranya? Lakukanlah perintah syariat. Apa itu Syariat? Syariat itu hal yang dikehendaki Allah bagi manusia, berlaku pada anggota jasad. Untuk apa bersyariat? Agar manusia--dengan suka maupun terpaksa--esa jasad dan nafsunya dengan ruh. Jasad dan nafsu esa dengan ruh, maka esalah zahir-batin kita beserta Allah (billah). Jadi penghambaan dan peribadatan itu sebenarnya pengesaan zahir-batin pada Yang Maha Esa. Sempurnanya syariat itu yang bagaimana? Diri kita itu ada ruh dan jasad (beserta nafs); zahir dan batin. Pada zahir, dalam syariat berlaku rukun fi'li (gerakan) dan rukun qawli (bacaan). Pada batin, dalam syariat berlaku rukun qalbi (hadir hati) Hadir hati (musyahadah) dalam ibadah itu bukan dengan menerjemahkan bacaan Arab dalam hati, bukan juga dengan membayang-bayangkan Allah berupa “alif-lam-lam-ha” atau makna "Tuhan" dalam lintasan pikiran berupa apa pun. Ingat, Man abdal Asma faqad kafar, Man abdal ma'na fa huwa munafiqun. Siapa menyembah Asma, maka ia kafir, Siapa menyembah makna, maka ia munafik. وَلِيَعْلَمَ الَّذِيْنَ نَافَقُوْا ۚ وَقِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا قَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ اَوِ ادْفَعُوْا ۚ قَالُوْا لَوْ نَعْلَمُ قِتَالًا لَّا تَّبَعْنٰكُمْ ؕ هُمْ لِلْكُفْرِ يَوْمَئِذٍ اَقْرَبُ مِنْهُمْ لِلْاِيْمَانِ ۚ يَقُوْلُوْنَ بِاَفْوَاهِهِمْ مَّا لَيْسَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ ؕ وَاللّٰهُ اَعْلَمُ بِمَا يَكْتُمُوْنَ ۚ "..dan untuk menguji orang-orang yang munafik, kepada mereka dikatakan, "Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah (dirimu)." Mereka berkata, "Sekiranya kami mengetahui (bagaimana cara) berperang, tentulah kami mengikuti kamu." Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran daripada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak sesuai dengan isi hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan." [Q.S. Ali 'Imran: 167] Hadir hati (musyahadah) itu dengan menundukkan diri nafsu. Diri nafsu itu berupa pikiran dan perasaan kamu. Maka yang disebut musyahadah pada Allah atau hadir hati ke hadirat Allah itu dengan mendiamkan pikiran dan perasaan. Kenapa mengingat Allah itu dengan mendiamkan pikiran dan perasaan? 'Kan sudah tahu, Zat saja sudah bersifat laysa kamitslihi syai'un, tidak sama dengan segala sesuatu yang bisa dipikir dan dirasa. Apalagi Rabbul izzati Sang Pencipta Zat, pastikan terlebih tidak bisa dipikir-pikir, terlebih tidak bisa dirasa-rasa. Dalam Kitab Nasaihul Ibad, Syaikh Nawawi al-Bantani mencantumkan sabda Nabi Saw., الصلا ة عما دالدين والصمت افضل , والصدقة تطفىء غضب الرب والصمت افضل , والصوم جنة من النار والصمت افضل , والجهادسنا م الدين والصمت افضل “Salat itu tiang agama, sedangkan diam itu lebih utama; sedekah itu dapat memadamkan murka Allah, sedangkan diam itu lebih utama; puasa itu benteng neraka, sedangkan diam itu lebih utama; dan jihad itu adalah puncak agama, sedangkan diam itu lebih utama.” (الصمت ارفع العبادة ( رواه الديلمى عن ابى هريرة “Diam adalah ibadah tingkat tinggi.” (H.R. Ad-Dailami dari Abu Hurairah). Itulah sebabnya dikatakan para arif billah, Man arafallaaha kalla lisanuhu "Siapa (sebenar-benar) mengenal Allah, kelu lisannya." kelu lisan ← diam pikiran dan perasaannya. Maka sempurna syariat itu, misalnya dalam salat: badan bergerak: berdiri-takbir-ruku-sujud-salam, mulut mengucap:bacaan yang disunnahkan, hati (pikiran dan perasaan) diam: kekal (billah) beserta Allah Yang Tidak Bisa Dipikir-pikir dan Tidak Bisa Dirasa-Rasa. Keadaan syariat yang sempurna itu fasadal jasad Maksudnya, kalau dalam setiap ibadah syariat kita apapun bentuknya (salat, tadarus, zikir, dsb.) kita pakai rukun qalbi "diam" itu, suatu hari Allah akan tunjukkan pada kita.. Allah akan karuniakan pada kita: Pada saat ibadah itu kita akan merasakan fasadal jasad atau "binasa jasad" yang dimaksud. Bukan jasad kita jadi hilang atau tidak kelihatan, melainkan kita masih melihat jasad kita, tetapi kita tidak merasakan berjasad lagi. Ujung-ujungnya nanti, pada kesadaran kita: hanya Allah saja Ada. Laa mawjudun Ilallaah. Laa ilaahaa ilaallaah. Inilah puncak billahi (beserta Allah). Inilah keadaan yang diisyaratkan dalam anjuran Muutu qabla anta muutu. Matikan diri (nafs)-mu sebelum mati. اَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَاَحْيَيْنٰهُ وَجَعَلْنَا لَهٗ نُوْرًا يَّمْشِيْ بِهٖ فِى النَّاسِ كَمَنْ مَّثَلُهٗ فِى الظُّلُمٰتِ لَـيْسَ بِخَارِجٍ مِّنْهَا ؕ كَذٰلِكَ زُيِّنَ لِلْكٰفِرِيْنَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar dari sana? Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang kafir terhadap apa yang mereka kerjakan. [Q.S. Al-An'am: Ayat 122] Kalau sudah billahi, di alam Allaahua'lam-lah kamu. Kasyaf jugalah kamu. Seisi alam dunia-akhirat terpandang semua. Kenapa bingung? Namanya juga di Allaahua'lam. PERINGATAN Puncak billah itu TUHAN-HAMBA ESA ← ini maksudnya bukan kita jadi Allah dan bukan Allah jadi kita. TUHAN-HAMBA ESA: Jauh tidak berjarak; dekat tiada antara dan tiada bersentuh. ESA: TUHAN BESERTA SEKALIAN MAKHLUK ITU SATU-SATUNYA. Pandai-pandai mengambil paham. Jangan tersalah paham. Dalam Islam, tidak pernah ada Tuhan menyurup ke makhluk. Dalam Islam, tidak pernah bisa makhluk jadi setara dengan Tuhan atau menjadi Tuhan. Camkan itu. Dalam Islam, tidak ada konsep lenyap aku, ada Tuhanku; lenyap Tuhanku, ada aku. Mengenal Allah tidak bisa dengan diri jasad maupun diri nafsu kita yang bersifat hadis (’barang kasar’ atau baharu). Mau tidak mau kita hanya bisa mengenal dan ‘sampai pada’ Allah melalui diri kita yang qadim, yaitu diri ruh (ruhul qudus) kita sendiri. Caranya dengan bersyariat yang disanding makrifat. Bersyariat yang disanding dengan rukun qalbi diam-. ← Dengan demikian, esalah jasad dan nafs pada ruh. Kenallah jasad dan nafs kita pada ruhnya sendiri. Kalau jasad-nafs mengenal ruhnya sendiri, sucilah zahir-batin kita karena ruh itu Kemahasucian Allah. Jangan lupa bahwa ruh itu Zat Allah alias Nur Ilahi yang bersifat Mahasuci. Kalau totalitas diri kita sudah suci, esalah dengan Yang Mahasuci. Jadi, jihad akbar setiap muslim yang sesungguhnya ialah berproses menjadi wujud ruhani yang bercahaya-cahaya meskipun masih tampak berupa jasad berkulit-berdaging-bertulang-berdarah. Supaya bisa total meneladani Rasulullah Saw.: ber-Mi`raj ke Sidratul Muntaha dengan dengan ruh-nafs-jasad sekaligus. Aamiinullaah. قُلْ اِنَّمَاۤ اَنَاۡ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰٓى اِلَيَّ اَنَّمَاۤ اِلٰهُكُمْ اِلٰـهٌ وَّاحِدٌ ۚ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْالِقَآءَ رَبِّهٖ فَلْيَـعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًـاوَّلَايُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖۤ اَحَدًا Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa." Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia menyekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya. As-syariatu bila haqiqatu, atilah; al-haqiqatu bila syariah, batilah Syariat tanpa hakikat, sia-sia; hakikat tanpa syariat, sesat yang nyata. Biar sedikit amal, yang penting mengenal. Setelah mengenal, semakin beramal. Inilah rangkuman garis besar tauhid (syariat-tarikat-hakikat-makrifat) yang disampaikan Nabi Muhammad Rasulullah Saw. taklama setelah tiba hijrah di Madinah. Inilah disebut Pusaka Madinah. Inilah tariqatul Muhammadiyah, tarikat yang penghulu utamanya Nabi Muhammad Rasulullah Saw. sendiri, bukan kelas umat. Tariqatul Muhammadiyah inilah Islam. Islam tanpa embel-embel firqah apapun. Bukan Sunni-Aswaja, bukan Syiah, bukan Wahhabi-salafy, bukan Sufisme-tasawuf, bukan Ahmadiyah, bukan IslamLib, bukan lain-lainnya. Islam saja. Islam. Ti-tik. -Arifbillah- ALLAH TIDAK BERTEMPAT Shadrul Islam, al-'Aalim, al-Ushuli al-Mutafannin, al-Imam Abu Manshur Abdul Qaahir bin Thoohir bin Muhammad at-Tamimi al-Isfarayini al-Baghdadi ada seorang ulama besar bermazhab Syafi`i dan antara pemuka al-'Asyairah yang masyhur. Beliau hidup sebelum Ibnu Taimiyyah al-Harrani di mana beliau wafat dalam tahun 429H. Beliau sezaman dengan Imam Muhammad al-Juwayni (ayahanda Imam al-Haramain Abdul Malik bin Muhammad al-Juwayni, guru Hujjatul Islam al-Ghazali) dan termasuk generasi ketiga para Imam al-'Asyairah. Antara ulama yang menjadi gurunya ialah Imam Abu Ishaq al-Isfarayini yang masyhur itu. Imam Abu Manshur 'Abdul Qaahir al-Baghdadi menuntut ilmu sehingga menguasai 17 cabang ilmu dengan baik, sehingga beliau dipuji oleh Syaikhul Islam Abu Utsman as-Shabuni sebagai " salah seorang Imam Ushuluddin yang paling utama dan berotoriti mengenai Islam dengan ijma` ulama-ulama kenamaan dan berwibawa. Antara kemegahan beliau ialah Imam al-Baihaqi, Imam Abul Qasim al-Qusyairi dan Imam Nashir al-Mirwazi adalah antara murid-murid beliau. Imam besar ini juga meninggalkan banyak karangan yang bernilai, antaranya: 1. Bulughul Mada min ushulil huda; 2. Fadaih al-Karramiyyah; 3. al-Farqu bainal firaq; 4. al-Fakhir fil awail wal awakhir; 5. al-'Imad fi mawaritsil 'ibaad; 6. Ibtal al-qawl bit tawallud; 7. Manaqib al-Imam asy-Syafi`i; 8. Masyariq an-Nur wa Madarik as-Surur fil kalam; 11. Syarh Miftah Ibn al-Qass; 13. Nasikh al-Quran wa mansukhhuh' 15. Naqd Abi Abdillah al-Jurjani fi tarjih Madzhab Abi Hanifah; 16. al-Qadhaya fid dawr wal washoya; 17. Syarh hadits Iftiraq Ummati; 19. Tafdhil al-faqir ash-shobir 'ala al-ghani asy-syakir; Berhubung persoalan "di mana Allah?", Imam Abdul Qaahir bin Thoohir bin Muhammad al-Baghdadi menulis dalam karangannya yang masyhur "al-Farqu baina al-Firaq" pada fashal ke 3 dalam menerangkan segala usul yang telah disepakati (telah diijma`kan) oleh Ahlus Sunnah wal Jama`ah pada halaman 256 menulis antaranya: Dan Ahlus Sunnah wal Jama`ah telah ijma` bahawasanya Allah s.w.t. tidak bertempat dan tidak lalu atas-Nya masa, bersalahan dengan pegangan golongan al-Hisyaamiyyah dan al-Karaamiyyah yang mendakwa Allah bertempat di arasyNya. Dan telah berkata Amirul Mu'minin 'Ali r.a.: "Sesungguhnya Allah ta`ala telah menciptakan arasy untuk menzahirkan qudratNya dan bukan untuk dijadikan tempat bagi zatNya". Baginda juga berkata: "Dan adalah Allah ta`ala wujud tanpa tempat dan Dia sekarang atas sebagaimana sediakalanya". Kesimpulannya, mudah sahaja: Kewujudan Allah berbeza dengan kewujudan makhluknya. Antara perbezaannya ialah wujud Allah tanpa bertempat dan wujud makhluk mengambil tempat dalam bahasa tok-tok guru dulu "mengambil bagi lapang". Bagaimana orang yang berakal boleh menempatkan tempat bagi Allah, sedangkan tempat itu juga satu makhluk yang baharu. Jika dikatakan Allah di atas arasy, maka yang dimaksudkan dengan atas itu adalah kadar kedudukan atau maqamnya yang Maha Tinggi dan bukannya difahami secara zahir sebagai tempat kedudukannya. Insya-Allah, di lain posting kita akan lihat tafsiran para ulama kita berhubung dengan ayat-ayat dan hadits-hadits sifat ini. Kita beriman dengan firman Allah bahawa Dia beristiwa` atas arasy sebagaimana difirmankanNya, tetapi tidaklah dikita ketahui makna hakikat firmanNya itu dan kita serahkan maksudnya kepada Allah semata-mata tanpa pergi lebih jauh daripada itu. Inilah pegangan kebanyakan ulama Salaf. Tetapi jika ada ulama yang mentakwilkan istiwa` itu sebagai menguasai, maka tidaklah boleh dikeji sebagai silap, kerana hakikatnya memanglah Allah yang menguasai arasy dan sekalian makhluk ini. Hanya yang sesat ialah orang yang mengatakan bahawa Dzat Allah itu memang berada atau bertempat di arasy, maka itulah pendapat yang salah dan sesat. Maha Suci Allah daripada mengambil bagi lapang. Penulis Asal : Abu Muhammad (Bahrus Shofa) Huraian Lanjut "Dimana Allah" - Pegangan Ahlus Sunnah wal Jamaah Assalamu'alaikum. Segala Puji bg. Allah Yg. Maha Esa, Selawat & Salam Buat Nabi Junjungan Muhammad S.A.W. Merujuk posting terdahulu mengenai "Dimana Allah", maka di sini kubawakan akan hujahku agar jelas 'itiqadku buat teman2 semua. Renungkanlah dgn hati yg terbuka kerana kita semua hanyalah pada jalan meng-Esa-kan Allah. Tiadalah niatku untuk berdebat atau menjadi juara akan pada perkara ini. hanyalah menyatakan akan pegangan sebenar ahlus sunnah waljama'ah. Dan berpegang akan Perintah Kekasih kita Nabi Muhammad S.A.W. "Ballighu minni lau al- ayat" . Mudah2an mendapat Rahmat Allah akan kita sekeliannya. Disini ku nukilkan huraian lanjut mengenai perkara tersebut yang telah dihuraikan oleh saudaraku Abu Muhammad. Wassalam. Antara dalil yang biasa dikemukakan oleh puak hasywiyah bagi menetapkan Allah bertempat di langit ialah Hadits Jariah. Maka dijajalah hadits ini ke sana ke mari untuk menegakkan pegangan mereka bahawa Allah itu mengambil tempat di langit, subhanAllah. Maka ramai, kalangan awam terpengaruh dengan kalam fahisy mereka ini, serta beri'tiqad bahawa Allah itu di langit, subhanAllah. Tidaklah mereka mengetahui bahasan dan penjelasan dan keterangan daripada para ulama kita berhubung dan mengenai hadits tersebut, sama ada kerana memang mereka tidak mengetahuinya atau sengaja buat-buat tak tahu. Ulama-ulama kita sebenarnya telah membahaskan dengan panjang lebar akan hadits ini dari segala aspeknya, baik sudut riwayat dan thuruqnya, sehinggalah kepada perbezaan lafaznya antara satu riwayat dengan riwayat yang lain kerana Hadits Jariah ini mempunyai riwayat yang berbilang-bilang. Untuk posting ini aku nukil yang diriwayatkan Imam Muslim dalam "al-Jami` ash-Shohih" jilid 1, juzuk 2, halaman 70 - 71, kitab al-masaajid wa mawaadhi` ash-sholaah, bab tahriim al-kalaam fi ash-sholaah wa nasakha maa kaana min ibaahatih. Ianya adalah sebahagian daripada hadits yang panjang yang menceritakan kisah Sayyidina Mu`aawiyah bin al-Hakam as-Sulamiy r.a. mentasymit seseorang yang bersin ketika bersholat di belakang Junjungan Nabi s.a.w., lalu selesai sholat dia ditegur oleh Junjungan Nabi s.a.w. dengan menyatakan bahawa dalam sholat tidak boleh berbicara selain daripada tasbih, takbir dan pembacaan al-Quran. Setelah itu Sayyidina Mu`aawiyah telah bertanya beberapa persoalan kepada Junjungan Nabi s.a.w. dan di antaranya ialah mengenai permerdekaan seorang hambanya (jariahnya) yang telah ditempelengnya. Untuk ringkas aku tidak nukilkan keseluruhan hadits tersebut, cuma aku letakkan di sini bahagian akhirnya berhubung dengan kisah jariah tersebut. Pada halaman 71, jilid 1, juzuk 2 kitab tersebut, Imam Muslim rhm. meriwayatkan, antara lain, sebagai berikut: "(Telah berkata Mu`aawiyah bin al-Hakam as-Sulamiy) Aku mempunyai seorang jariah yang menggembala kambingku di sebelah bukit Uhud dan al-Jawwaniyyah. Suatu hari ketika aku menjengoknya, tiba-tiba seekor serigala telah melarikan seekor kambing dari gembalaannya. Dan aku sebagai seorang manusia menjadi marah sebagaimana manusia lainnya, lalu aku menampar mukanya sekali. Kemudian aku mendatangi Junjungan Nabi s.a.w. dan baginda memandang serius perbuatanku yang sedemikian (yakni menampar muka si jariah tersebut). Aku berkata kepada Junjungan Nabi s.a.w.: "Wahai Rasulallah, adakah kumerdekakan dia", (yakni sebagai menebus kesilapan menampar tadi, dia hendak memerdekakan si jariah tersebut) ? Junjungan Nabi s.a.w. menyuruh agar si jariah didatangkan kepada baginda. (Apabila si jariah berada di hadapan Junjungan Nabi s.a.w.), Junjungan Nabi s.a.w. bertanya kepadanya: "Di manakah Allah ?" Jariah tersebut menjawab: " Di langit." Junjungan s.a.w. bertanya lagi: "Siapakah aku?", jariah tersebut menjawab: "Engkau Rasulullah." Junjungan bersabda: "Merdekakanlah dia, bahawasanya dia seorang wanita yang beriman." Itulah matan hadits mengenai jariah tersebut, manakala di pinggir atau tepi halaman yang sama tercatat nota tepi seperti berikut: Perkataannya (yakni perkataan dalam matan hadits) - "Dia (si jariah) berkata: "Di langit," - yakni (sebagai membuktikan) bahawasanya dia bukan termasuk dalam golongan yang menuhankan selain Allah yang Maha Gagah yang kegagahan dan keperkasaanNya mengatasi segala hamba dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupaiNya. Dan dikatakan bahawasanya tafsir bagi firman Allah : "Patutkah kamu merasa aman (tidak takut) kepada Tuhan (yang pusat pemerintahanNya) di langit itu ..." (al-Mulk: 16 - Tafsir Pimpinan ar-Rahman), tafsir "Dia yang di langit" itu ialah Allah ta`ala dengan takwil kekuasaanNya (yakni ditafsirkan dengan takwil seperti dikatakan "Allah yang (kekuasaanNya) di langit" atau "Allah yang (pusat kekuasaanNya atau pemerintahanNya) di langit", bukan hanya ditafsirkan dengan semata-mata makna "Allah yang di langit") Sekarang, mari ikhwah lihat apa perkataan Imam an-Nawawi rhm. berhubung hadits ini. Komentar Imamuna an-Nawawi ini terdapat dalam syarahnya yang masyhur atas Shohih Muslim iaitu "Shohih Muslim bi syarhi al-Imam an-Nawawi", jilid 3, juzuk 5, halaman 24, di mana Imam an-Nawawi menyatakan, antara lain:- Sabda Junjungan Nabi s.a.w. ("Di manakah Allah ?" Jariah tersebut menjawab: " Di langit." Junjungan s.a.w. bertanya lagi: "Siapakah aku?", jariah tersebut menjawab: "Engkau rasulullah." Junjungan bersabda: "Merdekakanlah dia, bahawasanya dia seorang wanita yang beriman."). Hadits ini adalah daripada hadits-hadits sifat yang dalam memahaminya ada 2 mazhab (jalan atau cara) yang mana kedua-duanya telah dinyatakan terdahulu dalam kitab al-iman (yakni pada awal atau permulaan kitab). Jalan yang pertama ialah beriman dengannya (yakni dengan hadits tersebut) tanpa mendalami apa yang dimaksudkannya disertai dengan i'tiqad bahawasanya Allah ta`ala itu tidak menyerupai sesuatu apa pun dan mensucikanNya daripada segala tanda-tanda atau sifat-sifat makhluk. Jalan yang kedua pula ialah mentakwilkan hadits tersebut dengan apa yang layak bagi Allah. Maka sesiapa yang berpegang dengan jalan yang kedua ini, berpeganglah dia dengan bahawasanya yang dimaksudkan dengan hadits tersebut ialah Junjungan Nabi s.a.w. menguji jariah tersebut untuk mengetahui sama ada dia seorang ahli tawhid yang mengakui Maha Pencipta, Maha Pentadbir dan Maha Pembuat adalah Allah semata-mata, yang mana Dialah Tuhan yang apabila seseorang memohon kepadaNya maka dia menghadap ke langit sebagaimana apabila seseorang sembahyang dia menghadap kaabah, dan tidaklah perlakuan sedemikian ini (yakni menghadap ke langit ketika berdoa atau menghadap kaabah ketika bersholat) menunjukkan bahawasanya Allah terbatas di langit sebagaimana juga tidaklah Dia terbatas pada jihat (arah) kaabah (yakni Allah tidak dibatasi oleh sebarang tempat kerana Dia Maha Suci daripada segala tempat dan arah, subhanAllah). Bahkan perbuatan menghadap ke langit itu adalah kerana langit itu adalah kiblat orang yang berdoa sebagaimana kaabah itu kiblat bagi orang yang sholat. Atau si jariah tadi ialah seorang penyembah segala berhala yang menyembah berhala-berhala tersebut di hadapan mereka (yakni di sisi atau bersama mereka di bumi), maka tatkala dia menjawab: "Di langit," diketahuilah bahawasanya dia seorang ahli tawhid dan bukannya seorang penyembah berhala (yakni jika jariah tersebut seorang penyembah berhala, nescaya dia tidak akan menjawab bahawa Allah Tuhannya di langit, tetapi dia akan menunjukkan berhala yang disembahnya yang berada bersamanya di bumi ini). Telah berkata al-Qaadhi 'Iyaadh: "Tidak ada khilaf di kalangan umat Islam sekaliannya (qaathibatan), ahli-ahli fiqh mereka, ahli-ahli hadits mereka, ahli-ahli kalam mereka, para pemuka dan pengikut mereka bahawasanya segala nas yang pada zahirnya menyebut Allah di langit seperti firman Allah ta`ala: "Patutkah kamu merasa aman (tidak takut) kepada Tuhan (yang pusat pemerintahanNya) di langit itu, menunggang-balikkan bumi menimbus kamu,.....( al-Mulk: 16 - Tafsir Pimpinan ar-Rahman) dan ayat-ayat yang seumpamanya tidaklah diertikan atau dimaknakan secara zahir bahkan ditakwilkan di sisi mereka semua (yakni semua umat Islam, salaf dan khalaf semuanya mentakwilkan nash-nash ayat dan hadits tersebut, cuma kebanyakan ulama salaf mentakwilkannya secara ijmal sahaja dan mentafwidhkan makna hakikinya kepada Allah semata-mata, sekali-kali tidak mereka berpegang dengan makna zahir ayat dan hadits tersebut, bahkan mereka takwilkan maknanya dengan mengakui kelemahan fikiran mereka untuk memahami makna hakikinya lalu mereka mensucikan Allah dari menyerupai makhlukNya serta menyerahkan bulat-bulat makna dan pengertian ayat atau hadits tersebut kepada Allah s.w.t. sahaja, manakala kebanyakan ulama khalaf mentakwilkannya dengan tafshil). Diharap ikhwah yang budiman boleh memahami akan perkara ini dengan sebenar-benar faham. Jelas sudah mengikut Imam an-Nawawi yang menukilkan kalam Qadhi 'Iyaadh yang menyatakan bahawa dengan ayat-ayat atau hadits-hadits sifat yang mutasyabbihat, maka ianya ditanggapi dengan 2 cara atau kaedah, iaitu ditakwilkan secara ijmal dengan mentanzihkan Allah daripada menyerupai makhlukNya yang baharu dan ditafwidhkan maknanya terus kepada Allah semata-mata, tanpa sebarang komentar. Ini yang diisyaratkan oleh Imam Ibnu Hajar al-'Asqalaani yang menyebut dalam "Fathul Bari" bahawa Imam al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan sanad yang shohih daripada Imam Ahmad bin Abi al-Hawaari bahawasanya Imam Sufyan bin 'Uyainah rhm berkata: "Segala sifat yang difirmankan Allah bagi diriNya dalam al-Quran, maka tafsirannya ialah pembacaan ayat tersebut dan diam daripada membicarakannya." Hal ini jugalah dinyatakan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam "Fatawa Haditsiyyah" yang menyatakan bahawa sesungguhnya khilaf ulama salaf dengan ulama khalaf hanyalah pada penggunaan takwil tafshil sahaja, di mana ulama salaf lebih mengutamakan takwil secara ijmal dan mendiamkan diri daripada berbicara lebih lanjut mengenainya kerana keelokan zaman mereka itu menyebabkan perbahasan panjang lebar mengenai hal ini tidak diperlukan. Tetapi para khalaf mengutamakan takwil secara tafshil kerana zaman mereka telah banyak manusia-manusia yang rosak, ahli-ahli bid`ah dan sebagainya. Untuk memperjelaskan lagi, yang dimaksudkan dengan takwil ijmal itu ialah lencongan makna kalimah dengan ringkas tanpa memberi erti alternatifnya. Contoh, kalimah al-yad yakni tangan, jika dikatakan "Tangan Allah atas segala tangan mereka", maka takwil ijmalnya ialah kalimah tangan di sini dilencongkan maknanya dari pengertian biasa sebagai satu anggota atau satu juzuk tubuh badan kepada makna selain pengertian biasa tersebut, iaitu ianya bukan membawa erti satu anggota atau satu juzuk daripada Dzat Allah yang Maha Mulia, tetapi ianya adalah satu sifat yang tidak kita ketahui akan hakikatnya dan Allah sahaja yang mengetahui hakikatnya. Maka tangan yang asal maknanya satu juzuk anggota dilencongkan maknanya kepada satu sifat yang lemah akal kita untuk memahami hakikatnya. Inilah takwil ijmal perlakuan kebanyakan salaf. Tidaklah mereka beri'tiqad bahawa Allah itu bertangan dengan tangan yang layak bagi Dzatnya. Ini bukan i'tiqad para salaf, tetapi i'tiqad orang-orang yang mengaku salaf zaman ini. Bila salaf kata tangan Allah, ia merujuk kepada satu sifat dan bukan satu juzuk atau satu anggota daripada Dzat yang Maha Mulia, subhanAllah, Maha Suci Allah daripada berjuzuk-juzuk dan beranggota-anggota. Kaedah ini memang lebih selamat (aslam), kerana hanya Allah sahaja yang Maha Mengetahui, tetapi bagi kalangan awam yang hanya duduk mendengar - dengar sahaja mungkin dikhuathiri membawa fitnah kerana awam akan memahami kalimah tangan itu dengan makna lazim iaitu satu anggota, lalu beri'tiqadlah si awam bahawa Allah juga beranggota kerana mempunyai tangan, cuma tanganNya tidaklah seperti tangan makhluk, iaitu tangan yang layak bagi DzatNya, subhanAllah, ini tidak lain melainkan i'tiqad hasywiyah dan mujasimah yang mentasybih serta mentajsimkan Allah, subhanAllah. Oleh itu, apabila sampai zaman khalaf, di mana manusia-manusia terutama golongan awam sudah mengutamakan dunia daripada akhirat, di mana banyak juhala` berbanding 'ulama, maka para Khalaf yang merupakan pewaris para salaf mentakwilkan ayat-ayat dan hadits-hadits mutasyabbihaat ini dengan takwil tafshil demi menutup jalan bagi awam untuk berfikir yang bukan-bukan terhadap Dzat Allah yang Maha Mulia. Maka ditakwilkan tangan itu kepada kekuasaan dan sebagainya, maka bila dikatakan "Tangan Allah di atas segala tangan mereka", ditakwilkanlah secara tafshil sebagai "Tangan yakni kekuasaan Allah mengatasi segala kekuasaan mereka". Maka terhindarlah orang awam daripada berfikir yang bukan-bukan, oleh itu dikatakan bahawa jalan khalaf ini lebih ahkam yakni lebih mantap kerana ianya memantap dan menetapkan pegangan awam serta mencegah mereka daripada mengkhayal-khayalkan sifat yang tidak layak bagi Allah, seperti menyerupai akan segala makhluk yang baharu. Harap segala ikhwan, baik lelaki maupun perempuan, khuntsa pun jika ada, faham betul-betul akan bahasan ini. Jika masih belum faham, maka diam itu keselamatan sebagaimana sabdaan Junjungan Nabi s.a.w. : man shomata najaa (yakni "Sesiapa yang mendiamkan diri, selamat"), dan duduklah tuan dan puan, sidi dan siti di hadapan para ulama tuan-tuan guru dengan mengaji menadah segala kitab peninggalan para ulama salaf dan khalaf. Sesungguhnya ilmu itu cahaya, bertambah ilmu nescaya bertambah cahaya, insya-Allah, tapi syaratnya hendaklah ilmu yang naafi` yang bermanfaat, bukan ilmu semata-mata ilmu untuk berjidal dan bermegah-megah. Berbalik kepada hadits jariah tadi, maka selain penjelasan di atas, ada lagi penjelasan dan keterangan lain daripada para ulama kita dari berbagai aspek bahasannya. Dari semua penjelasan tersebut, maka mereka menyimpulkan bahawa apa yang dimaksudkan oleh hadits tersebut bukanlah menetapkan tempat bagi Allah. Oleh itu, sesiapa yang mengatakan bahawa Allah itu bertempat di sesuatu tempat seumpama langit, maka menyalahilah dia akan pegangan Ahlus Sunnah wal Jama`ah, jadi janganlah dok perasan bahawa dirinya pembela Ahlus Sunnah wal Jama`ah. Dan tidaklah tepat baginya untuk menjadikan hadits jariah ini sebagai hujjah untuk mensabitkan bahawa Allah bertempat di langit. Apatah lagi hadits ini walaupun shohih tidaklah mencapai darjat mutawatir. Maka apa caranya dia hendak menjadikan hadits ini sebagai hujjahnya untuk menyesatkan orang yang tidak sependapat dengan i'tiqad hasywiyahnya itu. Perkara ini adalah antara kesimpulan yang telah ditekan dan diperjelaskan oleh mantan Mufti Tunisia, Syaikh Muhammad Mukhtar as-Salaami (hafizahUllah). Bahkan, jika dilihat "Shohih Muslim", kita dapati bahawa Imam Muslim rhm sendiri tidak meletakkan hadits ini dalam kitab al-iman atau bab-bab yang berhubung dengan keimanan dan pegangan aqidah tetapi beliau meletakkannya dalam bab fiqh berhubung hukum hakam sembahyang iaitu kitab al-masaajid wa mawaadhi` ash-sholaah, bab tahriim al-kalaam fi ash-sholaah wa nasakha maa kaana min ibaahatih (kitab mengenai masjid-masjid dan tempat-tempat sembahyang, bab haram berkata-kata dalam sembahyang serta menasakhkan riwayat yang mengharuskan berkata-kata dalamnya). Maka isyaratnya ialah hadits ini hanyalah untuk dijadikan hujjah dalam bab-bab fiqh semata-mata. Menjadikannya sebagai hujjah dalam mensabitkan secara qathi`e akan usul aqidah menunjukkan lemahnya si penghujjah itu daripada memahami uslub dan kaedah dalam menetapkan 'aqidah pegangan umat ini. Allahu a'lam Dicatat oleh Abu Muhammad Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata : إنه تعالى كان ولا مكان فخلق الـمكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه الـمكان لا يجوز عليه التغيِير فى ذاته ولا في صفاته “Sesungguhnya Allah ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia (Allah) menciptakan tempat, sementara Dia (Allah) tetap atas sifat azali-Nya, sebagaimana Dia (Allah) ada sebelum Dia (Allah) menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”. [Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin –Jilid 2-halaman 36]. Ke-4 ulama salaf dari 4 mahzab ijma' untuk tidak dimaknai secara dhohir ayat-ayat mutasyabihat, meyakini dengan apa yang diturunkan Allah dengan apa adanya,tidak menta'wilnya dan tidak menayakan bagaimananya. Rujukan dari imam syafi'i Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata : إنه تعالى كان ولا مكان فخلق الـمكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه الـمكان لا يجوز عليه التغيِير فى ذاته ولا في صفاته “Sesungguhnya Allah ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia (Allah) menciptakan tempat, sementara Dia (Allah) tetap atas sifat azali-Nya, sebagaimana Dia (Allah) ada sebelum Dia (Allah) menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”. [Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin –Jilid 2-halaman 36]. Kemudian tentang hadist jariah : Inilah pemahaman Imam Syafi’i tentang Hadits Jariyah : Berkata Imam asy-Syafi’i –rahimahullah- : واختلف عليه في إسناده ومتنه، وهو إن صح فكان النبي - صلى الله عليه وسلم - خاطبها على قَدرِ معرفتها، فإنها وأمثالها قبل الإسلام كانوا يعتقدون فيالأوثان أنها آلهة في الأرض، فأراد أن يعرف إيمانها، فقال لها: أين اللَّه؟ حتى إذا أشارت إلى الأصنام عرف أنها غير مؤمنة، فلما قالت: في السماء، عرفأنها برئت من الأوثان، وأنها مؤمنة بالله الذي في السماء إله وفي الأرض إله، أو أشار، وأشارت إلى ظاهر ما ورد به الكتاب. “Dan telah terjadi khilaf pada sanad dan matan nya (hadits jariyah), dan seandainya shohih Hadits tersebut, maka adalah Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepada hamba tersebut menurutkadar pemahaman nya, karena bahwa dia (hamba) dan kawan kawan nya sebelum Islam, merekameyakini bahwa berhala adalah Tuhan yang ada di bumi, maka Nabi ingin mengetahui keimanan nya,maka Nabi bertanya : “Di mana Allah?” sehingga apabila ia menunjuk kepada berhala, Nabimengetahui bahwa ia bukan Islam, maka manakala ia menjawab : “Di atas langit” Nabi mengetahui bahwa ia terlepas dari berhala dan bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan dilangit dan Tuhan di bumi, atau Nabi mengisyarah dan ia mengisyarah kepada dhohir yang datangdalam Al-Quran”. Lihat Kitab Tafsir Imam asy-Syafi’i pada surat al-Mulk -قال الله عزَّ وجلَّ: أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ dan Lihat Kitab Manaqib Imam Syafi’i jilid 1 halaman 597 karangan Imam Baihaqqi, pada Bab: -ما يستدل به على معرفة الشَّافِعِي بأصول الكلام وصحة اعتقاده فيها- -Arifbillah- TAUHID KASYAF Tauhid itu mengesakan segala sesuatu kepada Allah Swt. Maka dalam tauhid, wajib kita paham dahulu tentang Zat-Sifat-Asma-Af'al Allah. Karena ilmu tauhid itu terdiri atas Tauhidul Zat, Tauhidul Sifat, Tauhidul Asma, dan Tauhidul Af'al. Apabila paham hal ini, akan berhasillah musyahadah kamu. Kalau berhasil jalan musyahadah kamu, akan ketemulah kamu pada dirimu sendiri kasyaf qalbi dan kasyaf syir. Ilmu kasyaf diisyaratkan dalam Quran Surah Al-Kahfi ayat 65-82, yaitu tentang pertemuan Nabi Khidr عليه السلام dan Nabi Musa عليه السلام. Di pengajian Tauhid Hakiki Pusaka Madinah, ilmu kasyaf ini diberi sebutan sesuai dengan pemberi ijazahnya, yaitu ilmu firasatan Nabi Khidr. Memang di luar sana banyak yang mengaku-aku berguru dari Nabi Khidr, tetapi yang benar bertemu bisa membedakan dan bisa mendeteksi pengakuan palsu itu. Kasyaf dalam pengertian tauhid hakiki ialah terbukanya hijab/pembatas antara seorang hamba dengan Tuhannya sehingga ia dipandangkan Allâhﷻ perihal hakikat kenyataan di sekelilingnya. Selain dipandangkan, bahkan si ahlul kasyaf ini pun digerakan-Nya. Perhatikan sandaran dalil berikut: “Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan perang kepadanya, dan hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan, jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan kebaikan, maka Aku mencintai dia, jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-Ku, pasti Ku-lindungi. Dan Aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya.” (H.R. Bukhari 6021) Masih sulit memahaminya? Baiklah. Cermati i`tibar (analogi) berikut ini: Ahlul kasyaf ialah orang² yang hatinya bersih sebening air paling bening karena ia selalu menjaga agar hatinya tidak bersangka-sangka terhadap apapun; kepada siapa pun. Surah Al-Hujurāt [49]:12 يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرً۬ا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٌ۬ۖ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. Qalbun mu’min baitullah, ‘hati orang mukmin itu istana Allāhﷻ’ (H.R. Abu Dawud). Nah, kalau hati kita tidak bersangka-sangka, maka ia laksana air bening yang tembus-menembus. Perhatikan gambar: saking beningnya air dalam gelas, ia tidak menghalangi langit biru, tipisnya awan, bersitan cahaya matahari, bahkan dahan pohon kelapa di belakangnya. Itulah yang disebut pandangan tembus-menembus. Pandangan Tembus-menembus Seperti itulah para `arif billāḥ menjadi cermin yang memantulkan keaslian orang² di sekitarnya. Bukan karena `arif billāḥ tersebut mencari² tahu pakai nafsu (seperti cara para dukun ahli terawang dan ahli ngimpleng yang dibodohi informasi palsu dari jin itu), melainkan ia diberitahu Allâhﷻ langsung melalui sirr hatinya. Diberitahu oleh Allâhﷻ secara langsung? Memang bisa? Sangat bisa. Tentu saja bisa. Karena ada 4 jenis bisikan dalam hati. Diberitahu oleh Allâhﷻ secara langsung itu seperti apa hal-keadaannya? Perhatikan gambar berikut sebagai i`tibar (analogi) untuk memudahkan paham. "Diam adalah ibadah tingkat tinggi." (H.R. Ad-Dailami) Air tergenang yang diam ketika tertetesi seperti pada gambar, niscaya si air tersebut akan menerima gelombang ke sekujur jasad airnya. Betul 'kan?! Nah, kalau hati kamu tidak bersangka-sangka, artinya hati kamu diam seperti air tergenang yang diam tadi. Ketika Allâhﷻ memberi petunjuk-Nya, niscaya sekujur jiwa-ragamu akan menerima informasi Ilahiyah tersebut. Logis? Sangat logis! Adīnul aqli. Bagaimana cara mempraktikannya dalam keseharian? Pasang rukun qalbi salat di dalam dan di luar salat. Karena yang disebut `ulil albāb itu orang² yang mengingat Allâhﷻ dalam setiap keadaan (Q.S. Al-`Imrān [3]: 190-191). اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِ ۚ ۖ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ ۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًا ۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (yaitu) orang-orang yang mengingat Allāh sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka. [Q.S. Al-Imran:190-191] Rukun qalbi salat itu seperti apa? Pembuktian Nyata (Mu`anayah) Ilmu Kasyaf di Keseharian Kalau hatimu senantiasa berkekalan pada Allâhﷻ dengan mengamalkan rukun qalbi salat di keseharian, niscaya kamu laksana cermin yang memantulkan keaslian orang² di sekitarmu. Allâhﷻ akan tunjukkan padamu siapa di antara kawan-kawanmu yang benar-benar ikhlas dan mana yang munafik paling culas; mana yang benar-benar amanah dan mana yang pengkhianat paling samar. Allâhﷻ menunjukkannya padamu melalui diri-diri mereka sendiri. Orang² yang gerak-geriknya atas dorongan nafsu akan senantiasa gelisah dan tidak nyaman berada di dekatmu dan cepat atau lambat mereka tidak akan tahan menyembunyikan keaslian dirinya sendiri terhadapmu. Bisa melalui kebohongan dan fitnah yang terbongkar. Bisa juga melalui tindakan² bodohnya yang hina-memalukan terhadapmu. Bisa juga melalui dalih-dalih dalam lisan santun dan gerak-gerik sopan pada bahasa tubuhnya yang palsu. Akhlaqul karimah kelas kosmetik belaka. Bagaimana jika sesama ahlul kasyaf berjumpa? Di situlah nikmat ukhuwwah islamiyyah dengan akhlaqul karimah yang asli terjadi dan dirayakan. Dalam situasi apa pun, seorang `arif billāḥ tidak menderita kerugian sama sekali sebab dirinya sudah tertempa dengan mental alḥamdulillāh `alā kulli hāl alias nothing to lose. Semakin bersyukurlah ia kepada Allâhﷻ dihindarkan dari pergaulan dengan manusia-manusia di bawah standar seperti tadi, yaitu manusia-manusia yang penuh kepalsuan, durhaka, pengkhianat, pendendam, dan pendengki; sebagaimana diisyaratkan sebaliknya dari hadis berikut ini: “Ya Rasulullâh! Siapakah orang yang terbaik itu? Maka beliau menjawab: yaitu orang mukmin yang bersih hatinya. Maka ditanyakan lagi: apakah artinya orang yang bersih hatinya itu wahai Rasulullâh? Beliau lalu menjawab: ialah orang yang takwa, bersih tidak ada kepalsuan padanya, tidak ada kedurhakaan, pengkhianatan, dendam dan kedengkian.” (H.R. Ibnu Majah) Ketika semua itu terbongkar sendiri, di situlah si ahlul kasyaf sangat layak dan berhak merendahkan manusia-manusia receh itu sesuai dengan keperluan situasinya. Kalau Allâhﷻ sudah berkehendak menghinakan seseorang, siapa yang sanggup menahan-Nya? -Arifbillah- TIAP INGIN ADALAH NAFSU "Semua manusia binasa, kecuali orang berilmu, orang berilmu pun binasa, jika tidak mengamalkan ilmunya, orang yang mengamalkan ilmu pun binasa, jika tidak disertai ikhlas, orang ikhlas pun binasa, jika masih merasa ke-aku-an diri : masih ada maksiat batin. Setiap keinginan adalah nafsu. Kata nafsu dalam bahasa Indonesia diserap dari kata bahasa Arab an-nafs yang bermakna "diri" atau "jiwa". Dalam perkembangan pragmatiknya, kata nafsu terkait erat dengan konsep ego atau "ke-aku-an". Yang dikatakan nafsu itu adalah keinginan. Menginginkan surga itu nafsu. Maukah kamu salat ber-imam pada orang yang beribadah dengan nafsu? Kita dipersilakan menjadi imam salat berjamaah lalu merasa dalam hati bahwa diri ini memang layak mengimami jemaah, merasa ada diri itu najis batin. Maukah kamu ber-imam pada orang yang batinnya bernajis? Dalam ibadah ada rukun fi'li [gerakan], qauli [bacaan], dan qalbi [pandangan hati]. Tentulah berlaku juga rasa fi'li, rasa qauli, dan rasa qalbi. Ada orang membacakan ayat terlalu dialun-alun, dimerdu-merdu saja sudah dapat dirasa dengan rasa qalbi bahwa orang ini riya. Melihat gerak-gerik fi'linya juga sudah dapat dirasa dengan rasa qalbi bahwa orang tersebut ada ujubnya. Itu sebabnya ada anjuran Nabi Muhammad Rasulullah Saw. agar imam salat berjamaah agar tidak membawakan surah yang panjang-panjang. Itu sebabnya ada juga orang-orang tasawuf yang maqam sirr-nya sudah tinggi bila salat bermakmum pada imam yang berkualitas riya, mereka akan membatalkan salatnya dan mengulangi salatnya secara munfarid*). ekarang saja langsung terasa... begitu terbaca bagian *) ini oleh "mereka", serta-merta mereka sibuk membuka-buka file kumpulan hadis yang biasa dicopas. Jangan kaget kalau yang "mereka" cari itu hadis di bawah ini untuk dibuat status sindiran: "Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api." (HR Bukhari dan Muslim) Tanggapan: Apakah sama berimamkan Rasulullah Saw. dan atau berimamkan empat sahabat utama, atau berimamkan para tabi'in, tabiut tabi'in yang dikenal luas sebagai kaum salafus saleh dengan berimamkan ulama-ulama mujassimah yang mempersonifikasi Allah sebagai berwajah, bertangan dan bersemayam di Arsy, yang mengaku-aku sebagai kaum salaf padahal pengikut setia si Wahab? Apakah sama berimamkan Rasulullah Saw. dan atau berimamkan empat sahabat utama, atau berimamkan para tabi'in, tabiut tabi'in yang dikenal luas sebagai kaum salafus saleh dengan berimamkan ulama-ulama kebatinan yang memelihara sekelompok jin agar dipandang orang sebagai memiliki karamah? "Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang; apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?" [Q.S. ar-Ra'd:16] Sebagaimana melakukan penyembahan itu wajib dengan disertai pengenalan pada Allah; demikian juga sebaiknya kita mengenal dengan baik orang-orang di lingkungan kita yang biasa menjadi imam shalat berjamaah di masjid. Tulisan ini tidak menetapkan bahwa setiap imam masjid itu memendam najis batin di dalam dirinya juga tidak menyeru umat agar jangan salat berjamaah di masjid 'kan?! Tidak semua orang tertipu dengan penampilan zahir saja. Ada dapat yang memandang dengan zahir sekaligus dengan rasa. Dari sinilah dapat diketahui adanya riya pada seseorang yang diamati. Mustahil rasa dari Rahasia [sirr] itu bohong. Perkataan sebagian awliya Allah, من لم يذوق لم يعرف "man lam yadzuuk lam ya'rif" Siapa tidak pernah merasa, tidak akan pernah tahu. Akan tetapi, sedikit orang yang mau mengetahui tentang rasa. Bukankah sirr itu rasa. Rasa itu Rahasia. Ketahuilah masalah rasa ini. Rasa ini ada di hati. “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada jasad-jasad kalian dan tidak juga kepada rupa-rupa kalian akan tetapi Allah melihat kepada hati-hati kalian.” (H.R. Muslim). Mengapa Allah memandang hati? Karena hatilah yang berhubungan langsung ke alam raib ["alam" Tuhan], bukan alam gaib. Kita tidak tahiu "alam" Tuhan ini, tetapi hati merasakan. Sebab, siapa yang kenal dengan Allah? Ruh. siapa yang pernah mendengar Kalam Allah? Ruh. siapa yang pernah menyaksikan Allah? Ruh. Dan [ingatlah], ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka [seraya berfirman]: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul [Engkau Tuhan kami], kami menjadi saksi". [Kami lakukan yang demikian itu] agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami [bani Adam] adalah orang-orang yang lengah tentang [keesaan]ini (Q.S. al-A'raaf:172) Jadi, sudah ada sama`, bashar, kalam, [dan seluruh sifat 20] itu pada ruh sejak di alam arwah. Orang tauhid menerima bicara orang syariat bahwa mereka beramal dengan lillahi ta'ala; tetapi mengapa orang syariat tidak mau menerima bicara orang tauhid tentang ibadah billahi ta'ala? Bukankah laa hawla wa laa quwwata illa billah? Cobalah sekali-sekali santapan makrifat ini. "...agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami [bani Adam] adalah orang-orang yang lengah tentang ini." -Arifbillah- WASIAT MA'RIFAT MURSYID KEPADA MURID Orang bodoh adalah orang yang tidak tahu keber-ada-annya ada di atas syariat. Kita bukan berada di alam jin, setan, Iblis. Kita berada di alam fana akan ke alam barzakh dan alam akhirat. Jangan sampai kita tidak bersyariat karena manusia telah diber-ada-kan di atas peraturan agama. Taatilah urusan agama itu. Itu aturan Tuhan. Jangan kamu ikuti hawa nafsu meninggalkan syariat. Itu sama dengan kamu mengikuti setan-Iblis. Tangis Ruh akan Jasad Ruhani sudah Esa dengan Tuhan. Jangan sampai jasad tidak esa dengan Tuhan, ruhani akan menuntut. "Itulah kamu jasad, kebinasaan kamu itu karena kamu tidak mau mengenal aku ini ruhmu. Ruh yang sudah diberi tahu Tuhan sebagai wa fii anfusikum afalaa tubsirun [Q.S. Adz-Dzariyaat:21]. Karena kamu tidak kenal aku ada pada dirimu juga, bagaimanalah aku akan memberi petunjuk Tuhan padamu? Kamu tidak kenal." "Karena kamu tidak kenal, setan-Iblis yang memberimu petunjuk. Kamu kira itu dari Tuhan. Kalau sudah begini, binasalah kau jasad. Aku juga merasakan." "Kalau kamu kenal aku ini, kamu akan tahu mana yang dari setan-Iblis dan dari makhluk-makhluk lainnya dan kamu akan tahu yang dari aku itu dari Allah. Maka kau kenalilah wa fii anfusikum ini. Sudah berapa lama aku bersama manusia, tapi sedikit sekali manusia yang mau kenal dengan aku." "Sejak kau lahir sampai mendekat akhir hayat, tidak ada sekali kamu mau mengenal aku. Jika kaurasakan kesedihanku akan kamu, hai jasad, mungkin kamu tidak akan berhenti menangis saat ini juga. Apalah artinya hidup bersama-sama di dunia yang fana ini jika di alam barzakh dan alam baqa kita bercerai. Hendaklah bersama-sama juga." "Tuhan sudah memberi tahu, wa huwa ma`akum ainama kuntum: di mana kamu, di situ Aku [Q.S. Al-Hadiid:4]. Berarti kita berdua tidak boleh bercerai dan tidak ada ingat-mengingat. Jagalah, ingat itu bukan dekat, melainkan jauh. Bahkan Tuhan menjelaskan lagi, kita berdua ini tidak ada antara. Kalau urat lehermu itu dekat dengan kamu, aku terlebih dekat lagi dengan kamu." "Berarti kamu dengan aku; aku dengan kamu itu sudah esa. Satu. Bukan bersatu, bukan menyatu, melainkan Satu. Tidak ada antara lagi. Pahamilah hikmah ini dan selidikilah pengertian satu ini. "Aku selalu mengingatkan jasad, tetapi kebanyakan jasad berkehendak terus dengan nafsu. Tetapi aku menghendaki aku dengan jasadku tidak bercerai. Jasad saja yang suka bercerai denganku karena jasad mengikuti kehendak nafsu, bukannya dengan kehendak ruhani." -Arifbillah- Allah itu Qadim Azali, tetapi ADA meliputi sekalian alam. Yang meliputi sekalian alam itu Zat-Nya, Sifat-Nya, Asma-Nya, Af`al-Nya. Semuanya ada di dalam alam. Sekalian baharu alam itu mengambil ruang. Ruang itu adalah Tubuh Yang Kosong. Dalam Kosonglah berbagai-bagai alam itu ada. Tubuh Kosong itu tidak bisa kita sebut alam, melainkan disebut Tubuh-nya alam. Kosong itulah Af`al Allah. Af`al itu di sini artinya Tubuh. Dan Tubuh itu artinya Jasad. Jadi, Tubuh Allah itulah jasadnya Qadim. Jasad Qadim itu jasad siapa? Tentulah Jasadnya Allah Ta`ala. Kehidupan kita seperti kehidupan ikan di dalam air. Ikan dan air tidak bisa bercerai. Begitulah tubuh dengan nyawa. Kalau tidak ada ruang tempat ber-ada, tentulah tidak ada keduanya. Keber-ada-an kita ini memerluakan ruang. Pahamilah betul-betul sampai paham masalah ruang ini. Di bangku sekolahan saja ada pelajaran ilmu ukur ruang. Dalam hati ada cahaya, tentulah ada yang berdiri pada cahaya itu. Cahaya lampu saja terang, mustahil tidak ada yang berdiri di dalam cahaya itu. Yang ada di dalam cahaya hati itu Nur Muhammad. Nur Muhammad inilah diri kita yang batin. Diri ini ada di sama-tengah hati. Biasa disebut Rahasia atau nyawa. Perhimpunan diri itulah Ruh Qudus. Sewaktu kita takbir ihram, semua berhimpun di dalam Rahasia yang di sama-tengah hati. Jangan dihimpun-himpunkan. Sudah begitulah ketentuannya kalau kita takbir ihram. Kalau sudah tahu, hendaklah berkhidmat pada Allah. Jangan terpengaruh dengan yang datang-datang, terpandang-pandang, terlintas-lintas. Bisa menjadi bala` kalau kita terpaku dengan yang datang-datang, terpandang-pandang, terlintas-lintas itu sebab akan merusakkan shalat kita. Terpaku dengan yang datang-datang, terpandang-pandang, terlintas-lintas itu akan mendatangkan bahaya pada diri kita karena jin-setan- Iblis bisa meniru apa saja. Kalau terpaku pada hal-hal itu lalu ia sampai masuk ke badan kita, akan menjadi bala`. Ini banyak terjadi pada orang yang sedang berzikir. Terpaku dengan yang datang-datang, terpandang-pandang, terlintas-lintas ini, lalu orang ini asyik dengan yang datang-datang, terpandang-pandang, terlintas-lintas itu lalu masuklah ke badannya. Tidak tahu dia bahwa itu bukan cahaya Allah, justru setan yang masuk ke badan. Maka perlu dijaga berkhidmat kepada Allah yang laysa kamitslihi syai`un. Orang yang sudah tahu ke-laysa kamitslihi syai`un-an Allah, tidak mungkin akan terpengaruh dengan yang datang-datang, terpandang-pandang, terlintas-lintas karena semua itu bukan Tuhan. Tuhan tetap laysa kamitslihi syai`un. Seperti bola lampu senter: apabila kuat terangnya, tidak kelihatan kawat di dalamnya. Seperti besi yang ditempa: tidak kelihatan lagi besinya, bara saja yang kelihatan. Begitulah semestinya kita dalam ibadah apa saja. Tidak ada pengaruh-pengaruh lagi. Kita akan merasakan Perbuatan Allah saja yang ADA. Di sinilah kita perlu berkhidmat pada Allah dan kita akan mendapat pelajaran dari Allah. Khidmatkan diri kita pada Allah yang laysa kamitslihi syai`un, maka kita akan merasalah ke-laysakamitslihi-an Allah itu. Rahasia Allah itulah Ruh Qudus: Diri Yang Kuasa. Ada pada sama-tengah hati. Itulah tempat husnul khatimah. Shalatlah di tempat husnul khatimah, yakni tempat yang penuh rahmat. Orang menyebut, "Allah." Yang disebutnya itulah kebesaran Diri Yang Maha Esa. Tuhan membuktikan kemahaesaan Diri-Nya: di-ada-kan-Nya Zat, Sifat, Asma, Af`al-Nya menjadi sekalian alam. Itulah sebabnya alam itu Rahasia Tuhan. Rahasia-Nya. Kalau kita sudah tahu yang dinamakan Rahasia Tuhan itu, tahulah kita bahwa Tuhan itu tidak ber-Zat, tidak ber-Sifat, tidak ber-Asma, tidak ber-Af`al. Tuhan menjadikan Zat, Sifat, Asma, Af`al, tentulah Tuhan bukan Zat, bukan Sifat, bukan Asma, bukan Af`al karena tidak ada yang menjadikan [atau menciptakan] Tuhan. Untuk apa yang dijadikan Tuhan mau kita samakan dengan Tuhan. Lebih baik kita khidmatkan saja diri kita pada Tuhan. Akan terbukalah kerahasiaan Tuhan. Mau bertemu dengan barang yang hilang, kita mencari ke sana-ke sini. Kalau mau mencari Tuhan, tidak perlu cari ke sana-ke sini. Sebaik-baiknya diam saja. Karena Tuhan tidak bergerak-tidak diam; tidak datang-pergi, tidak keluar-masuk, tidak naik-turun, yang naik-turun; keluar-masuk itu napas, napas bukan Tuhan. Lebih baik masuk ke tempat husnul khatimah. Orang tahu diam secara syariat saja, seperti melamun ketika susah. Diam yang dikatakan di sini bukan yang seperti itu, melainkan diam yang dikatakan Rasulullah sebagai "diam itu emas". Diam yang bernilai emas ini bagaimana? Inilah diam yang perlu dicari dan dipelajari. Diam emas yang diperintahkan Nabi inilah yang musti kita cari dan kita praktikkan. Kamu menyebut "Allah". Mengapa kamu menyebut "Allah"? Apa isi perkataan itu? Biasa kita lihat ada orang pulang bekerja dalam keadaan letih. Ketika ia duduk dan bersandar ke dinding, ia gumamkan, "Allah...." Apakah perkataan "Allah" isinya capek? Ada juga orang yang sedang mengalami kesusahan hidup. Ia juga berguman, " Allaah...." Masak perkataan "Allah" isinya kesusahan dan keluh kesah?! Jadi sebenarnya apa isi perkataan "Allah" itu? Zat-Sifat-Asma-Af`al itulah isi perkataan "Allah" itu. Lihatlah pada sekalian alam. Semuanya—termasuk diri kita—mengandung Zat-Sifat-Asma-Af`al. Itulah Allah. Wajar kita berkata "Allah" karena kata "Allah" itu [Nama] Kebesaran Tuhan. Jadi setiap kebesaran Tuhan itulah yang disebut "Allah". Coba dipahami dalam kalimah tauhid: Laa ilaaha illallaaah. Tiada Tuhan melainkan Allah alias Tiada Tuhan melainkan Kebesaran-Nya [ada pada segala sesuatu]. Karena sudah nyata yang ada pada sekalian alam, baik alam dunia maupun alam akhirat, yang ADA hanya Zat-Nya, Sifat-Nya, Asma-Nya, dan Af`al-Nya. Jadi, ketahuilah mengenai Allah dan Tuhan ini. Jangan sampai kita tidak sadar selama ini sudah menyembah Nama, bukannya menyembah Tuhan Yang Tidah Bernama. Uraian ini untuk menaikkan derajat dirimu. Zatul Buhti Bukan Nama Tuhan Kebanyakan orang berpandangan bahwa yang dinamakan Zatul Buhti itu Nama Tuhan. Bagi orang tauhid, Tuhan tidak bernama. Jika manusia bernama; Tuhan pun ber-Nama, berarti Tuhan sama dengan manusia. Yang sama dengan manusia, bukan Tuhan. Inilah tauhid. Karena Quran jelas-jelas menyatakan laysa kamitslihi syai`un; Tuhan tidak ada persamaan dengan makhluk. Zatul Buhti itu artinya Zat semata-mata alias Zat Mutlak. Manusia bertangan-berkaki. Kalau kita katakan Tuhan ber-Tangan dan ber-Kaki, tentulah sama dengan manusia. Yang sama dengan manusia, bukan Tuhan. Manusia berwajah. Kalau kita katakan Tuhan ber-Wajah, tentulah sama dengan manusia. Yang sama dengan manusia, bukan Tuhan. [Maka akhi wal ukhti di muslim.or.id dan situs-situs afiliasinya serta seluruh wahabi-salafy sedunia dan setiap manusia yang berpaham sama dengan mereka adalah segerombolan manusia yang berhukum dan berakhlak secara Islam, tetapi berakidah secara kafir. "Jangan kau sembah Zat-Ku; Jangan kau sembah Sifat-Ku; Jangan kau sembah Asma-Ku; Jangan kau sembah Af`al-Ku. Sembahlah AKU." [Hadis Qudsy] "Man abdal Asma faqad kafar; man abdal ma'na munafiqun" Siapa menyembah Nama, kafir; siapa menyembah makna, munafik. Jadi, Tuhan itu jangan dimacam-macamkan lagi. Cukup kita yakini Tuhan itu ADA. ZAT KETUHANAN Tuhan itu tidak Bergerak dan tidak Diam: Diam sediam-diamnya. Tuhan tidak Bergerak kemudian Diam; tidak pula Diam kemudian Bergerak. Tuhan Diam sediam-diamnya. Yang Diam sediam-diamnya itulah Tuhan. Zat-lah yang merasakan ketuhanan. Bukan kita yang mau merasa ketuhanan, melainkan Zat merasakan ketuhanan. Maka hati kita musti plong: tidak ada keinginan lagi. Bersih dari ananiyah. Zat itu Diri bagi Sifat Zat itu diri bagi sifat atau dirinya sifat itu Zat. Segala sifat yang ada pada kita: hidup, mengetahui, mendengar, melihat, berkata, berkuasa, berkehendak, dan sebagainya. Itu semua sifat. Sifat kelakuan Zat itu, diri siapa yang berkelakuan? Tentulah diri Zat. Itulah Rahasia Allah. Rahasia Allah itu Wujud Allah. Wujud Allah itu Diri Allah. Kalau sudah paham, katakan saja Allah. Jangan kau katakan lagi Zat yang berkelakuan. Katakan yang sebenarnya saja: ALLAH. Tidak syirik karena sudah kenal. Kalau ini salah: tuntut saya di akhirat kelak pada Tuhan. Kosong tidak ada sekutunya. Itu bukan Zat, melainkan.... Ini yang di atas sabdu. Gunakan amal yang sebaik-baiknya, yakni Mahaesa. Baca pelan-pelan dengan ketenangan, "karena bukan ilmu yang men-'jadi', melainkan kesadaran yang men-'jadi'." Rasa itu tiada berjasad karena rasa tidak bisa didefinisikan begini atau begitu. Kita hanya bisa menyebut "manis" tanpa bisa mendefinisikan apa itu "manis". Itulah sebabnya rasa itu dikatakan tiada berjasad, tetapi nyata adanya. Rasa yang tiada berjasad itulah perwujudan ruh pada kita. Kalau dibalik, sebenarnya oleh sebab keberadaan ruh pada jasad kitalah makanya kita bisa merasa. Kalaupun mau dikatakan berjasad, ruh kita itu jasad qadim, sedangkan tubuh kita itu jasad baharu/muhaddas. Apa buktinya rasa itu perwujudan ruh? Buktinya, rasa dan ruh sama-sama tidak bisa didefinisikan begini atau begitu. Kita tidak bisa menyebutkan - bentuk ruh kita itu begini-begitu; - warna ruh kita itu apa; - aroma ruh kita itu bagaimana; - ruh kita itu lembut atau kasar; - bagian-bagian dari ruh kita itu apa saja; - ruh kita itu pada jasad bertempat di mana. Itulah bukti bahwa ruh itu hakikat diri pribadi kita yang tidak bisa disebut [Q.S. Al-Insān [76]:1], tetapi nuata adanya. Rasa yang tiada berjasad itulah perwujudan ruh pada kita. Kalau dibalik, sebenarnya oleh sebab keberadaan ruh pada jasad kitalah makanya kita bisa merasa. Oleh sebab adanya ruh-lah jasad ini bisa melihat, mendengar, berkata-kata, bergerak, dsb. Dengan kesadaran ini, jadi siapa sebenarnya yang salat ketika Anda salat? Tentu ruh-lah yang salat. Nama lain ruh ialah Zat Allâh. Jadi siapa sebenarnya yang salat ketika Anda salat? Tentu ruh/Zat Allâh-lah yang salat. Nama lain ruh kita juga ialah Nūr Ilahi atau Cahaya Tuhan. Jadi siapa sebenarnya yang salat ketika Anda salat? Tentu Nūr Ilahi-lah yang salat. Zat Allâh itu bukan Allâhﷻ. Sebagaimana Nūr Ilahi itu bukan Ilahi atau sebagaimana Cahaya Tuhan itu bukan Tuhan. Tapiii.... Zat Allâh itu esa dengan Allâhﷻ. Sebagaimana Nūr Ilahi itu esa dengan Ilahi atau sebagaimana Cahaya Tuhan itu esa dengan Tuhan, Sang Pemilik Cahaya. ■ Untuk mendekatkan paham: Matahari dengan sinarnya itu esa sebab tidak ada jeda ruang kosong yang meng-antara-i matahari dengan sinarnya. - Tubuh kita ini esa dengan ruh kita. - Ruh kita esa dengan Allâhﷻ. +Jadi jasmani-ruhani kita ini esa dengan Allâhﷻ kapan pun, di mana pun, ketika melakukan apa pun. "Jasad itu hanya tempat untuk merasa." Sebelum ini kita mengira jasad inilah yang bertakbir-rukuk-sujud, padahal rasa-lah yang sebenarnya bertakbir-ruku-sujud. Sebelum ini kita mengira jasad inilah yang bertakbir-rukuk-sujud, padahal ruh-lah yang sebenarnya bertakbir-ruku-sujud. Sebelum ini kita mengira jasad inilah yang bertakbir-rukuk-sujud, padahal Nūr Ilahi-lah yang sebenarnya bertakbir-ruku-sujud. Sebelum ini kita mengira jasad inilah yang bertakbir-rukuk-sujud, padahal Zat Allâh-lah yang sebenarnya bertakbir-ruku-sujud. ■ Sekarang kita sadar bahwa yang bertakbir-rukuk-sujud itu rasa/ruh/Nūr Ilahi/Zat Allâh yang esa dengan Allâhﷻ. Dari kesadaran inilah mudah-mudahan kita dikaruniai Allâhﷻ mengalami sendiri rasanya hadis qudsy ini (Āmīn): "Kif yā Muḥammad, Ana Rabbaka uṣalli." Pembicaraan ini erat kaitannya dengan pelajaran "Sifat 20 Zat Allâh" yang disampaikan para `arif billah dan muwwahid (ulama ahli tauhid) terdahulu. Jadi jangan salah paham. Pelajaran "Sifat 20" bukanlah ajaran yang mengarahkan agar hamba merasa sama dengan Allâhﷻ atau hamba bisa jadi Allâhﷻ. Pelajaran "Sifat 20 Zat Allâh" ialah jalan pemahaman agar kita menyadari dan merasakan keberadaan kita ini senantiasa kekal beserta Allâhﷻ di dalam dan di luar ibadah, bahkan dalam sakaratul maut. -Arifbillah- DIA YANG AWAL YANG AKHIR Firman Allah Swt. "Allahulladzi khalaqas samaawaati wal ardha wama baina huma." Allah menciptakan tujuh lapis langit dan bumi lengkap dengan kedua isinya. Segala sesuatu, baik yang ada di langit maupun di bumi, semuanya itu dikatakan alam. Selain dari Allah, dinamai alam. Bumi dan langit diciptakan, dunia dan akhirat pun diciptakan. Semua yang diciptakan Allah itu diletakkan atau ditempatkan di mana? atau di dalam tubuh apa? contoh: Allah ciptakan seluruh ikan hidup di laut; ditempatkan Allah di dalam air. Setiap manusia tahu ikan hidup dalam air, tetapi sedikit sekali yang memikirkan bahwa air itulah tubuh ikan. Begitu juga keadaannya sekalian alam dan apa saja yang diciptakan Allah. Sedikit sekali yang memikirkan di tubuh apa sekalian alam itu ditempatkan. Firman Allah:Wallahu bikulli syai'in muhiith." "Allah meliputi sekalian alam" Bukan alam meliputi Allah, tetapi Allah meliputi sekalian alam. Tentulah kita bertanya," Apa Allah itu?" Allah itu tubuhnya alam semesta. Tubuh alam itu wajib Mahasuci. Artinya, bersih sebersih-bersihnya. Sebelum ada alam, tentulah keadaannya penuh kosong atau kosong sekosong-kosongnya. Perlu kita kenal yang dikatakan kosong sekosong-kosongnya itu. Kalau tidak kenal/paham dengan yang dikatakan "kosong" itu akan sakit pikiran. Tubuh kosong ini Allah ciptakan. Diciptakan Allah terdahulu sebelum diciptakannya segala sesuatu. Kosong itu adalah tubuh mahasuci. Tubuh mahasuci itulah yang dikatakan sebagai zat. Jadi, zat adalah sifat Tuhan. Bukan Tuhan. Yang disebut Tuhan atau Diri Pribadi Tuhan yang sebenarnya adalah Zatnya zat (Rabbul Izzati; Tuhan sekalian zat). Itulah Tuhan. Kalau zat saja sudah bersifat Laysaka mitslihi syaiun; tidak ada seumpamanya; tidak sama dengan sesuatu, maka Tuhan bersifat terlebih Laysa; tidak bisa ditafsirkan. Pemahaman hakiki inilah yang perlu kita pahami. baru kita bisa "sampai" kepada Tuhan. Sebab, Jika pengetahuan seseorang sampai ke Tuhan, sampailah ia kepada Tuhan; Jika pengetahuan seseorang hanya sampai ke zat, maka ia hanya sampai kepada zat saja; Jika pengetahuan seseorang hanya sampai ke nur dan cahaya-cahaya saja, maka ia hanya sampai kepada nur dan cahaya-cahaya saja; Hadis Qudsi: Awwalu wa khalaqallahu nuuri nabiyyika, ya Jabir. Fa khalaqa min hul asya' wa anta tilkal asya'. Yang mula-mula sekali diciptakan Allah adalah cahaya nabimu (cahaya Ilahi) Diciptakan dari cahaya (Ilahi) itu Nur Muhammad. Mengenai Nur Muhammad ini Allah Berfirman Lawlaka lamaa khalaqtu 'aflaka "Jika bukan karena engkau ya Muhammad (Nur Muhammad), niscaya tidak Aku ciptakan seluruh alam."Termasuklah diri kita ini. Jadi jelaslah, kejadian Nur Muhammad itu dari Cahaya Allah. Dari Nur Muhammad terciptalah sekalian alam. Cahaya Tuhan itulah yang bernama Allah. Matahari tetap matahari; cahaya tetap cahaya. Cahaya itu bernama matahari; bukan matahari bernama matahari. Tuhan tetap Tuhan; Allah tetap Allah; Allah itu nama bagi zat (ismu zat). Tuhan tidak bernama. Yang tidak bernama itulah yang menciptakan segala-galanya. Cahaya Allah itu zat mutlak (zat yang tidak bersifat). Sebelum ada sifat, tentu hanya zat yang ada. Sebelum ada zat, tentulah hanya penuh-kosong (kosong sekosong-kosongnya; tidak ada sesuatu). Tuhan itu tertinggi dari segala yang tinggi. Tuhan itu terlabih Mahasuci dari segala yang mahasuci. Itulah sebabnya Tuhan disebut Qadim yang terlebih azali. Alquran selalu menceritakannya, tetapi banyak orang yang tidak paham dengan apa yang dibicarakan. Bagaimana memasang makrifat kalau tidak tahu? Semua ada di dalam kitab, tetapi tidak dijelaskan. Kita ini hidup di dalam nyawa karena di sekitar kita ini ada zat asam. Kalau orang itu tidak tahu dirinya hidup di dalam nyawa, nyawa apa yang dipakainya hidup? Hendaklah kemauan Allah yang kita ikuti, jangan kemauan kita sendiri. Hak kita hanya diam. Cobalah, kita sudah tahu Tuhan itu Zatnya zat, tidak bisa ditafsirkan (yang disebut Tuhan itu). Hak kita, hanya diam. Banyak orang napasnya disiksa oleh dirinya sendiri. Dimasukkan ke sana-ke sini. Apa jadinya nanti? Sudah tahu Tuhan itu tidak bisa diumpamakan, tidak bisa dibandingkan. Cobalah diam. Habis-habisnya, dialah itu. Kita ini tidak ada apa-apanya. Semua dari Tuhan. Tidak ada satu pun yang dari makhluk. Jadi, hak kita itu diam. Nur Muhammad (Nabi Muhammad) adalah kemahaesaan Tuhan. Laa ilaaha illa Allah Muhammad Rasulullah itu siapa? Nabi Muhammad itu asalnya nur. Itulah qadim. Turun menjadi nabi. Jadi, Muhammad Saw. itu nur semata-mata. Nur itu nyawa. Sabda Nabi Muhammad Saw. Ana li abuu arwaahi. “Aku bapak (sumber) sekalian yang bernyawa.” Nur itu rahasia Muhammad. Rahasia Allah itu ada di sama-tengah-hati. Maka manusia mahaesa dengan Tuhan. Yang di sama-tengah-hati itu adalah Rahasia Allah. Itulah tubuhnya Allah Ta’ala. Zat itu Tubuh Tuhan dan Sifat Tuhan. Muhammad itu pembawaan ketuhanan semata. Manusia yang mengenal Allah dengan sebenar-benarnya mengenal, hanyalah Muhammad. Tuhan tidak bersifat dan tidak berzat. Tuhan itu terlebih Mahasuci.Tuhan tidak bernyawa, tidak bersuara, dan tidak ada tafsirnya, tidak dingin, tidak panas, dan lain-lain. Cahaya Tuhan itulah yang bernama Allah. Yang tidak bernama itulah Tuhan atau Allah Pribadi. Nur Muhammad itu qadim, kalau lafal “Allah” itu baharu. Yang menjadikan dan yang dijadikan itu satu. Inilah rahasia Allah. Mukhalafah; tidak berwarna. Inilah Rahasia. Salat itu untuk menyempurnakan iman, bukan untuk masuk surga. Dari iman dan taat inilah yang menimbulkan perasaan tertentu. Ibarat pintu tertutup dan ketika dibuka didalam ada orangnya. Baru kita percaya di balik pintu tertutup itu ada orangnya. Perlu diketahui dan dipahami, manusia itu tidak mempunyai wujud hakikat. Sadarlah, yang dikatakan tidak mempunyai wujud hakikat itu apa maksudnya? Maksudnya, tidak mempunyai diri. Kita dengan Tuhan tidak bercerai; tidak ada antaranya. Kalau sudah paham perkataan ini. Tentulah diri kita ini jasadnya Allah Ta’ala. Mengapa kita katakan jasadnya Allah Ta’ala? Karena kembalinya hak kepada yang punya hak. Kalau sudah kembali hak ke dalam genggaman Allah, bagaimana otak orang yang sempurna berpikir? Otak orang yang sempurna berpikir, dia akan menemukan bahwa hakikat diri kita ini adalah Allah semata-mata. Bagaimana yang dikatakan Allah semata-mata itu? Hapus sekalian alam. Tidak merasa ada diri lagi. Kalau mati jasmani, artinya bercerai rohani dengan jasad. Perlu diketahui, mati rohani itu tidak bercerai Muhammad dengan jasad. Muhammad keluar dari jasad, hancur (menjadi satu) dengan jasad. Kalau roh bercerai dengan jasad, busuklah jasad dan hancurlah jasad. Pengertiannya: Mati sekalipun, roh dan jasad tidak bercerai. Kalau roh tidak bercerai dengan jasad (meliputi jasad), amalan yang sebaik-baiknya yang mahaesa yaitu.... Perlu diketahui sebelum mati. Kalau tidak tahu, binatang boleh dikatakan mati. Kalau manusia, sabda Nabi Muhammad Saw., “Mati itu awal kehidupan.” Berarti mati itu jasad dan ruh tidak bercerai. Hiduplah kita di Alam Barzah. Kalau tidak hidup, rasakanlah azab-azab kubur. SYARIAT MAKRIFAT HARUS ESA Apa syariat itu? Kenyataan yang di-ada-kan (Allah). Di mana letak syariat itu? Pada anggota zahir. Apa sebab? Sebab pada anggota zahir inilah berlaku amar dan nahi, yaitu perintah dan larangan. Jadi...kalau punya anggota zahir, tetapi tidak mau bersyariat: kafir. man tarakah shalat fahuwa kafirun. Tidak senang dikata kafir, silakan mengadu ke mana saja. Kalau mau tahu ada gerakan anggota badan yang merupakan doa atau ibadah jasadi, itulah gerakan-gerakan di dalam salat. Orang kebatinan mengaku-aku makrifat. Orang syariat menyesatkannya. Begitu orang tauhid datang menyampaikan sebenar-benar Islam. Orang kebatinan nanar kalang-kabut cari pembenaran. Orang syariat tetap menyesatkan juga. Duh! Orang tauhid menghidupkan ketuhanan dalam agama; orang syariat menghidupkan hukum dalam agama. orang kebatinan dan kejawen menghidupkan apa dalam agama? pesantren-pesantren setan yang ajarkan kanuragan menghidupkan apa dalam agama? Banyak orang pandai dalam masalah pengetahuan, tetapi praktiknya justru melemahkan keimanan umat untuk beriman. Orang kebatinan banyak mencuri-curi pahaman dan istilah-istilah makrifat dalam agama. Salah satunya dengan menggembar-gemborkan dan membangga-banggakan masalah "pahala sa'atan 70 tahun ibadah" lalu dikatakannya tidak perlu lagi manusia bersyariat. Itu namanya melemahkan orang untuk beriman. Orang syariat banyak menafikan dalil-dalil jelas tentang tuntutan Allah untuk mengiqra ayat-ayat keesaan. Mereka tidak tahu musti bagaimana menjelaskan ilmu dan praktik pengenalan manusia pada Tuhannya itu, lalu seenaknya pukul rata mengata sesat pada setiap pembahasan tentang Tuhan, ketuhanan, dan kehambaan. Itu juga namanya melemahkan orang untuk beriman. Padahal cirinya mudah: Ajaran makrifat yang membunuh syariat dan bercengkerama dengan jin juga dengan segala khasiat kanuragan, itulah yang sesat. Orang tauhid tidak melemahkan keimanan orang untuk beriman, baik dari sisi syariat maupun dari sisi makrifat. Orang tauhid tidak mendorong manusia agar meninggalkan syariat Orang tauhid tidak menyarankan orang untuk meraih pahala 70 tahun ibadah dengan meninggalkan kesempatan meraih pahala 1000 tahun ibadah. Kalau orang kebatinan dan kejawen, untuk keimanan, apa yang dipakai? Mereka ajarkan sebut "Laa ilaaha illallaah" lalu orang terpelanting. Mereka ajarjan wirid-wirid Qurani lalu bisa kebal ini-itu, bisa untuk pelaris dagang juga bisa untuk asihan: pelet sana-sini. Itu bukan iman ketuhanan juga bukan iman keislaman, itu iman kesetanan! Allah peringatkan jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka [Q.S. at-Tahrim: 6]. Jadikanlah setan-setan itu musuh kamu yang nyata [Q.S. Fathir: 6]. Juga jangan sekali-kali kamu menjadi golongan yang melemahkan kemauan orang untuk beriman [Q.S. al-Hajj: 51] Hai orang-orang syariat, sekaranglah waktunya kita menjaga diri dan keluarga kita. Hai orang-orang syariat, kita dalam agama ini harus bersama-sama menghidupkan apa yang ada di dalam agama. Orang tauhid mendukung dan menghidupkan syariat dengan tetap melaksanakan amalah harian bernilai 1000 tahun ibadah serta memperindahnya dengan keesaan pada Allah dengan amalan sa'atan yang bernilai 70 tahun ibadah. WUDU - RITUAL SEBELUM SALAT: Dari buku Dari Syariat Menuju Hakikat karya ulama klasik Sayyid Haidar Amuli diketahui bahwa syariat wudu ==> membersihkan anggota badan dari hadas kecil (debu dan noda lain yang menurut syariat tergolong hadas kecil) hakikat wudu ==> mempersiapkan batin untuk menghadap pada Allah, yaitu dengan cara menanggalkan sementara segala hal yang selain Allah. (sederhananya: harta-tahta-wanita <-- bagi pria) Jadi ada baiknya ketika wudu pemikiran ini dibawa terus. Mudahmudahan kalau sudah terbiasa, tanpa diingat-ingat lagi juga lahir-batin kita otomatis dalam keadaan ini. Amin. TIGA RUKUN DALAM SALAT yariat mengajarkan bahwa ada tiga rukun sahnya salat, yaitu rukun fi'li(gerakan), rukun Qauli(bacaan), dan rukun Qalbi(kondisi hati).Untuk dua rukun pertama silakan ikuti petunjuk yang sudah umum dan sahih. Adapun hal-hal khusus soal rukun fi'li(pria): lebar bukaan kaki sejajar dengan lebar bahu. (jangan terlalu rapat atau terlalu lebar. ketika takbir, telapak tangan sejajar daun telinga, pangkal lengan sampai siku sejajar bahu, jadi sunahnya bagian ketiak terbuka lebar. Demikian juga ketika sujud (kecuali kalau barisan shaf saat berjamaah tidak memungkinkan melakukan itu) posisi tangan setelah takbir: tahan tepat di atas pusar (di sinilah letak pertengahan tubuh manusia. Bukan di atas ulu hati.) usahakan arah anggota badan selalu dominan ke arah kiblat. Jaga terus posisi ujung jemari kaki baik ketika berdiri, ruku, maupun sujud (<-- berarti jemari kaki wajib menekuk waktu sujud). Jaga juga arah badan ketika tahiyat akhir, jangan melenceng ke kanan. Walaupun posisi kaki membuat badan kita agak menyerong ke samping, badan musti tetap tegak dan dominan mengarah kiblat. Secara umum, usahakan tidak ada gerakan lain di luar gerakan salat. Kunci tauhid itu diam-sediam-diamnya. Jadi pada saat tahiyat, sebaiknya jari telunjuk jangan bergerak-gerak juga selain menunjuk arah kiblat. Untuk Rukun Qauli tentu anda sudah mengetahui sebagaimana bacaan yang biasa anda baca dalam shalat dari takbir hingga salam. Hal utama yang menjadi fokus tulisan ini adalah rukun qalbi Yaitu bagaimana sebaiknya kita memasang pandangan hati ketka salat dan ketika melakukan ibadah-ibadah syariati lainnya seperti tafakur, tadarus, zikir, berdoa, dsb. raian di berikut ini adalah bimbingan rukun qalbi berdasarkan pelajaran tauhid dari Syaikh Undang Sirad. Kita semua tahu bahwa ketika salat wajib mengarahkan kiblat hati kita hanya pada Allah Swt. Nah, bagaimana caranya? Hati jangan membayangkan huruf alif-lam-lam-ha, atau membayangkan "sesuatu yang dalam benak kita mewakili definisi Tuhan" dalam bentuk apapun dalam angan kita. Mengapa? Karena itu semua pasti salah dan pasti bukan Tuhan! Karena Allah dalam Quran berkali-kali menyatakan bahwa Diri-Nya itu laysa kamitslihi syai'un yang bermakna "tidak sama dengan segala sesuatu, tidak ada seumpamanya". Jadi mesti bagaimana memasang hati ketika ibadah? Diam sediam-diamnya. Diamkan pikiran dan perasaan. Bukan difokuskan (konsentrasi) ke satu hal bukan juga dikosong-kosongkan. Mendiamkan pikiran dan perasaan berbeda dengan mengosong-kosongkan pikiran. Mengosongkan pikiran dan perasaan bisa mengundang setan masuk ke dalam diri. Hati-hati. Jaga persaksian (musyahadah) jiwa-raga kita pada dua rukun yang ketika melakukannya haram ada selain Allah di pikiran dan perasaan kita. Dua momen penting itu adalah takbiratul ihram (ihram di sini maknanya "suci pikiran dan perasaan dari segala sesuatu selain Allah") dan syahadat dalam tasyahud awal dan akhir (ikrar persaksian, wajib dalam keadaan sadar penuh). Dikatakan jika kita salat dalam keadaan lalai bermusyahadah di luar dua rukun di atas, salat kita masih diterima dan kelalaian ini masih diampuni Allah. Tapi tidak bernilai sama sekali keseluruhan salat kita jika kita lalai juga dalam dua momen penting di atas. Allahua'lam. KESIMPULAN Ketika melakukan salat (dan ibadah apa pun) biasakan seperti ini: Badan bergerak, mulut mengucap, hati (pikiran dan perasaan) diam sediamdiamnya: kekal beserta Allah. Latih dan biasakan juga kondisi seperti itu dalam aktivitas sehari-hari. InsyaAllah selalu ada petunjuk dari Allah Swt. Apa mungkin melakukan seperti itu? Sangat mungkin! Sobat pasti pernah menyetir sambil melamun atau ngobrol 'kan? Pasti pernah juga menelepon sambil mencatat, dsb. Nah, mengapa tidak mungkin melakukan hal serupa dalam salat. Apalagi ini pikiran dan perasaan disuruh diam. Memang tidak mudah pada awalnya. Itulah mungkin rahasia di balik perintah salat lima waktu dalam sehari. Bisa karena biasa. Rahasia lain dalam salat. Silakan cocokkan dengan dalil yang Sobat ketahui: Bahwa kalau kita satu kali saja dalam hidup melakukan salat yang nilainya sempurna di hadapan Allah Swt., maka salat dan ibadah kita lainnya, yang sebelumnya dan yang akan datang, akan dianggap sudah sempurna total. Bisa jadi kelak para malaikat pencatat kaget karena timbangan mizan hasilnya beda dengan catatan amal baik kita yang sudah mereka rekam. Allahua'lam. Masalahnya, tak seorang pun akan tahu kapan salatnya bernilai sempurna 'kan?! Hanya Allah yang tahu. Maka jangan coba-coba berhenti salat karena tadi sudah merasa salat dengan sempurna. hehehe. Maka usahakan selalu melakukan salat yang berkualitas. Allahua'lam. -ArifBillah- Insan kamil Manusia hanya tahu dirinya itu manusia, tetapi banyak yang lupa dan tidak menyadari bahwa kita ini manusia yang dimanusiakan. Jadi yang sebenar-benar manusia itu yang mana? Kita ini dimanusiakan. Tuhan itulah manusianya manusia. Jadi yang semanusia-manusianya manusia itulah Tuhan. Yang Menjadikan manusia itulah yang manusia semanusia-manusianya. Yang sebenar-benarnya diri kita ini tidak makan, tidak minum, tidak berdaging, tidak bertulang, tidak ber-ibu, tidak berbapak, tidak masuk kubur, tidak masuk surga, tidak masuk neraka, dan hidup tidak dengan nyawa karena hidup dengan Pembuat nyawa. Bedanya dengan Tuhan: Tuhan menciptakan, kita yang diciptakan. Apa yang pertama kali diciptakan Tuhan? Min Nuurihi Nabiyika, Nur Ilahi, Zat Mutlak. Zat Mutlak ini hidup dengan apa? Apakah Zat hidup dengan nyawa? Apakah Zat pandai mati? Apakah Zat perlu makan-minum? Apakah Zat punya ibu-bapak? Apakah Zat berdaging-bertulang? Apakah Zat masuk kubur, surga-neraka? Zat tidak hidup dengan nyawa, melainkan dengan Pembuat nyawa. Di akhirat itu tidak ada mati lagi. Hidup terus karena semua sudah hidup dengan Zat Mutlak. Contoh, Nabi Muhammad Saw. sebelum di-mi'raj-kan, dibersihkan dulu hatinya. Dibersihkan dari pengaruh-pengaruh zat asam [Sifat]. Jadi walaupun tidak ada zat asam, tetap bisa hidup dan bisa ke mana-mana tanpa membawa oksigen. Mengapa manusia masih mengandalkan zat asam terus? Ilmuwan 'kan banyak. Buatlah diri manusia tidak lagi mengandalkan zat asam. Ini ada kenyataannya di Islam, yaitu perjalanan Isra Mi'raj. Zat asam itu makhluk [baharu]. Di alam zat asam itu banyak kehidupan makluk. Untuk apa mau masuk ke zat asam? وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَثَّ فِيهِمَا مِن دَابَّةٍ ۚ وَهُوَ عَلَىٰ جَمْعِهِمْ إِذَا يَشَاءُ قَدِيرٌ [٤٢:٢٩] “Di antara (ayat-ayat) tanda-tanda-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan makhluk-makhluk yang melata Yang Dia sebarkan pada keduanya. Dan Dia Maha Kuasa mengumpulkan semuanya apabila dikehendaki-Nya.”. [Q.S. Asy-Syura:29] Sedangkan bagi orang tauhid, untuk masuk ke Zat Mutlak saja lebih cepat daripada mengedipkan mata. قَالَ عِفْرِيتٌ مِّنَ الْجِنِّ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَن تَقُومَ مِن مَّقَامِكَ ۖ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ [٢٧:٣٩] Berkata ' Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin : "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgsana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya". قَالَ الَّذِي عِندَهُ عِلْمٌ مِّنَ الْكِتَابِ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَن يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ ۚ فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِندَهُ قَالَ هَٰذَا مِن فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ ۖ وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ [٢٧:٤٠] Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia". [Q.S. An-Naml:39-40] Bandingkan, hebat mana jin dan orang-orang kebatinan itu dengan orang-orang ketuhanan? Orang tauhid mau masuk ke Zat Mutlak tidak perlu dengan acara-acara ritual kabalis pagan seperti semedi, tapa-brata, meditasi, yoga, meraga sukma, apalagi dengan bakar-bakar menyan, setanggi, dengan sesajen dan kembang tujuh rupa. Inilah tauhid Islam, tidak mau pamer-pamer syariat. Cukup dengan ritual ibadah yang "tampak biasa" saja seperti shalat, puasa, sedekah, tadarus, dsb. Untuk apa cari-cari pujian makhluk dengan tapa di dalam air, mandi di tujuh mata air, dsb. Pujian makhluk itu tidak ada ubahnya dengan jin buang hajat. Busuk lebih busuk daripada yang paling busuk. Kalau ada orang mau jual, kita beli Orang tauhid tidak takut karena Zat Mutlak itu induknya jirim, jisim, jahwar, dan aradh. Mana bisa ilmu-ilmu orang sesat yang hanya bisa main di zat asam menembus Zat Mutlak. Kalau kita sudah bermain di Zat Mutlak, kita bisa bercerita yang sebenar-benarnya tentang bidadari-bidadari, tentang bagaimana kita melihat keadaan-keadaan manusia yang sudah mati di dunia. Ini bukan khayalan. Betul-betul kita melihat bagaimana keadaan manusia di sana, mereka duduk di satu padang yang luas seperti duduk tahiyat awal. Kalau kita berjalan, mereka bisa melihat kita; kita pun bisa melihat mereka, tetapi tidak bisa saling bicara. Sepadang-padang luasnya di tempat orang-orang mati itu, yang kelihatan hanya satu: Baitullah. Orang-orang yang di dunia sudah mati itu semua menuju dan berusaha sampai ke Baitullah. Ada yang sudah beringsut-ngesot selama 300 tahun belum juga sampai. Di padang itu ada satu tempat yang tidak bisa ditembus, padahal tidak ada dinding yang menghalang. Sekelompok besar yang manusia tidak bisa berjalan menembus dinding tak tampak itu, akhirnya duduk saja di situ. Wajahnya ada yang menyesal dan bersusah hati mengapa ketika di dunia tidak mempelajari ilmu dan amal ini, ada juga yang memukul-pukul kepalanya sendiri. Bahkan, kebanyakan dari kumpulan manusia itu ternyata mereka yang waktu di dunia adalah ulama-ulama terkenal yang bersorban besar-besar. Dan kalau semasa hidup di dunia kita pernah lihat mereka, kita saling kenal. Di sana kita saling kenal. Jadi kita tahu benar-tidaknya ulama-ulama besar yang ketika masih hidup di dunia mengaku atau diakui orang sebagai wali, baik mereka yang sudah mati maupun yang masih hidup sekarang. Karena di dunia ini kita sama-sama punya pengikut, kalau kita ungkap sebenar-benarnya, bisa-bisa jadi pertikaian antar-ulama. Ini bukan dongeng, ini kenyataan sebenar-benarnya dari pengalaman perjalanan hakiki. Di padang itu ada yang mengherankan juga. Kita berpapasan dengan orang yang persis diri kita. Benar-benar diri kita juga. Kita saling melihat, tetapi tidak saling berbicara. Saling berlalu saja. Bidadari dan orang-orang akhirat itu giginya kecil-kecil, halus-halus. Bibirnya merah-merah lebih merah daripada gincu. Kalau dibawa satu ke dunia, bisa-bisa disembah orang. Kita lihat misalnya mereka makan buah. Kelihatan makanan itu semuanya dari waktu ditelan sampai makanan itu berjalan di badannya. Mengapa begitu? Karena sudah bertubuhkan cahaya. Jadi, orang-orang akhirat dan para bidadari suka bilang kalau gigi manusia dunia itu seperti kampak. Besar-besar. Kalau melihat bangunan-bangunan rumah, bisa terheran-heran. Masak di dalam rumah bisa ada gunung?! Siapa arsiteknya? Benar-benar rumah-rumah di sana besar-besar. Model istana, tapi penghuninya satu dua orang saja. Di sana tidak ada rumah tipe-36, tipe-45, dsb. Di sana rumah besar-besar semua. Setelah melewati padang ini, kita memasuki suatu alam. Kami istilahkan itu "alam cendol", karena banyak benda beterbangan hijau seperti cendol. Kalau kena ke badan, benda itu luruh mencair begitu saja. Seperti cendol. Setelah alam ini, masuk lagi ke alam yang segar. Cuacanya pun menyegarkan, seperti cuaca dekat magrib. Setelah alam ini, keadaannya agak gerah saja. Seperti panas pukul 9 pagi di khatulistiwa. Sebenarnya ini pengaruh hawa-hawa neraka, makanya gerah. Di padang yang gerah itu ada dua jalur jalan-lewat. Seperti kedudukan dalam shalat, lelaki jalur kanan, perempuan jalur kiri. Dilihat tidak ada Islam, kafir semua. Kebanyakan digiring untuk kayu bakar neraka. Lepas dari alam itu, berjalan lagi. Sampai di suatu alam penuh nikmat. Apa saja kita lihat di alam itu menimbulkan nikmat. Makin jauh berjalan, masuk ke satu wilayah. Di alam ini bukan lagi nikmat yang kita rasakan, melainkan nikmat terlebih nikmat daripada alam sebelumnya tadi. Selanjutnya ada satu padang yang isinya uang melulu. Uang berbagai zaman ada di situ semua. Setelah itu sampai di suatu padang yang khusus isinya tulang-belulang manusia saja. Kemudian di situ bertemu dengan Malaikat bernama Yu _s _i _ _na . Kami tanya pada malaikat itu, "Tempat belulang semua ini tentang keadaan manusia?" Dia jawab, "Jalan terus saja kamu, nanti kamu tahu keadaannya." Setelah berjalan lagi, melihat malaikat sedang membersihkan tulang-belulang manusia [seperti orang yang sedang melemparkan sampah pakai sekop ke atas truk]. Kata Malaikat Yu _s _i _ _na , "Dengarkan apa yang disebut-sebut malaikat petugas itu." Malaikat petugas itu bekerja sambil mengomel, "Apalah payahnya... kenapa selagi hidup tidak mau memandang diri kamu yang putih." Bukan putih kapur-putih tulang, yang indah dan cantik adalah putih kapas. Jangan dikhayal-khayalkan, nanti timbul ilusi. Kosong itu putih yang tidak berwarna. Itulah juga mengapa manusia mati dibalut dengan kapas putih [kain kafan]. Maka derajat yang paling tinggi di akhirat adalah yang putih, bukan yang hijau. Pantas Rasulullah Saw. suka pakai baju putih. Cobalah lihat orang mati dibungkus kain putih. Padahal kain hitam itu kain juga, kain yang berwarna-warni kain juga. Mengapa musti dengan kain putih? Tentulah ada makna yang dalam di situ. Kalau sudah dapat pengalaman-pengalaman ini, mana ada khawatir lagi menghadapi mati. Karena sudah tahu caranya mati. Tidak akan goncang jiwa karena kita sudah pakai diri yang tidak bertulang, tidak berdaging, tidak makan-minum, tidak ber-ibu-bapak, yang hidup tidak dengan nyawa lagi. Insan itu diciptakan atas rupa Allah. Pakailah fitrah manusia ini. Ada juga satu kampung, nama kampungnya M _ e _ _ _ h. Di sinilah terdengar zikir mahabbah. Malaikatul A_ _ _ s yang tunjukan. Inilah cara manusia melampiaskan rasa mahabbah pada Nabi Muhammad Rasulullah saw. Inilah hasilnya tidur hakiki. Mau ke mana saja bisa. Waktu tidur, satukan saja ingatan dan perasaan. Jadi tidur hakiki itu menyatukan ingatan dan perasaan. Inilah tidur tafakur-hakiki. Cobalah tiap malam, kalau dilakukan tiap malam, mustahil tidak dapat. Rasulullah 'kan sudah mengajarkan cara tidur. Bagaimana cara Rasulullah mengajarkan tidur itu? Coba lihat bayi itu tidur saja kerjanya karena yang dinamakan tidur itu nikmat. Kalau kita pandai tidur, kenikmatanlah yang kita dapat. Jangan cari mati nikmat saja, tidur nikmat pun perlu dicari. Karena tidur ini kakak-beradik mati. Pandai tidur, berarti pandai mati kelak. Kalau tidur dalam keadaan gelisah terus, matinya pun gelisah. Mengapa orang tidak mau berlatih mati dalam tidur? Kalau sudah dapat pengalaman hakiki yang seperti ini, kita duduk dan teringat surga selama 5 menit saja, wajib mandi hadats besar. Mengapa wajib mandi hadats besar? Karena nikmatnya lebih daripada berjima'. Ini bukan mimpi, bukan halusinasi. Ini benar-benar perjalanan sunnah Rasulullah Saw. Ruh menangisi jasad Ruhani sudah Esa dengan Tuhan. Jangan sampai jasad tidak esa dengan Tuhan, ruhani akan menuntut. "Itulah kamu jasad, kebinasaan kamu itu karena kamu tidak mau mengenal aku ini ruhmu. Ruh yang sudah diberi tahu Tuhan sebagai wa fii anfusikum afalaa tubsirun [Q.S. Adz-Dzariyaat:21]. Karena kamu tidak kenal aku ada pada dirimu juga, bagaimanalah aku akan memberi petunjuk Tuhan padamu? Kamu tidak kenal." "Karena kamu tidak kenal, setan- Iblis yang memberimu petunjuk. Kamu kira itu dari Tuhan. Kalau sudah begini, binasalah kau jasad. Aku juga merasakan." "Kalau kamu kenal aku ini, kamu akan tahu mana yang dari setan-Iblis dan dari makhluk-makhluk lainnya dan kamu akan tahu yang dari aku itu dari Allah. Maka kau kenalilah wa fii anfusikum ini. Sudah berapa lama aku bersama manusia, tapi sedikit sekali manusia yang mau kenal dengan aku." "Sejak kau lahir sampai mendekat akhir hayat, tidak ada sekali kamu mau mengenal aku. Jika kaurasakan kesedihanku akan kamu, hai jasad, mungkin kamu tidak akan berhenti menangis saat ini juga. Apalah artinya hidup bersama-sama di dunia yang fana ini jika di alam barzakh dan alam baqa kita bercerai. Hendaklah bersama-sama juga." "Tuhan sudah memberi tahu, wa huwa ma`akum ainama kuntum: di mana kamu, di situ Aku [Q.S. Al-Hadiid:4]. Berarti kita berdua tidak boleh bercerai dan tidak ada ingat-mengingat. Jagalah, ingat itu bukan dekat, melainkan jauh. Bahkan Tuhan menjelaskan lagi, kita berdua ini tidak ada antara. Kalau urat lehermu itu dekat dengan kamu, aku terlebih dekat lagi dengan kamu." "Berarti kamu dengan aku; aku dengan kamu itu sudah esa. Satu. Bukan bersatu, bukan menyatu, melainkan Satu. Tidak ada antara lagi. Pahamilah hikmah ini dan selidikilah pengertian satu ini. "Aku selalu mengingatkan jasad, tetapi kebanyakan jasad berkehendak terus dengan nafsu. Tetapi aku menghendaki aku dengan jasadku tidak bercerai. Jasad saja yang suka bercerai denganku karena jasad mengikuti kehendak nafsu, bukannya dengan kehendak ruhani." MAHA RUANG QIBLAT MAQAMI Kosong yang kita pandang ini Sifat. Kalau yang di Maharuang, tidak ada Sifat, hanya Zat Mutlak semata-mata. Maharuang itu bentuk dan rupanya tidak dapat dilihat, tapi suaranya ada. Yang bersuara itu hanya Nur. Suara Nur itu qadim. Suara qadim itu tidak ada `ain-nya (bentuk) dan tidak ada bekasnya. Tidak pula meninggalkan tempatnya. Hanya para wali yang tahu cerita ini. Tuhan itu nyawa hakiki semata-mata (Nur Ilahi semata-mata). Inilah yang meluas dan besar dan tidak mengambil tempat. Cahaya iniah Cahaya Qadim yang terlebih azali. Dalilnya, "nuurun `alaa nuurin"; Yang disebut Cahaya di atas cahaya itu yang terlebih bercahaya daripada Nur. yang terlebih bercahaya daripada Nur, Dia-lah itu. Yang begitu, begitulah adanya. Tidak bisa berubah lagi karena sudah ditetapkan begitu. Tidak bermasa. Begitulah selama-lamanya. Tidak ada permulaah dan tidak ada penghabisan-Nya. Ada di dalam diam, yakni diam sediam-diamnya. Bagaimana mau tahu Tuhan Yang Satu kalau tidak tahu Yang Kedua. Bagaimana mau tahu Yang Kedua, kalau tidak kenal Yang Satu. Shalat ada di dalam yang diam dan ada yang di dalam diam. Yang ada di dalam diam: sibuk. Di padang pasir pun masjid juga [Maharuang = Kiblat Maqami. Masjid itu tempat beribadah dan menyembah Tuhan. Sebelum ada makhluk, dijadikan-Nya dulu Cahaya Diri-Nya [Nur Ilahi/Zat Mutlak sebagai Kosong Maharuang yang menjadi tempat bagi sekalian makhluk. Tentulah tempat beribadah pertama itu Tubuh-Nya. Inilah juga penjelasan tentang Yang Kesatu dan Yang Kedua. Maksud pembicaraan ini mengarah pada skema penciptaan (Mux)]. Kif yaa Muhammad, Ana Rabbaka yushalli. Ini shalatnya tidak cepat. Di dalam diam itu rukun 13. Di tempat ini baru yakin saja karena di mana tempat pun: masjid. Orang yang tidak pernah bertafakur, tulangnya lembut semua karena Tuhan itu tidak ada lemahnya. Shalat itu tafakur juga. Dinamakan tafakur itu hanya sebentar saja. Shalat itu sunnaturrasul. Kalau tafakur, berilmu tinggi. Orang yang tidak pernah bertafakur seumur hidup: jahil murakab. Jahil pada dirinya sendiri dan pada Tuhannya. Tidak ada yang mengetahui Tuhan melainkan Tuhan atau Ruh Qudus. Ruh Qudus tetap ada di Mekah (Baitullah). Nur, kalau dia meninggalkan tempatnya, bisa tidur kita. Tuhan hakiki, dari dada sampai Maharuang. Yang mengenal Ruh Qudus hanya Adam. Tafakur majati itu: dirasakannya yang diam di sama-tengah hati. Tafakur hakiki tidak dirasakan, dirasakan semua. Ini dinamai Zahiru Rabbi wal bathinu abdi. Yang majati itu Rahasia Allah. Bersifat kosong sekosong-kosongnya. Yang utama dipakai, tafakur hakiki. Ketika shalat, takbirlah panjangnya 3 alif (harakat) kemudian tafakur hakikilah. Berdiri shalat, diketahui yang ada di Maharuang. Ruh Qudus yang mengetahui yang ada di Maharuang itu. Hakiki itulah takbir.

1 komentar: